BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penggunaan lahan, dan kemajuan teknologi mempengaruhi peningkatan kebutuhan masyarakat perkotaan untuk mobilisasi di bidang transportasi. Hal ini akan mempengaruhi kualitas udara ambien di Kota Medan dari sektor transportasi. Kota Medan merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan memiliki letak geografis Lintang Utara dan Bujur Timur. Penduduk Kota Medan mengalami pertambahan setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS (2015), jumlah penduduk Kota Medan mencapai jiwa dengan luas lahan sebesar 265 km 2 sehingga kepadatan penduduk Kota Medan yaitu jiwa/km 2. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan Kota Medan merupakan salah satu Kota Metropolitan di Indonesia. Selama kurun waktu tahun jumlah penduduk Kota Medan selalu mengalami peningkatan tetapi persentase angka pertumbuhan penduduk Kota Medan tidak menunjukkan peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk ,30 % ,00% ,97 % Sumber : Data BPS, Peningkatan jumlah penduduk dapat terjadi karena urbanisasi oleh masyarakat desa serta imigrasi oleh warga negara asing (WNA). Kota Medan merupakan daerah perkotaan yang strategis untuk tempat perdagangan, perindustrian, dan lain sebagainya sehingga banyak yang memilih untuk hidup di kota ini. Kegiatan perindustrian dan perdagangan tergolong kegiatan dalam perekonomian. Untuk mendukung kemajuan perekonomian daerah dibutuhkan prasarana pengangkutan yaitu jalan. Selain itu, pembangunan jalan juga difungsikan untuk mempermudah akses transportasi masyarakat dalam kegiatan sehari- II-1

2 hari. Kota Medan sendiri memiliki panjang jalan sebesar ± km, dengan rincian seperti terlihat pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Panjang Jalan Kota Medan Berdasarkan Status, Jenis Permukaan, dan Kondisi Jalan. Jenis Jalan Panjang Jalan (km) Status : - Negara 73,031 - Provinsi 40,200 - Kabupaten/Kota 2.951,380 Jenis Permukaan : - Aspal 2.750,610 - Kerikil 155,250 - Tanah 45,520 Kondisi Jalan : - Baik 2.802,540 - Sedang 47,670 - Rusak 28,390 - Rusak Berat 72,780 Sumber : Data BPS, Kualitas udara roadside Kota Medan salah satunya dipengaruhi oleh kendaraan bermotor. Jalan MT. Haryono dipadati oleh kendaraan bermotor setiap harinya dan ditambah dengan jalur perlintasan kereta api, sehingga kualitas udara sekitarnya terganggu. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Medan Tahun 2016, panjang jalan MT. Haryono yaitu 1,16 km, volume kendaraan harian yaitu kendaraan/jam dan kapasitas jalan yaitu kendaraan/jam sehingga rasio V/C yaitu 1,08. Angka tersebut menunjukkan bahwa kapasitas jalan sama dengan jumlah kendaraan yang melewati jalan tersebut sehingga menimbulkan kemacetan. Berdasarkan data BLH Kota Medan (2015), pemantauan kualitas udara roadside di Kota Medan hanya dilakukan pada 3 (tiga) ruas jalan yaitu Jalan SM. Raja, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Gagak Hitam. Mengingat di Jalan MT. Haryono memiliki lalu lintas yang heterogen dan rasio V/C lebih dari 1 (satu), sehingga penulis memilih Jalan MT. Haryono sebagai lokasi penelitian. 2.2 Pencemaran Udara Menurut Cooper dan Alley (1994), polusi udara adalah benda-benda yang mengkontaminasi udara dalam berbagai cara. Selain itu definisi lainnya, polusi udara II-2

3 adalah masuknya satu atau lebih zat/polutan ke atmosfer outdoor dalam jumlah banyak sehingga membahayakan dan mengganggu kesehatan manusia, hewan, tanaman, dll. Seinfeld dalam Supriyadi (2009), mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer ketika suatu substansi konsentrasi udara ambien normal menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan, tumbuhan, dan material. Substansi tersebut bisa berasal dari sifat alami, aktivitas manusia ataupun campuran diantara keduanya. Mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah Pasal 1 ayat 1, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan. Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada kondisi meteorologi lingkungan sekitar. Apabila susunan udara mengalami perubahan dari komposisi keadaan normal (persentase meningkat) sehingga mengganggu kehidupan manusia dan hewan maka dapat dikatakan udara telah tercemar (Wardhana, 2004). Komposisi dari udara bersih dan kering dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3 Komposisi Udara Bersih dan Kering. Komposisi Kimia Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (µg/m 3 ) Nitrogen (N 2) ,95 x 10 8 Oksigen (O 2) ,74 x 10 8 Argon (Ar) ,52 x 10 7 Karbon Dioksida (CO 2) 315 5,67 x 10 5 Neon (Ne) 18 1,49 x 10 4 Helium (He) 5,2 8,50 x 10 2 Metan (CH 4) 1,2 7,87 x 10 2 Krypton (Kr) 1,0 3,43 x 10 3 Hidrogen (H 2) 0,5 4,13 x 10 1 Xenon (Xe) 0,08 4,29 x 10 2 Dinitrogen Oksida (N 2O) 0,05 9,00 x 10 2 Ozon (O 3) 0,01-0,04 1,96 x ,84 x 10 1 Sumber : Khare dan Nagendra, Sumber Pencemaran Udara Sumber pencemaran udara dikategorikan berdasarkan tipe sumber, distribusi angka dan spasial, dan tipe emisi. Tipe sumber dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan II-3

4 antropogenik. Erupsi gunung vulkanik, kebakaran hutan, debu yang tertiup angin merupakan beberapa contoh sumber pencemar alami. Sumber antropogenik dibagi lagi menjadi sumber bergerak dan tidak bergerak. Sumber tak bergerak contohnya proses industri, pembangkit listrik, insenerator kota dan lain sebagainya, sedangkan sumber bergerak contohnya transportasi (Liu, 1999; Khare dan Nagendra, 2007). Kategori distribusi angka dan spasial yaitu terbagi menjadi sumber titik, sumber area dan sumber garis. Karakteristik sumber titik yaitu dari cerobong proses industri dan cerobong hasil pembakaran bahan bakar. Karakteristik sumber area yaitu dari emisi debu fugitif dari pembangkit industri. Sumber pencemaran titik dan area adalah contoh sumber transportasi, pembakaran bahan bakar pada sumber tak bergerak, kehilangan pada proses industri, pembuangan limbah padat, dan lainnya. Sumber garis yaitu seperti fasilitas jalan raya dan pembakaran hutan yang tidak terkontrol (Liu, 1999). Ada 2 (dua) dasar dari pemilihan karakteristik sumber yaitu pemilihan kerangka acuan dalam menganalisa permasalahan dan perspektif peneliti dalam mengasumsikan bentuk dari sumber polutan (Supriyadi, 2009). Sebagai contoh jalan raya diperkotaan dapat diasumsikan sebagai sumber garis, daerah perindustrian dapat diasumsikan sebagai sumber titik, dan pembukaan lahan baru dapat diasumsikan sebagai sumber area dalam mengemisikan polutan terhadap penurunan kualitas udara. Polutan dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu polutan primer dan sekunder. Polutan primer dilepaskan secara langsung dari sumber pencemarnya ke atmosfer dan belum mengalami perubahan seperti parameter CO, CO2, NO2, SO2, Cl2, dan debu. Polutan sekunder merupakan pencemar udara primer yang telah mengalami perubahan akibat proses fotokimia sehingga bersifat reaktif dan bertransformasi menjadi molekul seperti ozon (O3), hujan asam, dan aldehid (Mukono, 1997; Wardhana, 2004; Sutra, 2009). 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: 1. Penyebaran polutan melibatkan tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah, dan difusi massa akibat perbedaan konsentrasi (Stull, 2000 dalam Supriyadi, 2009) II-4

5 2. Penyebaran pencemaran dari suatu sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat (Oke, 1978 dalam Supriyadi, 2009) Menurut Schnelle dan Brown (2002), kondisi meteorologi, topografi, dan iklim setempat adalah faktor penting dalam pendispersian yang diangkut dari sumber menuju reseptor. Reseptor termasuk manusia, hewan, benda-benda di lingkungan seperti patung, dan juga tumbuhan. Pencemaran udara dapat mempengaruhi jarak pandang sehingga sulit saat melakukan aktivitas di jalan raya serta menganggu aktivitas penerbangan. Terdapat trilogi dalam pendispersian polutan yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Sumber Tipe sumber alami dan antropogeik Lokasi Tipe polutan gas dan partikulat persentase atau jumlah Pengangkutan Iklim Turbulen dan difusi Topografi Reseptor Manusia Hewan Tumbuhan Benda-benda Jarak pandang Karakteristik Emisi Gambar 2.1 Trilogi Sumber, Pengangkutan dan Reseptor. Sumber : Schnelle dan Brown, Emisi adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar (KLH, 2010). Sumber emisi dapat dihasilkan dari sumber bergerak dan tidak bergerak. Emisi yang dikeluarkan dipengaruhi oleh beberapa faktor (Supriyadi, 2009; Jalaluddin et al, 2013; Suryati, 2014): 1. Laju emisi (Q) atau banyaknya pencemar yang dimasukkan ke udara ambien yang kadarnya sesuai dengan kapasitas produksi dan sistem pengelolaan limbah yang digunakan. II-5

6 2. Kecepatan keluaran emisi menunjukkan cepat atau lambatnya emisi polutan keluar dari sumbernya. Untuk menghitung kecepatan keluaran emisi perlu mengetahui tinggi kepulan (plume rise) emisi yang dikeluarkan dari sumber emisi dalam hal ini cerobong. 3. Dimensi emisi sangat penting untuk diketahui nilainya. Jika sumber emisi merupakan cerobong (sumber titik) maka yang dicari tinggi kepulan (plume rise) namun jika sumber emisi merupakan sumber area atau sumber garis maka yang dicari adalah jumlah emisi yang dihasilkan. Informasi dimensi yang dibutuhkan antara lain : a. Untuk sumber titik (cerobong) : tinggi, diameter lubang dasar dan lubang atas. b. Untuk sumber area : luas wilayah tersebut. c. Untuk sumber garis : panjang dan lebar luas jalan tersebut. 4. Geometri sekitar sumbu emisi mempengaruhi pola aliran udara di sekeliling sumber emisi contohnya seperti ukuran (luas dan tinggi) bangunan, bentuk bangunan, ragam tanaman, letak sumber emisi terhadap bangunan, dan variasi desain jalan. 5. Variasi kendaraan, kondisi lalu lintas, perilaku pengemudi, dan kondisi lingkungan Kondisi Meteorologi Meteorologi adalah suatu ilmu dan ramalan perubahan cuaca dalam hasil sirkulasi atmosfer skala yang besar. Menurut Faith (1959) dalam Cooper dan Alley (1994), beberapa hal mengenai permasalahan udara adalah sebagai berikut: 1. Dipastikan ada emisi polutan di atmosfer. 2. Polutan yang dipancarkan akan dibatasi oleh volume udara. 3. Udara yang terpolusi akan mempengaruhi kesehatan manusia. Sehingga diperlukan batasan untuk membatasi pencampuran dan dispersi polutan. Setelah polutan diemisikan ke udara ambien, selanjutnya yang berperan dalam dispersi (perpindahan, difusi, reaksi kimia, dan pengangkutan) polutan adalah atmosfer. Proses dispersi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: II-6

7 1. Arah dan kecepatan angin Angin memiliki peran utama dalam penyebaran polutan di atmosfer. Angin dipengaruhi oleh variasi kondisi meteorologi, waktu, tempat, dan topografi. Angin yang kuat mempercepat proses penyebaran polutan sedangkan angin yang bergerak relatif pelan, proses penyebarannya lebih dominan melalui proses difusi dengan atmosfer sekitar. Akibatnya konsentrasi polutan pada tiap titik aliran polutan (plume) memiliki nilai yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan keluaran dari sumbernya (Forsdyke, 1970 dalam Supriyadi 2009). Konsentrasi polutan di suatu wilayah dipengaruhi oleh lemah atau kuatnya gerakan udara. Gerakan udara yang lemah mengakibatkan turbulensi udara kecil sehingga konsentrasi polutan di wilayah tersebut tetap besar. Sebaliknya, jika gerakan udara kuat mengakibatkan turbulensi udara besar sehingga konsentrasi lebih kecil. Selain gerakan udara, iklim suatu wilayah juga mempengaruhi konsentrasi polutan (Supriyadi, 2009). Untuk angin dengan kecepatan sedang hingga tinggi, proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingan terhadap proses adveksi polutan itu sendiri. Menurut Cooper dan Alley (1994), cara yang efektif untuk menunjukkan grafik rata-rata data kecepatan dan arah angin pada lokasi yang spesifik adalah dengan windrose. Windrose atau mawar angin merupakan bentuk gambaran atau pemetaan dari arah dan kecepatan angin pada tempat dan waktu tertentu. Windrose atau mawar angin berguna untuk mengetahui arah penyebaran ataupun pergerakan angin dominan di suatu daerah (Nevers, 2000; Supriyadi, 2009). 2. Suhu dan stabilitas atmosfer Stabilitas atmosfer berperan penting dalam pengangkutan dan dispersi pencemaran udara. Stabilitas atmosfer dapat diartikan sebagai kecenderungan atmosfer untuk mengurangi atau mengintensifkan gerakan vertikal atau alternatifnya, menekan atau menambah gerakan turbulen yang ada. Hal ini berkaitan dengan perubahan suhu dengan ketinggian (lapse rate) dan juga kecepatan angin (Ashrafi dan Hoshyaripour, 2008). II-7

8 3. Intensitas radiasi matahari Tingkat stabilitas atmosfer harus diketahui untuk memperkirakan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan polutan. Kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari merupakan faktor yang digunakan dalam penentuan kelas stabilitas. Terdapat 6 (enam) kategori dalam kelas stabilitas atmosfer yang dapat ditentukan nilainya menggunakan kelas stabilitas Pasquill-Gifford. Kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini. Tabel 2.4 Kelas Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford Intensitas radiasi matahari Awan < 300 Kuat Sedang Lemah Kecepatan angin (m/s) > 600 Mendung Gelap W/m 2 W/m 2 W/m 2 < 2 A A-B B E F 2-3 A-B B C E F 3-5 B B-C C D E 5-6 C C-D D D D > 6 C D D D D Sumber : Turner, 1969 dalam Goyal dan Kumar, Keterangan : A = sangat tidak stabil; B = tidak stabil; C = agak tidak stabil; D = netral; E = agak stabil; F = stabil Karakteristisk Daerah Penerima (Reseptor) Daerah penerima atau reseptor yaitu daerah yang terkena polutan pencemar setelah terdistribusi oleh faktor meteorologi. Polutan tersebut akan diterima di daerah reseptor sesuai kondisi geografis/topografi dan stabilitas atmosfer daerah tersebut. Jika daerah reseptor perbukitan maka polutan akan mengendap di daerah lembah pada malam hari karena udara dingin dan berat. Sementara itu bila daerah reseptor berupa daerah cekungan dapat menghambat penyebaran polutan secara horizontal, sehingga polutan terperangkap dalam cekungan (Sumaryati, 2011). Adanya bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di daerah perkotaan juga mempengaruhi pola penyebaran polutan di daerah perkotaan. Keberadaan bangunan tersebut akan menghalangi penyebaran polutan, sehingga polutan akan terperangkap dan tidak dapat tersebar secara merata. II-8

9 2.5 Pencemaran Akibat Sektor Transportasi Dampak pencemaran lingkungan sebenarnya bukan hanya bersumber dari kegiatan industri dan teknologi saja, namun kegiatan yang sangat berpengaruh adalah faktor penunjang kegiatan tersebut seperti faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi. Menurut Nevers (2000), jumlah kendaraan bermotor sudah sangat banyak hingga akhir tahun Pertama kali mobil bertenaga bensin muncul pada tahun Pada tahun 1900, dunia memproduksi sekitar kendaraan tiap tahunnya dan meningkat pada tahun 1999 yaitu sekitar 30 juta. Kendaraan pribadi memberikan pemiliknya mobilitas personal dan kebebasan yang hanya dapat dirasakan oleh pemilik kendaraan sejak dua abad yang lalu. Walaupun sekitar 500 juta orang yang tidak memiliki kendaraan tetapi tetap mengkonsumsi sedikit bahan bakar dan menghasilkan sedikit polutan. Industri kendaraan bermotor berjumlah 10 % dari industri yang ada di negara-negara industri. Dinamika kehidupan kota yang bersifat dinamis, serta mobilitas yang tinggi menuntut warga kota untuk menggunakan sarana transportasi. Artinya bahwa sarana transportasi merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk menunjang mobilitas dan aktivitas masyarakat kota. Berdasarkan data BLH Kota Medan Tahun 2014 dan 2015, hasil pengujian kualitas udara roadside pada beberapa lokasi di Kota Medan menunjukkan peningkatan konsentrasi pencemar pada beberapa polutan dari tahun 2014 sampai tahun Data hasil pengujian kualitas udara roadside di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5 Kualitas Udara Roadside di Kota Medan Tahun 2014 dan 2015 Hasil Analisa Bulan November Lokasi / Tahun Penelitian CO (ppm) NO 2 (µg/nm 3 ) SO 2 (µg/nm 3 ) Partikulat (µg/nm 3 ) Pintu KIM I (2014) 5 23,03 37,45 66 Pintu KIM I (2015) 20 82,91 105, Jalan Gatot Subroto (2014) 11 35,68 42, Jalan Gatot Subroto (2015) 7 55,39 74,77 98 Jalan Sisingamangaraja (2014) 4 17,64 24,88 47 Jalan Sisingamangaraja (2015) 9 60,14 64,51 99 Sumber : BLH Kota Medan, 2014 & II-9

10 2.5.1 Karbon Monoksida (CO) Karakteristik gas CO yaitu gas tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, bersifat mematikan pada kadar lebih dari 5000 ppm. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu dibawah -192 C. Gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber utama penghasil CO. Selain itu, gas CO dapat bersumber dari proses industri dan asap rokok (Mukono, 1997; Wardhana, 2004; BLH, 2015). Gas CO yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor memberi dampak negatif bagi kesehatan manusia. CO dalam bentuk gas dapat bereaksi dengan haemoglobin dalam darah membentuk senyawa Carboxyhaemoglobin (COHb). Haemoglobin manusia lebih reaktif terhadap CO dibandingkan oksigen, sehingga efektif dalam pengurangan oksigen dalam darah dan menimbulkan kematian. Gas CO berasal dari pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon. Sumber utama penghasil CO adalah sektor transportasi. Konsentrasi CO di ambien yang paling tinggi jumlahnya ada di pusat kota-kota besar, dimana hampir seluruhnya berasal dari kegiatan kendaraan bermotor (Cooper dan Alley, 1994; Nevers, 2000; Tjokrokusumo, 1998) Faktor Emisi Kendaraan Bermotor Menurut Yanuar (2012), faktor emisi diartikan sebagai berat polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran menggunakan bahan bakar selama kurun waktu tertentu. Selain itu menurut Supriyadi (2009), faktor emisi adalah suatu faktor untuk memperkirakan besarnya emisi dari satu sumber polusi udara. Faktor emisi pada kebanyakan kasus merupakan rata-rata dari semua data yang sudah tersedia dan menggambarkan kualitas udara, yang umumnya diasumsikan sebagai data representatif dalam jangka waktu lama untuk berbagai kategori sumber. Evaluasi kualitas udara harus mendapatkan data yang akurat dalam hal jumlah dan karakteristik emisi yang berkontribusi mengemisikan polutan di ambien. Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi tipe dan mengestimasi jumlah emisi yaitu faktor emisi. Faktor emisi berhubungan dengan tipe dan jumlah polutan yang dihasilkan sebagai indikator seperti kapasitas produksi, jumlah bahan bakar yang digunakan atau jarak tempuh dari kendaraan bermotor (Liu, 1999). II-10

11 Jika diasumsikan bahan bakar yaitu oktana yang akan menghasilkan pembakaran sempurna, maka stoikiometri pembakaran sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994). C8H O N2 8 CO2 + 8 H2O N2 Reaksi kimia diatas dapat berubah sesuai dengan perbandingan penggunaan bahan bakar dan jumlah udara yang digunakan saat proses pembakaran. Reaksi diatas disebut rasio udara-bahan bakar (air-to-fuel ratio atau AFR). Adapun faktor emisi kendaraan bermotor yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.6 Faktor Emisi Indonesia Kategori CO (g/km) Sepeda Motor 14 Mobil Penumpang 32,4 Mobil Bus 11 Mobil Truk 8,4 Sumber : KLH, Model Matematis dalam Prakiraan Pencemaran Udara Konsentrasi dan pola dispersi polutan dapat diperkirakan dengan menggunakan model matematis. Model diklasifikasikan berdasarkan bentuk sumber emisi, seperti sumber titik, garis, atau area. Ada dua pendekatan matematis yang dapat digunakan untuk menjelaskan difusi atmosfer yaitu pendekatan Eulerian dan Langrangian. Masing-masing pendekatan tersebut dapat diaplikasikan dalam pemodelan pendispersian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam pendugaan dispersi polutan antara lain, model fixed-box dan model Gaussian (Satria, 2006; Supriyadi, 2009). Model Gaussian selanjutnya dapat dikembangkan untuk memprediksi konsentrasi polutan oleh kendaraan bermotor, seperti model Finite Length Line Source (FLLS), General Finite Line Source (GFLS), dan Delhi Finite Line Source (DFLS). Adapun kelebihan dan kekurangan dari model Finite Length Line Source (FLLS) dan model Delhi Finite Line Source (DFLS), yaitu: II-11

12 Model FLLS Kelebihan: - Dapat digunakan pada jenis lalu lintas heterogen. - Dapat digunakan di daerah dengan kecepatan angin rendah. - Memperhatikan segmen jalan dan koefisien dispersi arah horizontal (σ ). - Menganggap angin sejajar dengan daerah reseptor dan tegak lurus dengan jalan. Model DFLS Kelebihan: - Dapat digunakan pada jenis lalu lintas heterogen. - Dapat digunakan pada kondisi stabilitas atmosfer tidak stabil (kecepatan angin di lokasi 3-5 m/s dan intensitas radiasi matahari 600 W/m 2 ). Kekurangan: - Hanya memperhatikan stabilitas atmosfer dan arah angin. - Menganggap polutan pada reseptor bernilai sama jika titik reseptor berjarak sama. Kekurangan: - Mengabaikan pengaruh maximum mixing height (MMH). - Mengabaikan koefisien dispersi arah horizontal (σ ). 2.7 Pemodelan Delhi Finite Line Source (DFLS) Model ini dikembangkan oleh peneliti India yaitu Khare dan Sharma pada tahun 1999 di Kota Delhi, India. Model ini sesuai jika digunakan untuk memprediksi polutan udara yaitu CO dari kendaraan bermotor di jalan raya, serta pada jenis lalu lintas yang heterogen. Lalu lintas heterogen yang dimaksud adalah lalu lintas yang memiliki komposisi pengguna jalan raya yang terdiri dari kendaraan bermotor, non-kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Lalu lintas heterogen biasanya ditemukan pada negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia. Metode yang digunakan dalam pemodelan dispersi polutan di udara dinyatakan dengan persamaan diferensial. Kemudian ditemukan solusi analisa dimana konsentrasi polutan II-12

13 dinyatakan menggunakan distribusi Gaussian. Dengan analisa pendekatan rumus untuk konsentrasi yang kondisi anginnya steady state (stabil) dari sumber titik yang dilakukan oleh Sutton, selanjutnya dikembangkan oleh Pasquill dan Gifford dengan rumus sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007). C (x,y,z;h) =....ū. exp x exp ( ) + exp ( ) (2.1) Keterangan : C = Konsentrasi polutan (g/m 3 ) Q = Laju emisi dari sumber titik (g/detik) σy dan σz = Koefisien dispersi arah horizontal dan vertikal (m) ū = Rata-rata kecepatan angin horizontal (m/detik) z = Tinggi penerima atau alat pemantau dari permukaan (m) H = Tinggi efektif cerobong (m) = h + Δh x dan y = Arah angin dan jarak lateral dari sumber ke titik penerima (m) Secara mendasar model dispersi Gaussian diaplikasikan untuk sumber titik tunggal, seperti cerobong. Model Gaussian juga dapat dimodifikasi untuk menghitung sumber garis (seperti emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor di sepanjang jalan raya) atau sumber area (dalam satu model menggunakan banyak sumber titik). Sumber garis biasanya ditemui saat memodelkan difusi atmosfer dari polusi kendaraan dan dari sumber garis yang terbatas (General Finite Line Source/GFLS). Pada sumber garis ini harus digunakan pendekatan dengan serangkaian sumber titik. Sumber garis dapat dikatakan sebagai rangkaian dari sumber titik. Untuk mendapatkan rumus sumber garis digunakan persamaan diferensial dari sumber titik sebelumnya yaitu rumus Gaussian. Pada tahun 1986, Luhar dan Patil mengembangkan persamaan Gaussian tersebut sehingga didapatkan persamaan untuk mencari konsentrasi polutan di sumber garis. Persamaan GFLS dinyatakan sebagai berikut (Nagendra dan Khare, 2002; Khare dan Nagendra, 2007). II-13

14 C (x1, y1, z; ho) =....ū x exp ( ) + exp ( ) x erf.. + erf.. (2.2) Keterangan : C = Konsentrasi polutan (g/m 3 ) QL L θ = Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik) = Batas panjang jalan = Sudut angin relatif terhadap jalan σy dan σz = Koefisien dispersi arah horizontal dan vertikal (m) ūe z ho = Kecepatan angin efektif (m/detik) = ū Sin θ + Uo = Tinggi penerima atau alat pemantau dari permukaan (m) = Tinggi efektif sumber (m) Namun peneliti Khare dan Sharma (1999) memodifikasi persamaan GFLS saat mengevaluasi performa model GFLS untuk kondisi kemacetan di India. Erf pada rumus merupakan fungsi error. Persamaam (2.2) digunakan untuk memprediksi nilai CO di India. Nilai prediksi yang didapatkan dari persamaan dibandingkan dengan nilai observasi dan ditemukan bahwa nilai prediksi model melebihi nilai observasi. Namun setelah menghilangkan fungsi error nilai model sesuai dengan hasil observasi. Kemudian persamaan tersebut disebut model Delhi Finite Line Source (DFLS). Persamaan DFLS dinyatakan sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007). C =....ū x exp ( ) + exp ( ) (2.3) Keterangan : C = Konsentrasi pencemar di udara ambien (g/m 3 ) QL σz ūe z ho = Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik) = Koefisien dispersi arah vertikal (m) = Kecepatan angin efektif (m/detik) = Tinggi penerima atau alat pemantau dari permukaan (m) = Tinggi efektif sumber (m) II-14

15 Persamaan (2.3) secara spesifik menggunakan parameter dispersi sebagai fungsi arah angin di jalan dan jarak dari sumber. Data yang digunakan dalam rumus DFLS dijelaskan secara rinci yaitu sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007): 1. Laju emisi Laju emisi (QL) bergantung pada volume kemacetan di jalan raya, komposisi kendaraan, dan mode operasi kendaraan. Faktor emisi juga mempengaruhi laju emisi pencemar. Setiap parameter pencemar memiliki nilai faktor emisi yang berbeda-beda. Rumus laju emisi dinyatakan sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994; Khare dan Nagendra, 2007). QL = n x FE (2.4) Keterangan : QL = Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik) n = Jumlah kendaraan per jam (kendaraan/jam) FE = Faktor Emisi (g/km.kendaraan) Adapun faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan mengacu pada KLH Tahun 2013 yang dapat dilihat pada Tabel Kecepatan angin Dalam persamaan Gaussian konsentrasi polutan berbanding terbalik dengan kecepatan angin. Kecepatan angin efektif (ūe) diasumsikan sebagai rata-rata komponen angin ambien (ū) dan koreksi kecepatan angin (Uo). Koreksi kecepatan angin tergantung stabilitas atmosfer dan diasumsikan konstan yang dijelaskan oleh bilangan Richardson (lihat Tabel 2.8). Adapun rumus untuk menghitung kecepatan angin efektif adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007). ūe = ū sin θ + U0 (2.5) Keterangan : ū = Kecepatan angin di lokasi sampling θ = Sudut angin relatif terhadap jalan U0 = Nilai parameter dalam stabilitas atmosfer (lihat Tabel 2.8) II-15

16 3. Koefisien dispersi arah vertikal Koefisien dispersi arah vertikal (σz) tergantung jarak angin dari sumber dan stabilitas atmosfer. Rumus untuk menghitung koefisien dispersi arah vertikal dapat menggunakan persamaan 2.6 berikut ini (Khare dan Nagendra, 2007). σz = (a + b ) c (2.6) Keterangan : x = Jarak alat pemantau dari sumber (m) θ = Sudut angin relatif terhadap jalan ( o ) a, b, dan c = Nilai parameter dalam stabilitas atmosfer (lihat Tabel 2.8) Untuk arah angin θ > 180 o = arah angin di lokasi sudut kemiringan jalan Untuk arah angin θ < 180 o = arah angin di lokasi - sudut kemiringan jalan Persamaan sin θ untuk kondisi tidak stabil dan netral, Sin θ 0, ,7758 sin θ (2.7a) Persamaan sin θ untuk kondisi stabil, Sin θ 0, ,8534 sin θ (2.7b) Sudut kemiringan jalan dapat dicari dengan menggunakan ilustrasi pada gambar 2.2 berikut. Gambar 2.2 Sketsa Arah Angin II-16

17 4. Ketinggian sumber Tinggi efektif sumber (ho) dianggap sebagai jumlah dari ketinggian sumber garis/tinggi knalpot (H) dan tinggi plume. Persamaan untuk mencari tinggi efektif sumber adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007). ho = H + ( ),. x (2.8) Keterangan : H = Tinggi sumber garis/tinggi knalpot (m) F1 = 1,5 g/ To (To = temperatur (Kelvin); g = gravitasi bumi) α = Nilai parameter dalam stabilitas atmosfer (lihat Tabel 2.8) U = ū sin θ + U1 5. Kelas stabilitas atmosfer x = Jarak alat pemantau dari sumber (m) Stabilitas atmosfer secara langsung mempengaruhi dispersi pencemar dalam model Gaussian. Stabilitas dijelaskan dalam bilangan Richardson dengan tiga kategori stabilitas yaitu tidak stabil, stabil dan netral. Sebelum menentukan kelas stabilitas dalam bilangan Richardson, terlebih dahulu menentukan kelas stabilitas Pasquill-Gifford pada Tabel 2.4. Kelas stabilitas dalam bilangan Richardson dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7 Kelas Stabilitas dalam Bilangan Richardson Kondisi kestabilan atmosfer Bilangan Richardson Bilangan Pasquill-Gifford Stabil Ri > 0,07 E-F Netral 0,07 Ri > -0,1 C-D Tidak Stabil Ri -0,1 A-B Sumber : Ashrafi et al, 2001 dalam Rahayu, Setelah mengetahui kelas stabilitas dalam bilangan Richardson (stabil, netral atau tidak stabil), selanjutnya dapat ditentukan nilai parameter yang akan digunakan pada model DFLS. Nilai pameter ini digunakan untuk menghitung kecepatan angin efektif, koefisien dispersi arah vertikal, dan ketinggian efektif sumber. Nilai parameter yang digunakan dalam persamaan model DFLS dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut. II-17

18 Tabel 2.8 Nilai Parameter dalam Persamaan Model DFLS Parameter a b c α U 1 U 0 Stabil 1,49 0,15 0,77 20,7 0,18 0,23 Ri > 0,07 Netral 1,14 0,10 0,97 11,1 0,27 0,38 0,07 Ri > -0,1 Tidak stabil 1,14 0,03 1,33 11,1 0,27 0,63 Ri -0,1 Sumber : Khare dan Nagendra, Asumsi yang digunakan dalam pemodelan ini adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007): 1. Line source (sumber garis/jalan) untuk sumber polutannya adalah lurus. 2. Data meteorologi adalah valid. 3. Polutan CO hanya berasal dari kendaraan bermotor di sepanjang line source. Selain itu, polutan CO tidak bersifat reaktif yaitu tidak mengalami perubahan fisika dan kimia akibat bereaksi dengan partikel lain. Laju perubahan bentuk serta penghilangannya tidak diperhitungkan. 4. Pergerakan polutan searah dengan arah angin. 2.8 Validasi Model Data hasil pemodelan (CO hitung) dengan data hasil sampling (CO terukur) perlu diketahui keakuratannya. Salah satu cara untuk mengetahui keakuratan data tersebut yaitu dengan validasi. Validasi data menggunakan persamaan Index of Agreement/ IOA (d). Validasi ini yang sering digunakan untuk membandingkan konsentrasi CO hitung dengan konsentrasi CO terukur. Menurut Khare dan Sharma (1999), indeks d memberikan tafsiran yang lebih baik dalam hasil pemodelan untuk menentukan besaran dan nilai yang diamati serta lebih peka terhadap perbedaan dari konsentrasi CO terukur dan konsentrasi CO hitung. Menurut Willmott dalam Rahayu (2012), IOA merupakan suatu derajat keakuratan yang menunjukkan seberapa akurat data observasi (CO terukur) yang diprediksi oleh hasil perhitungan model. Berikut rumus untuk menghitung validasi data menggunakan persamaan IOA (Khare dan Sharma, 1999). II-18

19 d = 1 - Ʃ ( ) Ʃ ( ) (2.9) Keterangan : P = Konsentrasi CO hitung O = Konsentrasi CO terukur Omean = Konsentrasi CO rata-rata dari konsentrasi CO terukur Hasil dari validasi IOA (d) dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu Sempurna (d = 1), Baik (0,8 d < 1), Sedang (0,7 d < 0,8) dan Buruk (d < 0,7). Dari hasil validasi dapat dilihat kesesuaian data prediksi konsentrasi CO hitung dengan data konsentrasi CO terukur. Nilai d dengan rentang nilai 0,8-1 menandakan bahwa tingkat kesesuaian antara model dengan hasil pengukuran tinggi, sehingga model sesuai untuk digunakan. II-19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melakukan pengamatan kendaraan yaitu menghitung jenis dan jumlah kendaraan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 (BPS Provinsi Sumut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup semua mahluk hidup terutama manusia. Seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur mulai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km 2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah

Lebih terperinci

ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS

ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS 1 ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS Agustina Rahayu* dan Arie Dipareza Syafei Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo, Jl. A.R

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Udara merupakan zat yang penting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian,

Lebih terperinci

Tabel 3. Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000

Tabel 3. Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000 Tabel 3. Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000 Moda Perjalanan Orang Harian Seluruh Moda 29,168,330 Non-Motorized of Transport 8,402,771 Motorized of Transport 20,765,559

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 PREDIKSI KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO) DAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI JALAN S.PARMAN MEDAN MENGGUNAKAN BOX MODEL STREET CANYON TUGAS AKHIR Oleh REZA DARMA AL FARIZ 130407011

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T.

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T. PEMODELAN DISPERSI SULFUR DIOKSIDA (SO ) DARI SUMBER GARIS MAJEMUK (MULTIPLE LINE SOURCES) DENGAN MODIFIKASI MODEL GAUSS DI KAWASAN SURABAYA SELATAN Oleh: Wisnu Wisi N. 3308100050 Dosen Pembimbing: Abdu

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan suatu negara, bangsa, daerah atau wilayah yang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, akan mendorong meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR NOMENKLATUR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA DENGAN PEMODELAN DELHI FINITE LINE SOURCE (Studi Kasus: Jalan MT. Haryono, Medan)

PRAKIRAAN KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA DENGAN PEMODELAN DELHI FINITE LINE SOURCE (Studi Kasus: Jalan MT. Haryono, Medan) PRAKIRAAN KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA DENGAN PEMODELAN DELHI FINITE LINE SOURCE (Studi Kasus: Jalan MT. Haryono, Medan) TUGAS AKHIR Oleh EVA TIORILLYS MASHALY 120407002 Pembimbing I Prof. Dr. Ir. Muh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014. Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1

CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014. Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1 CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014 Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1 Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia

Lebih terperinci

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian dan kandungan gas atmosfer. 2. Memahami fungsi

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM :

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM : PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG Grace Wibisana NRP : 9721053 NIRM : 41077011970288 Pembimbing : Ir. Budi Hartanto Susilo, M. Sc Ko-Pembimbing : Ir. Gugun Gunawan,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN 1. Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas oleh kita ketika kita melihat timbunan sampah di pasar-pasar, pendangkalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

MODUL X CALINE4. 1. Tujuan Praktikum

MODUL X CALINE4. 1. Tujuan Praktikum MODUL X CALINE4 1. Tujuan Praktikum Praktikan mampu menggunakan model Caline4 untuk memprediksi sebaran gas karbon monoksida akibat emisi gas kendaraan bermotor. Praktikan mampu menganalisa dampak dari

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udarajuga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi Lampung, Indonesia. Berdasarkan Profil Penataan Ruang Kabupaten dan Kota Provinsi Lampung Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jaringan jalan memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai prasarana untuk memindahkan/transportasi orang dan barang, dan merupakan urat nadi untuk mendorong

Lebih terperinci

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio)

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Abdu Fadli Assomadi Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim karakteristik tinggi skala (scale height) Dalam mempelajari

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Berkembang yang melakukan pembangunan secara berkala. Pembangunan infrastruktur, industri, ekonomi yang bertujuan untuk memajukan negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL EMISI KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KOTA SURABAYA

KAJIAN MODEL EMISI KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KOTA SURABAYA KAJIAN MODEL EMISI KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KOTA SURABAYA Pembimbing: Prof. Ir. Joni Hermana, MScES, Ph.D Aryo Sasmita 3309 201 005 Program Magister Teknik Lingkungan FTSP - ITS PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI

PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI Yulia Fitri, Sri Fitria Retnawaty Prodi Fisika Universitas Muhammadiyah Riau Jl.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer Komposisi atmosfer secara alamiah adalah gas yang jumlahnya dapat tetap atau berfluktuasi dari waktu ke waktu seiring dengan adanya aktivitas makhluk hidup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan Kota DKI Jakarta yang semakin pesat, ditambah dengan perkembangan kota-kota penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah membuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) 9 Kasus 2 : - Top of model : 15 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3 Desember 211 - Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO 2 dan SO 2 3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode kuantitatif dengan cara menghitung jenis dan jumlah kendaraan untuk mendapatkan laju emisi. Selanjutnya laju emisi dimasukkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif

Lebih terperinci

Pi Oi (9) T2 T1. Pn = Po - Ka (Tn-To) (10)

Pi Oi (9) T2 T1. Pn = Po - Ka (Tn-To) (10) 7 RMSE = N i=l Keterangan: Pi = Konsentrasi CO dari ISPU Oi = Konsentrasi CO dari hasil perhitungan Pi Oi N 2 (7) Root Mean Square Error (RMSE) digunakan untuk mengukur tingkat akurasi hasil prakiraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota yang menjadi hunian dan tempat mencari kehidupan sehari-hari harus bisa

BAB I PENDAHULUAN. kota yang menjadi hunian dan tempat mencari kehidupan sehari-hari harus bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin bertambahnya aktivitas manusia di perkotaan membawa dampak semakin sulitnya pemenuhan tuntutan masyarakat kota akan kesejahteraan, ketentraman, ketertiban

Lebih terperinci

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kontaminan Adalah semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang bersih. 2. Cemaran (Pollutant) Adalah kontaminan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

ESTIMATION COST OF EMISSION AND SO 2 CONCENTRATION FROM TRANSPORTATION SECTOR WITH DFLS MODEL CASE STUDY SOUTH OF SURABAYA (GAYUNGSARI BARAT STREET)

ESTIMATION COST OF EMISSION AND SO 2 CONCENTRATION FROM TRANSPORTATION SECTOR WITH DFLS MODEL CASE STUDY SOUTH OF SURABAYA (GAYUNGSARI BARAT STREET) ESTIMATION COST OF EMISSION AND SO 2 CONCENTRATION FROM TRANSPORTATION SECTOR WITH DFLS MODEL CASE STUDY SOUTH OF SURABAYA (GAYUNGSARI BARAT STREET) ESTIMASI BEBAN EMISI DAN KONSENTRASI SO 2 DARI SEKTOR

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL PENYEBARAN KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN INDUSTRI KOTA SURABAYA DIAH WIJAYANTI JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

KAJIAN MODEL PENYEBARAN KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN INDUSTRI KOTA SURABAYA DIAH WIJAYANTI JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN KAJIAN MODEL PENYEBARAN KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN INDUSTRI KOTA SURABAYA DIAH WIJAYANTI 3309201002 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN Menurut Boubel dkk (1994): gas yang dianggap sebagai polutan adalah SO x,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lalu lintas kendaraan bermotor di suatu kawasan perkotaan dan kawasan lalu lintas padat lainnya seperti di kawasan pelabuhan barang akan memberikan pengaruh dan dampak

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH LALU LINTAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PELABUHAN TERHADAP MUTU UDARA AMBIEN

ANALISIS PENGARUH LALU LINTAS KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PELABUHAN TERHADAP MUTU UDARA AMBIEN JURNAL REKAYASA SIPIL (JRS-UNAND) Vol. 13 No. 1, Februari 2017 Diterbitkan oleh: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Andalas (Unand) ISSN (Print) : 1858-2133 ISSN (Online) : 2477-3484 http://jrs.ft.unand.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bandara merupakan salah satu sumber tarikan perjalanan bagi suatu zona. Meningkatnya aktivitas di bandara dapat menyebabkan jumlah perjalanan yang tertarik ke tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3

KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3 KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3 TUGAS AKHIR Oleh DYAH WULANDARI 120407030 Pembimbing I Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang sangat bernilai dan diperlukan saat ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun pada sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada awal bulan Mei 2008 hingga bulan Nopember 2008. Lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan senyawa campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandung nitrogen, oksigen, uap air dan gas-gas lain. Udara ambien,

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume kendaraan, kecepatan kendaraan dan analisis kualitas udara disekitar kemacetan jalan Balaraja Serang. Hal

Lebih terperinci