MODUL IDENTIFIKASI PARASIT CACING. Oleh :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODUL IDENTIFIKASI PARASIT CACING. Oleh :"

Transkripsi

1 MODUL IDENTIFIKASI PARASIT CACING Oleh : Dr. drh. I Made Dwinata, M.kes Dr. Drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP Dr. N. Adi Suratma, MP Drh. Ida Bagus Made Oka, M.kes FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

2 MODUL IDENTIFIKASI PARASIT CACING I. IDENTIFIKASI PARASIT CACING 1. Cara Identifikasi Parasit Cacing Melalui Pemeriksaan Feses 2. Cara Identifikasi Cacing Melalui Preparat Permanen. 3. Penyakit parasit Cacing Pada Sapi, Babi dan ayam Tujuan : Peserta pelatihan mampu untuk Mendiagnosa Penyakit Parasit Cacing PENDAHULUAN Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau dalam organisme lain dan atas beban organisme yang ditumpangi. Parasit dapat dibedakan, menjadi : Endo-parasit (Helminth (cacing), yang terdiri dari cacing : Nematoda (cacing gilik), Cestoda (cacing pita) dan Trematoda (cacing daun). Selain cacing juga terinfeksi oleh Protozoa darah dan protozoa saluran cerna, serta Ekto-parasit artropoda kelas Insekta, (kutu, pinjal, lalat dan nyamuk), dan kelas araknida (caplak dan tungau). Parasit akan merugikan hospes definitive,karena : berkompetisi memperebutkan makanan dengan hospes definitive, Menghisap darah, cairan getah bening atau eksudat, Merusak jaringan tubuh, Menimbulkan radang, Memudahkan masuknya pathogen lain, Menghasilkan berbagai substansi toksik seperti (hemolysin, histilysine, antikoagulan dan produksi toksik dari metabolismenya), Menimbulkan reaksi alergi, dapat menstimulir terjadinya kanker, Membawa beberapa penyakit (Vektor), Menimbulkan penyumbatan secara mekanis, Contoh : cacing Ascaris suum jika jumlahnya banyak dapat menyumbat saluran pencernaan babi, Dapat menghncurkan sel, karena mengadakan pertumbuhan didalamnya, Contoh : protozoa (Eimeria sp, menghancurkan sel epitel saluran cerna, Plasmodium sp, Leucocytozoon dan Haemoproteus, menghancurkan sel darah merah unggas), Menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya. Sebagian besar infeksi dengan parasit cacing berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang berdasarkan gejala klinis kurang akurat. Misalnya infeksi cacing pada babi yang disebabkan oleh cacing Ascaris suum 2

3 perlu dilakukan pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing. Pemeriksaan feses diperlukan untuk menemukan adanya telur, larva, ookista, tropozoit dan kista dari parasit. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah feses, Agar parasit dalam cairan tubuh tadi dapat diidentifikasi dengan mudah, maka mereka tidak boleh berubah bentuk atau rusak. Di sinilah letak pentingnya pembicaraan tentang pengumpulan spesimen dan penyimpanannya. Contoh stadium parasit yang ditemukan pada feses : ookista Larva cacing Telur Ascaris suum Telur Haemonchus sp Pemeriksaan feses adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern, dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. 3

4 Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan umum maupun khusus, dilakukan juga pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse, metode Parfitt and Banks, atau metode McMaster I. Teknik Diagnosis Melalui Pemeriksaan Feses Parasit cacing bisa ditemukan dalam hamper semua bagian dari tubuh induk semangnya, oleh karena itu pemeriksaan umum pada hewan hidup harus dilaksanakan seteliti mungkin.baik bagian dalam maupun bagian luar. Pengetahuan tentang habitat parasit pada/dalam tubuh hospes serta derah penyebarannya akan sangat membantu diagnosis. Sebagian besar dari jenis jenis cacing tinggal dalam saluran pencernaan atau dalam alat tubuh yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Selama hidupnya parasit menghasilkan produk biologis, misalnya telur, yang keluar bersama feses hospes. Makin banyak cacing maka banyak pula telur yang dihasilkan tiap hari, yang tercampur merata dengan tinja. Hospes mengeluarkan tinja dalam jumlah yang kurang lebih tetap tiap hari, karena itu pemeriksaan tinja bukan hanya untuk melihat ada tidaknya telur cacing, tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk menghitung berapa telur yang terkandung dalam tiap gram feses hewan yang diperiksa (TTGT). Banyaknya telur tiap gram feses berkorelasi positip dengan banyaknya cacing, sehingga ttgt menunjukkan derajat infeksi. Pengambilan feses untuk keperluan diagnosis pada hewan besar seperti sapi dilakukan secara rektal atau mengambil feses yang baru keluar. Diusahakan feses tidak tercemar oleh urine dan bahan-bahan kimia yang dapat merusak dari telur cacing, ookista, kista dan tropozoit. feses yang baru diambil ditempatkan pada pot penampung feses atau kantong plastik dan dilengkapi dengan identitas sampel (jenis hewan, umur, jenis kelamin ) 4

5 Cara mendapatkan feses, sebaiknya feses diambil secara langsung (secara rektal), boleh menggunakan feses yang keluar setelah defikasi tetapi harus dipilih bagian yang tidak terkontaminasi (terutama oleh minyak). Jumlah feses yang diperlukan untuk pemeriksaan feses lengkap kira-kira 10 gram. Feses yang akan diperiksa kemudian dimasukkan kedalam wadah yang bersih dan diusahakan bermulut lebar dan memiliki tutup rapat. Feses yang telah terkumpul seharusnya dilakukan pemeriksaan sesegera mugkin, tetapi jika pemeriksaan tidak bisa dilakukan, maka feses yang berkonsistensi padat dapat disimpan dalam lemari pendingin suhu 4 0 C selama semalam tanpa mengurangi nilai diagnostiknya. Tetapi jika pemeriksaannya lebih lama lagi atau jika konsistensi feses encer bercampur lendir dan darah harus diawetkan. Untuk keperluan diagnosis dan identifikasi cacing feses harus dikirim ke laboratorium. Apabila pemeriksaan feses tidak bisa dilakukan segera setelah pengambilan sampel maka sampel feses perlu diawetkan. Feses yang dikirimkan perlu diawetkan agar telur cacing tidak menetas dalam perjalanan. Bahan pengawet atau pencegah penetasan adalah formalin 10 % atau fenol-glyserin 5% yaitu campuran antara fenol, glyserin dan akuades dalam perbandingan 1 : 5 : 94. Sedangkan pengawetan parasitnya (cacing) dapat digunakan alkohol 70 % untuk keperluan identifikasi.. Pemeriksaan telur cacing (kualitatif) dapat menggunakan metoda natif, sedimen dan pengapungan. Zat pengapung dapat digunakan antara lain : gula jenuh dan garam jenuh. Fungsi zat pengapung untuk mengapungkan telur cacing, karena berat jenis (BJ) cairan lebih tinggi dari BJ telur cacing. 5

6 Pemeriksaan telur cacing (metoda kuantitatif) untuk menghitung telur cacing per gram feses (ttgt) dilakukan dengan metoda Stoll dan Metoda Mc. Master atau modifikasi Mc Master. Faktor yang Mempengaruhi perhitungan telur (ttgt) 1. kepadatan atau konsistensi feses (tinja kering, lembek,encer) 2. banyaknya tinja yang dikeluarkan tiap hari oleh hewan sering kali berbeda. 3. Produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda 4. Distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata 5. Produksi telur cacing tua dan cacing muda berbeda. 6. Perbandingan antara cacing jantan dan betina 7. Reaksi immunologic dari cacing terhadap hospes. Deteksi infeksi cacing melalui pemeriksaan feses tergantung produksi telur yang dikeluarkan cacing. Kesalahan dalam diagnosa melalui pemeriksaan feses dengan menemukan telur cacing dapat terjadi ( False negatif dan False positif). Penomena False negatif : pada pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing, tetapi hewan tersebut sudah terinfeksi cacing. Hal ini dapat terjadi bila hewan hanya mengandung cacing muda yang belum memproduksi telur. Dapat juga terjadi bila sedikit cacing dewasa yang menginfeksi ( hanya jantan atau betina ). Penomena False positif : pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing tetapi hewan tersebut tidak terinfeksi cacing. Hal ini terjadi bila memakan telur cacing yang belum infektif (unembryonated) contoh : Ascaris suum dan Trichuris sp. Pemeriksaan feses secara kualitatif, dilakukan dengan 2 cara, antara lain :(1) Natif (langsung) dan (2) Konsentrasi. Pemeriksaan feses secara konsentrasi dapat dibedakan lagi menjadi dua, antara lain :(a) Pengapungan dan (b) Pengendapan (Sedimentasi). Masingmasing cara pemeriksaan feses tersebut diatas memeliki kelebihan dan kekurangan, sehingga pada penggunaannya disesuaikan dengan tujuannya. Cara kerja masing-masing pemeriksaan feses selengkapnya seperti berikut : 6

7 PEMERIKSAAN FESES KUALITATIF 1. Pemeriksaan Natif (Langsung) Metode natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan lugol atau eosin 2%. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran di sekitarnya.kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah dilakukannya hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif dilakukan dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop 2. Pemeriksaan Konsentrasi Pengendapan (Sedimentasi) Prinsip pengendapan, menggunakan cairan yang memiliki berat jenis (BJ) yang lebih rendah dibandingkan dengan BJ telur cacing, sehingga telur cacing akan mengendap. Metode sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut. Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit. Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas endapan tersebut dibuang dan endapan diambil, kemudian meletakkannya di atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop 3.Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan dengan Garam jenuh Metode sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut. Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit. Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas endapan tersebut dibuang dan sebagai gantinya dituangkan NaCl jenuh di atas endapan sampai ¾ tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan disentrifuse lagi selama 5 menit. Setelah disentrifuse tabung tersebut diletakkan diatas rak dengan posisi tegak dan ditambahkan lagi NaCl jenuh sampai permukaan cairan menjadi cembung, diamkan selama 3 menit. Untuk 7

8 mendapatkan telur cacing, obyek gelas diletakkan pada permukaan yang cembung dan dibalik dengan hati-hati, kemudian ditutup dengan deckglass dan periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran Macam Larutan Pengapung. Larutan (Garam (NaCl) Jenuh, Magnesium sulfat (MgSO4) dan Gula Jenuh), dapat mengapungkan telur cacing kelas Nematoda (kecuali Metastrongylus sp), Kestoda serta Ookista dan Kista dari Protozoa. Larutan (Potassium Mercuri Iodide, Seng Chlorida, dapat mengapungkan telur cacing kelas Nematoda, Kestoda dan Trematoda. 1. Larutan NaCl jenuh BJ 1,20 2. Larutan gula jenuh BJ 1,12-1,30 3. Larutan ZnSo4 33% BJ Larutan MgSO4 35% BJ 1, Metode Parfitt and Banks Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing pada feses (tinja) dengan menggunakan uji endap (sedimentasi), dengan prosedur mengambil 3 gram feses (tinja) dan digerus dengan morir. Lalu campuran tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai setinggi 1 cm dari mulut tabung dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan diambil dengan pipt tetes sehingga tinggal endapan saja. Kemudian ditambahkan air pada endapan tadi setinggi 1 cm dari mulut tabung dan dikocok. Lalu didiamkan lagi selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang, lalu diteteskan NaOH 10% sebanyak 3 tetes dan ditambah aquadest setinggi 1 cm dari mulut tabung, dikocok dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang lagi. Kemudian diteteskan methylen blue sebanyak 3 tetes dan diaduk. Lalu diambil endapan yang paling bawah dan diletakkan di atas gelas objek dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop (10 x 10). Pada pemeriksaan tinja dengan metode ini untuk membedakan telur cacing Fasciola sp dengan telur Paramphistomum sp.. Perbedaan dari telur Paramphistomum sp. jelas karena telur Paramphistomum menyerap warna biru sedang telur Fasciola tetap berwarna kuning. 8

9 II. Pemeriksaan dan Identifikasi Cacing Cacing yang diperoleh dari hewan yang dilakukan bedah bangkai untuk keperluan diagnostic diperlukan penanganan yang khusus. Cacing hendaknya dibunuh dengan menggunakan larutan yang mengawetkan dan mengfiksir tenunan sedemikian rupa sehingga jaringan tubuhnya tidak berubah atau mendekati keadaan normal. Larutan pengawet yang digunakan alcohol 70 %, alkjohol glyserin atau formalin 5-10%. ( larutan pembunuh dapat digunakan Formol Acetic alcohol =F.A.A). infeksi cacing diketahui dengan ditemukan cacing pada tempat predileksinya, sedangkan intensitas infeksi didapat dengan cara menghitung jumlah cacing yang ditemukan. Identifikasi cacing berdasarkan : hewan terinfeksi, predileksi dan ciri-ciri morfologinya. Untuk dapat mengamati cici-ciri morfologi cacing secara lebih jelas terlebih dulu harus dibuat sediaan. Cacing ada yang berukuran hanya beberapa mili dan ada juga yang berukuran sampai beberapa meter. Untuk mengidentifikasi cacing yang berukuran kecil atau yang salah satu bagiannya bisa mewakili cacing secara keseluruhan (seperti proglotid cacing pita) dibuat sediaan permanen dengan pewarnaan, sedangkan cacing yang ukurannya besar dibuat sediaan permanen tetapi tidak dengan pewarnaan. a. Cara Membunuh cacing trematoda Membunuh cacing trematoda dengan cara menjepit tiap cacing diantara dua kaca sediaan (slide) dan diikat dengan karet. Lekatkanlah trematode diatas slide, buang cairan yang berlebihan, teteskan larutan pembunuh (F.A.A) cepat tindih dengan slide yang lain dan tekan sedikit dengan pinset. Kemudian cacing dipindahkan larutan pengawet. b. Cara membunuh Cestoda Cacing pita dapat dibunuh dengan merendam dalam air hangat kuku sampai mati, kemudian difiksir dengan larutan pengawet. c. Cara membunuh Nematoda Nematoda dibunuh dengan alcohol 70% yang mendidih atau dengan formalin 5-10 % panas. Kemudian diawetkan dalam bahan yang sama. 9

10 Membuat Preparat Permanen sedian Cacing Untuk membuat preparat permanen, sesudah specimen dibunuh dan difiksir, langkahlangkah berikutnya harus dilakukan 1) Pewarnaan, 2) Pencucian, (untuk menghilangkan warna yang berlebihan), 3) Destaining (defrensiasi jaringan), 4) dehidrasi ( menghilangkan sisa sisa air, 5) clearing dan 6) mounting. Pewarnaan cacing dapat digunakan : Aceto Carmin dan Trichome Picrocarmine, Cacing nematoda sukar diwarnai karena kutikulanya tebal dn tidak menyerap warna dan menghalangi zat warna untuk masuk kebagian dalam. Untuk nematode besar dapat dipakai larutan lactopenol dan diperiksa sebagai sediaan sementara untuk tujuan diagnosis. Larutan Lactofenol : R/ Glyserin 2 Phenol Kristal 1 Asam laktat 1 Aquades 1 Dasar identifikasi untuk cacing nematoda dengan memperhatikan ukuran cacing, morphologi kepala untuk bagian anteriornya dan bagian posterior dengan mengidentifikasi bentuk ekor cacing. Identifikasi cacing pita dengan melihat skolek dan segmen yang dewasa. Sedangkan identifikasi cacing trematoda selain melihat ukuran cacing, letak dari alat penghisap oral dan ventral sacker, letak testes, ovarium, dan glandula vitelaria. Cacing yang berukuran panjang (melewati gelas obyek) dan besar biasanya tidak dibuat sediaan permanen dengan pewarnaan, cacing diperiksa langsung menggunakan mikroskop sterio, tetapi sebelumnya ditetesi Laktofenol (karena dapat menjernihkan cacing sehingga nampak organ-organ dalamnya secara lebih jelas). Cacing yang ukurannya lebih kecil biasanya dibuat sediaan permanen dengan pewarnaan Setelah difiksasi, kemudian dilanjutkan pembuatan sediaan permanen dengan pewarnaan, warna yang tersedia di laboratorium antara lain :(1) Aceto Carmin dan (2) Trichome, dengan tahapan kerja sebagai berikut : 1. Pewarnaan dengan Aceto Carmin. Bahan dan alat, selain cacing bahan yang dipergunakan adalah : asam cuka glasial, zat warna aceto-carmin, larutan asam-alkohol, alkohol (70%, 80% dan 95%), larutan litium 10

11 carbonat jenuh, minyak kayu putih, entelan dan tisu sedangkan alat yang dipergunakan antara lain : gelas obyek, gelas penutup, dan mikroskop. 1. Fiksasi dilakukan dengan cara menjepit cacing menggunakan 2 gelas obyek, kemudian diikat dengan gelang karet yang bertujuan agar morfologi cacing tetap 2. Rendam dalam larutan asam cuka glasial untuk membuat cacing menjadi transparan 3. Pewarnaan cacing menggunakan Aceto-Carmin, untuk mendapatkan hasil yang baik umumnya pewarnaan dilakukan berlebihan (overstaining) biasanya direndam selama 24 jam dan jika terjadi kelebihan pewarnaan untuk menguranginya dilakukan destaining dengan larutan Asam Alkohol sampai terlihat permukaan cacing bersih tetapi organ dalam tetap terwarnai 4. Bilas dengan alkohol 70% 5. Netralkan sisa asam dengan cara merendam didalam larutan Litium Carbonat jenuh selama menit 6. Sediaan didehidrasi secara bertingkat dengan alkohol (70%, 80% dan 95%) masingmasing selama menit 7. Jernihkan sediaan dengan menetaskan minyak kayu putih secukupnya, ditunggu selama 30 menit 8. Keringkan dengan tisu, kemudian tetesi entelan dan akhirnya tutup dengan gelas penutup 9. Setelah kering, periksa dengan mikroskop untuk identifikasi. 2. Pewarnaan dengan Trichrome Bahan dan alat, selain cacing bahan yang dipergunakan antara lain : alkohol-gliserin 5% atau asam cuka glasial, akuades, iodium tingtur, alkohol (70%, 95%), zat warna trichrome, alkohol-asam, minyak kayu putih, entelan dan tisu, sedangkan alat yang dipergunakan : gelas obyek, gelas penutup, dan mikroskop. 1. Cacing yang telah difiksasi dengan larutan fiksatif (Alkohol Glyserin 5% atau Asam Cuka Glasial), cuci dengan akuades 2. Rendam dengan larutan Iodium tingtur selama 1 menit. 3. Cuci 2 kali dengan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit 11

12 4. Warnai dengan zat warna Trichrome paling cepat selama 10 menit (tergantung besar cacing) 5. Destaining (celup) dalam larutan alkohol asam selama 5 10 detik 6. Rendam dengan larutan alkohol 95% 2 kali, masing-masing selama 5 menit 7. Jernihkan dengan minyak kayu putih, dengan cara ditetesi secukupnya dan diamkan selama menit 8. Keringkan dengan tisu, tetesi entelan dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. 9. Setelah kering diperiksa dengan mikroskop untuk identifikasi. Diagnosa infeksi cacing, selain dengan pemeriksaan tinja dan cacing, juga ada beberapa spesies parasit cacing (seperti larva cacing Trichinella spiralis) predileksinya didalam jaringan (organ), sehingga untuk mendiagnosanya dilakukan dengan metode digesti. Contoh cacing yang telah dibuat preparat permanen : Toxocara canis dan Toxocara cati Fasciola hepatika Fasciolopsis buski Ancylostoma 12 caninum

13 PENYAKIT PARASIT PADA RUMINANSIA 1. Fasciolosis Merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica. Pada umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat fasciolosis ditaksir 20 Milyard rupiah / tahun yang berupa : penurunan berat badan serta tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian. Disamping itu kerugian berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit lain yang tidak terhitung. Predeleksi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. Siklus Hidup Telur fasciola masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja hospes definitif. Di luar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke tubuh siput muda, yang biasanya genus Lymnaea rubiginosa. Di dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, rediadan serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang. Pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista 13

14 . Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola sp. Ternak Rentan Ternak yang rentan terhadap Fasciolosis adalah sapi, kerbau, kambing dan ruminansia lain. Ternak berumur muda lebih rentan daripada ternak dewasa. Manifesasi penyakit bisa dibagi menjadi bentuk akut dan kronis. Fascioliasis akut, bisa terjadi pada domba apabila domba menelan dalam jumlah banyak metaserkaria dalam waktu singkat. Jumlah fasciola muda menyerbu hati dan menyebabkan kapsul hati pecah, maka terjadilah perdarahan ke dalam peritonium. Domba bisa mati dalam beberapa hari. Dalam otopsi akan ditemukan hati yang membesar, pucat, rapuh dan terlihat jalur-jalur perdarahan pada permukaan hati. Fascioliasis khronis adalah bentuk umum yang terjadi pada hospes. Hal ini mungkin karena ternak terinfeksi secara bertahap, sehingga kerusakan hatipun terjadi secara bertahap. Fascioliasis khronis terjadi dua bentuk, yaitu fibrosis hati dan kholangitis. Waktu Fasciola muda migrasi dalam hati, maka terjadi kerusakan parenkhim, perdarahan dan nekrosa. 14

15 Perjalan cacing juga menimbulkan trombus vena hepatica dan sinusoid hati, dan gangguan aliran darah oleh tombus ini menimbulkan nekrosis dan iskhaemia dalam parenkhima hati. Dalam proses penyembuhan jaringan parenkhim diganti dengan serabut kolagen, maka terjadilan fibrosis. Apabila terjadi banyak lobus hati maka hati menjadi bentuk tidak teratur dan mengeras (sirosis hati/sirosis hepatis). Kehadiran cacing hati pada saluran empedu menyebabkan kholangitis. Epitel saluran empedu mengalami hiperplasia. Sisik cacing dan batil isapnya merusak epitel saluran empedu, maka reaksi radang menyebabkan terjadi fibrosis pada lamina propria dan jaringan sekitarnya. Gerakan atau migrasi cacing dalam saluran empedu makin memperluas kerusakan. telur cacing dalam saluran empedu juga mengundang reaksi radang. Cacing juga menghisap darah yaitu sekitar 0,2 ml tiap hari tiap cacing, sehingga terjadi hypoalbuminaemia dan hypoproteinaemia selama infeksi berlangsung. Gejala klinis : pada kasus akut terjadi kematian mendadak pada domba, dengan darah keluar dari hidung dan anus. Pada kasus khronis pada sapi terjadi gangguan pencernaan berupa konstipasi dengan tinja yang kering. Dalam keadaan berat sering terjadi mencret. Gejala lain kepucatan, lemah dan kurus. Gejala anemia dan hypoproteinemia disertai kondisi hewan menurun serta terjadi oedema subkutaneus khususnya pada intermandibula. Pada Domba dan kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan kematian mendadak dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada infeksi yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak malas, tidak gesit, napsu makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang bawah yang disebut bottle jaw, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa sakit serta ternak kurus dan lemah. Kelainan Pasca Mati Pada kasus akut akan ditemukan pembendungan dan pembengkakan pada hati, terdapat ptechie pada permukaan maupun sayatan hati, kantong empedu dan usus mengandung darah. Pada kasus kronis, terlihat saluran empedu menebal dindingnya, mengandung parasit dan seringkali batu, disamping itu ditemukan pula anemia, kekurusan dan hati mengeras (sirosis hati). 15

16 Diagnosis Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, identifikasi telur cacing di bawah mikroskopdan pemeriksaan pasca mati dari ternak yang mati. Pencegahan Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain memberantas siput secara biologik, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak jangan digembalakan di dekat selokan (genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar selokan. Pengobatan Pengobatan secara efektif dapat dilakukan dengan pemberian per oral Valbazen yang mengandung albendazole, dosis pemberian sebesar mg/kg berat badan, namun perlu perhatian bahwa obat ini dilarang digunakan pada 1/3 pertama kebuntingan, karena menyebabkan abortus. Fenbendazole 10 mg/kg berat badanatau lebih aman pada ternak bunting. Pengobatan dengan Dovenix yang berisi zat aktif Nitroxinil dirasakan cukup efektif juga untuk trematoda. Dosis pemberian Dovenix adalah 0,4 ml/kg berat badan dan diberikan secara subkutan.pengobatan dilakukan tiga kali setahun. 2. Paramphistomiasis Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda yang dapat menyerang sapi, kambing, domba dan ruminansia lain. Prevalensi yang tinggi dijumpai pada daerah yang irigasinya baik. Epidemiologi dari parasit cacing ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan terutama kelembaban yang cukup dan suhu yang memadai ( C), keadaan tersebut diperlukan untuk perkembangan fase mirasidium sampai metaserkaria dan juga kehidupan siput sebagai hospes intermidier. Etiologi : Paramphistomum cervi Habitat : cacing dewasa predeleksinya pada rumen dan retikulum sapi, kambing,domba dan ruminansia lain. Sedangkan cacing muda predeleksinya pada usus halus. 16

17 SIKLUS HIDUP Telur cacing keluar saat defikasi yang telah mengalami perkembangan awal dan pada kondisi yang menunjang (air tergenang dan suhu 27 0 C) setelah lebih kurang 12 hari melalui operculum akan keluar larva yang disebut mirasidium. Mirasidium selanjutnya akan berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes intermidier berupa siput dari genus ( Planorbis, Bulinus, Fossaria sp., Gliptanisus dan Fysmanisus ) setelah masuk dalam tubuh siput mirasidium akan berubah menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan didalamnya mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke- 21 sporokista akan pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5 1 mm. Di dalam tubuh redia ditemukan cercaria. Serkaria akan keluar dari dalam tubuh siput terutama pada saat kena sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor sederhana dan sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam, kemudian akhirnya akan mengkista disebut metaserkaria didalam tumbuhan air yang dapat tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang mengandung metaserkaria, setelah sampai didalam usus kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk kedalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi keatas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa. Pathogenesa : infeksi pada induk semang terjadi akibat memakan tanaman atau rumput yang tercemar metacercaria. Setelah tertelan didalam usus halus menjadi cacing muda. Cacing muda ini akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus, kemudia keluar kepermukaan dan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum kira-kira satu bulan setelah infeksi. Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub mukosa akan menyebabkan keradangan usus, nekrose dari sel, dan erosi vili-vili dari mukosa. Sedangkan cacing dewasa dalam rumen dan retikulum menghisap bagian permukan mukosa menyebabkan kepucatan pada mukosa, serta papilla rumen banyak mengalami degenerasi. Adanya cacing muda dalam jumlah banyak dalam usus halus dapat menyebabkan kematian pada sapi. Mukosa rumen yang terinfeksi parasit ini terlihat anemi dan nekrose, sehingga perubahan tersebut akan 17

18 mengakibatkan gangguan kerja rumen, sehingga makanan tidak dapat dicerna dengan sempurna. Gejala klinis : gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah besar pada usus halus adalah diarhe profus, kekurusan dan anemi. Gejala klini baru timbul bila jumlah cacing muda diatas ekor. Gejala lain berupa kekurusan, kondisi tubuh menurun, hypoproteinaemia dan odema. Adanya cacing dewasa dalam rumen dan retikulum akan menyebabkan terganggunya sistem pencernaan. Diagnose : diagnose dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis seperti diarhe profus dan klinis lain. Secara mikroskopis dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses. Secara post mortem dengan menemukan cacing pada rumen dan retikulum. Pengobatan : niclosamide : 90 mg/kg bb; Bithionol : 40 mg/kg bb Pencegahan : pengendalian siput pada habitatnya dan menghindarkan mengembalakan ternak pada daerah tergenang air. 3. Haemonchosis Haemonchosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing haemonchus yang paling sering menyerang ruminansia, terutama sapi, domba dan kambing. Kepalanya berdiameter kurang dari 50 mikron, dengan kapsula bukal yang kecil berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya, dan tiga bibir yang tidak menarik perhatian. Terdapat papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri. Spikulum relatif pendek dan terdapat sebuah gubernakulum. Vulva terdapat di bagian posterior tubuh dan sering ditutupi oleh cuping. Ada beberapa species haemonchus yang bisa menyerang sapi yaitu Haemonchus placei, Haemonchus similis, Haemoncus contortus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus disebut Haemonchosis. Panjang cacing Haemonchus contortus betina antara mm dan jantan sekitar mm. Pada cacing betina secara makroskopis usus yang berwarna merah berisi darah saling melilit dengan uterus yang berwarna putih. Cacing dewasa berlokasi di abomasum domba dan kambing. 18

19 Siklus Hidup Siklus hidup Haemonchus contortus dan Nematoda lain pada ruminansia bersifat langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum, memproduksi telur. Telur dikeluarkan oleh ternak bersama-sama pengeluaran feses. Di luar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai, telur menetas dan menjadi larva. Larva stadium L 1 berkembang menjadi L 2 dan selanjutnya menjadi L 3, yang merupakan stadium infektif. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan teringesti oleh domba. Selanjutnya larva akan dewasa di abomasum. Gambar. Siklus hidup Haemonchus spp. Patogenesa Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia. Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap akut, tahap II, antara 3 8 minggu setelah infeksi, kehilangan darah dan zat besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi 19

20 oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III, terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang disebabkan oleh kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis. Gejala Klinis Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus bersamaan dengan kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di bawah rahang, diare, tapi kadang-kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain yang menonjol, yaitu : penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek dan penurunan produksi susu. Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi telur-telur cacing di bawah mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan membantu penetapan diagnosis. Pencegahan Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum. Pengobatan Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan dosis 5 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis mg/kg berat badan. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi. 4. Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum) Cacing Toxocara vitulorum termasuk klas Nematoda yang memiliki kemampuan lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing betina adalah sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan dengan telur agak bulat dab memiliki dinding yang tebal. Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil. Siklus Hidup Telur dalam tinja tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi 20

21 laeva. Larva kemudian bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan bisa ke plasentadan masuk ke cairan amnion serta masuk ke dalam kelenjar mammae dan keluar bersama kolustrum. Cara Penularan Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu menyusu induknya. Gejala Klinis Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan. Diagnosis Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya cacing ini. Pengobatan dan pencegahan Upata pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin. Pengobatan secara teratur pada anak sapi dan menjaga kebersihan kandang merupakan tindakan pencegahan yang diharuskan. 5. Oesophagostomum sp.(cacing bungkul) Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing bungkul karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus besar. Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 19,8 mm dan Jantan antara 11,2 145 mm. Gejala klinis yang ditemukan antara lain kambing kurus, napsu makan hilang, pucat, anemia dan kembung. Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah segar. 6. Bunostomum sp (cacing kait) Lokasi hidup cacing kait adalah di dalam usus halus kambing dan domba. Panjang 21

22 caing jantan kira-kira mm dan betina kira-kira mm. Dikenal dengan cacing kait karena pada bagian ujung depan (kepala) cacing membengkok ke atas sehingga berbentuk seperti kait. Gejala klinis yang bisa diamati antara lain ternak mengalami anemia, terlihat kurus, kulit kasar, bulu kusam, napsu makan turun, tubuh lemah. Tinja lunak dengan warna coklat tua. Perlu diketahui bahwa cacing Bunostomum sp menempel kuat pada dinding usus. Cacing memakan jaringan tubuh dan darah, sehingga walaupun jumlah cacing hanya sedikit, namun ternak cepat menunjukkan gejala klinis yang nyata. 7. Trichostrongylus sp (cacing rambut) Cacing kelompok ini ukurannya sangat kecil dan hidup di dalam usus halur kambing dan domba. Dinamakan caing rambut karena tebalnya kurang lebih sama dengan rambut, sedangkan panjangnya kurang dari 10 mm. Telur cacing yang keluar bersama tinja akan berkembang menjadi larva apabila susana di luar, seperti kelembaban, suhu, oksigen cukup menguntungkan bagi kehidupannya, misalnya adanya tumpukan feses. Pada keadaan tersebut larva akan berkembang menjadi larva infektif. Di tempat penggembalaan larva dapat hidup sampai 6 bulan. Kepekaan ternak terhadap serangan cacing ini tergantung beberapa faktor, antara lain umur, kualitas pakan, genetik dan pengaruh luar, misalnya pemberian obat-obatan. Kambing muda dan kualitas pakan yang jelek akan lebih peka terhadap serangan cacing. Gejala klinis yang bisa diamati adalah ternak muda terlihat pertumbuhan terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian. Ternak bisa tertular cacing ini dengan cara menelan telur berembrio yang terdapat di rumput-rumputan atau dengan cara menelan larva infektif atau larva menembus kulit. Pencegahan Tindakan pencegahan terhadap penyakit nematodosis, antara lain berupa pemberian pakan kualitas tinggi dengan kuantitas yang cukup, menghindarkan berjubelnya ternak dalam satu petak penggembalaan, memisahkan ternak berdasarkan umur, menghindarkan ternak dari tempat-tempat becek, selalu memelihara kebersihan kandang dan lingkungan peternakan dan melakukan pemeriksaan feses dan pengobatan 22

23 terhadap cacing secara teratur. 8. THELAZIASIS Thelaziasis merupakan Suatu Penyakit cacing mata yang disebabkan oleh Thelazia sp. dan dapat menyerang berbagai jenis ternak. Thelazia sp. yang banyak menyerang ternak sapi adalah Thelazia rhodisii, T. glukosa dan T. Skrijabini (Soulsby, 1982). Thelazia merupakan cacing berwarna yang berwarna putih yang jantan memiliki 14 pasang papillae prekloaka dan 3 pasang papillae kloaka. Panjang tubuh yang jantan 7-13 mm, yang betina adalah mm. Sikus hidup Siklus hidup Thelazia sp. adalah tidak langsung yaitu memerlukan induk semang antara lalat Musca larvipara dan Musca confexifronts. Lalat ini tercemar oleh larva saat menghisap air mata sapi penderita. Larva ini kemudian masuk ke dalam perut lalat, disini larva berkembang menjadi larva II dengan [anjang badan 3,6-4 mm. Selanjutnya berkembang menjadi larva III yang merupakan larva infektif dengan panjang badan 5,06 7,9 mm. Perkembangan dalam tubuh lalat memerlukan waktu hari. Larva III selanjutnya meninggalkan folikel ovarium menuju bagian mulut lalat dan akhirnya pindah kepada induk semang definitif ( sapi ) dan cacing dewasa akan timbul dalam waktu hari. Cacing Thelazia sp 23

24 Phatogenesa Terjadi infeksi cacing mata Thelazia sp. dapat terjadi pada salah satu mata atau kedua mata. Pada hari ke-3 atau ke-4 setelah infeksi oleh larva cacing dapat terjadi konjungtivitis ringan disertai lacrimasi. Pada perkembangan selanjutnya dapat mengakibatkan kongesti konjungtiva dan photobia. Bila keadaan ini dibiarkan dapat kekeruhan kornea, konjungtiva membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis oleh nanah. Pathologi Anatomi Apabila serangan cacing mata tidak segera mendapatkan pengobatan maka akan terjadi peradangan yang meluas pada konjungtiva dan menyebabkan keratitis, ulserasi kornea yang dapat melanjut mewnjadi kerusakan lensa dan iris mata. Pada serangan yang cukup parah kornea akan mengalami fibrosis yang bersifat permanan. Epidemiologi Kejadian thealaziasis di indonesia pada ternak sapi sudah banyak dilaporkan, bahkan masalah yang timbul akibat infeksi parasit ini pernah dilaporkan di kupang NTT, Bali dan Timor Timur. Penularan penyakit ini tergantung oleh induk semang antara dari lalat yaitu Musca larvipara dan Musca convexifronts. Pada saat terjadi peningkatan kasus Thealaziasis pada ternak. Gejala Klinis dan Diagnosa Gejala Klinis terlihat adanya lakrimasi, kemerahan dan pembengkakan konjungtiva, photophobia dan beberapa kasus terjadi keratitis dan keadaan melanjut dapat terjadi kebutaan. Diagnosa didasarkan atas ditemukan cacing Thelazia sp. pada kantung konjungtiva dengan jalan membuka kedua kelopak mata. Pengobatan dan pengendalian Pengobatan serangan cacing mata Thelazia sp. pada sapi, ada beberapa obat yang disarankan, antara lain : (1) Piperazin 3% diteteskan pada mata yang terinfeksi. 24

25 (2) Larutan Boric acid 3% diteteskan pada mata. (3) Tetramizole 15 mg/kg bb. Pencegahan dilakukan penyemprotan secara teratur untuk membasmi vektor penyebab penyakit ini. 9. Cestodosis Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang kambing. Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan lebar 1 6 cm. Bentuk cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih kekuningan. Cacing ini jarang menimbulkan masalah, kecuali jika menyerang anak kambing yang sangat muda dan dalam jumlah yang besar. Tungau digunakan sebagai inang antara bagi cacing. Skolec Proglotida Siklus Hidup Cacing pita dewasa hidup dalam usus kambing dan domba akan melepaskan segmen yang masak bersama tinja, segmen tersebut pecah dan melepaskan telur. Telurtelur cacing dimakan oleh tungau tanah yang hidup pada akar tumbuhan. Telur-telur dalam tubuh tungau menetas menjadi larva. Kambing/domba memakan tungau bersamasama akar tanaman, seingga larva akan tertelan dan tumbuh menjadi dewasa di usus. Gejala Klinis Gejala yang terlihat pada kambing penderita, antara lain badan kurus, bulu kusam, selaput mata terlihat pucat, anemis, terdapat gejala edema dan mencret. Biasanya potongan segmen yang matang keluar bersama tinja atau kadang menggantung di anus. 25

26 Diagnosis Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan segmen cacing bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup memberikan petunjuk adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing. Apabila potongan cacing tidak ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan pemeriksaan telur cacing di bawah mikroskop. Pencegahan Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan pemberantasan terhadap insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang antara. Pengobatan Bisa diberikan preparat obat, antara lain : albendazole, oxfendazole 5 mg/kg berat badan, cambendazole mg/kg berat badan, fenbendazole 5 10 mg/kg berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan PENYAKIT CACING PADA BABI 1. Ascariasis Ascariasis pada babi disebakan oleh Ascaris suum. Parasit tersebut mempunyai 3 buah bibir dilengkapi dengan papilla sederetan gigi tetapi tidak memiliki alae vertical. Ascaris suum berhabitat pada usus halus babi. Panjang cacing jantan cm dan cacing betina 41 cm. Gambar 1. Ascaris suum 26

27 Cara Penularan dan siklus hidup Penyakit ascariasis pada babi dapat ditularkan secara : a) Per oral Penularan dapat terjadi secara peroral akibat makanan atau minuman yang tercemar telur infektif. Telur infektif yang mengandung larva stadium 2 dapat menginfeksi secara langsung dan di dalam usus hewan dan segera menetas, kelurlah larva stadium ke -2 yang selanjutnya bermigrasi ke dalam hati dalam waktu 2 hari. Setelah bertumbuh sebagai larva stadium ke-3 (infektif) larva tersebut akan bermigrasi ke paru-paru. Seluruh perjalanan migrasi tersebut memerlukan waktu 3 6 hari pasca infeksi. Di paru-paru larva menuju ke alveoli, bronchioli dan bronchi, selanjutnya ke batang tenggorok (trachea). Sesampai di dalam pangkal tenggorok, larva akan pindah ke pangkal tekak (pharing), yamg selanjutnya menuju ke ke kerongkongan, lambung dan akhirnya sampai di usus. Sesampai di usus larva berubah menjadi cacing dewasa. b) Pre natal Penularan melalui plasenta. Larva infektif akan menembus plasenta dan selanjutnya mencapai janin. Pada saat dilahirkan anak babi telah terinfeksi oleh larva stadium ke-3 di dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu larva berkembang menjadi stadium ke 4. Dalam waktu 2-3 minggu larva stadium ke-4 berkembang menjadi stadium ke-5 atau cacing muda dan bermukim di usus halus. c) Puting susu yg terkontaminasi telur infektif Didalam kelenjar susu, larva cacing akan bersifat dorman (tidak berkembang lebih lanjut atau mengalami fase istirahat ) dan baru akan berkembang didalam tubuh keturunannya (anak) bila mana sudah lahir dan penularannya melalui air susu. 27

28 Gejala Klinis. Gejala klinis yang muncul tergantung dari beberapa faktor : 1. jumlah telur infektif yang menginfeksi. 2. Durasi/lamanya infeksi. 3. Kerusakan /gangguan yang ditimbulkan larva/cacing pada organ tertentu. 4. Respon imun dari host. Gejala klinis yang timbul dapat berupa kekurusan, anemi, diarhe, pertumbuhan terhambat, ikterus, kolik, dehidrasi dan nafsu makan menurun. Larva stadium 2 didalam paru-paru menimbulkan fibrosis, bronchitis dan pneumonia yang dapat menimbulkan gejala batuk dan dispnu. Anemia terjadi disebabkan adanya enteritis yang menyebabkan terjadinya diarhe sehingga penyerapan zat-zat makanan menjadi kurang efesien. Luka-luka pada hati dan pembuluh alveoli dan bronchioli serta kompitisi zat-zat makanan dengan cacing Ascaris sp. dapat memperbesar dampak yang timbul. Patologi Anatomi Pada hati : Pada hati terlihat bercak-bercak putih yang sering disebut Milk Spot Liver. Pada paru-paru Terjadi perdarahan kecil di alveoli dan bronkhioli dan pada infeksi berat menimbulkan penyumbatan bronchioli 28

29 Pada usus halus Di usus halus cacing dewasa memakan isi usus dan merusak mukosa usus. Infeksi yang berat menimbulkan obstruksi lumen usus dan dindingnya tebal. Gambar 2. Milk Spot Liver Diagnosa Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis melalui pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing ini dalam tinja penderita. Selain itu dilakukan bedah pasca mati dimana dilakukan pemeriksaan isi usus halus untuk menemukan cacing ascaris suum dan adanya perubahan patologis pada organorgan predeleksi. Penanganan penyakit a) Pencegahan Tindakan pencegahan penyakit ascariasis pada babi dapat dilakukan dengan : 1) Menjaga kebersihan kandang induk menyusui, bersihkan kandang dengan desinfektif, feses harus segera dibersihkan sehingga telur tidak berkembang atau mencemari kandang. 2) Memandikan induk babi sebelum partus 29

30 3) Pemberian anthelmintik pada hewan sakit, terutama sebelum dikawinkan dan pertengahan kebuntingan untuk menghindari infeksi secara prenatal dan laktogenik. dilakukan pengobatan 3 minggu sebelum melahirkan. 4) Perbaikan manajemen peternakan b) Pengobatan Pengobatan hewan yang sakit dengan pemberian anthelmintik yaitu : 1. Piperazin : 120 mg/kg BB po drug of choice 2. Phenotiazin : 400 mg/kg BB po 3. Thiabendazole : 0.1 0,4 % jumlah pakan 4. Avermectin : 1 ml/50 kg BB, im / sc 2. METASTRONGYLOSIS Merupakan penyakit perasit pada ternak babi, disebabkan oleh cacing Metatrongylus sp. berpredeleksi di dalam alveoli paru-paru. Babi dapat tertular oleh larva infektif, ditandai oleh gejala bronchitis dan pneumonia. Metastrongylus disebabkan oleh cacing Metastrongylus (apri, salmi dan pudendotectus), di Indonesia disebabkan oleh M. apri. Cacing Metastrongylus sp. umumnya menyerang babi, juga pernah dilaporkan menyerang rusa, domba, ternak lain dan manusia Cara Penularan Cacing Metastrongylus sp.dewasa akan bertelur, telurnya berada di dalam sputum dan karena proses batuk maka telur akan tertelan dan keluar bersama tinja. Pada lingkungan yang mendukung telur akan berkembang menjadi larva stad.3 yang bersifat infektif, atau setelah keluar bersama tinja telur cacing akan termakan oleh cacing tanah yang selanjutnya berkembang menjadi larva infektif. Penularan terjadi apabila babi memakan cacing tanah yang mengandung larva std. 3, atau apabila cacing tanah mati maka larva stadium 3 terbebas dan mencemari makanan atau minuman dan merupakan sumber pencemaran. 30

31 Patogenesa dan Gejala klinis Cacing dewasa yang hidup pada paru-paru akan menimbulkan kerusakan alveoli sehingga dapat terjadi bronchitis dan pnemonia sehingga gajal klinis yang tampak berupa batuk batuk, sesak nafas dan pertumbuhan terhambat terutama pada babi muda. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi sekender atau tersumbatnya alveoli dan saluran saluran udara oleh cacing dewasa. Diagnosa dan Pengobatan Berdasarkan gejala klinis dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium yaitu menemukan telur cacing. Pengobatan dengan methyridine SC dengan dosis 44 mg/kg bb. 3. STRONGYLOIDIASIS Penyakit cacing ini dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi dan anjing. Parasit ini pada ternak babi yang disebabkan oleh Strongyloides ransomi dengan predeleksinya pada usus halus. Penyebaran penyakit ini hampir diseluruh dunia terutama pada daerah beriklim tropis penyakit ini lebih sering terjadi. Strongyloides yang hidup sebagai parasit dimana pada cacing betina terdapat di dalam mukosa duodenum dan bagian proksimal jejunum. Jarang ditemukan pada bagian distal pylorus, ductus biliaris communis, kandung empadu dan paru-paru. Sedangkan pada cacing jantan tidak pernah ditemukan, hal ini disebabkan setelah masa perkawinan cacing jantan menetap pada dinding trachea. Sedangkan untuk yang hidup di tanah, cacing jantan masih 31

32 bisa ditemukan. Pembuahan cacing betina oleh cacing jantan terjadi di dalam bronchus atau trachea, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa strongyloides betina bersifat parthenogenesis, yaitu reproduksi dengan cara perkembangan telur yang tidak dibuahi. Cacing betina yang telah dibuahi menembus mukosa usus, menempati kelenjar lieberkuhn. Di dalam kelenjar, cacing bertelur diikuti menetasnya telur dan keluarnya larva rhabditiform yang akan mengadakan penetrasi dan masuk kedalam lumen usus untuk keluar bersama tinja Penularan Penularan penyakit ini pada ternak dapat melalui beberapa cara : 1. larva infektif menembus kulit 2. colustrum / air susu 3. larva infektif mencemari makanan (oral) 4. autoinfeksi (pada anjing dan manusia) Patogenesa dan gejala klinis Infeksi Strongyloides umumnya moderat sampai asymtomatik. cacing dewasa hidup dan menancap dalam pada membran mukosa usus halus sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada usus halus. Tempat predeksi cacing ini adalah pada usus halus, cacing tersebut terutama cacing betina akan menyebabkan iritasi serta peradangan pada mukosa usus halus. Sel-sel epithel banyak yang pecah, kerusakan epithel tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas mukosa usus halus sehingga menyebabkan keluarnya protein plasma dari sistem sirkulasi ke lumen usus. Penularan transmammary paling umum terjadi sehingga pada anak babi yang terinfeksi 2-4 hari setelah lahir. Penularan S. ransomi terjadi melalui larva infektif menembus kulit atau tertelan, tetapi penularan terpenting adalah penularan dari induk ke anak melalui colostrum yang mengandung larva infektif. Gejala klinis yang tampak diare berdarah (disentri), anemia, kekurusan, gangguan respirasi dan pertumbuhan berhenti. Pada babi dewasa betina bila terinfeksi larva infektif melalui kulit/oral maka larva cacing mengalami migrasi trachea dan dewasa setelah 6 hari atau migrasi somatik dan larva terakumulasi/berkumpul pada jaringan lemak didaerah mammae. Apabila terjadi 32

33 rangsangan pada daerah ambing, maka Larva cacing pada jaringan lemak ini akan dikeluarkan melalui colustrum dan susu dan menularkan pada anak babi. Strongyloidosis pada anak babi dapat bersifat akut terjadi enteritis dengan diarhe berdarah sehingga dapat terjadi kematian anak babi sebelum sapih. Selama masa migrasi gejala klinis yang nampak pada anak babi biasanya batuk-batuk, sakit pada bagian perut dan kematian secara tiba-tiba. Pada anak babi yang menderita penyakit ini secara tajam terjadi penurunan berat badan secara tajam. Diagnosa : untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara mikroskopis untuk menentukan adanya telur cacing yang khas dari Strongyloides sp. telur cacing yang khas ditandai dengan adanya embrio (larva) di dalam telur, namun pada babi perlu dibedakan dengan telur metastrongylus sp. (cacing paru pada babi ). Pengobatan : ivermectine 0,2 mg/kg bb, Thia bendazole mg/kgbb selama 3 hari.. dan obat Benzimidazole, febanthel dan levamisol sangat efektif. Program pengobatan pada induk sebelum melahirkan merupakan langkah efektif untuk menekan terjadinya penularan dari induk ke anak. Ivermectine dan doramectine terbukti efektif pada babi diberikan 16 hari sebelum induk melahirkan. 4. TRICHURIASIS Trichuriaris adalah penyakit parasit babi yang disebabkan oleh cacing Trichuris suis dengan predeleksi cacing pada caecum babi. Cara penularan : penularan dari penyakit ini adalah secara langsung yaitu melalui makanan yang tercemar telur infektif. Siklus hidup Cacing Trichuris sp hidup pada caecum, kemudian telur keluar dari tubuh bersama tinja dan berkembang menjadi telur infektif dalam waktu beberapa minggu. menghasilkan telur serta memiliki dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap perubahan lingkungan Telur yang sudah berembrio dapat tahan beberapa bulan apabila berada di tempat yang lembab. Infeksi biasanya terjadi secara peroral (tertelan lewat pakan dan atau air minum). Apabila tertelan, 33

34 telur-telur tersebut pada sekum akan menetas dan dalam waktu sekitar empat minggu telah menjadi cacing dewasa. Gambar. Sikulus hidup Trichuris suis Pethogenesis Kerusakan yang ditimbulkan dari penyakti ini tergantung dari spesies yang diserang. Pada babi dapat menyebabkan peradangan pada caecum. Cacing menempel pada mukosa caecum dengan alat penghisap yang menembus mukosa sampai pembuluh darah kapiler dan cacing ini menghisap makanan darah. Kadang-kadang ditemukan perdarahan dan odema pad mukosa caecum. Bila terjadi infeksi akut terjadi diarhe profus. Pada babi dilaporkan bahwa infeksi cacing ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan oedema pada sekum babi (terutama babi berumur 8-14 minggu). Gejala Klinis Pada infeksi berat terjadi gejala anemia, nafsu makan menurun, dehidrasi, diarhe, lemah dan penurunan berat badan Diagnosa Melakukan pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing yang bentuk khas dimana pada kedua ujungnya terdapat tonjolan (sumbat). Pengobatan 34

35 - Levamisole 7,5 mg/kg bb - Tetramisole : 15 mg/kg bb secara oral. Pencegahan Babi dipelihara dalam kandang dengan lantai terbuat dari beton. Bila digunakan halaman bertanah maka pembuangan tinja harus secara teratur dan tempat pembuangan tinja harus terbuat dari sumur beton yang tertutup agar tidak menarik kumbang. Telur cacing ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan telur infektif mampu bertahan pada lingkungan yang sesuai sampai beberapa tahun. 5. Oesophagostomiasis (Cacing bungkul pada babi) Oesophagostomiasis pada babi adalah penyakit yang disebabkan oleh Oesophagostomum dentatum. cacing ini predeleksinya pada bagian caecum dari ternak tersebut. Cara penularan : Ternak babi dapat terinfeksi cacing ini melalui makanan/minuman yang tercemar larva infektif (larva stdium 3) Pathogenesis : Setelah larva infektif dimakan akan menembus dinding usus dari phylorus ke rectum dan mengambil untuk perkembangan dari larva, sehingga adanya larva pada mukosa usus akan menimbulkan rangsangan yang akan menimbulkan reaksi pada tubuh host ( reaksi imunologis) sehingga membentuk nodule pada jaringan sub mukosa, dimana larva mengalami ecdisis di dalam nodule. Pembentukan nodule pada usus halus akan dapat mengganggu peristatik usus. Nodule dapat ditemukan pada dinding usus halus dan usus besar sedangkan cacing dewasa terdapat pada colon sehingga dapat menimbulkan iritasi pada dinding colon dan terjadi diarhe. Beberapa nodul pecah dan berdarah, yang menunjukkan larva kembali ke lumen usus untuk menjadi dewasa. Larva didalam nodul menghasilkan abses kecil yang berisi leukosit dan usus akan mengalami peradangan dan oedema. Pada hewan muda ditemukan sedikit nodul dan pada hewan tua ditemukan banyak nodul yang menunjukkan adanya kekebalan. Nodul pada usus halus dan besar akan mengganggu penyerapan dan peristaltik 35

36 usus. Cacing dewasa akan mengakibatkan penebalan mukosa dan menghasilkan lendir yang banyak. Gejala klinis Pada babi dapat terjadi kondisi tubuh menurun, diarhe terjadi ketika cacing muda keluar dari nodule pada dinding usus, kekurusan, faeses lunak yang kadang-kadang berdarah bercampur mukus dan anemia. Perubahan anatomis - kekururan, enteritis, nodule pada dinding ussu dengan ukuran bervariasi. - Larva cacing dapat ditemukan di dalam nodule - Cacing dewasa dapat ditemukan pada bagian anterior dari colon sehingga mukosa menebal. Diagnosis Diagnosa penyakit ini melalui pemneriksaan feses dengan ditemukannnya telur cacing Pengobatan - Phenothiazine mg/kg bb - Albendazole 5 mg/kg bb - Piperazine 125 mg/kg bb PENYAKIT CACING PADA AYAM 1. ASCARIDIASIS PADA UNGGAS Ascaridiasis pada unggas adalah penyakit disebabkan oleh Ascaridia galli. Dimana penyakit ini dapat menyerang ternak ayam, mentog, angsa, itik dan berbagai burung liar di seluruh dunia. Cacing ini berperasit pada usus halus dari unggas. Cara penularan Infeksi cacing Ascaridia galli melalui makanan/minuman yang terkontaminasi oleh telur yang infektif (L2). Telur yang dihasilkan oleh cacing dewasa berbentuk ellips berdinding tebal, tidak bersegmen dan tidak berembrio pada saat dikeluarkan dari tubuh induk 36

37 semangnya, didalam telur embrio yang dihasilkan mengalami dua kali ecdisis sebelum menjadi telur infektif. Cacing tanah dapat juga membantu penyebaran cacing Ascaridia galli dan unggas terinfeksi bila memakan cacing tanah yang mengandung larva stadium 2 cacing Ascaridia galli. Gejala klinis Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung dari tingkat infeksi apabila tingkat infeksi tinggi maka gejala klinis yang terlihat adalah nafsu makan menurun, bulu kasar, mencret, anemi, gangguan pertumbuhan, produksi telur menurun dan penyumbatan usus secara mekanis. Gangguan pertumbuhan ayam terutama disebabkan kurang efesiensinya penggunaan makanan dan akibat penyerapan makanan dalam usus oleh adanya kerusakan mukosa usus, terutama disebabkan pada saat larva cacing A. galli menembus mukosa dinding usus. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan Ascaridia galli. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerir tanpa adnya kerusakan tertentu pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortalitas. Patogenesa Intensitas infeksi Ascariasis tergantung dari beberapa faktor : 37

38 Makanan, mikroflora usus, infeksi coccidia, sex/jenis kelamin dan umur Kerentanan meningkat bila dalam ransum kekurangan vit A, B dan B12 serta mineral dan protein. Lewat umur tiga bulan ayam lebih tahan, hal ini berkaitan dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Patogenitas yang ditimbulkan dari serangan cacing ini dapat meliputi 2 stadium : a. pada saat larva cacing A. galli menembus mukosa usus sehingga akan mengakibatkan kerusakan pada dinding usus dan pada usus dapat terjadi perdarahan sehinngga menimbulkan enteritis, yang mengakibatkan penyerapan zat-zat makanan terganggu. b. Pada saat cacing dewasa pada lumen usus. Cacing dewasa hidup bebas dalam lumen usus halus dan bila jumlah cacing dalam jumlah yang banyak akan dapat menyumbat dari usus halus. Cacing dewasa akan aktif memakan makanan yang dimakan unggas (kompetitif dengan hospes) sehingga efisiensi penyerapan makanan terganggu dan akibatnya pertumbuhan ayam juga terganggu. Akumulasi infeksi cacing A. galli terjadi pada unggas yang dipelihara dalam kandang liter (sekam) yang tebal terutama karena terjadi peningkatan kelembaban. Infeksi berat A. galli menyebabkan penurunan produksi telur pada kandang litter di breeder dan layer komersial. Ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein 10% dan diinfeksi dengan 10, 100 dan 1000 telur A. galli per hari selam enam minggu tanpa diberi suplemen vitamin menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding yang diberi suplemen vitamin Perubahan Anatomis Pada mukosa usus akan terlihat enteritis haemorrhagis dan dalam selaput lendir usus ditemukan telur cacing. Karkas akan terlihat kurus, pucat dan cacing dewasa ditemukan dalam usus. Kadang-kadang parasit cacing ditemukan dalam albumin telur cacing., diduga dari kloaka kesasar ke uterus dan terperangkap dalam putih telur Diagnosa : berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan tinja Pengobatan : - Penothiazine 220 mg/kg - Piperazine citrat mg/kg bb. - 38

39 Pencegahan : Ayam yamg muda hendaknya dipisahkan dari yang dewasa. Kandang harus kering dan sering dibersihkan. Pemberian obat cacing secara teratur setiap 2 bulan sekali. 2. HETERAKIASIS Kecacingan pada unggas yang disebabkan oleh cacing H. gallinarrum. cacing ini habitnya pada sekum ayam, itik, unggas dan kalkun. Siklus Hidup Di alam bebas telur berkembang dan mencapai tahap infektif (L2) dalam waktu 14 hari. Penularan terjadi bila telur infektif termakan oleh unggas, maka dalan usus ayam menetas dalam waktu 1-2 jam. Sampai hari keempat cacing muda sangat erat dengan mukosa sekum dan menimbulkan kerusakan pada kelenjar epitel. Selanjut menjadi L3 ( 6 hari) dan L4 (Hari ke 10) dan dewasa. Patogenesis Pengaruh langsung dari H. gallinarum tidak begitu berarti kecuali dalam jumlah yang banyak. Terjadi penebalan mukosa sekum serta perdarahan. Yang lebih berbahaya karena cacing ini merupakan vektor protozoa Histomonas Meleagridis yang menyebabkan Blachead atau enterohepatitis pada kalkun. protozoa ini hidup lama dalam telur H. gallinarum. Diagnosa : menemukan telur cacing dalam feses 3. TETRAMERIOSIS ETIOLOGI : Tetrameres americana Morfologi makroskopis : cacing dewasa hidup pada proventrikulus, mudah dibedakan antara yang jantan dan yang betina. Cacing jantan berwarna putih, gilik seperti benang dengan ukuran panjang hanya sekitar 5-6 mm, sebagian besar hidup bebas 39

40 di dalam lumen proventrikulus, tetapi sewaktu-waktu dapat mengunjungi cacing betina masuk ke dalam kelenjar untuk kawin dan setelah itu mati, berukuran panjang 5-5,5 mm (1,3,6). Cacing betina dewasa berbentuk hampir bulat, sedangkan bagian anterior dan posterior berbentuk kerucut, berwarna merah darah dengan ukuran panjang 3,5-4,5 X 3 mm, berpredileksi tertanam di dalam kelenjar proventriculus. Morfologi mikroskopis: cacing jantan memiliki kutikula yang dipersenjatai dengan empat baris duri dan tidak ada cordon, sedangkan cacing betinanya memiliki empat alur longitudinal pada permukaannya. Telurnya berdinding tebal, berukuran μm dan telah embrio (larva) saat keluar bersama tinja. Spesies Tetrameres sp lainnya : T. mohtedai menginfeksi ayam di India dan Asia timur. Hospes intermediernya adalah kecoa dan Belalang seperti Spathosternum prasiniferum, Oxya nitidula dan ngengat Setamorpha nutella (1). T. Fissispina menginfeksi : Itik, angsa, ayam.kalkun, merpati dan burung air liar lainnya, Hospes intermedier Krustacea air (Daphnia dan Gamarus), Belalang dan cacing tanah. Siklus Hidup, telur akan keluar bersama tinja, memerlukan hospes antara serangga orthoptera yang cocok, seperti Melanoplus femurrubrum, M. differentialis dan Blatella germanica). Infeksi terjadi secara tidak langsung, karena memakan serangga terinfeksi. Patogenesa dan Gejala Klinis, cacing betina mengisap darah, tetapi kerusakan terparah terjadi ketika cacing muda bermigrasi menembus dinding proventrikulus, menyebabkan iritasi dan peradangan, yang dapat membunuh anak ayam. Unggas terinfeksi mengalami anemia (balung dan pial pucat) dan kurus. Pada autopsi cacing betina dewasa dapat dilihat dari bagian luar proventrikulus berwarna gelap di dalam jaringannya. Diagnosa, pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing dan menemukan cacing pada saat bedah bangkai 40

41 4. CESTODIOSIS Etiologi, Cestodiosis pada ayam disebabkan oleh genus (Davainea, Raillietina dan Amoebotaenia), hidup di dalam usus halus Siklus hidup, secara umum dimulai dari hospes definitif terinfeksi akan mengeluarkan proglotid gravid dalam rangkaian strobila atau tersendiri bersama tinja, kadang-kadang juga proglotid akan pecah di dalam usus sehingga telur keluar bersama tinja. Proglotid kemudian mengalami apolysis (hancur), sehingga telur berserakan mencemari lingkungan. Telur apabila termakan oleh hospes intermedier yang sesuai, karena pengaruh sekeresi (lambung, usus, hati dan pancreas) di dalam saluran pencernan, onkosfer akan tercerna, sehingga menyebabkan aktifnya embriofor. Ombriofor menggunakan kaitnya akan menembus dinding usus dan akhirnya bersama aliran darah atau linfe beredar keseluruh tubuh menuju tempat predileksinya dan berkembang lebih lanjut menjadi bentuk peralihan ( metakestoda). 41

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 PARASTOLOGI Tugas 1 Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1 Editor : Vivi Pratika NIM : G0C015098 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak Achmad Slamet Aku, S.Pt., M.Si. Drh. Yamin Yaddi Drh. Restu Libriani, M.Sc. Drh. Putu Nara Kusuma Prasanjaya Drh. Purnaning Dhian Isnaeni Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I TREMATODA Morfologi umum cacing penyebab : Pipih bilateral, seperti daun Hermaphrodit Tidak bersegmen Saluran pencernaan tdk sempurna Oral & Ventral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten Purbalingga.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN BAB 1. PENDAHULUAN Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, harus terus ditangani karena kebutuhan itu semakin bertambah disebabkan oleh pertambahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitan 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila dibedakan dengan sapi lainnya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pinjal 1. Morfologi Pinjal Pinjal penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk kedalam kulit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

MAKALAH GIZI ZAT BESI

MAKALAH GIZI ZAT BESI MAKALAH GIZI ZAT BESI Di Buat Oleh: Nama : Prima Hendri Cahyono Kelas/ NIM : PJKR A/ 08601241031 Dosen Pembimbing : Erwin Setyo K, M,Kes FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA Dalam perkembangbiakannya,invertebrata memiliki cara reproduksi sebagai berikut 1. Reproduksi Generatif Reproduksi generative melalui fertilisasi antara sel kelamin jantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN Nama : Yulia Fitri Djaribun NIM : 127008005 Tanggal : 22 September 2012 A.Tujuan Praktikum : 1. Agar mahasiswa mampu melakukan proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

Beberapa penyakit yang sering menyerang ternak kambing dan dapat diobati secara tradisional diantaranya adalah sebagai berikut:

Beberapa penyakit yang sering menyerang ternak kambing dan dapat diobati secara tradisional diantaranya adalah sebagai berikut: PENDAHULUAN Alternatif pengobatan tradisional pada ternak merupakan suatu solusi yang tentunya sangat bermanfaat bagi peternak kecil.disamping mudah didapatkan disekitar kita serta biayanya relatif murah,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada daerah kering dan toleran pada kadar garam yang relatif tinggi, tumbuh liar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN I. JEMS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK BALITA DAN ORANG YANG PROFESINYA BERHUBTJNGAN DENGAN TANAH Oleh: Dr. Bambang Heru Budianto, MS.*) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

HAMA DAN PENYAKIT IKAN

HAMA DAN PENYAKIT IKAN HAMA DAN PENYAKIT IKAN I. MENCEGAH HAMA DAN PENYAKIT IKAN Hama dan penyakit ikan dapat dibedakan berdasarkan penyerangan yaitu hama umumnya jenis organisme pemangsa (predator) dengan ukuran tubuh lebih

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

Morfologi dan Anatomi Dasar Kelinci

Morfologi dan Anatomi Dasar Kelinci Modul Praktikum Biologi Hewan Ternak 2017 6 Morfologi dan Anatomi Dasar Kelinci Petunjuk Umum Praktikum - Pada praktikum ini digunakan alat-alat bedah dan benda-benda bersudut tajam. Harap berhati-hati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

Sistem Ekskresi Manusia

Sistem Ekskresi Manusia Sistem Ekskresi Manusia Sistem ekskresi merupakan sistem dalam tubuh kita yang berfungsi mengeluarkan zatzat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh dan zat yang keberadaannya dalam tubuh akan mengganggu

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN Oleh : Kelompok 7 Program Profesi PSIK Reguler A Prilly Priskylia 115070200111004 Youshian Elmy 115070200111032 Defi Destyaweny 115070200111042 Fenti Diah

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan I. Tujuan: 1. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan teknik teknik histoteknik yang digunakan dalam pembuatan preparat jaringan 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1

PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1 1 PENYIAPAN SPECIMEN AWETAN OBJEK BIOLOGI 1 Oleh : Drs. Suyitno Al, MS 2 PENDAHULUAN Biologi berkembang dari hasil kerja para peneliti biologi, menggali pengetahuan dari objek-objek biologi. Sebagai Objeknya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya melakukan pemeriksaan parasit cacing pada ternak sapi dan melakukan observasi lingkungan kandang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci