HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Hidrolisat Pati Sagu Sebelum digunakan sebagai media kultivasi, hidrolisat pati sagu terlebih dahulu dikarakterisasi (Tabel 2). Parameter konsentrasi total gula dan total nitrogen digunakan sebagai dasar perhitungan konsentrasi karbon dan nitrogen dalam formulasi media kultivasi. Profil gula (sakarida) menggambarkan berbagai jenis gula yang terkandung dalam hidrolisat pati sagu. Hal ini terkait dengan efektifitas proses hidrolisis yang dilakukan dan juga terkait dengan evaluasi kemungkinan konsumsi gula oleh bakteri. Sementara itu, informasi mengenai kandungan logam pada hidrolisat pati sagu digunakan untuk mendeteksi jika ada logam-logam yang mungkin dapat menghambat atau justru menunjang pertumbuhan bakteri. Tabel 2 Karakteristik hidrolisat pati sagu Komponen Jumlah Satuan Konsentrasi total gula g/l Komposisi gula : Glukosa Maltosa Maltotriosa Matotetrosa Maltopentosa Maltoheksosa Maltoheptosa Lainnya 43,29 9,04 14,71 9,71 7,46 4,82 9,46 1,51 % % % % % % % % Nitrogen 141,75 mg/l Kandungan logam : Pb Zn Cu Fe Ca Mn Mg Na K 0,057 0,276 0,024 0,411 78,725 4,416 7,325 2,111 99,75 ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm

2 33 Konsentrasi total gula hidrolisat sagu sebagaimana tertera pada Tabel 2 adalah 465 g/l, menunjukkan bahwa terdapat 465 g glukosa/l hidrolisat pati sagu, baik dalam bentuk glukosa bebas (monosakarida) maupun unit-unit glukosa yang terikat sebagai molekul disakarida maupun oligosakarida. Kurva standar untuk penentuan konsentrasi glukosa disajikan pada Lampiran 3. Pada pembahasan selanjutnya, istilah konsentrasi total gula (hasil analisis menggunakan metode Fenol-Sulfat) menggambarkan konsentrasi total glukosa yang terdapat pada analat. Berdasarkan hasil analisis HPLC (Lampiran 4 dan 5) didapatkan bahwa selain mengandung glukosa sebagai komponen gula utama (43,29%), hidrolisat pati sagu juga mengandung maltosa (disakarida ), maltotriosa, maltotetrosa, maltopentosa, maltoheksosa dan maltoheptosa (oligosakarida ) lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis yang terjadi belum sempurna. Meskipun demikian, dengan terurainya komponen polis akarida pati sagu yang kompleks menjadi turunan gula yang lebih sederhana akan memudahkan bakteri memanfaatkannya sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan dan pembentukan produk yang diharapkan. Babel et al. (2001) me nyatakan bahwa PHB dapat disintesis dari komponen-komponen C 1 tereduksi seperti metana dan metanol, dari Knallgas (gas peledak) dan dari substrat multikarbon seperti karbohidrat dan hidrokarbon baik dari substrat murni maupun limbah bahkan dari komponen beracun seperti fenol. R. eutropha tipe liar dilaporkan dapat tumbuh pada fruktosa sedangkan tipe mutan dapat tumbuh pada glukosa (John et al. 1994). Karbohidrat lain yang telah diteliti dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan dan produksi PHA oleh R. eutropha adalah xilosa (Linko et al. 1993), L-laktat hasil konversi xilosa (Tanaka et al. 1993), hidrolisat laktosa, gula invert (Marangoni et al. 2001), selulosa limbah jagung (Chakraborty et al. 2004) dan hidrolisat tapioka yang mengandung 90% glukosa (Kim dan Chang 1995 dikutip oleh Madison dan Huisman 1999). Pada penelitian ini akan dikaji kemampuan R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu yang mengandung glukosa sekitar 43%. Kandungan nitrogen dan mineral logam pada hidrolisat sagu seperti Mg, Fe, Na, K, Zn, Cu, Ca, Mn merupakan elemen-elemen yang dibutuhkan untuk

3 34 pertumbuhan mikroba. Nitrogen pada hidrolisat pati sagu berasal dari kandungan protein alami pada pati sagu dan komponen protein pada enzim yang digunakan pada proses hidrolisis pati sagu, yaitu a-amilase dan amiloglukosidase. Hughes et al. (1984) menyatakan bahwa berbagai nutrisi dalam bentuk garam larut air yang secara umum dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba adalah nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), potasium (K), sodium (Na), magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan besi (Fe). Selain itu juga dibutuhkan mineral kelumit seperti mangan (Mn), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Konsent rasi mineral yang paling dominan pada hidrolisat pati sagu adalah K (kalium) sebanyak 99,75 ppm dan Ca (kalsium) sebanyak 78,725 ppm. Kalsium terutama berasal dari penambahan CaCO 3 yang berfungsi sebagai penstabil a-amilase pada proses likuifikasi pati sagu. Pada media kultivasi, berfungsi sebagai sumber karbon adalah hidrolisat pati sagu sedangkan sebagai sumber nitrogen adalah (NH 4 ) 2 HPO 4 yang merupakan nitrogen inorganik dan kandungan nitrogen organik yang terdapat dalam hidrolisat sagu. Rasio C/N media pada awal kultivasi diatur dengan perbandingan 10:1 dengan asumsi penghitungan bahwa konsentrasi karbon dalam gula (glukosa) adalah 40% (sebanding dengan perbandingan bobot atom C dalam molekul gula) sedangkan konsentrasi N dalam (NH 4 ) 2 HPO 4 adalah 21,21% (sebanding dengan perbandingan bobot atom N dalam molekul diamonium hidrogen fosfat). Jumlah (NH 4 ) 2 HPO 4 yang ditambahkan disesuaikan dengan jumlah N yang terdapat pada hidrolisat sagu sedemikian, sehingga konsentrasi total N dalam media mencapai sepersepuluh konsentrasi karbon. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2. Penetapan rasio C/N awal media 10:1 dipilih berdasarkan hasil penelitian Syamsu et al. (2003), Chakraborty et al. (2004) dan Wicaksono (2005). Syamsu et al. (2003) mendapakan bahwa R. eutropha IAM yang ditumbuhkan pada susbtrat hidrolisat minyak sawit dengan rasio C/N 10:1 menunjukkan kadar PHA dalam sel tertinggi. Chakraborty et al. (2004) melaporkan bahwa R. eutropha ATCC yang ditumbuhkan pada substrat CCS (condensed corn soluble ) dengan rasio C/N 10:1 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan sel yang optimum dibandingkan dengan rasio C/N 5:1 maupun 15:1. Wicaksono (2005) mendapatkan bahwa

4 35 pertumbuhan R. eutropha IAM pada hidrolisat minyak sawit (skala labu kocok 250 ml) pada rasio C/N sekitar 10:1 (konsentrasi karbon 41,9 g/l dan konsentrasi nitrogen 4,3 g/l) menunjukkan konsentrasi biomassa tertinggi yaitu 19,43 g/l. Sementara itu, konsentrasi PHA maksimum sebesar 10,96 g/l diperoleh pada konsentrasi karbon 40 g/l dan konsentrasi nitrogen 4,5 g/l (rasio C/N sekitar 9:1). Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa media kultivasi dengan rasio C/N awal sekitar 10:1 kondusif bagi pertumbuhan sel R. eutropha sekaligus juga bagi pembentukan PHA di dalam sel R. eutropha. Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha Kultivasi R. eutropha pada Labu Kocok 250 ml Produksi PHA oleh R. eutropha dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan sel yang bertujuan untuk pembentukan biomassa dan tahap akumulasi polimer, tergantung dari sumber karbon yang diumpankan dengan pembatasan-pembatasan nutrisi (nitrogen, fosfat, oksigen, dll). Dikarenakan PHA merupakan granula intraselular maka laju pertumbuhan spesifik pada tahap pertama haruslah setinggi mungkin agar tercapai produktifitas sel yang optimal (Marangoni et al. 2001). Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap ini dilakukan evaluasi konsentrasi gula yang memberikan laju pertumbuhan spesifik maksimal R. eutropha yang tertinggi pada kultivasi batch. Pola pertumbuhan sel R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada skala labu kocok 250 ml dengan konsentrasi awal total gula hidrolisat pati sagu 10, 20, 30, 40, 50 g/l dan rasio C/N awal 10:1 disajikan pada Gambar 9 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 6a). R. eutropha secara umum mengalami fase eksponensial pada jam ke-6 hingga jam ke-24, tumbuh melambat pada jam ke-24 hingga jam ke-36 dan cenderung stasioner mulai jam ke-36. Terkecuali pada konsentrasi gula 10 g/l, sel tumbuh secara eksponensial setelah jam ke-0 hingga jam ke-12, melambat hingga jam ke-30 dan cenderung stasioner mulai jam ke-30.

5 36 Ln konsentrasi sel kering (g/l) Waktu (jam) TG 10 g/l TG 20 g/l TG 30 g/l TG 40 g/l TG 50 g/l Gambar 9 Pola pertumbuhan R. eutropha secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu (labu kocok 250 ml). Pada rentang konsentrasi gula awal 10 sampai 50 g/l, secara umum semakin tinggi konsentrasi gula maka semakin tinggi pula konsentrasi sel R. eutropha yang tumbuh selama kultivasi meskipun tida k demikian dengan tingkat laju pertumbuhannya. Pada rasio C/N awal yang sama, semakin tinggi konsentrasi karbon dan nitrogen dalam media berarti semakin banyak bahan yang dapat dikonversi menjadi materi penyusun dan penggandaan sel. Evaluasi konsentrasi gula yang akan digunakan pada tahap selanjutnya dilakukan berdasarkan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimal (µ maks ) yang tertinggi. Nilai µ maks merupakan gradien kemiringan garis (slope) yang didapatkan dari hasil regresi linier nilai Ln (logaritmik natural) konsentrasi sel kering selama fase pertumbuhan eksponensial yaitu jam ke-6 sampai dengan jam ke-24 (Gambar 10). Rekapitulasi nilai µ maks R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi gula awal hidrolisat pati sagu (skala labu kocok 250 ml) disajikan pada Tabel 3.

6 37 Ln Konsentrasi sel kering (g/l) y10 = 0,076x - 1,2578 y20 = 0,0892x - 1,1562 y30 = 0,1083x - 1,2804 y40 = 0,1082x - 1,0679 y50 = 0,0966x - 0, TG 10 g/l TG 20 g/l TG 30 g/l TG 40 g/l TG 50 g/l Waktu (jam) Gambar 10 Plot nilai µ maks R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Tabel 3 Nilai µ maks R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi gula hidrolisat pati sagu Konsentrasi gula awal (g/l) µmaks (jam -1 ) 10 0, , , , ,0966 Pada rentang konsentrasi gula g/l, terdapat kecenderungan semakin tinggi konsentrasi gula maka semakin tinggi pula nilai µ maks yang diperoleh; menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimal semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi karbon dan nitrogen dalam media. Akan tetapi, µ maks pada konsentrasi gula 30 g/l relatif sama dengan µmaks pada konsentrasi gula 40 g/l sedangkan pada konsentrasi gula 50 g/l, µ maks justru sedikit menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi gula yang lebih besar dari 40 g/l, sel mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya penghambatan substrat atau akumulasi produk samping selama kultivasi, seperti asam-asam organik, yang pada taraf tertentu dapat menghambat laju pertumbuhan bakteri. Scragg (1991) menyatakan bahwa substrat

7 38 tertentu seperti glukosa dan NaCl pada konsentrasi tinggi dapat menjadi toksik yang menyebabkan penghambatan pertumbuhan dan menurunkan nilai µ. Pada konsentrasi glukosa yang tinggi ( g/l), tekanan osmotik dalam media menyebabkan sel mengalami dehidrasi. Hanya organisme osmotoleran yang dapat bertahan pada kondisi tersebut. Greasam (1993) juga menyatakan bahwa jika konsentrasi glukosa pada media ditingkatkan hingga 50 g/l atau lebih maka pertumbuhan bakteri mulai menurun karena terjadi dehidrasi sel (plasmolisis). Nilai µ maks yang didapatkan pada penelitian ini berkisar 0,0760-0,1083/jam; nilai µ maks tertinggi diperoleh pada konsentrasi gula 30 g/l, yaitu 0,1083/jam. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan temuan dan Braunegg et al. (1995) dan Marangoni et al. (2001). Nilai µ maks R. eutropha mutan DSM 454 yang ditumbuhkan secara batch dengan sumber karbon gula invert, glukosa, fruktosa dan galaktosa berturut-berturut adalah 0,26, 0,23, 0,21 dan 0,13 jam -1 (Marangoni et al. 2001). Sementara itu, nilai µ maks R. eutropha G 3+ yang ditumbuhkan dengan sumber karbon glukosa mencapai 0,32 jam -1 (Braunegg et al. 1995). Lambatnya pertumbuhan sel pada hidrolisat pati sagu diduga disebabkan oleh terbatasnya kemampuan R. eutropha untuk memecah gula -gula kompleks yang terdapat pada hidrolisat pati sagu. Pada dasarnya, bakteri akan mengkonsumsi gula yang paling sederhana (glukosa) terlebih dahulu kemudian beradaptasi untuk memecah gula-gula yang lebih panjang (maltosa-maltoheptosa) jika memiliki enzim yang dapat memecah ikatan a -glikosidik antar monomer glukosa. Berdasarkan hasil evaluasi konsumsi gula oleh R. eutropha selama kultivasi batch (Gambar 11), terlihat bahwa konsentrasi gula sisa pada akhir kultivasi jam ke-48 mencapai > 20% dari konsentrasi gula awal. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 20% gula kompleks yang terdapat pada hidrolisat pati sagu tidak dikonsumsi atau tidak dapat dipecah oleh R. eutropha.

8 39 Konsentrasi gula sisa (g/l) y10 = -0,1589x + 9,7916 y20 = -0,25x + 16,606 y30 = -0,4379x + 25,169 y40 = -0,5428x + 31,853 y50 = -0,7156x + 42, Waktu (jam) TG 10 g/l TG 20 g/l TG 30 g/l TG 40 g/l TG 50 g/l Gambar 11 Pola konsumsi gula R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Pada Gambar 11 terlihat bahwa konsentrasi gula menurun selama kultivasi berlangsung; menunjukkan bahwa R. eutropha mengkonsumsi sebagian besar gula yang terdapat pada hidrolisat pati sagu untuk proses metabolisme sel dan atau produk. Kemiringan garis dari persamaan regresi linier menggambarkan besarnya kecepatan konsumsi gula (g/l.jam) pada tingkat konsentrasi gula awal yang dicobakan (10, 20, 30, 40 dan 50 g/l). Tampak bahwa pada konsentrasi gula awal yang semakin tinggi, kecepatan konsumsi gula juga semakin tinggi. Hal ini terkait dengan semakin tingginya konsentrasi sel yang terbentuk dengan semakin tingginya konsentrasi awal gula hidrolisat pati sagu. Data konsentrasi gula sisa selama kultivasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 6b. Oleh karena nilai µ maks yang diperoleh pada total gula 30 g/l relatif sama dengan µ maks pada total gula 40 g/l maka untuk menentukan konsentrasi gula awal terbaik digunakan parameter lain, yaitu nilai Y x/s. Nilai Y x/s merupakan kemiringan garis (slope) hasil plot linier konsentrasi sel yang terbentuk akibat konsumsi sejumlah gula pada selang waktu tertentu (Gambar 12). Rekapitulasi nilai Y x/s selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

9 40 (X-Xo) y10 = 0,2921x - 0,0814 y20 = 0,2829x - 0,9109 y30 = 0,2267x - 0,8792 y40 = 0,1648x - 0,8442 y50 = 0,1633x - 0, (So-S) TG 10 g/l TG 20 g/l TG 30 g/l TG 40 g/l TG 50 g/l Linear (TG Gambar 12 Plot nilai Y x/s R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Tabel 4 Nilai Y x/s R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada hidrolisat pati sagu Konsentrasi gula awal (g/l) Y x/s (g sel/g gula) 10 0, , , , ,163 Nilai Y x/s pada penelitian ini berkisar 0,163-0,292 g sel/g gula; hasil tersebut lebih rendah daripada temuan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan koefisien yield biomassa dari sumber karbon tunggal glukosa (Y x/s ) 0,47 g sel/g glukosa selama fase pertumbuhan R. eutropha G 3+ pada skala labu kocok dengan nutrisi pembatas NH + 4. Rendahnya koefisien rendemen molekular ini mengindikasikan bahwa keberadaan gula-gula yang lebih kompleks dari glukosa pada hidrolisat pati sagu menyebabkan efisiensi konversinya menjadi sel relatif rendah. Berdasarkan studi literatur, sejauh ini belum pernah dilaporkan bahwa R. eutropha dapat tumbuh pada maltosa dan oligosakarida daripada glukosa seperti maltotriosa, maltotetrosa, maltopentosa, maltoheksosa maupun maltoheptosa. Berbagai referensi menunjukkan bahwa R. eutropha dapat tumbuh dan memproduksi PHA dengan sumber karbon gula-gula sederhana (monosakarida)

10 41 seperti fruktosa, glukosa, galaktosa dan xilosa; kalaupun substrat yang digunakan merupakan dimer, oligomer atau polimer maka terlebih dahulu harus dilakukan tahap hidrolisis untuk memecah ikatan polimerik. Berdasarkan Tabel 4, secara umum nilai Y x/s cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi gula. Semakin banyak nutrisi yang tersedia maka efisiensi konversinya menjadi sel cenderung berkurang. Nilai Y x/s pada perlakuan 30 g/l (0,227 g sel/g gula) lebih tinggi dibandingkan nilai Y x/s pada perlakuan 40 g/l (0,165 g sel/g gula); menunjukkan bahwa konversi substrat sel pada perlakuan 30 g/l lebih efisien daripada perlakuan 40 g/l. Oleh karena itu untuk tahap selanjutnya dipilih konsentrasi total gula awal 30 g/l. Kultivasi R. eutropha pada Bioreaktor 2 L Untuk mempelajari kinetika kultivasi secara lebih rinci, R. eutropha ditumbuhkan secara batch pada bioreaktor berkapasitas 2 L, volume kerja 1 L selama 96 jam. Pada penelitian ini, proses recovey (pemisahan) PHA dari sel dilakukan dengan metode NaOH digestion (Lee et al. 1999). Endapan sel hasil sentrifugasi kultur direaksikan dengan larutan NaOH 0,2 N yang berfungsi untuk memecah bahan-bahan sel non-pha. Pada kondisi alkali, dinding sel akan rusak dan PHA terlepas dari sel (Schlingmann dan Präve 1978 dikutip oleh Lafferty et al. 1988). Sebagaimana penggunaan sodium hipoklorit, larutan alkali akan melarutkan materi-materi sel selain PHA. Pola pertumbuhan seldan pembentukan PHA oleh R. eutropha dievaluasi. Hasil percobaan (Gambar 13) menunjukkan bahwa sel R. eutropha mengalami fase pertumbuhan eksponensial setelah jam ke -0 hingga jam ke-36, tumbuh melambat pada jam ke-36 sampai jam ke-48 dan memasuki fase pertumbuhan stasioner mulai jam ke-48. Oleh karena PHA merupakan produk intraselular maka konsentrasi sel perlu dikoreksi sebagai konsentrasi residu sel yang menunjukkan konsentrasi sel kering dikurangi dengan konsentrasi PHA yang terbentuk. PHA mulai terbentuk sejak jam ke -12, konsentrasinya meningkat sampai jam ke-60 dan cenderung menurun hingga akhir kultivasi jam ke-96. Pada jam ke-48 hingga jam ke-60 ketika konsentrasi residu sel menurun, konsentrasi PHA justru sedikit meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi total

11 42 sel (sel dan PHA) yang cenderung konstan masih terjadi sintesis/akumulasi PHA di dalam sel pada awal fase stasioner. Kecepatan pembentukan PHA selama kultivasi batch selengkapnya dapat dilihat pada Gambar Konsentrasi (g/l) Waktu (jam) [sel kering] [PHA] [residu sel kering] Gambar 13 Pola pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada hidrolisat pati sagu (batch, bioreaktor 2 L). 0,04 0,036 0,03 0,027 dp/dt (g/l/jam) 0,02 0,01 0,008 0, ,01 Waktu (jam) Gambar 14 Kecepatan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada kultivasi batch. Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kecepatan pembentukan PHA meningkat signifikan hingga jam ke -36 dan perlahan menurun hingga tidak terjadi lagi pembentukan PHA pada jam ke -72. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan PHA te rjadi sejak fase eksponensial hingga awal fase stasioner.

12 43 Menjelang akhir kultivasi (setelah jam ke-72), ketika ketersediaan karbon dalam media sudah menipis, terjadi penurunan konsentrasi PHA. Diduga mulai terjadi depolimerisasi PHA menjadi karbondioksida dan air yang akan digunakan sebagai sumber karbon dan energi bagi sel akibat keterbatasan nutrisi karbon yang tersedia dalam media. Fenomena di atas sejalan dengan temuan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan bahwa sintesis PHA oleh R. eutropha G +3 dengan substrat glukosa menunjukkan pola berasosiasi sebagian dengan pertumbuhan (partial association with growth), yaitu pembentukan PHA sebagian terjadi pada fase pertumbuhan eksponensial dan sebagian terjadi pada fase pertumbuhan stasioner. Namun demikian, hal ini bertentangan dengan pendapat Madison dan Huisman (1999) yang menyatakan bahwa R. eutropha tidak memulai pembentukan PHA sampai fase stasioner. Literatur tentang pola pembentukan PHA oleh R. eutropha terkadang menyatakan hal yang berbeda-beda karena galur R. eutropha yang digunakan juga berbeda. Pola penggunaan gula oleh R. eutropha selama 96 jam kultivasi batch dan kecepatan konsumsinya disajikan pada Gambar 15. R. eutropha akan mengkonsumsi gula yang lebih sederhana (glukosa, maltosa) terlebih dahulu dibandingkan gula yang lebih kompleks (oligosakarida). Semakin sederhana komponen gula maka semakin cepat laju konsumsinya Konsentrasi gula sisa (g/l) ,21 0,83 0,65 0,8 0,6 0,4 0,2 ds/dt (g/l.jam) Waktu (jam) Konsumsi gula Kecepatan konsumsi gula Gambar 15 Pola dan kecepatan konsumsi gula dalam hidrolisat pati sagu oleh R. eutropha selama kultivasi batch.

13 44 Kecepatan konsumsi gula (dihitung sebagai glukosa) oleh R. eutropha berfluktuasi selama kultivasi. Hal ini terkait dengan laju pertumbuhan sel pada masing-masing fase pertumbuhannya dan komposisi gula yang beragam pada hidrolisat sagu. Pada fase pertumbuhan eksponensial, laju konsumsi gula meningkat tajam dari 0,21 hingga 0,83 g/l.jam. Ketika laju pertumbuhan sel melambat, laju konsumsi gula juga melambat menjadi 0,65 g/l.jam. Memasuki fase stasioner (mulai jam ke-48), laju konsumsi gula menurun tajam hingga 0,08 g/l.jam pada jam ke-60 dan mendekati angka nol pada jam ke-72 seiring dengan semakin rendahnya residu gula dalam media. Pada fase stasioner (terutama jam ke-60 hingga jam ke-96), konsentrasi residu gula mendekati titik nol (< 1 g/l) seiring dengan laju pertumbuhan spesifik (µ) yang menunjukkan angka nol sedangkan? S/So mencapai 99% (data disajikan pada Lampiran 7). Fenomena ini menunjukkan bahwa hidrolisat pati sagu yang mengandung gula -gula kompleks dapat digunakan oleh R. eutropha sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan sel dan pembentukan produk hingga 99% selama 96 jam kultivasi batch pada skala bioreaktor 2 L, hanya sekitar 1% yang tidak dapat dikonsumsi. Kemungkinan besar komponen yang tidak dikonsumsi adalah komponen gula yang lebih kompleks daripada maltoheptosa dimana jumlah komponen tersebut pada hidrolisat sagu mencapai 1,51% (Tabel 2). Namun demikian, kemampuan R. eutropha dalam memecah oligosakarida dari glukosa ini belum dapat dijustifikasi karena memerlukan klarifikasi lebih lanjut, misalnya analisis HPLC untuk mengevaluasi komposisi gula kultur pada awal dan akhir kultivasi batch. Pada penelitian ini, analisis tersebut tidak lakukan. Parameter kinetika kultivasi R. eutropha secara batch pada bioreaktor 2 L terkait dengan laju pertumbuhan spesifik (µ maks ), rendemen sel yang terbentuk per g substrat (Y x/s ), rendemen produk PHA per g substrat (Y p/s ), rendemen produk PHA per g sel (Y p/x ) dan tingkat konsumsi gula selama 96 jam kultivasi (? S/So) disajikan pada Tabel 5. Nilai µ maks yang didapat 0,109 jam -1, lebih rendah daripada hasil percobaan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan nilai µ maks sebesar 0,19 jam -1 selama fase pertumbuhan R. eutropha G 3+ dengan sumber karbon glukosa pada bioreaktor 10 L. Nilai Y x/s yang didapat pada penelitian ini lebih besar daripada nilai Y p/s. Hal ini menunjukkan bahwa gula yang dikonsumsi lebih

14 45 banyak digunakan untuk pembentukan dan penggandaan sel dibandingkan untuk pembentukan produk PHA. Tabel 5 Parameter kinetika kultivasi batch R. eutropha yang ditumbuhkan pada hidrolisat pati sagu (bioreaktor 2 L) Parameter Nilai µ maks 0,109 jam -1 Y x/s 0,15 g sel/g gula Y p/s 0,06 g PHA/g gula Y p/x 0,38 g PHA/ g sel? S/So 0,99 Pada kondisi pertumbuhan yang relatif seimbang (rasio awal C/N 10:1), secara alami R. eutropha mengakumulasi PHA dalam selnya meskipun relatif rendah, ditunjukkan dengan nilai Y p/x = 0,38 g PHA/g sel. PHA disintesis sebagai bahan cadangan karbon dan energi intraselular. Dengan demikian, bakteri yang secara alami menghasilkan PHA memiliki ketahanan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak (Tal dan Okon 1985 dikutip oleh Kim dan Lenz 2001). Pada akhir kultivasi (jam ke-96) dihasilkan biomassa kering dengan konsentrasi 4,41 g/l dan PHA dengan konsentrasi 1,44 g/l atau 32,65 % dari bobot biomassa. Data dan penghitungan kinetika kultivasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Kultivasi Fed-batch Percobaan utama yang dilakukan pada tahap ini adalah ketika konsentrasi sel mencapai maksimum dan konsentrasi gula dalam media hampir habis dikonsumsi mikroba pada awal fase pertumbuhan stasioner maka diumpankan berbagai formula substrat/media segar ke dalam kultur untuk dilihat responnya terhadap pembentukan sel dan PHA. Berdasarkan informasi pada tahap sebelumnya bahwa fase pertumbuhan stasioner (ketika konsentrasi gula sisa dalam media mendekati 1 g/l) mulai terjadi pada jam ke-48 dan nilai µ maks = 0,109/jam maka pengumpanan substrat dilakukan mulai jam ke-48 dengan fluktuasi laju dilusi diatur sedemikian, sehingga lebih kecil dari 0,109/jam.

15 46 Teknik pengumpanan substrat ini dikembangkan untuk menjaga konsentrasi sumber karbon agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHA (Lee dan Choi 2001). Hal ini didasarkan pada fenomena akumulasi PHA dalam sel R. eutropha dapat dipicu bila nutrisi dalam media tidak seimbang, misalnya pada saat konsentrasi karbon berlebih dan nutrisi esensial lainnya terbatas. Beberapa literatur menyebutkan jenis nutrisi pembatas yang dapat memicu akumulasi PHA oleh R. eutropha adalah amonium (Kim dan Lenz 2001), fosfat (Ryu et al. 1997), magnesium atau sulfat (Repaske dan Repaske 1976 dikutip oleh Lefebvre et al. 1997). Hipotesis yang akan dibuktikan pada tahapan penelitian ini adalah dengan mengumpankan sumber karbon saja (dalam hal ini hidrolisat sagu) diduga dapat meningkatkan konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel. Sementara itu, pengumpanan sumber karbon yang dilengkapi dengan sumber N dan mineral maupun pengumpanan media lengkap diduga dapat meningkatkan konsentrasi sel sekaligus perolehan PHA. Berdasarkan hal tersebut, akan dilihat jenis pembatasan nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha. Pada perlakuan F1, ke dalam kultur diumpankan media segar dengan komposisi dan volume sama dengan media yang digunakan pada awal kultivasi batch. Volume awal media batch dan volume umpan masing-masing adalah 500 ml. Dengan kecepatan pengumpanan konstan 1 ml/menit maka waktu pengumpanan berlangsung selama 8,33 jam dengan laju dilusi berfluktuasi dari 0,107/jam pada jam pertama pengumpanan kemudian menurun hingga 0,06/jam saat pengumpanan berakhir (Gambar 16a). Laju dilusi menurun karena volume kultur meningkat selama pengumpanan susbtrat baru. Pada perlakuan F2, larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/l). Pada perlakuan F3, larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/l) ditambah dengan MgSO 4 8,57 g/l sedangkan pada perlakuan F4 larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/l) ditambah dengan MgSO 4 8,57 g/l dan (NH4)2HPO4 56,15 g/l. Ke dalam kultur awal sebanyak 1 L (F2, F3 dan F4) diumpankan sejumlah larutan stok yang setara dengan 20 g gula/l kultur atau sekitar 66,7 ml dengan kecepatan pengumpanan konstan 1,7 ml/menit sehingga

16 47 waktu pengumpanan hanya berlangsung sekitar 39,2 menit dengan laju dilusi cenderung konstan yaitu sekitar 0,1/jam (Gambar 16b). Pada perlakuan F4, dilakukan dua kali pengumpanan yaitu pada jam ke-48 dan ke-96 yaitu pada kondisi ph kultur > 6,9 (menandakan konsentrasi gula dalam kultur hampir habis). Laju dilusi cenderung konstan karena substrat yang diumpankan berupa konsentrat yang tidak signifikan menambah volume akhir kultur. 0,12 Laju dilusi (/jam) 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 Laju dilusi F1 0, Waktu pengumpanan (jam) (a) 0,12 Laju dilusi (1/jam) 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0, Waktu pengumpanan (menit) Pengumpanan ke-1 (F2,F3,F4) Pengumpanan ke-2 (F4) Gambar 16 Laju dilusi pada kultivasi fed-batch (a) F1 (b) F2, F3, F4 (b) Rekapitulasi data konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi batch dan fed -batch disajikan pada Tabel 6. Data pertumbuhan sel dan konsumsi gula selama kultivasi F1, F2, F3 dan F4 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, 10 dan 11 sedangkan penghitungan laju dilusi dapat dilihat pada Lampiran 12.

17 48 Tabel 6 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam selr. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed -batch Perlakuan F1 F2 F3 F4 Batch Keterangan : F1 Konsentrasi sel kering (g/l) 3,34 ± 0,11 4,86 ± 0,14 3,67 ± 0,28 4,58 ± 0,24 4,41 ± 0,32 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Umpan hidrolisat sagu F3 : Umpan hidrolisat sagu + MgSO 4 F4 : Umpan hidrolisat sagu + (NH 4 ) 2 HPO 4 + MgSO 4 Batch : tanpa umpan Konsentrasi PHA (g/l) 2,15 ± 0,03 3,72 ± 0,24 2,12 ± 0,05 1,85 ± 0,06 1,44 ± 0,27 Kadar PHA dalam sel (%b/b) 64,37 ± 2,30 76,54 ± 5,41 57,77 ± 4,61 40,39 ± 2,49 32,65 ± 6,56 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa variasi jenis substrat pengumpan tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir sel kering (Lampiran 15), akan tetapi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir PHA (Lampiran 16a) dan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar PHA dalam sel (Lampiran 17a). Uji lanjut Tukey dan Fisher (Lampiran 16b dan 16c) menunjukkan bahwa konsentrasi akhir PHA akibat perlakuan F2 (pengumpanan dengan hidrolisat sagu) berbeda nyata dibandingkan empat perlakuan lainnya (F1, F3, F4 dan batch). Konsentrasi PHA akibat perlakuan F1, F3, F4 dan batch tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya. Sementara itu, uji lanjut Tukey dan Fisher (Lampiran 17b dan 17c) menunjukkan bahwa kadar PHA dalam sel akibat perlakuan F1, F2 dan F3 berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (batch). Kadar PHA dalam sel akibat perlakuan F4 (pengumpanan dengan hidrolisat sagu+n+mg) tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (batch). Kadar PHA dalam sel akibat perlakuan F2 berbeda dengan F4 dan kontrol tetapi tidak berbeda dengan perlakuan F1 dan F3. Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultivasi Pola pertumbuhan sel (dihitung sebagai total sel hidup dan mati) pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum substrat yang diumpankan pada awal fase stasioner tidak signifikan meningkatkan konsentrasi sel pada akhir kultivasi.

18 49 Ln konsentrasi sel kering (g/l) Waktu (jam) F1 F2 F3 F4 Batch Poly. (F1) Poly. (F2) Poly. (F3) Poly. (F4) Poly. (Batch) Keterangan : F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Media pengumpan hidrolisat sagu F3 : Media pengumpan hidrolisat sagu + MgSO 4 F4 : Media pengu mpan hidrolisat sagu + (NH 4 ) 2 HPO 4 + MgSO 4 jam ke-48 dan ke-96 Batch : Tanpa umpan Gambar 17 Pertumbuhan sel R. eutropha pada kultivasi batch dan fed -batch (bioreaktor 2 L). Meskipun mungkin jumlah sel meningkat dengan bertambahnya waktu kultivasi namun konsentrasi sel cenderung konstan sampai akhir kultivasi dengan bertambahnya volume kultur akibat pengumpanan. Hal ini terkait dengan besaran laju dilusi dan laju pertumbuhan spesifik sel pada saat pengumpanan dimulai. Pada penelitian ini laju dilusi diatur sedemikian, sehingga berada pada kisaran di bawah nilai µmaks. Sementara itu, pengumpanan untuk meningkatkan perolehan PHA dilakukan pada awal fase stasioner dimana laju pertumbuhan spesifik mendekati angka nol. Oleh karena itu, laju konsumsi substrat menjadi lebih kecil dibandingkan dengan laju pengumpanan substrat, sehingga peningkatan konsentrasi sel menjadi tidak nyata besarnya. Selain itu, konsentrasi sel yang terukur merupakan total sel hidup dan sel mati sekaligus PHA yang terdapat di dalam sel. Dalam hal ini substrat dikonsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan karbon, energi dan komponen struktural untuk pertumbuhan sel, namun juga digunakan untuk pemeliharaan viabilitas sel seperti mekanisme

19 50 perbaikan sel, proses transpor substrat, pemeliharaan membran dan pembentukan produk (Scragg 1991). Terkait dengan temuan di atas, terdapat beberapa alasan lain kemungkinan yang menyebabkan pertumbuhan sel konstan pada tahap fed-batch sebagaimana dikemukakan oleh Kim et al. (1992), yaitu: Pertama, pertumbuhan sel menurun karena terjadinya diversi (perubahan) lintasan asetil-koa dari jalur pertumbuhan sel ke jalur produksi PHA. Kedua, penggandaan sel menjadi abnormal sejak terbentuknya granula PHA. Dengan adanya akumulasi PHA dalam sel, sel menjadi lebih gemuk (Gambar 18b) dibandingkan sel yang ditumbuhkan pada media seimbang (Gambar 18a), sehingga menghambat laju penggandaan sel. Ketiga, kultur menjadi kekurangan oksigen ketika jumlah sel maksimal pada akhir tahap batch. Pada penelitian ini, aerasi selama kultivasi ditetapkan sebesar 0,2 vvm, sehingga kemungkinan besar kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan tidak terpenuhi akibat ketersediaannya dalam bioreaktor tidak ditambah. Keempat, adanya pembentukan asam asetat (hasil glikolisis) sebagai produk samping kultivasi yang dalam konsentrasi tertentu dapat menghambat pertumbuhan sel. Pada penelitian ini, ph kultur cenderung menurun selama kultivasi, ditunjukkan dengan banyaknya volume larutan NaOH 2 N (> 100 ml) yang dibutuhkan untuk menaikkan ph kultur agar sesuai dengan set ph awal sebesar 6,9. Hal ini menunjukkan bahwa selama kultivasi banyak terbentuk asamasam sebagai hasil samping kultivasi.

20 51 (a) kultivasi batch pada media Nutrient Broth, jam ke-24 Sel yang membengkak (b) kultivasi fed -batch F2 pada hidrolisat pati sagu, jam ke-96 Gambar 18 Sel R. eutropha (mikroskop cahaya, perbesaran 1000 kali) Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi Hasil akhir perolehan PHA pada perlakuan F1, F2, F3 dan F4 dibandingkan dengan kontrol batch (tanpa pengumpanan) disajikan pada Gambar 19. Perlakuan pengumpanan dengan hidrolisat sagu (F2) merupakan perlakuan

21 52 pengumpanan yang menghasilkan konsentrasi PHA tertinggi sebesar 3,72 g/l (76,54% dari bobot kering sel). Pengumpanan dengan media lengkap (F1) menghasilkan konsentrasi PHA sebesar 2,15 g/l (63,97% dari bobot kering sel), sedikit lebih tinggi daripada konsentrasi PHA hasil pengumpanan dengan hidrolisat sagu + MgSO 4 (F3) yang mencapai 2,12 g/l (57,77% dari bobot kering sel). Pengumpanan dengan hidrolisat sagu + (NH 4 ) 2 HPO 4 + MgSO 4 (F4) menghasilkan konsentrasi PHA yang paling kecil yaitu 1,85 g/l (40,39% dari bobot kering sel). Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada semua perlakuan pengumpanan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol batch. Persentase peningkatan konsentrasi PHA akibat perlakuan F1, F2, F3 dan F4 berturut-turut adalah 49, 158, 47 dan 28% sedangkan persentase peningkatan kadar PHA dalam sel berturut-turut adalah 96, 134, 77 dan 24% bila dibandingkan dengan kontrol batch. Batch 1,44 32,65 Perlakuan pengumpanan F4 F3 F2 1,85 2,12 3,72 40,39 57,77 76,54 F1 2,15 63,97 Konsentrasi PHA (g/l) Kadar PHA dalam sel (%) Keterangan : F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Umpan hidrolisat sagu F3 : Umpan hidrolisat sagu + MgSO 4 F4 : Umpan hidrolisat sagu + (NH 4 ) 2 HPO 4 + MgSO 4 Batch : Tanpa umpan Gambar 19 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi batch dan fed-batch.

22 53 Terdapat kecenderungan bahwa pengumpanan dengan hidrolisat pati sagu (F2) menghasilkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel tertinggi. Pengumpanan hidrolisat pati sagu dengan MgSO 4 (F3) sedikit menurunkan konsentrasi dan kadar PHA dalam selsedangkan penambahan hidrolisat pati sagu dengan MgSO 4 dan (NH 4 ) 2 HPO 4 justru menurunkan perolehan PHA. Sementara itu, pengumpanan dengan media lengkap (F1) menghasilkan konsentrasi akhir PHA yang relatif rendah (berbeda nyata dengan F2 tetapi tidak berbeda nyata dengan batch ), namun kadar PHA dalam selnya cukup tinggi (tidak berbeda nyata dengan F2 tetapi berbeda nyata dengan batch). Hal ini menunjukkan bahwa pengumpanan perlahan dengan media yang kamba atau bulky (bukan konsentrat sebagaimana F2, F3 dan F4) pada kultivasi fed -batch dapat meningkatkan kadar PHA dalam sel, tetapi tidak nyata meningkatkan konsentrasi PHA dalam media karena adanya faktor pengenceran sebagai akibat dari pengumpanan media segar. Dengan membandingkan hasil perolehan PHA pada perlakuan F2, F3 dan F4 terdapat indikasi bahwa N, P, Mg dan sulfat merupakan nutrisi pembatas yang dapat meningkatkan akumulasi PHA di dalam sel R. eutropha. Setelah diumpan dengan hidrolisat pati sagu, komposisi media menjadi tidak seimbang karena terdapat kelebihan sumber karbon sedangkan komponen lainnya seperti nitrogen, fosfat, magnesium dan sulfat terbatas pada awal fase stasioner. Babel et al. (2001) menjelaskan bahwa ketika nitrogen (dalam bentuk amonia k) merupakan pembatas pertumbuhan maka potensi penggunaan asetil-koa dan NAD(P)H menjadi terbatas. NAD(P)H yang dilepaskan tidak dapat dikonsumsi untuk sintesis reduktif, misalnya pada asam amino, sehingga dapat menghambat enzim sitrat sintase (yaitu enzim yang mengkatalisis konversi sumber karbon menjadi asetil- KoA). Hal ini menyebabkan terhambatnya siklus TCA sehingga asetil-koa menjadi tersedia untuk 3-ketotiolase dan dapat memasuki jalur sintesis PHA. Pada saat fosfat terbatas, bakteri tidak dapat menghasilkan ATP (dengan cara memfosforilasi ADP) karena tidak ada fosfat. Pada kondisi tersebut 2/H/ tidak dapat mengalir sehingga 2/H/ terakumulasi sedangkan asetil-koa menjadi tersedia. Kedua substrat tersebut kemudian diasimilasi dan dikumpulkan secara intraselular seba gai PHA.

23 54 Secara umum, pasokan nutrisi yang tidak seimbang akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHA. Sebaliknya, pada saat sumber karbon, nitrogen dan Mg berlebih maka jalur metabolisme substrat sangat kondusif bagi berjalannya siklus TCA sehingga menyalurkan rangkaian karbon ke siklus TCA. Dengan demikian, laju sintes is PHA menjadi terhambat sebagaimana hasil perolehan PHA perlakuan F4 dibandingkan dengan perlakuan F2. Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Batch dan Fed-batch Berdasarkan hasil evaluasi tahap sebelumnya bahwa jenis substrat pengumpan yang menghasilkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel tertinggi adalah hidrolisat pati sagu (F2) maka pada tahap ini dilakukan perlakuan kombinasi pembatasan aerasi dengan pengumpanan hidrolisat sagu (disimbolkan dengan F5). Pada awal fase stasioner (jam ke-48), ke dalam kultur batch diumpankan larutan stok/konsentrat hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 g gula/l kultur batch (sekitar 66,7 ml larutan stok) dengan kecepatan pengumpanan 1,7 ml/menit. Setelah pengumpanan selesai, sistem aerasi dimatikan hingga akhir kultivasi. Dalam hal ini kondisi kultivasi direkayasa agar selama fase stasioner konsentrasi karbon berlebih sedangkan ketesediaan oksigen dalam media menurun. Selain itu, dilakukan pula kultivasi batch dengan sistem aerasi dimatikan mulai jam ke-48 hingga akhir kultivasi (disimbolkan dengan Ao). Sebagai pembanding digunakan data hasil kultivasi batch dan fed -batch F2. Rekapitulasi data konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel disajikan pada Tabel 7 sedangkan data pertumbuhan sel dan konsumsi gula selama kultivasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Hasil analisis ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa faktor aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Interaksi faktor aerasi dengan pengumpanan ju ga tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA maupun kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Hanya faktor pengumpanan yang berpengaruh nyata terhadap konsentrasi PHA (Lampiran 18b) dan

24 55 berpengaruh sangat nyata terhadap kadar PHA dalam sel (Lampiran 18c) namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering (Lampiran 18a) pada akhir kultivasi. Tabel 7 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam selr. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed -batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi Perlakuan Batch F2 Ao F5 Keterangan : Konsentrasi sel kering (g/l) 4,41 ± 0,32 4,86 ± 0,14 3,39 ± 0,21 4,13 ± 0,52 Konsentrasi PHA (g/l) 1,44 ± 0,27 3,72 ± 0,24 1,65 ± 0,14 2,68 ± 0,08 Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Kadar PHA dalam sel (%b/b) 32,65 ± 6,56 76,54 ± 5,41 48,67 ± 5,11 64,89 ± 8,40 Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 7 didapatkan bahwa perlakuan pengumpanan dengan hidrolisat sagu saja (F2) merupakan perlakuan terbaik yang memberikan konsentrasi sel 4,86 g/l dan konsentrasi PHA dalam media 3,72 g/l (76,54 % dari bobot sel). Dapat dikatakan bahwa pembatasan aerasi maupun interaksi atau kombinasinya dengan pengumpanan hidrolisat pati sagu kurang efektif meningkatkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel. Faktor pengumpanan hidrolisat sagu saja lebih efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel dibandingkan dengan pembatasan aerasi saja maupun jika pengumpanan hidrolisat sagu dipadukan secara simultan dengan pembatasan aerasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa oksigen bukan merupakan nutrisi pembatas yang signifikan untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha IAM Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultivasi Pola pertumbuhan sel selama kultivasi disajikan pada Gambar 20. Konsentrasi sel kering (dihitung sebagai total sel hidup dan mati) pada akhir kultivasi tidak dipengaruhi oleh faktor aerasi, pengumpanan maupun kombinasi

25 56 aerasi dengan pengumpanan hidrolisat pati sagu. Pada saat sistem aerasi dimatikan, pasokan oksigen (dalam udara) dari luar terhenti. Kebutuhan bakteri akan oksigen setidaknya dipenuhi dari ketersediaan udara pada head space (ruang kosong) di atas permukaan kultur di dalam bejana kultivasi. Ln Konsentrasi sel kering (g/l) Waktu (jam) F2 F5 Ao Batch Poly. (F2) Poly. (F5) Poly. (Ao) Poly. (Batch) F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap Gambar 20 Pertumbuhan sel pada kultivasi batch dan fed-batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi. Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi Histogram perolehan PHA pada akhir kultivasi secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 21. Perolehan PHA pada perlakuan Ao, F5 dan F2 lebih tinggi dibandingkan kontrol batch. Persentase peningkatan konsentrasi PHA akibat perlakuan Ao, F5 dan F2 berturut-turut adalah 15, 86 dan 158% sedangkan persentase peningkatan kadar PHA dalam sel berturut-turut adalah 49, 99 dan 134% bila dibandingkan dengan kontrol batch. Meskipun besarannya tidak signifikan, namun secara umum dapat dilihat bahwa perolehan PHA pada kondisi terbatasnya aerasi (perlakuan Ao dan F5) relatif lebih tinggi daripada kontrol batch. Pembatasan aerasi selama fase stasioner menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam me dia berkurang. Ketika oksigen membatasi pertumbuhan dan

26 57 penggandaan bakteri aerobik maka nilai adaptif dan mekanisme induksi sintesis PHA sangat mirip dengan mekanisme pada saat terbatasnya nitrogen. 2/H/ yang dihasilkan tidak dioksidasi melalui fosforilasi transpor elektron sehingga menyebabkan siklus TCA terhenti. Pada kasus tersebut, siklus TCA dikatakan endergonic karena ketiadaan oksigen (Babel et al. 2001). Atkinson dan Mavituna (1991) menyatakan bahwa pembatasan oksigen menyebabkan peningkatan rasio NADH 2 /NAD intraselular, sehingga menghambat siklus TCA dan meningkatkan ketersediaan asetil-koa intraselular. Hal ini menyebabkan peningkatan laju sintesis PHA dibandingkan laju sintesis PHA pada kondisi tanpa pembatasan oksigen (kontrol batch). Batch 1,44 32,65% Ao 1,65 48,67% F5 2,68 64,89% F2 3,72 76,54% Konsentrasi PHA (g/l) Kadar PHA dalam sel (%) F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap Gambar 21 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed-batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi. Sementara itu, perolehan PHA pada kondisi karbon berlebih dan oksigen terbatas (F5) secara umum menunjukkan hasil yang relatif lebih tinggi daripada kontrol batch maupun pada kondisi terbatasnya aerasi saja (Ao). Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pengumpanan sumber karbon saja (F2), efek simultan pengumpanan sumber karbon dan pembatasan aerasi ini justru menurunkan produksi PHA oleh R. eutropha. Sintesis PHA lebih lambat pada kandungan

27 58 oksigen terlarut rendah diduga karena laju konsumsi oksigen lebih lambat sehingga terjadi pengurangan kebutuhan oksigen untuk dekarboksilasi propionil koenzim A menjadi asetil-koa (Lafebvre et al. 1997). Lafebvre et al. (1997) juga mendapatkan sintesis 3HB pada produksi PHBV yang lebih rendah pada pasokan oksigen yang rendah. Ketika R. eutropha ditumbuhkan secara fed -batch dengan pembatasan nitrogen dan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut secara simultan selama tahap akumulasi polimer maka rendemen 3HB tidak terpengaruh dengan kadar oksigen terlarut yang rendah. Bahkan secara keseluruhan produktifitas polimer menurun pada kadar oksigen terlarut yang rendah. Evaluasi Perlakuan Terbaik Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kultivasi fedbatch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu merupakan perlakuan terbaik yang dapat meningkatkan hasil perolehan PHA lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 1,44 g/l (32,65% dari bobot kering sel) pada kultivasi batch menjadi 3,72 g/l (76,54% bobot kering sel). Berikut ini dipaparkan secara ringkas perbandingan hasil kultivasi fed-batch dengan kultivasi batch. Pola pembentukan sel dan PHA oleh R. eutropha pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu dibandingkan dengan pola pembentukan PHA pada kultivasi batch disajikan pada Gambar 22. Setelah diumpan dengan hidrolisat sagu pada jam ke-48, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel (P/X) cenderung meningkat hingga akhir kultivasi. Sementara itu, tanpa diumpan dengan sumber karbon (batch), konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel cenderung menurun terutama pada jam ke -60 hingga akhir kultivasi jam ke -96. Demikian pula dengan konsentrasi residu sel (sel tanpa PHA). Pada kultivasi batch, konsentrasi residu sel cenderung konstan mulai jam ke -60 hingga akhir kultivasi. Namun pada kultivasi fed-batch, konsentrasi residu sel menurun tajam terutama pada akhir kultivasi (jam ke -84 hingga 96). Pada konsentrasi akhir sel kering yang tidak berbeda signifikan antara kultivasi batch dan fed-batch, hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan akumulasi PHA dalam sel sebagai akibat adanya pengumpanan sumber karbon.

28 Konsentrasi (g/l) Waktu (jam) [sel] batch [PHA] batch [residu sel] batch [sel] fed-batch [PHA] fed-batch [residu sel] fed-batch (a) 80 Kadar PHA dalam sel (%) Waktu (jam) P/X batch P/X fed-batch (b) Gambar 22 Pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha selama kultivasi batch dan fed-batch (a) konsentrasi sel, residu sel dan PHA (b) kadar PHA dalam sel.

29 60 Karakterisasi PHA Serbuk kering PHA (Gambar 23) yang dihasilkan pada kultivasi fed -batch terbaik (F2) selanjutnya dikarakterisasi sifat termal, gugus fungsi dan tingkat kemurnian relatifnya terhadap PHB standar. Gambar 23 Serbuk PHA hasil kultivasi fed-batch R. eutropha dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu. Sifat Termal PHA PHA sebagian besar merupakan polimer yang bersifat kristalin. Penjelasan terhadap sifat termal dan mekanisnya diekspesikan dengan suhu peralihan kaca-karet pada fase amorf dan suhu pelelehan pada fase kristalin (Anderson dan Dawes 1990). Kumar da n Gupta (1998) me nyatakan bahwa suhu pada saat suatu polimer dapat mulai melebur disebut titik leleh atau melting point (Tm) sedangkan suhu pada saat polimer berada pada suatu transisi antara fase gelas menuju fase elastis disebut suhu transisi gelas atau glass transition temperature (Tg). Differential Scanning Calorimeter (DSC) mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Prinsip kerja menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan kompensasi tenaga (Rabek 1983). Pada penelitian ini, titik leleh dan entalpi fusi (panas pembentukan) produk PHA diukur dengan DSC (Gambar 25) dan hasilnya dibandingkan dengan PHB standar (Gambar 24). Pada Gambar 24 yang menunjukkan spektra DSC

30 61 PHB standar, hanya muncul satu peak (puncak) pada suhu 170,15 o C yang merupakan titik leleh PHB dengan entalpi pembentukan sebesar 32,35 J/g. Tidak nampaknya peak-peak lain, menunjukkan kevalidan tingkat kemurnian PHB standar yang diuji. Gambar 24 Spektra DSC PHB standar. Gambar 25 Spektra DSC PHA dari pati sagu.

31 62 Pada Gambar 25 yang menunjukkan spektra DSC PHA sagu muncul dua peak, yaitu pada suhu 79,50 o C dan 163,96 o C. Peak pertama yang lebar dan tidak runcing muncul pada suhu 79,50 o C; menunjukkan adanya komponen-komponen pengotor yang terikat pada PHA dan diduga merupakan bahan-bahan organik seperti senyawa-senyawa berkarbon maupun protein. Reusch (1992) melaporkan bahwa PHB dapat membentuk interaksi hidrofobik melalui gugus metil dan metilennya. Selain itu, gugus ester karbonil oksigennya dapat berfungsi sebagai akseptor ikatan hidrogen dengan kation-kation. Dengan karakteristik demikian, PHB dapat melarutkan molekul-molekul lain seperti garam atau makromolekul seperti protein. Peak kedua (163,96 o C) merupakan titik leleh sampel PHA pati sagu dimana nilainya sedikit lebih rendah daripada titik leleh PHB standar (170,15 o C). Oleh karena itu, sampel PHA sagu yang didapat pada penelitian ini diduga merupakan jenis PHB. Lafferty et al. (1988) menyatakan bahwa titik leleh (T m ) PHB bervariasi antara o C, suhu peralihan kaca (T g ) 5-20 o C dan suhu kristalisasi (T c ) o C tergantung dari komposisi dan thermal history (riwayat pengolahan dan penanganan) bahan tersebut. Pada penelitian ini, T g dan T c PHA pati sagu maupun PHB standar tidak terdeteksi karena keterbatasan kemampuan alat untuk dioperasikan pada suhu di bawah 40 o C. Berdasarkan nilai entalpi fusi (pembentukan) hasil pengukuran DSC dapat diperkirakan derajat kristalinitas PHA. Secara teoritis, sampel dengan derajat kekristalan 100% diasumsikan memiliki entalpi fusi sebesar 146 J/g (Barham et al dikutip oleh Hahn et al. 1995). Derajat kristalinitas sampel PHA merupakan persentase hasil pembagian nilai entalpi fusi PHA yang diuji terhadap nilai entalpi fusi sampel dengan derajat kekristalan 100%. Berdasarkan hasil pada Gambar 23 dan 24, didapatkan bahwa PHB standar dan PHA sagu masing-masing memiliki entalpi fusi 32,35 J/g dan 12,23 J/g. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa derajat kristalinitas PHB standar dan PHA pati sagu masing-masing sekitar 22% dan 8%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa baik PHB standar maupun PHA yang diperoleh pada penelitian ini dominan berada dalam bentuk amorf de ngan derajat kekristalan yang relatif rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Hahn et al. (1995) dan Lauzier et al. (1992) yang mendapatkan bahwa sebagian

32 63 besar granula PHB yang dihasilkan oleh R. eutropha berada dalam bentuk mobile amorphous (amorf/nirbentuk). Analisis Gugus Fungsional Prinsip dasar analisis gugus fungsional menggunakan metode FTIR (Fourier Transform Infrared ) adalah ketika cahaya infrare d melewati suatu contoh polimer maka sebagian frekuensinya akan diserap dan sebagian lagi akan diteruskan. Transisi yang terjadi pada absorpsi infrared terkait dengan perubahan vibrasi (getaran) di dalam molekul. Ikatan-ikatan yang ada dalam polimer akan menunjukkan frekuensi vibrasi yang berbeda -beda sehingga dapat dideteksi sebagai pita absorbansi dalam spektrum infrared (Rabek 1983). Oleh karena itu, spektrum infrared suatu bahan menunjukkan komposisi kimia bahan tersebut karena masing-masing komponen kimia menghasilkan spektrum absorbansi yang khas (Kansiz et al. 2000). Perbedaan masing-masing spektrum ditentukan oleh struktur kimia dan tingkat kontribusi masing-masing komponen terhadap spe ktrum (Kansiz et al. 2000). Pada Tabel 8 ditampilkan kriteria penentuan jenis-jenis ikatan kimia terkait dengan pita spektrum FTIR yang terbaca pada bilangan gelombang tertentu. Ciri khas molekul PHA adalah adanya ikatan karbonil ester (C=O), ikatan C-Odan ikatan C-O-C- polimerik. Bloembergen et al. (1986) menyatakan bahwa ikatan C-H dan C-C dapat terdeteksi pada bilangan gelombang sekitar 2900 da n 977 cm -1. Hasil analisis gugus fungsional menggunakan FTIR terhadap serbuk bioplastik PHA yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 26. Sebagai pembanding digunakan spektra FTIR PHB standar yang disajikan pada Gambar 27. Pada sampel yang diuji, muncul 18 spektrum yang dapat diidentifikasi berdasarkan ketentuan pada Tabel 8. Hasil identifikasi/interpretasi spektra FTIR sampel PHA pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Dari 18 spektrum yang muncul terdapat 15 spektrum yang sama dengan spektrum PHB standar. Oleh karena itu, diduga kuat bahwa sampel yang diuji dominan mengandung PHB karena selain sesuai dengan ciri khas grup PHA, juga muncul gugus metil bebas (-CH 3 ) dan metilen tunggal (-CH 2 -), sehingga sesuai dengan

33 64 struktur PHB sebagaimana disajikan pada Gambar 28. Dugaan bahwa PHA yang diperoleh pada penelitian ini merupakan jenis PHB relevan dengan pendapat Kansiz et al. (2000) yang menyatakan bahwa ikatan utama dalam molekul PHB adalah karbonil ester (C=O) yang terbaca pada bilangan gelombang cm -1, deformasi metil (CH 3 ), metilen (CH 2 ) serta ikatan C-O pada bilangan gelombang cm -1. Tabel 8 Penentuan jenis ikatan pada pita spe ktrum FTIR Bilangan gelombang Ketentuan (cm -1 ) ~1735 C=O pada grup fungsional ester, terutama dari lipida, asam lemak dan PHB ~1650 C=O pada amida yang berasosiasi dengan protein ~1540 N-H pada amida yang berasosiasi dengan protein Keterangan Posisi pasti absorbansi PHB tergantung pada derajat kristalinitas PHB Biasanya disebut band (pita) amida I; mungkin juga terdapat kontribusi dari ikatan C=C pada olefinik dan komponen aromatik Biasa disebut band amida II; mungkin juga terdapat kontribusi dari ikatan C=N ~1455 (CH 3 ) dan (CH 2 ) pada Posisi bervariasi, kontribusi juga dari protein PHB ~1398 CH 3 dan CH 2 pada protein, C-O pada grup COO - Posisi bervariasi, kontribusi juga dari PHB ~1242 (P=O) dari tulang punggung Kemungkinan karena adanya produk fosfodiester pada simpanan protein dan polifosfat asam nukleat (DNA dan terfosforilasi RNA) ~1080 (P=O) dari tulang punggung fosfodiester dari asam nukleat (DNA dan RNA Kemungkinan karena adanya produk simpanan protein dan polifosfat terfosforilasi ~ (C-O-C) pada polisakarida Kontribusi juga dari PHB Sumber: Hendrick et al. (1991), Nelson (1991), Wiliam dan Fleming (1996), Zeroual et al. (1995,1996) dikutip oleh Kansiz et al. (2000)

34 65 -CH 3 -CH 2- C-H -C-O- -C-C- -C-O-C- Amida protein -OH C=O ester Gambar 26 Spektra FTIR PHA dari pati sagu. C=O amida protein -CH 3 -CH 2- C-O-C C-H C-O C=O ester C-C Gambar 27 Spektra FTIR PHB standar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN FERMENTASI Bahan baku pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mengandung kadar pati rata-rata sebesar 84,83%. Pati merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Peta Konsep Kofaktor Enzim Apoenzim Reaksi Terang Metabolisme Anabolisme Fotosintesis Reaksi Gelap Katabolisme Polisakarida menjadi Monosakarida

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Bahan sejumlah kurang lebih 1 g ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel kemudian

Lebih terperinci

Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M. Fauzi 2), Bagus W.D. Wicaksono 2)

Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M. Fauzi 2), Bagus W.D. Wicaksono 2) OPTIMASI PRODUKSI, KARAKTERISISASI, APLIKASI DAN PENGUJIAN BIODEGRADASI BIOPLASTIK YANG DIHASILKAN OLEH RALSTONIA EUTROPHA PADA SUBSTRAT HIDROLISAT MINYAK SAWIT Khaswar Syamsu 1) Ani Suryani 2), Anas M.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb.

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Anabolisme = (biosintesis) Proses pembentukan senyawa

Lebih terperinci

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria 2.1.1 Definisi Bioenergetika Bioenergetika atau termodinamika biokimia adalah ilmu pengetahuan mengenai perubahan energi yang menyertai reaksi biokimia. Reaksi ini diikuti oleh pelepasan energi selama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih 1. Isolat Actinomycetes Terpilih Peremajaan isolat actinomycetes dilakukan dengan tujuan sebagai pemeliharaan isolat actinomycetes agar

Lebih terperinci

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content NAMA : FATMALIKA FIKRIA H KELAS : THP-B NIM : 121710101049 Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content 1. Jenis dan sifat Mikroba Dalam fermentasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

Ciri-Ciri Organisme/ Mahkluk Hidup

Ciri-Ciri Organisme/ Mahkluk Hidup DASAR-DASAR KEHIDUPAN Ciri-Ciri Organisme/ Mahkluk Hidup 1.Reproduksi/Keturunan 2.Pertumbuhan dan perkembangan 3.Pemanfaatan energi 4.Respon terhadap lingkungan 5.Beradaptasi dengan lingkungan 6.Mampu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000 7 Sebanyak 1 ml supernatan hasil fermentasi dilarutkan dengan akuades menjadi 25 ml di dalam labu Erlenmeyer. Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator phenolftalein lalu dititrasi dengan larutan NaOH.1131

Lebih terperinci

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT BAHAN BAKU DAN PRODUK BIOINDUSTRI Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Email :

Lebih terperinci

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH R

PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH R PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA) OLEH Ralstonia eutropha PADA SISTIM KULTIVASI FED BATCH K. Syamsu*, A.M. Fauzi, L. Hartoto,

Lebih terperinci

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT 2 METABOLISME Standar Kompetensi : Memahami pentingnya metabolisme pada makhluk hidup Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan fungsi enzim dalam proses

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O Garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O telah diperoleh dari reaksi larutan kalsium asetat dengan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2.

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Respirasi anaerob 3. Faktor-faktor yg mempengaruhi laju respirari

Lebih terperinci

The Fermentation Study on Polyhydroxyalkanoates Produced by Ralstonia eutropha from Hydrolized Sago Starch as The Carbon Source

The Fermentation Study on Polyhydroxyalkanoates Produced by Ralstonia eutropha from Hydrolized Sago Starch as The Carbon Source Kajian Fermentasi Bioplastik PHA oleh R. eutropha (Nur Atifah,dkk) KAJIAN FERMENTASI BIOPLASTIK POLI-(3 (3-HIDROKSIALKANOAT) (PHA) OLEH Ralstonia eutropha MENGGUNAKAN SUMBER KARBON HIDROLISAT PATI SAGU

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 4-5. METABOLISME Ada 2 reaksi penting yang berlangsung dalam sel: Anabolisme reaksi kimia yang menggabungkan bahan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. 8 pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. Optimasi Konsentrasi Substrat (Xilosa) Prosedur dilakukan menurut metode Eken dan Cavusoglu (1998). Sebanyak 1% Sel C.tropicalis

Lebih terperinci

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM. Universitas Mercu Buana Yogyakarata

TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM. Universitas Mercu Buana Yogyakarata TEKNOLOGI FERMENTASI DAN ENZIM Universitas Mercu Buana Yogyakarata BAB VIII KINETIKA FERMENTASI. Tipe - tipe fermentasi 1. Berdasarkan produk yang dihasilkan : a. Biomassa b. Enzim c. Metabolit ( primer

Lebih terperinci

39 Universitas Indonesia

39 Universitas Indonesia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum komponen penyusun kulit udang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu kitin, protein, dan mineral (Rao et al., 2000). Pada percobaan ini digunakan kulit udang

Lebih terperinci

Secara sederhana, oksidasi berarti reaksi dari material dengan oksigen. Secara kimiawi: OKSIDASI BIOLOGI

Secara sederhana, oksidasi berarti reaksi dari material dengan oksigen. Secara kimiawi: OKSIDASI BIOLOGI Proses oksidasi Peranan enzim, koenzim dan logam dalam oksidasi biologi Transfer elektron dalam sel Hubungan rantai pernapasan dengan senyawa fosfat berenergi tinggi Oksidasi hidrogen (H) dalam mitokondria

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Pengujian Termal Pada pengujian termal menggunakan metode DSC, ABS Original + ABS Recycle mendapatkan hasil yang bervariasi pada nilai Tg dan nilai Tm. Didapatkannya

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Suhu pada Respirasi Brokoli Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa brokoli mempunyai respirasi yang tinggi. Namun pada suhu yang rendah, hasil pengamatan menunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Keasaman Total, ph. Ketebalan Koloni Jamur dan Berat Kering Sel pada Beberapa Perlakuan. Pada beberapa perlakuan seri pengenceran kopi yang digunakan, diperoleh data ph dan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

Energi Alternatif. Digester anaerob. Penambahan Bahan Aditif. Tetes Tebu

Energi Alternatif. Digester anaerob. Penambahan Bahan Aditif. Tetes Tebu PERANAN TETES TEBU DALAM PRODUKSI BIOGAS Pembimbing : Dr. rer.nat.triwikantoro, M.Sc Dr. Melania Suweni M, M.T Oleh : Amaliyah Rohsari Indah Utami (1108201007) Latar Belakang Krisis Bahan bakar Protokol

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi RESPIRASI SELULAR Cara Sel Memanen Energi TIK: Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan cara sel memanen energi kimia melalui proses respirasi selular dan faktorfaktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010

TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010 m. k. TEKNOLOGI BIOINDUSTRI TIN 330 (2 3) DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN 2010 PENDAHULUAN Bioreaktor : peralatan dimana bahan diproses sehingga terjadi transformasi biokimia yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

Metabolisme karbohidrat

Metabolisme karbohidrat Metabolisme karbohidrat Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila PENCERNAAN KARBOHIDRAT Rongga mulut

Lebih terperinci

BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT

BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT BIOKIMIA Kuliah 1 KARBOHIDRAT 1 Karbohidrat Karbohidrat adalah biomolekul yang paling banyak terdapat di alam. Setiap tahunnya diperkirakan kira-kira 100 milyar ton CO2 dan H2O diubah kedalam molekul selulosa

Lebih terperinci

Oleh: Tim Biologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya 2013

Oleh: Tim Biologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya 2013 Energi & METABOLISME Oleh: Tim Biologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya 2013 Sesuatu yang diperlukan untuk aktivitas seluler, seperti pertumbuhan, gerak, transport molekul maupun ion

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

A. Respirasi Selular/Aerobik

A. Respirasi Selular/Aerobik UNSYIAH Universitas Syiah Kuala Pendahuluan METABOLISME Pengantar Biologi MPA-107, 3 (2-1) Kuliah 4 SEL: RESPIRASI Tim Pengantar Biologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah ANABOLISME (Pembentukan molekul kompleks

Lebih terperinci

SIMULASI UJIAN NASIONAL 1

SIMULASI UJIAN NASIONAL 1 SIMULASI UJIAN NASIONAL 1 1. Bilangan-bilangan kuantum yang mungkin dimiliki oleh suatu elektron (A) n = 2, l = 2, m = 0, s = - 1 2 (B) n = 3, l = 0, m = +1, s = + 1 2 (C) n = 4, l = 2, m = - 3, s = -

Lebih terperinci

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Unsur Hara Lambang Bentuk tersedia Diperoleh dari udara dan air Hidrogen H H 2 O 5 Karbon C CO 2 45 Oksigen O O 2

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

TEKNIK FERMENTASI (FER)

TEKNIK FERMENTASI (FER) MODUL PRAKTIKUM LABORATORIUM INSTRUKSIONAL TEKNIK KIMIA TEKNIK FERMENTASI (FER) Disusun oleh: Jasmiandy Dr. M. T. A. P. Kresnowati Dr. Ardiyan Harimawan PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

METABOLISME MIKROORGANISME

METABOLISME MIKROORGANISME METABOLISME MIKROORGANISME Mengapa mempelajari metabolisme? Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Tujuan mempelajari metabolisme mikroorganisme Memahami jalur biosintesis suatu metabolit (primer

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia Metabolisme Karbohidrat Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia LATAR BELAKANG Kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat tergantung pada kemampuannya menghasilkan enzim amilase

Lebih terperinci

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt BIOLOGI Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt Metabolisme Sel Metabolisme Metabolisme merupakan totalitas proses kimia di dalam tubuh. Metabolisme meliputi segala aktivitas hidup yang bertujuan agar sel

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

Kehidupan. Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi. 7 karakteristik kehidupan. Aspek kimia dalam tubuh - 2

Kehidupan. Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi. 7 karakteristik kehidupan. Aspek kimia dalam tubuh - 2 Kehidupan 7 karakteristik kehidupan Senyawa kimia dalam jasad hidup Sintesis dan degradasi Aspek kimia dalam tubuh - 2 Aspek kimia dalam tubuh - 3 REPRODUKSI: Penting untuk kelangsungan hidup spesies.

Lebih terperinci

KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA

KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA KINETIKA PERTUMBUHAN MIKROBA. Karakteristik pertumbuhan mikroba Pertumbuhan mikroba merupakan pertambahan jumlah sel mikroba Pertumbuhan mikroba berlangsung selama nutrisi masih cukup tersedia Pertumbuhan

Lebih terperinci

30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya.

30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya. 30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya. 1. Semua pernyataan berikut benar, kecuali: A. Energi kimia ialah energi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Madu

Proses Pembuatan Madu MADU PBA_MNH Madu cairan alami, umumnya berasa manis, dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar); atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar); atau ekskresi serangga cairan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan lele merupakan salah satu jenis usaha budidaya perikanan yang semakin berkembang. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan teknologi budidaya yang relatif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci