KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN"

Transkripsi

1 KAJIAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BATULICIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Oleh KARTA SIRANG & SYARIFUDDIN KADIR Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat ABSTRACT Hutan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat. Proses degradasi sumber daya hutan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama tidak terlepas dari persoalan yang menyangkut sistem pengelolaan hutan. Ini ditandai dengan proses pengelolaan yang tidak transparan, tidak mengikuti prinsip pengelolaan hutan yang lestari (sustainable), tidak mengindahkan prinsip-prinsip keadilan serta tidak mampu menumbuh kembangkan ekonomi rakyat terutama mereka yang sangat tergantung kehidupannya dengan sumberdaya hutan. Berdasarkan data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2008, Laju deforestasi di Indonesia sejak tahun pada Hutan konservasi seluas 55,6 ribu ha/tahun, pada Hutan Lindung seluas 391,0 ribu ha/tahun dan pada Hutan Produksi seluas 575,3 ribu ha/tahun. Di Provinsi Kalimantan Selatan, laju kerusakan hutan di indikasikan dengan bertambahnya luas lahan kritis baik di dalam maupun diluar kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2003, luas lahan kritis di Kalimantan Selatan tercatat seluas Ha, dimana seluas 364, berada di Dalam Kawasan Hutan dan 191, Ha berada di Luar Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil updating pada tahun 2009, luas lahan kritis di Kalimantan Selatan meningkat menjadi 761,042.6 Ha yang tersebar baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Metode kajian rencana teknik RHL mengcu; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Permenhut No. P.70/Menhut-II/2008 tentang pedoman teknis RHL, dan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata cara Penyusunan rencana tenik RHL DAS. Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa DAS Batulicin mempunyai luas secara keseluruhan sebesar ,3 Ha, berdasarkan analisis tingkat kekritisan lahan diperoleh bahwa lahan kritis seluas ,5 Ha dan lahan agak kritis sebagai seluas ,5 Ha maka rencan teknik RHL terdiri lahan kritis sebagai prioritas I dan lahan agak kritis sebagai Prioritas II. Selanjutnya masing-masing kegitan RTk-RHL DAS; pada prioritas I yaitu kegiatan Reboisasi ,7 Ha dan kegiatan penghijauan Ha ,4 Ha, sedangkan prioritas II yaitu kegiatan Reboisasi 9.459,5 Ha dan kegiatan penghijauan Ha ,5 Ha Kata Kunci: Lahan kritis, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Daerah Aliran Sungai (DAS) Rencana Teknik RHL (RTk-RHL) DAS Batulicin Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

2 PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat Proses degradasi sumber daya hutan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama tidak terlepas dari persoalan yang menyangkut sistem pengelolaan hutan. Ini ditandai dengan proses pengelolaan yang tidak transparan, tidak mengikuti prinsip pengelolaan hutan yang lestari (sustainable), tidak mengindahkan prinsip-prinsip keadilan serta tidak mampu menumbuh kembangkan ekonomi rakyat terutama mereka yang sangat tergantung kehidupannya dengan sumberdaya hutan Berdasarkan data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2008, Laju deforestasi di Indonesia sejak tahun pada Hutan konservasi seluas 55,6 ribu ha/tahun, pada Hutan Lindung seluas 391,0 ribu ha/tahun dan pada Hutan Produksi seluas 575,3 ribu ha/tahun. Di Provinsi Kalimantan Selatan, laju kerusakan hutan di indikasikan dengan bertambahnya luas lahan kritis baik di dalam maupun diluar kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2003, luas lahan kritis di Kalimantan Selatan tercatat seluas Ha, dimana seluas 364, berada di Dalam Kawasan Hutan dan 191, Ha berada di Luar Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil updating pada tahun 2009, luas lahan kritis di Kalimantan Selatan meningkat menjadi 761,042.6 Ha yang tersebar baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Upaya penanggulangan kerusakan hutan dan lahan pada DAS - DAS yang prioritas untuk ditangani dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010 sampai dengan Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 328/Menhut- II/2009 tentang penetapan daerah aliran sungai prioritas dalam rangka rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Tahun , ditetapkan bahwa DAS Barito dan Batulicin yang terdapat di wilayah kerja BPDAS Barito termasuk dalam DAS-DAS yang prioritas untuk ditangani dari 108 DAS di seluruh Indonesia Sehubungan dengan hal tersebut, maka Balai Pengelolaan DAS Barito melaksanakan penyusunan RTkRHL-DAS diseluruh wilayah kerja, dengan memanfaatkan data-data yang mencerminkaan kondisi hutan dan lahan saat ini. RTKRHL-DAS ini digunakan untuk jangka waktu 15 tahun, namun tidak menutup kemungkinan sebelum mencapai 15 tahun akan direview kembali. Kajian ini yang dilaksanakan di DAS Batulicin bertujuan untuk mengetahui kondisi tingkat kekritisan lahan dan menyusun Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan lahan di DAS Batulicin (RTk-RHL DAS). METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di DAS Batulicin Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan, penelitian dilaksanakan pada tahun Agar diperoleh hasil secara kuantitatif maupun kualitatif, data dan informasi yang telah diperoleh akan dilakukan analisis. Terdapat 3 (tiga) kegiatan analisis yaitu (a) Analisis Citra Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

3 Satelit untuk mendapatkan informasi zonasi penutupan lahan terbaru dengan metode interpretasi citra; (b) Analisis GIS tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan informasi baru yang dibutuhkan secara kuantitatif terhadap beberapa informasi tertentu dari peta tematik; (c) Analisis parameter penentuan tingkat kekeritisan lahan untuk menentukan prioritas kegiatan RHL; dan (d) Analisis kualitatif deduktifanalitik, yang dilakukan dalam rangka mendapatkan kesimpulan berdasarkan sebaran informasi yang ada secara keruangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan Land Mapping Unit (LMU) Satuan lahan adalah bagian dari lahan yang mempunyai karakteristik yang spesifik, satuan lahan dibuat dalam rangka membentuk informasi dasar yang akan digunakan untuk suatu aplikasi di bidang kehutanan. satuan lahan dalam hal ini disebut dengan land mapping unit. Untuk mendapatkan data LMU maka dilakukan overlay terhadap Peta Lahan Kritis (Sangat kritis, Kritis,Agak kritis), DAS Prioritas (I, II, III, IV), Fungsi Kawasan Hutan (HL, HK, HP, KL,KB), dan Morfologi DAS (hulu, tengah, hilir). Dengan overlay terhadap keempat peta ini maka menghasilkan peta baru berupa peta satuan lahan (land mapping unit) yang menjadi dasar penentuan satuan lahan RTkRHL-DAS. Selanjutnya untuk memprioritaskan penanganan sasaran RHL, dipilih LMU dengan Kriteria Kritis dan Sangat Kritis sebagai RHL Prioritas I dan Agak Kritis sebagai RHL Prioritas II. Luas keseluruhan LMU terpilih pada RHL Prioritas disajikan sebgai berikut. Tabel 1. Data LMU terpilih di SWP DAS Batulicin No RHL PRIORITAS I RHL PRIORITAS II LMU Luas (Ha) LMU Luas (Ha) 1 K1Hi-HP 196,0 AKIHi-HK 19,3 2 K1Hi-KB AKIHi-KB ,9 3 KIHu-HL 1.171,2 AKIHu-HL 779,2 4 KIHu-HP 3.018,7 AKIHu-HP 1.632,4 5 KIHu-KB 345,9 AKIHu-KB 1.454,4 6 KITg-HL 7,5 AKITg-HL 53,0 7 KITg-HP 3.649,5 AKITg-HP 6.975,6 8 KITg-KB 1.172,8 AKITg-KB ,7 9 SK1Hi-HP 12,9 10 SK1Hi-KB 59,1 11 SK1Hu-HL 879,8 12 SK1Hu-HP 1.198,4 13 SK1Hu-KB 86,9 14 SK1Tg-HP 539,8 15 SK1Tg-KB 855,7 Total , ,5 Keterangan : Tingkat Kekritisan Lahan = SK : Sangat Kritis, K : Kritis, AK : Agak Kritis DAS Prioritas = I, II, III, IV/Non Prioritas; Morfologi DAS = Hu : Hulu, Tg : Tengah, Hi : Hilir Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

4 Berdasarkan pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa kegiatan RHL di rencanakan akan dilaksanakan terdiri atas prioritas I dan II, hal ini sesuai dengan tingkat kekritisan lahan. Setiap tahapan proritas pelaksanaan kegiatan RHL secara vegetatif masing-masing terdiri atas Reboisasi dan penghijajuan dengan luasan seperti pada tabel di atas, hal ini karena sesuai dengan fungsi kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Rencana Teknik RHL DAS Vegetatif Berdasarkan analisis data spasial serta ground cek lapangan maka rekomendasi rencana teknik RHL secara vegetatif pada LMU pada RHL Prioritas I dan II di wilayah SWP DAS Batulicin secara rinci disajikan pada matrik sebagaimana Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Matrik Rencana Teknik RHL DAS Dalam Kawasan Hutan pada SWP DAS Batulicin berdasarkan RHL Prioritas I MORFOLOGI DALAM KAWASAN HUTAN DAS HL HK HP RL-HHL-Bc.I RP-HHP-Bc.I - Jlh tan. reb. awal Jlh tan. Reb. awal 400 HULU ( H ) - Tan. Kayu2an camp jenis - Tan. Kayu2an jenis meranti, mahoni min. 666 sengon,akasia dll Btg/Ha - Tan.MPTS jenis karet, Min Tan. MPTS jenis karet, gaharu, durian, kemiri sukun, cempedak dll maks. 444 maks. 40 Luas (ha) 2.051, ,1 TENGAH (T) RL-THL-Bc.I - Jlh tan.reb. awal Tan. Kayu2an camp jenis meranti,mahoni min. 666 Btg/Ha - Tan.MPTS jenis karet, gaharu, durian, kemiri maks. 444 RP-THP-Bc.I - Jlh tan. Reb. awal Tan. Kayu2an jenis durian,sengon, akasia dll Min.360 Btg/Ha - Tan. MPTS jenis gaharu, karet, sukun, cempedak dll maks.40 Luas (ha) 7, ,3 RK-LHK-Bc.I - Jlh tan. Reb. awal Tan. kayukayuan camp. HILIR (L) jenis endemik Min.360 Btg/Ha - Tan.MPTS maks. 40 RP-LHP-Bc.I - Jlh tan. Reb. awal Tan. Kayu2an jenis sengon, akasia dll Min.360 Btg/Ha - Tan. MPTS jenis karet, durian,sukun, cempedak dll maks. 40 Luas (ha) 12,9 208,9 Total 2.058,5 12, ,3 Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

5 Berdasarkan pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa pada prioritas I ini terlihat bahwa RHL akan dilaksanakan di dalam kawasan hutan baik pada hutan lindung, mupun hutan produksi dilaksanakan penanaman jenis kayuan dan MPTS, hal ini dilakukan agar selain dapat berfungsi sebagai pengatur tata air juga dapat berfungsi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan analisis data spasial maka rekomendasi rencana teknik secara vegetatif berdasarkan RHL Prioritas II pada SWP DAS Batulicin disajikan pada matrik sebagaimana Tabel 3. Tabel 3. Matrik Rencana Teknik RHL DAS pada SWP DAS Batulicin berdasarkan RHL Prioritas II MORFOLOGI DALAM KAWASAN HUTAN LUAR KAWASAN HUTAN DAS HL HK HP BUDIDAYA(B) HULU ( H ) RL-HHL- RK-HHK- RP-HHP- Bc.II Bc.II Bc.II PB-HKB-Bc.II Luas (ha) , ,454.4 TENGAH (T) RL-THL- RK-THK- RP-THP- Bc.II Bc.II Bc.II PB-TKB-Bc.II Luas (ha) , ,805.7 HILIR (L) RL-LHL- RK-LHK- RP-LHP- Bc.II Bc.II Bc.II PB-LKB-Bc.II Luas (ha) ,826.9 Total , ,086.9 Berdasarkan pada Tabel 3 terlihat bahwa pada prioritas II ini terlihat bahwa RHL akan dilaksanakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dilaksanakan penanaman jenis kayuan dan MPTS, hal ini dilakukan agar selain dapat berfungsi sebagai pengtur tata air juga dapat berfungsi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sipil teknis Rekomendasi kegiatan Konservasi Tanah dan Air berupa bangunan sipil teknis dalam Rencana Teknik RHL DAS, diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut. Rekomendasi kegiatan Konservasi Tanah dan Air berupa bangunan sipil teknis dalam Rencana Teknik RHL DAS, diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut; 1. LMU lahan kritis di DAS Prioritas I, direkomendasikan sipil teknis dengan pertimbangan bahwa DAS tersebut perlu ditangani secara intensif untuk pengendalian bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta adanya bangunan vital di tengah dan hilir DAS. 2. DAS Prioritas II, III dan IV / Non Prioritas direkomendasikan kegiatan sipil teknis dengan pertimbanganpertimbangan khusus misalnya adanya kerawanan bencana alam dan lain sebagainya. Rencana Teknik RHL secara Sipil Teknis di wilayah kerja BPDAS Barito berdasarkan SWP DAS serta pada cakupan tiap Kabupaten disajikan sebagaimana Tabel 4. Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

6 Tabel 4. Rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan secara sipil teknis selama 15 tahun. Jenis Bangunan Konservasi Tanah Jumlah No SWP DAS KABUPATEN (Sipil Teknis) DPi DPn GP SRA/B Embung (buah) 1 Batulicin Tanah Bumbu BATULICIN Total Keterangan : Dpi = Dam Pengendali DPn = Dam Penahan GP = Gully plug / Pengendali jurang SRA/B = Sumur resapan air/biopori PENUTUP Kesimpulan Hasil analisis tingkat kekritisan lahan diperoleh bahwa lahan kritis seluas ,5 Ha dan lahan agak kritis sebagai seluas ,5 Ha Rencana teknik kehutanan RHL (RTk-RHL DAS) secara vegetatif pada prioritas I yaitu kegiatan Reboisasi ,7 Ha dan kegiatan penghijauan Ha ,4 Ha, sedangkan prioritas II yaitu kegiatan Reboisasi 9.459,5 Ha dan kegiatan penghijauan Ha ,5 Ha. Rencana teknik kehutanan RHL (RTk-RHL DAS) secara sipil teknis Dam Pengendali sebanyak 10 buah, Dam Penahan sebanyak 4 buah dan Gully plug / Pengendali jurang sebanyak 10 buah. Saran Dalam rangka pelaksanaan kegiatan RHL di DAS Batulicin diharapkan mengacu kepada RTk-RHL yang telah disusun ini. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal, maka pelaksanaan kegiatan penanaman diharapkan menyesuaikan pada musim hujan. Sebelum pelaksanaan kegiatan RHL, diharapakan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat di dalam DAS dan sekitarnya. Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 28, Edisi Desember

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.51/Menhut-II/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.51/Menhut-II/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.51/Menhut-II/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.21/Menhut-V/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN GERAKAN NASIONAL REHABILITASI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KEMENTERIAN KEHUTANAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN O l e h : Dr. Ir. Harry Santoso Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Disampaikan dalam rangka Orientasi Jurnalistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa : lahan kritis, lahan gundul, erosi pada lereng-lereng

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 3/Menhut-II/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTk-RHL DAS) TAHUN WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU

RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTk-RHL DAS) TAHUN WILAYAH BPDAS MAHAKAM BERAU KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAS DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MAHAKAM BERAU RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.12/MENHUT-II/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUT-II/2009

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan

Lebih terperinci

SASARAN DAN INDIKATOR PROGRAM DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAS DAN HUTAN LINDUNG TAHUN

SASARAN DAN INDIKATOR PROGRAM DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAS DAN HUTAN LINDUNG TAHUN DAN INDIKATOR PROGRAM DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAS DAN HUTAN LINDUNG TAHUN 2015 No Sasaran Program Indikator Kinerja Program (IKP) 1 tutupan hutan di hutan lindung dan lahan (S1.P2.1) 2 kesehatan

Lebih terperinci

Kelembagaan. Ket. Kegiatan (Klpk) (KK) Tahun LUMAJANG Hutan Rakyat

Kelembagaan. Ket. Kegiatan (Klpk) (KK) Tahun LUMAJANG Hutan Rakyat Tabel VII.4. Kegiatan Bidang RLPS Di Wilayah Kerja BP DAS Sampean Madura DAS Tahun 2003 1. LUMAJANG Hutan Rakyat 23 1264 2. BANYUWANGI - sda- 22 376 3. JEMBER - sda- 32 665 4. BONDOWOSO - sda- 23 737 5.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan mendorong munculnya lahan kritis yang semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Kekritisan lahan ditunjukan oleh meningkatnya bencana alam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 35/Menhut-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan terjamin kelestariannya dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DALAM BINGKAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DALAM BINGKAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DALAM BINGKAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH: PAIMIN dan PRIYONO Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A Yani. Pabelan. Surakarta. Telp. 0271 717417

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 3/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 3/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 3/Menhut-II/2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015 DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015 DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015 DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TUGAS FUNGSI : Melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang kehutanan sesuai dengan azas desentralisasi,

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: SK :/5-0/ Menhut-V/ RHL/ 2013 TENTANG PENETAPAN LOKASI PENANAMAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TAHUNAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TAHUNAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TAHUNAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/MENHUT-II/2011 TANGGAL : 13 Januari 2011

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/MENHUT-II/2011 TANGGAL : 13 Januari 2011 5 2011, No.22 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/MENHUT-II/2011 TANGGAL : 13 Januari 2011 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAANAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/Menhut-II/2010 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.03/Menhut-II/2010 Mengingat : 1. TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL STATISTIK PEMBANGUNAN BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI SAMPEAN MADURA TAHUN 2007 Bondowoso, Januari 2008 BALAI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA (RENJA)

RENCANA KERJA (RENJA) RENCANA KERJA (RENJA) TAHUN 2015 KOTAWARINGIN BARAT DINAS KEHUTANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Kabupaten

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN, 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung 50 BAB VI SINTESIS Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan aspek fisik, sosial dan ekosistem yang di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang komplek, seperti degradasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan lahan untuk pembangunan berbagai sektor berbasis lahan.

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan lahan untuk pembangunan berbagai sektor berbasis lahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengguna lahan maupun penentu kebijakan di Indonesia dihadapkan pada tantangan agar pembangunan di berbagai bidang dapat terus dilakukan, dengan tanpa mengorbankan

Lebih terperinci

Jakarta, 24 Februari 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015

Jakarta, 24 Februari 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 Jakarta, 24 Februari 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 Tema Pengembangan Wilayah Kalimantan 1. Mempertahankan fungsi Kalimantan sebagai paru-paru dunia, dengan : a. meningkatkan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL STATISTIK PEMBANGUNAN BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI REMU RANSIKI TAHUN 2008 Manokwari, Mei 2008 BALAI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan. No.390, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. REHABILITASI. Hutan Dan Lahan. Rencana Tahunan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005 Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat s/d 2005 Luas (Ha) No Kabupaten/Kota 2005 1 Bogor 20.042,60 12.140,00 26.349,46 2 Sukabumi 37.155,48

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konservasi sumber daya air merupakan salah satu pilar pengelolaan sumber daya air sebagaimana tertuang dalam Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015. Konservasi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan sebagai sumberdaya alam fisik mempunyai peranan sangat penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016-2020 DINAS KEHUTANAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TUGAS FUNGSI : Melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang kehutanan sesuai dengan azas desentralisasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal dengan sumberdaya alamnya yang sangat melimpah seperti sumberdaya lahan, hutan, air, hasil tambang, dan

Lebih terperinci

LAPORAN STATISTIK TAHUN 2015

LAPORAN STATISTIK TAHUN 2015 LAPORAN STATISTIK TAHUN 2015 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI REMU RANSIKI PAPUA BARAT i Statistik-2015 Balai Pengelolaan Daerah Aliran

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU 137 Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU No Amanat pertauran perundang-undangan 1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI SOLO GUBERNUR JAWA TIMUR DAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM,

MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM, SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 19/1984, KH. 059/KPTS-II/1984 DAN PU.124/KPTS/1984 TAHUN 1984 TENTANG PENANGANAN KONSERVASI TANAH DALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

2011, No.22 2 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 19

2011, No.22 2 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dana Alokasi Khusus. Petunjuk Teknis PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.03/MENHUT-II/2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

Disampaikan Oleh : Ir. Muhajir, MS Kepal Balai Pengelolaan DASHL Jeneberang Saddang

Disampaikan Oleh : Ir. Muhajir, MS Kepal Balai Pengelolaan DASHL Jeneberang Saddang Disampaikan Oleh : Ir. Muhajir, MS Kepal Balai Pengelolaan DASHL Jeneberang Saddang Makasar, 25 Januari 2017 PENDAHULUAN PERPRES NO. 16 TAHUN 2015 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Inspektorat

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si SIDIK CEPAT DEGRADASI SUB DAS TUNTANG HULU Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si Kementerian Lingkungan Hidup dan Kuhutanan (KLHK)/ eks. Kementerian Kehutanan salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV.1. Keadaan Biofisik IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV.1.1. Letak dan Luas Wilayah Lokasi penelitian terletak di Sub DAS Tirto (bagian DAS Serang Ds), mempunyai luas 15.937,44 Ha (4,35 % dari luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2011 yang

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Geo Image 5 (1) (2016) Geo Image.

Geo Image 5 (1) (2016) Geo Image. Geo Image 5 (1) (2016) Geo Image http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage SEBARAN SPASIAL LAHAN KRITIS UNTUK PRIORITAS REHABILITASI BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DI

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA OLEH : DR. M LUTHFUL HAKIM PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Lebih terperinci

PELAYANAN PUBLIK DAN SYARAT-SYARAT PENGAJUAN KEGIATAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR

PELAYANAN PUBLIK DAN SYARAT-SYARAT PENGAJUAN KEGIATAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR Dinas Kehutanan VISI DAN MISI VISI : Visi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir adalah : Terwujudnya Hutan yang Lestari dan Kebun yang Produktif MISI : Berdasarkan Visi yang telah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PRIORITAS KEMENHUT p.70/2009

KEBIJAKAN PRIORITAS KEMENHUT p.70/2009 DI SAMPAIKAN PADA EXPOSE HASIL LITBANG KEHUTANAN BANJARMASIN, 19 SEPTEMBER 2013 KEBIJAKAN PRIORITAS KEMENHUT p.70/2009 1. Pemantapan Kawasan, 2. Rehabilitasi Hutan Peningkatan Daya Dukung (DAS), 3. Pengamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan yang terjadi dalam berbagai bentuk dan peristiwa pada hakekatnya merupakan ketidakseimbangan dalam hubungan antar komponen lingkungan akibat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAK BIDANG KEHUTANAN

PEMANFAATAN DAK BIDANG KEHUTANAN 10. Penanaman pengkayaan hutan rakyat adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada lahan yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan poles minimal 200-250 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan

Lebih terperinci

hutan secara lestari.

hutan secara lestari. UPAYA REVITALISIASI SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN BOGOR Ir. Siti Nurianty, MM Kadistanhut Kab.Bogor Selama periode tahun 2014 2015, Distanhut telah berhasil meningkatkan persentase luas penanganan rehabilitasi

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang: a. bahwa lahan sebagai penentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara kedanau atau laut. Dengan

Lebih terperinci