BAB II KAJIAN PUSTAKA
|
|
- Sugiarto Hermanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Disiplin Diri Hurlock (1978) menyatakan bahwa discipline is training in self control or education (teaching children what they should or should not do). It also means training that molds, strengthens, or perfects children to follow the rules. Disiplin diartikan sebagai melatih individu dalam hal kontrol diri atau melatih individu mengenai apa yang boleh dan tidak boleh mereka perbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin diri merupakan suatu proses melatih diri yang secara sadar bertujuan mengarah ke tujuan yang telah ditetapkan. Disiplin diri merupakan perilaku pada diri seseorang yang berusaha selalu menepati atau mentaati segala peraturan yang berlaku. Konsep disiplin diri merupakan perwujudan kerelaan seseorang untuk bersikap tertib terhadap segala hal. Menurut Hurlock (1978), disiplin itu perlu bagi perkembangan seseorang, karena memenuhi beberapa kebutuhan, di antaranya adalah: (1) disiplin memberi seseorang rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan; (2) dengan membantu seseorang menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat prilaku yang salah, perasaan yang pasti meng- 11
2 akibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk; (3) disiplin memungkinkan seseorang hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan sosial; (4) dengan disiplin, seseorang belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan seseorang sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan; (5) disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi pendorong ego yang mendorong seseorang mencapai apa yang diharapkan darinya; (6) disiplin membantu seseorang mengembangkan hati nurani atau suara dari batin yang membimbing dalam diri seseorang mengambil suatu keputusan dan pengendalian perilaku Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Diri Untuk membuat seseorang menjadi disiplin dilakukan intervensi disiplin. Terdapat empat faktor penting yang dipertimbangkan dalam memberikan pelatihan untuk mendisiplinkan individu sehingga memiliki disipin diri (Hurlock, 1978). Keempat faktor tersebut adalah peraturan sebagai pedoman perilaku, konsistensi dalam pelaksanaan peraturan, hukuman untuk pelanggaran peraturan dan penghargaan untuk perilaku yang baik. 1. Peraturan Peraturan adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan untuk menata perilaku seseorang dalam suatu kelompok, organisasi, institusi atau komunitas. Tujuannya adalah membekali individu dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu (Hurlock, 1999). Peraturan memiliki dua 12
3 fungsi penting yaitu fungsi pendidikan, sebab peraturan merupakan alat memperkenalkan perilaku yang disetujui anggota kelompok kepada individu dan fungsi preventif karena peraturan membantu mengontrol perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelanggaran atas peraturan mendapat konsekuensi yang setimpal, apabila tidak maka peraturan tersebut akan kehilangan maknanya. Peraturan yang efektif dapat membantu seorang individu merasa terlindungi sehingga individu tidak perlu melakukan hal-hal yang tidak pantas. Isi setiap peraturan harus mencerminkan hubungan yang serasi di antara anggota keluarga, memiliki dasar yang logis untuk membuat berbagai kebijakan, dan menjadi model perilaku yang harus terwujud di dalam keluarga (Hurlock, 1999). Disiplin merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan. Artinya seseorang melakukan sesuatu karena ada peraturan yang berlaku bagi dirinya, bukan karena dipaksa melakukan, sehingga dengan adanya peraturan, individu akan terkondisikan lebih disiplin. 2. Konsistensi Konsistensi berarti tingkat kewajiban atau stabilitas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan, yang 13
4 berarti tidak adanya perubahan. Sebaliknya, berarti suatu kecenderungan menuju kesamaan. Konsistensi harus menjadi ciri semua aspek disiplin. Peraturan, hukuman dan penghargaan yang konsisten membuat siswa tidak bingung terhadap apa yang diharapkan dari mereka. Ada beberapa fungsi konsistensi yaitu (Hurlock, 1999): (a) mempunyai nilai mendidik; (b) mempunyai nilai motivasi yang kuat; c) mempertinggi penghargaan terhadap peraturan. Anak yang terus diberi pendidikan disiplin yang konsisten cenderung lebih matang disiplin dirinya bila dibandingkan anak yang tidak diberi disiplin secara konsisten. 3. Hukuman Hukuman berasal dari kata kerja latin, punier. Hurlock (1999) menyatakan bahwa hukuman berarti menjatuhkan hukuman kepada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. Berarti bahwa orang itu mengetahui bahwa perbuatan itu salah namun masih dilakukan. Hurlock (2005) menyatakan discipline as whenever an individual violates the rule of organization, punishment is used against the violation. Hukuman dilakukan untuk penegakan disiplin, agar seseorang mematuhi peraturan. 14
5 4. Penghargaan Penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi dapat juga berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena bisa melemahkan individu untuk melakukan apa yang dilakukan. Penghargaan mempunyai nilai mendidik, sebagai motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial, memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, penghargaan untuk perilaku yang baik dan dapat menambah disiplin diriindividu Pengukuran Disiplin Diri Pengukuran variabel disiplin dengan skala yang dikembangkan oleh Hurlock (1999) meliputi: (a) etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d) penampilan, (e) kegiatan belajar mengajar di kelas, (f) pengrusakan sarana dan prasarana sekolah, (g) bela Negara, (h) pelanggaran khusus. Pengukuran disiplin diri menggunakan skala Likert. 2.2 Pola Asuh Orang Tua Maccoby dan Martin (1983) telah menguraikan empat pola asuh dengan mengacu pada pendapat Baumrind (1971). Dalam penelitian yang dilakukan Baumrind ditemukan bahwa ada dua unsur dasar yang bisa membantu membentuk pola asuh (penga- 15
6 suhan orang tua) yang berhasil: responsiveness vs unresponsiveness (responsif vs tidak responsif) and demanding vs undemanding (menuntut vs tidak menuntut). Baumrind mengidentifikasi tiga pola parenting umum: authoritative, authoritarian dan permissive. Di tahun 1983, Maccoby dan Martin memperluas tiga pola asuk menjadi empat: authoritative, authoritarian, indulgent dan neglectful. Tabel 2.1 EmpatPola Parenting menurut Baumrind (1991) Demokratis Otoriter Indulgent Neglectful Warm Tinggi Rendah Tinggi Rendah Kontrol Tinggi Tinggi Rendah Rendah Sumber: Baumrind (1991) percaya bahwa pola asuh orang tua janganlah bersifat menghukum, melainkan, mereka harus membuat aturan bagi anak mereka dengan penuh kasih sayang. Semua pola pengasuhan orang tua ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan berbagai macam variasi yang ada dalam pola pengasuhan orang tua, tidak juga tentang pola pengasuhan yang menyimpang, seperti yang mungkin bisa diamati di banyak keluarga yang terdapat banyak tindakan kekerasan/pelecehan. Kebanyakan orang tua tidak hanya masuk dalam satu kategori saja, namun dapat juga masuk di antara kategori apa pun, memperlihatkan karakteristik lebih dari satu pola. 16
7 2.2.1 Pola Asuh Authoritarian (Otoriter) Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturanaturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua. Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputusan dan peraturan ada di tangan orang tua (Baumrind, 1991). 17
8 2.2.2 Pola Asuh Authoritative (Otoritatif) Pola asuh otoritatif ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap kegiatan anak. Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif Pola Asuh Permisif Baumrind (1991) mendefinisikan pola asuh permisif sebagai pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua cenderung mendorong anak untuk bersikap otonom, mendidik anak berdasarkan logika dan memberi kebebasan pada anak untuk menentukan perilaku dan kegiatannya. Orangtua tidak tahu keberadaan anak mereka dan tidak cakap secara sosial, padahal anak membutuhkan perhatian orang tua ketika mereka melakukan sesuatu. Anak biasanya memiliki harga diri yang rendah, belum dewasa dan diasingkan dalam 18
9 keluarga. Pada masa remaja mereka mengalami penyimpangan perilaku, misalnya suka tidak masuk sekolah, menampakkan perilaku kenakalan remaja. Dengan demikian anak menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik. Orang tua yang tidak menuntut ataupun menanggapi menunjukkan suatu pola asuh yang disebut neglectful atau uninvolved. Orang tua tidak melakukan pengawasan yang cukup karena mereka sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Pola asuh Permisif (Baumrind, 1991), orang tua biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar, orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. Orang tua cenderung tidak memperingatkan anaknya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan. Pola asuh orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa aturan dan mengijinkan anakanaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan alasan dahulu, orang tua berkonsultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil dan jarang menghukum. Baumrind (1991) menambahkan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orang 19
10 tua dan tanggapan yang ada. Pola asuh permisif terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Pola Asuh Permisif yang penuh Kelalaian (Permisive-neglectfull parenting) Orangtua tidak memonitor perilaku anaknya ataupun mendukung ketertarikan mereka, karena orang tua sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung mengabaikan tanggung jawab sebagai orang tua. 2. Pengasuhan Permisif yang Pemurah (Permisiveindulgent parenting) Pada pola ini orang tua masih terlibat dengan anaknya tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Biasanya orang tua yang demikian akan memanjakan, dan mengizinkan anak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Pola-pola asuh ini menunjukkan bagaimana orang tua masih terlibat dengan anaknya, tetapi memberi sedikit sekali kontrol kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan sosial, terutama dalam kontrol diri. Jadi pola asuh permisif indulgent, orang tua memiliki tuntutan rendah dan tanggapan terlibat tinggi pada anak. Orangtua ini toleran, hangat dan menerima. Mereka menunjukkan sedikit otoritas, dan membiarkan terbentuknya self-regulation pada anak atau remaja. 20
11 Pola asuh permisif memberi kebebasan, dan anak diberikan kebebasan penuh untuk mengungkapkan keinginan dan kemauannya dalam memilih. Oleh karena itu apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka akan terjadi hambatan perkembangan dan timbul penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu anak harus diberikan kebebasan penuh serta dihindari penekanan terhadap keinginan dan kemauan anak, dan beri kebebasan berkembang dengan apa adanya. Pola asuh permisif orangtua, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh anak. Mungkin karena orang tua sangat sayang (over protection) terhadap anak atau orangtua kurang dalam pengetahuannya. Pola asuh demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi, namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol dan komunikasi. Orang tua cenderung membebaskan anak tanpa batas, tidak mengendalikan anak, lemah dalam keteraturan hidup, dan tidak memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan tidak memiliki standar bagi perilaku anak, serta hanya memberikan sedikit perhatian dalam membina kemandirian dan kepercayaan diri anak. Orang tua yang memiliki pola asuh permisif cenderung membebaskan anak untuk berbuat dan berperilaku secara bebas, kontrol orang tua dapat dikatakan sangat kurang, sehingga menyebabkan anak berperilaku seenaknya (Baumrind,1991). 21
12 Orang tua yang permisif neglectfull cenderung membebaskan anak untuk berbuat semaunya. Hal ini dapat dilihat dari perilaku keseharian anak yang tanpa kontrol. Memang, ada juga anak yang dengan pola ini mampu menguasai diri dan dapat berperilaku sesuai dengan norma, tetapi sebagian besar akibat pola asuh yang demikian telah menyebabkan anak lepas kontrol, bahkan cenderung berbuat negatif dalam lingkungan (Baumrind, 1991). Pola asuh permisif menunjukkan bahwa orang tua memberikan kebebasan yang penuh pada anak untuk berbuat sekehendaknya, berbuat serba boleh, dengan tanpa banyak dituntut kewajiban dan tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membenarkan atau malah mungkin tidak peduli terhadap perilaku anak, sehingga dengan demikian orang tua tidak pernah menghukum maupun memberi ganjaran kepada anak, serta adanya kekuasaan dan kehendak anak yang tampak dominan. Orang tua sangat rendah dalam kontrol terhadap perilaku anak, bimbingan dan arahan orang tua sangat kurang dalam mempersiapkan masa depan anak, dan hanya berperan untuk menyediakan sarana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan anak. Dalam suasana keluarga permisif kemungkinan jarang sekali terjadi komunikasi antara anak dengan orang tua. Pola asuh yang permisif neglectfull dapat mengakibatkan anak out of control (tidak terkendali) yang berarti anak bersikap tidak menaati aturan/norma 22
13 yang berlaku, sering melanggar norma-norma dan ketentuan yang ada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Selain itu, sebagai akibat pola asuh orang tua yang permisif ini menyebabkan kendala bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan tidak jarang anak mencari kelompok-kelompok yang dianggapnya mampu menerima apa yang dikehendakinya (Baumrind, 1991) Mengukur Pola Asuh Permisif Pengukuran pola asuh permisif neglectfull orang tua didasarkan pada pendapat Baumrind (1991) yang menyatakan bahwa pola asuh permisif dapat dilihat dari 3 hal, yaitu menjauh dari anak secara fisik dan psikis, tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar maupun pertemanan anaknya, dan hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi dengan anaknya Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola asuh orang tua di antaranya adalah menggunakan lembar kuesionar persepsi siswa tentang pola asuh (Yuliana, 2012). Cara lain yang dapat dugunakan adalah Family Communication Patterns (FCP) yang dikembangkan oleh Richie and Pitspatrick (1990) yang dipadukan dengan Psychology Control Scale (PCS) menjadi Revised Family Communication Pattern (RFCP). Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola asuh orang tua berdasarkan pada cara berkomunikasi 23
14 anak dengan orang tua dalam penelitian (Kuhar, M., 2010) tentang Parental Authority Styles in Adolescent- Parent Relationship. Menurut Reitman et.al (2002) dalam Raymond (2013) Pola Asuh Orang Tua dapat diukur dengan merujuk konseptualisasi Baumrind (1991) tentang pola pengasuhan menggunakan Parental Authority Questionare-Revised (PAQ-R) yang bertujuan untuk mengukur sifat dari pola pengasuhan orang tua. PAQ- R adalah salah satu instrumen yang dibuat untuk mengukur pola asuh orang tua baik berdasarkan pada etnis dan sosio ekonomi dilihat dari segi persepsi anak terhadap sikap orang tua di Amerika-Afrika. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket Pola Asuh Orang Tua berdasarkan Persepsi Anak. Pengukuran Pola Asuh dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Baumrind, (1991), menggunakan 4 pola Asuh yang dijabarkan dalam 15 item pertanyaan. 2.3 Konsep Diri Pengertian Konsep Diri Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri secara individu fenomenologis menjelaskan bahwa ketika individu mempersepsikan 24
15 dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan nilai serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya. Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang, dengan mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih mudah meramalkan dan memahami perilaku orang tersebut. Konsep diri adalah semua ide pikiran kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi indvidu dalam berhubungan dengan rang lain. Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, nilai nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek tujuan serta keinginannya. Secara umum disepakati bahwa konsep diri belum ada saat lahir Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok yaitu: a. Dimensi Internal Dimensi internal biasa disebut kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan oleh individu yakni penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia dalam diri seseorang meliputi: 25
16 Dimensi tersebut adalah: 1) Diri identitas (identity self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan siapakah saya dalam pertanyaan tersebut tercakup label dan simbol yang diberikan pada diri sendiri oleh invidu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya saya Ita. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan inividu tentang dirinya juga bertambah sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal hal yang lebih kompleks, seperti saya pintar terlalu gemuk dan sebagainya. 2) Diri perilaku (behavioural self) Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang perilakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan oleh diri. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat menampakkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilaian 3) Diri pertimbangan (judging self) Diri pertimbangan befungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara antara diri identitas dengan diri perilaku. Manusia cenderung memberikan pertimbangan terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semanta-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya pertimbangan ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkan. 4) Diri fisik (physical self) Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal 26
17 ini terlihat persepsi seseorangmengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus, proporsional) 5) Diri etik-moral (moral-ethical self) Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai nilai moral yang dipegangnya meliputi batasan baik dan buruk. 6) Diri pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan dan pesepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana dia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. b. Dimensi Eksternal Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya dirinya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts (1971) adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas dua bentuk yaitu: 1) Diri keluarga (family self) Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya se- 27
18 bagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa kuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga serta terhadap peran maupun fungsi yang diajarkan sebagai anggota dari suatu keluarga 2) Diri sosial (sosial self) Bagian ini merupakan penilaian diri individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya Pengukuran Konsep Diri Menurut Crouse (1981), ada dua metode yang umum dipakai untuk mengukur konsep diri individu. Pertama, metode observasi. Konsep diri seseorang dapat diduga dari perilaku yang diamati seseorang. Seorang observer berpegang mencari alasan untuk perilaku daripada hanya mendapatkan perilaku itu sendiri, feel bagaimana sesuatu dilihat dari pandangan yang lain. Observer melakukan observasi menggunakan metode respons tak terstruktur. Meskipun ini perlu mendapatkan feel observer harus tetap objektif. Untuk menghindari prasangka pribadi dapat dihilangkan dengan observasi sederhana. Kedua, metode self report (laporan diri sendiri). Dengan menggunakan alat ini memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melaporkan tentang dirinya sendiri di dalam merespon pada item-item yang ada dalam tes. Konsep diri atau suatu unsur yang spesifik dari konsep diri dapat dibuatkan indeksnya, biasanya dalam bentuk skor. Metode tertulis ini dapat digunakan secara individual. Crouse (1981) memaparkan intrumen pengukuran 28
19 konsep diri antara lain: The Tennessee Self Concept Scale (TSCS). Tennesse self Concept Scale sebuah intrumen disusun oleh William H. Fitts pada tahun 1965 yang dapat dipakai untuk mengukur konsep diri. Konsep diri adalah gambaran diri individu itu sendiri. Tennesse Self Concept Scale berisi 100 item yang mengukur responden dengan delapan elemen konsep diri. Ke delapan elemen yang diukur adalah: Physical, Moral dan Etika, Pribadi, Keluarga, Sosial, Identitas, Kepuasan, Perilaku. ( 2.4 Kajian yang Relevan Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006) menunjukkan hasil ada hubungan antara pandangan pola asuh permisif orang tua dengan disiplin siswa SMA Muhammadiyah Pekalongan. Dengan 98 sampel siswa diketahui bahwa r hitung yang diperoleh sebesar 0,735 dengan signifikansi p =0,000< 0,05. Ada hubungan yang signifikan antara pandangan pola asuh permisif orangtua dengan disiplin siswa SMA Muhammadiyah Pekalongan. Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2009) mengenai hubungan pandangan pola asuh permisif orang tua dengan disiplin diri siswa SMA Pancasila Surabaya, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan koefisien r sebesar -0,113 dengan p 0,316 > 0,05. 29
20 Penelitian Andrie (2013) mengungkapkan tidak ada hubungan positif antara konsep diri dan disiplin diri siswa kelas XI dan XII Jurusan Teknik Audio Video SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, dibuktikan dengan nilai Rxy > R tabel (0,112 < 3,954) dengan p 0,297 > 0, Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif orang tua dengan disiplin diri siswa kelas XI SMA N Bergas; 2. Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan disiplin diri kelas XI SMA N Bergas. 30
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Disiplin memiliki arti penting bagi setiap individu yang bertujuan atau ingin mencapai sesuatu. Sebagai contoh, individu yang ingin menjadi juara kelas, juara
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Tabel 4.1 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi % Laki-laki/siswa 45 30,00 Perempuan/siswi 105 70,00
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Minat Belajar 1. Pengertian Minat Belajar Slameto (2003) berpendapat bahwa minat adalah suatu kecenderungan untuk mempelajari sesuatu dengan perasaan senang. Apabila individu membuat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan
BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam
BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep diri Konsep diri adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terjadi dari pengetahuan tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang
Lebih terperinciBAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
55 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Bab IV mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Baik dengan rumusan masalah penelitian, secara berurutan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Hasil Pembelajaran Matematika 2.1.1 Matematika Kata Matematika berasal dari bahasa Yunani (mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, relasi, perubahan, dan beraneka
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional. Arikunto (2003) mengemukakan bahwa penelitian korelasional bertujuan untuk menemukan ada tidaknya
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Orientasi dan Kancah Penelitian Penelitian ini dilakukan pada remaja berusia 17-21 tahun. Para remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA Ksatrian dan di
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. 1. Definisi Anak
BAB II KAJIAN TEORI 1. Definisi Anak Mansur (2007) menyatakan bahwa anak sebagai tanaman yang tumbuh, sehingga peran pendidik dan orang tua adalah sebagai tukang kebun dan sekolah merupakan rumah kaca
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai
Lebih terperinciASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI
ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kedisiplinan pada anak usia prasekolah 1. Pengertian Disiplin merupakan cara orang tua mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masih terdapat orang - orang tidak mampu untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya mengemukakan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Pola Asuh a. Pengertian Pola Asuh Orang tua hendaknya selalu memberikan kasih sayang kepada anaknya. Yusuf (2010:37) menyatakan bahwa orang tua bertanggung jawab
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kreativitas 2.1.1 Pengertian Kreativitas Guilford (1975) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan
Lebih terperinciMETODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga
Lebih terperincisaaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN
saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat menghasilkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap
1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup setiap orang, yang berguna
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman modern seperti saat ini, banyak terjadi perubahan dalam segala bidang, baik itu bidang teknologi, ekonomi, sosial maupun pendidikan. Hal tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia selalu mengalami perubahan sepanjang kehidupan yakni sejak dalam kandungan sampai meninggal. Fase-fase perkembangan yang terjadi hampir bersamaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu
Lebih terperinciPENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP KEDISIPLINAN PESERTA DIDIK KELAS XI DI SMK KESATRIAN PURWOKERTO TAHUN 2011/2012
PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP KEDISIPLINAN PESERTA DIDIK KELAS XI DI SMK KESATRIAN PURWOKERTO TAHUN 2011/2012 THE EFFECT OF PARENTING PARENTS OF STUDENTS DISCIPLINE IN CLASS XI SMK KESATRIAN PURWOKERTO
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siswa 1. Pengertian Siswa Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses di dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualiatas
Lebih terperinciGAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.
GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas dan kewajiban orang tua bukan hanya memberikan kewajiban secara jasmani anak melainkan juga secara rohani yaitu dengan memberikan pendidikan akhlak yang baik,yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang dia lihat. Istilah yang sering didengar yaitu chidren see children
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah titipan yang Maha Kuasa kepada setiap orang tua yang sudah diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menjaganya. Anak akan senantiasa mengalami pertumbuhan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Pendekatan dan metode penelitian dapat memberikan gambaran kepada
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan dan metode penelitian dapat memberikan gambaran kepada peneliti mengenai langkah-langkah
Lebih terperinciRemaja Pertengahan (15-18 Tahun)
Pertemuan Orang Tua Masa perkembangan setelah masa anak-anak dan menuju masa dewasa, yang meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, moral, dan kesadaran beragama. REMAJA Batasan Usia Remaja
Lebih terperinciMateri kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu
Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Selamat membaca, mempelajari dan memahami
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Tinjauan Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Orang Tua Orang tua didalam kehidupan keluarga mempunyai posisi sebagai kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang,
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. datang, jika suatu bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Anak usia dini merupakan sumber daya manusia yang sangat penting dan berpotensi tinggi untuk
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. orang lain. Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang
BAB II KAJIAN TEORI A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Kepercayaan diri secara bahasa menurut Vandenbos (2006) adalah percaya pada kapasitas kemampuan diri dan terlihat sebagai kepribadian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, masyarakat Indonesia menganggap pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama dalam hal mencapai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.
Lebih terperinciBE SMART PARENTS PARENTING 911 #01
BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, Metode kuantitatif menurut Sugiono (2008) adalah metode penelitian yang berlandaskan
Lebih terperincipendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak (Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekolah dipahami sebagai lembaga pendidikan formal. Di tempat inilah kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara interaktif dalam proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia tingkat kenakalan yang dilakukan remaja akhir-akhir ini sudah melebihi batas dan mulai meresahkan para orang tua.banyak remaja, yang masihduduk dibangku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa termasuk di dalam kategori remaja akhir dan dewasa awal. Pada masa itu umumnya merupakan masa transisi. Mereka masih mencari jati diri mereka masing-masing,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian
Lebih terperinciPOLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak
POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH Abstrak Kontrol belajar pada implementasi pendidikan praktis di rumah, terutama untuk anak usia dini dan usia sekolah seyogiyanya ada di bawah kendali
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Disiplin Kerja 2.1.1 Pengertian Disiplin Menurut Sastrohadiwiryo (2005:291) Disiplin Kerja adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak awal biasanya dikenal dengan masa prasekolah. Pada usia ini, anak mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan orangtuanya untuk masuk dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Lebih terperinciPERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL
PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL Belum memiliki budi pekerti tertentu, belum memiliki bentuk jiwa yang tetap dan masih bersifat global. Anak masih mudah menerima pengaruh dari lingkungan POTENSI KELUARGA
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1. Pengertian Disiplin BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS Menurut Hurlock. (1999: 82) Konsep populer dari disiplin adalah sama dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial Cohen dan Wills (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. A. Prestasi Belajar Siswa dengan Pola Asuh Otoriter. Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa yang mengalami
BAB V PEMBAHASAN A. Prestasi Belajar Siswa dengan Pola Asuh Otoriter Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa yang mengalami kecenderungan pola asuh otoriter sebanyak 16 orang diperoleh hasil skor minimum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja a. Pengertian Kepercayaan Diri Salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan sumber daya manusia yang berkualitas
Lebih terperinciLAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR
LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR Kuesioner Gaya Pengasuhan No. Item Spearman Diterima / Ditolak 1 0,304 Diterima 2 0,274 Ditolak 3 0,312 Diterima 4 0,398 Diterima 5 0,430 Diterima 6
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep dari pola asuh orangtua dan perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan mengenai hubungan pola asuh orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. ini bersifat kuantitatif yang ingin melihat perbedaan kenakalan remaja (variabel
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti yaitu kenakalan remaja dan pola asuh orangtua. Untuk kepentingan penelitian ini, maka pelaksanaannya dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 2. Variabel Bebas : Pola Asuh Orangtua
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Tergantung : Alienasi 2. Variabel Bebas : Pola Asuh Orangtua 3. Variabel Mediator : Konsep
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai
TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Menurut
Lebih terperinciPERANAN ORANGTUA DALAM MENANAMKAN DISIPLIN ANAK USIA DINI. DAMAIWATY RAY Dosen PG PAUD FIP Unimed
PERANAN ORANGTUA DALAM MENANAMKAN DISIPLIN ANAK USIA DINI DAMAIWATY RAY Dosen PG PAUD FIP Unimed Email : damaiwaty@gmail.com ABSTRAK Salah satu aspek yang penting yang harus di bentuk dan dikembangkan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional yang diartikan sebagai metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam rentang kehidupannya setiap individu akan melalui tahapan perkembangan mulai dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak, masa remaja, dan
Lebih terperinci0.01 sebaran tidak normal. Tehnik uji yang digunakan adalah uji z dari. Uji ini untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan
90 0.01 sebaran tidak normal. Tehnik uji yang digunakan adalah uji z dari Kolmogorov-Smirnov. b) Uji Linieritas hubungan. Uji ini untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan variabel
Lebih terperinciEducational Psychology Journal
EPJ 1 (1) (2012) Educational Psychology Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/epj PENGARUH PERSEPSI POLA ASUH PERMISIF ORANG TUA TERHADAP PERILAKU MEMBOLOS Titis Pravitasari Jurusan Psikologi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pola asuh yang diberikan oleh orang tua pada remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Penelitian ini dilakukan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. berguna kelak di kemudian hari.sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang saat ini menjadi kebutuhan utama bagi seorang individu, dan pendidikan dapat diperoleh dari mana saja antara lain keluarga
Lebih terperinciS A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y
PERKEMBANGAN SOSIAL : KELUARGA S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PENGANTAR Keluarga adalah tempat dan sumber perkembangan sosial awal pada anak Apabila interaksi yang terjadi bersifat intens maka
Lebih terperinci