BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Analisis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Menganalisis berarti menguraikan bagian-bagian dari suatu pokok untuk kemudian dilihat hubungan antar bagian tersebut. Sementara itu Spradley dalam Sugiyono (2013:89) mengatakan bahwa analisis adalah sebuah kegiatan untuk mencari suatu pola. Kemudian ditambahkan oleh Nasution dalam Sugiyono (2013:88) bahwa melakukan analisis adalah pekerjaan sulit, memerlukan kerja keras. Ini berarti, dalam menganalisis diperlukan suatu langkah yang tepat agar menganalisis tidak menjadi hal yang sulit. Dari beberapa pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis adalah kegiatan untuk menguraikan berbagai bagian dari suatu pokok yang memiliki pola tertentu, serta mengetahui hubungan antar bagian hingga memperoleh pemahaman yang tepat. Dikarenakan analisis kegiatan yang memerlukan kerja keras karena dianggap sulit, maka dari itu diperlukan metode atau cara yang tepat untuk sampai pada pengertian ataupun pemahaman hingga menyeluruh sesuai dengan tujuan yang diinginkan. 11

2 Tinjauan Proses Berpikir Pengertian Berpikir Berpikir merupakan aktivitas yang tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari, sebab hampir dilakukan oleh manusia setiap saat. Berpikir menjadi salah satu ciri utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Berpikir adalah aktivitas mental yang dilakukan seseorang ketika sedang menghadapi sesuatu hal yang terjadi pada dirinya. Berpikir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:872) adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam berpikir, kinerja otak akan sangat berperan aktif dalam mengolah informasi, hingga melakukan pertimbangan-pertimbangan dan sampai akhirnya diperoleh suatu keputusan. Berpikir adalah proses yang dialektis, di mana akan ada keadaan tanya jawab di dalam pikiran seseorang dalam meletakkan hubungan pengetahuannya (Ahmadi dan Supriyono, 2004:31). Sementara itu para psikolog dalam Feldman (2012:299) mendefinisikan berpikir sebagai manipulasi terhadap representasi mental dari informasi. Suatu representasi dapat berbentuk kata, gambaran visual, suara, dan data dalam modalitas sensori lain yang tersimpan di dalam memori. Berpikir dapat mengubah suatu representasi tertentu menjadi sesuatu yang baru bahkanberbeda, sehingga seseorang dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi dalam hidupnya, membuat suatu keputusan, serta mencapai suatu tujuan yang diinginkan.

3 13 Dengan mengacu pada beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah aktivitas mental yang dilakukan seseorang sebelum membuat keputusan. Berpikir sangat tidak mungkin tidak terjadi pada manusia dalam menjalani kehidupan. Sebab dengan berpikir, seseorang akan mampu memperoleh sesuatu yang baru dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan yang terkait di dalamnya. Serta, memudahkan manusia dalam menghadapi masalah dan persoalan, membuat keputusan, hingga mencapai tujuan yang dikehendaki Pengertian Proses Berpikir Proses berpikir terdiri dari kata proses dan berpikir. Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:899) adalah rangkaian tindakan, pembuatan, dan pengolahan yang menghasilkan produk. Sedangkan berpikir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:872) adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses berpikir adalah rangkaian tindakan yang dilakukan secara dinamis untuk memutuskan dan menghasilkan sesuatu. Suryabarata (2015:54) menyatakan bahwa berpikir adalah proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses atau jalannya berpikir pada pokoknya memiliki tiga langkah, antara lain: 1. Pembentukan pengertian Di dalam pembentukan pengertian, seseorang akan menganalisis serta membandingkan objek dengan cara memilah ciri-ciri yang sejenis atau tidak

4 14 sejenis. Selain itu, seseorang akan mengabstraksikan objek dengan menyisihkan ataupun membuang ciri-ciri yang tidak sesuai. 2. Pembentukan Pendapat Suatu pendapat terbentuk karena adanya hubungan antara beberapa pengertian. Seseorang akan membentuk suatu pendapat setelah menggabungkan beberapa pengertian yang telah diperoleh. Pendapat tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat. Pendapat dapat dibedakan menjadi 3 macam, antara lain: (1) Pendapat afirmatif/positif yaitu pendapat yang mengiyakan, yang secara tegas menyatakan keadaan sesuatu, (2) Pendapat negatif yaitu pendapat yang menidakkan, yang secara tegas menerangkan tentang tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal, dan (3) Pendapat modalitas/kebarangkalian yaitu pendapat yang menerangkan kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal. 3. Pembentukan Keputusan atau Penarikan Kesimpulan Keputusan adalah hasil perbuatan akal setelah menggabungkan pendapat yang telah dibentuk sebelumnya. Keputusan terbagi menjadi 3 macam, antara lain: (1) Keputusan deduktif, (2) Keputusan induktif, dan (3) Keputusan analogis. Oleh karena itu, proses berpikir dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan yang dilakukan secara dinamis untuk memutuskan dan menghasilkan suatu jawaban dalam penyelesaian soal cerita. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan sebagai indikator proses berpikir mengacu pada langkah-langkah proses berpikir yang dikemukakan oleh Suryabarata, yaitu: pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, pembentukan keputusan, dan penarikan kesimpulan.

5 Tinjauan Soal Cerita Soal adalah rangkaian pertanyaan yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa memahami pelajaran yang telah disampaikan oleh guru, serta melihat keberhasilan pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh guru tersebut. Salah satu bentuk soal yang sering ditemui dalam pembelajaran matematika adalah soal berbentuk cerita, yang kemudian lebih dikenal dengan soal cerita. Tambunan (Retna dkk, 2013:74) menyatakan bahwa soal cerita adalah suatu pertanyaan yang diuraikan dalam cerita bermakna yang dapat dipahami, dijawab, secara sistematis berdasarkan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Soal cerita yang terdapat di dalam matematika merupakan persoalan yang berkaitan dengan permasalahan sehari-hari, yang dapat dicari penyelesaiannya dengan menggunakan kalimat matematika (Raharjo dan Astuti, 2011:8). Kalimat matematika berarti kalimat yang memuat operasi perhitungan matematika di dalamnya. Retna dkk (2013:75) menyatakan bahwa penyajian soal dalam bentuk cerita merupakan usaha menciptakan suatu cerita untuk menerapkan konsep-konsep matematika yang sedang atau sudah dipelajari sesuai dengan pengalaman sebelumnya atau pengalaman sehari-hari. Dengan mengacu pada beberapa pendapat di atas, maka soal cerita yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memuat konsep matematika di dalamnya. Soal cerita dalam pengajaran matematika menjadi sangat penting bagi perkembangan proses berpikir peserta didik sehingga keberadaannya mutlak

6 16 diperlukan (Susanto, 2013). Soal bentuk cerita memuat pertanyaan yang menuntut pemikiran dan langkah-langkah penyelesaaian secara sistematis. Oleh karena itu, soalcerita dianggap mampu menjelaskan proses berpikir siswa dibandingkan soal lainnya. Dalam menyelesaikan soal cerita, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan siswa secara tepat untuk sampai pada sebuah jawaban. Selain itu, di dalam soal cerita terdapat tantangan dalam penyelesaiannya. Langkah-langkah penyelesaian soal cerita di dalam penelitian ini mengadaptasi pada langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya (1973:xvi). Hal ini disebabkan agar penyelesaian soal cerita ini lebih terarah serta lebih terstruktur. Dalam memecahkan masalah (dalam hal ini menyelesaikan soal cerita), Polya (1973:xvi) menawarkan empat tahapan yang terdiri dari: understanding the problem (memahami masalah), devising a plan (menyusun rencana penyelesaian masalah), carrying out the plan (melaksanakan rencana penyelesaian masalah), dan looking back (memeriksa kembali). 1. Understanding the problem (Memahami masalah) Pada tahap ini siswa harus mengerti apa yang dimaksud dari masalah yang diberikan, dengan mengungkapkan apa yang diketahui dan ditanyakan, serta mengetahui syarat yang diperlukan. Siswa harus mampu menganalisa dan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam bentuk rumus, simbol, ataupun kalimat sederhana.

7 17 2. Devising a plan (Menyusun rencana penyelesaian masalah) Pada tahap ini siswa harus menentukan strategi yang sesuai dengan mencari konsep ataupun rumus-rumus yang tepatuntuk membantu penyelesaian masalah tersebut, dengan menghubungkan apa yang diketahui dan ditanyakan. Tahap ini didukung oleh pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. 3. Carrying out the plan (Melaksanakan rencana penyelesaian masalah) Pada tahap ini siswa menjalankan rencana penyelesaian yang telah disusun sebelumnya. Dengan kata lain siswa telah sepenuhnya siap melakukan perhitungan berdasarkan strategi yang telah ditentukan. Siswa juga harus dapat membentuk sistematika soal yang lebih baku, dengan maksud konsep atau rumus yang ditentukan merupakan rumus yang paling tepat. 4. Looking back (Memeriksa kembali) Pada tahap ini siswa melakukan refleksi dengan cara menguji jawaban yang diperoleh. Sebab dengan memeriksa kembali siswa dapat memastikan kebenaran jawaban dan juga menambah pengetahuannya. Dengan mengadopsi tahapan yang telah dijabarkan oleh Polya, maka peneliti berupaya untuk mengadaptasikan tahapan tersebut menjadi langkahlangkah dalam penyelesaian soal cerita yang akan digunakan dalam penelitian ini.adapun langkah-langkah penyelesaian soal cerita yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, antara lain: memahami soal cerita, menyusun rencana penyelesaian soal cerita, menyelesaikan soal cerita sesuai perencanaan, dan memeriksa kembali.

8 Proses Berpikir dalam Penyelesaian SoalCerita Dalam proses pembelajaran, siswa akan selalu melalui proses berpikir. Menurut Ronis (2009:140) proses berpikir berkaitan dengan penjelasan mengenai apa yang terjadi dalam otak siswa selama memperoleh pengalaman baru, yaitu bagaimana pengetahuan baru tersebut diperoleh, diatur, disimpan dalam memori dan digunakan lebih lanjut dalam pembelajaran dan pemecahan masalah. Suatu permasalahan di dalam matematika biasanya diintepretasikan ke dalam bentuk soal matematika. Seperti yang dikemukakan oleh Cornelius (Abdurrahman, 2010:253) bahwa salah satu alasan pentingnya belajar matematika ialah karena matematika merupakan sarana berpikir. Hal ini didukung oleh pendapat Hudojo (Siswono, 2002:45) bahwa dalam proses belajar matematika terjadi proses berpikir, sebab seorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang yang belajar matematika pasti melakukan kegiatan mental. Dalam pembelajaran matematika, salah satu kegiatan yang sangat membutuhkan proses berpikir adalah di saat siswa akan menyelesaikan soal cerita matematika, di mana seorang siswa akan menyusun hubungan-hubungan yang terkait hingga akhirnya memperoleh suatu kesimpulan (menemukan jawaban). Sebelum mencapai kesimpulan, siswa harus menggunakan langkah-langkah yang tepat di mana dalam prosesnya akan terjadi pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, pembentukan keputusan, dan penarikan kesimpulan. Dalam menyelesaikan soal cerita, pembentukan pengertian terjadi ketika siswa dapat mengetahui apa yang diperlukan dan apa yang tidak diperlukan untuk

9 19 menyelesaikan soal yaitu dengan menyatakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal. Pembentukan pendapat terjadi ketika siswa dapat menghubungkan pengertian-pengertian/informasi yang telah diperolehnya dengan mengubah soal tersebut ke dalam bentuk model matematika sebagai langkah pertama untuk bisa menyelesaikan soal cerita. Pembentukan keputusan terjadi ketika siswa dapat memutuskan hal yang harus dilakukan melalui pengertian serta pendapat sebelumnya dengan menentukan metode yang tepat untuk ia gunakan dalam menyelesaikan soal cerita. Penarikan kesimpulan terjadi ketika siswa dapat menyimpulkan hasil yang diperolehnya dan memastikan jawaban tersebut sudah tepat. Untuk lebih jelasnya, indikator proses berpikir dalam menyelesaikan soal cerita yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut: Tabel 2.1 Indikator Proses Berpikir dalam Menyelesaikan Soal Cerita Tahapan Proses Berpikir Indikator Deskriptor Pembentukan Menyatakan apa yang Subjek dapat menyatakan: Pengertian diketahui dan apa yang 1. Apa yang diketahui dari soal Pembentukan Pendapat Pembentukan Keputusan Penarikan Kesimpulan ditanyakan Mengubah soal cerita ke dalam bentuk model matematika Menentukan metode yang tepat untuk menyelesaikan soal Memastikan dan menyimpulkan jawaban yang telah diperoleh 2.5Tinjauan Adversity Quotient 2. Apa yang ditanyakan pada soal Subjek dapat mengubah soal cerita ke dalam model matematika Subjek dapat menentukan metode yang tepat untuk menyelesaikan soal Subjek dapat: 1. Memastikan jawaban yang diperoleh sudah tepat 2. Membuat kesimpulan dari jawaban tersebut Adversity Quotient (AQ) pertama kali dikembangkan oleh Paul G. Stoltz. Seorang konsultan yang sangat terkenal dalam topik-topik kepemimpinan di dunia kerja dan dunia pendidikan berbasis skill. Paul G. Stoltz menganggap bahwa IQ

10 20 dan EQ yang sudah lebih terkenal sebelum AQ itu tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang.aq dianggap mampu untuk mengukur tingkat kesuksesan seseorang, selain daripada IQ, EQ maupun SQ yang sudah lebih terkenal sebelumnya. Di dalam bukunya, Stoltz (2005:8) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun, AQ dianggap menjadi terobosan penting dalam menunjang kesuksesan. Suksesnya seseorang dapat ditentukan dengan Adversity Quotient (AQ), yang kemudian dijabarkan oleh Stoltz sebagai berikut: 1. AQ memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan mengatasi kesulitan tersebut. 2. AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur. 3. AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan atas kinerja dan potensi diri seseorang dan siapa yang akan gagal. 4. AQ meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan. Menurut Stoltz (2005:9), Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. AQ berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting, yang menawarkan suatu gabungan yang praktis dan baru, yang merumuskan kembali apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan. Selama ini pola-pola bawah sadar ini sebetulnya sudah dimiliki. Saat ini untuk

11 21 pertama kalinya pola-pola tersebut diukur, dipahami, dan diubah. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional seseorang secara keseluruhan. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz berpendapat bahwa modifikasi dari ketiga unsur tersebut yaitu, pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan individu dalam berpikir mengontrol, mengelola, dan mengambil tindakan dalam menghadapi kesulitan, hambatan atau tantangan hidup, serta mengubah kesulitan maupun hambatan tersebut menjadi peluang untuk meraih kesuksesan. Pada umummnya siswa sering mengalami kesulitan dalam pembelajaran matematika. Terutama dalam memecahkan masalah (dalam hal ini menyelesaikan soal cerita). Kenyataan menunjukkan bahwa setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda, maka kemampuan bahkan kecerdasan yang dimiliki pun pasti selalu berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari cara belajar, keaktifannya di saat mengikuti proses pembelajaran, ataupun ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah dalam soal cerita. Kemampuan berarti kesanggupan siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan hingga sampai pada jawaban. Jika dikaitkan dengan kesanggupan siswa ketika mengatasi kesulitan (dalam hal ini menyelesaikan soal cerita yang berisi permasalahan), dari sinilah Adversity

12 22 Quotient (AQ) dianggap memiliki peranan penting dalam proses berpikir siswa ketika menyelesaikan soal cerita. Oleh karena itu, proses berpikir siswa yang akan dilihat dalam penelitian ini ditinjau dari adversity quotient (AQ) siswa tersebut Tipe Adversity Quotient Stoltz meminjam istilah para pendaki gunung untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan Adversity Quotient (AQ). Stoltz (2005:18), membagi para pendaki menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Tipe Quitters (Orang-orang yang berhenti) Tipe ini adalah tipe seseorang yang menghindar dari kewajibannya, mundur, berhenti. Seseorang yangbertipe ini mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Dalam merespon perubahan, tipe ini cenderung menolak dan mengabaikan peluang yang berupa tantangan. Selain itu juga,tipe ini menutupi atau meninggalkan dorongan inti dengan manusiawi untuk berusaha. Dalam konteks ini, para quitterdianggap memiliki AQ rendah. 2. Tipe Campers (Orang-orang yang berkemah) Tipe yang kedua adalah campers atau orang-orang yang mudah puas dengan hasil yang diperolehnya. Mereka tidak ingin melanjutkan usahanya untuk mendapatkan lebih dari yang didapatkan sekarang. Tipe ini kerap mengakhiri usahanya karena sudah merasa puas dengan hasil yang didapat. Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan. Hanya saja tipe ini mengabaikan kesempatan dan selalu mengambil batas nyaman. Namun demikian, meskipun campers telah berhasil mencapai tujuan atau posisinya, tetap

13 23 saja campers tidak mungkin dapat mempertahankan posisinya itu tanpa ada usaha lagi.dalam konteks ini, para camper dianggap memiliki AQ sedang. 3. Climbers (Para pendaki) Climbers adalah tipe yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya untuk menghalangi usahanya. Orang-orang bertipe climberadalah orang yang siap menghadapi resiko dengan segala usaha keberaniannya untuk menuntaskan apa yang menjadi tujuannya. Tipe ini selalu merespon baik setiap tantangan yang terjadi di dalam hidupnya. Karena bagi climbertantangan merupakan hal yang mampu melatih potensi di dalam dirinya. Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Berdasarkan istilah pendaki yang digunakan Stoltz untuk mengklasifikasikan tipe-tipe dalam adversity quotient, maka dapat pula dibedakan bagaimana siswa dalam pembelajaran matematika.siswa dengan tipe quitter adalah siswa yang berusaha menjauh dari permasalahan. Siswa quitter adalah siswa yang beranggapan bahwa matematika itu rumit, membingungkan, dan seperti pelajaran yang selalu menghantui. Motivasi siswa quitter sangat kurang, sehingga ketika menemukan sedikit kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika siswa tersebut menyerah dan berhenti tanpa dibarengi usaha sedikitpun. Siswa dengan tipe camper adalah siswa yang tak mau mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya saat ini. Siswa tipe ini pun kerap mengabaikan kemungkinan-

14 24 kemungkinan yang akan didapat. Siswa tipe ini cepat puas atau selalu merasa cukup berada di posisi tengah, serta tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesempatannya ada. Tidak ada usaha untuk lebih giat belajar. Dalam belajar matematika siswa camper tidak berusaha semaksimal mungkin, namun berusaha sekedarnya saja. Siswa camper berpandangan bahwa tidak perlu nilai tinggi yang penting lulus, tidak perlu juara yang penting naik kelas. Siswa dengan tipe climber adalah siswa yang mempunyai tujuan atau target. Untuk mencapai tujuan itu, tipe ini mampu mengusahakan dengan ulet dan gigih. Tak hanya itu, siswa climberjuga memiliki keberanian dan disiplin yang tinggi. Tipe inilah yang tergolong memiliki AQ yang baik. Siswa climber adalah mereka senang belajar matematika. Tugas-tugas yang diberikan guru diselesaikannya dengan baik dan tepat waktu. Jikamenemukan masalah matematika yang sulit dikerjakan, maka siswa climber berusaha semaksimal mungkin sampai mereka dapat menyelesaikannya. Tipe ini tidak mengenal kata menyerah, akan selalu mencoba berbagai cara atau metode, serta memiliki keberanian dan disiplin tinggi. Untuk lebih jelasnya, karakteristik siswa berdasarkan masing-masing kategori AQ akan dipaparkan pada tabel berikut: Tabel 2.2 Karakteristik masing-masing kategori AQ AQ Tinggi atau Climber AQ Sedang atau Camper AQ Rendah atau Quitter 1. Memiliki motivasi yang tinggi 2. Selalu berusaha maksimal 3. Tidak mudah menyerah 4. Aktif dalam pembelajaran 5. Mampu mengendalikan diri dengan baik 6. Mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi 1. Memiliki cukup motivasi 2. Memiliki usaha cukup maksimal 3. Mudah merasa puas 4. Cukup mampu mengendalikan diri 5. Cukup mampu mengatasi kesulitan 1. Tidak tampak memiliki motivasi 2. Tidak memiliki keinginan untuk berusaha 3. Mudah menyerah 4. Tidak mampu mengendalikan diri 5. Tidak memiliki keinginan mengatasi kesulitan

15 Dimensi-dimensi Adversity Quotient Stoltz (2005:140) menyatakan bahwa aspek-aspek dari adversity quotient (AQ) mencakup beberapa komponen yang kemudian disingkatmenjadi CO 2 RE. CO 2 RE merupakan singkatan dari control, origin and ownership, reach, dan endurance. a. C = Control (Kendali) C adalah singkatan dari control atau kendali yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. C mempertanyakan: Berapa banyak kendali yang Anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan? (Stoltz, 2005:141). Dimensi ini menjelaskan bagaimana seseorang mengendalakan dirinya dalam menghadapi permasalahan. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang. b. O 2 = Origin(Asal-usul) dan Ownership (Pengakuan) O 2 adalah singkatan dari origin dan ownership. O 2 mempertanyakan: Siapa atau apa yang menjadi penyebab atau usul-usul kesulitan? Dan sampai sejauh manakah saya mengakui akibat kesulitan-kesulitan itu?(stoltz, 2005:146). Dimensi ini menjelaskan sejauh mana seseorang memandang sumber masalah yang ada, yakni sumber masalah yang berasal dari dirinya sendiri atau dari faktor lain. Dimensi ini menunjukkan sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau

16 26 sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan. Serta, dimensi ini menjelaskan bagaimana seseorang mengakui akibat dari permasalahan yang timbul. c. R = Reach (Jangkauan) R adalah singkatan dari reach atau jangkauan. R mempertanyakan: Sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan saya? (Stoltz, 2005:158). Dimensi ini menjelaskan sejauh mana masalah akan mempengaruhi segi kehidupan yang lain, akankah suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya sekalipun tidak berhubungan dengan masalah 4yang sedang dihadapi atau tidak sama sekali. d. E= Endurance (Daya tahan) E adalah singkatan dari endurance atau daya tahan. E mempertanyakan: Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung? Dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?(stoltz, 2005:162). Endurance adalah dimensi yang menjelaskan tentang ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Sehingga pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung. Efek dari aspek ini adalah pada harapan tentang baik atau buruknya keadaan masa depan. CO 2 RE merupakan akronim dari dimensi-dimensi AQ. Dimensi-dimensi AQ tersebut, yang terdiri dari control, origin and ownership, reach, dan endurance, dapat digunakan untuk mengukur AQ seseorang. Pengukuran tersebut

17 27 dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang mewakili tiap-tiap dimensi AQ, yang terkumpul dalamadversity Response Profile (ARP) Pengembangan Adversity Quotient Berawal dari keterkaitan kecenderungan seseorang membiarkan pesan pesan destruktif yang akan mempengaruhi persepsi dan respon seseorang itu sendiri, yang juga berakibat akan hancurnya energi, motivasi,serta efektifitasnya. Oleh karena itu, Stoltz menyusun teknik-teknik untuk membantu seseorang mempertanyakan respon-respon destruktif seseorang terhadap peristiwa peristiwa kehidupan. Yang dalam perjalanannya teknik ini dikenal dengan rangkaian LEAD yang terbukti sangat efektif untuk membantu seseorang menciptakan perbaikan perbaikan permanent dalam AQ yang dimilikinya, serta cara merespon kesulitan (Stoltz, 2005:203) Rangkaian LEAD mempunyai empat langkah yang terdiri dari: 1. Listen: mendengarkan respon terhadap adversity. Mendengarkan respon adversity merupakan langkah penting dalam mengubah AQ seseorang dari sebuah pola seumur hidup, tidak sadar, yang sudah menjadi kebiasaan, menjadi alat yang sangat ampuh untuk memperbaiki pribadi dan efektifitas jangka panjang. Disini menanyakan apakah respon AQ seseorang rendah atau tinggi? Dan pada dimensi dimensi mana paling tinggi dan paling rendah? 2. Explore: mengexplorasi semua asal-usul dan pengakuan seseorang atas akibatnya. Pada tingkatan ini seseorang didorong untuk mengetahui apa kemungkinan penyebab adversity,dimana hal ini merujuk pada kemampuannya untuk mencari sebab sebab terjadinya, dan mengerti bagian mana yang menjadi

18 28 kesalahan seseorang, seraya mengexplorasi secara spesifik apa yang dapat dilakukan menjadi lebih baik. Pada tingkatan ini juga seseorangdidorong untuk menyadari aspek-aspek mana dari akibat-akibatnya yang harus dan bukan menjadi tanggung jawabnya. 3. Analyse: menganalisa bukti kesulitan, ditingkat inilah seseorang harus belajar menganalisa bukti apa yang ada sehingga menyebabkan seseorang itu sendiri tak dapat mengendalikan adversity, bukti apa yang ada sehingga menyebabkan adversity itu menjangkau bidang-bidang yang lain dari kehidupan seseorang, serta bukti apa yang ada bahwa adversity tersebut harus berlangsung lebih lama dari pada yang perlu. 4. Do: lakukan sesuatu, pada tahapan ini seseorang diharapkan mampu terlebih dahulu mendapatkan informasi tambahan yang diperlukan guna melakukan sedikit banyak hal dalam mengendalikan situasi adversity, dan kemudian melakukan sesuatu yang dapat membatasi jangkauan dan membatasi keberlangsungan adversity dalam keadaannya saat adversity itu terjadi. Menurut Stoltz (2005:200) teknik kognitif atau perilaku seperti LEAD ini efektif karena dapat mengubah sistem di otak. Stoltz mengungkapkan bahwa pokok pikiran akan mengubah fisiologi otak, agar membiasakan otak untuk menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan dengan mempertanyakan responrespon destruktif terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Rangkaian LEAD didasarkan pada pengertian bahwa seseorang dapat mengubah keberhasilan dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan berpikir. Hasilnya adalah keuletan emosional dan berjiwa besar sebesar respon terhadap tekanan hidup sehari-hari.

19 Adversity Response Profile (ARP) Di dalam bukunya, Stoltz (2005:120) menyatakan bahwa Adversity Response Profile (ARP) adalah instrument yang telah dicoba oleh lebih dari 7500 orang di seluruh belahan dunia. ARP merupakan tolak ukur yang valid untuk mengukur bagaimana seseorang merespon kesulitan di dalam hidupnya. Adversity Response Profile (ARP) berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengandung dimensi control, origin and ownership, reach, dan endurance. Berbeda dengan tes ataupun instrumen lain, ARP memberikan suatu gambaran singkat yang baru dan sangat penting mengenai apa yang mendorong seseorang dan apa yang mungkin menghambat seseorang untuk melepaskan potensinya(stoltz, 2005:120). AQ memiliki rentang untuk mengelompokkan seseorang ke dalam tingkat tinggi, sedang, dan rendah, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: Tabel 2.3 Rentang Adversity Quotient Rentang Keterangan Adversity Quotient Jika AQ keseluruhan seseorang berada dalam kisaran ini,orang tersebut memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan dan terus bergerak maju dalam hidupnya. Pada kisaran ini, seseorang disebut memiliki AQ tinggi Jika AQ keseluruhan seseorang berada dalam kisaran ini, orang tersebut mungkin sudah cukup bertahan menembus tantangan dalam hidupnya dan memanfaatkan sebagian besar potensinya. Pada kisaran ini, terdapat orang yang berada dalam peralihan AQ sedang ke AQ tinggi Jika AQ keseluruhan seseorang berada dalam kisaran ini, orang tersebut lumayan baik dalam menempuh lika-liku tantangan dalam hidupnya. Namun, orang tersebut mengalami penderitaan yang tidak perlu. Pada kisaran ini, seseorang disebut memiliki AQ sedang Jika AQ keseluruhan seseorang berada dalam kisaran ini, orang tersebut kurang memanfaatkan potensi dalam dirinya. Sehingga kesulitan menjadi kerugian yang besar. Pada kisaran ini, terdapat orang yang berada dalam peralihan AQ rendah ke AQ sedang. 59 ke bawah Jika AQ keseluruhan seseorang berada dalam kisaran ini, orang tersebut mungkin telah mengalami penderitaan yang tidak perlu dalam segala hal. Pada kisaran ini, seseorang disebut memiliki AQ rendah.

20 Pentingnya Adversity Quotient dalam Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika, masih banyak sekali siswa yang sering mengalami kesulitan. Kesulitan yang dihadapi oleh siswa pun sangat beragam. Hal ini didukung oleh perbedaan karakteristik yang ada pada setiap siswa. Dengan perbedaan tersebut, respon siswa dalam menghadapi kesulitan pasti berbeda-beda juga. Maka dari itu perlu adanya AQ dalam belajar matematika. Sebab, Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan dalam menghadapi kesulitan. Salah satu kesulitan dalam pembelajaran matematika ialah saat siswa menyelesaikan soal cerita. Soal cerita yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal cerita materi sistem persamaan linear dua variabel. Dalam menyelesaikan soal cerita, dengan tingkatan AQ yang berbeda, seperti climber, camper, dan quitter, siswa-siswa tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Siswa climber cenderung akan berusaha menggunakan metode apa saja untuk sampai pada jawaban dari soal cerita. Sementara siswa camper akan berusaha sekedarnya saja dalam menyelesaikan soal cerita, atau cepat puas dengan hasilnya. Hal lain akan dilakukan oleh siswa quitter, yang cenderung menyerah ketika diminta menyelesaikan soal cerita matematika karena siswa quitter adalah siswa yang memiliki pandangan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit. Oleh karena itu, adversity quotient dianggap memiliki peranan dalam pembelajaran matematika, terutama menyelesaikan soal cerita. Sebab semakin tinggi tingkat AQ siswa, maka siswa tersebut akan semakin mudah dalam menghadapi hambatan-hambatan yang dialami dalam pembelajaran matematika.

21 Tinjauan Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Jika terdapat dua persamaan linear dua variabel yang berbentuk ax + by = c dan dx + ey = f atau biasa ditulis: ax + by = c dx + ey = f maka dikatakan dua persamaan tersebut membentuk sistem persamaan linear dua variabel. Penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel tersebut adalah pasangan bilangan (x,y) yang memenuhi kedua persamaan tersebut. Untuk menyelesaikan persamaan linear dua variabel, dapat dilakukan dengan metode grafik, eliminasi, substitusi, dan metode gabungan. 1. Metode grafik Pada metode grafik, himpunan penyelesaian dari sistem persamaan linear dua variabel adalah koordinat titik potong dua garis tersebut. Jika garis-garisnya tidak berpotongan di satu titik tertentu maka himpunan penyelesaiannya adalah himpunan kosong. Contoh:Dengan metode grafik, tentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel x + y = 5 dan x y = 1 jika x,y variabel pada himpunan bilangan real. Penyelesaian:Untuk memudahkan menggambar grafik dari x + y = 5 dan x y = 1, buat tabel untuk nilai x dan y yang memenuhi kedua persamaan tersebut. Tabel 2.4 Metode Grafik 1 Tabel 2.5 Metode Grafik 2 X 0 5 x 0 1 Y 5 0 y -1 0 (x, y) (0, 5)(5, 0) (x, y) (0, 1) (-1, 0)

22 32 Y x y = 1 x + y = X -1 Gambar 2.1Metode Grafik SPLDV Gambar 2.1 adalah grafik sistem persamaan linear dua variabel dari persamaan x + y = 5 dan x y = 1. Dari gambar tersebut tampak bahwa koordinat titik potong kedua garis adalah (3, 2). Jadi, himpunan penyelesaian dari sistem persamaam x + y = 5 dan x y = 1 adalah {(3, 2)}. 2. Metode eliminasi Pada metode eliminasi, untuk menentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan linear dua variabel adalah dengan menghilangkan salah satu variabel. Jika variabelnya x dan y, untuk menentukan variabel x berarti harus mengeliminasi variabel y, begitupun sebaliknya. Hal penting lainnya, jika ternyata koefisien dari salah satu variabel sama maka dapat dihilangkan salah satu variabel tersebut. Contoh: Dengan metode eliminasi, tentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan 2x + 3y = 6 dan x y = 3.

23 33 Penyelesaian: Langkah I (eliminasi variabel y) Untuk mengeliminasi variabel y, koefisien y harus sama, sehingga persamaan 2x + 3y = 6 dikalikan 1 dan persamaan x y = 3 dikalikan 3. 2x + 3y = 6 x1 2x + 3y = 6 x y = 3 x3 3x 3y = 9 Langkah II (eliminasi variabel x) 2x + 3x = x = 15 x = = 3 Untuk mengeliminasi variabel x, koefisien x harus sama, sehingga persamaan 2x + 3y = 6 dikalikan 1 dan persamaan x y = 3 dikalikan 2. 2x + 3y = 6 x1 2x + 3y = 6 x y = 3 x2 2x 2y = 6 3y ( 2y) = 6 6 3y + 2y = 0 5y = 0 y = y= 0 Jadi, himpunan penyelesaiannya adalah {(3, 0)}

24 34 3. Metode substitusi Pada metode subtitusi, langkah awal yang harus dilakukan adalah menyatakan variabel yang yang satu ke dalam variabel yang lain dari suatu persamaan. Kemudian menyubstitusikan (menggantikan) variabel itu ke dalam persamaan yang lainnya. Contoh: Dengan metode substitusi, tentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan 2x + 3y = 6 dan x y = 3. Penyelesaian: Persamaan x y = 3 ekuivalen dengan x = y + 3. Dengan menyubstitusikan persamaan x = y + 3 ke persamaan 2x + 3y = 6 diperoleh sebagai berikut: 2x + 3y = 6 2(y + 3) + 3y = 6 2y y = 6 5y + 6 = 6 5y = 6 6 5y = 0 y = 0 Selanjutnya untuk memperoleh nilai x, substitusikan nilai y ke persamaan x = y + 3, sehingga diperoleh: x = y + 3 x = x = 3 Jadi, himpunan penyelesaiannya adalah {(3, 0)}.

25 35 4. Metode gabungan Metode gabungan adalah penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel yang terdiri dari metode eliminasi dan metode substitusi. Contoh:Dengan metode gabungan, tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan 2x 5y = 2 dan x + 5y = 6, jika x, y R. Penyelesaian: Langkah I yaitu dengan menggunakan metode eliminasi, diperoleh: 2x 5y = 2 x1 2x 5y = 2 x + 5y = 6 x2 2x + 10y = 12 15y = 10 3y + 2y = 0 y = = Selanjutnya, substitusikan nilai y ke persamaan x + 5y = 6, sehingga diperoleh: x + 5y = 6 x + 5 = 6 x + = 6 x = 6 x = Jadi, himpunan penyelesaiannya adalah{[2,2 ]}

26 Soal Cerita Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Beberapa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dapat diselesaikan dengan perhitungan yang melibatkan sistem persamaan linear dua variabel. Permasalahan sehari-hari tersebut biasanya disajikan dalam bentuk soal cerita. Contoh: Asep membeli 2 kg manggadan 1 kg apel dan iaharus membayar Rp15.000,00, sedangkanintan membeli 1 kg manggadan 2 kg apel dengan hargarp18.000,00. Berapakahharga 5 kg mangga dan3 kg apel? Penyelesaian: 1. Memahami soal cerita Diketahui: - Harga 2kg mangga dan 1kg apel = Rp15.000,00 - Harga 1kg mangga dan 2kg apel = Rp18.000,00 Ditanya: Berapa harga 5kg mangga dan 3kg apel? 2. Menyusun rencana penyelesaian soal cerita Misalkan harga 1 kg mangga = xdanharga 1 kg apel = y Maka, 2kg mangga dan 1kg apel = Rp15.000,00 2x + y = kg mangga dan 2kg apel = Rp18.000,00 x + 2y = Menyelesaikan soal cerita sesuai perencanaan Langkah I: (metode eliminasi) 2x + y= x1 2x + y = x + 2y = x2 2x + 4y =

27 37 y 4y = y = y =. = Langkah II: (metode substitusi) Substitusikan nilai y ke persamaan 2x + y = , sehingga diperoleh: 2x + y = x = x = x = x =. = Memeriksa kembali x + 2y = (7000) = = = (terbukti) Dengan demikian harga 1kg mangga adalah Rp 4.000,00 dan harga 1kg apel adalah Rp 7.000,00. Jadi harga 5kg mangga dan 3kg apel adalah 5x + 2y = (5 x Rp 4.000,00) + (3 x Rp 7.000,00) = Rp ,00 + Rp ,00

28 38 = Rp , Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini, secara garis besar kerangka konseptual mengikuti diagram seperti berikut: Melakukan tes Adversity Response Profile (ARP) Siswa dengan AQ tinggi, AQ sedang dan AQ rendah Siswa dengan AQ tinggi, AQ sedang, dan AQ rendah melakukan tes penyelesaian soal cerita sistem persamaan linear dua variabel Indikator proses berpikir Pembentukan Pengertian Langkah-langkah penyelesaian soal cerita Memahami soal cerita Pembentukan Pendapat Pembentukan Keputusan Penarikan Kesimpulan Menyusun rencana penyelesaiaian soal cerita Menyelesaikan soal cerita sesuai perencanaan Memeriksa kembali Deskripsi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal cerita ditinjau dari Adversity Quotient Ket: : Kegiatan : Hasil : Urutan

29 Gambar 2.2 Diagram Kerangka Konseptual 39

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Analogi Matematis Menurut Gilmer (Kuswana, 2011), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI

PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI Arti dan Tujuan Mengembangkan Diri Arti mengembangkan diri adalah: Suatu usaha sengaja dan terus menerus, tanpa henti, yang dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang juga dipengaruhi oleh ilmu matematika. Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Akademik 1. Pengertian prestasi akademik Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan,

Lebih terperinci

Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI

Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI Arti dan Tujuan Mengembangkan Diri Arti mengembangkan diri adalah: Suatu usaha sengaja dan terus menerus, tanpa henti, yang dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk, untuk

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung 1 Rery Adjeng Putri, 2 Milda Yanuvianti 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan dengan hakikat manusia, yaitu sebagai makhluk berketuhanan, makhluk individual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kelompok Pencinta Alam X (KPA X ) merupakan salah satu unit kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di Bandung. KPA X didirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu keharusan bagi manusia dan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah 1 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu Negara. Pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini membahas mengenai metode penelitian, dan dalam hal ini dibatasi secara sistematis sebagai berikut: Variabel penelitian, subjek penelitian, metode dan instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang hidup pasti pernah menemui permasalahan. Kemampuan yang harus dimiliki agar setiap individu dapat bertahan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan

Lebih terperinci

AAT SRIATI UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JATINAGOR

AAT SRIATI UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JATINAGOR Oleh AAT SRIATI UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JATINAGOR 2008 JUDUL : ADVERSITY QUESTION (AQ) PENYUSUN : AAT SRIATI NIP : 132 148 075 Jatinagor, Desember 2007 Menyetujui : Kepala Bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka

Lebih terperinci

Adversity Quotient sebagai Acuan Guru dalam Memberikan Soal Pemecahan Masalah Matematika. Suhartono

Adversity Quotient sebagai Acuan Guru dalam Memberikan Soal Pemecahan Masalah Matematika. Suhartono 62 INOVASI, Volume XVIII, Nomor 2, Juli 2016 Adversity Quotient sebagai Acuan Guru dalam Memberikan Soal Pemecahan Masalah Matematika Suhartono Email : hhartono85@gmail.com Pendidikan Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2. LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2. LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Wirausaha (Entrepreneur) Wirausaha menurut Joseph Schumpeter (Alma, 2007) adalah sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan

Lebih terperinci

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI POLYA DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT TIPE CLIMBER

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI POLYA DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT TIPE CLIMBER PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI POLYA DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT TIPE CLIMBER Rany Widyastuti IAIN Raden Intan, Lampung, Indonesia Email: rany_2302@yahoo.com

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung 1 Olla Tiyana, 2 Eni Nuraeni Nugrahawati 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ADVERSITY QUOTIENT 1. PengertianAdversity Quotient Adversity atau kesulitan adalah bagian kehidupan kita yang hadir dan ada karena sebuah alasan dan kita sebagai manusia dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Adjie (2006) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika

BAB II KAJIAN TEORITIK. mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Adjie (2006) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Hakikat Matematika Menurut Hariwijaya (2009) matematika adalah bidang ilmu yang mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Adjie (2006) mengatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesulitan Belajar pada Siswa Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang memiliki peranan penting dalam kehidupan, baik dalam bidang pendidikan formal maupun non formal. Sekolah

Lebih terperinci

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Masalah yang dihadapi oleh jurusan Teknik Industri UKM adalah terdapat banyak mahasiswa yang memiliki IPK < 3.00. Berdasarkan data total mahasiswa aktif tahun ajaran 2011/2012 semester genap terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami banyak perubahan. Salah satu penyebab dari perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara.Namun permasalahannya saat ini ialah banyak peserta didik yang kurang mencintai

BAB I PENDAHULUAN. Negara.Namun permasalahannya saat ini ialah banyak peserta didik yang kurang mencintai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting karena pendidikan merupakan penentu kemajuan suatu bangsa, dan penentu kemampuan sumber daya manusia di suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele. a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele. a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele Kemampuan adalah berasal dari kata mampu, mampu berarti kuasa atau sanggup

Lebih terperinci

PROFIL PEMECAHAN MASALAH KONTEKSTUAL GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)

PROFIL PEMECAHAN MASALAH KONTEKSTUAL GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) PROFIL PEMECAHAN MASALAH KONTEKSTUAL GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi adanya bukti di lapangan yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan Adversity

BAB III METODE PENELITIAN. siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan Adversity 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian untuk memahami apa yang dialami subjek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan yang terjadi pada era globalisasi saat ini menuntut adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja. Hal ini mengakibatkan adanya tuntutan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. data, serta penyajian hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. data, serta penyajian hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Rancangan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

Avissa Purnama Yanti 1 M. Syazali 2 1 Alumni Pendidikan Matematika IAIN Raden Intan Lampung,

Avissa Purnama Yanti 1 M. Syazali 2 1 Alumni Pendidikan Matematika IAIN Raden Intan Lampung, ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN LANGKAH-LANGKAH BRANSFORD DAN STEIN DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENTSISWA KELAS X MAN 1 BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015/2016 Avissa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. Guru merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. Guru merupakan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Guru 2.1.1 Definisi Kinerja Guru Menurut kamus besar bahsasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. Guru merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membawa siswa menuju tujuan yang ditetapkan.2

BAB I PENDAHULUAN. untuk membawa siswa menuju tujuan yang ditetapkan.2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan maupun perusahaan, baik di Indonesia maupun diluar negeri. Definisi asuransi menurut

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2016 dengan tujuan untuk

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2016 dengan tujuan untuk 1 BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2016 dengan tujuan untuk mengetahui Proses Berpikir Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika mengenai Persamaan Linier Beradasarkan Langkah-Langkah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi untuk mencapai tujuan yang hendak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia adalah menyangkut kebutuhan ekonomi. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia karena sangat berpengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. A. Kinerja Guru. performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi

BAB II TINJAUAN TEORI. A. Kinerja Guru. performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi 9 BAB II TINJAUAN TEORI A. Kinerja Guru 1. Pengertian Kinerja Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, unjuk kerja atau kemampuan kerja.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Pernyataan ini bukan tanpa sebab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak lepas dari tindakan membuat keputusan mulai dari peristiwa sederhana sampai kompleks yang menuntut banyak pertimbangan.

Lebih terperinci

TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk

TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY ----------------------------------------------------------------- M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk 1. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Di lapangan sering kita lihat, seorang

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016

ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016 ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 215/216 Bakri M * ) E-mail: bakrim6@yahoo.co.id Sudarman Bennu * ) E-mail: sudarmanbennu@untad.ac.id

Lebih terperinci

KECERDASAN ADVERSITAS

KECERDASAN ADVERSITAS KECERDASAN ADVERSITAS (Adversity Quotient) M A K A L A H Disusun dan Dipresentasikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan dan Pembelajaran Dosen Pengampu : Dr. Hj. Nurlaila N.Q.M Tientje,

Lebih terperinci

PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME

PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME by superadmin - Thursday, November 26, 2015 http://rahmadi.dosen.akademitelkom.ac.id/index.php/2015/11/26/peterpan-2/ PETER PAN AND CINDERELLA SYNDROME Menghindari perceraian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dapat ditemukan cara mengatasi situasi tersebut. Menurut Billstein a problem

BAB II KAJIAN TEORI. dapat ditemukan cara mengatasi situasi tersebut. Menurut Billstein a problem 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Masalah Matematika Masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Bell mengungkapkan bahwa a situation is a problem for a person if he or she aware of its existence, recognize

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia global yang saat ini begitu pesat menuntut kita untuk bisa bersaing sesuai tuntutan yang ada disekitar kita. Hal yang pasti terjadi dalam

Lebih terperinci

TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI

TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani mathema yang berarti ilmu pengetahuan. Elea Tinggih

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani mathema yang berarti ilmu pengetahuan. Elea Tinggih BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Matematika Matematika berasal dari perkataan latin mathematica yang berasal dari bahasa Yunani mathema yang berarti ilmu pengetahuan. Elea Tinggih (Erman Suherman,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient menurut Paul G. Stoltz (2004). Teori ini digunakan karena adanya kesesuaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu menekankan analisisnya pada data data numerical (angka) yang diolah dengan metode

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai Adversity Quotient pada siswa/i SMP X kelas I di Bandung (Suatu Penelitian Survei yang dilakukan pada Siswa/i SMP Yayasan Badan Pendidikan

Lebih terperinci

PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS

PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS ol., No., September 014 ISSN: 3378166 PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS (THE THINKING PROCESS OF STUDENTS CATEGORY QUITTER TO SOLE THE PROBLEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani siklus kehidupan, setiap individu akan menghadapi banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan kematian mendadak.

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL

BAB II ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL BAB II ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL A. Analisis Pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Masalah Matematika. Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang

BAB II KAJIAN TEORI. A. Masalah Matematika. Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang BAB II KAJIAN TEORI A. Masalah Matematika Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang akan dicapai. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Aunurrahman (2011:108) kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus diajarkan kepada siswa. Menurut Adjie dan Maulana

Lebih terperinci

Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN INTENSI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA DITINJAU DARI KARAKTER KECERDASAN ADVERSITY Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : DHIMAS ADHITYA F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2): BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itu matematika sangat diperlukan, baik untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Nasution (2010), memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai sektor bidang kehidupan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Untuk dapat memajukan bidang kehidupan, manusia

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL

BAB II ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL 10 A. Analisis BAB II ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, analisis diartikan penguraian terhadap suatu pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dalam bahasa latin adolescence berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Rentang waktu usia remaja dibedakan menjadi tiga, yaitu : 12-15

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian dengan pendekatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian dengan pendekatan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan pendekatan eksperimen. Penelitian komparatif adalah suatu penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Difabel tuna daksa merupakan sebutan bagi mereka para penyandang cacat fisik. Ada beberapa macam penyebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada manusia hingga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sampel, (D) Metode pengumpulan data, (E) Validitas dan Reliabilitas alat ukur, 1. Variabel bebas : Adversity Quotient

BAB III METODE PENELITIAN. sampel, (D) Metode pengumpulan data, (E) Validitas dan Reliabilitas alat ukur, 1. Variabel bebas : Adversity Quotient BAB III METODE PENELITIAN Berdasarkan metode penelitian ini akan menguraikan : (A) Identifikasi variabel-variabel penelitian, (B) Defenisi operasional penelitian, (C) Populasi dan sampel, (D) Metode pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mahasiswa 1. Pengertian Mahasiswa Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sehingga persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh: Laksmi Fivyan Warapsari F100110088 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis. makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya,

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis. makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya, BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Pemahaman atau comprehension dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran. Karena itu belajar berarti harus mengerti secara mental makna

Lebih terperinci

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA ANGKATAN 2013 FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SGD BANDUNG

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA ANGKATAN 2013 FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SGD BANDUNG Pengaruh Adversity Quotient Terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa Angkatan 2013 Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung (Tesa N. Huda, Agus Mulyana) PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat persaingan yang semakin ketat dalam bidang jasa, terutama jasa psikologi. Masyarakat psikologi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas, menjadikan persaingan antar perusahaan semakin ketat. Baik perusahaan yang begerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu mempunyai keinginan untuk merubah dirinya menjadi lebih baik. Hal ini bisa dikarenakan tempat sebelumnya mempunyai lingkungan yang kurang baik, ingin

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan manusia dan menjadi kebutuhan bagi semua manusia. Pemerintah juga memberikan kewajiban setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya, baik pada dimensi intelektual moral maupun

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya, baik pada dimensi intelektual moral maupun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu upaya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya, baik pada dimensi intelektual moral maupun psikologis. Dalam pendidikan

Lebih terperinci

Ani Khoerunni mah 1, Kriswandani 2, Wahyudi 2. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Ani Khoerunni mah 1, Kriswandani 2, Wahyudi 2. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DAN POLA ASUH DEMOKRATIS (AUTHORITATIVE) ORANGTUA DENGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA Ani Khoerunni mah 1, Kriswandani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kemampuan berpikir yang penting dikuasai oleh siswa adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Pada hari Senin tanggal 24 Februari 2016 peneliti mengurus perizinan penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN. Pada hari Senin tanggal 24 Februari 2016 peneliti mengurus perizinan penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN A. Paparan Data 1. Paparan data para penelitian Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengadakan studi pendahuluan di lokasi penelitian yaitu di MA Al-Maarif Tulungagung. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan atau wawasan, mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju kesuksesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan. Terutama dengan

Lebih terperinci

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika,

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika, merupakan guru yang terhitung baru berjalan sepuluh tahun mengajar di SD Dewi Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika, maka rasa pengabdian yang guru-guru rasakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi lingkungannya.

TINJAUAN PUSTAKA. keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi lingkungannya. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Matematika Menurut Slameto (2013:2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 SOAL TES 34

LAMPIRAN 1 SOAL TES 34 LAMPIRAN 33 LAMPIRAN 1 SOAL TES 34 SOAL TEST = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 1. Jumlah dua bilangan cacah adalah 55, dan selisih ke dua bilangan itu adalah 25.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK 8 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Mathematical Habits of Mind Djaali (2008) mengemukakan bahwa melakukan kebiasaan sebagai cara yang mudah dan tidak memerlukan konsentrasi dan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba membekali diri dengan berbagai keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan masa depan seseorang. Menurut

Lebih terperinci

Nur Asyah Harahap 1) dan Ria Jumaina 2) Dosen FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah. Abstrak

Nur Asyah Harahap 1) dan Ria Jumaina 2) Dosen FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah. Abstrak PENGARUH LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK DISKUSI TERHADAP PENGEMBANGAN KECERDASAN MENGATASI KESULITAN (ADVERSITY QOUTIENT) SISWA KELAS XI SMA NEGERI 6 BINJAI TAHUN AJARAN 2016/2017 Nur Asyah Harahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses belajar mengajar antara guru dan siswa yang berlangsung secara efektif dan efesien. Pendidikan sains khususnya fisika memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut

BAB II LANDASAN TEORI. lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut 7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi berasal dari kata latin Communicare atau Communis yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu variabel tergantung. Variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Adversity Quotient Mahasiswa Berprestasi Rendah Fakultas Psikologi Unisba Angkatan 2012

Studi Deskriptif Adversity Quotient Mahasiswa Berprestasi Rendah Fakultas Psikologi Unisba Angkatan 2012 Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Adversity Quotient Mahasiswa Berprestasi Rendah Fakultas Psikologi Unisba Angkatan 2012 1 Diany Devyani Syafitri, 2 Hedi Wahyudi 1,2 Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA SPLDV BERDASARKAN LANGKAH PENYELESAIAN POLYA

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA SPLDV BERDASARKAN LANGKAH PENYELESAIAN POLYA ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA SPLDV BERDASARKAN LANGKAH PENYELESAIAN POLYA Shofia Hidayah Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang shofiahidayah@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan yang dinamakan keija (As'ad, 1991:

Lebih terperinci

SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL

SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SMP - 1 SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL A. Pengertian persamaan linear dua variabel (PLDV) Persamaan linear dua variabel ialah persamaan yang mengandung dua variabel dimana pangkat/derajat tiap-tiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai modal bagi proses pembangunan. Siswa sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, menantang bangsa ini untuk mengatasi krisis yang dialami agar tidak tertinggal kemajuan

Lebih terperinci