BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan penting yang menjadi prioritas utama pemerintah Kabupaten Bandung adalah pembangunan yang seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan sumber daya manusia. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Bandung yang diantaranya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) yang berlandaskan iman dan taqwa. Kebijakan yang diambil diharapkan dapat mempercepat peningkatan derajat sumber daya manusia Kabupaten Bandung, sehingga penduduknya akan mampu bersaing secara regional maupun nasional. Capaian pembangunan manusia tidak dapat dilihat secara parsial. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran standar yang dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan manusia secara keseluruhan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk berdasarkan beberapa indikator yang merepresentasikan dimensi kesehatan, dimensi pendidikan dan dimensi hidup layak. Pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung masih mungkin untuk ditingkatkan, bahkan mampu bersaing dengan kabupaten/kota sekitarnya. Langkah yang harus diambil adalah dengan arah kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Bandung yang mampu menjawab permasalahan regional yang telah terpetakan. Keberhasilan pencapaian pembangunan di IPM Kabupaten Bandung Tahun

2 wilayah Kabupaten Bandung secara bersamaan akan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan pembangunan manusia. Sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab VII pasal 31, yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data/informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, maka untuk mengukur keberhasilan peningkatan pembangunan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas hidup manusia di Kabupaten Bandung diperlukan pengukuran menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data IPM yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI) biasanya direalease untuk tahun data t-2 dengan kedalaman data sampai tingkat kabupaten/kota. Sementara itu perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung memerlukan data dasar kondisi terkini dengan kedalaman paling tidak sampai dengan level kecamatan. Untuk itu diperlukan penyusunan/penghitungan IPM menurut kecamatan pada tahun berjalan. 1.2 Tujuan Untuk mengukur keberhasilan peningkatan pembangunan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas hidup manusia maka diperlukan pengukuran menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM atau Human Development Index (HDI) adalah indikator yang telah dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP). IPM Kabupaten Bandung Tahun

3 IPM sangat perlu dievaluasi dalam pembangunan suatu daerah, karena IPM dapat memberikan informasi sampai seberapa besar setiap pencapaian peningkatan hasil pembangunan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonominya. IPM merupakan suatu indeks yang menunjukkan tentang aspek-aspek: peluang hidup panjang dan sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut merupakan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi. Tujuan kegiatan penyusunan penghitungan IPM Kabupaten Bandung pada tahun 2013 adalah : 1. Untuk mendapatkan data potensi dan permasalahan di Kabupaten Bandung secara umum sebagai bahan evaluasi atas kinerja/pelaksanaan pembangunan daerah, selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan dan perumusan kebijakan Pemerintah Daerah. 2. Untuk mendapatkan feedback secara berkala atas kinerja penyelenggaraan pemerintah/pelaksanaan pembangunan daerah sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik secara berkesinambungan. 3. Mendapatakan data dasar bahan penyusunan perencanaan & evaluasi pembagunan secara berkala. IPM Kabupaten Bandung Tahun

4 1.3 Sasaran dan Manfaat Kegiatan Sasaran Kegiatan Pengolahan, Updating dan Analisis Data Statistik Daerah Pekerjaan Penyusunan IPM adalah tersusunnya Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun 2013 sampai tingkat kecamatan. Dengan tersusunnya data IPM menurut kecamatan manfaatnya adalaha diketahuinya gambaran pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat Kabupaten Bandung sampai tingkat kecamatan. 1.4 Dasar Hukum Peraturan perundang-undangan yang melatarbelakangi Kegiatan Pengolahan, Updating dan Analisis Data Statistik Daerah Pekerjaan Penyusunan IPM diantaranya : 1. Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik; 2. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ( Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembar Negara 4437) sebagaimana telah diubah terakhir IPM Kabupaten Bandung Tahun

5 dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (lembaran Negara tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 6. Peraturan pemrintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4578); 7. Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tetntang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 8. Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah ; 11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 2); 12. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 3); IPM Kabupaten Bandung Tahun

6 13. Peraturan Bupati Bandung Nomor 9 Tahun 2008 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 9); 14. Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bandung dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Nomor : tanggal 14 Februari 2012 tentang Penyusunan Indikator Makro Kestatistikan. 15. Keputusan Bupati Bandung Nomor 027/Kep.457-Pemb/2012 Tanggal 25 Oktober 2012 tentang Standar Biaya Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2013; 16. Keputusan Bupati Bandung Nomor 954/Kep.70- BAPPEDA/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang Penunjukan Pengelola Keuangan Daerah pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran Keputusan Kepala BAPPEDA Kabupaten Bandung selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Nomor 900/45B- Sekret/2013, tanggal 21 Januari 2013 tentang Penunjukan Pejabat Penatausahaan Keuangan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan/Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan/Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, Pejabat/Panitia Penerima/Pemeriksa Hasil Pekerjaan/Kegiatan, dan Pembantu Bendahara Pengeluaran (Kasir, Pembuat Dokumen Pengeluaran dan Pemgurusan Gaji), pada BAPPEDA Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2013; IPM Kabupaten Bandung Tahun

7 18. Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) BAPPEDA Kabupaten Bandung Tahun Ruang Lingkup dan Sumber Data Cakupan kegiatan penyusunan/penghitungan IPM adalah di seluruh wilayah Kabupaten Bandung. Sedangkan data yang digunakan dalam penghitungan IPM disamping menggunakan data primer yaitu Survei Khusus IPM, juga dilengkapi dengan data primer/sekunder hasil survei lainnya yang dipublikasikan oleh BPS atau sumber lain. IPM Kabupaten Bandung Tahun

8 BAB II METODOLOGI 2.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dari rumah tangga terpilih dilakukan melalui survei dengan dengan wawancara langsung antara petugas dengan responden. Keterangan mengenai rumahtangga dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan kepala rumahtangga, suami/istri kepala rumahtangga atau anggota rumahtangga lain yang mengetahui karakteristik yang ditanyakan. 2.2 Kerangka Sampel Kerangka sampel yang digunakan dalam IPM yaitu dilakukan secara bertahap, dengan tahapan sebagai berikut : Tahap pertama, dilakukan pemilihan sampel kecamatan dan desa /kelurahan (seluruh kecamatan dan desa /kelurahan yang berada di Kabupaten Bandung terpilih sampel). Selanjutnya dilakukan pengurutan nomor blok sensus (wilayah pencacahan) yang ada di seluruh desa/kelurahan. Pengurutan ini dilakukan untuk menjamin bahwa setiap blok sensus yang ada dalam suatu desa/kelurahan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Tahap Kedua, adalah memilih blok sensus. Pemilihan blok sensus ini dilakukan dengan cara probability sampling (penarikan IPM Kabupaten Bandung Tahun

9 sampel berpeluang). Adapun yang menjadi sampling frame untuk penarikan sampel blok sensus ini adalah jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun Tahap ketiga, adalah pemilihan rumahtangga pada kelompok blok sensus yang terpilih sampel. Pemilihan rumah tangga dilakukan secara proporsional terhadap lima strata pengeluaran rumah tangga sehingga rumahtangga-rumahtangga yang terpilih diharapkan merupakan sampel yang refresentatif dari seluruh rumah tangga yang ada di Kabupaten Bandung. 2.3 Pengertian Indikator Petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut sebagai indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (1) Sahih (Valid); indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut. (2) Objektif; untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. (3) Sensitif; perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator. IPM Kabupaten Bandung Tahun

10 (4) Spesifik; indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat. Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak (indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu Angka Melek Huruf (AMH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Harapan Hidup dari anak usia 1 tahun (e 1 ). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu: (a) Indikator Input; yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program. Seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. (b) Indikator Proses; yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun. (c) Indikator Output/Outcome; yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Harapan Hidup (AHH), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain. IPM Kabupaten Bandung Tahun

11 2.4 Indikator-Indikator Pembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah, tentunya diperlukan data-data yang up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam konteks tersebut diperlukan ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya dijabarkan mengenai berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, dan peningkatan kegiatan olahraga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian, seperti dikatakan Azwini, Karomo, dan Prijono (1988:469), tolak ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik (Hicks and Streeten, 1979; Rat, 1982; Holidin, 1993a dan Holidin 1993b) karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik dari keterkaitan antar variabel yang digunakannya. Terlepas dari kelemahan tersebut, ada nilai lebih dari IPM Kabupaten Bandung Tahun

12 IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada suatu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Disamping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH bisa dihitung dengan mudah setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah. Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks. Untuk itu perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan yang ada. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, disamping mengukur kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu yang tercermin dari nilai Purcashing Power Parity Index (PPP). Dengan demikian, indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH. 2.5 Metode Penghitungan IPM Perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi IPM Kabupaten Bandung Tahun

13 manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; serta hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada purchasing power parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e 0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis sedangkan indikator ratarata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Sementara itu, komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. IPM Kabupaten Bandung Tahun

14 Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut: Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita (=A). Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B). Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus: E ( i, j ) PPP / unit = j Dimana, (p ( 9, j ). q ( i, j )) j E ( i, j ) : pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i P ( 9, j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) q ( i, j ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i IPM Kabupaten Bandung Tahun

15 Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) Komoditi Unit Sumbangan thd total konsumsi (%) *) (1) (2) (3) 1. Beras lokal Kg Tepung terigu Kg Ketela pohon Kg Ikan tongkol/tuna/cakalang Kg Ikan teri Ons Daging sapi Kg Daging ayam kampung Kg Telur ayam Butir Susu kental manis 397 gram Bayam Kg Kacang panjang Kg Kacang tanah Kg Tempe Kg Jeruk Kg Pepaya Kg Kelapa Butir Gula pasir Ons Kopi bubuk Ons Garam Ons Merica/lada Ons Mie instant 80 gram Rokok kretek filter 10 batang Listrik Kwh Air minum M Bensin Liter Minyak tanah Liter Sewa rumah Unit Total Sumber: Badan Pusat Statistik IPM Kabupaten Bandung Tahun

16 Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut: Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0. Luas lantai per kapita: > 10 m 2 = 1, lainnya = 0. Dinding: tembok = 1, lainnya = 0. Atap: kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0. Fasilitas penerangan: listrik = 1, lainnya = 0. Fasilitas air minum: leding = 1, lainnya = 0. Jamban: milik sendiri = 1, lainnya = 0. Skor awal untuk setiap rumah = 1. Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998: 129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: IPM Kabupaten Bandung Tahun

17 C (i) * = C (i) jika C (i) < Z = Z + 2(C (i) Z) (1/2) jika Z < C (i ) < 2Z = Z + 2(Z) (1/2) + 3(C (i) 2Z) (1/3) jika 2Z < C (i) < 3Z = Z + 2(Z) (1/2) + 3(Z) (1/3) + 4(C (i) 3Z) (1/4) jika 3Z < C (i) < 4Z Dimana, C (I) : Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5) Z : Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp ,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari 2.6 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf, dkk (1998: 129) dapat disajikan sebagai berikut : IPM = 1/3 (X (1) + X (2) + X (3)) Dimana, X(1) : X(2) : X(3) : Indeks harapan hidup Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks ratarata lama sekolah) Indeks standar hidup layak Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya IPM Kabupaten Bandung Tahun

18 dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut: Indeks X(i) = (X(i) - X(i)min) / (X(i)maks - X(i)min) Dimana, X(i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3) X(i)maks : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i) Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel 2.2. Indikator Komponen IPM (=X(I)) Angka Harapan Hidup Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Nilai maksimu m Nilai Minimum Catatan (1) (2) (3) (4) Angka Melek Huruf Rata-rata lama sekolah Konsumsi per kapita yang disesuaikan Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) 15 0 Sesuai standar global (UNDP) a) b) PDB per kapita riil yang disesuaikan UNDP menggunakan IPM Kabupaten Bandung Tahun

19 Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua. 2.7 Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998: 141) dapat dirumuskan sebagai berikut: Dimana, IPM t : IPM pada tahun t IPM t+n : IPM pada tahun t + n IPM ideal : 100 (IPM t+n IPM t ) x 10 1/n r = (IPM ideal IPM t ) IPM Kabupaten Bandung Tahun

20 2.8 Beberapa Definisi Operasional Indikator Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah: Rasio jenis kelamin Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100 Angka ketergantungan Perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah usia > 65 tahun terhadap penduduk usia tahun, dikalikan 100 Rata-rata Lama Sekolah Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas. Angka Melek Huruf Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya). Angka Partisipasi Murni SD Proporsi penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di SD. Angka Partisipasi Murni SLTP Proporsi penduduk usia tahun yang sedang bersekolah di SLTP Angka partisipasi Murni SLTA Proporsi pendudk usia tahun yang sedang bersekolah di SLTA Persentase penduduk Proporsi penduduk yang menamatkan IPM Kabupaten Bandung Tahun

21 dengan pendidikan SLTP ke atas pendidikan SLTP atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi Jumlah penduduk usia sekolah Banyaknya penduduk yang berusia antara 7-24 tahun Bekerja Melakukan kegiatan/pekerjaan paling sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang bekerja Angkatan Kerja Penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja atau mencari pekerjaan Tingkat Partisipasi Perbandingan angkatan kerja terhadap Angkatan Kerja penduduk usia 10 tahun. Angka Pengangguran Terbuka Perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja. Persentase pekerja yang setengah menganggur Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Persentase pekerja dengan status berusaha Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri. sendiri Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tak dibayar IPM Kabupaten Bandung Tahun

22 tidak tetap Persentase pekerja dengan status berusaha dengan buruh tetap Persentase pekerja dengan status berusaha pekerja tak dibayar Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga medis Angka Harapan Hidup waktu lahir Angka Kematian Bayi Persentase rumah tangga berlantai tanah Persentase rumah tangga beratap layak Persentase rumah tangga berpenerangan Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang berusaha dengan buruh tetap. Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pekerja keluarga. Proporsi balita yang kelahirannya ditolong oleh tenaga medis (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah. Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan). Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik. IPM Kabupaten Bandung Tahun

23 listrik Persentase rumah tangga bersumber air minum leding Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik Pengeluaran Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding. Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa/sumur/mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah kotoran terdekat. Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik. Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Gini Rasio Ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai Gini Rasio terletak antara 0 yang mencerminkan kemerataan sempurna dan 1 yang menggambarkan ketidakmerataan sempurna IPM Kabupaten Bandung Tahun

24 Penduduk miskin Garis Kemiskinan Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar. Suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM) dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM). IPM Kabupaten Bandung Tahun

25 BAB III PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN 3.1. Kondisi Kesehatan Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan. Salah satu faktor penting dalam konsep pembangunan manusia adalah pembangunan di bidang kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Defini kesehatan adalah keadaan sejahtera dari fisik dan jiwa seseorang yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan tidak hanya terbebas dari penyakit semata melainkan merupakan kondisi dinamis yang meliputi kesehatan jasmani, rohani, dan sosial. Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah kesadaran individu untuk memelihara kesehatan. Memelihara kesehatan menunjukkan adanya upaya untuk menanggulangi dan mencegah gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan termasuk kondisi kehamilan dan persalinan. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan diperlukan dukungan pemerintah sebagai fasilitator dengan mengadakan berbagai penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pendidikan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat sebagai IPM Kabupaten Bandung Tahun

26 pengalaman belajar untuk mempermudah adaptasi secara sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Dengan berjalannya waktu kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan tercipta dan derajat kesehatan yang tinggi akan tercapai. Peningkatan derajat kesehatan sebagai salah satu komponen inti dari pembangunan manusia sejalan dengan visi pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kabupaten Bandung sebagai salah satu daerah potensial di propinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang cukup besar serta wilayah yang cukup luas. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut menjadikan upaya peningkatan derajat kesehatan membutuhkan strategi yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada. Salah satu indikator yang mempengaruhi derajat kesehatan adalah angka kematian bayi (AKB). Meningkatnya derajat kesehatan di suatu wilayah salah satunya ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi. Penurunan angka kematian bayi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah terutama dalam melakukan intervensi terhadap problemproblem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus tetap diprioritaskan terutama pada daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi seperti di wilayah Bandung bagian selatan. Dengan demikian angka kematian bayi di Kabupaten Bandung dapat ditekan. IPM Kabupaten Bandung Tahun

27 Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi. Salah satu faktor penyebab kematian bayi adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk mempercayakan proses persalinan terhadap tenaga ahli kesehatan. Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menangani proses persalinan. Persalinan yang dilakukan oleh tenaga ahli seperti dokter atau bidan tentu akan lebih aman jika dibandingkan dengan dukun atau tenaga non medis lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah di Kabupaten Bandung untuk mengintervensi problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi, dan anak telah tergambarkan dengan capaian yang cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil survei beberapa tahun terakhir diperlihatkan bahwa peranan tenaga kesehatan sudah semakin dominan, dan setiap tahun terus ditingkatkan. Kondisi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penanganan persalinan oleh tenaga kesehatan yang mencakup dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya mencapai 63,55 persen. Sedangkan persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis seperti dukun bersalin dan lainnya adalah sebesar 36,45 persen. Pada tahun 2010 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis meningkat menjadi sebesar 43,64 persen. Setahun berjalan dengan berbagai upaya dari pemerintah untuk terus menggalakkan peranan tenaga kesehatan dalam membantu persalinan, akhirnya pada tahun 2011 peranan tenaga non medis dalam menangani persalinan dapat diturunkan menjadi sebesar 26,01 persen. Pada tahun 2012 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis menurun kembali menjadi sebesar 22,20 persen. Hal yang cukup IPM Kabupaten Bandung Tahun

28 menggembirakan diperlihatkan berdasarkan kondisi hasil survei terakhir pada tahun 2013, dimana peranan tenaga non medis dalam menangani proses persalinan menurun cukup signifikan hingga mencapai 16,50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan sudah semakin baik dan kesadaran masyarakat di wilayah Kabupaten Bandung sudah cukup tinggi akan pentingnya peranan tenaga kesehatan dalam membantu proses persalinan. Grafik 3.1. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun ,32 0,18 0,19 7,89 5,88 0,49 1,33-22,01 25,31 42,94 0,70 5,08 0,70 7,88 0,27 5,59 36,18 0,45 57,51 47,87 0,61 68,91 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya 70,59 75,12 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Penanganan persalinan oleh tenaga non medis memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan IPM Kabupaten Bandung Tahun

29 yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Oleh karena itu, peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun bersalin pada proses persalinan, maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun bersalin, maupun kemitraan dukun bersalin dengan tenaga kesehatan. Dalam proses persalinan kerap terjadi beberapa kasus rujukan dikarenakan terjadi satu dan lain hal selama persalinan. Pada umumnya hal ini terjadi pada kasus persalinan yang ditangani oleh dukun bersalin atau tenaga non medis lainnya. Ketika terjadi sesuatu di luar kemampuan dukun bersalin/tenaga non medis lainnya selama proses persalinan biasanya dukun bersalin tersebut melakukan rujukan ke bidan/dokter untuk membantu menangani persalinan. Pada gambar 3.1. dan 3.2. terlihat bahwa selama lima tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter. Pada tahun 2009 pertolongan pertama oleh dukun bayi sebesar 36,18 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 34,43 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 5,94 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,59 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 59,01 persen (dari penolong pertama kelahiran 75,12 persen). Pada tahun 2012 pertolongan pertama persalinan oleh dukun bayi sebesar 22,01 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 21,63 IPM Kabupaten Bandung Tahun

30 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 7,21 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,88 persen) dan oleh bidan sedikit menurun menjadi 69,26 persen (dari penolong pertama kelahiran 70,59 persen). Demikian pula pada tahun 2013 pertolongan pertama oleh dukun bayi tercatat sebesar 16,32 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 12,79 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 9,00 persen (dari penolong pertama kelahiran 7,89 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 77,39 persen (dari penolong pertama kelahiran 58,73 persen). Grafik 3.2. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun ,79 0,64 21,63 21,88 1,71 0,31 41,80 1,53 7,80 0,17 34,43 0,45 0,41 0,18 0,19 0,00 5,40 5,94 59,01 9,00 7,21 48,46 72,41 69,26 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya 77,39 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM IPM Kabupaten Bandung Tahun

31 Tinggi rendahnya angka kematian bayi (AKB) juga berkaitan erat dengan faktor yang ditinjau dari sisi ibu yang melahirkan. Salah satu diantaranya adalah usia perkawinan pertama. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat perempuan semakin dewasa dalam membina rumahtangganya, termasuk dalam perilaku kesehatannya. Perempuan dengan usia yang matang lebih siap memiliki keturunan. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, usia perkawinan pertama perempuan di Kabupaten Bandung rata-rata terjadi pada usia 22 tahun. Grafik 3.3. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Perempuan di Kabupaten Bandung, Tahun ,02 34,75 34,17 34,05 34,01 22,56 22,35 22,03 21,64 22, AKB Umur saat Perkawinan Pertama Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM IPM Kabupaten Bandung Tahun

32 Disamping akibat faktor penanganan pada saat persalinan dan pengaruh usia perkawinan pertama, tinggi rendahnya angka kematian bayi juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, pada umumnya balita yang telah diberi ASI selama lebih dari satu tahun tercatat sebesar 86,43 persen. Dari total balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 5,58 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan, dan 8,00 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Dan sebagian besar balita (41,03 persen) diberi ASI sampai berumur diatas dua tahun. Dengan demikian terlihat bahwa kesadaran masyarakat di Kabupaten Bandung untuk memberikan ASI kepada buah hatinya semakin meningkat. Grafik 3.4. Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2013 > 24bulan 41,03 % 1-5 bulan 5,58 % 6-11 bulan 8,00 % bulan 22,83 % bulan 22,57 % Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

33 Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi kebutuhan bayi. Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI. Disamping peningkatan lamanya pemberian ASI, berdasarkan data hasil survei tahun 2013 ditemukan indikasi adanya peningkatan jumlah balita yang pernah diberi ASI dibandingkan dengan tahun Secara umum balita yang pernag diberi ASI pada tahun 2013 mencapai 95,23 persen. Grafik 3.5. Persentase Balita Laki-laki Menurut Pernah atau Tidaknya Diberi ASI di Kabupaten Bandung Tahun 2013 Grafik 3.6. Persentase Balita Perempuan Menurut Pernah atau Tidaknya Diberi ASI di Kabupaten Bandung Tahun ,00 % 4,53 % 95,00 % 95,47 % Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

34 Sebagian besar balita laki-laki pernah diberi ASI selama 6 bulan atau lebih dengan persentase sebesar 95,00 persen sedangkan sisanya sebesar 5,00 persen tidak pernah diberi ASI sama sekali. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan balita perempuan yang pernah diberi ASI mencapai 95,47 persen. Hanya sebagian kecil yakni sebesar 4,53 persen balita perempuan yang tidak pernah diberi ASI. Kondisi tersebut menunjukkan kesadaran para orang tua semakin tinggi akan pentingnya membangun kebersamaan dalam membesarkan anak-anak, tanpa adanya perbedaan perlakuan dalam pemenuhan kebutuhan gizinya termasuk dalam pemberian ASI. Derajat kesehatan di suatu wilayah ditentukan oleh kesadaran setiap individu terhadap pentingnya menjaga kesehatan baik fisik maupun mental. Dari segi fisik, tubuh manusia memerlukan makanan untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Tubuh yang kurang menerima asupan gizi akan mudah mengalami berbagai keluhan kesehatan. Orang yang mengalami kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh dibawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya. 34

35 Grafik 3.7. Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun ,84 26,6 27,72 28,66 28,19 25,20 27,19 27,41 27,64 25,36 22,57 24,25 21,99 23,32 21, Laki-laki Perempuan Rata-rata Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Pada tabel 3.7. terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung menurun dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2012 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Namun selama tahun 2013 terjadi sedikit kenaikan jumlah penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Hal ini dikarenakan faktor luar dimana cuaca ekstrim yang sering terjadi akhir-akhir ini cukup mengganggu daya tahan tubuh. Secara umum, gambaran di atas memberikan indikasi bahwa kualitas kesehatan 35

36 penduduk di Kabupaten Bandung dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah semakin baik. Hal ini dapat merupakan akibat dari pola hidup sehat masyarakat yang lebih baik, juga didukung oleh promosi serta pelayanan kesehatan yang lebih baik. Grafik 3.8. Persentase Lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun ,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0, ,49 8,15 5,46 2,81 4, ,45 3,11 2,88 1,00 1, ,14 10,01 5,23 4,80 5, ,02 40,43 37,51 31,61 31,2 <=3 52,90 38,80 48,92 59,78 57,82 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Kualitas kesehatan penduduk juga dapat digambarkan melalui lamanya penduduk menderita sakit. Semakin banyak penduduk yang menderita sakit dengan jangka waktu yang singkat maka kualitas 36

37 kesehatan penduduk semakin membaik. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa persentase lamanya sakit penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan perbaikan. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa sebagian besar penduduk menderita sakit selama seminggu atau kurang. Dari tahun ke tahun, persentase lamanya hari menderita sakit cenderung bergeser menjadi semakin singkat. Pada umumnya proses penyembuhan penyakit sekitar seminggu bahkan kurang dari seminggu Capaian Derajat Kesehatan Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo)/Expectation of Life at Birth (e 0 ), Angka Kematian Bayi (AKB)/Infant Mortality Rate (IMR), angka kematian kasar, dan status gizi merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan. Dari beberapa indikator tersebut yang disepakati untuk digunakan sebagai acuan dalam mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo). Gambar 3.7. memperlihatkan bahwa selama periode tahun Angka Harapan Hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup Kabupaten Bandung meningkat dari 68,42 tahun pada tahun 2009, menjadi 70,34 tahun pada tahun Seiring dengan teori yang ada, Angka Harapan Hidup berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Semakin tinggi kualitas kesehatan maka angka kematian semakin rendah dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup. 37

38 Perbandingan dua indikator bidang kesehatan di kabupaten Bandung diperlihatkan pada grafik berikut: Grafik 3.9. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun ,94 69,40 70,06 70,28 70, ,02 34,75 34,17 34,05 34, AHH AKB Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Grafik 3.9 di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun angka kematian bayi di Kabupaten Bandung menunjukkan tren yang menurun. Pada tahun 2009 angka kematian bayi tercatat sebesar 36 bayi per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2013 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 34 bayi per 1000 kelahiran hidup. 38

39 Dalam rentang waktu lima tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnya ada intervensi program kesehatan yang dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung. Teori menurut "B-Pichart classification"-stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990) tentang angka Kematian bayi diuraikan sebagai berikut: Angka kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu: 1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular. 2. Daerah dengan AKB per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. 3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital. Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2013, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. 39

40 Pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, diuraikan sebagai berikut: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup; b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan; c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi. Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman, dan perawatan bayi pada saat dilahirkan. Dampak dari menurunnya angka kematian bayi adalah meningkatnya angka harapan hidup. Dalam rentang waktu lima tahun angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2010 angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung sebesar 69,40 tahun (naik sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2009). Demikian pula pada tahun 2011, angka harapan hidup kembali meningkat hingga mencapai 70,06 tahun. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012 dan 2013 dimana angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung masing-masing naik sebesar 0,22 poin dan 0,06 poin hingga mencapai 70,28 tahun dan 70,34 tahun. Meningkatnya 40

41 angka harapan hidup sejalan dengan naiknya indeks kesehatan Kabupaten Bandung yang pada tahun 2013 tercatat sebesar 75,56. 0,7 Grafik Pertumbuhan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun ,6 0,5 0,66 0,4 0,3 0,2 0,46 0,22 0,1 0, Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Upaya perbaikan derajat kesehatan yang ditunjukkan dengan makin meningkatnya angka harapan hidup dan terus menurunnya angka kematian bayi harus tetap menjadi prioritas. Berbagai kasus kesehatan, terutama kasus yang mewabah harus dapat ditekan perkembangannya. Penanggulangan terhadap keluhan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya indikasi peningkatan pada tahun 2013 harus lebih ditingkatkan lagi. 41

42 Apabila ditinjau menurut kecamatan, sebaran pencapaian angka harapan hidup di tiap-tiap kecamatan cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari banyaknya kecamatan yang memiliki pencapaian angka Angka Harapan Hidup diatas rata-rata Kabupaten Bandung yakni lebih dari 50 persen. Menurut data Survei Khusus IPM 2013, dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung terdapat sekitar tujuh belas kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup di atas rata-rata kabupaten. Kecamatan yang memiliki angka harapan hidup tertinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi yang mencapai 72,82 tahun, kemudian disusul oleh Kecamatan Rancaekek (72,50 tahun), Majalaya (72,23 tahun), Ibun (72,15 tahun), Banjaran (71,39 tahun), Cilengkrang (71,29 tahun), Pasirjambu (71,26 tahun), Pangalengan (71,22 tahun), Soreang (71,11 tahun), Cangkuang (71,10 tahun), Baleendah (70,98 tahun), Margaasih (70,97 tahun), Pameungpeuk (70,93 tahun), Ciparay (70,86 tahun), Nagreg(70,81 tahun), Cimaung (70,80 tahun), Dayeuhkolot (70,73 tahun). Sementara itu, terdapat 14 kecamatan yang memiliki angka harapan hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Cikancung (66,29 tahun), Solokan Jeruk (67,62 tahun), Pacet (67,68 tahun), Kertasari (67,82 tahun), Cicalengka (68,54 tahun), Paseh (69,14 tahun), Bojongsoang (69,33 tahun), Cimenyan (69,38 tahun), Rancabali (69,44 tahun), Katapang (69,45 tahun), Arjasari (69,83 tahun), Ciwidey (69,85 tahun), Kutawaringin (70,15 tahun) dan Margahayu (70,21 tahun). 42

