PENDAHULUAN. laut yang sangat besar untuk dikembangkan, luas potensi budidaya laut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN. laut yang sangat besar untuk dikembangkan, luas potensi budidaya laut"

Transkripsi

1 BAB I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi budidaya laut yang sangat besar untuk dikembangkan, luas potensi budidaya laut diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan ± 1,10 juta Ha, diantaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut Eucheuma cottonii dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per Ha (BEI News, 2005; ADB, 2006 dalam Bank Indonesia 2006). Total produksi rumput laut nasional saat ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut data sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi rumput laut nasional pada tahun 2014 mencapai 10,2 juta ton atau meningkat lebih dari tiga kali lipat. Produksi rumput laut pada tahun 2010 hanya berkisar diangka 3,90 juta ton (Pusat Data Statistik dan Infromasi KKP, 2015). Pemerintah menargetkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2019 mencapai sekitar 31,32 juta ton atau meningkat hingga lebih dari 100 persen dari hasil produksi perikanan budidaya yang ada saat ini, yang terdiri atas 22,17 juta ton rumput laut dan 9,15 juta ton ikan (Winarto, 2015). Berdasarkan strategi rencana induk pembangunan industri nasional tahun terdapat 3 (tiga) tahap pembangunan industri rumput laut untuk jangka waktu 20 tahun kedepan. Tahap Pertama, pada periode tahun yang merupakan tahap awal, diarahkan pada peningkatan utilisasi dan penambahan investasi baru. Tahap

2 2 kedua, periode tahun bersama dengan industri pengolahan hasil laut lainnya diarahkan pada pengembangan pangan fungsional berbasis limbah industri hasil laut. Tahap ketiga, periode industri pengolahan rumput laut telah menjadi bagian dari industri pangan fungsional dan suplemen serta pure carrageenan beserta turunannya. Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 2007 telah mencanangkan bahwa Sulawesi Tengah menjadi Provinsi Rumput Laut Tahun 2011, melalui Program Gema Biru (Gerakan massal budidaya rumput laut). Pada tahun 2009, Sulawesi Tengah berada di urutan ketiga penghasil rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Produksi ,90 Ton Basah Share : 0,35% Produksi ,70 Ton Basah Share : 18,96% Produksi ,20 Ton Basah Share : 80,68% Gambar 1.1. Grand Strategy Pengembangan Klaster Rumput Laut Menuju Provinsi Rumput Laut 2011 (Paliudju, H. B., 2011)

3 3 Strategi yang dilakukan untuk menjadi provinsi rumput laut selain membagi Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) klaster seperti pada Gambar 1.2, strategi lainnya adalah dengan memberikan dukungan anggaran yang berpihak pada sektor kelautan dan perikanan. Rumput laut juga menjadi salah satu industri unggulan Provinsi Sulawesi Tengah di dasarkan atas pertimbangan hasil analisa terhadap kondisi dan potensi ekonomi daerah antara lain sumbangan nilai rumput laut terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, investasi dan potensi pengembangan yang berkelanjutan terkait dengan industri inti, industri penunjang penunjang, dan industri terkait lainnya. Dan dalam rangka pengembangan industri unggulan daerah Provinsi Sulawesi Tengah maka disusun peta panduan (road map) tentang pengembangan industri unggulan pengolahan rumput laut yang di tetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 139/M-IND/PER/10/2009 seperti pada Gambar 1.3 dan secara rinci di jabarkan pada Tabel 1.1. Gambar 1.2. Peta Panduan Pengembangan Industri Unggulan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Komoditi Rumput Laut (Kementerian Perindustrian, 2010)

4 4 Tabel 1.1. Sasaran, Strategi dan Pokok-Pokok Rencana Tindak Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut Sebagai Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Tengah Industri Inti Industri Penunjang Industri Terkait Petani, Industri Mesin Pengolahan Rumput Makanan, Minuman dan Peralatan, Industri Kemasan, Laut Farmasi dan Jasa Transportasi. Sasaran Jangka Menengah (Tahun ) 1. Terjalinnya Kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi 2. Meningkatnya kualitas rumput laut yang di hasilkan petani. 3. Mendirikan unit-unit percontohan pengolahan SRC di sentra penghasil rumput laut 4. Terjalinnya kemitraan antar petani dengan industri pengolahan rumput laut 5. Tumbuhnya industri pengolahan berbasis rumput laut 6. Tumbuhnya ekspor rumput laut olahan ke berbagai negara Sasaran jangka Panjang ( ) 1. Meningkatkan kerja sama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi 2. Berkembangnya IKM Pengolahan Rumput Laut 3. Meningkatnya ekspor rumput laut olahan ke berbagai negara Sektor : Strategi Diversifikasi produk rumput laut untuk komunitas IKM rumput laut olahan, peningkatan R&D terhadap rumput laut untuk komunitas IKM maupun ekspor. Teknologi : Penguasaan teknologi proses pengolahan rumput laut dengan mutu tinggi, mendorong tumbuhnya modifikasi teknologi pengolahan rumput laut. Pokok-Pokok Rencana Tindak Jangka Menengah ( ) 1. Meningkatkan mutu rumput laut dan rumput laut olahan melalui : Penerapan SNI Peningkatan teknologi 2. Meningkatkan kerjasama dan kemitraan antara petani dengan pengusaha industri 3. Mendorong investasi Industri Pengolahan Rumput Laut melalui : Promosi investasi Menumbuhkan Unit Usaha Keragenan dan Rumput Laut Olahan Menciptakan iklim usaha yang kondisif (insentif, perizinan, dan fiskal)

5 5 4. Meningkatkan kualitas SDM melalui diklat, magang dan lain-lain. 5. Meningkatkan koordinasi dengan stakeholder 6. Membangun fasilitas pengeringan rumput laut dan keragenan di sentra-sentra produksi. 7. Membangun kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut. Pokok-Pokok Rencana Tindak Jangka Panjang ( ) 1. Pengembangan infrastruktur yang mendukung pengembangan rumput laut 2. Mengembangkan industri berbasis rumput laut 3. Mengembangakan riset dan teknologi untuk industri rumput laut olahan. Lanjutan Kabupaten Morowali terletak di pesisir teluk tolo adalah salah satu sentra produksi rumput laut di Sulawesi Tengah yang menjadi salah satu lokasi percontohan pengembangan kawasan minapolitan. Minapolitan merupakan integrasi konsep Revolusi Biru, yaitu perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke maritim dengan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka peningkatan produksi kelautan dan perikanan. Minapolitan rumput laut dapat didefinisikan menjadi suatu kawasan pengembangan ekonomi berbasis perikanan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta dan organisasi non pemerintah di suatu wilayah atau kawasan yang ditetapkan untuk mengembangkan bisnis rumput laut, untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja. Lokasi pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Morowali ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati nomor: /SK.0157/DKPD /III/2011 dan Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) berdasarkan Keputusan Bupati nomor: /SK.0158/DKPD/III/2011.

6 6 Berdasarkan masterplan pengembangan rumput laut di Sulawesi Tengah luas kesesuaian lahan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah seluas ,830 Ha. Pada perairan pesisir Teluk Tolo, Kabupaten Morowali merupakan lokasi dengan luas kesesuaian lahan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii seluas ,83 Ha, yang terdiri atas kategori sangat sesuai dengan luas 5.373,11 Ha dan kategori sesuai dengan luas ,72 Ha. Daerah dengan luas kesesuaian lahan budidaya terbesar adalah kecamatan Bungku Selatan dengan luas ,97 Ha, diikuti oleh kecamatan Menui Kepulauan dengan luas ,09 Ha, kecamatan Bumi Raya dengan luas ,68 Ha dan kecamatan Witaponda dengan luas 5.246,16 Ha, secara rinci di seperti yang di sajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Luas Wilayah Administrasi, Luas Lahan Budidaya, Kategori Lahan dan Luas Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali (DKP Sulteng, 2012) No 1 Kecamatan Menui Kepulauan Luas Wilayah (Km2) 2 Bungku Selatan 403,90 3 Bungku Pesisir 867,29 Luas Lahan Budidaya (Ha) 223, , ,97 Kategori Lahan Luas Kesesuaian Lahan (Ha) Sangat Sesuai 3.327,62 Sesuai ,47 Sangat Sesuai 1.863,65 Sesuai ,32 4 Bahodopi 1.080, ,84 Sesuai 4.162,84 5 Bungku Tengah 725,57 6 Bungku Timur 387, ,34 Sesuai 6.633,34 7 Bungku Barat 758, ,75 8 Bumi Raya 504, ,68 Sangat Sesuai 3,16 Sesuai 4.301,59 Sangat Sesuai 60,38 Sesuai ,30

7 7 Lanjutan.. 9 Witaponda 519, ,16 Sangat Sesuai 118,30 Sesuai 5.127,86 Jumlah 5.472, , ,83 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah dalam Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah, melakukan penentuan indeks dan status keberlanjutan pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah menggunakan pendekatan 5 (lima) dimensi yaitu dimensi ekologi/bahan baku, dimensi sosial budaya, dimensi ekonomi, dimensi teknologi/infrastruktur dan dimensi kelembagaan/hukum. Sedangkan pembangunan rumput laut mengintegrasikan dari hulu sampai hilir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yaitu Zona 1 adalah Budidaya Rumput Laut, Zona 2 adalah Pascapanen dan Zona 3 adalah Industri Pengolahan. Kondisi keberlanjutan dan atribut penting berdasarkan setiap dimensi dan zona dari 9 kabupaten dan 1 kota di Sulawesi Tengah.

8 Ekologi Sosbud Ekonomi Teknologi/ Infrastruktur Kelembagaan /Hukum Bahan Baku Sosbud Ekonomi Teknologi/ Infrastruktur Kelembagaan /Hukum Bahan Baku Sosbud Ekonomi Teknologi/ Infrastruktur Kelembagaan /Hukum 8 Tabel 1.3 Posisi Indeks Keberlanjutan Industri Rumput Laut Per Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah (DKP Sulteng, 2012) No. Kabupaten/Kota Zona 1 (Budidayaa) Zona 2 (Pasca Panen) Zona 3 (Industri Pengolahan Hasil) 1. Palu 16,69 53,16 33,79 7,89 22,03 51,41 57,16 62,14 36,85 47,40 67,13 63,78 34,39 78,76 85,02 2. Donggala 46,56 50,09 51,67 26,54 29,01 29,76 63,08 62,14 47,39 47,39 36,29 56,81 34,39 72,25 37,10 3. Parigi Moutong 54,97 49,49 51,84 26,54 41,30 56,56 54,46 53,77 56,82 49,79 42,13 52,99 55,75 73,98 51,90 4. Tolitoli 46,56 50,09 31,37 26,54 30,35 29,76 58,76 50,23 25,55 24,53 36,29 48,51 34,39 38,71 34,02 5. Buol 46,56 50,09 34,09 26,54 30,35 29,76 58,76 50,23 25,55 24,53 36,29 48,51 26,00 38,71 34,02 6. Poso 33,92 47,08 40,19 19,12 26,30 29,76 48,76 43,79 11,63 29,76 42,13 52,99 32,15 58,19 41,49 7. Tojo Una-Una 38,00 48,85 40,19 19,12 34,58 29,76 48,76 43,79 31,09 29,76 42,13 52,99 49,51 62,56 46,53 8. Banggai 46,34 48,44 51,84 26,54 46,72 56,56 52,08 62,14 80,48 47,39 59,70 79,74 83,94 70,55 70,24 9. Banggai Kepulauan 75,89 46,76 55,10 46,77 45,05 67,69 52,61 62,14 38,28 37,62 50,25 60,10 44,91 41,05 47, Morowali 88,91 46,64 50,13 63,50 33,77 79,72 56,00 65,53 25,55 26,88 60,14 67,48 36,47 30,91 27,23 Keterangan : = 75,00 100,00 : (Sangat Berkelanjutan) = 50,00 74,99 : (Cukup Berkelanjutan) = 00,00 49,99 : (Tidak Berkelanjutan) Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah

9 9 Pada Tabel 1.3, diantara 10 kabupaten/kota hanya kabupaten Morowali yang memiliki Zona 1 dan Zona 2 berwarna hijau pada dimensi ekologi dan bahan baku atau status sangat berkelanjutan. Pada Zona 1, faktor yang mendukung keberlanjutan dimensi ekologi meliputi kesesuaian lahan budidaya, potensi sumberdaya, pengaruh musim, ketetapan umur panen selama 45 hari, dan biota pengganggu. Sedangkan pada Zona 2, faktor yang mendukung keberlanjutan dimensi bahan baku meliputi keberadaan bantuan modal, ketepatan umur panen (45 hari) dan jaminan kualitas bahan baku, sehingga diharapkan kabupaten Morowali akan menjadi pusat pengembangan budidaya rumput laut dan juga terbuka kemungkinan untuk mengembangkan kegiatan pada Zona 3 dalam hal industri pengolahan rumput laut dan industri pengolahan hasil rumput laut serta perdagangan di Sulawesi Tengah. Pada Zona 3 faktor yang mendukung pengembangan industri rumput laut dengan status cukup berkelanjutan adalah dimensi bahan baku meliputi faktor dukungan memperoleh bahan baku dari kabupaten/kota sekitar, faktor kemudahan memperoleh bahan baku, dan faktor fluktuasi kualitas dan dimensi sosial budaya meliputi faktor toleransi masyarakat, faktor ketersediaan SDM lokal, dan faktor konflik sosial. Dimensi bahan baku dan sosial budaya pada Zona 3 di kabupaten Morowali dengan status cukup berkelanjutan sangat sesuai untuk mendukung pengembangan rumput laut sehingga diperlukan pengembangan sistem penguatan yang dapat menjadi indikator pengungkit dalam rangka kestabilan kualitas dan

10 10 ketersediaan bahan baku yang sesuai SNI baik untuk kebutuhan industri pengolahan (agroindustri keragenan) dan industri hilir. Kabupaten Morowali di tetapkan sebagai salah satu Kawasan Minapolitan Perikanan Budidaya berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI nomor: 35/KEPMEN-KP/2013. Berdasarkan data statistik perikanan budidaya Kabupaten Morowali, pada tahun 2011 pemanfatan lahan aktifitas budidaya rumput laut seluas Ha atau meningkat sebesar 52,77 % dari tahun sebelumnya. Pada Tahun 2012, pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut mengalami penurunan sebesar 6,89 % atau menjadi Ha. Pada Tahun 2013, pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut meningkat sebesar 15,65 % atau mencapai Ha atau sebesar 5,98 % dari total kesesuaian lahan pengembangan rumput laut pada kawasan minapolitan. Dan pada tahun 2014 data sementara sampai pada Triwulan III, terjadi penurunan pemanfaatan kesesuaian lahan sebesar 83,80% di bandingkan dengan tahun sebelumnya dengan luas Ha dengan produksi sebesar ton basah. Perkembangan produksi dan kontribusi produksi rumput laut Kabupaten Morowali terhadap Sulteng dan nasional serta perkembangan kontribusi produksi rumput laut Sulteng terhadap nasional seperti yang di sajikan pada Tabel 1.4.

11 11 Tabel 1.4. Luas Pemanfataan Lahan Budidaya, Produksi, dan Produktifitas Rumput Laut Eucheuma cottoni Kabupaten Morowali, Produksi Rumput Laut Eucheuma cottoni Sulawesi Tengah dan Produksi Nasional Rumput Laut Tahun (DKP Morowali, 2014; BPS Sulteng, 2014; KKP, 2013) No Uraian Tahun Luas Lahan Budidaya (Ha) * 2 Perkembangan Pemanfaatan - 52,77-6,89 15,65-83,80 lahan %) 3 Produksi Morowali (Ton) , , , , ,00* 4 Produksi Sulteng (Ton) , , , ,90 ** 5 Produksi Nasional (Ton) ** 6 Share Produksi Terhadap Sulteng 28,78% 27,84% 25,40% 34,28% ** 7 Share Produksi Nasional 6,47% 4,44% 3,80% 4,76% ** Keterangan : * : Data sementara sampai Triwulan III 2014 ** : Data Belum tersedia Belum diterapkannya standarisasi persyaratan teknis tentang produksi rumput laut cottonii (SNI :2010), sebagai upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan mengingat proses produksi mempunyai pengaruh terhadap mutu rumput laut yang dihasilkan. Kualitas keragenan dipengaruhi oleh faktor-faktor pada saat budidaya, pemanenan, dan penanganan pascapanen serta metode ekstraksinya. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu keragenan adalah umur panen rumput laut yang berbeda-beda (Santoso, dkk., 2007). Pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum (Mukti, 1987).

12 12 Keragenan adalah senyawa hidrokoloid yang diekstraksi dari rumput laut merah jenis Eucheuma cottonii dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada temperatur tinggi. Keragenan di gunakan untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan berbentuk suspensi (dispersi padatan dalam cairan) dan emulsi (dispersi gas dalam cairan) dan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya karena bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya. Karena sifatnya yang hidrofilik maka penambahan keragenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinyu sehingga emulsi menjadi stabil. Keragenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan keragenan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan jenis polisakarida Rhodophyceae, polisakarida tersebut harus mengandung 20% sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai keragenan. Berat molekul karaginan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar ribu (Winarno, 1996). Permasalahan yang muncul dalam rantai pasok rumput laut Eucheuma cottoni adalah bagaimanapun kondisi atau mutu rumput laut yang dihasilkan petani, baik rumput laut yang dipanen tepat waktu dengan masa pemeliharaan 45 hari dan yang dipanen dengan masa pemeliharaan 40 hari atau bahkan kurang dari itu, pedagang pengumpul tetap membelinya dengan harga yang sama. Demikian juga dengan rumput laut yang kering yang dijemur menggunakan

13 13 para-para, pengeringannya lebih baik dan lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir dengan alas waring, tingkat harga yang sama. Oleh karena itu, petani rumput laut cenderung memanen lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang mendesak, sehingga petani tidak terlalu mementingkan masa pemeliharaan dan proses penjemuran sehingga produk yang dihasilkanpun bermutu rendah. Kondisi tersebut disebabkan karena petani rumput laut masih fokus pada rumput laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Padahal untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada kualitas keragenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini keragenan produksi Filipina dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan keragenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari Indonesia. Pelaksanaan pembangunan minapolitan di Kabupaten Morowali merupakan kerjasama antara pusat dan daerah yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Pemda Sulawesi Tengah yang menangani bidang terkait, Pemda Kabupaten Morowali yang menangani bidang terkait dan akademisi. Pihak akademisi melakukan studi potensi ruang ekologis dan penataan zonasi dan studi kelayakan usaha budidaya rumput laut. Pemberian fasilitasi sarana prasarana dilakukan oleh dinas Kelautan dan Perikan di sektor budidaya

14 14 kepada petani/kelompok tani. Bidang perindustrian memfasilitasi pengadaan unit pengolahan Alkali Treated Cottonii (ATC) kepada Koperasi Serba Usaha (KSU) Bumi Lestari sehingga dapat menyelesaikan permasalahan para anggota terkait dengan permodalan usaha budidaya rumput laut. Fakta di lapangan adalah bahwa fasilitasi unit pengolahan ATC belum termanfaatkan karena ketidaksiapan sumberdaya manusia terkait inovasi teknologi proses produksi rumput laut kering menjadi ATC. Pola perdagangan rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali adalah melalui pedagang/pengumpul ditingkat kecamatan. Oleh pedagang/pengumpul kemudian dilakukan proses pengeringan kembali dan pengemasan dengan menggunakan karung nilon atau goni. Pedagang/pengumpul ditingkat kecamatan kemudian mengirimkan rumput laut kering ke pedagang besar ditingkat kabupaten, selanjutnya oleh pedagang besar diteruskan ke pengusaha eksportir di Makassar dan Kendari. Oleh pengusaha eksportir, rumput laut kering kemudian di ekpor dengan negara tujuan ekspor Cina, Pilipina, Thailand, Hongkong & Eropa. Adapun model sistem eksisting industri rumput laut Euchuema cottonii di kabupaten Morowali, seperti yang di sajikan pada Gambar 1.3.

15 Gambar 1.3 Model Sistem Eksisting Industri Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali 15

16 16 Tersedianya data tentang volume dan nilai produksi rumput laut Eucheuma cottonii kering bisa menjadi salah satu tools untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul di setiap line process sistem industri rumput laut Eucheuma cottonii. Pada tahun 2014, tidak terdapat data perdagangan antar pulau komoditi rumput laut Euchuema cottonii yang berasal dari Kabupaten Morowali (Dinas Perindag Sulawesi Tengah). Kondisi perdagangan antar pulau komoditi rumput laut Sulawesi Tengah secara rinci seperti di sajikan pada Tabel 1.5. Tabel 1.5 Kondisi Perdagangan Antar Pulau Komoditi Rumput Laut Sulawesi Tengah Tahun (Dinas Perindag Sulteng, 2014) No Kabupaten Tahun Banggai 3,629 3,526-2 Banggai Kepulauan Toli-toli Jumlah (Ton Kering) 3,931 3, Berdasarkan laporan realisasi APBD 2013 (BPS Kabupaten Morowali, 2014), untuk membiayai pembangunan pemerintah daerah menghabiskan anggaran sebesar Rp 678,80 milyar rupiah atau sebesar 77,41 % dari jumlah pendapatan daerah sebesar Rp 876,90 milyar rupiah. Kontribusi DAU terhadap realisasi APBD Kabupaten Morowali adalah sebesar Rp 512,85 milyar rupiah atau 75,55 % sedangkan PAD hanya menyumbang sebesar Rp 31,12 milyar rupiah atau 4,58 %, secara rinci seperti yang di sajikan pada Gambar 1.4.

17 17 Gambar 1.4 APBD Kabupaten Morowali Tahun 2013 (BPS Kabupaten Morowali, 2014) Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral di tingkat pemerintah daerah serta tidak terjadinya hubungan sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam upaya pengembangan rumput laut berkelanjutan mulai pelaku utama, pelaku usaha, lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut dalam rangka pencapaian tujuan sasaran jangka panjang periode berdasarkan roadmap tentang pengembangan industri unggulan pengolahan rumput laut yaitu meningkatkan kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi, berkembanganya IKM pengolah rumput laut, dan meningkatkan ekspor rumput laut olahan ke berbagai Negara. 1.2 Perumusan Masalah Belum berjalannya fungsi pengawasan di sektor perdagangan, rendahnya tingkat pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut, tidak adanya jaminan kestabilan harga rumput laut kering, dan lemahnya dukungan kelembagaan tingkat petani menjadi kendala dalam rangka pengembangan rumput

18 18 laut yang berkelanjutan dan pengembangan industri unggulan yaitu industri pengolahan rumput laut yang berdaya saing. 1.3 Batasan Masalah Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini dilakukan untuk komoditi rumput laut jenis Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali. 2. Parameter yang ditinjau adalah aspek teknik budidaya, aspek teknik pemanenan, penanganan pascapanen dan kualitas rumput laut Eucheuma cottonii kering, aspek pemasaran dan pendapatan, dan aspek kelembangan. 3. Kebijakan pemerintah daerah yang mendukung keberlanjutan program minapolitan dan pengembangan sistem penguatan industri rumput laut di kabupaten Morowali. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi permasalahan pada sistem eksisting yang terdapat pada industri rumput laut Euchuema cottonii di Kabupaten Morowali. 2. Merancang model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali. 3. Menguji model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

19 19 1. Memperoleh model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di kabupaten Morowali. 2. Menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah sebagai acuan keberlanjutan pelaksanaan program Minapolitan di kabupaten Morowali berdasarkan Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah. 3. Untuk mendukung strategi pengembangan industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang ditetapkan dalam PERMENPERIN No. 139/M- IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan Pengolahan Rumput Laut Sulawesi Tengah. 4. Menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Morowali dalam rangka implementasi Sistem Resi Gudang. 5. Dalam rangka mendukung dan berkontribusi terhadap pencapaian sasaran pengembangan wilayah tahun yaitu percepatan pembangunan ekonomi nasional berbasis maritim (kelautan) dengan sasaran peningkatan produksi perikanan budidaya yaitu rumput laut sebesar 22,17 juta ton. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian tentang rumput laut Eucheuma cottonii telah banyak di lakukan, dengan berbagai metode penelitian yang digunakan, seperti yang dilakukan Mustaman (2005) terhadap kajian pengembangan agroindustri rumput laut di Sulawesi Tenggara yang menyatakan bahwa pengembangkan agroindustri adalah upaya untuk meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan kesejahtaeraan petani rumput laut serta meningkatkan PAD.

20 20 Penelitian lain, tentang rumput laut juga di lakukan oleh Sulaeman (2006) dengan topik pengembangan agribisnis komoditi rumput laut melalui model klaster bisnis meyatakan bahwa agribisnis rumput laut (dari mulai budidaya sampai sampai industri tepung) merupakan usaha yang sangat menarik dan sangat prospektif baik dilihat dari kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Perancangan Klaster Aquabisnis Rumput Laut Euchuema cottonii di Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh Rahman (2009) menyatakan bahwa model klaster aquabisnis yang dirancang, dijalankan berdasarkan sistem kemitraan berbentuk Koperasi. Penelitian dengan topik prospek pengembangan rumput laut di kabupaten Morowali diteliti oleh Ya la (2008) menyatakan bahwa (1) produksi rumput laut di kabupaten Morowali mencakup 3 (tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Bungku Selatan, Kecamatan Menui Kepulauan, dan Kecamatan Witaponda; (2) Jenis-jenis rumput laut yang bernilai ekonomis dan mempunyai peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Morowali adalah Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum (karaginofit), Gracillaria sp (agarofit ); dan (3) Pengusahaan rumput laut oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Morowali tergolong masih secara tradisional. Potensi rumput laut sangat berpeluang untuk dikembangkan (agroindustri), tetapi harus ada kolaborasi antara pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya perekonomian pedesaan akan membaik. Penelitian ini dilakukan untuk merancang sebuah model pengembangan terhadap sistem eksisting industri rumput laut Eucheuma Cottonii di Kabupaten

21 21 Morowali yang dapat menciptakan kestabilan harga rumput laut Eucheuma cottonii kering yang sesuai dengan kebutuhan industri hilir dan agroindustri keragenan dalam upaya pengembangan rumput laut yang berkelanjutan dan pengembangan industri unggulan yaitu industri pengolahan rumput laut yang berdaya saing serta penguatan dukungan kelembagaan di tingkat petani rumput laut.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 99/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang paling potensial dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WAR, WAB, SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN,

ASSALAMU ALAIKUM WAR, WAB, SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN, GUBERNUR SULAWESI TENGAH SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA RAPAT KOORDINASI DAERAH DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KAWASAN PERCONTOHAN MINAPOLITAN RUMPUT LAUT DI KABUPATEN MOROWALI JUMAT, 25 PEBRUARI 2011

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya hasil alam terlebih hasil perairan. Salah satunya rumput laut yang merupakan komoditas potensial dengan nilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah

Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk Sulawesi Tengah dengan padi, kakao, kelapa, cengkeh dan ikan laut sebagai komoditi

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c.

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 104.000 km serta memiliki 17.504 pulau. Wilayah laut Indonesia membentang luas

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN:

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: TATANIAGA RUMPUT LAUT DI KELURAHAN TAKKALALA, KECAMATAN WARA SELATAN KOTA PALOPO PROVINSI SULAWESI SELATAN MUHAMMAD ARHAN RAJAB Email : arhanuncp@gmail.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas Admistrasi Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka, 2016 Gambar 4.1 Peta wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selain peran geopolitik, laut juga memiliki peran geoekonomi (Mulyadi, 2007). Rumput laut merupakan salah satu jenis komoditas unggulan budi daya perairan dengan nilai

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 RAPAT KERJA TEKNIS (Rakernis) KELAUTAN DAN PERIKANAN Tahun 2014 dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Kalimantan Timur di Aula Kantor Walikota

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

6. URUSAN PERINDUSTRIAN 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Pembangunan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan dan merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Sektor industri memegang peranan penting dalam peningkatan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

Targetkan Investasi 12,5 Triliun, Kemenperin Gencar Jaring Investor di KEK Palu

Targetkan Investasi 12,5 Triliun, Kemenperin Gencar Jaring Investor di KEK Palu by a KOPI, Sulawesi Tengah Kementerian Perindustrian terus mendorong masuknya investasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, Sulawesi Tengah. Saat ini terdapat 14 investor yang sudah berminat menanamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor ini terhadap PDB menujukkan pertumbuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 96/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) BALAI BESAR BADAN LITBANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014 PENETAPAN HARGA DASAR RUMPUT LAUT NASIONAL

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN Fadel Muhammad Menteri Kelautan dan Perikanan KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN MAKASSAR, 2010 Ketertinggalan Ekonomi KTI Persebaran Penduduk

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 94/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG Parigi, 4 Mei 2015 Yth.: 1. Bupati Parigi Moutong; 2.

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INTEGRASI MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI, DAN BLUE ECONOMY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam produksi komoditi yang bersumber dari kekayaan alam terutama dalam sektor pertanian. Besarnya

Lebih terperinci

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 BIRO PERENCANAAN 2016 Formulir C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan lele (Clarias sp) adalah salah satu satu komoditas perikanan yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan komoditas unggulan. Dikatakan

Lebih terperinci

PROSIDING ISSN: E-ISSN:

PROSIDING ISSN: E-ISSN: PRODUKSI IKAN PATIN SUPER Dwi Puji Hartono* 1, Nur Indariyanti 2, Dian Febriani 3 1,2,3 Program Studi Budidaya Perikanan Politeknik Negeri Lampung Unit IbIKK Produksi Ikan Patin Super Politeknik Negeri

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 97/M-IND/PER/8/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 97/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 97/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI Program PPSP 2015

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI Program PPSP 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan Memorandum Program Sanitasi (MPS) Kabupaten Tolitoli merupakan suatu tahapan antara, yaitu setelah penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten Tolitoli (SSK)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT TAHUN 2016 BUPATI

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang dikaruniai lautan yang cukup luas dengan nilai ± 6 juta km 2 dan panjang total garis pantai sekitar 54.673 km (Wibisono 2005). Dari

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

POLA KERJASAMA REGIONAL PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH. DEDI MULYADI Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri

POLA KERJASAMA REGIONAL PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH. DEDI MULYADI Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri POLA KERJASAMA REGIONAL UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH Disampaikan oleh DEDI MULYADI Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Pada RAKER Departemen Perindustrian Makassar, 25 28 Maret 2008

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki luas wilayah dengan jalur laut 12 mil adalah 5 juta km² terdiri dari luas daratan 1,9 juta km², laut territorial 0,3 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring

Lebih terperinci

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan

Lebih terperinci

10 poin arah pengembangan tembakau dan industri hasil tembakau yang direncanakan sebagai berikut :

10 poin arah pengembangan tembakau dan industri hasil tembakau yang direncanakan sebagai berikut : Sebagaimana arah RPJMD Kabupaten Bandung Tahun 2010 2015 dan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2012, Kabupaten Bandung berupaya melakukan akselerasi pembangunan daerah yang akan difokuskan untuk mencapai peningkatan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017 Kementerian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017 BIRO PERENCANAAN 2017 Formulir C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tanggal 29 Nopember 2006

Lebih terperinci

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian

Lebih terperinci

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46 RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2015 Jakarta, 5 Februari 2015 Rapat Kerja Menteri Perindustrian Tahun 2015 dengan tema Terbangunnya Industri yang Tangguh dan Berdaya Saing Menuju

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari sektor pertanian mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi terutama di wilayah pedesaan. Efek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6)

BAB I PENDAHULUAN. tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian dewasa ini tidak lagi bagaimana meningkatkan produksi, tetapi bagaimana sebuah komoditi mampu diolah sehingga diperoleh nilai tambah (value added)

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 73 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 73 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 73 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PERESMIAN PABRIK ES BALOK BANTUAN DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DI KABUPATEN DONGGALA PROPINSI SULAWESI TENGAH Donggala, 17 November 2015 Yang saya hormati,

Lebih terperinci

Draft rekomendasi: Pengembangan sistem informasi manajemen pasar dan pemasaran garam di Indonesia. (P2HP dan KP3K)

Draft rekomendasi: Pengembangan sistem informasi manajemen pasar dan pemasaran garam di Indonesia. (P2HP dan KP3K) 1 Draft rekomendasi: Pengembangan sistem informasi manajemen pasar dan pemasaran garam di Indonesia. (P2HP dan KP3K) Sasaran Rekomendasi : Kebijakan Pasar dan Perdagangan Latar Belakang Garam merupakan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Maluku Tenggara dikhususkan pada desa percontohan budidaya rumput laut yakni Desa Sathean Kecamatan Kei

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai PENDAHULUAN Latar Belakang Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai aspek teknik budidaya rumput laut dan aspek manajerial usaha tani rumput laut. teknik manajemen usahatani.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau ganggang dan hidup pada salinitas tinggi, seperti di perairan payau ataupun di laut. Rumput

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa agribisnis memberikan kontribusi

Lebih terperinci

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek

Lebih terperinci