Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2010

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2010"

Transkripsi

1 Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi nilai sengketa dalam sengketa banding ini adalah koreksi Jumlah Pajak yang daat dierhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 sebesar R ,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding; Menurut Terbanding Menurut Pemohon Banding bahwa terdaat koreksi Pajak Masukan (PM) atas embelian uuk, bahan kimia dan lain sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) kebun kelaa sawit, yang atas enyerahan TBS dimaksud dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai (BKP Strategis), sehingga atas Pajak Masukan tersebut sesuai ketentuan erajakan yang berlaku menjadi tidak daat dikreditkan; : bahwa erusahaan Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri enghasil minyak kelaa sawit yang meruakan satu kesatuan teradu (integrated) dimana memiliki engertian yakni menyatukan atau satu kesatuan, yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi Crude Palm Oil (CPO) sebagai hasil akhir abrikasi, dan tidak daat diisah-isahkan dalam istilah unit atau kegiatan yang terbeda. Dalam hal erusahaan teradu (integrated) ini, maka enyerahan roduk dari kebun keada abrik bukan enyerahan kena ajak menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, namun hanya meruakan emindahan dalam satu erusahaan teradu (integrated) karena masih meruakan bagian dari roses roduksi untuk menghasilkan CPO Menurut Majelis : bahwa sengketa yang terjadi adalah sengketa Kredit Pajak berua Pajak Masukan sebesar R ,00 yang menurut Terbanding tidak daat dikreditkan sedangkan menurut Pemohon Banding daat dikreditkan; bahwa Terbanding berendaat bahwa Pajak Masukan atas embelian uuk, bahan kimia dan lain sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan TBS yang enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak daat dikreditkan; bahwa Pemohon Banding berendaat bahwa Pajak Masukan atas embelian uuk, bahan kimia dan lain sebagainya daat dikreditkan karena Pemohon Banding menghasilkan CPO dan inti sawit yang enyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Majelis berendaat sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini sebesar R ,00 adalah sengketa yuridis; bahwa terhada sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini sebesar R ,00 Majelis berendaat sebagai berikut : bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah ajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setia jalur roduksi dan distribusi; bahwa Majelis berendaat dari definisi di atas terdiri unsur-unsur sebagai berikut: 1. adanya unsur barang dan jasa yang dikonsumsi; 2. adanya unsur ihak yang menyediakan barang dan jasa yaitu engusaha; 3. adanya unsur ihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa yaitu konsumen;

2 4. adanya unsur di mana barang dan jasa dikonsumsi yaitu Daerah Pabean; 5. adanya unsur bagaimana cara ajak dikenakan yaitu secara bertingkat; 6. saat unsur di mana ajak dikenakan yaitu di setia jalur roduksi dan distribusi; bahwa Majelis berendaat hanya membahas unsur-unsur yang menjadi dasar enyelesaian sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini: Unsur Barang dan Jasa bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya daat berua barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud; Jasa adalah setia kegiatan elayanan yang berdasarkan suatu erikatan atau erbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk diakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena esanan atau ermintaan dengan bahan dan atas etunjuk dari emesan; bahwa sesuai dengan definisi Pajak Pertambahan Nilai yaitu ajak atas konsumsi barang dan jasa, ada hakekatnya seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai namun demikian undang-undang menyatakan atas konsumsi barang dan jasa tertentu tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ; bahwa Pasal 4A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelomok barang sebagai berikut: i. barang hasil ertambangan atau hasil engeboran yang diambil langsung dari sumbernya; ii. barang kebutuhan okok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; iii. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliuti makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di temat mauun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan iv. uang, emas batangan, dan surat berharga; bahwa Pasal 4A ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelomok jasa sebagai berikut: a. jasa elayanan kesehatan medis; b. jasa elayanan sosial; c. jasa engiriman surat dengan erangko; d. jasa keuangan; e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa endidikan; h. jasa kesenian dan hiburan; i. jasa enyiaran yang tidak bersifat iklan;

3 j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; k. jasa tenaga kerja; l. jasa erhotelan; m. jasa yang disediakan oleh emerintah dalam rangka menjalankan emerintahan secara umum; n. Jasa enyediaan temat arkir; o. Jasa teleon umum dengan menggunakan uang logam;. Jasa engiriman uang dengan wesel os; dan q. Jasa boga atau katering; Unsur Pihak yang Menyediakan Barang dan Jasa bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Pengusaha adalah orang ribadi atau badan dalam bentuk aa un yang dalam kegiatan usaha atau ekerjaannya menghasilkan barang, mengimor barang, mengeksor barang melakukan usaha erdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengeksor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean; bahwa tidak seluruh engusaha berkewajiban terhada Pajak Pertambahan Nilai, hanya engusaha tertentu saja yang berkewajiban terhada Pajak Pertambahan Nilai yaitu Pengusaha Kena Pajak; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Pengusaha Kena Pajak adalah engusaha yang melakukan enyerahan Barang Kena Pajak dan/atau enyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai ajak berdasarkan Undang-undang ini; Unsur Pihak yang Menikmati atau Mengkonsumsi Barang dan Jasa bahwa ihak yang menikmati unsur ihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa adalah embeli dan enerima jasa; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Pembeli adalah orang ribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima enyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut; Penerima jasa adalah orang ribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima enyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut; bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan berdasarkan ketiga unsur diatas yaitu unsur barang dan jasa, unsur ihak yang menyediakan barang dan jasa, dan unsur ihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa; bahwa konsumsi barang dan jasa tidak akan terjadi jika tidak ada enyerahan barang dan jasa dari ihak yang menyediakan barang dan jasa keada ihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang

4 dan jasa; bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: 1.1 enyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 1.2 imor Barang Kena Pajak; 1.3 enyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 1.4 emanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 1.5 emanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 1.6 eksor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 1.7 eksor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 1.8 eksor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; bahwa mekanisme emungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan menerbitkan Faktur Pajak; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Faktur Pajak adalah bukti ungutan ajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan enyerahan Barang Kena Pajak atau enyerahan Jasa Kena Pajak; bahwa ungutan ajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Keluaran; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib diungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan enyerahan Barang Kena Pajak, enyerahan Jasa Kena Pajak, eksor Barang Kena Pajak Berwujud, eksor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau eksor Jasa Kena Pajak; bahwa konsumsi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Masukan; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena erolehan Barang Kena Pajak dan/atau erolehan Jasa Kena Pajak dan/atau emanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau emanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau imor Barang Kena Pajak; bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak daat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang diungut oleh Pengusaha Kena Pajak; bahwa Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Pajak Masukan dalam satu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang

5 sama; bahwa Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Aabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dariada Pajak Masukan, selisihnya meruakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak; bahwa Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Aabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang daat dikreditkan lebih besar dariada Pajak Keluaran, selisihnya meruakan kelebihan ajak yang dikomensasikan ke Masa Pajak berikutnya; bahwa Pasal 9 ayat (4a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud ada ayat (4) daat diajukan ermohonan engembalian ada akhir tahun buku; bahwa aabila Pengusaha Kena Pajak melakukan enyerahan atau memanfaatkan barang dan jasa yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tentunya tidak ada Pajak Keluaran yang diungut sehingga Pajak Masukan tidak daat dikreditkan; bahwa Pasal 9 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Aabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan enyerahan yang terutang ajak juga melakukan enyerahan yang tidak terutang ajak, seanjang bagian enyerahan yang terutang ajak daat diketahui dengan asti dari embukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang daat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan enyerahan yang terutang ajak; bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Aabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan enyerahan yang terutang ajak juga melakukan enyerahan yang tidak terutang ajak, sedangkan Pajak Masukan untuk enyerahan yang terutang ajak tidak daat diketahui dengan asti, jumlah Pajak Masukan yang daat dikreditkan untuk enyerahan yang terutang ajak dihitung dengan menggunakan edoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak diterbitkan berdasarkan amanat Pasal 9 ayat (6) Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa engenaan ajak atas konsumsi barang dan jasa sebagaimana dikemukakan di atas adalah engaturan fungsi ajak berdasarkan fungsi budgeter;

6 bahwa fungsi budgeter dari ajak adalah fungsi untuk mengumulkan enerimaan negara dari ajak; bahwa fungsi lain dari ajak adalah fungsi mengatur (regelling). Dalam fungsi mengatur, ajak digunakan sebagai alat untuk mengatur erekonomian negara dan tujuan-tujuan lainnya selain untuk mengumulkan enerimaan negara; bahwa fungsi mengatur dari ajak dalam ketentuan umum antara lain diatur dalam Pasal 3A ayat (1a), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa fungsi mengatur dari ajak dalam ketentuan khusus diatur dalam Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang (1) Pajak terutang tidak diungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari engenaan ajak, baik untuk sementara waktu mauun selamanya, untuk: a. kegiatan di kawasan tertentu atau temat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. enyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau enyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. imor Barang Kena Pajak tertentu; d. emanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan e. emanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pajak Masukan yang dibayar untuk erolehan Barang Kena Pajak dan/atau erolehan Jasa Kena Pajak yang atas enyerahannya tidak diungut Pajak Pertambahan Nilai daat dikreditkan. (3) Pajak Masukan yang dibayar untuk erolehan Barang Kena Pajak dan/atau erolehan Jasa Kena Pajak yang atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak daat dikreditkan; bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mengecualikan engenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam aturan umum sebagaimana Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa untuk kondisi tertentu yaitu: a. kegiatan di kawasan tertentu atau temat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. enyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau enyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. imor Barang Kena Pajak tertentu; d. emanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan e. emanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7 Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya diungut menjadi tidak diungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan; bahwa jangka waktu kebijakan untuk melaksanakan fungsi mengatur sebagaimana Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 daat bersifat sementara atau selamanya; bahwa dalam melaksanakan fungsi mengatur 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, mekanisme Pajak Pertambahan Nilai teta mengacu ada ketentuan umum; bahwa terdaat erbedaan engertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya diungut menjadi tidak diungut dan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya diungut menjadi dibebaskan; bahwa engertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya diungut menjadi tidak diungut adalah sebagai berikut: bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan terutang Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Wajib Pajak yang melakukan enyerahan barang dan/atau jasa tidak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diwajibkan memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang; bahwa Wajib Pajak teta memiliki Pajak Keluaran akan tetai Pajak Keluaran tidak diungut dan disetor; bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar daat dikreditkan; bahwa hal berbeda terjadi dalam engertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya diungut menjadi dibebaskan yaitu sebagai berikut: bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Wajib Pajak yang melakukan enyerahan barang dan/atau jasa tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Wajib Pajak tidak memiliki Pajak Keluaran; bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar tidak daat dikreditkan; bahwa dalam hal Wajib Pajak selain melakukan enyerahan yang terutang ajak juga melakukan enyerahan yang tidak terutang ajak, engkreditan Pajak Masukan mengacu keada ketentuan umum dalam Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009; bahwa tujuan dari fungsi mengatur dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dijelaskan dalam

8 Penjelasan Pasal 16 dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut: Salah satu rinsi yang harus diegang teguh di dalam Undang-undang Perajakan adalah diberlakukan dan diterakannya erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak atau terhada kasus-kasus dalam bidang erajakan yang ada hakikatnya sama dengan beregang teguh ada ketentuan eraturan erundang-undangan. Oleh karena itu, setia kemudahan dalam bidang erajakan, jika benar-benar dierlukan, harus mengacu ada kaidah di atas dan erlu dijaga agar di dalam eneraannya tidak menyimang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan ada hakikatnya untuk memberikan fasilitas erajakan yang benar-benar dierlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berrioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong erkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung ertahanan nasional, serta memerlancar embangunan nasional. Kemudahan erajakan yang diatur dalam asal ini diberikan terbatas untuk: a. mendorong eksor yang meruakan rioritas nasional di Temat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut; b. menamung kemungkinan erjanjian dengan negara lain dalam bidang erdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya; c. mendorong eningkatan kesehatan masyarakat melalui engadaan vaksin yang dierlukan dalam rangka Program Imunisasi Nasional; d. menjamin tersedianya eralatan Tentara Nasional Indonesia/Keolisian Reublik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Reublik Indonesia dari ancaman eksternal mauun internal; e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Reublik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung ertahanan nasional; f. meningkatkan endidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku elajaran umum, kitab suci, dan buku elajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat; g. mendorong embangunan temat ibadah; h. menjamin tersedianya erumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat laisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana; i. mendorong engembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara; j. mendorong embangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seerti bahan baku kerajinan erak; k. menjamin terlaksananya royek emerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana injaman luar negeri; l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam imortasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari ungutan Bea Masuk; m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dierlukan dalam rangka enanganan bencana alam yang ditetakan sebagai bencana alam nasional; n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran erindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transortasi lainnya yang memadai, yang erbandingan antara volume barang dan orang yang harus diindahkan dengan sarana transortasi yang tersedia sangat tinggi; bahwa untuk menjalankan fungsi mengatur ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

9 bahwa Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan : Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah : a. barang modal berua mesin dan eralatan abrik, baik dalam keadaan terasang mauun terleas, tidak termasuk suku cadang; b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk embuatan makanan ternak, unggas, dan ikan; c. barang hasil ertanian; d. bibit dan atau benih dari barang ertanian, erkebunan, kehutanan, eternakan, enangkaran, atau erikanan; e. bahan baku erak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan; f. bahan baku untuk embuatan uang kertas ruiah dan uang logam ruiah; g. air bersih yang dialirkan melalui ia oleh Perusahaan Air Minum; dan h. listrik, kecuali untuk erumahan dengan daya di atas 6600 watt. b. Barang hasil ertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang : a. ertanian, erkebunan, dan kehutanan; b. eternakan, erburuan atau enangkaan, mauun enangkaran; atau c. erikanan baik dari enangkaan atau budidaya; c. Petani adalah orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang ertanian, erkebunan, kehutanan, eternakan, erburuan atau enangkaan, enangkaran, enangkaan atau budidaya erikanan; bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan: Atas enyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berua : a. barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a yang dierlukan secara langsung dalam roses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk embuatan makanan ternak, unggas, dan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b; c. barang hasil ertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c oleh etani atau kelomok etani; d. bibit dan atau benih dari barang ertanian, erkebunan, kehutanan, eternakan, enangkaran, atau erikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf d; e. bahan baku erak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf e; f. bahan baku untuk embuatan uang kertas ruiah dan uang logam ruiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf f keada Bank Indonesia dan atau Perum Peruri; g. air bersih yang dialirkan melalui ia oleh Perusahaan air Minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf g; h. listrik, kecuali untuk erumahan dengan daya di atas 6600 watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h; dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa fasilitas erajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk enyerahan barang hasil ertanian oleh etani

10 atau kelomok tani dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa meskiun Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai telah beberaa kali diubah samai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, emberian fasilitas erajakan enyerahan barang hasil ertanian dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai masih teta diberikan keada etani atau kelomok tani; bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud, emberian fasilitas erajakan enyerahan barang hasil ertanian dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai memberikan konsekuensi sebagai berikut: 1. fasilitas erajakan hanya diberikan keada etani atau kelomok tani saja; 2. enyerahan barang hasil ertanian yang dilakukan oleh etani atau kelomok tani dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai; 3. etani atau kelomok tani tidak erlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 4. bahwa engusaha barang hasil ertanian yang melakukan kegiatan usaha di bidang : a. ertanian, erkebunan, dan kehutanan, b. eternakan, erburuan atau enangkaan, mauun enangkaran, atau c. erikanan baik dari enangkaan atau budidaya; harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena enyerahan barang hasil ertanian yang dilakukan oleh engusaha barang hasil ertanian terutang Pajak Pertambahan Nilai 5. Wajib Pajak selain etani atau kelomok tani yaitu engusaha barang hasil ertanian wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas enyerahan barang hasil ertanian; 6. Pengusaha barang hasil ertanian daat mengkreditkan Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian; bahwa emberian fasilitas erajakan enyerahan barang hasil ertanian dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai berubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan: Atas enyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berua barang hasil ertanian dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa fasilitas erajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diberikan keada seluruh Wajib Pajak; bahwa meskiun Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2007 tentang Perubahan Keemat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang

11 Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, emberian fasilitas erajakan enyerahan barang hasil ertanian dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai masih teta berlaku untuk seluruh Wajib Pajak yang melakukan enyerahan barang hasil ertanian; bahwa erubahan emberian fasilitas erajakan yang terjadi sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 memberikan konsekuensi sebagai berikut: 1. fasilitas erajakan diberlakukan terhada semua Wajib Pajak, tidak hanya keada etani atau kelomok tani saja tetai juga keada engusaha barang hasil ertanian; 2. enyerahan barang hasil ertanian yang dilakukan oleh seluruh Wajib Pajak dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai; 3. Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian tidak daat dikreditkan; bahwa tujuan fungsi mengatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 adalah untuk mendorong engusaha barang hasil ertanian untuk tidak melakukan enyerahan barang hasil ertanian tetai melakukan enyerahan barang jadi hasil engolahan barang hasil ertanian yang meruakan barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau Barang Kena Pajak; bahwa terdaat ilihan yang harus dihadai oleh engusaha barang hasil ertanian yaitu: 1. Pengusaha barang hasil ertanian teta melakukan enyerahan barang hasil ertanian. Bagi engusaha ini, enyerahan yang dilakukan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian tidak daat dikreditkan; 2. Pengusaha barang hasil ertanian mengolah hasil roduksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak. Bagi engusaha ini, enyerahan yang dilakukan terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian daat dikreditkan; 3. Pengusaha barang hasil ertanian melakukan enyerahan barang hasil ertanian untuk sebagian dan sebagian lainnya digunakan untuk mengolah hasil roduksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak. Bagi engusaha ini, enyerahan yang dilakukan sebagian tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sedangkan sebagian lainnya terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian daat dikreditkan sebagian berdasarkan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak; bahwa dengan kerangka berikir sebagaimana di atas, terdaat kesesuaian mengenai argumen erlakuan erajakan yang sama (equal treatment) dan argumen erusahaan terintegrasi yang sering dikemukakan dalam sengketa mengenai Pajak Masukan atas embelian uuk, embelian bibit, dan engeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha ertanian; bahwa seluruh Wajib Pajak baik engusaha hasil ertanian mauun etani atau kelomok tani mendaat erlakuan erajakan yang sama (equal treatment) dengan memeroleh fasilitas erajakan berua enyerahan barang hasil ertanian dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa bagi engusaha barang hasil ertanian yang mengolah barang hasil ertanian yang diroduksinya dan memberikan nilai tambah terhada barang sehingga menjadi barang jadi hasil engolahan barang hasil ertanian yang meruakan Barang Kena Pajak (engusaha hasil ertanian

12 terintegrasi), terdaat 2 (dua) kemungkinan yaitu : 1. Pajak Masukan daat dikreditkan seluruhnya jika seluruh enyerahan adalah Barang Kena Pajak; 2. Pajak Masukan daat dikreditkan sebagian jika sebagian enyerahan adalah enyerahan Barang Kena Pajak dan sebagian lainnya adalah enyerahan barang hasil ertanian; bahwa Majelis melakukan enelitian atas fakta-fakta dalam sengketa ini; bahwa Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak dengan NPWP dengan jenis usaha erkebunan; bahwa berdasarkan enelitian Majelis, Pemohon Banding melakukan enyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar R ,00 dan enyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar R.0,00 dengan total enyerahan sebesar R ,00; bahwa Pemohon Banding memiliki Pajak Masukan untuk usaha erkebunan sebesar R ,00; bahwa Pemohon Banding tidak daat membuktikan bahwa Pajak Masukan untuk usaha erkebunan daat diisahkan dengan asti untuk menghasilkan enyerahan yang terutang ajak dan enyerahan yang tidak terutang ajak; bahwa enghitungan Pajak Masukan yang daat dikreditkan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 jo Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah jo Keutusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; bahwa Majelis berendaat Pajak Masukan yang daat dikreditkan adalah sebesar R ,00 dengan enghitungan (R ,00/R ,00) x R ,00; bahwa berdasarkan uraian dan keterangan tersebut diatas, endaat dan keyakinan Hakim, serta eraturan erundang-undangan yang berlaku, Majelis berkesimulan koreksi Terbanding sebesar R ,0 tidak daat diertahankan; Pendaat Berbeda (Dissenting Oinions) : bahwa terhada sengketa gugatan ini, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum, memberikan endaat yang berbeda dengan endaat sebagai berikut : menimbang : bahwa Kegiatan usaha Pemohon Banding adalah dalam bidang usaha erkebunan kelaa sawit teradu dengan unit engolahannya menjadi minyak sawit (CPO) dan Inti Sawit (PK), kegiatan/bidang usaha Pemohon Banding meruakan kegiatan usaha teradu/terintegrasi (integrated); bahwa maksud dari teradu atau terintegrasi (integrated) adalah bahwa industri engolahan CPO menyatu (terintegrasi) dengan usaha erkebunan kelaa sawit (TBS) dalam satu entitas usaha, dimana TBS tersebut meruakan bahan baku untuk diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil / Industri minyak kasar);

13 bahwa unit kebun membutuhkan inut seerti jasa land clearing, bibit, uuk, jasa erawatan tanaman, dan lain-lain dalam rangka untuk menghasilkan TBS Sawit. Sementara unit abrik membutuhkan bahan baku utama TBS dalam rangka memroduksi CPO dan PK; bahwa dari sini daat diyakini bahwa jasa land clearing, bibit, uuk, dan jasa-jasa lain atau bahanbahan lain yang dierlukan ada kegiatan unit kebun adalah inut untuk memroduksi TBS Sawit dan bukan meruakan inut untuk memroduksi CPO dan PK. Sementara untuk memroduksi CPO dan PK yang dibutuhkan bukanlah jasa-jasa dan bahan-bahan tersebut sebagaimana tersebut diatas, melainkan TBS Sawit sebagai bahan baku utama. Hal ini bisa dibuktikan, dalam kondisi unit abrik kekurangan bahan baku maka unit abrik akan membeli TBS Sawit dari ihak luar dan bukan membeli bibit, uuk, atau memakai jasa land clearing. menimbang : Pasal 16B ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk erolehan Barang Kena Pajak dan/atau erolehan Jasa Kena Pajak yang atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak daat dikreditkan aakah dalam konteks Pasal ini daat diartikan Wajib Pajak harus melakukan enyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (keada ihak lain); bahwa dalam kamus bahasa Indonesia versi online (htt://kbbi.web.id/), kata dasar yang memiliki arti sebagai berikut: yang 1 kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yang berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain: orang -- baik hati;2 kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat yang berikutnya menjelaskan kata yang di dean: dijumainya seorang engemis -- sedang berteduh di bawah ohon asam itu;3ron kata yang diakai sebagai kata embeda: -- kaya sama -- kaya, -- miskin sama -- miskin;4kl adaun; akan: -- hamba ini dieranakkan di Malaka juga;5 cak bahwa: saya un ercaya -- Adinda kasih juga akan Kakanda; bahwa berdasarkan kamus bahasa Indonesia versi online di atas, kata yang bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang dideannya. Oleh karena itu, kalimat: atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan ajak Pertambahan nilai tidak daat dikreditkan, bukan menerangkan enyerahan yang dilakukan, melainkan menerangkan Barang Kena Pajak yang mendaat fasilitas; bahwa dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo tidak ernah mensyaratkan bahwa harus terjadi enyerahan Barang Kena Pajak (BKP) terlebih dahulu agar Pajak Masukannya daat dikreditkan. Anak kalimat yang berbunyi "yang atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai" adalah semata berfungsi sebagai keterangan atas BKP dimana Pajak Masukannya tidak daat dikreditkan. Hal yang sama juga berlaku untuk engkreditan Pajak Masukan, yaitu tidak erlu menunggu terjadi enyerahan BKP agar Pajak Masukan-nya bisa dikreditkan; bahwa hal ini daat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Sebuah toko yang menjual komuter baru dibuka ertengahan bulan Maret Selama bulan Maret 2015 tersebut belum ada transaksi enjualan. Pada SPT Masa PPN Masa Pajak Maret 2015, Wajib Pajak melaorkan tidak ada Pajak Keluaran karena belum ada transaksi enyerahan BKP (komuter) tetai Wajib Pajak sudah mengkreditkan Pajak Masukan atas embelian barang dagangan yaitu komuter tersebut." bahwa berdasarkan uraian di atas, tidak ada korelasi langsung antara saat engkreditan Pajak Masukan

14 dengan enyerahan BKP, akan tetai berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual. menimbang : bahwa landasan filsofis Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo sebagaimana diuraikan dalam enjelasannya adalah sebagai berikut: Salah satu rinsi yang harus diegang teguh di dalam Undang-Undang Perajakan adalah diberlakukan dan diterakannya erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak atau terhada kasus-kasus dalam bidang erajakan yang ada hakikatnya sama dengan beregang teguh ada ketentuan eraturan erundang-undangan. Oleh karena itu, setia kemudahan dalam bidang erajakan, jika benar-benar dierlukan, harus mengacu ada kaidah di atas dan erlu dijaga agar di dalam eneraannya tidak menyimang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.tujuan dan maksud diberikannya kemudahan ada hakikatnya untuk memberikan fasilitas erajakan yang benar-benar dierlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berrioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong erkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung ertahanan nasional, serta memerlancar embangunan nasional bahwa erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tesebut yaitu mendorong embangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berua Tandan Buah Segar Sawit; bahwa Kelaa Sawit adalah salah satu Barang Hasil Pertanian yang meruakan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Lamiran Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Imor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberaa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; bahwa sudah jelas berdasarkan enjelasan di atas, tujuan dan maksud dari diberikannya erlakuan khusus PPN adalah dalam rangka tersedianya barang strategis berua Tandan Buah Segar Sawit, bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan erkebunan kelaa sawit yang menghasilkan TBS Sawit sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendaat erlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo, maka harus tunduk dengan erlakuan khusus yang diterakan dalam Pasal 16 B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo; bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan enyerahan dan enjualan TBS saja maka Pajak Masukannya tidak daat dikreditkan, namun aabila Wajib Pajak melakukan roses bisnis yang teradu (integrated) dengan hanya melakukan enyerahan/enjualan CPO (BKP) maka Pajak Masukan sehubungan dengan erolehan TBS daat dikreditkan, maka telah mengabaikan rinsi erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo; bahwa engusaha yang tidak memunyai ermodalan yang kuat untuk membangun abrik untuk mengolah lebih lanjut TBS Sawit yang meruakan bahan baku utama untuk memroduksi CPO dan roduk turunannya yang lain, berdasarkan ketentuan Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo atas Pajak Masukan yang sudah dibayar atas embelian uuk dan lain-lain yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit tidak daat dikreditkan (dimintakan restitusi) dan harus dibiayakan sehingga akan menambah unsur harga okok, sedangkan untuk erusahaan yang terintegrasi tidak ada unsur Pajak Masukan kebun dalam harga okoknya karena telah dikreditkan (dikomensasi/direstitusi)

15 sehingga tidak memenuhi rinsi erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak (Penghasil Sawit) bahwa dari sisi Cash Flow, dimana Perusahaan yang Terintegrasi daat melakukan restitusi atas Pajak Masukan yang telah dibayar, sedangkan Pengusaha yang tidak memiliki abrik tidak bisa melakukan restitusi atas Pajak Masukan yang telah dibayar sehingga tidak memenuhi rinsi erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak (Penghasil Sawit) bahwa berdasarkan rinsi erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16 B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berendaat bahwa Pajak Masukan atas erolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan untuk menghasilkan BKP strategis, tidak daat dikreditkan menimbang : bahwa maksud dan tujuan diberikannya kemudahan dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo (sebagaimana diatur dalam enjelasannya), ada hakikatnya untuk memberikan fasilitas erajakan yang benar-benar dierlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berrioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong erkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung ertahanan nasional, serta memerlancar embangunan nasional; bahwa kemudahan erajakan yang diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo diberikan terbatas salah satunya untuk mendorong embangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seerti bahan baku kerajinan erak (enjelasan Pasal 16B huruf j); menimbang : bahwa rinsi netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai erlu dikedeankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang memengaruhi kometisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS ada usaha terintegrasi daat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mamu memiliki unit engolahan (di dalamnya termasuk etani), akan kesulitan berkometisi harga dengan engusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan rinsi netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak memengaruhi kometisi dalam bisnis. bahwa mengingat TBS meruakan Barang Kena ajak yang atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga rinsi netralitas, maka Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berendaat Pajak Masukan yang dibayar untuk erolehan TBS tidak daat dikreditkan. Menimbang, bahwa Pasal 9 ayat (2) dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, menyatakan sebagai berikut: (2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. (2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berroduksi sehingga belum melakukan enyerahan yang terutang ajak, Pajak Masukan atas erolehan dan/atau imor barang modal daat dikreditkan. bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, Pajak Masukan yang telah dibayar tidak daat dikreditkan sebelum Pengusaha Kena Pajak mengasilkan BKP (berroduksi) kecuali untuk erolehan barang modal. Jadi Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan erolehan Barang Modal dalam rangka menghasilkan BKP daat dikreditkan meskiun belum terjadi enyerahan BKP

16 bahwa ada rinsinya mekanisme engkreditan Pajak Masukan tidak langsung berhubungan dengan adanya Pajak Keluaran tetai berhubungan langsung dengan ada atau tidaknya barang yang diroduksi atau dihasilkan; bahwa mengingat Pajak Masukan dalam sengketa ini berhubungan langsung dalam memroduksi atau menghasilan TBS Sawit, maka mekanisme engkreditannya harus dihubungkan dengan barang yang dihasilkan atau diroduksi (dalam hal ini TBS Sawit); bahwa oleh karenanya TBS Sawit adalah Barang Kena Pajak yang mendaat fasiltas dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berendaat Pajak Masukan yang berhubungan langsung dalam memroduksi atau menghasilan TBS tidak daat dikreditkan Menimbang, berdasarkan fakta hukum dan eraturan erundang-undangan erajakan yang mendasari sengketa a quo sebagaimana telah diuraikan di atas Majelis berendaat: bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat engkreditan Pajak Masukan dengan enyerahan BKP, akan tetai berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual. bahwa Pajak Masukan tidak daat dikreditkan aabila berkaitan dengan kegiatan untuk memroduksi/ menghasilkan barang tidak kena ajak atau Barang Kena Pajak yang memeroleh fasilas embebasan; bahwa erlakuan yang sama terhada semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tersebut yaitu mendorong embangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berua Tandan Buah Segar Sawit; bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan erkebunan kelaa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendaat erlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, maka harus tunduk dengan erlakuan khusus yang diterakan dalam Pasal 16 B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo; bahwa erusahaan kelaa sawit yang teradu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang terutang PPN, maka: a. Pajak Masukan atas erolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), daat dikreditkan; b. Pajak Masukan atas erolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil ertanian (mendaat fasilitas embebasan), tidak daat dikreditkan; c. Pajak Masukan atas erolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, daat dikreditkan sebanding dengan jumlah eredaran BKP terhada eredaran seluruhnya; bahwa mengingat Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh Penggugat berasal dari erolehan/ embelian uuk dan bahan-bahan kimia embasmi hama yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit, maka mekanisme engkreditannya harus dihubungkan barang yang dihasilkan bahwa TBS meruakan barang hasil ertanian yang bersifat strategis yang atas enyerahannya dibebaskan dari engenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas erolehan Barang

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK Putusan Nomor : 72764/PP/M.XVA/16/2016 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak

Lebih terperinci

: bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp ,00;

: bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62294/PP/M.XI.B/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa Menurut Terbanding : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan

Lebih terperinci

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00;

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : 65791 /PP/M.VIA/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Menurut Majelis : bahwa nilai sengketa

Lebih terperinci

bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya atas pokok sengketa tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya atas pokok sengketa tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-87243/PP/M.XVIB/16/2017 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa sengketa terbukti mengenai tarif pajak dalam banding ini adalah koreksi Terbanding

Lebih terperinci

Menurut Pemohon: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015. Tahun Pajak : 2008

Menurut Pemohon: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015. Tahun Pajak : 2008 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan kegiatan unit usaha/divisi kebun sebesar Rp ,00,

Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan kegiatan unit usaha/divisi kebun sebesar Rp ,00, Putusan Nomor : PUT-72658/PP/M.XB/16/2016 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 139 BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PENGERTIAN Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari

Lebih terperinci

11/PMK.03/ PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001

11/PMK.03/ PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 11/PMK.03/2007 PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 11/PMK.03/2007 Ditetapkan tanggal 14 Februari 2007 PERUBAHAN KETIGA ATAS

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.03/2007 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.03/2007 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.03/2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 TENTANG PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBEBASKAN ATAS IMPOR

Lebih terperinci

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. : Put-49303/PP/M.VI/12/2013. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2008

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. : Put-49303/PP/M.VI/12/2013. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2008 Nomor Putusan Pengadilan Pajak : Put-49303/PP/M.VI/12/2013 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23 Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi okok sengketa adalah engajuan banding terhada

Lebih terperinci

PP 12/2001, IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PP 12/2001, IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Copyright (C) 2000 BPHN PP 12/2001, IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI *38719 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS

Lebih terperinci

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali Topik 4 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Sub Topik 1. UU PPN 2. Pengertian dalam

Lebih terperinci

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

Perpajakan 2 PPN & PPnBM Perpajakan 2 PPN & PPnBM 18 Februari 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Karakteristik PPN 1. Pajak tidak langsung Beban pajak dipikul oleh konsumen akhir. Pengusaha akan

Lebih terperinci

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan : Put-87849/PP/M.XVA/99/2017. Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2009 Pokok Sengketa

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan : Put-87849/PP/M.XVA/99/2017. Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2009 Pokok Sengketa Putusan : Put-87849/PP/M.XVA/99/2017 Nomor Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2009 Pokok Sengketa Menurut Tergugat Menurut Penggugat Menurut Majelis : bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implementasi dari Keputusan Menteri Keuangan No.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan nomor 575 (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap sebagai berikut :

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap sebagai berikut : Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.61621/PP/M.XII B/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak Pokok Sengketa : 2011 : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK 2.1 Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak Tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari para ahli, antara lain:

Lebih terperinci

November 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010;

November 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010; utusan Nomor : Put-73888/PP/M.XIB/16/2016 enis Pajak : PPN ahun Pajak : 2010 okok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan

Lebih terperinci

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Objek Pemungutan PPN dan PPn BM 1. Penyerahan BKP dan atau JKP oleh PKP Rekanan 2. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean di

Lebih terperinci

: Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015

: Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah adalah koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan

Lebih terperinci

Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00

Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT. 49902/PP/M.X/16/2014 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

Jenis Pekerjaan Utama Responden di Lokasi Studi.

Jenis Pekerjaan Utama Responden di Lokasi Studi. Deskrisi Rinci Rona Lingkungan Hidu Awal dengan nelayan juragan dan buruh nelayan (10,06%) juga termasuk ke dalam jenis mata encaharian yang akan terkena damak langsung dari adanya rencana usaha dan/atau

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 Menimbang : a. TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

KERANGKA TEORITIS. pemasaran, stok, impor dan ekspor beras Indonesia saling terkait secara simultan

KERANGKA TEORITIS. pemasaran, stok, impor dan ekspor beras Indonesia saling terkait secara simultan III. KERANGKA TEORITIS Berdasarkan tinjauan ustaka yang telah dikemukakan maka disimulkan bahwa antara komonen enawaran, ermintaan, harga, endaatan etani, marjin emasaran, stok, imor dan eksor beras Indonesia

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa PUTUSAN Nomor 1786/B/PK/PJK/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai

Lebih terperinci

2. Koreksi Pajak Masukan atas jawaban konfirmasi sebesar Rp , Koreksi Pajak Masukan atas Kebun sebesar Rp

2. Koreksi Pajak Masukan atas jawaban konfirmasi sebesar Rp , Koreksi Pajak Masukan atas Kebun sebesar Rp utusan Nomor : Put-73891/PP/M.XIB/16/2016 enis Pajak : PPN ahun Pajak : 2010 okok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 371/KMK.03/2003 TANGGAL 21 AGUSTUS 2003 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 TENTANG PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari penghasilan masyarakat, dalam proses pemungutan perlu diatur dalam undang-undang agar dapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.247, 2015 KEUANGAN. Barang Kena Pajak Tertentu. Dibebaskan Pengenaan PPN. Impor. Penyerahan Barang. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

BAB II DINAS PENDAPATAN, KEUANGAN DAN ASSET DAERAH KABUPATEN SAMOSIR. Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Samosir.

BAB II DINAS PENDAPATAN, KEUANGAN DAN ASSET DAERAH KABUPATEN SAMOSIR. Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Samosir. 7 BAB II DINAS PENDAPATAN, KEUANGAN DAN ASSET DAERAH KABUPATEN SAMOSIR A. Sejarah Ringkas Dinas Pendaatan, Keuangan Asset Daerah Kabuaten Samosir dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabuaten Samosir

Lebih terperinci

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : PUT /2014/PP/M.VIB Tahun Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2014.

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : PUT /2014/PP/M.VIB Tahun Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2014. Putusan Nomor : PUT-112135.16/2014/PP/M.VIB Tahun 2018 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Banding : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor 31 Tahun 2007 Ditetapkan tanggal 1 Mei 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor 31 Tahun 2007 Ditetapkan tanggal 1 Mei 2007 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor 31 Tahun 2007 Ditetapkan tanggal 1 Mei 2007 PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK

Lebih terperinci

bahwa Koreksi atas PPN Masukan tetap ditolak dan diajukan banding oleh Pemohon Banding dengan alasan sebagai berikut:

bahwa Koreksi atas PPN Masukan tetap ditolak dan diajukan banding oleh Pemohon Banding dengan alasan sebagai berikut: tusan Nomor : Put-73890/PP/M.XIB/16/2016 nis Pajak : PPN hun Pajak : 2010 kok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak dan Ciri Ciri Pajak Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

Lebih terperinci

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Disusun oleh : SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Oktober 2009 begawan5060@gmail.com begawan5060 1 Pasal 1 Pengertian 1 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang

Lebih terperinci

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. Put-4/PP/M.XIIA/99/2014. Jenis Pajak : Gugatan. Tahun Pajak : 2011

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. Put-4/PP/M.XIIA/99/2014. Jenis Pajak : Gugatan. Tahun Pajak : 2011 Nomor Putusan Pengadilan Pajak Put-4/PP/M.XIIA/99/2014 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap permohonan Pengurangan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014 Direktori Putusan Mahkamaa Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014 Jenis Pajak Tahun Pajak : 2009 Pokok Sengketa : Pajak Pertambahan Nilai : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan

Lebih terperinci

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. : Put-50255/PP/M.XVI/16/2014. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2009

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. : Put-50255/PP/M.XVI/16/2014. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2009 Nomor Putusan Pengadilan Pajak : Put-50255/PP/MXVI/16/2014 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2009 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap Dasar Pengenaan Pajak

Lebih terperinci

S-425/PJ.312/2006 PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP

S-425/PJ.312/2006 PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP S-425/PJ.312/2006 PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP Contributed by Administrator Friday, 02 June 2006 Pusat Peraturan Pajak Online PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP Sehubungan dengan surat Saudara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2015 TENTANG IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 BALONGAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 BALONGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI BALONGAN MODUL PEMBELAJARAN Kode. Dok PBM. Edisi/Revisi A/ Tanggal Juli Halaman dari A. Kometensi Inti KI : Memahami, menerakan, menganalisis,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/PMK.03/2014 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/PMK.03/2014 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/PMK.03/2014 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1995 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 1986 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERUTANG ATAS IMPOR DAN PENYERAHAN BARANG KENA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2015 TENTANG IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Definisi Pajak berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut : Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (1990:5),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (1990:5), BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Pajak Secara Umum Definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (1990:5), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

b. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan rasa keadilan dan

b. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan rasa keadilan dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OBJEK PPN a. PENYERAHAN BKP DAN JKP DI DALAM DAERAH PABEAN YANG DILAKUKAN OLEH PENGUSAHA; b. IMPOR BKP; c. PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM

Lebih terperinci

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas : a.penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b.impor Barang Kena Pajak;

Lebih terperinci

BAB VI BAB VI BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH

BAB VI BAB VI BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH BAB VI BAB VI BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH BAB VI BENDAHARA PEMERINTAH SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT

Lebih terperinci

*47240 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997)

*47240 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 22/1997, PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 1986 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERUTANG ATAS IMPOR DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ.52/2005 TENTANG PENJELASAN ATAS PEMBERLAKUAN PPN DAN PPn BM DI DAERAH INDUSTRI

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap penerbitan Keputusan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Dasar Hukum : UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun Presented by M.

PENGANTAR. Dasar Hukum : UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun Presented by M. PENGANTAR Dasar Hukum : UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Presented by M. Marthadiansyah Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak atas konsumsi barang dan

Lebih terperinci

Fasilitas PPN & PPnBM

Fasilitas PPN & PPnBM Fasilitas PPN & PPnBM 1 FASILITAS DI BIDANG PPN Pasal 16B PAJAK TERUTANG TIDAK DIPUNGUT, SEBAGIAN/SELURUHNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK, SEMENTARA WAKTU/SELAMANYA a. kegiatan di kawasan tertentu atau

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS RANTAI MARKOV PADA PERAMALAN PANGSA PASAR

BAB III ANALISIS RANTAI MARKOV PADA PERAMALAN PANGSA PASAR BAB III ANALISIS RANTAI MARKOV PADA PERAMALAN PANGSA PASAR Berdasarkan ada bab sebelumnya, ada bab ini akan dijelaskan enetaan atribut-atribut (keseakatan istilah) yang akan digunakan, serta langkah-langkah

Lebih terperinci

Subject 4. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 4. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 4 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2013 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. Mengingat : 1. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

PPN (Rupiah) CV Lubrima Pratama Agust

PPN (Rupiah) CV Lubrima Pratama Agust : Put. 43692/PP/M.XV/16/2013 Mahkamaa Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi Pajak Masukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan sektor nonmigas. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, peran penerimaan. tahun 2004 menjadi 74,9% pada tahun 2009.

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan sektor nonmigas. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, peran penerimaan. tahun 2004 menjadi 74,9% pada tahun 2009. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang mendapatkan sumber terbesar dari penerimaan pajak. Komposisi pendapatan Negara lebih bertumpu pada sumber sumber penerimaan dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan. Andi Wijayanto

Pajak Penghasilan. Andi Wijayanto Pajak Penghasilan PASAL 22 Andi Wijayanto Pengertian Pajak yg dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari

Lebih terperinci

PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA

PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA KPP PRATAMA TIMIKA MEI 2015 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) penerimaan negara, dan mendorong produk ekspor.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) penerimaan negara, dan mendorong produk ekspor. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai yaitu penggantian Pajak Penjualan, karena pajak ini tidak bisa memadai dan mencapai sasaran

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS

Lebih terperinci

Modul ke: Pertemuan 2. 02Fakultas EKONOMI. Perpajakan I. Program Studi AKUNTANSI

Modul ke: Pertemuan 2. 02Fakultas EKONOMI. Perpajakan I. Program Studi AKUNTANSI Modul ke: 02Fakultas EKONOMI NPWP dan PKP Pertemuan 2 Perpajakan I Program Studi AKUNTANSI Daftar Isi NPWP Tata Cara Pendaftaran NPWP melalui e-registration Cara Pindah KPP Penghapusan NPWP Pengusaha Kena

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Jika kita membahas pengertian dari pajak, banyak ahli yang memiliki pengertian yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri.

Lebih terperinci

PEMASARAN KETELA POHON DI KECAMATAN NGADIROJO KABUPATEN WONOGIRI

PEMASARAN KETELA POHON DI KECAMATAN NGADIROJO KABUPATEN WONOGIRI PEMASARAN KETELA POHON DI KECAMATAN NGADIROJO KABUPATEN WONOGIRI Any Suryantini, Revrisond Baswir, Dumairy, dan Agus Dwi Nugroho Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada agusdwinugroho@yahoo.com/8562674433

Lebih terperinci

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola Pajak Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola Sejarah PPN Pajak Pembangunan I (PPb I) tanggal 1 Juni 1947 dikenakan atas Rumah Makan dan Penginapan Pajak Peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1997 negara-negara di Kawasan Asia mengalami krisis ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1997 negara-negara di Kawasan Asia mengalami krisis ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahun 997 negara-negara di Kawasan Asia mengalami krisis ekonomi, seerti Korea Selatan, Thailand, Filiina, Malaysia, Singaura, Indonesia. Penyebaran krisis di kawasan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila membahas pengertian pajak, banyak

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB PPAT ATAS PAJAK

KARYA ILMIAH WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB PPAT ATAS PAJAK KARYA ILMIAH WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB PPAT ATAS PAJAK Disusun Oleh : INDRA RUKMONO NIM : 113032 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015 KARYA ILMIAH Latar

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :45

1 of 5 21/12/ :45 1 of 5 21/12/2015 12:45 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 224/PMK.011/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 143 TAHUN 2000 (143/2000) TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

PERMINTAAN DAN PENAWARAN

PERMINTAAN DAN PENAWARAN A. NAHULUAN RMINTAAN AN NAWARAN Mekanisme harga asar ditentukan oleh dua hal: 1) ermintaan (demand) 2) enawaran (suly) ermintaan dan enawaran selanjutnya akan membentuk harga keseimbangan yang disebut

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak 1 1. Hakikat dan Karakter Umum 2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak 3. Penghitungan PPN 4. Pengukuhan dan Faktur Pajak 5. Sistem Kredit PPN 2 3 HAKIKAT PPN Di dalam daerah pabean. Kegiatan Konsumsi

Lebih terperinci

- 2 - II. CONTOH PENGHITUNGAN

- 2 - II. CONTOH PENGHITUNGAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR.../PMK.03/2010 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU

Lebih terperinci

2 Pertambahan Nilai, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

2 Pertambahan Nilai, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.667, 2015 KEMENKEU. Pajak Penghasilan. Pembayaran. Barang. Impor. Usaha. Pemungutan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90/PMK.03/TAHUN 2015

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 135/PMK.011/201 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.03/2010 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 1986 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERUTANG ATAS IMPOR DAN PENYERAHAN BARANG KENA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci