RINGKASAN. Kota Bogor, Ruang Terbuka Hijau, Pertumbuhan Penduduk, Kebutuhan Oksigen.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RINGKASAN. Kota Bogor, Ruang Terbuka Hijau, Pertumbuhan Penduduk, Kebutuhan Oksigen."

Transkripsi

1 RINGKASAN INTAN LAKSMITA SARI. Kajian Proyeksi Luas Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor dan Arahan Pola Penyebarannya. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG SULISTYANTARA. Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor menyebabkan kebutuhan ruang terbangun meningkat, hal ini berimbas pada penurunan luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bogor di setiap tahunnya. Proporsi RTH sesuai UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada wilayah perkotaan yaitu 30% dari luas kota. Kota Bogor memiliki luas wilayah ± ha sehingga dibutuhkan ha yang terdiri dari 20 % RTH publik ± ha dan 10 % RTH privat yaitu ±1.185 ha. Pada tahun mendatang, untuk menghindari perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang semakin meningkat, dibutuhkan luasan RTH yang diprioritaskan untuk dipertahankan dengan pemenuhan RTH berdasarkan kebutuhan lainnya. Penelitian ini menghitung kebutuhan RTH untuk memenuhi kebutuhan sesuai jumlah penduduk kota dan jumlah kebutuhan oksigen kota. Untuk perhitungan proyeksi kebutuhan RTH sesuai jumlah penduduk, digunakan timeseries data penduduk yang didapat dari BPS Kota Bogor dengan growth model dan menggunakan ketetapan 2,53m 2 /individu. Proyeksi kebutuhan RTH sesuai kebutuhan oksigen kota, menggunakan data pengguna oksigen di kota, yaitu jumlah penduduk kota, jumlah ternak dalam kota, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah industri yang berada di Kota Bogor, dengan unit analisis per kecamatan. Perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dilakukan dengan menggunakan metode Gerarkis yang dikembangkan oleh Wisesa pada tahun1988. Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2030 adalah jiwa dan proyeksi kebutuhan RTH-nya seluas 361,4 ha. Dengan rincian proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan RTH sebagai berikut: (1) Kecamatan Bogor Selatan jiwa dan 68,07 ha; (2) Kecamatan Bogor Timur jiwa, dan 38,29 ha; (3) Kecamatan Bogor Utara jiwa dan 60,31 ha; (4) Kecamatan Bogor Tengah jiwa dan 29,21 ha; (5) Kecamatan Bogor Barat jiwa dan 94,02 ha; (6) Kecamatan Tanah Sareal jiwa dan 71,50 ha..proyeksi kebutuhan RTH sesuai kebutuhan oksigen Kota Bogor adalah sebesar 943,73 ha. Kecamatan Bogor Selatan 188,65 ha. Kecamatan Bogor Timur seluas 94,38 ha. Kecamatan Bogor Utara seluas 169,85 ha. Kecamatan Bogor Tengah seluas 103,71 ha. Kecamatan Bogor Barat seluas 207,76 ha dan Kecamatan Tanah Sareal seluas 179,39 ha. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa peta arahan dan pola sebaran RTH di tiap kecamatan di Kota Bogor, dimana daerah sebaran tersebut berdasarkan penggunaan lahan yang telah ada dengan mengutamakan penggunaan lahan dengan nilai landrent yang rendah yaitu diutamakan tanah kosong, semak, dan pepohonan. Kata Kunci: Kota Bogor, Ruang Terbuka Hijau, Pertumbuhan Penduduk, Kebutuhan Oksigen.

2 SUMMARY INTAN LAKSMITA SARI. Projection of Bogor City Green Open Space Area and Spatial Distribution Pattern Requirement. Under Supervision of ERNAN RUSTIADI and BAMBANG SULISTYANTARA. A growing number of inhabitant of the Bogor City increase urban space requirements, this broad impact on the reduction of green open spaces (greenery) yearly. Proportion of greenery in accordance with National Act No. 26 of 2007 on spatial planning in urban areas, representing 30% of the city area. Bogor occupies ha, and need as consisting of 20% of city areas (± ha) public green open space and 10% private green open space (±1.185 ha). In the next year, to avoid land-use change with green open space becomes more awake, it is needed to find the method to justify the priority of green open space to be conserved. This study calculated the appropriate green space to meet the needs of the urban population and total oxygen demand of the city. Calculation of the projected need for green space based on population was conducted by using population data and timeseries population projection in the year to be calculated. Calculation the need for green open space based on oxygen requirement was conducted by employing population data, number of livestock, the number of motor vehicles and the number of industries located in Bogor City, where the unit of analysis was per sub district. Estimated population of Bogor City in 2030 will be inhabitants, and need greenery as much as 361,4 ha. Details of projected population and the need for green spaces as follows: (1) South Bogor Sub District, inhabitants and 68,07 ha; (2) East Bogor, inhabitants and 38,29 ha; (3) North Bogor, inhabitants and 60,31 ha; (4) Central Bogor, inhabitants and 29,21 ha; (5) West Bogor, inhabitants and 94,02 ha; and (6) Tanah Sareal, inhabitants and 71,50 ha. The projected requirements for greenery in accordance with the requirements of oxygen is 943,73 ha. It is distributed to South Bogor district 188,65 ha, East Bogor Areas 94,38 ha, North Bogor area 169,85 ha, Central Bogor area 103,71 ha, West Bogor 207,76 ha, Tanah Sareal area 179,39 ha. The final result of this research is a map of the direction and the distribution of green space in each district in Bogor City, where distribution is based on existing land use, with emphasis on the use of land with a low value of land rent, namely vacant land, shrubs and trees. Keyword: Bogor, Green Open Space, Growth Model, Oxygen Requirement.

3 KAJIAN PROYEKSI LUAS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BOGOR DAN ARAHAN POLA PENYEBARANNYA INTAN LAKSMITA SARI A Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

4 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Kajian Proyeksi Luas Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor dan Arahan Pola Penyebarannya : Intan Laksmita Sari : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP Tanggal lulus:

5 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Intan Laksmita Sari, dilahirkan di Temanggung, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli Penulis adalah putri sulung dari tiga bersaudara pasangan Aminto Nugroho dan Erina Rusdian Sari. Penulis mengawali jenjang pendidikan formal di TK Aisyah Banyuwangi, Jawa Timur dan dilanjutkan di TK REMAJA Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Satu tahun pertama jenjang SD dilewati di SD REMAJA, kemudian dilanjutkan di SD Negeri Banjarbaru Utara I, Banjarbaru, Kalimantan Selatan hingga lulus. Pada tahun 2001 hingga 2004 melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 7 Bogor, Jawa Barat. Penulis melanjutkan pendidikan SMA selama dua tahun melalui program akselerasi di SMA Negeri 3 Bogor dan menyelesaikan pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program Undangan Seleksi Masuk IPB, pada tahun berikutnya penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan minor Arsitektur Lanskap. Penulis juga aktif menjadi pengurus pada Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah masa bakti sebagai anggota Sub Divisi Hubungan Luar dan Alumni, Divisi Informasi dan Komunikasi. Pada masa bakti berikutnya penulis dipercaya menjadi Koordinator Sub Divisi Hubungan Luar dan Alumni di Divisi yang sama. Selain itu, hingga tahun 2010 penulis aktif dalam setiap kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan terutama acara penglepasan wisudawan DITSL, kegiatan U_Cup Fakultas Pertanian dan kegiatan di luar jurusan maupun fakultas lainnya. Dalam kegiatan akademik, penulis menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Agrogeologi pada tahun ajaran 2007/2008 dan Perencanaan Pengembangan Wilayah pada tahun 2009/2010.

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dengan judul Kajian Proyeksi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor dan Arahan Pola Penyebarannya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian serta Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM Kampus IPB Baranangsiang. Penelitian mengkaji kebutuhan RTH Kota Bogor dilatarbelakangi karena meningkatnya jumlah penduduk Kota Bogor. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan ruang terbangun meningkat yang berimbas pada penurunan luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bogor di setiap tahunnya, sehingga dibutuhkan alternatif angka kebutuhan RTH dengan pendekatan fungsi lainnya agar kebutuhan RTH Kota Bogor tetap terpenuhi. Selain besarnya peranan ilmu dari Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, dibutuhkan pula beberapa kajian ilmu dari arsitektur lanskap. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, semoga hasil-hasil yang dituangkan dalam skripsi ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukannya. Bogor, November 2010 Penulis

7 UCAPAN TERIMA KASIH Dalam perjalanan penelitian, penulis banyak mendapatkan bantuan dari banyak pihak dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan ilmu yang diberikan kepada penulis. 2. P4W LPPM IPB, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi, Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bogor serta instansi lain yang telah memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa data penelitian selama ini kepada penulis. 3. Bapak, Ibu dan adik-adik tercinta atas semua dukungan dan kasih sayangnya, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir dari keluarga. 4. Dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, terutama dari Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Mbak Emma dan Mbak Dian serta Mbak Hesti yang banyak membantu selama penelitian. 5. Maulana Wijaya atas dukungan, semangat serta do a kepada penulis dalam perjalanan penelitian. 6. Teman-teman MSL43 yang telah memberikan rasa kekeluargaan yang tak terlupakan dalam kebersamaan selama ini, terutama Sony Nugroho yang sangat membantu penulis dan teman-teman di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan semua mahasiswa MSL yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan semangat dan kerjasamanya. 7. Teman dari arl dan ipb43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas saran, motivasi dan bantuan dalam penelitian penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-nya dan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan maupun yang tidak tersebutkan.

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... iix DAFTAR GAMBAR... ix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Definisi Ruang Terbuka Hijau Fungsi RTH Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan Peran Geographic Information System (GIS) dalam Analisis RTH.. 25 III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penelitian IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Topografi Klimatologi Pemanfaatan Ruang Kota dan Pengunaan Lahan Penggunaan Lahan di Kota Bogor Ruang Terbuka Hijau di Kota Bogor Perkembangan Perencanaan dan Konsep RTH Kota Bogor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor Per Kecamatan Proyeksi Kebutuhan RTH Kota Bogor Per Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Jumlah Penduduk di Tahun Proyeksi Kebutuhan RTH Kota Bogor Per Kecamatan Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota

9 5.4. Arahan dan Pola Penyebaran Proyeksi Kebutuhan RTH Kota Bogor Per Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota dan Jumlah Penduduk di Tahun VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Metode Penelitian Sumber Data Penelitian Klasifikasi dan Sebaran Land Use/ Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Tahnu Perbandingan nilai R 2 masing-masing Kecamatan Model Persamaan Proyeksi Perhitungan Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor Proyeksi Kebutuhan RTH Kota Bogor dan per Kecamatan Sesuai Jumlah Penduduk Kota Bogor di Tahun Proyeksi Kebutuhan RTH Kota Bogor dan per Kecamatan Sesuai Kebutuhan Oksigen Kota Bogor di Tahun Lampiran 1. Perhitungan Kebutuhan Oksigen Industri, Kendaraan dan Ternak Kota Bogor

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Pola Hubungan Dua Peubah dengan Koefisien Regresi Positif (a) dan Negatif (b) Peta Lokasi Penelitian Kerangka Pikir Penelitian Citra Ikonos Kota Bogor Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor RTH Bentang Alam RTH Perkantoran dan Gedung Komersil RTH Median dan Tepian Jalan RTH Sepadan Rel Kereta Api RTH RTH Pedestrian RTH Lapangan Olahraga RTH Sepadan Sungai Peta RTRW Kota Bogor Periode Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bogor Timur Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bogor Utara Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bogor Tengah Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bogor Barat Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Tanah Sareal Grafik Data BPS dan Hasil Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor

12 21. Grafik Proyeksi Presentasi Jumlah Penduduk Kota Bogor per Kecamatan di Tahun Grafik Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kota Bogor per Kecamatan di Tahun Peta Arahan Ruang Terbuka Hijau Sesuai Kebutuhan Oksigen Kota Bogor di Tahun Peta Arahan Ruang Terbuka Hijau Sesuai Jumlah Penduduk Kota Bogor di Tahun

13 I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota jasa sekaligus kota pemukiman yang mempunyai visi Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan Amanah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kota Bogor sejak dahulu dikenal dengan banyaknya ruang terbuka hijau dengan beraneka ragam flora, sehingga kesejukan udaranya menjadi alasan utama bagi para pendatang untuk tinggal di Kota Bogor (BAPEDDA, 2007) Dinamika perkembangan kota baik secara eksternal maupun internal, mempengaruhi kondisi lingkungan khususnya ruang terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota bogor setiap tahun semakin berkurang, hal tersebut disebabkan terjadinya perubahan fungsi yang semula berupa lahan terbuka alami menjadi terbangun untuk berbagai keperluan pembangunan seperti perumahan, industri, perdagangan dan jasa, kantor jalan, dan lain-lain. Sebagai akibat persaingan yang semakin ketat maka lahan yang produktif tetapi kurang memiliki nilai ekonomi akan tersingkir. Sebaliknya lahan terbuka hijau yang berada pada lokasi stategis dan mempunyai nilai ekonomi tinggi akan terancam fungsinya, terutama fungsi ekologisnya. Persaingan dalam pemanfaatan lahan saat ini lebih banyak berpihak pada kepentingan ekonomis dibandingkan ekologisnya. Hal inilah yang menyebabkan proporsi RTH Kota Bogor berkurang. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat. 13

14 Berdasarkan UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang proporsi RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka privat. Jika hasil perhitungan lebih kecil dari 30 %, maka kebutuhan RTH yang digunakan tetap 30 %, sedangkan jika hasil perhitungan lebih besar dari 30 % maka angka tersebut yang dijadikan target pemenuhan luas RTH. Jumlah penduduk Kota Bogor menurut data agregat hasil sensus penduduk 2010 oleh BPS sejumlah jiwa dengan rincian, Kecamatan Bogor Utara jiwa, Kecamatan Bogor Barat jiwa, Kecamatan Bogor Timur jiwa, Kecamatan Bogor Selatan jiwa, Kecamatan Bogor Tengah jiwa, Kecamatan Tanah Sareal jiwa. BAPPEDA Kota Bogor memprediksikan jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2025 sejumlah jiwa dengan rincian, Kecamatan Bogor Utara jiwa, Kecamatan Bogor Barat jiwa, Kecamatan Bogor Timur jiwa, Kecamatan Bogor Selatan jiwa, Kecamatan Bogor Tengah jiwa, Kecamatan Tanah Sareal jiwa. Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor menyebabkan kebutuhan ruang terbangun meningkat, hal ini berimbas pada penurunan luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bogor di setiap tahunnya. Proporsi RTH sesuai UU, Kota Bogor memiliki luas wilayah ± ha sehingga dibutuhkan ha yang terdiri dari 20 % RTH publik ± ha dan 10 % RTH privat yaitu ±1.185 ha. Pada tahun mendatang, untuk menghindari perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang semakin meningkat, dibutuhkan luasan RTH yang diprioritaskan untuk dipertahankan dengan pemenuhan RTH berdasarkan kebutuhan lainnya. Penyediaan kebutuhan RTH di kawasan perkotaan sesuai Masterplan RTH Kota Bogor dapat dipertimbangkan dari beberapa pendekatan, antara lain: (1) Penyediaan kebutuhan RTH berdasarkan persentase luas wilayah; (2) Penyediaan kebutuhan RTH berdasarkan luasan per kapita; (3) Penyediaan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen (O 2 ); (4) Penyediaan kebutuhan RTH berdasarkan 14

15 netralisasi karbondioksida; dan (5) Penyediaan kebutuhan RTH berdasarkan perhitungan kebutuhan air. Alokasi penyebaran RTH dapat disesuaikan dengan diketahuinya kebutuhan RTH per kecamatan di Kota Bogor, sesuai jumlah penduduk per kecamatan, kepadatan penduduk per kecamatan, kebutuhan oksigen per kecamatan, dan lain-lain. Dengan demikian maka konsistensi dan inkonsistensi penggunaan lahan dapat dioptimalkan sesuai RTRW Kota Bogor dengan pemenuhan kebutuhan RTH masing-masing kecamatan. Masing-masing kecamatan memiliki arahan untuk pengembangan RTH dan setiap tanaman RTH disesuaikan dengan fungsi masing-masing RTH Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis model pertumbuhan penduduk (growth model) Kota Bogor per kecamatan periode tahun Menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH untuk seluruh kecamatan di Kota Bogor berdasarkan jumlah penduduk kecamatan dan kota. 3. Menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH untuk seluruh kecamatan di Kota Bogor berdasarkan berdasarkan kebutuhan oksigen (O 2 ) kecamatan dan kota. 4. Memberikan arahan dan pola sebaran RTH di Kota Bogor. 15

16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk baik peningkatan maupun penurunannya. Menurut Rusli (1995), secara umum ada 3 variabel demografi yang sering dikaji dalam studi ilmu kependudukan yaitu kelahiran, kematian dan migrasi atau gerak penduduk. Mengenai kelahiran, dikenal istilah fertilitas yaitu rata-rata wanita dapat menghasilkan anak. Kelahiran dan kematian dinamakan faktor alami, sedangkan perpindahan penduduk dinamakan faktor non alami. Terdapat dua bentuk migrasi yaitu migrasi yang dapat menambah jumlah penduduk disebut migrasi masuk (imigrasi), dan migrasi yang dapat mengurangi penduduk disebut migrasi keluar (emigrasi). Kelahiran bersifat menambah jumlah penduduk. Ada beberapa faktor yang menghambat kelahiran (anti natalitas) dan yang mendukung kelahiran (pro natalitas). Faktor-faktor penunjang kelahiran (pro natalitas) antara lain: (1) Kawin pada usia muda, karena ada anggapan bila terlambat kawin keluarga akan malu; (2) Anak dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang tua; (3) Anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki; (4) Anak menjadi kebanggaan bagi orang tua; (5) Anggapan bahwa penerus keturunan adalah anak laki-laki, sehingga bila belum ada anak laki-laki, orang akan ingin mempunyai anak lagi (edukasi.net, 2009). Faktor pro natalitas mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk menjadi besar. Faktor-faktor penghambat kelahiran (anti natalitas), antara lain: (1) Adanya program keluarga berencana yang mengupayakan pembatasan jumlah anak; (2) Adanya ketentuan batas usia menikah, untuk wanita minimal berusia 16 tahun dan bagi laki-laki minimal berusia 19 tahun; (3) Anggapan anak menjadi beban keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; (4) Adanya pembatasan tunjangan anak untuk pegawai negeri yaitu tunjangan anak diberikan hanya sampai anak ke 2; dan (5) Penundaaan kawin sampai selesai pendidikan akan memperoleh pekerjaan (e-dukasi.net, 2009). 16

17 Untuk menentukan jumlah kelahiran dalam satu wilayah digunakan angka kelahiran (fertilitas). Angka kelahiran yaitu angka yang menunjukkan rata-rata jumlah bayi yang lahir setiap 1000 penduduk dalam waktu satu tahun. Faktorfaktor penunjang tingginya angka natalitas dalam suatu negara antara lain: (1) Kepercayaan dan Agama, faktor kepercayaan mempengaruhi orang dalam penerimaan KB. Ada agama atau kepercayaan tertentu yang tidak membolehkan penganutnya mengikuti KB. Dengan sedikitnya peserta KB berarti kelahiran lebih banyak. (2) Tingkat pendidikan, semakin tinggi orang sekolah berarti terjadi penundaan pernikahan yang berarti pula penundaan kelahiran. Selain itu pendidikan mengakibatkan orang merencanakan jumlah anak secara rasional. (3) Kondisi perekonomian, penduduk yang perekonomiannya baik tidak memikirkan perencanaan jumlah anak karena merasa mampu mencukupi kebutuhannya. Jika suatu negara berlaku seperti itu maka penduduknya menjadi banyak (e-dukasi.net, 2009). Selain itu menurut Rusli (1995) faktor-faktor yang juga menunjang tingginya angka natalitas dalam suatu negara: (1) Kebijakan Pemerintah, kebijakan pemerintah mempengaruhi apakah ada pembatasan kelahiran atau penambahan jumlah kelahiran. Selain itu kondisi pemerintah yang tidak stabil misalnya kondisi perang akan mengurangi angka kelahiran. (2) Adat istiadat di masyarakat, kebiasaan dan cara pandang masyarakat mempengaruhi jumlah penduduk. Misalnya nilai anak, ada yang menginginkan anak sebanyak-banyaknya, ada yang menilai anak laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan atau sebaliknya, sehingga mengejar untuk mendapatkan anak laki-laki atau sebaliknya. (3) Kematian dan kesehatan, kematian dan kesehatan berkaitan dengan jumlah kelahiran bayi. Kesehatan yang baik memungkinkan bayi lebih banyak yang hidup dan kematian bayi yang rendah akan menambah pula jumlah kelahiran. 17

18 (4) Struktur Penduduk, penduduk yang sebagian besar terdiri dari usia subur, jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan yang mayoritas usia non produktif. Kematian bersifat mengurangi jumlah penduduk dan untuk menghitung besarnya angka kematian caranya hampir sama dengan perhitungan angka kelahiran. Banyaknya kematian sangat dipengaruhi oleh faktor pendukung kematian dan faktor penghambat kematian (e-dukasi.net, 2009). Faktor pendukung kematian (pro mortalitas) mengakibatkan jumlah kematian semakin besar. Yang termasuk faktor ini adalah: (1) Sarana kesehatan yang kurang memadai, (2) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, (3) Terjadinya berbagai bencana alam, (4) Terjadinya peperangan, (5) Terjadinya kecelakaan lalu lintas dan industri, dan (6) Tindakan bunuh diri dan pembunuhan (e-dukasi.net, 2009). Faktor penghambat kematian (anti mortalitas) mengakibatkan tingkat kematian rendah. Yang termasuk faktor ini adalah: (1) Lingkungan hidup sehat, (2) Fasilitas kesehatan tersedia dengan lengkap, (3) Ajaran agama melarang bunuh diri dan membunuh orang lain, (4) Tingkat kesehatan masyarakat tinggi, dan (5) Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk (e-dukasi.net, 2009). Kepadatan penduduk aritmatik yaitu jumlah rata-rata penduduk yang menempati wilayah seluas satu kilometer persegi (1 km 2 ), dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal. Terus meningkatnya tingkat kepadatan penduduk berbanding terbalik dengan jumlah ketersediaan lahan. Masalah ketersediaan lahan menjadi salah satu kendala dibangunnya RTH baru. Padahal dengan jumlah penduduk yang tinggi pada suatu wilayah, maka diperlukan penambahan luas RTH yang memadai bagi masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktanya, masyarakat banyak beraktifitas menggunakan bahan bakar dalam transportasinya, dan menghasilkan karbondioksida yang menjadi penyebab adanya pemanasan global yang terjadi sekarang ini (Prayoga, 2009). 18

19 Pemenuhan lahan untuk pemukiman dapat dilakukan dengan pembangunan vertikal sehingga mengurangi penggunaan lahan. Menurut Prayoga (2004), relokasi pemukiman liar dan refungsionalisasi kawasan bantaran kali, bantaran rel kereta api, di bawah tegangan tinggi, dan di bawah jalan layang akan menyediakan RTH yang lumayan besar. Hal-hal yang menjadi penyebab gagalnya perencana dalam merencanakan suatu RTH adalah: (1) Pertambahan penduduk yang cepat sekali, (2) Perencanaannya yang tidak matang dan selalu ketinggalan, (3) Persepsi perancang dan pelaksana belum sama dan belum berkembang, (4) Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan, (5) Kebutuhan yang sangat mendesak, dan (6) Para perencana yang belum berwawasan lingkungan, dengan pandangan yang tidak jauh ke depan (edukasi.net, 2009). Nilai Pertumbuhan Penduduk Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus : Nilai Pertumbuhan populasi di awal periode Model Pertumbuhan dan Peluruhan Penduduk Menurut Panuju dan Rustiadi (2008), model pertumbuhan secara umum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Discrete time model dan (2) Continous time model. Secara lebih rinci persamaan dari kedua model tersebut dijabarkan pada uraian dan persamaan berikut: 1. Discrete Time Model Model pertumbuhan model discrete time ini berdasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan terjadi secara agregat dengan persentase laju pertumbuhan yang relatif konstan. Contoh penggunaan model ini adalah seperti perhitungan suku bunga di bank dan bunga asuransi. Persamaan umum model ini adalah sebagai berikut : Pt = Po + r Po = (1+r) Po Pt = Po (1+r) t 19

20 Pertumbuhan penduduk kecil kemungkinan mendekati model ini, karena perkembangan penduduk mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi yang menyebabkan pada suatu titik akan mempunyai laju pertumbuhan yang cenderung berubah. Dengan persamaan berikut, pendugaan nilai parameter Pt bersifat matematis, sehingga tidak bisa diduga peluang maupun tingkat kepercayaan hasil pendugaan. 2. Continous Time Model Model Linear Model ini merupakan model pendugaan pertumbuhan dengan persamaan umum Pt = Po + αt dan didasarkan pada asumsi bahwa perubahan laju pertumbuhan relatif konstan. Berbeda dengan model (1) pada model (2) nilai Pt dan t diketahui. Parameter yang diduga adalah α. Nilai Po dapat disimulasikan bernilai 0, bernilai konstanta tertentu, ataupun sesuai pendugaan model. Pada dasarnya penentuan Po harus didasarkan pada konsep tertentu. Pendugaan parameter dalam model ini bersifat statistik, sehingga akan diperoleh nilai peluang dan tingkat kepercayaan, disamping juga parameter koefisien determinasi. Pada Gambar 1 terdapat dua model pertumbuhan (a) dan peluruhan (b). Disebut model pertumbuhan jika koefisien α bernilai positif, dan disebut peluruhan jika α bernilai negatif. Pt (a) Pt (b) t t Gambar 1. Pola Hubungan Dua Peubah Dengan Koefisien Regresi (a) Positif dan (b) Negatif Eksponensial Model ini merupakan model pertumbuhan dengan persamaan umum sebagai berikut: Pt = Po exp (αt). Model tersebut didasarkan pada 20

21 asumsi bahwa % laju berubah-ubah. Dalam kasus model eksponensial, semakin lama kecenderungan % laju akan semakin tinggi. Kondisi seperti ini akan ditemukan pada wilayah yang masih terus berkembang. Jika diasumsikan sebagai suatu tahapan perkembangan wilayah, maka wilayah dengan trend perkembangan seperti ini merupakan wilayah yang belum matang. Seperti juga pada model (2), pada model (3) nilai pengamatan adalah Pt dan t. Nilai Po boleh disimulasikan 0, sama dengan nilai tertentu (nilai data P pertama) atau diduga dari model tergantung dari konsep yang digunakan. Pendugaan ini juga bersifat statistik, sehingga juga akan diperoleh nilai peluang dan tingkat kepercayaan disamping nilai parameter koefisien determinasi. Secara grafis pola hubungan Y yang merupakan fungsi dari X dengan pemodelan pola eksponensial. Kurva Gompretz/Saturation Model ini merupakan model pertumbuhan yang didasarkan pada asumsi bahwa perubahan laju dan presentasi pertumbuhan senantiasa berubah. Model ini pada dasarnya merupakan turunan dari model logistik. Persamaan umum dari model kurva Gompertz jenuh (saturation model) ini adalah sebagai berikut : exp 1 exp Pada dasarnya model peluruhan ini mempunyai prinsip yang sama dengan pertumbuhan sebagaimana dijelaskan diatas. Asumsi-asumsinya relative sama dengan asumsi model eksponensial. Perbedaannya terletak pada nilai gradiennya. Jika nilai gradient positif disebut sebagai model pertumbuhan (growth) dan sebaliknya jika gradient negative maka disebut sebagai model peluruhan (decay). 2.2 Definisi Ruang Terbuka Hijau RTH didefinisikan sebagai ruang terbuka yang manfaatnya lebih bersifat pengisian hijauan tanaman, baik yang bersifat alamiah atau budidaya tanaman dan 21

22 sebagainya (Inmendagri No. 14 tahun 1988). Selain itu menurut Purnomohadi dalam Budiman (2010) bahwa (1) RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri terutama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang terbuka hijau publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. Menurut Nurisjah dan Pramukanto dalam Budiman (2010) RTH merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Dalam Master Plan RTH Kota Bogor (2007), definisi lain mengatakan bahwa secara umum ruang terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka 22

23 (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosialbudaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. 2.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, RTH memiliki fungsi utama dan tambahan sebagai berikut: Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis: (1) Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota) (2) Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar (3) Sebagai peneduh (4) Produsen oksigen (5) Penyedia habitat satwa (6) Penyerap air hujan, polutan media udara, air dan tanah, serta (7) Penahan angin. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu (1) Fungsi sosial dan budaya yang menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota dan tempat rekreasi serta wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam; (2) Fungsi ekonomi yang terdiri dari sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain; dan (3) Fungsi estetika yaitu berfungsi meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan. Menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk faktor keindahan arsitektural serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati. 23

24 2.4 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan Penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau dapat menggunakan pendekatan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kebutuhaan fungsi tertentu. Salah satu fungsi tertentu dari RTH adalah kebutuhan oksigen Kota. a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut (1) ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; (2) proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; (3) apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 menentukan cara perhitungan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku yaitu 2,53 m 2 /orang. c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini dijelaskan dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 adalah fungsi perlindungan atau 24

25 pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. d. Perhitungan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigennya Luas kebutuhan RTH dapat dihitung berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen dengan menggunakan metode Gerarkis (1974) dalam Wisesa (1988) yang kemudian dikembangkan oleh Wijayanti (2003) yaitu sebagai berikut : dimana, L : ai : bi : ci : di : Ui : Vi : Yi : Zi : K : Luas RTH (ha) Kebutuhan oksigen per orang (kg/jam) Kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (kg/jam) Kebutuhan oksigen per industry (kg/jam) Kebutuhan oksigen per ternak(kg/jam) Jumlah Penduduk Jumlah kendaraan bermotor berbagai jenis Jumlah industri dari berbagai skala Jumlah ternak dari berbagai jenis Konstanta (rataan oksigen yang dihasilkan Hutan Kota kg/jam/ha 2.5 Peran Geographic Information System (GIS) dalam Analisis RTH GIS dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristikk yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Prahasta (2004) SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dasar dalam menangani data bereferensi geografis, kemampuan dasar tersebut adalah: (1) Data masukan (data spasial dan data atribut), (2) Data luaran (peta tematik), (3) Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), dan (4) Analisis data. 25

26 Perangkat lunak SIG yang biasa digunakan antara lain ArcView, ArcGis, MapInfo, ERDAS. Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah ArcView versi 3.3 karena kemampuannya menganalisis lebih baik dari versi sebelumnya dan memiliki banyak ekstensi untuk mempermudah dalam analisis data yang dibutuhkan. Lebih lanjut, Prahasta (2004) menyatakan bahwa ArcView merupakan salah satu perangkat lunak desktop Sistem Informasi Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Environmental System Research Institut, Inc). Dengan ArcView, pengguna dapat memiliki kemampuankemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab pertanyaanpertanyaan (baik data spasial maupun data non-spasial), menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Kemampuan perangkat SIG ArcView yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut : (1) Pertukaran data, membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format perangkat lunak SIG lainnya (2) Menampilkan Informasi (basis data) spasial maupun atribut (3) Membuat peta tematik. Dalam menentukan penggunaan lahan yang akan dijadikan arahan RTH menurut Prahasta (2004) dapat digunakan Query, dengan fungsi untuk menandai sel theme grid sesuai dengan kriteria yang diinginkan, satuan data yang ditandai adalah sel atau piksel pada theme grid. Menandai data dengan query dapat dilakukan pada view ataupun pada tabel. Menandai data dengan query pada view dapat dilakukan dengan menu Theme Query. Peta arahan RTH menggunakan peta administrasi kota bogor, peta hierarki jalan kota bogor serta peta hasil penentuan arahan, metode yang digunakan untuk mengasilkan peta tersebut menggnakan metode overlay clip one. Menurut Prahasta (2004). Fasilitas ini biasanya digunakan untuk memperoleh informasi pada daerah dengan luasan yang lebih kecil dari peta yang mencangkup daerah yang luas. 26

27 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan objek Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, seperti pada Gambar 2. Analisis spasial maupun analisis data dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Imu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian dan Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM Kampus IPB Baranangsiang. Waktu penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, mulai dari bulan Februari 2010 hingga Agustus Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3.2. Metode Penelitian Data, sumber data serta metode analisis yang digunakan pada penelitian ditampilkan pada Tabel 1 dan kerangka pikir penelitian pada Gambar 3. 27

28 Tabel 1. Metode Penelitian No Tujuan Metode/Analisis yang digunakan 1 Menganalisis model pertumbuhan peduduk (growth model) per kota dan kecamatan. Analisis proyeksi pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun menggunakan teknik pendugaan linear dan non-linear model : Discrete Time Model 1 Continuous Time Model Exponensial exp Kurva Gompretz/ Saturation exp 1 exp Dimana : Pt : jumlah penduduk tahun terakhir Po : jumlah penduduk tahun awal W : waktu paruh r : pertumbuhan penduduk (dalam %) t : selisih tahun antar Pt dan Po 1 : konstanta (angka tetap) α : koefisien (positif//negatif) β : koefisien (positif//negatif) Data dan Sumber data yang digunakan Data jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2005 (hasil supas BPS) Software Statistic 8.0 Output Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2030 per kecamatan di Kota Bogor 28

29 Tabel 1. Metode Penelitian (Lanjutan) No Tujuan Metode/Analisis yang digunakan Data dan Sumber data yang digunakan Output 2 Menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH dan sebaran alokasi RTH Kota Bogor berdasarkan jumlah penduduk periode tahun Analisis kebutuhan luasan RTH berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 Fasilitas Umum 2,53 m 2 /jiwa (minimal >253 Ha) Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2030 per kecamatan di Kota Bogor Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 Tabel Proyeksi luasan Kebutuhan RTH Kota Bogor berdasarkan Jumlah Penduduk 29

30 Tabel 1. Metode Penelitian (Lanjutan) No Tujuan Metode/Analisis yang digunakan Data dan Sumber data yang digunakann Output 3 Menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH dan sebaran alokasi RTH Kota Bogor berdasarkan kebutuhan oksigen (O 2 ) periode tahun Perhitungan Jumlah Pohon untuk Menyuplai Oksigen Konversi Jumlah pohon ke RTH yang harus dibangun Perhitungan: Dimana : L Luas RTH yang dibutuhkan (ha) ai Kebutuhan oksigen per orang (kg/jam) bi Kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (kg/jam) ci Kebutuhan oksigen per industri (kg/jam) di Kebutuhan oksigen per ternak(kg/jam) Ui Jumlah Penduduk Vi Jumlah kendaraan bermotor berbagai jenis Yi i Jumlah industri dari berbagai skala Zi Jumlah ternak dari berbagai jenis K Konstanta (rataan oksigen yang dihasilkan Hutan Kota kg/jam/ha Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2030 per kecamatan di Kota Bogor Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umumm No 05/PRT/M/2008 Tabel Proyeksi luasan Kebutuhan RTH Kota Bogor berdasarkan kebutuhan oksigen (O 2 ) 30

31 No Tujuan Metode/Analisis yang digunakan Data dan Sumber data yang digunakan 4 Pembuatan gambaran alokasi penyebaran RTH di Kota Bogor berdasarkan perhitungan kebutuhan RTH periode tahun Analisis pola penggunaan lahan (2003 & 2007) Analisis peluang penetapan RTH berdasarkan kebutuhan RTH, kesesuaian RTH dan penggunaan lahan. Proyeksi luas kebutuhan RTH dan sebaran alokasi RTH Kota Bogor berdasarkan jumlah penduduk periode tahun Proyeksi luas kebutuhan RTH dan sebaran alokasi RTH Kota Bogor berdasarkan kebutuhan oksigen (O 2 ) periode tahun Sofware ArcView 3.3 Output Peta sebaran alokasi Kebutuhan RTH Kota Bogor dibagi 6 (enam) kecamatan. 31

32 Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian 32

33 3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan data-data sekunder sebagaimana pada Tabel 2: Tabel 2. Sumber Data Sekunder Penelitian Data Sumber Timeseries Jumlah Penduduk Kota Bogor BPS Kota Bogor tahun Tabel Data Jumlah Ternak Kota Bogor BPS Kota Bogor Tabel Data Jumlah Kendaraan Kota Bogor Dinas Perhubungan Komunikasi Dan Informasi BPS Kota Bogor 2004,2008 Tabel Data Jumlah Industri Kota Bogor BPS Kota Bogor Peta Pengunaan Lahan Kota Bogor Listiawan, 2010 Alat yang digunakan untuk mengolah data pada Tabel 2 dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) yang terdiri dari Arc View 3.3, Microsoft Office Word, Microsoft Office Excel, Microsoft Office Visio, dan Statistica 8.0. Penelitian terdiri dari 4 tahap, yang pertama adalah menganalisis model pertumbuhan penduduk (growth model) per kota dan kecamatan dengan menghitung proyeksi pertumbuhan penduduk Kota Bogor dan per kecamatan untuk tahun 2030 menggunakan software Statistica 8.0 dan perhitungan sebagai berikut : Discrete Time Model Dimana : 1 Pt = jumlah penduduk tahun terakhir Continuous Time Model Po = jumlah penduduk tahun awal r = pertumbuhan penduduk (dalam %) Exponensial t = selisih tahun antar Pt dan Po exp 1 = konstanta (angka tetap) Kurva Gompretz/ Saturation α = koefisien (positif/negatif) β = koefisien (positif/negatif) Pt merupakan prediksi jumlah penduduk pada tahun yang ditentukan dalam satuan jiwa, W, α, β adalah konstanta. t merupakan titik tahun yang akan dihitung prediksinya. Dari keempat model pertumbuhan tersebut, model yang digunakan adalah model pertumbuhan dengan nilai R 2 tertinggi, yaitu mendekati 33

34 nilai 1 (satu). Tahap kedua adalah menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk tahun Hasil dari tahap pertama dalam bentuk tabel proyeksi jumlah penduduk di tahun 2030 digunakan untuk menghitung kebutuhan RTH dengan menghitung kebutuhan per jiwa sesuai standar dari Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, yaitu 2,53 m 2 /jiwa. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk oleh BAPPEDA Kota Bogor, pada 2025 Kota Bogor merupakan kota yang akan berpenduduk lebih besar dari jiwa, yaitu jiwa, dan berdasarkan asumsi kebutuhan RTH Fasilitas Umum 2,53 m 2 /jiwa, dilakukan perhitungan proyeksi jumlah penduduk dengan luasan kebutuhannya. Tahap yang ketiga adalah menghitung proyeksi luas kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen per kecamatan. Untuk itu dibutuhkan data pengguna oksigen di setiap kecamatan. Asumsi yang digunakan pada penelitian kali ini adalah pengguna oksigen kota terdiri dari penduduk, ternak dari berbagai macam jenis hewannya, kendaraan sesuai jenis bahan bakarnya dan industri sesuai skalanya. Selain itu dibutuhkan nilai konstanta berat kering tanaman per gram nya. Luas kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dengan metode Gerarkis (1974) dalam Wisesa (1988) yang kemudian dikembangkan oleh Wijayanti (2003) yaitu sebagai berikut : L adalah luas RTH (ha), ai adalah kebutuhan oksigen per orang (kg/jam), bi adalah kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (kg/jam), ci adalah kebutuhan oksigen per industri (kg/jam), Vi adalah jumlah penduduk,, Yi adalah jumlah kendaraan bermotor berbagai jenis, Zi adalah jumlah industri dari berbagai skala, dan K adalah konstanta rataan oksigen yang dihasilkan tanaman (kg/jam/ha). Tahap yang terakhir adalah pembuatan dua peta arahan penggunaan lahan yang dipertahankan sebagai RTH pada tahun 2030 dengan studi literatur dari Pedoman Penataan RTH di perkotaan Jawa Barat, RDTR Kota Bogor tahun 34

35 , Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor, analisis spasial dengan menggunakan software ArcView 3,3 dan survei lapang. Peta pertama merupakan peta arahan yang sesuai dengan kebutuhan RTH sesuai jumlah penduduk per kecamatan. Peta kedua adalah peta arahan yang sesuai dengan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen per kecamatan. Untuk menentukan lahan yang ditetapkan sebagai RTH adalah dengan 3 tahap berikut yaitu, Pendistribusian luas kebutuhan RTH harus sesuai angka perhitungan di setiap kecamatan, penggunaan lahan yang menjadi arahan diutamakan pada landrent rendah hingga tinggi yaitu tanah kosong, semak, pepohonan, kuburan, lading, sawah, lapangan olah raga, badan air, jalan, pemukiman, perumahan dan yang paling tinggi adalah industri, yang terakhir adalah dengan mendistribusikan RTH dengan metode Grid 500x500m, dengan asumsi pendekatan waktu tempuh anak-anak dan orangtua yaitu 10 menit atau setara dengan 500m. RTH berdasarkan jumlah penduduk ditetapkan dengan memprioritaskan lahan di sekitar pemukiman/perumahan, agar fungsi RTH sebagai pemenuh kebutuhan penduduk lebih mudah diakses. Untuk peta arahan yang kedua, diutamakan lahan di sekitar pemukiman/perumahan, untuk penuh kebutuhan oksigen penduduk. Prioritas yang kedua adalah pada median dan tepian jalan serta kawasan pusat kendaraan umum (terminal, dan lain-lain) sebagai pemenuh kebutuhan oksigen kendaraan, kemudian di lahan sekitar peternakan untuk pemenuh kebutuhan oksigen ternak. Penggunaan lahan yang terakhir di daerah kawasan industri untuk pemenuh kebutuhan oksigen industri. 35

36 IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI 4.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kota Bogor secara geografis terletak pada ' Bujur Timur dan ' Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari Ibu Kota Jakarta. Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, yaitu: Kecamatan Kota Bogor Utara, Kecamatan Kota Bogor Timur, Kecamatan Kota Bogor Barat, Kecamatan Kota Bogor Tengah, Kecamatan Kota Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sereal. Dengan 31 kelurahan dan 37 desa, 210 dusun, 623 RW, 2712 RT. Luas Wilayah Kota Bogor adalah ha atau 118,5 km 2 dan berbatasan dengan: Sebelah Utara: Berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Sebelah Barat: Berbatasan dengan Kecamatan Dramagadan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah Timur: Berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. 4.2 Topografi Kota Bogor mempunyai perbukitan bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 190 s/d 350 m diatas permukaan laut dengan 55 kemiringan lereng berkisar 0-2 % (datar) seluas 1.763,94 Ha, 2-15 % (landai) seluas 8.91,27 Ha, % (agak curam) seluas 1.109,89 Ha, % (curam) seluas 764,96 a, dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,94 Ha. 4.3 Klimatologi Curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor dituliskan dalam Budiman (2010) berkisar antara mm sampai mm/ tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara mm/bulan dengan waktu curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Bogor berada pada suhu 26 0 C, temperature tertinggi sekitar 34,4 0 C dengan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70 %. 36

37 4.4 Pemanfaatan Ruang Kota dan Penggunaan Lahan Tata ruang Kota Bogor terbagi menjadi lima bagian, yaitu: Bagian Selatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman dengan KDB rendah dan Ruang Terbuka Hijau. Bagian Utara yaitu Kecamatan Bogor Utara cenderung berpotensi sebagai daerah industri non-polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman beserta perdagangan dan jasa sedangkan Kecamatan Tanah Sereal cenderung berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota. Bagian Barat, yaitu Kecamatan Bogor Barat cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata. Bagian Timur, yaitu Kecamatan Bogor Timur cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman. Bagian Tengah, yaitu Kecamatan Bogor Tengah cenderung berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah. Penggunaan lahan pada Kota Bogor ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4. Citra Ikonos Kota Bogor

38 4.5 Penggunaan lahan di kota Bogor Pemanfaatan ruang di Kota Bogor pada tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 3 ditandai oleh intensitas daerah terbangun (built up area) yang relatif tinggi, yakni sekitar 47,23 %. Intensitas penggunaan lahan lain yang cukup tinggi di Kota Bogor adalah untuk pertanian (sawah) sekitar 18,64 %. Tabel 3. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 : Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 184 1, ,03 Belukar/Semak 282 2, ,46 Kebun/Pepohonan , ,67 Ladang/Tegalan , ,59 Ruang Terbangun , ,23 Sawah , ,64 Tanah Kosong 843 7, ,38 Selain dari Tabel 3 di atas sebaran penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor dapat dilihat pula dari Gambar 5 : Gambar 5. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun

39 4.6 Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Berikut adalah penggunaan lahan Kota Bogor di Tahun 2005 sebagai Ruang Terbuka Hijau yang ditampilkan pada Tabel 4 dan jenis-jenis RTH pada Gambar 6 hingga Gambar 12. Tabel 4. Tabel Penggunaan Lahan RTH Kota Bogor Tahun 2005 No Jenis RTH Bogor Barat Bogor Selatan Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Utara Tanah Sareal Kota Bogor 1 Hutan Kota 57,62 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 57,62 2 Jalur Hijau Jalan 2,41 3,86 23,67 40,89 51,15 16,32 138,29 3 Jalur Hijau SUTET 0,52 0,00 0,00 4,62 7,53 1,69 14,36 4 Kawasan Hijau 336,66 748,61 34,30 123,09 320,18 411, ,79 5 Kebun Raya 0,00 0,00 72,12 0,00 0,00 0,00 72,12 6 Lahan Pertanian Kota 613, ,83 26,70 293,17 522,94 623, ,23 Lapangan Olah Raga 34,89 65,92 5,40 4,89 15,93 24,77 151,79 7 Sempadan Sungai 49,20 74,85 11,19 16,70 20,85 9,00 181,79 8 TPU 9,78 99,69 1,61 2,14 1,95 11,54 126,71 9 Taman Kota 0,40 0,12 1,17 0,53 1,44 0,28 3,94 10 Taman Lingkungan 12,00 15,91 4,93 8,76 23,84 20,58 86,02 11 Taman Perkantoran 40,60 7,27 37,80 4,91 15,48 18,71 124,77 12 Taman Rekreasi 0,00 5,61 34,29 0,00 0,00 0,19 40,08 Total (Ha) 1158, ,66 253,18 499,69 981, , ,50 Persentase (%) 9,77 17,52 2,14 4,22 8,28 9,61 51,53 Sumber : Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor Jenis-jenis RTH yang terdapat di Kota Bogor Gambar 6. RTH Bentang Alam Gambar 7. RTH Perkantoran dan Gedung Komersil 39

40 Gambar 8. RTH Median dan Tepian Jalan Gambar 9. RTH Sepadan Rel Kereta Api Gambar 10. RTH Pedestrian Gambar 11. RTH Lapangan Olarraga Gambar 12. RTH Sepadan Sungai 40

41 4.7 Perkembangan Perencanaan dan Konsep RTH Kota Bogor Konsep wujud taman kota (central park) yang ideal adalah taman kota yang besar yang mengelilingi pusat pemerintahan. Sekeliling taman kota tersebut terdapat kawasan permukiman dan bagian dari industri, sedangkan bagian lingkaran terluar akan ditata sebagai jalur hijau untuk pertanian dan kegunaan kelembagaan (Howard dalam BAPEDDA, 2007) sebagaimana dapat dilihat dalam RTRW pada Gambar 13. Pada awal perkembangannya (Nurdin dalam BAPEDDA, 2007) subsistem pertamanan kota Bogor Tengah dan Bogor Timur (kota lama) mirip dengan sistem pertamanan kota menurut konsep garden city, yang diduga terbentuk sejak awal perencanaan Kota Bogor. Sistem pertamanan kota pada kawasan Bogor Tengah dan Bogor Timur memusat pada Kebun Raya Bogor sebagai pusat sistem pertamanan kota (Rachmawaty dalam BAPEDDA, 2007) sekaligus sebagai pusat sistem penyebaran ruang terbuka hijau kota. Pada wilayah subsistem pertamanan kota yang meliputi Bogor Utara, Bogor Barat, Tanah Sareal dan Bogor Selatan merupakan kawasan yang baru dibuka untuk perluasan Kota Bogor. Taman-taman yang ada di wilayah ini merupakan taman baru, dan sisanya adalah merupakan bagian dari bagian Bogor Tengah sebelum wilayah tersebut diperluas. Tamantaman yang ada tersebut antara lain taman alun-alun empang, taman jalur A. Yani dan taman jalur Jl. Pemuda. Gambar 6. Peta RTRW Kota Bogor Periode

II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk

II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk baik peningkatan maupun penurunannya. Menurut Rusli (1995), secara umum

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan objek Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, seperti pada Gambar 2. Analisis spasial maupun analisis data dilakukan di Bagian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO Ristanti Konofo 1, Veronica Kumurur 2, & Fella Warouw 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2 & 3 Staf

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor dengan menganalisis Ruang Terbuka Hijau. Waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) Juliana Maria Tontou 1, Ingerid L. Moniaga ST. M.Si 2, Michael M.Rengkung, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING. IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING.  IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/scaffolding IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG Mashuri Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan I.3 Ruang Lingkup I.4 Keluaran I.5 Jadwal Pelaksanaan III.1 III.2 III.3 III.3

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

Analisis Ketersediaan Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Pusat Pelayanan Kota (Studi Kasus Kecamatan Palu Timur, Kota Palu)

Analisis Ketersediaan Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Pusat Pelayanan Kota (Studi Kasus Kecamatan Palu Timur, Kota Palu) Analisis Ketersediaan Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Pusat Pelayanan Kota (Studi Kasus Kecamatan Palu Timur, Kota Palu) ANDI CHAIRUL ACHSAN 1* 1. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau 2.1.1. Ruang Terbuka Menurut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau

Lebih terperinci

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars.

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa dapat mengkritisi issue issue aktual tentang penataan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sintang Kalimantan Barat, terletak kurang lebih 395 km dari K ota Pontianak Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat. Meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

EVALUASI PERKEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MADIUN

EVALUASI PERKEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MADIUN EVALUASI PERKEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MADIUN Ulul Albab Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, feverboss@gmail.com Dr. Sukma Perdana

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia memiliki luas lahan keseluruhan mencapai 661,52 berdampak kepada pertumbuhan permukiman. Menurut data statistik Indonesia

Lebih terperinci

PRA DESAIN LANSKAP UNIVERSITAS MATHLA UL ANWAR SEBAGAI BOTANICAL GARDEN. Disusun oleh: DENI HERYANI A

PRA DESAIN LANSKAP UNIVERSITAS MATHLA UL ANWAR SEBAGAI BOTANICAL GARDEN. Disusun oleh: DENI HERYANI A PRA DESAIN LANSKAP UNIVERSITAS MATHLA UL ANWAR SEBAGAI BOTANICAL GARDEN Disusun oleh: DENI HERYANI A34203018 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN DENI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai Dari data hasil Sensus Penduduk 2010, laju pertumbuhan penduduk Kota Binjaitahun 2000 2010 telah mengalami penurunan menjadi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan) IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan) YUNI PUJIRAHAYU DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR MH. Tri Pangesti Widyaiswara Utama, Balai Diklat Kehutanan Bogor Abstrak Sejalan dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2014 (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ruang Terbuka Ruang terbuka merupakan suatu tempat atau area yang dapat menampung aktivitas tertentu manusia, baik secara individu atau secara kelompok (Hakim,1993).

Lebih terperinci

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR Oleh : YAYAT RUHIYAT A34201018 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YAYAT RUHIYAT. Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah TINJAUAN PUSTAKA 1. Lanskap Sekolah Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang di sekeliling manusia mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan. Menurut Hubbard dan Kimball (1917) dalam Laurie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN. Oleh: Syahroji A

PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN. Oleh: Syahroji A PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN Oleh: Syahroji A34204015 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN SYAHROJI. Perancangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA DENPASAR DALAM HAL PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA DENPASAR oleh A.A Sagung Istri Pramita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

BAB II KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Permasalahan... 4 1.3 Tujuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pembangunan perkotaan cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan terbuka hijau dialih fungsikan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri,

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN INDAH CAHYA IRIANTI. A44050251.

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE Anton Topan topan.anton@yahoo.co.id Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Musamus ABSTRAK Perkembangan pembangunan di kota Merauke ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A34203039 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN INDRA SAPUTRA. A34203039.

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

ANALISA PERTUMBUHAN KOTA DAN PERUBAHAN FUNGSI LAHAN DI KELURAHAN SIDOMULYO BARAT, PEKANBARU. Afdi Gustiawan, Rian Trikomara, dan Manyuk Fauzi

ANALISA PERTUMBUHAN KOTA DAN PERUBAHAN FUNGSI LAHAN DI KELURAHAN SIDOMULYO BARAT, PEKANBARU. Afdi Gustiawan, Rian Trikomara, dan Manyuk Fauzi ANALISA PERTUMBUHAN KOTA DAN PERUBAHAN FUNGSI LAHAN DI KELURAHAN SIDOMULYO BARAT, PEKANBARU Afdi Gustiawan, Rian Trikomara, dan Manyuk Fauzi Abstract Physical development of urban areas need to be carefully

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada Agustus Oktober 2010, mencakup pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

Pertumbuhan dan Pertambahan Perkembangan Penduduk

Pertumbuhan dan Pertambahan Perkembangan Penduduk Pertumbuhan dan Pertambahan Perkembangan Penduduk A. Pengertian Fenomena bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu dalam suatu wilayah tertentu dinamakan dinamika penduduk. Gejala

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Green Urban Vertical Container House 73

Green Urban Vertical Container House 73 BAB IV HUNIAN VERTIKAL YANG DIRENCANAKAN DI BEKASI A. Pemahaman 1. Pengertian adalah Sebuah hunian bertingkat yang memanfaatkan material peti kemas bekas sebagai alternatif material bangunan yang berwawasan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci