BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyajian pameran di museum selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran ditentukan dengan melihat faktor keterkaitan objek, kondisi objek, spesifikasi dan minat kurator, serta kekhususan institusi. Hal tersebut dapat dilihat sejak museum pertama didirikan di Eropa yaitu Medici Palace. Museum ini didirikan oleh keluarga Medici pada abad ke-15 di Florence, di saat kota tersebut berkembang menjadi pusat perdagangan di Eropa. Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh keluarga Medici membuat keluarga ini menghasilkan kekayaan yang digunakan untuk membangun Medici Palace. Jaringan perdagangan yang dimiliki oleh keluarga Medici dengan pedagang-pedagang di Eropa membuat keluarga ini mampu mengumpulkan barang-barang dari berbagai penjuru Eropa. Pembangunan Medici Palace juga menunjukkan legitimasi politik dan ekonomi dari keluarga Medici sebagai salah satu saudagar tersukses di Florence (Hoopergreenhill, 1992: 4, 23-24). Pada abad ke-16, konsep Medici Palace diadopsi oleh keluarga bangsawan di Eropa dengan nama kunstkammer. Pendirian kunstkammer pertama dilakukan oleh keluarga bangsawan Hadsburg. Keluarga bangsawan tersebut membangun tiga kunstkammer di tiga tempat berbeda. Pertama, kunstkammer yang dibangun oleh Duke Albrecht V of Bavaria di Munich ( ), kunstkammer yang dibangun oleh Ferdinand II di Ambras ( ), serta kunstkammer yang dibangun oleh Rudolf II di Praha. Ketiga kunstkammer tersebut menampilkan 1

2 koleksi baju zirah, senjata, ukiran mahluk mitologi, dan jimat yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Pada masa itu, koleksi dalam kunstkammer merupakan cara untuk memperlihatkan penggambaran budaya secara parsial di seluruh belahan dunia. Dengan melihat penggambaran budaya tersebut dan posisi keluarga bangsawan Hadsburg sebagai penguasa pada masa itu, terlihat bahwa kunstkammer juga berfungsi untuk menunjukkan kekuatan dan kontrol dari keluarga bangsawan terhadap wilayah kekuasaannya (Hooper-Greenhill, 1992: ). Pada abad ke-17, pemikiran tentang Pencerahan (Enlightenment) muncul di Eropa. Pemikiran yang rasional berdasarkan alasan-alasan yang logis dan ketidakpercayaan akan takhayul atau bersifat tradisional menjadi awal pemikiran tentang Pencerahan. Melalui Pencerahan, orang-orang Eropa mengembangkan gagasan-gagasan untuk memajukan teknologi, kebudayaan dan kehidupan manusia. (Insoll, 2004: 15-16, Sudarmadi, 2014: 40). Pencerahan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya Revolusi Perancis pada tahun Pengaruh tersebut adalah pandangan bahwa rakyat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, oleh karena itu pemerintahan perlu diatur oleh perwakilan dari rakyat sehingga dapat menjadi legitimasi rakyat terhadap kedaulatan rakyat. Melalui aksi Revolusi Perancis, kekayaan monarki Perancis diambil alih atas nama rakyat Perancis. Aksi ini merupakan bentuk perpindahan kedaulatan dari monarki Perancis ke rakyat Perancis. Aksi ini sekaligus membuat koleksi kekayaan monarki Perancis menjadi warisan nasional Perancis atas nama rakyat Perancis. Simbol kemenangan rakyat Perancis terhadap kedaulatan politik dan warisan nasional adalah dibukanya 2

3 Galeri Istana Louvre untuk publik pada tahun Galeri Istana Louvre yang sangat identik dengan monarki Perancis kemudian diubah namanya menjadi Museum Perancis (Abt, 2006: , Sudarmadi, 2014: 40). Pada awal abad 19, Museum Louvre di Paris mengalami surplus koleksi seni. Hal ini disebabkan penaklukan yang dilakukan Napoleon terhadap negaranegara di Eropa. Koleksi-koleksi seni yang diberikan pada Museum Louvre dari negara yang ditaklukkan Napoleon menjadi simbol supremasi kebudayaan dan militer Perancis. Museum Louvre menjadi model untuk museum-museum Eropa seperti Gallerie d Accademica di Venice, Pinacoteca di Brera, Rijksmuseum di Amsterdam, dan Musee Del Prado di Spanyol. Seperti halnya, Museum Louvre di Paris yang menjadi simbol kekuasaan Napoleon pada masanya, museum-museum di Eropa seperti Rijksmuseum di Amsterdam dan Del Prado di Spanyol juga menjadi simbol politik, legitimasi kekuasaan, dan penyimpanan koleksi yang diwariskan terhadap generasi berikutnya. (Abt, 2006: ). Proses legitimasi politik dan kekuasaan melalui museum berlanjut pada masa kolonial. Pada tahun 1931, negara-negara kolonial seperti Perancis, Inggris dan Belanda mengadakan Colonial Exposition di Paris. Pameran tersebut menampilkan hasil-hasil budaya dari negara koloni. Kerajaan Belanda menampilkan arsitektur tradisional dan hasil budaya dari wilayah koloninya seperti Indonesia. Melalui pameran tersebut Kerajaan Belanda berhasil menciptakan kesan sebagai kerajaan kecil di Eropa tetapi memiliki kekuatan nasional yang melebihi kerajaan-kerajaan lain di Eropa. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Kerajaan Belanda menaklukan dan menguasai wilayah Kepulauan Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari beragama etnik, agama dan 3

4 kebudayaan. Hal serupa juga ditemui pada ruang pameran negara Perancis yang menyajikan replika Candi Angkor Wat dari Kamboja yang ditempatkan ditengahtengah ruang pameran Colonial Exposition tahun Penempatan Candi Angkor Wat dari Kamboja menjadi simbol kekuasaan Perancis terhadap Kamboja. (Gouda, 1995: , ). Contoh penyajian koleksi etnografi dari pemerintah kolonial Belanda dan Perancis pada Colonial Exposition semakin menjelaskan konsep koleksi etnografi pada saat itu. Pada dasarnya konsep pengumpulan koleksi tersebut didasari oleh pandangan orang Eropa terhadap hasil karya artefak (budaya materi) yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa yang hidup dan mendiami wilayah yang sangat jauh letaknya dari benua Eropa sebagai hasil karya eksotik dari bangsa primitif, liar dan hidup dengan norma-norma hidup tradisional, yang sudah tidak dapat dijumpai lagi di benua Eropa. Oleh karena itu, koleksi tersebut perlu dilindungi, dikonservasi dan dirawat oleh museum-museum di Eropa. Akibatnya, museum etnografi di Eropa menempatkan koleksi etnografi sebagai materi budaya yang dihasilkan oleh masyarakat di luar bangsa Eropa (liyan), yang memiliki kebudayaan di level terendah pada tataran evolusi perkembangan kemajuan budaya manusia (Liddchi, 1997: , Classen dan Howes, 2006: 203). Pemahaman semacam ini tampak jelas sekali pada display koleksi etnografi di museum Pitt Rivers, Oxford. Koleksi etnografi di museum Pitt Rivers dipajang menurut tipe bentuk dan fungsi serta wilayah geografisnya. Gambar di atas menunjukkan cara pemajangan bumerang, perisai dan tombak yang dikelompokkan atas dasar wilayah serta urutan perkembangan bentuk dan fungsi 4

5 dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih maju disertai daerah koleksi tersebut berasal (perhatikan gambar 1). Gambar 1: Display koleksi etnografi di Museum Pitt Rivers, Oxford Sumber: Liddchi, 1997: 188 Pemajangan koleksi etnografi di Museum Pitt Rivers dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi perkembangan sejarah kebudayaan yang disusun dari tingkat sederhana menuju ke tingkat yang lebih kompleks (evolusi sosial budaya masyarakat) (Liddchi, 1997: , Classsen dan Howes, 2006: 209). Meskipun demikian, pemajangan koleksi etnografi yang tidak dilengkapi dengan foto, gambar serta konteks budaya tempat koleksi tersebut berasal akan berakibat terjadinya pemajangan yang berorientasi semata-mata terhadap objek (object oriented) (Dean, 1994: 4-5). Koleksi etnografi yang berasal dari luar bangsa Eropa tidak dipandang sebagai hasil karya seni adiluhung. Hal ini disebabkan koleksi etnografi tersebut 5

6 tidak memenuhi kaidah-kaidah karya seni adiluhung menurut konsep Eropa. Sebagai contohnya adalah pameran 300 koleksi artefak kuningan dari kota Benin, Afrika Barat pada tahun 1897 yang diselenggarakan oleh Museum British. Apabila dilihat dari segi teknis dan seni, koleksi kuningan dari kota Benin dapat disejajarkan dengan karya seni logam adiluhung bangsa Eropa. Namun, pada kenyataannya koleksi kuningan tersebut dianggap sebagai anomali perkembangan budaya (koleksi kuningan dibuat oleh nenek moyang bangsa Benin yang berasal dari Mesir, selanjutnya keturunan bangsa Benin yang sekarang dianggap tidak mampu lagi membuat karya adiluhung seperti itu. Padahal, sebagian koleksi artefak kuningan yang dipamerkan di Museum British dibuat pada tahun 1890an oleh keturunan bangsa Benin sekarang). Hal tersebut agar sesuai dengan konsep evolusi sosial budaya masyarakat, yang menempatkan bangsa Afrika di tingkat perkembangan terendah. Kondisi pada pameran 300 koleksi artefak kuningan dari Benin menunjukkan bahwa bangsa Eropa memaksakan konsep ilmu pengetahuannya terhadap pemaknaan koleksi etnografi bangsa liyan (Liddchi, 1997: ). Pemaksaan konsep ilmu pengetahuan bangsa Eropa terhadap display dan pemaknaan koleksi etnografi museum berdampak pada seleksi koleksi etnografi. Koleksi etnografi tersebut akan melalui proses pengeluaran (exclusion) dan pemasukan (inclusion). Dalam proses tersebut, tidak seluruh hasil karya koleksi etnografi dari bangsa liyan dapat dipamerkan dalam pameran museum. Koleksi yang akan ditampilkan dan koleksi yang tidak akan ditampilkan ditetapkan oleh kurator. Sebagai contoh yaitu pameran koleksi artefak kuno dari Assiria pada tahun 1850 di Museum British. Pada pameran tersebut koleksi artefak berupa 6

7 patung dan perhiasan dari Assirian dipamerkan bersamaan dengan koleksi artefak dari Mesir dan Yunani. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa artefak yang dihasilkan dari Assirian bernilai seni tinggi dan teknologi tinggi. Koleksi naskah dari Assirian tidak disertakan dalam pameran karena dianggap bukan merupakan pencapaian peradaban bernilai seni dan teknologi tinggi sebagaimana artefak patung dan perhiasan Assirian yang dipamerkan (Liddchi, 1997: , Bohrer, 1994: 197, ). Foto 1: Pameran Obelisk Hitam dari Assyria di Museum British, Sumber: Frederick York, oracc.museum.upenn.edu Paparan yang telah dikemukakan sebelumnya memperlihatkan bahwa representasi dari koleksi etnografi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya, ekonomi, dan politis. Dalam hal ini koleksi etnografi dari bangsa liyan direpresentasikan sebagai hasil karya budaya eksotik, dari bangsa yang primitif dan sudah tidak dapat ditemukan lagi di benua Eropa. Oleh karena itu koleksi 7

8 etnografi tersebut akan dirawat, dilindungi dan disimpan di dalam museum agar tidak punah, karena di tempat asalnya koleksi tersebut diabaikan dan tidak dirawat oleh pemiliknya. Model museum etnografi seperti ini sudah menjadi model konsep kekuasaan kolonial yang menganggap melindungi hasil karya warisan budaya nenek moyang pribumi/koloni, padahal gagasan tersebut justru menunjukkan legitimasi dominasi kekuasaan kolonial terhadap peradaban pemilik benda etnografi (Classen and Howes, 2006: ). B. Rumusan Masalah Tropenmuseum di Amsterdam, sejak awal pendiriannya sangat terpengaruh ideologi kolonial merupakan museum yang koleksinya dikumpulkan dari negara koloni. Oleh karena itu, representasi koleksi etnografi dari wilayah Indonesia yang terjadi di display Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum perlu dilakukan analisis untuk melihat perbedaan pemaknaan yang masih terjadi pada pameran tersebut. Sebagai langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut maka dapat disusun pertanyaan penelitian: 1. Apa saja koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam? 2. Bagaimana koleksi etnografi yang berasal dari Indonesia direpresentasikan oleh kurator pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam? 3. Mengapa representasi semacam itu dapat terjadi di Tropenmusem, Amsterdam? 8

9 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam. 2. Mengetahui representasi koleksi etnografi yang berasal dari Indonesia di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam. 3. Mengetahui penyebab perbedaan representasi koleksi etnografi dari Indonesia yang terdapat di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam. D. Keaslian Penelitian Pada tahun 1987, J.H Van Brakel melakukan pembahasan mengenai peradaban Jawa Kuno berdasarkan koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan pada Pameran Budaya Indonesia di Tropenmuseum. J.H Van Brakel membahas tentang pengaruh dari India yang membentuk peradaban di Jawa Kuno dengan melihat koleksi-koleksi etnografi dari Indonesia yang terdapat pada Pameran Budaya Indonesia. Dengan mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi yang terpengaruh peradaban India, J.H Van Brakel ingin mendapatkan gambaran mengenai asal-usul peradaban Jawa Kuno (Brakel, 1987: 44-55). Pada tahun yang sama, Wilhelmina Kal mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi dari Indonesia yang berakulturasi dengan kebudayaan barat pada Pameran Budaya Indonesia. Kal melihat akulturasi yang sudah melekat pada 9

10 masyarakat di Indonesia dipaksakan diubah dengan memasukkan kebudayaan barat melalui kekuatan militer. Dengan mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi pada Pameran Budaya Indonesia, Kal mengemukakan akulturasi barat terhadap kerajinan dari Indonesia seperti meja, kursi, perhiasanan, gelang, kalung, dan giwang. (Kal, 1987: 66-77). Pada tahun 2010, Susan Legene dan Jenneke Van Dijk mengulas representasi pada pameran Hindia Belanda Timur: Masa Lalu Kolonial (Netherland East Indies: a Colonial Past). Berdasarkan objek koleksi yang berupa patung, foto, perabotan, lukisan, dan peralatan perkebunan dari masa kolonial, mereka membahas aspek kolonialisme Belanda yang tercermin dari koleksi etnografi dalam konteks sejarah, budaya, dan peninggalan kolonialisme (Legene, 2010: 7). Belum lama berselang, Sudarmadi juga membahas koleksi etnogafis etnik Ngadha dan Manggarai yang dimiliki oleh Tropenmuseum. Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa cara perolehan dan pemajangan koleksi etnografi dari kedua etnik tersebut yang berasal dari tahun 1900 hingga 1988 sangat dipengaruhi oleh perspektif kolonialisme. Melalui penelitian ini diketahui bahwa dalam perspektif kolonial warisan budaya dari Ngadha dan Manggarai dianggap berasal dari masyarakat yang terbelakang/primitif (Sudarmadi, 2014: ). Penelitian yang saya lakukan berbeda dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan koleksi etnografi pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum yang pertama kali dibuat tahun Pada masa tersebut Tropenmuseum telah memposisikan diri sebagai museum pasca-kolonial. Penelitian ini akan diawali dengan 10

11 mendeskripsikan koleksi etnografi Indonesia yang terdapat pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis untuk menemukan representasi Indonesia pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. E. Manfaat Penelitian Dengan menyelesaikan penelitian tentang Representasi Koleksi Etnografi dari Indonesia pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum, Amsterdam dapat memberikan manfaat bagi akademik, pengelola/institusi museum, dan pengunjung, sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu acuan atau referensi bagi para akademisi dalam penelitian tentang representasi pameran di museum. 2. Hasil penelitian dapat dijadikan refleksi bagi pengelola terhadap interpretasi koleksi yang dipamerkan di museum. Melalui refleksi yang berbeda, pihak museum dapat mempertimbangkan interpretasi koleksi pada pameran dengan cara yang berbeda. Hal ini pada akhirnya akan memperkaya penelitian yang dilakukan oleh museum tersebut. 3. Museum dengan interpretasi terhadap koleksi pada pameran dapat mengkonstruksi pola pikir pengunjung terhadap koleksi. Dengan semakin sadarnya pengunjung pada posisi tersebut, pengunjung akan semakin kritis terhadap informasi yang diberikan museum. Hal ini tentunya akan menimbulkan timbal-balik antara pengunjung dan museum, sehingga sangat berguna dalam pengelolaan museum. 11

12 F. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif-analitik. Metode dekriptif-analitik dapat diartikan sebagai usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data kemudian diadakan analisis dan interpretasi terhadap data tersebut sehingga memberikan gambaran yang komprehensif (Susanto, 1985: 32). Sesuai dengan metode ini, tahap penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: a. Data Koleksi Museum, i. Pengumpulan data koleksi berupa survei pameran. Survey dilakukan untuk mendapatkan foto dari display, label dan koleksi yang terdapat di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. ii. Penelusuran database digital (TMS) yang dimiliki Tropenmuseum. Penelusuran database digital berguna untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang koleksi yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Data yang diambil melalui database museum berupa foto koleksi dan arsip dari masing-masing koleksi. b. Informasi Tropenmuseum dan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual i. Wawancara dengan narasumber. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan alur cerita dibalik perancangan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Narasumber untuk wawancara terdiri dari kurator yang menguasai Pameran Asia Tenggara dan 12

13 orang yang dianggap ahli dan mengenal koleksi dan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. ii. Studi pustaka. Data yang didapatkan dari kajian pustaka berupa buku-buku yang terkait dengan teori pemaknaan koleksi, sejarah dan peta Tropenmuseum, gambaran bangunan Tropenmuseum dan koleksi pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. 2. Pemaknaan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual Konteks sejarah dan kultural dari koleksi etnografi yang dipamerkan sangat penting bagi peneliti untuk memaknai Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Adapun langkah untuk mencapai hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Mengkaji alur cerita tiap-tiap bagian berdasarkan label dan hasil wawancara. b. Alur cerita dari tiap-tiap bagian tadi dibandingkan dengan data koleksi untuk mengetahui konteks sejarah dan konteks budaya dari koleksi etnografi yang dipamerkan. Data koleksi etnografi didapat dari database museum yang berisi sejarah koleksi, asal koleksi, dan deskripsi koleksi. c. Menelusuri tahap pemaknaan koleksi etnografi sejak koleksi dikumpulkan oleh para pengumpul sampai dipamerkan di museum oleh para kurator. Penelusuran makna koleksi dilakukan sesuai dengan kondisi sosial budaya yang berkembang pada saat kurator memamerkan di museum sehingga diketahui latar belakang pemaknaan yang dilakukan oleh kurator. 13

14 d. Melakukan interpretasi penyebab perbedaan pemaknaan yang terjadi sesuai dengan konteks sejarah dan budaya koleksi etnografi yang dipamerkan. 3. Kesimpulan Pada bagian ini, hasil pemaknaan representasi Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual akan digunakan untuk merumuskan saran. 14

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh.

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh. BAB V PENUTUP Setelah dilakukan penelitian secara cermat dan mendalam dapat diketahui bahwa pemaknaan koleksi di Pameran Asia Tenggara memiliki perbedaan dengan makna koleksi tersebut dalam konteks budaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koleksi pribadi, keluarga bangsawan atau institusi seni. Barang yang dipamerkan

BAB 1 PENDAHULUAN. koleksi pribadi, keluarga bangsawan atau institusi seni. Barang yang dipamerkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Museum tradisional di Eropa pada awalnya merupakan tempat pameran koleksi pribadi, keluarga bangsawan atau institusi seni. Barang yang dipamerkan berupa benda yang dianggap

Lebih terperinci

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI Matakuliah : Agama (Islam, Kristen, Khatolik)* Deskripsi :Matakuliah ini mengkaji tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan hidup sebuah bangsa dan menyimpan berbagai karya luhur nenek moyang kita yang mencerminkan kekayaan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Sejarah Seni Rupa Prasejarah Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Teknik Perencanaan & Desain Desain Produk 01 Kode MK Abstract Seni rupa dapat dikatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh masyarakat khusunya generasi muda. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi membuat bangunan-bangunan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM 2.1 Pengertian dan Sejarah Museum Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan untuk mengumpulkan, merawat,

Lebih terperinci

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi BAB II DATA DAN ANALISA 2. 1 Data dan Literatur Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh dari: 1. Media elektronik: Internet 2. Literatur: Koran, Buku 3. Pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Keadaan Museum di Indonesia Keberadaan museum di dunia dari zaman ke zaman telah melalui banyak perubahan. Hal ini disebabkan oleh berubahnya fungsi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah

Lebih terperinci

pokok arti atau hakekat arti Art Gallery, yaitu : merupakan

pokok arti atau hakekat arti Art Gallery, yaitu : merupakan BAB III GALERI SENI LUKIS DI YOGYAKARTA 3.1. Pengertian Ada beberapa pengertian Galeri Seni (Art Gallery) yang antara lain : a. Menurut Amri Yahya.10 Galeri Seni adalah suatu tempat pemajangan benda-benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

BAB 5. Kesimpulan dan Saran

BAB 5. Kesimpulan dan Saran BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Pedagogi di museum melibatkan penciptaan narasi di museum dan bagaimana museum menyampaikan narasinya tersebut kepada pengunjung. Tidak adanya pedagogi di museum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempromosikan museum-museum tersebut sebagai tujuan wisata bagi wisatawan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempromosikan museum-museum tersebut sebagai tujuan wisata bagi wisatawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kaya akan keragaman warisan sejarah, seni dan budaya yang tercermin dari koleksi yang terdapat di berbagai museum di Indonesia. Dengan tujuan untuk mempromosikan

Lebih terperinci

Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom.

Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Fase Kedua Fase Keempat Sebelum tahun 1800 Pertengahan abad ke 19 Permulaan abad ke 20 Sesudah tahun 1930 Fase Pertama Fase Ketiga Akhir abad 15, bangsa Eropa melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, alam dan sejarah peninggalan dari nenek moyang sejak zaman dahulu, terbukti dengan banyaknya ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku dengan aneka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku dengan aneka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku dengan aneka adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Proses sejarah yang panjang serta kondisi geografis

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 103 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Museum Taman Prasasti adalah salah satu museum di Jakarta yang mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri. Daya tarik tersebut berupa lokasi museum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal-usul (keturunan) silsilah, terutama bagi rajaraja yang memerintah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. Perkembangan suatu kota dari waktu ke waktu selalu memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul 1.2 Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul 1.2 Pengertian Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Dasar Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (DP3A) ini mengambil judul Museum Telekomunikasi di Surakarta. Berikut ini adalah pengertian dari judul tersebut. 1.2 Pengertian

Lebih terperinci

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 6 MALANG

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 6 MALANG UKBM 3.1/4.1/1/1-1 BAHASA INDONESIA PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR DINAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 6 MALANG UNIT KEGIATAN BELAJAR BIN 3.1/4.1/1/1-1 PENTINGKAH LAPORAN HASIL OBSERVASI Kompetensi

Lebih terperinci

MUSEUM GERABAH NUSANTARA Penerapan arsitektur bangunan berbahan gerabah pada bentuk bangunan

MUSEUM GERABAH NUSANTARA Penerapan arsitektur bangunan berbahan gerabah pada bentuk bangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Batasan Pengertian Judul Museum :Gedung yg digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN

Lebih terperinci

PEMETAAN STANDAR ISI

PEMETAAN STANDAR ISI PEMETAAN STANDAR ISI MATA PELAJARAN KELAS / SEMESTER : SEJARAH : X I IPS / I STANDART KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR THP INDIKATOR THP MATERI POKOK 1. Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara

Lebih terperinci

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME KOLONIALISME DAN IMPERIALISME Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung merupakan kota yang identik dengan pariwisata, mulai dari wisata alam, wisata kuliner, wisata belanja, wisata tempat bersejarah, dan masih banyak lagi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peninggalan sejarah merupakan suatu warisan budaya yang menceritakan keluhuran dari suatu budaya masyarakat. Peninggalan sejarah yang tersebar di seluruh kepulauan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 88 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari seluruh uraian bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan hasil penelitian ini sebagai berikut : 1. Dari segi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia dan merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat yang banyak menyimpan berbagai sejarah serta memiliki kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melarat, dan mereka yang berada ditengah tengahnya. Uraian yang dikemukakan Aristoteles itu

BAB I PENDAHULUAN. melarat, dan mereka yang berada ditengah tengahnya. Uraian yang dikemukakan Aristoteles itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak terjadi perubahan dalam kehidupan, kehidupan yang berlangsung di dunia bersifat dinamis. Namun, kita dapat mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

GALERI SENI UKIR BATU PUTIH. BAB I.

GALERI SENI UKIR BATU PUTIH. BAB I. BAB I. GALERI SENI UKIR BATU PUTIH. Pendahuluan BATU PUTIH. GALERI SENI UKIR BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang a. Kelayakan Proyek Daerah Istimewa Yogyakarta secara geografis berada di pesisir pantai

Lebih terperinci

menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah

menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah jajahan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pelemahan maskulinitas lakilaki India dalam Caroline aux Indes sebagai bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas permuseuman kini makin berkembang sebagai akibat dari terjadinya perubahan paradigma. Apabila pada awalnya aktivitas permuseuman berpusat pada koleksi,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Indonesia adalah sebuah Negara yang kaya akan sejarah yang dimilikinya. Sebelum terbentuknya NKRI, daratan di Indonesia banyak terdiri dari kerajaan-kerajaan yang tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah bangsa dan menyimpanan berbagai karya luhur nenek moyang kita yang

BAB I PENDAHULUAN. sebuah bangsa dan menyimpanan berbagai karya luhur nenek moyang kita yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Museum merupakan tempat sangat bernilai dalam perjalanan hidup sebuah bangsa dan menyimpanan berbagai karya luhur nenek moyang kita yang mencerminkan kekayaan

Lebih terperinci

RANCAK KECAK PASOLA DI PURA LUHUR ULUWATU PERANG SAMBIL BERKUDA MEMBER OF INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIR NOVEMBER 2017 NOVEMBER 2017

RANCAK KECAK PASOLA DI PURA LUHUR ULUWATU PERANG SAMBIL BERKUDA MEMBER OF INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIR NOVEMBER 2017 NOVEMBER 2017 THE Inflight Magazine of Batik Air NOVEMBER 2017 RANCAK KECAK DI PURA LUHUR ULUWATU PASOLA PERANG SAMBIL BERKUDA TIDAK DIBAWA PULANG MEMBER OF i { ART } 40 NATEE UTARIT Kritik untuk Kapitalisme dan Modernisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Museum merupakan simbol budaya yang menandai perkembangan, akulturasi, danciri khas budaya tertentu.perkembangan informasi saat ini dizaman modern sangat berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah merupakan hal penting dalam berbangsa karena sejarah adalah bagian dari kehidupan yang dapat dijadikan sebuah pelajaran untuk menjadi bangsa yang lebih baik.

Lebih terperinci

menciptakan sesuatu yang bemilai tinggi (luar biasa)1. Di dalam seni ada

menciptakan sesuatu yang bemilai tinggi (luar biasa)1. Di dalam seni ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan 1.1.1 Perkembangan Kegiatan Seni Rupa di Yogyakarta Sejak awal perkembangan seni, Yogyakarta adalah merupakan pusat seni budaya Indonesia, dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta adalah kota yang sedang mengalami perkembangan pada sektor perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun dimana-mana. Akan

Lebih terperinci

PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA)

PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA) PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA) Oleh : Drs. Hery Santosa, M.Sn. Drs. Tapip Bahtiar, M.Ds. SK/KD EKSPRESI DIRI STANDAR KOMPETENSI Mengekspresikan diri melalui karya seni kriya KOMPETENSI DASAR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan adalah kekayaan warisan yang harus tetap dijaga, dan dilestarikan dengan tujuan agar kebudayaan tersebut bisa bertahan terus menerus mengikuti perkembangan

Lebih terperinci

JAN HUYGEN VAN LINSCHOTEN: MEMBUKA JALAN BAGI MASUKNYA BELANDA KE NUSANTARA

JAN HUYGEN VAN LINSCHOTEN: MEMBUKA JALAN BAGI MASUKNYA BELANDA KE NUSANTARA JAN HUYGEN VAN LINSCHOTEN: MEMBUKA JALAN BAGI MASUKNYA BELANDA KE NUSANTARA Pada abad 15 di Eropa telah berkembang dua super power maritim dari Semanjung Iberia yakni Portugis dan Spanyol. Kapal-kapal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan sosial budaya. Jenis pariwisata ini dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG 1.1 MUSEUM Dalam suatu lingkaran kehidupan tentu ada yang mati dan ada yang lahir, bertahan hidup dan mati meninggalkan dunia. Seni dan budaya yang tumbuh bersama manusia

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBELAJARAN DAN PELESTARIAN TENUN DI MUSEUM

BAB 5 PEMBELAJARAN DAN PELESTARIAN TENUN DI MUSEUM 102 BAB 5 PEMBELAJARAN DAN PELESTARIAN TENUN DI MUSEUM 5.1 Museum dan Pembelajaran Tenun NTT Saat ini museum mulai berkembang dari hanya memamerkan koleksi hingga dapat memberikan kesempatan pengunjung

Lebih terperinci

Perkembangan Alas Kaki Manusia

Perkembangan Alas Kaki Manusia Perkembangan Alas Kaki Manusia Oleh: Agung Wicaksono Staf Pengajar Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta Email: jokja09@gmail.com Pendahuluan Pemahaman desain alas kaki tidak terpisah dari pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki sekitar 500 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh kebudayaan India,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanpa terasa Bandung sudah memasuki usianya yang lebih dari 200 tahun. Sebuah perjalanan yang sangat panjang dari wilayah yang sebelumnya merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penjajahan Belanda di Indonesia membawa pengaruh penting bagi aspek

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penjajahan Belanda di Indonesia membawa pengaruh penting bagi aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penjajahan Belanda di Indonesia membawa pengaruh penting bagi aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Seperti aspek ekonomi, religi, seni, filsafat, dan termasuk juga

Lebih terperinci

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA by: Dewi Triwahyuni INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT COMPUTER UNIVERSITY OF INDONESIA (UNIKOM) BANDUNG 2013 1 SOUTHEAST ASIA (SEA) 2 POSISI GEOGRAFIS

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588). BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional Oleh : Andy Wijaya NIM :125110200111066 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sangat kaya dengan seni pertunjukan tradisional, setiap daerah memiliki beragam seni pertunjukan tradisi, dan ini merupakan ritual yang bermakna kultural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan yang masih dapat terlihat sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 )

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 ) PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 ) DOSEN PENGAMPU: ARDIANSYAH, S.T, M.T PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI 23/2/2017 MATERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pelestarian budaya bukan hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Negara Indonesia ini banyak sekali terdapat benda-benda

BAB I PENDAHULUAN. Di Negara Indonesia ini banyak sekali terdapat benda-benda 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini banyak sekali terdapat benda-benda peninggalan bersejarah dan purbakala yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa ini. Peninggalan

Lebih terperinci

L2B Ahmad Farid R Museum Armada TNI AngkatanLaut Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

L2B Ahmad Farid R Museum Armada TNI AngkatanLaut Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya berupa perairan. Nenek moyang bangsa Indonesia juga pada mulanya bermigrasi dari daratan China Selatan

Lebih terperinci

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungan nya. menunjang

Lebih terperinci

METODE SEJARAH. Presentasi Oleh HY Agus Murdiyastomo

METODE SEJARAH. Presentasi Oleh HY Agus Murdiyastomo METODE SEJARAH Presentasi Oleh HY Agus Murdiyastomo PERTEMUAN PERTAMA What is history? Arti Sejarah Subjektif Sejarah Sebagai Kisah Objektif Sejarah Sebagai Peristiwa Peristiwa Einmalig Hanya sekali terjadi,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pesisir Timur pantai Sumatera Utara sejak abad ke-13, merupakan tempat persinggahan bangsa-bangsa asing dan lintas perdagangan. Bangsa India dan Arab datang dengan

Lebih terperinci

Fase Perkembangan Ilmu Antropologi. Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom.

Fase Perkembangan Ilmu Antropologi. Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Fase Perkembangan Ilmu Antropologi Oleh : Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Secara Universal Fase Pertama, sebelum tahun 1800 Fase Kedua, pertengahan abad ke 19 Fase Ketiga, permulaan abad ke 20 Fase Keempat,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menghadiolkan kesimpulan sebagai berikut: ini, mengandung simbol-simbol dari mitologi kuno yang seringkali digunakan

BAB V PENUTUP. menghadiolkan kesimpulan sebagai berikut: ini, mengandung simbol-simbol dari mitologi kuno yang seringkali digunakan BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah semua tahap penelitian dilakukan, mulai dari pembuatan proposal penelitian, kemudian pengkajian teori, sampai dengan pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab I pendahuluan dibahas mengenai latar belakang dari perancangan sebuah Museum seni karikatur dan patung di Tabanan dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan, serta metode penelitian.

Lebih terperinci

ABSTRAK KAJIAN AKULTURATIF INTERIOR ISTANA MAIMUN DI MEDAN-SUMATERA UTARA (Periode Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah, )

ABSTRAK KAJIAN AKULTURATIF INTERIOR ISTANA MAIMUN DI MEDAN-SUMATERA UTARA (Periode Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah, ) ABSTRAK KAJIAN AKULTURATIF INTERIOR ISTANA MAIMUN DI MEDAN-SUMATERA UTARA (Periode Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah, 1873-1924) Oleh NOVALINDA NIM : 27105006 Istana Maimun merupakan salah satu peninggalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Pulau Jawa. Tingkat kehidupan Jakarta dan sekitarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri pada akhir dekade pertama abad ke-19, diresmikan tanggal 25 September 1810. Bangunan

Lebih terperinci

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar Wawasan Kebangsaan Dewi Fortuna Anwar Munculnya konsep Westphalian State Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun antar agama Katholik Roma dan Protestan di Eropa melahirkan konsep Westphalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber devisa negara. Industri yang mengandalkan potensi pada sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sumber devisa negara. Industri yang mengandalkan potensi pada sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata merupakan suatu industri yang diandalkan oleh banyak negara di dunia. Mereka menggunakan pariwisata sebagai penyokong perekonomian dan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 64 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian tradisi lisan merupakan obyek kajian yang cukup kompleks. Kompleksitas kajian tradisi lisan, semisal upacara adat dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. 2.1 SUMBER DATA Adapun sumber data yang akan digunakan untuk proyek tugas akhir ini berasal dari :

BAB 2 DATA DAN ANALISA. 2.1 SUMBER DATA Adapun sumber data yang akan digunakan untuk proyek tugas akhir ini berasal dari : 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 SUMBER DATA Adapun sumber data yang akan digunakan untuk proyek tugas akhir ini berasal dari : Internet Wawancara dengan owner Survey terhadap target audience 2.2 DATA UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dalam ruang lingkup budayannya masing-masing. Budaya yang beraneka ragam ini menunjukan bahwa

Lebih terperinci

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI JAVA HERITAGE CENTER

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI JAVA HERITAGE CENTER TUGAS AKHIR 111 PERIODE APRIL SEPTEMBER 2010 LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI JAVA HERITAGE CENTER OLEH : RAGIL RINAWATI NIM : L2B 006 067 DOSEN PEMBIMBING

Lebih terperinci

BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia

BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia Panggah Ardiyansyah panggah.ardiyansyah@kemdikbud.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Sri Baduga merupakan Museum umum yang di dalamnya terdapat koleksi peninggalan sejarah ilmu, seni, dan budaya yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Museum Sri Baduga merupakan Museum umum yang di dalamnya terdapat koleksi peninggalan sejarah ilmu, seni, dan budaya yang ada di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Museum adalah suatu tempat yang menyimpan benda-benda bersejarah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran dan pariwisata. Menurut KBBI edisi IV,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi dialihkan oleh Kerajaan Sunda/Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang. Artinya, Kerajaan

Lebih terperinci

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible)

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible) KEBUDAYAAN Budaya Benda (Tangible) Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau

Lebih terperinci

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni kriya sebagai bagian yang tumbuh dan berkembang bersama

BAB I PENDAHULUAN. Seni kriya sebagai bagian yang tumbuh dan berkembang bersama 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni kriya sebagai bagian yang tumbuh dan berkembang bersama kehidupan masyarakat mempunyai andil besar dalam menopang perekonomian. Hasil yang diperoleh umumnya

Lebih terperinci

1.1.2 Perpustakaan dan Museum Budaya Sebagai Fasilitas Belajar Budaya

1.1.2 Perpustakaan dan Museum Budaya Sebagai Fasilitas Belajar Budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Indonesia dan Yogyakarta Kaya akan Budaya Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman hasil kebudayaan. Keanekaragaman hasil kebudayaan itu bisa dilihat dari wujud hasil kebudayaan

Lebih terperinci

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona No.1421, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LIPI. Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG MUSEUM NASIONAL

Lebih terperinci

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD) KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA No (IPK) 1 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual Memahami karakteristik peserta

Lebih terperinci

Hubungan Arsitektur dan Budaya. Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010

Hubungan Arsitektur dan Budaya. Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010 Hubungan Arsitektur dan Budaya Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010 Budaya dan Peradaban Budaya: Totalitas dari pola-pola perilaku yang terproyeksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257.

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257. BAB VI HASIL PERANCANGAN Revitalisasi kawasan wisata makam Kartini ini berlandaskan pada konsep simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257. Nilai-nilai Islam yang terkandung

Lebih terperinci

BAB 10 PROSES KEDATANGAN DAN KOLONIALISME BANGSA BARAT DI INDONESIA

BAB 10 PROSES KEDATANGAN DAN KOLONIALISME BANGSA BARAT DI INDONESIA BAB 10 PROSES KEDATANGAN DAN KOLONIALISME BANGSA BARAT DI INDONESIA TUJUAN PEMBELAJARAN Dengan mempelajari bab ini, kamu diharapkan mampu: mendeskripsikan sebab dan tujuan kedatangan bangsa barat ke Indonesia;

Lebih terperinci

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau MATERI USBN SEJARAH INDONESIA PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SEJARAH 1. PENGERTIAN SEJARAH Istilah Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti Pohon. Penggunaan kata tersebut dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan merawat Benda Cagar

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan merawat Benda Cagar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Benda Cagar Budaya merupakan benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

ARSITEKTUR, ARSITEK DAN PENGGUNA

ARSITEKTUR, ARSITEK DAN PENGGUNA ARSITEKTUR, ARSITEK DAN PENGGUNA PENGANTAR ARSITEKTUR MINGGU - 4 TIM DOSEN : AP, LS, VW, RN, OI, SR JENIS ARSITEKTUR MENURUT BRUCE ALLSOP (1980) ARSITEKTUR RAKYAT (Folk Architecture) Karya arsitektur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebudayaan Jawa dengan mengacu pada buku History Of Java dan membandingkannya

I. PENDAHULUAN. kebudayaan Jawa dengan mengacu pada buku History Of Java dan membandingkannya I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Gagasan penelitian ini timbul karena suatu keinginan penulis untuk memahami kebudayaan Jawa dengan mengacu pada buku History Of Java dan membandingkannya dengan

Lebih terperinci