4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 20 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Aspek Pengamatan Agronomi Indigofera sp Produksi Bahan Kering Interval dan intensitas pemotongan dapat menurunkan produksi dari hijauan legum pohon (Karim et al. 1991). Hasil pengamatan terhadap produksi bahan kering Indigofera sp memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap produksi bahan kering tanaman, semakin meningkat interval intensitas pemotongan diikuti dengan semakin meningkatnya produksi bahan kering tanaman seperti ditunjukan pada Tabel 2. Perlakuan intensitas pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) pada setiap perlakuan terhadap produksi bahan kering tanaman. Hasil pada perlakuan interval 60 hari dan intensitas 1.5 m (P2T3) pemotongan produksi bahan kering sebesar ton/ha/thn tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan perlakuan interval 90 hari dan intensitas 1.5 m pemotongan (P3T3) sebesar ton/ha/thn. Perlakuan dengan interval 30 hari dan intensitas pemotongan 0.5 m (P1T1) memiliki produksi bahan kering Indigofera sp terendah yaitu ton/ha/thn seperti ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2 Rataan produksi bahan kering, jumlah cabang, rasio daun/batang tanaman Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan Produksi BK P ±0.27 f 17.40±0.74 e 20.14±1.45 d 16.26±0.82 (ton/ha/thn) P ±0.71 f 20.69±0.87 d 31.23±2.06 a 21.18±1.21 P ±1.02 c 28.94±1.68 b 33.25±1.11 a 28.33±1.27 Rataan 15.23± ± ±1.54 Jumlah cabang P1 15±1.15 d 19±1.76 c 24±3.51 b 19±2.14 P2 15±1.00 d 20±1.35 c 28±2.36 a 21±4.71 P3 15±0.69 d 20±1.68 c 28±1.50 a 21±1.29 Rataan 15± ± ±2.45 Rasio daun /batang P1 2.62±0.03 a 2.63±0.05 a 2.60±0.03 a 2.61±0.03 P2 1.67±0.03 b 1.73±0.06 b 1.74±0.04 b 1.71±0.04 P3 0.64±0.03 d 0.62±0.02 d 0.72±0.03 c 0.66±0.02 Rataan 1.64± ± ±0.03 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

2 21 Hasil Produksi bahan kering Indigofera sp tertinggi pada penelitian ini adalah ton/ha/thn (P3T3). Hasil ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi Gliricidia maculata yang dilaporkan Van Hao (2001) sebesar 23 ton/ha/thn. Rahman (2002) menyatakan bahwa interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi segar dan bahan kering hijauan. Dengan semakin lamanya interval pemotongan memungkinkan tanaman untuk meningkatkan produksi tajuk dimana untuk interval pemotongan 90 hari tanaman masih mampu untuk berproduksi tinggi. Meningkatnya produksi tajuk tanaman dengan bertambahnya interval pemotongan dan intensitas pemotongan, disebabkan tanaman memperoleh kesempatan yang lebih lama untuk mengembangkan perakarannya serta mengakumulasikan hasil fotosintesis ke dalam sisitem perakaran tersebut. Setelah pemotongan cadangan karbohidrat yang terdapat pada batang dan akar segera terpakai untuk dirombak menjadi energi bagi pertumbuhan tunas-tunas baru, sehingga memungkinkan tanaman tersebut untuk dengan cepat berproduksi menghasilkan tunas-tunas tanaman yang baru dan menghasilkan produksi tanaman yang tinggi Jumlah Cabang Hasil sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap jumlah cabang Indigofera sp. Interaksi antara interval dengan intensitas pemotongan menghasilkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada interval 90 hari dan intensitas 1.5 m (P3T3) sebanyak 28 cabang berbeda nyata (P<0.05) jumlah cabang pada interval 30 hari dan intensitas 0.5 m (P3T1) terendah sebanyak 15 cabang seperti ditunjukan pada Tabel 2. Perlakuan interval pemotongan tidak memberikan perbedan nyata (P>0.05) terhadap jumlah cabang pada setiap perlakuan. Terjadi peningkatan jumlah cabang tanaman dengan tingginya intensitas pemotongan pada masing-masing perlakuan intensitas pemotongan. Hal ini menunjukan bahwa semakin meningkatnya interval dan intensitas pemotongan menyebabkan semakin banyak jumlah cabang tanaman dan diikuti dengan meningkatnya produksi bahan kering tanaman seperti terlihat pada Tabel

3 22 2. Cadangan energi pada tanaman disediakan untuk pertumbuhan kembali (regrowth), sedangkan untuk kebutuhan perkembangan tanaman diperoleh dari sumber lain terutama dari hasil fotosintesis. Selanjutnya Anis (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan kembali (regrowth) terutama ditopang oleh pelepasan karbohidrat cadangan pada tanaman. Sehingga semakin banyak cadangan energi pada tanaman pertumbuhan jumlah cabang semakin tinggi. Sejalan dengan semakin banyak jumlah cabang tanaman Indigofera sp diikuti dengan tingginya produksi bahan kering Indigofera sp pada setiap taraf perlakuan intensitas pemotongan, hal ini disebabkan karena banyaknya cadangan energi pada tanaman sehingga cadangan karbohidrat yang terdapat pada akar dan batang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk produksi daun dan cabang tanaman. Sehingga semakin tinggi intensitas pemotongan, semakin banyak jumlah cabang yang dihasilkan oleh tanaman tersebut Rasio Daun/Batang Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap rasio daun/batang ditunjukan pada Tabel 2. Interaksi perlakuan interval dan intensitas pemotongan memiliki rasio daun/batang tertinggi, terdapat pada perlakuan interval 30 hari dan intensitas pemotongan 1 m (P1T2) sebesar 2.63 berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval 90 hari dan intensitas pemotongan 1 m (P3T2) memiliki rasio daun/batang yang terendah sebesar 0.62 berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 2). Terlihat terjadi penurunan jumlah rasio daun/batang seiring dengan meningkatnya interval pemotongan Indigofera sp. Rasio daun/batang Indigofera sp tidak berbeda nyata untuk semua taraf intensitas. Untuk tanaman Indigofera sp tidak terdapat perbedaan rasio daun/batang antara intensitas pemotongan 0.5 m, 1 m dan 1.5 m (Tabel 2). Hal ini menunjukan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan menurunkan rasio daun/batang, semakin meningkat interval dan intensitas pemotongan menyebabkan semakin menurun rasio daun/batang tanaman

4 23 Indigofera sp, hal tersebut berbanding terbalik dengan produksi dan jumlah cabang Indigofera sp, semakin meningkat interval dan intensitas pemotongan menghasilkan produksi bahan keringan dan jumlah cabang semakin tinggi. Bagian tanaman yang dikonsumsi ternak pada umumnya adalah bagian daun, sehingga akan lebih baik bila rasio daun/batang semakin tinggi karena semakin banyak yang dapat dimanfaatkan oleh ternak, karena daun lebih banyak dikonsumsi oleh ternak daripada bagian batang tanaman. Hal tersebut didukung oleh pendapat Shehu et al. (2001) menyatakan bahwa rasio daun/batang pada legum pohon sangat penting karena daun merupakan organ metabolisme dan kualitas legum pohon dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin banyak jumlah daun dari pada batang, kualitas legum tersebut semakin baik. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan bagi ternak, maka rasio daun/batang merupakan tolak ukur yang sangat penting. Semakin lama interval pemotongan diikuti dengan semakin rendah rasio daun/batang. Hal ini dapat dipahami karena semakin tua tanaman semakin berkurang jumlah daun pada tanaman dibanding dengan tanaman yang muda. Selanjutnya Waters dan Givens (1992) mengatakan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan mempengaruhi komposisi anatomi dan morfologi tanaman, diantaranya rasio daun/batang. Penurunan kandungan nutrisi dengan meningkatnya usia tanaman, dapat digambarkan melalui rasio daun/batang pada tanaman. 4.2 Kualitas Nutrisi Indigofera sp Kandungan Bahan Organik Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan bahan organik menunjukan tidak adanya perbedaan nyata (P>0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan bahan organik Indigofera sp seperti ditunjukan pada Tabel 3. Namun hasil sidik ragam menunjukan perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan bahan organik Indigofera sp. Kandungan bahan organik tertinggi terdapat pada interval 90 hari dan intensitas 1 m (P3T2) sebesar 90.68% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval 30 hari dan intensitas 0.5 m (P1T1) memilki kandungan bahan

5 24 organik terendah sebesar 88.46% berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 3). Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapat Van Hao (2001) melaporkan bahwa kandungan bahan organik Gliricidia adalah 88.60%. Interval pemotongan terlihat semakin meningkat diikuti dengan meningkatnya kandungan bahan organik pada Indigofera sp, hal tersebut disebabkan karena semakin meningkat kandungan serat pada tanaman seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan diikuti dengan semakin besar kandungan dinding sel tanaman. Dimana terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dengan kandungan ADF pada tanaman, pada penelitian ini kandungan ADF relatif rendah, sehingga memungkinkan terjadi peningkatan kandungan bahan organik Indigofera sp, hal tersebut didukung oleh pendapat Reid et al. (1988) yang menyatakan bahwa acid detergent fiber (ADF) merupakan indikator yang terbaik untuk menggambarkan kandungan dan konsumsi bahan organik pakan. Tabel 3 Rataan kandungan bahan organik Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK) Perlakuan T1 T2 T3 Rataan P ±0.79 b 88.98±0.73 b 88.77±0.78 b 88.73±0.76 P ±0.79 b 89.29±0.32 b 89.32±0.12 b 89.24±0.41 P ±0.12 b 90.85±0.59 a 90.68±1.33 a 90.28±0.68 Rataan 88.96± ± ±0.74 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Kandungan Protein Kasar Kualitas hijauan yang baik ditandai dengan kandungan protein kasar yang tinggi serta kandungan serat yang rendah. Menurunya kandungan protein kasar ini disebabkan oleh menurunya rasio daun/batang dan meningkatnya umur tanaman. Shehu et al. (2001) menyatakan bahwa kualitas legum pohon dipengaruhi oleh rasio daun/batang pada tanaman. Hasil pengamatan terhadap kandungan protein kasar disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan protein kasar menunjukan tidak

6 25 berbeda nyata (P>0.05) interaksi interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan protein kasar Indigofera sp. Tetapi pada hasil analsisis sidik ragam perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan protein kasar Indigofera sp (Tabel 4). Kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada interval pemotongan 60 hari (P2) sebesar 25.81% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan protein kasar pada inteval pemotongan 30 hari (P1) terendah sebesar 21.12%. Sedangkan pada perlakuan intensitas pemotongan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasar Indigofera sp pada setiap taraf intensitas pemotongan seperti yang disajikan pada Tabel 4. Kandungan protein kasar pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m dan 1.5 m berbeda nyata (P<0.05) antara interval pemotongan 60 hari (P2) dengan interval pemotongan 90 hari (P3). Tabel 4 Rataan kandungan protein kasar Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK) Perlakuan T1 T2 T3 Rataan P ±0.19 e 21.97±1.34 cd 21.76±0.55 cd 21.61±0.69 P ±1.03 a 25.78±0.60 a 25.81±0.72 a 25.69±0.78 P ±0.90 cb 23.60±0.20 b 23.20±0.29 cb 23.27±0.46 Rataan 23.21± ± ±0.52 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Tabel 4 diatas menunjukan kandungan protein kasar tertinggi terdapat pada interkasi perlakuan interval pemotongan 60 hari dan intensitas pemotongan 1.5 m (P2T3) adalah 25.81%, serta menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman ditandai dengan kandungan protein kasar yang menurun. Kandungan protein kasar terendah pada kombinasi P1T1 yaitu interval 30 hari dan intensitas 0.5 m, hal ini disebabkan umur tanaman yang masih muda dan kadar air yang tinggi, sehingga dinding sel tanaman belum terbentuk dengan baik, ditandai juga dengan rasio daun/batang yang tinggi dan kandungan NDF, ADF yang rendah. Beever et al. (2000) menyatakan bahwa semakin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding sel lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Kandungan protein kasar tertinggi pada interval 60 hari dan

7 26 menurun pada interval pemotongan 90 hari. Tjelele (2006) melaporkan hasil penelitian terhadap kandungan protein kasar Indigofera arrecta berkisar antara 24.61% 26.10%, hasil penelitian tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein kasar pada penelitian ini yaitu berkisar antara 21.12% 25.81%. Selanjutnya Whitehead (2000) menyatakan bahwa penurunan kadar protein kasar tanaman selain karena umur tanaman juga disebabkan oleh penurunan proporsi daun/batang, helai daun mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian batang tanaman Kandungan NDF Peningkatan umur tanaman dinyatakan dengan meningkatnya kandungan NDF, sejalan dengan menurunya kecernaan pakan (Van Soest 1991). Rataan kandungan NDF Indigofera sp ditunjukan pada Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan NDF tanaman. Kandungan NDF tertinggi terdapat pada perlakuan interval pemotongan 90 hari dengan intensitas 0.5 m (P3T1) sebesar 36.83% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan NDF pada perlakuan interval pemotongan 30 hari dan intensitas 0.5 m (P1T1) sebesar 35.81% (Tabel 5). Kandungan NDF pada perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan interval pemotongan 60 hari (P2) berbeda nyata kandungan NDF antara intensitas pemotongan 1.5 m (T3) dengan intensitas 1 m (T2) dan intensitas 0.5 m (T1). Kandungan NDF yang terbesar terdapat pada interval pemotongan 90 hari (P3) dan terendah terdapat pada interval pemotongan 30 hari (P1), dimana kisaran kandungan NDF pada penelitian ini masih dalam katagori baik. Selanjutnya NRC (2001) menyatakan bahwa tanaman legum pohon memiliki kandungan NDF kisaran 20 35% biasanya kecernaan tinggi dan spesies dengan kandungan lignin yang tinggi sering kecernaannya rendah. Hassen et al. (2007) melaporkan kandungan NDF Indigofera arrecta pada saat musim semi sebesar 32.80%, bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, hasil tersebut lebih rendah, diamana hasil penelitian ini kandungan NDF yaitu berkisar antara 34.74% 36.83%. Hal

8 27 ini akibat semakin meningkatnya interval pemotongan, diikuti dengan semakin meningkatnya umur tanaman, juga ditandai dengan meningkatnya kandungan NDF pada tanaman tersebut. Hoffman et al. (2001) menyatkan bahwa hijauan pakan ternak yang memilki kandungan NDF 40%, lebih tinggi nilai kecernaannya dibandingkan dengan hijauan pakan ternak dengan kandungan NDF 60% Kandungan ADF Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan fraksi bahan hijauan yang umumnya sukar dicerna dan dapat terdiri dari : selulosa, lignin dan abu yang tidak larut (insoluble ash). Kadar ADF sering digunakan sebagai indikasi kecernaan hijauan karena padanya terdapat lignin proporsi yang tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan ADF Indigofera sp seperti ditujukan pada Tabel 5. Kandungan ADF tertinggi terdapat pada intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dan interval 60 hari (P2) sebesar 25.29% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan ADF pada intensitas 1.5 m (T3) dengan interval 60 hari (P2) sebesar 23.25% (Tabel 5). Kandungan ADF pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dengan interval 30 hari (P1) sebesar 23.68% berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi pada perlakuan intensitas 1 m (T2) dan interval 60 hari (P2) sebesar 24.64%. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan ADF pada perlakuan interval 30 hari (P1) dan interval pemotongan 90 hari (P3) tidak berbeda nyata (P>0.05) antara intensitas pemotongan 1 m (T2) dengan intensitas pemotongan 1.5 m (T3). Semakin meningkat interval pemotongan diikuti dengan peningkatan kandungan ADF pada Indigofera sp, karena bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Lu et al. (2005) bahwa peningkatan umur hijauan pakan dapat digambarkan dengan kandungan serat berupa kandungan NDF dan ADF pakan.

9 28 Tabel 5 Rataan kandungan NDF Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK) Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan NDF P ±0.13 b 34.82± ± ±0.14 P ±0.21 c 36.64±0.25 a 36.07±0.20 b 36.02±0.22 P ± ± ± ±0.32 Rataan 36.00± ± ±0.17 ADF P ±0.58 ba 23.86±0.44 ed 23.72±0.59 ed 24.08±0.53 P ±0.34 a 24.64±0.13 ba 23.25±0.23 e 24.39±0.23 P ±0.32 ba 24.26±0.51 bd 23.70±0.15 ed 24.17± ± ± ±0.32 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Hasil analisis sidik ragam menunjukan perlakuan intensitas pemotongan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan ADF Indigofera sp, dimana semakin meningkat taraf intensitas pemotongan, semakin rendah kandungan ADF tanaman. Hasil tersebut berbanding lurus dengan kandungan bahan organik pada penelitian ini, dimana sampai pada interval pemotongan 90 hari (P3) masih cukup tinggi kandungan bahan organik tanaman tersebut, hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya kandungan ADF yaitu 24.57% pada interval 90 hari (P3) dan intensitas 0.5 m (T1) sehingga pada umur 90 hari kandungan ADF pada tanaman masih relatif baik, kandungan ADF pada tanaman yang merupakan komponen yang dapat menurunkan kandungan nutrisi pada tanaman. Jung dan Allen (1995) menyatakan bahwa kandungan ADF memilki korelasi positif yang lebih tinggi dengan kecernaan pakan. Dimana semakin tinggi kandungan ADF mengakibatkan rendahnya kecernaan pada pakan tesebut Kandungan Kalsium Whitehead (2000) menyatakan bahwa kandungan kalsium pada hijauan terhadap umur tanaman tidak membentuk pola yang jelas, konsentrasi beberapa unsur seperti K, N, Ca, dan Mg terhadap fase pertumbuhan kurang konsisten dibandingkan dengan unsur N, P, dan S.

10 29 Tabel 6 Rataan kandungan kalsium, fosfor Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK) Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan Kalsium P1 1.55±0.02 ba 1.50±0.05 ba 1.57±0.05 a 1.54±0.04 P2 1.47±0.08 ba 1.46±0.07 ba 1.48±0.07 ba 1.47±0.07 P3 1.42±0.06 bac 1.40±0.04 bc 1.30±0.04 c 1.37±0.04 Rataan 1.48± ± ±0.05 Fosfor P1 0.91±0.05 b 1.11±0.04 a 0.97±0.07 b 0.99±0.05 P2 0.93±0.04 b 1.08±0.5 a 0.83±0.05 c 0.94±0.19 P3 0.63±0.04 d 0.94±0.04 b 0.83±0.05 c 0.80± ± ± ±0.05 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan kalsium Indigofera sp menunjukan tidak adanya perbedan nyata (P>0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan (Tabel 6). Sedangkan perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan kalsium Indigofera sp. Perlakuan interval pemotongan 90 hari dan intensitas 1.5 m (P3T3), memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan kalsium Indigofera sp serta berpengaruh nyata terhadap perlakuan yang lainnya. Pada Tabel 6 diatas kandungan kalsium tertinggi terdapat pada interval pemotongan 30 hari (P1) sebesar 1.57% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan kalsium terendah sebesar 1.30%. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan kalsium pada intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dan intensitas pemotongan 1 m (T2) tidak berpengaruh nyata (P>0.05) antara interval pemotongan 30 hari dengan interval pemotongan 60 hari. Dari hasil sidik ragam menunjukan bahwa semakin muda tanaman diikuti dengan tingginya kandungan kalsium pada tanaman tersebut. Hasil tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Tjelele (2006) kandungan kalsium pada Indigofera amorphoides 1.03%, Indigofera arrecta 1.20% dan Indigofera viciodes 1.38%. Perlakuan interval pemotongan pada penelitian ini memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan kalsium tanaman, terlihat semakin meningkatnya interval waktu pemotongan, semakin menurun kandungan kalsium (Tabel 6).

11 30 Selain itu kalsium bukan merupakan unsur yang mobil, yang dapat berpindah kejaringan tanaman yang lebih muda. Terlihat kandungan kalsium semakin menurun dengan meningkatnya umur tanaman, perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium pada tanaman, dengan meningkatnya umur tanaman hal tersebut didukung oleh pendapat Chiy dan Philips (1997) yang menyatakan bahwa kandungan kalsium akan meningkat sampai tanaman mengalami peluruhan (5-45% bagian helai daun menguning atau coklat), kemudian kandungan kalsiumnya akan menurun Kandungan Fosfor Hasil analisis terhadap kandungan fosfor Indigofera sp ditunjukan pada Tabel 6. Interaksi antara perlakuan interval intensitas pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan fosfor pada tanaman. Interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan fosfor pada perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan intensitas 1 m (T2) tertinggi sebesar 1.11% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan fosfor perlakuan interval 30 hari dan intensitas 1.5 (P1T3) yaitu sebesar 0.97% (Tabel 6). Angka ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Kabaija dan Smith (1989) melaporkan bahwa kandungan fosfor L. Leucocephala berkisar antara 0.10% 0.13%. Kandungan fosfor pada perlakuan interval 60 hari (P2) dengan interval 90 hari (P3) berbeda nyata (P<0.05) antara intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dengan intensitas 1 m (T2). Kandungan fosfor pada perlakuan intensitas pemotongan 0.5 m dan intensitas pemotongan 1 m tidak berbeda nyata (P>0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari dengan interval pemotongan 60 hari. Hasil penelitian terhadap kandungan fosfor (Tabel 6) menunjukan adanya pengaruh interaksi yang nyata antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan fosfor Indigofera sp. Terlihat terjadi penurunan kandungan fosfor dengan meningkatnya umur tanaman, peningkatan interval pemotongan diikuti dengan penurunan kandungan fosfor pada tanaman. Hal tersebut disebabkan karena

12 31 perpindahan kandungan fosfor dalam tanaman kejaringan yang lebih aktif, seperti pembentukan batang tanaman, dinding sel tanaman akibat bertambahnya umur tanaman. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Whitehead (2000) menyatakan bahwa kandungan fosfor dalam tanaman akan menurun disebabkan beberapa faktor diantaranya bertambahnya usia tanaman dan spesies tanaman. 4.3 Uji Kecernaan in vitro pada kambing Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Evaluasi kecernaan secara in vitro merupakan suatu teknik untuk menentukan kecernaan yang dimiliki oleh suatu bahan pakan. Teknik ini untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan percobaan yang mengunakan teknik in vivo yang membutuhkan waktu yang relatif lama. Tabel 7 Rataan kecernaan in vitro tajuk Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK) Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan KCBK P ±0.71 c 74.07±0.43 b 74.95±0.82 b 73.89±0.65 P ±0.51 b 76.08±0.55 a 77.13±0.49 a 76.08±0.51 P ±0.82 e 68.86±0.43 e 70.68±0.60 a 69.18±0.61 Rataan 71.90± ± ±0.63 KCBO P ±0.52 de 70.15±0.47 e 71.16±0.44 d 70.67±0.47 P ±0.49 c 73.29±0.90 b 74.98±0.62 a 73.53±0.67 P ±0.50 g 68.10±0.72 f 68.68±0.23 f 67.88± ± ± ±0.43 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m 2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Dari hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan kecernaan bahan kering Indigofera sp seperti ditunjukan pada Tabel 7. Kecernaan bahan kering Indigofera sp tertinggi terdapat pada perlakuan interval pemotongan 60 hari (P2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) kecernaan bahan kering sebesar 77.13% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval pemotongan 90 hari (P3) dan intensitas pemotongan 0.5 m (T1) kecernaan bahan kering terendah sebesar 68.02% (Tabel 7).

13 32 Angka tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian kecernaan in vitro oleh Lukhele and Van Ryssen (2002) melaporkan bahwa, kecernaan in vitro Colophospermum mopane berkisar antara 52.60% 54.30%. Kecernaan bahan kering pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dan interval 60 hari (P2). Terlihat terjadi penurunan kandungan kecernaan bahan kering Indigofera sp disebabkan karena terjadi peningkatan interval pemotongan tanaman, sehingga bertambahnya umur daripada tanaman tersebut. Hasil analisis sidik ragam kecernaan bahan organik Indigofera sp disajikan pada Tabel 7. Dari hasil sidik ragam perlakuan interval dan intensitas pemotongan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan organik Indigofera sp. Hasil kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan interval 60 hari (P2) dengan intensitas pemotongan 1.5 m(t3) kecernaan bahan kering sebesar 74.98% berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan interval pemotongan 90 hari (P3) dengan intensitas pemotongan 0.5 m (T1) kecernaan bahan kering terkecil sebesar 66.86%. Kecernaan bahan organik pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan interval pemotongan 90 hari (P3) ditujukan pada Tabel 7. Hasil kecernaan bahan kering dan bahan organik pada penelitian ini, termasuk memiliki kecernaan pakan yang tinggi berkisar 68.02% 77.13% dan 66.86% 74.98%. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Karachi (1997) melaporkan bahwa kecernaan in vitro bahan organik legum L.purpureus adalah 64.40%. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bulo (1985) menyatakan hasil kecernaan bahan kering dan organik legum herba dan legum pohon berkisar anatara 36% 63 %. Hasil kecernaan bahan kering dan bahan organik (Tabel 7) menunjukan penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada interval pemotongan 90 hari (P3) pada setiap taraf intensitas. Menurunya kandungan kecernaan pada interval pemotongan 90 hari (P3) dikarenakan meningkatnya umur tanaman,

14 33 sehingga terjadi perubahan komposisi kimia pada tanaman, dimana tanaman tua komposisi dinding sel akan lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nohong (2000) menyatakan bahwa penurunaan kecernaan disebabkan peningkatan serat kasar dengan makin panjangnya interval pemotongan tanaman. Serat kasar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi koefisien kecernaan bahan makanan. Kecernaan suatu bahan makanan akan semakin menurun dengan meningkatnya kandungan serat kasar, hal tersebut berbanding lurus dengan hasil kandungan NDF dan ADF pada penelitian ini, yang merupakan bagian dari serat kasar pada tanaman. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa peningkatan proporsi serat pada tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi kecernaan. 4.4 Uji Kecernaan In Vivo Indigofera sp Pada Kambing Boerka Konsumsi Bahan Kering Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp pada campuran pakan terhadap konsumsi bahan kering disajikan pada Tabel 8. Rataan konsumsi bahan kering pakan adalah berturut-turut , , , g ekor -1 hari -1 untuk perlakuan 0; 15; 30 dan 45% taraf pemberian Indigofera sp dalam campuran pakan (Tabel 8). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi oleh perlakuan pemberiaan Indigofera sp (P<0.05) adanya perbedaan nyata taraf pemberiaan Indigofera terhadap konsumsi bahan kering disebabkan, dengan semakin meningkatnya pemberiaan Indigofera pada pakan, semakin meningkat juga kandungan gizi pada pakan, walapun pada perlakuan R3 (taraf 45%) konsumsi bahan kering g/hari, tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 (taraf 30%) konsumsi bahan kering adalah 440 g/hari (Tabel 8). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Luginbuhl et al. (2000) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering menurun dengan peningkatan kandungan NDF (52.4% 62.1%) pada pakan ternak pada kambing Boer dan persilangannya.

15 34 Tabel 8 Konsumsi bahan kering kambing Boerka (gr/hari) Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Konsumsi Indigofera Konsumsi Brachiaria Konsumsi BK a a b b Keterngan : R0 = 100% Brachiaria ruziziensis + 0 % Indigofera sp, R1= 85% Brachiaria ruziziensis + 15 % Indigoferasp, R2 70% Brachiaria ruziziensis + 30 % Indigofera sp, R3 = 55% Brachiaria ruziziensis + 45 % Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Semakin meningkat penambahan taraf Indigofera sp pada campuran pakan meningkatkan kandungan nilai gizi pada pakan, diikuti dengan peningkatan konsumsi bahan kering (Tabel 8). Hal tersebut didukung oleh Parakkasi (1995) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi terutama oleh faktor kualitas pakan, kebutuhan energi ternak, tingkat kecernaan pakan, semakin baik kualitas pakan, semakin tinggi konsumsi dari seekor ternak. Selanjutnya Thompson dan Stuedemann (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab menurunya kecernaan ternak ruminansia disebabkan pakan yang dikonsumsi mengandung toksit. Pengaruh perlakuan penambahan taraf Indigofera sp pada pakan ternak kambing terhadap konsumsi bahan kering yang dianalisa menggunakan analisis polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan Y= x x x (R 2 = 1) Kecernaan Pakan Kecernaan Bahan Kering Pengukuran jumlah zat makanan yang dapat dicerna dapat dilakukan dengan mengetahui koefisien cerna bahan kering dan bahan organik. Nilai koefisien cerna bahan organik dan bahan kering menunjukan derajat cerna pakan pada alat pencernaan dan berapa besar sumbangan suatu pakan bagi ternak, disamping merupakan indikator kesangupan ternak untuk memanfaatkan suatu jenis pakan tertentu.

16 35 Tabel 9 Pengaruh pemberiaan taraf Indigofera sp terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (%) Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Kecernaan BK c ± b ± a ± a 2.43 Kecernaan BO c ± b ± a ± a ±2.10 R0 = 0 % Indigofera sp, R1= 15 % Indigofera sp, R2 = 30 % Indigofera sp, R3 = 45 % Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Pengaruh perlakuan pakan terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik disajikan pada Tabel 9. Rataan kecernaan bahan kering adalah 43.61% ±4.98, 50.14% ±3.83, 57.88% ±2.15, 60.07%±2.43 berturut-turut untuk perlakuan 0; 15; 30 dan 45% taraf pemberian Indigofera sp sebagai pakan kambing Boerka. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh perlakuan pemberian Indigofera sp (P<0.05) sebagai pakan ternak kambing Boerka ditunjukan pada Tabel 9. Adanya pengaruh nyata dari perlakuan pemberian Indigofera sp disebabkan peningkatan nilai gizi pakan seperti protein, karbohidrat, mineral. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, nilai gizi pakan, faktor hewan serta tingkat pemberian pakan. Walaupun kandungan fenolik dan tanin yang dikandung pada Indigofera sp rendah, tetapi Indigofera sp mengandung senyawa asam amino nonprotein yaitu indospicine membentuk ikatan dengan mimosin berupa hepatotoxik, fungsinya sama dengan anti nutrisi lainnya, dapat menghambat penyerapan zat-zat nutrien pada rumen. Hal tersebut didukung oleh pendapat Rosenthal (1982) menyatakan bahwa diantara asam amino nonprotein pada Indigofera, Indospicine membentuk ikatan dengan mimosin berupa ikatan hepatotoxik, dimana ikatan tersebut dapat merusak fungsi hati pada domba, kambing dan sapi, selanjutnya Hegarty (1968) mengisolasi indospicine pada Indigofera endecaphylla menghasilkan produksi kandungan indospicine pada tanaman indigofera cukup tinggi. Pengaruh perlakuan pemberiaan Indigofera sp pada pakan ternak kambing, terhadap kecernaan bahan kering Kambing Boerka yang dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva linear dan mengikuti persamaan Y= 5.71x (R 2 = 0.95).

17 Kecernaan Bahan Organik Kecernaan bahan organik pada Indigofera sp berkisar antara ± 4.91 % ± 2.10% ditunjukan pada Tabel 9. Angka hasil penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingan dengan hasil penelitian Tjelele (2006) melaporkan nilai kecernaan bahan organik pada Indigofera spp adalah 63.70% serta kecernaan bahan organik L. leucocephala adalah 56.40%, rendahnya kecernaan bahan organik pada penelitian ini juga disebabkan oleh rendahnya konsumsi bahan kering pakan pada setiap taraf perlakuan pakan, mengakibatkan rendahnya kandungan bahan organik yang tercerna pada saluran pencernan ternak tersebut. Hal tersebut didukung oleh pendapat Perevolotsky et al. (1995) yang menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara kecernaan bahan kering atau kecernaan bahan organik terhadap konsumsi bahan kering pakan. Koefisien kecernaan bahan organik pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan bahan kering, disebabkan karena tingginya kandungan protein padan pakan, dimana kecernaan bahan organik berhubungan positif dengan kandungan protein pada tanaman (Peterson et al. 2005). Dimana semakin meningkat taraf pemberiaan Indigofera sp, diikuti dengan semakin meningkatnya kecernaan bahan organik pada pakan (Tabel 9) dengan peningkatan taraf pemberian Indigofera sp diikuti dengan peningkatan kandungan nutrisi pada pakan, karena lebih banyak mengandung bahan-bahan organik seperti protein, karbohidrat, lemak yang mudah dicerna oleh ternak. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan organik pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva linear dan mengikuti persamaan Y= 5.56x (R 2 =0.96) Kecernaan Protein Kasar Koefisien kecernaan protein kasar pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera sp disajikan pada Gambar 3. Koefisien kecernaan protein pada kambing Boerka yang diberikan perlakuan Indigofera sp memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kecernaan protein ditunjukan pada Gambar 3.

18 37 Peningkatan taraf pemberikan Indigofera sp pada pakan kambing Boerka menghasilkan koefisien kecernaan protein kasar nyata semakin meningkat (Gambar 3). Koefisien kecernaan protein kasar pada perlakuan pemberiaan 45% Indigofera sp pada pakan tertinggi sebesar 69.80% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan pemberiaan 0% Indigofera sp pada pakan ternak sebesar 45.79%. Koefisien kecernaan protein kasar pada kambing Boerka, seiring dengan bertambahnya pemberiaan Indigofera sp pada pakan, terus meningkat sampai taraf pemberiaan 45% Indigofera sp pada pakan Gambar 3. K e c e rna a n PK (% ) R0 R1 R2 R3 Taraf Pemberiaan Indigofera sp Gambar 3 Pengaruh pemberiaan taraf Indigofera sp terhadap kecernaan protein Koefisien kecernan protein kasar semakin meningkat, diikuti dengan semakin meningkatnya kandungan protein kasar pada pakan, dimana kandungan protein kasar pada Indigofera sp cukup tinggi. Dengan tingginya kandungan protein kasar pada pakan memungkinkan sebagain besar didegradasikan didalam rumen melalui proses sintesis protein di dalam rumen, sehingga kemungkinan sebagian besar protein didegradasikan didalam rumen. Hal tersebut didukung oleh pendapat McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan protein kasar tergantung pada banyaknya kandungan protein pada pakan. Pengaruh perlakuan terhadap koefisien kecernaan protein kasar pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera, dianalisis menggunakan

19 38 polinomial orthogonal membentuk kurva kuadratik dan mengikuti persamaan Y= 17.99Ln(x) (R 2 = 0.97) Kecernaan NDF Ternak ruminansia mempunyai keistimewan karena kemampuanya untuk mencerna dan menggunakan materi dinding sel tanman. Total materi dinding sel dinyatakan sebagai serat detergen netral/ neutral detergent fiber (NDF), yang sebagaian besar terdiri atas hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa dan selulosa dicerna relatif lambat oleh mikroba rumen, sementara lignin tidak dicerna. Lignin juga berikatan dengan bagian dinding sel yang lain, menyebabkan bagian tersebut sukar dicerna (Beauchemin 1996) Kecernaan NDF(%) R0 R1 R2 R3 Taraf Pemberiaan Indigofera sp Gambar 4 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap kecernaan NDF pakan kambing Boerka Koefisien kecernaan NDF pada kambing Boerka yang diberikan Indigofera sp disajikan pada Gambar 4. Rataan kecernaan NDF diperlihatkan pada Gambar 4. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan NDF kambing Boerka. Rataan kecernaan NDF cenderung mengalami peningkatan dengan meningkatnya taraf pemberiaan Indigofera sp. Rataan kecernaan NDF adalah 43.56, 45.37, 52.44, 52.13% masing-masing untuk perlakuan 0, 15, 30, 45% taraf

20 39 pemberiaan Indigofera sp dalam campuran pakan ternak kambing Boerka. Hal ini terjadi disebabkan kandungan karbohidrat mudah dicerna pada pakan R3 dan R2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R0 sehingga kecernaan NDF pada perlakuan pakan R3 dan R2 lebih tinggi karena mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa peningkatan proporsi serat pada tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan nilai kecernaan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Hoffman et al. (2001) menyatakan bahwa hijauan pakan ternak yang memilki kandungan NDF 40% lebih tinggi kecernaannya dibandingkan dengan hijauan pakan ternak yang memiliki kandungan NDF 60%. Selanjutnya Luginbuhl et al. (2000) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering menurun dengan peningkatan kandungan NDF (52.4% 62.1%) pada pakan ternak pada kambing Boer dan persilangannya. Dengan meningkatnya proporsi dinding sel dan diameter batang serta berkembangnya jaringan lignin menyebabkan kecernaan NDF menurun. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan NDF pada kambing Boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan Y = x x x (R 2 = 1) Kecernaan ADF Rataan kecernaan serat deterjen asam/acid detergent fiber (ADF) diperlihatkan secara grafik pada Gambar 5. Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kecernaan ADF. Rataan kecernaan ADF cenderung mengalami peningkatan dengan meningkatnya taraf Indigofera sp dalam campuran pakan. Rataan kecernaan ADF adalah 43.24, 44.02, 52.84, 55.26% masing-masing untuk perlakuan 0, 15, 30 dan 45% taraf pemberiaan Indigofera dalam campuran pakan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi taraf pemberiaan Indigofera sp dalam campuran pakan kandungan seratnya semakin rendah, sehingga kecernaan ADF juga semakin tinggi. Mahgoub et al. (2005) menyatakan bahwa pakan yang mengandung serat tinggi, sering menghasilkan pertambahan berat badan yang

21 40 lambat dibandingkan dengan pakan tinggi konsentrat. Kambing Batina dan Dhofari pakan yang mengandung 12.3%, 18.3% dan 24.7% ADF pertambahan bobot badanya berturut-turut 45, 45, 83 g/hari. Kecernaan ADF lebih menggambarkan kecernaan serat suatu jenis pakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jung dan Allen (1995) menyatakan bahwa kandungan ADF memilki korelasi positif yang lebih tinggi dengan kecernaan pakan. Dimana semakin tinggi kandungan ADF mengakibatkan rendahnya kecernaan pada pakan tesebut Kecernaan ADF(% ) R0 R1 R2 R3 Taraf Pemberiaan Indigofera sp Gambar 5 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap kecernaan ADF pakan kambing Boerka Kecernaan ADF tertinggi diperoleh pada perlakuan R3 (taraf pemberiaan Indigofera sp 45% dalam campuran pakan) yaitu 43%, tetapi hasil ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Van Hao (2001) melaporkan bahwa kambing lokal Vetnam umur 8 bulan yang diberikan pakan Gliricidia maculata kecernaan ADF-nya adalah 31.60%. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan ADF pada kambing Boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan Y= x x x (R 2 = 1).

22 Respon Ternak Terhadap Pemberiaan Indigofera sp Pertambahan Bobot Badan Harian Hasil pertambahan bobot badan harian ditunjukan pada Tabel 9. Rataan pertambahan bobot badan harian kambing Boerka dari seluruh perlakuan berkisar antara gr/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai pada perlakuan R3 (taraf Indigofera 45%) yaitu gr/ekor/hari (Tabel 10). Hasil ini masih lebih besar bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Merkel et al. (1999) bahwa kambing yang mendapat pakan hanya hijauan dengan lama merumput 6.5 jam/hari memberikan pertambahan bobot badan 35.7 g/ekor/hari. Tabel 10 Rataan pertambahan bobot badan harian kambing Boerka Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Bobot badan awal (kg) 10.28± ± ± ±1.07 Bobot badan akhir (kg) 12.06± ± ± ±1.21 PBBH (gr/ekor/hari) 28.25±5.19 c 39.37±3.95 b 50.47±6.86 a 52.38±5.02 a Keterngan : R0 = 100% Brachiaria ruziziensis + 0 % Indigofera sp, R1= 85% Brachiaria ruziziensis + 15 % Indigofera sp, R2 70% Brachiaria ruziziensis + 30 % Indigofera sp, R3 = 55% Brachiaria ruziziensis + 45 % Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Pertambahan bobot badan secara keseluruhan sudah ideal kecuali perlakuan kontrol (R0). Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (2003) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ideal kambing adalah gr/ekor. Selanjutnya menurut NRC (1995) bahwa kambing pada berat ideal 20 kg pertambahan bobot badanya minimal 50 gr/ekor.

23 Pertambahan Bobot Badan Harian (g/ekor/hari) R0 R1 R2 R3 Taraf Pemberiaan Indigofera sp Gambar 6 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap PBBH kambing Boerka Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan harian pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva liner dan mengikuti persamaan Y= 8.349x (R 2 = 0.93) Gambar Efisiensi penggunaan pakan Efisiensi penggunaan pakan erat kaitannya dengan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan ternak, karena efisiensi penggunaan pakan adalah rasio antara pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Rataan efisiensi penggunaan pakan disajikan pada Gambar 7. Hasil rataan efisiensi penggunaan pakan adalah 0.08, 0.08, 0.09 dan 0.12 berturut-turut untuk perlakuan 0, 15, 30 dan 45% taraf pemberiaan Indigofera sp dalam campuran pakan seperti ditunjukan pada Gambar 8. Rataan hasil efisiensi penggunaan pakan tertinggi pada pakan yang diberikan Indigofera sp dalam campuran pakan sebanyak 45% sebesar 0.12 berbeda nyata (P<0.05) efisiensi penggunaan pakan terendah pada taraf pemberiaan 0% (R0) dan 15% (R1) beturut-turut sebesar 0.08, Hal ini disebabkan oleh tingkat konsumsi bahan kering pakan yang rendah, dengan pertambahan bobot badan yang cukup rendah.

24 Efisiensi Penggunaan Pakan R0 R1 R2 R3 Taraf Pemberiaan Indigofera sp Gambar 7 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap efisiensi penggunaan pakan kambing Boerka Pada penelitian ini efisiensi penggunaan pakan pada kambing Boerka yang diberi pakan Indigofera sp mencapai 0.12 (Gambar 7). Angka ini masih lebih tinggi dari efisiensi penggunaan pakan pada kambing Angora (0.08) dan hasil ini sama dengan kambing Kasmir sebesar 0.12 (Jia et al. 1995). Hasil penelitian Nurjannah (2005) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan pakan pada kambing kacang yang diberi hijauan lahan gambut mencapai Rendahnya efisiensi penggunaan pakan pada penelitian ini karena pertambahan bobot badan yang rendah, hal ini disebabkan karena tingkat konsumsi bahan kering kambing Boerka yang relatih rendah pada penelitian ini. Tingkat konsumsi pakan yang tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertambahan bobot badan seekor ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi 1 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangbiakan oleh masyarakat. Pemeliharaan domba yang lebih cepat dibandingkan ternak sapi, baik sapi

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF NDF adalah bagian dari serat kasar yang biasanya berhubungan erat dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest Penelitian ini menggunakan data hasil analisa proksimat (kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan ) dan fraksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Hasil analisis kandungan nutrien silase dan hay daun rami yang dilakukan di Laboratorium PAU IPB dapat dilihat pada Tabel 4 dan kandungan nutrien ransum disajikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan ternak lokal yang sebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Pellet Kandungan nutrien suatu pakan yang diberikan ke ternak merupakan hal penting untuk diketahui agar dapat ditentukan kebutuhan nutrien seekor ternak sesuai status

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Keasaman (ph) Rumen Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Jagung Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan kepada ternak, baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

3 MATERI DAN METODE PENELITIAN

3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 11 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian di dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Juli 2009. Lokasi penelitian adalah dataran rendah kering (50 m dpl, curah hujan rata rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Daun Kersen sebagai Pakan Peningkatan produksi daging lokal dengan mengandalkan peternakan rakyat menghadapi permasalahan dalam hal pakan. Pakan yang digunakan oleh peternak rakyat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging Ternak kambing merupakan komponen peternakan rakyat yang cukup potensial sebagai penyedia daging. Ternak kambing mampu beradaptasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al., PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar populasi ternak sapi di Indonesia dipelihara oleh petani peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al., 2011). Usaha peningkatan produktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan,

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak ruminansia, diperlukan ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan, baik secara kualitas maupun kuantitas secara berkesinambungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies cuniculus.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum HASIL DA PEMBAHASA Konsumsi Bahan Kering Ransum 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 2) mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit Pakan Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus untuk ternak ruminansia. Pembuatan biskuit pakan menggunakan prinsip dasar pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian Peranan Pleurotus ostreatus pada Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dengan Pleurotus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

PAKAN, NUTRIEN DAN SISTEM ANALISIS KIMIA

PAKAN, NUTRIEN DAN SISTEM ANALISIS KIMIA PAKAN, NUTRIEN DAN SISTEM ANALISIS KIMIA NUTRISI TERNAK : Berbagai aktivitas kimiawi dan faali yang mengubah nutrien penyusun pakan menjadi nutrien penyusun tubuh ternak BAHAN PAKAN : segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Peranakan Etawa (PE). Kambing jenis ini mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa tambahan nutrien

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak 34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan Kondisi lingkungan merupakan aspek penting saat terjadinya proses pengeringan. Proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap sifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hijauan merupakan bahan pakan sumber serat yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. (2005) porsi hijauan

Lebih terperinci

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HMT FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KUALITAS HMT ADALAH : 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Indigofera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Indigofera sp. TINJAUAN PUSTAKA Indigofera sp. Indigofera sp. merupakan tanaman leguminosa dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara. Jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian mengenai pengaruh biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar 37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan diartikan sebagai nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dimana nutrien lainnya diasumsikan diserap oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Bahan pakan yang digunakan di dalam ransum perlakuan penelitian ini, merupakan limbah pertanian yaitu jerami padi dan dedak padi, limbah tempat pelelangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah pakan. Davendra, (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan berat badan maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, menyebabkan ketersediaan produk hewani yang harus ditingkatkan baik dari segi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Komplit Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rumput gajah, konsentrat, tepung daun kembang sepatu, dan ampas teh. Rumput gajah diperoleh dari Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur tahunan (Perennial), tingginya dapat mencapai 7m dan akar sedalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB EFEK PAKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS AIR SUSU Suryahadi dan Despal Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB PENDAHULUAN U Perkembangan sapi perah lambat Populasi tidak merata, 98% di P. Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Penelitian ini menggunakan ransum perlakuan yang terdiri dari Indigofera sp., limbah tauge, onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO 3, molases, bungkil

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. 22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produktivitas ternak ruminansia sangat tergantung oleh ketersediaan nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan produktivitas ternak tersebut selama

Lebih terperinci

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan usaha peternakan adalah ketersediaan pakan ternak secara kontinyu. Saat ini sangat dirasakan produksi hijauan makanan ternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Pra Sapih Konsumsi pakan dihitung berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Pakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawa (PE) Kambing merupakan jenis ruminansia kecil yang memiliki tingkat pemeliharaan lebih efesien dibandingkan domba dan sapi. Kambing dapat mengkomsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam

I. PENDAHULUAN. dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian pemanfaatan limbah agroindustri yang ada di Lampung sudah banyak dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam ransum ruminansia

Lebih terperinci

Gambar 4. Perubahan Jumlah Daun Rumput Raja (A) dan Rumput Taiwan (B) pada Berbagai Dosis Pemberian Dolomit

Gambar 4. Perubahan Jumlah Daun Rumput Raja (A) dan Rumput Taiwan (B) pada Berbagai Dosis Pemberian Dolomit HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Rumput Jumlah Daun Hasil penghitungan jumlah daun menunjukan terjadinya penurunan rataan jumlah daun pada 9 MST dan 10 MST untuk rumput raja perlakuan D0, sedangkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersediaan pakan yang berkualitas, kuantitas, serta kontinuitasnya terjamin, karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti

I. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki keunggulan antara lain pemeliharaan yang mudah serta memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan pakan

I. PENDAHULUAN. hasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan pakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan usaha peternakan adalah pakan. Kekurangan pakan, dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketersediaan Limbah Pertanian Pakan ternak sangat beragam tergantung varietas tanaman yang ditanam petani sepanjang musim. Varietas tanaman sangat berdampak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan utama makanan ternak ruminansia adalah hijauan pada umumnya, yang terdiri dari rumput dan leguminosa yang mana pada saat sekarang ketersediaannya mulai terbatas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5 TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berasal dari negara sekitar Laut Mediterania dan dibawa ke Inggris pada awal abad 12 (NRC,

Lebih terperinci

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2017, VOL. 17, NO. 2. Annisa Savitri Wijaya 1, Tidi Dhalika 2, dan Siti Nurachma 2 1

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2017, VOL. 17, NO. 2. Annisa Savitri Wijaya 1, Tidi Dhalika 2, dan Siti Nurachma 2 1 Pengaruh Pemberian Silase Campuran Indigofera sp. dan Rumput Gajah Pada Berbagai Rasio terhadap Kecernaan Serat Kasar dan BETN Pada Domba Garut Jantan (The Effect of Mixed Silage Indigofera sp. and Elephant

Lebih terperinci

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Fermentasi Parameter kualitas fisik pakan fermentasi dievaluasi dari tekstur, aroma, tingkat kontaminasi jamur dan tingkat keasaman (ph). Dari kedua bahan pakan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum Rataan konsumsi bahan kering dan protein ransum per ekor per hari untuk setiap perlakuan dapat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Kec. Binjai Kota Sumatera Utara. Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 bulan dimulai dari bulan Oktober sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Sesuai dengan trend global, saat ini banyak produk pangan yang berlabel kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Sesuai dengan trend global, saat ini banyak produk pangan yang berlabel kesehatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sesuai dengan trend global, saat ini banyak produk pangan yang berlabel kesehatan. Salah satu produk pangan kesehatan yang muncul di pasaran adalah makanan yang mengandung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE. Metode MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kambing Perah Bangun Karso Farm yang terletak di Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis pakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Bahan Kering (KcBK) Pengolahan ataupun peracikan bahan

Lebih terperinci