HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst) (COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst) (COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE)"

Transkripsi

1 HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst) (COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE) BAMBANG GURITNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Bambang Guritno A

3 ABSTRACT BAMBANG GURITNO. The Relationship between Concentration and Exposure Time of Phosphine to mortality of larva and adult of Triboilium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) under supervised DADANG and PURNAMA HIDAYAT. Fumigation is one of plant quarantine treatments to rid agricultural commodities from plant pest organisms. Phospine is usually used to treat agricultural products at storage and is effective to several strorage insect pests. T. castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) is one of important storage insect pests that can cause high economic loss. This study was aimed to determine the relationship between concentration and exposure time of phospine to mortality of larva and adults of T.castaneum. The research was conducted in BULOG Jakarta, started from Oktober 2009 until Februari Four dosage treatments (0,1, 2, 3 g/m 3 ) and the exposure time (48,72, 96, 120 h) were used to monitor mortality of larvae and adults of T.castaneum. The interaction between dosages and time exposure to insect mortality was significant. LD 95 larvae mortality with exposure time of 48 hours required dosage of 7.22 g/m 3, while the adult mortality with exposure time 48, 72 and 96 hours required dosage of ; 2.07 and 1.60 g/m 3 respectively. Key words: fumigation, phospine, concentration, exposure time, Tribolium castaneum

4 RINGKASAN BAMBANG GURITNO. Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae), Dibawah bimbingan DADANG dan PURNAMA HIDAYAT. Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk membebaskan komoditi pertanian dari Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Bahan fumigasi telah banyak diketahui yang salah satunya adalah fumigan fosfin. Fosfin sering digunakan untuk perlakuan hasil pertanian di tempat penyimpanan dan efektif terhadap beberapa jenis serangga gudang. Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae), merupakan hama perusak berbagai komoditi hasil pertanian. Kumbang ini merupakan hama gudang penting yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas berbagai fase T. castaneum Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 sampai Februari 2010 di gudang penyimpanan beras Bulog Jakarta. Metode Penelitian dengan menggunakan 4 perlakuan dosis termasuk kontrol yaitu 0, 1, 2, dan 3 g/m 3 dengan waktu pemaparan yang digunakan adalah 48, 72, 96, dan 120 jam. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan dosis dan waktu pemaparan terhadap mortalitas serangga. Interaksi antara dosis dengan waktu pemaparan terhadap mortalitas memberikan hasil yang berbeda nyata. Berdasarkan LD 95 mortalitas optimum larva dengan waktu pemaparan 48 jam membutuhkan 7,22 g/m 3, sedangkan mortalitas optimum imago dengan waktu pemaparan 48, 72 dan 96 jam berturut-turut membutuhkan dosis 118,25; 2,07 dan 1,60 g/m 3. Kata kunci : Fumigasi, fosfin, konsentrasi, waktu paparan, T. castaneum

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

6 HUBUNGAN KONSENTRASI DAN WAKTU PEMAPARAN FUMIGAN FOSFIN TERHADAP MORTALITAS LARVA DAN IMAGO Tribolium castaneum (Herbst) (COLEOPTERA: TENEBRIONIDAE) BAMBANG GURITNO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) : Bambang Guritno : A : Entomologi-Fitopatologi Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Ketua Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Sri Hendrastuti M.Sc. Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan Fumigan Fosfin terhadap Mortalitas Larva dan Imago Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) dengan tujuan untuk mempelajari hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas berbagai fase T. castaneum. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadang, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Purnama Hidayat, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih disampaikan pula kepada Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi serta staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan tesis. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada Sekolah Pascasarjana IPB dan Perum Bulog Divre DKI Jakarta. Selain itu terima kasih kepada teman-teman satu angkatan ( ) atas bantuan dan dukungannya. Tidak lupa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak dan adik-adik tercinta serta keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya kepada penulis. Akhir kata penulis persembahkan untuk isteri tercinta dan ananda Nadya Berliana Guritno. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Juli 2011 Bambang Guritno

9 RIWAYAT HIDUP Bambang Guritno dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 1972, sebagai anak kedua dari enam bersaudara pasangan Bapak Sutrisno dan Ibu Mamah Sa amah. Penulis menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMAN 2 Banjarbaru tahun Pada tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT), Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarbaru, dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun Penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian tahun 2003 sampai sekarang, ditempatkan di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta. Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian pada Program Magíster Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Turhadi Noerachman, M.Si

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN x xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA.. 3 Fosfin Karakteristik Fosfin Toksisitas Fosfin Pengaruh Fosfin terhadap Komoditas... 5 Residu Fosfin 6 Tribolium castaneum (Herbst) Morfologi.. 7 Biologi.. 8 Kerusakan Akibat Serangan Serangga.. 8 Perilaku Serangga.. 9 Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Serangga BAHAN DAN METODE 11 Waktu dan Tempat.. 11 Bahan dan Metode.. 11 Penyiapan Serangga Pelaksanaan Fumigasi Pengamatan dan Analisis Data.. 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan Mortalitas Larva Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva Waktu Pemaparan Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva.. 17 Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Larva

12 Mortalitas Imago Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago.. 22 Waktu Pemaparan Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago. 23 Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Imago. 24 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.. 27 Saran DAFTAR PUSTAKA.. 29 LAMPIRAN. 31

13 No DAFTAR TABEL Halaman 1. Deskripsi fumigan fosfin Rata-rata mortalitas larva (%) Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas larva (%) Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas larva (%) Rata-rata mortalitas imago (%) Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas imago (%) Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas imago (%) Rata-rata konsentrasi (ppm) pada saat perlakuan... 25

14 No DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Grafik rata-rata mortalitas larva Respon mortalitas larva T. castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin Respon mortalitas larva T. castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin Grafik rata-rata mortalitas imago Respon mortalitas imago T. castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin Respon mortalitas imago T. castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin Grafik konsentrasi pada waktu pemaparan 6 24 dan 48 jam... 26

15 No DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis sidik ragam mortalitas imago dan larva (Minitab.14) Data mortalitas (%) larva T. castaneum Data mortalitas (%) imago T. castaneum Hasil analisis korelasi larva dan imago T. castaneum Hasil analisis probit mortalitas larva dan imago... 37

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerugian produk pertanian berupa biji-bijian dan/atau bahan pangan di gudang penyimpanan di beberapa negara tropik disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah serangga gudang. Setiap tahun kehilangan hasil akibat serangga gudang dapat mencapai 2 9 % (Sunjaya dan Widayanti S. 2006). Beberapa serangga hama penting yang sering merusak produk atau bahan pangan di penyimpanan adalah dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, dan Psocoptera. Salah satu serangga gudang yang umum dijumpai adalah T. castaneum. (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) Serangga ini dapat ditemukan hampir disemua komoditas biji-bijian dan tepung yang disimpan, memiliki perkembangan populasi yang sangat tinggi, sehingga secara ekonomi keberadaannya sangat merugikan. Selama masa penyimpanan, biji-bijian atau bahan pangan lainnya akan mengalami penyusutan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa faktor yang langsung dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan yang disimpan adalah serangga, cendawan, burung, dan tikus. Di daerah tropika penyebab utama kerusakan pada biji-bijian atau bahan pangan yang disimpan adalah serangga (Sunjaya dan Widayanti 2006). Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk membebaskan komoditas pertanian dari Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan kegiatan karantina tumbuhan yaitu mencegah masuk dan tersebarnya OPT sehingga fumigasi sebagai perlakuan karantina harus dapat membunuh serangga hama secara sempurna. Fumigan metil bromida telah digunakan selama 40 tahun terakhir sebagai bahan utama fumigasi dalam pengendalian serangga-serangga hama pada bahan simpanan, kemasan kayu, dan pengolahan pangan (UNEP 1998). Saat ini metil bromida telah dimasukkan kedalam daftar bahan yang harus dihapus (phasing out) karena termasuk salah satu bahan kimia yang dapat menyebabkan menipisnya lapisan ozon (UNEP 1998). Dibawah ketentuan Protokol Montreal pada tahun

17 beberapa negara telah mengurangi bahkan menghapus penggunaan metil bromida sebagai bahan fumigasi. Fumigan alternatif sebagai alternatif pengganti metil bromida telah banyak diketahui, diantaranya alil isotiosianat, karbonil sulfida, kloropikrin, etanedinitril (sianogen), etilen oksida, hidrogen sianida, metil iodida (iodometan), metil isotiosianat (MITC), fosfin, dan sulfuril fluorida (Field & White 2002). Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa fumigan alternatif dari metil bromida yang telah digunakan untuk fumigasi hasil hutan di New Zealand yaitu fumigan fosfin. Fosfin sering digunakan untuk perlakuan bahan hasil pertanian di tempat penyimpanan, efektif terhadap beberapa jenis serangga gudang, dimungkinkan dapat menjadi alternatif yang tepat namun masih diperlukan berbagai percobaan percobaan terutama terhadap serangga yang memiliki ketahanan yang tinggi. Pada beberapa jenis serangga memerlukan waktu paparan yang berbedabeda pada setiap jenis serangga gudang. Waktu pemaparan pada suhu di bawah 20 o C memerlukan 5 16 hari, sedangkan pada suhu diatas 20 o C memerlukan 5 12 hari (Anonimous 2007). Hubungan konsentrasi dan waktu paparan fumigan fosfin terhadap T. castaneum belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap T. castaneum. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari dan menentukan hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas pada fase larva dan imago T. castaneum.

18 TINJAUAN PUSTAKA Fosfin Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan dalam konsentrasi yang sesuai akan dapat membunuh hama dan organisme tertentu, khususnya sering digunakan untuk mengendalikan serangga dan hamahama lain dari golongan vertebrata (Anonimous 2007). Fosfin dengan nama kimia Hidrogen fosfida (PH 3 ) telah dikenal sebagai salah satu fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga pada biji-bijian, tepung, hasil tanaman, dan makanan olahan (Monro 1969). Fosfin merupakan gas yang sangat beracun, baik terhadap serangga, hewan mamalia maupun manusia. Walaupun secara kimia memiliki sifat berbahaya yaitu mudah terbakar, metode aplikasi yang aman dan tepat telah dikembangkan. Metode aplikasi tersebut yaitu dengan menggunakan bentuk pelet, sachet kecil atau tablet yang mengandung aluminium fosfida yang dapat memperlambat reaksi keluarnya gas fosfin dari fosfida (Monro 1969). Formulasi pellet, sachet atau tablet juga mengandung ammonium karbamat yang melepaskan karbondioksida dan ammonium pada saat bersamaan, membantu menipiskan/mencairkan fosfin dan mengurangi bahaya kebakaran ketika fosfin terdifusi dari tablet. Gas fosfin dari reaksi antara aluminium fosfida atau magnesium fosfida dengan uap air di udara menurut reaksi dibawah ini (Monro 1969). AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3 Mg 3 P H 2 O 2 PH Mg(OH) 2

19 4 Aluminium fosfida bila bereaksi dengan uap air di udara akan melepaskan gas fosfin, sedangkan amonium karbamat akan mengurai menjadi amoniak dan karbondioksida. Fosfin hanya diserap sedikit oleh komoditi pangan pada umumnya dan mudah dihilangkan pada proses aerasi yang dilakukan setelah fumigasi. Karakteristik Fosfin Fosfin hanya sedikit lebih berat daripada udara dan lebih cepat menyebar dari pada fumigan lainnya, sehingga lebih mudah menembus komoditas tempat infestasi hama (Anonimous 2007). Tabel 1. Deskripsi fumigan fosfin No Deskripsi Fosfin 1 Rumus kimia PH 3 2 Bau Karbit/bawang putih 3 Titik didih - 87,4 o C 4 Titik lebur - 133,5 o C 5 Berat molekul 34,04 6 Graviti khusus a. Gas (udara = 1) o 1,214 b. Liquid (air 4 o C = 1) 0, Panas penguapan 102,6 cal/g 8 Titik ledakan 1,79 % diudara 9 Kelarutan dalam air Sangat larut 10 Rekomendasi WHO/FAO a. Biji-bijian yang belum diolah b. Biji-bijian yang telah diolah 0,1 ppm 0,01 ppm 11 Efek pada serangga a. Telur b. Larva c. Pupa d. Dewasa Syaraf dan pernafasan Lambat Cepat Lambat Cepat 12 Efek pada lingkungan Tidak ada 13 Waktu pemaparan (Exposure time) Minimal 5 x 24 jam atau sesuai spesifikasi produk 14 Alat bantu aplikasi Relatif tidak perlu 15 Faktor konversi (g/m 3 ke ppm) 730 Sumber : Monro 1969 dan Anonimous 2007

20 5 Toksisitas Fosfin Fosfin diketahui sangat beracun terhadap mamalia yang pengaruhnya dapat secara kumulatif. Konsentrasi 2,8 mg/l (2000 ppm di udara) dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Monro 1969). Pengaruh paparan (exposure) gas tergantung pada konsentrasi gas, jangka waktu dan intensitas terkena paparan. Pengaruh yang buruk dapat terjadi tidak hanya oleh paparan pada konsentrasi yang tinggi, tetapi juga oleh paparan yang terus menerus atau berulang-ulang walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Gejala umum keracunan yang dapat dirasakan seperti mual, muntah, diare, pusing, dan sakit pada bagian dada yang dapat menyebabkan kematian karena Pulmonary Oedema (Anonimous 2006). Belum dilaporkan adanya pengaruh fosfin pada manusia yang dapat mengakibatkan mutasi gen (mutagenik), embryotoksisitas (keracunan pada organ reproduksi), dan karsinogenik Fosfin juga sangat beracun terhadap serangga (Lindgren dan Vincent 1966). Hal ini telah diamati pada satu jenis yaitu kumbang granarius (Sitophilus granarius (L.) (Coleoptera: Curculionidae) yang dapat mematikan dalam waktu singkat yaitu sebanyak 80 % tetapi 20 % sisanya dibuktikan sukar dibunuh dengan paparan diatas 48 jam (Qureshi et al. 1965). Reynolds et al. (1967) melaporkan kerentanan pada semua fase serangga tersebut pada konsentrasi rendah dengan lama pemaparan diatas 14 hari. Hasil ini memberi kesan bahwa pada fase pradewasa dan beberapa serangga yang resisten terhadap fumigan kemungkinan menjadi rentan terhadap fumigasi selama 10 hari, sehingga lama pemaparan menjadi faktor penting terhadap mortalitas (Monro 1969). Pengaruh Fosfin terhadap Komoditas Fosfin hanya diserap sedikit oleh bahan makanan sehingga pengaruh buruk akibat residu yang ditinggalkan pada komoditas yang difumigasi relatif rendah (tidak berbahaya). Pada umumnya sisa gas fosfin dalam komoditas akan mudah dibuang pada saat dilakukan aerasi setelah fumigasi (Monro 1969). Dalam melaksanakan fumigasi dengan menggunakan fosfin yang perlu diperhatikan adalah kadar air komoditas yang akan difumigasi, karena sifat fosfin sangat reaktif terhadap air. Kadar air yang direkomendasikan agar dapat

21 6 difumigasi dengan fosfin kurang dari 22 % atau umumnya sama dengan kadar air untuk komoditas yang akan disimpan (Anonimous 2006). Rekomendasi kadar air maksimum pada beberapa komoditas yang direkomendasikan seperti pada buncis 15 %, biji coklat 7 %, kopra 7 %, jagung 13,5 %, gabah 15 %, beras 13,5 %, dan sorghum/gandum 13,5 % ( ACIAR 1999). Fosfin dapat bereaksi dengan beberapa logam khususnya tembaga atau bahan yang mengandung tembaga yang dapat menyebabkan korosif, diwujudkan dengan perubahan warna dan formasi asam. Reaksi ini disebabkan karena terdapatnya ammonia yang terjadi selama dekomposisi bahan fumigan (Anonimous 2007). Pengaruh terhadap daya kecambah dari beberapa uji menunjukkan bukti yang kuat bahwa fosfin tidak mempengaruhi daya kecambah pada kondisi normal (Monro 1969). Beberapa tahun ini fosfin telah banyak digunakan secara luas di beberapa negara untuk pengendalian serangga pada hasil tanaman. Selama ini akibat penggunaan fosfin sebagai perlakuan yang direkomendasikan belum terdapat laporan yang merugikan (Monro 1969). Mayer dan Hild (1966 dalam Monro 1969) menyatakan bahwa fumigasi normal dengan fosfin tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin A dan B 2 (riboflavin) pada biji-bijian. Fumigasi pada gandum dengan fosfin dibawah kondisi normal tidak terdapat pengaruh yang merugikan pada kualitas tepung gandum (Monro 1969). Residu Fosfin Ketika aluminium fosfida dalam bentuk tablet atau pellet diaplikasikan pada bahan pangan akan meninggalkan sedikit bahan sisa setelah perlakuan (Monro 1969). Pada perlakuan bahan yang lain seperti terhadap pangan olahan, disarankan untuk memberi wadah pada tablet atau pellet yang digunakan, sehingga tidak terkena langsung dengan komoditi yang akan difumigasi (Monro 1969). Menurut Atmawijaya (2000) bahwa residu fosfin dalam beras yang difumigasi pada hari keempat setelah fumigasi 0,038 ppm dan menurun sampai 0,0056 ppm pada hari kelima belas, dan pada hari kesembilan belas tak terdeteksi.

22 7 Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) Ordo : Coleoptera Famili : Tenebrionidae Genus : Tribolium Species : Tribolium castaneum Morfologi Ukuran tubuh 2,3 4,4 mm, bentuk tubuh membujur datar, berwarna coklat kemerahan, antena dengan 3 ruas membentuk club (capitate), bagian mata dipotong oleh bagian sisi kepala dengan meninggalkan 3 4 mata facet. Serangga ini mampu menginfestasi hampir semua komoditas yang disimpan dalam gudang dengan kondisi optimum temperatur 33 o C dan RH 70% (Kalshoven 1981). Kumbang ini biasa disebut flour beetle, karena serangga ini lebih utama menyerang bahan simpan olahan seperti tepung dan kacang-kacangan. Imago dan larva memakan sisa bahan simpan padi, pecahan biji-bijian, tetapi tidak merusak atau menghancurkan seluruh biji. Kumbang T. castaneum merupakan hama perusak berbagai komoditas hasil pertanian. Perbedaan morfologi jantan dan betina dapat terlihat pada lubang subbasal setiferous pada anterior femurnya. Pada anterior femur serangga jantan terdapat lubang sub-basal setiferous sedangkan pada serangga betina tidak terdapat (Hope 1953 dalam Halstead 1962). Telur berwarna putih dan berukuran kecil, diletakkan di antara partikel makanan. Ketika diletakkan, telur-telur tersebut ditutupi oleh cairan perekat yang dapat menyebabkan partikel makanan menempel padanya sehingga telur sulit dilihat (Harahap 1993). Larva berbentuk memanjang (tipe campodeiform), berwarna putih kekuningan. Pada ujung abdomen terdapat tonjolan berbentuk garpu (urogomphi), berukuran kecil dan berwarna gelap (Harahap 1993). Panjang larva instar terakhir dapat mencapai 8-11 mm (Imdad dan Nawangsih 1995).

23 8 Imago T. castaneum yang dikenal sebagai kumbang tepung merah (red flour beetle) berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya antara 2,3 4,4 mm, dengan bentuk agak pipih. Imago mempunyai antena berbentuk clavate (Imdad dan Nawangsih 1995). Biologi Pada kondisi lingkungan yang mendukung imago betina mampu meletakan telur rata-rata 27,7 butir / dua hari (Abdelsamad et al. 1987). Masa inkubasi telur berkisar antara tiga sampai enam hari, selama hidupnya imago meletakkan telurnya 500 butir atau lebih (Shazali & Smith 1985). Jumlah instar larva diketahui sangat bervariasi. Good (1936) dalam Abdelsamad et al. (1987) mencatat bahwa terdapat lima sampai sebelas instar larva. Pada penelitian Abdelsamad et al. (1987) larva T. castaneum melalui 6-8 instar sebelum menjadi pupa, tergantung pada keadaan suhu dengan instar pertama biasanya yang terpendek dan instar terakhir yang terpanjang. Menurut Grist dan Lever (1969) dalam Sidabutar (1994) larva akan menuju ke permukaan beras atau komoditas lainnya menjelang fase pupa. Pupa terbentuk pada beras tanpa adanya kokon (Suyono & Sukarna 1991). Masa pupa berlangsung selama enam hari (Sidabutar 1994). Siklus hidup serangga ini relatif pendek yaitu hari, sehingga laju peningkatan populasinya relatif cepat. Masa pertumbuhan serangga dari telur sampai imago berkisar antara 40 sampai lebih dari 100 hari tergantung dari makanan, kelembaban, dan suhu. Lama hidup imago dapat mencapai 2-3 tahun (Harahap 1993). Total perkembangan serangga dari telur sampai menjadi imago yang optimum adalah pada suhu 35 o C yaitu hanya berlangsung 19,1 hari (Abdelsamad et al. 1987). Perkembangan serangga dapat menjadi lebih panjang apabila keadaan pakan dan lingkungan kurang sesuai (Suyono & Sukarna 1991). Kerusakan Akibat Serangan Serangga T. castaneum dan T. confusum merupakan hama penting yang sering dijumpai pada gudang penyimpanan biji-bijian dan bahan pangan. Serangga ini dapat menyerang bahan kering yang berasal dari hewan atau tanaman, tetapi

24 9 khususnya merupakan hama yang penting pada bahan serealia dan biji-biji olahan dan sebagai hama mayor pada tepung atau beras giling. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan serangga dapat berupa kerusakan fisik dan kimiawi. Kerusakan secara fisik terjadi akibat kontaminasi bahan pakan oleh kotoran, jaringan bagian tubuh dan bau kotoran. Serangga memakan dan merusak struktur fisik bahan pakan, seperti berlubang, hancur dan memicu pertumbuhan mikroorganisme lain. Aktivitas makan yang dilakukan oleh serangga menyebabkan bahan pakan kehilangan berat (Harahap 1993, Yuliarni 1994). Kerusakan secara kimiawi menyebabkan penurunan kualitas bahan. Bahan pakan yang disimpan dapat mengalami beberapa perubahan kimiawi yang dapat merubah rasa dan nilai nutrisi. Serangga hama mampu mempercepat perubahan kimiawi berbahaya. Sekresi enzim lipase oleh serangga mampu meningkatkan proses kerusakan secara kimiawi. T. castaneum mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar air rendah dan terutama menimbulkan kerusakan pada pakan dan serealia yang berkadar air rendah, masih utuh dan beras dari serpihan. Serangga ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006 ). Perilaku Serangga Sejak tahun 1948 penelitian mengenai ekologi serangga telah menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi T. castaneum dipengaruhi oleh banyak faktor seperti antara lain kondisi media dan kanibalisme (Li & Arbogast 1991). Serangga ini memiliki siklus hidup yang relatif pendek sehingga laju peningkatan populasinya relatif cepat. Mekanisme yang membatasi pertumbuhan populasi yang cepat adalah dengan tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh imago dan larva (Cotton & Wilbur 1974 dalam Yuliarni 1994). Sebagian besar kanibalisme terjadi terhadap telur, pupa, dan imago yang masih muda (yang belum mengalami sklerotisasi), namun dalam jumlah kecil

25 10 larva juga dapat dimakan (Yuliarni 1994). Penelitian pada jagung oleh Li & Arbogast (1991) juga menunjukkan bahwa pada jagung yang tidak rusak, kanibalisme lebih intensif daripada tepung jagung dan jagung yang sudah pecah karena sulit bagi larva untuk memakan biji jagung tersebut, disamping itu telur yang diletakkannya juga lebih mudah ditemukan. T. castaneum yang dapat merusak beras di penyimpanan adalah fase larva dan imago (Abdelsamad et al. 1987, Suyono & Sukarna 1991). Kehadiran serangga lain seperti Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) menurut penelitian Li & Arbogast (1991) diketahui tidak mempengaruhi perkembangan populasi T. castaneum. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan T. castaneum T. castaneum lebih banyak ditemukan dari pada T. confusum di Sudan, kemungkinan hal ini menunjukkan bahwa T. confusum kurang toleran terhadap suhu tinggi (Shazali & Smith 1985). Kondisi optimum untuk perkembangan T. castaneum adalah pada suhu sekitar 35 o C (Shazali & Smith 1985), dan kelembaban udara 70 % (Suyono & Sukarna 1991). Menurut Peng dan Rejesus (1987), populasi T. castaneum meningkat lebih cepat selama bulan-bulan hangat yaitu bulan Agustus dan September. Peletakan telur oleh serangga betina juga dipengaruhi oleh suhu. Menurut penelitian Abdelsamad et al. (1987), suhu optimum untuk peletakan dan penetasan telur adalah pada 35 o C. Kelembaban udara tidak mempengaruhi peletakan dan penetasan telur. Penelitian oleh Shazali & Smith (1985) menunjukkan bahwa pada suhu 30 o C dengan kelembaban 60, 70, dan 80% tidak mempengaruhi peletakan telur serangga tersebut. Kelembaban baru berpengaruh nyata terhadap peletakan telur kalau nilainya lebih rendah dari 40%. Dilaporkan juga bahwa walaupun masa inkubasi telur menurun dengan naiknya suhu tetapi hal tersebut tidak dipengaruhi oleh kelembaban.

26 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian di lakukan pada bulan Oktober 2009 hingga Februari 2010 bertempat di Perum Bulog Divisi Regional DKI Jakarta Bahan dan Metode Dalam penelitian ini formulasi fosfin yang digunakan berbentuk tablet dengan volume ruang fumigasi berdimensi meter kubik sebagai tempat pelaksanaan fumigasi. Ruang fumigasi yang di dalamnya berisi beras ditutup dengan menggunakan plastik (plastic sheet), terbuat dari poly ethylene (PE) yang memiliki ketebalan mikron dan berat gr/m 2. Setelah itu pada bagian sisi dilakukan penutupan dengan guling pasir (sandsnake) pada bagian sisa lembaran plastik agar tidak terjadi kebocoran. Penyiapan Serangga Serangga (T. castaneum) yang didapat dari tempat penyimpanan/gudang beras di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat dilakukan perbanyakan pada wadah plastik (plastic box) ukuran diameter 12 x 15 cm. Pengembangbiakan populasi serangga dilakukan pada beras yang tidak utuh dan tepung beras. Stoples-stoples perbanyakan yang telah berisi serangga diletakkan dalam kotak perbanyakan. Perbanyakan dilaksanakan selama 4 bulan hingga diperoleh generasi ketiga. Serangga uji yang digunakan adalah serangga uji hasil perbanyakan yang telah memenuhi syarat dan layak dilakukan untuk penelitian yaitu memiliki umur yang relatif sama. Serangga-serangga yang digunakan sebagai hewan uji adalah serangga pada larva yaitu larva instar 5 6 dan dewasa (imago) yang berumur relatif sama.

27 12 Pelaksanaan Fumigasi Penelitian dilakukan dengan tiga ulangan, menggunakan masing-masing 30 ekor larva dan imago serangga pada setiap satuan percobaan dengan masingmasing tabung uji berisikan 10 ekor serangga yang ditempatkan pada bagian atas, tengah, dan bawah tumpukan beras. Perlakuan menggunakan 4 dosis termasuk kontrol yaitu : 0, 1, 2, dan 3 g/m 3. Waktu pemaparan yang digunakan adalah 48, 72, 96, dan 120 jam. Tabung kecil (tube) ukuran diameter 3 x 5 cm yang telah diberi lubang udara dan berisi serangga uji diletakkan/disimpan di antara beras yang telah disusun dalam kotak fumigasi. Kotak fumigasi/stapel berukuran 1 m 3 yang di dalamnya terdapat karung beras, masing masing berisi beras 15 kg sebanyak 55 karung, dimana jumlah 1 stapel adalah 825 kg. Suhu dan kelembaban dalam kotak fumigasi diukur selama berlangsung fumigasi. Pemeriksaan konsentrasi gas dilakukan pada jam ke- 6, 12, 24, 48, 72 dan 96 setelah peletakan fosfin pada kotak fumigasi bagian tengah. Selang pengamatan ditempatkan di tengah-tengah kotak fumigasi untuk memantau konsentrasi gas. Fumigasi dapat dinyatakan berhasil apabila konsentrasi gas dapat dipertahankan sebesar 200 ppm atau lebih. Deteksi kebocoran gas dilakukan untuk memastikan ruang fumigasi kedap gas. Pelaksanaan deteksi kebocoran gas menggunakan alat pendeteksi kebocoran (leak detector) gas fosfin yang dilakukan 2 jam setelah peletakkan fosfin. Pengamatan dan Analisis Parameter pengamatan adalah mortalitas serangga uji dari masing-masing perlakuan setelah fumigasi. Pengamatan serangga yang mampu bertahan hidup dilakukan setiap hari dan penghitungan serangga yang mati dilakukan setelah waktu pemaparan. Analisis statistik menggunakan program Minitab versi 14. Hubungan antara konsentrasi dan waktu pemaparan terhadap mortalitas larva dan imago T. castaneum dengan menggunakan analisis probit sehingga dapat diketahui nilai LD 95. Keeratan hubungannya dianalisis dengan analisis korelasi.

28 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pelaksanaan fumigasi dilakukan di gudang beras Bulog Jakarta pada suhu ruang fumigasi berkisar antara C, sedangkan kelembaban relatif (RH) berkisar antara %. Rata-rata konsentrasi gas pada dosis 1, 2, dan 3 g/m 3 pada 24 dan 48 jam setelah peletakkan fosfin berturut-turut adalah 612; 1.168; dan ppm, 565; 1.090; dan ppm. Hasil pelaksanaan fumigasi disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 5. Hasil lain dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap mortalitas imago dan larva dengan penempatan serangga pada karung, baik pada penempatan posisi di atas, di tengah maupun di bawah. Pembahasan Mortalitas Larva Pada Tabel 2 disajikan nilai rata-rata mortalitas larva berdasarkan perlakuan dosis dan waktu pemaparan fumigan fosfin. Tampak bahwa makin tinggi dosis dan makin lama waktu pemaparan fumigan memberikan nilai rata-rata mortalitas larva yang semakin tinggi. Tabel 2. Rata-rata mortalitas larva (%). Dosis (g/m 3 Persen mortalitas larva T.castaneum pada waktu paparan ) 48 jam 72 jam 96 jam 120 jam ,22 82,22 98,89 100, ,56 100,00 100,00 100, ,56 100,00 100,00 100,00 Pada dosis 1 g/m 3 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120 jam persen rata-rata mortalitas larva adalah 52,22; 82,22; 98,89 dan 100%, sedangkan pada dosis 2 g/m 3 dengan waktu pemaparan 48 jam persen rata-rata mortalitas sebesar 65,56% dan mulai waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam memberikan mortalitas 100%. Demikian pula halnya dengan dosis 3 g/m 3 dengan

29 14 waktu pemaparan 48 jam nilai rata-rata mortalitas sebesar 85,56%, dan mulai waktu pemaparan 72, 96, dan 120 jam memberikan nilai 100%. Gambar 1. Grafik rata-rata mortalitas larva Pada gambar 1 perlakuan dosis 1 g/m 3 pada waktu pemaparan 48, 72 dan 96 jam memberikan persen rata-rata mortalitas larva kurang dari 100%. Perlakuan dosis rendah memerlukan waktu pemaparan yang lebih lama agar tercapai mortalitas larva yang optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reynolds et al. (1967) bahwa kerentanan pada semua fase serangga pada konsentrasi rendah membutuhkan waktu pemaparan yang lebih lama. Hasil sidik ragam (Lampiran 1) pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas larva menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan waktu pemaparan fosfin berpengaruh sangat nyata (F-hit > F-tab) terhadap mortalitas larva dan terdapat interaksi yang sangat nyata (F-hit > F-tab) antara perlakuan dosis dengan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas larva. Tabel 3 disajikan uji nilai tengah perlakuan dengan selang keparcayaan (5%). Tampak bahwa pada waktu pemaparan 48 jam jika dibandingkan masingmasing antara dosis 1, 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata. Pada waktu pemaparan 72 jam jika dibandingkan antara dosis 1 g/m 3 dengan 2 dan 3 g/m 3 terdapat perbedaan yang nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata.

30 15 Pada waktu pemaparan 96 jam, antara dosis 1 g/m 3 dengan 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada waktu pemaparan 120 jam, antara dosis 1 g/m 3 dengan 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tabel 3. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas larva (%) 3 Lama waktu pemaparan fumigan fosfin (jam) Dosis (g/m ) ,00 d 0,00 c 0,00 c 0,00 c 1 52,22 c 82,22 b 98,89 b 100,00 a 2 65,56 b 100,00 a 100,00 a 100,00 a 3 85,56 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT Pada Tabel 4 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan waktu pemaparan pada masing-masing dosis terhadap mortalitas larva. Tampak bahwa pada dosis 1 g/m 3, jika dibandingkan antara waktu pemaparan 48 jam dengan waktu pemaparan 72, 96, dan 120 jam menunjukkan perbedaan yang nyata. Perbandingan antara waktu pemaparan 72 jam dengan 96 dan 120 jam menunjukkan perbedaan yang nyata, namun antara waktu pemaparan 96 jam dengan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata. Pada dosis 2 dan 3 g/m 3, antara waktu pemaparan 48 jam dengan waktu pemaparan 72, 79 dan 120 jam memberikan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan perbandingan antara masing-masing waktu pemaparan, yaitu pada 72, 96 dan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata.

31 16 Tabel 4. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas larva (%) Waktu Pemaparan (jam) Dosis (g/m 3 ) ,00 a 52,22 c 65,56 b 85,56 b 72 0,00 a 82,22 b 100,00 a 100,00 a 96 0,00 a 98,89 b 100,00 a 100,00 a 120 0,00 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT Konsentrasi Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva Pada Gambar 2 disajikan hubungan antara dosis fumigan dengan mortalitas larva menurut lamanya waktu pemaparan fumigan. Hubungan tersebut menunjukkan pola hubungan antara dosis dengan mortalitas larva adalah searah (positif), dimana bertambahnya dosis diikuti dengan meningkatnya nilai mortalitas larva. Gambar 2. Respon mortalitas larva T.castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin Berdasarkan Gambar 2 menurut waktu pemaparan 48 jam pada dosis 1, 2 dan 3 g/m 3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas larva yang cukup tinggi, yaitu 52,22; 65,56; dan 85,56%. Berdasarkan waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam menunjukkan pola peningkatan mortalitas larva yang sangat tinggi, dimana dengan perlakuan dosis 2 dan 3 g/m 3 mortalitas larva mencapai 100%.

32 17 Berdasarkan konsentrasi sebagai faktor respon terhadap mortalitas larva, maka dosis yang dapat digunakan adalah 2 g/m 3, dimana dengan menggunakan dosis tersebut pada waktu pemaparan minimal 72 jam mortalitas larva dapat mencapai 100%. Waktu Pemaparan Sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Larva Gambar 3 menyajikan pola hubungan antara waktu pemaparan fumigan terhadap mortalitas larva menurut dosis fumigan. Hubungan tersebut menunjukkan pola hubungan antara waktu pemaparan dengan mortalitas larva adalah searah (positif), dimana makin lama waktu pemaparan diikuti dengan meningkatnya mortalitas larva. Gambar 3. Respon mortalitas larva T.castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin. Berdasarkan gambar 3, menurut dosis 1 g/m 3 dengan lama waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120 jam tampak peningkatan mortalitas larva yang cukup tinggi, yaitu 52,22; 82,22; 98,89 dan 100%, pada perlakuan dosis 2 dan 3 g/m 3 menunjukkan peningkatan mortalitas yang sangat tinggi, dimana dengan waktu pemaparan 96 dan 120 jam mortalitas larva mencapai 100%. Berdasarkan waktu pemaparan sebagai faktor respon terhadap mortalitas larva, maka lamanya waktu pemaparan yang dapat digunakan adalah minimal 72 jam, dimana dengan lama waktu pemaparan tersebut pada dosis 2 g/m 3 mortalitas larva dapat mencapai 100%.

33 18 Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Larva Berdasarkan hasil analisis probit (Lampiran 5) nilai LD 50 dan LD 95 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan fumigan semakin rendah nilai LD 50 dan LD 95 tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan, maka dosis/konsentrasi fumigan yang dibutuhkan semakin rendah Analisis probit pada LD 50 dan LD 95 dengan waktu pemaparan 48 jam adalah 1,00 dan 7,22, yang berarti bahwa untuk mematikan 50% dan 95% larva T.castaneum pada waktu pemaparan 48 jam membutuhkan dosis sebesar 1 dan 7,22 g/m 3. Analisis probit LD 50 dan LD 95 untuk waktu waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam tidak dapat dilakukan analisis probit, hal ini dikarenakan telah terjadi kematian larva yang sangat tinggi yaitu mencapai 100% mortalitas. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4) dapat dilakukan analisis korelasi untuk variabel dosis, waktu pemaparan dan mortalitas larva untuk mengukur derajat keeratan hubungan antar variabel prediktor dan variabel respon. Koefisien korelasi (Lampiran 4) antara mortalitas larva dengan dosis adalah sebesar 0,815, yang berarti antara mortalitas larva dengan dosis memiliki hubungan yang erat. Berdasarkan kaidah derajat keeratan hubungan (Sarwono 2006), dapat dikatakan antara mortalitas larva dengan dosis memiliki hubungan korelasi yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan kenyataan dengan meningkatnya dosis akan memberikan persentase mortalitas larva yang tinggi. Koefisien korelasi antara mortalitas larva dengan waktu pemaparan sebesar 0,308 yang berarti antara mortalitas larva dengan waktu pemaparan memiliki keeratan hubungan, yang berarti antara dua variabel tersebut memiliki hubungan korelasi cukup.

34 19 Mortalitas Imago Pada Tabel 5 disajikan persen rata-rata mortalitas imago berdasarkan perlakuan dosis dan waktu paparan fumigan fosfin. Tampak bahwa makin tinggi dosis dan makin lama waktu paparan fumigan memberikan rata-rata mortalitas imago yang semakin tinggi. Tabel 5. Rata-rata mortalitas imago (%). Dosis (g/m 3 Persen mortalitas imago T.castaneum pada waktu paparan ) 48 jam 72 jam 96 jam 120 jam ,89 65,56 76,67 96, ,89 92,22 100,00 100, ,67 100,00 100,00 100,00 Pada dosis 1 g/m 3 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120 jam persen rata-rata mortalitas imago adalah 38,89; 65,56; 76,67 dan 96,67%, sedangkan pada dosis 2 g/m 3 berturut-turut yaitu 48,89; 92,22; 100,00 dan 100%. Pada dosis 3 g/m 3 dengan waktu pemaparan 48 jam persen rata-rata mortalitas sebesar 56,67%, dan mulai waktu pemaparan 72, 96 dan 120 memberikan mortalitas 100%. Pada gambar 4 perlakuan dosis 1 dan 2 g/m 3 pada waktu pemaparan dibawah 72 jam memberikan persen rata-rata mortalitas imago kurang dari 100%. Perlakuan dosis rendah memerlukan waktu pemaparan yang lebih lama agar tercapai mortalitas imago yang optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reynolds et al. (1967) bahwa kerentanan pada semua fase serangga pada konsentrasi rendah membutuhkan waktu pemaparan yang lebih lama. Gambar 4. Grafik rata-rata mortalitas imago

35 20 Perlakuan dosis 1, 2 dan 3 gr/m 3 pada waktu pemaparan 48 jam menunjukkan persen rata-rata mortalitas imago yang rendah. Hal ini disebabkan fosfin yang diletakkan dalam ruang fumigasi belum menyebar secara menyeluruh atau belum terjadi kesetimbangan. Namun setelah 48 jam waktu pemaparan menunjukkan peningkatan nilai rata-rata mortalitas imago yang sangat tinggi. Hasil sidik ragam (Lampiran 1) pengaruh dosis dan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas imago menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan waktu pemaparan fosfin berpengaruh sangat nyata (F-hit > F-tab) terhadap mortalitas imago dan terdapat interaksi yang sangat nyata (F-hit > F-tab) antara perlakuan dosis dengan waktu pemaparan fosfin terhadap mortalitas imago. Tabel 6 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan dosis pada masingmasing waktu pemaparan terhadap mortalitas imago. Tampak bahwa pada waktu pemaparan 48 jam, jika dibandingkan antara dosis 1 g/m 3 dengan dosis 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan dosis 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata, walaupun nilai rata-rata mortalitas pada dosis 3 g/m 3 lebih tinggi. Pada waktu pemaparan 72 jam pada masing-masing perlakuan dosis yang digunakan, yaitu antara dosis 1, 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata. Pada waktu pemaparan 96 jam, antara dosis 1 gr/m 3 dengan dosis 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan dosis 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada waktu pemaparan 120 jam antara dosis 1 gr/m 3 dengan dosis 2 dan 3 g/m 3 memberikan hasil yang berbeda nyata, namun antara dosis 2 g/m 3 dengan dosis 3 g/m 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata.

36 21 Tabel 6. Uji nilai tengah pengaruh dosis terhadap mortalitas imago (%) Lama waktu pemaparan fumigan fosfin (jam) Dosis (g/m 3 ) ,00 c 0,00 d 0,00 c 0,00 c 1 38,89 b 65,56 c 76,67 b 96,67 b 2 48,89 a 92,22 b 100,00 a 100,00 a 3 56,67 a 100,00 a 100,00 a 100,00 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT Tabel 7 menyajikan uji nilai tengah pengaruh perlakuan waktu pemaparan pada masing-masing dosis terhadap mortalitas imago. Tampak bahwa pada dosis 1 g/m 3, jika dibandingkan antara waktu pemaparan 48 jam dengan waktu pemaparan 72, 96, dan 120 jam memberikan hasil yang berbeda nyata, sedangkan antara masing-masing waktu pemaparan antara 72, 96 dan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya pada dosis 2 dan 3 g/m 3, antara waktu pemaparan 48 jam dengan 72, 96 dan 120 jam memberikan hasil yang berbeda nyata, sedangkan perbandingan antara masing-masing waktu pemaparan yaitu pada 72, 96 dan 120 jam tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tabel 7. Uji nilai tengah pengaruh waktu pemaparan terhadap mortalitas imago (%) Waktu pemaparan (jam) Dosis (g/m 3 ) ,00 a 38,89 b 48,89 b 56,67 b 72 0,00 a 65,56 a 92,22 a 100,00 a 96 0,00 a 76,67 a 100,00 a 100,00 a 120 0,00 a 96,67 a 100,00 a 100,00 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan uji DMRT

37 22 Konsentrasi sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago Gambar 5 menyajikan pola hubungan antara dosis fumigan dengan mortalitas imago menurut lamanya waktu pemaparan fumigan. Gambar tersebut menunjukkan pola hubungan antara dosis dengan mortalitas imago adalah searah (positif), dimana bertambahnya dosis diikuti dengan meningkatnya mortalitas imago. Gambar 5. Respon mortalitas imago T.castaneum pada berbagai dosis fumigan fosfin Berdasarkan Gambar 6, menurut waktu pemaparan 48 jam, pada dosis 1, 2 dan 3 g/m3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang cukup tinggi, yaitu 38,89 ; 48,89 dan 56,67. Berdasarkan waktu pemaparan 72, 96 dan 120 jam menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang sangat tinggi, dimana mortalitas imago dapat mencapai lebih dari 50%, bahkan dengan perlakuan dosis 3 g/m 3 mencapai 100%. Berdasarkan konsentrasi sebagai faktor respon terhadap mortalitas imago, maka dosis yang dapat digunakan adalah 3 g/m 3, dimana dengan menggunakan dosis tersebut dengan waktu pemaparan minimal 72 jam mortalitas optimum imago dapat tercapai.

38 23 Waktu Pemaparan sebagai Faktor Respon terhadap Mortalitas Imago Gambar 6 menyajikan pola hubungan antara waktu pemaparan fumigan dengan mortalitas imago menurut dosis fumigan. Gambar tersebut menunjukkan pola hubungan antara waktu pemaparan dengan mortalitas imago adalah searah (positif), dimana makin lama waktu pemaparan diikuti dengan kenaikan persen mortalitas imago. Gambar 6. Respon mortalitas imago T.castaneum pada berbagai waktu pemaparan fumigan fosfin Berdasarkan gambar 6, menurut perlakuan dosis 1 g/m 3 dengan lama waktu pemaparan 48, 72, 96 dan 120 jam terlihat peningkatan mortalitas imago yang cukup tinggi, yaitu 38,89; 65,56; 76,67 dan 96,67, pada perlakuan dosis 2 dan 3 g/m 3 menunjukkan pola peningkatan mortalitas imago yang sangat tinggi, dimana dengan waktu pemaparan yang lebih lama yaitu 120 jam mortalitas imago mencapai 100%. Berdasarkan waktu pemaparan sebagai faktor respon terhadap mortalitas imago, maka lamanya waktu pemaparan yang dapat digunakan adalah 72 jam, dimana dengan menggunakan lama waktu pemaparan tersebut dengan dosis minimal 3 g/m 3 mortalitas imago optimum dapat tercapai.

39 24 Hubungan Konsentrasi dan Waktu Pemaparan terhadap Mortalitas Imago Berdasarkan hasil analisis probit (Lampiran 5) nilai LD 50 dan LD 95 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan fumigan semakin rendah nilai LD 50 dan LD 95 tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan, maka dosis/konsentrasi fumigan yang di butuhkan semakin rendah. Nilai LD 50 dan LD 95 berturut-turut pada waktu pemaparan 48, 72 dan 96 jam adalah 2,04; 118,25, 0,81; 2,07 dan 0,69; 1,60. Berdasarkan hasil analisis probit pada nilai LD 95 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mematikan 95% imago T.castaneum pada waktu pemaparan 48, 72 dan 96 jam maka dibutuhkan dosis berturut-turut 118,25, 2,07 dan 1,60 g/m 3. Hasil analisis probit LD 95 yaitu 2,07 g/m 3 dengan waktu pemaparan 72 jam tidak berbeda jauh dengan dosis standar penggunaan fumigan fosfin oleh Badan Karantina Pertanian untuk berbagai jenis hama gudang yang bersifat kosmopolit dalam rangka memenuhi persyaratan karantina negara lain yaitu 2 g/m 3 selama 72 jam (Anonimous 2007), sedangkan dosis yang digunakan oleh perum BULOG untuk pemeliharaan beras terhadap serangga gudang pada pengujian efikasi fumigan fosfin terhadap Sithopillus sp. dan T. castaneum adalah 2 g/ton selama 5 hari (Anonimous 2010), sedangkan jika dibandingkan terhadap dosis standar perlakuan fumigasi fosfin yang digunakan oleh USDA-APHIS terdapat perbedaan yaitu sebesar 0,35 g/m 3, tetapi tidak terlalu besar yaitu untuk komoditi kapas-kapasan adalah 1,72 g/m 3 selama 72 jam dengan konsentrasi 225 ppm (USDA-APHIS 2007). Hasil analisis probit LD 95 yaitu 1,60 g/m 3 dengan waktu pemaparan 96 jam terdapat perbedaan sebesar 0,43 g/m 3 dengan dosis standar yang digunakan oleh USDA-APHIS yaitu untuk komoditi tembakau 1,17 g/m 3 selama 96 jam dengan konsentrasi 200 ppm (USDA-APHIS 2007). Pada waktu pemaparan 48 jam dengan menggunakan analisis probit diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 4,58 + 0,54x, pada waktu pemaparan 72 jam persamaan regresinya adalah Y = 5,24 + 3,40x, sedangkan pada waktu pemaparan 96 jam adalah Y = 5,58 + 3,58x.

40 25 Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4) dapat dilakukan analisis korelasi untuk variabel dosis, waktu pemaparan dan mortalitas imago untuk mengukur derajat keeratan hubungan antar variabel prediktor dan variabel respon. Koefisien korelasi (Lampiran 4) antara mortalitas imago dengan dosis adalah sebesar 0,804, yang berarti antara mortalitas imago dengan dosis memiliki hubungan yang erat. Berdasarkan kaidah derajat keeratan hubungan (Sarwono 2006), dapat dikatakan bahwa antara mortalitas imago dengan dosis memiliki hubungan korelasi yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan kenyataan dengan meningkatnya dosis akan memberikan persentase mortalitas imago yang tinggi. Sedangkan koefisien korelasi antara mortalitas imago dengan waktu pemaparan sebesar 0,203, yang berarti antara dua variabel tersebut memiliki hubungan korelasi sangat lemah. Tabel 8. Rata-rata konsentrasi (ppm) pada saat perlakuan Dosis (g/m 3 ) Konsentrasi gas fosfin (ppm) 48 jam 72 jam 96 jam 120 jam 1 565,75 295,11 220,67 205, ,00 550,11 351,67 298, ,17 851,33 495,67 399,33 Berdasarkan hasil pengamatan konsentrasi (ppm) pada tabel 8 di atas terlihat bahwa rata-rata konsentrasi tertinggi terdapat waktu pemaparan 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi optimal fosfin terjadi pada waktu pemaparan 48 jam.

TINJAUAN PUSTAKA AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3. Mg 3 P H 2 O 2 PH Mg(OH) 2

TINJAUAN PUSTAKA AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3. Mg 3 P H 2 O 2 PH Mg(OH) 2 TINJAUAN PUSTAKA Fosfin Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan dalam konsentrasi yang sesuai akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. digilib.uns.ac.id 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. Klasifikasi dari kumbang tepung (T. castaneum) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tribolium castaneum (Herbst)

TINJAUAN PUSTAKA Tribolium castaneum (Herbst) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tribolium castaneum (Herbst) Serangga T. castaneum termasuk ordo Coleoptera dan famili Tenebronidae. Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu perkembangannya

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan komoditas strategis yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan produksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Gedung Workshop Fumigasi dan X-Ray di Balai Uji Terap Teknik dan Metoda Karantina Pertanian, Bekasi dari bulan November

Lebih terperinci

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado * korespondensi:

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado * korespondensi: Mortalitas Sitophilus oryzae L. pada Beras Suluttan Unsrat, Ketan Putih, dan Beras Merah di Sulawesi Utara (Mortality of Sitophilus oryzae L. in Suluttan Unsrat, white glutinous, and brown rice in North

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Resistensi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Resistensi 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Hasil pengujian si menunjukkan bahwa dari tiga spesies serangga yang diuji, dua spesies menunjukkan sinya terhadap fosfin dengan faktor si (RF) yang bervariasi, berkisar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Telur diletakkan di dalam butiran dengan

TINJAUAN PUSTAKA. dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Telur diletakkan di dalam butiran dengan TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama S.oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera : Curculionidae

Lebih terperinci

Alumni Peminatan Entomologi Kesehatan FKM UNDIP **) Staf Pengajar Peminatan Entomologi Kesehatan FKM UNDIP ***)

Alumni Peminatan Entomologi Kesehatan FKM UNDIP **) Staf Pengajar Peminatan Entomologi Kesehatan FKM UNDIP ***) GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR FISIK PENYIMPANAN BERAS, IDENTIFIKASI DAN UPAYA PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG (Studi di Gudang Bulog 103 Demak Sub Dolog Wilayah I Semarang) Adelia Luhjingga Pitaloka *), Ludfi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Percobaan 4.1.1. Jumlah larva (30 HSA) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah larva pada 30 HSA, sedangkan

Lebih terperinci

PERLUASAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI FTI-2 TERHADAP BEBERAPA JENIS HAMA GUDANG

PERLUASAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI FTI-2 TERHADAP BEBERAPA JENIS HAMA GUDANG PERLUASAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI FTI-2 TERHADAP BEBERAPA JENIS HAMA GUDANG SEPTRIPA A34051189 DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRAK SEPTRIPA.

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir.

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Subramanyam dan Hagstrum (1996), Hama kumbang bubuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN

HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN Tugas Terstruktur I Disusun Oleh: Bogi Diyansah 0810480131 AGROEKOTEKNOLOGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2O11 Pertanyaan dan jawaban 1. Ambang fumigasi Ambang fumigasi adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : bulat dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Seperti yang terlihat pada

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : bulat dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Seperti yang terlihat pada xvi TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama S.oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera : Curculionidae

Lebih terperinci

KORELASI POPULASI Sitophylus oryzae Linn.(Coleoptera:Curculionidae) DENGAN BEBERAPA FAKTOR PENYIMPANAN BERAS BULOG DI MEDAN

KORELASI POPULASI Sitophylus oryzae Linn.(Coleoptera:Curculionidae) DENGAN BEBERAPA FAKTOR PENYIMPANAN BERAS BULOG DI MEDAN KORELASI POPULASI Sitophylus oryzae Linn.(Coleoptera:Curculionidae) DENGAN BEBERAPA FAKTOR PENYIMPANAN BERAS BULOG DI MEDAN SKRIPSI OLEH : PULUNGAN SIBUEA 050302045/HPT DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan pemberian serbuk rumput teki sebagai biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum (lampiran

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Permasalahan Hama Sitophilus zeamais. Arti Penting Hama

TINJAUAN PUSTAKA. Permasalahan Hama Sitophilus zeamais. Arti Penting Hama TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Sitophilus zeamais Arti Penting Hama Sitophilus zeamais termasuk ordo Coleoptera dan famili Curculionidae. Serangga ini merupakan hama gudang yang banyak ditemukan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lalat buah merupakan hama penting yang menyerang buah-buahan. Lalat

BAB I PENDAHULUAN. Lalat buah merupakan hama penting yang menyerang buah-buahan. Lalat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat buah merupakan hama penting yang menyerang buah-buahan. Lalat buah yang termasuk dalam Familia Tephritidae telah banyak diketahui sebagai organisme pengganggu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang hijau adalah tanaman budidaya palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN POPULASI Sitophilus zeamais Motsch. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) PADA EMPAT KULTIVAR BERAS MARYANA JAYANTI PASARIBU

PERTUMBUHAN POPULASI Sitophilus zeamais Motsch. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) PADA EMPAT KULTIVAR BERAS MARYANA JAYANTI PASARIBU PERTUMBUHAN POPULASI Sitophilus zeamais Motsch. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) PADA EMPAT KULTIVAR BERAS MARYANA JAYANTI PASARIBU DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

Teknologi Penyimpanan Jagung Oleh : Sri Sudarwati PENDAHULUAN

Teknologi Penyimpanan Jagung Oleh : Sri Sudarwati PENDAHULUAN Teknologi Penyimpanan Jagung Oleh : Sri Sudarwati PENDAHULUAN Sampai saat ini mutu jagung di tingkat petani pada umumnya kurang memenuhi persyaratan kriteria mutu jagung yang baik, karena tingginya kadar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

TERHADAP FOSFIN DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

TERHADAP FOSFIN DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN PENGUJIAN RESISTENSI Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN DAN KERAGAAN

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA Oleh RAMDHAN NURBIANTO F14103066 2008 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah: warna putih (gelatin) yang merupakan salivanya, sehingga dari luar tidak

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah: warna putih (gelatin) yang merupakan salivanya, sehingga dari luar tidak TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae L. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah: Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kutu Beras Sitophylus oryzae sp Biologi dan Ekologi Hama S.oryzae ini adalah: Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera : Curculionidae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dekade belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penipisan lapisan ozon di Antartika dan fenomena penipisan lapisan ozon ini tampaknya semakin meluas akibat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012 11 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012 bertempat di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan Agroteknologi,

Lebih terperinci

PENGARUH EMPAT JENIS EKSTRAK DAN SERBUK TANAMAN TERHADAP AKTIVITAS PENELURAN Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae)

PENGARUH EMPAT JENIS EKSTRAK DAN SERBUK TANAMAN TERHADAP AKTIVITAS PENELURAN Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) PENGARUH EMPAT JENIS EKSTRAK DAN SERBUK TANAMAN TERHADAP AKTIVITAS PENELURAN Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) INTAN WIJI EKAWATI PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Adne Yudansha, Toto Himawan dan Ludji Pantja Astuti

Adne Yudansha, Toto Himawan dan Ludji Pantja Astuti Jurnal HPT Volume 1 Nomor 3 September 2013 ISSN : 2338-4336 1 PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) PADA BEBERAPA JENIS BERAS DENGAN TINGKAT KELEMBABAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh,

PENDAHULUAN. manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh, xi PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan salah satu padian paling penting di dunia untuk dikonsumsi manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Cina,

Lebih terperinci

TATACARA PELAKSANAAN FUMIGASI DENGAN FOSFIN

TATACARA PELAKSANAAN FUMIGASI DENGAN FOSFIN TATACARA PELAKSANAAN FUMIGASI DENGAN FOSFIN KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN KARANTINA PERTANIAN PUSAT KARANTINA TUMBUHAN DAN KEAMANAN HAYATI NABATI 2011 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Toksisitas Kontak dan Efek Fumigan Minyak Atsiri Cinnamomum spp. Minyak atsiri 8 spesies Cinnamomum dengan konsentrasi 5% memiliki toksisitas kontak dan efek fumigan yang beragam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

MODIFIKASI ATMOSFER DENGAN KONSENTRASI CO 2 TERHADAP PERKEMBANGAN Sitophilus zeamais SELAMA PENYIMPANAN JAGUNG

MODIFIKASI ATMOSFER DENGAN KONSENTRASI CO 2 TERHADAP PERKEMBANGAN Sitophilus zeamais SELAMA PENYIMPANAN JAGUNG 2004 Enrico Syaefullah Posted 5 November 2004 Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor November 2004 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Gudang Lasioderma serricorne (Coleoptera: Anobiidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Gudang Lasioderma serricorne (Coleoptera: Anobiidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Gudang Lasioderma serricorne (Coleoptera: Anobiidae) Kumbang L. serricorne meletakkan telurnya secara tertutup pada bahan (tembakau) simpan. Telur diletakkan satu persatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT TANGGAP FUNGSIONAL PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis REUTER (HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) RITA OKTARINA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

Respon Hama Lasioderma Serricorne terhadap Pemberian Fosfin Formulasi (Tablet dan Bags) pada Biji Pinang

Respon Hama Lasioderma Serricorne terhadap Pemberian Fosfin Formulasi (Tablet dan Bags) pada Biji Pinang RESPON HAMA LASIODERMA SERRICORNE TERHADAP PEMBERIAN FOSFIN FORMULASI (TABLET DAN BAGS) PADA BIJI PINANG H. Hayata 1 Abstract During storage, areca seed may be attacked by pest. These pests will eat areca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan hama yang umum menyerang tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH

PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP MORTALITAS HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) Oleh: Ani Nihayah 1), Asep Ginanjar 2), Taufik Sopyan 3) 1) Alumni Prodi.Pend.Biologi

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN

POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN AGROVIGOR VOLUME 3 NO. 1 MARET 2010 ISSN 1979 5777 19 POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN Herminanto, Nurtiati, dan D. M. Kristianti Fakultas

Lebih terperinci

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A44102059 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penyimpanan Pellet Suhu dan kelembaban ruang penyimpanan sangat berpengaruh terhadap sifat fisik dan pertumbuhan serangga pada pellet yang disimpan. Ruang penyimpanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

BIOLOGI HAMA KUMBANG PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT

BIOLOGI HAMA KUMBANG PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT BIOLOGI HAMA KUMBANG PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) PADA MEDIA BATANG DAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH : AHMAD SEJAHTRA 070302031

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

LIA RAMDEUNIA. Aktivitas Ekstrak Daun, Ranting dan Biji Suren (Toona sureni

LIA RAMDEUNIA. Aktivitas Ekstrak Daun, Ranting dan Biji Suren (Toona sureni LIA RAMDEUNIA. Aktivitas Ekstrak Daun, Ranting dan Biji Suren (Toona sureni MERR. : Meliaceae) terhadap Callosobruchus maculatus (Coleoptera : Bruchidae) dan Pengaruhnya pada Daya Kecambah Biji Kacang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

KISARAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA BOTANI FTI-1 DAN KEAMANANNYA PADA BIBIT BEBERAPA FAMILI TANAMAN

KISARAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA BOTANI FTI-1 DAN KEAMANANNYA PADA BIBIT BEBERAPA FAMILI TANAMAN 1 KISARAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA BOTANI FTI-1 DAN KEAMANANNYA PADA BIBIT BEBERAPA FAMILI TANAMAN R. PANJI FERDY SURYA PUTRA A44101063 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Faktor Yang Berpengaruh. Mutu komoditas Metode pemanenan dan penanganannya Pendinginan awal (pre-cooling) Sanitasi ruangan penyimpanan

Faktor Yang Berpengaruh. Mutu komoditas Metode pemanenan dan penanganannya Pendinginan awal (pre-cooling) Sanitasi ruangan penyimpanan PENYIMPANAN BUAH Faktor Yang Berpengaruh Mutu komoditas Metode pemanenan dan penanganannya Pendinginan awal (pre-cooling) Sanitasi ruangan penyimpanan Waktu Penyimpanan Penyimpanan sementara (temporary

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian untuk kegiatan fraksinasi daun mint (Mentha arvensis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Jl. Peta No. 83, Bandung, Jawa Barat 40232, selama 20 hari pada bulan Maret April 2013. 3.2 Alat dan

Lebih terperinci

STATUS RESISTENSI Tribolium castaneum HERBST DAN Araecerus fasciculatus DE GEER ASAL GUDANG BIJI KAKAO DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN TERHADAP FOSFIN

STATUS RESISTENSI Tribolium castaneum HERBST DAN Araecerus fasciculatus DE GEER ASAL GUDANG BIJI KAKAO DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN TERHADAP FOSFIN STATUS RESISTENSI Tribolium castaneum HERBST DAN Araecerus fasciculatus DE GEER ASAL GUDANG BIJI KAKAO DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN TERHADAP FOSFIN SRI WIDAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI EFEKTIFITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN Steinernema spp. SEBAGAI PENGENDALI PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : SELLY KHAIRUNNISA

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Segera!!!...Potong Tunggul Kelapa Yang Mati

Segera!!!...Potong Tunggul Kelapa Yang Mati Segera!!!...Potong Tunggul Kelapa Yang Mati Ika Ratmawati, SP. POPT Ahli Muda Pendahuluan Alunan lagu nyiur hijau menggambarkan betapa indahnya tanaman kelapa yang berbuah lebat dan melambaikan nyiurnya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. saat ini. Kedelai berasal dari Asia, diperkenalkan ke Amerika Utara, Eropa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. saat ini. Kedelai berasal dari Asia, diperkenalkan ke Amerika Utara, Eropa, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informasi Umum Tentang Kedelai Kedelai adalah tanaman biji terkemuka yang diproduksi dan dikonsumsi di dunia saat ini. Kedelai berasal dari Asia, diperkenalkan ke Amerika Utara,

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK.

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. Oleh: Gusri Ayu Farsa PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

1 Muhammad Syaifullah Hiola, , Rida Iswati, Fahria Datau, Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo

1 Muhammad Syaifullah Hiola, , Rida Iswati, Fahria Datau, Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo UJI EFEKTIFITAS KULIT JERUK MANIS (Citrus sinensis) SEBAGAI PESTISIDA NABATI DALAM MENEKAN SERANGAN HAMA KUMBANG BERAS (Sitophylus oryzae L.) Muhammad Syaifullah Hiola (1), Rida Iswati (2), Fahria Datau

Lebih terperinci

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas

Lebih terperinci

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI. Oleh :

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI. Oleh : UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : RIDHA HASANAH SIHOMBING 090301048 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) YANA KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH :

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : HENDRA SAMUEL SIBARANI 100301172 AGROEKOTEKNOLOGI/ HPT PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Efektivitas Abu Sekam dan Minyak Goreng Pada Pengendalian Hama Gudang Kacang Hijau. Kardiyono

Efektivitas Abu Sekam dan Minyak Goreng Pada Pengendalian Hama Gudang Kacang Hijau. Kardiyono Efektivitas Abu Sekam dan Minyak Goreng Pada Pengendalian Hama Gudang Kacang Hijau Kardiyono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas Serang Banten Abstrak Kerusakan kacang

Lebih terperinci