BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan pulpa Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus. Hal ini dikarenakan jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau berada dalam suatu lingkungan yang low compliance (Okiji, 2012; Hargreaves, 2012). Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi kolateral maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi inflamasi) sangat terbatas sehingga mengurangi kemampuan pulpa dalam pertahanan dan perbaikan jaringan (Pashley dan Tay, 2012) Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (Okiji, 2012, Hargreaves, 2012; Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur (Bergenholtz, 2010). Pulpa yang matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat embrionik, mempunyai kekhususan dengan adanya sel-sel odontoblas di seluruh daerah perifer (Weine, 2004). Secara fisik, pulpa memiliki banyak saraf sensoris dan kaya akan komponen mikrosirkulasi yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik (Buck, 1999). Pengetahuan akan fungsi pulpa normal, komponennya, dan interaksinya penting dalam memberikan

2 kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi pada kelainan pulpa (Hargreaves, 2012). Jaringan pulpa selalu dipertimbangkan bersama-sama dentin sebagai suatu kompleks dentin-pulpa karena anatomi, perkembangan dan fungsinya mempunyai hubungan yang sangat erat. Elemen-elemen pulpa seperti prosesus odontoblas dan terminal saraf memiliki kaitan erat (Pashley dan Tay, 2012). Fungsi yang erat antara pulpa dan dentin dapat dipandang dari berbagai aspek, yaitu: (Pashley dan Tay, 2012; Abbott, 2007) 1. Pulpa mempunyai peranan besar dengan adanya sel-sel odontoblas dalam membentuk dentin baru baik secara fisiologis maupun sebagai respons terhadap stimuli dari luar. 2. Pada pulpa dijumpai persarafan yang memberikan sensitivitas dentin. 3. Pulpa sebagai jaringan ikat mampu memberi respons terhadap semua jejas yang terjadi pada dentin, walau tidak secara langsung, dengan menstimulasi sel odontoblas. 4. Terkungkungnya pulpa dalam dentin memberikan lingkungan yang rendah adaptasi (low compliance) yang mempengaruhi kemampuan pertahanan pulpa. 2.2 Sel-sel Pulpa Dalam ruang pulpa terdapat berbagai elemen jaringan seperti saraf, jaringan vaskular, serabut jaringan ikat, substansi dasar, cairan interstisial, sel-sel seperti

3 odontoblas, fibroblas, makrofag, sel-sel imunokompeten seperti sel dendritik, sel mast, limfosit, dan komponen seluler sel ektomesenkim yang tidak berdiferensiasi (Abbott, 2007; Hargreaves, 2012) Sel Odontoblas Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan mesenkim, membentuk lapisan di perifer ruang pulpa dan mensintesis matriks yang termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas yang terdapat pada ruang pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya dan /mm2 di servikal dan pertengahan akar, jumlahnya lebih sedikit dan bentuknya skuamosa (Pashley dan Tay, 2012). Sel odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel, mengalami masa fase fungsional, transisional dan istirahat (Bergenholtz, 2010). Odontoblas terdiri dari badan sel yang terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas yang memanjang ke luar ke arah tubulus dentin dan predentin. Odontoblas bekerja paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif (Smith, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka disebut juga sebagai dentinoblas (Smulson dan Sieraski, 1996). Selain berfungsi membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Odontoblas menghasilkan komponenkomponen organ seperti predentin dan dentin, kolagen (tipe I dan tipe III) dan proteoglikan (Okiji, 2012). Odontoblast juga mensintesis beberapa protein non

4 kolagen misalnya bone-sialoprotein, dentin sialoprotein, fosfoforin, osteokalsin, osteonektin, dan osteopontin (Simon, 2010, Smith, 2012). Dentin sialoprotein dan fosfoforin merupakan protein yang khas disintesis dentin (Souza dan Qin, 2012). Molekul-molekul ini disekresikan di ujung apikal dari badan sel odontoblas (Tziavas, 2004; Smith, 2012) Sel Fibroblas Sel-sel fibroblas merupakan sel jaringan ikat yang paling banyak dengan kapasitas untuk mengadakan sintesis dan mempertahankan matriks jaringan ikat (Abbott, 2007). Sel-sel ini menempati hampir seluruh jaringan ikat pulpa dan dijumpai dengan kepadatan yang tinggi pada zona kaya akan sel dari pulpa. Sintesis kolagen tipe I dan tipe III merupakan fungsi utama dari fibroblas pulpa. Sel-sel ini juga berperan dalam sintesis dan sekresi komponen-komponen matriks ekstra seluler nonkolagen seperti proteoglikan dan fibronektin (Okiji, 2012). Morfologi fibroblas pulpa bervariasi menurut fungsinya. Sel-sel yang sedang mengadakan sintesis berbentuk ireguler dengan satu nukleus. Fibroblas ini kaya akan endoplasma retikulum kasar dan kompleks golginya berkembang dengan baik. Selain aktivitas sintetik, sel fibroblas juga terlibat dalam degradasi komponen-komponen matriks ekstraseluler yang dibutuhkan dalam remodeling jaringan ikat (Okiji, 2012). Fibroblas mampu memfagositosis fibril kolagen dan mencernanya secara intraseluler dengan enzim lisozim. Fibroblas merupakan sumber dari sekelompok enzim-enzim Zn yang disebut metalloproteinase matriks (kolagenase, gelatinase, stromelisin, dan

5 sebagainya) yang mendegradasikan makromolekul matriks seperti kolagen-kolagen dan proteoglikan (Okiji, 2012). Penelitian-penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa produksi metalloproteinase matriks dari sel-sel pulpa yang dikultur menunjukkan peningkatan setelah stimulasi dengan sitokin dan komponen-komponen bakteri (Okiji, 2012). Penemuan ini mendukung bahwa sel-sel fibroblas distimulasi oleh sitokin-sitokin inflamatori dan produk-produk bakterial yang berperan pada degradasi jaringan ikat selama inflamasi pulpa (Okiji, 2012) Sel-sel Mesenkim yang Tidak Berdiferensiasi Sel-sel mesenkim ini terdistribusikan di daerah zona kaya akan sel dan zona sentral pulpa dan sering menempati daerah perivaskuler (Abbott, 2007). Sel-sel ini terlihat berbentuk stelata dengan rasio nucleus/sitoplasma yang tinggi, serta sulit dibedakan dengan sel-sel fibroblas di bawah mikroskop cahaya. (Okiji, 2012) Setelah mendapat stimulus, sel-sel ini mengadakan differensiasi menjadi fibroblas atau odontoblas. Pada jaringan pulpa dewasa jumlah sel-sel ini menurun seiring dengan menurunnya kemampuan regenerasi jaringan pulpa (Okiji, 2012) Sel-sel Immunokompeten Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan awal dan pemrosesan antigen, oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk memicu reaksi pertahanan tubuh (Abbott, 2007; Okiji, 2012). Sel imun yang utama

6 pada pulpa normal adalah sel T, makrofag dan sel dendritic. Pada pulpa normal tidak ditemukan adanya sel B. Sel-sel makrofag pulpa secara klasik merupakan sel-sel yang berlokasi di sekitar pembuluh-pembuluh darah (perivaskuler) dan di daerah perifer pulpa (di lapisan odontoblas). Secara morfologis sel-sel ini dijumpai dalam berbagai bentuk, antara lain berbentuk panjang, langsing, dan mempunyai cabang-cabang (prosesus). Permukaan selnya ireguler dan terdapat struktur lisosom di dalam sitoplasma (Okiji, 2012). Menurut Abbott dan Yu (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag yang mengaktifkan antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik. Sel-sel dendritik pulpa juga merupakan sel-sel immunokompeten pulpa yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell/apc). Sel-sel dendritik banyak dijumpai di daerah perivaskuler, tersusun dengan aksis longitunalnya paralel dengan sel-sel endothel (Okiji, 2012). Sel-sel dendritik mempunyai hubungan dengan subpopulasi minor sel MHC klas II dengan kapasitas fagositik yang lemah (Okiji, 2012). Selain itu, sel-sel dendritik mempunyai kapasitas yang kuat untuk memberikan sinyal yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel T dibandingkan terhadap sel makrofag (Okiji, 2012). Proliferasi T dipengaruhi oleh neuropeptid seperti substansi P dan calcitonin gene related peptide (CGRP) yang mendukung bahwa interaksi sel dendritik dengan T pada pulpa dapat dimodulasi oleh neuropeptid ini (Okiji, 2012).

7 2.3 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa Substansi P (SP) adalah salah satu neuropeptide dari golongan takhikinin. Neuropeptid merupakan protein yang disintesis dalam badan sel serabut saraf aferen primer dan kemudian dihantarkan ke pusat dan ke ujung saraf (Wakisaka, 1990). Neuropeptid lain selain SP adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP), neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin dan vasoactive intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Selama terjadinya inflamasi pulpa, serabut saraf sensoris terstimulasi untuk melepaskan neuropeptide (Henry dan Hargreaves, 2007). Neuropeptid yang berperan dalam inflamasi pulpa adalah SP, CGRP, NKA, neuropeptide K, neuropeptide Y, somatostatin, dan VIP (Byers, 2012). SP, CGRP, dan VIP merupakan vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor (Abbott, 2007; Gomez, 2011; Wakisaka, 1990). Penelitian Wakisaka (1990) telah menunjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa. Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa memiliki makna klinis yang signifikan. Injuri dapat disebabkan oleh prosedur iatrogenik, trauma maupun atrisi (Byers, 1999). Infeksi juga dapat disebabkan oleh bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi, ataupun melalui jalan masuk lainnya ke dalam pulpa (Carrasquillo, 2004). Proses inflamasi dapat dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan (healing) (Byers, 2012).

8 Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya yakni inflamasi ini dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Diogenes dan Henry, 2012). Vasodilatasi dan peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi pulpa. Pada waktu sel-sel pulpa menjadi aktif, maka membran fosfolipidnya dengan cepat mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi aktif secara biologis (Diogenes dan Henry, 2012). Produk-produk tersebut berasal dari metabolisme asam arakhidonat. Jalur enzim siklooksigenase menyebabkan terbentuknya prostaglandin(trowbidge, 2003). Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga melibatkan neuropeptid (Trowbridge, 2003). Ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang peranan penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf sensoris dan pembuluh darah. Inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan patologis dalam hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Wakisaka, 1990). Hargreaves (2012) telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrini, 2012). Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF) (Gomez, 2011). Sebagian besar serabut saraf ini memasuki sepertiga bagian dalam tubulus dentin dan menempati lapisan odontoblas(fried et al., 2011). Sementara itu

9 serabut saraf C menghasilkan NGF dan beberapa neuropeptid seperti SP, CGRP, dan NKA. (Fristad et al., 2010). 2.4 Substansi P (SP) dan jaringan pulpa Substansi P (SP) merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang pertama kalinya ditemukan oleh von Euler and Gaddum pada tahun P pada substansi merupakan singkatan dari powder (Sacerdote dan Levrini, 2012).SP terdiri dari 11 asam amino yaitu H-Arg1-Pro2-Lys3-Pro4-Gln5-Gln6-Phe7-Phe8- Gly9-Leu10-Met11-NH2 dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NK-B yang semua ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2 (Sacerdote dan Levrini, 2012). SP disandi oleh gen preprotachykinin A dalam perikaryon serabut saraf aferen primer akar dorsal dan ganglion trigeminus yang kemudian dihantarkan menuju pusat dan ujung saraf (Sacerdote dan Levrini, 2012). Uniknya, sekitar 80% dari SP yang disintesis pada ganglion akar dorsal akan dikirimkan menuju daerah terminal serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012). Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini adalah endopeptidase (EP) netral dan/atau angiotensin converting enzymes (ACE) (Diogenes dan Henry, 2012). Pelepasan SP terjadi setelah berikatan dengan reseptor spesifik NK yang tergandeng dengan protein G (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor takhikinin yaitu NK1, NK2, dan NK3. Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan simulasi reseptor NK1 menginduksi beberapa sistem second messengers, seperti

10 fosfolipase C intraseluler,inositol 1,4,5 - trisphophate (IP3), yang diikuti dengan elevasi kalsium intraseluler. (Sacerdote dan Levrini, 2012) Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada pada sel odontoblas dan ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh kapiler dan pembuluh darah lebih kecil. Reseptor NK1 dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler yang berdekatan dengan dentin. Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan epitel Malasez. Reseptor NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen periodontium dan jaringan pulpa gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Pada jaringan sehat, pelepasan basal SP berperan penting dalam pemeliharaan homeostasis jaringan, sementara pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai akibat stimulus eksternal, akan menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti dengan peningkatan laju aliran darah yang berlangsung lama (Trowbridge, 2003). Peningkatan produksi dan pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan propagasi proses inflamasi. (Sacerdote dan Levrini, 2012). Produksi dan pelepasan molekul ini meningkat seiring dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis dan khemis pada jaringan pulpa dan ligamen periodontium. Jumlah SP yang dilepaskan oleh serabut saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses inflamasi (Wakisaka, 1990). Sejumlah studi menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada jaringan pulpa manusia meningkat seratus kali pada gigi yang mengalami inflamasi dan mencapai seribu kali pada gigi yang mengalami pulpitis ireversibel. (Rodd and Boissonade, 2000).

11 SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah. Di samping itu, limfosit, granulosit dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel ini dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi dan sitokin (Caviedes Bucheli, 2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten yang dapat menarik sel-sel inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah besar mediator inflamasi dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan merangsang nosiseptor untuk melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada sumsum tulang belakang dan jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri. (Sacerdote dan Levrini, 2012) (Gambar 2.1). Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP (Gambar 2.2). Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000) menunjukkan bahwa ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies simptomatis dibanding yang asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler delapan kali lipat lebih besar pada gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan dengan pulpa normal dan peningkatan bermakna SP dikaitkan dengan adanya jaringan granuloma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Caviedes Bucheli, 2006). Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP dan CGRP meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel simptomatik dan

12 asimptomatik bila dibandingkan dengan kelompok pulpa sehat. Level SP dan CGRP meningkat delapan kali lipat padapulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal. Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem peptidergik. Di samping itu, penelitian yang dilakukan Goodale (1981) menunjukkan bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik dalam mengatur aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan dengan fenomena inflamasi (Gambar 2.3). Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP dan NKA yang signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru dalam merawat pulpa yang mengalamiinflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada pulpa yang mengalami injuri dan dengan demikian akan menjadi suatu cara penanganan nyeri pulpa (Buck, 1999). Atas dasar ini,sp dianggap sebagai mediator utamainflamasi neurogenik dan terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk dari injuri jaringan (Sacerdote dan Levrini, 2012).

13 Gambar 2.1 Peranan substansi P dalam inflamasi neurogenik (Sacerdote and Levrini, 2012) Penelitian oleh Killough et al. (2005) dan Caviedes-Bucheli (2007) telah menunjukkan karakteristik reseptor NK pada gigi hewan rodensia dan manusia. Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1, NK2 dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas, endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa dan jaringan pendukung mulut (Sacerdote dan Levrini, 2012).

14 Gambar 2.2 Peranan SP sebagai imunomodulator(caviede s-bucheli, 2008) Gambar 2.3 Peranan SP dalam mekanisme nyeri(caviedes-bucheli, 2008)

15 SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhansel pulpa seperti fibroblas dan sel lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic protein (BMP) dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor yang berkaitan dengan induksi pembentukan dentin. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperti pulpitis ireversibel (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005). Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Simone et al., 1989). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif polipeptida seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi. Peninggian aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan. Sebagai contoh, peninggian level dari Substansi P terdapat di dalam pulpa pasien dengan pulpitis irreversibel (Sattari, 2010). CGRP dan Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan ekstravasasi, secara berturut-turut hingga berpartisipasi dalam proses inflamasi. Mekanisme untuk inflamasi neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik. Dalam menjelaskan proses terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang berperan yaitu yakni: inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan central nervous system (CNS). (Hargreaves, 2012)

16 2.5 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan reaksi neurovaskuler yang merupakan komponen kunci dari fenomena neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006). Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa adalah bakteri (Waterhouse, 1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubulus dentin yang terbuka, baik karena karies maupun karena trauma, kebocoran restorasi, perluasan infeksi gingiva, atau melalui peredaran darah (Tokuda, 2004). Ada atau tidaknya iritasi bakteri adalah faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa terbuka secara mekanis (Weine, 2004). Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal. Inflamasi dibagi menjadi dua tahap yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut menunjukkan respons yang tiba-tiba dan durasi yang pendek, dengan demikian inflamasi akut dihubungkan dengan injuri dadakan. Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang melibatkan reaksi eksudatif; cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan aliran darah dan memasuki daerah injuri. Apabila inflamasi akut berlangsung lebih dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis. Inflamasi kronis adalah respons proliferatif yang ditandai dengan proliferasi fibroblas, endotelium vaskuler, dan terkumpulnya sel-sel inflamasi kronis (limfosit, plasma sel dan makrofag). (Trowbridge and Emling, 1993).

17 Walaupun tidak akurat, rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa (Bergenholtz, 2012). Diagnosis tersebut sukar dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit sebenarnya karena letak jaringan pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu dan dentin (Gulabivala, 2014). Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa, atau penyebab keluhan pulpa. Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma. Keluhan rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan kimia (Hargreaves, 2012). Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi serta kualitasnya digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit pulpa, namun hasil rekaman tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan sebenarnya Hasil rekaman rasa nyeri, gambaran radiografik serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan diagnosis penyakit pulpa yang lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Iqbal, 2007). Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan mikroskopik (Byers, 2012). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi sejak lapisan terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia atau bakteri (Haghighi, 2010). Reaksi tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan mulai terlihatnya lapisan odontoblas yang cedera (Haghighi, 2010). Bila intensitas rangsang lebih besar, maka dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas dan dalam (Haghighi, 2010). Rangsang tersebut akan mengubah sistem mikrosirkulasi dalam jaringan pulpa, sehingga terjadi hambatan aliran darah dan

18 metabolisme dalam jaringan (Haghighi, 2010). Mula-mula terjadi vasodilatasi sistem mikrovaskularisasi yang menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis. Di dalam arteri terjadi mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi yang dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan ini disebut pulpitis akut (Bergenholtz, 2010).Apabila proses berlanjut menjadi kronis, maka tanda-tanda mikroskopik berupa penyebaran sel-sel radang kronis seperti limfosit, sel plasma, histiosit yang aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta perkapuran. Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis reversibel, pulpitis ireversibel dan nekrosis pulpa. Pulpitis reversibel adalah suatu kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli stimuli ditiadakan (Hargreaves, 2012). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversibel, tetapi rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Gulabivala, 2014). Penyebab pulpitis reversibel disebabkan oleh apa saja yang mampu melukai pulpa. Penyebab dapat berasal dari: trauma oklusal: syok termal saat preparasi kavitas dengan bur yang terlalu lama; dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan; adanya bakteri yang masuk ke dalam pulpa (Weine, 2004). Gejala pada pulpitis reversibel ditandai oleh rasa sakit yang tajam namun sebentar saat adanya rangsangan

19 misalnya pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi secara spontan (Chandra, 2010). 2.6 Respons Inflamatori pada kompleks pulpo-dentin Pulpa menunjukkan respons terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti perubahan termal, deformasi mekanis atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri (Bergenholtz, 2012). Kemampuan menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena merupakan bagian dari sistem pertahanan pulpa (Buck,1999). Pasien dengan inflamasi pulpa akan cenderung mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi injuri pulpa jika dibandingkan dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar yang tidak lagi merasakan sensasi nyeri sampai kerusakan besar telah terjadi pada jaringan sekitar gigi (Saad dan Clem, 1988). Selain itu fungsi proprioseptif pulpa membatasi beban berlebihan pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan demikian melindungi gigi dari injuri (Hargreaves, 2012). Serabut-serabut saraf pulpa bereaksi terhadap inflamasi dengan meluasnya cabang-cabang terminal dan mengeluarkan neuropeptide (Byers dan Narhi, 1999, Byers et al., 2003). Serabut-serabut saraf sensoris memegang peranan penting dalam memacu sel-sel immunokompeten memasuki jaringan pulpa (Fristad et al., 2010). Infiltasi awal sel-sel inflamasi terdiri dari limfosit, makrofag, sel-sel plasma dan neutrofil (Trowbridge, 2002). Respons inflamasi akut menimbulkan reaksi sebagian besar sistem vaskularisasi pulpa, terbebasnya mediator-mediator seperti serotonin, histamin,

20 neuropeptide (SP, CGRP, neurokinin A, dan somatostatin), yang mempengaruhi aliran darah pulpa dan meningkatnya permeabilitas kapiler-kapiler pulpa (Fouad, 2002). Akibat hal ini, protein-protein plasma dan neutrofil memasuki area inflamasi dan dapat menetralisir atau memfagositasi iritan (Trowbridge, 2002). Tipe-tipe yang berbeda dari limfosit-t (CD4+helper, CD8+sitotoksik), makrofag, neutrofil, sel-sel dendritik dan sel-sel plasma dapat dijumpai pada pulpa yang mengalami inflamasi, dan jumlahnya meningkat jika penyakit/kelainan pulpa berlanjut (Jontell, 1998). Selsel dendritik dan juga CD3+ (memori) sel-sel T-limfosit berkumpul di bawah lesi, sedangkan akumulasi sel-sel immunokompeten lain terlihat sedikit, menunjukkan bahwa sel-sel dendrite dan sel-sel T memori memicu reaksi imunologi pulpa (Jontell,1998). Inflamasi pulpa yang berat dapat meningkatkan tekanan jaringan interstisial, yang menyebabkan nekrosis, disebabkan pulpa berada di lingkungan yang sulit beradaptasi (Trowbridge 2002, Heyeraas dan Berggreen, 1999). 2.7 Efek Injuri dan Kemampuan Penyembuhan Jaringan Pulpa Sel-sel immunokompeten yang berada pada jaringan ikat pulpa dapat memberi respon terhadap sejumlah situasi klinis yang menyebabkan hilangnya integritas jaringan keras gigi seperti karies, fraktur gigi dan preparasi kavitas (Tziavas, 2004; Smith, 2002) Regenerasi Jaringan Kompleks Pulpo-Dentin

21 Respons jaringan pulpaterhadap injuri dengan adanya regenerasi jaringan, telah banyak diteliti dan dipahami bagaimana aktivitas sel-sel odontoblas berperan sebagai reaksi pulpa setelah injuri (Haghighi, 2010). Ketika terjadi injuri pada gigi (karies, trauma, atau wear), akan dimulai suatu kaskade respons pulpa. Tergantung pada injurinya, apakah singkat/dalam waktu panjang, atau dengan intensitas rendah atau tinggi, respons pulpa akan berbeda (Fried, 2011). Injuri yang lemah atau intensitas yang sedang akan selalu dapat dihilangkan dengan terjadinya respons inflamasi diikuti dengan terjadinya dentinogenesis reaksioner (Souza, 2012). Pada injuri dengan intensitas yang lebih besar, terjadi kematian odontoblas seperti pada karies yang dalam atau trauma yang berat, inflamasi dapat berjalan tanpa kontrol, terjadi diferensiasi sel-sel lir-odontoblas membentuk jembatan dentin pada daerah pulpa yang terpapar, dan proses ini disebut dentinogenesis reparatif (Simon, 2009). Pembentukan matriks dentin melalui diferensiasi odontoblas selama proses mineralisasi dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi pada level protein atau ekspresi gen. Beberapa protein yang disekresikan antara lain fosfatase alkalin (ALP), kolagen tipe-1 (Col-1), dentin matrix protein-1 (DMP-1), dentin sialophosprotein (DSPP), osteonektin (On) dan osteokalsin (Oc), sering dijadikan biomarker untuk menganalisis aktivitas odontoblas (Pashley dan Tay, 2012) Aspek Molekuler Dentinogenesis Reparatif Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel-sel pulpa manusia dalam kultur dapat mensintesis sejumlah besar kolagen tipe-1 (Pashley dan Tay, 2012).

22 Sintesis Col-1 oleh fibroblas dan sel-sel lir-odontoblas dipengaruhi sitokin dan growth factor (Trwobridge dan Emling, 2003). Kolagen tipe-1 dijadikan penanda gen untuk fenotipe odontogenik (Simon, 2009). Kolagen tipe-1 adalah protein paling dominan pada matriks dentin dan juga merupakan komponen organik utama matriks ekstraseluler tempat mineralisasi akan berlangsung (Simon, 2009). Protein tersebut terdapat dalam predentin, dentin intertubular, dan dentin reparatif. Protein matriks ekstraseluler utama pulpa gigi juga merupakan kolagen tipe-1 yang berperan untuk stabilisasi arsitektur jaringan (Simon, 2009). Jaringan pulpa mengandung populasi sel-sel pulpa heterogen pada berbagai tahap diferensiasi. Dentinogenesis reparatif dimodulasi oleh diferensiasi odontoblas post mitotic (Simon, 2009). Diferensiasi terminal sel-sel ini ditandai dengan terjadinya penarikan sel dari siklus sel, pemanjangan dan polarisasi sel, serta modifiksi transkripsi dan translasi yang memungkinkan sel-sel ini untuk mensintesis matriks predentin (Simon, 2009). Selain itu, faktor-faktor pertumbuhan maupun matriks ekstraseluler jaringan pulpa berperan penting dalam komitmen jalur seluler (Yu et al,. 2006). Faktor-faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF), fibroblas growth factor (FGF), insulin growth factor (IGF) dan platelet derived growth factor (PDGF) dapat menginduksi diferensiasi odontoblas dan pembentukan dentin reparatif pada kultur sel-sel pulpa dan hewan coba, tetapi untuk mengidentifikasi peran spesifik dari satu faktor pertumbuhan tersebut sangat sulit

23 karena aktivitas molekul-molekul tersebut umumnya berlangsung secara parakrin dan autokrin (Yu et al., 2006, Nakashima et al., 2005). Faktor-faktor pertumbuhan ini akan terikat pada reseptor sel-sel progenitor multi- atau monopoten dalam pulpa dan menginduksi diferensiasi sel-sel ke arah sel-sel lir-odontoblas. Sel-sel inilah yang kemudian memproduksi barier ortodentin atau osteodentin (Nakashima et al., 2005, Sharma et al., 2010). Dentinogenesis reparatif diawali oleh aktivitas sel-sel lir odontoblas dengan mensekresikan matriks protein berbatasan dengan tempat cedera yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan fibrodentin (Smith, 2012; Pashley dan Tay, 2012). Setelah dilakukan kaping pulpa, selama proses reparasi, matriks kaya akan fibronektin, yang berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan serta substrat untuk migrasi dan perlekatan sel. Dalam hal ini faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan molekul induktif lain yang diekspresikan dalam jaringan pulpa diduga terlibat dalam diferensiasi sel-sel lir-odontoblas (Okiji dan Yoshiba, 2009; Pashley dan Tay, 2012). Selama dentinogenesis reparatif, adhesi sel progenitor pada permukaan bahan kaping pulpa diduga yang menyebabkan diferensiasi sel-sel pembentuk jaringan keras (Simon, 2009). Pada kaping pulpa dengan kalsium hidroksida, maka ion-ion kalsium yang dilepaskan dari bahan tersebut mampu menginduksi ekspresi gen fibronektin pada sel-sel pulpa gigi dan berperan penting dalam diferensiasi terminal odontoblas. Matriks ekstraseluler seperti proteoglikan terlihat mampu mengikat factor-faktor pertumbuhan dan memodulasi ekpresi gen tersebut (Smith, 2012).

24 Peristiwa dentinogenesis dapat dianalogikan dengan osteogenesis karena selsel odontoblas mempunyai beberapa karakteristik yang mirip dengan sel osteoblastik seperti aktivitas fosfatase alkali, kemampuan memproduksi Col-1 dan protein non kolagen yang berhubungan dengan mineralisasi, seperti osteokalsin dan osteonektin (Thaweboon et al., 2005). Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap proliferasi, diferensiasi dan maturasi sel (Huang et al., 2007). Pada osteogenesis, diferensiasi sel tahap awal terjadi selama tahap sekunder yaitu dari hari ke 5 sampai hari ke 14 dengan adanya ekspresi penanda sel osteoprogenitor ALP. Diferensiasi terminal (akhir) dan pematangan matriks terjadi pada tahap ketiga yaitu dari hari ke 15 sampai hari ke 28, dengan penanda utama osteokalsin dan deposisi mineral (Huang et al., 2007). Pada tahap maturasi sel tidak ada faktor pertumbuhan yang berperan secara khusus. Tingkat sekresi BMP-2 dan FGF-2 yang tetap tinggi diperlukan untuk maturasi osteoblas (Goldberg, 2004; huang et al., 2007). Molekul sinyal seperti BMP yang dilepaskan dari dentin yang cedera berperan dalam pembentukan dentin reparatif. Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan sepert TGF-β dapat menstimulasi tiga peristiwa utama dalam perbaikan pulpa gigi manusia dengan pembentukan odontoblas fungsional, yaitu proliferasi sel, migrasi sel dan sintesis Col-1 (Nie et al., 2006). Berdasarkan penelitian ekspresi gen secara in vivo diketahui bahwa TGF- β1 memiliki efek pada diferensiasi sel pulpa menjadi odontoblasselama perkembangan gigi dan pada kondisi cedera. Faktor

25 pertumbuhan tersebut mengindksi aktivitas fosfatase alkali dan produk matrikas ekstraseluler sel-sel pulpa gigi (Nie et al., 2006 ; Okiji dan Yoshiba, 2009) Penyembuhan dan Perbaikan Jaringan Pulpa Pada saat terjadi injuri, pulpa akan terpapar dan akan terjadi inflamasi pulpa dengan tahap-tahap: (1) homeostasis dan pembentukan gumpalan darah; (2) respons inflamasi; (3) proliferasi sel dan/atau prekrutan sel-sel; dan (4) remodeling jaringan (Arana dan Massa, 2004). Proses penyembuhan pada jaringan ikat selalu ditandai dengan karakteristik adanya keempat tahap di atas. Kegagalan untuk menghilangkan proses inflamasi dapat menyebabkan proses inflamasi kronis, dan seterusnya nekrosis pulpa (Simon, 2009). Jaringan pulpa yang mengalami nekrotik, yang letaknya berdekatan dengan pulpa yang terpapar, ditandai dengan adnya debris dari pembentukan blood clot, dan respons seluler dengan adanya infitrasi neutrophil (Henr dan Hargreaves, 2007). Yamamura (1985) menandai kronologi proses penyembuhan pada kaping pulpa gigi hewan coba anjing dengan kalsium hidroksida sebagai berikut: fase eksudatif (3-5 hari), fase proliferatif (3 7 hari), pembentukan osteodentin (5 14 hari), dan pembentukan dentin tubuler (lebih dari 14 hari). Setelah 3 6 hari, lapisan inflamasi digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan ini tersusun sepanjang luka, banyak mengandung sel fibroblas dan kapiler-kapiler darah baru (Simon, 2009). Matriks ekstraseluler baru dan nodul-nodul mineralisasi terlihat selama proses penyembuhan ini (Simon 2009).

26 Deposit mineral pertama dijumpai dalam vesikel-vesikel matriks yang mengindikasikan kesamaaan antara pembentukan dentinogenesis reparatif dan pembentukan mantel dentin (Hayashi, 1982). Pada hari ke 11, terbentuk matriks baru mengelilingi sel-sel kuboidal, dan sedikit sel-sel yang terlihat pada gambaran pertama dari diferensiasi odontoblas, Pada hari ke 14, sel-sel direorganisasi dalam bentuk palisade yang terlihat sama dengan dentin primer dan dentin sekunder (Myor, Dahl et al., 1991). Pada bulan pertama, dapat terlihat jembatan dentin dan suatu lapisan nekrotik yang dihubungkan dengan respons inflamasi pada jaringan pulpa yang berdekatan (Simon, 2009). Penelitian Cox (1996) menunjukkan bahwa pada level ultrastruktur, defek tunnel jelas terlihat pada jembatan dentin, sebanyak 89% dari kasus-kasus yang diteliti. Dentinogenesis reparatif merupakan proses kompleks terdiri dari suatu kaskade proses biologi; dimana terjadi interaksi sel-sel pulpa dengan faktor pertumbuhan, sitokin-sitokin dan mediator-mediator molekuler selama proses penyembuhan, dimulai dari tiga tahap proses reparatif berikut, yaitu (1) perekrutan sel-sel progenitor; (2) diferensiasi seluler dan (3) peningkatan regulasi sintetik sel aktivitas sekretori (Simon, 2009). 2.8 Fosfastase alkali (ALP) Fosfatase alkali terdapat pada kebanyakan spesies, bakteri dan manusia, yang secara umum merupakan enzim yang berperan penting dalam fungsi biologi terutama pada jaringan termineralisasi (Golub, 2007). Pada manusia dan hewan pengerat ada

27 empat gen yang mencirikan isoenzim ini dan tiga gen ditampilkan pada jaringan spesifik yaitu plasenta, embrio dan usus, sedangkan satu gen tidak spesifik dan terdapat pada tulang, gigi dan ginjal (Golub, 2007). Fosfatase alkali mempunyai peranan penting pada proses inisiasi mineralisasi jaringan ikat, oleh karena itu ALP sering digunakan untuk penanda yang diekspresikan selama berlangsungnya diferensiasi sel lir-odontoblas secara in vitro maupun in vivo (Golub, 2007). Untuk mendeteksi ALP dapat melalui immune assay dan in situ hybridization yang dapat dilakukan secara bersamaan. Imunostaining didistribusikan pada bagian sitoplasma dan membran plasma pada daerah supra nukleus pada kutub sekresi odontoblas (Morotoni, 2011). Isyarat ekstra sel melalui pencairan bertahap anti bodi memperlihatkan bertambahnya ALP pada daerah ekstra sel dibandingkan intra sel. Ada dua tahap eksistensi ALP yaitu tahap biomineralisasi dan tahap maturasi (Magne, 2004). Selama tahap biomineralisasi kadar ALP akan meningkat, dan selama tahap maturasi ALP terlihat pada bagian permukaan jaringan (Ando, 2009). Kedua tahap ini dapat dianalisis secara histoenzimologi (Ando, 2009). Jadi, selama terjadinya pertumbuhan sel kadar ALP stabil dan akan terlihat nyata adanya kenaikan setelah 14 hari distimulasi karena diferensiasi terjadi, setelah 3 minggu akan menurun karena sudah mulai terbentuk nodul termineralisasi (Arana, 2004). ALP memegang peranan penting pada tahap inisiasi mineralisasi jaringan ikat (Yu, 2006). Oleh karenanya, ALP sering digunakan sebagai marker yang diekspresikan selama proses diferensiasi mirip odontoblas secara in vitro maupun in

28 vivo yang terletak di lapisan pre-odontoblas dan odontoblas. Peningkatan aktivitas ALP seringkali ditunjukkan dengan bentuk diferensiasi odontoblas. Lopez-Cazaux et al (2006) menunjukkan efek media kultur menghasilkan rangsang aktivitas ALP pada sel pulpa gigi manusia setelah 14 hari dikultur dalam media MEM dibandingkan kultur dalam media RPMI. Telah ditunjukkan bahwa dexamethasone, glycocorticoid, dikenal untuk mempengaruhi diferensiasi osteoblast-like cell dapat merangsang aktivitas ALP setelah 3-14 hari dikultur (Yu, 2007; Wu, 2008).Tingkat ALP dapat dideteksi untuk bertahan tetap selama fase pertumbuhan sel dan meningkat selama proses diferensiasi, sementara penurunannya dapat diamati setelah 3 (tiga) minggu confluence pada saat pembentukan nodul mineral menjadi nyata (Arana, 2004). Tabel. 2.1 Tahap-Tahap Transisi pada Odontoblast Cell Lineage (Golub, 2007) Primary Odontoblast Cell Gene products Lineage Regeneration Cranial neural crest Dental papila Dental Pulp Type III Collagen (High) Type I Collagen (Low) Pre odontoblast / Young Odontoblast Odontoblast Polarized Fibronectin Type III Collagen (Low) Type I Collagen (High) Alkali Phospatase Osteopontin Mature Odontoblast Odontoblast secretory DPP, DMP-1, DSP Calbindin, D-28K Osteocalcin, Osteonectin Bone Sialoprotein Odontoblast-Mineralizing matrix

29 2.9 Bahan-Bahan Pereda Nyeri Gigi Selama ini telah dipakai bahan-bahan pereda nyeri gigi berdasarkan hasilhasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Bahan pereda nyeri yang paling umum dipergunakan adalah eugenol (minyak cengkeh). Eugenol merupakan senyawa fenol yang telah banyak digunakan sebagai obat topikal untuk rasa nyeri dan inflamasi misalnya pulpitis dan hiperalgesia tetapi juga menunjukkan aksi iritan. Eugenol (4-allyl-1-hidroksil-2-methoxybenzena) adalah minyak esensial yang diekstraksi dari cengkeh (Syzygium aromaticum) yang digunakan sebagai topikal aplikasi untuk meredakan rasa sakit dan untuk penyembuhan. Minyak cengkeh (clove oil) memiliki dua komponen utama yaitu Eugenol yang mengandung 78% minyak dan β-caryophyllene yang mengandung 13% minyak. Studi in-vitro telah menunjukkan sifat sitotoksis eugenol dan minyak cengkeh terhadap fibroblas dan sel endotel manusia (Prashar et al., 2006). Bahan pereda nyeri lain yang dipakai adalah miswak/siwak, guaiacol, capsaicin, kulit pohon ambu guava, cabe jawa dan getah jarak. Miswak (Salvadora persica) diketahui memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan bahan pereda konvensional lainnya yakni bahannya yang alami, tidak mahal, memiliki efek antiastringent, bersifat deterjen dan memiliki aksi anti inflamasi. Bahan ini banyak dikenal di Arab Saudi, merupakan tanaman padang pasir, akar dan batangnya digunakan sebagai pembersih gigi. Secara tradisional diketahui bahwa siwak memiliki efek untuk menurunkan berbagai bentuk nyeri gigi. Penelitian Al-Samh dan

30 Al-Nazhan (1997) menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi siwak yang terpapar dengan gigi melebihi dua jam dapat menimbulkan sitotoksisita pada sel fibroblast L 929. Capsaicin adalah zat neurotoksin yang terdapat dalam cabe merah Capsicum, telah digunakan secara ekstensif dalam karakterisasi fisiologi aferen sensoris dan inflamasi neurogenik (Flores et al., 2001). Struktur kimia senyawa fenol pada eugenol dan guaiacol hampir identik dengan capsaicin (Caviedes-Bucheli et al., 2005). Mekanisme aksi capsaicin bila diberikan secara topikal adalah pelepasan SP dari serabut saraf. Hal ini pada awalnya menyebabkan rasa nyeri, tetapi bila diberikan secara berulang maka SP akan berkurang. Hal inilah yang mengurangi kemampuan saraf untuk mengirimkan sensasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. (Kaye et al., 2002). Ohkubo dan Shibata (1997) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa ini mempunyai peranan dalam menurunkan nilai ambang saraf-saraf nociceptif melaui reseptor capsaicin yang berada pada pusat sonsori termal dalam spinal cord. Prabu et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ekstrak daun dan kulit pohon jambu guava (Psidium guajava) memiliki beberapa efek farmakologis yang salah satu diantaranya adalah efek anti-inflamasi yang dihasilkan oleh guaijaverin (senyawa flavonoid). Ohkubo dan Shibata (1997)menunjukkan bahwa cabe jawa dapat menurunkan nilai ambang saraf-saraf nosiseptif melalui reseptor capsaicin sedangkan getah jarak (Jatropha Curcas Linn) dilaporkan dapat

31 menurunkan kadar SP dan COX-2 pada pulpa gigi Macaca fascicularis (Irmaleny, 2010) 2.10Watermelon Frost sebagai Obat Alternatif Obat tradisional digunakan sebagai salah satu sarana dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat sehingga disebut sebagai obat alternatif (herbal medicine). Sebenarnya obat tradisional telah lama diketahui oleh masyarakat, lebihlebih pada saat ini karena penggunaan obat yang semakin mahal harganya. Penelitian akan khasiat tanaman tradisional ini bagi peningkatan kualitas kesehatan juga mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan fokus area kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk pembangunan nasional (Jakstra ) antara lain menemukan bahan baru, terutama dilihat dari sudut kesehatan dengan menyangkut tanaman tradisional. Watermelon frost sudah lama dikenal oleh masyarakat RRC sebagai terapi untuk penyakit rongga mulut dan tenggorokan. Watermelon frost sesungguhnya adalah serbuk putih yang didapat dari buah semangka (Citrulus vulgaris) melalui pemberian garam Glauber s yaitu senyawa natrium sulfat hidrat (Na 2 SO 4.10H 2 O). Penelitian klinis Wu (2003) dan Zhang (2001) telah menunjukkan adanya efek watermelon Frost untuk pengobatan infeksi tenggorokan. watermelon frost juga terbukti dapat menurunkan inflamasi pada faring dan sekaligus dapat menurunkan panas dan influensa.

32 Perusahaan Gui Lin San Jin yang berlokasi di negera RRC yang didirikan pada tahun 1954 telah lama memproduksi watermelon frost yang telah disetujui oleh State Drug Administration. Telah diamati bahwa bahwa watermelon frost dapat menurunkan inflamasi, rasa nyeri gigi, gingivitis, laringitis, faringitis, stomatitis dan luka bakar. Namun demikian penelitian resmi terhadap efek anti inflamasi dan penurunan nyeri gigi belum pernah dilakukan, jadi hanya berdasarkan pengalaman para pemakai/empiris saja. Masyarakat Tionghoa sering menggunakan watermelon frost ini apabila mereka mengalami keluhan inflamasi di sekitar rongga mulut. Watermelon frost komersial (San JinXi Gua Shuang) mengandung bahanbahan sebagai berikut: Watermelon frost (50%), Rhizoma Belamcandae (5%), Bulbus Fritillariae (15%), Radix Sophorae Tonkinensis (10%), Mentholum (5%), Indigo Naturalis (5%) dan Borneolum (10%). Christian dan Trimurni (2006) dalam penelitiannya secara in-vitro melaporkan bahwa watermelon frost memiliki efek untuk menghambat bakteri S.mutans sebagai bakteri kariogenik. Dennis dan Trimurni (2009) telah menunjukkan dalam penelitian secara in-vitro bahwa watermelon frost memiliki efek anti nyeri dan inflamasi dengan menurunkan konsentrasi penanda PGE2. Dalam laporan kasus Dennis dan Trimurni (2013) telah ditunjukkan bahwa watermelon frost efektif dalam menurunkan nyeri pulpa serta memacu terjadinya penyembuhan lesi periapeks pada perawatan ulang kasus flare-ups endodonti gigi molar dua bawah dengan anatomi saluran akar berbentuk C (C-shaped).

33 2.11 Macacafascicularis M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis, karena secara anatomis dan fisiologis memiliki banyak kemiripan dengan manusia (gambar 2.4) (Adith, 2008). M.fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai nama lain seperti monyet cynomolgus, dan monyet pemakan kepiting (crabeatingmacague) (Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor panjang menurut Whitney et al. (1995) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Sub ordo : Anthropoidea Infra ordo : Catarrhini Super famili : Cercopithecoidae Famili : Cercopithecidae Sub Famili : Cercopithecinae Genus : Macaca Species : Macacafascicularis

34 Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995) Penyebaran dan Habitat M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003). Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki (quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan, sekitar cm (16 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan dewasa 41,2 cm 64,8 cm dan betina 38,5cm 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina. Hewan jantan 4,7 kg 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna rambut badan bervariasi dari coklat kekuningan (abu-abu) sampai coklat gelap. Warna rambut di ventral tubuh lebih pucat, sedangkan warna kulit wajah abu-abu gelap. Hewan ini

35 memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk (ischium) (Navia, 1997). Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yatitu dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak. Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggota (Reinhardt, 1997). Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku. Hewan ini tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur dan rumput (Reinhardt, 1997) Morfologi Gigi Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I - 1C - 2PM - 3M/2I IC - 2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama, sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip. Gigi seri kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah (Swindler, 2002). Gigi taring atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol melebihi tepi deretan gigi lainnya. Gigi taring pada monyet jantan lebih panjang

36 daripada monyet betina. Bentuk premolar bawah bervariasi (Swindler, 2002). Molar disebut bilophodont yaitu pada masing-masing molar terdapat empat cuspid (2 bukal dan 2 lingual) yang dihubungkan dengan krista transversa. Geraham ketiga memiliki kuspa tambahan (Swindler, 2002) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked immunosorbent assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi denan menggunakan spektofotometer (Burgess, 1995). Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari cahaya yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standart,

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya adalah untuk melokalisir dan merusak agen perusak serta memulihkan jaringan menjadi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Pulpa Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan

Lebih terperinci

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar PULPO DENTINAL KOMPLEKS Trimurni Abidin,drg.,M.Kes.,Sp.KG DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi

Lebih terperinci

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita *

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita * PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA Sartika Puspita * * Pogram Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRAK Pulpa gigi dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang kedokteran gigi. Indikasi pencabutan gigi bervariasi seperti pernyakit periodontal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karies gigi merupakan salah satu masalah gigi dan mulut yang sering terjadi dan berpotensi untuk menyebabkan masalah gigi dan mulut lainnya. Prevalensi karies gigi di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera pulpa dapat menyebabkan inflamasi pulpa. Tanda inflamasi secara makroskopis diantaranya tumor (pembengkakan), rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan dari perhitungan jumlah fibroblas dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi pulpa dapat disebabkan oleh iritasi mekanis. 1 Preparasi kavitas yang dalam

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita *

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita * FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI Sartika Puspita * * Pogram Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRAK Pulpa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. odontoblast. Pada tahap awal perkembangannya, odontoblast juga. pertahanan (Walton & Torabinejad, 2008).

BAB II TINJUAN PUSTAKA. odontoblast. Pada tahap awal perkembangannya, odontoblast juga. pertahanan (Walton & Torabinejad, 2008). BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pulpa Pulpa gigi adalah suatu jaringan lunak yang terletak di daerah tengah pulpa. Jaringan pulpa membentuk, mendukung, dan dikelilingi oleh dentin. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulpitis merupakan salah satu penyakit pulpa (Ingle dkk., 2008) yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan

BAB I PENDAHULUAN. jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang komposisinya sama dengan jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan saraf (Hargreaves & Goodis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran juga semakin berkembang. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan oleh pasien (Kidd dkk., 2003). Kondisi akut penyakit pulpitis menyebabkan nyeri sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mulut yang sering terjadi di Indonesia adalah karies dengan prevalensi karies aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mulut yang sering terjadi di Indonesia adalah karies dengan prevalensi karies aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gigi dan mulut di Indonesia khususnya karies cukup tinggi, Kementerian Kesehatan RI (2008) menyatakan bahwa salah satu masalah gigi dan mulut yang sering

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, 9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mempertahankan gigi selama mungkin di dalam rongga mulut merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu konservasi gigi. Idealnya gigi dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan suatu reaksi inflamasi karena adanya proses yang terhambat, atau proses penyembuhan

Lebih terperinci

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatri, responrespon yang mengantarkan atau reaksi-reaksi yang ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Regenerasi jaringan periodontal merupakan tujuan utama terapi periodontal (Uraz dkk., 2013). Salah satu tindakan terapi periodontal ialah bedah periodontal sebagai

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses kesembuhan fraktur dimulai segera setelah tulang mengalami kerusakan, apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis dan biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan dan biasanya berhubungan dengan hilangnya fungsi. 1 Saat barier rusak akibat ulkus, luka

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 18 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Embriologi Gigi Pembentukan gigi dimulai dengan terbentuknya lamina dental dari epitel oral. Lamina dental kemudian berkembang menjadi selapis sel epitel dan berpenetrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya permukaan kulit/mukosa yang menghasilkan perdarahan. Luka dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor fisik dan kimia. Terdapat beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian luka pada kecelakaan seiring waktu semakin meningkat. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) melaporkan kecelakaan lalu lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta Mekanismenya 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri 1.2 Klasifikasi Nyeri

Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta Mekanismenya 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri 1.2 Klasifikasi Nyeri Etiologi Nyeri pada Penyakit Pulpa dan Periapikal serta 1. Nyeri 1.1 Definisi Nyeri Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan atau penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi ujung-ujung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi (Flaws dan Sionneau, 2001). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipersensitivitas dentin merupakan salah satu masalah gigi yang paling sering dijumpai. Hipersensitivitas dentin ditandai sebagai nyeri akibat dentin yang terbuka jika

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka pencabutan gigi di Indonesia relatif masih tinggi. Rasio penambalan dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox),

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulserasi adalah lesi berbentuk seperti kawah pada kulit atau mukosa mulut. Ulkus adalah istilah yang digunakan untuk menyebut luka pada jaringan kutaneus atau mukosa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan di RSGM UMY mengenai evaluasi klinis keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida tipe hard setting.

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin meningkat yaitu tidak lagi terbatas pada tumpatan dan pencabutan gigi, namun salah satunya adalah perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester)

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi dapat berisiko menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya sebagian dari jaringan tubuh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kedokteran gigi erat sekali kaitannya dengan penyakit yang dapat berujung pada kerusakan atau defek pada tulang alveolar, salah satunya adalah periodontitis. Dalam

Lebih terperinci

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Nekrosis jaringan pulpa dan penyakit periodontal, misalnya, dapat menyebabkan

Lebih terperinci

Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun

Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun Patogenesis Terjadinya Penyakit Pulpa, Meliputi Respon Inflamasi dan Imun OLEH : Evi Novianti (04121004051) Nadya Purwanty (04121004052) Catherine Videllia (04121004053) Hesti Rahmiati (04121004054) Ria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP) sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Poket periodontal merupakan gejala klinis utama dari penyakit periodontal. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang dikenal, supraboni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang berkembang dari interaksi antara sel epitel rongga mulut dan sel bawah mesenkim. Setiap gigi berbeda secara anatomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga mulut dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, prevalensi penyakit periodontal

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK Dokter gigi saat merawat endodontik membutuhkan pengetahuan tentang anatomi dari gigi yang akan dirawat dan kondisi jaringan gigi setelah perawatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur dibawahnya dari trauma mastikasi, dan mencegah masuknya mikroorganisme (Field dan Longman, 2003).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan pendukung gigi disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Fraktur merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada hewan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Fraktur merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada hewan PENDAHULUAN Latar Belakang Fraktur merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada hewan kesayangan terutama anjing dan kucing. Fraktur pada hewan, umumnya disebabkan oleh trauma seperti terbentur

Lebih terperinci

Salah satu bagian gingiva secara klinis

Salah satu bagian gingiva secara klinis Salah satu bagian gingiva secara klinis adalah: 1... (jawaban yang ditanyakan adabagian gingiva yang dibatasi oleh alur gusi bebas dan batas mukosa gingiva dari bagian gingiva lain dan mukosa alveolar)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun bangsa (Taringan, 2006). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun bangsa (Taringan, 2006). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karies gigi merupakan salah satu penyakit infeksius yang sering terjadi pada manusia dan terdapat di seluruh dunia tanpa memandang usia, ekonomi, maupun bangsa (Taringan,

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu jaringan organ (Harper dkk., 2014). Luka trauma pada jaringan lunak rongga mulut umumnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlukaan merupakan rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan suhu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera saraf tepi merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pasca trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan maksilofasial

Lebih terperinci