PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL. PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL. PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY"

Transkripsi

1 i PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Hamdayanty NIM A

4 iv

5 v RINGKASAN HAMDAYANTY. Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli. Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah salah satu virus penting penyebab gejala mosaik bergaris pada tanaman tebu di Indonesia saat ini. Penyakit SCSMV dapat menyebar dengan cepat karena dapat menular secara mekanis melalui pisau potong saat penyiapan atau pemanenan bagal dan bersifat tular bagal. Antiserum komersial untuk mendeteksi dan memonitor perkembangan SCSMV di lapangan belum tersedia. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu bebas virus. Penelitian ini bertujuan memproduksi antiserum poliklonal menggunakan antigen protein selubung SCSMV (CP-SCSMV) hasil ekspresi gen pada bakteri Escherichia coli. Gen CP-SCSMV diamplifikasi dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik gen CP yang memiliki ujung situs enzim restriksi BamHI dan HindIII, kemudian amplikon dikloning pada vektor kloning ptz57r/t dan dikonfirmasi melalui koloni PCR, isolasi plasmid, dan perunutan DNA. CP-SCSMV selanjutnya disubkloning ke vektor ekspresi pet-28a pada situs enzim restriksi BamHI dan HindIII membentuk rekombinan pet-scsmv dan ditransformasi pada 2 strain bakteri ekspresi yaitu E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Optimasi ekspresi protein dilakukan terhadap konsentrasi IPTG (0.25, 0.50, 0.75, dan 1.0 mm), suhu inkubasi (25, 30, dan 37 ºC), dan waktu panen setelah diinduksi IPTG (3, 6, 9, 12, dan 18 jam). Protein hasil ekspresi selanjutnya dipurifikasi dan digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV pada kelinci strain New Zealand. Antiserum yang dihasilkan selanjutnya diuji sensitivitas dan selektivitasnya dalam mendeteksi SCSMV dengan 3 metode deteksi serologi yaitu AGPT, I-ELISA, dan DBIA. Gen CP-SCSMV berhasil diamplifikasi dengan primer spesifik CP-SCSMV. Gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi nukleotida dan asam amino diantara 3 klon CP-SCSMV masing-masing mencapai 99.7% dan 100%. CP-SCSMV memiliki homologi sikuen nukleotida dan asam amino tertinggi masing-masing dengan isolat Indonesia (97.3%) dan Cina (98.9%). CP-SCSMV berhasil disubkloning pada vektor ekspresi dan terekspresi pada fraksi pelet (insoluble) bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Analisis SDS-PAGE menunjukkan pita protein yang berhasil terekspresi berukuran ±35.4 kda yang merupakan fusi antara protein vektor ekspresi dan CP-SCSMV. Ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 o C dengan konsentrasi IPTG 0.25 mm dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG pada E. coli BL21(DE3) sedangkan pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 o C dengan konsentrasi IPTG 0.25 mm IPTG, dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG. Ekspresi gen protein rekombinan CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu

6 vi inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CP- SCSMV. Antiserum yang dihasilkan dari 2 ekor kelinci adalah ±72.5 ml. Antiserum SCSMV tidak dapat mendeteksi SCSMV dengan metode AGPT. Sensitivitas antiserum pada metode I-ELISA mencapai pengenceran antiserum 1:1000 dan pengenceran antigen 1:100. Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif dibandingkan dengan deteksi I-ELISA yang ditunjukkan dengan sensitivitas antiserum yang mencapai 1: Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak terdeteksinya SCMV pada metode I-ELISA. Antiserum SCSMV hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi SCSMV secara serologi untuk memonitor perkembangan SCSMV di lapangan. Antiserum SCSMV ini juga dapat digunakan untuk deteksi awal SCSMV, khususnya pada kebun induk tebu sehingga diharapakan dapat memberi peran yang cukup besar dalam penyediaan bagal tebu bebas virus. Hal ini diharapkan dapat mencegah penyebaran SCSMV yang lebih luas. Pengembangan metode produksi antiserum dengan mengunakan protein rekombinan hasil ekspresi pada E. coli memberi peluang yang besar dalam produksi antiserum dalam jumlah yang besar dan kualitas yang baik. Kata kunci : deteksi serologi, imunogen, kloning, Potyviridae, tebu

7 vii SUMMARY HAMDAYANTY. Production of Sugarcane streak mosaic virus Polyclonal Antiserum Using Recombinant Coat Protein Antigen Expressed in Escherichia coli. Supervised by TRI ASMIRA DAMAYANTI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) is one of an important virus causing streak mosaic disease in sugarcane. The virus spreads rapidly since it is easily transmitted mechanically through cutting knives during preparation of planting materials or harvesting and it s a sett-borne virus. Antiserum for routine detection and to monitor the disease development in the field is not available yet commercially. An effort to produce antiserum is necessary to detect SCSMV especially to provide virus-free setts. The research was conducted to produce SCSMV polyclonal antiserum using expressed of SCSMV coat protein (SCSMV- CP) gene in Escherichia coli as antigen. SCSMV-CP gene was amplified by RT-PCR using specific primers for CP gene with BamHI and HindIII restriction enzyme sites at the end of primers, followed by cloning the amplicon into ptz57r/t and confirmation the insert by PCR colony, plasmid isolation, and DNA sequencing. Subsequently, the SCSMV- CP was subcloned into pet-28a vector expression in the BamHI and HindIII restriction site and the plasmid was transformed into two expression bacteria, i.e. E. coli BL21(DE3) and Rosetta-gami(DE3)pLysS. The concentration of IPTG (0.25, 0.50, 0.75, and 1.0 mm), incubation temperature (25, 30, and 37 ºC), and bacterial harvesting time (3, 6, 9, 12, and 18 h) after IPTG induction were optimized to find the best condition for protein expression. Expressed protein is purified and used as antigene to produce polyclonal antiserum of SCSMV on New Zealand rabbits. Sensitivity and selectivity of recombinant antiserum to detect SCSMV were examined for serological test such as AGPT, I-ELISA, and DBIA. SCSMV-CP gene was succesfully amplified by specific primer for SCSMV- CP. The SCSMV-CP sized 855 bp and encoded 285 amino acids. The homology of nucleotide and amino acid sequences among three of ptz-scsmv-cp clones are 99.7% and 100%. It showed the highest nucleotide and amino acid homology with isolate from Indonesia (97.3%) and China (98.9%), respectively. SCSMV-CP was successfully subcloned into vector expression and expressed in insoluble fraction in both bacterial host. Optimal protein expression of SCSMV-CP recombinant was obtained at temperature 25 o C with IPTG concentration 0.25 mm and harvested at 9 h after IPTG induction in E. coli BL21(DE3), while at temperature 30 o C with IPTG concentration 0.25 mm and harvested 9 h after IPTG induction in E. coli Rosetta(DE3)pLysS. SDS-PAGE analysis showed that SCSMV-CP recombinant expressed as a fusion of vector and SCSMV-CP protein with size ±35.4 kda. The optimal condition to express the SCSMV-CP recombinant gene in E. coli BL21(DE3) and E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS was affected by the incubation temperature and bacterial harvesting time. Increasing of IPTG concentration and bacterial harvesting time are not always give positive correlation with expression of CP-SCSMV gene.

8 viii The total volume of antiserum obtained from 2 immunized rabbits were ±72.5 ml. Antiserum of SCSMV unable to detect SCSMV by AGPT method. Sensitivity of antiserum SCSMV by I-ELISA is up to 1:1000 of antiserum dilution and 1:100 of antigen dilution. Detection of SCSMV by DBIA showed more sensitive than I- ELISA with antiserum dilution up to 1: Antiserum of SCSMV reacted negatively against SCMV antigen in I-ELISA method, indicating the selectivity of SCSMV antiserum. Antiserum resulted from this study can be used to detect SCSMV with serological test and monitor the disease development in the field. Antiserum SCSMV also can be used to provide a virus-free setts with early detection, especially in mother seed sugarcane plantation. It is expected can prevent the spreading of SCSMV. Development method for production of antiserum using recombinant protein which is expressed in E. coli provide a great opportunities to get an abundant antiserum with good quality. Keywords: cloning, immunogene, Potyviridae, serological test, sugarcane

9 ix Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10 x

11 xi PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

12 xii / Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Giyanto, MSi

13 xiii

14 xiv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta ala atas segala rahmat, hidayah, karunia, dan kemudahan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli. Tesis ini disusun sebagai keseluruhan rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan pada September 2014 sampai Maret 2016 guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan magister pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, IPB. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing pertama atas segala bentuk bimbingan, motivasi, ilmu, pengalaman, kesabaran, dan dukungan moral yang diberikan kepada penulis dari awal penulisan hingga saat ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku pembimbing kedua yang telah sabar membimbing, memberikan masukan, dukungan, dan perbaikanperbaikan dalam rangka kelancaran penyelesaian studi. Ucapan terima kasih pula kepada Dr Ir Giyanto MSi selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan wawasan yang diberikan untuk penyempurnaan penyusunan tesis. Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada orang tua penulis Bapak M Yusuf SE MM dan Ibu Wahida SPd, atas segala pengertian, dorongan, semangat, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Tri Puji Priyatno MSc atas kesediaannya memberikan masukan untuk pengoptimalan ekspresi gen dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Prof Dr drh Retno D Soedjoedono MS, Dr drh Okti Nadia Putri MSi, dan staf laboratorium Imunologi Veteriner FKH IPB atas bimbingan dan bantuannya dalam produksi antiserum. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang telah membiayai pendidikan magister tahun dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) yang telah membiayai sebagian besar penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian Erniawati, Syaiful Khoiri, dan Rita Kurniawati atas masukan dan bantuan yang diberikan dalam rangka kelancaran penelitan. Terima kasih kepada Sari Nurulita, Rizki Khaerunnisa, Prabawati HP, Susanti Mugi L, dan seluruh anggota Laboratorium Virologi Tumbuhan atas masukan, semangat, bantuan, dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis selama menjalankan penelitian di laboratorium. Terima kasih kepada keluarga besar Fitopatologi, terkhusus temanteman Fitopatologi 2013, dan teman-teman yang senantiasa memberikan bantuan, dukungan, dan masukan dalam penulisan tesis ini. Akhir kata penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang. Bogor, Agustus 2016 Hamdayanty

15 xv DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xvi DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan 3 Manfaat 3 Hipotesis 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Syarat Tumbuh Tanaman Tebu 3 Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) 4 Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan 6 Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli 7 Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal 7 Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan 8 3 BAHAN DAN METODE 10 Tempat dan Waktu 10 Metode Penelitian 10 Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR 10 Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli 11 Kloning Gen CP-SCSMV pada ptz57r/t 11 Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi 15 Produksi Antiserum SCSMV 16 Pengujian Antiserum SCSMV 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada ptz57r/t 19 Subkloning Gen CP- SCSMV pada pet-28a 21 Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi 23 Produksi Antiserum SCSMV 26 Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi 27 Pembahasan Umum 30 5 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 32 Saran 32 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 39 RIWAYAT HIDUP 52

16 xvi DAFTAR TABEL 1 Komposisi gel SDS-PAGE 15 2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2 dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari Gen- Bank 20 3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda 24 4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda 27 5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV 28 6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMV 29 DAFTAR GAMBAR 1 Organisasi genom SCSMV 5 2 Vektor kloning ptz57r/t 12 3 Vektor ekspresi pet-28a (Novagen 1998) 14 4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV 19 5 Konfirmasi transforman hasil TA-kloning 20 6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pet-scsmv 21 7 Ekspektasi fusi protein pet-28a ( ) dan CP-SCSMV ( ) 22 8 Protein rekombinan pet-scsmv hasil purifikasi dari E. coli BL21 (DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS 25 9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi serologi DBIA 30

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil transformasi ptz-scsmv pada E. coli strain JM107 yang ditumbuhkan pada media LBA-Ampisilin 41 2 Restriksi 5 klon ptz-scsmv dengan BamHI dan HindIII yang menghasilkan 2 pita DNA yaitu pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan ukuran CP-SCSMV dan ±2886 pb yang merupakan ukuran ptz57r/t 41 3 Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP-SCSMV pada GenBank 42 4 Runutan asam amino CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP- SCSMV pada GenBank 45 5 Susunan asam nukleat ptz-scsmv yang benar dan CP-SCSMV yang memiliki orientasi terbalik 47 6 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda 48 7 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda 49 8 Reaksi antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCSMV pada metode AGPT 50 9 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 1) Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 2) 51

18 xviii

19 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) merupakan virus yang menyebabkan mosaik bergaris (streak mosaic) pada tebu. SCSMV termasuk dalam famili Potyviridae, genus Susmovirus (Xu et al. 2010), dan memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV pertama kali dilaporkan oleh Hall et al. (1998) menginfeksi klon tebu asal Pakistan dan selanjutnya dilaporkan telah menginfeksi tanaman tebu di India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Cina (Hema et al. 1999, Chatenet et al. 2005), dan Indonesia (Damayanti dan Putra 2011). SCSMV merupakan virus yang relatif baru di Indonesia yang dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial, terutama klon PS 864, di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun Klon PS 864 merupakan klon unggulan yang banyak dikembangkan oleh petani dan pabrik gula karena anakan banyak, serempak, rendemen gula tinggi, dan tahan terhadap infeksi Sugarcane mosaic virus (SCMV) (Damayanti et al. 2011). Munculnya penyakit mosaik bergaris oleh SCSMV yang mampu menginfeksi klon PS 864 merupakan masalah baru yang dapat menurunkan produktivitas tebu di Indonesia. Penurunan hasil produksi brangkasan tebu dan rendemen gula pada tingkat insidensi penyakit SCSMV 50% berturut-turut berkisar 16 17% dan 19 21% (Asnawi 2009). Tingginya penurunan hasil produksi gula akibat infeksi SCSMV pada tebu menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan program peningkatan produksi gula untuk mencapai swasembada gula konsumsi pada tahun Infeksi SCSMV menyebar sangat cepat karena SCSMV bersifat tular bagal, penularannya difasilitasi melalui pisau potong yang digunakan saat penyiapan bagal sebelum tanam atau saat panen (Damayanti dan Putra 2011). Upaya pengendalian virus tular bahan perbanyakan seperti SCSMV ini ialah dengan menanam bagal bebas virus. Oleh karena itu, sistem deteksi yang mudah dan akurat tinggi diperlukan untuk deteksi rutin dalam penyediaan bagal tebu yang sehat. Salah satu metode untuk mendeteksi virus dalam jumlah sampel tanaman yang banyak dan hasil yang akurat adalah menggunakan uji serologi. Uji serologi yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi virus antara lain mass spectrometry analyses, double-difusion test, dot blot immunoblotting assay (DBIA), tissue-blot immunoblotting assay (TBIA), western blotting, agarose gel precipitation test (AGPT), dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014). Keberhasilan dan ketelitian uji serologi sangat tergantung pada ketersediaan antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Belum tersedianya antiserum spesifik SCSMV secara komersial menjadi salah satu kendala deteksi SCSMV secara serologi. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu bebas virus dan monitoring penyakit di lapangan. Langkah awal dalam penyediaan antiserum adalah mendapatkan siapan virus yang akan digunakan sebagai antigen dalam produksi antiserum. Siapan virus yang dipurifikasi dari tanaman terinfeksi untuk digunakan sebagai antigen dapat menghasilkan antiserum yang bersifat tidak spesifik sehingga dapat terjadi reaksi

20 2 silang dengan protein tanaman inang saat digunakan untuk deteksi (Li et al. 1998). Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode penyediaan antigen melalui ekspresi suatu gen tertentu yang disisipkan dalam plasmid vektor ekspresi pada Escherichia coli. Metode penyiapan antigen untuk produksi antiserum melalui teknik tersebut telah berhasil dilaporkan untuk beberapa virus diantaranya Sugarcane streak mosaic virus (Hema et al. 2003), Grapevine leafroll virus 2 (Ling et al. 2007), Chrysanthemum virus B (Singh et al. 2011), Blackeye cowpea mosaic virus (Koohapitagtam dan Nualsri 2013), Potato virus X dan Potato leaf roll virus (Abdel-Salam 2013). Keunggulan penyediaan antigen dengan metode ini antara lain tersedianya antigen dalam jumlah yang mencukupi setiap saat apabila diperlukan untuk produksi antiserum (Cotillon et al. 2005), dan cocok untuk penyediaan antigen dari virus yang memiliki konsentrasi yang rendah dalam jaringan tanaman, virus yang menginfeksi jaringan tanaman yang keras, dan distribusinya terbatas dalam jaringan tanaman (floem-limited) (Ling et al. 2007). Berdasarkan pertimbangan keunggulan di atas maka perlu diupayakan produksi antigen SCSMV dengan memanfaatkan teknologi ekspresi gen pada bakteri ekspresi yang selanjutnya digunakan untuk produksi antiserum. Hingga tahun 2016, belum terdapat laporan mengenai pemanfaatan metode ekspresi gen untuk penyiapan antigen virus tanaman dalam rangka produksi antiserum di Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan metode ekspresi gen perlu dikembangkan untuk menyediakan antiserum yang mencukupi yang sangat diperlukan untuk mewujudkan pendeteksian SCSMV yang cepat dan akurat sehingga diharapkan dapat mengurangi penyebaran SCSMV khususnya melalui bagal tebu terinfeksi virus. Perumusan Masalah Penyebaran SCSMV yang cepat pada perkebunan tebu di Indonesia disebabkan oleh penggunaan bahan perbanyakan vegetatif tebu yang berasal dari tanaman induk yang terinfeksi SCSMV. Salah satu upaya mencegah penyebaran SCSMV adalah dengan menggunakan bahan perbanyakan tebu yang bebas virus. Metode deteksi yang cepat dan akurat diperlukan untuk menentukan tanaman induk tebu yang bebas SCSMV, khususnya untuk mendeteksi SCSMV dalam jumlah sampel yang banyak. Deteksi serologi merupakan teknik yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Antiserum merupakan perangkat penting yang dibutuhkan dalam aplikasi deteksi serologi sehingga ketersediaan antiserum sangat diperlukan untuk mendeteksi SCSMV. Antigen SCSMV dengan konsentrasi yang tinggi dan spesifik diperlukan untuk produksi antiserum dengan kualitas yang baik. Kloning CP- SCSMV pada plasmid vektor ekspresi dan ekspresi gen CP-SCSMV pada bakteri ekspresi E. coli menjanjikan tersedianya antigen dalam jumlah yang cukup untuk produksi antiserum yang spesifik SCSMV.

21 3 Tujuan 1. Melakukan konstruksi dan memperoleh klon rekombinan CP-SCSMV. 2. Memproduksi protein rekombinan CP-SCSMV melalui teknologi ekspresi gen pada bakteri ekspresi. 3. Memproduksi antiserum poliklonal CP-SCSMV dengan antigen hasil ekspresi gen CP-SCSMV. 4. Mendapatkan titer antiserum yang optimal dalam mendeteksi SCSMV melalui metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA Manfaat Antiserum CP-SCSMV yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam deteksi rutin SCSMV secara serologi pada bahan perbanyakan vegetatif bagal dan sampel lapangan untuk pemantauan distribusi SCSMV Hipotesis 1. Gen CP-SCSMV dapat disisipkan pada plasmid vektor ekspresi sehingga diperoleh plasmid rekombinan CP-SCSMV. 2. Gen CP-SCSMV dapat diekspresikan pada bakteri ekspresi sehingga diperoleh protein rekombinan CP-SCSMV. 3. Protein rekombinan CP-SCSMV dapat digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV. 4. Salah satu titer antiserum poliklonal SCSMV yang diuji merupakan titer antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV pada masing-masing metode serologi yang digunakan. 2 TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam famili Gramineae atau Poaceae yaitu jenis rumput-rumputan tahunan dengan tinggi sekitar 2-4 m dan diameter 5 cm. Persyaratan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah hujan yang merata hingga tanaman berumur 8 bulan. Kebutuhan ini berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tebu tumbuh baik pada daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tebu > 70% dan suhu udara berkisar antara o C. Ketinggian tempat yang baik untuk pertumbuhan tebu adalah m dpl. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi merupakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan vegetatif tanaman (Moore dan Bootha 2014). Tebu dapat tumbuh pada ketinggian m di Indonesia. Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (ph) 5-8. Jika ph tanah kurang dari

22 4 4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari batas kritisnya (James 2004). Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung. Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman. Secara komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk bagal. Rata-rata setiap 1 ha kebun bibit tebu di Jawa dapat memenuhi kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan 1 ha kebun bibit tebu di luar Jawa hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih 2008). Tanaman tebu dapat dipanen dalam waktu kurang lebih 1 tahun (James 2004). Secara ekonomi tebu merupakan tanaman yang penting, karena merupakan bahan baku utama pembuatan gula pasir. Selain itu industri furfural, dextran, dan alkohol juga sangat tergantung pada tanaman ini. Produk samping industri gula dapat dikembangkan menjadi bahan nutrisi pakan ternak, bahan makanan, pembuatan kertas dan sebagai sumber energi bahan bakar (Moore dan Bootha 2014). Salah satu faktor pembatas produksi gula adalah infeksi penyakit pada tanaman tebu. Penyakit yang dapat menginfeksi tanaman tebu diantaranya karat (Puccinia kuehnii dan P. melanocephala), akar merah (Colletotrichum falcatum), bercak coklat (Cercospora koepkei dan Helminthosporium sacchari), bercak cincin (Leptosphaeria sacchari), dan layu (Cephalosporium sacchari) (Sathe et al. 2009). Penyakit yang disebabkan oleh patogen dari kelompok virus yang menyerang tanaman tebu adalah Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) (Rao et al. 2006), dan Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) (Viswanathan et al. 2008). Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) SCSMV pertama kali ditemukan oleh Hall et al. (1998) dari tanaman tebu asal Pakistan yang diekspor ke USA. Selanjutnya virus tersebut dilaporkan oleh Hema et al. (1999) telah menginfeksi tebu di India. Chatenet et al. (2005) melaporkan bahwa beberapa sampel tanaman tebu yang berasal dari Bangladesh, India, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam positif terinfeksi SCSMV. Pada tahun 2011, SCSMV telah menginfeksi pertanaman tebu di Cina yang diketahui berasal dari asesi bahan perbanyakan tebu yang diimpor India. Di luar Asia, SCSMV juga telah dilaporkan menginfeksi koleksi bahan perbanyakan tebu di Colombia (Cardona et al. 2006). SCSMV tergolong virus baru di Indonesia yang pertama kali dilaporkan pada tanaman tebu di Jawa tahun 2007 di 59 kebun tebu dengan intensitas serangan 0-62%. Gejala mosaik yang mirip dengan mosaik bergaris ditemukan di Jawa Tengah (PG Mojo dan Sragi), Yogyakarta (PG Madukismo), dan Jawa Timur (PG Tulangan dan Kebon Agung). SCSMV dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial dan dominan menginfeksi klon PS 864. Klon PS 864 saat ini merupakan klon unggulan yang banyak dikembangkan oleh para petani dan pabrik gula karena anakannya banyak dan rendemennya tinggi (Damayanti dan Putra 2011).

23 5 Nama Sugarcane streak mosaic virus pertama kali diperkenalkan oleh Hall et al. pada tahun 1998 dan dikelompokkan dalam famili Potyviridae. SCSMV memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV memiliki partikel berbentuk filamen lentur berukuran 890 x 15 nm. Asam nukleat SCSMV berupa single-sranded RNA (RNA utas tunggal), positive sense, berukuran ±10 kb, dan dienkapsidasi oleh protein selubung dengan berat molekul 40 kda (Hema et al. 1999; Hema et al. 2003; Damayanti dan Putra 2011). Genom SCSMV mengodekan poliprotein yang tersusun atas 3131 asam amino dan ditranslasi membentuk 10 protein utama yaitu P1, HC-Pro, P3, 6K1, CI, 6K2, VPg, NIa-Pro, NIb, dan CP (Xu et al. 2010, Li et al. 2011). Organisasi genom SCSMV dalam RNA untuk produksi protein adalah P1 (1 361 nt), HC-Pro ( nt), P3 ( nt), 6K1 ( nt), CI ( nt), 6K2 ( nt); VPg ( nt), NIa-Pro ( nt), NIb ( nt), dan CP ( nt) (Prameswari et al. 2013) (Gambar 1). Thermal inactivation point (TIP) yaitu suhu yang dapat menginaktifkan virus berkisar o C (Damayanti et a.l 2010), dilution end point (DEP) atau titik batas pengenceran SCSMV untuk dapat menimbulkan penyakit adalah , longevity in vitro (LIV) atau ketahanan in vitro virus yaitu waktu virus selama dalam cairan perasan masih bersifat infeksius adalah 1-2 hari pada suhu ruang dan 8-9 hari pada suhu 4 o C (Hema et al. 1999). P1 HC-Pro P3 6 K 1 CI 6 K 2 VPg NIa- Pro Gambar 1 Organisasi genom SCSMV. P1 (1 361 nt), helper component proteinase (HC-Pro) ( nt), P3 ( nt), 6K1 ( nt), cytoplasmic inclution (CI) ( nt), 6K2 ( nt); virus protein genome (VPg) ( nt), nuclear inclusion a protease (NIa-Pro) ( nt), nuclear inclusion b (NIb) ( nt), dan coat protein (CP) ( nt) (Prameswari et al. 2013) Gejala khas infeksi SCSMV mirip dengan yang disebabkan oleh Sugarcane mosaic virus (SCMV) yaitu adanya pola yang teratur antara hijau muda atau kekuningan dan hijau normal pada helai daun (Damayanti dan Putra 2011). Gejala SCSMV berupa mosaik bergaris dan pada beberapa infeksi yang parah menyebabkan warna pucat pada daun, garis-garis mosaik kekuningan pada daun, dan daun tampak lebih transparan di bawah sinar matahari dibandingkan dengan daun yang sehat (Prabowo et al. 2014). SCSMV dapat ditularkan secara mekanis dan vegetatif melalui bagal tebu yang telah terinfeksi. Penularan melalui bahan vegetatif tebu ini menjadi penting karena perbanyakan tebu sebagian besar menggunakan benih dari bagal vegetatif. Penularan melalui pisau potong saat perbanyakan benih sebelum tanam atau saat panen dapat menjadi sangat efisien dalam menyebarkan SCSMV. Selain tanaman tebu, SCSMV dapat menginfeksi beberapa tanaman lain dari famili Poaceae yaitu sorgum, jagung, dan Dactyloctenium aegypticum. Sampai saat ini belum ada Nib CP

24 6 laporan mengenai serangga vektor yang dapat menularkan SCSMV (Damayanti dan Putra 2011). Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan DNA rekombinan adalah suatu DNA hasil rekayasa yang berasal dari satu sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul rekombinan (Barnum 2005). Teknik penggabungan molekul DNA tersebut dikenal sebagai teknik DNA rekombinan. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang berupa gen target suatu makhluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai pembawa DNA asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke dalam organisme lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam organisme resipien diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein (Muladno 2010). Teknologi DNA rekombinan, juga disebut gene cloning, adalah suatu istilah yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan mentransfer informasi genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Pada prinsipnya kloning adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses pengembangbiakan sel bakteri. Pembentukan DNA rekombinan secara umum mengikuti prosedur sebagai berikut: (1) DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA klon) dari organisme donor diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian disambung dengan plasmid atau DNA vektor (cloning vector) untuk membentuk suatu bentuk baru yang disebut molekul DNA rekombinan (rdna), (2) DNA rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi DNA rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi. Sel yang digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten, (3) sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan, kemudian diisolasi, (4) sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA klon yang terkandung dalam DNA rekombinan (Glick et al. 2009). DNA vektor memiliki karakter substansial diantaranya titik awal replikasi, sisi penyisipan fragmen DNA asing, penanda genetik untuk seleksi bakteri rekombinan yang mengandung plasmid dengan DNA asing, dan sinyal transkripsi dan translasi (Yuwono et al. 2005). Salah satu DNA vektor yang dapat digunakan dalam kloning adalah ptz57r/t. Vektor ptz57r/t memiliki kelebihan timin (T) yang menggantung di ujung terbuka plasmid (T-overhang) sehingga dapat digunakan untuk menempel pada produk PCR yang memiliki kelebihan adenin (A) pada ujungnya. Plasmid ptz57r/t juga termasuk plasmid high copy number yang cocok untuk menyimpan gen insert dalam suatu inang (Thermo Scientific 2012). Pembuatan DNA rekombinan membutuhkan bantuan dua macam enzim untuk vektor yang tidak memiliki T-overhang, yaitu enzim endonuklease (restriction enzyme) yang berperan sebagai pemotong molekul DNA dan enzim ligase yang berfungsi untuk menggabungkan molekul-molekul DNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2010, Barnum 2005). Enzim restriksi ini memotong kedua molekul DNA tersebut pada lokasi yang sama dengan membentuk potongan sticky end (ujung lengket) atau blunt end (ujung tumpul). Selanjutnya enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut dengan ikatan kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan (Muladno 2010).

25 7 Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli Ekspresi gen merupakan suatu proses transkripsi materi genetik (DNA) di dalam sel menjadi RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi protein yang spesifik (Madigan et al. 2009). Bakteri yang banyak digunakan pada ekspresi gen untuk produksi protein adalah E. coli. Hal ini disebabkan pertumbuhan E. coli yang cepat, pengulturan yang mudah, stabil dalam laboratorium, dapat mengekspresikan protein asing, dan dapat menoleransi protein asing yang diekspresikan. Pertumbuhan E. coli yang cepat menjadi salah satu hal yang penting produksi protein yang maksimal (Lodge et al. 2007). Gen-gen pada E. coli yang bertanggung jawab dalam ekspresi gen, pada umumnya diorganisasikan dalam struktur operon. Suatu operon adalah organisasi beberapa gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Sebagai contoh adalah operon lac yaitu operon yang mengendalikan kemampuan metabolisme laktosa pada bakteri E. coli. Dalam operon lac terdapat tiga macam gen struktural yang mengode gen protein yang berbeda. Gen struktural ini akan ditranskripsi bersama-sama menjadi satu untuaian mrna. Proses transkripsi dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Aktivitas promotor akan diatur oleh gen represor (laci) yang mengode protein represor. Operator adalah bagian integral dalam promotor lac yang merupakan tempat pelekatan molekul protein represor (Yuwono 2005). Konsep ini dikembangkan dalam DNA rekombinan dengan menyisipkan DNA target pada bagian downstream promotor yang selanjutnya akan akan ditranslasi menjadi protein. Ekspresi gen dalam sel prokariot seperti E. coli diinduksi dengan isopropyls-d-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG akan berikatan dengan protein represor sehingga tidak terjadi interaksi antara protein represor dengan operator. Hal ini mengakibatkan RNA polimerase dapat berikatan dengan promoter yang selanjutnya dapat memulai transkripsi dan translasi protein yang diinginkan. Jika tidak terdapat suatu induser (IPTG) maka protein represor akan berikatan dengan operator dan mencegah RNA polimerase untuk dapat mentranskripsi gen asing sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi suatu protein rekombinan (Snustad dan Simmons 2011). Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal Antibodi poliklonal adalah antibodi yang dapat diperoleh dari hasil hiperimunisasi. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu antigen spesifik. Hewan yang sering digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara lain, ayam, domba, marmot, hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan harus berdasarkan pada: 1) jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) hubungan antara donor antigen dan resipien penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik yang lebih jauh, mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer tinggi), 3) karakteristik penting antibodi yang akan dibuat. Beberapa manfaat antibodi poliklonal antara lain: 1) antibodi poliklonal mampu mengenali banyak epitop, sehingga antibodi poliklonal lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam, 2) antibodi poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci, domba, kambing, dan ayam, 3) antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan

26 8 ketika antigen alami pada spesies tak teruji tidak diketahui. Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Burry 2010). Imunisasi dapat dilakukan dengan mengemulsikan antigen dengan adjuvan. Salah satunya adalah Freund s adjuvan yang terdiri atas adjuvan Freund lengkap (Freund adjuvant complete, FAC) dan adjuvan Freund tidak lengkap (Freund adjuvant incomplete, FAI). FAC adalah pengemulsi air-dalam-minyak yang mengandung surfaktan mannide monoleate dan ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum yang memiliki sisi aktif muramil dipeptida (nacetylmuramyl-l-alanyl-d-isoglutamin). Muramil dipeptida berperan untuk merangsang fungsi makrofag dan respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Adjuvan ini memiliki tingkat toksisitas yang tinggi dan sebagian besar hanya diberikan untuk satu kali penyuntikan. Rute penyuntikan terbaik melalui subkutan atau intradermal. FAI tidak mengandung ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum sehingga efektifitas dalam merangsang pembentukan antibodi lebih rendah dibandingkan dengan FAC, namun FAI memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah. Kombinasi penggunaan kedua adjuvan tersebut dapat memberikan produksi antibodi yang optimal (Pohanka 2009). Imunoglobulin (Ig) merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik. Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul, dan struktur antigeniknya. Terdapat lima golongan imunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk imunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan Ig G memiliki persentase jumlah paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan dengan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E, dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat molekul dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder (Guyton dan Hall 2007). Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai berat identik serta dua rantai ringan. Rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel. Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks komplemen, kemudahan Ig G dalam melewati membran, dan beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007). Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit

27 tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Metode deteksi dan identifikasi virus secara serologi yang banyak diaplikasikan diantaranya adalah agarose gel precipitation test (AGPT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan dot blot immunoblotting assay (DBIA). Agarose gel precipitation test (AGPT) merupakan metode deteksi yang termasuk deteksi konvensional namun masih banyak digunakan sampai saat ini. AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi. Prinsip pengujian ini adalah pergerakan molekul antibodi dan antigen melalui pori agarosa yang diletakkan mendatar pada tempat-tempat dengan jarak yang beraturan dan saling berdifusi sehingga terjadi hubungan tarik menarik antara molekul-molekul tersebut dalam agarosa. Setelah sampai pada lokasi tertentu, kedua molekul-molekul tersebut akan saling bertemu dan reaksi antara antigen dengan antibodi ini ditunjukkan oleh terbentuknya garis presipitasi berupa garis putih yang tampak pada tempat gelap (Hull 2014). Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik deteksi serologi yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi virus dan patogen tanaman lainnya (Agrios 2005). Prinsip dari teknik ini adalah terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang teradsorpsi ke sumur plat mikrotiter yang terbuat dari bahan polistirena. Keunggulan deteksi serologi dengan ELISA untuk virus tumbuhan di antaranya virus dapat terdeteksi walaupun dalam konsentrasi yang rendah (1-10 ng ml -1 ), antibodi yang digunakan sangat sedikit, metode ini dapat digunakan untuk deteksi virus dalam skala besar, dan hasil deteksi dapat diukur secara kuantitatif (Djikstra dan De Jager 1998). Pada umumnya ELISA dapat dibagi menjadi 2 yaitu direct double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus). Pada metode DAS-ELISA, antigen diletakkan setelah antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antigen. DAS-ELISA memerlukan antibodi sekunder yang spesifik untuk antigen yang dideteksi. Pada metode I-ELISA, antigen diletakkan terlebih dahulu kemudian antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antibodi primer. Hasil deteksi dikatakan positif apabila terjadi perubahan warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter setelah pemberian enzim substrat. DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, namun penggunaannya dalam program indexing memiliki masalah karena spesifikasinya yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan serologi antara virus lebih stabil (Burns 2010). Dot blot immunobinding assay (DBIA). DBIA merupakan uji serologi yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan prosedur yang sangat sederhana. Antibodi dan sampel tanaman yang diuji diblot pada kertas membran nitroselulosa. DBIA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan jumlah sampel yang ada. Perubahan menjadi warna ungu pada kertas membran menunjukkan hasil deteksi positif yang berarti terjadi ikatan yang spesifik antara antibodi dan sampel tanaman yang diuji (Sumi et al. 2009). Dalam pengerjaannya, teknik DBIA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus, selain itu sampel yang sudah diblot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010). 9

28 10 3 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB; Laboratorium Imunologi Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB mulai September 2014 hingga Maret Metode Penelitian Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR Ekstraksi RNA total. Isolat SCSMV asal Pasuruan diperoleh dari koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. RNA total diisolasi dari 0.1 g daun terinfeksi SCSMV dengan metode Cethyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) (Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 1 g daun tebu yang menunjukkan gejala infeksi SCSMV digerus dengan nitrogen cair pada mortar steril, setelah itu ditambahkan 500 μl bufer ekstraksi. Hasil gerusan dimasukan ke dalam tabung mikro 2 ml dan diinkubasi pada suhu 65 o C selama 30 menit. Pada masa inkubasi, tabung dibolak-balik setiap 10 menit untuk membantu proses lisis. Sebanyak 500 μl fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1) ditambahkan dan disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml dan ditambahkan kloroform:isoamil alkohol (24:1) sebanyak 1x volume supernatan dan disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan etanol 70 % sebanyak 1x volume supernatan. Tabung mikro disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 5 menit. RNA total dikeringanginkan dan dilarutkan dalam 50 μl bufer TE. Sintesis cdna. RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cdna berdasarkan metode Damayanti et al. (2010). Premiks untuk sintesis cdna dicampurkan pada tabung mikro yang terdiri atas 2.5 µl RNA total yang berfungsi sebagai cetakan, 1 µl 10 µm 3 -primer oligo d(t)20, 0.5 µl 10 mm dntp (deoksi ribonukleotida triphosphat), dan air bebas nuklease ditambahkan hingga konsentrasi campuran 7 µl. Premiks didenaturasi selama 5 menit pada suhu 65 C dan selanjutnya didinginkan pada es. Pada premiks selanjutnya ditambahkan 2 µl 5x RT bufer, 0.5 µl RNAse Inhibitor (40 U µl -1 ) (Ribolock, Thermo Scientific), 1 µl 50 mm DTT (dithiothreitol), dan 0.5 µl MMuLV (200 U µl -1 ) (Revertaid, Thermo Scientific), diinkubasi selama 1 jam pada suhu 42 C dan selama 5 menit pada suhu 95 C untuk inaktivasi enzim. PCR. Amplifikasi dilakukan dengan total volume premiks PCR sebanyak 25 μl yang terdiri atas 1 µl cdna, 1 µl 10 µm primer forward, 1 µl 10 µm primer reverse, 12.5 µl Go Taq Green (Thermo Scientific), dan 9.5 µl air bebas nuklease. Primer forward SCSMV-BamF4 (5 -AAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACA- 3 ) dan primer reverse SCSMV-HindR3 (5 -TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCG CG-3 ) (Damayanti 2014, komunikasi pribadi) yang masing-masing disisipi situs

29 11 restriksi BamHI dan HindIII (garis bawah) digunakan untuk mengamplifikasi gen CP-SCSMV. Amplifikasi dilakukan berdasarkan metode Damayanti et al. (2010) menggunakan program predenaturasi pada 94 o C selama 5 menit dan dilanjutkan dengan program amplifikasi yang terdiri atas 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada suhu 94 o C selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 47 o C selama 1 menit, dan pemanjangan DNA pada suhu 72 o C selama 2 menit. PCR diakhiri dengan tahapan ekstensi pada suhu 72 o C selama 30 menit. Waktu ekstensi selama 30 menit bertujuan memperpanjang poly-(a) pada ujung amplikon sehingga memperbesar peluang menempelnya amplikon pada vektor TA pada tahap kloning. Visualisasi hasil PCR. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1% dalam 0.5x TBE. Sebanyak 5 μl penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific) dan 5 μl DNA hasil PCR masing-masing dimasukkan ke dalam sumur gel dan dielektroforesis selama 50 menit pada tegangan 50 V. Gel selanjutnya direndam pada 0.1% etidium bromida selama 15 menit dan air steril selama 5 menit. Gel kemudian divisualisasi di bawah UV transluminator. Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli Sel kompeten merupakan sel bakteri yang digunakan dalam proses transformasi plasmid pada tahapan kloning (E. coli JM107) dan subkloning (E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS). Pembuatan sel kompeten dilakukan berdasarkan metode Sambrook dan Russel (2001). Ketiga strain E. coli masingmasing dikultur dalam 5 ml media LB dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 o C. Sebanyak 300 μl hasil kultur ditambahkan ke dalam 60 ml media luria bertani (LB) dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37 o C hingga nilai OD600 = Hasil kultur kedua kemudian dipindahkan ke tabung mikro sebanyak 2 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 o C. Supernatan dibuang dan pelet bakteri yang terbentuk diresuspensi dengan menggunakan 1 ml 50 mm CaCl2 dan diinkubasi di dalam wadah berisi es selama 30 menit. Setelah diinkubasi, bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 o C. Pelet diresuspensi dengan 50 mm CaCl2 20% gliserol sebanyak 50 µl. Suspensi tersebut disimpan di dalam lemari es suhu -80 o C untuk digunakan dalam proses transformasi. Kloning Gen CP-SCSMV pada ptz57r/t Kloning merupakan teknik untuk menggabungkan molekul-molekul DNA secara in vitro sehingga diperoleh molekul DNA rekombinan sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum, tahapan kloning adalah ligasi, transformasi, dan konfirmasi transforman. Ligasi. Ligasi merupakan proses penyambungan antara DNA vektor dan DNA sisipan dengan bantuan T4 DNA ligase. Vektor kloning yang digunakan adalah ptz57r/t yang memiliki T-overhang (Gambar 2). Ligasi dilakukan mengikuti protokol InsTAclone PCR Cloning Kit, pembuat ligase dan plasmid ptz57r/t (Thermo Scientific). Reaksi ligasi terdiri atas 3 µl DNA hasil amplifikasi PCR, 1 µl DNA vektor ptz57r/t (55 ng μl -1 ), 2 μl 5x bufer ligasi, 1 μl T4 DNA ligase (5 U μl -1 ), dan ditambahkan ddh2o sampai mencapai volume akhir 10 μl. Premiks ligasi kemudian diinkubasi pada suhu 4 o C selama 16 jam. Hasil ligasi ptz57r/t dan CP-SCSMV selanjutnya disebut ptz-scsmv.

30 12 (a) (b) Gambar 2 Vektor kloning ptz57r/t. a. Peta vektor kloning ptz57r/t yang mengandung beberapa situs restriksi. b. Sisi penyisipan hasil PCR dan sikuen pada daerah multiple cloning site (MCS) ptz57r/t (Thermo Scientific 2012) Transformasi. Plasmid ptz-scsmv selanjutnya ditransformasi ke E. coli JM107 kompeten dengan metode perlakuan kejut panas (heat shock) berdasarkan Sambrook dan Russel (2001). Transformasi dilakukan dengan mencampur 2.5 μl plasmid rekombinan hasil ligasi dengan 50 μl sel kompeten dan diinkubasi selama menit pada es. Selanjutnya dilakukan perlakuan kejut panas pada suhu 42 C selama detik dan segera diinkubasi pada es selama 2 menit. Sebanyak 500 μl medium SOC (2% tripton, 0.5% yeast extract, 10 mm NaCl, 2.5 mm KCl, 10 mm MgCl2, 10 mm MgSO4, 20 mm glukosa) ditambahkan pada bakteri dan diinkubasi bergoyang 150 rpm selama 1 jam pada suhu 37 C. Bakteri disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 3 menit. Sebanyak 400 μl supernatan dibuang dan pelet dihomogenisasi dengan LB yang tersisa. E. coli JM107 yang ditransformasi ptz-scsmv ditumbuhkan dalam media LB agar yang mengandung ampisilin 50 μg ml -1 (LBA-ampisilin).

31 Konfirmasi Transforman. Konfirmasi transfoman dilakukan untuk menentukan koloni bakteri yang membawa plasmid rekombinan ptz-scsmv dengan teknik PCR koloni, isolasi plasmid, restriksi plasmid, dan perunutan basa nukleotida plasmid ptz-scsmv. a. PCR Koloni PCR koloni dilakukan dengan menggunakan sepasang primer yang digunakan saat amplifikasi awal gen CP-SCSMV dengan campuran reaksi sebagai berikut: 12.5 μl Go Taq Green, 1 μl 10 mm primer BamF4, 1 μl 10 mm primer HindR3, dan ddh2o ditambahkan hingga volume 25 μl. Selanjutnya koloni bakteri diambil dengan ujung tip dan dilarutkan pada larutan PCR koloni di atas. Replika dibuat untuk keperluan lebih lanjut dengan menggores ujung tip yang mengandung koloni bakteri pada LBA-ampisilin. Program amplifikasi PCR koloni dilakukan sesuai dengan program PCR saat amplifikasi DNA CP-SCSMV. Koloni yang diduga membawa plasmid rekombinan ptz-scsmv menghasilkan pita DNA berukuran ±850 pb. b. Isolasi DNA Plasmid Rekombinan Koloni bakteri yang diduga membawa plasmid ptz-scsmv diisolasi plasmidnya menggunakan Plasmid Miniprep Kit sesuai dengan prosedur yang direkomendasikan pembuatnya (Thermo Scientific). Satu koloni bakteri diinokulasi ke dalam 3 ml LBA-ampisilin dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 C. Kultur bakteri selanjutnya dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml dan disentrifugasi pada 8000 rpm selama 2 menit. Sentrifugasi dilakukan 2 kali untuk 3 ml kultur bakteri. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, ditambahkan 250 µl resuspension solution yang mengandung 1% RNAse, dan divorteks hingga homogen. Pada larutan ditambahkan 250 μl lysis solution dan tabung dibolak-balik secara hati-hati sebanyak 6 kali. Langkah selanjutnya adalah penambahan 350 μl neutralization solution dan tabung dibolak-balik secara hatihati sebanyak 6 kali. Sampel disentrifugasi pada rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke column lalu disentrifugasi kembali pada rpm selama 2 menit. Cairan pada collection tube dibuang, lalu ditambahkan 500 μl wash solution ke column dan disentrifugasi pada rpm selama 2 menit. Tahapan ini diulang sebanyak 2 kali. Cairan pada collection tube dibuang, kemudian column disentrifugasi kembali dengan keadaan kosong pada rpm selama 2 menit. Column dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml dan dielusi dengan 50 μl bufer elusi. Tabung didiamkan selama 2 menit pada suhu kamar dan disentrifugasi pada rpm selama 3 menit. DNA hasil isolasi plasmid disimpan pada suhu -20 C sampai DNA tersebut siap untuk digunakan. c. Perunutan Basa Nukleotida ptz-scsmv Plasmid ptz57r/t yang menunjukkan hasil positif pada koloni PCR dan isolasi DNA plasmid rekombinan dikirim untuk perunutan basa nukleotida ke First Base, Malaysia menggunakan M13/pUC sequencing primer (-20) (5 - GTAAAACGACGGCCAGT-3 ) dan M13/pUC reverse sequencing primer (-26) (5 -CAGGAAACAGCTATGAC-3 ). Perunutan nukleotida plasmid ptz-scsmv dimaksudkan untuk menentukan klon yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya dengan memastikan bahwa pada plasmid telah tersisipi gen CP- SCSMV dan memastikan sikuen gen CP-SCSMV yang akan digunakan. Hasil perunutan nukleotida juga digunakan untuk analisis kesejajaran dengan sikuen nukleotida CP-SCSMV yang telah dideposit pada GenBank menggunakan program 13

32 14 Basic Local Alignment Search Tools (BLAST). Analisis tingkat homologi sikuen nukleotida dan asam amino diperoleh dengan program Clustalw multiple alignment dan sequences identity matrix menggunakan perangkat lunak Bioedit versi Klon CP-SCSMV yang utuh; tidak ditemukan delesi atau mutasi titik dalam gen CP-SCSMV, dipilih untuk digunakan pada tahap subkloning ke vektor ekspresi pet-28a. Subkloning Gen CP- SCSMV pada pet-28a Tahapan subkloning secara garis besar sama dengan tahapan kloning yaitu ligasi, transformasi, dan konfirmasi transforman. Vektor ekspresi yang digunakan pada tahapan subkloning adalah pet-28a (Novagen) (Gambar 3). Sebelum ligasi dilakukan restriksi pada vektor ekspresi pet-28a dan plasmid ptz-scsmv masing-masing menggunakan BamHI dan HindIII. Campuran restriksi terdiri atas 18 μl plasmid ptz-scsmv atau pet-28a, 6 μl enzim BamHI (10 U μl -1 ), 3 μl enzim HindIII (10 U μl -1 ), 6 μl 10x bufer BamHI, dan ditambahkan air bebas nuklease hingga volume 60 μl. Suspensi restriksi ditingkatkan menjadi 6 kali reaksi untuk mengoptimalkan jumlah DNA yang diperoleh. Campuran restriksi diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o C dan dielektroforesis pada 1% gel agarosa selama 50 menit dengan tegangan 50 V. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan UV transluminator. DNA pada gel agarosa yang sesuai dengan ukuran CP SCSMV dan pet-28a masing-masing dipotong dan diekstraksi menggunakan Gel/PCR DNA fragment extraction kit sesuai dengan yang direkomendasikan pembuatnya (Genaid). Gambar 3 Vektor ekspresi pet-28a (Novagen 1998). Tanda panah tebal ( ) menunjukkan daerah multiple cloning site (MCS), Kan: resisten terhadap antibiotik kanamisin, ori: titik awal replikasi plasmid.

33 15 Ligasi dilakukan dengan mencampurkan 3 μl CP-SCSMV hasil ekstraksi, 1 μl pet-28a hasil ekstraksi, 1 μl enzim T4 DNA ligase, 2 μl 5x bufer ligasi, dan 3 μl ddh2o. Ligasi dilakukan pada suhu 4 o C selama 16 jam dan menghasilkan pet-28a yang tersisipi gen CP-SCSMV (pet-scsmv). Hasil ligasi selanjutnya ditransformasi dengan metode kejut panas (heat shock) ke E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dan ditumbuhkan pada media LB agar yang mengandung kanamisin 25 µg ml -1 (LBA-kanamisin). Koloni yang tumbuh pada media LBAkanamisin selanjutnya di PCR koloni dengan menggunakan primer SCSMV- BamF4 dan SCSMV-HindR3. Koloni bakteri yang positif mengandung CP- SCSMV yang ditandai dengan teramplifikasinya DNA berukuran ±850 pb selanjutnya digunakan untuk ekspresi gen CP-SCSMV. Analisis asam amino yang terbentuk dari fusi protein pet-scsmv dilakukan menggunakan Server Expasy Proteomic. Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi Optimasi Ekspresi Gen CP-SCSMV. Bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS yang positif membawa plasmid rekombinan pet- SCSMV masing-masing diinokulasi ke dalam 3 ml media cair LB-kanamisin. Biakan diinkubasi bergoyang pada 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 o C. Setelah inkubasi, sebanyak 1% biakan bakteri diinokulasi ke media cair LB-kanamisin dan diinkubasi pada suhu 37 o C pada shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm hingga mencapai OD600 = Optimasi kultur ekspresi dilakukan terhadap 3 faktor yaitu konsentrasi IPTG (0.25, 0.5, 0.75, 1 mm), suhu inkubasi (25, 30, 37 o C), dan waktu panen bakteri (3, 6, 9, 12, 18 jam) setelah diinduksi IPTG. Sebanyak 3 μl bakteri dipeletkan dengan disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 5 menit. Analisis SDS-PAGE. Analisis SDS-PAGE dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum ekspresi CP-SCSMV berdasarkan ketebalan pita protein sesuai berat molekul fusi protein CP-SCSMV dan vektor pet-28a. SDS-PAGE dilakukan berdasarkan prosedur Laemmli (1970) dengan menggunakan Vertical Gel Electrophoresis System model V Pada SDS-PAGE digunakan 2 jenis gel yaitu separating gel dan stacking gel (Tabel 1). Separating gel 12.5% dimasukkan pada cetakan gel. Setelah separating gel membeku maka stacking gel 4% dituang di atas separating gel yang sudah membeku dan stacking gel ditunggu sampai membeku. Setelah stacking gel membeku, gel dipindahkan ke dalam alat elektroforesis. Bahan Tabel 1 Komposisi gel SDS-PAGE (Sambrook dan Russel 2001) Separating gel 12.5% (μl) Stacking Gel (μl) H2O Tris HCl 1.5 M SDS 0.4% ph Tris HCl 0.5 M SDS 0.4% ph Akrilamid 30% TEMED (tetramethylethylenediamine) Amonium persulfat 10%

34 16 Penyiapan sampel dilakukan dengan meruspensikan pelet bakteri dengan bufer lisis ph 8.0 (50 mm NaH2PO4, 300 mm NaCl, 10 mm imidazol) dan diinkubasi bergoyang pada kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Sampel disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 5 menit dan dipisahkan antara pelet bakteri (insoluble) dan supernatan (soluble). Fraksi insoluble dilarutkan dengan 500 μl bufer sampel (62.5 mm Tris-HCl ph 6.8, 2% SDS, % bromophenol blue, 5% β-merkaptoetanol, 10% gliserol), dan fraksi soluble dicampur dengan 1x bufer sampel. Fraksi insoluble, soluble, dan penanda protein unstained (Thermo Scientific) didenaturasi pada suhu 95 o C selama 10 menit, didinginkan pada es, dan dimasukkan pada sumuran gel. Elektroforesis dilakukan menggunakan Bio-Rad power pac 300 selama 4 jam pada tegangan 150 V. Pewarnaan gel dilakukan menggunakan PageBlue TM Protein Staining Solution (Thermo Scientific). Tahap awal dilakukan dengan meletakkan gel pada wadah dan ditambah 100 ml akuades steril. Gel dipanaskan di microwave selama 1 menit. Gel selanjutnya diagitasi selama 4 menit dan akuades sisa pencucian dibuang. Tahap ini diulang sebanyak 3x. Sebanyak 20 ml PageBlue TM Protein Staining Solution selanjutnya dituang pada wadah gel dan di-microwave selama 30 detik. Gel diagitasi selama 30 menit. Setelah itu gel dicuci kembali dengan akuades steril hingga pita protein tampak jelas. Purifikasi Protein CP-SCSMV. Protein hasil ekspresi yang paling baik dipurifikasi untuk digunakan sebagai antigen. Purifikasi protein CP-SCSMV dilakukan pada kondisi denaturing menggunakan nickel nitrilotriacetic acid (Ni- NTA) spin column dengan metode yang direkomendasikan pembuatnya (Qiagen). Sebanyak 5 ml sel bakteri dicairkan selama 15 menit dan dilisiskan dengan 700 μl bufer B-7M urea (7 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, ph 8) dan ditambahkan dengan 15 U benzonase nuclease, kemudian sel diinkubasi dengan agitasi selama 15 menit pada suhu ruang. Suspensi bakteri disentrifugasi pada rpm selama 30 menit pada suhu ruang dan supernatan diambil untuk analisis SDS-PAGE. Ni-NTA spin column diekuilibrasi dengan 600 μl bufer B-7M urea dan disentrifugasi pada kecepatan 2900 rpm selama 2 menit. Sebanyak 600 μl supernatan hasil lisis dimasukkan pada Ni-NTA spin column yang telah diekuilibrasi dan disentrifugasi pada kecepatan 1600 rpm selama 5 menit. Cairan yang melewati column diambil untuk analisis SDS-PAGE. Sebanyak 600 μl bufer C (8 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, ph 6.3) dimasukkan pada Ni-NTA spin column untuk proses pencucian dan disentrifugasi pada 2900 rpm selama 2 menit. Pencucian ini dilakukan sebanyak dua kali. Protein pada column kemudian dielusi masing-masing dengan menggunakan 2 jenis bufer elusi yaitu bufer E (8 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, ph 4.5) dan bufer elusi dengan penambahan 500 mm imidazol (bufer C dengan 500 mm imidazol). Elusi dilakukan dengan menambahkan 200 μl bufer elusi pada column dan disentrifugasi pada 2900 rpm selama 2 menit sehingga diperoleh protein SCSMV. Produksi Antiserum SCSMV Tahapan umum dalam produksi antiserum adalah perlakuan imunisasi, pengumpulan darah, dan pengumpulan serum. Imunisasi. Dua ekor kelinci betina strain New Zealand diimunisasi dengan antigen CP-SCSMV masing-masing dengan dosis antigen 150 μg/ekor. Imunisasi dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu 3 minggu. Antigen pada imunisasi

35 17 pertama ditambah adjuvan Freund lengkap (Freund s complete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Antigen pada imunisasi kedua dan ketiga ditambah adjuvan Freund tak lengkap (Freund s incomplete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi dengan adjuvan disuntikkan pada subkutan yaitu area bawah kulit pada lapisan lemak. Imunisasi keempat dilakukan tanpa menggunakan adjuvan dan disuntikkan pada daerah intravena yaitu pada pembuluh vena auricularis pada telinga kelinci. Pengambilan Darah. Darah kelinci diambil sebanyak ml melalui pembuluh vena auricularis dengan menggunakan disposable syringe 3 ml. Pengambilan darah dilakukan setiap dua minggu setelah imunisasi untuk mengecek titer antiserum. Pengambilan akhir darah kelinci dilakukan seminggu setelah imunisasi keempat yaitu pada saat titer antiserum SCSMV telah tinggi pada serum darah. Pengumpulan Serum. Darah yang diambil dari kedua kelinci, diinkubasi pada suhu ruang hingga darah membeku dan serum darah telah terbentuk. Serum darah disentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit, dipisahkan, dan disimpan pada suhu 20 o C Purifikasi Antiserum. Serum yang dihasilkan dimurnikan menggunakan metode presipitasi dengan amonium sulfat jenuh menurut Hampton et al. (1990). Amonium sulfat ditambahkan pada serum hingga konsentrasi akhir 40% dan diinkubasi selama 18 jam pada suhu 4 o C. Campuran serum disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 30 menit sehingga terbentuk supernatan dan presipitat. Presipitat selanjutnya diresuspensi pada PBS 0.01M sebanyak 0.4x volume awal serum. Campuran serum kemudian didialisis dalam PBS 0.01M ph 7.0 sebanyak 100x volume serum pada suhu 4 o C dengan 3 kali penggantian PBS setiap 6 jam. Konsentrasi protein dalam serum yang menunjukkan konsentrasi antiserum dapat diketahui dengan mengukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 280 nm. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan nanodrop. Pengujian Antiserum SCSMV Antiserum yang dihasilkan diuji dengan metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA. Agarose Gel Precipitation Test (AGPT). Reaksi antigen-antibodi pada AGPT dilakukan pada media 1% gel agarosa (Sigma, USA). Gel dibuat dengan melarutkan 0.1 g agarosa, 0.01 g natrium azida dalam 5 ml phosphate bufer saline (PBS) ph 7.2 dan 5 ml akuabides yang dipanaskan dalam microwave selama 1 menit. Agarosa cair tersebut kemudian dituangkan di atas kaca preparat setebal sekitar 2 mm dan dibiarkan pada suhu ruang sampai memadat. Setelah gel agarosa memadat, selanjutnya dibuat lubang-lubang pada gel agarosa tersebut dengan menggunakan cetakan (puncher) yang terdiri atas tujuh lubang berbentuk heksagonal. Suspensi antigen disiapkan dengan menggerus 0.1 gram daun tebu yang positif terserang SCSMV dalam 1x PBS dengan perbandingan 1:10 (b/v). Antigen berupa protein CP-SCSMV murni hasil purifikasi juga digunakan sebagai pembanding. Masing-masing antigen dan antiserum dimasukkan ke dalam lubang pada gel agarosa sebanyak 25 μl dan. Gel agarosa tersebut kemudian diinkubasi selama jam pada tempat yang lembab dan suhu ruang. Pengamatan terhadap terbentuknya garis presipitasi reaksi antigen-antibodi pada media gel agarosa diamati setiap hari dan didokumentasikan.

36 18 Indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA). Pada metode ini dilakukan pengenceran antiserum 1:100, 1:250, 1:500, 1:750, 1:1000, dan 1:2000, dan juga dilakukan pengenceran cairan perasan tanaman sakit:bufer (b/v) yaitu 1:10, 1:50, 1:100, 1:500, dan 1:1000. Sampel tanaman tebu sebagai antigen digerus dalam bufer coating [1.59 g Na2CO3, g NaHCO3, 0.20 g NaN3, 20 g polyvinylpyrrolidone (PVP) dalam 1 L air steril, ph 9.6]. Sebanyak 100 μl cairan perasan diisi ke dalam sumuran ELISA dan diinkubasi semalam pada suhu 4 ºC. Setelah itu, plat dicuci sebanyak 4-8 kali dengan phosphate buffer saline Tween-20 (PBST) [8 g NaCl, 2 g KH2PO4, 1.15 g Na2HPO4, 0.2 g KCl 0.5 ml, Tween 20 yang dilarutkan dalam 1 L air steril, ph 7.4]. Sebanyak 100 μl antiserum rekombinan CP-SCSMV yang telah dilarutkan dalam bufer conjugate [2 g bovine serum albumin, 20 g PVP, 0.2 g NaN3 dalam 1 liter air steril, ph 7.4] diinkubasi pada suhu 37 o C selama 2 jam dan dicuci dengan PBST sebanyak 4-6 kali. Tiap sumuran selanjutnya diisi dengan 100 μl antiserum goat anti rabbit-igg alkaline phosphatase yang telah dilarutkan dalam bufer conjugate dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 2 jam. Sumuran ELISA selanjutnya dicuci 4-6 kali dengan PBST. Setelah itu, tiap sumuran diisi dengan 100 μl substrat p-nitrofenilfosfat (PNP). Setiap 1 tablet PNP (5 mg) dilarutkan dalam 5 ml bufer PNP [97 ml dietanolamin, 0.2 g NaN3, 0.1 g MgCl2 dalam 1 L air steril, ph 9.8] dan diinkubasi pada suhu ruang hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning. Hasil ELISA dibaca secara kuantitatif dengan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Sampel dinyatakan positif jika nilai absorbansi ELISA (NAE) sampel uji 2 kali kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol negatif (tanaman sehat). Dot Blot Immunobinding Assay (DBIA). Reaksi antigen-antibodi pada DBIA berdasarkan prosedur yang digunakan Mahmood et al. (1997) dilakukan pada membran nitroselulosa. Tanaman tebu yang sehat, tanaman tebu terinfeksi SCSMV dan SCMV masing-masing digerus dengan menggunakan 1x tris buffer saline (TBS) (0.02 M Tris HCl, 0.15 M NaCl, ph 7.5) dengan perbandingan 1 : 10. Cairan perasan tanaman selanjutnya diteteskan pada membran dan diinkubasi pada suhu ruang hingga cairan perasan terserap sempurna pada membran. Membran selanjutnya diblocking dengan larutan TBS yang mengandung skim milk 2% dan Triton X-100 2%, diinkubasi bergoyang pada 150 rpm selama 2 jam. Selanjutnya membran dicuci dengan direndam dalam akuades dan diinkubasi bergoyang selama 5 menit. Pencucian diulang sebanyak 5 kali. Membran kemudian direndam dalam antiserum rekombinan SCSMV yang dilarutkan pada TBS yang mengandung skim milk 2% dan dinkubasi bergoyang selama 2 jam. Pengeceran antiserum yang digunakan adalah 1:100, 1:500, 1:1000, 1:2000, 1:3000, 1:4000, 1:5000, dan 1: Setelah itu, membran dicuci dengan tris buffer saline Tween-20 (TBST) (TBS % tween 20) selama 5 menit dan diulang sebanyak 5x. Membran selanjutnya direndam pada antiserum goat anti rabbit-igg alkaline phosphatase yang dilarutkan pada TBS + skim milk 2% perbandingan 1:5000. Membran dicuci dengan TBST selama 5 menit dan diulang sebanyak 5x. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan merendam membran dalam substrat nitro blue tetrazolium (NBT) 75 mg ml -1 dan bromo chloro indolyl phosphate (BCIP) 50 mg ml -1 yang dilarutkan dalam bufer alkalin fosfatase (0.1 M Tris HCl, 0.1 M NaCl, 5 mm MgCl2). Reaksi positif SCSMV ditandai dengan perubahan warna sampel di membran menjadi ungu.

37 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada ptz57r/t Proses amplifikasi menggunakan teknik PCR merupakan metode enzimatis yang dilakukan untuk melipatgandakan (amplifikasi) molekul DNA dalam waktu singkat secara in vitro. Gen penyandi protein selubung Sugarcane streak mosaic virus (CP-SCSMV) berhasil diamplifikasi sesuai target, yaitu menghasilkan amplikon berukuran ±850 pb (Gambar 4). pb M K S ±850 pb Gambar 4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV. M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific), K : Kontrol positif koleksi laboratorium virologi, IPB, S : sampel SCSMV. Gen CP-SCSMV selanjutnya berhasil dikloning pada plasmid ptz57r/t. Transformasi ptz-scsmv pada E. coli JM107 berhasil dilakukan dengan metode kejut panas yang ditunjukkan dengan munculnya koloni berwarna putih pada media LBA-ampisilin yang merupakan ciri morfologi pertumbuhan bakteri E. coli. Penggunaan antibiotik ampisilin pada media LBA disebabkan ptz57r/t membawa gen resisten ampisilin. Faktor penting yang mempengaruhi efisiensi transformasi adalah kualitas sel kompeten. Pada proses transformasi, DNA plasmid melekat pada lipopolisakarida di permukaan luar sel E. coli dan akan masuk ke dalam sel akibat rusaknya dinding sel oleh ion Ca 2+ dan kejut panas (Lodge et al. 2007). Mekanisme transformasi yang melibatkan CaCl2 dan kejut panas diduga merusak dinding sel bakteri pada lokasi tertentu yang memudahkan plasmid masuk ke dalam bakteri (Glick et al. 2009). Konfirmasi transforman dengan PCR koloni menunjukkan teramplifikasinya pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan DNA target CP-SCSMV (Gambar 5a). Hasil isolasi plasmid ptz-scsmv menunjukkan 5 koloni mengandung pita DNA berukuran ±3700 pb yang merupakan fusi antara ptz57r/t (±2886 pb) dan CP-SCSMV (±850 pb) (Gambar 5b). Isolasi plasmid merupakan proses pemisahan DNA plasmid dari DNA kromosom bakteri yang terdapat dalam sel didasarkan pada perbedaan konformasi antara DNA plasmid dan DNA bakteri (Brown 2010).

38 20 pb Gambar 5 a ±850 pb pb ±3700 pb Konfirmasi transforman hasil TA-kloning. a) Visualisasi DNA hasil PCR koloni ptz-scsmv pada E. coli JM107 yang diambil dari 6 koloni tunggal hasil transformasi (lajur 1-6), b) Visualisasi hasil isolasi plasmid 6 klon ptz-scsmv yang positif pada PCR koloni (lajur 1-6). M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific). b Perunutan nukleotida dari 5 plasmid ptz-scsmv menunjukkan 3 plasmid memiliki orientasi yang benar (klon 1, 2, dan 6) dan 2 plasmid memiliki orientasi yang terbalik (klon 3 dan 4). Perunutan nukleotida 3 klon ptz-scsmv dengan orientasi yang benar menunjukkan gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi antara 3 klon ptz-scsmv mencapai 99.7% dan 100% berturut-turut untuk sikuen nukleotida dan asam amino (Tabel 2). Klon 2 dan 6 memiliki homologi asam amino sebesar 100%, sedangkan pada klon 1 ditemukan stop kodon pada posisi asam amino ke 130 (Lampiran 4), sehingga hanya mengode 130 asam amino, yang seharusnya 285 asam amino. Klon 2 selanjutnya dipilih sebagai klon yang digunakan untuk tahapan penelitian berikutnya. Tabel 2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2 dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari GenBank Isolat Nukleotida Homologi Asam amino Nomor aksesi SCSMV_Klon_ SCSMV_Klon_ SCSMV_Indonesia AB SCSMV_Cina KT SCSMV_India AM SCSMV_Pakistan U75456 SCSMV_Thailand JN SCMV_India* DQ * SCMV digunakan sebagai pembanding di luar grup SCSMV dalam penelitian ini memiliki tingkat homologi nukleotida berdasarkan gen CP yang tinggi dengan isolat SCSMV Indonesia disusul dengan isolat SCSMV asal Cina, India, Pakistan dan menunjukkan hubungan kekerabatan yang rendah dengan isolat asal Thailand dengan nilai homologi nukleotida yang paling rendah yaitu 85.4%. Asam amino SCSMV pada penelitian ini memiliki

39 21 homologi tertinggi dengan isolat Cina (KT257289). Asam amino CP-SCSMV klon 2 dan CP-SCSMV_Cina hanya berbeda pada 2 posisi yaitu posisi 7 (pro 7 ser) dan posisi 29 (iso 29 tre) (Lampiran 4). Pada Famili Potyviridae, homologi sikuen nukleotida 76% dan asam amino 80% digolongkan dalam satu spesies virus (King et al. 2012). Subkloning Gen CP- SCSMV pada pet-28a Gen CP-SCSMV dari plasmid ptz-scsmv berhasil disubkloning ke dalam vektor ekspresi pet-28a dan ditransformasi ke dalam bakteri ekspresi E. coli BL21(DE3) dan E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS. Hal ini ditunjukkan dengan teramplifikasinya DNA berukuran ±850 pb hasil PCR koloni (Gambar 6). pb pb a ±850 pb ±850 pb Gambar 6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pet-scsmv (lajur 1-8) pada E. coli BL21(DE3) (a) dan E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS (b). M : penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific). Vektor ekspresi pet-28a digunakan untuk mengekspresikan gen CP-SCSMV karena memiliki beberapa elemen penting dalam rangka ekspresi gen seperti gen laci yang mengode protein lac repressor, promoter T7 yang hanya spesifik dengan T7 RNA polimerase, multiple cloning site yang mengandung beberapa enzim restriksi, dan histidina (His-Tag) yang penting untuk purifikasi protein (Papaneophytou dan Contopidis 2014). Selain itu, penyisipan CP-SCSMV pada pet-28a mampu menyebabkan terekspresinya protein CP-SCSMV secara utuh. Ekspektasi fusi protein pet-28a dan CP-SCSMV berukuran ±35.4 kda yang merupakan fusi protein pet-28a (±3.8 kda) dan CP-SCSMV (±31.6 kda) (Gambar 7a). Berdasarkan hasil analisis sikuen asam amino pet-scsmv diketahui b

40 22 bahwa tidak terdapat kodon stop di dalam urutan DNA CP-SCSMV klon 2 yang akan diekspresikan, sehingga diperkirakan gen CP tersebut dapat diekspresikan menjadi asam amino CP-SCSMV (Gambar 7b). Ekspresi protein dengan menyisipkan gen target pada pet-28a telah dilakukan untuk Tobacco yellow dwarf virus (Chanson 2009), Citrus leprosis virus C (Calegario et al. 2013), dan Potato virus Y (Jeevalatha et al. 2013). Pada pet- 28a terdapat T7 promotor yang akan dikenali oleh T7 RNA polimerase. T7 RNA polimerase merupakan enzim hasil ekspresi inang E. coli yang mengandung λde3 lisogen sehingga untuk mendapatkan protein yang optimal diperlukan pemilihan bakteri ekspresi yang mengandung gen λde3 lisogen (Novagen 2006). (a) (b) Gambar 7 Ekspektasi fusi protein pet-28a ( ) dan CP-SCSMV ( ) yang akan terekspresi dari kodon metionin (ATG) situs NcoI pada pet-28a dan berlanjut hingga kodon stop (TGA) yang terdapat pada akhir sikuen CP- SCSMV (*) (a); susunan nukleotida (baris pertama) dan asam amino (baris kedua) pet-scsmv yang akan terekspresi yang mengandung His-Tag 6 : asam amino histidina (H) (garis bawah). Cetak tebal merupakan nukleotida dan asam amino CP-SCSMV (b).

41 23 Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi Gen CP-SCSMV rekombinan (pet-scsmv) berhasil diekspresikan, baik pada fraksi pelet (insoluble fraction) E. coli BL21(DE3) maupun pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS yang ditandai dengan terbentuknya pita protein berukuran ±35.4 kda. Ekspresi protein CP-SCSMV tidak ditemukan pada fraksi supernatan (soluble fraction) (data tidak ditampilkan). E. coli digunakan sebagai inang dalam produksi protein rekombinan karena membutuhkan biaya media yang relatif murah, cepat berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang luas (Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005). E. coli BL21(DE3) dipilih sebagai bakteri ekspresi disebabkan gen lon dan ompt penyandi enzim protease pada bakteri ini sudah dimutasi sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang intensif. E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS juga mampu menghasilkan T7 RNA polymerase yang akan dikenal oleh T7 promoter pada pet-28a. T7 RNA polymerase sangat aktif berperan dalam ekspresi jika dibandingkan dengan RNA polymerase E. coli pada umumnya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa DNA sisipan yang terdapat setelah T7 promoter akan terekspresi dengan sangat tinggi (over ekspresi). Ekspresi gen CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 o C dengan konsentrasi IPTG mm dan dipanen 9-12 jam setelah induksi IPTG. Pada bakteri E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 o C dengan konsentrasi IPTG mm IPTG, dan dipanen 9-12 jam setelah induksi IPTG (Tabel 3). Ekspresi gen protein rekombinan CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CP-SCSMV. Penggunaan IPTG dengan konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat ekspresi gen. Hal ini juga dilaporkan oleh Rostami et al. (2015) untuk ekspresi Cucumber mosaic virus pada E. coli. Waktu inkubasi selama 18 jam setelah induksi IPTG cenderung menyebabkan penurunan protein yang dihasilkan. Konsentrasi IPTG memiliki peran utama dalam ekspresi protein. Konsentrasi IPTG yang terlalu tinggi dapat mengurangi laju pertumbuhan bakteri dan meningkatkan produksi proteinase yang dapat mendegradasi protein rekombinan. Selain itu, penggunaan konsentrasi IPTG yang terlalu tinggi membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan berpotensi sebagai racun bagi sel bakteri (Akbari et al. 2015). Konsentrasi IPTG yang optimal dalam ekspresi gen dapat meningkatkan produksi protein rpsaa pada E. coli BL21(DE3). Konsentrasi IPTG yang meningkat 10x lipat dari yang umumnya digunakan dapat menurunkan tingkat ekspresi gen (Larentis et al. 2011). Faktor penting lain yang berpengaruh terhadap ekspresi gen protein rekombinan adalah suhu inkubasi. Santala dan Lamminmäki (2004) melaporkan bahwa ekspresi antithyroid stimulating hormone (TSH) ScFv pada E. coli Origami B yang optimal terjadi pada temperatur rendah yaitu 24 C. Volontè et al. (2011) melaporkan bahwa ekspresi protein rekombinan HIV-1 protease optimal terjadi pada suhu 37 C dengan pemberian IPTG pada fase pertengahan pertumbuhan eksponensial (the middle-exponential phase) E. coli.

42 24 Tabel 3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda Bakteri Suhu ( o C) E. coli BL21 (DE3) E. coli Rosetta-gami (DE3)pLysS Waktu inkubasi (jam) Konsentrasi IPTG (mm) a a Tingkat ketebalan pita protein : tipis (+), tebal (++), dan sangat tebal (+++). Kotak abu-abu: ekspresi protein optimal Ekspresi protein dalam penelitian ini diperoleh dalam bentuk insoluble, baik itu pada bakteri E. coli BL21(DE3) maupun pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS. Terbentuknya protein dalam bentuk insoluble dapat disebabkan oleh ikatan hidrofobik pada asam amino yang lebih kuat antarsesama asam amino dibandingkan terhadap air yang membuat protein membentuk agregat pada tingkat ekspresi yang sangat tinggi. Upaya untuk membuat protein insoluble menjadi soluble dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat ekspresi gen yaitu dengan menggunakan promotor yang lebih lemah, menggunakan vektor ekspresi yang bersifat low copy number, menumbuhkan bakteri pada suhu rendah, atau menumbuhkan bakteri pada media dengan kandungan nutrisi yang rendah (Lodge et al. 2007). Langkah untuk membuat protein menjadi soluble dalam penelitian ini

43 25 adalah dengan optimasi ekspresi pada suhu rendah dan konsentrasi IPTG yang rendah, namun protein tetap terekspresi dalam bentuk insoluble. Hal ini juga terjadi untuk ekspresi protein selubung Potato virus Y yang tetap berbentuk insoluble dari bakteri yang diinkubasi pada suhu 20 o C dengan induksi IPTG konsentrasi 0.2 mm (Jeevalatha et al. 2013). Purifikasi protein rekombinan yang optimal menunjukkan protein rekombinan CP-SCSMV berukuran ±35.4 kda (Gambar 8). Purifikasi bertujuan menghilangkan protein lain selain protein rekombinan CP-SCSMV sehingga pembentukan antiserum CP-SCSMV lebih optimal. Purifikasi menggunakan column Ni-NTA juga memungkinkan protein insoluble menjadi soluble dengan bufer yang mengandung urea. Urea berfungsi untuk mendenaturasi protein sehingga dapat menjadi soluble (Holzinger et al. 1996). Elusi protein pada tahap akhir purifikasi merupakan tahap pelepasan protein rekombinan target dari resin yang memiliki 6xHis-tag. Hasil purifikasi menunjukkan bahwa pita protein lebih tebal pada sampel yang dielusi dengan bufer elusi yang ditambah imidazol dibandingkan dengan elusi dengan bufer elusi ph rendah (Gambar 8). Protein rekombinan CP-SCSMV dari E. coli Rosetta-Gami(DE3)pLysS tidak berhasil dipurifikasi menggunakan bufer elusi ph rendah. M E1 E2 E1 E2 E1 E2 E1 E ±35.4 kda Gambar 8 Protein rekombinan pet-scsmv hasil purifikasi dari E. coli BL21 (DE3) (lajur 2-5) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS (lajur 6-9). M: Marker protein unstained (Thermo scientific), 1: E. coli BL21(DE3) pembawa plasmid pet-scsmv sebelum purifikasi, lajur 2-3 & 6-7: protein hasil elusi dengan bufer elusi + imidazole, lajur 4-5 & 8-9: protein hasil elusi dengan bufer elusi ph 4.5, 10: E. coli Rosettagami(DE3) plyss pembawa plasmid pet-scsmv sebelum purifikasi. E1: Elusi ke-1 dan E2: Elusi ke-2. Penggunaan imidazol dalam tahap elusi protein memiliki keunggulan, yaitu dapat digunakan pada kondisi asli (native condition) maupun kondisi terdenaturasi (denaturing condition). Penggunaan imidazol juga tidak akan merusak protein target akibat adanya penurunan ph maupun keberadaan ion logam (ion nikel/ni 2+ atau ion kobalt/co 2+ ) yang terlepas dari resin ketika protein dipurifikasi pada kondisi asli (native condition) (Kneusel et al. 2000). Penggunaan imidazol tersebut

44 26 dikarenakan strukturnya mirip dengan residu histidina (His), sehingga penggunaan imidazol pada konsentrasi tinggi (lebih dari 200 mm) dapat menyebabkan protein rekombinan 6xHis-tag terdisosiasi. Hal tersebut dikarenakan protein 6xHis-tag tidak mampu lagi berkompetisi dengan imidazol untuk berikatan pada situs pengikatan resin (QIAexpressionist 2003). Penurunan ph sampai 4.5 juga dapat menyebabkan protein rekombinan 6xHis-tag tidak mampu lagi berikatan dengan kompleks ion logam-resin sehingga akan terlepas dari resin. Berdasarkan kedua metode yang dapat digunakan dalam proses elusi protein maka penggunaan imidazol lebih disarankan dalam proses elusi dikarenakan tidak akan merusak protein rekombinan akibat penurunan ph (Kneusel et al. 2000). Hasil pengukuran konsentrasi protein CP-SCSMV hasil elusi 1 dengan imidazol yang dianalisis menggunakan metode Bradford menunjukkan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 728 µg ml -1. Produksi Antiserum SCSMV Pemilihan kelinci betina untuk produksi antiserum SCSMV disebabkan kelinci betina lebih jinak dan memberikan respon imun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci jantan (Khattab dan Abdelkader 2015). Pengecekan keberadaan antiserum SCSMV pada serum darah dengan metode serologi AGPT dari pengambilan darah pertama menunjukkan reaksi yang negatif, baik itu serum dari kelinci pertama maupun kelinci kedua. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya garis presipitasi pada gel. Reaksi negatif dengan metode AGPT juga terjadi pada pengujian serum dari pengambilan darah kedua (data tidak ditampilkan). Menurut Sere et al. (2005) untuk reaksi positif pada AGPT diperlukan konsentrasi antigen dan antibodi yang sangat tinggi karena tingkat sensitivitasnya yang sangat rendah. Oleh karena itu, pengujian keberadaan antiserum SCSMV pada serum darah kelinci selanjutnya dilakukan dengan metode I-ELISA. Pengecekan serum dari pengambilan darah kedua dan ketiga dengan metode I-ELISA menunjukkan hasil yang positif yang ditandai dengan NAE sampel SCSMV yang 2x lebih besar dibandingkan dengan NAE kontrol negatif (tanaman tebu sehat) (Tabel 4). Namun, NAE sampel SCSMV masih sangat rendah (tidak lebih dari 3x kontrol negatif) yang dapat mengindikasikan konsentrasi antiserum SCSMV dalam serum darah yang masih rendah. Oleh karena itu dilakukan penyuntikan antigen keempat pada pembuluh darah kelinci. Penyuntikan antigen yang dilakukan pada pembuluh darah menyebabkan distribusi antigen yang lebih cepat sehingga mempercepat respon antibodi pada hewan coba (FSU 2007). Pengujian serum dari pengambilan darah keempat menunjukkan NAE yang tinggi, yaitu mencapai 8x kontrol negatif, sehingga dilakukan pemanenan total darah kelinci. Total darah yang diperoleh dari kelinci 1 dan 2 masing-masing ±75 ml dan ±70 ml dengan total serum yang diperoleh masing-masing ±35 ml dan ±30 ml. Panen darah total segera dilakukan untuk menghindari terjadinya penurunan titer antiserum dalam darah kelinci. Gulati-Sakhuja et al. (2009) melaporkan bahwa antiserum dari pengambilan darah pertama lebih sensitif dalam mendeteksi Pelargonium zonate spot virus dibandingkan dengan antiserum yang diambil dari pengambilan darah kedua hingga keempat. Koohapitagtam dan Nualsri (2013) melaporkan bahwa titer antiserum Blackeye cowpea mosaic virus dari

45 27 pengambilan darah kedua hingga ketujuh mengalami peningkatan dan mengalami penurunan titer hingga 4x lebih rendah pada pengambilan darah kedelapan. Tabel 4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda Pengambilan darah ke Pengenceran serum Nilai absorbansi ELISA (NAE) Kontrol negatif Sampel SCSMV 1 : (+) 1 : 500 TD b : (+) 1 : (+) 1 : (+) 1 : (+) a NAE yang dihitung pada 45 menit setelah penambahan substrat pewarnaan. Hasil positif apabila NAE sampel SCSMV 2x lebih besar dari kontrol negatif. b TD: ELISA untuk kontrol negatif dengan pengenceran antiserum 1 : 500 tidak dilakukan Antiserum yang diproduksi selanjutnya dipurifikasi menggunakan amonium sulfat. Purifikasi antiserum menggunakan amonium sulfat merupakan proses pemisahan komponen protein pada serum dengan komponen non protein lainnya melalui proses pengendapan. Penambahan garam amonium sulfat akan menurunkan kelarutan protein karena terjadi kompetisi antara ion garam yang ditambahkan dengan protein yang terlarut sehingga terjadi efek salting out. Pemberian garam dengan konsentrasi tinggi juga akan melepaskan molekul air dari protein sehingga akan terjadi pengendapan protein. Pada tahap ini antibodi yang terdapat dalam serum akan mengendap. Setelah pengendapan dengan amonium sulfat, dilakukan proses dialisis. Dialisis merupakan proses pertukaran ion menggunakan tabung dialisis yang mempunyai pori yang sangat kecil yang hanya dapat meloloskan molekul-molekul yang sangat kecil (< 5000 Da), sedangkan molekul protein yang mempunyai ukuran yang lebih besar tidak dapat melewati tabung dialisis (Ford 2004). Sehingga dengan proses dialisis, antiserum yang diperoleh dapat lebih murni. Konsentrasi antiserum kasar SCSMV tanpa purifikasi hasil pengambilan serum terakhir adalah 2.43 mg ml -1 dan konsentrasi antiserum setelah purifikasi adalah 2.37 mg ml -1. Hasil ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan konsentrasi antiserum Chrysanthemum B virus (CVB) kasar dan hasil purifikasi masing-masing 1.12 mg ml -1 dan 0.48 mg ml -1 (Temaja 2008). Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi Tingkat sensitivitas antiserum rekombinan SCSMV diuji dengan metode AGPT, I-ELISA, dan DBIA. Uji serologi dengan AGPT menunjukkan bahwa garis presipitasi hanya terbentuk apabila menggunakan antigen yang berasal dari hasil purifikasi protein rekombinan CP-SCSMV dan tidak terbentuk apabila menggunakan antigen yang berasal dari sap daun yang terinfeksi SCSMV. Tingkat

46 28 sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV dengan deteksi AGPT menggunakan protein rekombinan hasil purifikasi telah menunjukkan reaksi negatif pada pengenceran 1/8 (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa untuk terbentuknya ikatan antara antigen dan antibodi dengan metode AGPT dibutuhkan konsentrasi antigen SCSMV dan antiserum yang tinggi sehingga presipitasi tidak terbentuk apabila menggunakan antigen SCSMV langsung dari tanaman terinfeksi. Tidak terbentuknya garis presipitasi antara antiserum poliklonal SCSMV dengan antigen dari sap daun terinfeksi SCSMV juga dapat disebabkan oleh mobilitas partikel SCSMV yang berbentuk batang lentur. Menurut Hull (2014), difusi antigen dalam gel selain dipengaruhi oleh konsentrasi, juga sangat dipengaruhi oleh bentuk partikel virus. Virus dengan bentuk isometrik dan berukuran kecil sangat sesuai untuk metode AGPT sedangkan virus yang berbentuk batang kaku akan berdifusi sangat lambat atau tidak berdifusi sama sekali. Tabel 5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV Pengenceran antigen SCSMV Pengenceran antiserum 1:100 1:250 1:500 1:750 1: : 2000 Antiserum kasar Bufer Kontrol negatif : : : : : Antiserum hasil purifikasi Bufer Kontrol negatif : : : : : Reaksi negatif +++ Reaksi kuat bila nilai absorbansi ELISA (NAE) 6 kali NAE kontrol negatif ++ Reaksi sedang bila NAE kali NAE kontrol negatif + a Reaksi lemah bila NAE kali NAE kontrol negatif Uji serologi dengan I-ELISA menunjukkan sensitivitas antiserum yang cukup tinggi dalam mendeteksi SCSMV, baik dalam bentuk antiserum kasar maupun antiserum hasil purifikasi. Reaksi positif ditunjukkan oleh antigen dari daun terinfeksi SCSMV dengan pengenceran sampai 1:1000 dan pengenceran antiserum 1:1000 (Tabel 5). Pengenceran antigen yang optimal dan efisien untuk deteksi SCSMV dalam penelitian ini adalah 1:10 dengan pengenceran antiserum 1:750. Pengenceran antiserum 1:100 masih menunjukkan nilai absorbansi ELISA (NAE)

47 29 yang relatif tinggi pada kontrol negatif sehingga penggunaan antiserum pengenceran 1:100 tidak disarankan (Lampiran 9 dan 10). Tingginya NAE pada tanaman kontrol dengan menggunakan antiserum poliklonal rekombinan juga dilaporkan untuk Prune dwarf virus dan Blackeye cowpea mosaic virus (Abaou- Jaudah et al. 2004, Koohapitagtam dan Nualsri 2013). NAE kontrol negatif yang tinggi menunjukkan adanya reaksi silang dengan tanaman sehat yang dapat dikurangi dengan meningkatkan pengenceran antiserum dan modifikasi pada bufer coating (Abaou-Jaudah et al. 2004). Proses purifikasi dapat meningkatkan sensitivitas antiserum (Temaja 2008) dan dapat pula menurunkan sensitivas antiserum dalam mendeteksi virus (Abou- Jawdah et al. 2004). Deteksi SCSMV dengan I-ELISA menggunakan antiserum kasar pada penelitian ini menunjukkan sensitivitas yang tidak jauh berbeda dengan antiserum hasil purifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa antiserum SCSMV yang diproduksi dapat efektif dalam mendeteksi SCSMV dengan baik walaupun tanpa melalui proses purifikasi. Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak terdeteksinya SCMV. Hal ini ditunjukkan dengan NAE sampel SCMV yang tidak mencapai 2x NAE kontrol negatif (Tabel 6). Selektifitas antiserum SCSMV terhadap SCMV ini menjadi penting karena SCMV juga menyebabkan gejala mosaik pada tanaman tebu yang mirip dengan gejala yang disebabkan oleh SCSMV. Tabel 6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMV a Pengenceran antiserum Bufer Kontrol negatif (Sehat) Nilai absorbansi ELISA Antigen SCSMV 1:10 Antigen SCMV 1:10 1 : / / / - 1 : / / / - 1 : / / / - 1 : / / / - 1 : / / / - 1 : / / / - a Nilai absorbansi ELISA (NAE) yang dihitung pada 45 menit setelah penambahan substrat pewarnaan. Uji dinyatakan positif (+) jika NAE sampel uji 2x NAE kontrol negatif (tanaman sehat). Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif dibandingkan dengan deteksi I-ELISA. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya perubahan warna sampel menjadi ungu hingga pengenceran antiserum 1: (Gambar 9). Namun pada deteksi DBIA, pengenceran antiserum 1:100 hingga 1:1000 menunjukkan terjadinya perubahan warna menjadi ungu pada tanaman sehat (kontrol negatif). Perubahan warna juga terjadi pada sampel daun tebu yang hanya terinfeksi SCMV hingga pengenceran antiserum 1:1000 dengan intensitas warna ungu yang sangat rendah jika dibandingkan dengan sampel kontrol positif SCSMV. Pengenceran antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV dengan metode DBIA adalah 1:2000 x 1: yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna menjadi ungu pada tanaman sehat dan tanaman yang terinfeksi SCMV.

48 30 Tebu sehat SCSMV SCMV 1 : : : : : : : : Gambar 9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi serologi DBIA pada pengenceran antiserum 1:100 1: dan penggunaan SCMV sebagai pembanding Berdasarkan ketiga uji serologi menggunakan antiserum rekombinan SCSMV menunjukkan bahwa DBIA memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi, namun terdapat peluang terjadinya reaksi silang pada pengenceran antiserum yang rendah. Untuk mengurangi terjadinya reaksi silang pada tanaman sehat tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan pengenceran antiserum dengan tetap memberikan reaksi positif pada kontrol positif. Kelebihan penggunaan deteksi dengan DBIA dibandingkan dengan ELISA adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat, tingkat sensitifitas lebih tinggi, biaya yang lebih murah, dan jumlah bahan kimia yang diperlukan lebih sedikit (Hull 2014). Pembahasan Umum Sugarcane streak mosaic virus yang menginfeksi tebu di Indonesia menunjukkan penyebaran penyakit yang sangat cepat. Selain penyebaran yang cepat, peningkatan insidensi penyakit SCSMV juga terjadi dari tahun 2007 yang hanya berkisar % menjadi % pada tahun 2011 (Damayanti dan Putra 2011, Putra et al. 2015). Penyebaran penyakit yang cepat ini dapat disebabkan SCSMV yang bersifat tular bagal, distribusi bagal yang telah terinfeksi SCSMV dari satu daerah ke daerah yang lainnya, dan penggunaan varietas rentan SCSMV secara meluas, yaitu PS864. Syarat penggunaan bagal tebu yang sehat juga sering kali tidak menjadi perhatian yang serius bagi petani tebu sehingga menjadi salah satu penyebab cepatnya penyebaran SCSMV di lapangan (Putra et al. 2015). Usaha pencegahan penyebaran virus salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan bagal yang bebas virus, khususnya untuk SCSMV yang bersifat tular bahan perbanyakan vegetatif, sehingga diperlukan deteksi awal pada bagal induk. Deteksi serologi adalah metode deteksi yang paling umum digunakan untuk sampel yang banyak. Keterbatasan antiserum SCSMV yang belum tersedia secara komersial merupakan salah satu kendala dalam deteksi cepat keberadaan virus SCSMV di suatu daerah. Oleh karena itu, keberhasilan produksi antiserum SCSMV pada penelitian ini merupakan salah satu langkah yang diharapkan mampu mengurangi penyebaran SCSMV di Indonesia melalui deteksi cepat SCSMV di lapangan. Upaya penyediaan antigen untuk produksi antiserum yang kini berkembang adalah pemanfaatan teknologi DNA rekombinan. Teknologi DNA rekombinan telah memungkinkan mengisolasi gen dari berbagai organisme, menggabungkan

49 gen yang berasal dari organisme yang berbeda sehingga terbentuk rekombinan, dan memasukkan DNA rekombinan ke dalam sel organisme prokariot maupun eukariot hingga DNA rekombinan dapat bereplikasi dan diekspresikan. Karakterisasi dan deteksi virus sangat berkembang dengan adanya teknologi DNA rekombinan. Beberapa pemanfaatan teknologi DNA rekombinan dalam karakterisasi dan deteksi virus adalah penyisipan gen virus pada plasmid kloning sehingga sikuen utuh dari genom virus dapat diketahui, penyisipan DNA virus pada plasmid yang dapat digunakan sebagai pelacak DNA untuk deteksi virus (Agustina 2010), dan penyisipan gen virus pada plasmid ekspresi sehingga dapat diproduksi protein virus dalam jumlah yang banyak yang dapat digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum. Upaya penyediaan antigen dengan teknologi DNA rekombinan telah dilakukan pada beberapa virus dengan berbagai variasi pada metode yang diterapkan, plasmid kloning dan ekspresi yang digunakan, bakteri kloning dan ekspresi yang digunakan, serta optimasi waktu dan suhu ekspresi yang dilakukan. Pada penelitian ini, ekspresi gen CP-SCSMV berhasil dilakukan pada vektor ekspresi pet-28a yang ditransformasi pada E. coli BL21(DE3) dan Rosettagami(DE3)pLysS. Penentuan vektor ekspresi dan bakteri ekspresi dapat memengaruhi tingkat ekspresi dan kualitas protein yang dihasilkan. Hal ini terkait dengan kompatibilitas dari vektor dan bakteri ekspresi tersebut. Produksi protein rekombinan untuk pembuatan antiserum poliklonal melalui teknik ekspresi gen ini mengalami perkembangan yang begitu pesat karena protein dapat dihasilkan dalam jumlah banyak dengan waktu yang cepat dan biaya yang lebih murah, protein virus yang diproduksi tidak terkontaminasi dengan protein tanaman, sesuai untuk virus dengan konsentrasi rendah dalam jaringan tanaman, protein rekombinan dapat dipurifikasi secara luas dengan teknologi His-Tag yang dipisahkan pada kolum Ni-NTA (Kong et al. 2009), dan memungkinkan dilakukannya berbagai penggabungan gen-gen yang penting untuk optimalisasi produksi protein yang diharapkan. Pemanfaatan teknologi DNA rekombinan di Indonesia masih perlu untuk dikembangkan, khususnya dalam bidang proteksi tanaman. Pemanfaatan teknologi DNA rekombinan untuk ekspresi gen virus tanaman baru dilaporkan untuk Tomato infectious chlorosis virus (Kurniawati et al. 2015) dan Pepper vein yellows virus (Apindiati et al. 2015), ekspresi gen dalam rangka pengendalian bakteri patogen diantaranya dilaporkan untuk mendegradasi senyawa AHL dari Chromobacterium violaceum dengan mengekspresikan gen penyandi asil homoserin lakton laktonase dari Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g (Asmaranti 2015), dan ekspresi gen untuk pengendalian cendawan patogen diantaranya dilaporkan untuk ketahanan terhadap cendawan blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada padi dengan ekspresi gen OsWRKY76 (Apriana 2008). Untuk pemanfaatan ekspresi gen virus tanaman yang selanjutnya digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum belum dilaporkan di Indonesia. Produksi antiserum virus tanaman dengan menggunakan protein rekombinan hasil ekspresi gen pada E. coli ini merupakan laporan pertama di Indonesia. Kemampuan antiserum SCSMV yang dihasilkan dalam mendeteksi SCSMV menunjukkan bahwa teknik ini dapat dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk produksi antiserum yang belum tersedia secara komersial. Pemanfaatan metode ini juga sesuai untuk mengatasi permasalahan terjadinya reaksi silang apabila 31

50 32 menggunakan antiserum yang diperoleh dari serum kelinci yang disuntikkan antigen hasil purifikasi langsung dari tanaman terinfeksi virus. Pengembangan metode produksi antiserum dengan menggunakan protein rekombinan hasil ekspresi pada E. coli memberi peluang yang besar dalam produksi antiserum dalam jumlah yang besar dan kualitas yang baik. Antiserum SCSMV hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi SCSMV secara serologi untuk memonitor perkembangan SCSMV di lapangan. Deteksi awal SCSMV, khususnya pada kebun induk tebu, diharapkan dapat memberi peran yang cukup besar dalam penyediaan bagal tebu bebas virus sehingga dapat mencegah penyebaran SCSMV yang lebih luas. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gen CP-SCSMV dapat diamplifikasi dengan primer spesifik CP-SCSMV, berhasil dikloning pada vektor kloning ptz57r/t, dan disubkloning pada vektor ekspresi pet-28a. Kondisi optimal dan efisien untuk ekspresi gen CP-SCSMV rekombinan pada E. coli BL21(DE3) dan E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS berturut-turut adalah pada suhu 25 o C setelah induksi 0.25 mm IPTG selama 9 jam, dan pada suhu 30 o C setelah induksi 0.25 mm IPTG selama 9 jam. Analisis SDS- PAGE hasil purifikasi protein CP-SCSMV menunjukkan pita protein berukuran ±35.4 kda yang merupakan fusi protein antara pet-28a dan CP-SCSMV. Protein rekombinan SCSMV mampu menimbulkan reaksi imunogenik pada kelinci dan menunjukkan titer antibodi tertinggi setelah penyuntikan antigen keempat. Antiserum poliklonal rekombinan SCSMV yang diproduksi mampu digunakan untuk mendeteksi SCSMV pada tanaman tebu dengan metode serologi I-ELISA dan DBIA. Perbandingan antiserum yang optimal untuk deteksi SCSMV dengan I- ELISA adalah 1:750 dengan perbandingan antigen 1:10 dan perbandingan antiserum sampai 1: pada deteksi DBIA masih mampu mendeteksi SCSMV dengan baik. Saran Sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV perlu diuji dengan menggunakan metode deteksi serologi lainnya, misalnya immonocapture PCR, dan diuji untuk beberapa sumber isolat virus lainnya.

51 33 DAFTAR PUSTAKA Abaou-Jaudah Y, Sobh H, Cordahi N, Kawtharani H, Nemer G, Maxwell DP, Nakhla MK Immunodiagnosis of Prune dwarf virus using antiserum produced to its recombinant coat protein. J Virol Methods. 121: Abdel-Salam AM, El-Attar AK, Soliman AM The use of native and denatured recombinant coat protein forms for induction of good quality antisera for Potato virus X and Potato leaf roll virus. American J Res Comm. 1(7): Akbari V, Sadeghi HMM, Jafarian-Dehkordi A, Chou CP, Abedi D Optimization of a single-chain antibody fragment overexpression in Escherichia coli using response surface methodology. Res Pharm Sci. 10(1): Agrios GN Plant Pathology. Ed. ke-5. New York: Academic Press. Agustina D Isolasi, karakterisasi, kloning gen protein selubung (coat protein) Begomovirus sebagai pelacak DNA (DNA probe). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Apindiati RK, Suastika G, Mutaqin KM Komunikasi singkat: Ekspresi rekombinan gen protein selubung Pepper vein yellows virus. J Fitopatol Indones. 11(4): Apriana A Over-ekspresi gen OsWRKY76 untuk ketahanan terhadap cendawan blas (Pyricularia grisea Sacc) pada padi [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Asmaranti RA Kloning dan ekspresi gen penyandi asil homoserin lakton laktonase dari Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Asnawi AH Pertumbuhan dan produksi tebu PS 864 pada berbagai tingkat infeksi SCSMV [tesis]. Malang: Universitas Brawijaya. Barnum SR Biotechnology an Introduction, International Student Edition. Ed ke-2. Belmont: Thompson Brooks/Cole. Black JG Microbiology: Principles and Explorations. Ed ke-6. Virginia: John Wiley & Sons. Inc. Brown TA Gene Cloning and DNA Analysis: An Introduction. Ed ke-6. West Sussex: Wiley-Blackwell. Burns R Immunochemical techniques. Di dalam: Wilson K. Walker J. editor. Principles and Techniques of Biochemistry and Molecular Biology. Ed ke-7. New York: Cambrigde University Press. Burry RW Immunocytochemistry: A Practical Guide for Biomedical Research. New York: Springer. Calegario RF, Locali EC, Stach-Machado DR, Peroni LA, Caserta R, Salaroli RB, Freitas-Astúa J, Machado MA, Kitajima EW Polyclonal antibodies to the putative coat protein of Citrus leprosis virus C expressed in Escherichia coli: production and use in immunodiagnosis. Trop Plant Pathol. 38(3):

52 34 Cardona GLM, Angel SJC, Angel SF, Victoria KJI Standardization of reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) for diagnosis of the Streak mosaic virus of sugarcane in Colombia. Dalam: VIII th ISSCT Pathology Workshop Petit-Bourg. Guadeloupe. Chang PS, Mclaughlin WA, Tolin SA Tissue blot immunoassay and direct RT-PCR of cucumoviruses and potyviruses from the same nitro pure nitrocellulose membrane. J Virol Methods. 11(7): Chanson AH Recombinant protein production using a Tobacco yellow dwarf virus-based episomal expression vector: control of Rep activity [tesis]. Queensland: Queensland University of Technology. Chatenet M, Mazarin C, Girard JC Detection of Sugarcane streak mosaic virus in sugarcane from several Asian countries. Sugarcane Int. 23: Cotillon AC, Desbiez C, Bouyer S, Scheibel CW, Gros C, Delecolle B, Lecoq H Production of a polyclonal antiserum against the coat protein of Cucurbit yellow stunting disorder crinivirus expressed in Escherichia coli. EPPO Bull. 35: Indo Damayanti TA, Putra LK First occurrence of Sugarcane streak mosaic virus infecting sugarcane in Indonesia. J Gen Plant Pathol. 77: Damayanti TA, Putra LK, Giyanto Hot water treatment of cutting-cane infected with Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV). J ISSAAS. 16(2): Direktorat Benih Penyediaan Bibit Tebu Berkualitas Melalui Kebun Berjenjang [internet]. [diunduh 2014 Jul 28]. Tersedia pada: go.id. Djikstra J, De Jager Practical Plant Virology: Protocol and Exercise. Boston: Springer. Doyle JJ, Doyle JL Isolation of Plant DNA from Fresh Tissue. Focus. 12: [FSU] Florida State University Polyclonal Antibody Production Protocp- Rabbits [internet]. [diunduh 2015 Sep 28]. Tersedia pada: related: lonal.pdf. Ford RC Isolation of Proteins and Nucleic Acids, Course Notes [internet]. [diunduh 2016 Apr 27]. Tersedia pada: /modules/. Glick BR, Pasternak JJ, Patten CL Molecular Biotechnology Principles and Applications of Recombinant DNA. Ed Ke-4. Washington: ASM Press. Gulati-Sakhuja A, Sears JL, Nuňez Alberto, Liu H Production of polyclonal antibodies against Pelargonium zonate spot virus coat protein expressed in Escherichia coli and application for immunodiagnosis. J Virol Methods. 160: Guyton AC, Hall JE Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati et al., penerjemah; Rachman LY, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11.

53 Hall JS, Adams B, Parsons TJ, French R, Lane LC, Jensen SG Molecular cloning, sequencing, and phylogenetic relationships of a new Potyvirus: Sugarcane streak mosaic virus and a reevaluation of the classification of the Potyviridae. Mol Phylogenet Evol. 10(3): Hampton R, Ball E, de Boer S Serological Methodes for Detection and Identification of Viral and Bacterial Plant Pathogens. USA: American Phytopathological Society Press. Hema M, Joseph J, Gopinath K, Sreenivasulu P, Savithri HS Molecular characterization and interviral relationships of a flexuous filamentous virus causing mosaic disease of sugarcane (Saccharum officinarum L.) in India. Arch Virol. 144: Hema M, Savithri HS, Sreenivasulu P Comparison of direct binding polymerase chain reaction with recombinant coat protein antibody based dotblot immuno-binding assay and immunocapture-reverse transcription polymerase chain reaction for the detection of Sugarcane streak mosaic virus causing mosaic disease of sugarcane in India. Curr Sci. 85(12): Holzinger A, Phillips KS, Weaver TE Single-step purification/solubilization of recombinant proteins: application to surfactant protein B. BioTechniques. 20: Hull R Matthews Plant Virology. Ed ke-5. New York: Elsivier Inc. James GL Sugarcane. Ed ke-2. James GL, editor. Oxford: Blackwell Science. Jeevalatha A, Kaundal P, Sharma NN, Thakur P, Chakrabarti SK, Singh BP Expression of coat protein of an ordinary strain of Potato virus Y in Escherichia coli and production of polyclonal antibodies for diagnosis. J Phytopathol. 161: Khattab EAH, Abdelkader HS Production of polyclonal antibodies to Bean yellow mosaic virus isolates affecting legumes and ornamental plants in Taif Province. Int J Agric Crop Scienc. 8(2): King AMQ, Elliot Lefkowitz, Michael J, Adams, Eric B, Carstens Virus Taxonomy_ Ninth Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. London: Elsevier. Kneusel RE, Crowe J, Wulbeck M, Ribbe J Procedurs for analysis and purification of His-tagged proteins. Dalam: Rapley R The Nucleid Acid Protocols Handbook. Totowa: Humana Press Inc. Kong B, Yu J, Chen H, Li H, Han C, Wang J Production of antiserum to recombinant coat protein for detecting Lily mottle virus in Yunnan, China. J Phytopathol. 157: Koohapitagtam M, Nualsri C Production of polyclonal antibodies specific to recombinant coat protein of Blackeye cowpea mosaic virus and its use in disease detection. Kasetsart J. 47: Kristensen J, Petersen HUS, Mortensen KK, Sorensen HP Generation of monoclonal antibodies for the assesment of protein purification by recombinant ribosomal coupling. Int J Biol Macromol. 37:

54 36 Kumari SG, Makkouk KM, Attar N An improved antiserum sensitive serological detection of Chickpea chlorotic dwarf virus. J Phytopathol. 156: Kurniawati F, Suastika G, Giyanto Ekspresi gen protein selubung Tomato infectious chlorosis virus pada Escherichia coli. J HPT Tropica. 15(2): Laemmli UK Cleavage of structural protein during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature.227: Larentis AL, Argondizzo APC, Esteves GdS, Jessouron E, Galler R, Medeiros MA Cloning and optimization of induction conditions for mature PsaA (pneumococcal surface adhesin A) expression in Escherichia coli and recombinant protein stability during long-term storage. Protein Exp Purif. 78: Li RH, Zettler FW, Purcifull DE, Hiebert E The nucleotide sequence of the 3 -terminal region of Dasheen mosaic virus (Caladium isolate) and expression of its coat protein in Escherichia coli for antiserum production. Arch Virol. 143(12): Li W, He Z,Li S, Huang Y, Zhang Z, Jiang D, Wang X, Luo Z Molecular characterization of a new strain of Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV). Arch Virol. 156(11): Ling KS, Zhu HY, Petrovic N, Gonsalves D Serological detection of Grapevine leafroll virus 2 using an antiserum developed against the recombinant coat protein. J Phytopathol. 155(2): Lodge J, Lund P, Minchin S Gene Cloning. New York: Taylor & Francis Group. Lombardi A, Sperandei M, Cantale C, Giacomini P, Galeffi P Functional expression of a single-chain antibody specific or the HER2 human oncogene in a bacterial reducing environment. Protein Exp Purif. 44: Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP Brock: Biology of microorganisms. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings publishing Inc. Mahmood T, Hein GL, French RC Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Dis. 81: Moore PH. Botha FC Sugarcane: Physiology. Biochemistry and Functional Biology. Los Angeles: Wiley-Blackwell. Muladno Teknologi Rekayasa Genetika. Ed ke-2. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Nishimura A, Moritai M, Nishimura Y, Sugino Y A rapid and highly efficient method for preparation of competent Escherichia coli cells. Nucleic Acids Res. 18(20):6169. Novagen pet-28a-c(+) Vectors [internet]. [diunduh 2014 Sep 02]. Novagen pet Manual System. Ed ke-11. Ireland: Novagen.

55 Papaneophytou CP, Contopidis G Statistical approaches to maximize recombinant protein expression in Escherichia coli: A general review. Protein Exp Purif. 94: Pohanka M Monoclonal and polyclonal antibodies production-preparation of potent biorecognition element. J Appl Biomed. 7(3): Prabowo BD, Hadiastono T, Himawan T, Putra LK Detection disease of Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) via serological test on Sugarcane (Saccharum officinarum L.) weed and insect vector. Int J Sci Res. 3(1): Prameswari B, Bagyalakshmi K, Viswanathan R, Chinnaraja V Molecular characterization of Indian Sugarcane streak mosaic virus isolate. Virus Genes. 46(1): Putra LK, Astono TH, Syamsidi SRC, Djauhari S Dispersal, yield losses and varietal resistance of Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) in Indonesia. J Virol. 11(1): QIAexpressionist A handbook for high-level expression and purification of 6xHis-tagged protein. Ed ke-5. Valencia: Qiagen. Rao GR, Chatenet M, Girard JG, Rott P Distribution of Sugarcane mosaic and Sugarcane streak mosaic virus in India. Sugar Tech. 8(1): Rostami A, Bashir NS, Pirniakan P, Masoudi N, Expression of Cucumber mosaic virus coat protein and its assembly into virus like particles. Biotech Health Sci. 1(3):1-5. Sambrook J, Russel DW Molecular Cloning: A Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Santala V, Lamminmäki U Production of a biotinylated single-chain antibody fragment in the cytoplasm of Escherichia coli. J Immunol Methods. 284(1): Sathe TV, Shinde KP, Shaikh AL, Raut DK Sugarcane Pests and Diseases. Delhi: Manglam Publications. Sere Y, Onasanya A, Afolab AS, Abo EM Evaluation and potential of double immunodifussion gel assay for serological characterization of Rice yellow mottle virus isolates in West Africa. Africa J Biotech. 4(2): Singh L, Hallan V, Ram R, Zaidi AA Expression of recombinant Chrysanthemum virus B coat protein for raising polyclonal antisera. J Plant Biochem Biotechnol. 20(1): Snustad DP, Simmons MJ Principles of genetics. Ed ke-6. Hoboken: John Wiley & Sons Inc. Sumi S, Mathai A, Radhakrishnan VV Dot-immunobinding assay. Di dalam: Kurien BT. Scofield RH. Protein Blotting and Detection: Methods and Protocols. New York: Humana Press. Temaja IGRM Chrysanthemum B carlavirus (CVB) isolat Indonesia: karakterisasi dan pengembangan metode deteksi [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Thermo Scientific Thermo Scientific InsTAclone PCR Cloning Kit [internet]. [diunduh 2014 Sep 02]. Tersedia pada: com. 37

56 38 Viswanathan R, Balamuralikrishnan M, Karuppaiah R Characterization and genetic diversity of Sugarcane streak mosaic virus causing mosaic in sugarcane. Virus Genes. 36(3): Volonte F, Piubelli L, Pollegioni L Optimizing HIV-1 protease production in Escherichia coli as fusion protein. Microbiol Cell Fact. 10(53): Wilson CR Applied Plant Virology. Oxforshire: CAB International. Xu DL, Zhou GH, Xie YJ, Mock R, Li R Complete nucleotide sequence and taxonomy of Sugarcane streak mosaic virus, member of a novel genus in the family Potyviridae. Virus Genes. 40: Yuwono T Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga.

57 LAMPIRAN 39

58 40

59 41 Lampiran 1 Hasil transformasi ptz-scsmv pada E. coli strain JM107 yang ditumbuhkan pada media LBA-Ampisilin Lampiran 2 Restriksi 5 klon ptz-scsmv dengan BamHI dan HindIII yang menghasilkan 2 pita DNA yaitu pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan ukuran CP-SCSMV dan ±2886 pb yang merupakan ukuran ptz57r/t. M: penanda DNA 1 kb. pb M ±2886 pb ±850 pb

60 42 Lampiran 3 Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP-SCSMV pada GenBank SCSMV_Klon_1 GGAGAGCAAG GAACACAATC TGGGTTAAAT CAAAGCACAT CGGCTTCAAC GACATCGAGC SCSMV_Klon_2 GGAGAGCAAG GAACACAATC TGGGTTAAAT CAAAGCACAT CGGCTTCAAC GACATCGAGC SCSMV_Klon_6 GGAGAGCAAG GAACACAATC TGGATTAAAT CAAAGCACAT CGGCTTCAAC GACATCGAGC SCSMV_Indonesia GGAGAGCAAG GAACACCACC TGGGTTAAAT CAAAGCACAT CGGCTTCAAC GACATCGAGC SCSMV_China GGAGAGCAAG GGACACAACC TGGATTAAAT CAGAGTACAT CAGCTTCAAC AACATCAAGC SCSMV_India GGGGAACAAG GAACACAACC CGGATTGAAC CAGAGCACTT CGGCTTCTAC GGTGTCGAGC SCSMV_USA GGGGAACAAG GAACACAACC CGGATTGAAC CAGAGCACTT CGGCTTCTAC GGTGTCGAGC SCSMV_Thailand GATGGACAAG GAACGCAGCC GCCTCAGAAT CAGAGTAGTT CACCAGCGAC AACATCAAGC SCMV_India ACCAAGCTGG AACAGTCGAT GCAGGTGCTC AAGGAGGAGG TGGAAACGCT GGAACTCAGC Clustal Consens * * * * *** SCSMV_Klon_1 ACGTCAGCTA CGACAACTAG TCAAATAGGA AGTCAAACAA TAGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_Klon_2 ACGTCAGCTA CGACAACTAG TCAAATAGGA AGTCAAACAA TAGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_Klon_6 ACGTCAGCTA CGACAACTAG TCAAATAGGA AGTCAAACAA TAGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_Indonesia ACGTCAGCTA CGACAACAAG CCAAATAGGA AGTCAAACAG TAGGAAACTT AACCAACACA SCSMV_China ACATCAGCAA CAACAACAAG CCAAACAGGG AGTCAAACAA TTGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_India ACATCAGCTA CCACAACAAG TCAAGCAGGA AGTCAAACAA CAGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_USA ACATCAGCTA CCACAACAAG TCAAGCAGGA AGTCAAACAA CAGGGAACTT AACCAACACA SCSMV_Thailand ATATCATCAA CAACAACGAG TCAAGTTGGT AGTCAGACAA CAGGGAATTT GACTAATACA SCMV_India -CGCCAGCTA CAGCAGCAGC TCAAGGAGGA GCTCAACCAC CGGCAACTGG AGCAGCCGCA Clustal Consens ** * * * ** * *** ** *** ** * * * ** SCSMV_Klon_1 GTTTCACAAA CGATGAAATC TCTATACGTT CCACCGCTGG TTAAGTCCCT CAAAACGGAG SCSMV_Klon_2 GTTTCACAAA CGATGAAATC TCTATACGTT CCACCGCTGG TTAAGTCCCT CAAAACGGAG SCSMV_Klon_6 GTTTCACAAA CGATGAAATC TCTATACGTT CCACCGCTGG TTAAGTCCCT CAAAACGGAG SCSMV_Indonesia GTTTCACAAA CGATGAAATC TTTATACGTT CCACCGCTGG TTAAGTCACT CAAAACAGAG SCSMV_China GTTTCACAAA CGATGAGGTC TCTATACGTA CCACCACTGG TTAAGTCACT CAAAACGGAG SCSMV_India GTTTCACAAA CGATGAGGTC TCTATACGTA CCACCACTGG TTAAGTCACT CAAAACGGAG SCSMV_USA GTTTCACAAA CGATGAGGTC TCTATACGTA CCACCACTGG TTAAGTCACT CAAAACGGAG SCSMV_Thailand GTCTCTCAGA CCATGAAATC CCTGTACGTT CCGCCATTGG TGAAATCGCT CAAAACAGAA SCMV_India CAACCACCCT CGACTCAAGG TTCACAACCG C--CCACAGG GGGAGCTACT GGTGGAGGTG Clustal Consens * * * * * * ** ** * ** * SCSMV_Klon_1 GCCAAGGCAA AACAGATGAT GCGATACACA CCACCACAAG CTCTCATTTC ATCATCAGCA SCSMV_Klon_2 GCCAAGGCAA AACAGATGAT GCGATACACA CCACCACAAG CTCTCATTTC ATCATCAGCA SCSMV_Klon_6 GCCAAGGCAA AACAGATGAT GCGATACACA CCACCACAAG CTCTCATTTC ATCATCAGCA SCSMV_Indonesia GCCAAGGCAA AACAGATGAT GCGATACACA CCACCACAAG CTCTCATTTC ATCATCAGCA SCSMV_China GCTAAGGCGA AGCAGATGAT GAGGTACACA CCACCACAGG CACTTATATC TTCATCGGCC SCSMV_India GCCAAGGCAA AGCAGATGAT GAGGTACACA CCACCACAGG CACTTATATC TTCATCGGCC SCSMV_USA GCCAAGGCAA AGCAGATGAT GAGGTACACA CCACCACAGG CACTTATATC TTCATCGGCC SCSMV_Thailand GCCAAGGCAA AGCAGATGAT GAGGTACACA CCACCACAAG CTCTCATCTC TTCATCAGCC SCMV_India GTGCACAAGC AGGAGCTGGT GAAACTGGCT CAGTCACAGG AGGTCAAAGA GACAAGGATG Clustal Consens * * * ** ** * * * * **** * * * ** SCSMV_Klon_1 GCATCAATAC GACAATTCAA TGATTGGGCG AACACAGCAG CTGAAGGGTA TGGAAAAACT SCSMV_Klon_2 GCATCAATAC GACAGTTCAA TGATTGGGCG AACACAGCAG CTGAAGGGTA TGGAAAAACT SCSMV_Klon_6 GCATCAATAC GACAATTCAA TGACTGGGCG AACACAGCAG CTGAAGGGTA TGGAAAAACT SCSMV_Indonesia GCATCAATAC GACAATTCAA TGATTGGGCG AACACAGCAG CTGAAGGGTA TGGAAAAACT SCSMV_China GCATCAATAC GGCAGTTCAA TGATTGGGCA AACACAGCGG CTGAAGGGTA TGGAAAAACA SCSMV_India GCATCAATAC GGCAGTTCAA TGATTGGGCA AACACAGCGG CTGAAGGGTA TGGAAAAACA SCSMV_USA GCATCAATAC GGCAGTTCAA TGATTGGGCA AACACAGCGG CTGAAGGGTA TGGAAAAACA SCSMV_Thailand GCCTCGATAC GACAGTTCAA TGATTGGGCG AATACAGCAG CTGAAGGATA TGGGAAGACT SCMV_India ATGCTGGCAC GACAGGCAAA TCACAGTGCC AAAACTTAAA GCCATGTCGA AGAAGATGCG Clustal Consens ** * ** ** * * * ** ** ** * * * * * *

61 43 Lampiran 3 Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP-SCSMV pada GenBank (lanjutan) SCSMV_Klon_1 ATTCAACAGT TTACAGATGA GATACTCCCT TTTTGGATCT ATTGGTGCGT TGTTAATGGA SCSMV_Klon_2 ATTCAACAGT TTACAGATGA GATACTCCCT TTTTGGATCT ATTGGTGCGT TGTTAATGGA SCSMV_Klon_6 ATTCAACAGT TTACAGATGA GATACTCCCT TTTTGGATCT ATTGGTGCGT TGTTAATGGA SCSMV_Indonesia ATTCAACAGT TTACAGATGA GATACTCCCT TTTTGGATCT ATTGGTGCGT TGTTAATGGA SCSMV_China ATTCAACAGT TCACGGATGA GATACTCCCC TTTTGGATCT ATTGGTGTGT TGTCAATGGT SCSMV_India ATTCAACAGT TCACGGATGA GATACTCCCC TTTTGGATCT ATTGGTGTGT TGTCAACGGT SCSMV_USA ATTCAACAGT TCACGGATGA GATACTCCCC TTTTGGATCT ATTGGTGTGT TGTCAACGGT SCSMV_Thailand ATTCAACAAT TCACAGATGA AATACTTCCA TTCTGGATTT ACTGGTGTGT CGTTAACGGA SCMV_India CTTCAAAAGC AAAAGGAAAA GATGTTTTGC ATCTAGACTT TCTGTTAACA TACAAAC--C Clustal Consens ***** * * ** * ** * * * ** * ** * ** SCSMV_Klon_1 GCAACTGAAG AGAACAAGAC GAAGCCGTAG TGGACGAAAG CTGTGCTAAA CCTAGACGGA SCSMV_Klon_2 GCAACTGAAG AGAACAAGAC GAAGCCGAAG TGGACGAAAG CTGTGCTAAA CCTAGACGGA SCSMV_Klon_6 GCAACTGAAG AGAACAAGAC GAAGCCGAAG TGGACGAAAG CTGTGCTAAA CCTAGACGGA SCSMV_Indonesia GCAACTGAAG AGAACAAGAC GAAGCCGAAG TGGACGAAAG CTGTGCTAAA CTTGGACGGA SCSMV_China GCAACTGAAG AGAACAAGAC AAAGCCAAAG TGGACGAAAG CTGTGTTGAA TCTAGACGGA SCSMV_India GCAACTGAAG AGAACAAGAC AAAGCCAAAG TGGACGAAAG CTGTGTTGAA TCTAGATGGA SCSMV_USA GCAACTGAAG AGAACAAGAC AAAGCCAAAG TGGACGAAAG CTGTGTTGAA TCTAGATGGA SCSMV_Thailand GCGACAGAAG AGAACAAAAC CAAGCCCAAG TGGACAAAAG CTGTGTTAAA TCTGGATGGA SCMV_India GCAAC--AAC AGGACATAGC AAACACAAGA GCAACCAGAG AGGAGTTTGA --TAGGTGGT Clustal Consens ** ** ** *** * ** * ** * *** * * * * * ** SCSMV_Klon_1 GCAGATGGCA CAGAGATCAC CGTAGATGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_Klon_2 GCAGATGGCA CAGAGATCAC CGTAGATGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_Klon_6 GCAGATGGCA CAGAGATCAC CGTAGACGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_Indonesia GCAGATGGCA CAGAGATTAC TGTAGACGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAGATGGGG SCSMV_China GCAGATGGCA CAGAGATTAC CGTGGATGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_India GCAGATGGCA CAGAGATTAC CGTGGATGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_USA GCAGATGGCA CAGAGATTAC CGTGGATGAA AACGGACCCC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCSMV_Thailand GCTGATGGGA CAGAGATAAC TGTTGACGAA AATGGGCCTC AAGTGGAGTT TGAAATGGGG SCMV_India AT-GAAGCCA TAAAGAAGGA ATATGAAATA GACGACACAC AAATGACAGT TGTCATGAG- Clustal Consens ** * * * *** ** * * * * * ** ** * ** *** * SCSMV_Klon_1 CCAATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCAATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_Klon_2 CCAATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCAATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_Klon_6 CCAATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCAATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_Indonesia CCAATGTACA GAAACGCCAA GCCTGGTATT CGCGCGATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_China CCGATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCGATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_India CCGATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCGATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_USA CCGATGTACA GAAACGCCAA ACCTGGTATT CGCGCGATTA TGAGACATTT TGGCGAATTG SCSMV_Thailand CCAATGTATA GAAACGCCAA ACCTGGAATT CGCGCCATTA TGAGACACTT TGGCGAATTG SCMV_India -TGGTCTAAT GGTATGGTGT ATTGAAAATG GTTGC--TCA CCAAACATAA ACGGAAATTG Clustal Consens * ** * * * ** ** * * * *** * ***** SCSMV_Klon_1 GCGTATAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_Klon_2 GCGTATAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_Klon_6 GCGTATAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_Indonesia GCGTATAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_China GCGTACAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_India GCGTACAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_USA GCGTACAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGCGGGAAAC CCATAATACC ACACAATGCA SCSMV_Thailand GCGTACAAGT GGGTTCAGTT CTCGGTTCGT AGGGGGAAAC CCATAATACC ACATAATGCA SCMV_India GACAATGA-T GGATGGAGAT ----GAACAA AGAGTCTTTC CATTAAAACC AGTTATTGAA Clustal Consens * * * * ** * ** * * * ** * * * *** *** * * ** *

62 44 Lampiran 3 Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP-SCSMV pada GenBank (lanjutan) SCSMV_Klon_1 GTGAAGGCAG GGTTGACCAC ACCAGAGTTT TACCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_Klon_2 GTGAAGGCAG GGTTGACCAC ACCAGAGTTT TACCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_Klon_6 GTAAAGGCAG GGTTGACCAC ACCAGAGTTT TACCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_Indonesia GTGAAGGCAG GATTGACCAC ACCAGAGTTT TATCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_China GTGAAGGCAG GATTGACAAC ACCAGAGTTT TATCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_India GTGAAGGCAG GATTGACAAC ACCAGAGTTT TATCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_USA GTGAAGGCAG GATTGACAAC ACCAGAGTTT TATCCTTGCT GCATTGATTT CGTGATGGTG SCSMV_Thailand GTAAAGGCAG GATTAACAAC TCCAGAGTTT TATCCTTGCT GCATTGATTT TGTGATGGTG SCMV_India ---AACGCAT CTCCAACATT CCGGCAAATA ATGCATCATT TTAGTGATGC AGCTGAAGCA Clustal Consens ** *** ** * * * * * * * **** * * SCSMV_Klon_1 AATATCCTCT CACCAGCAGA AATTGACGTG CGTAACCAGG TGATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_Klon_2 AATATCCTCT CACCAGCAGA AATTGACGTG CGTAACCAGG TGATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_Klon_6 AATATCCTCT CACCAGCAGA AATTGACGTG CGTAACCAGG TGATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_Indonesia AATATCCTCT CACCAGCAGA AATCGACGTG CGTAACCAGG TGATTAACGC ACGTACACCC SCSMV_China AACATCCTCT CACCAGCAGA AATCGACGTG CGTAACCAGG TAATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_India AACATCCTCT CACCAGCAGA AATCGACGTG CGTAACCAGG TAATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_USA AACATCCTCT CACCAGCAGA AATCGACGTG CGTAACCAGG TAATTAACGC ACGCACACCC SCSMV_Thailand AACATCCTCT CACCAGCAGA AATAGACGTG CGTAACCAGG TGATTAACGC ACGCACACCC SCMV_India TATATCGTAT AGAAACTCTA CAGAGCGGTA CATG-CCACG ATATGGACTT CAGCGAAATC Clustal Consens * *** * * * * * * ** * * *** * ** ** * * * SCSMV_Klon_1 CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_Klon_2 CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_Klon_6 CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_Indonesia CGGATTGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_China CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_India CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_USA CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCATGCT CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCSMV_Thailand CGGATGGGAA AGCCTTTATT CCGTCACGCG CTTAGAGCCG GGGGAGATGA GGACACGGAC SCMV_India TCACCGACTA TAGCTT-AGC GCGGTATGC- CTTTGACTTT TACGAAATGA ATTCAAGGAC Clustal Consens * *** * ** * ** *** ** ** **** ** **** SCSMV_Klon_1 CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_Klon_2 CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_Klon_6 CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_Indonesia CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_China CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_India CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_USA CTGCGTAGGG AAGATGATGC AAACTATGGA AGGACGCAGA TCGGTGGCGC TCATTTTGGG SCSMV_Thailand CTGCGTAGAG AAGATGATGC TAATTATGGA AGGACGCAGA TCGGAGGCGC TCATTTTGGG SCMV_India CCAGCTAGAG CTAAGGAAGC CCACTGCAGA TGAAGGCCG- -CAGCAGTCC GTGGTTCAAA Clustal Consens *** * * ** ** * * ** * * ** * * * * * ** SCSMV_Klon_1 CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_Klon_2 CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_Klon_6 CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_Indonesia CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_China CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_India CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_USA CGCGCCCAGC ACTGA SCSMV_Thailand CGCGCTCAGC ACTGA SCMV_India CACACG-ACT GTTCG Clustal Consens * * * * *

63 45 Lampiran 4 Runutan asam amino CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP- SCSMV pada GenBank. SCMV digunakan sebagai pembanding di luar grup. SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens GEQGTQSGLN QSTSASTTSS TSATTTSQIG SQTIGNLTNT VSQTMKSLYV GEQGTQSGLN QSTSASTTSS TSATTTSQIG SQTIGNLTNT VSQTMKSLYV GEQGTQSGLN QSTSASTTSS TSATTTSQIG SQTIGNLTNT VSQTMKSLYV GEQGTPPGLN QSTSASTTSS TSATTTSQIG SQTVGNLTNT VSQTMKSLYV GEQGTQPGLN QSTSASTTSS TSATTTSQTG SQTIGNLTNT VSQTMRSLYV GEQGTQPGLN QSTSASTVSS TSATTTSQAG SQTTGNLTNT VSQTMRSLYV GEQGTQPGLN QSTSASTVSS TSATTTSQAG SQTTGNLTNT VSQTMRSLYV DGQGTQPPQN QSSSPATTSS ISSTTTSQVG SQTTGNLTNT VSQTMKSLYV TKLEQSMQVL KEEVETLELS XPATAAAQGG AQPPATGAAA QPPSTQGSQP XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT PPLVKSLKTE AKAKQMMRYT PPQALISSSA ASIRQFNDWA NTAAEGYGKT XPQGELLVEV VHKQELVKLA QSQEVKETRM MLARQANHSA KT*SHVEEDA XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKP* WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE IQQFTDEILP FWIYWCVVNG ATEENKTKPK WTKAVLNLDG ADGTEITVDE LQKQKEKMFC I*TFC*HTNX AXXQDIANTR ATREEFXXGG XEAIKKEYEI XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR SGKPIIPHNA NGPQVEFEMG PMYRNAKPGI RAIMRHFGEL AYKWVQFSVR RGKPIIPHNA DDTQMTVVMX XV*WYGVLKM VXXTKHKRKL DNXWMEX-EQ RVFPLKPVIE XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX

64 46 Lampiran 4 Runutan asam amino CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CP- SCSMV pada GenBank. SCMV digunakan sebagai pembanding di luar grup (lanjutan) SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RIGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA VKAGLTTPEF YPCCIDFVMV NILSPAEIDV RNQVINARTP RMGKPLFRHA -NASPTFRQI MHHFSDAAEA YIV*KLYRAV HXHDMDFSEI SPTIAXARYX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX SCSMV_Klon_1 SCSMV_Klon_2 SCSMV_Klon_6 SCSMV_Indonesia SCSMV_China_KT2 SCSMV_India_AM7 SCSMV_USA_U7545 SCSMV_Thailand_ SCMV_India_DQ84 Clustal Consens LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* LRAGGDEDTD LRREDDANYG RTQIGGAHFG RAQH* L*LLRNEFKD PARAKEAHCR *RPXSSPWFK HTXCS XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXXXXXXX XXXXX

65 47 Lampiran 5 Susunan asam nukleat ptz-scsmv yang benar dan CP-SCSMV yang memiliki orientasi terbalik. Kotak hijau: situs restriksi BamHI, kotak biru: situs restriksi HindIII, sikuen warna biru merupakan sikuen CP- SCSMV Susunan asam nukleat ptz-scsmv klon_2 Primer Forward BamHI : AAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACA TTAAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACAATCTGGGTTAAATCAAAGCACATCGGCTTCAACGACATCGA GCACGTCAGCTACGACAACTAGTCAAATAGGAAGTCAAACAATAGGGAACTTAACCAACACAGTTTCA CAAACGATGAAATCTCTATACGTTCCACCGCTGGTTAAGTCCCTCAAAACGGAGGCCAAGGCAAAACAG ATGATGCGATACACACCACCACAAGCTCTCATTTCATCATCAGCAGCATCAATACGACAGTTCAATGAT TGGGCGAACACAGCAGCTGAAGGGTATGGAAAAACTATTCAACAGTTTACAGATGAGATACTCCCTTTT TGGATCTATTGGTGCGTTGTTAATGGAGCAACTGAAGAGAACAAGACGAAGCCGAAGTGGACGAAAGC TGTGCTAAACCTAGACGGAGCAGATGGCACAGAGATCACCGTAGATGAAAACGGACCCCAAGTGGAGT TTGAAATGGGGCCAATGTACAGAAACGCCAAACCTGGTATTCGCGCAATTATGAGACATTTTGGCGAAT TGGCGTATAAGTGGGTTCAGTTCTCGGTTCGTAGCGGGAAACCCATAATACCACACAATGCAGTGAAGG CAGGGTTGACCACACCAGAGTTTTACCCTTGCTGCATTGATTTCGTGATGGTGAATATCCTCTCACCAGC AGAAATTGACGTGCGTAACCAGGTGATTAACGCACGCACACCCCGGATGGGAAAGCCTTTATTCCGTCA TGCTCTTAGAGCCGGGGGAGATGAGGACACGGACCTGCGTAGGGAAGATGATGCAAACTATGGAAGGA CGCAGATCGGTGGCGCTCATTTTGGGCGCGCCCAGCACTGAAAGCTTATAAATCGGATCCCGGGCCCGT CGACTGCAGAGGCCTGCATGCAAGCTT Susunan asam nukleat ptz-scsmv klon_4 (orientasi terbalik) Primer Reverse HindR3 : TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCGCG TTTATAAGCTTTCAGTGCTGGGCGCGCCCAAAATGAGCGCCACCGATCTGCGTCCTTCCATAGTTTGCATCATCT TCCTTACGCAGGTCCGTGTCCTCATCTCCCCCGGCTCTAAGAGCATGACGGAATAAAGGCTTTCCCATCCGGGG TGTGCGTGCGTTAATCACCTGGTTACGCACGTCAATTTCTGCTGGTGAGAGGATATTCACCATCACGAAATCAA TGCAGCAAGGGTAAAACTCTGGTGTGGTCAACCCTGCCTTCACTGCATTGTGTGGTATTATGGGTTTCCCGCTA CGAACCGAGAACTGAACCCACTTATACGCCAATTCGCCAAAATGTCTCATAATTGCGCGAATACCAGGTTTGG CGTTTCTGTACATTGGCCCCATTTCAAACTCCACTTGGGGTCCGTTTTCATCTACGGTGATCTCTGTGCCATCTG CTCCGTCTAGGTTTAGCACAGCTTTCGTCCACTTCGGCTTCGTCTTGTTCTCTTCAGTTGCTCCATTAACAACGC ACCAATAGATCCAAAAAGGGAGTATCTCATCTGTAAACTGTTGAATAGTTTTTCCATACCCTTCAGCTGCTGTG TTCGCCCAATCATTGAATTGTCGTATTGATGCTGCTGATGATGAAATGAGAGCTTGTGGTGGTGTGTATCGCAT CATCTGTTTTGCCTTGGCCTCCGTTTTGAGGGACTTAACCAGCGGTGGAACGTATAGAGATTTCATCGTTTGTGA AACTGTGTTGGTTAAGTTCCCTATTGTTTGACTTCCTATTTGACTAGTTGTCGTAGCTGACGTGCTCGATGTCGT TGAAGCCGATGTGCTTTGATTTAACCCAGATTGTGTTCCTTGCTCTCCGGATCCTTAATCGGATCCCGGGCCCGT CGACTGCAGAGGCCTGCATGCAAGCTT Susunan asam nukleat ptz-scsmv klon_5 (orientasi terbalik) Primer Reverse HindR3 : TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCGCG TTTATAAGCTTTCAGTGCTGGGCGCGCCCAAAATGAGCGCCACCGATCTGCGTCCTTCCATAGTTTGCAT CATCTTCCCTACGCAGGTCCGTGTCCTCATCTCCCCCGGCTCTAAGAGCATGACGGAATAAAGGCTTTCC CATCCGGGGTGTGCGTGCGTTAATCACCTGGTTACGCACGTCAATTTCTGCTGGTGAGAGGATATTCACC ATCACGAAATCAATGCAGCAAGGGTAAAACTCTGGTGTGGTCAACCCTGCCTTCACTGCATTGTGTGGT ATTATGGGTTTCCCGCTACGAACCGAGAACTGAACCCACTTATACGCCAATTCGCCAAAATGTCTCATA ATTGCGCGAATACCAGGTTTGGCGTTTCTGTACATTGGCCCCATTTCAAACTCCACTTGGGGTCCGTTTT CATCTACGGTGATCTCTGTGCCATCTGCTCCATCTAGGTTTAGCACAGCTTTCGTCTACTTCGGCTTCGTC TTGTTCTCTTCAGTTGCTCCATTAACAACGCACCAATAGATCCAAAAAGGGAGTATCTCATCTGTAAACT GTTGAATAGTTTTTCCATACCCTTCAGCTGCTGTGTTCGCCCAATCATTGAATTGTCGTATTGATGCTGCT GATGATGAAATGAGAGCTTGTGGTGGTGTGTATCGCATCATCTGTTTTGCCTTGGCCTCCGTTTTGAGGG ACTTAACCAGCGGTGGAACGTATAAAGATTTCATCGTTTGTGAAACTGTGTTGGTTAAGTTCCCTATTGT TTGACTTCCTATTTGACTAGTTGTCGTAGCTGACGTGCTCGATGTCGTTGAAGCCGATGTGCTTTGATTTA ACCCAGATTGTGTTCCTTGCTCTCCGGATCCTTAATCGGATCCCGGGCCCGTCGACTGCAGAGGCCTGCA TGCAAGCTT

66 48 Lampiran 6 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda. (a) Suhu 25 o C, (b) suhu 30 o C, (c) suhu 37 o C. Un: Tanpa induksi IPTG, M: penanda protein unstained (Thermo Sciences) (a) ±35.4 kda (b) ±35.4 kda (c) ±35.4 kda

67 49 Lampiran 7 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda. (a) Suhu 25 o C, (b) suhu 30 o C, (c) suhu 37 o C. Un: Tanpa induksi IPTG, M: penanda protein unstained (Thermo Sciences) (a) ±35.4 kda (b) ±35.4 kda (c) ±35.4 kda

68 50 Lampiran 8 Reaksi antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCSMV pada metode AGPT. a: Reaksi antiserum SCSMV terhadap sap tanaman sehat (1 & 2), sap tanaman terinfeksi SCSMV (3 & 4) dan protein rekombinan CP-SCSMV (5 & 6). b: Reaksi antiserum CP-SCSMV terhadap protein rekombinan CP-SCSMV pada berbagai tingkat pengenceran (1 = 1, 2 = 1 2, 3 = 1 4, 4=1 8, 5 = 1 16, 6 = 1 32 ). A : Antiserum SCSMV a) b) A A Lampiran 9 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 1) Pengenceran antigen SCSMV NAE beberapa tingkat pengenceran antiserum 1 1:100 1:250 1:500 1:750 1:1000 1:2000 Antiserum kasar Bufer K : : : : : Antiserum dengan pemurnian Bufer K : : : : : NAE: Nilai absorbansi ELISA. NAE dihitung pada 45 menit setelah penambahan substrat pewarnaan

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor )

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Ir. Lilik Koesmihartono Putra, M.AgSt (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) Tahun-3 1. Konstruksi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

GENETIKA DASAR Rekayasa Genetika Tanaman. Definisi. Definisi. Definisi. Rekayasa Genetika atau Teknik DNA Rekombinan atau Manipulasi genetik

GENETIKA DASAR Rekayasa Genetika Tanaman. Definisi. Definisi. Definisi. Rekayasa Genetika atau Teknik DNA Rekombinan atau Manipulasi genetik Definisi GENETIKA DASAR Rekayasa Genetika Tanaman Oleh: Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr. HP: 081 385 065 359 e-mail: dirvamenaboer@yahoo.com Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari Dipublikasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN IV (ISOLASI RNA DARI TANAMAN) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI RNA DARI TANAMAN TUJUAN Tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan:

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan: Materi Kuliah Bioteknologi Pertanian Prodi Agroteknologi Pertemuan Ke 9-10 TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN Ir. Sri Sumarsih, MP. Email: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Website: agriculture.upnyk.ac.id

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si REKAYASA GENETIKA By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si Dalam rekayasa genetika DNA dan RNA DNA (deoxyribonucleic Acid) : penyimpan informasi genetika Informasi melambangkan suatu keteraturan kebalikan dari entropi

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA ( VEKTOR PLASMID )

REKAYASA GENETIKA ( VEKTOR PLASMID ) MAKALAH REKAYASA GENETIKA ( VEKTOR PLASMID ) Disusun oleh: NAMA : LASINRANG ADITIA NIM : 60300112034 KELAS : BIOLOGI A TUGAS : REKAYASA GENETIKA JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Virus Terbawa Benih Uji serologi menggunakan teknik deteksi I-ELISA terhadap delapan varietas benih kacang panjang yang telah berumur 4 MST menunjukkan bahwa tujuh varietas

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid Mini kit, inkubator goyang (GSL), jarum Ose bundar, kit GFX (GE Healthcare), kompor listrik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemotongan Parsial dan Penyisipan Nukleotida pada Ujung Fragmen DNA Konstruksi pustaka genom membutuhkan potongan DNA yang besar. Untuk mendapatkan fragmen-fragmen dengan ukuran relatif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN TICV Isolat Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN TICV Isolat Indonesia 23 HASIL DAN PEMBAHASAN TICV Isolat Indonesia Penyakit klorosis saat ini sudah ditemukan di Indonesia. Pertama kali ditemukan di sentra pertanaman tomat di Magelang, Jawa Tengah dan Purwakarta, Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi Fragmen DNA Penyandi CcGH Mature Plasmid pgem-t Easy yang mengandung cdna GH ikan mas telah berhasil diisolasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pita DNA pada ukuran

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi Calon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 6. TEKNIK DASAR KLONING Percobaan pertama penggabungan fragmen DNA secara in vitro dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu oleh Jackson et al. (1972). Melakukan penyisipan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas

Lebih terperinci

RATNA ANNISA UTAMI

RATNA ANNISA UTAMI RATNA ANNISA UTAMI 10703022 AMPLIFIKASI DAN KLONING DNA PENGKODE PROTEIN CHAPERONIN 60.1 MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS KE DALAM VEKTOR pgem-t PADA ESCHERICHIA COLI PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

Lebih terperinci

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis ABSTRAK OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis Nia Oktriviany, 2009 Pembimbing I : Ernawati Arifin Giri Rachman, Ph.D Pembimbing serta I : Debbie Sofie Retnoningrum,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kerjasama Bioteknologi Indonesia- Belanda (BIORIN) dan Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman (BMST), Pusat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

KLONING DAN OVEREKSPRESI GEN celd DARI Clostridium thermocellum ATCC DALAM pet-blue VECTOR 1

KLONING DAN OVEREKSPRESI GEN celd DARI Clostridium thermocellum ATCC DALAM pet-blue VECTOR 1 PROPOSAL METODOLOGI PENELITIAN (BM-3001) KLONING DAN OVEREKSPRESI GEN celd DARI Clostridium thermocellum ATCC 27405 DALAM pet-blue VECTOR 1 Penyusun: Chandra 10406014 Dosen Narasumber: Dra. Maelita Ramdani

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Vektor Kloning Protein rgh Isolasi Plasmid cdna GH. Plasmid pgem-t Easy yang mengandung cdna; El-mGH, Og-mGH dan Cc-mGH berhasil diisolasi dari bakteri konstruksi E. coli DH5α dengan

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

YOHANES NOVI KURNIAWAN KONSTRUKSI DAERAH PENGKODE INTERFERON ALFA-2B (IFNα2B) DAN KLONINGNYA PADA Escherichia coli JM109

YOHANES NOVI KURNIAWAN KONSTRUKSI DAERAH PENGKODE INTERFERON ALFA-2B (IFNα2B) DAN KLONINGNYA PADA Escherichia coli JM109 YOHANES NOVI KURNIAWAN 10702026 KONSTRUKSI DAERAH PENGKODE INTERFERON ALFA-2B (IFNα2B) DAN KLONINGNYA PADA Escherichia coli JM109 Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007

Lebih terperinci

Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan. beserta tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi

Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan. beserta tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom dan DNA vektor, pemotongan DNA menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fabavirus pada Tanaman Nilam Deteksi Fabavirus Melalui Uji Serologi Tanaman nilam dari sampel yang telah dikoleksi dari daerah Cicurug dan Gunung Bunder telah berhasil diuji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis. Secara umum penyebaran bakteri ini melalui inhalasi, yaitu udara yang tercemar oleh penderita

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. ISOLASI DNA GENOM PADI (Oryza sativa L.) KULTIVAR ROJOLELE,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. ISOLASI DNA GENOM PADI (Oryza sativa L.) KULTIVAR ROJOLELE, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. ISOLASI DNA GENOM PADI (Oryza sativa L.) KULTIVAR ROJOLELE, NIPPONBARE, DAN BATUTEGI Isolasi DNA genom padi dari organ daun padi (Oryza sativa L.) kultivar Rojolele, Nipponbare,

Lebih terperinci

BAB IX. DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN

BAB IX. DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN BAB IX. DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2006 sampai dengan bulan April 2007. Penelitian dilakukan di rumah kaca, laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, dan

Lebih terperinci

RNA (Ribonucleic acid)

RNA (Ribonucleic acid) RNA (Ribonucleic acid) Seperti yang telah dikemukakan bahwa, beberapa organisme prokaryot, tidak memiliki DNA, hanya memiliki RNA, sehingga RNA-lah yang berfungsi sebagai molekul genetik dan bertanggung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Pineapple Mealybug Wilt-associated Virus PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN NANAS DI INDONESIA RENO TRYONO

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Pineapple Mealybug Wilt-associated Virus PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN NANAS DI INDONESIA RENO TRYONO DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Pineapple Mealybug Wilt-associated Virus PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN NANAS DI INDONESIA RENO TRYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Bahan yang digunakan memiliki kualitas pro analisis atau pro biologi molekular, yaitu : primer M. tuberculosis forward: 5 GGATCCGATGAGCAAGCTGATCGAA3 (Proligo) dan primer M. tuberculosis

Lebih terperinci

STUDI HOMOLOGI DAERAH TERMINAL-C HASIL TRANSLASI INSCRIPTO BEBERAPA GEN DNA POLIMERASE I

STUDI HOMOLOGI DAERAH TERMINAL-C HASIL TRANSLASI INSCRIPTO BEBERAPA GEN DNA POLIMERASE I STUDI HOMOLOGI DAERAH TERMINAL-C HASIL TRANSLASI INSCRIPTO BEBERAPA GEN DNA POLIMERASE I T 572 MUL ABSTRAK DNA polimerase merupakan enzim yang berperan dalam proses replikasi DNA. Tiga aktivitas yang umumnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Produksi Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rgh)

BAHAN DAN METODE. Produksi Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rgh) 11 BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 tahapan utama, yaitu produksi protein rekombinan hormon pertumbuhan (rgh) dari ikan kerapu kertang, ikan gurame, dan ikan mas, dan uji bioaktivitas protein

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

KLONING. dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman.

KLONING. dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. KLONING dari kata clone yang diturunkan dari bahasa Yunani klon, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. DI BID PERTANIAN KLON = sekelompok individu yang genetis uniform berasal dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. SINTESIS DAN AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN tat HIV-1 MELALUI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. SINTESIS DAN AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN tat HIV-1 MELALUI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. SINTESIS DAN AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN tat HIV-1 MELALUI TEKNIK PCR OVERLAPPING 1. Sintesis dan amplifikasi fragmen ekson 1 dan 2 gen tat HIV-1 Visualisasi gel elektroforesis

Lebih terperinci

PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260

PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260 PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260 ADE NENA NURHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

REKAYASA GENETIKA. Genetika. Rekayasa. Sukarti Moeljopawiro. Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada REKAYASA GENETIKA Sukarti Moeljopawiro Laboratorium Biokimia Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Rekayasa Genetika REKAYASA GENETIKA Teknik untuk menghasilkan molekul DNA yang berisi gen baru yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN bp bp bp

HASIL DAN PEMBAHASAN bp bp bp HASIL DAN PEBAHASAN Purifikasi dan Pengujian Produk PCR (Stilbena Sintase) Purifikasi ini menggunakan high pure plasmid isolation kit dari Invitrogen. Percobaan dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DAN EKSPRESI pet-endo-β-1,4-xilanase DALAM Escherichia coli BL21 SKRIPSI. Oleh : Eka Yuni Kurniawati NIM

TRANSFORMASI DAN EKSPRESI pet-endo-β-1,4-xilanase DALAM Escherichia coli BL21 SKRIPSI. Oleh : Eka Yuni Kurniawati NIM TRANSFORMASI DAN EKSPRESI pet-endo-β-1,4-xilanase DALAM Escherichia coli BL21 SKRIPSI Oleh : Eka Yuni Kurniawati NIM 101810301003 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan melalui partikel

Lebih terperinci

SINTESIS DAN PENGKLONAAN FRAGMEN GEN tat (TRANSAKTIVATOR) HIV-1 KE DALAM VEKTOR EKSPRESI PROKARIOT pqe-80l EKAWATI BETTY PRATIWI

SINTESIS DAN PENGKLONAAN FRAGMEN GEN tat (TRANSAKTIVATOR) HIV-1 KE DALAM VEKTOR EKSPRESI PROKARIOT pqe-80l EKAWATI BETTY PRATIWI SINTESIS DAN PENGKLONAAN FRAGMEN GEN tat (TRANSAKTIVATOR) HIV-1 KE DALAM VEKTOR EKSPRESI PROKARIOT pqe-80l EKAWATI BETTY PRATIWI 0304040257 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

TOPIK HIDAYAT dan ANA RATNA WULAN ABSTRAK ABSTRACT

TOPIK HIDAYAT dan ANA RATNA WULAN ABSTRAK ABSTRACT BEBERAPA MODIFIKASI PERLAKUAN UNTUK MENGEKSTRAKSI DNA DARI BAHAN HERBARIUM (Several modifications of treatment in extracting DNA from herbarium material) TOPIK HIDAYAT dan ANA RATNA WULAN Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

ABSTRAK. ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi

ABSTRAK. ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi ABSTRAK ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi Patrisia Puspapriyanti, 2008. Pembimbing I : Ernawati A.Girirachman, Ph.D. Pembimbing II : Johan Lucianus, dr., M.Si. Salmonella

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM)

LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DNA GENOM TUJUAN 16s rrna. Praktikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT BIOEKOLOGI DAN BIOMOLEKULER VIRUS MOSAIK BERGARIS PADA TEBU DI INDONESIA

KAJIAN SIFAT BIOEKOLOGI DAN BIOMOLEKULER VIRUS MOSAIK BERGARIS PADA TEBU DI INDONESIA KAJIAN SIFAT BIOEKOLOGI DAN BIOMOLEKULER VIRUS MOSAIK BERGARIS PADA TEBU DI INDONESIA Kode : IIF/13 (Lanjutan) Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Lilik Koesmihartono Putra, M.AgSt (Pusat

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016 EKSTRAKSI DNA 13 Juni 2016 Pendahuluan DNA: polimer untai ganda yg tersusun dari deoksiribonukleotida (dari basa purin atau pirimidin, gula pentosa,dan fosfat). Basa purin: A,G Basa pirimidin: C,T DNA

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi PCR Pada penelitian konstruksi gen harus mempertimbangkan dua hal yaitu urutan nukleotida gen yang akan dikonstruksi dan vektor ekspresi yang akan digunakan. Pada

Lebih terperinci

Kloning Domain KS dan Domain A ke dalam Sel E. coli DH5α. Analisis Bioinformatika. HASIL Penapisan Bakteri Penghasil Senyawa Antibakteri

Kloning Domain KS dan Domain A ke dalam Sel E. coli DH5α. Analisis Bioinformatika. HASIL Penapisan Bakteri Penghasil Senyawa Antibakteri 3 selama 1 menit, dan elongasi pada suhu 72 0 C selama 1 menit. Tahap terakhir dilakukan pada suhu 72 0 C selama 10 menit. Produk PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1 % (b/v) menggunakan tegangan 70

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. protein dalam jumlah besar (Reece dkk., 2011). kompeten biasanya dibuat dari inokulum awal dengan konsentrasi 2% ( v / v )

I. PENDAHULUAN. protein dalam jumlah besar (Reece dkk., 2011). kompeten biasanya dibuat dari inokulum awal dengan konsentrasi 2% ( v / v ) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Plasmid merupakan molekul DNA berukuran relatif kecil, melingkar, dan beruntai ganda. Plasmid membawa gen-gen yang terpisah dari kromosom bakteri. Plasmid digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1988). B. Populasi dan sampel Populasi pada penelitian ini adalah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN V (HIBRIDISASI) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 HIBRIDISASI DOT BLOT TUJUAN blot) Praktikum ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan survei dan pengambilan sampel kutukebul dilakukan di sentra produksi tomat di Kecamatan Cikajang (kabupaten Garut), Kecamatan Pacet (Kabupaten Cianjur), Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci