V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Jalur Verifikasi Pemilihan jalur dilakukannya verifikasi ini didasarkan pada 2 kriteria, yaitu : - Merupakan jalur yang banyak didatangi pengunjung dan/atau dilalui pendaki - Mempunyai aksesibilitas yang mudah. Verifikasi dilakukan pada 8 jalur yang terdiri dari 2 jalur pendakian yaitu jalur pendakian Selo (yang dimulai dari Dusun Genting, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali), dan jalur Tekelan (Dusun Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang), serta 6 jalur non pendakian dimana 2 jalur dimulai dari Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, 3 jalur berada/dimulai dari Dusun Tekelan dan 1 jalur dimulai dari kawasan TWA Tuk Songo Kopeng. Selama pelaksanaan verifikasi di lapangan dilakukan pula perekaman data spasial jalur pendakian maupun non pendakian menggunakan alat GPS Receiver merk Garmin seri e-trex SUMMIT. Perekaman data dilakukan setiap jarak 100 m (1 HM) atau kurang dari 100 m apabila penangkapan sinyal lemah dan pada obyek-obyek atau lokasi khusus/tertentu. Penunjukkan angka akurasi penangkapan sinyal pada alat selalu dijaga dibawah 10 m, kecuali apabila memang keadaan lokasi yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan angka akurasi yang kecil. Pada grafik profil yang disajikan, fluktuasi yang ekstrim merupakan pengaruh dari skala ketinggian dan jarak yang digunakan, atau perbedaan antara ketinggian sebenarnya dengan akurasi penerimaan alat GPS Receiver yang digunakan serta peta dasar yang dipakai. Tabel 6 Daftar jalur pendakian dan non pendakian dilakukannya verifikasi No. Jalur Jenis Jalur Jarak Tempuh Waktu Tempuh (Lapang) Normal 1. Selo - Puncak Pendakian m 7 jam 2. Tekelan - Puncak Pendakian m 7 jam 3. Selo - Mata Air Non Pendakian 900 km 45 menit 4. Tekelan - Watu Tadah Non Pendakian m 1 jam 5. TWA Tuk Songo - Tekelan Non Pendakian m 45 menit 6. Tekelan - Krinjingan Non Pendakian 450 m 30 menit 7. Tekelan - Dufan Non Pendakian 725 m 1 jam 8. Selo - Jurang Warung Non Pendakian m 3 jam Gambar 5 menunjukkan tampilan (layout) jalur verifikasi yang di-overlay pada peta kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.

2 45 Gambar 5 Jalur dilakukannya kegiatan verifikasi

3 Jalur Pendakian Selo - Puncak Jalur pendakian Selo (Desa Tarubatang) merupakan jalur utama pendakian dari sisi Selatan Gunung Merbabu yang mempunyai aksesibilitas yang mudah dan populer di kalangan para pendaki. Base start Desa Tarubatang berada di tepi batas kawasan TN Gunung Merbabu. Kondisi fisik jalur Selo berupa jalan setapak dari tanah, yang menjadi jalan aliran air ketika hujan turun. Pada jalur ini terdapat percabangan jalur (Pada Pos I Dok Malang di ketinggian m dpl) yang bertemu kembali dengan jalur utamanya pada ketinggian m dpl (Pos III Watu Tulis), namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah, sehingga hanya penduduk setempat saja yang masih bisa mengenali jalur ini. Mulai jarak m dan ketinggian m dpl terdapat ekosistem sabana yang di kalangan pendaki yang biasa mendaki gunung ini disebut Sabana I dan Sabana II. Sabana I dipisahkan oleh sebuah bukit dengan Sabana II (pada jarak m dan ketinggian m dpl). Tabel 7 Rute jalur pendakian Selo No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start Batas Kawasan - Pos I Dok Malang m m Pos I Dok Malang - Pos Bayangan (Dok Cilik) 600 m m Pos Bayangan (Dok Cilik) - Pos II Pandean 500 m m Pos II Pandean - Pos III Watu Tulis 500 m m Pos III Watu Tulis - Sabana I 500 m m Sabana I - Sabana II m m Savana II - Puncak Triangulasi m m Puncak Triangulasi - Puncak Kenteng Songo 225 m m Seluruhnya terdapat 66 titik yang direkam dengan menggunakan GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 57 titik HM, 3 titik pos pendakian yang pada pengukuran jarak lapang tidak tepat (kurang atau lebih dari) 100 m (selanjutnya disebut diluar HM ), 1 titik lokasi longsor, 1 titik puncak diluar HM, 1 titik lokasi memori (nisan) dan 1 titik lokasi bermalam tim. Tabel 16 menyajikan data rekaman alat pada titik-titik utama jalur pendakian Selo - puncak. Profil jalur pendakian Selo - puncak secara mayoritas menanjak dan hampir tidak ada yang menurun. Bagian (segmen) jalur yang terlihat datar hanya sebagian kecil (+ 300 m) yang kemungkinan besar merupakan profil lokasi Sabana I - Sabana II. Gambar 6 menunjukkan profil jalur pendakian Selo puncak.

4 47 Tabel 8 Data rekaman GPS Receiver jalur Pendakian Selo No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Start Batas Kawasan ' 04.5" 07 29' 02.3" Pos I Dok Malang ' 20.8" 07 28' 23.8" Pos Bayangan (Dok Cilik) ' 14.8" 07 28' 13.2" Pos II Pandean ' 04.0" 07 28' 06.2" Pos III Watu Tulis ' 46.6" 07 28' 05.4" Sabana I ' 43.1" 07 27' 52.8" Sabana II ' 38.0" 07 27' 39.1" Puncak Triangulasi ' 23.3" 07 27' 17.5" Puncak Kenteng Songo ' 26.4" 07 27' 13.1" Ketinggian (m) Jarak (m) 5082 Gambar 6 Profil jalur pendakian Selo - Puncak (tanpa skala) Dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini dilakukan pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna. Hasil pengamatan dan pencatatan tersebut adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Selo - puncak melewati semua tipe hutan yang ada di TN Gunung Merbabu, yaitu Hutan Hujan Pegunungan pada ketinggian m dpl dan Hutan Hujan Sub Alpin pada ketinggian m dpl. Pada jalur ini terdapat ekosistem khas pegunungan, yaitu ekosistem sabana yang mulai tumbuh pada ketinggian m dpl hingga puncak. Kalangan pendaki biasa menyebutnya dengan nama Sabana I dan Sabana II. Sabana I yang mulai dijumpai pada jarak m dan ketinggian m dpl terpisah dari Sabana II (pada jarak m dan ketinggian m dpl) oleh sebuah bukit. Vegetasi yang tumbuh di ekosistem sabana ini antara lain Kemlandingan gunung atau Sengon gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) rumput-rumputan seperti Bubarjaran dan herba

5 48 Kupingan. Kondisi ekosistem pada jalur ini bervariasi antara ekosistem yang masih utuh, lembab (jarak m, ketinggian m dpl) dengan pohon-pohon yang ditumbuhi lumut dan ada pula yang terganggu akibat adanya tanah longsor pada posisi jarak lapang m, ketinggian m dpl) serta kebakaran (dilewati jalur pada jarak m, ketinggian m dpl dan pada jarak m, ketinggian m dpl). Pada beberapa titik di jalur ini terdapat pula ekosistem yang terganggu akibat penebangan liar. b. Flora dan Fauna Flora yang dijumpai di jalur ini tercatat 46 jenis yang terdiri dari flora berkayu maupun tidak berkayu. Jenis yang ada antara lain Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Kina (Chinchona sp.), Rustania, Bintami (Podocarpus imbricata), Cemara gunung (Casuarina junghuhniana), Akasia (Acacia decurrens), Kaliandra (Calliandra sp.), Kantung semar (Nepenthes sp.), Sowo (Engelhardia serrata), Pasang (Quercus spicata), Wuru (Litsea sp.), Dempul (Glochidion sp.), Picis (Nauclea lanceolata), Dadap (Erythrina sp.), Wilodo (Ficus fistulosa), Kemlandingan gunung atau Sengon gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rumput-rumputan seperti Merangan dan Bubarjaran. Sedangkan fauna yang tercatat dalam kegiatan verifikasi di jalur ini berjumlah 52 jenis, terdiri dari 2 jenis mamalia dan 50 jenis aves. Salah satu fauna yang menarik adalah Rekrekan (Presbytis fredericae) atau Lutung kelabu yang merupakan primata endemik Jawa Tengah yang dilindungi. Selain Lutung kelabu, fauna yang menarik lainnya adalah Ayam hutan hijau (Gallus varius). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 14 dan Jalur Pendakian Tekelan - Puncak Jalur Tekelan berawal dari Dusun Tekelan yang lokasinya berdekatan dengan TWA Tuk Songo Kopeng (Dusun Tekelan merupakan enklave TN Gunung Merbabu) dan merupakan salah satu jalur pendakian dari sisi Utara Gunung Merbabu yang sudah banyak dikenal di kalangan pendaki serta mempunyai aksesibilitas relatif mudah. Kondisi fisik jalur Tekelan sebagian besar berupa jalan setapak dari tanah dan sebagian kecil berupa batu-batuan lepas. Pada bagian tertentu jalur ini

6 49 terdapat jalur yang mengalami erosi akibat aliran air dan membentuk parit hingga kedalaman parit mencapai 1 meter. Tabel 9 Rute jalur Tekelan - Puncak No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start Batas Kawasan - Pos I Pending 700 m 700 m Pos I Pending -Pos II Ijo / Pereng Putih 900 m m Pos II Ijo / Pereng Putih - Pos III Gumuk Mentul 775 m m Pos III Gumuk Mentul - Pos IV Lempong Sampan 600 m m Pos IV Lempong Sampan - Puncak I Pertapaan 550 m m Puncak I Pertapaan - Pos V Pemancar 600 m m Pos V Pemancar - Puncak II Watu Tulis 25 m m Puncak II Watu Tulis - Pos VI Helipad 600 m m (tidak tercatat) 9. Pos VI Helipad - Puncak III Gegersapi 300 m m Puncak III Gegersapi - Puncak IV Syarif 425 m m Puncak III Gegersapi - Puncak V Ondorante 500 m m Puncak V Ondorante - Puncak VI Kenteng Songo 300 m m Puncak VI Kenteng 9 - Puncak VII Triangulasi 225 m m Kurang lebih terdapat 69 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 59 titik HM, 3 titik pos pendakian diluar HM, 2 titik lokasi pertigaan jalur, 2 titik puncak diluar HM, 2 titik lokasi memori (nisan) dan 1 titik lokasi mata air. Data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur pendakian Tekelan - puncak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Puncak Koordinat No. Rute BT Ketinggian (m dpl) LS 1. Base Start Tekelan (KOMPPAS) ' 41.4" 07 24' 55.4" Start Batas Kawasan ' 41.4" 07 24' 55.4" Pos I Pending ' 47.1" 07 25' 16.9" Pos II Ijo / Pereng Putih ' 56.9" 07 25' 39.7" Pos III Gumuk Mentul ' 10.0" 07 25' 49.1" Pos IV Lempong Sampan ' 11.8" 07 25' 59.2" Puncak I Pertapaan ' 18.7" 07 26' 15.7" Watu Gubug ' 18.1" 07 26' 19.6" Pertigaan ke Cunthel ' 12.8" 07 26' 30.6" Pos V Pemancar TNI + Puncak II Watu Tulis ' 13.1" 07 26' 36.1" Pal Batas Kabupaten ' 15.8" 07 26' 45.0" Pos VI Helipad ' 18.1" 07 26' 48.0" Kawah ' 20.6" 07 26' 51.3" (tidak tercatat) 14. Puncak III Gegersapi ' 26.2" 07 26' 51.3" Pertigaan Syarif - Kenteng Songo ' 31.1" 07 26' 59.4" Puncak IV Syarif ' 33.8" 07 26' 58.8" Puncak V Ondorante ' 27.7" 07 27' 04.9" Puncak VI Kenteng Songo ' 26.4" 07 27' 13.1" Puncak VII Triangulasi ' 23.3" 07 27' 17.5" Grafik profil jalur Tekelan - puncak (Gambar 7) menunjukkan jalur yang mayoritas menanjak dengan sedikit segmen jalur yang menurun dan mendatar.

7 50 Grafik yang terputus disebabkan oleh adanya enklave yang dilewati jalur ini, sehingga tidak ditampilkan oleh ArcView. Ketinggian (m) Jarak (m) 5289 Gambar 7 Profil jalur pendakian Tekelan - Puncak (tanpa skala) Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna pada jalur pendakian Tekelan - puncak adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Tekelan - puncak sama dengan jalur Selo - puncak yang melewati semua tipe hutan di TN Gunung Merbabu, yaitu Hutan Hujan Pegunungan pada ketinggian m dpl dan Hutan Hujan Sub Alpin pada ketinggian m dpl. Ekosistem pada jalur Tekelan - puncak relatif terganggu dan kondisi hutannya lebih terbuka daripada jalur Selo - puncak. Hal ini kemungkinan akibat kebakaran yang sering melanda (dalam jalur dilewati pada jarak m, ketinggian m dpl, jarak m, ketinggian m dpl, pada jarak m, ketinggian m dpl dan pada jarak m, ketinggian m dpl) ditambah dengan adanya penebangan liar serta jenis tanah yang rawan erosi. Selain itu terdapat pula ekosistem kebun pada tanah milik yang dilewati jalur. b. Flora dan Fauna Jenis flora yang dijumpai di jalur ini tercatat 47 jenis, baik flora berkayu maupun tidak berkayu seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Akasia (Acacia decurrens), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum Perhutani, disamping jenis-jenis alami seperti Pasang (Quercus spicata), Dempul (Glochidion sp.), Lotrok (Nauclea obtuse), Luwing (Ficus hispida), Sowo

8 51 (Engelhardia serrata), Bambu Cendani (Bambusa multiplex) dan lain-lain. Pada tipe Hutan Hujan Sub Alpin tumbuh jenis-jenis Kemlandingan gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rumput-rumputan seperti Merangan dan Bubarjaran. Adapun fauna yang tercatat berjumlah 13 jenis, terdiri dari 2 mamalia dan 11 aves. Jenis fauna yang cukup menarik di jalur ini antara lain Elang hitam (Ichtinaetus malayensis), Alap-alap (Falco sp.) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 15 dan Jalur Non Pendakian Selo - Mata Air Jalur Selo - mata air ini mempunyai pola yang jalur tidak memutar kembali ke Desa Tarubatang karena sebenarnya merupakan jalan menuju desa lainnya (Desa Surodadi). Jalur ini melewati camping ground yang berada di sekitar pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sebuah mata air pada jarak m yang airnya dimanfaatkan penduduk untuk keperluan sehari-hari dan juga oleh para pengunjung yang berkemah. Di sekitar mata air tersebut terdapat batu memori (nisan) mahasiswa UNS tanpa nama yang meninggal pada tahun 1992 di lokasi tersebut akibat kecelakaan ketika mengikuti pendidikan dasar pecinta alam. Kondisi fisik jalur ini pada bagian awalnya berupa jalan berbatu namun setelah lokasi mata air jalur berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 11 Rute jalur Selo - Mata Air No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start Batas Kawasan - Camping ground 50 m 50 m Camping ground - Pertigaan ke puncak 50 m 100 m Pertigaan ke puncak - Mata Air 100 m 200 m Mata Air - Akhir Pengamatan 700 m 900 m Tercatat 10 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang merupakan titik HM seluruhnya. Tabel 12 memperlihatkan titik-titik utama jalur non pendakian Selo - mata air.

9 52 Tabel 12 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Mata Air No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Start Batas Kawasan + Camping Ground ' 04.5" 07 29' 02.3" Pertigaan ke puncak ' 34.2" 07 28' 51.1" Mata Air ' 34.4" 07 28' 51.6" Akhir Pengamatan ' 51.7" 07 29' 03.8" Profil jalur non pendakian Selo - mata air (Gambar 8) mempunyai kecenderungan menurun dengan sedikit variasi tanjakan dan turunan yang masih tergolong landai. Ketinggian (m) Jarak (m) 1032 Gambar 8 Profil jalur non pendakian Selo - Mata Air (tanpa skala) Berikut hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur non pendakian ini. a. Ekosistem Kondisi ekosistem pada jalur ini relatif masih utuh untuk suatu Hutan Sekunder. b. Flora dan Fauna Kegiatan verifikasi mencatat 26 jenis flora berkayu maupun tidak berkayu di jalur ini. Jenis-jenis tersebut yang mendominasi diantaranya Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), dan jenisjenis lain. Sedangkan fauna yang tercatat sebanyak 25 jenis, terdiri dari 1 jenis mamalia dan 24 jenis aves. Fauna yang keberadaannya cukup menarik di jalur Selo - mata air antara lain Ayam hutan hijau (Gallus varius) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

10 53 Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 13 dan Jalur Non Pendakian Tekelan - Watu Tadah Jalur ini relatif datar, hanya ada sedikit bagian yang menanjak. Jarak tempuhnya dari batas kawasan hingga lokasi Watu Tadah m, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam saja. Untuk menuju batas kawasan dari base start Tekelan diperlukan waktu sekitar 10 menit berjalan kaki. Pada jalur ini dapat ditemui pemandangan yang indah pada lembah hutan tanaman Pinus dan pada sungai kecil yang berada di lembah antara dua punggungan. Watu Tadah merupakan air terjun (musiman) yang membentuk sungai kecil. Letaknya yang tersembunyi di sebuah tebing dan jalur akses menuju lokasi yang berbeda dengan jalur pendakian membuat jalur ini dan obyek-obyeknya tidak dikenal selain oleh penduduk setempat. Keseluruhan jalur berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 13 Rute jalur Tekelan - Watu Tadah No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start Batas Kawasan - Hutan Pinus 50 m 50 m Hutan Pinus - Tebing Batu 600 m 650 m Tebing Batu - Dasar Lembah (Sungai Kecil) 150 m 800 m Dasar Lembah (Sungai Kecil) - Watu Tadah 200 m m Seluruhnya terdapat 11 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang semuanya merupakan titik HM. Penangkapan sinyal dari satelit oleh GPS Receiver di lokasi air terjun Watu Tadah sulit karena posisinya dikelilingi tebing menyebabkan akurasi yang didapat sangat rendah (+ 15 m). Tabel 14 menyajikan data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah. Tabel 14 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Watu Tadah No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Base Start Tekelan (KOMPPAS) ' 41.4" 07 24' 55.4" Start Batas Kawasan ' 42.4" 07 24' 46.8" Hutan Pinus + Akasia ' 46.4" 07 24' 51.8" Tebing Batu ' 48.7" 07 25' 01.3" Dasar Lembah (Sungai Kecil) ' 51.5" 07 25' 10.6" Watu Tadah ' 52.3" 07 25' 16.8" Profil jalur Tekelan - Watu Tadah secara umum menanjak, dengan variasi turunan di awal jalur dan beberapa segmen yang mendatar (Gambar 9).

11 54 Ketinggian (m) Jarak (m) Gambar 9 Profil jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah (tanpa skala) Dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini dilakukan pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna. Hasil pengamatan dan pencatatan tersebut disampaikan berikut ini. a. Ekosistem Jalur Tekelan - Watu Tadah mempunyai 3 tipe ekosistem, yaitu ekosistem Hutan Hujan Pegunungan, ekosistem sungai dan ekosistem danau air tawar (pada lingkungan air terjun Watu Tadah yang terdapat genangan air). Kondisi ekosistem Tekelan - Watu Tadah relatif masih utuh. b. Flora dan Fauna Flora yang tercatat di jalur Tekelan - Watu Tadah berjumlah 47 jenis, baik yang berkayu maupun tidak berkayu, seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia (Acacia decurrens), Pasang (Quercus spicata), Kina (Chinchona sp.), Dempul (Glochidion sp.), Umbel-umbelan (Sauauria sp.), Rustania, Lotrok (Nauclea obtuse), Semantung (Ficus hispida), Luwing (Ficus hispida), Pampung (Oenanthe javanica), serta Pakis Galar (Cyathea contaminans). Dalam verifikasi hanya tercatat 5 jenis fauna yang terdiri dari 1 mamalia yaitu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan 4 jenis aves yaitu Alap-alap (Falco sp.), Gagak kampung (Corvus macrorynchos), burung Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), dan Sepah gunung (Pericrocotus miniatus). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 16 dan 24.

12 Jalur Non Pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan Jalur ini berawal dari pintu masuk TWA Tuk Songo dan berakhir pada perbatasan antara kawasan taman wisata alam ini dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan (enklave). Dari batas antara kawasan TWA Tuk Songo dengan tanah milik, untuk menuju base start Tekelan dapat ditempuh berjalan kaki kurang dari 10 menit melewati kebun dan rumah penduduk Dusun Tekelan. Panjang jalur ini m dengan vegetasi didominasi tanaman Pinus dan Puspa. Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 15 Rute jalur TWA Tuk Songo - Tekelan No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Gerbang Kawasan TWA Tuk 9 - Taman Bermain 50 m 50 m Taman Bermain - Tanjakan Pinus 50 m 100 m Tanjakan Pinus - Jalan Tembus Cunthel 100 m 200 m Jalan Tembus Cunthel - Batas Kawasan TWA 800 m m Data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur TWA Tuk Songo - Tekelan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16 Data rekaman GPS Receiver jalur TWA Tuk Songo - Tekelan No. Rute Koordinat (UTM) Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Gerbang TWA Tuk Songo Kopeng Taman Bermain Tanjakan Pinus Pertigaan - Jalan Tembus ke Cunthel Perbatasan Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan mempunyai profil yang menanjak, terutama pada jarak 200 hingga 800 m pertama, yang merupakan segmen antara awal hutan Pinus dengan pertemuan dengan jalan tembus ke Dusun Cunthel (Gambar 10). Ketinggian (m) Jarak (m) Gambar 10 Profil jalur non pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan (tanpa skala)

13 56 Sebenarnya di dalam TWA Tuk Songo juga terdapat jalur pengunjung dan obyek-obyek alami seperti air terjun musiman, hutan alam, mata air dan sungai yang dapat dimanfaatkan untuk interpretasi alam, namun karena lokasinya yang berada di lembah membuat alat GPS Receiver yang digunakan tidak mampu menangkap sinyal dari satelit untuk mencatat track jalurnya. Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Ekosistem jalur TWA Tuk Songo - Tekelan yang berupa ekosistem Hutan Sekunder relatif utuh dan hanya sedikit terganggu. b. Flora dan Fauna Pada jalur non pendakian ini, jenis flora yang mendominasi adalah Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii). Hal ini dapat dimaklumi mengingat jenis-jenis tersebut merupakan flora yang ditanam oleh Perum Perhutani selaku pengelola TWA Tuk Songo sebelumnya. Jenis fauna yang dijumpai juga sangat sedikit, hanya 3 jenis yang kesemuanya termasuk aves, yaitu Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) dan Wiwik kelabu (Cuculus merulinus). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 17 dan Jalur Non Pendakian Tekelan - Krinjingan Jalur ini merupakan jalur dari Dusun Tekelan menuju air terjun lain di dalam kawasan TN Gunung Merbabu yang disebut oleh masyarakat setempat dengan nama air terjun Krinjingan. Untuk menuju batas kawasan yang menjadi awal jalur ini diperlukan waktu sekitar 5 menit berjalan kaki dari base start Tekelan. Jalur ini awalnya sama dengan jalur menuju Dufan, namun berpisah di sebuah pertigaan pada jarak 50 m. Jalur yang tidak memutar ini medannya cenderung datar dan agak menurun, panjangnya m, dapat ditempuh dengan waktu 15 menit saja dengan kondisi fisik jalur berupa jalan setapak. Tabel 17 Rute jalur Tekelan - Krinjingan No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start kawasan - Pertigaan ke Dufan 50 m 50 m Pertigaan ke Dufan - Air Terjun Krinjingan 400 m 450 m 1.620

14 57 Hanya terdapat 6 titik yang direkam pada jalur ini dengan menggunakan alat GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 5 titik HM dan 1 titik diluar HM. Penangkapan sinyal dari satelit oleh GPS Receiver di lokasi Air Terjun Krinjingan sulit karena posisinya yeng berada di bawah tebing sehingga keakuratannya sangat rendah (+ 20 m). Berikut hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur non pendakian Tekelan - Air Terjun Krinjingan. Tabel 18 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Krinjingan No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Base Start Tekelan (KOMPPAS) ' 41.4" 07 24' 55.4" Start kawasan ' 41.9" 07 24' 35.3" Pertigaan ke Dufan ' 43.0" 07 24' 36.9" Air Terjun Krinjingan ' 50.7" 07 24' 44.8" Gambar 11 menunjukkan profil jalur Tekelan - Krinjingan yang cenderung landai dan menurun, dengan satu variasi tanjakan yang tidak terlalu curam. Ketinggian (m) Jarak (m) 407 Gambar 11 Profil jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan (tanpa skala) Kondisi ekosistem serta jenis-jenis flora dan fauna pada jalur ini adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Tekelan - Krinjingan mempunyai 1 tipe ekosistem, yaitu ekosistem Hutan Sekunder pada ketinggian m dpl. Pada musim hujan diperkirakan terbentuk danau dan sungai kecil di sekitar air terjun Krinjingan. b. Flora dan Fauna Jenis flora baik berkayu maupun tidak berkayu yang tercatat di jalur ini hanya berjumlah 10 jenis. Diantara jenis-jenis tersebut adalah Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia

15 58 (Acacia decurrens), Kina (Chinchona sp.) dan rumput Alang-alang (Imperata cylindrica). Fauna yang dijumpai sebanyak 4 jenis yang semuanya termasuk jenis aves, yaitu Alap-alap (Falco sp.), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Bentet (Lanius schach), dan Trocokan atau Merbah crocok (Pycnonotus goiavier). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 18 dan Jalur Non Pendakian Tekelan - Dufan Dufan atau Dunia Fantasi adalah julukan yang diberikan KOMPPAS (KomunitasPeduli Puncak Syarif, yang merupakan kelompok pemuda Dusun Tekelan yang merawat jalur pendakian Tekelan - puncak) kepada suatu tempat yang nama sebenarnya adalah Wetan Pereng. Dufan berupa lembah yang ditubuhi hutan Pinus dengan sungai kecil (Kali Bacin) di dasarnya. Lokasi ini mempunyai pemandangan yang indah ke atas (arah puncak Gunung Merbabu) maupun ke bawah (arah Salatiga). Jalur Tekelan - Dufan yang berupa jalan setapak dari tanah, polanya memutar kembali ke posisi awal dimulainya jalur. Tabel 19 Rute jalur Tekelan - Dufan No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start kawasan - Pertigaan ke Krinjingan 50 m 50 m Pertigaan ke Krinjingan - Dufan 350 m 400 m Dufan - Batas Kawasan 325 m 725 m Terdapat 9 titik yang direkam di jalur ini dengan menggunakan alat GPS Receiver, meliputi 8 titik HM dan 1 titik puncak diluar HM (Tabel 20). Tabel 20 Data Rekaman GPS Receiver Jalur Tekelan - Dufan No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Base Start Tekelan (KOMPPAS) ' 41.4" 07 24' 55.4" Start kawasan ' 41.9" 07 24' 35.3" Pertigaan ke Krinjingan ' 43.0" 07 24' 36.9" Dufan ' 48.3" 07 24' 46.9" Batas Kawasan ' 41.5" 07 24' 39.7" Berbeda dengan jalur Tekelan - Krinjingan yang cenderung datar dan menurun, profil jalur Tekelan - Dufan agak menanjak dengan sedikit variasi turunan (Gambar 12).

16 Ketinggian (m) Jarak (m) Gambar 12 Profil jalur non pendakian Tekelan - Dufan (tanpa skala) Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna pada jalur non pendakian Tekelan - Dufan adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Kondisi ekosistem jalur Tekelan - Dufan yang berada pada ketinggian hingga m dpl dapat dikatakan utuh untuk Hutan Sekunder. b. Flora dan Fauna Jumlah flora yang tercatat di jalur ini sebanyak 15 jenis, baik flora berkayu maupun yang tidak berkayu. Jenis Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia (Acacia decurrens), Kina (Chinchona sp.), Waru (Hibiscus macrophyllus), serta rumput seperti Alang-alang (Imperata cylindrica) dan Blabakan merupakan contoh flora yang tercatat di jalur ini. Adapun fauna yang tercatat hanya 6 ekor, yang semuanya merupakan jenis aves, yaitu Alap-alap (Falco sp.), Bentet (Lanius schach), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Prenjak (Prinia familiaris), dan Trocokan atau Merbah crocok (Pycnonotus goiavier). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 19 dan Jalur Non Pendakian Selo - Jurang Warung Jalur ini berawal dari titik yang sama dengan jalur pendakian Selo - puncak, namun berpisah pada pertigaan Pitikan dan bertemu dengan jalur Selo - mata air di ujungnya. Kondisi fisik jalur seluruhnya berupa tanah. Dengan panjang +

17 m (belum termasuk jalur Selo - mata air) diperlukan waktu sekitar 3 jam untuk menempuhnya. Tabel 21 Rute jalur Selo - Jurang Warung No. Rute Jarak Jarak Ketinggian Akumulasi (m dpl) 1. Start kawasan - Pertigaan Pitikan 600 m 600 m Pertigaan Pitikan - Surga Burung 100 m 700 m Surga Burung - Pertigaan (Pinus - Surodadi) 200 m 900 m Pertigaan - Hutan Pinus 200 m m Hutan Pinus - Akasia 700 m m Akasia - Pal Batas TN 425 m m Pal Batas TN - Lembah 575 m m Lembah - Jalur Selo - Mata Air 100 m m Sedikitnya pada jalur ini terdapat 26 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang semua merupakan titik HM (Tabel 22). Tabel 22 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Jurang Warung No. Rute Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) 1. Start kawasan ' 04.5" 07 29' 02.3" Pertigaan Pitikan ' 35.7" 07 28' 43.7" Surga Burung ' 38.5" 07 28' 39.2" Pertigaan (Pinus - Surodadi) ' 42.9" 07 28' 39.0" Hutan Pinus ' 48.5" 07 28' 36.0" Akasia ' 49.5" 07 28' 41.6" Pal Batas TN ' 57.1" 07 28' 52.1" Lembah ' 53.8" 07 29' 01.6" Pertemuan Jalur Selo - Mata Air ' 51.9" 07 29' 02.4" Jalur Selo - Jurang Warung mempunyai profil medan yang bervariasi dengan perbandingan yang relatif sama antara segmen jalur yang menanjak dan segmen jalur yang menurun, namun secara umum medan ini tidak terlalu berat. Ketinggian (m) Jarak (m) 2873 Gambar 13 Profil jalur non pendakian Selo - Jurang Warung (tanpa skala)

18 61 Berikut hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur non pendakian Selo - Jurang Warung. a. Ekosistem Jalur Selo - Jurang Warung yang berada pada ketinggian m dpl melewati tipe Hutan Hujan Pegunungan yang didalamnya terdapat Hutan Sekunder. Kondisi ekosistem pada jalur ini bervariasi antara ekosistem yang masih utuh serta lembab dengan pohon-pohon yang rapat dan ekosistem yang cenderung homogen dan terbuka. b. Flora dan Fauna Jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Kina (Chinchona sp.), Rustania, Bintami (Podocarpus imbricata), Cemara gunung (Casuarina junghuhniana), Kaliandra (Calliandra sp.), Sowo (Engelhardia serrata), Pasang (Quercus spicata), Wuru (Litsea sp.), Dempul (Glochidion sp.), Picis (Nauclea lanceolata), Dadap (Erythrina sp.), Wilodo (Ficus fistulosa), dan Bambu Cendani (Bambusa multiplex) merupakan beberapa contoh dari 32 jenis flora yang ditemui di jalur ini. Sedangkan fauna yang tercatat sebanyak 48 jenis, semuanya jenis aves. Pada jarak m dari pertigaan Pitikan dijumpai beragam jenis burung (setidaknya 33 jenis) sehingga tempat ini dapat disebut sebagai Surga Burung. Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 20 dan Data Spasial Obyek Lainnya Beberapa obyek atau lokasi khusus yang tidak tepat berada di jalur verifikasi juga direkam posisi spasialnya dengan GPS Receiver yang digunakan. Tabel 23 menampilkan data spasial obyek atau lokasi khusus lainnya. Tabel 23 Data spasial obyek Lainnya No. Obyek Koordinat Ketinggian BT LS (m dpl) Jalur 1. Mata Air ' 34.4" 07 28' 51.6" Selo 2. Alur Longsor ' 13.2" 07 28' 20.0" Selo 3. Lokasi Kantung Semar ' 14.1" 07 28' 16.1" Selo 4. Memori Heri Susanto ' 42.1" 07 28' 01.4" Selo 5. Lokasi Kemah (Sabana II) ' 33.8" 07 27' 36.4" Selo 6. Watu Lumpang ' 30.8" 07 27' 28.5" Selo 7. Base Start Tekelan ' 34.3" 07 24' 43.1" Tekelan 8. Watu Gubug ' 18.1" 07 26' 19.6" Tekelan 9. Kawah Candradimuka ' 20.6" 07 26' 51.3" tdk tercatat Tekelan 10. Mata Air tersembunyi ' 22.6" 07 26' 53.0" Tekelan 11. Memori Sugiyanto ' 26.6" 07 27' 11.7" Tekelan

19 62 Seluruh data spasial jalur yang diperoleh dalam verifikasi ditampalkan (overlay) dalam program ArcView GIS 3.3. Gambar 14 menunjukkan overlay jalur pada kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sedangkan Gambar 15 menunjukkan overlay jalur terhadap ketinggian kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu Sarana dan Prasarana Interpretasi Alam Mengingat Balai TN Gunung Merbabu merupakan UPT yang masih baru, maka sarana dan prasarana wisata di kawasan TN Gunung Merbabu merupakan sarana dan prasarana yang dibangun oleh pengelola sebelumnya (Perum Perhutani) dan umumnya bukan sarana dan prasarana interpretasi alam. Sarana dan prasarana interpretasi alam yang telah tersedia antara lain Wisma Bina Cinta Alam yang berada di kantor Balai TN Gunung Merbabu di Boyolali, dan shelter atau pos pendakian (hanya terdapat di jalur Tekelan - puncak). Papan petunjuk yang ada merupakan papan petunjuk arah, bukan papan interpretasi alam dan hanya terbuat dari lembaran seng yang dipaku ke batang pohon di kanan - kiri jalur pendakian, bertuliskan nama kelompok pecinta alam pembuat papan petunjuk arah tersebut serta arah menuju puncak Jalur Pendakian Selo - Puncak Sarana dan prasarana wisata yang ada di jalur pendakian Selo - puncak masih sangat minim. Di sepanjang jalur pendakian ini pos pendakian yang biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat masih berupa tanah datar yang kosong, belum ada bangunan permanen ataupun semi permanen. Jalur Selo kondisi fisiknya berupa jalan setapak dari tanah, belum ada pengerasan dengan batu yang ditata. Ketika hujan turun jalur tersebut menjadi jalan aliran air sehingga rawan terjadi erosi Jalur Pendakian Tekelan - Puncak Sedangkan sarana dan prasarana wisata pada jalur Tekelan - puncak adalah pos-pos pendakian yang dibangun oleh kelompok pemuda pecinta alam Dusun Tekelan yang bernama KOMPPAS (Komunitas Peduli Puncak Syarif). Pos-pos pendakian tersebut berupa bangunan permanen (Pos I Pending yang berada di atas tanah milik), bangunan semi permanen berdinding dan beratap dari seng (Pos II Ijo/Pereng Putih) dan bangunan semi permanen yang terbuat dari batang kayu dan beratap seng (Pos III Gumuk Mentul).

20 63 Gambar 14 Overlay jalur verifikasi pada kelas lereng TNGMB

21 64 Gambar 15 Overlay jalur verifikasi terhadap ketinggian kawasan TNGMB

22 65 Kondisi fisik jalur Tekelan menuju puncak berupa jalan setapak dari tanah atau batuan lepas yang secara alami terdapat pada jalur tersebut. Sebagian jalur ini (khususnya yang kondisi alamnya terbuka) mengalami erosi cukup berat akibat aliran air dan membentuk parit hingga kedalaman parit mencapai 1 meter Jalur Non Pendakian Seluruh jalur non pendakian (Selo - Mata Air, Tekelan - Watu Tadah, TWA Tuk Songo - Tekelan, Tekelan - Dufan, Tekelan - Watu Tadah, Selo - Jurang Warung) sama sekali tidak mempunyai sarana dan prasarana interpretasi alam. Jalur-jalur tersebut juga belum mengalami perbaikan kualitas dan masih berupa jalan setapak dari tanah. Secara umum sarana dan prasarana interpretasi alam di TN Gunung Merbabu masih minim, dan bahkan dapat dikatakan belum ada, sehingga apabila dikembangkan jalur interpretasi alam di taman nasional ini perlu dilakukan beberapa kegiatan seperti pengerasan jalur, pembuatan papan interpretasi alam, pembangunan shelter, petunjuk arah, pemberian tali pengaman pada bagian jalur yang rawan/terjal Aksesibilitas Jalur Rute perjalanan dari kota Semarang yang merupakan ibukota Propinsi Jawa Tengah menuju base start jalur pendakian maupun non pendakian yang diverifikasi (dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan pribadi roda 2 atau 4) adalah sebagai berikut : Jalur Pendakian Selo - Semarang - Boyolali - Selo - Desa Tarubatang dengan jarak ± 95 km dengan waktu tempuh ± 2 jam 30 menit. Kondisi jalan sampai dengan Kota Kecamatan Selo beraspal halus, namun dari Kota Kecamatan Selo ke Desa Tarubatang sebagian aspal jalan rusak hingga menyerupai jalan makadam. Selain itu jalan Kota Kecamatan Selo - Desa Tarubatang sempit sehingga hanya dapat dilalui 1 kendaraan roda TWA Tuk Songo Kopeng - Semarang - Salatiga - Kopeng dengan jarak ± 55 km dengan waktu tempuh + 1 jam 30 menit Sejak dari kota Semarang hingga Kopeng kondisi jalan seluruhnya beraspal halus. Dari TWA Tuk Songo ke Dusun Tekelan ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak dan kebun masyarakat selama + 30 menit.

23 Jalur Pendakian Tekelan - Semarang - Salatiga - Kopeng - Dusun Tekelan, dengan jarak ± 60 km dengan waktu tempuh + 1 jam 30 menit Kondisi jalan mulai dari kota Semarang hingga Kopeng beraspal halus, sedangkan dari Kopeng ke Dusun Tekelan separuh bagian akhir jalan berupa jalan makadam Karakteristik dan Demand Pengguna (Pendaki) TN Gunung Merbabu Sebanyak 33 responden pendaki gunung ditemui di lokasi (base start) pendakian maupun di masing-masing sekretariat (basecamp) kelompok mereka di kota Solo, Magelang, Salatiga dan Semarang Karakteristik Responden Pendaki Responden pendaki gunung didominasi oleh responden laki-laki sebanyak 29 orang atau sekitar 87,9%. Hal ini mungkin berkaitan dengan anggapan masyarakat mengenai kegiatan pendakian yang merupakan kegiatan alam bebas yang berbahaya dan hanya pantas dilakukan oleh para lelaki. Rata-rata usia responden tahun, dengan kisaran umur tahun. Tingkat pendidikan responden umumnya adalah lulus SMA (84,8%) disusul lulus SMP dan Perguruan Tinggi (S1) yang masing-masing mempunyai persentase yang sama, yaitu sebesar 6,1%. Sedangkan untuk pekerjaan, didominasi responden yang masih berstatus mahasiswa yaitu sekitar 78,8%. Hal ini sesuai kenyataan di masyarakat bahwa kegiatan mendaki gunung umumnya dilakukan oleh mahasiswa. Berdasarkan sebaran asal komunitas pendaki, hasil kuesioner menunjukkan asal responden terbanyak dari kota Solo (15 orang atau 45,5%), disusul oleh asal komunitas kota Semarang sebanyak 8 orang (24,2%). Tabel 24 menunjukkan rekapitulasi karakteristik responden pendaki. Tabel 24 Karakteristik responden pendaki Persentase No. Karakteristik (%) Keterangan Jenis Kelamin - Laki - laki 87,9 - Perempuan 12,1 2. Kelompok Umur a. KU 1 ( < 15 tahun ) 0 b. KU 2 ( tahun ) 75,8 c. KU 3 ( tahun ) 24,2 d. KU 4 ( > 35 tahun ) 0

24 Tingkat Pendidikan SD 0 SMP 6,1 SMA 84,8 Diploma 3,0 Sarjana (S1) 6,1 4. Pekerjaan Pelajar 6,1 Mahasiswa 78,8 Wirausaha 3,0 Karyawan Swasta 6,1 Freelance 3,0 Belum Bekerja 3,0 5. Asal Semarang 24,2 Salatiga 12,1 Solo 45,5 Magelang 18, Pengetahuan Jalur Pendakian Rata-rata responden mengetahui 4 jalur pendakian. Dari jalur yang mereka ketahui tersebut, 36,4% responden atau 12 orang pernah melalui jalur pendakian Tekelan dengan waktu tempuh sekitar 7-8 jam, dan 27,3% atau 9 orang pernah mendaki melalui jalur pendakian Selo dengan waktu tempuh sekitar 6-7 jam. 9% 6% 21% 37% Tekelan Selo Wekas Guolelo Ngagrong 27% Gambar 16 Jalur yang pernah dilewati Sumber Informasi Jalur Pendakian Untuk sumber informasi mengenai jalur-jalur pendakian, hampir semua responden pendaki atau sekitar 93,9% menyatakan bahwa mereka mengetahui informasi suatu jalur pendakian dari teman, hanya 6,1% yang mencari informasi mengenai jalur pendakian dengan cara melihat peta. Tidak ada responden yang mengaku mendapatkan informasi dari koran/majalah serta dari promosi pengelola (dalam hal ini Balai Taman Nasional Gunung Merbabu). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh masih kurangnya koran/majalah yang mengulas tentang pendakian khususnya di Gunung Merbabu serta kurangnya promosi

25 68 yang dilakukan oleh pihak pengelola yang pada saat penelitian dilakukan merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang masih baru. 6% Teman Peta 94% Gambar 17 Sumber informasi jalur pendakian Modus dan Tujuan Pendakian Hampir semua (96,7%) responden melakukan perjalanan pendakian secara berombongan, hanya satu orang atau sekitar 3% yang melakukan pendakian sendirian. Hal ini masih mungkin terjadi karena belum adanya larangan atau aturan mengenai perjalanan yang mengharuskan lebih dari 1 orang (minimal 2 orang). Dari perjalanan pendakian secara berombongan, ternyata paling banyak pendaki melakukannya dalam rombongan besar (diatas 10 orang) yaitu sebanyak 54,5% sedangkan pendaki yang melakukan dalam rombongan kecil ada sebanyak 42,4%. Untuk pendaki yang mengadakan pendakian dalam rombongan kecil paling banyak mengadakan perjalanan pendakian dengan 0-4 orang yaitu sebanyak 8 responden (57,1%), sedangkan sisanya sekitar 42,9% berrombongan 5 hingga 9 orang. 3% 55% 42% Sendiri Kelompok Kecil Kelompok Besar Gambar 18 Modus pendakian Tujuan responden melakukan pendakian yang utama adalah untuk rekreasi (54,5% atau 18 orang) dan melakukan pendakian massal (24,2% atau 8 orang).

26 69 24% 3% 55% Rekreasi Pendidikan Penelitian Lain-lain 18% Gambar 19 Tujuan pendakian Faktor yang Paling Mempengaruhi Responden dalam Memilih Suatu Jalur Pendakian Untuk mengetahui faktor apa yang paling mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian, dilakukan skoring terhadap nilai-nilai yang diberikan. Tabel 25 Skoring terhadap nilai-nilai faktor yang paling mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian Nilai Sangat Baik Baik Biasa Tidak Baik Sangat tidak baik Skoring Dengan pilihan faktor berjumlah 17 macam, maka kemungkinan jumlah skor tertinggi adalah 165 (atau 17 x 5), dan kemungkinan jumlah skor terendah adalah 17 (atau 17 x 1). Dari hasil penjumlahan terhadap jawaban yang diberikan responden, ternyata faktor yang mempunyai nilai skor paling besar adalah faktor pemandangan alam dengan jumlah skor 137, diikuti oleh faktor kesejukan udara dan faktor pengalaman sebelumnya (early experience) yang masing-masing mempunyai jumlah skor 131 dan Kondisi hutan Pemandangan Alam Kesejukan udara Aksesibilitas Pengalaman sebelumnya Informasi dari teman Jarak Tempuh Waktu Tempuh Topografi Jalur Kondisi fisik jalur Kondisi Ekosistem jalur Keamanan Jalur Sarpras pada jalur Jarak Base Start dari kota asal Kondisi Base Start Biaya total yang diperlukan Jenis Satwa yang dijumpai Gambar 20 Faktor yang paling mempengaruhi dalam memilih jalur pendakian

27 Alasan Utama Memilih Jalur yang Paling Sering Dilalui Untuk pertanyaan alasan apa yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui ternyata alasan pemandangan alam merupakan alasan tertinggi bagi 39,4% atau 13 orang responden. Alasan tertinggi kedua yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui adalah waktu tempuh (33,3% atau 11 responden), sedangkan alasan tertinggi ketiga adalah jarak tempuh yang disebutkan oleh 27,3% atau 9 orang responden. 27% 39% Pemandangan Waktu Tempuh Jarak Tempuh 33% Gambar 21 Alasan utama memilih jalur yang paling sering dilalui Preferensi Jalur Pendakian Sedangkan untuk jalur yang paling disukai, sebanyak 33,3% responden atau 11 orang yang menyatakan menyukai jalur pendakian lewat Selo. Hal ini mungkin disebabkan akses ke lokasi yang mudah dicapai, tersedianya angkutan umum untuk menuju lokasi dan kondisi jalur pendakian yang nyaman dan mudah ditempuh. Urutan kedua ditempati oleh jalur Wekas dan jalur Tekelan, yang sama-sama disukai oleh 7 orang responden atau sekitar 21,2%. 3% 3% 15% 3% 34% Selo Wekas Tekelan Guolelo Ngablak 21% Ngagrong 21% Tidak Ada Gambar 22 Jalur yang paling disukai Preferensi Tingkat Kemiringan Jalur Pendakian Untuk tingkat kemiringan jalur pendakian, sebanyak 23 orang atau sekitar 69,7% responden yang menyukai jalur yang mempunyai kombinasi kemiringan antara terjal dan landai. Mungkin menurut mereka jalur yang demikian tidak

28 71 membuat mereka bosan dan tidak terlalu menguras tenaga mereka. Sedangkan responden yang menyukai jalur pendakian yang landai hanya sebesar 27,3% (9 orang) dan hanya 3,0% (1 orang) menyukai jalur pendakian yang terjal. 27% 3% Landai Terjal Kombinasi 70% Gambar 23 Tingkat kemiringan jalur pendakian yang disukai Pola Beristirahat dalam Pendakian Dalam melakukan pendakian, 60,6% atau 23 orang responden pendaki menyatakan paling sering beristirahat pada tempat-tempat tertentu (seperti pos pendakian, shelter, padang rumput dan lain-lain). Pada urutan kedua 27,3% atau 9 responden menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan waktu, dan pada urutan terakhir hanya 12,1% atau 4 responden yang menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan jarak tempuh tertentu. Untuk responden pendaki yang menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan jarak, menyebutkan kisaran jarak tempuh 1 hingga 2 km untuk beristirahat atau rata-rata 1,8 km. Sedangkan responden pendaki yang menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan waktu, melakukan pendakian selama 15 menit hingga 1 jam terlebih dahulu baru kemudian beristirahat. 12% 61% 27% Jarak Waktu Tempuh Tempat Tertentu Gambar 24 Pola beristirahat dalam pendakian Preferensi Tempat Beristirahat dalam Pendakian Ketika melakukan pendakian di Gunung Merbabu, mayoritas pendaki memilih pos pendakian sebagai urutan pertama tempat untuk beristirahat (20 orang atau sekitar 66,6% responden), disusul tempat di bawah puncak dan di shelter yang dipilih 5 orang atau sekitar 17,2% responden sebagai tempat pilihan pertamanya untuk beristirahat. Ini mungkin karena di pos pendakian biasanya

29 72 sudah tersedia banyak fasilitas, misalnya di sekitar pos terdapat mata air dan biasanya letak pos pendakian yang strategis, seperti tempatnya luas, datar dan terlindung dari angin serta biasanya pos pendakian dibangun di tempat yang sudah diperhitungkan dimana kondisi pendaki diperkirakan mengalami penurunan sehingga memerlukan tempat beristirahat. 17% 17% Pos Pendakian Di Bawah Puncak Shelter 66% Gambar 25 Preferensi tempat beristirahat dalam pendakian Kondisi Responden Ketika Melakukan Pendakian Kondisi responden ketika mulai melakukan pendakian 33,3% berada dalam kondisi yang baik, sedangkan sisanya (66,7%) dalam kondisi yang sangat baik. 33% Baik Sangat Baik 67% Gambar 26 Kondisi responden ketika melakukan pendakian Obyek Daya Tarik Jalur Pendakian Obyek yang membuat pendaki senang dalam melakukan pendakian di Gunung Merbabu ternyata didominasi oleh obyek pemandangan. Sebanyak 17 orang (51,5%) responden menempatkan obyek pemandangan sebagai pilihan pertama mereka mengenai obyek yang disenangi dalam perjalanan pendakian, disusul kondisi medan sebanyak 8 orang (24,2%). Hal ini sesuai dengan tujuan mereka yang banyak melakukan pendakian untuk tujuan rekreasi. 18% 3% 3% 24% Tumbuhan Hewan Medan Pemandangan Jarak Tempuh 52% Gambar 27 Obyek daya tarik jalur pendakian

30 Pengetahuan Responden Pendaki Mengenai Interpretasi Alam Dari 33 orang responden yang diwawancarai ternyata mayoritas responden menyatakan tidak tahu tentang interpretasi alam, ada sekitar responden, dan sisanya sekitar 21,2% menyatakan tahu, walaupun menurut peneliti jawaban mereka tentang interpretasi alam tidak ada satupun yang tepat. Hal ini memberikan gambaran pada kita bahwa sangat rendah sekali pengetahuan masyararakat tentang interpretasi alam, karena responden yang notabene adalah pendaki atau pencinta alam yaitu orang yang sebagian besar waktunya mereka luangkan untuk kegiatan alam bebas ternyata hampir semuanya tidak memahami mengenai interpretasi alam, apalagi masyarakat umum. 21% Tahu dan benar Tahu tapi salah Tidak Tahu 79% Gambar 28 Pengetahuan responden pendaki mengenai Interpretasi Alam Namun setelah responden diberi penjelasan oleh peneliti mengenai interpretasi alam, ternyata hampir semua responden (97%) menyatakan bahwa interpretasi alam adalah suatu hal yang penting untuk diselenggarakan. Bahkan sekitar 97% responden langsung menyatakan minatnya jika kegiatan interpretasi alam ini diselenggarakan di lokasi pendakian ini Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Ketika ditanya mengenai dasar pembentukan kegiatan interpretasi alam, ternyata jalur interpretasi alam yang dibuat berdasarkan kelengkapan (melewati berbagai obyek interpretasi alam seperti flora fauna, sungai, air terjun dll) menempati urutan pertama, dimana 23 responden atau 69,7% memilih indikator ini. Menurut para responden dengan jalur interpretasi alam yang lengkap maka akan lebih lengkap pula pengetahuan mereka tentang alam. Sedangkan urutan kedua (6 orang atau 18,2%) untuk kegiatan interpretasi alam ini didasarkan pada kemiringan jalur dan urutan terakhir adalah kegiatan interpretasi alam dirancang berdasarkan durasi dengan responden 4 orang atau 12,1%.

31 74 12% 18% Durasi Slope Kelengkapan 70% Gambar 29 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam Untuk durasi suatu jalur interpretasi alam, ternyata mayoritas responden menginginkan interpretasi alam yang durasinya lebih dari 3 jam (42,4%) Hal ini mungkin karena menurut mereka durasi yang lainnya terlalu pendek. Pada urutan kedua, responden memilih interpretasi alam dengan durasi 1,5 jam (24,2%). 3 jam (18,2%). 6% 43% 9% 24% 1 jam 1 jam 30 mnt 2 jam 3 jam > 3 jam 18% Gambar 30 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam Preferensi Kemiringan / Slope Jalur Interpretasi Alam Mayoritas responden (75,8% atau 25 orang) lebih menyukai kemiringan jalur interpretasi alam yang merupakan kombinasi dari kemiringan yang landai dan terjal, yang mungkin disebabkan jika jalur interpretasi alam terjal akan menguras tenaga mereka dan tidak akan sempat menikmati keindahan alam, dan jika jalur terlalu landai mungkin kurang menantang serta cepat membuat mereka bosan. 21% 3% Landai Terjal Kombinasi 76% Gambar 31 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam

32 Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Dari segi jalur interpretasi alam, ternyata kebanyakan (69,7%) responden pendaki menyukai jalur yang sampai ke puncak, seperti tujuan utama mereka dalam melakukan pendakian. Adapun responden yang menginginkan jalur pendek (dekat batas kawasan) 21.2% atau 7 orang, sedangkan yang mengusulkan hingga ketinggian menengah hanya 9,1% atau hanya 3 orang saja. 9% 21% Hingga Puncak Pendek Ketinggian Menengah 70% Gambar 32 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam Tabel 26 menunjukkan hasil kuesioner terhadap responden pendaki. Tabel 26 Matriks hasil kuesioner pendaki No. Karakteristik Persentase (%) Keterangan Pengetahuan Jalur Pendakian - Rata-rata 4 jalur 2. Jalur Yang Pernah dilalui Tekelan 36,4 Selo 27,3 Wekas 21,2 Guolelo 9,1 Ngagrong 6,1 3. Sumber Informasi Jalur Pendakian Teman 93,9 Koran/Majalah 0 Promosi dari Pengelola Kawasan 0 Melihat Peta 6,1 4. Modus Pendakian Sendiri 3,1 Kelompok Kecil ( - orang) 42,4 Kelompok Besar ( - orang) 54,5 5. Tujuan Pendakian Rekreasi 54,5 Pendidikan 18,2 Penelitian 3,1 1 Lain-lain 24,2 Pendakian Massal 6. Faktor yang paling berpengaruh dalam memilih jalur pendakian Pemandangan alam 137 Skoring Kesejukan udara 131 Skoring Pengalaman sebelumnya 125 Skoring 7. Alasan yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui Pemandangan alam 39,4 Waktu tempuh 33,3 Jarak tempuh 27,3

33 Preferensi Jalur Pendakian Jalur Selo 33,3 Jalur Wekas 21,2 Jalur Tekelan 21,2 Jalur Ngagrong 3,0 Jalur Ngablak 3,0 Jalur Guolelo 15,2 Tidak Ada Jalur Favorit 3,0 9. Preferensi Slope Jalur Pendakian Landai 27,3 Terjal 3 Kombinasi 69,7 10. Pola Beristirahat dalam Pendakian Tempat tertentu 60,6 Berdasar waktu tertentu 27,3 Jarak tempuh tertentu 12,1 11. Preferensi Tempat Beristirahat Pos Pendakian 66,6 Tempat di bawah puncak 17,2 Shelter 17,2 Tempat Lainnya 14,0 12. Kondisi responden melakukan pendakian Sangat baik 33,3 Baik 66,7 13. Obyek Daya Tarik Jalur Pendakian Tumbuhan 3,0 Hewan 3,0 Kondisi Medan 24,2 Pemandangan 51,5 Jarak Tempuh 18,2 14. Pengetahuan Interpretasi Alam Tahu dan jawaban tepat 0 Tahu tapi jawaban tidak tepat 21,2 Tidak tahu 78,8 15. Minat Terhadap Kegiatan Interpretasi Alam Ya 97,0 Tidak 3,0 16. Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Durasi 12,1 Kemiringan Jalur 18,2 Kelengkapan Interpretasi 69,7 17. Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 6,1 1 Jam 30 Menit 24,2 2 Jam 9,1 3 Jam 18,2 > 3 Jam 42,4 18. Preferensi Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai 21,2 Terjal 3,0 Kombinasi 75,8 19. Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak 69,7 Pendek (Dekat Batas Kawasan) 21,2 Hingga ketinggian menengah 9,1 76

34 Karakteristik dan Demand Pengguna (Pengunjung) TN Gunung Merbabu Sebanyak 30 orang berhasil didapatkan sebagai responden di lokasi TWA Tuk Songo Kopeng Kabupaten Salatiga dan di areal wisata yang sekaligus merupakan pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Tarubatang di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali Karakteristik Responden Pengunjung Dari hasil wawancara didapatkan gambaran karakteristik responden pengunjung didominasi oleh responden yang berjenis kelamin laki-laki, ada sekitar 28 orang responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan di masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, termasuk pemimpin ketika melakukan perjalanan atau kunjungan. Sedangkan usia responden rata-rata 26 tahun dengan kisaran responden termuda berusia 15 tahun dan yang tertua 47 tahun. Menurut asal responden ternyata pengunjung berasal dari kota-kota di sekitar lokasi penelitian dengan jumlah terbanyak berasal dari kota Salatiga yaitu 9 orang atau sekitar 30,0%, sedangkan yang berasal dari Magelang dan Boyolali masing-masing ada 4 orang dan yang berasal dari Solo dan Yogyakarta masingmasing berjumlah 3 orang serta sisanya berasal dari Klaten, Semarang, Jepara dan Sukoharjo. Responden mayoritas mempunyai tingkat pendidikan terakhir SMA, yaitu 21 orang atau sekitar 70,0%, sedangkan yang berpendidikan SMP hanya 5 orang serta yang berpendidikan tinggi yaitu jenjang diploma dan sarjana masingmasing 1 dan 3 orang. Dari jenis pekerjaan, mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta dan mahasiswa, masing-masing sebanyak 13 orang (43,3%) dan 8 orang (26,70%) sedang sisanya responden bekerja sebagai wiraswasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pelajar serta 2 orang responden yang menyatakan bahwa pada saat ini belum bekerja. Sekitar 73,30% responden ternyata belum menikah, hal ini mungkin karena jumlah responden yang didapat dalam penelitian ini banyak yang masih berstatus mahasiswa maupun pelajar. Tabel 27 menunjukkan karakteristik responden pengunjung.

35 78 Tabel 27 Karakteristik responden pengunjung No. Karakteristik Jumlah Keterangan 1. Jenis Kelamin - Laki - laki 93,3 - Perempuan 6,7 2. Kelompok Umur a. KU 1 ( < 15 tahun ) 0 b. KU 2 ( tahun ) 53,3 c. KU 3 ( tahun ) 33,3 d. KU 4 ( > 35 Tahun ) 13,3 3. Tingkat Pendidikan SD 0 SMP 16,7 SMA 70,0 Diploma 3,3 Sarjana (S1) 10,0 4. Pekerjaan Pelajar 6,7 Mahasiswa 26,70 Wirausaha 10,0 PNS 6,7 Karyawan Swasta 43,3 Tidak Bekerja 6,7 5. Asal Semarang 3,3 Salatiga 33,3 Boyolali 13,3 Solo 10,0 Yogya 10,0 Magelang 13,3 Klaten 3,3 Sukoharjo 3,3 Jepara 3,3 6. Status Pernikahan Menikah 26,7 Belum Menikah 73, Modus dan Tujuan Kunjungan Mayoritas pengunjung datang bersama teman (83,33%), 4 orang responden datang bersama rombongan keluarga dan ada 1 responden yang datang bersama kelompok organisasi. Rata-rata responden datang bersama 6 hingga 7 orang teman. Tujuan kunjungan adalah berpiknik (60,00%) dan berkemah (40,00%). Tampaknya responden melakukan kunjungan untuk sekedar berpiknik dengan teman dan keluarga untuk melepaskan kepenatan akibat rutinitas sehari-hari.

36 79 13% 3% 0% Sendiri Bersama Teman Rombongan Kelompok Organisasi 84% Gambar 33 Modus kunjungan 40% 60% Rekreasi Berkemah Gambar 34 Tujuan kunjungan Obyek Daya Tarik Tempat Berwisata Ketika ditanya tentang apa yang disukai dari lokasi tempat mereka melakukan kegiatan wisata, responden paling banyak menyatakan menyukai kesejukan udara di sekitar lokasi (16 orang atau 53,3%). Kemudian disusul oleh faktor pemandangan alam yang disukai oleh 9 orang (30,0%) responden. 17% 53% 30% Kondisi Hutan Pemandangan alam Kesejukan udara Gambar 35 Obyek daya tarik tempat wisata Lama Waktu Kunjungan Responden Kisaran lama responden dalam berkunjung ke lokasi berkisar antara 2 hingga 24 jam dengan rata-rata lama kunjungan responden sekitar jam Kegiatan yang Dilakukan di Tempat Wisata Sebanyak 11 responden atau sekitar 36,7% melakukan kegiatan menikmati kesejukan udara di lokasi tempat mereka melakukan wisata, disusul oleh mereka yang melakukan kegiatan camping atau menikmati pemandangan alam yang sama-sama dilakukan oleh 9 orang atau 30,0%.

37 80 3% 30% 37% Berkemah Menikmati keindahan alam Menikmati kesejukan udara Lain-lain 30% Gambar 36 Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata Bagian yang Disukai dari Tempat Wisata Mayoritas responden (43,3% atau 13 orang) menyatakan bahwa bagian yang disukai dari tempat mereka melakukan wisata adalah bagian hutan alam, disusul bagian hutan pinus (30,0% atau 9 orang), kemudian diikuti oleh bagian camping ground dan air terjun yang dipilih oleh 5 orang (16,7%) dan 3 orang (10,0%). 10% 30% 43% Hutan Pinus Camping Ground Hutan alam Air Terjun 17% Gambar 37 Bagian yang disukai dari tempat wisata Tingkat Penghasilan Responden Pengunjung Menurut tingkat penghasilan, pengunjung kebanyakan berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Sekitar 90% responden mempunyai penghasilan dibawah 1 juta rupiah per bulan, yaitu 40% responden berpenghasilan di bawah 500 ribu rupiah per bulan dan 50% berpenghasilan antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah, serta hanya sekitar 10% responden yang mempunyai penghasilan antara 1 juta hingga 2 juta rupiah. Hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan responden terdiri dari mahasiswa dan pelajar, bahkan ada responden yang belum bekerja. 10% 50% 40% < Rp. 500 Ribu Rp. 500 Ribu, - < Rp. 1 Juta Rp. 1Juta - < Rp. 2 Juta Gambar 38 Tingkat penghasilan responden pengunjung

38 Pengetahuan Responden Pengunjung Mengenai Interpretasi Alam Ketika ditanya mengenai istilah interpretasi alam, hanya 3 orang atau 10% responden yang menyatakan tahu tentang interpretasi alam, meskipun jawaban mereka tentang interpretasi alam tidak sepenuhnya benar. Setelah responden diberi penjelasan oleh peneliti tentang interpretasi alam, semua responden (100%) menyatakan atau menganggap pentingnya interpretasi alam, dan sekitar 25 orang (83,33%) langsung menyatakan minatnya untuk mengikuti apabila di lokasi penelitian ada kegiatan interpretasi alam. 10% Tahu dan Benar Tahu tapi salah Tidak Tahu 90% Gambar 39 Pengetahuan responden pengunjung mengenai Interpretasi Alam Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Ketika responden dimintai pendapatnya mengenai 3 hal dasar pembuatan jalur kegiatan interpretasi alam, yaitu durasi, kemiringan/slope jalur dan kelengkapan ternyata kebanyakan menempatkan kelengkapan interpretasi alam diurutan pertama, yaitu sebanyak 17 orang (56,70%), karena mereka berpendapat semakin lengkap interpretasi alam, maka akan menambah pengetahuan mereka. Sedangkan sisanya menganggap durasi 23,3% (7 orang) dan kemiringan jalur 20,0% (6 orang) lebih dikarenakan keterbatasan waktu yang dipunyai responden, serta kondisi fisik mereka yang juga terbatas. 23% 57% 20% Durasi Kemiringan Jalur Kelengkapan Interpretasi Gambar 40 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam Mengenai durasi jalur interpretasi alam ini, secara kumulatif sebanyak 21 orang (70%) responden menyatakan keinginannya mengikuti kegiatan interpretasi alam mempunyai durasi lebih dari 2 jam, dengan perincian ada 7

39 82 orang ingin berdurasi 2 jam, 7 orang ingin berdurasi 3 jam dan sisanya 7 orang ingin mempunyai durasi lebih dari 3 jam. 23% 23% 13% 24% 17% 1 Jam 1 Jam 30 Menit 2 Jam 3 Jam > 3 Jam Gambar 41 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam Preferensi Kemiringan / Slope Jalur Interpretasi Alam Jenis kemiringan yang paling disukai dalam interpretasi alam adalah kombinasi antara keduanya, antara terjal dan landai, pendapat ini didukung oleh 25 responden (83,30%). Hal ini mungkin dikarenakan jika jalur interpretasi alam terlalu landai akan membuat mereka cepat bosan, tetapi jika jalurnya terlalu terjal akan membuat responden cepat merasa lelah. Pendapat ini dinyatakan oleh 4 orang responden yang memilih jalur landai dan hanya 1 orang menginginkan kemiringan yang terjal. 13% 3% Landai Terjal Kombinasi 84% Gambar 42 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Untuk posisi jalur interpretasi ternyata peminatnya sama antara jalur interpretasi alam hingga puncak dan jalur interpretasi alam yang pendek (dekat batas kawasan), masing-masing diminati oleh 13 orang responden (43,30%), sedangkan sisanya 4 orang lebih suka jika jalur interpretasi alam hanya sampai ketinggian menengah. Ini mungkin disebabkan jika jalur hanya sampai ketinggian menengah responden merasa belum menemukan kepuasan batin jika dibandingkan dengan jika jalur interpretasi alam hingga menuju puncak.

40 83 13% 44% Hingga puncak Pendek (Dekat Batas Kwsn) 43% Hingga ketinggian menengah Gambar 43 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam Tabel 28 menunjukkan hasil kuesioner terhadap responden pengunjung. Tabel 28 Matriks hasil kuesioner pengunjung No. Karakteristik Persentase (%) Keterangan Modus Kunjungan Sendiri 0 Bersama Teman 83,33 Rombongan 13,3 Kelompok Organisasi 3,3 2. Tujuan Kunjungan Rekreasi 60,0 Berkemah 40,0 Pendidikan 0 Penelitian 0 3. Hal yang paling disukai dari tempat wisata Kondisi Hutan 13,3 Pemandangan alam 30,0 Kesejukan udara 53,3 Lain-lain 3,3 4. Lama Kunjungan 2 hingga 24 jam rata-rata jam 5. Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata Berkemah 30,0 Menikmati keindahan alam 30,0 Menikmati kesejukan udara 36.7 Lain-lain 3,3 6. Bagian yang paling disukai dari tempat wisata Hutan Pinus 30,0 Camping Ground 16,7 Hutan alam 43,3 Air Terjun 10,0 Sungai 0 7. Penghasilan Rata-rata dalam sebulan < Rp ,- 40 Rp , - < Rp ,- 50 Rp , - < Rp ,- 10 > Rp , 0 8. Pengetahuan Interpretasi Alam Tahu dan jawaban tepat 0 Tahu tapi jawaban tidak tepat 10 Tidak tahu Minat Terhadap Kegiatan Interpretasi Alam Ya 83,3 Tidak 16,7 10. Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Durasi 23,3 Kemiringan Jalur 26,7 Kelengkapan Interpretasi 50,0

41 Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 13,3 1 Jam 30 Menit 16,7 2 Jam 23,3 3 Jam 23,3 > 3 Jam 23,3 12. Preferensi Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai 13,3 Terjal 3,3 Kombinasi 83,3 13. Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak 43,3 Pendek (Dekat Batas Kawasan) 43,3 Hingga ketinggian menengah 13, Aspek Sosial Budaya Kesiapan Masyarakat Setempat Kesiapan masyarakat setempat dalam hal wisata alam dapat dilihat dari keberadaan masyarakat yang melayani pengunjung atau pendaki, seperti penyediaan sarana penginapan (homestay) atau persinggahan sebelum melakukan pendakian (base start), pembuatan suvenir, ketersediaan pemandu/penunjuk jalan dan pembawa barang (porter) dalam pendakian serta inisiatif pembuatan paket wisata pendakian. a. Masyarakat Dusun Tekelan Kesiapan masyarakat Desa Tarubatang (jalur Selo) tercermin dari penyediaan base start bagi para pendaki yang berjumlah 4 rumah. Base startbase start tersebut sejatinya merupakan rumah tinggal pribadi namun dibuka bagi para pendaki yang memerlukan tempat beristirahat sejenak sebelum melakukan pendakian dengan mengutip biaya sekitar Rp ,- untuk setiap pendaki. Umumnya para pemilik base start juga bersedia melayani apabila pendaki memerlukan makanan. Sebuah warung di dusun ini menjual suvenir seperti kaos, pin dan stiker yang bertema pendakian Gunung Merbabu melalui jalur Selo. Selain itu beberapa pemuda setempat tergabung dalam Maspala (Masyarakat Pemuda Selo Pecinta Alam) yang melayani pendaki yang memerlukan jasa pemandu dan porter. Maspala juga berperan dalam merawat jalur pendakian serta turut menangani korban kecelakaan pendakian maupun kebakaran di Gunung Merbabu. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu juga telah merangkul para pemuda ini untuk disiapkan menjadi sukarelawan (volunteer) taman nasional tersebut. Selain itu beberapa anggota Maspala telah mendapat pelatihan pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006.

42 85 b. Masyarakat Sekitar TWA Tuk Songo Kopeng Adapun kesiapan masyarakat sekitar TWA Tuk Songo Kopeng lebih kepada wisata massal dengan banyaknya penginapan (homestay) yang tersedia di sekitar taman wisata alam tersebut. Selain itu banyak penduduk yang menjajakan makanan dan minuman dengan cara diasong sambil menawarkan tikar sewaan bagi pengunjung. Namun muncul keluhan dari pengunjung terhadap cara para pengasong dalam menjajakan dagangannya yang tidak menyenangkan. c. Masyarakat Dusun Tekelan Sedangkan kesiapan Dusun Tekelan dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya base start pendaki yang dikoordinir KOMPPAS (Komunitas Peduli Puncak Syarif). Seperti base start di Selo (Desa Tarubatang), base start KOMPPAS merupakan rumah penduduk yang dibuka bagi para pendaki sebagai tempat persinggahan sebelum melakukan pendakian sekaligus menyediakan makanan. KOMPPAS yang merawat jalur pendakian Tekelan telah mencoba merintis paket wisata pendakian yang diberi nama Seven Summit atau Tujuh Puncak. Paket ini merupakan paket pendakian melalui jalur Tekelan menuju puncak Gunung Merbabu yang melewati 7 buah puncak (lebih tepatnya 4 puncak semu yang berupa puncak bukit/punggungan dan 3 puncak sebenarnya yaitu puncak Syarif, puncak Kenteng Songo dan puncak Trianggulasi). Suvenir pendakian juga dibuat oleh KOMPPAS namun produksinya tidak kontinyu. Kelompok yang telah dibina Balai KSDA Jawa Tengah sebagai Kader Konservasi jauh hari sebelum terbentuknya organisasi Balai TN Gunung Merbabu ini juga menyediakan jasa pemandu dan porter bagi pendaki yang membutuhkan. Beberapa anggota KOMPPAS juga telah mengikuti pelatihan pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun Mitos di Gunung Merbabu Secara umum terdapat mitos yang berkembang di kawasan Gunung Merbabu, yaitu dilarang memakai pakaian berwarna hijau atau merah ketika melakukan pendakian serta dilarang mengeluh atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan ketika melakukan pendakian.

43 Cerita Rakyat Selain itu terdapat kepercayaan atau cerita rakyat mengenai kerajaan di Gunung Merbabu, tokoh nenek moyang yang bernama Mbah Syarif dan cerita tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. a. Kerajaan Merbabu Menurut salah satu versi cerita yang berkembang, pada jaman dahulu ketika masa Mataram kawasan Gunung Merbabu ini merupakan sebuah kerajaan yang pusat pemerintahannya di Puncak Kenteng Songo. Salah satu tokoh kerajaan (kemungkinan Ratu) tersebut bernama Dewi Retno Asih. Setiap mengadakan perjalanan ke Gunung Merapi pasti melewati Taman Keputren yang mempunyai keistimewaan yaitu memiliki 9 mata air, yang sekarang menjadi Umbul Songo. Kerajaan tersebut mempunyai 2 kelompok pasukan, yaitu pasukan yang berseragam merah dan pasukan yang berseragam hijau. Konon siapapun yang menyamai atau memakai pakaian berwarna merah akan diusir oleh pasukan merah ini. Oleh karena itu para pendaki disarankan tidak menggunakan baju berwarna merah. Berdasarkan pengalaman, pendaki yang mengalami kecelakaan di gunung ini umumnya menggunakan pakaian berwarna merah. Sedangkan orang yang memakai pakaian berwarna hijau akan dianggap teman oleh pasukan hijau, sehingga akan dituntun/digiring masuk ke dalam pasukan ini. Seperti pakaian berwarna merah, para pendaki sebaiknya tidak menggunakan baju berwarna hijau. Kejadian yang sering menimpa orang yang berpakaian hijau antara lain kesurupan dan kehilangan jalur. Di kawasan Gunung Merbabu dipercaya juga terdapat sarana dan prasarana sebagaimana sebuah ibukota kerajaan, seperti gerbang, alun-alun, pasar dan menara pengintai untuk pertahanan. Yang disebut alun-alun adalah Pos IV Lempong Sampan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat sebelum menghadap raja sekaligus tempat berlatih para prajurit. Posisi pasarnya berada di sebelah barat Lempong Sampan, disebut Pasar Setan. Sedangkan yang menjadi gerbang adalah Watu Gubug, yang dahulu disebut Gunung Pertapan yang menjadi tempat berkumpul/pertemuan rakyat yang akan menghadap raja. Rakyat atau orang-orang yang akan menuju pusat kerajaan diintai melalui menara pengintai yang pada saat ini menjadi tempat berdirinya menara TNI yang di dekatnya terdapat Watu Tulis. Konon dahulu terdapat prasasti di lokasi ini,

44 87 namun sudah tidak ditemui pada saat ini. Setelah itu baru masuk ke lingkungan keraton, yaitu Puncak Kenteng Songo. Beberapa pendapat berbeda pengertian mengenai batu berlubang (kenteng) yang terdapat di Puncak Kenteng Songo. Ada yang menyebutkan bahwa batu-batu tersebut merupakan tungku perapian, ada yang menganggapnya sebagai tempat menyimpan harta, dan ada pula yang berpendapat bahwa kenteng tersebut pada jaman dahulu kala merupakan pondasi tiang/sokoguru (Bahasa Jawa = umpak). Pada saat ini batu-batu berlubang di Puncak Kenteng Songo hanya 5 buah, 1 buah berada di sekitar Sabana II (Jalur Selo), dan beberapa diambil oleh paranormal dan dibawa turun ke Salatiga dan kota-kota lainnya. Namun dikatakan apabila seseorang mempunyai kemampuan lebih (seperti paranormal) maka akan melihat bahwa kenteng di puncak tersebut berjumlah 9 (Bahasa Jawa = songo). Mengenai 1 buah kenteng yang terpisah dan berada di sekitar Sabana II, diceritakan bahwa pada suatu ketika ada orang yang berniat membawanya turun melalui jalur Selo dengan cara menggelindingkannya ke bawah, namun orang tersebut menderita sakit dan tidak meneruskan niatnya sehingga kenteng tersebut dibiarkan (ditinggal) di lokasinya yang sekarang. Kata Merbabu sendiri berasal dari kata meru yang berarti gunung dan babu yang berarti budak atau perempuan, sehingga Gunung Merbabu dianggap sebagai gunung perempuan, sedangkan pasangannya adalah Gunung Merapi yang diposisikan sebagai gunung laki-laki. Anggapan tersebut masih dipercaya hingga saat ini dan dikaitkan dengan korban kecelakaan pendakian di Gunung Merbabu yang umumnya berjenis kelamin laki-laki. Konon apabila seseorang mempunyai hajat tertentu maka untuk mendaki Gunung Merapi wajib melewati Gunung Merbabu terlebih dahulu dengan rute Puncak Kerto (atau yang sekarang disebut Puncak Syarif) - Kenteng Songo - Gunung Merapi agar hajat tersebut terkabul. b. Mbah Syarif Mbah Syarif yang bernama asli Syarifudin ini merupakan tokoh antagonis dari Demak yang dipercaya mempunyai kesaktian tinggi. Suatu ketika Mbah Syarif ini berurusan dengan pihak yang berwenang sehingga melarikan diri (buron) ke kawasan Gunung Merbabu kemudian tinggal dan membuat rumah di salah satu puncak Gunung Merbabu, yaitu Puncak Kerto sehingga puncak tersebut diganti namanya menjadi Puncak Syarif. Konon kabarnya bukti

45 88 keberadaan Mbah Syarif ini dapat dilihat dengan adanya peralatan dapur dan tanaman sayuran yang terdapat di lereng timur Puncak Syarif. Makam Mbah Syarif dipercaya berada di lingkungan Puncak Syarif. c. Galar Wutah dan Asal Muasal Dusun Tekelan Konon di jalur Tekelan - puncak terdapat lokasi yang dinamakan Galaran karena banyak tumbuh pohon Galar atau Awar-awar (Ficus septica). Pohon Galar ini tidak pernah berbunga, namun pada suatu ketika berbunga dan meneteskan madu dari bunga tersebut. Tetesan madu pohon Galar tersebut menjelma menjadi sesosok manusia sakti yang bernama Galar Wutah dan menguasai (Bahasa Jawa = bahurekso) daerah tersebut. Pada sisi lain, terdapat sebuah dusun di kaki Gunung Merbabu bernama Gili Busung yang pada suatu saat mengalami bencana kekeringan dan banyak penduduknya yang meninggal. Pemimpin dusun yang bernama Kyai Tekel menemui Galar Wutah dan meminta air untuk dialirkan ke dusunnya. Si Galar Wutah bersedia memberikan air dengan syarat mereka harus pindah dari dusun mereka yang sekarang, yaitu Gili Busung. Kyai Tekel menyetujui dan akhirnya Galar Wutah mengeluarkan air dari tanah dengan menancapkan tongkat ke dalam tanah. Untuk memenuhi janjinya Kyai Tekel kemudian memindahkan dusun ke tempat yang sekarang menjadi Dusun Tekelan Kebijakan Balai TN Gunung Merbabu Kebijakan Terkait Pembagian Wilayah Pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dibagi ke dalam 2 (dua) seksi pengelolaan, yaitu Seksi Pengelolaan I Kopeng yang meliputi wilayah Kecamatan Getasan (Kabupaten Semarang), Kecamatan Ampel dan Selo (Kabupaten Boyolali) dan Seksi Pengelolaan II Krogowanan yang meliputi wilayah Kecamatan Sawangan, Pakis, Ngablak dan Candimulyo (Kabupaten Magelang) Kebijakan Terkait Wisata Alam Di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu pengembangan wisata alam merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan kawasan, namun karena pada saat penelitian dilakukan UPT Balai Taman Nasional Gunung Merbabu relatif baru terbentuk, pengembangan wisata alam belum optimal dan baru memberi perhatian pada kegiatan pendakian Gunung Merbabu. Jalur pendakian Gunung Merbabu yang dinilai aktif dan menjadi fokus Balai TN Gunung Merbabu ada 5, yaitu :

46 89 - Jalur Pendakian Selo (Desa Tarubatang, Kec. Selo, Kab. Boyolali) - Jalur Pendakian Tekelan (Dusun Tekelan, Desa Batur, Kec. Getasan, Kab. Semarang) - Jalur Pendakian Cuntel (Dusun Cuntel, Desa Batur, Kec. Getasan, Kab. Semarang) - Jalur Pendakian Wekas (Desa Kedakan, Kec. Pakis, Kab. Magelang) - Jalur Pendakian Candisari (Desa Candisari, Kec. Ampel, Kab. Boyolali) Kebijakan Terkait Zonasi Taman Nasional Berdasarkan rencana pengelolaannya, Taman Nasional Gunung Merbabu dibagi ke dalam 5 (lima) zonasi, yaitu : - Zona Inti I - Zona Inti II - Zona Rimba - Zona Pemanfaatan dan - Enklave. Hasil overlay jalur verifikasi pada peta zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu menunjukkan hanya jalur TWA - Tekelan, jalur Tekelan - Krinjingan serta sebagian dari jalur Tekelan - Dufan dan jalur Tekelan - Watu Tadah yang berada pada Zona Pemanfaatan, sedangkan jalur-jalur lainnya melewati Zona Rimba, Zona Inti II, bahkan Zona Inti I yang berada di sekeliling puncak Gunung Merbabu. Gambar 44 menunjukkan overlay jalur verifikasi pada zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu Analisis Potensi Flora Dan Fauna Hutan Hujan Tropika Pegunungan Rendah maupun Hutan Hujan Tropika Pegunungan Tinggi di kawasan Gunung Merbabu tidak terlalu lebat karena merupakan peralihan antara Hutan Hujan Tropika di Jawa Barat yang relatif lebih basah dan Hutan Hujan Tropika di Jawa Timur yang relatif lebih kering, serta kawasan hutan Gunung Merbabu yang sering dilanda kebakaran hutan sehingga suksesi pertumbuhannya sering terganggu. Selain itu penebangan liar untuk mendapatkan kayu bakar, batang Pakis maupun pembuatan arang yang banyak dilakukan masyarakat mengurangi keutuhan hutannya. Demikian juga dengan ekosistem Hutan Tropika Sub Alpin yang sering mengalami kebakaran, menambah kesan kering kawasan taman nasional ini.

47 90 Gambar 45 menunjukkan overlay jalur verifikasi pada peta tipe vegetasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Verfikasi flora fauna yang dilakukan memperoleh data 84 jenis flora (baik flora berkayu maupun tidak berkayu) serta 81 jenis fauna yang terdiri dari 78 jenis aves dan 3 jenis Mamalia (Tabel 29). Tabel 29 Jumlah jenis flora fauna hasil verifikasi pada setiap jalur No. Jalur Jenis Jalur Jumlah Jenis Fauna Flora 1. Selo - Puncak Pendakian Tekelan - Puncak Pendakian Selo - Mata air Non Pendakian Tekelan - Watu Tadah Non Pendakian TWA Tuk 9 - Tekelan Non Pendakian Tekelan - Krinjingan Non Pendakian Tekelan - Dufan Non Pendakian Selo - Jurang Warung Non Pendakian Total Inventarisasi flora fauna yang dilakukan Balai KSDA Jawa Tengah di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali pada tahun 2005 (BKSDA Jawa Tengah 2005a) memperoleh data 101 jenis flora, 29 jenis fauna yang terdiri dari 25 jenis aves, dan 4 jenis mamalia. Sedangkan inventarisasi lanjutan yang dilakukan oleh institusi yang sama di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang masuk wilayah Kabupaten Magelang pada tahun 2005 (BKSDA Jawa Tengah 2005b) mencatat data flora sebanyak 88 jenis, serta mencatat 28 jenis fauna yang terdiri dari 23 jenis aves, 1 jenis insekta dan 4 jenis mamalia. Dibandingkan dengan data tersebut maka hasil verifikasi penelitian ini mendapatkan data flora yang lebih sedikit namun menghasilkan data fauna yang lebih banyak. Hal ini ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode dan tujuan antara inventarisasi dengan verifikasi, serta perbedaan kemampuan tim dalam hal identifikasi, khususnya dalam identifikasi fauna. Beberapa hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan, diantaranya adalah : - Dari keseluruhan jalur yang diamati pada penelitian ini (8 jalur) hanya 1 jalur yang sama dengan jalur inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah, yaitu jalur non pendakian Selo - Jurang Warung - Jalur yang diambil dalam kegiatan inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah bukan merupakan jalur pendakian utama.

48 91 Gambar 44 Overlay jalur verifikasi pada zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu

49 92 Gambar 45 Overlay jalur verifikasi terhadap tipe vegetasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu

50 93 Apabila dilakukan perbandingan lebih lanjut terhadap data flora yang terdapat dalam semua data (data inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali, Magelang dan hasil penelitian ini) maka flora yang tercatat pada ketiga sumber data ada 39 jenis, yang hanya terdapat dalam inventarisasi di Boyolali ada 31 jenis, yang hanya terdapat dalam inventarisasi di Magelang 9 jenis dan yang hanya didapat dalam penelitian ini ada 31 jenis. Flora yang terdapat dalam inventarisasi di Boyolali dan Magelang ada 23 jenis, yang terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan penelitian ini hanya ada 2 jenis dan yang terdapat dalam hasil inventarisasi di Magelang dan penelitian ini ada 7 jenis. Adapun hasil perbandingan lebih lanjut terhadap data fauna yang terdapat pada semua sumber data (Balai KSDA Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali, Magelang dan hasil penelitian ini), hanya 7 jenis fauna terdapat dalam ketiga sumber data tersebut. Fauna yang hanya tercatat dalam hasil inventarisasi di Boyolali ada 10 jenis, fauna yang hanya terdapat di dalam hasil inventarisasi di Magelang ada 13 jenis dan yang merupakan hasil penelitian ini saja ada 57 jenis. Sedangkan fauna yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan Magelang ada 1 jenis saja, yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan penelitian ini ada 8 jenis dan fauna yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Magelang dan penelitian ini ada 7 jenis. Beberapa jenis flora dan fauna yang ditemui dalam kegiatan verifikasi yang menarik untuk dimanfaatkan dalam interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu antara lain : a. Kantung semar (Nepenthes sp.) Merupakan flora yang unik, karena mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya. Dalam verifikasi, Kantung semar yang disebut penduduk Desa Tarubatang dengan nama Kala Pecika dijumpai pada jalur pendakian Selo, pada jarak m dari awal jalur pada ketinggian m dpl. Posisi tumbuhnya tepat di jalur pendakian, pada tepi sebelah kiri. Semua jenis dari genus Nepenthes statusnya dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Dephut 1999). Air yang terdapat di dalam kantung tumbuhan ini dapat diminum, serta dipercaya penduduk setempat dapat mengobati sakit mata.

51 94 Hasil kegiatan inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah (BKSDA Jawa Tengah 2005a dan 2005b) juga menyebutkan jenis ini dijumpai di Boyolali maupun Magelang. Menurut informasi penduduk Dusun Tekelan, pada jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah sebenarnya terdapat Kantung semar, namun saat ini telah habis diburu untuk dijual sebagai tanaman hias. b. Kerangenan Berfungsi sebagai penghangat badan, dengan cara meremas dan menggosokkan daunnya di tangan kemudian diusapkan ke bagian tubuh yang terasa dingin. c. Bintami (Podocarpus imbricata) Pada jarak 400 m (ketinggian m dpl) jalur Selo - puncak terdapat sebatang pohon Bintami yang sudah berumur 80 tahun. Jenis ini umumnya dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Heyne 1987a). d. Edelweis (Anaphalis javanica) Flora ini merupakan flora khas pegunungan yang dikenal dengan bunganya yang abadi. Di kawasan TN Gunung Merbabu, Edelweis tumbuh pada ketinggian mulai m dpl. e. Cantigi (Vaccinium varingifolium) Tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan khas pegunungan, berupa perdu. Cantigi atau Sentigi atau Manis rejo tahan terhadap belerang sehingga lazim ditemui di dekat kawah dan solfatara. Daun mudanya dapat dimakan dengan rasa agak nyaman, begitu pula dengan buahnya yang hitam (Heyne 1987c). f. Arben (Fragraria indica) Perdu yang banyak ditemui sepanjang jalur-jalur pendakian ini mempunyai buah yang mirip buah Arbei (sehingga dinamakan Arben, yang berarti seperti Arbei ). Buahnya yang berwarna merah cerah (bahkan merah tua atau hitam) dan berair dapat dimakan, dengan rasa tawar atau manis asam (Heyne 1987b). g. Lutung kelabu (Presbytis fredericae) Lutung kelabu atau Rekrekan merupakan primata endemik Jawa Tengah yang statusnya dilindungi, yang salah satu habitatnya adalah Gunung Merbabu. Satwa ini hidup di hutan tropik atau hutan pegunungan mulai dari m dpl (Supriatna dan Wahyono 2000). Kegiatan verifikasi menjumpai sekelompok (+ 8 ekor) satwa ini sedang berkumpul pada ketinggian m dpl, pada posisi tebing punggungan sebelah kanan jalur pendakian Selo - puncak.

52 95 Berbagai jenis burung juga dapat menjadi obyek interpretasi alam, terutama pada jalur non pendakian seperti Selo - Jurang Warung. Selain data fauna hasil verifikasi tersebut, berdasarkan data Balai KSDA Jawa Tengah terdapat jenis-jenis endemik yang dapat dimanfaatkan dalam interpretasi alam, seperti Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) dan Macan tutul (Panthera pardus) Analisis Pengembangan Interpretasi Alam Pengembangan Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut : - Banyak didatangi pengunjung dan/atau dilalui pendaki - Mempunyai aksesibilitas yang mudah - Mempunyai potensi pemandangan, ekosistem alami atau sumber daya alam yang langka dan unik serta sosial budaya yang menarik untuk dimanfaatkan dalam kegiatan interpretasi alam - Merupakan jalur yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam. Seluruh jalur yang telah diverifikasi mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan suatu jalur dapat langsung dimanfaatkan dalam rangka kegiatan interpretasi alam. Demikian juga dengan kekurangan yang dimiliki suatu jalur, dapat pula digunakan dalam kegiatan interpretasi alam namun diperlukan suatu pengetahuan dan seni tersendiri untuk memanfaatkan kekurangan tersebut. Dengan kata lain, kelebihan dan kekurangan menjadi peluang suatu jalur untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam Potensi Jalur Pendakian Selo - Puncak Jalur pendakian Selo mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam karena merupakan jalur utama pendakian dari sisi selatan Gunung Merbabu yang telah banyak dikenal di kalangan pendaki dan banyak didatangi pengunjung. Aksesibilitas menuju ke lokasinya juga relatif mudah. Selain itu adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi yang lembab serta sumber daya alam yang langka dan dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa seperti Kantung semar (Nepenthes sp.) dan Lutung kelabu atau Rekrekan (Presbytis fredericae) ditambah dengan pemandangan alam yang indah di jalur ini meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan. Keberadaan Lutung kelabu

53 96 yang merupakan primata endemik Jawa Tengah merupakan fenomena yang menarik karena menurut Supriatna dan Wahyono (2000), satwa ini hidup di hutan tropik atau hutan pegunungan mulai dari m dpl, namun verifikasi menjumpai satwa ini pada ketinggian m dpl, cukup jauh dari kisaran ketinggian habitat yang diketahui. Hal ini mungkin menunjukkan adanya penurunan kualitas hutan Gunung Merbabu sehingga memaksa mereka mencari habitat yang lebih tinggi. Bagian (segmen) jalur yang mengalami peristiwa kebakaran hutan dan tanah longsor dapat pula dimanfaatkan dalam interpretasi alam untuk menjelaskan tentang proses suksesi dalam ekologi hutan. Daerah yang mengalami erosi dan longsor dapat digunakan untuk menerangkan pentingnya menjaga kelestarian tutupan hutan. Demikian pula peranannya dalam mitos sosial budaya Gunung Merbabu seperti Puncak Kenteng Songo dan Watu Lumpang termasuk adanya 1 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu, menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan interpretasi alam di jalur ini. Pada jalur ini juga terdapat percabangan jalur (di dekat Pos I Dok Malang di ketinggian m dpl) yang bertemu kembali dengan jalur utamanya pada ketinggian m dpl (Pos III Watu Tulis), namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah, sehingga hanya penduduk setempat saja yang masih bisa mengenali jalur ini. Jalur cabang ini dapat digunakan sebagai jalur alternatif yang tidak ke puncak Potensi Jalur Tekelan - Puncak Sebagai jalur yang banyak dilalui pendaki dan aksesibilitas yang relatif mudah serta lokasinya yang berdekatan dengan TWA Tuk Songo Kopeng, jalur Tekelan - puncak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam. Adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi, ekosistem sungai serta pemandangan alam yang indah merupakan nilai tambah bagi jalur ini untuk dikembangkan. Peranan jalur Tekelan - puncak yang besar dalam mitos sosial budaya Gunung Merbabu seperti Tuk Songo, Puncak Pertapan, Watu Tulis, Puncak Kenteng Songo dan Puncak Syarif termasuk 2 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu merupakan potensinya yang lain untuk dipertimbangkan dalam perencanaan interpretasi alam.

54 Potensi Jalur Selo - Mata Air Meskipun jalur Selo - Mata Air ini merupakan jalur yang pendek, namun masih mempunyai potensi dan nilai tambah untuk dikembangkan menjadi sebuah jalur interpretasi alam, seperti lokasinya yang berada sekitar di jalur yang banyak dilalui pendaki, yaitu jalur Selo dan juga cukup banyak didatangi pengunjung, serta mempunyai aksesibilitas yang mudah. Jalur ini melewati camping ground, ekosistem hutan sekunder dan sungai, ditambah fauna yang keberadaannya cukup menarik seperti Ayam hutan hijau (Gallus varius) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sebuah mata air dan terdapat batu memori (nisan) mahasiswa UNS yang meninggal pada tahun 1992 di lokasi tersebut akibat kecelakaan ketika mengikuti pendidikan pecinta alam, yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam interpretasi alam. Karakteristik jalurnya yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam merupakan suatu bahan pertimbangan tambahan. Pada titik tertentu jalur ini bertemu/menyambung dengan jalur non pendakian yang lain, yaitu jalur Selo - Jurang Warung. Apabila kedua jalur ini digabungkan akan didapat sebuah jalur interpretasi alam yang komprehensif Potensi Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan Jalur ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki jalur lain, yaitu berawal di kawasan TWA Tuk Songo yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki. Demikian pula dengan aksesibilitasnya yang sangat mudah, tidak dimiliki jalur lain. Kelebihan lain dari jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ini adalah adanya mata air dan air terjun di dalam kawasan taman wisata alam ini, serta melewati ekosistem hutan sekunder dan ekosistem kebun. Keberadaannya sebagai jalur penghubung antara TWA Tuk Songo dan Dusun Tekelan dan kemungkinannya untuk dipadukan dengan jalur lain dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi perencanaan interpretasi alam Potensi Jalur Tekelan - Watu Tadah Hal-hal yang menjadikan jalur ini berpotensi jalur interpretasi alam antara lain adalah berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki, mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah. Potensi lain dari jalur ini untuk dapat dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam adalah adanya ekosistem hutan sekunder, air terjun Watu Tadah dengan pemandangan alam yang indah, serta berbagai fauna seperti Alap-alap (Falco sp.) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ada di tebing menuju air terjun Watu Tadah. Selain itu karakteristik fisik jalur Tekelan - Watu Tadah aman bagi pengunjung. Jalur ini

55 98 juga masih mempunyai kemungkinan untuk digabung dengan jalur lain di sekitarnya, yaitu jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan dan Tekelan - Dufan Potensi Jalur Tekelan - Krinjingan Berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki serta mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah merupakan potensi jalur ini. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder dan air terjun dengan pemandangan alam yang indah meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam, apalagi dengan karakteristik fisik jalur yang landai sehingga aman bagi pengunjung Potensi Jalur Tekelan - Dufan Seperti jalur lain yang berawal dari Dusun Tekelan, jalur ini berada pada jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki disamping aksesibilitas yang relatif mudah sehingga menjadikannya berpotensi sebagai jalur interpretasi alam sesuai kriteria yang digunakan. Selain mempunyai ekosistem hutan sekunder, jalur ini juga mempunyai pemandangan alam yang indah dan karakteristik jalur yang relatif landai sehingga aman untuk kegiatan interpretasi alam Potensi Jalur Selo - Jurang Warung Jalur non pendakian Selo - Jurang Warung berpotensi untuk dimanfaatkan dalam interpretasi alam karena beberapa keunggulannya, seperti aksesibilitas yang mudah dan berawal dari jalur yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki, melewati 2 tipe ekosistem (hutan sekunder dan ekosistem kebun) dengan dominasi hutan sekunder dari jenis Pinus (Pinus merkusii) dan jenis Akasia (Acacia decurrens), terdapat bagian (segmen) jalur yang dihuni berbagai jenis fauna khususnya aves (burung) yang beraneka ragam, serta mempunyai bagian (egmen) jalur yang berpemandangan alam yang indah. Jalur ini berujung pada jalur non pendakian Selo - mata air sehingga apabila keduanya dipadukan/digabung akan didapatkan sebuah jalur interpretasi yang komprehensif. Selanjutnya dilakukan skoring terhadap potensi yang dimiliki masingmasing jalur dengan kemungkinan nilai total tertinggi 36 poin dan terendah 7 poin. Hasil penilaian yang dilakukan menunjukkan nilai tertinggi diperoleh jalur Selo - puncak sebesar 29 poin, disusul jalur Tekelan - puncak dan jalur Tekelan - Watu Tadah dengan nilai yang sama yaitu 27 poin, sedangkan nilai terendah diperoleh 2 jalur non pendakian yaitu jalur TWA Tuk Songo - Tekelan dan jalur Tekelan - Dufan dengan nilai yang sama yaitu sebesar 22 poin (Tabel 30).

56 99

57 Sintesis Dalam tahap ini dilakukan penggabungan hasil penelitian potensi biofisik dan sosial budaya dengan keinginan atau kebutuhan (demand) pengguna yang terdiri dari pendaki dan pengunjung Taman Nasional Gunung Merbabu. Sintesis dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu : Langkah Pertama : Dilakukan perencanaan jalur-jalur baru dari jalur yang telah diverifikasi dengan cara modifikasi jalur ataupun penggabungan 2 jalur/lebih pada jalur-jalur yang memungkinkan untuk dilakukan penggabungan. Modifikasi dan penggabungan yang dilakukan didasarkan pada : - Adanya percabangan atau pertemuan 2 jalur/lebih - Adanya jalan/jalur tembus (shortcut) diantara 2 jalur/ lebih dan - Kedekatan lokasi jalur-jalur yang akan digabungkan. Tujuan modifikasi dan penggabungan ini adalah untuk mendapatkan alternatif jalur-jalur yang lebih komprehensif sesuai demand pengguna. Tabel 31 menunjukkan hasil modifikasi dan penggabungan yang dilakukan. Tabel 31 Modifikasi dan penggabungan jalur No. Jalur I Jalur II Jalur III Jalur Hasil 1. Selo - Puncak Jalur Mati Selo - Selo II* 2. Selo - Jurang Warung Selo - Mata Air - Selo III** 3. Tekelan - Krinjingan Tekelan - Dufan - Tekelan IV** 4. TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan - Krinjingan Tekelan - Dufan TWA - Krinjingan ** 5. TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan Dufan - TWA - Dufan ** 6. TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan - Watu Tadah - TWA - Watu Tadah** * Modifikasi ** Penggabungan Dari modifikasi dan penggabungan tersebut maka terdapat 14 alternatif jalur yang dapat dikembangkan untuk Interpretasi Alam (Tabel 32). Tabel 32 Alternatif jalur Interpretasi Alam No. Jalur Jenis Jalur Jarak Tempuh Waktu Tempuh 1. Selo Puncak Pendakian m 7 jam 2. Tekelan Puncak Pendakian m 7 jam 3. Selo Mata Air Non Pendakian 900 m 45 menit 4. Tekelan Watu Tadah Non Pendakian m 1 jam 5. TWA Tuk Songo Tekelan Non Pendakian m 45 menit 6. Tekelan Krinjingan Non Pendakian 450 m 30 menit 7. Tekelan Dufan Non Pendakian 725 m 1 jam 8. Selo Jurang Warung Non Pendakian m 3 jam 9. Selo II Non Pendakian m 4 jam 10. Selo III Non Pendakian m 3 jam 30 menit 11. Tekelan IV Non Pendakian m 2 jam 12. TWA - Krinjingan Non Pendakian m 2 jam 13. TWA - Watu Tadah Non Pendakian m 2 jam 14. TWA - Dufan Non Pendakian m 2 jam

58 101 Langkah Kedua Penyusunan karakteristik masing-masing jalur yang telah diverifikasi sesuai dengan demand pengguna terhadap kegiatan interpretasi alam (Tabel 33). Tabel 33 Karakteristik jalur sesuai keinginan (demand )pengguna No. Nama Jalur Kisaran Durasi Posisi Jalur Kemiringan Selo - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 2. Tekelan - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 3. Selo - Mata Air 45 menit Pendek (Dekat batas) Landai 4. Tekelan - Watu Tadah 60 menit Pendek (Dekat batas) Landai 5. TWA Tuk Songo - Tekelan 45 menit Pendek (Dekat batas) Landai 6. Tekelan - Krinjingan 30 menit Pendek (Dekat batas) Landai 7. Tekelan - Dufan 60 menit Pendek (Dekat batas) Landai Selo - Jurang Warung 180 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 9. Selo II 240 menit Menengah Kombinasi 10. Selo III 210 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 11. Tekelan IV 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 12. TWA - Krinjingan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 13. TWA - Watu Tadah 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 14. TWA - Dufan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi Langkah Ketiga : Dilakukan pembuatan jalur dengan cara dijitasi manual di atas masingmasing jalur tersebut pada theme baru dalam ArcView GIS 3.3 (Gambar 46). Theme baru Dijitasi manual di atas jalur Gambar 46 Hasil dijitasi manual

59 102 Langkah Keempat : Dilakukan pengisian atribut dari masing-masing jalur hasil dijitasi dengan fields dan data Nama Jalur, Kisaran Durasi, Posisi Jalur dan Kemiringan seperti yang terdapat di dalam Tabel 33 di atas (Gambar 47). Fields Data Gambar 47 Pengisian atribut masing-masing jalur alternatif Langkah Kelima : Sebelum pemilihan jalur rencana interpretasi alam dengan menggunakan Query Builder, dilakukan penetapan nilai-nilai preferensi yang akan digunakan. Preferensi yang digunakan untuk mendapatkan jalur-jalur yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam adalah preferensi durasi, kemiringan/slope dan posisi jalur interpretasi alam yang berada pada peringkat I (pertama). Hasil kuesioner pendaki dan pengunjung menunjukkan bahwa preferensi durasi 1 jam 30 menit (atau sama dengan 90 menit) hingga 3 jam (atau sama dengan 180 menit) menduduki peringkat I secara kumulatif, sedangkan peringkat II ditempati durasi interpretasi alam > 3 jam (atau sama dengan > 180 menit). Adapun preferensi kemiringan/slope jalur pada peringkat I adalah jalur dengan kemiringan jalur yang bervariasi atau kombinasi medan yang terjal dan landai, sedangkan peringkat II ditempati oleh karakteristik medan yang landai. Namun untuk posisi jalur interpretasi hasil kuesioner agak berbeda, dimana para responden pendaki menempatkan jalur hingga ke puncak pada peringkat I, dan jalur pendek (dekat batas kawasan) pada peringkat II, sedangkan para

60 103 responden pengunjung menempatkan jalur hingga ke puncak dan jalur pendek (dekat batas kawasan) pada peringkat yang sama, yaitu peringkat I, serta jalur hingga ketinggian menegah pada peringkat II. Tabel 34 Preferensi pengguna TN Gunung Merbabu terhadap Interpretasi Alam Persentase (%) No. Preferensi Peringkat Pendaki Pengunjung 1. Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 6,1 13,3 III / III 1 Jam 30 Menit 24,2 16,7 2 Jam 9,1 23,3 I / I 3 Jam 18,2 23,3 > 3 Jam 42,4 23,3 II / II 2. Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai 21,2 13,3 II / II Terjal 3,0 3,3 III / III Kombinasi 75,8 83,3 I / I 3. Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak 69,7 43,3 I / I Pendek (Dekat Batas Kawasan) 21,2 43,3 II / I Hingga ketinggian menengah 9,1 13,3 III / II Langkah Keenam : Berikutnya dimasukkan kriteria yang ditetapkan dari masing-masing preferensi (durasi, kemiringan dan posisi jalur atau kombinasinya) pada Query Builder yang tersedia dalam ArcView GIS 3.3. Apabila di dalam peta terdapat jalur yang memenuhi kriteria yang dimasukkan, maka jalur tesebut akan dalam keadaan aktif dan mempunyai warna yang berbeda dengan jalur yang tidak memenuhi kriteria. Sedangkan di dalam tabel atribut, jalur yang memenuhi kriteria akan tersorot/highlighted dengan warna kuning (Gambar 48). Query Builder Jalur Terpilih Jalur Terpilih di dlm tabel atribut Kriteria yang dimasukkan dlm Query Builder (Query Expression) Gambar 48 Pemilihan jalur Interpretasi Alam dengan Query Builder

61 104 Operasi dengan menggunakan Query Builder menghasilkan jalur interpretasi alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna sebagai berikut : Tabel 35 Jalur Interpretasi Alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna No. Preferensi Ekspresi Kriteria Jalur Terpilih Tunggal ([Durasi] > 90 ) and ([Durasi] <= 180) [Slope] = "Kombinasi" [Posisi Jlr] = "Hingga Puncak" Perpaduan 2 Preferensi Durasi+Slope (([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi")) TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo II Tekelan - Puncak Selo - Puncak TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung 3. Durasi+Posisi (1) (([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180)) and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak") Durasi+Posisi (2) (([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180)) and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)") Slope+Posisi Perpaduan 3 Preferensi Durasi+Slope+ Posisi ([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak") ([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)") (90 < [Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi")and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak") ([Durasi] > 90 ) and ([Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)") Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung Selo III Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung Dalam Tabel 35 diatas dapat dilihat bahwa keinginan (demand) pendaki maupun pengunjung untuk mendapatkan suatu jalur interpretasi alam dengan perpaduan 2 preferensi atau lebih yang mengandung kriteria hingga ke puncak tidak dapat dipenuhi.

62 105 Dari proses pemilihan jalur interpretasi alam berdasarkan preferensi penggunanya, ternyata hanya 9 dari 14 alternatif jalur yang terpilih, dan 5 jalur tidak terpilih. Tabel 36 Jalur terpilih berdasarkan preferensi penggunanya No. Nama Jalur Kisaran Durasi Posisi Jalur Kemiringan 1. Selo - Jurang Warung 180 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 2. Selo - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 3. Selo II 240 menit Menengah Kombinasi 4. Selo III 210 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 5. Tekelan - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 6. Tekelan IV 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 7. TWA - Krinjingan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 8. TWA - Watu Tadah 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 9. TWA - Dufan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi Tabel 37 Jalur tidak terpilih Kisaran No. Nama Jalur Posisi Jalur Kemiringan Durasi 1. Selo - Mata Air 45 menit Pendek (Dekat batas) Landai 2. Tekelan - Watu Tadah 60 menit Pendek (Dekat batas) Landai 3. TWA Tuk Songo - Tekelan 45 menit Pendek (Dekat batas) Landai 4. Tekelan - Krinjingan 30 menit Pendek (Dekat batas) Landai 5. Tekelan - Dufan 60 menit Pendek (Dekat batas) Landai Dari 9 jalur yang terpilih, dilakukan penghapusan terhadap 1 jalur lagi, yaitu jalur Selo - Jurang Warung. Penghapusan ini dilakukan karena rute jalur Selo - Jurang Warung hampir sama dengan jalur Selo III dan untuk menempuh jalur tersebut juga melewati jalur Selo - Mata Air yang berhubungan dengan jalur Selo - Jurang Warung. Dengan demikian hanya terdapat 8 jalur yang dapat dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam sesuai dengan keinginan (demand) pengguna (Tabel 38). Tabel 38 Rencana jalur Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu Kisaran No. Nama Jalur Posisi Jalur Kemiringan Durasi 1. Selo - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 2. Selo II 240 menit Menengah Kombinasi 3. Selo III 210 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 4. Tekelan - Puncak 420 menit Hingga Puncak Terjal 5. Tekelan IV 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 6. TWA - Krinjingan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 7. TWA - Watu Tadah 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi 8. TWA - Dufan 120 menit Pendek (Dekat batas) Kombinasi Langkah Ketujuh : Untuk keperluan pembuatan peta rencana Interpretasi Alam dilakukan pengubahan dari vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk shapefile dengan menggunakan fasilitas Convert to Shapefile pada menu dropdown Theme dari

63 106 setiap jalur terpilih, sehingga masing-masing menjadi sebuah theme baru. Hal ini perlu dilakukan agar pada setiap theme jalur dapat dilakukan perubahan ukuran, warna dari garis polygon serta penambahan atribut data, keterangan, hotlink dan sebagainya secara mandiri tanpa bercampur dengan theme lainnya. Menu dropdown Theme Fasilitas Convert to shapefile Vertex terpilih (aktif) Theme jalur hasil dijitasi manual dalam keadaan aktif editing Jalur yang telah diubah, menjadi theme tersendiri Gambar 49 Pengubahan Vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk Shapefile Perencanaan Jalur Interpretasi Alam Sebagai tahap terakhir dilakukan perencanaan terhadap 8 jalur yang akan dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu. Perencanaan interpretasi alam ini dilakukan berdasarkan Pedoman Interpretasi Taman Nasional (Ditjen PHPA 1988) Rencana Satuan atau Unit Interpretasi a. Lokasi Interpretasi Lokasi interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu berada di kawasan TWA Tuk Songo Kopeng dan Dusun Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang termasuk Seksi Pengelolaan I Taman Nasional Gunung Merbabu, yaitu jalur Tekelan - Puncak, Tekelan IV, TWA - Krinjingan, TWA - Watu Tadah dan TWA - Dufan serta di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali yang termasuk Seksi Pengelolaan II Taman Nasional Gunung Merbabu, yaitu jalur Selo - Puncak, Selo II dan Selo III.

64 107 b. Jalur Interpretasi Sesuai dengan hasil sintesa terhadap potensi sumberdaya alam dan demand pengguna kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang telah dilakukan, interpretasi alam berada pada 8 jalur yaitu : 1) Jalur Tekelan - Puncak Pada awal jalur interpretasi Tekelan - Puncak ini dapat disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu atau yang biasa disebut enklave. Di sebelah kiri jalur dapat dilihat hutan yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sedangkan di sebelah kanan yang berupa tanah yang ditumbuhi berbagai jenis pohon atau lahan pertanian yang ditanami bermacam komoditi pertanian merupakan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan. Hutan Sekunder pada kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum Perhutani, merupakan bahan untuk menceritakan sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Pada jarak m ketinggian m dpl terdapat pohon Galar atau Awar-awar (Ficus septica) yang bisa digunakan untuk menceritakan kisah Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. Selanjutnya pada jarak m dapat dijumpai tumbuhan Murbei atau Besaran menurut penduduk Tekelan. Murbei merupakan pakan ulat sutera, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menjelaskan manfaat tumbuhan ini. Pos I Pending dapat dicapai setelah berjalan m. Pada pos yang berupa bangunan permanen ini berdiri di atas tanah milik masyarakat ini dapat disampaikan mengenai bak pengendali dan pipa air yang berada di sekitarnya. Pada jarak m terdapat sungai kecil di dasar lembah yang bernama Kali Sowo. Di sungai kecil ini dapat diceritakan siklus air dan kaitannya dengan hutan. Pada jarak m ketinggian m dpl, jalur meninggalkan enklave dan memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Perbatasan antara tanah milik dan kawasan ditandai dengan adanya tumbuhan Bambu Cendani (Bambusa multiplex) atau Pringgendani menurut masyarakat setempat yang memanfaatkan bambu jenis ini sebagai ajir tanaman pertanian mereka. Lokasi bekas kebakaran yang melanda jalur ini pada bulan Agustus 2006 ditemui pada jarak m ketinggian m dpl. Disini dapat disampaikan pentingnya mencegah kebakaran hutan dan dapat pula

65 108 diceritakan kesulitan yang dihadapi apabila terjadi kebakaran di medan yang terjal dan sulit untuk mendapatkan air seperti di gunung ini. Proses suksesi yang berlangsung juga dapat menjadi bahan untuk menjelaskan proses alamiah yang terjadi setelah suatu kawasan dilanda kebakaran hutan. Peralihan tipe vegetasi yang mulai terlihat pada jarak m dan ketinggian m dpl. Sebagai informasi bagi pengunjung perlu dijelaskan di sini pengaruh ketinggian terhadap ekosistem hutan dan karakteristik pohonpohonnya. Selanjutnya Pos II Pos Ijo yang berupa bangunan semi permanen dari seng bercat hijau dan berada pada jarak m ketinggian m dpl dapat digunakan untuk beristirahat dan menikmati pemandangan di bawahnya. Dapat disampaikan pula pos ini dinamakan juga Pos Pereng Putih karena berada di sekitar tebing yang batuannya berwarna putih mulai dari pos ini hingga jarak m. Selepas dari Pereng Putih pada jarak m ketinggian m dpl terdapat tikungan jalur yang dinamakan Nglongok yang berarti melihat ke bawah karena dari lokasi ini pemandangan ke bawah serta Pereng Putih dapat terlihat dengan jelas. Lokasi Pos III Gumuk Mentul dapat dicapai setelah berjalan m dengan ketinggian m dpl. Pos ini berupa bangunan semi permanen dari batang kayu dan atap seng. Di lokasi ini pengunjung dapat beristirahat dan diberi penjelasan nama Gumuk Mentul yang berarti bukit kecil yang bergelombang, sesuai dengan keadaan di sekitarnya. Pada jarak m dan ketinggian m dpl dapat dijumpai tumbuhan Arben yang buahnya dapat dimakan ketika sudah matang dengan rasa manis keasaman. Setelah melewati jalur yang menanjak sejauh m, sampailah di Pos IV Lempong Sampan pada ketinggian m dpl yang tumbuhannya sebagian berupa rumput-rumputan. Pos ini tidak memiliki bangunan apapun namun dapat digunakan untuk membuka tenda dan bermalam. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, pada jaman dahulu Pos IV Lempong Sampan merupakan alun-alun kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat sebelum menghadap raja sekaligus tempat berlatih para prajurit dan di sebelah barat Lempong Sampan merupakan pasarnya. Cantigi (Vaccinium varingifolium) yang merupakan tumbuhan khas pegunungan berupa perdu mulai dapat dijumpai selepas Lempong Sampan. Di sini dapat disampaikan bahwa tumbuhan ini tahan terhadap belerang dan lazim ditemui di dekat kawah dan

66 109 solfatara. Daun mudanya dapat dimakan, begitu pula dengan buahnya yang hitam. Puncak Pertapan atau Watu Gubug yang berada pada ketinggian m dpl merupakan persinggahan berikutnya setelah menempuh jarak m dan jalur yang menanjak dari Pos IV Lempong Sampan. Dinamakan Watu Gubug karena di lokasi ini terdapat batu yang berongga seperti sebuah gubug dan digunakan untuk bertapa. Konon Mbah Syarif, tokoh yang pernah mendiami Puncak Syarif juga sempat berlindung di sini dari hujan dan terik matahari. Selama perjalanan menuju lokasi ini akan terlihat atau hanya terdengar suara burung Anis gunung (Turdus poliocephalus). Seperti di beberapa gunung lain seperti Gunung Merapi dan Gunung Lawu, burung ini sering menjadi teman perjalanan para pendaki di sekitar jalur pendakian. Khusus di Gunung Lawu, burung ini disebut Jalak Gading. Puncak Pertapan juga mempunyai cerita tersendiri seperti Pos IV Lempong Sampan. Konon, lokasi ini dahulu disebut Gunung Pertapan dan menjadi tempat berkumpul rakyat sebelum menghadap raja di puncak Gunung Merbabu. Pada jarak m di ketinggian m dpl terdapat titik pertemuan jalur pendakian Cunthel. Mendaki 50 m dari pertigaan tersebut akan dijumpai menara antena komunikasi TNI (ketinggian m dpl). Konon pada jaman dahulu rakyat yang menuju pusat kerajaan diintai melalui menara pengintai yang berada di tempat yang sama dengan menara TNI yang sekarang. Di sekitar menara TNI tersebut pada jarak m terdapat Puncak Watu Tulis. Dinamakan demikian karena dahulu terdapat batu bertulis (prasasti) bertuliskan huruf Jawa kuno di lokasi ini. Jalur selepas Puncak II Watu Tulis cenderung menurun pada sebuah punggungan. Rumput Bubarjaran mulai dapat dijumpai pada jarak m di ketinggian m dpl, namun di jalur ini tidak terdapat sabana seperti yang terdapat pada jalur Selo Puncak. Di sini dapat disampaikan bahwa pada sisi selatan Gunung Merbabu akan dijumpai daerah yang ditumbuhi rumput jenis ini sehingga membentuk sebuah sabana. Selanjutnya pada jarak m pada ketinggian m dpl terdapat pal batas kabupaten yang dapat digunakan untuk menyampaikan bahwa Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Semarang, Boyolali dan Magelang. Setelah berjalan jarak m ketinggian m dpl sampailah di Pos IV Helipad. Pos ini dinamakan demikian karena berupa dataran yang menyerupai landasan

67 110 helikopter. Sekitar 50 m jalur berada di punggungan yang diapit dua kawah yaitu Kawah Candradimuka di sebelah kanan dan Kawah Mati di sebelah kiri. Kedua kawah sedikit mengeluarkan asap putih dan bau belerang. Jalur pada jarak m ketinggian m dpl disebut sebagai Jembatan Setan karena medannya yang sangat terjal dan memerlukan tenaga yang besar untuk melewatinya. Puncak III Geger Sapi dapat dicapai setelah menempuh jarak m. Lokasi pada ketinggian mdpl ini disebut demikian karena berada pada punggungan/tebing yang terlihat seperti punggung (Bahasa Jawa=geger) seekor sapi. Selanjutnya jalur bervariasi turun dan menanjak sekitar 300 m hingga berada pada pertigaan menuju Puncak IV atau Puncak Syarif (ke kiri) dan puncak-puncak lain seperti Puncak Kenteng Songo serta Puncak Triangulasi (ke kanan). Puncak Syarif yang berada di ketinggian m dpl dicapai setelah berjalan menanjak meter ke arah kiri dari pertigaan tersebut. Pada puncak yang juga mempunyai nama Puncak Kerto ini dapat dikisahkan cerita tentang tokoh yang bernama Mbah Syarif. Sedangkan Puncak V Ondorante dapat dicapai setelah berjalan ke arah kanan dari pertigaan tersebut. Pada jarak ketinggian m dpl terdapat nisan memori Sugiyanto pendaki dari STIKUBANK Yogyakarta yang meninggal pada tahun Di sini dapat diceritakan kronologi kecelakaan yang menimpanya. Puncak Kenteng Songo yang berada pada ketinggian m dpl. dicapai setelah jarak Puncak Kenteng Songo m. Di sini dapat diceritakan kepercayaan masyarakat tentang keberadaan batu berlubang di puncak ini. Sekitar 225 m dari Puncak Kenteng Songo atau jarak total m sampailah pada Puncak Triangulasi yang berada pada ketinggian m dpl. 2) Jalur Tekelan IV Jalur ini berawal di Dusun Tekelan yang merupakan salah satu Base Start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu. Posisi Base Start Dusun Tekelan berada pada BT LS dengan ketinggian m dpl. Di sini dapat diterangkan bahwa Dusun Tekelan berada di dalam enklave atau tanah milik yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, termasuk sejarah atau cerita rakyat tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. Selanjutnya jalur melewati kebun dan pemukiman penduduk menuju perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Watu Tadah. Dari awal

68 111 jalur ini terdapat pemandangan hutan Pinus yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak sambil menerangkan manfaat getah pohon Pinus sebagai bahan baku Gondorukem dan terpentin. Air terjun Krinjingan dapat dicapai setelah menempuh jarak m. Di lokasi ini dapat disampaikan proses siklus air dan tutupan hutan yang mempengaruhi debit air terjun ini. Mata air dan bak pengendali air yang berada di dekat air terjun Krinjingan dapat melengkapi penjelasan siklus air tersebut dan pemanfaatannya bagi penduduk Dusun Tekelan. Untuk menuju Dufan, jalur kembali ke percabangan di awal jalur ini dan berbelok ke kiri. Pakis galar (Cyathea contaminans) yang batangnya dimanfaatkan untuk media tanaman anggrek dapat ditemui pada jarak dari percabangan tersebut. Antanan atau Pegagan (Centella asiatica) yang bermanfaat untuk mengobati radang hati, campak, bronkhitis dan lain-lain juga terdapat di sekitar bagian (segmen) jalur ini. Pada jarak m dari percabangan terdapat pohon Kina (Chinchona sp.) yang kulitnya merupakan bahan baku obat malaria. Setelah berjalan m dari perbatasan sampailah di lokasi Dufan atau Wetan Pereng. Dufan merupakan lembah berpemandangan alam yang indah dengan sungai Kali Bacin yang terdapat di dasar lembah. Selanjutnya jalur memutar mengambil ke kanan pada pertigaan yang ada di sekitar Dufan. Selanjutnya setelah menempuh jarak m dari Dufan, jalur akan sampai di perbatasan antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan. Perjalanan dari Dufan menuju perbatasan kemungkinan akan diwarnai oleh suara burung Alap-alap (Falco sp.) yang statusnya dilindungi ini. Di antara Dufan dan batas kawasan dapat disampaikan manfaat Alang-alang (Imperata cylindrica) yang banyak tumbuh di sepanjang jalur tersebut sebagai pereda panas/demam. Tumbuhan Mendang yang biasanya merupakan jenis tumbuhan pionir setelah terjadinya kebakaran hutan banyak ditemui di sekitar batas kawasan. 3) Jalur TWA Tuk Songo - Air Terjun Krinjingan Jalur ini berawal di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng yang berada pada ketinggian m dpl. Dalam jarak 100 m akan melewati sebuah taman bermain yang berada di hutan tanaman Pinus. Disini dapat disampaikan bahwa hutan sekunder pada kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan jenisjenis seperti Pinus (Pinus merkusii) dan Puspa (Schima wallichii). Pohon-pohon

69 112 tersebut ditanam oleh Perum Perhutani yang merupakan pengelola kawasan ini sebelum berubah menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu, sehingga dapat diceritakan pula sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Selanjutnya jalur mendaki sekitar 400 m. Setelah itu jalur akan bertemu pertigaan yang menghubungkan TWA Tuk Songo dengan Dusun Cunthel dan Dusun Tekelan yang keduanya merupakan Base start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu. Untuk menuju Dusun Tekelan diambil arah ke ke kiri sedangkan ke Dusun Cunthel ke arah kanan. Sekitar 500 m jalur akan sampai pada perbatasan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan. Di sini disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan enklave atau pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Ketika melewati Dusun Tekelan dapat disampaikan asal muasal Dusun Tekelan. Selain itu jenis-jenis tanaman pertanian di jalur ini dapat dijadikan bahan interpretasi alam. Selanjutnya jalur melewati kebun dan pemukiman penduduk hingga kembali berada pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan Dufan. Pada jarak + 50 m terdapat percabangan jalur menuju air terjun Krinjingan (kiri) dan Dufan (kanan). Pemandangan hutan Pinus yang indah bisa dinikmati di sini, selain penyampaian informasi mengenai manfaat dari getah pohon Pinus (Pinus merkusii) sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin. Perjalanan menuju air terjun Krinjingan akan diwarnai oleh suara burung Alapalap (Falco sp.) yang terbang di sekitar jalur ini. Di sini dapat disampaikan mengenai status dan karakteristik dari burung pemangsa (raptor) ini. Setelah menempuh jarak m dari awal perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan Dufan, sampailah pada air terjun Krinjingan. Di lokasi ini dapat disampaikan siklus air yang mempengaruhi debit air terjun ini. Selain itu keberadaan mata air dan bak pengendali air di dekat air terjun Krinjingan dapat pula ditambahkan untuk menjelaskan siklus air tersebut dan manfaatnya bagi penduduk Dusun Tekelan. 4) Jalur TWA Tuk Songo - Watu Tadah Seperti jalur TWA Tuk Songo - Krinjingan, jalur ini juga berawal di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng yang berada pada ketinggian m dpl.

70 113 Sebuah taman bermain yang berada di hutan tanaman Pinus akan terlihat dalam jarak m. Disini dapat diceritakan sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Selain itu disampaikan juga jenis-jenis yang ditanam oleh Perum Perhutani seperti Pinus (Pinus merkusii) dan Puspa (Schima wallichii) yang membentuk hutan sekunder. Selanjutnya sekitar 400 m ke depan jalur mendaki dan bertemu pertigaan yang menghubungkan TWA Tuk Songo dengan Dusun Cunthel (ke arah kiri) dan Dusun Tekelan (ke arah kanan). Kedua dusun ini merupakan Base Start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu yang sudah banyak dikenal di kalangan pendaki gunung. Setelah berjalan m jalur akan sampai pada perbatasan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan. Di sini disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan enklave atau pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Disamping itu juga dapat diceritakan sejarah atau cerita rakyat tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. Selain itu jenis-jenis tanaman pertanian di jalur ini dapat dijadikan bahan interpretasi alam. Selanjutnya jalur sama dengan jalur pendakian Tekelan - Puncak dengan melewati kebun dan pemukiman penduduk hingga kembali berada pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Watu Tadah. Dari awal jalur ini hingga 300 m ke depan terdapat pemandangan hutan Pinus yang indah. Pada jarak m dengan ketinggian terdapat pohon Kina (Chinchona sp.) yang dapat dimanfaatkan untuk obat penyakit malaria. Sebelah kiri jalur pada jarak + terdapat sungai kecil yang hanya berair pada musim hujan namun lingkungannya cukup lembab meskipun pada musim kemarau. Dapat diceritakan di sini bahwa sebenarnya pada tempat ini dahulu terdapat banyak tumbuhan Kantung semar (Nepenthes sp.), yaitu spesies tumbuhan dilindungi Undang-undang yang mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya. Namun pada saat ini tumbuhan tersebut sulit ditemui karena telah habis diburu untuk dijadikan tanaman hias. Pada jarak m terdapat sarang burung Alap-alap (Falco sp.) di atas tebing sebelah kanan jalur. Di sini dapat disampaikan mengenai status dan karakteristik dari burung pemangsa (raptor) ini. Pemandangan ke arah atas dari titik ini juga menarik. Setelah menempuh jarak m dari awal perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu

71 114 sampailah di air terjun Watu Tadah yang tersembunyi dan dikelilingi tebing. Di sini juga dapat diceritakan peristiwa meninggalnya seorang pendaki yang tersesat dan baru di ketemukan beberapa minggu setelah hilang di sekitar lingkungan air terjun ini. 5) Jalur TWA - Dufan Jalur ini sama dengan jalur TWA - Krinjingan hingga sampai pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan Dufan. Namun dari percabangan yang berada di dekat perbatasan tersebut diambil jalur ke kanan untuk menuju lokasi Dufan. Di sini tersaji pemandangan hutan Pinus yang indah. Informasi mengenai manfaat dari getah pohon Pinus (Pinus merkusii) sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin dapat disampaikan di sini. Pada jarak dari perbatasan terdapat Pakis Galar (Cyathea contaminans). Batang jenis pohon ini banyak dimanfaatkan untuk media tanaman anggrek. Selain itu terdapat pula Antanan atau Pegagan (Centella asiatica) yang bermanfaat untuk mengobati radang hati, campak, bronkhitis dan lain-lain. Pohon Kina yang kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat malaria dapat ditemui pada jarak m dari perbatasan. Lokasi Dufan atau Wetan Pereng setelah berjalan m dari perbatasan. Di sini terdapat lembah dengan pemandangan alam yang indah. Selain itu pada sungai Kali Bacin yang terdapat di dasar lembah dapat disampaikan informasi mengenai siklus air. Selanjutnya perjalanan diteruskan dengan mengambil jalur ke kanan (memutar) pada pertigaan yang ada di lingkungan Dufan ini. Jalur akan sampai di perbatasan antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan setelah berjalan m dari Dufan. Selama menempuh jarak tersebut dapat disampaikan manfaat Alang-alang (Imperata cylindrica) yang banyak tumbuh di sepanjang jalur tersebut sebagai pereda panas/demam. Pada perbatasan akan banyak dijumpai tumbuhan Mendang yang biasanya merupakan jenis tumbuhan pionir setelah terjadinya kebakaran hutan. Perjalanan dari Dufan menuju perbatasan juga diwarnai oleh suara burung Alap-alap (Falco sp.) yang terbang di sekitar jalur ini, sehingga dapat disampaikan mengenai karakteristik dari burung yang statusnya dilindungi ini. Gambar 50 dan 51 menunjukkan beberapa jalur Interpretasi Alam yang berada dalam wilayah Seksi Pengelolaan I Taman Nasional Gunung Merbabu.

72 115

73 116

74 117 6) Jalur Selo - Puncak Jalur ini dimulai dari pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang berada di Desa Tarubatang yang berada pada ketinggian m dpl. Di lingkungan pintu masuk ini terdapat areal yang biasanya digunakan untuk berkemah (Camping ground). Ekosistem di awal jalur merupakan Hutan Sekunder dengan jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum Perhutani, yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi sejarah kawasan konservasi ini sejak sebelum ditunjuk sampai menjadi taman nasional. Selain itu dapat pula disampaikan manfaat getah pohon Pinus yang cukup dominan di areal ini sebagai bahan Gondorukem dan Terpentin yang merupakan campuran berbagai zat kimia yang berguna bagi manusia, salah satunya sebagai campuran cat. Pada jarak 400 m (ketinggian m dpl) dapat ditemui sebatang pohon Bintami (Podocarpus imbricata) yang sudah berumur 80 tahun. Di sini dapat disampaikan bahwa jenis pohon ini banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Pada jarak m tanaman Puspa padat dan dominan sehingga dapat diceritakan manfaat jenis pohon ini sebagai pakan satwa (daun mudanya) sekaligus menjadi habitat berbagai jenis burung yang dapat dilihat di sini. Selain itu terdapat pula tumbuhan bawah seperti Cakar Ayam (Selaginella plana) yang bermanfaat sebagai obat batuk, penurun panas dan pencuci darah. Setelah menempuh jarak 800 m akan dijumpai pertigaan Pitikan, dimana jalur ke kiri akan menuju puncak, sedangkan jalur ke kanan menuju Surga Burung dan daerah Jurang Warung. Pohon Kina (Chinchona sp.) yang terkenal sebagai obat malaria dapat ditemui setelah berjalan sekitar 1000 m. Pada lokasi yang berada pada ketinggian m dpl ini hutan sekunder mulai berkurang dan berangsur digantikan dengan hutan alam pegunungan. Hal ini bisa digunakan untuk menceritakan pengaruh ketinggian terhadap ekosistem hutan dan karakteristik pohon-pohonnya. Pada jarak 1200 m terdapat pohon Kayumanis (Cinnamommum sp.) dan Kerangenan (nama latinnya tidak teridentifikasi). Pohon Kayumanis kulitnya biasa digunakan sebagai penyedap masakan, sedangkan daun pohon Kerangenan dapat digunakan untuk penghangat badan dengan cara meremas dan menggosokkannya ke tubuh.

75 118 Selanjutnya Pos I Dok Malang yang berada di ketinggian m dpl dapat ditemui setelah berjalan sekitar 1700 m. Pos pendakian yang berupa tanah terbuka tanpa bangunan ini dapat digunakan untuk beristirahat sejenak. Sekitar 100 m dari pos ini terdapat percabangan yang merupakan jalan pintas menuju Pos III Watu Tulis, namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah. Jalan pintas yang sudah tidak aktif (mati) ini merupakan jalur interpretasi alam Selo II. Berjalan 200 m dari Pos I Dok Malang jalur sedikit menurun, di sini pohon-pohon ditumbuhi berbagai jenis lumut yang menunjukkan daerah ini mempunyai kelembaban yang lebih tinggi. Pada jarak 1900 m terdapat daerah yang mengalami kebakaran hutan pada tahun 2006 sehingga kondisi hutannya terbuka. Namun kondisi ini dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan pentingnya mencegah kebakaran hutan dan proses suksesi yang berlangsung disini dapat menjadi bahan untuk menjelaskan proses alamiah tersebut. Pada jarak 2000 m terdapat sebuah alur. Alur ini disebabkan oleh bencana longsor yang terjadi di awal tahun 2007 yang aliran lumpurnya mencapai pemukiman penduduk dan meminta korban jiwa. Hal ini bisa menjadi bahan diskusi mengenai pentingnya melestarikan hutan untuk mencegah terjadinya bencana longsor. Tumbuhan Kantung semar (Nepenthes sp.) dapat dijumpai pada jalur ini setelah menempuh jarak m dari awal jalur dan pada ketinggian m dpl. Kantung semar yang disebut penduduk Desa Tarubatang dengan nama Kala Pecika merupakan flora yang unik, karena mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya. Uniknya lagi, penduduk setempat mempercayai air di dalam kantung dapat menyembuhkan sakit mata. Selain itu dapat disampaikan pula bahwa tumbuhan ini statusnya dilindungi sehingga hanya hasil budidaya saja yang boleh diperdagangkan. Selanjutnya pada jarak m ketinggian 2274 m dpl perjalanan akan sampai di Pos II bayangan Dok Cilik. Disebut pos bayangan karena sebenarnya pos ini bukanlah pos pendakian yang resmi. Disini dapat diceritakan bahwa pos bayangan ini terbentuk karena jarak antara Pos I Dok Cilik dan Pos II Pandean terlalu jauh ( m) sehingga pendaki memerlukan sebuah pos diantara keduanya untuk beristirahat. Bila sedang beruntung, kawanan Lutung kelabu (Presbytis fredericae) atau Rekrekan yang merupakan primata endemik Jawa Tengah dapat dilihat sedang berkumpul pada jarak 2400 m dan ketinggian

76 m dpl, pada posisi tebing punggungan sebelah kanan jalur pendakian Selo - puncak. Satwa ini statusnya juga dilindungi perundang-undangan. Pada jarak m dapat dijumpai pohon Jurang atau Urang-urangan (Villebrunea rubescens) yang bunganya menjadi makanan burung Katik dan Sesap madu. Pada ketinggian m sampailah di Pos II Pandean. Lokasi pos yang berada pada ketinggian m vegetasinya merupakan peralihan antara hutan hujan pegunungan dan hutan hujan sub alpin, sehingga kondisinya agak terbuka dengan pohon-pohon yang tumbuh sporadis. Setelah berjalan sekitar 3000 m, pada ketinggian m dpl mulai tumbuh Edelweis (Anaphalis javanica). Flora ini merupakan flora khas pegunungan yang dikenal dengan bunganya yang abadi. Selanjutnya pada jarak m ketinggian m dapat ditemui Pos III Watu Tulis. Pada pos pendakian tanpa bangunan ini terdapat sebuah batu yang banyak bertuliskan coretan para pendaki. Di sini dapat disampaikan himbauan agar tidak melakukan tindakan vandalisme yang mengurangi atau merusak keindahan alam seperti coretan pada batu dan sarana prasarana pendakian maupun pahatan pada batang-batang pohon. Pos III ini juga sering disebut sebagai Bukit Penyesalan karena banyak pendaki yang menyesal mengira bukit ini sudah dekat dengan puncak Gunung Merbabu. Di lokasi inilah bertemu jalur pendakian Selo - Puncak dengan jalur non pendakian Selo II. Pada jarak m ketinggian m terdapat nisan memori Hery Susanto, seorang pendaki gunung dari Surabaya yang meninggal dunia pada tanggal 23 Februari Kecelakaan pendakian yang dialami almarhum dapat diceritakan disini. Mulai jarak m dan ketinggian m dpl terdapat ekosistem sabana yang di kalangan pendaki yang biasa mendaki gunung ini disebut Sabana I dan Sabana II. Sabana I dipisahkan oleh sebuah bukit dengan Sabana II (pada jarak m dan ketinggian m dpl). Sabana yang indah ini didominasi rumput Bubarjaran. Pemandangan Gunung Merapi yang megah dapat dilihat dari lokasi ini. Jalur yang melewati sabana panjangnya mencapai m. Puncak Triangulasi yang berada pada jarak m ketinggian m dpl, dapat dicapai sekitar 1 jam dari Sabana II dengan perjuangan yang berat karena medan jalur yang terjal. Sekitar 225 m dari Puncak Triangulasi atau jarak total m sampailah pada Puncak Kenteng Songo yang berada pada

77 120 ketinggian m dpl. Dari kedua puncak ini dapat dilihat pemandangan alam secara menyeluruh tanpa halangan. Di sini dapat diceritakan mengenai berbagai pendapat yang berbeda mengenai batu berlubang (kenteng) di Puncak Kenteng Songo. Selain itu dapat pula dijelaskan mengenai tumbuhan Cantigi atau Sentigi atau Manis rejo yang mempunyai nama ilmiah Vaccinium varingifolium yang merupakan tumbuhan khas pegunungan, tahan terhadap belerang sehingga lazim ditemui di dekat kawah dan solfatara. 7) Jalur Selo II Sejak awal jalur (pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu) hingga ke Pos III Watu Tulis, interpretasi alam di jalur ini sama dengan interpretasi alam jalur Selo - Puncak. Pada Pos III Watu Tulis jalur ini terpisah dari jalur Selo - puncak dengan mengambil jalur ke kiri (arah barat). Berjalan sekitar dari Watu Tulis akan dijumpai areal yang mengalami kebakaran hutan, sehingga kondisinya terbuka, banyak batang pohon yang menghitam menjadi arang dan mati walaupun proses suksesi yang ditandai dengan tumbuhnya jenis-jenis tumbuhan bawah seperti Sapen dan Mendang dan berbagai jenis rumput. Selain itu banyak ditemui tumbuhan perdu yang dinamakan Arben. Arben mempunyai buah yang mirip buah Arbei (sehingga yang berarti seperti Arbei ) yang dapat dimakan, dengan rasa manis keasaman. Jalur ini akan melewati areal tersebut sepanjang m. Setelah itu jalur akan menempuh medan yang penuh dengan Alang-alang (Imperata cylindrica) sepanjang m. Akar tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai pereda panas/demam. Kemudian jalur melewati hutan sekunder yang tidak terbakar. Setelah m jalur akan bertemu kembali dengan jalur pendakian Selo - puncak. 8) Jalur Selo III Sejak awal jalur (pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu) hingga ke pertigaan Pitikan interpretasi alam di jalur ini sama dengan interpretasi alam jalur Selo Puncak. Namun mulai dari pertigaan tersebut jalur berbelok ke kanan menuju Surga Burung yang berjarak sekitar 100 m. Pada lokasi ini dapat dijumpai berbagai jenis burung seperti Pleci atau Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Cikrak daun (Philloscopus erivirgatus), Sikatan belang (Ficedula westermanni), Sepah gunung (Pericrocotus miniatus), Ceret gunung (Cettia volcania), Bentet (Lanius schach), Sepah hutan (Pericrocotus flameus), Kipasan biasa (Rhipidura javanica), Kipasan ekor merah (R. phoenicura), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Sikatan ninon (Eumyas indigo), Gelatik batu (Parus major), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Cikrak kutub (Philloscopus

78 121 borealis), Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan lain-lain. Pada jarak 900 m ketinggian m dpl jalur akan berada di tepi jurang yang lembab. Salah satu tumbuhan yang ada adalah Pakis Galar (Cyathea contaminans) yang batangnya biasa digunakan sebagai media tanaman anggrek. Tidak jauh akan terdapat pertigaan, jalur yang lurus menuju Desa Surodadi sedangkan jalur yang ke kiri menuju hutan Pinus yang dapat dijangkau setelah 200 m. Di hutan Pinus yang merupakan tanaman tahun 1979 ini juga dapat dilihat berbagai jenis burung, salah satunya Sepah hutan (Pericrocotus flameus) yang biasa terbang berkelompok dari pohon ke pohon. Di sini juga dapat disampaikan manfaat dari getah pohon Pinus sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin. Selanjutnya jalur menurun dan melewati pohon-pohon dari jenis Akasia dekuren pada jarak hingga m. Pada Setelah menempuh jalur sepanjang m akan dijumpai pal batas yang berjumlah 2 buah. Di sini dapat diceritakan bahwa pal batas berfungsi sebagai tanda batas antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik masyarakat. Adapun bentuk dari 2 pal yang berbeda tersebut menunjukkan waktu pemasangannya, dimana pal yang berbentuk persegi dipasang lebih dahulu pada masa awal pengelolaan Perhutani, sedangkan pal yang berbentuk bulat merupakan pal yang terbaru. Setelah menempuh jarak m sampailah pada lembah dengan sungai kecil di dasarnya. Meskipun sungai ini musiman namun suasana lembab cukup terasa dengan banyaknya tumbuhan sejenis suplir dan Pakis Galar. Sekitar 100 dari lembah jalur bertemu dengan jalan setapak yang menghubungkan Desa Tarubatang dengan Desa Surodadi. Untuk kembali ke Desa Tarubatang, jalur menuju ke arah kanan. Pada jarak m ketinggian m dpl terdapat mata air. Di sini dapat disampaikan siklus air dan peranan hutan dalam menyimpan air hujan. Di sekitar mata air ini terdapat nisan memori mahasiswa UNS yang meninggal pada tahun Kronologi kecelakaan yang terjadi juga dapat diceritakan. Selanjutnya jalur berakhir di pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu setelah menempuh jarak m. Gambar 52 menunjukkan peta jalur Interpretasi Alam Selo - Puncak, sedangkan Gambar 53 menunjukkan peta jalur Interpretasi Alam Selo II dan Selo III yang berada dalam wilayah Seksi Pengelolaan II Taman Nasional Gunung Merbabu.

79 122

80 123

81 124 c. Papan informasi dan pal-pal interpretasi Papan informasi yang berupa papan penunjuk arah, papan nama, papan informasi interpretasi. Papan penunjuk arah terutama perlu dipasang pada awal jalur dan pertigaan-pertigaan jalur yang bertujuan untuk mengarahkan pengunjung pada jalur interpretasi yang diikuti. Papan nama dipasang pada tempat-tempat tertentu seperti air terjun, sungai, pos pendakian dan pada lokasi tumbuhan tertentu untuk menjelaskan nama, nama daerah, nama ilmiah, keistimewaan serta manfaat tumbuhan yang bersangkutan. Papan informasi interpretasi alam ditempatkan pada awal jalur maupun lokasi-lokasi tertentu untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan interpretasi seperti nama jalur, peta jalur, waktu tempuh dan materi interpretasi alam yang ada di masingmasing jalur. Sedangkan pal-pal interpretasi sedapat mungkin dibuat sepanjang jalur dengan jarak antar masing-masing jalur sejauh 100 m. Pal-pal interpretasi ini berguna untuk membantu pengunjung mengetahui lokasi suatu materi interpretasi berdasarkan buku panduan interpretasi alam yang disediakan. Papan informasi dan pal interpretasi diberi warna berbeda untuk tiap jalur. d. Wisma Bina Cinta Alam Untuk dapat mewujudkan fungsinya sebagai pengubah alam pikiran pengunjung dari suasana luar ke alam lingkungan kawasan yang dikunjungi, maka Wisma Bina Cinta Alam harus menyajikan materi mengenai kondisi dan segala sesuatu yang ada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, termasuk kegiatan interpretasi alam. Selain itu disajikan pula materi mengenai taman nasional-taman nasional atau kawasan konservasi lain yang ada di seluruh Indonesia, serta program-program konservasi yang perlu disebarluaskan. Materi yang perlu disediakan dalam Wisma Bina Cinta Alam ini antara lain : - Peta kawasan TN Gunung Merbabu - Peta topografi dan vegetasi kawasan TN Gunung Merbabu - Peta lokasi sarana dan prasarana di kawasan TN Gunung Merbabu - Peta jalur interpretasi alam TN Gunung Merbabu - Maket kawasan TN Gunung Merbabu - Panil sejarah TN Gunung Merbabu - Panil foto-foto potensi TN Gunung Merbabu - Panil foto-foto kegiatan TN Gunung Merbabu - Peta kawasan konservasi di seluruh Indonesia

82 125 - Panil foto-foto kawasan konservasi di seluruh Indonesia - LCD projector dan film dokumentasi mengenai TN Gunung Merbabu dan kawasan konservasi lain di seluruh Indonesia - Panil tata tertib pengunjung - Pustaka - Brosur mengenai TN Gunung Merbabu - Brosur mengenai kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu - Buku panduan kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu. e. Pusat informasi Untuk dapat mewujudkan fungsinya sebagai pusat data dan informasi mengenai kawasan yang dikunjungi, maka pusat informasi harus menyajikan seluruh materi mengenai kondisi, program interpretasi dan segala sesuatu yang terjadi dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Selain itu pusat informasi juga berfungsi sebagai tempat pendaftaran ulang dan pemeriksaan barang bawaan para pendaki Taman Nasional Gunung Merbabu. Beberapa hal yang perlu disediakan dalam pusat informasi ini antara lain : - Peta kawasan TN Gunung Merbabu - Peta topografi dan vegetasi kawasan TN Gunung Merbabu - Peta lokasi sarana dan prasarana di kawasan TN Gunung Merbabu - Peta jalur interpretasi alam TN Gunung Merbabu - Maket kawasan TN Gunung Merbabu - Panil sejarah TN Gunung Merbabu - Panil foto-foto potensi TN Gunung Merbabu - Panil foto-foto kegiatan TN Gunung Merbabu - Panil tata tertib pengunjung - Brosur mengenai TN Gunung Merbabu - Brosur mengenai kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu - Buku panduan kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu - Tempat pendaftaran ulang sekaligus pemeriksaan barang bawaan pendaki. Pusat informasi perlu dibangun di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng dan pintu masuk Desa Tarubatang Rencana Kegiatan Interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dilakukan dengan menyusun beberapa bentuk kegiatan. Tabel 39 menyajikan bentukbentuk kegiatan interpretasi alam tersebut.

83 126 Tabel 39 Rencana kegiatan Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu No. Program Interpretasi Materi Yang Disiapkan 1. Kemah Konservasi - Pengenalan peraturan dan tata tertib - Pengenalan proses-proses penyangga kehidupan - Pengenalan konsepsi KSDAH & E - Sejarah konservasi di dunia dan di Indonesia - Sejarah TN Gunung Merbabu - Pengenalan potensi flora fauna di jalur interpretasi TN G. Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Pengenalan cara-cara survival di hutan 2. Pengenalan dan pengamatan jenis flora fauna, birdwatching - Sejarah penyebaran jenis flora fauna di dunia dan di Indonesia - Pengenalan tipe-tipe ekosistem, potensi flora fauna di jalur interpretasi TN Gunung Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Pengenalan perilaku satwa - Identifikasi dan klasifikasi jenis flora fauna 3. Lintas alam, pendakian - Pengenalan peraturan dan tata tertib pendakian - Sejarah TN Gunung Merbabu - Pengenalan proses-proses penyangga kehidupan di jalur interpretasi TN Gunung Merbabu - Pengenalan potensi flora fauna di jalur interpretasi TN G. Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Mitos dan sejarah Gunung Merbabu Klasifikasi Jalur Interpretasi Alam Berdasarkan Kelas Umur Peserta Untuk membantu calon peserta kegiatan Interpretasi Alam dalam memilih jalur interpretasi berdasarkan kemampuan fisik mereka, pada kedelapan jalur tersebut dilakukan klasifikasi jalur berdasarkan kelompok umur peserta (Tabel 40). Tabel 40 Klasifikasi jalur Interpretasi Alam berdasarkan KU pengguna No. Nama Jalur Kisaran Jarak Durasi Tempuh Kemiringan Kelompok Umur 1. Selo - Puncak 420 menit m Terjal KU 2, 3 2. Selo II 240 menit m Kombinasi KU 2, 3 3. Selo III 210 menit m Kombinasi KU 1, 2, 3 4. Tekelan - Puncak 420 menit m Terjal KU 2, 3 5. Tekelan IV 120 menit m Kombinasi KU 1, 2, 3, 4 6. TWA - Krinjingan 120 menit m Kombinasi KU 1, 2, 3, 4 7. TWA - Watu Tadah 120 menit m Kombinasi KU 1, 2, 3, 4 8. TWA - Dufan 120 menit m Kombinasi KU 1, 2, 3, 4 Keterangan : KU 1 : < 15 tahun KU 2 : tahun KU 3 : tahun KU 4 : > 35 tahun Gambar 54 menunjukkan klasifikasi jalur interpretasi alam berdasarkan kelompok umur peserta pada peta Taman Nasional Gunung Merbabu.

84 127 Gambar 54 Peta pengelompokan jalur Interpretasi Alam berdasarkan Kelompok Umur peserta

Perencanaan Jalur Interpretasi Alam Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Perencanaan Jalur Interpretasi Alam Menggunakan Sistem Informasi Geografis Perencanaan Jalur Interpretasi Alam Menggunakan Sistem Informasi Geografis Planning Nature Interpretation Tracks by the Use of Geographic Information System Tri Satyatama 1*, EKS Harini Muntasib 2, dan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta DAFTAR PUSTAKA [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005a. Inventarisasi Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali. Semarang : Balai Konservasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

IV. KEADAAN UMUM LOKASI IV. KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu Kawasan hutan Gunung Merbabu sebelum menjadi kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional, merupakan Hutan Lindung di lereng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Lembah Manding, hutan pinus, kearifan lokal, dan briefing di basecamp sebelum

BAB IV KESIMPULAN. Lembah Manding, hutan pinus, kearifan lokal, dan briefing di basecamp sebelum BAB IV KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian pada komponen daya tarik wisata jalur pendakian Gunung Merbabu via Dusun Suwanting yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat tiga

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan. 23 1. Potensi Wisata Gunung Sulah Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Lokasi : Desa Seneng, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat RPH Maribaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peraturan Pendakian

Lampiran 1. Peraturan Pendakian 93 Lampiran 1. Peraturan Pendakian 1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diberlakukan bagi pendaki gunung

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi 05 33 LS dan 105 15 BT. Pantai Sari Ringgung termasuk dalam wilayah administrasi Desa

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung 53 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung 1. Visi dan Misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung Visi dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Keadaan Fisik Fungsi

KONDISI UMUM Keadaan Fisik Fungsi 19 KONDISI UMUM Keadaan Fisik Kebun Raya Cibodas (KRC) merupakan salah satu kebun raya yang terdapat di Indonesia. KRC terletak di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pintu gerbang

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 PEMBUATAN PETA JALUR PENDAKIAN GUNUNG MERBABU Andriyana Lailissaum¹ ), Ir. Sutomo Kahar, M.si 2), Ir. Haniah 3) Abstrak Mendaki gunung adalah kegiatan yang cukup berbahaya. Tidak sedikit orang yang telah

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

persepsi pengunjung yang telah dibahas pada bab sebelumnya. VIII. PROSPEK PENGEMBANGAN WISATA TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR

persepsi pengunjung yang telah dibahas pada bab sebelumnya. VIII. PROSPEK PENGEMBANGAN WISATA TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 17.270 kunjungan, sehingga dari hasil tersebut didapat nilai ekonomi TWA Gunung Pancar sebesar Rp 5.142.622.222,00. Nilai surplus konsumen yang besar dikatakan sebagai indikator kemampuan pengunjung yang

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

ZONASI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

ZONASI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU ZONASI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU Dokumen Revisi Zonasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU Boyolali

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17 4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Umum Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) dengan luas 5725 ha, secara geografis terletak pada 7º 27 13 LS dan 110º 26 22 BT, dengan ketinggian ± 3.142

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Taman Wisata Alam Gunung Pancar mempunyai luas 447,50 hektar.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Taman Wisata Alam Gunung Pancar mempunyai luas 447,50 hektar. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Taman Wisata Alam Gunung Pancar mempunyai luas 447,50 hektar. Secara administrasi pemerintahan, taman wisata alam ini terletak di wilayah Desa Karang Tengah,

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU SEBAGAI UPAYA KONSERVASI REKREKAN (Presbytis fredericae)

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU SEBAGAI UPAYA KONSERVASI REKREKAN (Presbytis fredericae) PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU SEBAGAI UPAYA KONSERVASI REKREKAN (Presbytis fredericae) Saeful Hidayat*, Sri Budiastuti**, ** *Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

3 METODE Jalur Interpretasi

3 METODE Jalur Interpretasi 15 2.3.5 Jalur Interpretasi Cara terbaik dalam menentukan panjang jalur interpretasi adalah berdasarkan pada waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah lapang, jarak aktual dan orang yang berjalan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wana Wisata Kawah Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata Kawah Putih

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR Oleh : BETHA PATRIA INKANTRIANI L2D 000 402 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 15 III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Kondisi Geofisik 1. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas

Lebih terperinci

2015 PESONA ALAM GUNUNG BURANGRANG SEBAGAI OBJEK GAGASAN BUKU FOTOGRAFI ESAI

2015 PESONA ALAM GUNUNG BURANGRANG SEBAGAI OBJEK GAGASAN BUKU FOTOGRAFI ESAI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penciptaan Indonesia adalah negara yang tidak hanya subur dan indah, melainkan juga kaya dengan berbagai sumber daya alam, baik di laut dan udara maupun darat.

Lebih terperinci

Kegiatan Ekonomi. Berdasarkan Potensi Alam

Kegiatan Ekonomi. Berdasarkan Potensi Alam Bab 7 Kegiatan Ekonomi Berdasarkan Potensi Alam Bab ini akan membahas tentang kegiatan ekonomi yang didasarkan pada potensi alam. Pelajarilah dengan saksama agar kamu dapat mengenal aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

commit to user 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

commit to user 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah kerja Resort Semuncar Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kopeng yang secara administrasi berada di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Gunung Tampomas terletak di antara 6' 42' LS sampai dengan 6" 48' LS dan 107" 53' BT sampai dengan 108' 00' BT, atau di arah Timur laut Kota Sumedang dan merupakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Tetapi pemandangan sekitar yang indah dan udara yang begitu sejuk membuat para wisatawan tak jemu dengan perjalanan yang cukup menguras tenaga.

Tetapi pemandangan sekitar yang indah dan udara yang begitu sejuk membuat para wisatawan tak jemu dengan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Wisata Alam merupakan salah satu pilihan wisata yang menarik bagi para wisatawan, baik wisatawan asing maupun wisatawan lokal. Bagi sebagian orang, wisata alam bisa di jadikan sebagai alternatif untuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas hektar. Desa yang terdiri

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas hektar. Desa yang terdiri 27 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Biofisik dan Tata Guna Lahan Desa Margasari terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas 1.702

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan di

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan pariwisata merupakan salah satu sektor tumpuan yang diharapkan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan di sektor pariwista dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Anaphalis spp. merupakan salah satu jenis tumbuhan khas daerah pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia Tenggara termasuk New Guinea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan kaya akan potensi sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan kaya akan potensi sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan kaya akan potensi sumber daya alam. Dengan demikian, Indonesia memiliki potensi kepariwisataan yang tinggi, baik

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU MELALUI JALUR SELO, BOYOLALI, JAWA TENGAH

INVENTARISASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU MELALUI JALUR SELO, BOYOLALI, JAWA TENGAH INVENTARISASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU MELALUI JALUR SELO, BOYOLALI, JAWA TENGAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah merupakan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengembangan pariwisata menduduki posisi yang sangat penting setelah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengembangan pariwisata menduduki posisi yang sangat penting setelah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan pariwisata menduduki posisi yang sangat penting setelah minyak bumi dan gas. Kepariwisataan nasional sudah berkembang sedemikian rupa dan merupakan bagian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuesioner untuk Pengunjung Kawasan Danau Linting

Lampiran 1. Kuesioner untuk Pengunjung Kawasan Danau Linting Lampiran 1. Kuesioner untuk Pengunjung Kawasan Danau Linting No. Responden : Hari/Tanggal : A. Data Pribadi Responden. Nama : Umur : Jenis Kelamin : Perempuan / Lakilaki* Asal/tempat tinggal : Pendidikan

Lebih terperinci

KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Nomor Kode : Hari/Tanggal wawancara : Nama Responden : Jenis Kelamin : Tempat tinggal (Kabupaten/Kota)

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA KOPENG. Oleh : Galuh Kesumawardhana L2D

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA KOPENG. Oleh : Galuh Kesumawardhana L2D STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA KOPENG Oleh : Galuh Kesumawardhana L2D 098 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2004 ABSTRAK Pariwisata saat ini

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.

V. GAMBARAN UMUM. administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Potensi Desa/ Kelurahan (2007), Desa Tlekung secara administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Desa

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

Deskripsi KHDTK Aek Nauli Sumatera Utara

Deskripsi KHDTK Aek Nauli Sumatera Utara Deskripsi KHDTK Aek Nauli Sumatera Utara Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli merupakan salah satu KHDTK yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut-II/2005,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab 134 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan Taman Hutan Raya Pancoran Mas secara administratif terletak di Kota Depok, Jawa Barat. Luas Tahura Pancoran Mas berdasarkan hasil pengukuran

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT

PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT Disampaikan Pada Acara Kunjungan Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) I Bandung Ke Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia Pada Hari Sabtu Tanggal 5 Juli

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang bersedia mengeluarkan uang untuk mengisi waktu luang (leisure) dalam rangka menyenangkan diri

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PARAKASAK Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 14 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Administratif dan Geografis Secara geografis KHDTK Cikampek terletak di 06 0 25 00-06 0 25 48 LS dan 107 0 27 36-107 0 27 50 BT, kurang lebih 5 km sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan yaitu bulan Mei Agustus 2008. Tempat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Karakteristik, persepsi dan preferensi pengunjung didapat dari hasil survei lapang melalui kuisioner kepada 30 responden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luas daratan Indonesia hanya meliputi 1,32% dari seluruh luas daratan

BAB I PENDAHULUAN. Luas daratan Indonesia hanya meliputi 1,32% dari seluruh luas daratan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luas daratan Indonesia hanya meliputi 1,32% dari seluruh luas daratan bumi, namun World Conservation Monitoring Center yang bermarkas di Inggris menempatkan Indonesia

Lebih terperinci

STUD1 FtENCANA PENGELOLAAN LANSEIUP DI TAMAN WISATA ALAM BANTIMURUNG IUBUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN

STUD1 FtENCANA PENGELOLAAN LANSEIUP DI TAMAN WISATA ALAM BANTIMURUNG IUBUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN STUD1 FtENCANA PENGELOLAAN LANSEIUP DI TAMAN WISATA ALAM BANTIMURUNG IUBUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN Oleh : NURFAIDA A 29.0714 JURUSAN BUD1 DAYA PERTANIAN FAIWLTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 4-

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung. Kabupaten Lampung Tengah terletak pada

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung. Kabupaten Lampung Tengah terletak pada IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Lampung. Kabupaten Lampung Tengah terletak pada 104 35-105

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian. IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada jalur pendakian Gunung Tambora wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama

Lebih terperinci

REGISTER KERUSAKAN HUTAN AKIBAT PENCURIAN / PENEBANGAN LIAR

REGISTER KERUSAKAN HUTAN AKIBAT PENCURIAN / PENEBANGAN LIAR REG A : NO REGISTER : REGISTER KERUSAKAN HUTAN AKIBAT PENCURIAN / PENEBANGAN LIAR Wilayah Kerja : Seksi... Resort... Koordinat : S E Waktu Kejadian : Tanggal 2 0 1 2 Jam Jenis Pohon : Diameter Tunggak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak ragam tempat wisata yang sangat indah. Tidak kalah menarik dengan tempat wisata yang berada diluar negeri. Mulai dari pantai, pegunungan,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Tuban Kabupaten Tuban merupakan kabupaten dari 29 kabupaten dan 9 kota di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Tuban berada di jalur pantai utara

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci