BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Pulpa Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus (Okiji, 2012). Hal ini disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan mineralisasi yang keras atau low compliance environment (Okiji, 2012). Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi kolateral maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi inflamasi) sangat terbatas (Byers, 1999; Gulabivala, 2014). Kemampuan pulpa terhadap pertahanan dan perbaikan jaringan sangat kecil, diduga hal ini akan mengurangi aliran darah dan perbaikan sel (Pashley dan Tay, 2012). Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (jaringan ektomesenkim) (Okiji, 2012; Hargreaves, 2012; Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur (Bergenholtz, 2010). Pulpa yang matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat embrionik dengan lapisan sel spesialisasi tinggi yaitu odontoblas di seluruh daerah perifer (Weine, 2004). Secara fisik, pulpa memiliki banyak inervasi saraf sensori dan

2 kaya akan komponen mikrosirkulasi yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik (Buck, 1999). Pengetahuan akan fungsi pulpa normal, komponen, dan interaksinya penting dalam memberikan kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi dalam kelainan pulpa (Hargreaves. 2012). Pulpa terdiri dari jaringan ikat lunak, mengandung pembuluh-pembukuh darah dan persyarafan, dan mempertahankan vitalitas kompleks pulpa-dentin (Okiji, 2002 ). Tipe sel yang terbanyak pada jaringan pulpa adalah sel-sel fibroblast. Selain itu, pulpa juga terdiri dari sel-sel endothelial, serabut-serabut syaraf, sel-sel mesenchymal, dan berbagai sel-sel immunokompeten (Okiji 2002; Goldberg dan Smith, 2004). Pada pulpa koroner, dari daerah dalam ke perifer pulpa, sel-sel fibroblast membentuk zona kaya sel (sel-sel Hohl, sel-sel subodontoblasik) yang dipisahkan dari lapisan odontoblas oleh zona tanpa sel (zone of Weil)(Abbott, 2007). Pada zona ini dijumpai kapiler-kapiler darah, jaringan kaya serabut-serabut syaraf unmyelinated (serabut syaraf C), dan processus fibroblast (Bergenholtz, 2010). Jaringan ikat pulpa sentral terdiri atas sel-sel fibroblast, pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar dan persyarafan berada sebelah dalam zona kaya sel ( Okiji 2002 ). Sel-sel mesenchymal yang tidak berdiferensiasi, sel-sel progenitor pulpa diperkirakan mempunyai kemampuan diferensiasi menjadi fibroblast atau odontoblas, terdistribusi pada jaringan pulpa, dan sering terlokasi perivaskuler (Okiji, 2002). Beberapa tipe sel-sel

3 immunokompeten, termasuk sel-sel dendrit, makrofag, limfosit T, dan limfosit B (Jontell et al., 1998). Matriks ekstraseluler pulpa ( ECM ), yang dihasilkan sel-sel fibroblast, terdiri atas kolagen, proteoglycans, dan glycoprotein yang komposisinya sama dengan jaringan ikat lunak lain (Okiji, 2012). Kolagen pada pulpa adalah fibriliar yaitu kolagen tipe I dan III merupakan 95% dari total kolagen, sedangkan kolagen nonfibriliar adalah kolagen V dan VI dijumpai lebih sedikit (Abbott, 2007). Pembuluh-pembuluh darah dan persyarafan memasuki pulpa melalui foramen apikal atau foramina saluran akar tambahan dan kemudian bercabang ke arah koroner (Ikeda dan Suda, 2012). Vaskularisasi terbanyak dijumpai pada daerah subodontoblasik dan beberapa kapiler memasuki lapisan odontoblas tetapi tidak dijumpai pada dentin (Ikeda dan Suda, 2012). Syaraf-syaraf sensory dan syaraf sympathetic mengikuti pembuluh-pembuluh darah dan membentuk jaringan yang kaya ujung terminal syaraf pada regio subodontoblasic dan ruang periodontoblasic dari tubulus-tubulus dentin sepanjang 0,1 mm pada dentin koroner (Ikeda dan Suda, 2012; Byers et al.,1999). Mayoritas persyarafan pulpa adalah syaraf sensoris (Byers, 1999).Serabut-serabut syaraf sensory terutama dekat puncak tanduk pulpa (Byers et al., 1999). Daerah odontoblas dan subodotoblas secara normal tidak diinervasi oleh syaraf-syaraf symphatetic (Olgart, 1996).

4 2.2 Sel-sel odontoblas Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan mesenkim, membentuk lapisan tunggal di perifernya dan mensintesis matriks yang termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas banyak terdapat pada ruang pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya dan /mm2 (Pashley dan Tay, 2012). Di bagian servikal dan pertengahan akar, jumlahnya lebih sedikit, dan bentuknya skuamosa (Pashley dan Tay, 2012). Sel odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel, sama dengan umur vitalitas pulpa mengalami masa fase fungsional, transisional, dan istirahat (Bergenholtz, 2010; Pashley dan Tay, 2012). Odontoblas terdiri dari badan sel yang terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas memanjang ke luar kearah tubulus dentin dan predentin (Pashley dan Tay, 2012).Odontoblas bekerja paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif (Pashley dan Tay, 2012). Odontoblas tumbuh jika pada zona kaya sel mengandung preodontoblas (Pashley dan Tay, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka disebut juga sebagai dentinoblas (Bergenholtz, 2010). Lapisan odontoblas yang merupakan sel khusus yang membentuk dentin membatasi bagian pulpa paling luar (Pashley dan Tay, 2012).Selain fungsi odontoblas dalam membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Adanya tight, adhering, dan gap junctions menunjukkan bahwa sel ini mempunyai hubungan satu sama lain dan apabila satu sel

5 mengalami perubahan maka banyak sel lain juga mengalami hal yang sama (Okiji, 2012). Gap junctions dijumpai antara odontoblas dan serabut saraf dan memberikan jalur resistensi elektrik rendah antara odontoblas dan serabut saraf (Okiji, 2012). Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan awal dan memproses antigen. Oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk memicu reaksi pertahanan tubuh (Abbott, 2007; Okiji, 2012). Sel imun yang utama pada pulpa normal yaitu sel T perifer (helper/induced dan sitotoksis/suppressor). Antigen presenting cell (APG) utama di dalam jaringan pulpa yaitu sel dendritik yang sebagian besar terletak pada lapisan odontoblasik (Okiji, 2012). Sel-sel ini menerima, memproses, dan menghadirkan antigen asing sebagai HLA-DR antigen pada permukaan sel terhadap limfosit T CD4+ (Okiji, 2012). APC yang lain menyerupai makrofag dan terletak pada bagian tengah pulpa (Okiji, 2012). Menurut Yu dan Abbott (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag yang mengaktifkan antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik.pada pulpa yang normal tidak ditemukan adanya sel B (Trowbridge, 1993). Pulpa merupakan organ sensoris sehingga pulpa memiliki sensitifitasnya terhadap stimuli eksternal (Okiji, 2012; Abbott, 2007). Pulpa menunjukkan respon terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti perubahan termal, deformasi mekanis, atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri (Okiji, 2012). Kemampuan menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena merupakan bagian dari sistem pertahanan pulpa (Simon, 2009). Pasien dengan inflamasi pulpa akan cenderung

6 mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi injuri pulpa jika dibandingkan dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar dimana sensasi nyeri tidak akan dialami sampai kerusakan besar telah terjadi pada jaringan sekitar gigi (Iqbal dan Kim, 2007). Selain itu fungsi proprioseptif pulpa membatasi beban berlebihan pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan demikian melindungi gigi dari injuri (Iqbal dan Kim, 2007). 2.3 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan reaksi neuro dan vaskuler yang merupakan komponen kunci dari fenomena neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006). Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa yaitu bakterial (Waterhouse, 1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubuli dentin yang terbuka, baik dari karies maupun terbukanya pulpa karena trauma, adanya kebocoran pada restorasi, dari perluasan infeksi pada gingiva atau melalui peredaran darah (Tokuda, 2004). Mikroorganisme berperan penting dalam penyakit pulpa. Ada atau tidaknya iritasi bakteri adalah faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa terbuka secara mekanis (Weine, 2004). Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi dibagi menjadi dua tahap yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut

7 menunjukkan respons yang tiba-tiba dan durasi yang pendek, dengan demikian inflamasi akut dihubungkan dengan injuri dadakan (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang melibatkan reaksi eksudatif dimana cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan aliran darah dan memasuki daerah injuri (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis jikalau agen penyebab injuri masih tetap ada (Trowbridge dan Emling, 1993). Apabila inflamasi akut berlangsung lebih dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis (Bergenholtz, 2010). Inflamasi kronis adalah respons proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblast, endotelium vaskuler, dan influks yang dinamakan sel inflamasi kronis (limfosit, plasma sel dan makrofag) (Trowbridge and Emling, 1993). Pulpitis adalah radang pada jaringan pulpa gigi, yang dapat bersifat akut, kronik, dan kronik eksaserbasi akut, bergantung pada proses pathogenesis dan etiologinya (Tokuda, 2004). Akhir-akhir ini akibat perawatan dan pemakaian bahanbahan kedokteran gigi juga merupakan faktor penyebab yang perlu diteliti lebih jauh di samping penyebab lainnya seperti trauma dan lain-lain (Saad dan Clem, 1988). Letak jaringan pulpa yang terlindung oleh dan dentin yang kuat dan keras merupakan suatu keuntungan bagi jaringan pulpa dalam mempertahankan diri terhadap rangsang (Gulabivala, 2014). Namun jaringan keras tersebut bersifat permeabel sehingga mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti suhu, tekanan, zat kimia, dan lain-lainnya

8 (Gulabivala, 2014). Gejala radang jaringan pulpa secara klinis sangat sukar dibedakan, karena rasa nyeri digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan diagnosis penyakit (Bergenholtz, 2010). Banyak peneliti mencoba mengklasifikasikan penyakit pulpa ini dengan menghubungkannya dengan jenis perawatan endodontik yaitu apakah jaringan pulpa masih dapat dipertahankan, dirawat, atau dikeluarkan (Bergenholtz, 2010). Diagnosis tersebut sukar dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit sebenarnya karena letak jaringan pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu dan dentin (Iqbal, 2007). Respon jaringan dentin yang diterima jaringan pulpa juga berbeda pula. Keadaan klinik dan mikroskopik penyakit pulpa ternyata sering tidak sesuai karena diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik dan gambar radiografi. Oleh karena itu, pemilihan jenis perawatan sering kurang sesuai apabila diagnosis tersebut digunakan sebagai pedoman (Iqbal, 2007). Walaupun tidak akurat, rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa (Bergenholtz, 2010). Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa atau penyebab keluhan pulpa (Hargreaves, 2012). Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma. Keluhan rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan kimia (Iqbal, 2007). Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi, serta kualitas rasa nyeri tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit

9 pulpa, namun hasil rekaman tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan sebenarnya (Hargreaves, 2012). Hasil rekaman rasa nyeri, gambaran radiografik, serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan diagnosis penyakit pulpa yang lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Hargreaves, 2012). Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan mikroskopik (Weine, 2004). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi sejak lapisan terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia, atau bakteri. Reaksi tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan mulai terlihatnya lapisan odontoblas yang cedera (Simon, 2009). Bila intensitas rangsang lebih besar, maka dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas dan dalam (Iqbal 2007). Rangsang tersebut akan mengubah sistem mikrosirkulasi dalam jaringan pulpa sehingga terjadi hambatan aliran darah dan metabolisme dalam jaringan (Gulabivala, 2014). Pada awalnya, terjadi vasodilatasi sisstem mikrovaskularisasi yang menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis (Chandra, 2010). Di dalam arteri terjadi mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi yang dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya (Gulabivala, 2014). Hal ini akan mengakibatkan pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan ini disebut pulpitis akut (Bergenholtz, 2010). Apabila proses berlanjut menjadi kronik, maka tanda-tanda mikroskopik berupa penyebaran sel-sel radang khronik seperti limfosit, sel plasma, histiosit yang aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta perkapuran. Ulkus terbentuk

10 pada tempat pulpa yang terbuka. Pada pulpitis supurativa secara mikroskopik tampak mikro abses yang kemudian mengalami kapsulasi dan menjadi abses ganda (multiple) dengan nekrosis yang mengalami lisis (Weine, 2004). Pulpitis supurativa dapat berkembang menjadi nekrobiosis akut apabila seluruh jaringan pulpa hancur karena radang akibat infeksi sekunder (Weine, 2004). Nekrobiosis kronik ditandai oleh infiltrasi sel plasma yang menyeluruh sehingga terjadi nekrosis cair yang mengandung vakuol (Gulabivala, 2014). Weine (2004) mengklasifikasikan radang pulpa secara histopatologik ke dalam pulpitis ringan, pulpitis akut, pulpitis khronik, pulpitis supurativa, nekrobiosis akut, dan nekrobiosis kronik. Sementara itu, Seltzer dan Bender (2002) mengklasifikasikan keadaan pulpa berdasarkan pemeriksaan histologik sebagai berikut diantaranya adalah pulpa sehat, pulpa atrofik (pulposis), pulpitis akut, pulpa utuh dengan sel radang khronik (tahap transisi), pulpitis kronik dengan nekrosis cair sebagian, pulpitis kronik dengan nekrosis padat sebagian, pulpitis kronik total, dan nekrosis pulpa total. Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis reversibel dan pulpitis ireversibel (Weine, 2004). Pulpitis reversibel adalah suatu kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli stimuli ditiadakan (Weine, 2004). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversible tetapi

11 rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Weine, 2004). Penyebab pulpitis reversibel disebabkan oleh iritan yang mampu melukai pulpa. Penyebab dapat berasal dari trauma oklusal yaitu termal saat preparasi kavitas dengan bur yang terlalu lama, dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan, dan adanya bakteri yang masuk ke dalam pulpa (Hargreaves, 2012). Gejala pada pulpitis reversibel ditandai oleh rasa sakit yang tajam namun sebentar saat adanya rangsangan misalnya pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi secara spontan (Chandra, 2010). 2.4 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa Neuropeptid (NP) merupakan sintesa protein dalam badan sel primer serabut saraf aferen yang kemudian dihantarkan ke CNS dan ujung saraf perifer (Wakisaka, 1990). Di dalam pulpa gigi, NP ini disimpan pada ujung sel saraf dan merupakan penghantar dari badan sel di dalam ganglion trigeminal melalui axon-axon ke ujungujung serabut saraf (Wakisaka, 1990). Selama terjadinya inflamasi pulpa, mediator inflamasi perifer terstimulasi dan mensensitisasi serabut saraf sensoris (nosiseptor) untuk melepaskan NPs (Henry dan Hargreaves, 2007). Beberapa NPs yang berperan penting dalam inflamasi pulpa yaitu calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P (SP), neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin, dan vasoactive intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Neuropeptid yang berkontribusi untuk inflamasi pulpa yaitu SP, CGRP, dan VIP yang merupakan

12 vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor. (Abbott, 2007; Gomez, 2011; Wakisaka, 1990) Neuropeptid (NP) menghasilkan beberapa efek biologis dan memunculkan diantara sirkulasi dan aksi dari imun modulasi modus, injeksi dari substansi P (SP) intradermal di dalam produksi plasma ekstravasasi (Caviedes Bucheli, 2008). SP mengeluarkan histamine dari mast sel yang di dalamnya diturunkan stimulasi pengeluaran SP (Caviedes Bucheli, 2008). Pre-treatment anti histamin mengurangi ekstravasi yang menginduksi SP (Sattari, 2010). Dengan demikian ekstravasi yang menginduksi SP dan edema tergantung dari histamine (Wakisaka, 1990). Edema diinduksi oleh oleh histamin dan bradikin adalah potensial dari CGRP dan dihambat oleh pre-treatment dengan anti-cgrp (Caviedes Bucheli, 2004). Hal ini terjadi karena CGRP pontensial mengekstravasasi SP-induced melalui penghambatan dari degradasi SP. Injeksi CGRP pada manusia menginduksi sebuah respon vaskular yang lama (Byers, 2012), pengaturan sistemik dari CGRP yang disebabkan oleh hasil penurunan tekanan darah di dalam tikus, hipotensi, dan takikardia pada manusia. Oleh karenanya, CGRP adalah salah satu diantara endogenus vasodilatasi yang paling potensial (Caviedes Bucheli, 2004). Neuroprotein/neuropeptid (NP) yang dihasilkan saraf sensoris seperti substansi P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A (NKA) diproduksi pada badan sel trigeminal dan dihantarkan via akson menuju terminal saraf di dalam pulpa (Caviedes-Bucheli, 2008). Penelitian Wakisaka (1990)

13 memumjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa meskipun beberapa ujung saraf bebas lain juga ditemukan (Wakisaka, 1990). Aplikasi lokal dari bradikinin di dalam kavitas dentinal kucing secara signifikan meningkatkan aliran darah pulpa pada percobaan gigi yang masih ada persarafan tapi hal ini tidak terjadi pada kelompok gigi yang sudah diangkat persafarannya (Diogenesa dan Henry, 2012). Ini mengindikasikan bahwa bradikinin tergantung sebagai vasodilator dalam neuropeptide (NP) (Diogenes dan Henry, 2012). Produksi ektravasasi plasma oleh SP dan produksi vasodilatasi oleh CGRP adalah bagian yang terpisahkan dari reaksi inflamasi (Fristad, 2010). Hal ini menyediakan area dengan prekusor plasma-borne untuk mediator inflamasi seperti asam arakhidonat dan kininogen (Trwobridge dan Emling, 1993). Enzim jaringan mengubah asam arakhi donat menjadi leukotriens dan prostaglandin, dan kininogen ke bradikinin. Hasilnya mediator inflamasi akan merangsang ujung saraf bebas dan perjalanan impuls dimulai. Hargreaves, dkk (2012) menyatakan bahwa CGRP dan SP memiliki aksi potensial dalam respon vascular dan mempertahankan reaksi inflamasi melalui sebuah mekanisme local positif feed back. Faktanya bahwa penghambatan rangsangan aktivasi oleh obat anti inflamasi mengindikasikan perangsangan melalui prostaglandin (Fouad, 2012). Serotonin dapat merangsang serabut saraf A-delta pada pulpa (Fouad, 2012). Aplikasi serotonin ke dalam kavitas dentin dapat merangsang serabut saraf A ke stimulasi hidrodinamik

14 dari dentin (Fouad, 2012). Bradikinin dan histamin mengaktifkan serabut saraf C (Fouad, 2012). Perbedaan rangsangan dari saraf intradental A dan C mungkin menjelaskan perubahan tipe dan intensitas simptom nyeri selama proses inflamasi pulpa sehingga dapat didefinisikan inflammasi neurogenik adalah respon inflammasi yang diperantarai oleh neuropetid dimana dapat dilepaskan dari stimulasi nosiseptor perifer (Fouad, 2012). CGRP dihasilkan didalam serabut saraf di dalam pulpa yang dianggap bagian mayor dari inervasi gigi (Awawdeh, 2002). Oleh karena itu, respon dari serabutserabut menunjukkan perbedaan pemberian injuri seperti preparasi kavitas, terpaparnya pulpa, trauma oklusi, dan replantasi (Byers, 1999). Kebanyakan dari serabut saraf bertahan terhadap injuri dan meneruskan ke inervasi dentin yang hanya ditemukan terisi di tubulus dentin oleh odontoblas (Pashley dan Tay, 2012). Byers (1999) menemukan bahwa proses faktor sintesis meningkatkan nerve sprouting saraf CGRP dan SP. Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa nerve sprouting adalah sebuah vehicle yang membawa beberapa neuropeptid ke area inflamasi (Caviedes Bucheli, 2008). Peneliti yang sama juga menemukan adanya nerve sprouting dan peningkatan level neuropeptids dari CGRP gigi yang diekstraksi (Caviedes Bucheli, 2006). Produksi nyeri oleh prosedur inflammasi, jelas merupakan hal yang berbeda dengan nyeri yang diinduksi oleh stimulasi oleh transient non inflammatory seperti tusukan jarum (Byers, 1999). Inflamasi menyebabkan perubahan elektrofisiologis

15 pada nosiseptor perifer untuk menghasilkan tingkatan persepsi dari hiperalgesia (Diogenes dan Henry, 2012). Hal ini merupakan hasil rangsangan yang besar dari stimulus panas, dingin, dan mekanikal. Hargreaves (2012) mengemukakan bahwa hiperalgesia sebagai tingkatan persepsi yang ditandai dengan nyeri spontan, penurunan ambang rasa nyeri, dan peningkatan besarnya rasa nyeri yang dirasakan oleh pemberian sebuah stimulus. Perubahan struktural dan fungsional di sistem saraf pusat yang diikuti dengan aktivasi peripheral nosiseptor terhadap respon pada injuri jaringan dan inflammasi menjadi lebih menonjol pada nyeri yang lama dari sistem nyeri (Diogenes dan Henry, 2012). Penelitian Caviedes Bucheli (2006) pada manusia menunjukkan bahwa penyebaran nyeri pada pulpitis melalui secondary hiperalgesia menuju sentral sensitisasi. Studi elektrofisiologi menemukan bahwa stimulasi yang noksious pada gigi, menghasilkan respon sitokimia yang berlainan di batang saraf trigeminal. Kesimpulannya, inflamasi dan injuri di jaringan perifer mungkin akan menghasilkan perubahan di dalam transmisi impuls dalam central pain pathways (Caviedes Bucheli, 2008). Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa memiliki makna klinis yang signifikan (Fried, 2011). Injuri dapat disebabkan oleh prosedur iatrogenik, trauma, maupun atrisi. Infeksi juga dapat disebabkan oleh bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi ataupun melalui jalan masuk lainnya ke dalam pulpa. Inflamasi dapat dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi

16 akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan (healing) (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya dimana inflamasi ini dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Fouad, 2012). Vasodilatasi dan peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi pulpa (Gomez, 2011). Pada waktu sel-sel pulpa menjadi aktif maka membran fosfolipidnya dengan cepat mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi aktif secara biologis (Carrasquillo, 2004). Produk-produk tersebut berasal dari metabolisme asam arakhidonat. Jalur enzim siklooksigenase menyebabkan terbentuknya prostaglandin (Figdor, 1994). Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga melibatkan neuropeptid. Hal ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang peranan penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf sensoris dan pembuluh darah.inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan patologis dalam hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Fristad, 2010). Hanya ada dua jenis serabut saraf yaitu Aδ dan C yang secara utama menginervasi jaringan pulpa dan bersifat sebagai reseptor polimodal (Smith, 2012). Serabut saraf C berhubungan erat dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa karena dalam hal ini serabut saraf C berperan sebagai serabut saraf parasimpatetik yang mengatur vasodilatasi dan permeabilitas vaskularisasi pulpa (Ikeda, 2012). Ketika mengalami stimulasi, bagian terminal dari serabut saraf C akan melepaskan beberapa neuropeptid

17 yaitu substansi P (SP),calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A (NKA) (Caviedes-Bucheli, 2005). Pulpa gigi diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang mengandung neuropeptid, yang dilepaskan serabut saraf aferen dan berkaitan dengan inflamasi neurogenik dan penyembuhan luka (Abbott, 2007). Bentuk umum inflamasi pulpa dimediasi secara neurogenik dan pengukuran biokimia terhadap mediator inflamasi meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel dan berhubungan dengan tanda dan gejalanya telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrina, 2012). Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF) (Henry dan Hargreaves, 2007). Sebagian besar serabut saraf ini mempersarafi dentin, predentin, dan lapisan odontoblas pada daerah korona dekat dengan enamel. Sementara itu serabut saraf C menghasilkan NGF-reseptor dan beberapa neuropeptid seperti SP, CGRP, dan NKA (Fristad et al., 2010). 2.5 Substansi P (SP) dan Jaringan Pulpa SP merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang pertama kalinya ditemukan oleh Von Euler dan Gaddum pada tahun 1931 (Sacerdote dan Levrini, 2012). P pada substansi merupakan singkatan dari powder. SP terdiri atas 11 asam amino yaitu H-Arg1-Pro2-Lys3-Pro4-Gln5-Gln6-Phe7-Phe8-Gly9-Leu10-

18 Met11-NH2) dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NKB di mana semua ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2 (Sacerdote dan Levrini, 2012). SP diberi kode oleh gen preprotachykinin A dalam perikaryon serabut saraf aferen primer pada akar dorsal dan ganglion trigeminal yang kemudian dihantarkan menuju prosesus sentralis dan perifer elemen ini (Sacerdote dan Levrini, 2012). Uniknya sekitar 80% dari SP yang disintesa pada ganglion akar dorsal akan dikirimkan menuju daerah terminal pada serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012). Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini dikarenakan lokalisasi selular spesifik yang juga merupakan endopeptidase netral dan angiotensin converting enzymes (EP dan/atau ACE) yang paling banyak berperan dalam pembelahan SP pada daerah perifer (iogenes dan Henry, 2012). Telah umum diketahui bahwa beberapa faktor dapat mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor pada daerah injuri jaringan dan kemudian menginduksi pelepasan neuropeptid pada perifer (Okiji, 2012). Capsaicin, panas, dan proton akan mengaktifkan vanilloid reseptor 1 (VR1) yang terletak pada serabut saraf sensori berdiameter kecil yang menyebabkan terbukanya cation channel dan meningkatkan masuknya kalsium melalui channel ini dan melalui voltage gated calcium channels yang diaktivasi oleh depolarisasi yang diinduksi sodium (Suwabchai, 2011). Efek ini meningkatan pelepasan SP dari saraf menyebabkan stimulasi jalur fosfolipase C dengan aktivasi cascade protein kinase C yang telah ditunjukan dapat menstimulasi sekresi SP dari ujung saraf sensoris (Byers, 2012).

19 Efek biologis dari pelepasan SP diinduksi setelah berikatan dengan G coupled-protein reseptor spesifik NK (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor tachykinin yaitu NK1,NK2, dan NK3 menunjukkan preferensi untuk bahan SP, neurokinin A dan neurokinin B masing-masing (Sacerdote dan Levrini, 2012). Namun tachykinins endogen sangat tidak selektif untuk setiap reseptor dan semua dapat bertindak pada semua tiga reseptor di bawah kondisi tertentuseperti ketersediaan reseptor atau peptida konsentrasi tinggi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan simulasi reseptor NK1 menginduksi beberapa sistem second messengers, seperti fosfolipase C intraselulerinositol 1,4,5 - trisphophate (IP3) yang diikuti dengan elevasi kalsium intraseluler (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor ini dijumpai dalam konsentrasi tinggi padajaringangigi. Selain itu SP telah diketahui dapat mengaktifkan ERK 2 dan P38 protein mitogen dan dapat meningkatkan produksi PGE2 dan ekspresi COX2 (Figdor, 1994). Interaksi SP dengan reseptornya secara langsung menginduksi vasodilatasi dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi plasma dan degranulasi mastosit (Gomez, 2011). Granul mastosit melepaskan histamin, yang pada gilirannya lebih lanjut menguatkan proses vaskuler dan mengaktifkan nosiseptors (Isett, 2003). Limfosit, granulosit, makrofag, dan memilikireseptor untuk SP dan sel-sel ini dapat dirangsang untuk memproduksi sitokin (Rodd dan Boissonade, 2000). Makrofag distimulasi oleh SP menghasilkan

20 mediator inflamasi PGE2, thromboxane, sertasitokin proinflamasi IL-1, IL-6, dan TNF. Semua aktivitas molekuler akhirnya mempertahankan sintesis dan pelepasan SP sehingga menjadi suatu lingkaran yang sulit dihentikan (Gambar 2.1). Selain itu, mekanisme ini tidak hanya melibatkanserabut syaraf pada daerah kerusakan jaringan, tetapi diperluas juga untuk jaringan sekitarnya rusak, di mana hal ini juga menyebabkan hiperalgesia sekunder (Sacerdote dan Levrini, 2012). Atas dasar ini, SP dianggap sebagai mediator utama inflamasi neurogenik dan terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk akibat adanya injuri jaringan (Sacerdote dan Levrini, 2012). Gambar 2.1 Peranan Substansi P (SP) dalam Inflamasi Neurogenik (Sacerdote and Levrini, 2012)

21 SP banyak terkandung pada serabut saraf yang menginervasi jaringan pulpa dan dentin (Wakisaka, 1990). Produksi dan pelepasan molekul ini meningkat seiring dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis, dan kemis pada jaringan pulpa dan ligamen periodontal (Wakisaka, 1990). Jumlah SP yang dilepaskan oleh serabut saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses inflamasi (Wakisaka, 1990). Bowles et al. (2003) menyatakan dalam penelitian mereka bahwa konsentrasi SP pada inflamasi pulpa ireversibel mencapai 8 (delapan) kali lipat lebih besar dibanding pulpa normal. Studi lain menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada jaringan pulpa manusia meningkat pada gigi yang mengalami karies (Rodd and Boissonade, 2000). Peningkatan konsentrasi SP lebih tinggi pada kelompok karies yang disertai dengan nyeri dibanding dengan kelompok karies yang asimptomatik (Rodd and Boissonade, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Sattari et a.l (2010) menemukan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi SP secara bermakna pada pulpitis ireversibel simptomatik dan pulpitis ireversibel asimptomatik. Penelitian oleh Caviedes-Bucheli (2008) juga menunjukkan peningkatan konsentrasi SP yang sangat signifikan pada kelompok pulpa yang mengalami induksi inflamasi dan pulpitis ireversibel akut dibanding pulpa normal. Penelitian oleh Killough et al. (2009) dan Caviedes-Bucheli (2007) telah menunjukkan karakteristik reseptor NK pada gigi hewan rodensia dan manusia.

22 Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1, NK2, dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas, endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa, dan jaringan pendukung mulut (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada pada sel odontoblas dan ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh kapiler dan pembuluh darah lebih kecil (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1 dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler yang berdekatan dengan dentin (Sacerdote dan Levrini, 2012). Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan epitel Malasez. Reseptor NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen periodontal dan jaringan pulpa gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Metode yang digunakan untuk menentukan dan mengukur jenis reseptor yaitu radioreseptor assay belum dapat menunjukkan tipe reseptor yang ada (NK1, NK2, atau NK3) (Sacerdote dan Levrini, 2012). Serabut saraf sensoris berakhir dekat pembuluh darah dan reseptor SP meningkat jumlahnya pada jaringan ini (Sacerdote dan Levrini, 2012). Pada jaringan sehat, pelepasan basal SP berperan penting dalam pemeliharaan homeostasis jaringan, sementara itu pada sisi lain pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai akibat stimuli eksternal menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti dengan peningkatan laju aliran darah yang lama (Trowbridge dan Emling, 1993). Peningkatan produksi dan pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan propagasi proses inflamasi. (Sacerdote dan Levrini, 2012).

23 SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Caviedes Bucheli, 2008). Di samping itu, limfosit, granulosit, dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel ini dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi dan sitokin (Caviedes Bucheli, 2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten yang dapat menarik sel-sel inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah besar mediator inflamasi dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan merangsang nosiseptor untuk melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada sumsum tulang belakang dan jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri (Sacerdote dan Levrini, 2012). Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP. Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000) menunjukkan bahwa ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies simptomatis dibanding yang asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler delapan kali lipat lebih besar pada gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan dengan pulpa normal dan peningkatan bermakna SP dikaitkan dengan adanya jaringan granuloma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Caviedes-Bucheli, 2006). SP menggunakan aktifitas biologiknya secara utama melalui reseptor NK1 dengan afinitas tinggi tetapi pada konsentrasi yang tinggi peptida ini dapat mengaktifkan reseptor NK2 dan NK3 (Sacerdote dan Levrini, 2012). Dengan kata

24 lain, NK1 merupakan reseptor yang paling berperan pada kondisi fisiologis sedangkan pada kondisi patologis karena konsentrasi SP yang tinggi maka seluruh resoptor NK memegang peranan dalam mekanisme neurogenik inflamasi (Gambar 2.2 dan 2.3). Gambar 2.2 Peranan Substansi P (SP) sebagai Imunomodulator (Caviedes-Bucheli, 2005)

25 Gambar 2.3 Peranan Substansi P (SP) dalam Mekanisme Nyeri (Caviedes-Bucheli 2005) SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhan sel pulpa seperti fibroblas dan sel lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic protein (BMP) dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor yang berkaitan dengan induksi pembentukan dentin. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperi pulpitis ireversibel simptomatis (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005). Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP dan CGRP meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel simptomatik dan asimptomatik bila dibandingkan dengan kelompok pulpa sehat. Level SP dan CGRP

26 meningkat delapan kali lipat pada pulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal. Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem peptidergik (Sacerdote dan Levrini, 2012). Di samping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik dalam mengatur aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan dengan fenomena inflamasi (Goodale, 1981). Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Abbott, 2007). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif polipeptida seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi (Caviedes Bucheli, 2008).Peninggian aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan (Caviedes-Bucheli, 2008). Sebagai contoh, peninggian level dari Substansi P terdapat di dalam pulpa pasien dengan pulpitis ireversibel (Sattari, 2010). CGRP dan Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan ekstravasasi, secara berturut-turut hingga berpartisipasi dalam proses inflamasi (Gomez, 2011). Mekanisme untuk inflamasi neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik. Dalam menjelaskan proses terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang berperan yaitu yakni: inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan central nervous system (CNS) (Hargreaves, 2012). Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP, dan NKA yang signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai

27 patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru dalam merawat pulpa yang mengalami inflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada pulpa yang mengalami injuri sehingga menjadi suatu cara penanganan nyeri pulpa (Buck, 1999). Inflamasi pulpa neurogenik ini biasanya akan berlanjut sehingga terjadi gangguan sistem vaskuler dan perubahan membran fosfolipid (Fouad, 2012). Selanjutnya dengan bantuan enzim fosfolipase A 2 akan menghasilkan asam arakidonat yang merupakan substansi pembentuk mediator-mediator inflamasi misalnya prostaglandin (PGs), leukotriene, dan thromboxane dengan bantuan enzim cyclooksigenase (Fouad, 2012). Pada inflamasi pulpa dengan peningkatan level substansi P akan mengakibatkan nyeri yang secara bermakna terlihat dengan peningkatan konsentrasi prostaglandin E 2 (PGE 2 ) jika dibanding dengan pulpa normal (Trowbridge dan Emling, 1993). Menurut Caviedes-Bucheli (2005), Substansi P dapat menginduksi mediatormediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, cytokine, dan thromboxane. Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan dan mensensitisasi selsel saraf maupun non saraf sehingga dapat menyebabkan proses inflamasi dan rasa nyeri (Espasito, 2003).

28 2.6 Macaca fascicularis M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis karena secara anatomis dan fisiologis memiliki banyak kemiripan dengan manusia (Ardith, 2008) (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995) M. fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai nama lain seperti monyet Cynomolgus, dan monyet pemakan kepiting (crabeatingmacague) (Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor panjang menurut Whitney et al., (1995) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Sub ordo : Anthropoidea

29 Infra ordo : Catarrhini Super famili : Cercopithecoidae Famili : Cercopithecidae Sub Famili : Cercopithecinae Genus : Macaca Species : Macacafascicularis Penyebaran dan Habitat M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003) Morfologi Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki (quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan, sekitar cm (16 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan dewasa 41,2 cm 64,8 cm dan betina 38,5cm 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina (Navia, 1997). Hewan jantan 4,7 kg 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna

30 rambut badan bervariasi dari coklat kekuningan (abu-abu) sampai coklat gelap. Warna rambut di ventral tubuh lebih pucat, sedangkan warna kulit wajah abu-abu gelap.hewan ini memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk (ischium) (Navia, 1997). Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I - 1C - 2PM - 3M/2I IC - 2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama, sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip (Swindler, 2002). Gigi seri kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah. Gigi taring atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol melebihi tepi deretan gigi lainnya (Swindler, 2002). Gigi taring pada monyet jantan lebih panjang daripada monyet betina.bentuk premolar bawah bervariasi (Swindler, 2002). Molar disebut bilophodont yaitu pada masing-masing molar terdapat empat cuspid (2 bukal dan 2 lingual) yang dihubungkan dengan krista transversa. Geraham ketiga memiliki cuspid tambahan (Swindler, 2002) Kelompok Sosial Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yaitu dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak. Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggot (Reinhardt, 1997).

31 Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku.hewan ini tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur, dan rumput (Reinhardt, 1997). 2.7 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi denan menggunakan spektrofotometer (Burgess, 1995). Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari cahaya

32 yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standar sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk mengestimasi kadar protein tersebut (Burgess, 1995). Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk melabel suatu antigen atau mengetahui antibodi yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin mengetahui antigen yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibodinya, begitu pula sebaliknya (Burgess, 1995). ELISA merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisi sadanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen enzim atau konjugat antobodi enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA. Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di

33 antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi (Burgess, 1995). 2.8 Landasan Teori Sel dan substansi dasar Cedera Pulpa normal Saraf A delta dan C Pembuluh darah dan sistem limfatik SP (?) Perubahan vaskuler dan respons imun Perubahan sistem neurogenik Perubahan membran fosfolipid Pulpitis reversibel SP (?)

34 Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung substansi dasar, selsel, pembuluh darah, sistem limfatik dan perasarafan. Persarafan pulpa terdiri atas serabut saraf A delta dan C. Cedera yang mengenai pulpa akan menyebabkan terjadinya perubahan vaskuler dan respon imun, perubahan sistem neurogenik dan perubahan membran fosfolipid pada sel imun pulpa. Cedera yang mengenai atap pada kamar pulpa akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang akan mengaktifkan sistem persarafan pulpa (A delta dan C) untuk melepaskan protein-protein saraf (neuropeptida) yang pro inflamasi diantaranya yaitu substansi P (SP) yang merupakan neuropeptida utama yang memegang peranan yang penting pada saat awal terjadinya inflamasi sehingga menyebabkan hiperalgesia, merangsang makrofag, serta mendegranulasi sel mast untuk mensintesis dan melepaskan mediator-mediator inflamasi lainnya seperti prostaglandin, bradikinin dan histamin. SP merupakan mediator inflamasi lini pertama yang bersifat vasodilator dan merupakan zat algogenik serta merupakan agen kemotaktik yang kuat sehingga dengan peninggian konsentrasi SP pada jaringan pulpa dapat menyebabkan perubahan laju aliran darah pulpa dan peninggian tekanan darah pulpa.

35 2.9 Kerangka Konsep Konsentrasi substansi P (SP) Pulpa Normal Pulpitis reversibel Konsentrasi substansi P (SP) Induksi injuri mekanis dengan bur akses no.2 sampai terbukanya pulpa Pada penelitian ini dilihat kadar substansi P (SP) dengan metode ELISA pada kelompok pulpa normal dan kelompok pulpitis reversibel yang diinduksi secara mekanis pada pulpa gigi M.fascicularis Hipotesis Hipotesis mayor: Ada perbedaan kadar SP pada kelompok pulpa yang mengalami pulpitis reversibel simptomatis akibat induksi secara mekanis dan kelompok pulpa normal.

36 Hipotesis minor: Kadar SP pada kelompok pulpa yang mengalami pulpitis reversibel simptomatisakibat induksi secara mekanis lebih tinggi dibanding dengan pulpa normal.

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya adalah untuk melokalisir dan merusak agen perusak serta memulihkan jaringan menjadi

Lebih terperinci

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar PULPO DENTINAL KOMPLEKS Trimurni Abidin,drg.,M.Kes.,Sp.KG DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera pulpa dapat menyebabkan inflamasi pulpa. Tanda inflamasi secara makroskopis diantaranya tumor (pembengkakan), rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri).

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan pulpa Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. odontoblast. Pada tahap awal perkembangannya, odontoblast juga. pertahanan (Walton & Torabinejad, 2008).

BAB II TINJUAN PUSTAKA. odontoblast. Pada tahap awal perkembangannya, odontoblast juga. pertahanan (Walton & Torabinejad, 2008). BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pulpa Pulpa gigi adalah suatu jaringan lunak yang terletak di daerah tengah pulpa. Jaringan pulpa membentuk, mendukung, dan dikelilingi oleh dentin. Fungsi

Lebih terperinci

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatri, responrespon yang mengantarkan atau reaksi-reaksi yang ditimbulkan

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta Mekanismenya 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri 1.2 Klasifikasi Nyeri

Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta Mekanismenya 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri 1.2 Klasifikasi Nyeri Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan atau penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi ujung-ujung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi pulpa dapat disebabkan oleh iritasi mekanis. 1 Preparasi kavitas yang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karies gigi merupakan salah satu masalah gigi dan mulut yang sering terjadi dan berpotensi untuk menyebabkan masalah gigi dan mulut lainnya. Prevalensi karies gigi di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan dari perhitungan jumlah fibroblas dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan jumlah

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulpitis merupakan salah satu penyakit pulpa (Ingle dkk., 2008) yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mempertahankan gigi selama mungkin di dalam rongga mulut merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu konservasi gigi. Idealnya gigi dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan oleh pasien (Kidd dkk., 2003). Kondisi akut penyakit pulpitis menyebabkan nyeri sehingga

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK Dokter gigi saat merawat endodontik membutuhkan pengetahuan tentang anatomi dari gigi yang akan dirawat dan kondisi jaringan gigi setelah perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipersensitivitas dentin merupakan salah satu masalah gigi yang paling sering dijumpai. Hipersensitivitas dentin ditandai sebagai nyeri akibat dentin yang terbuka jika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan. A. Definisi

Bab 1 Pendahuluan. A. Definisi Bab 1 Pendahuluan A. Definisi Menurut International Association Study of Pain (IASP), nyeri adalah bentuk pengalaman emosional, sensasional subjektif, dan tidak menyenangkan yang berpotensi untuk menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan

BAB I PENDAHULUAN. jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang komposisinya sama dengan jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan saraf (Hargreaves & Goodis,

Lebih terperinci

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita *

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita * FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI Sartika Puspita * * Pogram Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRAK Pulpa memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita *

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita * PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA Sartika Puspita * * Pogram Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRAK Pulpa gigi dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 18 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Embriologi Gigi Pembentukan gigi dimulai dengan terbentuknya lamina dental dari epitel oral. Lamina dental kemudian berkembang menjadi selapis sel epitel dan berpenetrasi

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP) sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mulut yang sering terjadi di Indonesia adalah karies dengan prevalensi karies aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mulut yang sering terjadi di Indonesia adalah karies dengan prevalensi karies aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gigi dan mulut di Indonesia khususnya karies cukup tinggi, Kementerian Kesehatan RI (2008) menyatakan bahwa salah satu masalah gigi dan mulut yang sering

Lebih terperinci

Salah satu bagian gingiva secara klinis

Salah satu bagian gingiva secara klinis Salah satu bagian gingiva secara klinis adalah: 1... (jawaban yang ditanyakan adabagian gingiva yang dibatasi oleh alur gusi bebas dan batas mukosa gingiva dari bagian gingiva lain dan mukosa alveolar)

Lebih terperinci

Clinical Science Session Pain

Clinical Science Session Pain Clinical Science Session Pain Disusun oleh : Nurlina Wardhani 1301-1214-0658 William Reinaldi 1301-1214-0503 Preseptor : Arnengsih, dr., Sp.KFR BAGIAN ILMU KESEHATAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron Gamaliel Septian Airlanda Prinsip Dasar Jalannya Rangsang a) Resting Membrane Potensial b) Potensial Membrane c) Potensial aksi d) Sifat elektrik pasif membrane

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun

Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun OLEH : Evi Novianti (04121004051) Nadya Purwanty (04121004052) Catherine Videllia (04121004053) Hesti Rahmiati (04121004054) Ria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

ENDODONTIC-EMERGENCIES

ENDODONTIC-EMERGENCIES ENDODONTIC-EMERGENCIES (Keadaan darurat endodontik) Keadaan darurat adalah masalah yang perlu diperhatikan pasien, dokter gigi dan stafnya. Biasanya dikaitkan dengan nyeri atau pembengkakan dan memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber:

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber: Bab 1 Pendahuluan 1.1 Definisi Trigeminal neuralgia atau yang dikenal juga dengan nama Tic Douloureux merupakan kelainan pada nervus trigeminus (nervus kranial V) yang ditandai dengan adanya rasa nyeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH NAMA PRAKTIKAN : Amirul Hadi KELOMPOK : I HARI/TGL. PRAKTIKUM : Kamis, 9 Januari 2014 I. TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi dapat berisiko menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya sebagian dari jaringan tubuh.

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

Pendahuluan. Nyeri orofasial, bergantung dari penyebab utamanya, secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis nyeri, yaitu: 1

Pendahuluan. Nyeri orofasial, bergantung dari penyebab utamanya, secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis nyeri, yaitu: 1 Bab 1 Pendahuluan Nyeri orofasial, bergantung dari penyebab utamanya, secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis nyeri, yaitu: 1 1. Nyeri musculoskeletal (Musculoskeletal pain) 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran juga semakin berkembang. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang kedokteran gigi. Indikasi pencabutan gigi bervariasi seperti pernyakit periodontal,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Udema (Inflamasi) Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan. Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang berkembang dari interaksi antara sel epitel rongga mulut dan sel bawah mesenkim. Setiap gigi berbeda secara anatomi,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan pendukung gigi disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal

Lebih terperinci

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM Kebiasaan merokok sejak lama telah diasosiasikan sebagai penyebab berbagai macam perubahan dalam rongga mulut, seperti kaitannya dengan kanker mulut dan penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin meningkat yaitu tidak lagi terbatas pada tumpatan dan pencabutan gigi, namun salah satunya adalah perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita dan lain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi menurut The International

BAB I PENDAHULUAN. kita dan lain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi menurut The International BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Rasa nyeri merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindugi badan kita dan lain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi menurut The International Association

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ekstrak lerak diharapkan dapat dikembangkan menjadi bahan pereda nyeri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ekstrak lerak diharapkan dapat dikembangkan menjadi bahan pereda nyeri BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ekstrak lerak diharapkan dapat dikembangkan menjadi bahan pereda nyeri gigi yang bersifat biokompatibel terhadap jaringan dan memiliki efek analgetik. Pada bab ini akan dibahas secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pulpa adalah jaringan lunak yang terletak di bagian tengah gigi. Pulpa memiliki empat fungsi yaitu membentuk dentin, mensuplai nutrisi, mempertahankan gigi, serta sebagai persarafan

Lebih terperinci

STRUKTUR ANATOMI DAN FUNGSI PULPA

STRUKTUR ANATOMI DAN FUNGSI PULPA STRUKTUR ANATOMI DAN FUNGSI PULPA Disusun oleh: Nathania Astria 021211133059 Christopher 021211133060 Eghia Laditra A 021211133061 Intan Ayu Rizki P 021211133062 Ainani Dwi Hapsary 021211133063 Karissa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kalsium merupakan kation dengan fosfat sebagai anionnya, absorbsi

I. PENDAHULUAN. Kalsium merupakan kation dengan fosfat sebagai anionnya, absorbsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalsium merupakan kation dengan fosfat sebagai anionnya, absorbsi keduanya tergantung pada konsentrasi dalam plasma darah. Metabolisme ion kalsium dan fosfat dalam tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Poket periodontal didefinisikan sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologis, merupakan gejala klinis paling penting dari penyakit periodontal. Pendalaman sulkus

Lebih terperinci

Endodontology Greek Pengetahuan ttg apa yg berada dlm gigi Cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan morfologi, Fisiologi & patologi Jaringa

Endodontology Greek Pengetahuan ttg apa yg berada dlm gigi Cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan morfologi, Fisiologi & patologi Jaringa ILMU KONSERVASI GIGI II ENDODONTOLOGY Trimurni Abidin,drg.,M.Kes.,Sp.KG Endodontology Greek Pengetahuan ttg apa yg berada dlm gigi Cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan morfologi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat kemoterapi vinkristin Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari tanaman Vinca Rosea yang memiliki anti kanker yang diberikan secara intravena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur dibawahnya dari trauma mastikasi, dan mencegah masuknya mikroorganisme (Field dan Longman, 2003).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester)

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci