FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT SEBAGAI OIL WELL CLEANING VINI VIRDIANA MULIDEAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT SEBAGAI OIL WELL CLEANING VINI VIRDIANA MULIDEAS"

Transkripsi

1 FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT SEBAGAI OIL WELL CLEANING VINI VIRDIANA MULIDEAS DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Surfaktan SMES sebagai Oil Well Cleaning adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing akademik serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2013 Vini Virdiana Mulideas NIM F

4 ABSTRAK VINI VIRDIANA MULIDEAS. Formulasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat sebagai Oil Well Cleaning. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI dan PUDJI PERMADI. Penurunan produktivitas minyak bumi dapat disebabkan karena adanya penyumbatan pada batuan formasi lapangan minyak bumi. Penyumbatan tersebut dapat disebabkan oleh adanya endapan paraffin, asphaltene, dan scale. Masalah yang ditimbulkan karena keberadaan endapan tersebut adalah batuan formasi dapat bersifat oil wet sehingga permeabilitas minyak menurun. Masalah tersebut dapat diatasi dengan teknik well cleaning menggunakan formula surfaktan. Surfaktan MES adalah anionik surfaktan yang memiliki kemampuan dalam menurunkan tegangan antarmuka, tegangan permukaan, dan mampu mengubah sifat batuan dari oil wet menjadi water wet. Formula surfaktan MES untuk well cleaning membutuhkan media pembawa. Pada penelitian ini media pembawa yang digunakan adalah solar dan metil ester. Pelarut aromatik juga dibutuhkan dalam formula. Xylene dan toluen memiliki kemampuan melarutkan asphaltene yang mengendap dalam batuan formasi. Formulasi surfaktan untuk well cleaning dilakukan dengan beberapa tahap yaitu menentukan konsentrasi SMES optimal dalam menurunkan tegangan antarmuka, menentukan konsentrasi pelarut aromatik optimal dan pengujian kinerja formula surfaktan sebagai oil well cleaning. Pengujian kinerja yang dilakukan adalah uji thermal stability, phase behavior, dan wettability. Formula surfaktan yang memberikan kinerja terbaik adalah formula surfaktan SMES 3% dalam media pembawa metil ester dengan penambahan xylene 15%. Kata kunci: Asphaltene, oil well cleaning, metil ester sulfonat

5 ABSTRACT VINI VIRDIANA MULIDEAS. Formulation of Surfactant MES as Oil Well Cleaning. Be mentored by ERLIZA HAMBALI and PUDJI PERMADI. Oil productivity reduction may be due to plugging in the oil rock formations. The plugging may be caused by the deposition of paraffin, asphaltene, and scale. Problem caused by the presence of the precipitate is the rock formation can be oil wet so that oil permeability decreases. The problem can be solved by well cleaning technique with surfactant formula. Surfactant MES is a type of anionic surfactant which has ability to lower the interfcial tension, surface tension, and able to change the properties of rock from oil wet to become water wet. Surfactant MES formula for well cleaning requires carrier agent. In this study, diesel oil and metil ester were used as carrying agent. Aromatic solvents were also needed. Xylene and toluene has ability to dissolve asphaltene that deposites in formation. Surfaktan formulation for well cleaning was done with several stages, those are determine the SMES concentration and aromatic solvents concentration. Surfactant performance tests for oil well cleaning were thermal stability, phase behavior, and wettability. The surfactant formula which gave the best performance was SMES 3% in metil ester carrying agent with xylene 15% as additive. Keywords : Asphaltene, oil well cleaning, methyl sulfonic esters

6 FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT SEBAGAI OIL WELL CLEANING Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri PertanianDepartemen Ilmu DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR VINI VIRDIANA 2013 MULIDEAS

7

8 Judul Skripsi : Formulasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat sebagai Oil Well Cleaning Nama : Vini Virdiana Mulideas NIM : F Disetujui oleh Prof. Dr. Erliza Hambali Pembimbing I Prof. Dr. Pudji Permadi Pembimbing II Diketahui oleh Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala karunia-nya sehingga skripsi yang berjudul Formulasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat sebagai Oil Well Cleaning ini dapat diselesaikan. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai September 2013 di Laboratorium EOR Surfactant and Bioenergy Research Center. Pada kesempatan ini, penulis mengucapan terimakasih yang tulus dan mendalam kepada Prof. Dr. Erliza Hambali dan Prof. Dr. Pudji Permadi selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran, dan motivasinya kepada penulis. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Mira Rivai, Bapak Ari Iman S, S.Tp, M.Si dan seluruh staff laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) LPPM-IPB yang telah banyak membantu selama penelitian dan dalam pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada mama dan papa serta seluruh keluarga, atas doa, dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2013 Vini Virdiana Mulideas

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 METODE PENELITIAN 3 Bahan 3 Alat 3 Metode 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 Hasil Analisis Fluida Lapangan OK 5 Oil Well Cleaning 6 Hasil Analisis Surfaktan SMES 7 Formulasi Surfaktan untuk Oil Well Cleaning 8 Hasil Uji Kinerja Formulasi Surfaktan untuk Oil Well Cleaning 11 SIMPULAN DAN SARAN 19 Simpulan 19 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 20 LAMPIRAN 21 RIWAYAT HIDUP 44

11 DAFTAR TABEL 1 Hasil analisis air formasi dan air injeksi Lapangan OK 5 2 Hasil Analisis Minyak Lapangan OK 6 3 Hasil Analisis Surfaktan MES 7 DAFTAR GAMBAR 1 Grafik pengaruh konsentrasi SMES terhadap nilai IFT 9 2 Grafik pengaruh berbagai pelarut aromatik terhadap nilai IFT pada media pembawa solar 10 3 Grafik pengaruh berbagai pelarut aromatik terhadap nilai IFT pada media pembawa metil ester 10 4 Grafik pengaruh formula surfaktan setelah pengujian thermal stability pada media pembawa solar 11 5 Grafik pengaruh formula surfaktan setelah pengujian thermal stability pada media pembawa metil ester 12 6 Hasil analisis pengaruh larutan surfaktan pada media pembawa solar terhadap sudut kontak batuan 14 7 Hasil analisis pengaruh larutan surfaktan pada media pembawa metil ester terhadap sudut kontak batuan 15 8 Hasil analisis sudut kontak pada media pembawa solar tanpa surfaktan 16 9 Hasil analisis sudut kontak pada media pembawa solar tanpa surfaktan Hasil analisis kelakuan fasa Hasil uji IFT formula setelah dipanaskan selama satu malam 19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis surfaktan Sodium Metil Ester Sulfonat (SMES) 22 2 Prosedur analisis fluida Lapangan OK 24 3 Prosedur analisis kinerja formula surfaktan 29 4 Data formulasi larutan surfaktan SMES 31 5 Data hasil analisis kinerja formula surfaktan SMES 37 6 Peralatan Formulasi dan Kinerja Oil Well Cleaning 41

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak bumi hingga saat ini masih menjadi sumber energi utama di dunia. Diperkirakan permintaan minyak bumi di dunia akan meningkat dari 84 juta barrel per hari menjadi 99 juta barrel per hari pada tahun Namun, produksi minyak jauh lebih lambat daripada kebutuhan minyak. Produksi minyak bumi di Indonesia mengalami kemunduran sejak tahun Indonesia mengalami defisit minyak bumi dimana tingkat konsumsi lebih tinggi daripada tingkat produksi. Dari data statistik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia pada tahun 2004, produksi minyak bumi dan kondensat Indonesia tercatat sebesar juta barel dan produksi terus berfluktuatif dan cenderung menurun, sampai pada tahun 2010 produksi minyak bumi dan kondensat Indonesia tercatat sebesar juta barel. Defisit kebutuhan minyak bumi tersebut membuat Indonesia mengimpor minyak bumi dari berbagai negara, yang mengindikasikan krisis minyak bumi telah terjadi di Indonesia. Penurunan produktivitas sumur minyak bumi Indonesia dapat disebabkan karena adanya penyumbatan pada sumur minyak. Penyumbatan pada sumur minyak dapat disebabkan karena adanya endapan yang disebabkan oleh asphaltene dan paraffin. Penyumbatan juga dapat terjadi karena adanya water coning pada reservoir. Penyumbatan ini dapat menurunkan permeabilitas minyak bumi pada sumur. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan teknik oil well cleaning. Oil well cleaning merupakan salah satu metode untuk membersihkan sumur minyak bumi dari endapan asphaltene atau paraffin. Dengan teknik oil well cleaning ini, endapan yang terdapat pada sumur minyak dapat dibersihkan dan meningkatkan permeabilitas formasi sehingga produktivitas sumur dapat meningkat. Teknik oil well cleaning membutuhkan formula surfaktan. Surfaktan yang untuk oil well cleaning digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan dan antar muka, mencegah pembentukan emulsi dan mampu memecah emulsi yang telah terbentuk sebelumnya, menjadikan batuan reservoir bersifat water wet tidak menggembungkan dan menyusutkan atau mengganggu batuan formasi dan menjaga aktivitas permukaan pada kondisi reservoir. Selama ini surfaktan yang digunakan adalah surfaktan yang berasal dari produk petrokimia (petroleum sulfonat), sehingga harganya juga tergantung pada harga minyak bumi. Di samping itu petroleum sulfonat memiliki beberapa kelemahan yaitu kurang ramah lingkungan dan bersifat tidak terbarukan (Watkins, 2001). Surfaktan MES berbasis minyak sawit adalah kelompok surfaktan anionic yang dapat menggantikan surfaktan petroleum sulfonat. Kelebihan surfaktan MES dibandingkan surfaktan petroleum sulfonat yang berbasis petrokimia adalah bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good biodegradability), karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, dan toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium (Matheson, 1996). Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka pada proses

14 2 oil well cleaning sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan reservoir, diantaranya adalah salinitas, suhu, sifat batuan dan fluida formasi, kompatibilitas surfaktan dengan fluida formasi, dan tekanan reservoir. Pengembangan teknologi produksi dan aplikasi surfaktan MES untuk IOR di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik karena melimpahnya ketersediaan bahan baku metil ester yang dapat disintesis menjadi surfaktan MES. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan formula surfaktan berbasis MES olein sawit untuk well cleaning sesuai kondisi reservoir. 2. Mendapatkan informasi uji kinerja formula surfaktan SMES yang dihasilkan untuk oil well cleaning. Ruang Lingkup Penelitian 1. Basis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan MES dari Metil Ester Olein Sawit. 2. Fluida berasal dari lapangan minyak bumi. 3. Pelarut surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah solar dan metil ester olein sawit. 4. Bahan aditif yang digunakan adalah yang larut minyak. 5. Formulasi surfaktan berbasis SMES olein sawit untuk oil well cleaning. 6. Uji kinerja formula surfaktan SMES yang dihasilkan untuk oil well cleaning.

15 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Surfaktan dan Polimer - Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy Research Center LPPM-IPB), Bogor. Bahan dan Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, peralatan gelas, pipet mohr, pipet serologis, gelas piala, gelas ukur, oven, ph meter, spinning drop tensiometer, densitymeter, viskosimeter, phase behavior apparatus, spektrofotometer, mikroskop, magnetic stirrer, hot plate, tabung injeksi, filter holder, stopwatch, kamera, erlenmeyer, ampul, sentrifuge, buret, labu takar, refraktometer, serta alat-alat lain yang dibutuhkan untuk analisis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan metil ester sulfonat yang terbuat dari minyak olein sawit dan fluida dari lapangan minyak. Bahan kimia yang digunakan untuk proses formulasi surfaktan MES untuk aplikasi oil well cleaning adalah minyak solar, metil ester, toluen, xylene, indicator Bromocresol Green, indicator Methylen Blue, hyamine, chloroform, gas nitrogen, dan bahan-bahan lain untuk analisa. Metode Penelitian Formulasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat sebagai Oil well cleaning dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut. 1. Analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES dari metil ester olein sawit Analisis ini dilaksanakan untuk mengetahui sifat fisiko-kimia surfaktan MES dari olein sawit. Pengujian yang dilakukan terhadap surfaktan MES adalah pengukuran ph (BSI 1996), pengukuran densitas dengan menggunakan density meter DMA 4500M, penentuan viskositas (SNI ), penentuan bilangan iod (AOAC 1995), dan penentuan bilangan asam dan bahan aktif surfaktan anionik (Epthon 1948). Prosedur analisis surfaktan MES dapat dilihat pada Lampiran Analisis sifat fisiko-kimia fluida Lapangan Minyak OK Fluida yang terdapat di reservoir adalah air formasi, air injeksi, dan minyak. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika-kimia fluida tersebut. Analisis ini terbagi menjadi dua tahap yaitu analisis air formasi / injeksi dan analisis minyak a. Analisis air formasi/injeksi Analisis untuk air injeksi/formasi terdiri dari pengukuran ph (SMEWW 21th (2005): 4500-H*.B), turbidity (SMEWW 21th (2005): 2120-Color.C), total suspended solid (SMEWW 21th (2005): 2540D), total dissolved solid (SMEWW 21th (2005): 2540C), conductivity (SMEWW 21th (2005): 2510B), hardness (SMEWW 21th (2005): 2340-Hardness.C), chloride(cl-) (SMEWW 21th (2005): 4500-Cl.C), free chlorine(cl2-) (SMEWW 21th (2005): Cl.Chlorine.B), iron (Fe2+) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), calcium (Ca2+) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), ammonia (NH3-) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), sulphate (SO42-) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), sulfide (H2S-) (SMEWW

16 4 21th (2005): 3111 B), phenol (SMEWW 21th (2005): 3111 B), oil & grease (SMEWW 21th (2005): 3111 B), BOD5 (SMEWW 21th (2005): 3111 B), COD (SMEWW 21th (2005): 3111 B), barium (Ba2+) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), sodium (Na+) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), magnesium (Mg2+) (SMEWW 21th (2005): 3111 B), TPC (SMEWW 21th (2005): 3111 B), CO3 (SMEWW 21th (2005): 3111 B), SO2 (SMEWW 21th (2005): 3111 B), CO2 (SMEWW 21th (2005): 3111 B) dan TPH (SMEWW 21th (2005): 3111 B). b. Analisis minyak Analisis untuk minyak yang akan dilakukan terdiri dari pengukuran viskositas (SNI ), pengukuran densitas dan API Gravity menggunakan density meter DMA 4500M, free fatty acid (SNI ) dan uji asphaltene (IP 1965). 3. Formulasi oil well cleaning berbasis MES olein sawit Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh formulasi surfaktan yang dapat diaplikasikan membersihkan sumur produksi. Formulasi dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pemilihan konsentrasi surfaktan MES dengan metode critical micelle concentration (CMC) dan pemilihan konsentrasi pelarut asphaltene. Parameter uji pada tahapan ini adalah pengukuran IFT menggunakan spinning drop tensiometer, ph (BSI 1996) dan densitas dengan menggunakan density meter DMA 4500M. 4. Melakukan pengujian kinerja formulasi oil well cleaning agent Uji kinerja formulasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai hasil kinerja dari formulasi terbaik yang diperoleh sebagai oil well cleaning. Uji laboratorium pada tahapan ini adalah IFT menggunakan spinning drop tensiometer, phase behavior (SBRC, 2012) dan wettability (Adim, 1991). - Uji IFT formula oil well cleaning dilakukan untuk mengetahui kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka antara formula surfaktan dan air formasi lapangan. - Uji phase behavior dilakukan pada suhu reservoir yaitu 121 C. Pengamatan dilakukan secara periodik dalam satu hari. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui jenis emulsi yang terbentuk antara formulasi surfaktan dan air formasi. - Uji wettability dilakukan untuk mengetahui sudut kontak yang terbentuk antara batuan yang telah diberi perlakuan dan minyak bumi. Hasil yang diharapkan pada pengujian ini adalah sifat batuan dapat berubah dari oil wet menjadi water wet setelah batuan direndam dalam formulasi surfaktan. - Uji thermal stability dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap kinerja surfaktan. Pengujian ketahanan panas dilakukan simultan dengan pengujian tegangan antarmuka.

17 5 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL ANALISIS FLUIDA LAPANGAN OK Fluida formasi OK terdiri dari air formasi dan minyak bumi, sedangkan air injeksi diinjeksikan untuk membantu meningkatkan produktivitas minyak. Air formasi adalah air yang ikut terproduksi bersama-sama dengan minyak dan gas. Air formasi hampir selalu ditemukan didalam reservoir hidrokarbon karena memang dengan adanya air ini ikut menentukan terakumulasinya hidrokarbon didalam suatu akumulasi minyak. Air selalu menempati sebagian dari suatu reservoir, minimal 10 % dan maksimal 100 % dari keseluruhan pori. Air formasi pada umumnya mengandung berbagai kation dan anion. Kandungan kation yang terdapat dalam air formasi adalah natrium (Na + ), kalsium (Ca 2+ ), magnesium (Mg 2+ ), barium (Br 2+ ), dan besi (Fe 2+ ). Sedangkan untuk kandungan anion pada umumnya adalah klorida (Cl - ), sulfat (SO4 2- ), karbonat (CO3 2- ), dan bikarbonat (HCO3 2- ). Sedangkan air injeksi adalah air yang telah diolah untuk diinjeksikan ke dalam sumur minyak untuk meningkatkan produktivitas minyak. Air injeksi dapat berupa air laut, air formasi yang telah diolah kembali, dan air sekitar sumur. Hasil analisis air formasi dan air injeksi OK disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis air formasi dan air injeksi Lapangan OK Parameter Air Air Satuan Formasi OK Injeksi OK ph Turbidity Pt Co TSS mg/l TDS mg/l Conductifity mω/cm Salinitas ppt Hardness, CaCO mg/l Chloride, Cl mg/l Ammonia, NH mg/l Sulphate, SO mg/l Free Clorin, Cl2 <0.01 <0.01 mg/l Phenol mg/l Oil & Grease mg/l BOD mg/l COD mg/l Barium, Ba mg/l Iron, Fe mg/l Sodium, Na mg/l Magnesium, Mg mg/l Calcium, Ca mg/l Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa air formasi OK memiliki ph sebesar 7.2 sedangkan ph air injeksi adalah 8. Perbedaan juga terlihat pada jumlah padatan total terlarut dan jumlah anion dan kationnya. Kandungan Mg2 + dan Cl - pada air formasi lebih besar dibandingkan air injeksi yang menunjukkan bahwa air formasi

18 6 memiliki kesadahan yang lebih tinggi dibandingkan air injeksi. Kandungan CaCO3 pada air formasi Lapangan OK cukup tinggi, hal ini menunjukkan bahwa fluida yang digunakan berasal dari formasi karbonat. Selain air formasi, fluida yang berasal dari reservoir adalah minyak mentah. Minyak mentah yang berasal dari lapangan OK memiliki wujud cair pada suhu ruang dan warna yang hitam pekat. Densitas minyak lapangan OK adalah 0,8622 gr/cm 3 dan viskositas sebesar 1,4 cp. Densitas dan viskositas minyak yang kecil menunjukkan bahwa minyak Lapangan OK termasuk dalam kelompok minyak ringan. Viskositas dan derajat API Gravity memiliki hubungan saling berkebalikan. Pada umumnya makin rendah viskositas maka derajat API Gravity semakin besar yang menunjukkan bahwa minyak mentah termasuk golongan minyak ringan. Kandungan asphaltene pada minyak Lapangan OK adalah sebesar 0,0681 g/g sampel. Hal ini mengindikasikan adanya kandungan aspalt pada minyak. Hasil analisis minyak Lapangan OK dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Minyak Lapangan OK Parameter Hasil Wujud (pada suhu ruang) Cair Warna Hitam Pekat Kandungan Asphaltene (g/g sampel) Densitas (g/cm 3 ) 0,8622 Viskositas (cp) API Gravity (15 C) API Spesific Gravity (15 C) 1,40 26,915 0,89325 Asphaltene merupakan komponen dalam minyak mentah yang berwarna hitam. Berat molekul asphaltene relatif tinggi. Karena keberadaan oksigen, sulfur, dan nitrogen pada struktur molekulnya menjadikan asphaltene memiliki sifat polar (Ellen dan Roberts, 1984). Asphaltene dapat menyebabkan kerusakan formasi karena asphaltene dapat mengendap dan menyebabkan penyumbatan pada formasi. Penggumpalan asphaltene biasanya terjadi di sekitar lubang-lubang sumur yang terjadi jika gas alam bercampur dengan minyak mentah yang berasal dari reservoir yang berbeda. Selain itu, menurut Ellen (1984) asphaltene juga dapat menyebabkan batuan formasi bersifat oil wet. Oil wet terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak antara minyak mentah terhadap batuan dengan sudut kurang dari 90 (θ > 90 ). Karakter oil wet pada kondisi batuan reservoir tidak diharapkan terjadi sebab akan menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal pada batuan reservoir saat diproduksi lebih besar daripada water wet. Sifat batuan formasi yang oil wet dan penyumbatan oleh asphaltene dapat menyebabkan permeabilitas minyak berkurang sehingga menurunkan produktivitas minyak. OIL WELL CLEANING Well cleaning merupakan suatu metode untuk membersihkan sumur minyak bumi dari kotoran atau endapan seperti asphaltene dan paraffin yang menyebabkan penyumbatan pada formasi. Well cleaning minyak dilakukan dengan cara

19 menginjeksikan formula surfaktan ke dalam sumur hidrokarbon dan soaking guna melarutkan material pada lubang perforasi. Faktor yang menunjang keberhasilan proses oil well cleaning adalah usaha untuk menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension) dengan terbentuknya mikroemulsi fasa tengah atau minimal emulsi fasa bawa. Mikroemulsi yang terbentuk akan menghasilkan tegangan antar muka yang rendah (Ellen dan Roberts, 1984). Penginjeksian surfaktan ke dalam reservoir dapat digunakan untuk membersihkan sumur minyak dengan menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air formasi dan antara minyak dengan batuan. Dengan menurunnya tegangan antar muka, menyebabkan menurunnya tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori sehingga residual oil yang tertinggal dapat didesak dan diproduksikan. HASIL ANALISIS SURFAKTAN SMES Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul yang sama. Surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu surfaktan anionic, kationik, nonionic, dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bersifat positif pada bagian aktif permukaan (surface-active). Menurut (Ellen dan Roberts, 1984), surfaktan dapat mengubah sifat fluida dan batuan reservoir. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka dan tegangan permukaan, membentuk dan memecahkan emulsi, dan mengubah wettability dari batuan reservoir. Fungsi surfaktan adalah sebagai agen penstimulasi (Well stimulation agent) yaitu bahan yang digunakan untuk proses stimulasi minyak (well stimulation) pada reservoir di sumur minyak. Analisis surfaktan SMES yang dilakukan adalah bilangan iod, kadar bahan aktif, densitas, viskositas, dan ph. Hasil analisis surfaktan SMES ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Surfaktan SMES Parameter Hasil Bilangan iod (mg iod/g sampel) 35,55 Kadar bahan aktif SMES 30,54 Densitas (g/cm 3 ) 0,9403 Viskositas (cp) 1,92 Nilai ph 7±0,2 Bilangan iod adalah ukuran rata-rata jumlah komponen tak jenuh dari minyak atau lemak yang dinyatakan dalam bobot iod, yaitu jumlah miligram iodin yang diserap per gram sampel (AOCS 1998). Bilangan iod menjadi salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfonat ke dalam rantai karbon metil ester. Bilangan iod yang diperoleh dari hasil analisis adalah 35,55 mg iod/gram sampel. 7

20 8 Bahan aktif merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kualitas surfaktan. Parameter yang digunakan adalah apabila kandungan bahan aktif surfaktan tinggi maka kinerja surfaktan tersebut akan baik. Metode pengujian bahan aktif adalah metode titrasi dua fasa atau metode Epton. Prinsip dari pengujian ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan surfaktan kationik dengan menggunakan indikator methylen blue. Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang menyatakan besar kecilnya gesekan di dalam fluida. Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Nilai ph adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H + ) yang terlarut. Nilai ph SMES adalah 7±0,2. FORMULASI SURFAKTAN UNTUK OIL WELL CLEANING Formulasi surfaktan sebagai well cleaning membutuhkan media pembawa (carrier agent). Media Pembawa dalam well cleaning biasanya adalah minyak solar. Media pembawa minyak digunakan untuk menghilangkan endapan asphaltene. Poetker et al. (1961) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebagian sumur tidak menunjukkan perbaikan dengan menggunakan larutan surfaktan yang bersifat water based tetapi menunjukkan respon terhadap larutan surfaktan yang bersifat oil based dan sebaliknya. Pada penelitian, media pembawa yang digunakan adalah solar dan metil ester. Solar merupakan hasil destilasi minyak bumi pada suhu 190 C C. Solar merupakan campuran yang komplek dari normal alkane, alkane bercabang, maupun alkane siklik. Kandungan sulfur dalam solar biasanya 0,05 0,5%, titik didih solar antara C, pada suhu 20 C memiliki densitas 0,87-1,0 g/cm 3, dan kelarutan pada air adalah 0,25-5 mg/liter. Metil ester adalah bahan bakar cair alternatif yang diformulasikan khusus untuk mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati (bio-oil). Metil ester dihasilkan dari reaksi antara minyak nabati dengan metanol atau etanol. Proses pembuatan metil ester adalah proses transesterifikasi antara minyak nabati dengan methanol dan katalis pada suhu C. Penentuan Optimal Konsentrasi Surfaktan Tahap pertama yang dilakukan dalam formulasi surfaktan sebagai oil well cleaning agent adalah menentukan konsentrasi optimal surfaktan SMES. SMES dengan konsentrasi 0 hingga 6% dilarutkan pada media pembawa solar dan metil ester kemudian diaduk dengan menggunakan stirrer selama 1 jam kemudian dilakukan pengukuran tegangan antarmuka antara formula surfaktan dengan air formasi Lapangan OK. Hal ini dilakukan untuk melihat respon tegangan antarmuka antara air formasi dengan media pembawa yang digunakan setelah penambahan surfaktan. Grafik hubungan SMES dalam media pembawa solar dan metil ester dengan tegangan antarmuka (IFT) yang dihasilkan disajikan pada Gambar 1. Nilai IFT yang dihasilkan oleh surfaktan pada media pembawa solar mengalami penurunan dari konsentrasi 0 hingga 3 persen. IFT terkecil yang dihasilkan surfaktan pada media pembawa solar adalah 3% yaitu 1,37E-01 dyne/cm kemudia IFT kembali naik pada konsentrasi 4 hingga 6%. Konsentrasi SMES optimal pada media pembawa solar adalah 3%. Pratomo (2005) menyatakan bahwa surfaktan anionik yang optimal yang digunakan sebagai oil well simulation adalah

21 sebesar 3%, dengan menggunakan minyak diesel sebagai (carrier) pembawa diperoleh hasil rata-rata produksi minyak meningkat 45 BPOD (Barrels of Oil per Day) menjadi 125 BPOD dan water cut berkurang menjadi 84-86% dari 94-96%. 9 Gambar 1. Grafik pengaruh konsentrasi SMES terhadap nilai IFT Pada media pembawa metil ester konsentrasi optimal yang menghasilkan IFT terendah adalah 1% dengan nilai IFT 5,26E-02 dyne/cm. Nilai IFT kembali meningkat secara konstan dari konsentrasi 2 hingga 6%. Penentuan Konsentrasi Pelarut Aromatik Pemanfaatan pelarut aromatik yaitu toluen atau xylene adalah untuk melarutkan asphaltene yang mengendap dalam formasi. Menurut Ellen (1984) asphaltene memiliki sifat tidak larut dalam hidrokarbon berantai lurus seperti solar, minyak tanah dan kebanyakan kondensat namun kondensat yang mengandung komponen aromatik memiliki kemampuan untuk melarutkannya. Pelarut aromatik yang memiliki kemampuan yang baik dalam melarutkan asphaltene adalah toluen dan xylene. Toluen dan xylene juga memiliki kemampuan untuk melarutkan paraffin yang mungkin juga mengendap bersama asphaltene. Pada penelitian ini, pelarut aromatik yang dicampurkan ke dalam formulasi adalah toluen, xylene, dan campuran antara toluen dan xylene dengan perbandingan 50:50. Toluene C6H5CH3 memiliki densitas sebesar 0,86620 dan titik didih 110,6 Cdan flash point sebesar 4 C. Sedangkan xylene C6H4(CH3)2 memiliki densitas sebesar 0,8642 g/ml, titik didih sebesar 139 C dan flash point sebesar 27 C. Pada formula dengan konsentrasi SMES optimal kemudian dicampurkan pelarut aromatik dengan berbagai konsentrasi yaitu 5,10, dan 15% kemudian diaduk pada suhu 40 C. Parameter yang digunakan untuk menentukan konsentrasi terbaik pelarut aromatik adalah tegangan antarmuka. Hasil pengukuran pengaruh penambahan pelarut aromatik dengan nilai IFT pada media pembawa solar dan metil ester dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

22 10 Gambar 2. Grafik pengaruh berbagai pelarut aromatik terhadap nilai IFT pada media pembawa solar Pada media pembawa solar, konsentrasi xylene optimal yang menghasilkan IFT terendah adalah 10%, konsentrasi toluen optimal adalah 15%, dan konsentrasi xylene toluene (50:50) optimal adalah 15%. Di antara ketiga pelarut yang digunakan, yang menghasilkan IFT terendah adalah formula dengan pelarut xylene yang menghasilkan nilai IFT sebesar 1,04E-01 dyne/cm. Sedangkan pada media metil ester, konsentrasi pelarut xylen yang menghasilkan nilai IFT terendah adalah 15%, konsentrasi toluen optimal adalah 15%, dan konsentrasi campuran xylene dan toluen (50:50) optimal adalah 10%. Di antara ketiga pelarut tersebut, yang menghasilkan IFT terendah adalah formula dengan pelarut campuran xylene dan toluene (50:50) yang menghasilkan nilai IFT sebesar 8,95E-02 dyne/cm. Gambar 3. Grafik pengaruh berbagai pelarut aromatik terhadap nilai IFT pada media pembawa metil ester

23 11 HASIL UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN UNTUK OIL WELL CLEANING Formula surfaktan yang akan digunakan untuk oil well cleaning sebelumnya harus diuji kinerjanya terlebih dahulu sebelum diaplikasikan langsung di lapangan. Formula surfaktan dengan konsentrasi SMES terbaik dan konsentrasi pelarut xylene, toluene, dan xylene toluene (50:50) terbaik dilihat kinerjanya dalam mengubah sifat kebasahan batuan, pembentukan emulsi, dan ketahanan formula pada suhu panas. Uji yang dilakukan adalah uji wettability, phase behavior, dan thermal stability. Thermal stability Uji ketahanan panas dilakukan dengan memanaskan larutan surfaktan pada suhu reservoir yaitu 121 C selama tiga hari di dalam oven. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap larutan surfaktan dan pengukuran nilai tegangan antarmuka. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat kecendrungan perubahan nilai tegangan antarmuka yang terjadi selama pemanasan pada suhu reservoir berlangsung. Hasil analisis tegangan antarmuka formula surfaktan pada media pembawa solar dan metil ester setelah pengujian thermal stability dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Keterangan : A = Solar + SMES 3% + Xylene 10% B = Solar + SMES 3% + Toluene 15% C = Solar + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 15% Gambar 4. Grafik pengaruh formula surfaktan setelah pengujian thermal stability pada media pembawa solar Pengujian stabilitas termal pada formula surfaktan dalam media pembawa solar menunjukkan bahwa nilai IFT ketiga formula mengalami penurunan pada pemanasan hari pertama dan terus menurun pada hari kedua dan ketiga. Pada hari

24 12 ketiga, formula surfaktan dengan penambahan campuran xylene dan toluen memiliki nilai IFT terendah. Nilai IFT yang dihasilkan larutan surfaktan tersebut pada hari ketiga adalah 5,50E-02 dyne/cm. Sedangkan pada formula surfaktan dengan media pembawa metil ester, hasil IFT setelah uji termal mengalami penurunan hingga hari ketiga pada ketiga formula yaitu formula surfaktan dengan pelarut xylene, toluene dan campuran xylene toluen. Keterangan : D = Metil Ester + SMES 3% + Xylene 15% E = Metil Ester + SMES 3% + Toluene 15% F = Metil Ester + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 10% Gambar 5. Grafik pengaruh formula surfaktan setelah pengujian thermal stability pada media pembawa metil ester Berdasarkan hasil pengujian ketahanan terhadap panas, dapat disimpulkan bahwa formula surfaktan pada media pembawa solar memiliki kestabilan terhadap panas yang baik, hal ini diindikasikan dengan nilai IFT yang mengalami penurunan dari hari pertama hingga hari ketiga. Pada media pembawa metil ester, formula surfaktan juga memiliki kestabilan yang baik terhadap suhu panas yang ditandai dengan penurunan nilai IFT hingga hari ketiga. Formula surfaktan dengan media pembawa metil ester dan penambahan xylene 15% memiliki kestabilan tehadap panas terbaik karena formula ini menghasilkan nilai IFT terendah. Wettability Wettability didefenisikan sebagai kemampuan suatu fluida dalam membasahi batuan reservoir. Apabila fluida bersinggungan dengan benda padat, maka fluida akan bersifat membasahi permukaan benda padat tersebut, hal ini disebabkan adanya gaya adhesi. Minyak dikatakan membasahi batuan jika tegangan adhesinya positif (θ< 90 ), yang berarti batuan bersifat oil wet. Sedangkan bila minyak tidak membasahi batuan maka tegangan adhesinya negatif (θ> 90 ), yang

25 berarti batuan bersifat water wet. Wettability ini penting peranannya dalam produktivitas reservoir, sebab akan menimbulkan tekanan kapiler yang akan memberikan dorongan sehingga minyak atau gas dapat bergerak. Wettabilitas terbagi menjadi dua kategori berdasarkan pada jenis komponen yang mempengaruhi, yaitu : 1. Oil wet Oil wet terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak fluida (minyak) terhadap batuan itu sendiri lebih kecil dari 90 (θ < 90 ). Kejadian ini terjadi sebagai akibat dari gaya adhesi yang lebih besar pada sudut lancip yang dibentuk antara minyak dengan batuan. Karakter oil wet pada kondisi batuan reservoir tidak diharapkan terjadi sebab akan menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal pada batuan reservoir saat diproduksi lebih besar daripada water wet. 2. Water wet Water wet terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak antara fluida (minyak) terhadap batuan itu sendiri dengan sudut lebih besar dari 90 (θ > 90 ). Menurut Ellen (1984) endapan asphaltene pada formasi dapat menyebabkan batuan bersifat oil wet namun batuan yang diharpkan adalah memiliki sifat water wet agar permeabilitas minyak meningkat. Sehingga pengujian wettability sangat penting dalam mengukur kinerja formula suatu surfaktan. Pengujian formula surfaktan SMES dalam media pembawa metil ester dan solar dilakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah merendam batuan formasi yang telah dicuci dengan core extraction di dalam air formasi pada suhu reservoir selama enam jam. Perlakuan ini bertujuan untuk mengondisikan kembali batuan saat di reservoir. Kemudian batuan diukur wettability dengan meneteskan minyak bumi di atasnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui derajat sudut kontak awal batuan. Tahap kedua adalah batuan direndam dalam minyak lapangan OK selama enam jam kemudian dicuci dalam air formasi dan direndam dalam formula surfaktan selama enam jam pada suhu reservoir. Perendaman batuan dalam formula surfaktan selama enam jam dikarenakan proses well cleaning di lapangan hanya berlangsung selama enam jam. Setelah perendaman batuan dalam formula surfaktan, batuan diukur sudut kontaknya. Tahap ketiga adalah perendaman batuan tersebut dengan air formasi lapangan pada suhu reservoir selama enam jam dan diukur kembali sudut kontaknya. Hal ini juga bertujuan untuk mengondisikan kembali batuan pada kondisi reservoir setelah dilakukan proses well cleaning. Hasil pengukuran sudut kontak batuan reservoir dengan minyak Lapangan OK pada media pembawa solar dan metil ester dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. Hasil pengujian sudut kontak formula surfaktan dalam media pembawa solar menunjukkan bahwa batuan mengalami perubahan sudut kontak pada setiap tahap perlakuan. Pada tahap pertama sudut kontak batuan menunjukkan bahwa batuan memiliki sifat oil wet karena sudut kontak yang dihasilkan kurang dari 90. Pada tahap kedua, sudut kontak yang dihasilkan mengalami peningkatan pada ketiga formula. Pada tahap ketiga, sudut kontak yang dihasilkan mengalami peningkatan yang tinggi pada ketiga formula namun sudut kontak yang dihasilkan belum melebihi 90 sehingga batuan masih bersifat oil wet. Batuan yang memiliki sudut kontak tertinggi adalah batuan yang direndam dalam formula surfaktan 13

26 14 dengan penambahan pelarut campuran xylene toluen. Sudut kontak terbaik yang dihasilkan adalah 72,2. Keterangan : A = Solar + SMES 3% + Xylene 10% B = Solar + SMES 3% + Toluene 15% C = Solar + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 15% Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam Gambar 6. Hasil analisis pengaruh larutan surfaktan pada media pembawa solar terhadap sudut kontak batuan Pada formula surfaktan dengan media pembawa metil ester, pengujian wettability memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dengan solar. Batuan formasi memiliki sifat oil wet, hal ini diindikasikan dengan sudut kontak batuan yang kurang dari 90 pada tahap pertama. Pada ketiga formula surfaktan sudut kontak mengalami peningkatan pada tahap kedua dan mengalami peningkatan yang cukup tingg pada tahap ketiga. Formula surfaktan yang memiliki sudut kontak tertinggi adalah formula surfaktan SMES dengan penambahan pelarut xylene. Sudut kontak yang dihasilkan formula tersebut adalah 84,6. Sudut kontak yang dihasilkan batuan setelah perendaman formula surfaktan menunjukkan bahwa formula surfaktan memengaruhi perubahan sudut kontak batuan menjadi tinggi namun sifat batuan belum menjadi water wet.

27 15 Keterangan : D = Metil Ester + SMES 3% + Xylene 15% E = Metil Ester + SMES 3% + Toluene 15% F = Metil Ester + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 10% Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam Gambar 7. Hasil analisis pengaruh larutan surfaktan pada media pembawa metil ester terhadap sudut kontak batuan Pada pengukuran sudut kontak batuan, formula media pembawa (solar dan metil ester) dengan penambahan pelarut aromatik tanpa surfaktan digunakan sebagai pembanding untuk melihat efektivitas kinerja surfaktan dalam mengubah wettability batuan. Tahapan pengujian sama namun formula yang digunakan untuk merendam batuan merupakan formula tanpa surfaktan. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. Pada formula media pembawa solar dengan penambahan xylene 10%, toluene 15%, dan xylene toluene 15% tanpa penambahan surfaktan diperoleh bahwa sudut kontak batuan meningkat setelah perendaman namun peningkatan yang diperoleh berkisar sekitar 9-10 dari tahap pertama hingga tahap ketiga. Hasil yang sama juga terjadi pada sudut kontak batuan yang terbentuk setelah perendaman dengan media pembawa metil ester dengan xylene 15%, toluene 15%, dan xylene toluene 10% tanpa surfaktan. Peningktan sudut kontak dari tahap pertama hingga tahap ketiga adalah sekitar Sudut kontak yang dibentuk antara batuan dan minyak setelah perendaman dalam formula tanpa surfaktan menunjukkan hasil yang tidak sebaik dari formula dengan surfaktan. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan efektif dalam mengubah wettability batuan.

28 16 Keterangan : A = Solar + SMES 3% + Xylene 10% B = Solar + SMES 3% + Toluene 15% C = Solar + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 15% Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam Gambar 8. Hasil analisis sudut kontak pada media pembawa solar tanpa surfaktan

29 17 Keterangan : D = Metil Ester + SMES 3% + Xylene 15% E = Metil Ester + SMES 3% + Toluene 15% F = Metil Ester + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 10% Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam Gambar 9. Hasil analisis sudut kontak pada media pembawa solar tanpa surfaktan Kelakuan Fasa (Phase behavior) Pengujian kelakuan fasa dilakukan dengan mencampurkan larutan formula dengan air formasi kemudian dipanaskan pada suhu reservoir 121 C dalam oven. Kemudian diamati pembentukan emulsinya selama beberapa periode dalam satu hari. Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam metode IOR adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pengamatan yang dilakukan adalah perubahan warna air formasi yang diamati pada menit ke-10 serta jam ke-2 dan ke-4 setelah pemanasan larutan selama satu jam pada suhu 121 C dan pembentukan emulsi antara formula surfaktan dan air formasi. Perubahan warna air formasi yang diamati selama pemanasan adalah warna air yang menjadi keruh, keputihan atau tetap jernih sedangkan pembentukan emulsi yang diamati adalah adanya lapisan putih di antara kedua cairan, gumpalan putih yang berbentuk cincin antara kedua cairan atau tidak ada keduanya. Selain itu, pengukuran IFT formula juga dilakukan setelah pemanasan selama satu hari. Hasil analisis kelakuan fasa formula disajikan pada Lampiran 5. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ketiga formula surfaktan dengan media pembawa metil ester tidak terjadi emulsi namun air formasi mengalami perubahan warna menjadi keruh. Air formasi ketiga larutan surfaktan dengan media pembawa metil ester mengalami perubahan warna dari jam ke-0, ke- 2, dan ke-4 namun air formasi kembali jernih setelah mengalami pemanasan selama satu malam. Sedangkan pada ketiga formula surfaktan dengan media pembawa solar tidak memiliki emulsi dan air formasi tidak mengalami perubahan warna. Kekeruhan pada air formasi di larutan formula surfaktan dengan media pembawa metil ester menunjukkan bahwa mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi. Hal ini menunjukkan bahwa fase yang terbentuk adalah fase bawah atau disebut dengan type II-. Kekeruhan air formasi lebih terlihat pada formula surfaktan pada media pembawa metil ester dengan penambahan pelarut xylene 15%. Hal ini berbanding lurus dengan IFT yang dihasilkan. Hasil uji IFT formula surfaktan dengan air formasi tersebut setelah dipanaskan selama satu malam menunjukkan bahwa formula surfaktan pada media pembawa metil ester dengan penambahan pelarut xylene 15% memiliki nilai IFT terendah di antar kelima formula lainnya. Hasil analisis IFT formula surfaktan setelah dipanaskan selama satu malam ditunjukkan pada Gambar 10.

30 18 Keterangan : A = Solar + SMES 3% + Xylene 10% B = Solar + SMES 3% + Toluene 15% C = Solar + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 15% D = Metil Ester + SMES 3% + Xylene 15% E = Metil Ester + SMES 3% + Toluene 15% F = Metil Ester + SMES 3% + Xylene Toluene (50:50) 10% Gambar 10. Hasil uji IFT formula setelah dipanaskan selama satu malam

31 19 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis uji kinerja formula surfaktan dengan media pembawa metil ester dan solar dan penambahan berbagai pelarut aromatik, dapat disimpulkan bahwa formula surfaktan yang menghasilkan kinerja terbaik adalah formula surfaktan SMES 3% dengan penambahan xylen 15% pada media metil ester. Hal ini ditunjukkan dengan uji kinerja thermal stability, wettability, dan phase behavior yang baik pada formula tersebut. Pada uji kinerja thermal stability, formula surfaktan SMES dengan penambahan xylene 15% dalam media metil ester memiliki kestabilan yang baik terhadap suhu 121 C bahkan uji IFT menunjukkan bahwa nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan sampai hari ketiga. Begitu juga dengan uji wettability yang menunjukkan bahwa formula tersebut dapat mengubah sudut kontak batuan dari 45,4 menjadi 89,4. Sudut kontak yang dihasilkan adalah sudut kontak terbaik di antara kelima formula lainnya. Pada uji phase behavior, fase yang terbentuk antara kedua larutan adalah II- atau fase bawah dan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan sangat kecil yaitu 1,84E-02 dyne/cm. Saran Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan uji lanjutan untuk melihat kinerja surfaktan MES pada media pembawa toluen dan xylene sebagai pembanding terhadap kinerja formula surfaktan yang dihasilkan.

32 20 DAFTAR PUSTAKA Allen TO dan Roberts AP Production Operation 2 : Well Completions, Workover and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklohoma, USA. [AOCS] Official Method Cd 1d Iodine Value of Fats and Oils, Cyclohexane-Acetic Acid Method. In : D. Firestone (Ed.). Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists Society. 5th Edition, AOCS, Champaign. [ESDM] Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia Statistik Minyak Bumi. [ ]. Matheson KL Formulation of Household and Industrial Detergents dalam Spitz, L. (ed.), Soap and Detergents: A Theoretical and Practical Review. Illinois: AOCS Press. Pratomo A Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri Perminyakan. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak sawit pada Berbagai lndustri. Bogor, 24 November Poetker RH, Chronister WC, Miller GE Production Stimulation by Surfactant. SPE Reservoir Engineering Paper, SPE 215. Tim Lemigas Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang akar, Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter Batuan, Fluida reservoir dan rancangan Fluida Injeksi. Lemigas. Watkins C Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 :

33 Lampiran 1. Prosedur Analisis Surfaktan Sodium Metil Ester Sulfonat (SMES) 1. Penentuan Bilangan Asam dan Bahan Aktif Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik (Epthon, 1948) Surfaktan yang akan diuji ditimbang sebanyak 1 ± 0,001 g dengan menggunakan neraca analitik dalam gelas piala 100 ml. Sebanyak 30 ml aquades ditambahkan lalu larutan dipanaskan selama ± 10 menit dalam penangas sampai larut semua. Larutan kemudian didinginkan dan ditambahkan indikator phenofthalein 1 %, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan factor 1,0603 hingga berwarna merah muda. Volume titrasi dicatat untuk menghitung bilangan asam. Larutan sampel kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Sementara itu, methylen blue dipipet sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam gelas ukur asah bertutup gelas 100 ml dan kemudian ditambahkan 5 ml sampel SMES hasil pengenceran. Sebanyak 10 ml kloroform ditambahkan sampai terlihat dua fasa. Campuran tersebut kemudian dititrasi dengan n-cetylpyridium chloride hingga terbentuk warna yang sama biru diantara dua fasa tersebut. Volume titrasi dicatat sebagai volume kationik. 21 Bilangan Asam = Volume NaOH x faktor NaOH Bobot sampel Bahan Aktif (%) = Volume kationik x faktor kationik x BM surfaktan x 0,1 Bobot sampel x 4,95 2. Pengukuran ph (BSI, 1996) Nilai ph dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan ph-meter komersial.alat ph-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer ph 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki ph antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan MES yang telah disiapkan.nilai ph dibaca pada ph-meter setelah angka stabil.elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO2.Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi. 3. Penentuan Viskositas Menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra Pertama spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang digunakan jangan terlalu banyak atau berlebihan karena sangat menentukan system kalibrasi. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara

34 22 otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan di-export ke dalam format.xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai dari nilai yang mulai terbaca stabil. Ubah data viskositas, torque, shear rate, dan shear stress menjadi dua angka desimal dan temperatur menjadi satu angka desimal. Setelah itu rataratakan data dari semua nilai pengukuran. 4. Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan.sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit.pilih mode density, lalu sambungkan selang pompa ke adapter dan aktifkan. Lakukan kalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 C terbaca 0,00120 gram/cm 3 (factor koreksi + 0,00005), dalam rentang 0,00125 hingga 0, Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70 C. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe.pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatak valid oleh alat.setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali.bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat. 5. Bilangan Iod (AOAC 1995) Sampel surfaktan sebanyak 0,5 g ditimbang dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraclorida dan ditambahkan 25 ml larutan hanus. Semua bahan tersebut dicampur merata dan disimpan dalam ruangan gelap selama 30 menit. Setelah penyimpanan kemudian ditambahkan 10 ml larutan KI 15 % dan 50 ml aquades. Larutan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru pada larutan tidak terlalu pekat. selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1 % sebagai indicator dan titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Volume titrasi dicatat untuk perhitungan bilangan iod. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa ditambahkan sampel. Bilangan Iod = (B S)x N x 12,69 W Keterangan : B = ml Na2S2O3 blanko S = ml Na2S2O3 sampel N = normalitas Na2S2O3 W = bobot sampel 12,69 = BM iod/10

35 Lampiran 2. Prosedur Analisis Fluida Lapangan OK 1. Penentuan Viskositas Menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra Pertama spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang digunakan jangan terlalu banyak atau berlebihan karena sangat menentukan system kalibrasi. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindle pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindle yang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan di-export ke dalam format.xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai dari nilai yang mulai terbaca stabil. Ubah data viskositas, torque, shear rate, dan shear stress menjadi dua angka desimal dan temperatur menjadi satu angka desimal. Setelah itu rata-ratakan data dari semua nilai pengukuran. 2. Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Densitymeter DMA 4500M Anton Paar dinyalakan.sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit.pilih mode density, lalu sambungkan selang pompa ke adapter dan aktifkan. Lakukan kalibrasi hingga nilai densitas udara pada 20 C terbaca 0,00120 gram/cm 3 (faktor koreksi + 0,00005), dalam rentang 0,00125 hingga 0, Pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70 C. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe.pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatak valid oleh alat.setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali.bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat. 3. Penentuan API Gravity Menggunakan Density Meter DMA 4500M Anton Paar Derajat API juga diukur dengan menggunakan Densitymeter DMA 4500M Anton Paar.Pertama alat tersebut dinyalakan.sebelum dipakai, densitymeter dilakukan warming up selama 15 menit.pilih mode API gravity pada menu, lalu sambungkan selang pompa ke adapter kemudian diaktifkan.pengukuran dilakukan pada temperatur maksimal alat, yaitu sebesar 70oC atau sesuai dengan suhu yang dibutuhkan. Sampel yang telah disiapkan diinjeksikan ke densitymeter dengan menggunakan syringe.pembacaan dapat dilakukan setelah data dinyatak valid oleh alat.setelah hasil pengukuran terbaca, bilas U-Tube dengan menggunakan aquades minimal 5 kali.bilas kembali U-Tube dengan menggunakan pelarut yang mudah 23

36 24 mengering sebanyak 2 atau 3 kali. Pembersihan akan membuat akurasi alat pada pengukuran selanjutnya menjadi akurat. 4. Free Fatty Acid (SNI ) Sebanyak 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambah dengan 50 ml etanol 95% netral, lalu dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan dengan indikator PP 1%, larutan dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Hal yang sama juga dilakukan pada blanko. Perhitungan nilai FFA dilakukan dengan menggunakan rumus: BM x V x T Free Fatty Acid = 10 m dimana : V = volume KOH yang diperlukan untuk peniteran (ml) T = normalitas KOH m = bobot contoh (g) BM = bobot molekul asam lemak 5. Pengukuran ph (BSI, 1996) Nilai ph dari larutan surfaktan MES ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan ph-meter komersial. Alat phmeter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer ph 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki ph antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan MES yang telah disiapkan. Nilai ph dibaca pada phmeter setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO2. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi. 6. Turbidity Dengan Menggunakan Fotoelektrik Nephelometer Kekeruhan didalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi seperti lempung, lumpur, zat organik, plankton dan zat-zat halur lainnya. Kekeruhan merupakan sifat optis dari suatu larutan, yaitu hamburan dan absorpsi cahaya yang melaluinya. Fotoelektrik nephelometer yang merupakan instrumen pengujian distandarisasi menggunakan satu nilai dari standar turbidity yang tercakup oleh kisaran nilai sampel. Instrumen kemudian dipanaskan sesuai dengan prosedur pemakaian alat. Kemudian sel indeks yang akan dipakai dicuci dan dikeringkan dengan menggunakan standar turbidity. Sampel yang akan diuji diisikan ke dalam sel indeks sesuai dengan batas pengujian. Dengan menggunakan acuan kurva kalibrasi, lakukan penentuan pembacaan. Lakukan kalibrasi untuk mendapatkan nilai pengukuran yang akurat. Apabila hasil pengukuran menunjukkan nilai di bawah 40 NTU, maka larutan harus dikocok dan diukur ulang. Namun apabila hasil pengukuran menunjukkan nilai lebih dari 40 NTU, maka lakukan pengenceran dengan aquades hingga hasil

37 pengukuran menjadi di bawah 40 NTU. Setelah pengukuran selesai, lakukan pencucian dengan cermat. Turbidity diukur dengan metode turbiditimetri dengan menggunakan alat turbidimeter. Metode turbidimetri adalah perbandingan antara intensitas cahaya yang dihamburkan dari suatu sampel air dengan intensitas cahaya yang dihamburkan oleh sesuatu larutan standar pada kondisi yang sama. Sebelum instrumen tersebut dijalankan, jarum pada meteran harus menunjukkan tepat pada angka nol. Turbidimeter kemudian distandarisasi dengan beberapa standar kekeruhan. Sampel dikocok untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabung (cuvet) turbidimeter. 7. Total Suspended Solid (SBRC 2012) Pengujian TSS dilakukan dengan metode penyaringan, pengeringan, dan penimbangan. Pertama filter fiber glass dicuci hingga bersih dan dikeringkan. Membran filter tersebut dipasang di antara GFF kemudian dirangkai dengan menggunakan penjepit. Kemudian labu erlenmeyer 500 ml yang sudah dicuci disiapkan dan keringkan dengan menggunakan oven bersuhu o C selama 1 jam. Membran filter dan GFF yang telah dirangkai kemudian dipasang di atas labu erlenmeyer yang telah dihubungkan ke pompa vakum. Penyaringan dilakukan dengan memasukkan sampel sebanyak 10 ml per luas membrane (cm 2 ). Penyaringan terus dilakukan hingga diperoleh setidaknya 2,5 mg padatan pada filter. Dengan menggunakan pinset atau alat bantu lainnya, filter diangkat secara perlahan supaya tidak sobek dan dipindahkan ke dalam cawan penguap. Filter diuapkan dengan menggunakan oven yang bersuhu o C selama minimal 1 jam. Filter yang telah kering kemudian dimasukkan ke dalam desikator sebelum ditimbang. Prosedur yang sama dilakukan untuk blanko. Penghitungan TSS dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut. 25 TDS = (Mr + Mf) Mf Vs x 1000 dimana : Mr = Massa residu (mg) Mc = Massa filter awal (mg) Vs = Volume sampel (ml) 8. Total Dissolved Solid (SBRC 2012) Total Dissolved Solids (TDS) berupa partikel koloid dan partikel tersuspensi, didalam air terdiri dari garam garam anorganik dan sedikit bahan organik. Pada dasarnya ion ion pembentuk TDS adalah karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, natrium nitrat, kalium, dan magnesium. TDS berpengaruh terhadap kualitas air, seperti rasa, kesadahan, sifat sifat korosif dan tendensi terhadap pelapisan/pembentukan kerak. Padatan tersuspensi ini tidak secara keseluruhan dapat dihilangkan dengan pengolahan air secara konvensional. Penyiapan alat yang harus dilakukan sama dengan penyiapan alat pada pengujian TSS. Penyaringan dilakukan dengan memasukkan sebanyak 10 ml per luas membrane cm 2. Penyaringan terus dilakukan hingga diperoleh setidaknya 2,5 mg padatan pada filter. Larutan hasil penyaringan yang terdapat pada labu erlenmeyer dituangkan ke cawan penguap. Bilas labu erlenmeyer dengan

38 26 menggunakan aquades sebanyak 3 kali dan tuangkan air sisa bilasan ke dalam cawan penguap. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu o C untuk menguapkan air. Setelah air teruapkan, naikkan suhu oven hingga mencapai o C dan biarkan selama 1 jam. Sebelum dilakukan penimbangan, masukkan cawan ke dalam desikator selama beberapa waktu. Lakukan prosedur yang sama pada blanko (tanpa sampel). Perhitungan TDS dilakukan dengan menggunakan rumus: (Mr + Mc) Mc TDS = x 1000 Vs dimana : Mr = Massa residu (mg) Mc = Massa cawan penguap kosong (mg) Vs = Volume sampel (ml) 9. Conductivity (SMEWW 21 th (2005): 2510B) Nilai konduktivitas diukur dengan elektroda konduktometer dengan menggunakan larutan KCl sebagai larutan baku pada suhu 25 C. Sebelum dipakai, konduktometer dikalibrasi dengan larutan KCl 0,01 N hingga menunjukkan angka 1415 µs/cm. Elektroda konduktometer kemudian dibilas dengan menggunakan aquades. Sampel yang akan diukur dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Elektroda konduktometer dicelupkan ke dalam sampel. Pembacaan dilakukan setelah tombol cond. Ditekan. Hasil yang tertera pada display kemudian dicatat. 10. Hardness (SBRC 2012) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai kesadahan air yang disebabkan oleh keberadaan ion kalsium dan magnesium. Kedua ion inilah yang menyebabkan terjadinya pergerakan dan inefisiensi proses. Pada aplikasi EOR, keberadaan kedua ion tersebut akan menyebabkan penurunan kinerja bahan kimia yang diinjeksikan. Pengujian dilakukan dengan 2 tahapan utama, yaitu penyiapan bahan dan pengukuran kesadahan. Satu bagian NH4OH dilarutkan dalam 4 bagian aquades. Selain larutan amonium hidroksida tersebut, bahan lain yang perlu disiapkan adalah beberapa jenis larutan buffer. Sebanyak 40 gram sodium tetraborat (N2B4O7.10H2O) dilarutkan ke dalam 800 ml aquades. Kemudian sebanyak 10 gram NaOH, 10 gram Na2S.9H2O, dan 10 gram potassium sodium tartrat dilarutkan ke dalam 100 ml air. Kedua larutan kemudian dicampurkan dan ditambahkan 1 gram magnesium disodium EDTA yang mempunyai rasio mol 1:1. Campuran tersebut ditera dengan aquades hingga mencapai volume 1 liter. Untuk mendapatkan larutan kalsium standar, larutkan 0,2 gram CaCO3 ke dalam 3 hingga 5 ml HCl dan tera hingga mencapai volume 1 liter. Bubuk hidroksinaftol biru mesh digunakan untuk membuat larutan indikator kalsium. Sedangkan larutan indicator kesadahan dibuat dengan melarutkan 0,5 gram Chrome Black T 3 dalam 50 ml dietanolamina atau trietanolamina. Bubuk Chrome Black T3 juga ditambahkan dengan 100 gram bubuk NaCl dan dihaluskan. Untuk membuat larutan standar Disodium Ethylenediamine Tetraacetate (Na2H2 EDTA) larutkan 3,8 gram N2H2 EDTA dengan 800 ml air. Sesuaikan ph larutan menjadi 10,5 dengan menambahkan larutan NaOH (50 g/l). Tentukan konsentrasi larutan dengan menggunakan larutan kalsium standar. Sesuaikan konsentrasi EDTA sehingga 1 ml akan setara dengan 1 mg CaCO3. Simpan EDTA standar dalam wadah tertutup.

39 Sampel sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam wadah yang berwarna putih. Kemudian ph sampel diatur menjadi 7 hingga 10 dengan menambahkan larutan NH4OH atau HCl. Ke dalam wadah tersebut kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan buffer dan 0,2 g bubuk indikator kesadahan. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan standar Na2H2EDTA hingga terjadi perubahan warna dari merah ke biru. Titrasi terus dilakukan selama 5 menit setelah penambahan buffer. 11. Chloride (Cl) (SMEWW 21 th (2005): 4500-Cl.C) Kandungan Klorida pada sampel dapat dititrasi dengan merkuri nitrat (Hg(NO3)2), sehingga akan terbentuk senyawa merkuri klorida yang larut dan sedikit terdisosiasi dalam air. Pada ph 2,3-2,8 kelebihan merkuri nitrat menjelang titik akhir titrasi akan bereaksi dengan indikator diphenyl carbazon membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru. Pada metode merkurimetri, ion-ion bromida dan iodida akan tertitrasi oleh Hg (NO3)2 sama seperti ion khlorida, ionion kromat, feri dan sulfit akan mengganggu jika konsentrasinya lebih tinggi dari 10 mg/l. Sebanyak 50 ml sampel dimasukkan ke Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan beberapa tetes indikator diphenyl carbazone (larutan biru). Kemudian ke dalam larutan ditambahkan juga beberapa tetes HNO3 2,1% hingga larutan berwarna hijau dan dititrasi dengan Hg(NO3)2 0,01 N sampai larutan dari hijau menjadi biru. Kadar klorida dihitung dengan menggunakan: Kadar Cl = volume titran x N Hg(NO 3) 2 x BE Cl x 1000 volume sampel 12. Free Chlorine (SMEWW 21 th (2005): 4500-Cl.Chlorine.B) Pengukuran free chlorine dilakukan dengan alat Colorimetric dengan DPD No. 1 menggunakan komparator. Pengukuran tersebut mengikuti reaksi: Cl2 + H2O HOCl + H + + Cl HOCl OCl - + H + Ca (OCl) 2 + 2H2O 2HOCl + Ca (OH) 2 HOCl OCl - + H + Sampel air yang akan diukur dimasukkan ke dalam tabung kolorimeter klor sampai tanda tera, kemudian dibubuhi tablet DPD No. 1 dan dibiarkan melarut semua (sambil dikocok). Keberadaan free chlorine ditandai dengan warna merah pada larutan. Sampel yang telah direaksikan diperiksa dengan alat kolorimeter dengan cara menyamakan warna yang ada pada standar dengan warna sampel. 13. Iron (SMEWW 21 th (2005): 3111 B) Besi mungkin terdapat di dalam sampel air sebagai zat terlarut yang bersenyawa secara kompleks dengan zat organik, anorganik, ataupun dalam partikel suspensi yang relatif kasar atau mungkin dalam bentuk baik ferro maupun ferri, suspensi atau terlarut. Kandungan besi pada sampel air diukur dengan menggunakan spektrofotometri. 27

40 28 Sebanyak 50 ml sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 5 ml larutan hydroksilamine hydrocloride 10 %. Setelah itu ditambahkan pula 10 ml larutan buffer asetat dan 2 ml larutan 1,10 orthopenatroline. Sampel kemudian ditera dan diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. 14. Calcium (SMEWW 21 th (2005): 3111 B) Pada ph 10 ion magnesium akan mengendap sebagai hidroksidanya. Sehingga EDTA hanya akan bereaksi dengan kalsium. Pada awalnya indikator murexid bereaksi dengan ion kalsium sehingga larutan berwarna merah muda. Pada titik akhir titrasi dengan EDTA, indikator akan lepas kembali dan larutan menjadi berwarna ungu. Reaksi yang terjadi, Ca 2+ + H2Y 2- CaY H + CaIn - + H2Y 2- CaY 2- + Hin - + H + (merah muda) (ungu) Sebanyak 25 ml sampel ditambahkan dengan 25 ml aquades dan 1 ml larutan NaOH 8% di dalam labu erlenmeyer. Campuran ini kemudian didiamkan selama 3 hingga 5 menit sebelum ditambahkan 0,1 gram indikator murexid dan dititrasi dengan EDTA 0,01 N sampai larutan berwarna lembayung. Kadar Ca 2+ = volume titran x N titran x BM Ca2+ x 1000 volume sampel Lampiran 3. Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan berbasis SMES 1. Uji IFT (SBRC, 2012) Pengukuran tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer. Uji ini dilakukan dengan memasukkan sampel formula sebanyak 0,3 mikron ke dalam tube. Tube tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat yang kecepatan putarnya disetting 6000 rpm pada suhu 95 0C, lalu diukur lebar droplet yang terbentuk.nilai tegangan antarmuka dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut. Y = ¼ ω2 D3Δp, dengan syarat : (L/D 4) Keterangan : Y = nilai tegangan antarmuka (dyne/cm) ω = kecepatan angular (s-1) D = radius droplet pada axis (cm) Δp = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g.cm3) 2. Thermal stability (SBRC, 2012) Pada pengujian ini disiapkan sampel dan ampul dengan jumlah yang disesuaikan dengan lama pengujian. Jumlah ampul yang digunakan untuk tiap pengujian adalah 15 buah, yaitu 12 untuk pengukuran rutin dan 3 buah lagi untuk cadangan. Larutan formula dimasukkan ke dalam ampul masing-masing sebanyak

41 20 ml dan diberi tanda dengan spidol permanen. Masing-masing ampul dipasangkan pada manifold kemudian pompa vakum dinyalakan untuk menghilangkan udara (O2) dalam ampul. Kondisi vakum dipertahankan selama satu jam.setelah itu keran menuju pompa vakum ditutup dan kemudian gas N2 dialirkan selama satu jam. Setelah ampul jenuh oleh gas N2, bagian ujung ampul kemudian diseal dengan cara dipanaskan menggunakan flame torch sesuai dengan SOP penggunaannya. Ampul yang sudah tertutup dengan sempurna disimpan dalam rak kemudian dimasukkan kedalam oven dengan suhu sesuai dengan suhu reservoir. Pengukuran viskositas dilakukan dengam menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra sesuai dengan SOP penggunaannya dari hari ke 0, 1,2, dan Wettability (Adim, 1991) Pengujian dilakukan dengan mengukur sudut kontak (θ) yang terbentuk oleh permukaan padatan dengan garis singgung terhadap permukaan fluida pada titik kontak dengan padatannya.sampel batuan karbonat yang akan diuji sudut kontaknya dengan minyak awalnya dilakukan proses pencucian dengan toluene. Pengujian dilakukan dengan dua perlakuan.tiap perlakuan dilakukan tiga tahap perendaman.tahap perendaman dari tiap perlakuan adalah sebagai berikut. Perlakuan pertama : 1) Batuan yang telah dicuci direndam dalam air formasi kemudian diuji sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan. 2) Batuan yang sama (batuan tahap 1) direndam dalam minyak lapangan OK, kemudian dicuci dengan air formasi dan direndam dengan larutan formula dan diuji kembali sudut kontaknya dengan meneteskan minyak pada batuan. 3) Batuan pada tahap 2 direndam kembali dengan menggunakan air formasi dan kemudian diuji dengan ditetesi minyak. 4. Uji Kelakuan Fasa Alat yang digunakan untuk analisa kelakuan fasa adalah vial, oven 121 C, dan kamera. Tahap pertama adalah air formasi Lapangan OK dimasukkan ke dalam vial sebanyak 8 ml lalu diberi tanda batas miniskus bawah. Kemudian masukkan larutan surfaktan sebanyak 10,14 gram dan kemudian panaskan selama satu jam dalam oven. Setelah dipanaskan, larutan surfaktan diaduk menggunakan tangan selama lima menit setiap vial. Pada saat pengadukan, hindari terjadinya gelembung atau terbentuknya busa. Kemudian simpan kembali larutan ke dalam oven, dan amati terjadinya emulsi setiap 10 menit, 1 jam, 2 jam, 4 jam, dan 12 jam. Amati perubahan warna yang terjadi pada air formasi dan pembentukan emulsi di antara larutan surfaktan dan air formasi. Setelah didiamkan selama 12 jam dalam oven, ukur tegangan antarmuka larutan surfaktan tersebut. Pengukuran tegangan antarmuka dilakukan dengan memanfaatkan air formasi tersebut sebagai outer phase dan larutan surfaktan sebagai inner phase. 29

42 30 Lampiran 4. Data formulasi larutan surfaktan SMES 1. Hasil analisis larutan surfaktan SMES (konsentrasi SMES optimal) dalam media pembawa metil ester Nama Sampel Densitas Tegangan antarmuka (gr/cm 3 ) (dyne/cm) SMES 0% + ME 0, ,32E+00 ± 1,63E+00 SMES 1% + ME 0, ,02E-01 ± 3,46E-03 SMES 2% + ME 0, ,96E-01 ± 2,61E-03 SMES 3% + ME 0, ,33E-01 ± 5,16E-03 SMES 4% + ME 0, ,18E-01 ± 3,87E-03 SMES 5% + ME 0, ,97E-01 ± 8,55E-03 SMES 6% + ME 0, ,14E-01 ± 1,13E Hasil analisis larutan surfaktan SMES (konsentrasi SMES optimal) dalam media pembawa solar Nama Sampel Densitas Tegangan antarmuka (gr/cm 3 ) (dyne/cm) SMES 1% + Solar 0, ,30E-01 ± 2,67E-02 SMES 2% + Solar 0, ,97E-01 ± 5,37E-03 SMES 3% + Solar 0, ,37E-01 ± 7,09E-03 SMES 4% + Solar 0, ,64E-01 ± 2,74E-02 SMES 5% + Solar 0, ,38E-01 ± 1,93E-02 SMES 6% + Solar 0, ,50E-01 ± 2,63E Hasil analisis penentuan konsentrasi pelarut aromatik optimal pada formula surfaktan dalam media pembawa metil ester a. Xylene Nama Sampel Densitas Tegangan (gr/cm 3 ) antarmuka (dyne/cm) SMES 3% + Xylene 5% + Metil Ester 0, ,44E-01 ± 8,61E-03 SMES 3% + Xylene 10% + Metil Ester 0, ,39E-01 ± 1,82E-02 SMES 3% + Xylene 15% + Metil Ester 0, ,38E-01 ± 3,81E-03

43 31 b. Toluene Nama Sampel Densitas Tegangan antarmuka (gr/cm 3 ) (dyne/cm) SMES 3% + Toluen 5% + Metil Ester 0, ,02E-01 ± 2,34E-02 SMES 3% + Toluen 10% + Metil Ester 0, ,03E-01 ± 2,82E-02 SMES 3% + Toluen 15% + Metil Ester 0, ,80E-02 ± 2,13E-02 c. Campuran Xylene dan Toluene (50:50) Nama Sampel SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 5% + Metil Ester SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 10% + Metil Ester SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 15% + Metil Ester Densitas (gr/cm 3 ) Tegangan antarmuka (dyne/cm) 0, ,33E-01 ± 1,65E-02 0, ,95E-02 ± 2,75E-03 0, ,22E-01 ± 5,90E-03 d. Hasil analisis penentuan konsentrasi pelarut aromatik optimal pada formula surfaktan dalam media pembawa solar a. Xylene Nama Sampel Densitas Tegangan (gr/cm 3 ) antarmuka (dyne/cm) SMES 3% + Xylene 5% + Solar 0, ,40E-01 ± 1,16E-02 SMES 3% + Xylene 10% + Solar 0, ,04E-01 ± 1,54E-03 SMES 3% + Xylene 15% + Solar 0, ,41E-01 ± 3,21E-03 b. Toluene Nama Sampel Densitas Tegangan (gr/cm 3 ) antarmuka (dyne/cm) SMES 3% + Toluen 5% + Solar 0, ,25E-01 ± 1,91E-03 SMES 3% + Toluen 10% + Solar 0, ,27E-01 ± 1,43E-02 SMES 3% + Toluen 15% + Solar 0, ,24E-01 ± 1,18E-03

44 32 c. Campuran Xylene dan Toluene (50:50) Densitas Nama Sampel (gr/cm 3 ) SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 5% + Solar 0, SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 10% + Solar 0, SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 15% + Solar 0, Tegangan antarmuka (dyne/cm) 1,77E-01 ± 5,61E-02 1,66E-01 ± 1,09E-03 1,48E-01 ± 6,34E-03 Lampiran 5. Hasil Analisis Kinerja Formula Surfaktan SMES 1. Thermal stability a. Hasil analisis thermal stability larutan surfaktan SMES pada media pembawa metil ester dengan penambahan pelarut aromatik Nama Sampel Waktu Termal Densitas (gr/cm 3 ) Tegangan (dyne/cm) antarmuka SMES 3% + Xylene 15% + Metil Ester Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8346 0,8351 0,8375 0,8374 2,23E-01 ± 9,14E-02 1,48E-01 ± 2,65E-02 7,49E-02 ± 3,51E-04 2,32E-02 ± 1,46E-03 SMES 3% + Toluen 15% + Metil Ester Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8351 0,8170 0,8356 0,8354 2,02E-01 ± 7,15E-03 1,86E-01 ± 1,43E-01 6,31E-02 ± 3,74E-02 5,95E-02 ± 3,51E-03 SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 10% + Metil Ester Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8372 0,8373 0,8372 0,8376 1,36E-01 ± 3,88E-02 1,40E-01 ± 2,04E-02 4,25E-02 ± 6,53E-03 4,08E-02 ± 2,80E-03

45 b. Hasil analisis thermal stability larutan surfaktan SMES pada media pembawa solar dengan penambahan pelarut aromatik 33 Nama Sampel Waktu Termal Densitas (gr/cm 3 ) Tegangan (dyne/cm) antarmuka SMES 3% + Xylene 10% + Solar Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8164 0,8140 0,8175 0,8170 3,59E-01 ± 4,48E-02 2,48E-01 ± 7,43E-02 7,65E-02 ± 3,96E-02 1,45E-01 ± 3,74E-02 SMES 3% + Toluen 15% + Solar Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8118 0,8040 0,8163 0,8142 2,49E-01 ± 3,18E-02 2,22E-01 ± 8,30E-03 1,05E-01 ± 2,98E-04 9,85E-02 ± 8,29E-02 SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 15% + Solar Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0,8155 0,8145 0,8183 0,8173 3,60E-01 ± 2,51E-02 2,07E-01 ± 3,96E-02 5,69E-02 ± 1,41E-02 1,51E-01 ± 2,38E Wettability Wettability merupakan kecendrungan basah suatu batuan. Apabila batuan bersifat oil wet, maka sudut kontak yang dibentuk antara batuan dan minyak adalah <90, namun apabila batuan memiliki sifat water wet maka sudut kontak yang dibentuk adalah >90. Tahap 1 = Batuan yang sudah dicuci direndam dalam air formasi selama 6 jam Tahap 2 = Batuan yang sama (batuan tahap pertama) direndam dalam larutan surfaktan selama 6 jam Tahap 3 = Batuan yang sama (batuan tahap kedua)direndam kembali dalam air formasi selama 6 jam a. SMES 3% + Xylene 10% + Solar Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 32,3 35,3 67,5

46 34 b. SMES 3% + Toluen 15% + Solar Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 47,3 57,8 62,6 c. SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 15% + Solar Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 35,6 39,2 72,2 d. SMES 3% + Xylene 15% + Metil Ester Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 37,0 39,9 84,6

47 35 e. SMES 3% + Toluen 15% + Metil Ester Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 48,6 50,3 55,9 f. SMES 3% + Xylene dan Toluene (50:50) 10% + Metil Ester Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 21,1 22,9 75,1 g. Xylene 10% + Solar Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 43,5 46,2 52,2

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) UNTUK ACID STIMULATION AGENT PADA LAPANGAN SANDSTONE (STUDI KASUS: LAPANGAN B)

FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) UNTUK ACID STIMULATION AGENT PADA LAPANGAN SANDSTONE (STUDI KASUS: LAPANGAN B) FORMULASI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) UNTUK ACID STIMULATION AGENT PADA LAPANGAN SANDSTONE (STUDI KASUS: LAPANGAN B) DZIQI HANIFULLOH KURNIAWAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT Methyl Ester Sulfonic Sri Hidayati 1, Pudji Permadi 2, Hestuti Eni 3 1 2 3

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KECENDERUNGAN PEMBENTUKAN SCALE PADA FORMULA SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY

ANALISIS TINGKAT KECENDERUNGAN PEMBENTUKAN SCALE PADA FORMULA SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY ANALISIS TINGKAT KECENDERUNGAN PEMBENTUKAN SCALE PADA FORMULA SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY SITI KENDALIA NINGRUM DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001 KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING Sugihardjo 1, Edward Tobing 1,

Lebih terperinci

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP)

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) i APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) RIZKY RAMADINI FEBRINDA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian peralatan proses pembuatan faktis yang terdiri dari kompor listrik,panci, termometer, gelas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

Blanching. Pembuangan sisa kulit ari

Blanching. Pembuangan sisa kulit ari BAB V METODOLOGI 5.1 Pengujian Kinerja Alat Press Hidrolik 5.1.1 Prosedur Pembuatan Minyak Kedelai Proses pendahuluan Blanching Pengeringan Pembuangan sisa kulit ari pengepresan 5.1.2 Alat yang Digunakan

Lebih terperinci

KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl)

KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) E. Hambali, A.Suryani, A. Pratomo, P. Permadi, KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) Erliza Hambali

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 3: Oksida-oksida sulfur (SO X ) Seksi 2: Cara uji dengan metoda netralisasi titrimetri

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 3: Oksida-oksida sulfur (SO X ) Seksi 2: Cara uji dengan metoda netralisasi titrimetri Standar Nasional Indonesia Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 3: Oksida-oksida sulfur (SO X ) Seksi 2: Cara uji dengan metoda netralisasi titrimetri ICS 13.040.40 Badan Standardisasi Nasional

Lebih terperinci

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 8: Cara uji kadar hidrogen klorida (HCl) dengan metoda merkuri tiosianat menggunakan spektrofotometer

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 8: Cara uji kadar hidrogen klorida (HCl) dengan metoda merkuri tiosianat menggunakan spektrofotometer Standar Nasional Indonesia Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 8: Cara uji kadar hidrogen klorida (HCl) dengan metoda merkuri tiosianat menggunakan spektrofotometer ICS 13.040.40 Badan Standardisasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Peningkatan nilai tambah produk turunan minyak jarak pagar mutlak diperlukan agar industri biodiesel jarak pagar dapat berkembang dengan baik. Saat ini, perkembangan

Lebih terperinci

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Departemen Farmasi FMIPA UI, dalam kurun waktu Februari 2008 hingga Mei 2008. A. ALAT 1. Kromatografi

Lebih terperinci

BAB V METODOLOGI. 5.1 Alat yang digunakan: Tabel 3. Alat yang digunakan pada penelitian

BAB V METODOLOGI. 5.1 Alat yang digunakan: Tabel 3. Alat yang digunakan pada penelitian 14 BAB V METODOLOGI 5.1 Alat yang digunakan: Tabel 3. Alat yang digunakan pada penelitian No. Nama Alat Jumlah 1. Oven 1 2. Hydraulic Press 1 3. Kain saring 4 4. Wadah kacang kenari ketika di oven 1 5.

Lebih terperinci

PENYISIHAN KESADAHAN dengan METODE PENUKAR ION

PENYISIHAN KESADAHAN dengan METODE PENUKAR ION PENYISIHAN KESADAHAN dengan METODE PENUKAR ION 1. Latar Belakang Kesadahan didefinisikan sebagai kemampuan air dalam mengkonsumsi sejumlah sabun secara berlebihan serta mengakibatkan pengerakan pada pemanas

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Kerja Penelitian Pelaksanaan penelitian di PDAM Kota Surakarta dilaksanakan mulai tanggal 17 Februari 2010 sampai dengan tanggal 27 Februari 2010 3.2. Metode

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT 1. Waktu Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 2. Tempat Laboratorium Patologi, Entomologi, & Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK PADA INJEKSI SURFAKTAN DENGAN KADAR SALINITAS AIR FORMASI YANG BERVARIASI Tommy Viriya dan Lestari

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilakukan di divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, yang beralamat di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N.

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N. Lampiran 1 Prosedur uji asam basa dan Net Acid Generation (Badan Standardisasi Nasional, 2001) A. Prinsip kerja : Analisis perhitungan asam-basa meliputi penentuan potensi kemasaman maksimum (MPA) yakni

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE 1* Sukmawati, 2 Tri Hadi Jatmiko 12 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri

Lebih terperinci

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 6: Cara uji kadar amoniak (NH 3 ) dengan metode indofenol menggunakan spektrofotometer

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 6: Cara uji kadar amoniak (NH 3 ) dengan metode indofenol menggunakan spektrofotometer Standar Nasional Indonesia Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 6: Cara uji kadar amoniak (NH 3 ) dengan metode indofenol menggunakan spektrofotometer ICS 13.040.40 Badan Standardisasi Nasional

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 8-15 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (UTILIZATION

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 24 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2011 di Laboratorium Biomassa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analisa dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) CPO yang berasal dari empat perusahaan di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang 32 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian Penelitian tugas akhir ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik Material dan Laboratorium Kimia Analitik Program Studi Kimia ITB, serta di Laboratorium Polimer Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Pupuk amonium klorida

Pupuk amonium klorida Standar Nasional Indonesia Pupuk amonium klorida ICS 65.080 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Red Palm Olein (RPO) dan Mi Instan. RPO merupakan CPO yang telah mengalami proses netralisasi secara kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian kefir dari susu sapi dengan kualitas terbaik

Lebih terperinci

RELATIVE PLUGGING INDEX LARUTAN SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT MENGGUNAKAN MEDIA PEMBAWA AIR INJEKSI LAPANGAN MINYAK T MISSHELLY FRESTICA

RELATIVE PLUGGING INDEX LARUTAN SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT MENGGUNAKAN MEDIA PEMBAWA AIR INJEKSI LAPANGAN MINYAK T MISSHELLY FRESTICA RELATIVE PLUGGING INDEX LARUTAN SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT MENGGUNAKAN MEDIA PEMBAWA AIR INJEKSI LAPANGAN MINYAK T MISSHELLY FRESTICA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Rion Viscotester Model VT-04F). Sebelum

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB V METODOLOGI. Pada tahap ini, dilakukan pengupasan kulit biji dibersihkan, penghancuran biji karet kemudian

BAB V METODOLOGI. Pada tahap ini, dilakukan pengupasan kulit biji dibersihkan, penghancuran biji karet kemudian BAB V METODOLOGI Penelitian ini akan dilakukan 2 tahap, yaitu : Tahap I : Tahap perlakuan awal (pretreatment step) Pada tahap ini, dilakukan pengupasan kulit biji dibersihkan, penghancuran biji karet kemudian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Disusun oleh : Dyah Ayu Resti N. Ali Zibbeni 2305 100 023

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit

Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit LAMPIRAN 118 119 Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit 1. Komposisi Asam Lemak (AOAC, 1995) Dua g minyak ditambahkan ke dalam labu didih, kemudian ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol,dipanaskan

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

LAMPIRAN. o C dan dinginkan lalu ditimbang. Labu lemak yang akan digunakan

LAMPIRAN. o C dan dinginkan lalu ditimbang. Labu lemak yang akan digunakan LAMPIRAN 63 LAMPIRAN Lampiran 1 Prosedur analisis proksimat biji karet dan biji jarak pagar 1. Kadar air ( AOAC 1999) Metode pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Prinsip pengukuran kadar air ini

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

Penentuan Kesadahan Dalam Air

Penentuan Kesadahan Dalam Air Penentuan Kesadahan Dalam Air I. Tujuan 1. Dapat menentukan secara kualitatif dan kuantitatif kation (Ca²+,Mg²+) 2. Dapat membuat larutan an melakukan pengenceran II. Latar Belakang Teori Semua makhluk

Lebih terperinci

BAB V METODOLOGI. Gambar 6. Pembuatan Minyak wijen

BAB V METODOLOGI. Gambar 6. Pembuatan Minyak wijen 18 BAB V METODOLOGI 5.1 Pengujian Kinerja Alat Press Hidrolik 5.1.1 Prosedur Pembuatan Minyak Wijen Biji Wijen Pembersihan Biji Wijen Pengovenan Pengepresan Pemisahan Minyak biji wijen Bungkil biji wijen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, pada

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 CARA KERJA PENGUJIAN FISIKOKIMIA

LAMPIRAN 1 CARA KERJA PENGUJIAN FISIKOKIMIA LAMPIRAN 1 CARA KERJA PENGUJIAN FISIKOKIMIA 1.1. Cara Kerja Pengujian Total Padatan Terlarut 1. Ujung depan refraktometer diarahkan ke sumber cahaya. Fokus pembacaan skala diatur sehingga diperoleh pembacaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional dan Kongres X Jakarta, 12 14 November 2008 Makalah Profesional IATMI 08-027 STUDI LABORATORIUM UNTUK REAKTIVASI LAPANGAN-X DENGAN INJEKSI KIMIA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci