BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai dari tingkat SMA sampai tingkat Universitas. Pembelajaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai dari tingkat SMA sampai tingkat Universitas. Pembelajaran"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa kedua yang diajarkan di Indonesia mulai dari tingkat SMA sampai tingkat Universitas. Pembelajaran bahasa Jerman sebagai bahasa kedua di Indonesia, tentu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dan kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar. Kesalahan tersebut tidak hanya bersumber dari dalam diri pembelajar tetapi dapat juga dari sistem tata bahasa yang dipelajari itu sendiri, dalam hal ini adalah bahasa Jerman. Di samping hal di atas, sistem bahasa pertama (B1) dari pembelajar juga menjadi faktor penyebab kesalahan. Hal tersebut dikarenakan pembelajar menggunakan sejumlah unsur kebahasaan yang ada pada (B1) untuk kegiatan dalam bahasa kedua (B2). Akibatnya, unsur-unsur kebahasaan yang tidak terdapat dalam bahasa kedua digunakan oleh pembelajar sehingga menyebabkan kesalahan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapatnya Krashen (1982: 29) yang menyebutkan bahwa L1 rules is the result of falling back on first language knowledge when a second language rule is needed in production but is not available. Oleh karena itu, peran guru sebagai pengajar dituntut untuk mencari solusi terhadap kesulitan dan kesalahan pembelajar dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua. Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan menganalisis bentuk-bentuk kesalahan tersebut, sehingga dapat ditemukan faktor penyebab dari kesalahan tersebut. Hal ini sangat penting agar proses belajar 1

2 2 mengajar bahasa berhasil dengan baik sehingga dapat mencapai kompetensi yang diharapakan. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh pembelajar Indonesia dalam mempelajari bahasa Jerman adalah pembentukan frasa nomina atributif (FNA). Hal ini dikarenakan dalam konstruksi FNA bahasa Jerman dibentuk melalui deklinasi, dimana pembentukan kata tersebut dipengaruhi oleh perbedaan jenis, jumlah dan kasus. FNA menurut Ramlan (2005: 143) merupakan frasa yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara. Artinya bahwa salah satu unsur dari frasa tersebut merupakan unsur pusat (UP), yaitu unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frasa dan secara semantik merupakan unsur yang terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atribut (Atr). Dalam FNA yang menjadi unsur pusatnya adalah nomina, (Wijana, 2009: 47). Dipilihnya FNA sebagai objek kajian penelitian dikarenakan beberapa alasan. Pertama konstruksi FNA bahasa Jerman bisa dikatakan sangat kompleks. Dikatakan kompleks karena konstruksinya dipengaruhi oleh gender, kasus, dan jumlah (numerus), sehingga mempengaruhi semua konstruksi penyusunan FNA. Adapun kasus dalam bahasa Jerman terdiri dari empat kasus, yakni nominatif, akusatif, datif dan genitif. Untuk gender meliputi maskulin, feminim dan netral. Sedangkan untuk jumlah (numerus) terdiri dari singular dan plural. Adanya tuntutan unsur-unsur tersebut dalam pembentukan FNA seringkali membuat pembelajar salah dan bingung. Misalnya dari data berikut ditemukan bentuk kesalahan pembelajar;

3 3 (1a) *der kleiner Mann ißt. Art(Mas). kecil(?) pria makan pria kecil itu makan Konstruksi yang benar adalah; (b) der kleine Mann ißt Art(Mas). kecil pria makan pria kecil itu makan Contoh (1a) adalah contoh FNA berkasus nominatif dan bergender maskulin pria. Dari jawaban pembelajar tersebut tampak bahwa pembelajar telah mampu menerapkan bentuk artikel yang benar, yakni artikel der (definite artikel) sebagai pananda nomina bergender maskulin. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukan terletak pada pemberian suffiks pada bentuk adjketif. Dimana pada contoh (1a) tersebut, pembelajar memberi suffiks * er pada ajektif klein kecil menjadi * kleiner kecil. Seharusnya, suffiks pada ajektif tersebut diisi oleh bentuk e sehingga menjadi kleine kecil. Berdasarkan bentuk kesalahan tersebut, maka kesalahan tersebut termasuk ke dalam bentuk kesalahan double marking atau pemberian tanda yang berlebihan. Alasan kedua dipilihnya FNA sebagai objek kajian karena dalam proses pembelajaran bahasa kedua, seorang pembelajar bahasa tidak lepas dari adanya perbedaan antara (B1) dengan (B2). Perbedaan tersebut misalnya, dimana bahasa Indonesia (B1) pembelajar dalam konstruksi FNA tidak mengenal adanya kasus dan gender. Konstruksi FNA dalam bahasa Indonesia hanya berupa gabungan leksikal. Sedangkan dalam bahasa Jerman dibentuk berdasarkan kasus, gender dan jumlah.

4 4 Ketiga, dengan adanya penelitian semacam ini atau ditemukannya permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran, nantinya dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki strategi dan metode pengajaran bahasa Jerman di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa pembelajar. Keempat, penelitian mengenai analisis kesalahan FNA dalam bahasa Jerman sepengetahuan penulis belum pernah diteliti. Penelitian yang pernah diteliti mengenai frasa terdapat pada penelitian Dewi Ratnasari yang berjudul Perilaku Ajektif terhadap Nomina dalam Frasa dan Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Pada penelitian tersebut mendeskripsikan mengenai perilaku ajektif dan dianalisis secara kontrastif. Sedangkan pada penelitian ini objek kajiannya adalah bentuk-bentuk kesalahan yang dibuat oleh pembelajar. Maka, berdasarkan temuan atau data-data yang didapat, penulis ingin meneliti lebih jauh mengenai analisis kesalahan pembentukan FNA dalam bahasa Jerman. Disamping itu, dalam penelitian ini akan dilihat bentuk-bentuk kesalahan, penyebab-penyebab terjadinya kesalahan tersebut dan implikasinya dalam pengajaran. Menurut penulis, hal ini juga sangat penting agar kompetensi pembelajaran, khususnya bahasa Jerman dapat mencapai kompetensi yang diinginkan, salah satunya adalah dapat menerapkan konstruksi gramatikal yang benar. Adapun data diambil dari pembelajar bahasa Jerman di Universitas Negeri Yogyakarta semester 7. Hal tersebut dikarenakan bahwa pembelajar semester 7 merupakan semester dimana pembelajaran lebih difokuskan pada kompetensi pemakaian kaidah-kaidah atau tata bahasa bahasa Jerman secara benar dan juga pembelajar semester 7 telah lama belajar bahasa Jerman.

5 Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; 1. Bagaimana bentuk-bentuk kesalahan yang terdapat dalam pembentukan FNA oleh pembelajar bahasa Jerman? 2. Mengapa terjadi kesalahan-kesalahan seperti hal tersebut? 3. Bagaimana implikasinya dalam pengajaran? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah; 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan dalam pembentukan konstruksi FNA dalam bahasa Jerman. 2. Menjelaskan alasan-alasan atau penyebab terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut. 3. Mendeskripsikan implikasi kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam pembelajaran, khususnya pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa kedua Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengetahuan, pembelajaran, dan penelitian dalam kajian pembentukan frasa nomina atributif (FNA). Misalnya bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar dalam menerapkan ilmu yang sudah didapat dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Bagi peneliti lain diharapkan dapat memberikan gambaran dan manfaat sebagai salah satu bahan pertimbangan

6 6 untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yang mempunyai relavansi dengan penelitian ini. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pengajar untuk mengetahui bentuk dan jenis kesalahan berbahasa dalam tataran frasa. Terlebih konstruksi FNA dalam bahasa Jerman dibentuk melalui deklinasi yang melibatkan kasus, jumlah dan gender yang lebih banyak ditandai oleh afiks, sehingga pengajar lebih bisa menyeimbangkan pengajaran tidak hanya pada pengenalan kasus, jumlah dan gender, tetapi juga bentuk-bentuk suffiks pada konstruksi FNA Ruang lingkup Masalah Dalam penelitian ini mengangkat kesalahan pembuatan konstruksi FNA dalam bahasa Jerman. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya dibatasi dalam tataran kesalahan pembuatan frasa nomina beratribut ajektif pada tataran sintaksis dan morfologi dan mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan, penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab kesalahan serta implikasinya terhadap pembelajaran Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian mengenai kesalahan pada pembelajran bahasa kedua telah banyak dilakakan. Beberapa di antaranya adalah penelitian (Tesis) yang dilakuakan oleh Lia Amalia Amrina tahun 2004 yang berjudul Analisis Kesalahan Gramatika pada Karangan Bahasa Inggris Siswa Kelas Bilingual SMP Muhammadiyah 3 Yogkarta. Penelitian tersebut meneliti mengenai bentuk kesalahan-kesalahan gramatika serta penyebab kesalahan gramatika yang terdapat

7 7 pada karangan bahasa Inggris siswa kelas VIII dan IX bilingual di SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta dalam penulisan karangan recount. Kesalahankesalahan gramatika yang dimaksud seperti kesalahan penambahan (addition), kesalahan penandaan ganda (double marking), kesalahan penghilangan (omission) dan kesalahan pembentukan (misformation). Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa faktor penyebab kesalahan yaitu faktor lingusitik yang dipengaruhi oleh proses interlingual dan intralingual. Kesalahan interlingual terdiri dari kesalahan pengurutan frasa, penambahan proposisi, kesalahan penggunaan to be, kesalahan penggunaan bentuk lampau dan kesalahan penghilangan bentuk jamak (short plural s/es). Sedangkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor intralingual terdiri dari over regularization dan ketidaktahuan kaidah gramatika dalam bahasa Inggris.. Penelitian lainnya adalah penelitian (Disertasi) Dewi Ratnasari yang berjudul Perilaku Adjektiva terhadap Nomina dalam Frasa dan Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Ratnasari mengkaji dari analisis kontrastif dan membahas menganai berbagai macam bentuk frasa, sedangkan dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji mengenai analisis kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa Jerman. Perbedaan keduanya juga sangat jelas baik dari sumber data maupun luas cakupan yang diteliti. Akan tetapi, penelitian oleh Dewi Ratnasari ini dijadikan sebagai sebagai referensi peneliti mengenai konstruksi frasa dalam bahasa Jerman. Penelitian selanjutanya yang dijadikan tinjauan pustaka adalah penelitian Pratomo Widodo dalam jurnalnya yang berjudul Verba sebagai Unsur Penguasa

8 8 dalam bahasa Jerman dan Pengaruhnya terhadap Wujud Nomina. Penelitian tersebut mendeskripsikan tentang peran dari verba terhadap konstituen-konstituen lain, terutama nomina. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan mengenai jenisjenis verba yang menuntut kasus, seperti kasus akusatif, datif, nominatif dan genitif. Akibat adanya kasus tersebut, maka konstituen berupa nomina akan berubah bentuk yang ditandai pada perubahan bentuk artikel dan ajektif. Disamping itu, dikelompokkan pula mengenai ciri-ciri verba yang berkasus akusatif, datif, nominatif dan genitif. Berdasarkan objek kajian yang diteliti oleh Pratomo Widodo, maka sudah jelas penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratomo Widodo, dimana Widodo membahas mengenai peran dan ciri-ciri verba, sedangkan peneliti disini mengkaji mengenai kesalahan pembelajar pada frasa nomina atributif Landasan Teori Analisis Kesalahan Analisis kesalahan merupakan salah satu bidang kajian linguistik yang masuk dalam kajian linguistik terapan. (Patten dan Benati, 2010: 82) menyebutkan bahwa analisis kesalahan sebagai suatu teknik untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Els (2009) bahwa analisis kesalahan (EA) merupakan suatu kajian empiris mengenai penyimpangan dari norma-norma B2 dan penyebab-penyebabnya. Kedua

9 9 pendapat tersebut memperlihatkan bahwa analisis kesalahan sebagai salah satu teknik yang digunakan untuk mengetahui permasalahan pembelajar dalam mempelajari bahasa kedua. Dari analisis kesalahan tersebut nantinya dapat diperoleh penyebab-penyebab kesalahan sehingga sangat bermanfaat bagi pengajar untuk dapat menerapkan teknik atau metode pengajaran yang tepat. Untuk itu dalam analisis kesalahan berbahasa diawali dengan analisis data-data bahasa kedua yang mengandung kesalahan kemudian menjelaskannya. (Gass dan Selinker, 2008:41); (Ellis dan Gary. 2005: 15). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis kesalahan menurut Els (2009) adalah; 1. Identifikasi Kesalahan Kesalahan tidak selalu dapat diidentifikasi dengan mudah. Pertama, karena maksud kesalahan (error) mensyaratkan adanya norma atau norma-norma, yang antara lain bergantung pada perantara (bahasa tulis atau lisan), konteks sosial (formal atau tidak formal), dan hubungan antara pembicara dan pendengar (simetris atau asimetris). Kedua, karena mungkin saja sesuatu yang kelihatannya salah jika digunakan secara terpisah, akan sangat berterima ketika digunakan dalam konteks tertentu, dan sebaliknya. Oleh karena itu dalam identifikasi kesalahan FNA bahasa Jerman difokuskan pada penggunaan tatagramatikal seperti persesuaian bentuk artikel, ajektif dan nomina. Dari bentuk-bentuk persesuaian tersebut nantinya akan tampak bentuk-bentuk kesalahan pembelajar, karena perantara yang digunakan adalah bahasa tulis. Adapun bentuk-bentuk kesalahan yang dibuat pembelajar biasanya berupa kesalahan penerapan suffiks pada

10 10 masing-masing kategori. Oleh karena itu, bentuk-bentuk kesalahan penggunaan suffiks tersebut dapat diidentifikasi sebagai bentuk kesalahan apabila penerapan tata gramatikal B2 tidak sesuai dengan kaidah bahasa kedua (B2). 2. Deskripsi dan Penjelasan Kesalahan Demi memberikan deskripsi dan penjelasan mengenai kesalahan dalam pembelajaran B2, perlu diketahui tipe-tipe kesalahan, fenomena kesalahan yang lazim terjadi, transfer bahasa atau juga yang sering disebut dengan interferensi. Untuk itu, agar dapat mengetahui dan menjelaskan penyebab-penyebab kesalahan, maka salah satu teknik yang dapat digunakan yakni menurut Dulay (1982: 171) adalah dengan contrastive analyisis (CA), yaitu dengan membandingkan pola atau bentuk bahasa pertama pembelajar (B1) dengan bahasa kedua (B2). Tetapi, bentuk perbandingan tersebut tidak hanya pada B1 dengan B2, bisa juga antara B2 dengan B2 itu sendiri, terlebih dalam bahasa Jerman. Misalnya, berdasarkan datadata yang telah diidentifikasi ditemukan beberapa penerapan kaidah nominatif yang diterapkan juga pada kasus lain, seperti kasus akusatif, datif dan genitif. Contoh; (2) der kleine Mann Art(mas) kecil. pria pria kecil itu FNA (2) di atas merupakan FNA dengan kasus nominatif. Akan tetapi, konstruksi seperti nomor (2) tersebut juga sering diterapkan pada kasus akusatif. Padahal, bentuk kosntruksi akusatif ditandai oleh perubahan artikel dan ajektif, sehingga bentuk konstruksi yang benar untuk nomor (2) tersebut menjadi; (2a) den kleinen Mann pria kecil itu (kasus akusatif)

11 11 Jadi perbandingan tidak hanya dilakukan antara B1 dan B2, tetapi B2 dan B2, seperti pada contoh di atas sehingga nantinya dapat ditemukan jenis-jenis kesalahan. Adanya bentuk perubahan tersebut karena dalam bahasa Jerman konstruksi FNA dibentuk melalui persesuaian bentuk gender, kasus dan jumlah atau disebut Agreement Jenis-jenis Kesalahan Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh pembelajar, maka dapat terlihat bahwa jenis-jenis kesalahan yang dilakukan pembelajar menurut Ellis dan Gary (2005: 65) yang membagi kesalahan menjadi beberapa kategori kesalahan, di antara adalah; (1) false analogy (a kind of over-generalization ), yaitu yaitu kesalahan dalam membuat hipotesis terhadap konsep kaidah bahasa target atau kesalahan yang disebabkan oleh generalisasi unsur-unsur bahasa target secara berlebihan. Bentuk kesalahan seperti ini lebih banyak terjadi pada penentuan gender oleh pembelajar, dimana karena dalam bahasa Jerman, gender terbagi menjadi beberapa kategori. (2) incomplete rule application, yaitu kesalahan penerapan kaidah bahasa target yang tidak sempurna. Bentuk kesalahan ini sering terjadi pada salah satu bentuk kategori. Misalnya pada konstruksi FNA pada kasus nominatif; (3) der *klein Mann pria kecil itu Konstruksi FNA pada contoh (3) tersebut sudah tepat, akan tetapi kesalahan hanya terjadi pada bentuk ajektif. Pada data yang ditemukan, kesalahan terkadang dapat juga terjadi hanya pada artikel, atau pada nomina saja.

12 12 Bentuk-bentuk atau jenis-jenis kesalahan seperti yang diungkapkan di atas tentunya tidak dapat menjawab pertanyaan pada bentuk kesalahan lainnya, terlebih konstruksi FNA bahasa Jerman merupakan konstruksi yang dihubungkan oleh suffiks yang melekat pada artikel, ajektif dan nomina. Oleh karena itu, Dulay (1982: ) menambahkan bentuk-bentuk kesalahan, seperti double marking merupakan kesalahan yang disebabkan karena penanda yang berlebihan, misformation merupakan kesalahan yang disebabkan karena kesalahan penggunaan bentuk morfem atau struktur. Kesalahan seperti ini meliputi; (1) Regularization Errors, misalnya pada kesalahan pembentukan jamak, (2) Archi- Forms kesalahan yang disebabkan oleh pembelajar menerapkan kaidah tertentu pada kaidah lain. Misalnya pembelajar menggunakan kadiah kasus nominatif, diterapkan juga pada kaidah akusatif, datif dan genitif. (3) Alternating Errors, kesalahan yang disebabkan oleh pembelajar yang menukarkan bentuk kasus. Bentuk kesalahan ini biasanya ditemukan pada bentuk kasus akusatif dan datif. Kedua bentuk tesebut sering tertukar karena kedua kasus tersebut sama-sama berfungsi sebagai objek dan (4) other errors yakni kesalahan yang disebabkan karena penggunaan bentuk kaidah lain. Oleh karena itu, untuk dapat menentukan jenis-jenis kesalahan seperti di atas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan interpretasi yang masuk akal. Hal ini dilakukan di luar interaksi tatap muka. Dalam hal ini peneliti harus berusaha keras untuk menafsirkan maksud sebenarnya dari bentuk-bentuk jawaban pembelajar dengan memperhatikan bentuk kesalahan dan mengaitkan konteks penggunaan bahasa tersebut dengan

13 13 latar belakang pribadi dan pengetahuan pembelajar mengenai bahasa target. Latar belakang dan pengetahuan yang dimaksud yakni dalam bidang bahasa pertama pembelajar Penyebab Kesalahan Corder (1982: 5) menyebutkan salah satu penyebab kesalahan adalah habits kebiasaan. Kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan dengan pemakaian sistem bahasa pertama (B1) dari pembelajar. Dapat dikatakan bahwa, kebiasaan atau pola-pola strukturural yang ada dalam bahasa pertama yang tidak sama seperti bahasa yang dipelajari (B2), maka akan menyebabkan peluang terjadinya kesalahan. Dalam hal ini dapat dicontohkan dengan bahasa Jerman sebagai bahasa yang dipelajari. Adanya konstruksi pada pembentukan FNA dengan melibatkan kasus dan suffiks tidak ditemukan pada B1 pembelajar, yakni bahasa Indonesia, sehingga kebiasaan pembelajar yang tidak menggunakan atau memahami kasus dan suffiks yang harus ada pada konstruksi FNA akan berpengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua. Atruan-aturan bahasa pertama yang tidak sama dengan aturan-aturan pada (B2) juga menjadi hambatan dalam pembelajaran bahasa kedua atau terjadinya kesalahan. (Troike, 2006: 19 ) menyebutkan bahwa perbedaan sistem antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa target (B2) akan menimbulkan transfer negatif sehingga mendorong terjadinya kesalahan. Sebaliknya, pola-pola yang sama antara dua bahasa akan menimbulkan transfer positif sehingga mempermudah proses pembelajaran bahasa asing. Bentuk transfer positif atau negatif ini seringkali disamakan dengan interferensi.

14 14 Analisis kesalahan sangat erat kaitannya dengan interferensi. Dapat dikatakan interferensi adalah pemicu kesalahan. Menurut beberapa ahli interferensi lebih banyak terjadi pada tataran morfologi dan sintaksis daripada fonologi dan leksikal, hal ini disebabkan oleh kaidah yang tidak selalu sama. Misalnya karena kaidah morfologis dan sintaksis bahasa Jerman pada FNA tidak sesederhana bahasa Indonesia (dari sudut pandang penutur bahasa Indonesia asli). Pemicu lain terjadinya interferensi adalah pembelajar tentunya berada pada tahap pembelajaran B2. Dalam hal ini dikaitkan dengan usia berapa pembelajar mulai mempelajari B2. Semakin dewasa ia mulai mengenal B2, maka potensi interferensi semakin besar, karena repertoire bahasanya sudah didominasi oleh keterampilan B1. Penyebab kesalahan pembentukan konstruksi FNA bahasa Jerman juga dapat dilihat dari bentuk kalimat yang dibuat oleh pembelajar yang dapat dipahami melalui konteks penerjemahan. Catford dalam Djuharie (2004:11) mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana dalam bahasa sumber (BSu) dengan wacana padananannya dalam bahasa sasaran (BSa). Maksudnya adalah makna alihan tersebut haruslah sepadan dengan wacana aslinya. Kesepadanan tersebut dipahami sebagai ketersampaian makna pada wacana asli. Dari bentuk konstruksi penerjemahan yang dilakukan pembelajar, Djuharie (2004:19) menyebutkan model penerjemahan yang dilakukan pembelajar yakni penerjemahan setia yang berusaha menghasilkan makna kontekstual yang tepat pada teks asal dengan keterbatasan struktur tata bahasa BSu. Jadi cara ini lebih menekankan pada makna atau pesan yang disampaikan dari teks asal, sedangkan

15 15 penggunaan struktur atau kaidah kurang diperhatikan, selama struktur tersebut tidak merubah makna yang dimaksud pada teks asal. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil terjemahan memiliki maksud dan makna yang sama persis dengan pesan pada BSunya. Oleh karena itu, penerjemahan bentuk kalimat bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jerman yang ada pada data, tentunya diterjemahkan berdasarkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kebiasaan pembelajar mengenai kaidah-kaidah yang ada pada B1. Sehingga dari konteks penerjemahan, dapat digolongkan penyebab-penyebab kesalahan tersebut dikarenakan; (1) pembelajar yang menerjemahakan kalimat-kalimat yang ada pada data diterjemahkan berdasarkan kaidah kebiasaan yang ada pada B1, sehingga pembelajar lebih mementingkan ketersampaian makna dibandingkan dengan benar atau tidaknya struktur yang digunakan. Misalnya; (3) dia memukul pria kecil itu S P O (FNA) Nom Adj. Beberapa pembelajar menerjemahkan kalimat (3) menjadi; (3a) Er schlägt *der kleine Mann dia memukul kecil pria S P O (FNA) Art(mas). Adj Nom Pada contoh (3) tersebut secara struktural kalimat tersebut benar, karena masingmasing kategori telah menduduki fungsinya, seperti fungsi S P O. Akan tetapi, kesalahan terjadi pada bentuk gramatikal artikel dan ajektif pada FNA yang menempati posisi objek. Bentuk artikel seharusnya den dan bukan *der.

16 16 (2) Pembelajar kemungkinan akan menganggap bahwa perubahan bentuk artikel dan penambahan suffiks pada ajektif, seperti pada contoh (3) sebagai bentuk informasi yang berlebihan (redundant information), (Kroll dan Schafer, 1978: 243). Misalnya pada fungsi objek yang diisi oleh kasus akusatif dan datif, dimana tentunya pembelajar telah mengetahui bahwa dengan atau tanpa merubah bentuk artikel, objek selalu berada setelah verba. Hal tersebut didasarkan pada kaidah B1 pembelajar. Akan tetapi hal tersebut tentu dapat menjadi berbeda karena konstruksi kalimat B1 dengan B2 berbeda dimana posisi objek pada B2 dapat berada pada sebelum verba atau pada posisi subjek. (3) Secara semantis, artikel dan suffiks yang melekat pada ajektif tidak merubah kelas kata dan makna yang dimaksud. Fungsi artikel dan suffiks pada ajektif hanya sebagai penanda fungsi. Misalnya fungsi objek yang ditempati oleh kasus akusatif dan datif. (4) Apabila suffiks-suffiks yang melekat pada ajektif atau nomina dapat merubah kelas kata, maka pembelajar cenderung dapat menggunakan bentuk yang benar. Hal ini terlihat pada konstruksi plural, dimana pada konstruksi plural bahasa Jerman, jumlah kesalahan pada nomina sangat sedikit dikarenakan pembelajar dapat membuat konstruksi plural. Seperti yang diketahui bahwa pembentukan plural bahasa Jerman salah satunya dengan menambahkan suffiks pada nomina. Penyebab kesalahan berbahasa bukan hanya bersumber pada faktor linguistik, tetapi juga berasal dari faktor nonlinguistik. Faktor-faktor lain yang diduga adalah faktor lingkungan. Lingkungan pembelajar bahasa yang terbatas

17 17 merupakan faktor pendorong terjadinya kesalahan berbahasa. Misalnya, dalam pembelajaran bahasa Jerman, tidak terdapatnya mahasiswa asing (orang jerman) sehingga mereka memiliki keterbatasan dalam melakukan komunikasi dan diskusi. Pergaulan yang sempit dengan penutur asli bahasa Jerman akan menyulitkan mereka menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam aktivitas sehari-hari karena mereka hanya menggunakana bahasa Indonesia di dalam kelas. Akan tetapi, penelitian mengenai pengaruh lingkungan ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut, karena dalam penelitian ini hanya dibatasi pada penyebab linguistik Frasa Nomina Atributif (FNA) dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia Frasa nomina atributif (FNA) disebut juga sebagai frasa endosentris atributif, artinya adalah frase endosetris yang terdiri atas unsur-unsur yang tidak setara karena ada unsur inti dan bukan inti/atribut. Misalnya pada frasa bahasa Indonesia berikut ini; (4) halaman luas. UP Atr Frasa di atas, terdiri dari halaman sebagai unsur pusat (UP) dan luas sebagai atributif. Dalam FNA, nomina disebut sebagai induk (unsur pusat) dan unsur (kategori) perluasan lain yang mempunyai hubungan subordinatif dengan induk, yaitu, adjektiva, verba, numeralia, demonstrative, pronomina dan lain-lain. Berdasarkan hal tersebut, maka kategori subordinatif tersebut berperan sebagai atribut atau penjelas dari nomina. (Kridalaksana, 1988: 81-85; Katamba, 1993: 262; Verhaar, 2010: 293). Di samping itu, dalam konstruksi frasa akan

18 18 memperlihatkan hubungan gramatikal yang menandai konstruksi. Hubungan tersebut akan tampak pada pola urutan, preposisi atau infleksi kasus. (Katamba, 1993: 264). Jadi, dalam hal ini konstruksi FNA bahasa Indoensia hanya tampak melalui hubungan pola urutan. Dalam bahasa Jerman, hubungan gramatikal seperti yang dimaksudkan oleh Katamba ditandai oleh adanya suffiks. Misalnya; (4) saya memukul pria kecil itu FNA pria kecil itu pada kalimat (3) dalam bahasa Jerman akan menjadi; (4a) Ich schlage den kleinen Mann S V art(akk). adj. Nom saya memukul kecil pria saya memukul pria kecil itu Pada contoh (4a) posisi atributif berada sebelum nomina dan nomina (head) selalu berada setelah atributif. Adapun bentuk artikel pada kontruksi (4) adalah dengan menggunakan den dan ajektif yang berasal dari kata klein kecil mendapat suffiks en. Adanya bentuk persesuaian artikel dengan ajektif pada konstruksi FNA di atas, disebut dengan konkordansi atau agreement Keraf, (1983: 116). Disebutkan bahwa bentuk konkordansi antara kata benda dan ajektif dapat bertalian dengan gendernya dapat juga bertalian dengan numerinya. Misalnya; (5) kleiner Tisch adj. Nom kecil Meja meja kecil Contoh FNA (5) di atas merupakan konstruksi indefinit artikel, sehingga dapat diketahui bahwa nomina meja bergender maskulin dari suffiks yang melekat

19 19 pada ajektif, yakni suffiks er. Suffiks er menunjukkan bentuk maskulin. Akan tetapi, apabila menggunakan bentuk definit artikel, maka gender dari sebuah nomina dapat diketahui melalui bentuk artikel, sedangkan bentuk ajektif hanya menyesuaikan diri dari bentuk artikel tersebut. Misalnya; (5a) der kleine Tisch meja kecil adj. Nom kecil Meja Pada umumnya, konstruksi (5a) merupakan kasus nominatif yang ditandai oleh suffiks yang melekat pada bentuk artikel dan ajektif, dimana pada contoh (5a) tersebut, artikel der merupakan penanda gender maskulin, sedangkan suffiks e pada ajektif sebagai bentuk persesuaian artikel. Oleh karena itu, pada contoh (5 dan 5a) sebenarnya mempunyai konstruksi yang sama, hanya saja pada conth (5) bentuk artikel der dilesapkan ke bentuk ajektif sehingga ajektifnya mendapat suffiks er. Sedangkan pada contoh (5a) suffiks er yang tadinya melekat pada ajektif, dipindahkan ke bentuk artikel, sehingga suffiks pada ajektif hanya mendapat suffiks e sebagai bentuk pertalian artikel dengan ajektif Proses Morfologis Berdasarkan proses pembentukan konstruksi frasa nomina atributif dalam bahasa Jerman, maka menurut (Verhaar, 2010: 134) perubahan artikel maupun afiks-afiks yang melekat pada ajektif maupun nomina merupakan afiksasi tipe deklinasi, yakni afiksasi menurut kasus, jumlah dan jenis dan diterapkan pada kelas-kelas kata yang nomina, yaitu nomina, ajektiva dan pronomina. Oleh karena itulah, tepat apabila dalam melihat konstruksi FNA bahasa Jerman menggunakan kajian morfologi, karena kajian tersebut menyangkut kajian struktur gramatikal di dalam kata,(verhaar, 1986: 70; Ramlan, 2005: 18).

20 20 (Verhaar, 2010: 97-98) mendefinisikan morfologi sebagai cabang yang mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal, dimana satuan bahasa yang dianalisis dianggap sebagai morfem satu atau lebih. Lebih lanjut, Verhaar membagi morfem menjadi morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat meleburkan diri pada morfem yang lain, salah satunya adalah dengan afiksasi atau pengimbuhan. Misalnya die teuer-e Uhr Jam mahal. Pada contoh tersebut terdiri dari dua morfem bebas dan dua morfem terikat. Morfem bebas tersebut yakni teuer mahal dan Uhr jam, karena konstituen tersebut dapat berdiri sendiri, sedangkan artikel die dan sufiks -e sebagai morfem terikat, karena kehadirannya tidak bisa berdiri sendiri atau menuntut konstituen lain. die dalam hal ini muncul karena ada kata Uhr jam. Adapun fungsi die tersebut sebagai penanda gender dari Uhr jam, yakni feminim Fungsi Sintaksis Untuk menganalisis konstruksi FNA baik pada bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman, tentu tidak hanya dilihat dari kata, tetapi juga hubungan pada katakata tersebut, karena konstruksi FNA tidak bisa berdiri sendiri dengan satu kata. Oleh karena itu, salah satu kajian yang digunakan juga yakni kajian sintaksis. Radford (2003: 4) menegaskan bahwa syintax is concerned with trying to explain why certain types of structure are ungrammatical. Artinya bahwa, melalui pengkajian sintaksi dapat diketahui apakah suatu hubungan antar kata tersebut sesuai dengan tata bahasa atau bentuk gramataikalnya atau tidak. Sedangkan Dik

21 21 dan J.G. Kooij (1994: 177), mendefinisikan bahwa sintaksis mengkaji dan menguraikan cara penggabungan leksem-leksem ke dalam satuan-satuan yang lebih luas. Satuan-satuan yang lebih luas di sini adalah frasa, karena frasa merupakan satuan yang lebih luas dari kata Kajian sintaksis ini sangat penting digunakan karena melalui pengkajian tersebut dapat juga diketahui penyebab kesalahan pembelajar dilihat dari peran atau fungsi sintaksis dari masing-masing konstruksi FNA. Misalnya FNA dalam bahasa Indonesia; (6) dia memukul pria kecil itu S V O Pad contoh (6), FNA berada pasa posisi objek dan konstruksi tersebut hanya berupa gabunganl leksikal, yakni pria sebagai subjek, kecil sebagai ajektif. Sedangkan FNA tersebut dalam bahasa Jerman akan menjadi; (6a) den kleinen Mann Art(akk). Adj. Nom Pada FNA (6a), terdapat beberapa penanda, yakni artikel den yang sebenarnya berasal dari artikel der dan suffiks en pada adjketif. Kedua bentuk penanda tersebut secara semantis tidak mempunyai makna, tetapi hanya mempunyai peran atau fungsi penghubung antar konstruksi. Peran dan fungsi yang dimaksud adalah bentuk perubahan artikel pada FNA bahasa Jerman sebagai penanda objek sehingga bentuk artikel den yang berasal dari artikel der merupakan penanda objek, karena kalimat dalam bahasa Jerman, objek dapat menempati posisi subjek. Misalnya; (6b) den kleinen Mann schlagt er

22 22 O (FNA) V S art(akk). adj. Nom. kecil pria memukul dia dia memukul pria kecil itu Pada konstruksi (6b) objek menempati posisi subjek, tetapi konstruksi kalimat tersebut tidak merubah makna. Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia, apabila objek berada pada posisi subjek, maka kalimat tersebut akan menjadi kalimat pasif yang tentunya merubah fungsi dari masing-masing kategori dan merubah makna juga. Karena peranan dari masing-masing perubahan artikel dalam bahasa Jerman sangat penting untuk diketahui oleh pebelajar sehingga tidak mengabaikan bentuk perubahan tersebut, karena berkaitan dengan konstruksi yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa FNA merupakan salah satu jenis frasa yang unsur intinya berupa nomina, dan atributnya diisi oleh kategori lain. FNA baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman memiliki konstruksi yang berbeda, yakni mulai dari pola urutan dan penanda hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Dalam bahasa Indonesia, konstruksi FNA hanya berupa gabungan leksikal, sedangkan dalam bahasa Jerman, hubungan tersebut ditandai oleh adanya suffiks yang melekat pada atribut dan nominanya, serta dipengaruhi oleh bentuk artikel Kasus dalam Bahasa Jerman Kasus merupakan bagian dari kata benda yang menunjukkan hubungan kata benda dengan elemen-elemen lain dalam kaliamat atau anak kalimat. Maka, dalam konstruksi FNA bahasa Jerman tidak pernah lepas dari adanya kasus.

23 23 Dalam bahasa Jerman, terdapat empat macam kasus, di antara adalah nominatif, akusatif, datif dan genitif. Fungsi dari masing-masing kasus tersebut adalah dimana pada kasus nominatif biasanya selalu berada pada bentuk subjek, dapat juga berada pada bentuk objek predikatif. Kasus nominatif sering juga disebut dengan kasus dasar, karena kasus nominatif tersebut merupakan dasar dari bentuk-bentuk kasus lainnya, seperti akusatif, datif dan genitif. Kasus akusatif merupakan penanda objek, dimana fungsi objek adalah fungsi sintaktis yang kehadirannya di dalam klausa dituntut oleh fungsi predikat yang diisi oleh verba transitif pada klausa aktif, Kesuma (2004: 26), Helbig & Buscha (1996: 53). Artinya bahwa bentuk-bentuk objek pada kasus akusatif dipengaruhi oleh bentuk verbanya. Adapun verba yang menuntut nomina berkasus akusatif sebagai fungsi objek terdiri dari (a) verba transitif, (b) verba yang memiliki suku awal {be-} atau tambahan awalan (verbzusatz) {durch-}, {hinter-} {über-}, {um-}, dan verba kausatif seperti legen meletakkan, stellen menempatkan setzen mendudukkan dan lain sebagainya. (Widodo, 2004: 179). Penanda objek lainnya adalah kasus datif. Kasus datif adalah kasus yang menandai bahwa nomina adalah penerima suatu perbuatan atau obyek tak langsung, Kridalaksana (1987: 75). Pada kasus datif biasanya ditandai oleh preposisi, salah satu bentuk preposisi datif adalah mit dengan. Kasus genitif biasanya digunakan untuk menyatakan milik/kepunyaan atau menghubungkan dua bentuk nomina (nomina+nomina). Misalnya das Haus des Vaters rumah ayah. Untuk kasus genitif biasanya ditandai oleh artikel tambahan

24 24 seperti artikel des, dimana artikel des hanya berfungsi pada kasus gender maskulin dan netral. Sedangkan untuk gender netral dan plural tidak berlaku. Biasanya, apabila menggunakan artikel des, bentuk nomina pada kasus tersebut mendapat suffiks, seperti s, -es, -e, -en dan lain-lain. Bentuk-bentuk perubahan artikel, ajektif dan nomina pada masing-masing kasus dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel. 1: Persesuaian Artikel, Ajektif dan Nomina pada Kasus Bahasa Jerman. Maskulin Netral Feminin Plural Nominatif Der schwarze Anzug Das weiβe Hemd Akusatif Datif Genitif Den schwarzen Anzug Dem schwarzen Anzug Des schwarzen Anzugs Das weiβe Hemd Dem weiβen Hemd Des weiβen Hemdes Die rote Krawatte Die rote Krawatte Der roten Krawatte Der roten Krawatte Die blauen Schuhe Die blauen Schuhe Den blauen Schuhen Der blauen Schuhe Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa pola urutan FNA bahasa Jerman terdiri dari artikel, adjketif dan nomina dimana pada masing-masing artikel (yang dicetak tebal) dari setiap gender (maskulin, netral, feminim dan plural) menjadi berbeda pada masing-masing kasus (nominatif, akusatif, datif dan genitif), begitu juga dengan ajektif (yang berada diantara artikel dan nomina) dan nomina tampak bahwa masing-masing mendapat suffiks yang berbeda. Adapun fungsi dari masing-masing kasus lebih kepada penanda fungsi dari masing-masing kategori. Hal tersebut dikarenakan pada konstruksi kalimat bahasa

25 25 Jerman menggunakan pola urutan yang bebas. Artinya bahwa posisi subjek dapat diisi oleh objek, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, untuk mengetahui masing-masing peran dari fungsi tersebut dapat diketahui melalui bentuk-bentuk perubahan artikel atau ajektifnya. Sehingga meskipun posisi subyek diisi oleh obyek, maka maknanya tidak akan berubah, karena obyek selalu ditandai oleh artikel 'den' atau 'dem' Gender Gender didefinisikan sebagai sebuah subkategori dalam sebuah kategori gramatikal (seperti nomina, pronomina, ajektif) dari sebuah bahasa yang bersifat arbitrer dan sebagian non-arbitrer yang didasarkan pada ciri-ciri yang mampu membedakan (bentuk, tingkat sosial, atau seks) dan menentukan kesesuaian (konkordansi) bentuk gramatikal dengan kata-kata yang lain, (Keraf, 1984:113). Gender dibedakan antara genus alamiah (sexus) dan genus gramatis. Dalam bahasa Jerman genus alamiah memainkan peranan yang sangat kecil, sisanya lebih banyak ditentukan oleh genus gramatis (Helbig & Buscha, 1996). Genus alamiah terdiri atas maskulinum dan femininum, sedangakan genus gramatis terdiri atas maskulinum, femininum, dan neutrum. Genus alamiah terutama terdapat pada manusia seperti pada kosa kata penanda hubungan kekerabatan. Selain itu terdapat pula sufik {-in} sebagai penanda genus feminim yang merupakan perluasan dari nomina maskulinum seperti pada kata Studentin 'mahasiswi' yang merupakan perluasan dari kata Student 'mahasiswa'. Sekarang ini dalam pembelajaran bahasa Jerman, lebih banyak mengenal gender yang terdiri dari feminim, maskulin dan netral. Ketiga jenis jender tersebut

26 26 ditandai oleh adanya artikel yang melekat pada setiap nomina. Misalnya, artikel die untuk gender feminim, der gender laki-laki (maskulin) dan das untuk gender netral. 8. Metode Penelitian Kesuma (2007: 4) mendefinisikan metode sebagai sebuah cara, maka caracara yang digunakan dalam pengambilan data pada penelitan ini adalah; Pertama dengan penyebaran kuesioner. Kuesioner tersebut diberikan kepada pembelajar bahasa Jerman di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) semester 7 sebagai responden. Penentuan responden ini didasarkan atas asumsi bahwa para pembelajar tersebut telah mengikuti mata kuliah keterampilan berbahasa dan telah lama mempelajari bahasa Jerman. Bentuk kuisioner yang digunakan berupa beberapa kalimat yang mengandung FNA. Dari bentuk-bentuk FNA tersebut nantinya masing-masing FNA akan memperlihatkan konstruksi masing-masing bentuk gender dan kasus. Misalnya; (7) Pria kecil itu makan (8) dia memukul pria kecil itu Pada contoh (7) dan (8), pembelajar diminta untuk menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam bahasa Jerman dengan benar. Adapun kedua kalimat tersebut mewakili masing-masing kasus, misalnya kasus nominatif pada contoh (7) dan akusatif pada contoh (8). Dari masing-masing kalimat juga digunakan beberapa gender, seperti gender maskulin, feminim, netral dan kategori plural. Untuk gender maskulin

27 27 digunakan bentuk nomina yang berbeda yakni nomina pria dan singa, dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman pembelajar mengenai gender. Di samping itu, penggunaan dua jenis gender tersebut digunakan untuk mengetahui bentuk interferensi dimana salah satu tipe gender, seperti nomina pria memiliki tipe gender yang sama dengan bahasa pertama (B1) pembelajar, sedangkan nomia singa digunakan sebagai pembanding, karena merupakan bentuk nomina yang abstrak terhadap gendernya. Penggunaan dua bentuk gender yang sama juga digunakan pada gender feminim, yakni dengan nomina perempuan dan kucing. Sedangkan pada gender netral hanya menggunakan satu jenis nomina, dikarenakan gender netral hanya terdapat pada nomina-nomina abstrak. Begitu juga dengan kategori plural, digunakan hanya satu jenis nomina, karena pada kategori plural tidak dibedakan mengenai jenis gender. Semua bentuk gender, baik maskulin, feminim dan netral apabila dalam bentuk plural tetap menggunakan artikel die dan nominanya mendapatkan suffiks. Bentuk suffiks plural pada nomina bermacam-macam, seperti dapat dilekatkan dengan suffiks en, -n, -e, -er, -es, -s dan ø. Oleh karena itu, data-data pada kalimat yang digunakan mencakup kategori kasus, gender dan numerus berdasarkan tujuan dari penelitian. Kedua adalah analisis data. Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan cara mengelompokkan bentuk-bentuk kesalahan kemudian mengalisisnya. Bentuk-bentuk kesalahan dianalisis berdasarkan tatarannya dalam segi gramatika. Adapun teknik yang digunakan pada tahap analisis data ini adalah

28 28 pertama-tama dengan teknik baca markah, dimana penggunaan teknik ini untuk melihat bentuk sintaksis maupun morfologis pada suatu kata atau kalimat, (Sudaryanto, 1993: 95). Karena pada konstruksi FNA bahasa Jerman, kesalahan cenderung terjadi pada bentuk-bentuk pemarkah yang menjadi bagian dari konstruksi FNA tersebut. Setelah itu, dari hasil pembacaan markah, bentuk-bentuk kesalahan dikelompokkan berdasarkan bentuk kesalahan, apakah kesalahan tersebut terjadi pada artikel, ajektif atau nomina. Setelah diidentifikasi dan diklasifikasi bentukbentuk kesalahan berbahasa, kemudian mencari penyebab kesalahan dengan membandingkan antara bahasa pertama (B1) pembelajar dengan bahasa yang dipelajari (B2), dapat juga membandingkan (B2) dengan (B2). Selanjutnya dari langkah-langkah tersebut, dijelaskan kesalahan dengan mendeskripsikan kesalahan-kesalahan, penyebabnya dan mengoreksi kesalahan berupa pembetulan (Tarigan, 1988: 71-72). 9. Sistem Penyajian Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistem penyajian. Bab II menyajikan bentuk-bentuk kesalahan pada FNA, Bab III menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya kesalahan. Bab IV mendeskripsikan implikasinya dalam pengajaran dan Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB V PENUTUP. ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan

BAB V PENUTUP. ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan BAB V PENUTUP Pada bagian ini dipaparkan simpulan dan saran sebagai bagian akhir dalam penelitian ini. Pada bagian simpulan akan dipaparkan poin-poin utama yang diperoleh dari keseluruhan analisis data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

2015 ANALISIS FRASA PREPOSISI DENGAN MODIFIKATOR AUS SEBAGAI ERGÄNZUNGEN DAN ANGABEN DALAM ROMAN BESCHÜTZER DER DIEBE

2015 ANALISIS FRASA PREPOSISI DENGAN MODIFIKATOR AUS SEBAGAI ERGÄNZUNGEN DAN ANGABEN DALAM ROMAN BESCHÜTZER DER DIEBE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi. Pada umumnya, masyarakat Indonesia menguasai dua bahasa yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mempelajari bahasa, pembelajar sebaiknya mengenal kaidah dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mempelajari bahasa, pembelajar sebaiknya mengenal kaidah dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam mempelajari bahasa, pembelajar sebaiknya mengenal kaidah dan struktur yang baku yang biasa disebut tata bahasa. Penguasaan tata bahasa merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita (sumber: wikipedia.com). Penulis novel disebut novelis. Kata novel

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil menerjemahkan suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran jika ia

BAB I PENDAHULUAN. berhasil menerjemahkan suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran jika ia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Proses penerjemahan bahasa sumber terhadap bahasa sasaran bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Seorang penerjemah dikatakan berhasil menerjemahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peningkatan hasil belajar siswa merupakan tujuan yang ingin selalu dicapai oleh para pelaksana pendidikan dan peserta didik. Tujuan tersebut dapat berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penulis mengambil beberapa jurnal, skripsi, disertasi dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan analisis kontrastif, adverbial

Lebih terperinci

KLATJSA RELATIF BAHASA JERMAN : KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIS

KLATJSA RELATIF BAHASA JERMAN : KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIS KLATJSA RELATIF BAHASA JERMAN : KAJIAN SINTAKSIS DAN SEMANTIS Makalah disampaikan dalam pembentangan disertasi doktor falsafah Oleh : Dian Indira Pusat Pengajian Bahasa dan Linguistik Universiii Kebangsaan

Lebih terperinci

2015 PENGGUAAN MEDIA BOARDGAME GERMAN TRIP UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN MATERI ADJEKTIVDEKLINATION PADA SISWA SMA

2015 PENGGUAAN MEDIA BOARDGAME GERMAN TRIP UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN MATERI ADJEKTIVDEKLINATION PADA SISWA SMA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari dalam pendidikan di Indonesia. Dalam mempelajari bahasa Jerman, sama halnya dalam pengajaran

Lebih terperinci

SATUAN LINGUAL PENANDA GENDER DALAM BAHASA JERMAN DAN INDONESIA

SATUAN LINGUAL PENANDA GENDER DALAM BAHASA JERMAN DAN INDONESIA Published on Fakultas Bahasa dan Seni (https://fbs.uny.ac.id) Home > SATUAN LINGUAL PENANDA GENDER DALAM BAHASA JERMAN DAN INDONESIA SATUAN LINGUAL PENANDA GENDER DALAM BAHASA JERMAN DAN INDONESIA Submitted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, pemerintahan, maupun dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain dapat berbeda bergantung pada aliran linguistik apa yang mereka anut.

BAB I PENDAHULUAN. lain dapat berbeda bergantung pada aliran linguistik apa yang mereka anut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata merupakan salah satu unsur penting dalam pembetukan suatu bahasa salah satunya dalam suatu proses pembuatan karya tulis. Kategori kata sendiri merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mempelajari bahasa Jerman terdapat beberapa aspek penting yang harus dikuasai. Aspek-aspek tersebut terdiri dari keterampilan menyimak, berbicara, membaca,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam menggunakan bahasa saat berkomunikasi baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Di dalam berbahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan merupakan upaya untuk mengganti teks bahasa sumber ke dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan penerjemahan as changing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi dapat berupa percakapan (lisan) dan tulisan. Apabila pesan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi dapat berupa percakapan (lisan) dan tulisan. Apabila pesan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat penting bagi manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi dapat berupa percakapan (lisan) dan tulisan. Apabila pesan yang disampaikan oleh penutur tidak

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. lain di Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, Rusia, Korea, Jepang, China dan Jerman

1 BAB I PENDAHULUAN. lain di Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, Rusia, Korea, Jepang, China dan Jerman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara di Indonesia. Namun saat ini, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apakah ia akan dengan mudah beradaptasi dengan bahasa barunya? Atau janganjangan,

BAB I PENDAHULUAN. Apakah ia akan dengan mudah beradaptasi dengan bahasa barunya? Atau janganjangan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Apa yang akan terjadi saat seseorang pertama kali belajar bahasa asing? Apakah ia akan dengan mudah beradaptasi dengan bahasa barunya? Atau janganjangan, ia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perbedaan bahasa sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Tuntutan mendapatkan informasi inilah yang memunculkan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa juga merupakan alat untuk berkomunikasi sehari-hari dan menjadi jembatan dalam bersosialisasi dengan manusia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan serta saran berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah diperoleh pada bab-bab sebelumnya. 5.1 Kesimpulan 5.1.1

Lebih terperinci

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA Suhandano Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana nomina ditata dalam sistem tata bahasa Indonesia. Pembahasan dilakukan

Lebih terperinci

Anak perempuan itu bercakap-cakap sambil tertawa. (Nur, 2010: 83).

Anak perempuan itu bercakap-cakap sambil tertawa. (Nur, 2010: 83). BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa bahasa pronomina persona, jumlah, dan jender merupakan kategori gramatikal yang memarkahi verba. Contohnya pada Bahasa Arab (BA) dan Bahasa Inggris.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk,

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mempelajari bahasa Inggris terutama yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam setiap unsur suatu bahasa, semantik merupakan ilmu yang menjadi pengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga perkembangan bahasa Indonesia saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia, karena dalam kehidupannya manusia tidak terpisahkan dari pemakaian bahasa. Dengan bahasa, manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam berbahasa, kita sebagai pengguna bahasa tidak terlepas dari kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam berbahasa adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sangat penting untuk dipelajari. Sebagai bahasa internasional, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. dan sangat penting untuk dipelajari. Sebagai bahasa internasional, bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Inggris merupakan bahasa asing utama yang dikenal, menarik, dan sangat penting untuk dipelajari. Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris umumnya diajarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu fenomena bahasa yang terkadang membuat permasalahan dan menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai kalimat bahasa Inggris adalah penggunaan kata it sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis kesalahan berbahasa adalah salah satu cara kerja untuk

BAB I PENDAHULUAN. Analisis kesalahan berbahasa adalah salah satu cara kerja untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Analisis kesalahan berbahasa adalah salah satu cara kerja untuk menganalisis kesalahan manusia dalam berbahasa yang merupakan komponen linguistik. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup suatu Bangsa dan Negara. Hal ini karena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup suatu Bangsa dan Negara. Hal ini karena pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peran yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup suatu Bangsa dan Negara. Hal ini karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diberikan akal dan pikiran yang sempurna oleh Tuhan. Dalam berbagai hal manusia mampu melahirkan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan akal dan pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahasa memiliki peranan penting dalam hal berkomunikasi. Fungsi penting dari bahasa adalah menyampaikan pesan dengan baik secara verbal atau tulisan. Pesan yang disampaikan

Lebih terperinci

menjadi tolak ukur terhadap isi dari karya ilmiah tersebut. Pembaca akan tertarik atau tidak

menjadi tolak ukur terhadap isi dari karya ilmiah tersebut. Pembaca akan tertarik atau tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu bagian penting dalam karya ilmiah ialah abstrak. Hal tersebut dikarenakan abstrak merupakan hasil ringkasan yang memuat seluruh isi dari karya ilmiah. Abstrak

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik (Tarigan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik (Tarigan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi yang memungkinkan manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya baik secara lisan maupun tulisan. Komunikasi akan berlangsung

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kekeliruan (mistake) dan kesalahan (error). Kekeliruan adalah penyimpangan atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kekeliruan (mistake) dan kesalahan (error). Kekeliruan adalah penyimpangan atau BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Kesalahan Berbahasa Menurut Nababan (1994:91) terdapat 2 macam kesalahan berbahasa yaitu kekeliruan (mistake) dan kesalahan (error). Kekeliruan adalah penyimpangan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam kelangsungan hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain untuk hidup bersama. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa harus berkomunikasi dengan sesamanya memerlukan sarana untuk menyampaikan kehendaknya. Salah satu sarana komunikasi

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan

PENDAHULUAN. Saat ini, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan komunikasi dapat menyampaikan pesan antar umat manusia. Salah satu alat komunikasi adalah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan berita-berita dan sebagainya (Sugono ed., 2015:872). Beritaberita dalam surat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Frasa Verba Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu penelitian, maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini dijadikan pijakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik sistemik fungsional berperan penting memberikan kontribusi dalam fungsi kebahasaan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memahami teks Bahasa Sumber (BSu), melainkan juga kemampuan untuk menulis

BAB I PENDAHULUAN. memahami teks Bahasa Sumber (BSu), melainkan juga kemampuan untuk menulis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses penerjemahan bukan hanya menyangkut keterampilan seseorang memahami teks Bahasa Sumber (BSu), melainkan juga kemampuan untuk menulis kembali pemahaman

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam pembelajaran bahasa Jerman salah satu aspek yang harus dipelajari dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam kehidupan pasti tidak akan terlepas untuk melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam berkomunikasi diperlukan adanya sarana

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, 654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepemilikan bahasa membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. Kepemilikan bahasa membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepemilikan bahasa membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Untuk mengerti kemanusiaan orang harus mengerti nature (sifat) dari bahasa yang membuat manusia

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1 ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Diajukan Oleh: AGUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kontak antara pemakai bahasa Arab dengan penduduk Indonesia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kontak antara pemakai bahasa Arab dengan penduduk Indonesia, yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Arab, apabila kita lihat sejarahnya, bukanlah bahasa yang asing di Indonesia. Kontak antara pemakai bahasa Arab dengan penduduk Indonesia, yang saat itu lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang ampuh untuk mengadakan hubungan komunikasi dan melakukan kerja sama. Dalam kehidupan masyarakat, bahasa menjadi kebutuhan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh masyarakat umum dengan tujuan berkomunikasi. Dalam ilmu bahasa dikenal dengan

Lebih terperinci

2015 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PERMAINAN KREISLAUF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA JERMAN

2015 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PERMAINAN KREISLAUF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA JERMAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang banyak dipelajari di berbagai sekolah di Indonesia. Adanya ketertarikan terhadap negara dan kebudayaan Jerman

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGI DALAM KARANGAN SEDERHANA BAHASA JERMAN SISWA KELAS XI SMAN 2 MAKASSAR ABSTRAK ABSTRACT

ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGI DALAM KARANGAN SEDERHANA BAHASA JERMAN SISWA KELAS XI SMAN 2 MAKASSAR ABSTRAK ABSTRACT ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGI DALAM KARANGAN SEDERHANA BAHASA JERMAN SISWA KELAS XI SMAN 2 MAKASSAR Agung Rinady Malik 1 dan Syarifah Fatimah 2 Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar Email

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna.

BAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna. Ujaran-ujaran tersebut dalam bahasa lisan diproses melalui komponen fonologi, komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pembelajar bahasa asing pada pendidikan formal, sudah sewajarnya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pembelajar bahasa asing pada pendidikan formal, sudah sewajarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai pembelajar bahasa asing pada pendidikan formal, sudah sewajarnya dituntut untuk memiliki kemampuan lebih baik dalam memahami bahasa asing tersebut dibandingkan

Lebih terperinci

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak Rina Ismayasari 1*, I Wayan Pastika 2, AA Putu Putra 3 123 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti mengatur bersama-sama (Verhaar dalam Markhamah, 2009: 5). Chaer (2009: 3) menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antarnegara, sehingga wajib dikuasai oleh pembelajar bahasa. Bahasa Inggris

BAB I PENDAHULUAN. antarnegara, sehingga wajib dikuasai oleh pembelajar bahasa. Bahasa Inggris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi seperti saat ini manusia dituntut untuk menguasai ketrampilan berbahasa terutama berbahasa asing. Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak. kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak. kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam berkomunikasi antar manusia dibutuhkan bahasa yang disepakati oleh pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa mempunyai keterikatan dan keterkaitan dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE 4.1 Pengantar Bagian ini akan membicarakan analisis unsur-unsur bahasa Inggris yang masuk ke dalam campur kode dan membahas hasilnya. Analisis

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

KAJIAN FRASA NOMINA BERATRIBRUT PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN SURAT AL-AHZAB NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

KAJIAN FRASA NOMINA BERATRIBRUT PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN SURAT AL-AHZAB NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan KAJIAN FRASA NOMINA BERATRIBRUT PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN SURAT AL-AHZAB NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Sinonim Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim berarti nama lain

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. penyerapan mengalami penyesuaian dengan sistem bahasa Indonesia sehingga

BAB VII KESIMPULAN. penyerapan mengalami penyesuaian dengan sistem bahasa Indonesia sehingga 320 BAB VII KESIMPULAN Kosakata bahasa Prancis yang masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia secara difusi dikenal dan digunakan dari masa kolonial Eropa di Indonesia hingga saat ini. Kosakata bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Jerman pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Jerman pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam proses pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Jerman pada jenjang SMA, berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti salah satu faktor yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Jawa di antaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian wilayah Indonesia lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga bahasa merupakan sarana komunikasi yang utama. Bahasa adalah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga bahasa merupakan sarana komunikasi yang utama. Bahasa adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu melakukan komunikasi antar sesamanya. Setiap anggota masyarakat selalu terlibat dalam komunikasi, baik dia berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian deskriptif analitik. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan seharihari. Ketika berbahasa ada bentuk nyata dari pikiran yang ingin disampaikan kepada mitra

Lebih terperinci