BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer Komposisi atmosfer secara alamiah adalah gas yang jumlahnya dapat tetap atau berfluktuasi dari waktu ke waktu seiring dengan adanya aktivitas makhluk hidup di muka bumi yang menyumbangkan zat-zat lain ke dalam atmosfer. Atmosfer sendiri berfungsi mencegah terjadinya pemanasan atau pendinginan yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu yang berguna bagi kehidupan organisme di permukaan bumi. Atmosfer merupakan media yang bersifat dinamis karena memiliki kemampuankemampuan seperti: penyebaran, pengenceran, difusi, dan transformasi fisika-kimia dalam mekanisme pergerakan atmosferik. Pergerakan atmosferik inilah yang menjadi faktor besar-kecilnya keberadaan polutan setelah diemisikan dari sumber emisinya (Ruhiyat, 2009). Udara pada lapisan troposfer relatif homogen karena tercampur secara merata dan cepat asalkan udara tersebut tidak tercemar. Komposisi gas-gas utama di atmosfer adalah oksigen (20%), karbon dioksida (0,03%), nitrogen (79%), air (jumlahnya bervariasi tergantung pada penguapan, pembentukan awan, dan presipitasi yang terjadi pada suatu daerah), serta gas-gas mulia dalam jumlah sedikit. Semua komposisi udara umumnya merupakan komposisi utama pembentuk makhluk hidup kecuali gas nitrogen. Gas-gas tersebut mempunyai siklus yang mekanismenya dapat berupa penyerapan langsung oleh organisme, perubahan menjadi senyawa-senyawa yang lebih kompleks, atau dalam bentuk ion yang larut dalam air (Akhadi, 2009). Komposisi atmosfer dalam keadaan normal dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal Jenis Komponen Nitrogen (N 2 ) Oksigen (O 2 ) Argon Karbon Dioksida (CO 2 ) Gas-gas mulia dalam jumlah sedikit: a. Neon b. Helium Kadar Komponen ppm % per Liter Udara , , , , ,2 - -

2 Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal (Lanjutan) Jenis Komponen c. Metana d. Krypton e. NO 3 f. H 2 g. Xenon h. NO 2 i. Ozon Kadar Komponen ppm % per Liter Udara 1 1, ,5-0,5-0,08-0,02-0,01 0,04 - Catatan: 1 ppm adalah satu bagian per sejuta, 1 ml gas dalam 1 juta Sumber: Ryadi (1982) 2.2 Pencemar Udara Pencemar udara adalah substansi yang ada di atmosfer dimana pada kondisi tertentu keberadaannya dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan merusak bahan bangunan (Oke, 1978 dalam Ruhiyat, 2009) Karbon Monoksida (CO) Pembentukan Karbon Monoksida (CO) Secara umum terbentuknya gas CO adalah melalui proses pembakaran bahan bakar fosil dengan udara dimana pemakaian udaranya tidak stoikhiometris atau tidak sempurna yaitu harga ER (equivalent ratio)> 1 dimana bahan bakar yang digunakan lebih banyak dari udara (Wardhana, 2004; Akhadi, 2009). Reaksi yang terjadi adalah: 2C + O 2 2CO Selain itu, pembakaran yang terjadi pada tekanan rendah dan suhu tinggi mengakibatkan terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO 2 ) dengan karbon C yang menghasilkan gas CO seperti pada pembakaran internal mesin kendaraan bermotor. Gas CO juga dapat dihasilkan oleh gas CO 2 yang terurai kembali menjadi gas CO pada suhu tinggi, dengan reaksi: CO 2 + C CO Gas CO dapat terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna pada proses industri dan pembakaran pada mesin kendaraan bermotor. Selain itu, gas CO juga dapat terbentuk secara alamiah walupun konsentrasinya sedikit yaitu dari letusan gunung II-2

3 berapi, proses biologi, dan lain sebagainya (Wardhana, 2004). Gas CO yang ada di udara diperkirakan sekitar 80% bersumber dari sektor transportasi. Konsentrasi gas ini di perkotaan berbanding lurus dengan kepadatan lalu lintas. Umur gas CO di udara diperkirakan selama 0,3 tahun, setelah itu gas CO akan berubah menjadi gas CO 2 apabila bereaksi dengan oksigen. Proses oksidasi ini dapat berlangsung apabila terdapat sinar matahari yang cukup dan berjalan kurang lebih 0,1 persen per jam (Akhadi, 2009) Dampak Polutan Karbon Monoksida (CO) Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, rata-rata terjadi beberapa kasus kematian tiap tahunnya akibat paparan gas CO dalam konsentrasi yang tinggi. Sebagian besar terjadi di dalam ruangan yang menggunakan pemanas ruangan dengan ventilasi yang buruk, pada parkiran ketika mobil dalam kondisi idle/diam, dan juga pada beberapa industri. Gas CO dapat membahayakan kesehatan karena dapat mengikat hemoglobin di dalam darah dan membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kekuatan ikatan CO dengan hemoglobin sekitar 220 kali lebih kuat daripada dengan oksigen, sehingga walaupun gas CO dihirup dalam konsentrasi yang sedikit dapat menyebabkan sejumlah besar hemoglobin dalam darah diikat sebagai COHb. Hal ini menyebabkan fungsi peredaran darah tidak normal karena darah tidak mengangkut oksigen, sehingga sel-sel di dalam tubuh kekurangan oksigen (Nevers, 2000). Gejala awal dapat berupa pusing, penurunan tingkat kewaspadaan, kelainan fungsi saraf, perubahan fungsi jantung dan paru-paru, serta sesak nafas. Bila kadar CO dalam udara sebesar 250 ppm dapat menyebabkan pingsan dan dapat mengakibatkan kematian bila kadarnya lebih dari 750 ppm (Akhadi, 2009). Dampak paparan gas CO dalam berbagai konsentrasi di dalam darah terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia % Hemoglobin dalam Darah yang Berubah Menjadi CoHb Dampak Gangguan fisiologis bagi orang yang bukan perokok Penurunan fungsi kardio; perubahan aliran darah; dan setelah paparan yang cukup lama dapat mengubah konsentrasi sel darah merah Penurunan fungsi penglihatan, penurunan tingkat kewaspadaan, menurunkan kapasitas bekerja II-3

4 Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia (Lanjutan) % Hemoglobin dalam Darah yang Berubah Menjadi CoHb Dampak Pada perokok akan merusak sel darah merah Sakit kepala ringan, lesu, susah bernapas, pembesaran sel darah merah di bawah kulit, gangguan penglihatan, dan dapat mengganggu perkembangan janin Sakit kepala berat, mual, penurunan ketangkasan Otot-otot melemah, mual, muntah, penglihatan kabur, sakit kepala berat, iritasi Pingsan, koma Koma, sulit bernapas, terkadang berdampak fatal >70.0 Fatal, kematian Sumber: Nevers (2000) Nitrogen Dioksida (NO 2 ) Pembentukan Nitrogen Dioksida (NO 2 ) Nitrogen dioksida (NO 2 ) merupakan salah satu jenis nitrogen oksida (NO x ). Terdapat berbagai jenis nitrogen oksida yaitu termasuk dinitrogen oksida (N 2 O), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO 2 ), nitrogen trioksida (N 2 O 3 ), dan nitrogen pentaoksida (N 2 O 5 ). Namun, NO dan NO 2 adalah jenis nitrogen oksida yang paling banyak menimbulkan pencemaran udara. NO adalah gas yang tidak berwarna dan pada reaksi fotokimia dapat menghasilkan kabut. Sementara itu, NO 2 berwarna cokelat kemerahan yang memberi warna pada kabut dan berkontribusi menghasilkan opasitas pada gas buang cerobong (Schnelle dan Brown, 2002). Pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri dan transportasi menyumbang gas NO sebesar 98% dari total gas NO x yang terbentuk. Di Amerika Serikat, sektor transportasi diperkirakan mengemisikan sekitar 50% dari kadar NO dalam atmosfer setiap tahunnya. Di dalam udara, gas NO bersifat tidak stabil dan dapat teroksidasi menjadi gas NO 2 (Akhadi, 2009). Pembentukan gas NO dan NO 2 dapat dilihat pada reaksi berikut ini: N 2 + O NO + N N + O 2 NO + O 2NO + O 2 2NO 2 II-4

5 Reaksi pertama dan kedua dikenal dengan mekanisme Zeldovich. Reaksi pertama mempunyai energi aktivasi yang relatif tinggi (suhu tinggi), karena kebutuhannya untuk memecah ikatan N 2 yang kuat. NO pada suhu yang tinggi akan memecah atom N 2 menjadi atom tunggal yang selanjutnya akan menghasilkan NO. NO yang dihasilkan dengan reaksi ini disebut NO termal. Pada reaksi kedua, NO terbentuk oleh proses oksidasi nitrogen organik yang terdapat dalam bahan bakar. Seperti misalnya, bahan bakar minyak residu mengandung 0,2 sampai 0,8 % nitrogen, sedangkan bahan bakar batubara mengandung 1 sampai 2 % nitrogen. Pada saat pembakaran mesin, nitrogen tersebut akan teroksidasi menjadi NO. NO yang dihasilkan dengan proses ini disebut NO bahan bakar (Flagan dan Seinfield, 1988) Dampak Polutan Nitogen Dioksida (NO 2 ) Tingkat toksisitas NO 2 empat kali lebih tinggi dari NO. NO 2 akan menyerang paru-paru manusia sehingga paru-paru mengalami pembengkakan dan penderita akan kesulitan bernafas dan dapat berakibat fatal yaitu kematian. Bila terpapar dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kelumpuhan (Wardhana, 2004). Apabila gas NO 2 masuk ke dalam paru-paru akan terbentuk asam nitrit (HNO 2 ) dan asam nitrat (HNO 3 ) yang dapat merusak jaringan mucous. Konsentrasi gas NO 2 sebesar ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru walau hanya terpapar beberapa menit. Jika konsentrasi NO 2 mencapai ppm dapat menyebabkan pemampatan bronchioli dan penderita dapat meninggal dalam kurun waktu 3 5 minggu. Bila konsentrasi NO 2 mencapai lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan kematian dalam waktu 2 5 hari saja. Selain itu, asam nitrit dan asam nitrat dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan sehingga menimbulkan diare (Akhadi, 2009). 2.3 Sumber Pencemar Udara Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pasal 1 ayat 1, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. II-5

6 Pencemaran udara juga dapat diartikan sebagai adanya penambahan bahan-bahan tertentu atau zat-zat asing ke dalam udara yang dapat mengubah susunan atau komposisi di dalam udara tersebut sehingga komposisinya berbeda dari keadaan normal. Adanya penambahan za-zat asing ini pada konsentrasi tertentu dan waktu yang lama dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan (Wardhana, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah pasal 1 ayat 3, sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berdasarkan jenisnya, sumber pencemar dapat dikategorikan menjadi sumber pencemar alamiah dan sumber pencemar akibat dari aktivitas manusia. Sumber pencemar alamiah contohnya serbuk sari tanaman, debu terbang akibat pergerakan angin, dan letusan gunung berapi. Sumber pencemar akibat aktivitas manusia contohnya kegiatan transportasi, proses industri, pembangkit, incinerator, dan lain sebagainya (Liu, 1999). Selain itu, sumber pencemar juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah dan distribusi spasialnya yaitu sumber titik, garis, dan area (Liu, 1999). Contoh dari sumber titik adalah industri manufaktur yang mempunyai cerobong, boiler di hotel, dan lainlain. Sumber area dapat diwakili oleh stasiun pengisian bahan bakar, terminal bus, dan lain-lain, sedangkan sumber garis contohnya seperti kegiatan transportasi di jalan raya (KLH, 2013). Sumber pencemar yang termasuk emisi gas antara lain karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO 2 ), dan nitrogen oksida (NO x ). Sedangkan sumber pencemar yang termasuk emisi partikulat adalah termasuk asap dan debu yang diemisikan dari berbagai sumber. Seringnya, suatu sumber pencemar udara menghasilkan kedua jenis emisi gas dan polutan (Liu, 1999). Saat berada di atmosfer, polutan dapat dikategorikan menjadi polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan yang selama berada di udara hampir tidak pernah mengalami perubahan bentuk. Keadaannya tetap sama saat ia diemisikan dari sumbernya semula. Polutan primer yaitu termasuk sulfur dioksida (SO 2 ), karbon II-6

7 monoksida (CO), nitrogen oksida (NO x ), gas metan (CH 4 ) dan partikulat. Sedangkan polutan sekunder adalah polutan yang selama berada di udara mengalami perubahan dari bentuknya semula karena reaksi foto-kimia dan reaksi oksida katalis. Umumnya polutan sekunder ini merupakan hasil antara polutan primer dengan kontaminan lain yang ada di udara. Polutan sekunder antara lain hidrokarbon dan oksidan fotokimia (Ryadi, 1982). Menurut Kusminingrum dan Gunawan (2008), sektor transportasi merupakan sumber pencemaran udara terbesar di wilayah perkotaan yaitu sebesar 70%. Hal ini dapat disebabkan oleh pesatnya pembangunan dalam bidang industri dan teknologi sehingga meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Akibatnya udara yang kita hirup sehari-hari tercemar oleh gas yang diemisikan oleh kendaraan bermotor tersebut (Wardhana, 2004). Hal-hal seperti ini banyak dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan karena tingkat mobilitas penduduk yang tinggi sehingga kebutuhan akan jumlah kendaraan bermotor juga tinggi. 2.4 Faktor Emisi Salah satu pendekatan untuk memprediksi jenis dan memperkirakan jumlah emisi adalah dengan menggunakan faktor emisi. Faktor emisi adalah tingkat rata-rata polutan yang dilepaskan ke udara sebagai hasil dari aktivitas manusia seperti proses industri lalu dibagi dengan tingkat aktivitas tersebut. Faktor emisi berhubungan dengan jenis dan jumlah polutan yang dikeluarkan, jumlah bahan bakar yang digunakan, atau jarak tempuh kendaraan (Liu, 1999). Apabila faktor emisi dan tingkat aktivitas diketahui, maka perkalian antara keduanya akan menghasilkan beban emisi. Faktor emisi memungkinkan perkiraan beban emisi dari beberapa sumber emisi. Faktor emisi yang biasa digunakan untuk polutan CO dan NO 2 ditunjukkan pada Tabel 2.3. Untuk menghitung beban emisi yang berasal dari aktivitas transportasi dapat menggunakan Persamaan (2.1) (Hidayatullah, 2012). Beban emisi (g/jam) = jumlah kendaraan per jam faktor emisi (g/km) jarak tempuh kendaraan (km) (2.1) II-7

8 Tabel 2.3 Faktor Emisi Gas Buang Kendaraan di Indonesia Kategori CO (g/km) NO 2 (g/km) Sepeda Motor 14 0,29 Angkot 43,1 2,1 Mobil 32,4 2,3 Pick-Up 31,8 2 Minibus 24 1,55 Bus 11 11,9 Truk 8,4 17,7 Sumber: KLH (2010) 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Pencemar Udara Manusia yang terkena dampak penyebaran polutan udara adalah mereka yang berada pada daerah penyebaran polutan. Sebuah metode untuk memprediksi konsentrasi polutan di atmosfer sangat diperlukan untuk mencegah atau meminimalisir dampak pencemaran udara (Rosmeika, 2014). Penyebaran pencemar udara bergantung pada kecepatan angin, arah angin, turbulensi udara dan topografi. Penyebaran pencemar udara yang berbentuk gas atau material padat di atmosfer bergantung pada pengadukan alami udara (natural mixing) yang disebabkan oleh turbulensi udara. Turbulensi ini tergantung pada radiasi energi matahari dan tutupan awan yang bervariasi dari pagi hingga malam hari pada waktu dan tempat yang berbeda (Noll dan Miller, 1977). Menurut Vyankatesh (2014), model dispersi polutan memprediksi kualitas udara dalam bentuk konsentrasinya pada berbagai polutan di berbagai tempat. Secara keseluruhan, model ini membutuhkan 2 (dua) input data yaitu: 1. Informasi mengenai polutan udara yang berasal dari satu sumber atau lebih; 2. Informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penyebaran polutan di udara seperti kecepatan dan arah angin, adanya bangunan-bangunan tinggi, adanya perbukitan di sekitar kota, dan lain-lain. Simulasi dengan pemodelan menggunakan informasi sumber polutan dan faktor yang mempengaruhi penyebaran polutan diperlukan untuk memperoleh perkiraan konsentrasi polutan pada daerah itu. II-8

9 2.5.1 Stabilitas Atmosfer Keadaan udara menjadi tidak stabil ketika terdapat pencampuran vertikal. Hal ini terjadi saat radiasi matahari kuat (siang hari) dan kecepatan angin rendah. Penyerapan radiasi matahari menyebabkan permukaan bumi memanas sehingga menghangatkan lapisan udara di dekat permukaan bumi. Udara yang hangat ini akan meningkat dan menyebabkan pencampuran vertikal (vertical mixing). Kondisi yang stabil terjadi pada saat permukaan bumi lebih dingin dari udara di atasnya (seperti saat malam hari yang cerah) (Cooper dan Alley, 1994). Pada akhir 1960-an, Pasquill mengembangkan suatu metode untuk mengklasifikasikan atmosfer yang kemudian dimodifikasi oleh Gifford pada tahun 1975 dan memunculkan enam kelas stabilitas atmosfer dengan label A F. Metode ini didasarkan pada radiasi matahari, awan, dan kecepatan angin (Liu, 1999). Penggambaran kelas stabilitas atmosfer berdasarkan Pasquill-Gifford tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4. Kecepatan Angin (m/detik) Tabel 2.4 Kriteria Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford Kuat ( > 600 W/m 2 ) Siang Hari Intensitas Radiasi Matahari Sedang ( W/m 2 ) Lemah ( < 300 W/m 2 ) Mendung Malam Hari < 2 A A-B B F F 2-3 A-B B C E F 3-5 B B-C C D E 5-6 C C-D D D D > 6 C D D D D Sumber: Turner (1969) dalam Goyal dan Kumar (2011) Gelap Keterangan: A = sangat tidak stabil B = tidak stabil C = agak tidak stabil D = netral E = agak stabil F = stabil Stabilitas atmosfer mengakibatkan perbedaan keadaan kepulan (plume). Kelas stabilitas E dan F menandakan kondisi udara stabil dimana turbulensi mekanik rendah, biasanya terjadi saat kecepatan angin tinggi dan arah angin cenderung konstan. Kondisi ini II-9

10 menghasilkan hembusan (fanning) kepulan yang tidak besar dan cenderung sempit (kecil) seperti terlihat pada Gambar 2.1a. Keadaan dimana kepulan saat turbulensi udara dalam keadaan sedikit stabil (fumigasi) ditunjukkan pada Gambar 2.1b. Hal ini terjadi saat konveksi panas radiasi matahari pada pagi hari. Kelas stabilitas D adalah netral, dengan kecepatan angin yang sedang dan pencampuran udara yang seimbang. Kondisi ini menghasilkan kepulan yang kerucut (coning) (Gambar 2.1c). Kelas stabilitas A, B, dan C menggambarkan kondisi atmosfer yang tidak stabil yang ditandai dengan variasi pencampuran udara yang tinggi. Kondisi ini dapat menghasilkan putaran (looping) kepulan seperti ditunjukkan Gambar 2.1d. Bila ketinggian efektif cerobong melebihi ketinggian pencampuran udara (mixing height), kepulan diasumsikan tetap berada di atasnya (lofting) dan konsentrasi polutan di atas permukaan tanah tidak dihitung seperti pada Gambar 2.1e (Liu, 1999). Daerah yang tidak rata meningkatkan turbulensi udara dan merubah kondisi udara ambien, biasanya akan menaikkan kelas stabilitas atmosfer 1 (satu) tingkat. Umumnya, kepulan pada kelas stabilitas A mempengaruhi suatu area dengan cepat dan mengakibatkan konsentrasi polutan tinggi di dekat sumber emisi. Pada kelas stabilitas F, kepulan mencapai permukaan tanah dalam waktu yang lama, sehingga konsentrasi polutan rendah (Liu, 1999). Gambar 2.1 Variasi Jenis Kepulan Polutan dan Stabilitas Atmosfer Sumber: Liu (1999) II-10

11 2.5.2 Arah dan Kecepatan Angin Pegunungan, lembah, dan garis pantai sangat mempengaruhi arah angin. Pada malam hari yang cerah (tidak berawan), permukaan tanah mengalami pendinginan akibat radiasi dari luar angkasa dan lapisan udara yang terbentuk di permukaan tanah akan menjadi lebih dingin dan lebih padat dari lapisan udara diatasnya. Jika kondisi topografi datar, maka lapisan udara yang terbentuk juga akan datar. Sebaliknya, jika kondisi topografi tidak datar, maka lapisan udara akan menjadi lebih padat dan akan cenderung menuruni bukit. Pada daerah lembah, udara yang dingin akan mengalir turun dan berkumpul menuruni lembah mengikuti arah aliran sungai. Pada siang hari terjadi sebaliknya, sinar matahari memanaskan udara di permukaan tanah, kemudian udara ini akan bergerak naik akibat gaya apung (buoyancy). Biasanya, salah satu sisi lembah yang terpapar sinar matahari akan lebih panas dari sisi yang lain sehingga udara akan mulai naik pada sisi itu menyebabkan perputaran aliran udara dengan porosnya sepanjang sumbu lembah (Nevers, 2000). Kecepatan angin meningkat seiring dengan tingkat elevasi permukaan tanah. Hal ini dikarenakan adanya gaya gesek di permukaan tanah yang dapat memperlambat kecepatan angin. Biasanya angin akan mencapai kecepatan gesekannya (kecepatan gradien atau geostrofik) pada ketinggian 500 m (1.640 kaki). Daerah di bawah ketinggian ini, dimana masih terdapat gaya gesekan tanah yang kuat, disebut planetary boundary layer. Kecepatan angin pada permukaan tanah sangat bergantung pada seberapa baik lapisan ini bergabung dengan lapisan di atasnya. Saat stabilitas atmosfer stabil dan terjadi inversi, ada sedikit pergerakan angin vertikal sehingga penghubung antara planetary boundary layer dan geostrofik melemah. Dengan demikian, inversi dan stabilitas atmosfer biasanya terkait dengan rendahnya kecepatan angin di permukaan tanah (Nevers, 2000). Ketika planetary boundary layer tidak stabil (biasanya pada siang hari), akan terdapat banyak gerakan vertikal di lapisan atmosfer yang lebih rendah sehingga terjadi transfer momentum antara planetary boundary layer dan geostrofik. Hal ini menyebabkan kondisi atmosfer yang tidak stabil memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi dari kondisi atmosfer yang stabil (Nevers, 2000). II-11

12 2.5.3 Kondisi Topografi Kondisi topografi suatu wilayah sangat memengaruhi pola pergerakan angin dan suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan intensitas radiasi matahari pada topografi yang cenderung datar dan topografi yang berlereng mengakibatkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya (Supriyadi, 2009). Pada siang hari, udara yang berdekatan dengan bukit memanas dengan cepat dan terus meningkat. Udara ini lalu turun ke lembah yang udaranya lebih dingin, menghasilkan putaran angin dengan pola naik lalu turun, seperti pada Gambar 2.2. Pada malam hari, udara yang lebih dingin di daerah bukit akan langsung turun ke lembah (Cooper dan Alley, 1994). Gambar 2.2 Pola Aliran Angin di Daerah Bukit dan Lembah Sumber: Cooper dan Alley (1994) Kondisi topografi dapat mempengaruhi pola pergerakan angin lokal. Salah satu contohnya adalah angin darat dan angin lepas pantai. Contoh lainnya adalah adanya urban heat island atau pulau panas yang berada di daerah perkotaan. Bangunanbangunan tinggi yang ada di tengah kota juga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pola pergerakan angin lokal (Cheremisinoff, 2002). II-12

13 2.6 Model SCREEN3 SCREEN3 adalah model steady-state Gaussian yang menggunakan data meteorologi terburuk (worst-case) untuk memperkirakan konsentrasi pencemar yang dihasilkan dari sumber emisi kontinu tunggal (EPA, 1995). SCREEN3 adalah salah satu model dispersi pencemar udara yang dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) yaitu suatu badan perlindungan lingkungan hidup di Amerika Serikat. Model SCREEN3 dapat dijalankan dalam Windows 10/8/7 dengan menggunakan program (interface) SCREEN View TM versi 4.0. SCREEN View TM versi 4.0 adalah aplikasi berbasis Microsoft Windows dan berjalan pada 32-bit dan 64-bit (Thé et al, 2016). Model kualitas udara yang dikeluarkan oleh EPA dibagi menjadi model penyaringan (screening model) dan model lanjutan (advanced model). Model SCREEN3 termasuk ke dalam jenis model penyaringan yang biasanya digunakan untuk mengetahui kualitas udara dari sumber emisi yang tidak terlalu besar. Model ini dikembangkan untuk memberikan metode perhitungan konsentrasi polutan yang mudah berdasarkan prosedur penyaringan sederhana untuk menentukan apakah suatu sumber emisi dikategorikan tidak menimbulkan masalah kualitas udara atau ada potensi menimbulkan masalah kualitas udara (EPA, 1992). Sumber emisi dari model ini merupakan sumber emisi tunggal. Bila dalam suatu lokasi penelitian terdapat beberapa sumber emisi, maka sumber-sumber emisi tersebut harus digabungkan menjadi satu sumber emisi yang representatif terhadap sumber emisi lainnya (EPA, 1995). Hasil perhitungan model SCREEN3 menunjukkan kualitas udara yang cenderung konservatif, sehingga untuk mendapatkan hasil kualitas udara yang realistik terhadap keadaan sebenarnya diperlukan model lanjutan (advanced models) (Schnelle dan Brown, 2002). Model SCREEN3 memungkinkan sekelompok sumber emisi untuk digabung menjadi satu sumber emisi dan model ini memperkirakan beberapa faktor penyebaran pencemar udara seperti elevated terrain, tarikan bangunan (building downwash), dan turbulensi dari kecepatan angin (Schnelle dan Brown, 2002). Selain itu, SCREEN3 juga menggunakan data meteorologi berupa stabilitas atmosfer dan kecepatan angin untuk memperkirakan konsentrasi maksimum pencemar udara yang merupakan fungsi jarak (EPA, 1995). II-13

14 Berdasarkan EPA S SCREEN3 model user s guide (1995), secara umum pertimbanganpertimbangan yang terdapat pada SCREEN3 yaitu: 1. Memperhitungkan Briggs plume rise yaitu kepulan gas yang keluar dari sumber emisi. Model SCREEN3 menghitung plume rise menggunakan persamaan Briggs dimana persamaan ini menghitung plume rise dengan mempertimbangkan stabilitas atmosfer. Perhitungan Briggs plume rise pada model SCREEN3 digunakan untuk menghitung konsentrasi polutan dari sumber titik. Persamaan yang digunakan adalah: b s 2 s [( T ) T ] F = gv d 4 (2.2) s dimana F b adalah buoyancy flux, v s adalah kecepatan keluaran gas dari cerobong (m/s), g adalah konstanta gravitasi (9,8 m/s 2 ), d s adalah diameter cerobong (m), T s adalah temperatur keluaran gas (K), dan (temperatur udara ambien) (K). T adalah selisih dari T s dan T a 2. Boundary layer menggunakan kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford (P-G); 3. Perhitungan konsentrasi pencemar udara menggunakan persamaan Gaussian; 4. Memperkirakan tarikan bangunan (building downwash); 5. Menggunakan simple, elevated, dan complex terrain dengan ketentuan: a. Complex terrain: ketinggian daerah sebaran melebihi tinggi keluaran sumber emisi (cerobong); b. Elevated terrain: ketinggian daerah sebaran di atas dasar cerobong tetapi dibawah tinggi cerobong; c. Simple terrain: ketinggian daerah sebaran tidak melebihi tinggi dasar cerobong. 6. Lokasi penerima (reseptor) menggunakan discrete distance atau array option; 7. Menggunakan data meteorologi terburuk (worst-case) dengan kelas stabilitas atmosfer P-G dan kecepatan angin; 8. Terdapat pilihan daerah sebaran untuk wilayah perkotaan atau pedesaan; 9. Mempertimbangkan fumigasi; 10. Tidak mempertimbangkan reaksi kimia polutan di atmosfer; 11. Memperkirakan konsentrasi 1-jam (simple terrain) untuk prediksi jangka pendek (short-term) atau 24-jam (complex terrain) untuk prediksi jangka lama (long-term); II-14

15 Pada sumber area, pilihan dataran sebaran polutan dalam model SCREEN3 hanya simple terrain. Sedangkan pada sumber titik, pilihan dataran sebaran polutan berupa simple terrain dan complex terrain. Oleh karena itu, untuk sumber area model SCREEN3 hanya dapat menghitung perkiraan konsentrasi 1 jam (short-term). Model dispersi SCREEN3 memberikan simulasi perhitungan penyebaran polutan dari sumber titik dan sumber area. Hasil perhitungan diberikan dari skenario terburuk untuk emisi dari sumber titik seperti cerobong dan flare, serta sumber area seperti kebakaran. Hasil perhitungan selanjutnya dapat dijadikan panduan dalam pemilihan peralatan dan sistem pengendalian pencemaran udara dengan skenario dispersi polutan yang berbedabeda (Cheremisinoff, 2002). SCREEN3 area source menggunakan persamaan Gaussian dimana sumber area diibaratkan berbentuk persegi panjang. Berdasarkan EPA S SCREEN3 model user s guide (1995) persamaan Gauss sumber area (area sources) yang digunakan adalah: 2 Q K V A y X = x y exp 0.5 dy dx (2.3) 2πu s σ yσ z y σ Keterangan: X = konsentrasi polutan pada permukaan tanah (µg/m 3 ) Q A = laju emisi sumber area (g/s/m 2 ) K = skala koefisien untuk mengkonversi konsentrasi terhitung ke unit yang diinginkan (nilai standar = untuk Q A dalam g/s/m 2 dan konsentrasi dalam µg/m 3 ) V = hubungan vertikal dari berbagai faktor distribusi Gaussian seperti ketinggian sumber emisi, ketinggian reseptor, dan ketinggian campuran. (mixing height). σ ; σ = standar deviasi distribusi konsentrasi pada arah x dan y (m) π u s y y z = 3,14 (konstanta) = kecepatan angin (m/s) = jarak dari sumber ke titik penerima (m) Ketinggian campuran (mixing height) pada model SCREEN3 menggunakan pilihan Brode 2 mixing height dengan nilai ketinggian campuran sebesar 300 m untuk kelas stabilitas atmosfer A (sangat tidak stabil), 100 m untuk kelas stabilitas atmosfer B (tidak stabil), dan 30 m untuk kelas stabilitas atmosfer C (agak tidak stabil) dan D (netral). II-15

16 Diagram alir model SCREEN3 sumber area dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sementara itu, beberapa asumsi dalam model ini adalah: (EPA, 1995; Leonard, 1997 dalam Ruhiyat, 2009): 1. Polutan yang diemisikan bersifat kontinu; 2. Polutan tidak mengalami transformasi secara kimia di udara; 3. Kondisi meteorologi seperti kecepatan angin, arah angin, dan turbulensi dari sumber emisi ke reseptor konstan; 4. Kepulan polutan tidak mengalami proses penyisihan apapun selama berada di udara seperti deposisi basah atau kering. 5. Komponen polutan yang mencapai permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan; Model SCREEN3 membutuhkan input data sumber emisi dan data meteorologi. Tahapan awal perhitungan konsentrasi CO dan NO 2 prediksi dengan model SCREEN3 adalah mengolah data meteorologi berupa kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari dengan menggunakan metode Pasquill-Gifford untuk mendapatkan kelas stabilitas atmosfer. Selanjutnya, input data sumber emisi berupa laju emisi polutan per unit area, tingggi sumber emisi (tinggi knalpot kendaraan bermotor = 0,3 m), panjang dan lebar terminal, dan pilihan jarak sebaran. Pilihan jarak sebaran dikategorikan menjadi discrete distances dan automated distances. Pada pilihan automated distances pengguna harus memasukkan jarak minimum dan maksimum dengan rentang jarak 100 m hingga m. Sementara itu, pilihan discrete distances memberikan perhitungan konsentrasi maksimum polutan pada jarak spesifik yang dimasukkan oleh pengguna dengan jangkauan jarak 1 m hingga m. Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan perhitungan konsentrasi CO dan NO 2 dengan model SCREEN3 dapat dilihat pada Gambar 2.3. II-16

17 Mulai Pengolahan Data Meteorologi Model SCREEN3 Kecepatan angin Intensitas Radiasi Matahari Laju emisi per unit area Tinggi sumber emisi Panjang dan lebar terminal Metode Pasquill-Gifford Kelas stabilitas atmosfer Pencarian melalui berbagai arah angin? Tidak Ya Arah angin (derajat) Pilihan jarak sebaran (automated or discrete distances) Run program Konsentrasi CO dan NO 2 prediksi Selesai Gambar 2.3 Diagram Alir Model SCREEN3 Perhitungan konsentrasi pada jarak yang sesuai dengan arah angin tergantung pada orientasi area tersebut terhadap arah angin. Model SCREEN3 menyediakan 2 (dua) pilihan dalam menentukan arah angin, yaitu: 1. Ya: Bila memilih pilihan ini, model SCREEN3 akan menghitung konsentrasi maksimum polutan melalui berbagai arah angin. Penentuan arah angin berdasarkan aspek rasio dari sumber area, stabilitas atmosfer, dan jarak yang sesuai dengan arah angin (downwind distance). Pilihan ini merupakan pengaturan standar model SCREEN3 dan yang direkomendasikan untuk pengguna. 2. Tidak: Bila memilih pilihan ini, pengguna harus memasukkan data orientasi arah angin yang relatif terhadap panjang dari sumber area. Pilihan ini digunakan untuk memperkirakan konsentrasi polutan untuk spesifik penerima (reseptor). II-17

18 2.7 Validasi Model dengan Persamaan Index of Agreement Validasi yang digunakan untuk membandingkan data prediksi hasil pemodelan dan data observasi dilapangan pada penelitian ini adalah persamaan index of agreement. Index of agreement adalah suatu bentuk persamaan yang menggunakan d untuk mewakili indeks yang dikembangkan oleh Wilmott pada tahun 1981 (Robeson, 2012). Menurut Willmott dalam Rahayu (2012), Index of agreement merupakan suatu derajat keakuratan yang menunjukkan seberapa akurat data prediksi suatu model dengan data observasi di lapangan. Persamaan Index of agreement yang digunakan ditunjukkan pada Persamaan (2.4): d i N 2 ( Pi Oi) i= 1 = 1 (2.4) N 2 ( Pi Omean + Oi Omean ) = 1 Keterangan: P i O i = Konsentrasi CO dan NO 2 hasil model SCREEN3 = Konsentrasi CO dan NO 2 hasil sampling O mean = Konsentrasi CO dan NO 2 rata-rata dari hasil sampling Nilai d dari index of agreement bervariasi dari 0 sampai 1 dengan nilai d yang lebih tinggi menunjukkan nilai model Pi memiliki keakuratan yang lebih baik dengan nilai pengamatan, Oi. Nilai d dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu Sempurna (d=1), Baik (0,8 d< 1), Sedang (0,7 d < 0,8), dan Kurang Baik (d < 0,7). 2.8 Visualisasi Model dengan Program Surfer 11 Pola dispersi polutan CO dan NO 2 divisualisasikan dengan program Surfer 11. Surfer 11 adalah salah satu program yang digunakan untuk pembuatan peta kontur dan pemodelan tiga dimensi yang berdasarkan grid. Program ini melakukan plotting data tabular XYZ tak beraturan menjadi lembar titik-titik segi empat (grid) yang beraturan. Proses ini sering disebit dengan proses grid-ding. Grid adalah serangkaian garis vertikal dan horizontal yang dalam Surfer 11 berbentuk segi empat dan digunakan sebagai dasar pembentuk kontur dan surface tiga dimensi. Garis vertikal dan horizontal ini memiliki titik-titik perpotongan. Pada titik perpotongan ini disimpan nilai Z yang berupa titik ketinggian atau kedalaman (Budiyanto, 2005). Alur pembuatan peta kontur menggunakan Surfer 11 ditunjukkan pada Gambar 2.4. II-18

19 Mulai Program Surfer 11 Garis bujur titik sampling (X) Garis lintang titik sampling (Y) Konsentrasi CO dan NO 2 prediksi (Z) Gridding File Grid Run program Peta isopleth konsentrasi CO dan NO 2 Overlay dengan peta Terminal Terpadu Amplas Peta sebaran CO dan NO 2 Selesai Gambar 2.4 Diagram Alir Program Surfer 11 Penggunaan program Surfer 11 dalam pemetaan kualitas udara mengganti nilai ketinggian atau kedalaman pada nilai Z menjadi nilai konsentrasi polutan. Program Surfer 11 akan mengkalkulasikan data-data XYZ dan merubahnya ke dalam pola spasial dalam bentuk peta isopleth konsentrasi polutan. Suryati dan Khair (2017) telah melakukan penelitian mengenai pemetaan konsentrasi gas karbon monoksida (CO) di Kota Medan menggunakan program Surfer. Penelitian dilakukan pada 12 titik sampling yang tersebar di Kota Medan. Gambar 2.5 menunjukkan peta isopleth konsentrasi CO di Kota Medan. Peta isopleth konsentrasi dibagi ke dalam beberapa tingkatan konsentrasi yang ditandai dengan warna-warna yang berbeda. Perubahan warna terjadi seriring adanya peningkatan konsentrasi CO. II-19

20 Warna hijau menunjukkan tingkat konsentrasi CO terendah (1-5 ppm) dan warna biru menandakan konsentrasi CO tertinggi ( ppm). Gambar 2.5 Peta Konsentrasi Gas Karbon Monoksida (CO) di Kota Medan Sumber: Suryati dan Khair (2017) Berdasarkan Gambar 2.5, terlihat bahawa Terminal Terpadu Amplas yang berlokasi di Kecamatan Medan Amplas (titik sampling UA3) sudah termasuk kawasan dengan konsentrasi CO yang tinggi dan dari ISPU termasuk kategori tidak sehat (Suryati dan Khair, 2017). 2.9 Gambaran Umum Terminal Terpadu Amplas Medan Terminal Terpadu Amplas merupakan salah satu terminal tipe A yang ada di Kota Medan. Lokasi Terminal Terpadu Amplas berada di bagian selatan Kota Medan, tepatnya di Jalan Panglima Denai, Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. II-20

21 2.9.1 Sejarah Singkat Terminal Terpadu Amplas Terminal Terpadu Amplas dibangun pada tanggal 15 Juli Tahun Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dan Perusahaan Daerah Pembangunan. Tahun Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan. Tahun 2009-sekarang Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dibantu oleh kepolisian untuk menertibkan keamanan di area sekitar terminal. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Medan tahun 2012, luas area Terminal Terpadu Amplas ini mencapai ± ,625 m 2 dengan batasan lokasi terminal adalah: a. Sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk b. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Rawa c. Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk d. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Panglima Denai Terminal tipe A adalah terminal yang telah memenuhi beberapa persyaratan khusus, seperti: 1. Terletak dalam jaringan trayek Antar Kota Antar Provinsi dan/atau angkutan lalu lintas batas negara; 2. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA; 3. Jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau Jawa, 30 km di Pulau Sumatera, dan 50 km di pulau lainnya; 4. Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 Ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera, dan 3 Ha di pulau lainnya; 5. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar kendaraan dari terminal dengan jarak sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 km di pulau lainnya, dihitung dari jalan ke pintu keluar atau masuk terminal Fasilitas-Fasilitas yang Ada di Terminal Terpadu Amplas Terminal Terpadu Amplas merupakan terminal yang beroperasi selama 24 jam. Untuk menunjang aktifitas di terminal dibutuhkan beberapa pegawai dan fasilitas pendukung II-21

22 agar fungsi terminal dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas tahun 2016, ada sebanyak 11 orang personil Dinas Perhubungan, 4 personil kepolisian, dan 3 personil satpam per harinya yang bertugas di Terminal Terpadu Amplas. Menurut staf Dinas Perhubungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas, fasilitas-fasilitas yang ada di terminal ini sudah cukup baik. Fasilitas-fasilitas tersebut yaitu: 1. Gedung induk Gedung ini terdiri dari 2 (dua) lantai, pada lantai pertama terdapat loket-loket bus yang jumlahnya sekitar 35 unit dan ruang tunggu penumpang. Selain itu, pada gedung induk ini juga terdapat ruang administrasi, ruang pengawas, dan ruang kantor yang masing-masing jumlahnya 1 unit. Sedangkan pada lantai kedua digunakan untuk aktifitas-aktifitas lain di terminal. 2. Gedung sarana pendukung Gedung ini terletak di sebelah gedung induk dimana merupakan tempat kios-kios kecil dan warung makan. Pada gedung ini juga masih terdapat loket-loket bus. 3. Gudang 4. Pelataran Parkir Pelataran parkir terdiri dari pelataran parkir AKAP, AKDP, angkutan kota, dan kendaraan pribadi. 5. Loket masuk Loket masuk terletak di gerbang masuk Terminal Terpadu Amplas. Setiap kendaraan yang hendak memasuki terminal dikenakan biaya. Untuk AKAP sebesar Rp per unit, AKDP sebesar Rp per unit, angkutan kota sebesar Rp per unit, dan mobil penumpang sebesar Rp per unit. 6. Ruang service dan bengkel kendaraan 7. Mushalla 8. Kantin/Warung makan 9. Toilet umum 10. Pos Pemadam Kebakaran 11. Pos Polisi 12. Sarana Kebersihan II-22

23 Sarana kebersihan di Terminal Terpadu Amplas terdiri dari tong sampah yang ada di bebarapa titik di terminal, satu unit truk sampah sebagai Tempat Pembuangan Sampah sementara (TPS) di terminal, dan satu unit becak sampah untuk mengangkut sampah ke TPS. II-23

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penggunaan lahan, dan kemajuan teknologi mempengaruhi peningkatan kebutuhan masyarakat perkotaan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 (BPS Provinsi Sumut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udarajuga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3

KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3 KAJIAN KONSENTRASI POLUTAN KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI TERMINAL TERPADU AMPLAS MEDAN DENGAN MODEL SCREEN3 TUGAS AKHIR Oleh DYAH WULANDARI 120407030 Pembimbing I Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN 1. Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas oleh kita ketika kita melihat timbunan sampah di pasar-pasar, pendangkalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Udara merupakan zat yang penting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian,

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian dan kandungan gas atmosfer. 2. Memahami fungsi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km 2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup semua mahluk hidup terutama manusia. Seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur mulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sekarang ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat terjadi

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014. Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1

CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014. Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1 CONTOH SOAL UJIAN SARINGAN MASUK (USM) IPA TERPADU 2014 Institut Teknologi Del (IT Del) Contoh Soal USM IT Del 1 Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan spasial. Analisis kuantitatif yaitu melakukan perhitungan konsentrasi polutan CO dan NO 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN Dari simulasi yang telah dilakukan didapat hasil sebaran konsentrasi SO 2 dari data emisi pada tanggal 31 Oktober 2003 pada PLTU milik PT. Indorama Synthetics tbk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jaringan jalan memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai prasarana untuk memindahkan/transportasi orang dan barang, dan merupakan urat nadi untuk mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan suatu negara, bangsa, daerah atau wilayah yang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, akan mendorong meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9 1. Berdasarkan susunan kimianya komposisi permukaan bumi dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu lithosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 PREDIKSI KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO) DAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI JALAN S.PARMAN MEDAN MENGGUNAKAN BOX MODEL STREET CANYON TUGAS AKHIR Oleh REZA DARMA AL FARIZ 130407011

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melakukan pengamatan kendaraan yaitu menghitung jenis dan jumlah kendaraan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman, jumlah penduduk dunia semakin meningkat. Beragam aktifitas manusia seperti kegiatan industri, transportasi, rumah tangga dan kegiatan-kegiatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

STRUKTURISASI MATERI

STRUKTURISASI MATERI STRUKTURISASI MATERI KOMPETENSI DASAR 3.9 Menganalisis gejala pemanasan global dan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan 4.8 Menyajikan ide/gagasan pemecahan masalah gejala pemanasan global dan dampaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang telah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang telah banyak menghasilkan produk teknologi, di antaranya adalah alat transportasi. Dengan adanya alat transportasi

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM :

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM : PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG Grace Wibisana NRP : 9721053 NIRM : 41077011970288 Pembimbing : Ir. Budi Hartanto Susilo, M. Sc Ko-Pembimbing : Ir. Gugun Gunawan,

Lebih terperinci

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma

MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA. Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani Gresi Amarita Rahma MAKALAH AGEN PENYAKIT NITROGEN DIOKSIDA Oleh : Tutut Adi Dwi Cahyani 25010113140382 Gresi Amarita Rahma 25010113140400 Indana Aziza Putri 25010113130406 Aprilia Putri Kartikaningsih 25010113130415 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

KONSEP DASAR KIMIA UDARA

KONSEP DASAR KIMIA UDARA Company LOGO KONSEP DASAR KIMIA UDARA Zulfikar Ali As Poltekkes Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan Banjarbaru KOMPOSISI UDARA BERSIH Gass By Volume of dry air ppm Nitrogen Oxygen Argon Carbon dioxyde

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan manusia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Setiap makhluk hidup membutuhkan udara untuk mendukung kehidupannya secara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,

Lebih terperinci

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T.

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T. PEMODELAN DISPERSI SULFUR DIOKSIDA (SO ) DARI SUMBER GARIS MAJEMUK (MULTIPLE LINE SOURCES) DENGAN MODIFIKASI MODEL GAUSS DI KAWASAN SURABAYA SELATAN Oleh: Wisnu Wisi N. 3308100050 Dosen Pembimbing: Abdu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 9 yang menyatakan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 9 yang menyatakan 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) 9 Kasus 2 : - Top of model : 15 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3 Desember 211 - Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO 2 dan SO 2 3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Data yang akan digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini, antara lain data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara, arah dan kecepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Udara di perkotaan tak pernah terbebas dari pencemaran asap beracun yang dimuntahkan oleh jutaan knalpot kendaraan bermotor. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat polusi udara yang semakin meningkat terutama di kota kota besar sangat membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Salah satu penyumbang polusi udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran 2.1.Pengertian Pencemaran Udara BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2007 Tentang Pencemaran Lingkungan, pencemaran udara diartikan sebagai pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

SELEKSI MASUK UNIVERSITAS INDONESIA (SIMAK-UI) Mata Pelajaran : IPA TERPADU Tanggal : 01 Maret 2009 Kode Soal : 914 PENCEMARAN UDARA Secara umum, terdapat 2 sumber pencermaran udara, yaitu pencemaran akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PP RI No. 50 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PP RI No. 50 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan

II.TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan 5 II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi dan Lingkungan Transportasi secara umum diartikan sebagai perpindahan barang atau orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan menurut Sukarto (2006), transportasi

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986)

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986) Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pencemaran udara didefinisikan sebagai hadirnya satu atau lebih substansi/ polutan di atmosfer (ambien) dalam jumlah tertentu yang dapat membahayakan atau mengganggu

Lebih terperinci

MODUL X CALINE4. 1. Tujuan Praktikum

MODUL X CALINE4. 1. Tujuan Praktikum MODUL X CALINE4 1. Tujuan Praktikum Praktikan mampu menggunakan model Caline4 untuk memprediksi sebaran gas karbon monoksida akibat emisi gas kendaraan bermotor. Praktikan mampu menganalisa dampak dari

Lebih terperinci

ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS

ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS 1 ESTIMASI BESAR KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA BERDASARKAN KEGIATAN TRANSPORTASI DENGAN MODEL DFLS Agustina Rahayu* dan Arie Dipareza Syafei Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo, Jl. A.R

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada

Lebih terperinci

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosfer Troposfer Lapisan ini berada pada level yang paling rendah, campuran gasgasnya adalah yang paling ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Di lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan masalah yang memerlukan perhatian khusus, terutama pada kota-kota besar. Pencemaran udara berasal dari berbagai sumber, antara lain asap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Polusi udara Polusi udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gas-gas pencemar dari gas buang kendaraan bermotor seperti gas CO dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat hemoglobin darah

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Body force : 0,5 Momentum : 0,4 Modified turbulent viscosity : 0,3 Turbulent viscosity : 0,3 Turbulent dissipation rate : 0,3 CO : 0,5 Energi : 0,5 Jam ke-4 Pressure velocity coupling : SIMPLE Under

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga

Lebih terperinci

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira Udara & Atmosfir Angga Yuhistira Udara Manusia dapat bertahan sampai satu hari tanpa air di daerah gurun yang paling panas, tetapi tanpa udara manusia hanya bertahan beberapa menit saja. Betapa pentingnya

Lebih terperinci