PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1"

Transkripsi

1 PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 FAISAL MUHAMAD NU MAN SUMANTRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Profil Leukosit Sapi Friesian Holstein (FH) Bunting yang Divaksin dengan Vaksin Avian Influenza (AI) Inaktif Subtipe H5N1 adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Faisal Muhamad Nu man Sumantri NRP B

3 ABSTRAK FAISAL MUHAMAD NU MAN SUMANTRI. Profil Leukosit Sapi Friesian Holstein (FH) Bunting yang Divaksin dengan Vaksin Avian Influenza (AI) Inaktif Subtipe H5N1. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SRI MURTINI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran leukosit sapi Friesian Holstein (FH) bunting yang divaksin dengan vaksin Avian Influenza (AI) inaktif subtipe H5N1. Tiga ekor induk sapi FH bunting digunakan dalam penelitian ini. Induk sapi divaksin sebanyak 3 kali menggunakan vaksin AI inaktif subtipe H5N1 pada 8, 6, dan 4 minggu sebelum diperkirakan melahirkan. Sampel darah diambil sebelum induk sapi divaksin, yaitu pada minggu ke-8 sebelum melahirkan dan setiap minggu selama 6 minggu. Parameter leukosit yang diamati meliputi jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah leukosit total meningkat pada 1 minggu setelah vaksinasi I, II, dan III. Jumlah limfosit juga meningkat pada 1 minggu setelah vaksinasi I dan II, sedangkan setelah vaksinasi III jumlah limfosit relatif konstan. Jumlah monosit mengalami penurunan setelah vaksinasi I dan III, dan meningkat setelah vaksinasi II. Jumlah neutrofil meningkat 2 minggu setelah vaksinasi I serta pada 1 dan 2 minggu setelah vaksinasi III, dan menurun setelah vaksinasi II. Jumlah eosinofil menurun setelah vaksinasi I dan III, meningkat setelah vaksinasi II. Basofil tidak ditemukan di dalam pemeriksaan preparat ulas darah. Namun demikian peningkatan dan penurunan semua parameter leukosit ini masih berada dalam kisaran normal. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa vaksinasi AI inaktif subtipe H5N1 pada sapi perah FH bunting tidak mengakibatkan perubahan gambaran leukosit di dalam sirkulasi darah. Kata Kunci : Leukosit, Sapi, Vaksin, Avian Influenza

4 PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 FAISAL MUHAMAD NU MAN SUMANTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Profil Leukosit Sapi Friesian Holstein (FH) Bunting yang Divaksin dengan Vaksin Avian Influenza (AI) Inaktif Subtipe H5N1 Nama : Faisal Muhamad Nu man Sumantri NRP : B Disetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi Dr. Drh. Sri Murtini, MSi NIP : NIP : Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini NIP Tanggal Lulus :

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi akhirul zaman Muhammad SAW, yang menjadi suri teladan untuk umatnya untuk melakukan yang terbaik dalam hidup ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si dan Dr. drh. Sri Murtini, M.Si selaku pembimbing, dan Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku penguji yang telah banyak memberikan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa restu, teman-teman sekelompok penelitian (Hasan, Icha, Novi, Winda, Tresna dan Ita), Pak Ngkos, Pak Dahlan dan Pak Djadjat, teman-teman Asteroidea (angkatan 41) untuk semua kebersamaannya dalam angkatan yang terbaik dan teristimewa, temanteman Goblet (angkatan 42) dan Aesculapius (angkatan 43), Keluarga Besar Orenz (Andika, Zein, Kiki, Abi, Casnan, Okoy, Eko Bumen, Bama, dan Kukuh Galih), Keluarga Besar Sunrise dan Sekret 41 (Budi, Nanang, Dwimas, Eki, dan Uloh), Bg Uus, dan Novi Handayani Setia Mareta untuk semua bantuan, do a, perhatian, kasih sayang, semangat, serta kesediaanya menjadi tempat berbagi penulis untuk senantiasa menjadi lebih baik, serta kepada seluruh penguat, pemotivasi dan pendukung jiwa ini disaat semangat telah turun, dan untuk semua penginspirasi yang telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi penulis untuk lebih menghargai hidup ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2009 Faisal Muhamad Nu man Sumantri

7 RIWAYAT HIDUP Faisal Muhamad Nu man Sumantri lahir pada 11 Desember 1986 di Sukabumi, Jawa Barat dari pasangan Bapak H. Imam Syamsudin dan Ibu Hj. Neneng Maria Ulfa. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis lulus dari SMA Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi Jawa Barat pada tahun 2004, dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti masa perkuliahan penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra kampus. Penulis pernah aktif di Dewan Keluarga Musholla (DKM) An-nahl FKH IPB , Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) , menjadi Kepala Departemen Pendidikan BEM FKH IPB , Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FKH IPB , dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH IPB Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah ikut menjadi Tim Penilai Kebersihan Kampus IPB 2005, peserta Pembuatan Lubang Biopori se-kota Bogor 2007, Peserta Pengobatan Massal Filariasis di-kota Bogor 2007, dan sebagai Koordinator Kabupaten Pinrang dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Veteriner BEM FKH IPB di Kawasan Sulawesi Selatan 2007.

8 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR... Halaman ix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tujuan Manfaat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi perah FH Kebuntingan Avian Influenza Vaksinasi Avian Influenza Leukopoiesis Leukosit Limfosit Monosit Neutrofil Eosinofil Basofil III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Hewan Percobaan Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Coba Vaksinasi Pengambilan Darah Pemeriksaan Darah Menghitung Jumlah Leukosit Total Diferensiasi Leukosit IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jumlah Leukosit Total Limfosit Monosit Neutrofil Eosinofil Basofil V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 33

9 DAFTAR GAMBAR 1. Sapi Friesian Holstein Struktur Virus AI Tahap pembentukan sel-sel darah Berbagai jenis sel darah putih Halaman 5. Sistematika jadwal vaksinasi AI dan pengambilan darah pada hewan coba Rataan jumlah leukosit total pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Rataan jumlah limfosit pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Rataan jumlah monosit pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Rataan jumlah neutrofil pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Rataan jumlah eosinofil pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi... 30

10 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Virus influenza tipe A subtipe H5N1 menyerang ternak ayam di Indonesia sejak bulan Oktober 2003, yang mengakibatkan kematian lebih dari 14,7 juta ekor ayam. Virus influenza tipe A merupakan famili orthomixoviridae. Avian Influenza (AI/ flu burung) adalah penyakit menular yang menyebabkan kematian tinggi pada unggas yaitu %. Virus ini dapat menyerang semua jenis unggas seperti ayam, kalkun, itik. Data terakhir menyebutkan bahwa selain unggas, hewan lain seperti kucing, harimau dan babi dapat pula terserang (Soejoedono & Handaryani 2005). Di beberapa negara di Eropa dan Asia telah dilaporkan bahwa flu burung menyerang hewan mamalia (Asmara 2007). Kasus flu burung dalam perkembangannya tidak hanya menyerang unggas saja, tetapi juga manusia. Kasus flu burung strain H5N1 pada manusia pertama kali terjadi pada tahun 1997 di Hongkong, dari 18 kasus 6 orang diantaranya meninggal dunia (Chan 2002). Tahun 2003 virus H5N1 kembali menyerang wilayah Hongkong dan Guandong serta menyebabkan seorang penderita meninggal dunia. Virus juga menyerang Vietnam dan Thailand dengan jumlah kasus 34 orang dan 23 diantaranya meninggal dunia. Pada pertengahan tahun 2004, H5N1 menyerang lagi Vietnam dengan tiga kasus seluruhnya meninggal dunia. Data WHO menunjukkan hingga 10 September 2008 jumlah kumulatif kasus H5N1 pada manusia yang sudah dikonfirmasi laboratorium 387 orang, dengan 245 orang diantaranya meninggal dunia (WHO 2008). Kejadian penyakit flu burung yang menyerang manusia di Indonesia dilaporkan pertama kali pada pertengahan Juli 2005 (Infovet 2005). Jumlah korban flu burung pada manusia di Indonesia dari tahun sampai dengan Oktober 2008, sebanyak 137 kasus dengan 113 orang meninggal dunia (WHO 2008). Dewasa ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun pencegahan terhadap influenza pada manusia, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir (tamiflu). Amantadine dan rimantadine sudah tidak efektif lagi untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas (Beigel et al. 2005). Zanamivir dan oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase. Neuraminidase diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel hospes pada fase budding dan membentuk virion yang

11 infektif. Bila neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus tersebut dapat dihentikan. Namun demikian belum ada uji klinik pada manusia yang secara resmi dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas dari zanamivir dan oseltamivir untuk pengobatan Avian Influenza A (H5N1) (Herman & Strorck 2005). Penelitian terakhir menyebutkan bahwa Virus H5N1 yang diisolasi dari beberapa kasus penderita flu burung telah resisten terhadap oseltamivir (Gupta et al. 2006). Alternatif pencegahan dan penanggulangan kasus flu burung hingga saat ini masih dicari. Salah satu alternatif adalah melalui imunisasi pasif yaitu melalui pemanfaatan kolostrum yang berasal dari induk sapi bunting yang divaksin dengan vaksin AI. Produksi kolostrum yang mengandung Imunoglobulin anti AI dilakukan dengan pemberian vaksin kepada sapi bunting dengan vaksin AI. Vaksin AI untuk manusia hingga saat ini belum tersedia. Vaksin AI subtipe H5N1 saat ini yang tersedia hanya untuk unggas. Penelitian ini menggunakan vaksin unggas untuk menginduksi kekebalan pada sapi yang bunting sehingga dihasilkan kolostrum yang mengandung antibodi terhadap AI. Efek fisiologis vaksinasi AI pada sapi bunting belum pernah diamati sebelumnya, untuk itu perlu diketahui pengaruh vaksin terhadap gambaran leukosit pada sapi bunting yang divaksin dengan vaksin AI inaktif Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil leukosit pada sapi Friesian Holstein (FH) bunting yang divaksin dengan vaksin AI inaktif subtipe H5N Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil leukosit pada sapi FH bunting yang divaksin dengan vaksin AI inaktif subtipe H5N1.

12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Sapi FH pada awalnya berkembang biak di Propinsii Friesland, Belanda. Diantara ras sapi perah yang ada, Friesian Holstein mempunyai kemampuan memproduksi susu tertinggi (Siregar 1990). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia, karena dapat menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan alam Indonesia. Selain sebagai penghasil susu, sapi perah juga dapat menjadi penghasil daging dan kulit (Prihatman 2000). Kemampuan memproduksi susu sapi FH dapat mencapai lebih dari kg per laktasi dengan kadar lemak susu rata-rata 3,6 %. Standar bobot badan betina dewasa berkisar antara kg, sedangkan jantan dewasa kg (Siregar 1990). Sapi FH dara mulai dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan, ketika berat badannya mencapai 800 pon. Walaupun sapi FH dapat hidup lebih lama, tetapi umur produktif sapi FH hanya sampai 6 tahun (Okstate 2008). Seluruh jenis sapi perah berasal dari genus dan spesies yang sama, yaitu Bos taurus. Menurut Linnaeus (1758) dalam Wikipedia (2008), klasifikasi ilmiah sapi perah adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bos Spesies : Bos taurus Gambar 1 Sapi Friesian Holstein (Wikipedia 2008) 2.2. Kebuntingan Kebuntingan adalah suatu keadaan pada seekor hewan betina yang memiliki janin yang sedang berkembang di dalam uterusnya. Suatu interval waktu yang disebut periode kebuntingan (gestasi) terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi, nidasi atau implantasi, perkembangan fetus

13 dan pertumbuhan fetus (Frandson 1992). Menurut Salisbury & VanDemark (1985), kebuntingan terdiri dari 3 tahap, yaitu periode ovum, periode embrio, dan periode fetus. Periode ovum pada sapi merupakan interval antara pembuahan sampai kira-kira hari ke- 12 masa kebuntingan. Periode embrio dimulai pada kebuntingan dengan umur 13 hari sampai 45 hari. Periode fetus, interval antara umur kebuntingan 46 hari sampai saat lahir. Periode kebuntingan dan partus dilaporkan dapat menyebabkan munculnya stres fisiologis (Azab & Maksoud 1999 dalam Widhyari 2005). Dalam kondisi stres terjadi realokasi energi metabolik dari aktifitas investasi (seperti pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktifitas untuk memperbaiki homeostasis (Wendelaar 1997 dalam Widhyari 2005). Munculnya stres dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti trauma, rasa sakit, emosi, depresi, perubahan lingkungan, pakan, perubahan fisiologis. Stres fisiologis sering terjadi pada periode sekitar partus (Wallar 2000). Perbedaan musim tidak mempengaruhi masa kebuntingan sapi perah. Periode kebuntingan sapi perah FH ratarata 279 hari dari kisaran hari (Toelihere 1979). Akhir kebuntingan merupakan masa transisi antara masa kebuntingan dengan laktasi (Hill & Andrews 2000), sehingga kelenjar mammae pada sapi perah memerlukan periode kering yaitu periode dimana tidak dilakukan pemerahan susu, untuk mempersiapkan kelahiran supaya produksi susu optimal pada periode laktasi berikutnya. Periode kering ini pada umumnya sekitar 60 hari (Smith 2000) Avian Influenza (AI) Virus influenza merupakan virus yang berbentuk bundar atau bulat panjang, memiliki genom RNA utas tunggal, bersegmen yang terdiri dari delapan segmen dan berpolaritas negatif (Harder & Ortrud 2006). Virus influenza dikelompokkan ke dalam famili orthomyxoviridae dan memiliki tiga tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Virus influenza yang menyerang unggas adalah tipe A. Virus influenza tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia. Saat ini diketahui bahwa virus tipe A juga menyerang manusia, babi, dan kuda (Iswandari 2007). Flu burung atau avian influenza adalah penyakit menular yang menyebabkan kematian tinggi pada unggas, yaitu berkisar antara %. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini menyerang semua jenis unggas seperti ayam,

14 kalkun, itik. Selain unggas, hewan lain seperti kucing, harimau dan babi dapat pula terserang (Soejoedono & Handaryani 2005). Gambar 2 Struktur Virus AI (Wikipedia 2008) Determinan antigenik utama virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuraminidase (N atau NA). Kedua glikoprotein tersebut mampu memicu terbentuknya respon imun spesifik terhadap subtipe virus (Harder & Ortrud 2006). Virus tipe A memiliki 16 antigen H (haemaglutinin; HA) yaitu H1-H16 dan 9 antigen N (neuraminidase), yaitu N1-N9. Kombinasi antigen H dan N menghasilkan lebih dari 144 kombinasi sub tipe virus flu burung, seperti H5N1, H5N2, H7N1, H7N7, dan kombinasi lainnya (Wong & Yuen 2006). Komposisi kimiawi virus flu burung adalah 0,8-1,1 % RNA, % protein, % lemak, dan 5-8 % karbohidrat (Iswandari 2007). Delapan segmen RNA dari virus influenza tipe A menyandikan 11 protein viral. Termasuk ke dalam protein viral tersebut adalah protein polimerase (PB1, PB2, PA, PB1-F2), protein nukleokapsid, hemaglutinin, neuraminidase, protein matriks (M1, M2) dan protein nonstruktural (NS1, NS2). Hemaglutinin dan neuraminidase adalah determinan antigenik utama pada virus influenza tipe A dan berfungsi sebagai dasar bagi pengklasifikasian subtipenya (Wong & Yuen 2006). Hemaglutinin berperan dalam perlekatan dan masuknya virus ke dalam sel inang dengan cara berikatan pada reseptor asam sialat (sialic acid) di permukaan sel. Neuraminidase berperan dalam memfasilitasi penyebaran virion pada inang dengan cara membelah ikatan glikosida terhadap asam sialat pada sel inang dan permukaan partikel

15 virus dan merupakan target dari zat-zat yang bersifat neuraminidase inhibitor seperti oseltamivir dan zanamivir (Wong & Yuen 2006). Subtipe yang ditemukan mewabah dan menyebabkan terjadinya flu burung di negara Asia adalah H5N1. Subtipe H5N1 pertama kali ditemukan di Italia pada tahun 1878 pada unggas dan sangat menular serta menyebabkan kematian (Soejodono dan Handaryani 2005). Berdasarkan tingkat keganasannya, virus flu burung memiliki dua bentuk, yaitu virus dengan tingkat keganasan rendah (Low pathogenic) dan virus dengan tingkat keganasan tinggi (highly pathogenic). Virus dengan keganasan rendah atau low pathogenic avian influenza (LPAI) menyebabkan sakit ringan, yang kadangkadang hanya ditunjukkan dengan bulu kusut atau produksi telur berkurang. Sedangkan highly pathogenic avian influenza (HPAI) sangat mudah menular dan cepat mendatangkan kematian (mortalitas 100%) (Iswandari 2007) Vaksinasi Avian Influenza Vaksinasi adalah pemberian antigen yang merupakan agen suatu penyakit tertentu sehingga terbentuk tanggap kebal yang dapat mencegah infeksi terhadap agen penyakit tersebut (Tizard 1982). Kemampuan tubuh untuk menahan serangan infeksi maupun menetralkan racun dan meniadakan faktor virulen yang bersifat antigenik maupun imunogenik disebut dengan imunitas. Antigen atau yang biasa disebut dengan benda asing berasal dari kata antibody generating substance yaitu suatu senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Sedangkan imunogen berasal dari kata immunolity generating substance, senyawa yang dapat menggertak pembentukan antibodi spesifik protektif dan peningkatan kekebalan seluler, atau dengan kata lain mampu merangsang pembentukan imunitas atau kekebalan (Wibawan et al. 2003). Vaksinasi dalam dunia kedokteran hewan ditujukan untuk mencapai empat sasaran, yaitu perlindungan terhadap timbulnya penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, perlindungan terhadap ekskresi virus, dan pembedaan secara serologik antara hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi (dikenal sebagai differentiation of infected from vaccinated animals, atau prinsip DIVA) (Harder & Ortrud 2006). Vaksin merupakan senyawa yang mempunyai sifat sebagai imunogen. Secara umum vaksin adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang sifat

16 patogenitasnya dihilangkan terlebih dahulu serta digunakan untuk merangsang pembentukan sistem kekebalan (Renald 1998). Vaksin virus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu vaksin aktif (hidup) yang mengandung partikel virus hidup tapi sudah dilemahkan sehingga tidak virulen, dan vaksin inaktif (killed vaccine) yaitu vaksin dengan kandungan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi tidak kehilangan imunogenitasnya (Tizard 1982). Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus aktif (hidup) yang diinaktifkan dengan bahan kimia, seperti formaldehida, beta propiolaktin, asetilatilinemi (AEI), etilektilemi (EEI) (Edington 1986 dalam Mulia 2005). Imunogenitas vaksin dapat ditingkatkan dengan penambahan adjuvant. Adjuvant merupakan bahan yang dicampurkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik humoral maupun seluler. Mekanisme kerja dari adjuvant meliputi retensi antigen yang lebih lama dan pelepasannya lambat. Adjuvant juga meningkatkan pengaktifan makrofag yang menyebabkan sekresi limfokin dan tertariknya limfosit, dan mitogenisitas bagi limfosit. Adjuvant yang paling umum digunakan untuk vaksin hewan adalah minyak mineral (Fenner et al.1995). Jenis vaksin AI yang diijinkan untuk dipergunakan pada hewan adalah vaksin rekombinan dan vaksin inaktif (killed), sedangkan vaksin hidup tidak diijinkan. Vaksin rekombinan virus AI diproduksi dengan cara memasukkan kode gen hemaglutinin virus ke dalam vektor virus hidup dan menggunakan virus rekombinan ini untuk mengimunisasi unggas. Bentuk vaksin lainnya yang telah dikembangkan adalah sistem baculovirus-expression untuk memproduksi antigen H5 dan H7 rekombinan untuk digabungkan ke dalam vaksin. DNA yang mengkode hemaglutinin H5 telah dievaluasi sebagai vaksin yang potensial bagi unggas. Vaksin inaktif diperoleh dari cairan allantois yang diinfeksi dan diinaktivasi dengan beta-propiolactone atau formalin dan diemulsi dengan minyak mineral (OIE 2004). Antibodi bertiter tinggi dapat terbentuk di dalam serum hewan melalui vaksinasi berulang. Antibodi di dalam serum induk dapat dipindahkan ke dalam kolostrum sehingga dapat diperoleh antibodi kolostrum dengan titer tinggi (Fenner et al. 1995).

17 2.5. Leukopoiesis Sel-sel darah dibentuk dari sel stem hematopoietik yang berasal dari kantung kuning telur, hati fetus, limpa, serta sumsum tulang. Granulopoiesis atau granulocytopoiesis meliputi produksi neutrofil, eosinofil dan basofil, dibawah pengaruh interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), untuk menghasilkan colony forming units neutrofil dan monosit (CFU-GM), eosinofil (CFU-eos) dan basofil (CFU-bas) (Jain 1993). Berbagai faktor yang mempengaruhi diferensiasi dan maturasi sel progenitor granulosit diantaranya IL-3 dan berbagai colony stimulating factors (CSFs). CSFs mempunyai tiga jenis yaitu GM-CSF, granuloycte colony stimulating factor (G-CSF) dan macrophag colony stimulating factor (M-CSF). IL-3 merupakan suatu faktor pertumbuhan multispesifik (multi-csf). GM-CSF mempunyai spesifikasi yang lebih besar, sedangkan G-CSF merangsang produksi granulosit dan M-CSF merangsang produksi monosit. CSFs dihasilkan oleh berbagai sel diantaranya limfosit T aktif, makrofag, sel endotel dan sel stroma sumsum. Produksi mereka meningkat mengikuti adanya keterpaparan terhadap antigen, infeksi bakteri, endotoksemia, dan kemoterapi sitotoksik (Jain 1993).

18 Gambar 3 Tahap pembentukan sel-sel darah (Anonim 2008a) CSFs adalah glikoprotein yang mempunyai berat molekul rendah. Mekanisme yang tepat pada aksi CSFs pada sel hematopoietik atau pematangan leukosit tidak diketahui, tetapi reseptor permukaan sel spesifik pada berbagai sitokin ditemukan pada sel yang responsive (Jain 1993). Sel-sel pluripotent di dalam sumsum tulang berkembang menjadi sel-sel progenitor granulosit. Sel yang menghasilkan neutrofil dan monosit diketahui sebagai colony forming unit granulocyte-monocyte (CFU-GM). CFU GM adalah sel bipotensial yang dapat berdiferensiasi menjadi sel yang unipotensial CFU-menjadi neutrofil atau monosit. Dengan cara yang sama, sel stem dan CFU-M, yang masing-masing akan pluripotent juga akan berkembang dan berdiferensiasi menjadi sel progenitor untuk eosinofil (CFU-Eos) dan basofil (CFU-bas) (Jain 1993).

19 Sel unipotensial granulosit selanjutnya berkembang menjadi prekursor yang dapat diidentifikasi sebagai mieloblas, kemudian berkembang lagi menjadi promielosit, mielosit, metamielosit, sel muda dan kemudian neutrofil yang bersegmen (dewasa). Proses pembentukan neutrofil di dalam sumsum tulang membutuhkan waktu pada manusia sekitar 7-11 hari, pada anjing 3-5 hari, dan pada sapi 4-6 hari, sedangkan masa hidup neutrofil di dalam sirkulasi berkisar 7-14 jam (Jain 1993). Beberapa faktor pertumbuhan leukosit yang paling banyak adalah interleukin. Produksi dan maturasi sel T dipengaruhi oleh interaksi kompleks IL-1, IL-2, IL-4, IL-5, IL-7, IL-12, tumor necrosis factor-α, T-cell growth factor-β, dan interferon-α. Begitu juga jumlah faktor pertumbuhan sel B telah diidentifikasi diantaranya IL-1, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6, IL7, IL- 11, tumor necrosis factor-α, T-cell growth factor-β, dan interferon-α (Jain 1993). Eosinofil dihasilkan di dalam sumsum tulang yang diturunkan dari sel pluripotent yang berdiferensiasi menjadi CFU-eos, kemudian menjadi mieloblas, dan promielosit, dan akhirnya menjadi eosinofil. Proses mitosis, pematangan, dan tahaptahap perkembangan eosinofil analog dengan perkembangan pada neutrofil (Jain 1993). Basofil dihasilkan di dalam sumsum tulang dan pola perkembanganya sama dengan granulosit yang lain. Basofil-spesifik mieloblas dan promielosit berkembang dari sel progenitor CFU-bas dan terus berkembang bentuknya hingga dapat diidentifikasi sebagai basofil (Jain 1993). Granula sitoplasma dihasilkan pada akhir pembentukan mieloblas atau diawal promielosit dan secara spesifik sintesis granula terjadi pada tahap mielosit (Meyer & Harvey 2004) Limfosit berasal dari stem sel dalam folikel limfatik pada nodus limfe, tonsil, limpa, timus dan daun peyer pada usus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit hingga tahap limfosit (Kelly 1984). Faktor yang meregulasi produksi, diferensiasi, dan multiplikasi sel progenitor limfoid sangat kompleks, diantaranya adalah pengaruh microenvironmental sekitar, interleukin, dan antigen (Jain 1993). Monosit adalah turunan dari sel progenitor bipotensial CFU-GM yang dapat menghasilkan neutrofil dan monosit (Jain 1993). Monosit dihasilkan oleh pengaruh kombinasi dari IL-3, GM-CSF dan M-CSF pada proliferasi dan diferensiasi pada sel progenitor sumsum tulang. Monosit bukan merupakan produksi akhir, karena di dalam jaringan monosit berubah menjadi makrofag (Meyer & Harvey 2004). Diferensiasi CFU-GM ke CFU-M dan proliferasi prekursor monosit dipengaruhi oleh monocyte-

20 specific colony stimulating factor (M-CSF). CSF ini merupakan sebuah glikoprotein dengan berat molekul dan dihasilkan oleh berbagai sel diantaranya monosit yang aktif, makrofag, limfosit T dan sel-sel endotel. Tahap perkembangan monosit selanjutnyaa setelah CFU-M kemudian menjadi monoblas, promonosit, monosit, dan selanjutnya akan menjadi makrofag di dalam jaringan (Jain 1993) Leukosit Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dengan menyediakan pertahanan terhadap setiap agen infeksi. Berdasarkan keberadaan granulanya, sel darah putih (leukosit) dibagi menjadi dua yaitu leukosit granular dan leukosit agranular. Leukosit granular terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil sedangkan leukosit agranular terdiri dari limfosit dan monosit (Ganong 1995). Gambar 4 Berbagai jenis sel darah putih (Anonim 2008b) Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid. Melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos sel-sel endotel (Zukesti 2003). Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe (Guyton & Hall 1997) Limfosit Limfosit merupakan leukosit agranulosit, mempunyai bentuk bulat dengan sitoplasma bersifat basofilik yang lemah. Sel ini dibentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, timus, sumsumm tulang belakang, tonsil dan bursa fabrisius (Sturkie 1976).

21 Persentase jumlah limfosit pada sapi berkisar antara % dari total leukosit (Frandson1992). Menurut Jain (1993), jumlah limfosit pada sapi berkisar antara /µL. Limfosit dapat dikategorikan berdasarkan ukurannya, yaitu limfosit kecil dan limfosit besar. Limfosit kecil memiliki ukuran 6-9 µm dan limfosit besar berukuran 9-15 µm (Delmann & Eurell 1998). Berdasarkan perbedaan fungsi di dalam respon imun pada banyak spesies, limfosit diklasifikasikan sebagai sel T dan sel B (Jain 1993). Inti limfosit relatif besar, bulat dengan sedikit cekungan pada satu sisi, dan kromatin inti padat. Sitoplasma sangat sedikit, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik yang berwarna ungu dengan pewarnaan Romanowsky, mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Klasifikasi limfosit yang lain yaitu adanya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya (Zukesti 2003). Limfosit berperan dalam produksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus untuk menanggapi antigen yang terikat pada makrofag (Tizard 1982). Limfosit B berperan dalam respon kekebalan berperantara humoral dengan memproduksi antibodi dan sel memori. Limfosit T membentuk respon kekebalan berperantara seluler (Ganong 1995) Monosit Monosit merupakan sel makrofag yang belum matang dan mempunyai sedikit kemampuan untuk melawan agen-agen penyebab infeksi. Monosit dapat membesar sampai 5 kali lipat saat masuk ke dalam jaringan. Sitoplasma mengandung banyak lisosom dan mitokondria, dan disebut makrofag yang sangat mampu menyerang agen penyakit (Guyton & Hall 1997). Monosit disebut juga makrofag muda dan terdapat di dalam sirkulasi darah (Tizard 1982). Persentase monosit sapi di dalam darah sebesar 5 % dari total leukosit (Frandson 1992). Menurut Jain (1993), jumlah monosit pada sapi berkisar antara /µL. Sel monosit pada umumnya berbentuk bundar, diameternya berkisar antara µm. Sel ini memiliki sitoplasma yang banyak, di tengah terletak nukleus yang kebulat-bulatan, berbentuk kacang, atau melekuk. Sitoplasma perinuklear mengandung mitokondria, aparat golgi, sejumlah besar lisosom dan beberapa reticulum endoplasmic kasar yang menunjukkan kemampuannya dalam membuat protein (Tizard 1982).

22 Peran utama sel sistem fagositik mononuklear adalah melakukan fagositosis dan menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, dan mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal. Fagositosis oleh makrofag merupakan proses yang sama dengan neutrofil (Tizard 1982) Neutrofil Neutrofil dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam peredaran darah, dan tinggal di dalam peredaran darah selama sekitar 12 jam sebelum bermigrasi ke dalam jaringan. Masa hidup neutrofil hanya beberapa hari. Neutrofil merupakan bagian terbesar dari jenis leukosit pada manusia dan karnivora tetapi hanya merupakan % dari total leukosit pada ruminansia (Tizard 1982). Menurut Jain (1993), jumlah neutrofil pada sapi berkisar antara /µL. Granula pada neutrofil ada dua yaitu azurofilik yang mengandung enzim lisozom dan peroksidase, dan granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein kationik) yang dinamakan fagositin. Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen (Zukesti 2003). Neutrofil yang matang memiliki diameter µm, nukleusnya bersegmen 3-4 lobus (Dellman & Eurell 1998). Fungsi utama neutrofl adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis (Tizard 1982). Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mieloperoksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya (Zukesti 2003). Jumlah neutrofil di dalam darah meningkat cepat tatkala terjadi infeksi akut dan kerusakan jaringan. Secara fisiologis neutrofil meningkat pada saat-saat latihan fisik karena meningkatnya arus darah yang menurunkan marginasi neutrofil disepanjang bagian dalam pembuluh darah. Peningkatan jumlah neutrofil disebut neutrofilia (Frandson 1992).

23 Eosinofil Eosinofil merupakan sel leukosit yang mengandung granula sitoplasma berwarna merah. Eosinofil berasal dari sumsum tulang, sangat motil dan sedikit fagositik. Eosinofil mempunyai garis tengah µm (Dellman & Eurell 1998). Inti biasanya berlobus dua. Retikulum endoplasma mitokondria dan apparatus Golgi kurang berkembang (Zukesti 2003). Persentase eosinofil dalam keadaan normal berkisar antara 2-3% dari seluruh jumlah sel darah putih yang terdapat dalam darah (Guyton & Hall 1997). Menurut Frandson (1992), persentase eosinofil pada sapi berkisar antara 2-5%. Menurut Jain (1993), jumlah eosinofil pada sapi berkisar antara /µL. Eosinofil seringkali diproduksi dalam jumlah besar pada penderita infeksi oleh parasit. Eosinofil ini kemudian bermigrasi ke dalam jaringan yang menderita infeki parasit tersebut (Guyton & Hall 1997). Mekanismenya adalah dengan melekatkan diri terhadap parasit dan kemudian melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit tersebut (Tizard 1982). Sel eosinofil ini daya fagositosisnya lemah dan dapat menunjukkan kemotaksis. Hal ini disebabkan eosinofil tidak mempunyai ribosom maka kemampuan untuk melakukan fagosistosis relatif lebih terbatas dibandingkan makrofag (Tizard 1982) Basofil Basofil merupakan sel yang sangat jarang ditemukan di dalam sirkulasi darah normal (Dellman & Eurell 1998). Menurut Frandson (1992), persentase basofil pada sapi berkisar antara 0-1%. Menurut Jain (1993), jumlah basofil pada sapi di dalam sirkulasi darah normal berkisar antara 0-200/µL. Basofil mempunyai granula sitoplasma yang berwarna kuat dengan zat warna juga bersifat basofilik seperti hematoksilin (Tizard 1982). Basofil mempunyai dua inti bergelambir dengan bentuk tidak teratur. Butirnya berwarna biru tua sampai ungu yang sering menutup inti yang berwarna agak cerah. Butir basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, serotonin dan beberapa faktor kemotaksis. Bahan-bahan ini selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gejala alergi (Guyton & Hall 1997). Basofil mempunyai garis tengah 10-15µm (Dellman & Eurell 1998). Basofil memiliki inti yang bersegmen atau ireguler. Sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti. Granul berbentuk irreguler, berwarna

24 metakromatik, dengan campuran jenis Romanowsky tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin (Zukesti 2003). Basofil dan sel mast berperan penting dalam menjalankan reaksi inflamasi (Dellman & Eurell 1998) sebab tipe antibodi yang menyebabkan alergi yaitu tipe IgE mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 1997).

25 III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari-April Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), dan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Cibungbulang-Bogor Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah, syringe, gelas obyek, mikroskop, kamar hitung, pipet leukosit, counter, bak pewarnaan, tabung darah, label, kapas, tissu, pipet, venoject berantikoagulan pottasium ethylene diamine tetra-acetic acid (K 3 EDTA) dan Ice Box. Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah air, pakan sapi (konsentrat, hijauan, ampas tahu), vaksin AI inaktif subtipe H5N1, antigen AI inaktif tanpa adjuvant, Imunomodulator, alkohol 70%, metanol, pewarna Giemsa 10%, aquades, larutan Turk Metode Penelitian Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah 3 ekor induk sapi betina jenis FH yang sedang bunting 7 bulan (masa kering kandang). Induk sapi dipilih yang sehat secara klinis, dengan kisaran umur 3 4 tahun (laktasi 2-3) Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Coba Sapi yang sedang dalam masa kering kandang dipelihara di kandang di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Cibungbulang-Bogor. Pakan yang diberikan berupa hijauan, konsentrat dan ampas tahu pada pagi dan sore hari, serta pemberian air minum ad libitum. Sebelum dilakukan vaksinasi, induk sapi diberi obat cacing dan multivitamin.

26 Vaksinasi Tiga ekor induk sapi bunting 7 bulan divaksin menggunakan vaksin AI H5N1 inaktif sebanyak tiga kali pada umur 8, 6, dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan melahirkan. Sebelum vaksinasi pertama, induk sapi diberi imunomodulator peroral setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan dosis 0,1 mg/kgbb dan setelah itu selama 3 hari berturut-turut induk sapi disuntik setiap hari dengan antigen (Ag) H5N1 in aktif tanpa adjuvant secara intravena dengan dosis 10 4 HAU. Induk sapi kemudian divaksin menggunakan vaksin AI H5N1 inaktif komersial sebanyak 2 dosis/ekor secara subkutan Pengambilan Darah Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena jugularis. Pengambilan darah pertama kali dilakukan pada saat sebelum induk sapi diberikan imunomodulator, kemudian pada saat sebelum divaksin yaitu pada minggu ke-8 sebelum melahirkan. Selanjutnya pengambilan darah dilakukan setiap minggu selama 6 minggu. Sampel darah diambil sebanyak 2 ml, kemudian segera dimasukkan ke dalam venoject berantikoagulan K 3 EDTA untuk memperoleh whole blood. Sampel darah dibawa ke laboratorium dengan menggunakan ice box. Selanjutnya sampel darah yang terkumpul dalam bentuk whole blood digunakan untuk analisis jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit. (minggu sebelum melahirkan) 2 Pengambilan darah Gambar 5 Sistematika jadwal vaksinasi AI dan pengambilan darah pada hewan coba

27 Pemeriksaan Darah Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan dengan metode hemocytometer. Penentuan diferensiasi leukosit menggunakan pewarnaan Giemsa dengan menghitung jenis leukosit sampai dengan jumlah 100. Nilai absolut masing-masing jenis leukosit didapat dari hasil perkalian persentase masing-masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total Menghitung Jumlah Leukosit Total Sampel darah dihisap dengan pipet leukosit sampai angka 0,5, kemudian ujung pipet dibersihkan dari sisa-sisa darah. Kemudian dihisap larutan Turk ke dalamnya hingga angka 11, lalu ujung kedua pipet tersebut ditutup dan pipet dikocok membentuk angka delapan agar darah homogen secara sempurna. Cairan pada ujung pipet dibuang, lalu cairan yang homogen dimasukkan sebanyak satu tetes ke dalam kamar hitung dengan menempelkan ujung pipet pada pertemuan antara dasar kamar hitung dan cover glass. Penghitungan dilakukan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40 x 10 kali. Penghitungan dilakukan pada empat bujur sangkar luar kamar hitung. Volume ruangan = dalam x luas = 1/10 mm x 1mm 2 = 1/10 mm 3. Total volume ruangan yang dipakai 4 x 1/10 mm 3 = 4/10 mm 3. Bila jumlah sel darah putih didalam ruangan tersebut = b butir, maka 1 mm 3 = 10/4 x b butir. Jumlah ini harus dikoreksi dengan faktor pengenceran dimana darah 0,5 larutan pengencer sampai 11, dikurangi 1 bagian yang tidak ikut tercampur, sehingga pengencerannya 20 kali. Jadi jumlah sel darah putih per mm 3 darah adalah 10/4 x 20 x b butir = b x 50 butir (Kelly 1984) Diferensiasi Leukosit Diferensiasi leukosit dilakukan dengan cara membuat preparat ulas darah. Sediaan apus darah pada gelas objek dikeringkan, lalu difiksasi dengan larutan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan, lalu dimasukkan ke dalam larutan pewarna Giemsa selama 30 menit, selanjutnya dikeringkan di udara. Kemudian sediaan ulas darah diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x 10, pemeriksaan memakai minyak emersi, dan ditentukan masing-masing jenis leukosit hingga jumlahnya mencapai 100. Nilai absolut didapatkan dari hasil kali diferensiasi leukosit dengan jumlah leukosit total (Kelly 1984).

28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian imunomodulator pada hewan coba sebelum vaksinasi ditujukan untuk merangsang sistem pertahanan tubuh induk sapi. Gambar 6 memperlihatkan bahwa setelah pemberian imunomodulator jumlah leukosit menurun. Penurunan jumlah leukosit ini diduga disebabkan oleh menurunnya salah satu jenis leukosit di dalam darah yaitu jumlah limfosit (Gambar 7). Menurut Tizard (2000), pemberian imunomodulator akan meningkatkan pembentukan antibodi, yang berasal dari diferensiasi limfosit sehingga limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid (Anderson & Lorraine 2006) dan jumlah limfosit di dalam darah menurun. Selanjutnya pada Gambar 8, 9, dan 10 dapat dilihat bahwa setelah pemberian imunomodulator jumlah monosit, neutrofil dan eosinofil meningkat. Menurut Widianto (1987), pemberian imunomodulator akan meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas seperti makrofag, granulosit, limfosit T dan B. Pemberian imunomodulator juga merangsang sintesis sitokin dan dapat meningkatkan kemampuan fagositik dengan mengaktifkan makrofag. Prinsip imunomodulator yaitu suatu zat yang berasal dari bahan biologic atau sintetik yang merangsang sistem pertahanan tubuh non spesifik (Tizard 2000) Jumlah Leukosit Total Fungsi leukosit adalah untuk mempertahankan tubuh melawan serangan benda asing (Colville & Bassert 2002). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos selsel endotel (Zukesti 2003). Gambar 6 memperlihatkan rataan jumlah leukosit induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah leukosit total sapi FH bunting setelah divaksin AI H5N1 inaktif mengalami peningkatan berturut-turut dari minggu ke-7 hingga minggu ke-5 sebelum melahirkan. Peningkatan leukosit ini diduga disebabkan karena vaksin AI yang masuk ke dalam tubuh sapi telah memicu peningkatan salah satu jenis leukosit di dalam darah. Menurut Coles (1986), sumsum tulang akan memproduksi dan memobilisasi leukosit ke peredaran darah sebagai respon terhadap vaksinasi.

29 Leukosit (10 3 /µl) Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I 7,983 Vaksinasi II 8,117 8,667 Vaksinasi III 7, Waktu (Minggu sebelum melahirkan) 8,117 Gambar 6 Rataan jumlah leukosit total pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Puncak peningkatan jumlah leukosit total terjadi pada minggu ke-5. Hal ini diduga disebabkan oleh pemberian vaksin kedua (booster) yang merangsang pembentukan respon imun sekunder sehingga jumlah leukosit total meningkat lebih banyak pada 1 minggu setelah vaksinasi kedua. Respon imun sekunder ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan respon imun primer karena adanya sel-sel pengingat (sel memory) dari kontak pertama dengan imunogen, sehingga sel-sel pengingat berproliferasi untuk membentuk klona sel dalam jumlah yang besar (Anderson & Lorraine 2006). Menurut Conner et al. (1967), jumlah leukosit pada minggu ke-5 ini (8,667x10 3 / µl) masih berada di dalam kisaran normal (7,646±1,636)x10 3 /µl. Jumlah leukosit total selanjutnya mengalami penurunan pada minggu ke-4. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya penurunan salah satu jenis leukosit di dalam darah. Penurunan jumlah leukosit ini pada banyak spesies menurut Jain (1993) berasal dari penurunan jumlah neutrofil dan/atau penurunan jumlah limfosit. Pada minggu ke-4 ini terjadi penurunan jumlah limfosit (Gambar 7), yang diduga disebabkan oleh adanya diferensiasi limfosit menjadi sel-plasma untuk menghasilkan antibodi (Tizard 1982). Menurut Jain (1993), pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah. Jumlah leukosit total kemudian mengalami peningkatan kembali pada minggu ke-3 dan relatif konstan hingga minggu ke-2 sebelum induk sapi melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya ulangan penambahan antigen asing melalui pemberian

30 vaksin AI yang ketiga, yang dapat memicu peningkatan jumlah leukosit total di dalam darah. Peningkatan jumlah leukosit total ini merupakan respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme (Anderson & Lorraine 2006). Menurut Meyer & Harvey (2004), peningkatan jumlah leukosit total dalam darah terjadi karena adanya peningkatan salah satu jenis leukosit di dalam darah yang pada umumnya disebabkan oleh meningkatnya jumlah neutrofil dan/atau limfosit. Peningkatan pada minggu ke-3 dan minggu ke-2 mungkin juga merupakan respons fisiologis induk sapi menjelang kelahiran. Mallard et al. (1997) melaporkan bahwa selama periode peripartum terjadi stres yang melepaskan hormon glukokortikoid. Menurut Colville & Bassert (2002), stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid di dalam darah. Mehzard et al. (2002) juga melaporkan bahwa sebelum dan setelah partus jumlah leukosit dan neutrofil meningkat sebagai respons terhadap meningkatnya kadar kortisol. Menurut Nazifi et al. (2008), peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus. Secara umum Gambar 6 memperlihatkan bahwa jumlah leukosit total setelah vaksinasi berada di atas jumlah leukosit total sebelum vaksinasi, namun demikian jumlahnya masih berada dalam kisaran normal menurut Conner et al (1967) untuk umur kebuntingan 8 dan 9 bulan masing-masing yaitu (7,646±1,636)x10 3 /µl dan (7,640±2,446)x10 3 /µl. Jumlah leukosit total meningkat pada keadaan fisiologis dan sebagai respon terhadap adanya penyakit. Leukositosis fisiologis sering terjadi pada hewan stres. Stres ini dapat berupa stres fisik, emosi atau stres yang diinduksi oleh penyakit. Perubahan jumlah leukosit total pada keadaan ini diperantarai oleh pelepasan epinefrin dan kortikosteroid. Perbedaan utama pada respons yang diperantarai hormon-hormon ini adalah 1) pada sekresi epinefrin terjadi leukositosis yang bersifat sementara dan sangat singkat muncul dalam sirkulasi darah. Pelepasan epinefrin ini mengakibatkan mobilisasi neutrofil dan limfosit dari pool marginal ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi neutrofilia dan limfositosis yang bersifat sementara, 2) pada kortikosteroid leukositosis berlangsung lebih lama di dalam sirkulasi. Pelepasan kortikosteroid ini mengakibatkan kondisi neutrofilia dan limfopenia, yaitu dengan cara meningkatkan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang dan menurunkan mobilisasi neutrofil ke jaringan. Pada limfosit mengalami limfolisis di dalam darah dan membawa limfosit ke dalam jaringan limfoid (Jain 1993).

31 4.2. Limfosit Limfosit berperan penting dalam menghasilkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler (Jain 1993). Limfosit meninggalkan sumsum tulang dan tinggal di dalam berbagai organ limfoid. Terdapat dua populasi utama limfosit yaitu limfosit B (sel B) dan limfosit T (Sel T) (Kuby et al. 2007). Limfosit berperan penting dalam mendapatkan kekebalan dapatan (adaptive immunity) (Kuby et al. 2007). 6 Limfosit (10 3 /µl) Sebelum imunomodulator ,701 Sebelum vaksinasi Vaksinasi I 4,221 3,777 Vaksinasi II 4,873 3,767 Vaksinasi III 3,387 3, Waktu (Minggu sebelum melahirkan) Gambar 7 Rataan jumlah limfosit pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi Gambar 7 memperlihatkan rataan jumlah limfosit induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada induk sapi FH bunting setelah divaksin AI H5N1 mengalami peningkatan pada 1 minggu setelah vaksinasi pertama dan menurun pada 2 minggu setelah vaksinasi pertama. Kemudian jumlah limfosit meningkat kembali pada 1 minggu setelah vaksinasi kedua. Peningkatan jumlah limfosit ini merupakan salah satu bentuk respon individu sapi terhadap adanya paparan antigen asing yaitu vaksin AI. Vaksin AI ini diduga telah merangsang peningkatan jumlah limfosit di dalam darah. Menurut Tizard (1982), bila antigen disuntikkan ke dalam jaringan, sedikit kerusakan jaringan akan merangsang sel fagositik dibawah faktor kemotaktik bermigrasi ke tempat suntikan. Mula-mula neutrofil dan kemudian makrofag. Antigen ini selanjutnya diolah dan akhirnya merangsang tanggap kebal. Menurut Wibawan et al. (2003), antigen yang berhasil melewati sistem pertahanan non spesifik akan berhadapan dengan makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC) yang memfragmentasi antigen

32 tersebut dan akan mempresentasikannya kepada sel limfosit T. Interaksi APC dan sel T ini akan menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Menurut Ganong (1995), pada keadaan ini sel dirangsang untuk membelah, membentuk klona sel yang berespon terhadap antigen tersebut. Menurut Jain (1993), lymphokine dari sel T yang distimulasi antigen akan meningkatkan limfopoiesis. Menurut Coles (1986), peningkatan jumlah limfosit terjadi karena vaksinasi dan pada infeksi kronis ketika ada rangsangan antigen yang konstan yang menghasilkan peningkatan jumlah limfosit T. Anderson & Lorraine (2006) melaporkan bahwa sel limfosit B berperan dalam imunitas humoral sedangkan sel limfosit T berperan dalam imunitas seluler. Puncak peningkatan jumlah limfosit terjadi pada minggu ke-5 (1 minggu setelah divaksinasi II). Hal ini merupakan bentuk respon imun sekunder setelah sebelumnya terpapar oleh vaksin AI yang pertama. Setelah keterpaparan terhadap antigen tertentu, sejumlah kecil sel B dan sel T aktif tetap bertahan sebagai sel memory B dan sel memory T, sel-sel ini diubah menjadi sel efektor pada paparan berikutnya terhadap antigen yang sama. Menurut Tizard (1982), limfosit berperan dalam memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus untuk menanggapi antigen yang terikat pada makrofag. Menurut Conner et al. (1967), jumlah limfosit pada minggu ke-5 ini (4,873x10 3 / µl) masih berada di dalam kisaran normal (4,721±1,383)x10 3 /µl. Penurunan jumlah limfosit pada minggu ke-6 (2 minggu setelah vaksinasi I) dan minggu ke-4 (2 minggu setelah vaksinasi II) diduga disebabkan karena adanya diferensiasi sel-sel limfosit menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Antigen menginduksi proliferasi limfosit B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memory B (Kuby et al. 2007). Pembentukan antibodi terjadi di dalam organ-organ limfoid sekunder. Saat tubuh terpapar oleh suatu imunogen, maka kelompok (folikel limfoid) di dalam korteks kelenjar getah bening akan membentuk sentrum germinativum sebagai pusat yang aktif untuk pembelahan sel B, yang berproliferasi dan mengalami pematangan pesat menjadi sel-sel yang menghasilkan imunoglobulin (Anderson & Lorraine 2006). Sintesis antibodi terutama terjadi di dalam limfonodus dan sisanya terjadi di dalam limpa, dan sumsum tulang, termasuk juga di dalam peyer peches. Jain (1993) melaporkan bahwa respon imun yang mengarah pada pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah.

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 FAISAL MUHAMAD NU MAN SUMANTRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus Jaringan limfoid sangat berperan penting untuk pertahanan terhadap mikroorganisme. Ayam broiler memiliki jaringan limfoid primer (timus dan bursa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Darah 1. Pengertian umum darah Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam

Lebih terperinci

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Carnivora. : Felis domestica

TINJAUAN PUSTAKA. : Carnivora. : Felis domestica 3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kucing Kucing termasuk keluarga Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing besar seperti singa, harimau dan macan. Kucing tersebar secara luas di seluruh Eropa, Asia Selatan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 2008). Kondisi tubuh dan lingkungan yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel darah yaitu obyek glass, cover glass, Haemicitometer, jarum suntik, pipet kapiler, mikroskop monokuler. Vitamin E

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi

Lebih terperinci

Bila Darah Disentifus

Bila Darah Disentifus Judul Fungsi Darah Bila Darah Disentifus Terdiri dari 3 lapisan yaitu : Darah di sentrifuse q Lapis paling bawah (merah) 45% adalah Eritrosit atau hematokrit q Lapis tengah (abu-abu putih) 1 % adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik atau bahan kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai jumlah tertentu.( Fardiaz S, 1992

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tikus Putih Tikus putih termasuk dalam kingdom Animalia, Filum Chordata, Klas Mamalia, Ordo Rodentina, Famili Muridae, Subfamily Muroidae, Genus Rattus, Species Rattus

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Hasil pengamatan histopatologi bursa Fabricius yang diberi formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan beberapa perubahan umum seperti adanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN KADAR HEMOGLOBIN AYAM PEDAGING UMUR 6 MINGGU YANG DIBERI SUPLEMEN KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN ZINK

JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN KADAR HEMOGLOBIN AYAM PEDAGING UMUR 6 MINGGU YANG DIBERI SUPLEMEN KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN ZINK JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN KADAR HEMOGLOBIN AYAM PEDAGING UMUR 6 MINGGU YANG DIBERI SUPLEMEN KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN ZINK RATNA DELIMA NATALIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI RUKAYAH. Gambaran Sel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Vaksinasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (Tripp 2004). Vaksinasi merupakan metode yang paling efektif

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANI SITI NURFITRIANI.

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah 2.1.1 Definisi Darah Darah merupakan jaringan cair yang terdiri dari dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Plasma darah adalah bagian cair yang terdiri dari air,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas Virus H 5 N yang sangat patogen atau yang lebih dikenal dengan virus flu burung, menyebabkan penyebaran penyakit secara cepat di antara unggas serta dapat menular

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit.

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit. Bab 10 Sumber: Biology: www. Realm nanopicoftheday.org of Life, 2006 Limfosit T termasuk ke dalam sistem pertahanan tubuh spesifik. Pertahanan Tubuh Hasil yang harus Anda capai: menjelaskan struktur dan

Lebih terperinci

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG AN NISAA NOFITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH

PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH Tujuan pembelajaran: 1. Mahasiswa mampu memahami istilah plasma, serum, hematokrit 2. Mahasiswa mampu memahami komposisi plasma

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kerbau

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kerbau TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kerbau Menurut Bhattacharya (1993), semua kerbau domestik diduga berevolusi dari arni (Bubalus arnee) yaitu kerbau liar dari India yang masih dijumpai di hutan-hutan di daerah

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG (Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT CUPU NARA SUMITA

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG (Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT CUPU NARA SUMITA PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG (Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN LEUKOSIT CUPU NARA SUMITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS HEMATOLOGI Darah Tempat produksi darah (sumsum tulang dan nodus limpa) DARAH Merupakan medium transport tubuh 7-10% BB normal Pada orang dewasa + 5 liter Keadaan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci