TINJAUAN PUSTAKA. Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp)"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp) Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu. Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari ordo Spadiciflorae, keluarga Palmae dan genus Metroxylon. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan Arenga microcarpha (sagu baruk) yang tumbuh di lahan kering. Di Irian Jaya dan sebagian daerah Maluku, sagu merupakan bahan makanan pokok sedangkan di propinsi lain sagu dimanfaatkan sebagai bahan baku industri dan bahan makanan. Pada produksi tahun 1999 sebesar ton sagu dikonsumsi oleh industri menengah besar dalam negeri, terutama di pulau Jawa, yang menggunakan sagu sebagai bahan baku makaroni, spagetti, bihun, soun dan bakso. Jepang memanfaatkan sagu sebagai bahan baku industri plastik biodegradabel (Abner dan Miftahorrahman 2002). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan a-(1,4)-d-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan a -(1,6)-Dglukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno 1997). Kebanyakan pati terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (Pomeranz 1991). Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik (SNI ). Cara hidrolisis pati ada tiga macam, yaitu hidrolisis asam (pada umumnya HCl) yang disebut konversi asam, konversi asam-enzim dan konversi enzim-enzim. Cara terakhir paling banyak digunakan saat ini. Konversi pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas a- amilase sedangkan sakarifikasi mengubah maltodekstrin secara lebih lanjut menjadi glukosa. Konversi enzimatik pati terlikuifikasi menjadi glukosa memerlukan waktu reaksi yang lama (24-96 jam), waktu yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi akhir glukosa yang diinginkan. Penggunaan

2 7 konsentrasi enzim yang tinggi, waktu hidrolisis reaksi yang lama dan konsentrasi substrat yang relatif tinggi (30-40% basis kering, b/b) pada proses industri dapat menyebabkan reaksi reversi (balik) yaitu sintesis kembali sakarida dari glukosa (Govindasamy et al. 1995) a -amilase (a-1,4 glukan-4-glukonohidrolase) yang digunakan dalam tahap likuifikasi merupakan endoamilase, yaitu enzim yang memecah secara acak ikatan a -(1,4) yang terletak pada bagian dalam rantai polisakarida. Pemecahan ini menghasilkan glukosa, maltosa dan a -limit dekstrin, yaitu oligosakarida dengan empat atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan a -(1,6). Tahap ini ditandai dengan menurunnya viskositas suspensi pati dan daya pewarnaan larutan yodium terhadap amilosa. Pengaruh ph terhadap kestabilan dan keaktifan enzim sangat penting. a-amilase dari Bacillus subtilis mempunyai ph optimum antara 5,8 6,0 (Norman 1981). Terdapat dua jenis endoamilase, yaitu termostabil dan termolabil. Endoamilase termostabil terutama berasal dari genus Bacillus. Amilase dari B. subtilis optimum pada suhu o C dengan keberadaan Ca 2+ sedangkan amilase dari B. licheniformis optimum pada suhu di atas 90 o C tanpa adanya Ca 2+. Amilase termolabil berasal dari kapang, biasanya Aspergillus oryzae (Fullbrook 1984). Glukoamilase atau amiloglukosidase atau AMG yang digunakan pada tahap sakarifikasi merupakan eksoenzim, yaitu enzim yang bekerja melepaskan unit glukosa secara berturut -turut dari ujung non reduksi pati. AMG mempunyai keaktifan optimal pada ph 4-5 dengan suhu o C. Pada tahap sakarifikasi ini terjadi hidrolisis oligosakarida atau dekstrin menjadi glukosa. Tidak seperti likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu jam (Fullbrook 1984). Poli(3-Hidroksialkanoat) (PHA) Poli(3-hidroksialkanoat) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesis oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraselular serta dikumpulkan sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee 1996). PHA disintes is jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi

3 8 2001). Steinbüchel dan Valentin (1995) sebagaimana dikutip oleh Kim dan Lenz (2001) menyatakan bahwa lebih dari 90 unit monomer hidroksialkanoat yang telah dideteksi sebagai konstituen penyusun PHA. Hal ini menyebabkan PHA sebagai bahan termoplastik memiliki sifat mekanis yang bervariasi, misalnya sebagai penyusun polimer kristalin yang kuat atau karet elastis tergantung dari unit-unit monomer penyusunnya (Lee 1996). Berdasarkan panjang unit penyusun polimernya, PHA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu PHA rantai pendek (short chain length PHA/poly HASCL) dan PHA rantai menengah (medium chain length PHAs/poly HAMCL). PHA rantai pendek terdiri dari tiga sampai lima atom karbon, yaitu unit 3HB (hidroksibutirat) dan 3HV (hidroksivalerat). PHA rantai menengah terdiri enam atau lebih atom karbon, yaitu unit-unit yang lebih panjang dari 3HV. PHA yang terdiri dari dua tipe di atas disebut sebagai hibrid PHA rantai pe ndek dan menengah (Kim dan Lenz 2001, Lee dan Choi 2001). Struktur umum PHA dapat dilihat pada Gambar 1. R O CH CH 2 C O n R dapat terdiri dari C 1 -C 13, ikatan jenuh, tak jenuh, bercabang, aromatik, halogen atau epoksi Gambar 1 Struktur kimia PHA (Madison dan Huisman 1999). Penamaan PHA ditentukan berdasarkan gugus alkil R pada unit monomer penyusunnya. Misalnya, dinamakan PHB atau poli(3-hidroksibutirat) jika R adalah CH3 (metil), PHV atau poli( 3-hidroksivalerat) jika R adalah CH2CH3 (etil), PHC atau poli(3-hidroksikaproat) jika R adalah n-propil, PHH atau poli(3- hidroksiheptanoat) jika R adalah n-butil, PHO atau poli(3-hidroksioktanoat) jika R adalah n-pentil, PHN atau poli(3-hidroksinanoat) jika R adalah n-heksil, PHD atau poli(3-hidroksidekanoa t) jika R adalah n-heptil, PHUD atau poli(3-hidroksi undekanoat) jika R adalah n-oktil dan PHDD atau poli(3-hidroksidodekanoat) jika R adalah n-nonil (Atkinson dan Mavituna 1991, Brandl et al. 1990).

4 9 PHA ada dalam bentuk homo dan heteropolimer. Homopolimer poli(3- hidroksibutirat) atau PHB memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus, mirip dengan polipropilen dan merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan paling banyak diteliti. Namun demikian, sebagai plastik PHB bersifat sangat rapuh karena tingginya derajat kristalinitas, di samping itu suhu pelelehannya (180 o C) mendekati suhu degradasi termalnya (200 o C). Kelemahan ini dapat diperbaiki dengan kopolimerisasi 3HB dan 3HV menjadi kopolimer poli(3hbco-3hv) yang lebih fleksibel dan rendah suhu prosesnya (Kim dan Lenz 2001). Suatu galur mutan Ralstonia eutropha yang ditumbuhkan pada glukosa dan asam propionat dapat menghasilkan kopolimer dari monomer 3HB dan 3HV. Kerapuhan kopolimer HB-HV lebih rendah daripada PHB, sifat termomekanisnya lebih bervariasi tergantung dari kadar unit 3-HV penyusunnya sehingga aplikasinya lebih luas (Lefebvre et al. 1997, Klem 1999). Beberapa contoh aplikasi PHA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi praktis PHA *) Aplikasi medis 1. Keperluan operasi bedah : benang jahit, pin, penyeka 2. Pembalut luka 3. Pemasangan pembuluh darah 4. Penyambungan tulang dan lempeng tulang 5. Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA bersifat piezoelektrik) 6. Pembawa (carrier) bahan aktif pada obat-obatan Aplikasi industri 1. Pembawa (carrier) bahan aktif pada herbisida, fungisida, insekstisida atau pupuk 2. Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong dan film 3. Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita *) Brandl et al. (1990), Lee et al. (1999) Meskipun bidang aplikasinya luas, namun pemanfaatan PHA masih terbatas karena harganya mahal. Berbagai penelitian akhir-akhir ini diarahkan untuk menurunkan biaya produksi, meliputi penelitian tentang (1) galur bakteri baru yang dapat mensintesis PHA, (2) substrat yang murah, (3) strategi kultivasi yang baru, (4) penggunaan mikroba rekombinan, (5) pengembangan tanaman transgenik yang dapat mensintesis PHA dan (6) penggunaan kultur sel serangga (insekta) untuk memproduksi PHB (Lefebvre et al. 1997). Perke mbangan terkini

5 10 tentang metabolisme, biologi dan genetika molekuler serta kloning lebih dari 20 gen biosintesis PHA memungkinkan dilakukannya konstruksi galur-galur rekombinan bakteri yang dapat mensintesis poliester dengan unit monomer yang berbeda-beda dan atau bakteri yang dapat mengakumulasi polimer dalam jumlah lebih banyak (Lee 1996). Terdapat lebih dari 300 jenis mikroba yang dapat mensintesis PHA (30-80% dari berat kering selnya) namun hanya sejumlah bakteri termasuk Ralstonia eutropha, Alcaligenes latus, Azotobacter vinelandii, Chromobacterium violaceum, metilotrof, pseudomonad dan rekombinan Escherichia coli yang prospektif digunakan dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2 g/l.jam (Lee 1996, Lee dan Choi 2001). Ralstonia eutropha dan Jalur Biosintesis PHB Klem (1999) menyatakan bahwa berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi RNA 16S, Alcaligenes eutrophus dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia eutropha. R. eutropha termasuk bakteri Gram negatif, aerob obligat, motil, suhu optimum o C, koloni tidak berwarna pada Nutrient Agar, oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik - - dan asam amino sebagai sumber karbon, dapat mereduksi NO 3 menjadi NO 2 dan dapat tumbuh secara anaerobik dengan adanya NO3 -. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al. 1994). Lee dan Choi (2001) meyatakan bahwa R. eutropha dapat tumbuh baik pada media minimal yang relatif murah dan mengakumulasi PHB pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. Sumber karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah D-glukosa (mutan), D-fruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, itakonat (John et al. 1994). R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi terbatasnya nitrogen, oksigen dan fosfor (Klem 1999). Kim dan Lenz (2001) menyatakan bahwa ammonium merupakan nutrisi pembatas bagi R. eutropha. Polimer diakumulasi dalam bentuk granula dalam sitoplasma sel dan berfungsi sebagai cadangan karbon dan sumber ekivalen pereduksi. Jumlah granula per sel R. eutropha yang ditumbuhkan pada kondisi nitrogen terbatas tidak berubah sejak

6 11 awal fase akumulasi polimer dan produksi polimer mulai menurun ketika kadar PHB hampir 80% meskipun aktifitas sintase PHB masih cukup tinggi. Gambar granula PHB pada R. eutropha dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Hasil scanning electron microscope granula PHB pada R. eutropha (Sumber : Selama pertumbuhan normal, pembentukan PHA biasanya tidak mencapai konsentrasi tinggi dalam sel yaitu antara 2-10% dari bobot kering sel, tergantung dari galur bakteri. Namun demikian, kadar PHB dapat mencapai lebih dari 80% berat kering sel jika pertumbuhan dibatasi dengan berkurangnya suatu komponen nutrisi penting (Braunegg et al. 1995). Tiga galur R. eutropha yang paling banyak dipelajari adalah (1) produsen PHB asli H16 (ATCC 17699), (2) mutan yang dapat menggunakan glukosa yaitu dan (3) SH-69 (ATCC 17697) (Madison dan Huisman 1999). Komponen awal yang terpenting pada sintesis PHB intra selular dalam sel prokariotik adalah asetil-koenzim A (asetil-koa). Pengaturan sintesis PHB dipengaruhi oleh konsentrasi koenzim A bebas dan potensial redoks intraselular yang dikaitkan dengan rasio NAD/NADH. Proses pembentukan PHB pada Alcaligenes eutrophus (R. eutropha) H16 diawali dengan reaksi kondensasi dua molekul asetil-koa untuk membentuk asetasetil-koa yang dikatalisis oleh ß- ketotiolase (asetasetil-koa tiolase). Asetasetil-KoA selanjutnya direduksi secara bertahap menjadi ß-hidroksibutiril-KoA yang dikatalisis oleh asetasetil-koa reduktase. ß-hidroksibutiril-K oa kemudian dipolimerisasi menjadi PHB dengan

7 12 katalis PHB polimerase (Lafferty et al. 1988). Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R. eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Memperjelas pendapat Lafferty et al. (1988), Klem (1999) menyatakan bahwa pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen yang diperlukan untuk sintesis PHB, yaitu phba, phbb dan phbc. PhbA (suatu ketotiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-koa untuk menghasilkan asetoasetil-koa yang kemudian direduksi menjadi R-ß-hidroksibutiril-KoA oleh phbb (yaitu suatu reduktase asetosetil-koa yang membutuhkan NADPH). Molekul R-ß-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbc (suatu PHB sintase). Pada lingkungan yang ka ya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-koa yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi CO 2. Degradasi dimulai oleh depolimerase yang dikode sebagai gen phbz. Babel et al. (2001) menyatakan bahwa meskipun faktor -faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K +, Mg 2+ atau Fe 2+ ) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk yang hampir sama. Konsentrasi intraselular asetil-koa yang tinggi akan menunjang sintesis asetoas etil-koa, sementara itu ekivalen pereduksi (reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-koa yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan. Secara umum, pasokan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHB. Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/ (melalui siklus TCA) dan jumlah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk mereduksi asetoasetil-koa menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian, jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi (Babel et al. 2001).

8 13 Metabolisme karbohidrat Jalur EMP, HM, ED Piruvat CO 2 Siklus TCA NADH 2 NAD Suksinat Suksinil-SKoA Asetoasetat D(-)-ß-hidroksibutirat ❺ ❻ PhaZ ❼ Oligomer, trimer, dimer ❹ Asetil-SKoA ❶ PhaA Asetasetil-SKoA PhaZ PhaC PhaB Poli-ß-hidroksibutirat CoASH ❷ NADH 2 NAD D(-)-ß-hidroksibutiril-SKoA PhaC Protein-AI D(-)-ß-hidroksibutiril-AI Keterangan : ❶ ß-ketothiolase (ß-ketoasilthiolase, asetoasetil-koa, asetasetil-koa thiolase) ❷ Asetasetil-KoA reduktase PHB polimerase (PHB sintetase) ❹ PHB hidrolase ❺ Dimer hidrolase ❻ ß-hidroksibutirat dehidrogenase ❼ Thiophorase (asetasetil-skoa thiokinase; Asetoasetat -suksinil-koa transferase) EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas HM : jalur Heksosa Monofosfat ED : jalur Entner-Doudoroff Gambar 3 Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al.1988).

9 14 Proses Produksi PHA Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu kultivasi dan recovery/isolasi PHA. Tahap kultivasi merupakan tahap pertumbuhan biomassa sel dan akumulasi biopolimer PHA. Setelah kultivasi berakhir, dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap isolasi biopolimer. Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut (solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based ). Pemisahan tanpa pelarut pada dasarnya adalah pr oses melarutkan biomassa non-pha, diikuti dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi. Pemisahan dengan pelarut merupakan proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti de ngan presipitasi dengan air/metanol (Kessler et al. 2001). Tinjauan umum proses produksi PHA lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4. KULTIVASI TAHAP 1 PRODUKSI BIOMASSA Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang KULTIVASI TAHAP 2 AKUMULASI POLIMER PHA Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas PEMANENAN ISOLASI Tanpa Pelarut Pelarutan biomassa non- PHA Sentrifugasi/ultrafiltrasi Dengan Pelarut Ekstraksi PHA dengan pelarut Presipitasi dengan metanol/ air Gambar 4 Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001). Dua jenis teknik kultivasi biasa nya digunakan. Pada percobaan batch, baik pertumbuhan sel dan pembentukan PHA dilakukan pada media yang sama. Pada percobaan bebas nitrogen, sel terlebih dahulu ditumbuhkan pada media kaya nutrisi kemudian diresuspensi ke dalam media yang kekurangan nitrogen dengan sumber karbon sesuai dengan yang diinginkan (Madison dan Huisman 1999). Namun demikian, secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch

10 15 (curah), fed-batch (semi sinambung) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fedbatch banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed -batch, densitas biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nie lsen dan Villadsen 1993). Terkait dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal untuk akumulasi PHB (Lee dan Choi 2001). Tanaka et al. (1993) menggunakan metode kultur dua tahap untuk menghasilkan PHB dari xilosa. Xilosa dikonversi menjadi L-asam laktat dan asam asetat oleh Lactococcus lactis IO-1, selanjutnya dikonversi menjadi PHB oleh R. eutropha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 g/l L-laktat dihasilkan 8,5 g/l biomassa R. eutropha dengan kadar PHB 55% selama 24 jam kultivasi. Kim et al. (1994) memproduksi PHB dari R. eutropha dengan teknik kultur fed -batch secara otomatis dengan perlakuan pembatasan amonium. Konsentrasi glukosa pada kultur dikontrol pada kisaran g/l menggunakan analisator glukosa secara on line dan berdasarkan data gas keluar yang diperoleh dari spektrometer massa. Konsentrasi akhir sel, konsentrasi PHB dan produktifitas PHB meningkat ketika pengumpanan amoniak dihentikan pada saat sel mencapai konsentrasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika pengumpanan amoniak dihentikan saat konsentrasi sel mencapai 70 g/l maka konsentrasi PHB dan total sel berturut-turut mencapai 121 g/l dan 164 g/l dalam waktu 50 jam kultivasi. Rendemen PHB maksimal yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah 76% dari berat kering sel dengan produktifitas sebesar 2,42 g/l.jam dan rendemen sebesar 0,3 g PHB/g glukosa. Ryu et al. (1997) memproduksi PHB pada bioreaktor 60 L secara fedbatch menggunakan sel R. eutropha berdensitas tinggi, glukosa sebagai sumber karbon dengan pembatasan fosfat dan nitrogen. Strategi pengumpanan dilakukan

11 16 berdasarkan pengontrolan konsentrasi oksigen terlarut. Dengan konsentrasi awal fosfat sebesar 5,5 g/l, konsentrasi akhir sel yang dihasilkan mencapai 281 g/l, konsentrasi PHB 232 g/l dan produktifitas PHB 3,14 g/l.jam. Sang Yup Lee dalam serangkaian penelitiannya menggunakan R. eutropha dan rekombinan E. coli dengan sistem kultivasi fed-batch. Pengumpanan substrat dilakukan berdasarkan ph disertai dengan pengontrolan kandungan oksigen terlarut untuk menghasilkan homopolimer PHB maupun kopolimer HB-HV dengan produktifitas yang lebih tinggi. Disertai dengan teknik isolasi PHA yang relatif murah, mudah dan ramah lingkungan menggunakan pelarut NaOH, Lee dan Choi (2001) mensimulasikan faktor -faktor tersebut sehingga biaya produksi PHB menjadi lebih rendah, yaitu US$ 3,31/kg. Komersialisasi PHA dimulai oleh ZENECA-Inggris yang menggunakan mutan R. eutropha untuk memproduksi PHB dan PHBV berskala industri sejak tahun 1982 dengan merek BIOPOL. Sumber karbon yang digunakan adalah glukosa dengan fosfat sebagai nutrisi pembatas. Proses produksi menggunakan bioreaktor berskala L dengan sistem kultivasi fed -batch dua tahap. Pada tahap pertama, sel ditumbuhkan pada media garam mineral dengan glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon dan sumber energi serta dan sejumlah fosfat yang telah dihitung berdasarkan kebutuhan mikroba untuk memproduksi sejumlah biomassa tertentu. Sejalan dengan pertumbuhan kultur, fosfat dalam media semakin berkurang. Pada tahap kedua ketika fosfat berada dalam jumlah terbatas, sel mulai memproduksi dan menyimpan polimer. Pada saat tersebut, glukosa diumpankan ke dalam kultur kemudian kultivasi dilanjutkan sampai jumlah polimer yang diinginkan tercapai. Masing-masing tahap berlangsung kira-kira 48 jam dan berat kering biomassa akhir mencapai 100 g/l. Pada tahun 1996 produksi tersebut diteruskan oleh MONSANTO-Amerika Serikat namun kemudian terhenti pada tahun 1998 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001). Produsen lain di Austria menggunakan Alcaligenes latus DSM1124 untuk memproduksi homopolimer PHB pada media garam mineral dengan sukrosa sebagai sumber karbon. Proses kultivasi dilakukan satu tahap secara fed -batch dan dapat menghasilkan sel berdensitas 60 g/l dengan kadar PHB 80%. Namun,

12 17 produksinya dihentikan pada tahun 1993 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001). Prose Hilir PHA Setelah tahap kultivasi, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari broth (media kultivasi) dengan berbagai prosedur konvensional seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. 2001). Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan). Namun demikian, proses tersebut membutuhkan pelarut dalam jumlah besar. Pada proses ekstraksi PHB dengan pelarut kloroform, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi dan tidak terjadi degradasi selama ekstraksi. Namun kelemahannya, diperlukan kloroform dalam jumlah besar karena larutan polimer yang mengandung PHB = 5% (b/v) bersifat sangat kental (viscous) sehingga proses operasinya menjadi sulit (Lee et al. 1999). Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-pha secara bertahap. Meskipun efektif, sodium hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. 2001). Hahn et al. (1995) membandingkan penggunaan sodium hipoklorit dan dispersi sodium hipoklorit -kloroform untuk mengisolasi PHB yang disintesis oleh R. eutropha dan rekombinan E. coli. Tingkat degradasi PHB pada perlakuan dispersi sodium hipoklorit-kloroform lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan sodium hipoklorit saja. Semakin tinggi konsentrasi hipoklorit yang digunakan, semakin kecil berat molekul PHB yang diperoleh. Choi dan Lee (1999) telah me neliti kemampuan berbagai jenis bahan kimia untuk memecah bahan sel selain PHB, meliputi asam (HCl, H 2 SO 4 ), alkali (NaOH, KOH, NH 4 OH) dan surfaktan (ga ram sodium dioktilsulfosuksinat/aot, heksadeciltrimetilamonium bromida/ctab, sodium dodesil sulfat/sds, polioksietilen-p-tert-oktil fenol/triton X-100 dan polioksietilen (20) sorbitan monolaurat/tween 20). Meskipun SDS merupakan bahan kimia yang efisien

13 18 untuk isolasi PHB dari rekombinan E. coli namun harganya mahal dan limbahnya menimbulkan masalah baru. NaOH dan KOH juga efisien dan ekonomis untuk isolasi PHB sehingga digunakan untuk optimasi kondisi isolasi. Pada perlakuan NaOH 0,2 N selama 1 jam, kultur dengan densitas sel 50 g/l dan rendemen PHB 77% dapat diperoleh dengan kemurnian 98,5%. Selanjutnya dibandingkan 2 metode, antara surfaktanhipoklorit dan NaOH. Dengan proses kultivasi yang menghasilkan PHB 157 g/l, rendemen 77% dan produktifitas 3,2 g PHB/L.jam dipadukan dengan metode isolasi NaOH maka biaya produksi PHB dapat ditekan 25% lebih rendah menjadi US$ 3,66/kg dibandingkan dengan metode surfaktan-hipoklorit (Choi dan Lee 1999). Lee et al (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama 1 jam pada suhu 30 o C dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Jika waktu pemecahan (digestion) diperpanjang hingga 5 jam maka kemurnian PHB meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-pha dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu (a) murah dan ramah lingkungan, (b) PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan (c) selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB. Kinetika Kultivasi Mikroba bila berada dalam suatu lingkungan akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungan tersebut (Hartoto dan Sailah 1989). Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al. 1979). Pertumbuhan mikroba dicirikan dengan peningkatan massa sel dan atau jumlah sel. Pertumbuhan terjadi bila kondisi fisik dan kimiawi tercapai, misalnya suhu, ph dan ketersediaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba. Fase-fase pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Gambar 5) secara umum dijelaskan oleh Wang et al. (1979), Hartoto dan Sailah (1989) serta Mangunwidjaja dan Suryani (1994) sebagai berikut.

14 19 Log (konsentrasi massa sel) fase fase eksponensial fase stasioner lag a b c Keterangan : a. massa sel, tidak terjadi lisis b. massa sel, terjadi lisis diikuti pertumbuhan cryptic c. jumlah sel hidup, terjadi lisis Waktu Gambar 5 Kurva pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Wang et al. 1979) Pada fase lag (fase awal dan penyesuaian) yang merupakan masa penyesuaian mikroba sejak sel mikroba diinokulasi ke media biakan, massa sel meningkat tetapi tidak terjadi pembelahan sel. Oleh karena itu, X = Xo = tetap dengan Xo = konsentrasi sel pada t = 0. Laju pertumbuhan, r x (g/l.j) = dx/dt = 0...(1) Laju pertumbuhan spesifik, µ (j -1 ) = dx/dt.1/x = 0...(2) Ketika kultur mikroba dipindahkan ke lingkungan baru maka dibutuhkan penataan ulang terhadap komponen penyusun mikro dan makromolekularnya. Setelah fase adaptasi selesai, maka sel menuju fase pertumbuhan eksponensial (log/ logaritmik). Pada fase eksponensial, jumlah sel meningkat pada laju konstan, laju pertumbuhan meningkat sebanding dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal (µ m ). dx/dt. 1/X = µ m? 1/X. dx =? µ m. dt Ln X 2 Ln X 1 = µ m (t 2 - t 1 )...(3) Waktu generasi atau penggandaan (t g ), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel dua kali semula sehingga X 2 = 2X 1, dapat ditentukan sebagai berikut : Ln (2X1) Ln (X1) = µm. tg t g = ln 2/µ m = 0,693 / µ m...(4)

15 20 Pada fase pelambatan, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner, konsentrasi biomassa mencapa i maksimal. Laju kematian sel sebanding dengan laju penggandaan sel. Oleh karena itu pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel. Pada fase menurun laju kematian lebih cepat daripada laju penggandaan sel. Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup akibat terjadinya kematian yang diikuti autolisis oleh enzim selular. Wang et al. (1979) menyatakan bahwa pada fase stasioner masih terjadi metabolisme dan akumulasi produk di dalam sel atau broth. Massa sel total mungkin konstan (Gambar 5a), akan tetapi jumlah sel hidup mungkin menurun (Gambar 5c). Dengan menurunnya jumlah sel hidup, maka terjadilah lisis sel sehingga massa sel menurun (Gambar 5b). Produk-produk lisis sel dalam media memungkinkan terjadinya periode pertumbuhan sekunder yang disebut pertumbuhan kriptik (cryptic). Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi menjadi massa sel dan metabolit (Wang et al. 1979). Yield atau rendemen biomassa (Y x/s ) dan rendemen produk (Y p/s ) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa dan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa atau produk yang terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Scragg 1991).? X X - Xo Y x/s = =...(8)? S S o S? P P - P o Y p/s = =...(9)? S S o S dengan? X dan? P merupakan ju mlah sel dan produk yang terbentuk dengan dikonsumsinya substrat sebanyak? S. Koefisien konversi nutrisi dalam substrat yang berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat dijelaskan dengan persamaan berikut : % penggunaan substrat =? S/So = (So-S)/So...(10)

16 21 Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menyatakan bahwa hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dalam hal ini dikenal tiga pola hubungan, yaitu : 1. Pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk yaitu laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan laju pertumbuhan. dp/dt = a dx/dt atau r p = Y p/x. r x...(5) 2. Pola pembentukan produk tak berasosiasi dengan pertumbuhan yaitu laju pembentukan produk cenderung berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular daripada dengan laju pertumbuhan. r p = ß X...(6) 3. Pola campuran per tumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi yaitu laju pembentukan produk berbanding lurus dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. rp = a rx + ßX atau rp/x = a µ + ß...(7) dengan dp/dt = r p : laju pembentukan produk, r x : laju pertumbuhan sel, Y p/x : rendemen produk yang dihasilkan per biomassa terbentuk (g/g), a: tetapan pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan, ß: tetapan pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan. Kultivasi Fed-batch Yoshida et al. (1973) seperti dikutip oleh Stanbury dan Whitaker (1984) memperkenalkan istilah fed-batch untuk menggambarkan kultur batch yang diumpan dengan media secara kontinyu atau terputus -putus tanpa pengambilan cairan kultur sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Scragg (1991) mendefinisikan kultur fed-batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara, yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik. Pirt (1975) seperti dikutip oleh Trevan et al. (1987) menjelaskan kinetika kultivasi fed-batch sebagai berikut : pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner, Xmaks, dijelaskan dengan persamaan

17 22 berikut (dengan asumsi bahwa jumlah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan dengan biomassa akhir) : X maks Y. S R... (11) dengan Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) dan S R = konsentrasi substrat dalam media. Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µ maks maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat diumpankan ke dalam sistem. Meskipun jumlah biomassa dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi, namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu dx/dt 0 dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam keadaan quasi-steady state. Semakin bertambahnya waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan dengan persamaan berikut : F D =... (12) Vo + F.t dengan F = laju pengumpanan, Vo = volume awal kultur, t = waktu pengumpanan pada operasi fed -batch.. Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa. Namun demikian, pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed -batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara eksponensial menggunakan sistem kontrol komputer (Trevan et al. 1987). Perbedaan mendasar antara keadaan steady state pada suatu kultur kemostat dengan keadaan quasi-steady state pada kultur fed -batch adalah bahwa µ konstan pada sistem kemostat, namun menurun pada sistem fed -batch (Stanbury dan Whitaker 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN FERMENTASI Bahan baku pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mengandung kadar pati rata-rata sebesar 84,83%. Pati merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Hidrolisat Pati Sagu Sebelum digunakan sebagai media kultivasi, hidrolisat pati sagu terlebih dahulu dikarakterisasi (Tabel 2). Parameter konsentrasi total gula dan total

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plastik Biodegradabel Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN Ralstonia Eutropha PADA HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PENAMBAHAN DIMETIL FTALAT (DMF) Oleh JUARI F34102051 2006 FAKULTAS

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH R

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH R PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH Ralstonia eutropha PADA SISTIM KULTIVASI FED BATCH K. Syamsu*, A.M. Fauzi, L. Hartoto,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha Oleh : NUR ATIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

Metabolisme karbohidrat

Metabolisme karbohidrat Metabolisme karbohidrat Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila PENCERNAAN KARBOHIDRAT Rongga mulut

Lebih terperinci

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan aktivitas makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan A. Sifat pertumbuhan

Lebih terperinci

- Isolasi lipase halostabil dari bakteri halofilik isolat kawah lumpur Bleduk Kuwu

- Isolasi lipase halostabil dari bakteri halofilik isolat kawah lumpur Bleduk Kuwu 1 DESKRIPSI RISET I STUDI PENGARUH PENGUNAAN IONIC LIQUID SEBAGAI PELARUT PADA STABILITAS DAN AKTIVITAS LIPASE DARI BAKTERI HALOFILIK MODERAT ISOLAT KAWAH LUMPUR ASIN BLEDUK KUWU JAWA TENGAH 1.1 Deskripsi

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA

KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA. Karakteristik pertumbuhan mikroba Pertumbuhan mikroba merupakan pertambahan jumlah sel mikroba Pertumbuhan mikroba berlangsung selama nutrisi masih cukup tersedia Pertumbuhan

Lebih terperinci

Pokok Bahasan III PERTUMBUHAN MIKROBIA DALAM BIOREAKTOR

Pokok Bahasan III PERTUMBUHAN MIKROBIA DALAM BIOREAKTOR Pokok Bahasan III PERTUMBUHAN MIKROBIA DALAM BIOREAKTOR Deskripsi Singkat Pertumbuhan mikrobia adalah peningkatan semua komponen sel sehingga menghasilkan peningkatan ukuran sel dan jumlah sel (kecuali

Lebih terperinci

KULTIVASI MIKROORGANISME

KULTIVASI MIKROORGANISME KULTIVASI MIKROORGANISME Organisme Waktu Penggandaan sel Bakteri dan khamir Kapang dan Alga Rumput Ayam Babi Sapi muda Manusia (muda) 20-120 menit 2-6 jam 1-2 minggu 2-4 mingu 4-6 mingu 1-2 bulan 3-6 bulan

Lebih terperinci

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia Metabolisme Karbohidrat Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia LATAR BELAKANG Kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat tergantung pada kemampuannya menghasilkan enzim amilase

Lebih terperinci

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Peta Konsep Kofaktor Enzim Apoenzim Reaksi Terang Metabolisme Anabolisme Fotosintesis Reaksi Gelap Katabolisme Polisakarida menjadi Monosakarida

Lebih terperinci

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Keasaman Total, ph. Ketebalan Koloni Jamur dan Berat Kering Sel pada Beberapa Perlakuan. Pada beberapa perlakuan seri pengenceran kopi yang digunakan, diperoleh data ph dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jali Tanaman jali termasuk dalam tanaman serealia lokal. Beberapa daerah menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. Klasifikasi

Lebih terperinci

Pembiakan dan Pertumbuhan Bakteri

Pembiakan dan Pertumbuhan Bakteri Pembiakan dan Pertumbuhan Bakteri A. Pertumbuhan Sel Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran atau subtansi atau masa zat suatu organisme, Pada organisme bersel satu pertumbuhan lebih diartikan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polihidroksialkanoat (PHA) Polihidroksialkanoat merupakan salah satu contoh polimer poliester, diperoleh dari hasil sintesis sumber karbon oleh berbagai macam bakteri. Polihidroksialkanoat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010

TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010 m. k. TEKNOLOGI BIOINDUSTRI TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010 PENDAHULUAN Bioreaktor : peralatan dimana bahan diproses sehingga terjadi transformasi biokimia yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

PROSES FERMENTASI. Iman Rusmana. Departemen Biologi FMIPA IPB

PROSES FERMENTASI. Iman Rusmana. Departemen Biologi FMIPA IPB PROSES FERMENTASI 2 Iman Rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB Proses Fermentasi sintesis produk & metabolisme primer 3 Tipe : 1. Produk disintesis langsung dari metabolisme primer 2. Produk disintesis

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi yang ramah lingkungan. Selain dapat mengurangi polusi, penggunaan bioetanol juga dapat menghemat

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

Metabolisme Energi. Pertemuan ke-4 Mikrobiologi Dasar. Prof. Ir. H. Usman Pato, MSc. PhD. Fakultas Pertanian Universitas Riau

Metabolisme Energi. Pertemuan ke-4 Mikrobiologi Dasar. Prof. Ir. H. Usman Pato, MSc. PhD. Fakultas Pertanian Universitas Riau Metabolisme Energi Pertemuan ke-4 Mikrobiologi Dasar Prof. Ir. H. Usman Pato, MSc. PhD. Fakultas Pertanian Universitas Riau Sumber Energi Mikroba Setiap makhluk hidup butuh energi untuk kelangsungan hidupnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aktifitas Air (Aw) Aktivitas air atau water activity (a w ) sering disebut juga air bebas, karena mampu membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plastik banyak digunakan untuk berbagai hal, di antaranya sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, automotif dan berbagai

Lebih terperinci

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM. Universitas Mercu Buana Yogyakarata

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM. Universitas Mercu Buana Yogyakarata TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM Universitas Mercu Buana Yogyakarata BAB VIII KINETIKA FERMENTASI. Tipe - tipe fermentasi 1. Berdasarkan produk yang dihasilkan : a. Biomassa b. Enzim c. Metabolit ( primer

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Bahan sejumlah kurang lebih 1 g ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel kemudian

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

PROSES FERMENTASI. Iman rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB

PROSES FERMENTASI. Iman rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB PROSES FERMENTASI Iman rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB Industri/Bioteknologi Sel & syw metabolit mikrob 2 proses penting : 1. Produksi Fermentasi 2. Hilir ekstraksi & purifikasi Pd fermentasi : Mikrob

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaplek (Manihot esculenta Crantz) Gaplek (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu. Gaplek berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KANDUNGAN AMILOSA PADA PATI PALMA Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Selain kedua fraksi tersebut

Lebih terperinci

Rekayasa Bioproses. Pertemuan Ke-2. Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch

Rekayasa Bioproses. Pertemuan Ke-2. Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch Rekayasa Bioproses (Kode MKA: 114151462) Pertemuan Ke-2 Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch Dosen: Ir. Sri Sumarsih, MP. E-mail: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Teknik Lingkungan-

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BIOSINTESIS METABOLIT PRIMER DAN METABOLIT SEKUNDER

BIOSINTESIS METABOLIT PRIMER DAN METABOLIT SEKUNDER BIOSINTESIS METABOLIT PRIMER DAN METABOLIT SEKUNDER Biosintesis merupakan proses pembentukan suatu metabolit (produk metabolisme) dari molekul yang sederhana sehingga menjadi molekul yang lebih kompleks

Lebih terperinci

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi RESPIRASI SELULAR Cara Sel Memanen Energi TIK: Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan cara sel memanen energi kimia melalui proses respirasi selular dan faktorfaktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2.

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Respirasi anaerob 3. Faktor-faktor yg mempengaruhi laju respirari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih 1. Isolat Actinomycetes Terpilih Peremajaan isolat actinomycetes dilakukan dengan tujuan sebagai pemeliharaan isolat actinomycetes agar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M. Fauzi 2), Bagus W.D. Wicaksono 2)

Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M. Fauzi 2), Bagus W.D. Wicaksono 2) OPTIMASI PRODUKSI, KARAKTERISISASI, APLIKASI DAN PENGUJIAN BIODEGRADASI BIOPLASTIK YANG DIHASILKAN OLEH RALSTONIA EUTROPHA PADA SUBSTRAT HIDROLISAT MINYAK SAWIT Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu yang didapat dari industri rakyat di daerah Cimahpar masih dalam keadaan berkadar air cukup tinggi yaitu 17.9%. Untuk itu, empulur

Lebih terperinci

Gambar 2 Penurunan viskositas intrinsik kitosan setelah hidrolisis dengan papain.

Gambar 2 Penurunan viskositas intrinsik kitosan setelah hidrolisis dengan papain. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh konsentrasi papain terhadap hidrolisis kitosan Pengaruh papain dalam menghidrolisis kitosan dapat dipelajari secara viskometri. Metode viskometri merupakan salah satu

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

39 Universitas Indonesia

39 Universitas Indonesia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum komponen penyusun kulit udang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu kitin, protein, dan mineral (Rao et al., 2000). Pada percobaan ini digunakan kulit udang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. 8 pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. Optimasi Konsentrasi Substrat (Xilosa) Prosedur dilakukan menurut metode Eken dan Cavusoglu (1998). Sebanyak 1% Sel C.tropicalis

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 4-5. METABOLISME Ada 2 reaksi penting yang berlangsung dalam sel: Anabolisme reaksi kimia yang menggabungkan bahan

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin menipis seiring dengan meningkatnya eksploitasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar

Lebih terperinci

BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT

BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT 1 Karbohidrat Karbohidrat adalah biomolekul yang paling banyak terdapat di alam. Setiap tahunnya diperkirakan kira-kira 100 milyar ton CO2 dan H2O diubah kedalam molekul selulosa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. biologis. Biohidrogen berpotensi sebagai bahan bakar alternatif karena kandungan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. biologis. Biohidrogen berpotensi sebagai bahan bakar alternatif karena kandungan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biohidrogen merupakan gas hidrogen yang dihasilkan melalui proses biologis. Biohidrogen berpotensi sebagai bahan bakar alternatif karena kandungan energi yang tinggi,

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase merupakan enzim yang mempunyai peranan penting dalam bioteknologi saat ini. Aplikasi teknis enzim ini sangat luas, seperti pada proses likuifaksi pati pada proses produksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Substrat 1. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis 1) I Wayan Arnata, 1) Bambang Admadi H., 2) Esselon Pardede 1) Staf Pengajar PS. Teknologi Industri

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

Pendahuluan Fermentasi telah lama dikenal manusia dan kini beberapa diantaranya berkembang ke arah industri spt roti, minuman beralkohol, yoghurt, kej

Pendahuluan Fermentasi telah lama dikenal manusia dan kini beberapa diantaranya berkembang ke arah industri spt roti, minuman beralkohol, yoghurt, kej FERMENTASI ENZIM Pendahuluan Fermentasi telah lama dikenal manusia dan kini beberapa diantaranya berkembang ke arah industri spt roti, minuman beralkohol, yoghurt, keju, kecap, tempe dsb. Dalam fermentasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000 7 Sebanyak 1 ml supernatan hasil fermentasi dilarutkan dengan akuades menjadi 25 ml di dalam labu Erlenmeyer. Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator phenolftalein lalu dititrasi dengan larutan NaOH.1131

Lebih terperinci

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT 2 METABOLISME Standar Kompetensi : Memahami pentingnya metabolisme pada makhluk hidup Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan fungsi enzim dalam proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ubi Jalar

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ubi Jalar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ubi jalar sebagai salah satu komoditas pertanian penghasil karbohidrat dan sumber energi yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS.

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS. i ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenaipenentuan aktivitas enzim amilase dari kecambah biji jagung lokal Seraya (Zea maysl.). Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengetahui waktu optimum dari

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizki Indah Permata Sari,2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizki Indah Permata Sari,2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara tropis yang dikelilingi oleh perairan dengan luas lebih dari 60% dari wilayah teritorialnya. Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

organel yang tersebar dalam sitosol organisme

organel yang tersebar dalam sitosol organisme STRUKTUR DAN FUNGSI MITOKONDRIA Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang tersebar dalam sitosol organisme eukariot. STRUKTUR MITOKONDRIA Ukuran : diameter 0.2 1.0 μm panjang 1-4 μm mitokondria dalam

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARATA

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARATA TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARATA BAB VII KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBIA Pertumbuhan adalah suatu pertambahan secara teratur seluruh komponen sel hidup a. Uniseluler ( yeast,

Lebih terperinci

Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas 2 kelompok berdasarkan hasil. 1. Bakteri homofermentaif : glukosa difermentasi menghasilkan asam laktat

Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas 2 kelompok berdasarkan hasil. 1. Bakteri homofermentaif : glukosa difermentasi menghasilkan asam laktat Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas 2 kelompok berdasarkan hasil fermentasinya, yaitu: 1. Bakteri homofermentaif : glukosa difermentasi menghasilkan asam laktat sebagai satu-satunya produk. Contoh

Lebih terperinci

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content NAMA : FATMALIKA FIKRIA H KELAS : THP-B NIM : 121710101049 Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content 1. Jenis dan sifat Mikroba Dalam fermentasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai dasar penentuan kadar limbah tapioka yang akan dibuat secara sintetis, maka digunakan sumber pada penelitian terdahulu dimana limbah tapioka diambil dari

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Industri tapioka merupakan salah satu industri yang cukup banyak menghasilkan limbah padat berupa onggok. Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada poses pengolahan

Lebih terperinci