43 Grafik Pencapaian Angka Harapan Hidup Menurut kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2013 Cileunyi Rancaekek Majalaya Ibun Banjaran Cilengkrang Pasirjambu Pangalengan Soreang Cangkuang Baleendah Margaasih Pameungpeuk Ciparay Nagreg Cimaung Dayeuhkolot Kab. Bandung Margahayu Kutawaringin Ciwidey Arjasari Katapang Rancabali Cimenyan Bojongsoang Paseh Cicalengka Kertasari Pacet Solokanjeruk Cikancung 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

44 BAB IV PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG PENDIDIKAN 4.1. Kondisi Pendidikan Paradigma pembangunan manusia yang ditinjau dari aspek pendidikan menitikberatkan pada tercapainya kualitas sumber daya manusia yang berintelektual tinggi. Adam Smith (1952), pakar ekonomi klasik, menyatakan bahwa pendidikan dan latihan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Kesejahteraan dan kekayaan suatu bangsa sangat bergantung pada keunggulan intelegensi dan intelektual. Investasi di bidang pendidikan sangat menguntungkan baik dilihat dari sisi sosial maupun ekonomi. Begitu banyak negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat, tidak lain karena menjadikan pembangunan pendidikan sebagai prioritas penting. Bahkan pembangunan pendidikan menjadi pilar utama penopang pembangunan lainnya. Pentingnya pembangunan manusia di bidang pendidikan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Tujuan mulia tersebut akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 ayat 31 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah 44

45 wajib membiayainya. Pada tahun 2013 ini, Pemerintah melalui Kemendiknas telah mencanangkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun yang merupakan wujud komitmen kesinambungan dari wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Sehingga diharapkan sebagian besar generasi penduduk Indonesia di masa yang akan datang mampu mengenyam pendidikan sampai dengan SLTA. Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU Nomor 20 Tahun Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Menjelang era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan yang semakin penting. Hal ini dikarenakan SDM yang berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM di negara lain. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemenuhan 45

46 kebutuhan pendidikan bagi masyarakatnya untuk mewujudkan SDM yang bermutu sebagai syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju. Terdapat beberapa indikator yang dapat memberikan gambaran mengenai partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, yakni Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak yang berusia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah. Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut. Sebagai ilustrasi, pada grafik 4.1 terlihat bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 105,90 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,90 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD. Hal ini menunjukan bahwa telah tumbuh kesadaran bahwa seorang anak harus bersekolah sesuai dengan usianya. 46

47 Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP maupun SLTA menurut data hasil survei tahun 2013, APK murid perempuan relatif sama dengan APK laki-laki. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin sampai pada tingkat pendidikan dasar. Disamping itu, dari grafik juga terlihat adanya peningkatan partisipasi sekolah sampai pada tingkat sekolah menengah pertama. Hal ini dimungkinkan karena penerapan wajib belajar 9 tahun yang sudah berlangsung selama ini telah menunjukkan capaiannya. Grafik 4.1. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,19 81,05 107,57 105,9 88,28 85, ,2 51,88 49, ,28 11,71 10,02 0 Laki-laki Perempuan Total SD SLTP SLTA PT Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

48 Bila dibandingkan dengan data APK tahun 2012, APK tingkat SLTP dan SLTA mengalami kenaikan. APK SLTP meningkat dari 85,48 menjadi 85,64, demikian pula APK SLTA meningkat dari 48,83 menjadi 49,73. Hal ini menujukkan partisipasi sekolah penduduk di jenjang SLTP dan SLTA semakin banyak. Demikian pula untuk APK SD mengalami kenaikan dari 103,17 di tahun 2012 menjadi 105,90 di tahun Sementara itu, APK Pergurun tinggi turun dari 13,58 menjadi 10,02. Tabel 4.1. APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun Jenjang Pendidikan L P L+P L P L+P SD 104,14 101,36 103,17 104,19 107,57 105,90 SLTP 80,46 94,80 85,48 81,05 88,28 85,64 SLTA 48,46 48,59 48,83 48,20 51,88 49,73 PT 15,42 10,15 13,58 8,28 11,71 10,02 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukkan oleh APM. APM selalu lebih rendah dibandingkan APK 48

49 karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. Grafik 4.2. Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,9 94,12 85,64 67,87 49,73 41,58 10,02 9,34 SD SLTP SLTA PT APK APM Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2013 adalah 49

50 sebesar 94,12 persen, artinya sekitar 94 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. Grafik 4.3. APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Laki-laki Perempuan Total SD 94,64 92,84 94,12 SLTP 61,97 71,39 67,87 SLTA 40,29 42,93 41,58 PT 7,69 10,94 9,34 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2013 sebesar 105,90 persen, masih relatif cukup besar disparitasnya 50

51 dengan capaian APM SD yang sebesar 94,12 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 11,78 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang. Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah. APM perempuan biasanya lebih rendah daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTA keatas. Pada jenjang ini mulai 51

52 terjadi perbedaan pandangan antara orang tua yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga. Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Grafik 4.4 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya karena berbagai faktor, seperti: faktor biaya, melakukan perkawinan, ataupun karena bekerja. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang (terutama di perdesaan) yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD atau SLTP, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan. Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang harus terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah 52

53 berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah? Grafik 4.4. APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,21 99,40 99,30 93,37 85,93 89,68 53,96 59,40 56,62 10,06 12,67 11,38 Laki-laki Perempuan Total SD SLTP SLTA PT Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 Dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa 53

54 pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Grafik 4.5. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun ,72 9,78 22,53 6,04 13,22 21,98 34,32 24,44 23,81 38,16 < SD SD SLTP SLTA PT Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

55 Dari sisi pemerataan pendidikan khususnya bagi penduduk perempuan masih relatif rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Menurut data survei tahun 2013, penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang mampu melanjutkan pendidikan SLTP keatas sekitar 49,32 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2012, yaitu 49,42 persen. Namun kondisi ini jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebesar 46,47 dan 44,95 persen. Ada sedikit perbedaan atara penduduk laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 2013, penduduk laki-laki yang mampu menyelesaikan pendidikan SLTP keatas mencapai 54,80 persen, sedangkan penduduk perempuan sebesar 49,32 persen. Atau selisih sebesar 5,48 persen. Dari perkembangan data pendidikan yang ditamatkan, dapat terlihat bahwa masih ada sebagian masyarakat yang mengedepankan pendidikan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, namun tidak terlalu mencolok. Hal ini ditandai oleh kondisi pada setiap jenjang pendidikan terutama sampai dengan tingkat SLTP, kesenjangan pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan relatif tidak jauh berbeda. Menurut data survei tahun 2013, persentase penduduk perempuan yang tamat SD mencapai 40,21 persen relatif lebih baik dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 36,12 persen. Pola yang sama terjadi pula pada tingkat pendidikan SLTP, persentase penduduk perempuan yang tamat SLTP mencapai 23,91 persen sedikit diatas penduduk laki-laki yang mencapai 23,71 persen. 55

56 Perbedaan mulai terlihat pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat pendidikan SLTA, pada tahun 2013 persentase penduduk perempuan yang menamatkan pendidikan SLTA baru mencapai 20,05 persen jauh lebih rendah dibandingkan penduduk laki-laki yang mencapai 25,01 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya lokasi sekolah SLTA relatif lebih jauh, sehingga ada kecenderungan orang tua untuk lebih berani mengirimkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk bersekolah ke tempat yang relatif jauh. Selain itu karena ada pemikiran bahwa suatu saat setelah dewasa, anak laki-laki lebih berkewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perlu bekal pendidikan yang cukup sebagai bekal untuk mencari nafkah pada saat memasuki dunia kerja. Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Penduduk yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai jalur pendidikannya diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam berbagai kegiatan, sehingga dimasa mendatang mereka dapat hidup lebih layak. 56

57 4.2. Capaian Pendidikan Capaian pembangunan manusia dalam bidang pendidikan di Kabupaten Bandung selama lima tahun terkahir (periode ) masih perlu ditingkatkan lagi terutama dalam peningkatan rata-rata lama sekolah. Peranan komponen indeks pendidikan memang paling tinggi dibandingkan dua komponen IPM lainnya, yaitu kesehatan dan daya beli. Nilai IPM Kabupaten Bandung yang telah mencapai angka 75,40 di tahun 2013, ditopang oleh indeks pendidikan yang mencapai 85,23. Kondisi pendidikan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 75,56, maupun indeks daya beli yang mencapai sebesar 65,42. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi pembangunan dibidang kesehatan dan perekonomian masyarakat guna mendukung daya beli. Tingginya indeks pendidikan dibandingkan dengan dua komponen lainnya belum cukup menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung dibidang pendidikan sudah baik. Bila dilihat dari laju perkembangannya, terlihat adanya penurunan pertumbuhan komponen pendidikan pada periode tahun dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Pembangunan di bidang pendidikan cenderung mengalami perlambatan pertumbuhan dari periode sebelumnya karena pada komponen rata-rata lama sekolah sangat rentan dipengaruhi oleh perpindahan/mutasi penduduk. 57

58 Angka Melek Huruf Indikator melek huruf menggambarkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang diukur dari aspek pendidikan. Angka melek huruf yang digunakan pada bahasan berikut adalah dihitung pada penduduk dewasa (berumur 15 tahun keatas) yang dapat membaca dan menulis minimal kata-kata/kalimat sederhana aksara tertentu, baik mampu membaca dan menulis huruf latin atau maupun huruf lainnya. Grafik 4.6. Angka Buta Huruf Penduduk di Kabupaten Bandung Tahun ,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1,59 1,52 1,31 1,16 1, Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

59 Secara umum pembangunan pendidikan di Kabupaten Bandung sudah berjalan sesuai perencanaan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya persentase penduduk yang melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Menurut data Suseda, persentase penduduk dewasa (usia 15 tahun keatas) yang melek huruf di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 mencapai 98,87 persen. Dan pada tahun 2010, angka melek huruf terkoreksi berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 menjadi 98,41 persen. Dan pada tahun 2011 mencapai 98,48 persen. Pada tahun 2012 dan 2013 masing masing-mencapai 98,69 dan 98,84 persen. Pencapaian pembangunan manusia dari komponen pendidikan diperlihatkan bahwa laju pertumbuhan komponen pendidikan yaitu AMH belum dapat mengejar pretasi yang telah dicapai pada periode sebelumnya. Pada periode naik sebesar 0,03 poin. Dan kemudian pada tahun 2010 terkoreksi sebesar 0,46 poin. Pencapaian AMH yang relatif lambat kenaikan setiap tahunnya, serta belum tercapainya bebas buta huruf, kemungkinan disebabkan oleh masih ada penduduk berusia diatas 15 tahun yang sudah berusia lanjut dan tidak bisa membaca dan menulis. Ada anggapan pada masyarakat awam, bahwa kebutuhan untuk bisa membaca dan menulis adalah dalam kaitannya untuk kepentingan bekerja. Sehingga apabila mereka sudah berumur tua dan tidak akan bekerja lagi, atau pekerjaannya tidak memerlukan kecakapan membaca dan menulis, maka mereka menganggap tidak perlu lagi untuk belajar membaca dan menulis. Untuk itu tetap harus disusun strategi intervensi penanganan buta huruf, sehingga kedepannya 59

60 tidak lagi menjadi beban dalam pencapaian pembangunan di bidang pendidikan. Perlu kajian lebih mendalam terkait peningkatan melek huruf di Kabupaten Bandung yang berjalan relatif lebih lambat. Apakah akibat sasaran pemberantasan buta huruf yang mayoritas sudah diluar usia produktif? Ataukah banyak yang sudah terbebas dari buta huruf saat gebyar keaksaraan fungsional tidak dilestarikan kemampuan baca tulisnya? Menurut data hasil survei, pencapaian AMH Kabupaten Bandung pada tahun 2009 mencapai 98,87 persen. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penyandang buta huruf di Kabupaten Bandung terkoreksi. Dan setelah disesuaikan, maka AMH pada tahun 2010 adalah sebesar 98,41 persen. Kemudian pada tahun 2011 AMH naik 0,07 poin menjadi 98,48 persen. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana AMH kembali meningkat menjadi 98,69. Demikian pula di tahun 2013, AMH penduduk Kabupaten Bandung tumbuh positif sebesar 0,15 poin hingga mencapai 98,69. Peningkatan AMH di Kabupaten Bandung relatif melambat. Hal ini dikarenakan penduduk buta huruf yang ada kemungkinan sudah berada di luar usia produktif dan jumlahnya sangat sedikit. Jika dilihat menurut kecamatan, terdapat 15 kecamatan yang memiliki AMH diatas rata-rata angka Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Margahayu (99,79), Dayeuhkolot (99,74), Cileunyi (99,61), Katapang (99,45), Cicalengka (99,43), Rancaekek (99,43), Soreang (99,40), Pameungpeuk (99,35), Pasir Jambu (99,31), Bojongsoang (99,24), 60

61 Margaasih (99,21), Cangkuang (99,17), Baleendah (99,10), Solokanjeruk (99,01), Nagreg (98,91). Sementara itu, sisanya sebanyak 16 kecamatan memiliki AMH dibawah kecamatan yakni Kecamatan Ciparay (98,80), Banjaran (98,78), Cikancung (98,76), Ciwidey (98,73), Majalaya (98,54), Kutawaringin (98,52), Cimenyan (98,50), Cilengkrang (98,39), Ibun (98,27), Rancabali (98,26), Paseh (98,20), Pacet (97,96), Pangalengan (97,80), Kertasari (97,64), Arjasari (97,50) dan Cimaung (97,06). 61

62 Grafik 4.7. Pencapaian Angka Melek Huruf Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2013 Margahayu Dayeuhkolot Cileunyi Katapang Cicalengka Rancaekek Soreang Pameungpeuk Pasirjambu Bojongsoang Margaasih Cangkuang Baleendah Solokanjeruk Nagreg Kab. Bandung Ciparay Banjaran Cikancung Ciwidey Majalaya Kutawaringin Cimenyan Cilengkrang Ibun Rancabali Paseh Pacet Pangalengan Kertasari Arjasari Cimaung 95,00 96,00 97,00 98,00 99,00 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

63 Rata-Rata Lama Sekolah Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, yang mengatakan bahwa Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pasal 11 ayat 2 Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi tersebut tercapai, maka dapat dijadikan modal yang kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional. Pada tahun 2013, pemerintah pusat telah mencanangkan program lanjutan dari wajib belajar 9 tahun yaitu Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun sehingga diharapkan anak-anak usia sekolah mampu mengikuti pendidikan hingga tamat SLTA. Apabila 63

64 program ini sudah ditindaklanjuti juga oleh pemerintah daerah, maka diharapkan sebagaian besar penduduk Kabupaten Bandung minimal berpendidikan SLTA. Hal ini menjadi tugas bersama untuk mewujudkan keberhasilan program wajib belajar 12 tahun yang akan tercermin dari indikator rata-rata lamanya sekolah harus setara dengan telah menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu membutuhkan berbagai program pendidikan yang mumpuni dan tepat sasaran yang akan diterapkan dalam jangka waktu yang panjang. Undang-undang mengamanahkan kepada penyelenggara negara untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Hal ini masih sulit untuk dipenuhi, karena minimnya anggaran pemerintah secara keseluruhan maka besaran 20 persen baru terpenuhi untuk keseluruhan anggaran pendidikan (termasuk gaji). Pemerintah masih harus membiayai pembangunan di sektor lain yang harus dilakukan secara sejalan. Namun hal ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap arti penting pendidikan bagi warganya. Keadilan dalam memperoleh pendidikan memang belum merata. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan dirasa relatif mahal. Padahal kondisi tersebut akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai salah satu media pembebasan manusia dari cengkraman kemiskinan. Hal itu mungkin terjadi akibat komersialisasi pendidikan yang mereduksi hakikat pendidikan sehingga akan meminggirkan kalangan tidak mampu. 64

65 Grafik 4.8 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk di Kabupaten Bandung Tahun ,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 8,87 9,02 8,62 8,67 8, Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Kondisi capaian rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bandung, pada tahun 2009 mencapai 8,87 tahun. Pada tahun 2010, rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 9,02 tahun. Sementara itu di tahun 2011, rata-rata lama sekolah penduduk turun secara signifikan menjadi 8,62 tahun. Kemudian pada tahun 2012, angka RLS dapat naik kembali menjadi sebesar 8,67 tahun. Berdasarkan survei terakhir pada tahun 2013, rata-rata lama sekolah penduduk mencapai 8,70 tahun, atau setara dengan telah menyelesaikan kelas 2 SLTP. Untuk komponen RLS, pertumbuhan RLS periode naik 0,15 poin. Pada periode menurun signifikan sebesar 0,40 poin. 65

66 Dua tahun berikutnya, kembali dapat ditingkatkan walaupun cenderung melambat hingga secara berturut-turut mencapai 0,05 poin dan 0,03 poin.. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi pada tahun 2011 relatif lebih rendah. Beberapa alasan yang mungkin terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahwa rata-rata lama sekolah dihitung dari populasi penduduk dewasa (berumur 15 tahun atau lebih). Seperti kita ketahui, bahwa mobilitas penduduk dewasa cukup tinggi. Perpindahan penduduk dapat terjadi akibat mencari pekerjaan (umumnya pindah ke wilayah perkotaan/ sentra-sentra industri /perekonomian), atau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (karena umumnya di pedesaan, infrastrukturnya sangat terbatas), dan untuk alasan lain. Oleh karena itu, apalagi di beberapa wilayah/kecamatan di Kabupaten Bandung merupakan daerah tujuan mencari kerja atau tujuan melanjutkan pendidikan, maka fluktuasi pada angka rata-rata lama sekolah adalah sangat memungkinkan. Apabila diasumsikan di suatu daerah migrasi masuk dan migrasi keluar mempunyai kualitas pendatang yang seimbang, dari mutu SDM yang telah ada, di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibanding daerah perdesaan, hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, lebih mudah diperoleh. Kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk perkotaan. Telah ditentukan segmentasi usia yang harus mendapatkan kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun, secara 66

67 operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia 7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan umur tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun, secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam penyaluran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat sangat miskin (seperti: Program Keluarga Harapan), hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin. Setelah anggaran bidang pendidikan diperbesar, serta berbagai bantuan disalurkan, maka permasalahan putus sekolah di pendidikan dasar harus sudah dapat diselesaikan. Dengan kata lain, ratarata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung harus sudah stabil (tidak fluktuatif) dapat melewati angka 9 tahun. Untuk penduduk yang memiliki kemampuan secara ekonomi, harus terus didorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.karena memiliki ijazah SLTP saja tidak cukup untuk bersaing memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak. Perkembangan pencapaian RLS yang belum begitu besar dan cenderung melambatlaju pertumbuhannya, kemungkinan disebabkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda, 67

68 tampaknya perlu dipersiapkan sarana penunjang pendidikan yang memadai, utamanya ditujukan bagi penduduk usia tahun. Intervensi dalam menaikkan RLS dengan program pendidikan dasar 9 tahun masih terus perlu dipacu. Salah satunya adalah dengan perluasan akses terhadap infrastruktur pendidikan. Disamping terus dijalankan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti program paket A, B dan C untuk menanggulangi anak yang putus sekolah pada usia 15 tahun keatas. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai SDM berkualitas sajalah yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik. Begitupula sebaliknya akan melahirkan kehidupan masyarakat yang buruk. 68

69 Margahayu Cimenyan Dayeuhkolot Cileunyi Pameungpeuk Rancaekek Cicalengka Ciparay Bojongsoang Cikancung Majalaya Cangkuang Kab. Bandung Banjaran Cilengkrang Baleendah Solokanjeruk Kertasari Katapang Margaasih Soreang Nagreg Pangalengan Pacet Rancabali Ibun Pasirjambu Arjasari Paseh Cimaung Ciwidey Kutawaringin Grafik 4.9. Sebaran Capaian Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun ,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

70 Pola yang hampir serupa terjadi pada rata-rata lama sekolah. Hampir separuh kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki rata-rata lama sekolah diatas angka Kabupaten. Kondisi tersebut tentunya belum cukup membanggakan karena target pendidikan adalah untuk mencapai tuntas pendidikan dasar ( RLS = 9 tahun). Dan disparitas/kesenjangan antara kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah paling tinggi dengan kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah ternyata masih cukup besar, yaitu mencapai sebesar 3,39 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan di beberapa wilayah masih begitu rendah dibandingkan wilayah lainnya. Dengan sebaran wilayah yang sangat luas, kabupaten Bandung memang akan memiliki kendala dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau oleh penduduknya. Peranan strategis guru dan pemuka masyarakat di daerah terpencil masih sangat diperlukan dalam mempromosikan pentingnya mencapai pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemerintah daerah tentunya memiliki komitmen kuat untuk secara terus-menerus mendorong peningkatan partisipasi sekolah di daerah terpencil sehingga terjamin kelangsungan proses belajar mengajar. Pada akhirnya kesemuanya akan mampu meningkatkan indeks pendidikan di wilayahnya. 70

71 BAB V PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG EKONOMI 5.1. Kondisi Ekonomi Masyarakat Pembangunan Manusia yang ditinjau dari sisi ekonomi dimaknai dengan meningkatnya taraf hidup manusia yang menempatkan kapasitas ekonomi sebagai prasyarat utamanya. Kapasitas ekonomi masyarakat tercermin dari partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi yang produktif. Berjalannya kegiatan ekonomi yang produktif menjadi media bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh akan digunakan untuk membiayai kehidupannya. Dengan terpenuhinya segala kebutuhan baik primer, sekunder maupun tersier diharapkan taraf hidup akan meningkat dan kesejahteraaan akan tercapai. Setiap individu memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Namun, tidak semua usia mampu untuk melakukan aktivitas ekonomi sebagai jembatan guna memperoleh pendapatan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Pada umumnya kegiatan ekonomi dapat dijalankan secara produktif oleh penduduk dalam rentang usia tahun. Penduduk yang berusia 15 tahun ke bawah belum produktif untuk bekerja sementara penduduk yang sudah tua (65 tahun ke atas) biasanya sudah tidak produktif lagi. Pada umumnya penduduk dalam rentang usia tahun dapat berperan secara maksimal dalam menyerap lapangan pekerjaan untuk menciptakan pendapatan. Struktur penduduk Kabupaten 71

72 Bandung menurut umur dan jenis kelamin dapat digambarkan oleh piramida penduduk berikut ini: Grafik 5.1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun L P Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 Bila mencermati perbandingan panjang batang piramida pada kelompok umur 0-4 tahun yang lebih pendek dibandingkan kelompok umur 5-9 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi penurunan tingkat fertilitas selama kurun waktu lima tahun terakhir. Namun perlu 72

73 dicermati, bahwa selisih jumlah penduduk 0-4 tahun dengan usia 5-9 tahun relatif sedikit. Hal ini berarti bahwa upaya pengendalian penduduk di Kabupaten Bandung perlu lebih ditingkatkan. Informasi penting lainnya yang dapat diperoleh dari piramida penduduk adalah angka beban ketergantungan (Dependency Ratio). Angka beban ketergantungan menunjukkan seberapa jauh penduduk yang berusia produktif/aktif secara ekonomi harus menanggung penduduk yang belum produktif dan pasca produktif. Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (usia 0 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia tahun). Grafik 5.2. Angka Beban Ketergantungan Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun Sumber : BPS Kabupaten Bandung. Survei Khusus IPM

74 Berdasarkan grafik 5.2 dapat dilihat bahwa angka beban ketergantungan penduduk dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun. Angka beban ketergantungan penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 tercatat sebesar 48,95. Kemudian pada tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup signifikan hinggan mencapai 54,10. Namun pada tahun 2011, angka beban ketergantungan penduduk dapat diturunkan hingga mencapai 53,17. Demikian pula dalam dua tahun terakhir ini, angka beban ketergantungan penduduk menurun kembali masing-masing menjadi sebesar 52,13 dan 51, 47 yang artinya adalah pada setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 52 penduduk yang tidak produktif. Dengan semakin menurunnya angka beban ketergantungan penduduk menunjukkan semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai hidup penduduk yang tidak produktif. Beban ekonomi yang semakin ringan ini akan semakin mempermudah langkah-langkah menuju tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat. Capaian kesejahteran masyarakat di suatu wilayah sangat tergantung kepada potensi sumber daya yang dimiliki dan bagaimana potensi yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan sangat berperan untuk menciptakan dan menggerakkan aktivitas perekonomiannya. Peranan sumber daya manusia dalam mengelola perekonomian suatu wilayah dapat ditunjukkan oleh indikator ketenagakerjaan. Salah satu indikator yang biasa dipakai dalam melihat atau menggambarkan tingkat perekonomian masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan 74

75 pekerjaan. Tingginya angkatan kerja di suatu daerah akan menggerakan perekonomian daerah tersebut. Gambaran kondisi ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna untuk melihat prospek ekonomi Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat apakah benar-benar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh faktor lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Secara sederhana untuk melihat kualitas pembangunan manusia dapat disandarkan kepada dua pendapat Ramirez dkk (1998): Pertama, bahwa kinerja ekonomi mempengaruhi pembanguan manusia, khususnya melalui aktivitas rumahtangga dan pemeritah, aktivitas rumahtangga yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia antara lain kecenderungan rumahtangga untuk membelanjakan pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan (pola konsumsi), tingkat dan distribusi pendapatan antar rumahtangga, dan makin tinggi tingkat pendidikan terutama pendidikan perempuan akan semakin positif bagi pembangunan manusia berkaitan dengan andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Kedua, pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk mengelola dan menyerap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. 75

76 Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi berhubungan secara simultan, dengan kata lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai pemerataan distribusi pendapatan, maka tingkat daya beli, kesehatan dan pendidikan akan lebih baik. Dan pada giliranya akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karakteristik suatu wilayah dapat pula dilihat dari aspek pendidikan, dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang pekerja, maka pekerja tersebut akan memiliki produktivitas yang relatif lebih baik dan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Target pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak hanya untuk mencapai tinggi angka pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan yang berkualitas dan digerakkan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat. Walaupun angka pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, namun apabila kualitas capaiannya jauh lebih tinggi, maka akan mempengaruhi capaian pembangunan manusia. Pertumbuhan yang berkualitas adalah yang dapat menggerakan pendapatan perkapita, dan menyerap tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mengakibatkan banyak penduduk yang memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membiayai kebutuhan makanan, pendidikan, 76

77 kesehatan dan perumahan sehingga dapat mempercepat pembangunan manusia. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain dari sisi ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia, jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga yang memungkinkannya membiayai peningkatan kualitas manusia anggota rumahtangganya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada peningkatan kualitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 52,13 persen, dan menurun menjadi 50,78 persen pada tahun Jika dilihat berdasarkan perspektif jender, TPAK 77

78 perempuan pada tahun 2013 di Kabupaten Bandung yang mencapai 28,71 persen relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang mencapai lebih dari 72,83 persen. Terdapat ketimpangan yang sangat tajam dalam pasar kerja, dimana perempuan cenderung kurang memiliki akses untuk memasuki dunia kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar perempuan usia produktif di kabupaten Bandung berada pada posisi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan perempuan masih mengalami perlakuan tidak berimbang dengan laki-laki dalam dunia kerja, dimana laki-laki lebih diprioritaskan daripada perempuan, sehingga kesempatan kerja bagi perempuan cenderung sangat kompetitif. TPAK merupakan indikator yang menggambarkan seberapa banyak dari angkatan kerja yang aktif secara ekonomi. Pendapatan rumahtangga perlu diberi perhatian lebih, mengingat dampaknya yang luas terhadap taraf kesejahteraan terhadap kemiskinan. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga karena hampir semua rumahtangga mengandalkan upah/gaji (bagi yang berstatus buruh/karyawan) atau keuntungan usaha (bagi yang berstatus berusaha). Dengan demikian masalah ketenagakerjaan secara langsung berkaitan dengan masalah kemiskinan. Implikasi logisnya jelas bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang merupakan keprihatinan nasional bahkan global (tercermin dari sasaran pertama dan utama Millenimum Development Goals, MDG) mestinya harus ditempuh melalui upaya penyelesaian masalah ketenagakerjaan. Dalam hal ini masalah ketenagakerjaan, paling 78

79 tidak mengandung dua aspek pokok yakni penyediaan lapangan kerja/usaha dan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Berdasarkan hasil survei tahun 2013 tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bandung sebesar 10,15 persen. Angka pengangguran ini mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2012 yang mencapai 10,38 persen. Angka pengangguran ini masih tergolong tinggi, sehingga harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka masih didominasi oleh penduduk perempuan yang mencapai sebesar 13,96 persen. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan karena lapangan kerja yang ada belum sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja perempuan di Kabupaten Bandung. Untuk meningkatkan daya saing kaum perempuan, maka peningkatan kualitas pekerja perempuan menjadi mutlak terus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka kaum laki-laki yang tercatat sebesar 8,65 persen menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang terserap oleh lapangan pekerjaan adalah penduduk laki-laki. Hal ini dikarenakan lapangan kerja yang ada sudah sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja laki-laki di Kabupaten Bandung. Tingkat kesempatan kerja dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren yang meningkat. Sejalan dengan hal itu, tingkat pengangguran pun semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kapangan kerja yang tersedia di Kabupaten Bandung sudah semakin banyak menyerap tenaga kerja yang ada baik laki-laki maupun perempuan. Perluasan lapangan 79

80 pekerjaan terbukti dapat menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk sehingga dapat menekan jumlah pengangguran di Kabupaten Bandung. Grafik 5.3. Tingkat Kesempatan Kerja dan Pengangguran di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 89,85 87,49 89,80 89,31 89,62 12,51 10,20 10,69 10,38 10, TKK Pengangguran Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Pergeseran penyerapan lapangan pekerjaan ke sektor industri dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data pada grafik 5.4 diperlihatkan bahwa lapangan pekerjaan penduduk 15 tahun ke atas mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa. Persentase lapangan usaha di sektor 80

81 industri mengalami peningkatan pada tahun 2011 dari 29,23 persen menjadi 32,47 persen. Berdasarkan surevi tahun 2013, penduduk yang bekerja di sektor industri meningkat dari tahun sebelumnya hingga mencapi 32,77 persen. Meningkatnya kontribusi penyerapan tenaga kerja pada sektor industri diindikasikan pada usaha industri kecil dan mikro yang cukup mampu menyerap tenaga kerja. Grafik 5.4. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas, Tahun % 90% 17,02 17,22 15,25 14,31 15,36 80% 10,79 13,48 12,49 14,14 70% 12,56 60% 19,29 18,75 20,5 21,76 19,44 50% 40% 32,47 29,87 29,23 30% 32,44 32,77 20% 10% 21,87 18,91 22,2 18,01 19,87 0% Pertanian Industri Perdagangan Jasa Lainnya Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

82 Pada tahun 2013, proporsi penduduk yang bekerja di sektor perdagangan menurun dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 19,44 persen.sedangkan yang bekerja di sektor jasa mencapai 12,56 persen. Sementara iru, proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2013 tercatat sebesar 19,87 persen. Fluktuasi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian masih belum menunjukkan perubahan yang berarti, bahkan ada indikasi perpindahan lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian ke sektor-sektor lainnya (pertambangan, listrik gas dan air, angkutan dan komunikasi, koperasi dan lembaga keuangan), sehingga proporsi sektor lainnya mencapai 15,36 persen Capaian Daya Beli Tingkat daya beli dapat menggambarkan kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Kemampuan daya beli penduduk merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur indeks pembangunan manusia. Kemajuan angka IPM Kabupaten Bandung selama beberapa periode ternyata sangat ditunjang oleh adanya peningkatan komponen kemampuan daya beli masyarakat. Capaian daya beli penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah sebesar Rp Kemudian pada tahun 2010, kemampuan daya beli penduduk meningkat hingga mencapai Rp Pada tahun 2011 dilakukan penyesuaian metode penghitungan daya beli, sehingga penghitungan daya beli pada tahun 2011, 2012 dan 2013 masing-masing sebesar Rp , Rp , dan Rp

83 Grafik 5.5 Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Rp Rp Rp Rp Rp Sumber : Survei Khusus IPM Kabupaten Bandung, Komponen daya beli memang dipengaruhi pula oleh kondisi perekonomian nasional, dimana kenaikan BBM turut berpengaruh terhadap perekonomian regional. Nilai tukar rupiah yang tidak stabil dan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya tampaknya telah memberi tekanan terhadap daya beli masyarakat. Meskipun pertumbuhan ekonomi telah mengarah kepada situasi yang menggembirakan, namun secara riil daya beli peningkatannya tidak terlalu besar. Menurut data Survei Khusus IPM 2013, dari 31 kecamatan di kabupaten Bandung terdapat sebanyak 15 kecamatan memiliki kemampuan daya beli masyarakatnya di atas rata-rata kabupaten, dan ada sebanyak 16 kecamatan yang nilai daya belinya berada di bawah rata-rata kabupaten. Kecamatan yang memiliki kemampuan daya beli masyarakat tertinggi adalah Kecamatan Baleendah yang mencapai Rp , kemudian disusul oleh Kecamatan Bojongsoang dan Cileunyi, yang 83

84 masing-masing daya belinya sebesar Rp dan Rp (selengkapnya lihat Gambar 5.6). Sampai dengan tahun 2013 beberapa kecamatan tampaknya masih perlu mendapat prioritas agar mampu mengejar ketertinggalan kemampuan daya beli masyarakatnya. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kertasari dengan daya beli sebesar Rp dan Kecamatan: Pacet, Cikancung, dan Cicalengka dengan daya beli masingmasing sebesar Rp ; Rp ; Rp Dalam upaya meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, maka pengembangan usaha skala kecil/mikro tampaknya masih menjadi pilihan untuk mendongkrak pendapatan masyarakat yang relatif tertinggal. 84

85 Grafik 5.6. Pencapaian PPP Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2013 Baleendah Bojongsoang Cileunyi Dayeuhkolot Rancaekek Pasirjambu Rancabali Ibun Cilengkrang Pameungpeuk Soreang Margahayu Banjaran Pangalengan Arjasari Kab. Bandung Majalaya Paseh Cimaung Kutawaringin Cimenyan Nagreg Solokanjeruk Ciwidey Cangkuang Ciparay Katapang Margaasih Cicalengka Cikancung Pacet Kertasari 580,00 600,00 620,00 640,00 660,00 680,00 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM

86 BAB VI CAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BANDUNG 6.1. Capaian IPM Kabupaten Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu alat yang dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan yang menggunakan paradigma Human Centered Development. IPM adalah ukuran agregat dari dimensi dasar pembangunan manusia yang mencakup dimensi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Dimensi kesehatan mencakup umur panjang dan kehidupan yang sehat dengan indikator utamanya angka harapan hidup. Dimensi pendidikan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Sedangkan dimensi ekonomi dilihat dari standar hidup layak yang diukur dengan kemampuan daya beli penduduk. Ketiga dimensi tersebut merupakan sektor pembangunan yang dominan dan memiliki kontribusi yang cukup besar dalam membentuk kualitas sumber daya manusia. Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah penyangga ibukota propinsi Jawa Barat. Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung cukup potensial dimana pada tahun 2013 tercatat sebesar jiwa yang terdiri dari jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan tren yang 86

87 meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung mencapai 1,93 persen. Grafik 6.1 Komposisi Penduduk Kabupaten Bandung Tahun JIWA JIWA JIWA Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 Dengan potensi jumlah penduduk yang cukup besar tersebut, Kabupaten Bandung memiliki modal sumber daya manusia yang besar yang akan menjadi penggerak sektor perekonomian khususnya sektor industri, perdagangan serta jasa. Pengembangan usaha pada ketiga sektor ini dapat berimplementasi langsung terhadap meningkatnya penyerapan tenaga kerja serta pendapatan perkapita. Dengan posisi strategis serta kekayaan alam yang cukup potensial, Kabupaten Bandung cukup berpeluang menjadi kabupaten termaju. 87

88 Permasalahan terbesar terletak pada kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki Kabupaten Bandung dalam menjawab tantangan tersebut. Meskipun banyak kesempatan kerja yang diciptakan, bila kualitas SDM Kabupaten Bandung lebih rendah dan tidak dapat memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang ada, maka lambat laun peluang kerja akan diisi oleh para pendatang. Jawaban dari permasalahan tersebut adalah melalui strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat agar tercapai pemerataan hasil-hasil pembangunan secara lebih berkeadilan. Hal tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan pada daerah-daerah yang sedang berkembang, seperti di Kabupaten Bandung. Fokus pembangunan yang masih berpusat pada daerah-daerah yang cepat pertumbuhan ekonominya, mengakibatkan daerah-daerah yang relatif tertinggal menjadi kurang mendapat perhatian. Karena ada pemikiran, hasil pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada daerah tertentu suatu saat diharapkan akan memberi efek tetesan ke bawah pada daerahdaerah periferal tersebut, yang pada akhirnya diharapkan berdampak kuat pada upaya pemberantasan kemiskinan (Denis A. Rondinelli dan Shahir G. Cheema : 1983). Dalam upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut, peningkatan infrastruktur dan SDM yang handal menjadi solusi dan salah satu modal utama dalam proses pembangunan. Upaya peningkatan kualitas SDM yang dalam skala luas disebut sebagai pembangunan manusia ditunjang 88

89 dengan adanya upaya perbaikan derajat kesehatan, tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk serta kemampuan daya beli masyarakat. 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Grafik 6.2 Pertumbuhan IPM Kabupaten Bandung Tahun ,89 0,85 0,77 0,23 0, Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Gambaran pembanguan manusia yang tercermin dengan pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 6.1. Selama periode lima tahun terakhir, IPM Kabupaten Bandung menunjukkan pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun, namun pertumbuhannya terlihat agak melambat. Hal tersebut belum berarti menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung sudah optimal. Hal ini dapat dilihat dari sisi laju perkembangannya dimana kenaikan masih 89

90 disekitar 0,7 poin setiap tahunnya, bahkan dua tahun terakhir rata-rata pertumbuhannya mencapai 0,2 poin. Nilai IPM yang berkisar antara 0 hingga 100 menunjukkan bahwa semakin mendekati 100, dapat diindikasikan pembangunan manusia semakin baik. Berdasarkan nilai IPM, UNDP mengkategorikan status pembangunan manusia kedalam tiga kriteria yang dapat dilihat dalam grafik 6.2. berikut ini : Grafik 6.3 Status Pembangunan Manusia Menurut UNDP Tinggi IPM 80 Sedang/Menengah IPM 50-79,9 Rendah IPM < 50 Nilai IPM Kabupaten Bandung pada tahun 2013 mencapai 75,40 termasuk kategori sedang atau menengah menurut skala internasional 90

2.1. Konsep dan Definisi

2.1. Konsep dan Definisi 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya kematian bayi

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Informasi statistik merupakan salah satu bahan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, serta sebagai bahan masukan dalam proses perumusan kebijakan perencanaan

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2012 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : 979.486.6199 : 3204.12.70 : 1413.3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 81 + viii Naskah

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Katalog BPS: 1413.3204 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN

Lebih terperinci

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini dapat terselesaikan.

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : 979.486.6199 : 3204.1137 : 4716 3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 70 + vi Naskah :

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2009 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA:

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Bandung Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2011 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 Nomor Publikasi : 3279.1103 Katalog BPS : 4102002.3279 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 16,5 cm x 21,5 cm : ix rumawi + 117 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manusia merupakan harta atau aset yang sangat berharga bagi kelanjutan ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu negara, pengembangan kualitas akan

Lebih terperinci

Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun

Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16

Lebih terperinci

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2011 Nomor Publikasi : 32520.1208 Katalog BPS : 4102002.32 Jumlah Halaman : 253 halaman NASKAH : Bidang Statistik Sosial

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo]

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] BAB II METODOLOGI 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya

Lebih terperinci

Bab III. Capaian Pembangunan Manusia

Bab III. Capaian Pembangunan Manusia Bab III. Capaian Pembangunan Manusia Pembangunan suatu wilayah secara kasat mata lebih mudah dilihat dari pertumbuhan fisik atau perekonomiannya. Sehingga sering pembangunan fisik atau ekonomi dijadikan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 Katalog BPS: 1413.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 BADAN PUSAT STATISTIK DAN BAPPEDA KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 No. Publikasi : 35230.0310 Katalog

Lebih terperinci

SURVEI SOSIAL EKONOMI DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011

SURVEI SOSIAL EKONOMI DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 SURVEI SOSIAL EKONOMI DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 ISBN : 979 486 6199 Nomor Publikasi : 3204.1136 Nomor Katalog : 4716.3204 Ukuran Buku Halaman : 25,7 cm x 18,2 cm : 172 + ix Naskah Gambar kulit

Lebih terperinci

Katalog BPS: TAHUN 2010 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG

Katalog BPS: TAHUN 2010 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG Katalog BPS: 4716.3204 SURVEI SOSIAL EKONOMI DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2010 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG SURVEI SOSIAL EKONOMI DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN SORONG TAHUN 2010 Nomor Publikasi : 9107.11.03 Katalog BPS : 1413.9107 Ukuran Buku : 16,5 x 21,5 cm Jumlah Halaman : v rumawi + 111 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat tersebut

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 i Penyusunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini pembangunan bukan hanya ditujukan dalam wujud pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana infrastruktur, tetapi dalam cakupan yang lebih luas seperti yang

Lebih terperinci

Data Sosial Ekonomi. Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2008 (Publikasi Hasil SUSEDA 2008) Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung

Data Sosial Ekonomi. Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2008 (Publikasi Hasil SUSEDA 2008) Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2008 (Publikasi Hasil SUSEDA 2008) Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung Data Sosial

Lebih terperinci

Bupati Kepulauan Anambas

Bupati Kepulauan Anambas Bupati Kepulauan Anambas KATA SAMBUTAN Assalammulaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua dan tak lupa dihaturkan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii i DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER IPM (INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA) KABUPATEN PASER TAHUN 2011 Pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Paser pada kurun 2007 2011 terus mengalami peningkatan.

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : x + 70 Naskah : Badan Pusat Statistik Propinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

Beberapa prinsip dasar dalam penyusunan Indeks Pembanguan Manusia Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 yaitu:

Beberapa prinsip dasar dalam penyusunan Indeks Pembanguan Manusia Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 yaitu: BAB II METODOLOGI 2. 1 PRINSIP DASAR PENYUSUNAN Prinsip dasar penyusunan publikasi ini masih merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya, yaitu tetap melakukan pengukuran terhadap kinerja pembanguan manusia

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG sebagai Dokumen ROADMAP KECAMATAN, dimana, berdasarkan (1) luas, (2) jumlah desa dan (3) jumlah penduduk. LANDASAN PENYUSUNAN ROADMAP Pasal 223 Desa/kelurahan.

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN MANOKWARI TAHUN 2013 ISSN : No. Publikasi/Publication Number : 9105.1104 No. Katalog BPS/Catalogue Number: 1101001.9105 Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21,5 cm Jumlah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2015 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU Pekerjaan Jasa Konsultansi STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU Pada bagian ini akan dijelaskan analisis mengenai analisis strategi pengembangan kawasan industri

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 4102002.3523 Katalog BPS: 4102002.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN TAHUN 2011 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2011 No. Publikasi

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN 4.1 Pendidikan di Banten Pemerintah Provinsi Banten sejauh ini berupaya melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung mempunyai tugas pokok merumuskan kebijaksanaan teknis dan melaksanakan kegiatan teknis operasional

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2012 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 62 halaman Naskah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser Penyunting : Badan Pusat Statistik Kabupaten

Lebih terperinci

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN 2006 2010 BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN 2006 2010 Nomor Publikasi: 16522.11.04 Katalog BPS: 3101017.16 Naskah: Seksi Statistik

Lebih terperinci

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.7 April 2013 ANALISIS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERIODE 2007-2011 H. Syamsuddin. HM ABSTRACT

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Manusia Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2007-2008 ISBN : Nomor Publikasi : Katalog : Ukuran buku Jumlah halaman : 17.6 x 25 cm : x + 100 halaman Naskah : Sub Direktorat Konsistensi Statistik Diterbitkan oleh : Badan

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pengertian Indeks Pembangunan manusia Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 No. Publikasi /Publication Number : 3319.0612 Katalog BPS / BPS Catalogue : 1413.3319 Ukuran Buku/Book Size : 14.8 x 21 cm Jumlah Halaman/Number

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Paser 2014 i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2014 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 56 halaman Naskah : Tim Penyusun Publikasi Penyunting

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

UU No.23 Tahun Indikator. 6 Dimensi 28 Aspek. Pelimpahan Kewenangan

UU No.23 Tahun Indikator. 6 Dimensi 28 Aspek. Pelimpahan Kewenangan UU No.23 Tahun 2014 3 Indikator - Jumlah Penduduk - Luas Wilayah - Jumlah Desa/Kelurahan Klasifikasi : Tipe A (beban besar) Tipe B (beban kecil) 6 Dimensi 28 Aspek (Kreasi Tim: Pemetaan Pembanguna) Intervensi

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4103.1409 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT (INKESRA) KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2013 No. Katalog : 4103.1409 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah Gambar Kulit dan Setting Diterbitkan Oleh Kerjasama

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 (Oleh Endah Saftarina Khairiyani, S.ST) 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan era globalisasi menuntut setiap insan untuk menjadi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii v viii I. PENDAHULUAN 1 7 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rasional 4 1.3. Perumusan Masalah 5 1.4. Tujuan dan Manfaat Studi 5 1.4.1.

Lebih terperinci

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal KOMPONEN IPM Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia (masyarakat). Di antara berbagai pilihan, yang terpenting yaitu berumur panjang dan sehat,

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG. I n d e k s P e m b a n g u n a n M a n u s i a K a b u p a t e n B a n y u w a n g i

1.1 LATAR BELAKANG. I n d e k s P e m b a n g u n a n M a n u s i a K a b u p a t e n B a n y u w a n g i BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dari berbagai indikator makro ekonomi dan sosial yang kerap digunakan sebagai alat ukur dalam menentukan keberhasilan pembangunan di suatu daerah, implementasinya terkadang

Lebih terperinci

Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia Kuliah Pengantar: Indeks Pembangunan Sub Bidang Pembangunan Perdesaan Di Program Studi Arsitektur, ITB Wiwik D Pratiwi, PhD Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 No. 05/01/17/XI, 3 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 325.600 ORANG (17,03 PERSEN) PERSENTASE KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 TURUN JIKA DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI ACEH 2016 Nomor Publikasi : 11522.1605 Katalog BPS : 4102004.11 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xvii + 115 Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/82/Th. XVI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBANYAK 76,40 RIBU ORANG ATAU SEBESAR 6,41 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan

Lebih terperinci

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau 2013-2018 Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau i Kata Pengantar Kepala Bappeda Kabupaten Pulang Pisau iii Daftar Isi v Daftar Tabel vii Daftar Bagan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2013 merupakan publikasi kedua yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan indikator keuangan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BADAN PUSAT STATISTIK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BPS KABUPATEN WONOSBO Visi: Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua Nilai-nilai Inti BPS: Profesional Integritas Amanah Pelopor Data Statistik

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67 RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS 2015 Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan, meningkatnya derajat kesehatan penduduk di suatu wilayah, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Katalog BPS : 4102002.1404 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pelalawan Tahun 2008 ISBN : 979 484 930 8

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G / Katalog BPS : 4103.5371 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G 2 0 0 5 / 2 0 0 6 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA KUPANG INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA KUPANG 2005/2006 No. Publikasi : 5371.0612

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

GINI RASIO KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

GINI RASIO KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 GINI RASIO KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 Nomor Publikasi : 3204 0810 Nomor Katalog : 4716 3204 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 18,21 cm x 25,7 cm : 50 + vi Naskah Gambar kulit dan seting Diterbitkan : Seksi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 58/07/64/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/09/53/Th.XVIII, 15 Sept 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 1.159,84 RIBU ORANG (22,61PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 Ukuran Buku

Lebih terperinci

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013 Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013 INDIKATOR SOSIAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 Jumlah Halaman : ix + 77 halaman Naskah : BPS Kabupaten Pulau Morotai Diterbitkan Oleh : BAPPEDA Kabupaten Pulau

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/01/53/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR September 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN September 2016 MENCAPAI 1.150,08 RIBU ORANG (22,01 PERSEN) Jumlah

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci