BAB III POTRET MASYARAKAT KEI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III POTRET MASYARAKAT KEI"

Transkripsi

1 3.1. Letak dan Batas Kepulauan Kei BAB III POTRET MASYARAKAT KEI Gugusan Kepulauan Kei merupakan wilayah administratif Provinsi Maluku. Dalam terminologi adat, kepulauan ini disebut Nuhu Evav 1 atau Tanat Evav (tanah air). Secara geografis, kepulauan Kei terletak diantar Lintang Selatan ,5 Bujur Timur, dengan batas wilayahnya adalah: sebelah Selatan dengan Laut Arafura, sebelah Utara dengan Irian Jaya (Papua) Bagian Selatan, sebelah Timur dengan Kepulauan Aru, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda dan bagian Utara Kepulauan Tanimbar. Kepulauan ini terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. 2 Luas wilayah kepulauan Kei adalah kurang lebih Km 2, yang dibagi dalam dua bagian yakni, Kepulauan Kei Kecil dengan luas daratan Km 2, dan Kepulauan Kei Besar dengan luas daratan Km 2. Sedangkan luas lautan Kepulauan Kei diperkirakan 7,6 kali luas wilayah daratan. Secara topografi, pulau Kei Kecil dan pulau Dullah lebih datar, dengan ketinggian kurang lebih 100 meter diatas permukaan laut. Sedangkan pulau Kei Besar topografi lebih berbukit dan 1 Istilah Evav digunakan masyarakat Kei untuk menyebut diri, bahasa, dan tanah kelahiran mereka. Lihat Soleman Ubro, "Orang Evav & Atnebar Evav: Benteng Terakhir yang mulai Goyag" dalam Roem Topatimasang (Penyinting), "Orang-Orang Kalah" Insist Press, 2004: 190. Dengan demikian Evav adalah istilah yang lebih bermakna kultural dibanding Kei. 2 Diunduh 17 Desember 2010, dan Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara,

2 bergunung, membujur sepanjang pulau dengan ketinggian rata-rata m dpl, dengan gunung Dab sebagai puncak tertingi. Dataran rendah merupakan jalur sempit yang hanya terdapat disepanjang pantai 3.2. Kearifan Masyarakat Kei Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Kei Menurut sejarah lisan, masyarakat ini terdiri dari dua kelompok yakni penduduk asli yang dikategorikan sebagai ren-ren dan pendatang yang dikategorikan sebagai mel-mel 3. Konsensus awal antara dua kelompok inilah yang kemudian membentuk kebudayaan masyarakat asli Kei yang mencapai perkembangan puncaknya kurang lebih pada abad ke-16 setelah kekerabatan Utan Lor sebagai kehidupan sosial budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta Hukum Adat Larvul Ngabal mencapi bentuk akhir. Hal yang unik pada zaman dahulu bahwa orang-orang yang datang di Kepulauan Kei diterima secara adat, dan dilakukan uji kemampuan (biasanya kesaktian-mistis) terhadapnya. Mereka yang berhasil dari ujian ini akan diberi wewenang peran adat untuk ikut memimpin kehidupan politik dan sosial-budaya dan melebur menjadi satuan tatanan masyarakat adat Kei. Dewasa ini dengan melemahnya kelembagaan adat, cara penerimaan adat seperti itu tidak lagi dilakukan. Secara kultural, satuan komunitas terkecl di Kei adalah Ub, beberapa Ub berkumpul membentuk Riin dan selanjutnya riin membentuk Rahan Yam atau marga 4 3 Pengkatogorian seperti ini tidak berlaku lagi untuk para pendatang saat ini. Jadi katogori ren dan mel ini, menurut saya hanya berlaku atas yang memiliki hubungan garis keturunan dengan dua kelompok pertama yang membentuk masyarakat Kei itu. 4 Lihat Sutrisno dan Kutojo dan Soenjata Kartadarmadja (eds), Sejarah Daerah Maluku, Proyek Pengembangan Media Kebudayan, departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 25 47

3 yang pada akhirnya terbentuk Utan Lor. Dengan demikian jika konsep ini diterjemahkan dalam konsep umum antropologis, hasilnya adalah individu-individu bertemu membentuk keluarga (rumah tangga), dan marga atau rahan yam, kumpulan dari beberapa rahanyam inilah yang membentuk kesatuan masyarakat yang disebut Lor. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat lokal terhadap struktur wilayah komunitasnya tampak kuat mulai dari tingkat Rahanyam, Ohoi, sampai dengan Lor. Ohoi merupakan kesatuan komunitas yang terdiri dari beberapa rahanyam, selanjutnya beberapa ohoi membentuk Utan yang di dalamnya terdapat beberapa Woma 5. Cotohnya, Ohoi Ohoiwait (yang merupakan wilayah penelitian ini), Ohoi Ohoirenan, Ohoi Nerong, Ohoi Larat, Ohoi Karkarit, Ohoi Daftel, Ohoi Lerohoilim, dan Ohoi Harangur, bersatu mebentuk Utan Lo Ohoi Tel. Dengan demikian dalam utan terdapat beberapa Ohoi, namun yang pasti setiap Ohoi ini memiliki satu Woma. Utan, merupakan kesatuan wilayah adat di bawah Hukum Larvul-Ngabal yang memiliki batas-batas jelas. Batas-batas yang dimaksud mencakup batas petuanan maupun wilayah adat yang membedakan dengan wilayah lainnya. Selain batas wilayah adat, setiap Ohoi memiliki batas-batasnya sendiri, dan terkadang batasbatas ohoi inilah yang sering menimbulkan konflik antar Ohoi. Kejelasan batas wilayah hanya bisa dimengerti oleh masyarakat setempat, khususnya masyarakat 5 Woma berasal dari kata woo = panggil, dan ma = datang, jadi woma adalah proses kedatangan dan penerimaan marga-marga yang disertai dengan pendelegasian fungsi dan tanggungjawab dalam sebuah tempat yang selanjutnya disebut uha (ohoi). Wawancara dengan Anton Notanubun, Hezkia Kudubun, Kanae El Rahaningmas, dan Welhelmus Kudubun, di Ohoiwait 21 Februari

4 yang berbatasan langsung. Biasanya masyarakat setempat menggunakan benda-benda alam (misalnya batu atau pohon besar) untuk memberi tanda batas wilayah mereka dengan tetangganya. Pemberian tanda batas dilakukan melalui konvensi adat dan tidak pernah dipetakan. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang tidak ditemukan adanya peta batas wilayah petuanan masyaakat Kei. Sedangkan Lor secara etimologis berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami wilayah/utan atau kesatuan masyarakat adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial. Dapat juga dikatakan sebagai institusi banding tingkat terakhir dalam penyelesaian setiap masalah sosial suatu wilayah kesatuan adat. Dalam masyarakat Kei, Lor dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: Lor Lim, Lor Siw-Ur Siw, dan Lor Labay. Kelompok terakhir ini biasanya mengambil posisi non blok yang tidak memihak pada "kepentinga" lor lim dan ur siw. Mereka lebih memilih untuk netral atau penengah untuk menyelesaikan konflik antara lor lim dan ur siw, maupun konflik dalam masing-masing lor tersebut. Penyebutan Lor mulai tidak digunakan sejak masuknya pemerintahan kolonial Belanda. Lor diganti dengan istilah Ratschap, menurut penuturan beberapa sumber, sejak itu orang lebih terbiasa menyebut ratschap dibanding lor. Selain itu, diduga bahwa sejak kedatangan kolonial Belanda pamor kelompok Lor Labay mulai menghilang. Karena itu dalam hampir semua referensi tidak ditemukan dengan pasti wilayah adat kelompok lor labay ini. Fakta yang ada sekarang, masyarakat Kei lebih mengenal dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan 5 49

5 (lima). Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut 6. sedangkan Lor Labay seakan tanpa pengikut dan hilang begitu saja. 7 Dengan memahami kedudukan dua persekutuan masyarakat adat ini, dapat dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan disebabkan keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi raja-raja kecil yang tetap mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu yang penting bagi mereka, melainkan juga menentukan kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada raja-rajanya, yang seolah kodrati dan merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur tangan manusia. 8 Dengan demikian ada semacam paksaan untuk menerima ikatan kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan simbolis sekaligus menuntut kepatuhan dari para warga Ohoi yang terpenjara rasa takut. Sedangkan persamaannya, keduanya dipayungi oleh hukum adat Larvul Ngabal yang berfungsi sebagai pedoman hidup. Selain itu, mereka hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Kei (Veve Evav). Simbol Siw digunakan untuk mengenang pertemuan di desa Elar, Kei Kecil, oleh 9 orang Rat/Raja yang berkonsensus membentuk aturan dasar (Larvul) sebagai pedoman perilaku masyarakat (lor siw). Sedangkan Lim merujuk pada pertemuan 5 6 J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan fator geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16 7 Namun berdasarkan hasil wawancara, dapat simpulkan bahwa Lor Labay kemungkinan mencakup wilayah Nuhu Fit di Kei Kecil dan Werka di Kei Besar. Walaupun demikian, argumentasi ini belum tentu benar. Karena itu, argumentasi seperti ini masih harus dikaji lebih dalam. Penelitian ini tidak bertujuan mengkaji tema ini. 8 Bandingkan Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006),

6 orang Rat/Raja di desa Lerohoilim, Kei Besar. Pertemuan ini melahirkan aturan dasar Ngabal, jadi hukum adat Larvul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini adalah gabungan dari dua aturan dasar yang ditetapkan pada waktu dan tempat yang berbeda, oleh dua persekutuan masyarakat adat yang berbeda pula. Penggabungan ini dikarenakan perang antara dua persekutuan masyarakat adat ini selalu berakhir dengan kemenangan di kedua belah pihak - sama-sama kuat. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penambahan anggota persekutuan akibat penaklukan, yakni Kesatuan masyarakat hukum adat Lor Lim, menjadi 10 Ratschap (setiap ratschap terdiri dari beberapa desa) yaitu: Ratschap Tual, Ratschap Yarbadang, Ratschap Lo Ohoitel, Ratschap Tubab Yam Lim, Ratschap Songli, Ratschap Kirkes, Ratschap Fan, Ratschap Rumahdian, Ratschap Tifleean Mangur, dan Ratschap Ub Ohoifaak. Sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat Ur Siw, juga berkembang menjadi dari 10 (sepuluh) Ratschap, yaitu: Ratschap Famur Danar, Ratschap Dit Sakmas, Ratschap Dullah, Ratschap Sir Sofmas, Ratschap Nerohoinean, Ratschap Me Umfit, Ratschap Maur Ohoi Wut, Ratschap Somlain (Mantilur Somlain), Ratschap Matwair (Magrib) dan Ratschap Kamear Kur. Masingmasing Ratschap dipimpin oleh seorang Raja 9. Walaupun demikian, simbol siw dan lim tetap digunakan sebagai labang persekutuan mereka. 9 Lihat penjelasan lengkap dalam J. A. Pattikayhatu, Ibid Sedangkan dalam uraia tentang Ur siw dan Lor Lim, Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-V/2007 Tentang Penolakan Permohonan Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD 1945, (18 Juni 2008), 5-9. Para pemohon yakni Abdul Hamid Rahayaan, yang mengatas-namakan kesatuan masyarakat Hukum Adat Lor Lim; Gasim Renuat, yang mengatas-namakan kesatuan masyarakat Hukum Adat Ratschap Dullah; dan Abdul Gani Refra, yang mengatas-namakan masyarakat Ratschap Lo Ohoitel. Dalam legal standingnya hanya menguraikan bahwa kesatuan masyarakat Lor Lim membawahi 7 Ratschap, tiga ratschap terakhir dalam uraian di atas tidak dimasukan, dan kesatuan 51

7 Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei Secara umum kebudayaan dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. 10 Sekalipun sebagai warisan, kebudayaan kemudian tidak serta-merta menjadi statis. Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko, tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan. 11 Dalam perspektif seperti inilah dapat dimaknai prinsip hidup setiap masyarakat termasuk masyarakat Kei. Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme. 12 Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya nyawa 13 Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, pertama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping masyarakat Ur Siw membawahi 9 Ratschap, satu ratschap terakhir dalam uraian di atas tidak dimasukan. Hal ini kemudian dibantah oleh Gubernur Maluku. Dalam kesaksian Gubernur Maluku pada Sidang di MK, Gubernur Maluku mempertanyakan tendensi politik apa yang melatarbelakangi permohonan para pemohon tersebut, sehingga 3 ratschap dari lor lim dan 1 raschap dari ur siw, tidak dimasukan dalam uraian legal standing para pemohon. lihat Putusan Mahkamah Konstitusi. Ibid Adam Kuper & Jossica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Dalam Kleden, Ignas., Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan, dalam Soedjatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984), xix 12 Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996), A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000),

8 arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi. Defenisi seperti itu sejalan dengan yang dikemukan oleh Durkheim bahwa, religi adalah kesatuan sistem kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan barang-barang suci. Barang-barang suci yang dimaksud adalah, barang atau benda yang diasingkan dan diberikan larangan atasnya. Durkheim selanjutnya menyatakan bahwa fungsi sosial yang esensial dari religi ialah menciptakan, memaksakan dan mempertahankan solidaritas kelompok. 14 Pada masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan (Tuan-Pemilik). Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarang masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan dipersembahkan kepada Duan Duad dengan cara diletakan di atas pintu rumah, di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Prosesi dalam bentuk kepercayaan ini dikenal dengan istilah woryauf atau dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal dengan taha yaik asu manaran, bertujuan memberi "makan"/persembahan 14 Emile Durkheim, The elementary Forms of Religious of Life (London, 1915) dalam Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Puta A. Bardin, cetakan kedelapan, April 1999),

9 kepada moyang-moyang/leluhur yang sudah meninggal, termasuk kepada Tuhan - Duang Duad Prinsip Hidup dan Sistem Kekerabatan Masyarakat Kei Dalam hukum adat Larvul Ngabal di temukan bahwa inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Konsekuensi dari sistem adat seperti ini, membentuk karakter, prinsip, dan sikap hidup orang kei Kei: Pertama, Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Edward Kudubun dan Apner Notanubun mengatakan kepada penulis bahwa Hamaren itu tidak perlu undangan resmi, kalau katong (kita) jalan dan lihat orang lagi kerja rumah atau kabon (kebun-ladang) ya katong ikut. Tapi ada juga keluarga yang kalo (kalau) buat kebon, rumah, kawin (acara pernikahan) biasa juga diundang pada malam hari untuk minum teh/kopi baru dong (mereka) kasih tau dong pu maksud (maksud mereka), lalu katong minum teh sambil bicara (pembagian tugas) untuk ada yang pergi molo ikan (menyelam - mencari ikan), ada yang pergi buat kayu bakar, dan ada yang buat tenda (kalau itu acara syukuran/pesta pernihakan, babtisan) 15 Dengan demikian, dalam hamaren semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib 15 Wawancara di desa Ohoiwait, tanggal 22 Januari

10 untuk menolong sesama. Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Sikap ketiga adalah hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah ini. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena kedudukannya, ia dihormati dan ditaati. 16 Keempat, Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti tet ya. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya. 17 Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial. Sikap hidup orang Kei inilah yang mendasari setiap tindakan dan perilaku mereka dalam berintekasi. Selain itu, yang menarik adalah sikap hormat dan taat kepada atasan bahwa ternyata sikap ini tidak hanya berlaku bagi atasan, namun juga berlau bagi para pendatang. Berdasarkan hasil dialog dan observasi ditemukan bahwa 16 Penghormatan kepada Atasan merupakan implemetasi dari pasal 1 hukum adat Larvul Ngabal. Wawancara dengan Kepala Desa Ohoiwait, Abdul Galil Ingratubun, di Ohoiwait 28 Januari Bandingkan konsep penghormatan kepada atasan ini dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca, N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), Wawancara dengan Welhelmus Kudubun, di Ohoiwait 27 Januari

11 orang Kei khususnya masyarakat desa Ohoiwait memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang baru atau pendatang yang berkunjung ke desanya. Penghargaan atau penghormatan ini terwujud dalam keseharian mereka yang selalu berkunjung ke rumah tempat orang baru tersebut tinggal (menginap). Dalam perkunjungan ini, mereka (warga desa) lebih banyak diam dan bertanya tentangtang informasi-informasi baru yang berkembang, sedangkan orang baru didaulat sebagai orang yang banyak tahu kerena itu, dia lebih banyak berceritra, menjawab, dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dari warga yang berkunjung. Model ini kemudian berlanjut ke sikap tet ya di atas. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat oleh hukum adat terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel. Yanur-Mangohoi, merupakan bentuk kekerabatan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Yanur- Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian. Koi-Maduan, secara harfiah, berarti bawahan dan atasan/tuan. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang berarti bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang 56

12 menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan selalu mempercayakan diri kepada atasannya ketika berhadapan dengan orang lain dalam masalah adat. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan. Sedangkan Teabel, adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh aliran darah, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang/kampung lain yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya bertujuan mengangkat derajad semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan. 18 Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci, dapat diformulasikan bahwa prinsip dan sikap hidup serta sistem kekerabatan orang Kei, merupakan perwujudan dari falsafah hidup mereka, yakni : 1), Ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; 2), foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi 18 Kekerabatan dalam bentuk Teabel ini mirip dengan Pela di Maluku Tengah. Lih. Johny Christian Ruhulessin, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan) 2005,

13 kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan menciptakan peluru 19 untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan; dan (3), falsafah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna persaudaraan, kekeluargaan, dan bahwa semua orang Kei berasal dari keturunan yang sama Sekilas Terbentuknya Hukum Adat : Larvul dan Ngabal. Terbentuknya hukum Larwul, berawal dari tibanya seorang musafir beserta keluarganya yang dalam tuturan (tom) diyakini berasal dari Bali. 20 Musafir yang dikenal bernama Kasdeu, mendarat di teluk Sorbay bagian Barat pulau Kei Kecil. Kasdeu kemudian kawin dan mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Tabtut adalah putra sulung yang kemudian menjadi Rat/Raja di Ohoiwur, sedangkan anak perempuan bungsu bernama Ditsakmas. Putri bungsu ini kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawai, yaitu, Arnuhu dari Ohoi Danar di ujung selatan bagian timur pulau Kei Kecil. Dikisahkan, perjalanan pertama Ditsakmas untuk menemui tunangannya Arnuhu di Danar, tidak berhasil. Penyebabnya, semua perbekalannya dirampok dalam perjalanan akibat masih berlakunya hukum rimba pada waktu itu. Akhirnya pada perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas berjumpa dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan ini, dikarenakan ada bentuk larangan atau sasi yang digunakan oleh Ditsakmas, yakni 19 Peluru yang dimaksudkan adalah tidak dalam pengertian modern seperti peluru yang digunakan oleh ABRI dan Kepolisia, namun lebih pada pengrtian tradisional yang dimaknai dalam bentuk mistik. Karena itu menurut penulis, foing fokut fauw fo banglu, identik dengan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh 20 Uraian ini didasarkan pada hasil wawancara dengan Anton Notanubun, Louis Notanubun, Kanar El Rahaningmas, Welhelmus Kudubun, Yeheskia Kudubun, Robert Renyaan dan Rudi Waremra (keduanya wartawan Suara Daulat). Masing-masing tanggal Januari di desa Ohoiwait, dan tanggal 1-3 Februari di Kota Tual. 58

14 mengikatkan daun kelapa putih 21 pada perbekalannya. Diantara barang-barang Ditsakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 bagian untuk perwakilan dari 9 Ohoi yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin ini, lahir 4 (empat) dasar hukum yang dinamakan hukum Larwul (= darah merah). Keempat dasar hukum inilah yang ditetapkan menjadi pasal 1-4 hukum Larwul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini. 22 Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 Ohoi, diantaranya : 1) Hilaai Danar mendapat bagian kepala, 2) Hilaai Ngursoin mendapat mata, 3) Hilaai Elaar mendapat gigi, 4) Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav mendapat Ekor, 5) Hilaai Mastur mendapat Tanduk, 6) Hilaai Ohoinol mendapat Perut Besar, 7) Hilaai Ributat Yatvar mendapat Perut, 8) Hilaai Ohoider mendapat Empedu, dan 9) Hilaai Wain mendapat Hati 23. Ungkapan adat yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (darah merah membakar-membara), yang bermakna bahwa hukum Larwul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat manusia dan hak-hak asasinya. 21 Dalam masyarakat Kei saat ini, daun kelapa putih atau pucuk daun/tombak kelapa (janur) digunakan sebagai symbol sasi atau larangan (Hawear). Jika janur ini diikatkan atau digantungkan pada sesuatu benda maka maknanya adalah benda tersebut tidak boleh diambil oleh orang lain. 22 Lihat J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), Lihat J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 44 59

15 Sedangkan terbentuknya hukum Ngabal bermula dari mendaratnya saudara Kasdeu yang bernama Jangra dengan keluarganya di Lerohilim, pantai barat tengah pulau Kei Besar. Kehadiran Jangra di pulau Kei Besar segera tersiar disepanjang pesisir barat pulau Kei Besar sampai ke wilayah hukum raja Bomaf di Fer, ujung selatan pulau Kei Besar. Karena Jangra sudah mengetahui dari seorang penduduk Lerohoilim bahwa Kei Besar memiliki lima orang raja yang memimpin di wilayahnya masing-masing, dan yang paling berpengaruh pada saat itu adalah raja Bomaf dari Fer, maka Jangra mengutus putrinya yang bernama Ditsomar dengan temani oleh Wedifin (seorang penduduk Lerohoilim), untuk menemui raja Bomaf. Perjalanan puteri Ditsomar ini membawa beberapa tombak (terbuat dari mas dan tembaga). Kehadiran Wedifin dengan puteri Ditsomar di Fer diterima oleh raja Bomaf dengan upacara adat, dan tombak-tombak itu ditaman/ditancapkan di Woma El Kel Bui. Woma adalah pusat Ohoi biasanya dianggap sebagai tempat suci dan keramat 24, sebagai tempat upacara-upacara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum adat, pertikaian dan perang. Woma El Kel Bui adalah satu-satunya tempat tertancapnya tombak yang di bawah Jangra dari Bali, dan tombak ini disebut dengan nama Ngabal yang artinya Tombak Bali 25 tombak tersebut kemudian dijadikan lambang hukum adat di wilayah Hilaai/raja Bomaf. Atas dasar itu, raja Bomaf kemudian mengambil prakarsa dengan mengundang keempat raja lainnya, demi membahas kedatangan Jagra di Lerohoilim. Undangan itu disambut baik, karena munculnya kesadaran untuk mengakhiri pertikaian dan memulai hidup dalam damai. Pertemuan tersebut berhasil menyepakati 2002) 24 Lihat P.M, Laksono, The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press, 25 Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid

16 3 (tiga) dasar hukum yang disebut dengan hukum Ngabal. Ketiga dasar hukum inilah yang ditetapkan menjadi pasal 5-7 dari hukum adat Larwul Ngabal. Untuk penyebaran dan pemberlakuan hukum adat Ngabal, maka sekaligus diadakan pembagian tugas dan wewenang kepada masing-masing Hilaai di wilayah Lor Lim, yang dilambangkan dengan pembagian tubuh seekor ikan paus atau naga laut 26 yang kebetulan terdampar di pantai desa Lerohoilim pada saat itu. Pembagian ini mirip dengan proses pembagian Kerbau Siw yang dilakukan di desa Elaar Ngursoin, Kei Kecil. 27 Diantaranta: 1) Hilaai Bomaf dari Fer mendapat kepala, 2) Hilaai Hibes dari Nerong (Lo Ohoitel) mendapat perut, 3) Hilaai Ub Ohoifak dari Uwat-Mar mendapat ekor, 4) Hilaai Loon Lair dari Weduar-Tutrean mendapat sayap, dan 5) Hilaai Meljamfak dari Rahangiar mendapat gigi. 28 Hukum adat Ngabal mengandung makna perumpamaan dan kiasan, nasihat dan petunjuk. Hukum ini berfungsi untuk melindungi hak-hak asasi, memberikan penghargaan terhadap perempuan dan lembaga perkawinan, serta melindungi kepemilikan pribadi yang lazim disebut Ngabal In Adung. Kata-kata ini diucapkan pada saat proses pembagian naga laut/ikan paus itu. Ngabal In Adung bermakna Tombak sebagai pengatur dan pelindung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Larwul In Turak yang menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi manusia, berfungsi sebagai membatasi kewenangan-kewenangan, dan perpaduannya dengan 26 Nang Lor Lim Yut atau Naga/Ikan Paus Lorlim, Kei Besar, dan Tombak Ngabal adalah merupakan lambang dari kelompok/persekutuan adat Lorlim 27 Walaupun demikian masih ada perdebatan soal proses kemenjadian kedua hukum ini, antara hukum mana yang lebih dahulu ditetapkan. 28 Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid

17 Ngabal In Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu yang diatur dalam hukum Larwul. Dengan digabungkannya keduan hukum adat ini, maka persekutuan masyarakat adat Lor Siw dan Lor Lim bersatu di bawah nuangan hukum adat Larvul Ngabal, yang memuat 7 (tujuh) pasal. 29 Arti dan makna dari hukum adat ini adalah sebagai berikut: Pasal 1. Uud entauk atvunad: berarti kepala bertumpuh pada pundak kita artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyangmoyang); tokoh-tokoh adat, pemerintah, dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh maka harmoni dalam masyarakat akan dengan mudah terwujud diundu 17 juli lihat J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari Tidak diterbitkan), Pemaknaan terhadap pasalpasal tersebut juga didasarkan pada hasil wawancara dengan Anton Notanubun, Yeheskia Kudubun, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas, Robert Notanubun, di desa Ohoiwait, tanggal 21 Januari

18 Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, sebagai dasar sifat hidup orang Kei : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya kita meminta berkat dengan berdoa kepada Tuhan dan leluhur, supaya kita berselamat di dunia dan akhirat. Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:"leher bersifat luhur, suci dan murni" pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei dianggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, karena itu harus dilindungi atau dijaga. Perbuatan memegang atau mencengkeram leher seseorang dianggap melanggar hukum adat. Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti kulit membungkus tubuh kita, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindungi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan menjaga atau memegang rahasia diri dan orang lain. Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti darah beredar atau terkurung di dalam tubuh makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar 63

19 tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya. Pasal 6. Moryaian fo mahiling : tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita yang belum menikah (gadis) adalah agung mulia hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Pasal 5 dan 6 merupakan pasal yang menempatkan perempuan pada posisi yang mulia dalam masyarakat Kei, mereka harus dijaga dan dilindungi. Bahkan alasan mengapa orang Kei harus berkonflik salah satunya adalah ketika saudara perempuan mereka tidak dihargai atau diperlakukan dengan tidak adil. Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti (tad) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Pasal 7 ini tidak hanya berkaitan kepemilikan dalam hal fisik (benda-benda termasuk petuanan, namum mencakup juga toom tentang kedudukan atau posisi dalam adat. Berdasarkan uraian ke-7 pasal di atas tidak ditemukan adanya pasal yang mengatur tentang sistem kasta pada masyarakat ini. Karena itu, pelaksanaan sistem kasta di Kei tidak ada legalitasnya dalam hukum adat. Dalam pasal 1 hukum adat ini 64

20 ditemukan adanya penghormatan terhadap kepala permasalahannya apakah kepala ini adalah mel-mel yang menempati urutan pertama dalam sistem kasta atau kepala lebih bermakna siapa saja yang memiliki kecakapan dalam memimpin masyarakat?. Dalam konteks ini penulis lebih berpegang dan memilih makna kedua, bahwa penghormatan kepada kepala yang dimaksudkan pada pasal 1 di atas adalah siapa saja atau mereka yang memiliki kemampuan dalam memimpin, baik diri sendiri, dan terutama memimpin masyarakat mereka yang memiliki visi seperti tergambarkan dalam falsafah adat in ot rat na a dunyai (adat menciptakan raja di dunia) yang bermakna terhormat atau tidaknya seseorang bergantung pada perilaku dan tutur katanya. Dengan pengakuan bahwa siapa saja boleh memimpin asal memiliki kualifikasi dalam hal kecakapan dalam memimpin tidak juga berarti bahwa kekuasaan penguasa itu dapat dengan sewenang-wenang mengeliminasi kelompok lain. Dengan demikian, terbentuknya hukum adat Larvul Ngabal tidak dalam kerangka mengangkat atau meninggikan kelompok tertentu (seperti mel-mel) dan merendakan kelompok lain (ren-ren dan Iri-ri). Mel dan Ren bukanlah tingkatan sosial/stratifikasi ataupun kasta, namun merupakan bentuk pembedaan (deferen) antara pendatang dan penduduk asli. Hukum adat itu dibuat dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, saling membantu, bekerja bersama-sama, dalam kekeluargaan. Kehidupan yang harmoni tanpa dominasi itulah yang disepakati leluhur orang Kei dalam hukum adat itu. Ketidak-mampuan 65

21 memahami hukum adat atau sengaja menjadikan hukum adat sebagai legitimasi kasta, dengan tetap menjadikan mel dan ren sebagai tingkatan sosial, demi mempertahakan status quo (kekuasaan), hanya akan membuat (kita) masyarakat Kei selangkah lebih mundur dari para leluhur kita yang masih tradisional/primitif Deskripsi Tentang Ohoi Ohoiwait Kadaan Geografis dan Demografis Ohoi Ohoiwait Ohoi Ohoiwait merupakan salah satu desa diantara sekian desa yang terletak di bagian Timur pulau Kei Besar, Kab. Maluku Tenggara. Awalnya, Pulau Kei Besar adalah satu Kecamatan, yakni Kecamatan Kei Besar, namun dengan pertimbangan akan dilakukan pemekaran Ibu Kota Maluku Tenggara (Tual) menjadi Kota Taul, 30 maka Kecamatan Kei Besar dimekarkan menjadi 3 Kecamatan, yakni Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Utara, dan Kecamatan Kei Besar Selatan. Dengan adanya pemekaran Kecamatan ini, maka Ohoiwait saat ini termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kei Besar. Pembagian wilayah yang dilakukan oleh pemerintah cukup bertolakbelakng dengan realitas wilayah adat (ratschap) di Kelupauan Kei. Desa Ohoiwait dalam administrasi pemerintah Kabupaten termasuk dalam wilayah Kecamatan Kei Besar, namun secara adat termasuk dalam persekutuan Lor Lim/Lim Itel, yang kepala ratschap-nya berkedudukan di desa Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan. 30 Pemekaran Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggra (Tual) menjadi Kota Madya telah terealisasi dengan UU No. 31 Tahun 2007, tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Sebelumnya, pada tahun 1957 Maluku Tenggara menjadi Daerah Swatantra Tingkat II ber-ibu Kota di Tual, dengan membawahi 8 Kecamatan. Namun, tahun 2000 Kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), kemudian tahun 2003 Kabupaten Maluku Tenggra kembali dimekaran menjadi Kabupaten Maluku Tengara dan Kabupaten Kepulauan Aru. 66

22 Ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 03 Tahun 2009 tentang Ratschap dan Ohoi, yang bertujuan mengembalikan sistem pemerintahan adat yang dipimpin raja (Rat), ditengarai menyimpan bom waktu yang akan menimbulkan konflik kepentingan pada tataran adat atau konflik wilayah adat. Perjalanan menuju desa Ohoiwait, dari Kota Kabupaten dapat ditempu dengan menggunakan kapal-motor (KM) yang menuju ke Mataholat dan ke Elat dengan waktu tempu antara 2 2,5 jam, kemudian dilanjutkan dengan kendaraan darat (mobil atau ojek) dengan waktu antara 15 menit 1 jam. Desa yang terletak di bagian timur pulau Kei Besar ini, secara administratif berbatasan dengan desa Ohoirenan di bagian Selatan, desa Ohoiel dibagian Utara, sedangkan pada bagian Barat berbatasan dengan desa Nerong dan desa Werka. 31 Ohoiwait mempunyai dua dusun yakni, Mataholat dan Wetuar keduanya terletak di bagian Barat pulau Kei Besar. Berdasrkan data yang dihimpun dari kantor desa 32 jumalah penduduk desa Ohoiwait (tidak termasuk dua dusun lainnya), pada tahun 2011 adalah 444 orang, dengan ratio perbandingan jenis kelamin: perempuan 240 orang dan laki-laki 204 orang, Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianutnya adalah: Kristen Protestan sebanyak 395 orang, yang terdiri dari: Perempuan 217 orang serta Laki laki 178 orang, mayoritasnya bertempat tinggal di bagian desa yang disebut 31 Batas-batas desa ini adalah diungkapkan oleh Reveldus Kudubun (sekretaris Desa), karena tidak ditemukan dalam data monografi desa. Dengan kata lain, data ini tidak/belum tercatat dalam monografi desa. 32 Data monografi di desa ini sangat tidak lengkap, karena itu tidak ditemukan jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur, pendidikan dan pekerjaan. Selain itu batas-batas desa, potensi desa dan mata pencaharian penduduk juga tidak tercatat. Yang paling memilukan lagi adalah bahwa di desa tersebut tidak ada Balai/Kantor Desa sehingga rumah-tempat tingal masing-masing kepala desa dan KAUR juga sekaligus berfungsi sebagai kantor desa, yang rata-rata tidak ada data lengkap tentang desa. 67

23 Ohoi Ren dan Ohoi Uun atau biasanya disebut Ohoiratan. Sedangkan yang beragama Islam adalah 49 orang, terdiri dari laki laki 26 orang dan perempuan 23 orang semuanya menempati bagian desa yang disebut Ohoitanan/Kampung Bawah. Kurangnya penduduk yang beragama Islam ini akibat konflik 1999 yang melanda Maluku, sehingga mereka (yang beragama Islam) mengungsi keluar kampung, dan sampai sekarang baru sebagian kecil memilih pulang dan tinggal di Ohoiwait. Sebagian lagi memilih tinggal di kota Tual, dan sebagian lainnya lebih memilih tinggal di dusun Mataholat yang semua penduduknya beragama Islam. Karena itu di kampung bawah ini (Ohoi Tanan) hanya ada sekitar 10 rumah yang baru dibangun kembali setelah gelombang konflik yang menimpa desa ini. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 1 Memandang Kampung Bawah dari Fid Wowo o Pola Kepemimpinan Desa Ohoiwait Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa sistem pemerintahan desa Ohoiwait menggunakan model pemerintahan desa 68

24 yang diatur dalam UU No. 5 Tahun Sistem pemerintahan desa ala UU No. 5 Tahun 1979 memang ditetapkan untuk melakukan penyeragaman, sebab sistem pemerintahan tradisional yang ada di Indonesia kebanyakan masih mengacu pada adat, maka hadirnya UU No. 5 ini dapat dikatakan sebagai bentuk paksaan penyeragaman sistem pemerintahan desa. Berdasarkan itu, Ohoi lalu dipaksa untuk menyebut dirinya desa, istilah Jawa untuk kampung. 33 Ketika Peraturan Daerah No. 03 Tahun 2009 Tentang Ratschap dan Ohoi ditetapkan, nama desa yang awalnya digunakan hanya berganti baju menjadi Ohoi dan Kepala Desa secara formal kemudian disebut dengan kepala Ohoi namun masyarakat sepertinya belum terbiasa dengan sebutan itu, karena pada saat penelitian berlangsung, masyarakat masih tetap menggunakan sebutan kepala desa untuk kepala Ohoi Kepala Desa Ohoiwait saat ini bernama Abdul Galil Ingratubun (Islam), terpilih pada tahun 2008 menggantikan Librek Ingratubun (Protestan), yang meninggal dunia tahun 2007 sebelum masa kepemimpinannya selesai. Pada waktu Librek Ingratubun meninggal dunia, Sekretaris Desa (Reveldus Kudubun) kemudian ditetapkan menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa menggantikan almarhum, dengan tugas utama mempersiapkan pemilihan Kepala Desa yang baru, pada saat pemilihan, Reveldus Kudubun juga menjadi salah satu kandidat yang dikalahkan oleh Abdul Galil Ingratubun dalam pemilihan tersebut. Ketika Sekretaris desa ditetapkan 33 Bandingkan dengan tulisan Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan Lagi Tuhaku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium, diunduh 21 Desember

25 sebagai Pelaksana Tugas (Plt) pada tahun 2007, kemudian mengangkat/menunjuk saudara Daud Rahaningmas sebagai Sekretaris LKMD pada tahun yang sama. 34 Yang menarik adalah pengangkatan Daud Rahaningmas sebagai sekretaris LKMD, karena dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan sebab baru pertama kalinya posisi Sekrearis LKMD itu dipercayakan bagi seseorang yang berkedudukan sebagai renren (penduduk asli-keturunan Rat Kanar El). Jika menelusuri garis sejarah kepemimpinan di Desa Ohoiwait seperti yang ditulis saudara Melky (tanpa menyebutkan marga), dengan Eliezer Rahajaan sebagai sumber sejarah 35 maka, dapat diformulasikan sebagai berikut: orang mula-mula yang mendiami desa ohoiwait adalah Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar, kemudian 36 Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar memanggil Mel Rahajaan dari Watlaar yang hendak menuju Tunkor (desa Tutean) untuk tinggal bersama-sama dengan pengakuan bahwa kekuasaan akan diserahkan kepada Mel Rahajaan. Maka tinggallah Mel Rahajaan di desa Ohoiwait dan kekuasaan diserahkan kepada mereka. Kemudian datang pula Mel Rahawarin dari Haar menuju ke Tunkor, waktu berdirilah Mel Rahajaan di Fid Wo Wo o/maswo untuk mengundang Mel Rahawarin tinggal bersam-sama di desa Ohoiwait, dalam artian bahwa kekuasaan akan diserahkan pula kepada Mel Renwarin. Maka tinggalah Mel Rahawarin yang bernama Tawuwod di desa Ohoiwait. Selanjutnya Tawawod kawin dengan Baim Wok Rusbal dari desa Ohoiangan dan melahirkan 4 orang anak, yakni: 1). Yahau, sebab waktu ia lahir anjing meraung; 2). Kud, sebab waktu ia lahir orang tua sedang memegang tali sifat dan kapak untuk pergi mencincang kayu perahu; 3). Ingrat, sebab waktu ia lahir ada kebakaran di hutan; dan 4). 34 Hasil wawancara dengan Reveldus Kudubun dan Daud Rahaningmas, di Desa Ohoiwait, tanggal 20 Januari Tulisan ini dimuat pada UMEL GENERATION (Group Facebook) pada bagian forum diskusi dengan judul SEJARAH SINGKAT DESA OHOIWAIT. Saya menanggapi tulisan itu (2010) dengan mengajukan beberapa pertanyaan termasuk menyingung tesis Martinus Ngabalin (di PPs MSA UKSW) untuk didiskusian lebih lanjut namun sampai tesis ini ditulis ajakan diskusi saya belum/tidak ditanggapi, termasuk Martinus Ngabalin yang juga adalah angota group itu tidak menanggapi colekan saya ketika menyinggung tesisnya. Lengpaknya sejarah singkat itu dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 158 tesis ini. 36 Kata-kata yang di underlile adalah tambahan yang saya buat untuk meringkas dan sebagai penyambung cerita tersebut. Sedangkan kata-kata yang di Italic adalah penekanan terhadap kalimat yang dalam tulisan aslinya yang menggunakan tanda petik. 70

26 Notan, sebab waktu ia lahir ikan besar Otan terdampar dipantai Woar Ngil Wowo. Keturunan Tawawot inilah yang melahirkan 4 marga yakni: Yahaubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun ditambah dengan magra Rahajaan, maka kelima marga itulah yang ada di desa Ohoiwait. Diuraikan pula bahwa Mel Reyaur telah punah, maka pada waktu itu juga atas musyawarah bersama mereka mengangkat: Afelar (Susbat) Yahauubun untuk memegang roda pemerintahan desa Ohoiwait, sebab ia adalah anak sulung. Maka jika diurutkan soal kepeminpinan desa Ohoiwait dari Afelar adalah sebagai berikut: 1. Afelar (Susbat) Yahauubun; 2. Basiar Ingratubun; 3. Awat/Muhamad Ren Inggratubun; 4. Kolain/Ahmad Inggratubun; 5. Yakuba Inggratubun; 6. Tahori Inggratubun; 7. Husin Inggratubun; 8. Librek Inggratubun; dan 9. Abdul Galil Inggratubun. Berdasarkan tulisan yang dikemukakan oleh Melky di atas, diketahui bahwa pemimpin pertam di El Umel saat itu adalah (Mel) Reyaur. Namun setelah kedatangan kelompok Rahayaan dan Rahawarin masing-masing dari Watlaar dan Haar, yang dipanggil kemudian kepemimpinana desa (Ohoi) itu berpindah tangan, mula-mula kepada Rahayaan lalu berpindah lagi kepada keturunan Rahawarin yang bernama Afelar (Susbat) Yahaubun, akibat punahnya kelompok/keturunan Reyaur sebagai penduduk asli. Fase berikutnya kepemimpinan (kepala) Ohoi itu berpindah lagi dari Yahaubun kepada Ingratubun, dan sampai dengan saat ini Ingratubun kemudian mengklaim diri (marga) sebagai yang memiliki tampuk kekuasaan di Ohoi. Klaim seperti itu juga diperkuat dengan tuturan sejarah kepemimpinan Ohoi (kepala Ohoi), yang ketika tampuk kekuasaan Ohoi berpindah dari Afelar Yahaubun kepada Basiar Ingratubun, kemudian kepemimpinan selanjutnya tetap dipegang (diwariskan) kepada marga Ingratubun. Seperti terurai dalam cerita di atas, terlihat bahwa status Kepala Ohoi mulai dari generasi kepemimpinan kedua sampai dengan generasi kepemimpinan kesembilan selalu dipegang oleh Marga Ingratubun. Walaupun sudah dilakukan pemilihan kepala Ohoi, tetapi yang menjadi calon kepala 71

27 Ohoi harus ada yang berasal dari marga Ingratubun, dan strategi mempengaruhi secara kekeluargaan dengan berpegangan pada fakta sejarah kepemimpinan itu adalah senjata ampuh yang dapat memenangkan calon yang bermarga Ingratubun. Yang menarik adalah calon muncul dari Ingratubun itu harus berasal dari mel-mel (pendatang). Terlepas dari sejarah kepemimpinan (kepala) Ohoi itu, secara keseluruhan menurut penulis terdapat beberapa kelemahan argumentasi dari si penulis dan penutur sejarah (Melki dan Eliazer Rahajaan). Beberapa kelemahan tersebut adalah: pertama, penulis dan sumber sejarah seolah-olah menghilangkan dinamika (situasi) sosial ketika kedatangan para pendatang yang disebutnya sebagai Mel Rahajaan itu. Dinamika yang tidak dipertimbangkan adalah bagaimana mungkin sekelompok orang memanggil sekelompok orang lain yang sedang hanyut di laut 37 dan dengan serta-merta menyerahkan semua haknya untuk diatur oleh orang yang tidak mereka kenal? Atau bagaimana mungkin kita memanggil orang lain yang sedang berlayar kesuatu tujuan untuk tinggal bersama-sama tanpa orang yang berlayar itu meminta bantuan/pertolongan?. Kelemahan Kedua, pada fase kedatangan Mel Rahawarin terlihat jelas kepentingan penulis (Melky dan sumber sejarahnya) mencoba menghilangkan keberadaan dan peran penduduk asli (yang mereka sebut Mel Reyaur dan Ren Ohoilean Rahangiar), dengan menceritakan bahwa waktu itu berdirilah Mel Rahajaan di Fid Wo Woo untuk mengundang Rahawarin. Pertanyaanya mengapa Reyaur, Ohoilean, Rahangiar tidak ikut mengundang? Atau mereka ada dimana?. Kelemahan 37 Frasa sedang hanyut lo r fok ini tidak diuraikan/dikemukakan oleh penulis sejarah. Padahal frasa itu menurut penulis merupakan kata kunci dari keseluruhan cerita sejarah tentang kehadiran para pendatang yang kemudian tinggal dan menetap di El Umel sampai dengan saat ini. 72

28 Ketiga, adalah usaha meniadakan peran (Mel?) Reyaur, Ohoilean dan Rahangiar dalam fase kedatangan Mel Rahawarin itu hanya untuk memperkuat argumentasi sehinga pada bagian cerita berikut dapat dibangun pernyataan bahwa (Mel) Reyaur telah punah. Untuk memperkuat argumentasi peneliti tentang ketiga kelemahan cerita sejarah di atas, maka perlu diuraikan secara singkat kedatangan para pendatang, seperti terdeskripsikan di bawah ini Kedatangan Rahajaan dan Rahawarin di Desa Ohoiwait Konon kedatangan para pendatang di desa Ohoiwait terjadi dalam dua fase. 38 Fase pertama adalah orang yang bermarga Rahajaan dari Watlaar salah satu desa di Kei Besar Utara Timur yang dalam sejarah lisan dikatakan hendak menuju Tunkor (Tutrean) salah satu desa di Kei Besar Selatan bagian timur. Tidak jelas siapa nama sebenarnya orang yang bermarga Rahajaan ini. Dalam cerita yang di buat Melky dengan sumber sejarah Eliezer Rahajaan (salah satu keturunan dari Rahajaan), juga tidak mencantumkan nama leluhur Rahajaan itu, atau mungkin karena Elieser Rahajaan sendiri kurang mengetahuinya. Fase kedua adalah Tawowot Rahawarin bertolak dari Haar salah satu desa di Kei Besar Utara Timur, kononnya juga hendak menuju ke Tunkor atau Teutrean. Pertanyaannya ada apa di Tunkor? 38 Bagian ini diuraikan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Anton Notanubun, Louis Notanubun, Kanar El Rahaningmas, Welhelmus Kudubun, Nimrot Rahaningmas dan Christian Kudubun di desa Ohoiwait tanggal Januari 2011; dan Enchi Ohoilean di Dusun Mataholat tanggal 15 dan 16 Februari Tidak ada data pasti tetang kapan (waktu/tahun) kedatangan para imigran ini di Desa Ohoiwait, bahkan para informan kunci sendiri tidak bisa memberikan waktu/tahun yang pasti tentang hal itu. Mereka hanya mengatakan bahwa kedatangannya terjadi seletah Bun Kanar (Kanar El) telah tiada atau meninggal dunia. Lihat footnote nomor 56, sebab itu kemungkinan kedatangan kedua kolompok ini terjadi sekitar tahun 1700-an. 73

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan

AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan Jurnal Cakrawala ISSN 1693 6248 AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan Oleh: Elly Esra Kudubun 1 ABSTRACT Ain Ni Ain philosophy that symbolized as

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini BAB V KESIMPULAN Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini yang dimaksud adalah Nufit Haroa yaitu Tuun En Fit yang terdiri dari tujuh ohoi) yang berada di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri BAB I PENDAHULUAN Di Ambon salah satu bentuk kekerabatan bisa dilihat dalam tradisi Pela Gandong. Tradisi Pela Gandong merupakan budaya orang Ambon yang menggambarkan suatu hubungan kekerabatan atau persaudaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 31/PUU-V/2007

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 31/PUU-V/2007 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 31/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA TUAL

Lebih terperinci

AKTUALISASI UNGKAPAN-UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KEI (EVAV) KABUPATEN MALUKU TENGGARA

AKTUALISASI UNGKAPAN-UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KEI (EVAV) KABUPATEN MALUKU TENGGARA AKTUALISASI UNGKAPAN-UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KEI (EVAV) KABUPATEN MALUKU TENGGARA THE ACTUALIZATION OF THE TRADITIONAL PROVERBS IN KEI SOCIETY (EVAV) IN SOUTH EAST MOLUCCAS REGENCY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengkonfirmasikan tentang asal-usul seseorang atau sekelompok orang, sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. mengkonfirmasikan tentang asal-usul seseorang atau sekelompok orang, sekaligus BAB I PENDAHULUAN Adat in ot rat naa dunyai : Terhormat atau tidaknya seseorang tergantung pada perilaku dan tutur katanya 1.1. Latar belakang Tom Tad 1 merupakan ungkapan bahasa Kei (veve evav) yang mengkonfirmasikan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014 KAJIAN HUKUM PERKAWINAN NASIONAL TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN ANTARA HUBUNGAN PELA DI MALUKU TENGGARA 1 Oleh : William I. Wellikin 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana pandangan

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan Kecamatan Bangkinang Barat. Hal ini disebabkan karena Salo telah

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan Kecamatan Bangkinang Barat. Hal ini disebabkan karena Salo telah BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sekilas Tentang Sejarah Kecamatan Kuok Kuok adalah salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Sebelum dinamai Kecamatan Kuok, Kecamatan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, yang bukan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT KEPUTUSAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 28 TAHUN 2002 T E N T A N G PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN A. Sekilas Tentang Bapak Kasun Sebagai Anak Angkat Bapak Tasral Tasral dan istrinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Begawai Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berputarnya waktu, suatu komunitas sosial selalu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berputarnya waktu, suatu komunitas sosial selalu mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Identifikasi Masalah Seiring dengan berputarnya waktu, suatu komunitas sosial selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula halnya dengan praktek-praktek

Lebih terperinci

BAB III AIN NI AIN DALAM EKSISTENSI MASYARAKAT KEI

BAB III AIN NI AIN DALAM EKSISTENSI MASYARAKAT KEI BAB III AIN NI AIN DALAM EKSISTENSI MASYARAKAT KEI Bab ini akan secara khusus akan menjelaskan beberapa hal pokok mengenai pertama, profil makro masyarakat Kei; kedua, ain ni ain dalam tutur sejarah masyarakat

Lebih terperinci

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO A. Keadaan Umum Desa Sukapura 1. Keadaan Geografis Desa

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Geofrafis dan Demografis Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di wilayah Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ordinat 5º- 6º Lintang Selatan dan 131º- 133,5º Bujur Timur dan secara geografis,

BAB I PENDAHULUAN. ordinat 5º- 6º Lintang Selatan dan 131º- 133,5º Bujur Timur dan secara geografis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Langgur merupakan Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang terletak di Provinsi Maluku. Secara astronomi Kabupaten Maluku Tenggara terbentang pada ordinat 5º- 6º

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA http://nasional.inilah.com I. PENDAHULUAN Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia bagian timur

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan

Lebih terperinci

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Kuwati, M. Martosupono dan J.C. Mangimbulude Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email: kuwatifolley@yahoo.co.id Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan

Lebih terperinci

Pernikahan Kristen Sejati (2/6)

Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Nama Kursus   : Pernikahan Kristen yang Sejati Nama Pelajaran : Memilih Pasangan Kode Pelajaran : PKS-P02                    Pelajaran 02 - MEMILIH

Lebih terperinci

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK A. Gambaran Tentang Desa Kepuh Teluk 1. Letak Geografis Desa Kepuh Teluk Desa atau Kelurahan

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari beragam budaya dan ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara sederhana perkawinan adalah suatu hubungan secara lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. 1 Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB V AIN NI AIN SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA

BAB V AIN NI AIN SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA BAB V AIN NI AIN SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA Berdasarkan kajian Ain ni ain dalam perspektif konseling multikultural dan Ain ni ain sebagai resolusi konflik internal antardesa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Pemanfaatan Sumberdaya alam oleh masyarakat lokal berdasarkan pengetahuan tradisional telah dikenal masyarakat Raja Ampat sejak dahulu. Budaya sasi yang berawal

Lebih terperinci

K E P E N D U D U K A N

K E P E N D U D U K A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG K E P E N D U D U K A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk kelancaran, ketertiban

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. Kaus Nono dalam Perkawinan Meto Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Tesis ini menjelaskan tentang perubahan identitas kultur yang terkandung dalam Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu Negeri

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk berinteraksi satu sama lain antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dimana dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara-negara diseluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Pentingnya

Lebih terperinci

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB IV STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB IV STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Mencermati deskripsi pada BAB III khususnya tentang kehadiran imigran dari Watlaar dan Haar di Ohoiwait, serta

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA Adat bagi masyarakat Batak Toba merupakan hukum yang harus dipelihara sepanjang hidupnya. Adat yang diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang dipersatukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. para ahli. Makna berasal dari bahasa Jerman meinen yang artinya ada di pikiran atau benar

II. TINJAUAN PUSTAKA. para ahli. Makna berasal dari bahasa Jerman meinen yang artinya ada di pikiran atau benar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Makna Tradisi Untuk memberikan gambaran yang memperjelas permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, berikut penulis menyajikan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pencarian Jodoh Muli Mekhanai Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata Pemilihan mempunyai arti proses atau cara perbuatan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Restu Rahayu Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur. Wilayah Kecamatan Raman Utara memiliki

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mengadakan pengolahan dan menganalisis data dari hasil penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN UMUM Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura memiliki pergaulan hidup yang unik jika dibandingkan dengan masyarakat Papua lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA. Nomor : 06 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 06 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 06 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA. Nomor : 06 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 06 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 06 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA Nomor : 06 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 06 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN SANIRI OHOI/OHOI RAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebelum agama-agama besar (dunia), seperti Agama Islam, katolik, Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, ternyata di Indonesia telah terdapat agama suku atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman

Lebih terperinci

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.: Ä Ä Ä TAHUN 2003 TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA 4.1. Pengantar Masyarakat Yalahatan secara administratif merupakan masyarakat dusun di bawah pemerintahan Negeri Tamilouw

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut. BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA. Nomor : 07 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 07 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 07 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA. Nomor : 07 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 07 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 07 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA Nomor : 07 Tahun : 2009 Seri : D Nomor : 07 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN UMUM KERJASAMA ANTAR RATSHAP DAN OHOI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah

BAB IV ANALISA. Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah BAB IV ANALISA Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah dideskripdikan di dalam Bab III. Sedangkan upaya pendekatan yang dipakai untuk menganalisis pokok-pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. II. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. II. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN II. 1. Latar Belakang Permasalahan Kekristenan dan kebudayaan merupakan dua identitas yang melekat erat pada saat yang sama dalam diri orang Kristen. Untuk menjadi orang Kristen, seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci