CATATAN AKHIR TAHUN 2011 SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT
|
|
- Djaja Tanudjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PETANI DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT CATATAN AKHIR TAHUN 2011 Akhir tahun 2011 masyarakat Indonesia di resahkan dengan situasi yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir. Di sana terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit PT. SWA (Sumber Wangi Alam) hingga menimbulkan korban dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tentunya kasus yang terjadi di Sungai Sodong merupakan salah satu potret kecil dari konflik di dalam perkebunan kelapa sawit selama ini. Karena itu penting bagi kami untuk membuat catatan akhir tahun ini terkait dengan kondisi petani kelapa sawit di Indonesia sehingga Negara mampu memecahkan persoalan yang di hadapi oleh petani kelapa sawit yang selalu di rundung dengan sekumpulan persoalan. Terdapat beberapa alasan penting kami menuntut Negara untuk merespon cepat persoalan petani kelapa sawit di Indonesia ; 1. Tahun 2011, perkebunan sawit Indonesia terus meluas. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia 11, 5 juta ha. Seluas 36 % dari total luasan tersebut di kelola oleh petani kelapa sawit dengan pola kemitraan dan kebun petani swadaya. Secara tidak langsung, petani kelapa sawit telah menyumbang penerimaan Negara sebesar 9, 11 Miliar US Dolar dari produksi CPO nasional tahun 2010 yang di peroleh dari total produksi CPO sebesar 21, 3 juta ton. 2. Skema kemitraan perkebunan kelapa sawit dengan berbagai jenis pola kemitraannya di wujudkan dalam bentuk regulasi Negara. Seperti misalnya Ijin yang di keluarkan oleh pemerintah untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang kemudian berwujud pada hadirnya kebun plasma yang di bina oleh perkebunan inti atau perkebunan besar. 3. Terdapat alasan pemerintah untuk membuka perkebunan sawit sebagai bagian dari pengembangan wilayah tertutup dan mensejahterakan masyarakat yang terintegrasi dalam perkebunan. 4. Suka atau tidak suka, kami menyebutkan banyak petani kelapa sawit (plasma) yang di paksa oleh perusahaan untuk masuk dalam kemitraan karena desakan dan tekanan ekonomi. Banyak petani yang pasrah karena tanpa tanah lagi dan salah satu jalan adalah berintegrasi dengan perkebunan besar melalui kemitraan inti plasma. Dengan beberapa alasan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa terlepas dengan derita yang di alami petani sawit (baca: Fase konflik) ataupun masyarakat yang akan bermitra dengan perkebunan besar dalam bentuk plasma wajib secara hukum di lindungi usahanya oleh Negara karena segala bentuk perwujutannya di produksi oleh Negara. Sehingga tidak ada alasan seluruh bentuk konflik yang di hadapi oleh petani maupun masalah-masalah kehidupannya harus di respon oleh Negara. Terdapat beberapa fase konflik untuk melihat konflik dalam perkebunan yang melibatkan petani sawit dan perusahaan perkebunan. Fase Konflik di Petani kelapa sawit dengan Perusahaan besar dan Prakteknya
2 1. Fase Normatif : Fase normatif identik dengan legalitas usaha yang di peroleh sebuah perusahaan perkebunan. Dalam fase ini, perusahaan akan memperoleh Ijin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha. Dalam konteks normative, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit akan dapat mengembangkan lahan usaha perkebunan apabila perusahaan telah memegang Hak Guna Usaha. Dalam konteks ini, pemerintah melegalkan perolehan lahan oleh satu perusahaan hingga ha sebagaimana yang tercantum dalam kebijakan Perizinan Usaha Perkebunan no 26 tahun Konflik dalam fase normative seringkali ijin yang diperoleh Perusahaan perkebunan tumpang tindih dengan kawasan-kawasan kelola milik masyarakat local. Pemerintah daerah cendrung mengeluarkan ijin tanpa melihat terlebih dahulu pada obyek yang di ijinkan. Di beberapa tempat, wilayah-wilayah pemekaran kabupaten baru baik di Sumatra maupun Kalimantan sebagai proyek utama para bupati untuk mengembangkan wilayah nya dengan perkebunan besar. Namun ketika konflik muncul, pemerintah daerah hanya mampu memfasilitasi proses penyelesaian konflik yang bahkan tidak pernah tuntas dan enggan mencabut ijin yang di telah keluarkan. Dalam konteks ini kami melihat bahwa pemerintah masih belum memayungi masyarakat local sebagai pengelola dan penguasa wilayah. Regulasi Negara yang masih belum mengakui wilayah kelola adat juga berkontribusi pada terwujudnya konflik dan liberalisasi Ijin perkebunan. Selain itu pula tatakelola pemerintah yang korup dan tidak bertanggungjawab berdampak pada makin parahnya konflik yang terjadi di masyarakat sehingga pemerintah tidak lagi menghargai asas social, budaya dan lingkungan. Melihat konflik fase normative sangat mudah kita temui dalam perkebunan sawit di mana terdapat masyarakat yang menolak secara utuh perkebunan sawit atau tidak menerima apapun skema ekonomi yang di tawarkan perusahaan. Masyarakat lebih memiliki corak ekonominya sendiri bukan oleh industry perkebunan. Di sisi yang lain, perusahaan akan melakukan penggusuran tanah milik masyarakat atau wilayah adat yang di kelola masyarakat. 2. Fase Pembangunan Perkebunan Dalam fase ini bisanya di tandai dengan penyerahan lahan oleh masyarakat yang bersepakat untuk bermitra dalam bentuk inti dan plasma. Kesepakatan ini akan di buat dalam bentuk MOU (memorandum of understanding) dan sosialisasi pola kemitraan yang akan di lakukan oleh perusahaan perkebunan kepada calon-calon petani. Dalam proses sosialisasi akan menjelaskan tentang biaya pembangunan kebun plasma, pola apa yang akan diterapkan dan bagaimana model pengelolaan kebun. Dalam praktenya, perusahaan perkebunan tidak melakukan sosialisasi dalam konteks mengakomodasi aspirasi petani namun cendrung memaksakan pola perkebunan yang menguntungkan perusahaan. Selain itu pula, hal-hal yang substantif tidak di informasikan secara terbuka kepada petani. Misalnya biaya pembangunan perkebunan atau besaran kredit petani untuk pembangunan kebun plasma, jadwal di bangunnya kebun plasma dan kapan akan diberikan kebun kepada petani. Hal yang lain juga yang kami temui antara
3 lain, perusahaan perkebunan membuat MOU secara sepihak seperti misalnya kasus yang di alami oleh masyarakat di kuantan singing Provinsi Riau yang bermitra dengan PT. Tribakti Sarimas di kecamatan Kunatan Mudik. Kasus yang termasuk dalam fase ini juga terkait dengan berapa luasan kebun plasma yang akan di bangun dan apa sanksi bagi perusahaan jika tidak memenuhi kewajibannya. Selain itu, fase pembangunan perkebunan pula seringkali berada di luar luasan ijin yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, kawasan yang dibangun perusahaan sawit melebih kawasan yang di ijinkan oleh pemerintah. Hal ini kami temui pada PT. Inti Indosawit Subur di Kabupaten Tanjung Jabung Barat jambi yang melebihi ijin pemerintah seluas 1032 ha dan begitupun halnya PT. Kaswari Unggul di kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi yang berkonflik dengan masyarakat desa Pandan Lagan seluas 400 ha yang merupakan wilayah transmigrasi. 3. Fase Konversi kebun plasma Kasus di Sungai Sodong di Mesudji merupakan potret dari fase konversi. Di mana masyarakat di janjikan untuk memperoleh kebun plasma namun tidak di lakukan konversi oleh PT. SWA. Dalam proses konversi kebun plasma yang di lakukan perusahaan inti kepada petani terdapat beberapa hal yang perlu yang seringkali memicu konflik; Perusahaan melakukan konversi kepada petani pada saat tanaman berusia empat tahun (tanaman menghasilkan). Luasan kebun plasma secara umum sesuai dengan peraturan pemerintah seluas 2 ha/kk dan kemudian peraturan revitalisasi perkebunan mengatur 4 ha/kk. Perusahaan perkebunan sawit yang membangun plasma wajib membangun kebun plasma sesuai dengan standar fisik perkebunan atau satuan biaya perkebunan. Misalnya, infrastruktur jalan kebun yang baik, jumlah pohon sawit dalam satu hektar sebanyak 128 pohon sawit, sawit tidak kedil dan kondisi kebun harus bersih. Beberapa hal tersebut di atas dalam prakteknya perusahaan inti seringkali melakukan tindakan pelanggaran hak-hak petani. Beberapa kasus yang SPKS temui misalnya: 1. Perusahaan kebun melakukan konversi kebun plasma melebihi usia tanaman. Seperti misalnya pada usia tanaman enam tahun hingga belasan tahun. Hamper seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak melakukan konversi kebun plasma tepat waktu. Acapkali, perusahaan inti mengambil hasil produksi kebun plama selama beberapa tahun dan jika telah menguntungkan baru akan di lakukan proses konversi. Selain itu, perusahaan akan mencari modal dari keterlambatan proses konversi ini untuk memperluas kebunnya. Jika kita melihat kasus PT. SWA terkait dengan tidak dilakukan proses konversi tepat waktu (belasan tahun) sementara masyarakat tanahnya telah diambil untuk perkebunan. SPKS menduga, hasil kebun plasma (plasma pasif yang di namakan di PT. SWA) telah di ambil hasilnya oleh perusahaan selama belasan tahun dan masyarakat tidak menikmati samasekali.
4 2. Kebun plasma yang rata-rata keseluruhannya seluas 2 ha terkadang juga jarang dipenuhi oleh perusahaan inti. Terdapat beberapa kasus yang kami temui misalnya kasus yang di alami oleh petani kelapa sawit yang bermitra dengan PT. Mas II group Simedarby (perusahaan Malaysia) yang beroperasi di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang hamper 60 % petani kelapa sawitnya mendapatkan kebun di bawah 2 ha. Begitupun halnya, petani kelapa sawit yang bermitra dengan PT. tribakti sarimas di Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Masyarakat telah menyerahkan lahan seluas ha namun perusahaan hanya mampu membangun kebun sawit milik petani seluas ha yang bisa di panen. Akibatnya di perusahaan ini, pada tahun 2010 terjadi penembakan oleh aparat kepolisian hingga menewaskan Ibu Yusniar (petani sawit) dalam aksi pendudukan kebun bulan Juni Dalam konteks konversi kebun plasma yang acapkali terjadi adalah penggelapan kredit milik petani yang di lakukan perusahaan perkebunan. Hingga saat ini, kami sangat sulit mengakses bukti-bukti penggelapan kredit milik petani yang di lakukan perusahaan perkebunan akibat system penyaluran kredit dari BANK sangat ekslusif di lakukan dengan perusahaan. Namun bukti fisik bisa di jadikan bukti atas penggelapan kredit milik petani. Yang bisa di lihat di sini antara lain, Jumlah pohon sawit dalam satu haktar tidak sesuai dengan standar perkebunan yang baik (128 pohon sawit/ha) dan infrastruktur jalan dan kondisi kebun yang bersih dan jauh dari Gulma. Contoh kasus dalam proses ini kami temui banyak ganjalan dan kerugian di tingkat petani sawit. Contoh kasus ini ada di PT. tribakti sarimas, di mana petani menanggung biaya kredit kebun seluas 9600 ha sementara kebun yang dapat di panen hanya seluas 7600 ha. Begitu juga kasus-kasus lain, di mana perusahaan melakukan konversi kebun namun dalam kebun tersebut hanya terdapat semak belukar. Hal ini kami temui tahun 2008 di PTPN 13 di desa Pias Kecamatan Longkali Kabupaten Paser, dan terjadi di PT. Agrowiyana yang beroperasi di kecamatan Tebing Tanjung Jabung Barat jambi, di mana terdapat 120 ha kebun plasma milik petani ada dalam kawasan gambut yang menyulitkan bagi petani untuk melakukan pemanenan. 4. Fase Produksi Dalam fase ini terkait dengan beberapa hal yang menyangkut masalah produksi kebun milik petani dan factor-faktor yang mempengaruhi seperti misalnya Sortasi buah dengan model pemotongan hasil produksi buah yang di lakukan oleh pihak pabrik kelapa sawit. Hal ini sangat merugikan petani kelapa sawit dan sebaliknya menguntungkan perusahaan. Besaran sortasi yang sering di gunakan sebesar 4 %. Jika dengan asumsi sortasi 4 % dan hasil produksi petani sebesar 4 ton Tandan buah sawit makan akan besarnya sortasi adalah 160 kg. Tahun 2006, pemerintah mencanangkan pola baru dengan Satu Manajemen yang tercantum dalam program revitalisasi perkebunan. Di mana kebun petani akan di kelola oleh perusahaan dan petani akan menerima hasil. Kecendrungan konflik dalam konteks ini terkait dengan tidak adanya transparansi biaya pengelolaan dan
5 hasil produksi kebun petani dan juga biaya perawatan tinggi namun hasil produksi sangat rendah. Kapasitas Pabrik yang tidak cukup menampung buah petani. Sering terjadi antrian di pabrik, dan mengakibatkan buah sawit tidak dapat di angkut dan busuk di tempat. Indek K yang tercantum dalam sistem penetapan harga TBS yang melegalkan perampokan hasil produksi milik petani sawit. Indek K tersebut adalah biaya pengelolaan pabrik dan pengangkutan CPO yang di bebankan kepada petani seperti misalnya pengelolaan limbah pabrik, penerangan pabrik, rehabilitasi pabrik, gaji staff pabrik). Perampokan melalui indek K ini besarannya sekitar Rp. 350/ kg. Sayangnya, pemerintah melegalkan perampokan hasil produksi petani ini melalui kebijakan penetapan harga permentan No 17 tahun Dari ke-empat fase tersebut di atas seluruhnya telah menimbulkan konflik yang besar dalam perkebunan. Perusahaan sawit berkonflik dengan masyarakat adat (fase pertama) dan petani kelapa sawit (fase ke 2-3 dan 4). Bulan Desember 2011 ini saja kita dapat melihat penangkapan petani sawit sebanyak 21 orang di PT. Borneo Ketapang Permai di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan PT. Sintang Raya di kabupaten kubu raya di Kalimantan barat yang mengkriminalisasi petani sebanyak 12 orang. Pada tahun 2010, SPKS mencatat terdapat 112 petani kelapa sawit di kriminalisasi yang tersebar di 7 provinsi dan di lakukan oleh 13 perusahaan besar. Grafik Konflik yang di golongkan dalam 4 Fase di 28 perusahaan sawit tahun 2011 Jumlah Perusahaan besar Fase I Fase II Fase III Fase IV Fase Konflik antara petani dan perusahaan perkebunan
6 Tentunya konflik di dalam perkebunan kelapa sawit akan terus terjadi selagi masih terwujudnya ketimpangan struktur perkebunan kelapa sawit yang masih menjadikan petani kelapa sawit sebagai obyek perusahaan perkebunan besar. Kebijakan Kontra Petani Sawit Kami juga memandang konflik yang hadir dalam perkebunan sawit selama ini di akibatkan sekumpulan kebijakan yang mengatur tentang perkebunan sawit mayoritas berpihak pada perusahaan besar. Perlu kita ketahui bahwa usia perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah satu abad dan sepanjang waktu tersebut di kuasai oleh perusahaan besar. Baru terjadi pada tahun 1980 an, petani menjadi bagian dari perkebunan sawit tersebut dengan system kemitraan yang ada hingga saat ini. Tentunya perusahaan besar telah mewarisi dan menciptakan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat selama satu abad dan sudah seharusnya diwujudkan tatakelola perkebunan yang memandirikan petani. Kami sangat yakin dengan memandirikan petani sawit adalah salah satu upaya untuk mencegah berbagai persoalan di dalam perkebunan. Namun saat ini, belum ada tanda-tanda menuju terwujudnya hal tersebut di akibatkan oleh makin terus menerusnya Negara memunculkan kebijakan yang kontra dengan misi petani sawit. Beberapa kebijakan tersebut yang tidak berpihak pada petani sawit antara lain; 1. Permentan No 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mencantumkan pengelolaan kebun sawit milik petani hanya 20 % dan penguasaan perusahaan 80 % (fase konflik 2). 2. Permentan No 17 tahun 2010 tentang sistem penetapan harga sawit yang mengatur soal sortasi buah dan indek k (fase konflik 4). 3. Kebijakan tentang HGU (Hak Guna Usaha) yang memberikan waktu panjang bagi perusahaan perkebunan untuk mengelola perkebunan hingga 4 siklus tanaman.
7 4. Permentan No 33 tahun 2006 tentang revitalisasi perkebunan yang mengatur tentang pola manajemen satu atap sebagai manifestasi dari kebijakan yang tidak memberdayakan petani kelapa sawit. 5. UU Perkebunan No 18 tahun Permentan tentang pengalihan kebun plasma dari kebun inti Kami melihat potensial konflik pada tahun 2012 akan semakin menanjak. Hal ini di picu oleh target pemerintah untuk pengembangan perkebunan hingga tahun 2015 seluas 15 juta ha seiring dengan permintaan pasar dunia. Hal ini dipermulus dengan kebijakan revitalisasi perkebunan dengan memperluas perkebunan kelapa sawit dan dalam kebijakan tersebut menerapkan pola satu manajemen. Kami menilai, pola satu manajemen yang diterapkan dalam skema kemitraan saat ini sangat berpotensial menimbulkan banyak konflik. kami memiliki catatan misalnya di PT. KGP (Kebun Ganda Prima) di kalbar, kebun Krena Duta Agro Indo di jambi, PT. TBS (tribakti Sari Mas di Riau dan PT. Borneo Ketapang Permai di Sanggau Kalimantan barat. Ke-empat perusahaan ini menjadikan petani kelapa sawit sebagai pihak yang diletakkan hanya menerima hasil produksi kebun dan tidak berperan sebagai budidaya tanaman. Hal ini juga sebenarnya yang terjadi di PT. SWA di mana petani yang akan menunggu hasil dan perusahaan yang akan mengelola kebun plasma. Pola ini terbukti di beberapa tempat menimbulkan konflik yang maha dasyat. Pola ini di kenal dengan pola satu manajemen yang dibentuk melalui program revitalisasi perkebunan. Tuntutan Minimum Petani Kelapa sawit 1. Lakukan evaluasi skema kemitraan perkebunan kelapa sawit antara inti dan plasma. Untuk menemukan situasi perbaikan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berpihak pada petani sawit. 2. Perlindungan dan pemberdayaan petani kelapa sawit perlu di lakukan untuk mewujudkan petani kelapa sawit sebagai subyek penting dalam perkebunan kelapa sawit. 3. Hentikan pendekatan pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar untuk menjawab tuntutan pasar global dan lakukan pendekatan baru dengan optimalkan hasil produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit baik milik petani maupun milik perusahaan inti hingga 30 ton/ha/tahun. 4. Negara perlu mengawasi praktek penggunaan kredit petani yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit. 5. Perbaiki regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada petani kelapa sawit dan menguntung perusahaan perkebunan skala besar. 6. Kembalikan pajak export kepada petani untuk pelatihan, pengadaan pupuk dan biaya peremajaan perkebunan rakyat. Tuntutan maksimum : Transformasi Struktur Perkebunan dari struktur kapitalistik dan berorientasi struktur kerakyatan
8 Bogor, 28 Desember 2011 Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto Kordinator Forum Nasional SPKS Kontak Person :
Capacity Building SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)
Capacity Building SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) Salah satu stakeholders terpenting di Indonesia adalah petani kelapa sawit. Petani mengelola 36% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan luasan
Lebih terperinciLingkup hunbungan kemitraan meliputi :
Lingkup hunbungan kemitraan meliputi : 1. Penyediaan Lahan Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria KESESUAIAN LAHAN ( Suitable) dari aspek teknis, TERJAMIN dari aspek Legal dan KONDUSIF secara Sosial.
Lebih terperinciREGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN
REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA
Lebih terperinciKarakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan www.spks-nasional.org Latar belakang Belum ada titik temu antara kondisi petani swadaya kelapa sawit dengan
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN Selain sektor pajak, salah satu tulang punggung penerimaan negara
I.PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG Selain sektor pajak, salah satu tulang punggung penerimaan negara untuk membiayai pembangunan adalah ekspor nonmigas, yang mulai diarahkan untuk menggantikan pemasukan dari
Lebih terperinciAdapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi :
Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi : 1. Penyediaan Lahan Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria KESESUAIAN LAHAN ( Suitable) dari aspek teknis, TERJAMIN dari aspek Legal dan KONDUSIF secara
Lebih terperinciMungkur dan Gading Jaya. kebun Limau. PT Selapan Jaya, OKI ha ha, Musi Banyuasin. PT Hindoli, 2, kebun Belida dan Mesuji
Tabel 13 Perbandingan Karakteristik Kebun Kelapa Sawit Inti dan Plasma Contoh di Sumatera Selatan Tahun 2002 No Karakteristik Betung Barat 1 Nama lain IV Betung Talang Sawit Sungai Lengi II B Sule PT Aek
Lebih terperinciPemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Dalam Rangka Sosialisasi Gerakan Anti Korupsi dan Gratifikasi di Provinsi Kalimantan Barat
Lebih terperinciBUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa keanekaragaman
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPEMBELIAN TBS (TANDAN BUAH SEGAR)/PENERIMAAN SUPPLIER BARU
PENERIMAAN SUPPLIER BARU Dibuat Oleh, Direview oleh, Disahkan oleh Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh Daftar Isi 1. Tujuan...4 2. Ruang Lingkup...4 3. Referensi...4 4. Definisi...4
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Business Assignment Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. Pengembangan bisnis ini diharapkan dapat memberikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),
Lebih terperinci05/12/2016 KUALA PEMBUANG
KUALA PEMBUANG 1 KUALA PEMBUANG TERLETAK DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MERUPAKAN PEMEKARAN DARI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2002 DENGAN IBU KOTA KUALA PEMBUANG.
Lebih terperinciKERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan
KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT merambah Sulawesi sejak tahun 1980 an dan ekspansinya tetap
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman pohon tropis yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman pohon tropis yang biasanya ditanam untuk produksi industri minyak vegetatif. Tanaman kelapa sawit merupakan tipikal
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.217, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Penetapan Harga. Pembelian. Kelapa Sawit. Perkebunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/Permentan/OT.140/2/2013
Lebih terperinciRINGKASAN EKSEKUTIF. Tim Peneliti: Almasdi Syahza; Suwondo; Djaimi Bakce; Ferry HC Ernaputra; RM Riadi
KEGIATAN TINDAK LANJUT PENGHIMPUNAN DATA, INFORMASI DANA BAGI HASIL (DBH) SEKTOR PERKEBUNAN (DBH CPO) Kerjasama Dinas Pendapatan Propinsi Riau dengan Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru 2013
Lebih terperinciInovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak
Agro inovasi Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI
Lebih terperinciPeremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO
Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO Medan 28 September 2017 1 ABSTRAK Luas Kelapa Sawit Nasional 11,9 juta ha 4,8 juta ha diantaranya adalah
Lebih terperinciPENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI
PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI Oleh PUGUH SANTOSO A34103058 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN
Lebih terperinciPROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DAN PEMBIAYAAN PERBANKAN
PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DAN PEMBIAYAAN PERBANKAN Oleh : Dr. Marsuki, SE., DEA. Disampaikan pada Seminar Nasional dengan topic Sistem Pengendalian Manajemen Kemitraan Inti Plasma dalam Mendukung
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN
PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT
Lebih terperinciPENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 02/KPPU/PDPT/II/2013 TENTANG
PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 02/KPPU/PDPT/II/2013 TENTANG PENILAIAN TERHADAP PENGAMBILALIHAN SAHAM (AKUISISI) SAHAM PERUSAHAAN PT NUSARAYA PERMAI, PT ALAM PERMAI DAN PT NAKAU OLEH PT
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU
PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya
Lebih terperinciPOTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau
POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau A. Kemampuan Daya Dukung Wilayah (DDW) Terhadap Pengembangan
Lebih terperinciPERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Disampaikan pada Acara Monev Gerakan Nasioanal Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan Perkebunan Tanggal 10 Juni 2015 di Gorontalo DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN JENIS
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT. Perkebunan Nusantara atau biasa disebut sebagai PTPN merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki kewenangan untuk mengelola perkebunan yang ada
Lebih terperinciKAJIAN TENTANG HUBUNGAN STRATEGIS PRODUSEN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU. Henny Indrawati
Pekbis Jurnal, Vol.3, No.2, Juli 2011: 498-503 KAJIAN TENTANG HUBUNGAN STRATEGIS PRODUSEN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU Henny Indrawati Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Riau Email:
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI BERAU
- 1 - PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PELAKSANAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN IZIN PEMBUKAAN LAHAN PERKEBUNAN DAN PENANAMAN DI KABUPATEN BERAU DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciLAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016
LAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016 01 SK PENETAPAN PETA INDIKATIF RESTORASI 1 SK.05/BRG/Kpts/2016 telah diterbitkan pada 14 September 2016.
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN JENIS IZIN USAHA PERKEBUNAN Izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B) diberikan kepada pelaku usaha dengan luasan 25 hektar atau lebih; Izin usaha perkebunan pengolahan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Kelapa Sawit. Pembelian Produksi Pekebun.
No.79, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Kelapa Sawit. Pembelian Produksi Pekebun. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kondisi hutan yang semakin kritis mendorong pemerintah membuat sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan pengelolaan hutan. Komitmen tersebut
Lebih terperinciPengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan
BAB VII PENUTUP Perkembangan industri kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain : (i) secara agroekologis kelapa sawit sangat cocok dikembangkan di Indonesia ; (ii) secara
Lebih terperinciSURAT TANDA DAFTAR USAHA BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN (STD-B) Kabupaten/Kota... Kecamatan...
31 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN SURAT TANDA DAFTAR USAHA BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN (STD-B) Kabupaten/Kota...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meskipun dibayangi penurunan harga sejak akhir 2012, Prospek minyak kelapa sawit mentah (CPO) diyakini masih tetap akan cerah dimasa akan datang. Menurut Direktur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Koperasi telah hadir ditengah-tengah masyarakat dengan mengemban
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Koperasi telah hadir ditengah-tengah masyarakat dengan mengemban tugas dan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Lebih terperinciBAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN
BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN Baik dalam lembaga pembebasan tanah maupun pengadaan tanah, tanah yang dibutuhkan pihak pemerintah untuk kepentingan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan sosio-politis yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sebuah wacana penting dalam ranah civil society. Bagi Indonesia, wacana HAM diterima, dipahami, dan diaktualisasikan dalam bingkai
Lebih terperinciSerikat Petani Kelapa Sawit
Profil Organisasi Serikat Petani Kelapa Sawit Menuju Petani Kelapa Sawit Yang Mandiri, Berdaulat, Sejahtera dan Berkelanjutan Dokumen internal organisasi tidak diperkenankan untuk memperbanyak dan menyebarluaskan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kini memiliki 8,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dari luas tanaman tersebut rakyat memiliki 3,7 juta hektar, BUMN 616.575 hektar dan perkebunan swasta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pembangunan dibidang pertanian menjadi prioritas utama karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan komitmen
Lebih terperinciSIARAN PERS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (Walhi Papua) & Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
SIARAN PERS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (Walhi Papua) & Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia PELIBATAN PENYANDANG DANA, DALAM KONFLIK PTPN II DAN MASYARAKAT DI KABUPATEN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU
PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya
Lebih terperinci2015 PERBANDINGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI ANTARA PETANI PLASMA DENGAN PETANI NON PLASMA DI KECAMATAN KERUMUTAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi menguraikan tentang litosfer, hidrosfer, antroposfer, dan biosfer. Di dalam lingkup kajian geografi pula kita mengungkapkan gejala gejala yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam rangka
Lebih terperinciINDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA In House Training Profil Bisnis Industri Kelapa Sawit Indonesia Medan, 30-31 Mei 2011
INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA In House Training Profil Bisnis Industri Kelapa Sawit Indonesia Medan, 30-31 Mei 2011 Ignatius Ery Kurniawan PT. MITRA MEDIA NUSANTARA 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai
Lebih terperinciMISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN
SENGKARUT TAMBANG MENDULANG MALANG Disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang. Untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten. Jakarta, 22 April 2015 MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN No Daerah Hutan Konservasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, hasil buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan alam yang dimiliki
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
Lebih terperinciKEADAAN UMUM. Letak Geografi
8 KEADAAN UMUM PT. Sari Lembah Subur (SLS) merupakan anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari, Tbk yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. PT. SLS adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit
Lebih terperinciLUAS KAWASAN (ha)
1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto
Lebih terperinciVI. REKOMENDASI KEBIJAKAN
158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang
Lebih terperinciPT Multi Agro Gemilang Plantation Tbk.
Topik Bahasan Tentang Perseroan Operasional Ikhtisar Keuangan Strategi Usaha 2 Tentang Perseroan 3 Profil Perseroan Tahun 2005: Perseroan berdiri dengan nama PT JO Perkasa Agro Technologies Tahun 2010:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan perekonomian di Indonesia tidak bisa dipungkiri salah satunya didorong oleh sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang
Lebih terperinciPENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN
PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN I. Pendahuluan Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan diajukan oleh Anggota lintas
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditi perkebunan yang sebagian terbesar merupakan perkebunan rakyat, perjalanan sejarah pengembangannya antara usaha perkebunan rakyat dan perkebunan besar, berjalan
Lebih terperinciPEMANFAATAN LIMBAH SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DI PROVINSI JAMBI DR. EVI FRIMAWATY
Zumi Zola Zulkifli Gubernur Jambi JAMBI TUNTAS 2020 PEMANFAATAN LIMBAH SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DI PROVINSI JAMBI DR. EVI FRIMAWATY PROVINSI JAMBI TERLETAK DI BAGIAN TENGAH PULAU SUMATERA GAMBARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (elaeis guineensis) menurut para ahli secara umum berasal dari Afrika. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk
Lebih terperinciHASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI A. Karakteristik Bank
BOKS 2 HASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI DAN PERTANIAN DI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2007 Pada tahun 2007, Kantor Bank Indonesia Bengkulu melakukan dua survei yaitu Survei Kredit Konsumsi dan Survei Survei Kredit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan sandang dan papan. Pangan sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan umat manusia merupakan penyedia
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Samarinda, September 2015 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga buku Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 dapat kami susun dan sajikan.
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul " Strategi Peningkatan Harga
Lebih terperinciLESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri
LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran
Lebih terperinciPENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN
PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN TANAMAN KELAPA SAWIT TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR
Lebih terperinciPERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG
67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam pengembangan suatu wilayah, terdapat beberapa konsep pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep pengembangan
Lebih terperinciModul Pelatihan. Pelatihan Manajemen PIK dan SMS Gateway
Modul Pelatihan. Pelatihan Manajemen PIK dan SMS Gateway A. Latar Belakang PIK B. Deskripsi PIK C. Tujuan Pelatihan D. Materi Pelatihan a. Manajemen PIK b. Penggunaan SMS Gateway E. RTL A. Latar Belakang
Lebih terperinciPembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan. komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan dalam sistem agribisnis yang mencakup subsistem
Lebih terperinciSISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA
Suplemen 5 SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Latar Belakang Sejak tahun 2008, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan telah menginisiasi program pengembangan ternak sapi yang
Lebih terperinciBUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI
BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KONAWE UTARA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia, berdasarkan data Food and Agriculture Organization (2015) luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga
Lebih terperinciEvaluasi Pembangunan Perkebunan 2016 dan Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Perkebunan 2017
DINAS PERKEBUNAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Evaluasi Pembangunan Perkebunan 2016 dan Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Perkebunan 2017 Oleh : Ujang Rachmad Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur
Lebih terperinciPRINSIP DAN KRITERIA ISPO
Hal. 1 NO. PRINSIP DAN KRITERIA INDIKATOR 1. SISTEM PERIZINAN DAN MANAJEMEN PERKEBUNAN 1.1 Perizinan dan sertifikat. 1. Telah memiliki izin lokasi dari pejabat yang Pengelola perkebunan harus memperoleh
Lebih terperinciADOPSI DAN DIFUSI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT PETANI SWADAYA DI DESA SENAMA NENEK KECAMATAN TAPUNG. HULUKAMPAR
ADOPSI DAN DIFUSI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT PETANI SWADAYA DI DESA SENAMA NENEK KECAMATAN TAPUNG. HULUKAMPAR Oleh: Eri Sayamar dan Arifudin V Laboratorium Komunikasi dan Sosiologi Pertanian
Lebih terperinciDUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN
DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Di negara agraris, pertanian memiliki peranan
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Samarinda, Juli 2016 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan Rahmat dan Hidayah- Nya, sehingga buku Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015 dapat kami susun dan sajikan.
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Kondisi Umum Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Provinsi Riau Luas areal perkebunan rakyat di Provinsi Riau terus meningkat. Berdasarkan
Lebih terperinciTOPIKAL PAPER. Muhammad Edhie Purnawan, SE, MA, Ph.D
TOPIKAL PAPER Industrial Environment PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH VIETNAM TERHADAP KEPUTUSAN EKSPANSI PERUSAHAAN PT ASTRA AGRO LESTARI Tbk Pengajar: Muhammad Edhie Purnawan, SE, MA, Ph.D Aufa Fitria Yulius
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (MINI PLANT)
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (MINI PLANT) Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian PENDAHULUAN Kebijakan pengembangan agribisnis kelapa sawit yang
Lebih terperinciBAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN
BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN 5.1. TUGAS PEMBANTUAN YANG DITERIMA 5.1.1. Dasar Hukum Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tugas Pembantuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari pembangunan ekonomi nasional pada hakekatnya merupakan suatu pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar
Lebih terperinciI. U M U M. TATA CARA PANEN.
LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 17/Permentan/OT.140/2/2010 TANGGAL : 5 Pebruari 2010 TENTANG : PEDOMAN PENETAPAN HARGA PEMBELIAN TANDA BUAH SEGAR (TBS) KELAPA SAWIT PRODUKSI PEKEBUN TATA
Lebih terperinciPENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN
PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN TANAMAN KELAPA SAWIT TAHUN 2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2013 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan Keputusan
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciDUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN PEDOMAN TEKNIS PENANGANAN GANGGUAN DAN KONFLIK USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2017
DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN PEDOMAN TEKNIS PENANGANAN GANGGUAN DAN KONFLIK USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2017 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN NOVEMBER 2016 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. Wanasari Nusantara Sei.jake
BAB II GAMBARAN PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. Wanasari Nusantara Sei.jake PT. Wanasari Nusantara berkedudukan di Pekanbaru, didirikan berdasarkan akta Notaris No. 15 tanggal 06 Februari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah menguasai dan wajib menggunakan seluruh sumber
Lebih terperinci