BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penerimaan Diri. sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penerimaan Diri. sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerimaan Diri 1. Definisi Penerimaan Diri Berdasarkan kamus lengkap psikologi yang disusun oleh Chaplin (2000), penerimaan diri diartikan sebagai sikap seseorang yang merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Ada dua hal penting dalam arti penerimaan diri tersebut, pertama adanya perasaan puas terhadap apa yang telah dimiliki; kedua, adanya pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya. Penerimaan diri sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut (Santrock, 2002). Sikap menerima diri adalah kemampuan seseorang untuk mengakui kenyataan diri secara apa adanya termasuk juga menerima semua pengalaman hidup, sejarah hidup, latar belakang hidup, dan lingkungan pergaulan (Riyanto, 2006). Menurut Shereer (Dewi, 2011) penerimaan diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab. 19

2 20 Penerimaan diri menurut Jersild (Pancawati, 2013) adalah seseorang yang menerima dirinya, sesorang yang menghormati dirinya serta hidup nyaman dengan keadaan dirinya, dia mampu mengenali harapan, keinginan, rasa takut serta permusuhan-permusuhannya dan menerima kecenderungan-kecenderungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri, tetapi memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaann yang ada pada dirinya. Penerimaan diri tidak berarti bahwa seseorang sebagai objek dapat menerima begitu saja kondisi yang ada tanpa berusaha mengembangkan diri, objek yang dapat menerima diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirnya saat ini, serta memunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut (Pancawati, 2013). Menurut Prihadi (2004), menerima diri apa adanya berarti pasrah dan jujur terhadap kondisi yang dimiliki, tidak ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan maupun kelemahan, kelebihan maupun kekurangan, yang mendorong maupun yang menghambat perkembangan diri. Semua diterima apa adanya. Kemudian menurut Cronbach (Badaria & Astuti, 2004), penerimaan diri adalah sikap individu untuk menerima kenyataan pada dirinya berupa kekurangan atau kelebihannya, serta mampu mengaktualisasikan kehidupannya di masyarakat dan berusaha untuk melakukan hal-hal yang terbaik untuk dirinya. Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka serta tidak malu dan ragu mengakui kelemahan dan kelebihan pada diri sendiri di hadapan orang lain agar mampu mengaktualisasikan kehidupannya.

3 21 2. Aspek Penerimaan Diri Tentunya orang yang memiliki self acceptance dan tidak memiliki self acceptance berbeda dalam tingkah lakunya. Seseorang dikatakan memiliki self acceptance yang baik dapat dilihat dari perkataan dan perilakunya sehari-hari. Pada umumnya perilaku yang dimunculkannya lebih cenderung positif dan senang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan banyak orang. Hal ini akan berdampak positif terhadap kematangan diri. Menurut Sheerer (Praptomojati, 2015) aspek-aspek penerimaan diri, yaitu: a. Adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan. b. Adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan sederajat dengan orang lain. c. Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain. d. Tidak adanya rasa malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri. e. Ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri. f. Adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan. g. Tidak adanya penyangkalan atas keterbatasan yang ada, ataupun pengingkaran kelebihan. Sedangkan karakteristik seseorang yang memiliki penerimaan diri menurut Jersild (Nurviana, 2011) yaitu: a. Memiliki penilaian realistis terhadap potensi-potensi yang dimilikinya. b. Mereka juga menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri.

4 22 c. Memiliki spontanitas dan tanggung jawab terhadap perilakunya. b. Mereka menerima kualitas-kualitas kemanusiaan mereka tanpa menyalahkan diri mereka terhadap keadaan-keadaan di luar kendali mereka Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan maupun kelemahan/kekurangan orang tersebut. Dengan demikian, seseorang akan dapat berinteraksi dengan baik karena orang tersebut dapat menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain secara positif. Juga seperti diungkapkan Allport (Wrastari, 2003), ciri-ciri seseorang yang mau menerima diri sendiri yaitu sebagai berikut : a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya. b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya. c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik. d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (kesedihan, kemarahan). Cronbach (1986) menjelaskan lebih lanjut mengenai individu yang dapat menerima dirinya, yaitu: a. Individu memunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan. Hurlock (2007) menambahkan bahwa artinya individu tersebut memiliki percaya diri dan lebih memusatkan perhatian kepada keberhasilan akan kemampuan dirinya menyelesaikan masalah.

5 23 b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain. Individu ini memunyai keyakinan bahwa ia dapat berarti atau berguna bagi orang lain dan tidak memiliki rasa rendah diri karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain. Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai orang yang menyimpang dan berbeda dengan orang lain, sehingga mampu menyesuaikan dirinya dengan baik dan tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain. d. Individu tidak malu atau hanya memerhatikan dirinya sendiri. Artinya, individu ini lebih memunyai orientasi keluar dirinya sehingga mampu menuntun langkahnya untuk dapat bersosialisasi dan menolong sesamanya tanpa melihat atau mengutamakan dirinya sendiri. e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, berarti individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya. f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut. g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Hurlock (2007) menambahkan bahwa individu yang memiliki sifat ini memandang diri mereka apa adanya

6 24 dan bukan seperti yang diinginkan. Individu juga dapat mengompensasikan keterbatasannya dengan memerbaiki dan meningkatkan karakter dirinya yang dianggap kuat, sehingga pengelolaan potensi dan keterbatasan dirinya dapat berjalan dengan baik tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada. Jadi kesimpulan penerimaan diri dari pendapat beberapa tokoh di atas adalah seseorang yang mau menerima keadaan dirinya sendiri, yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya, menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusia yang sederajat dengan orang lain, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, dapat menerima pujian dan celaan secara objektif. Selain itu individu dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik, dapat mengatur keadaan emosi mereka (kesedihan, kemarahan), dapat menerima keadaan diri atau yang telah mengembangkan sikap penerimaan terhadap keadaannya dan menghargai diri sendiri. Berdasarkan beberapa aspek yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek penerimaan diri yang dikemukan oleh Shereer (Praptomojati, 2015) karena aspek-aspek yang dikemukakan lebih mewakili aspek penerimaan diri yang dimiliki oleh narapidana dengan vonis hukuman pertama kali.

7 25 3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Diri Menurut Hurlock (2007), faktor-faktor yang memengaruhi seseorang menerima dirinya adalah sebagai berikut: a. Pemahaman diri, merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya sendiri dan merupkan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula. b. Harapan-harapan yang realistik. Harapan-harapan yang realistik akan membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seorang tersebut kurang dapat menerima dirinya. c. Bebas dari hambatan lingkungan. Harapan individu yang tidak tercapai banyak yang berawal dari lingkungan yang tidak mendukung dan tidak terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orang tua, guru, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan penuh. d. Sikap lingkungan. Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap

8 26 yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya. e. Ada tidaknya tekanan berat. Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupan di lingkungan kerja akan mengganggu seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Secara fisik akan memengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi terhadap orang lain. Dengan tidak adanya tekanan berarti pada individu, akan memungkinkan anak yang lemah mental untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri. f. Frekuensi keberhasilan. Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan, hanya saja frekuensi kegagalan antara satu orang dengan orang lain berbedabeda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan individu bersangkutan menerima dirinya dengan baik. g. Ada tidaknya figur identifikasi. Pengenalan terhadap orang-orang dengan mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya, serta memunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku. h. Perspektif diri. Perspektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri. Namun

9 27 perspektif diri obyektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri. i. Latihan pada masa kanak-kanak. Pelatihan yang diterima pada masa kanakkanak akan memengaruhi pola-pola kepribadian anak selanjutnya. Latihan yang baik pada masa kanak-kanak akan memberikan pengaruh positif pada penerimaan diri, sebaliknya penerimaan diri yang tidak baik akan memberikan pengaruh negatif, yaitu sikap penolakan terhadap diri sendiri. j. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan memudahkan dalam usaha menerima diri. Apabila konsep diri selalu berubah-ubah, maka seseorang akan kesulitan memahami diri dan menerimanya, sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena individu memandang dirinya selalu berubah-ubah. Jadi kesimpulan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah adanya pemahaman tentang diri, adanya harapan-harapan yang realistik, adanya kebebasan dari hambatan lingkungan, bagaimana individu bersikap terhadap lingkungannya, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, ada tidaknya figur identifikasi, adanya perspektif terhadap diri, adanya latihan pada masa kanak-kanak dan memiliki konsep diri yang stabil yang akan membuat seseorang memiliki penerimaan diri yang baik. 4. Intervensi Peningkatkan Penerimaan Diri Beberapa intervensi yang diyakini dapat meningkatkan penerimaan diri seseorang diantaranya adalah :

10 28 a. Konseling Realita Konseling realita merupakan konsep konseling yang menekankan pada tanggung jawab konseli dalam menyikapi keadaannya sekarang. Pendekatan konseling realita tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu, namun lebih mendorong konseli untuk menghadapi realitanya dengan menekankan pada pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggungjawab dengan merencanakan dan melakukan tindakan-tindakan tersebut. Corey (2007) mengatakan inti dari konseling realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Konseling realita didasarkan pada pencegahan terhadap konseli yang mengasumsikan tanggung jawab pribadi bagi kesuksesan dirinya sendiri. Glasser (Gibson, 2011) mengatakan terapi realitas berfokus pada masa kini dan berusaha membuat klien paham kalau pada esensinya semua tindakan adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penerimaan tanggung jawab ini mampu membantu konseli mencapai kematangan dirinya dengan mengandalkan dukungan internal. Konseling realita menitikberatkan kepentingannya dalam membuat perencanaan agar konseli dapat terdorong memperbaiki perilakunya sendiri. b. Cognitive Behavioural Therapy Spiegler & Guevremont (2003) menyatakan bahwa CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi secara langsung, yaitu ketika

11 29 individu mengubah pikiran maladaptifnya (maladaptive thought) maka secara langsung juga mengubah tingkah lakunya yang tampak (overt action). CBT bertujuan membantu pasien untuk dapat mengubah sistem keyakinan yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap memunyai reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat dan normal (Hepple, 2004). Dalam CBT, terapis berperan sebagai guru dan pasien sebagai murid. Dalam hubungan ini diharapkan terapis dapat secara efektif mengajarkan kepada pasien mekanisme koping baru yang lebih positif dan rasional, menggantikan struktur kognitif lama yang negatif, irasional dan mengalami distorsi (Sudiyanto, 2007). c. Acceptance And Commitment Therapy (ACT) Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu perubahan (Freeman, Arthur, Reinecke, Mark, Kazantzis, 2010). Menurut Hayes (2010), Acceptance And Commitment Therapy (ACT) merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologi yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik. Model ACT memprediksi, orang akan paling efektif bila mampu menerima pikiran-pikiran, sensasi dan dorongan otomatis, meredakan dari pemikiran (Amati atau observasi pikiran tanpa mempercayai dan mengikuti arahan mereka); pengalaman pribadi sebagai konteks (terus menerus, rasa

12 30 stabil diri sebagai pengamat pengalaman psikologis); berada pada saat sekarang dengan kesadaran diri; mengartikulasikan nilai secara jelas (memilih secara pribadi, cara yang diinginkan dalam berprilaku); dan berkomitment dalam bertindak (berpartisipasi dalam kegiatan yang konsisten dengan nilai, bahkan ketika ada tantangan psikologis) (Smout, 2012). ACT adalah suatu terapi menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi itu untuk melakukan perubahan, kemudian berkomitment terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman tidak menyenangkan. Berdasarkan penjelasan diatas maka beberapa intervensi yang diyakini dapat meningkatkan penerimaan diri seseorang diantaranya adalah Konseling Realita, Cognitive Behavioral Therapy, Dan Acceptance And Commitment Therapy. Pada penelitian ini Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dipilih sebagai terapi yang digunakan oleh peneliti untuk meningkatkan penerimaan diri karena ACT memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologi yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik. ACT dianggap sebagai terapi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh narapidana dengan vonis hukuman pertama kali,

13 31 dimana dalam prosesnya ACT membuat seseorang mampu menerima setiap pengalaman dan peristiwa yang telah terjadi dan kembali berfungsi dengan normal dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan tujuan hidupnya. Pada umumnya tujuan dari sebuah terapi adalah untuk melakukan kontrol emosional, dimana proses untuk menghilangkan perasaan depresi, kecemasan, memori traumatik, ketakuatan akan penolakan, perasaan marah, berduka dan lain-lain. Dalam penerapannya ACT tidak ada usaha percobaan untuk mengurangi, mengubah, menghindari atau mengontrol pengalaman pribadi tetapi dengan mengajarkan teknik penerimaan dan komitmen terhadap pengalaman dan perasaan mereka (Hayes, Bach & Boyd, 2011). Dari proses terapi yang terjadi diharapkan akan meningkatkan aspek psikologis agar lebih fleksibel atau berkemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik (Hayes et al, 2006). Oleh sebab itu ACT dipilih dan diyakini mampu untuk peningkatan penerimaan diri pada narapidana dengan vonis hukuman pertama kali. B. Acceptance And Commitment Therapy (ACT) 1. Definisi Acceptance And Commitment Therapy (ACT) Acceptance and Commitment Therapy (ACT) pertama kali diciptakan oleh seorang psikolog Amerika yaitu Steven C. Hayes pada awal tahun 1980 (Harris, 2009). ACT secara benar diucapkan dengan act dan bukan dieja A- C-T. Acceptance and Committment Therapy adalah terapi berbasis kesadaran yang inovatif dan kreatif, tegas berbasis di tradisi ilmu empiris, namun dengan penekanan utama pada nilai-nilai, penerimaan, kasih sayang dan hidup di saat

14 32 sekarang. di dalam ACT, individu umumnya tidak tertarik dengan kedua pemikiran benar atau salah, melainkan individu jauh lebih tertarik pada apakah hal itu sangat membantu untuk dipertahankan atau justru terjebak di dalamnya (Harris, 2009). ACT adalah intervensi psikologis yang unik dan teruji secara empiris menggunakan strategi penerimaan dan mindfulness bersama dengan strategi perubahan perilaku dan komitment untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis (Hayes, 2005). Menurut Hayes (Widuri, 2012), terapi ACT merupakan suatu terapi yang berlandaskan filosofi analisis fungsi hubungan perilaku dan lingkungan, termasuk bahasa di dalamnya. Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu perubahan (Freeman, Arthur, Reinecke, Kazantzis, 2010). Sejumlah peneliti/penulis terbaru telah membandingkan ACT dengan metode tradisional CBT. Dalam artikel terkini menjelaskan ACT sebagai sesuatu yang berbeda dan merupakan bagian dari model perubahan perilaku, berhubungan dengan strategi spesifik dari perkembangan ilmiah, yang di istilahkan dengan contextual behavioral science. ACT bukan lawan dari CBT tradisional, dan bukan juga secara langsung menopang manakala terjadi kelemahan dari CBT tradisional (Hayes dkk, 2010). ACT menggunakan pendekatan proses penerimaan, komitmen, dan perubahan perilaku untuk menghasilkan perubahan psikologis yang lebih fleksibel. Terapi ACT penting untuk diketahui sebagai landasan dalam

15 33 pemberian intervensi mengatasi masalah ketidakberdayaan. Menurut Hayes (2010), Acceptance And Commitment Therapy (ACT) merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologis yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik. Dalam ACT klien diajak untuk tidak menghindari tujuan hidupnya, meskipun dalam upaya untuk mencapainya akan ditemukan pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan (Dewi, 2013). Model ACT memprediksi, orang akan paling efektif bila mampu menerima pikiran-pikiran, sensasi dan dorongan otomatis, meredakan dari pemikiran (Amati atau observasi pikiran tanpa mempercayai dan mengikuti arahan mereka); pengalaman pribadi sebagai konteks (terus menerus, rasa stabil diri sebagai pengamat pengalaman psikologis); berada pada saat sekarang dengan kesadaran diri; mengartikulasikan nilai secara jelas (memilih secara pribadi, cara yang diinginkan dalam berprilaku); dan berkomitment dalam bertindak (berpartisipasi dalam kegiatan yang konsisten dengan nilai, bahkan ketika ada tantangan psikologis) (Smout, 2012). Tehnik terapi ACT termasuk dari terapi perilaku dan menggerakkan potensi manusia dan integrasi dari mereka yang berasal dari psikologi humanistik dan eksistensial. Bertentangan dengan bentuk-bentuk yang lebih tradisional dari terapi perilaku kognitif (CBT), terapis menggunakan ACT tidak berusaha untuk membuat klien mengubah pikiran dan perasaan mereka, sebaliknya tujuannya adalah untuk mengubah tanggapan mereka terhadap pikiran dan perasaan mereka sendiri. Terapis ACT percaya bahwa emosi dan

16 34 perilaku dapat eksis secara bersama-sama atau secara mandiri dari satu sama lain (Hayes, steven., Jason, Frank, Jason, 2006). Oleh karena itu terapis mengarahkan klien langsung terhadap penerimaan emosi dan pengalaman mereka dan untuk hadir dalam menghadapi emosi yang kuat yang mungkin mereka hindari. Menurut Strosahl (2002) tujuan ACT adalah: (1) membantu klien untuk dapat menggunakan pengalaman langsung untuk mendapatkan respon yang lebih efektif untuk dapat tetap bertahan dalam hidup, (2) mampu mengontrol penderitaan yang dialaminya, (3) menyadari bahwa penerimaan dan kesadaran merupakan upaya alternatif untuk tetap bertahan dalam kondisi yang dihadapinya, (4) menyadari bahwa penerimaan akan terbentuk oleh karena adanya pikiran dan apa yang diucapkan, (5) menyadari bahwa diri sendiri sebagai tempat penerimaan dan berkomitmen melakukan tindakan yang akan dihadapi, (6) memahami bahwa tujuan dari suatu perjalanan hidup adalah memilih nilai dalam mencapai hidup yang lebih berharga. ACT tidak bertujuan untuk mereduksi simtom dari permasalahan akan tetapi hal tersebut biasanya tereduksi dengan sendirinya ketika terapi sedang dijalankan (Forman, 2005). Terapi ACT dapat digunakan dalam menangani masalah (Hayes, 2010): (1) kecemasan, (2) menangani masalah penyakit kronik, (3) depresi, (4) gangguan pola kebiasaan, (5) masalah psikotik dan beberapa peneliti lainnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan

17 35 penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan persaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan. 2. Prinsip Penatalaksana ACT Teknik pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang terdiri dari Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006). a. Acceptance (penerimaan) Menerima pikiran dan perasaan meskipun terdapat hal yang tidak diinginkan/ tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa cemas dan lainnya. Klien berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami tanpa mengubah atau membuang pikiran tidak dinginkan, tetapi dengan melakukan berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran. Klien belajar untuk dapat hidup dengan menjadikan stresor sebagai bagian dari hidupnya. b. Cognitive defusion Merupakan teknik untuk mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan.

18 36 c. Being present Klien dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku yang ditunjukkan menjadi lebih fleksibel dan kegiatan yang dilakukan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya. Klien dibantu untuk memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada apa yang mereka inginkan dan nilai apa yang akan mereka pilih untuk hidup mereka, sehingga dapat mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. d. Self as a contex Klien melihat dirinya sebagai pribadi tanpa harus menghakimi dengan nilai benar atau salah. Klien dibantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. e. Values Klien dibantu untuk menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. f. Commited Action Klien berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan ACT meliputi Acceptance (penerimaan), cognitif defusion (mengurangi penolakan terhadap pikiran yang tidak menyenangkan), being present (membantu klien memilih arah hidup dengan fokus pada hal yang

19 37 diinginkan), self as a contex (membuat klien melihat diri sebagai pribadi yang tidak menghakimi diri sendiri), values (klien mampu mengambil keputusan untuk tujuan hidupnya, and committed action (berkomitment untuk mencapai tujuan yang dinginkan). Berikut ini penjabaran dari masing-masing sesi yaitu: Sesi 1: Mengidentifikasi kejadian, pikiran, dan perasaan yang muncul serta dampak perilaku akibat pikiran dan perasaan yang muncul serta menerima pengalaman tersebut. Sesi ini bertujuan: (1) Klien mampu membina hubungan saling percaya dengan terapis. (2) Klien mengetahui tentang permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan diri. (3) Klien dapat mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang dialami sampai saat ini. (4) Klien mampu mengidentifikasi pikiran yang muncul dari kejadian tersebut. (5) Klien mampu mengidentifikasi respon yang timbul dari kejadian tersebut. (6) Klien mampu mengidentifikasi upaya/perilaku yang muncul dari pikiran dan perasaan yang ada terkait kejadian. (7) Klien menerima pengalaman internal dalam dirinya yang meliputi pikiran, perasaan, memori, dan sensasi tubuh yang tidak menyenangkan. (8) Klien menyadari sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan selama ini dan belajar untuk berdamai dengan sensasi tersebut. Klien belajar untuk menurunkan ketegangan dan menciptakan kenyamanan di dalam dirinya sendiri. Sesi 2: Mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan. Sesi ini bertujuan: (1) Klien mampu

20 38 mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang terjadi. (2) Klien mampu menceritakan tentang upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian tersebut berdasarkan pengalaman klien baik yang konstruktif maupun destruktif. (3) Klien menyadari bahwa dirinya berkuasa atas pikirannya, bukan pemikiran terhadap tubuhnya. (4) Membantu klien untuk terlepas dari evaluasi negatif yang tidak berguna mengenai diri dan kehidupannya. (5) Klien memiliki ketrampilan untuk dapat menenangkan pikiran negatif yang muncul tanpa perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk melawan atau mengontrolnya. Sesi 3: Memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada apa yang diinginkan dan nilai apa yang akan dipilih untuk hidup. Sesi ini bertujuan : (1) Melatih klien untuk lebih fokus terhadap masa kini agar perhatian dan konsentrasinya tidak dihabiskan untuk mengingat masa lalu atau mencemaskan masa depan. (2) Klien mampu menyadari diri sebagai individu yang stabil dan konsisten sehingga dapat memiliki evaluasi positif terhadap diri dan kehidupannya. (3) Klien menyadari bahwa setiap aspek dalam kehidupannya hanya pengalaman, bukan suatu kejadian yang berlaku selamanya. (4) Klien mampu memilih salah satu perilaku yang dilakukan akibat dari pikiran dan perasaan yang timbul terkait kejadian yang tidak menyenangkan. (5) Berlatih untuk mengatasi perilaku yang kurang baik yang sudah dipilih.

21 39 Sesi 4: Membantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. Pada sesi ini bertujuan : (1) Klien mampu berfokus pada diri tanpa harus menghakimi dengan nilai benar dan salah. (2) Klien diajarkan lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. (3) Mendiskusikan tentang apa yang akan dilakukan untuk menghindari berulangnya perilaku buruk yang terjadi. (4) Klien mampu mengidentifikasi rencana yang akan dilakukan klien untuk mempertahankan perilaku yang baik. (5) Klien mampu mengidentifikasi apa yang akan dilakukan oleh klien untuk meningkatkan kemampuan berperilaku baik. (6) Menyebutkan keuntungan dari terapi ACT. (7) Mampu menyebutkan akibat bila stres tidak ditangani segera. Sesi 5: Menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. Pada sesi ini bertujuan: (1) Klien menemukan dan menyadari nilai-nilai yang dianggap penting olehnya akan tetapi selama ini terabaikan karena pemikiran-pemikirannya. (2) Klien mengetahui konsisten perilakunya selama ini terhadap nilai-nilai yang ia anggap penting. Sesi 6: Berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Pada sesi ini bertujuan: (1) Membantu klien untuk berkomitment dan mengarahkan perilakunya sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang ia miliki, terkait pula hubungan

22 40 klien dengan orang lain dan penguasaannya terhadap lingkungan baik itu keluarga maupun sosial. (2) Klien berkomitment nyata untuk tetap melakukan hal yang sudah klien tetapkan walaupun menghadapi banyak kesulitan atau hambatan yang muncul dalam pencapaian tujuannya. C. Pengaruh ACT Terhadap Penerimaan Diri Rendahnya penerimaan diri merupakan suatu hal yang bisa menimpa semua orang dalam waktu tertentu kehidupannya. Banyak orang lebih mudah memandang dan menerima kelebihan dalam dirinya dibandingkan dengan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, sehingga mereka merasakan suatu ketidaknyamanan yang luar biasa. Kondisi tersebut ditandai dengan gejala menarik diri dari pergaulan karena malu/ minder atas keadaan atau kekurangan yang dimilikinya. Kurangnya penerimaan diri menunjukkan adanya kepribadian menyimpang yang ditunjukkan oleh seorang yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi. Menurut Hurlock (2004), penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan atau keinginan individu dengan segala karakteristik dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan diri sangatlah diperlukan bagi narapidana untuk menunjukkan dirinya memunyai kekuatan. Narapidana yang harus menghuni lembaga pemasyarakatan pertama kalinya harus melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Narapidana akan kehilangan kebebasan fisik, kontrol atas hidup, keluarga, barang dan jasa, keamanan, hubungan heteroseksual, menurunnya stimulasi, dan terdapat

23 41 kemungkinan mengalami gangguan psikologis yang dapat menjadi tertekan, sehingga membutuhkan penyesuaian baru meliputi fisik, psikis, dan sosial (Cooke & David, 2008). Sedangkan menurut Sanusi (1997) mengatakan, seorang pelanggar hukum yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara pada umumnya akan terjadi suatu moment kritis dan akan menonjol sikap kegagalan, rasa rendah diri dan perasaan menolak. Status baru yang disandang sebagai narapidana berdampak pada munculnya stigma negatif di masyarakat membuat seorang narapidana mengalami penerimaan diri rendah. Keadaan tersebut diperkuat adanya persepsi negatif dari masyarakat tentang seorang narapidana, sehingga persepsi narapidana tentang diri mereka pun akan cenderung negatif, sehingga muncul perasaan rendah diri, kecenderungan autistik dan berusaha melarikan diri dari realitas yang traumatik. Hal ini menjadikan penerimaan diri cenderung rendah dari narapidana yang baru pertama kali mendapatkan vonis hukuman. Kemampuan penerimaan diri rendah berdampak terhadap munculnya permasalahan-permasalahan psikologis, seperti depresi, kecemasan, phobia, dan anti sosial (Ardilla & Herdiana, 2013). Banyaknya kasus kejahatan pada anak menyebabkan tingginya narapidana yang menghuni penjara, dalam kasus ini peneliti menitikberatkan pada narapidana kelas II A Magelang yang mendapatkan vonis hukuman pertama kali dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Melihat vonis hukuman pertama kali yang baru diterima oleh para narapidana dirasakan sangat mengganggu kondisi psikologis dari para narapidana tersebut. Kondisi ini terlihat dari beberapa narapidana yang tidak menerima atas hukuman yang harus mereka

24 42 jalani. Narapidana merasa resah dan tidak tenang karena kesalahan yang telah diperbuat, banyak berdiam diri, kurang terbuka dan kurang menyadari perasaanperasaan yang sesungguhnya, selalu menyalahkan oranglain, kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri, dan merasa rendah diri dan tidak berharga karena telah bersatus sebagai narapidana. Melihat kondisi tersebut, perlunya dilakukan penelitian sehubungan dengan tingkat penerimaan diri dari para narapidana. Hal ini dilakukan guna membantu mereka agar tetap tegar dalam menjalani kehidupannya di penjara, salah satunya adalah dengan memberikan terapi bagi narapidana tersebut. Pada penelitian ini dilakukan dengan terapi ACT yang diyakini mampu meningkatkan penerimaan diri pada narapidana. Penelitian Heriyadi (2013) tentang penerimaan diri hasilnya menunjukkan bahwa self acceptance siswa sebelum mendapatkan konseling individu realita termasuk dalam kriteria rendah dengan persentase 48%,setelah mendapatkan konseling individu realita mengalami peningkatan menjadi 64% dengan kriteria sedang, yang memerlihatkan perubahan positif sebesar 16%. Hasil pengujian statistik menyimpulkan bahwa konseling individu realita dapat mengubah self acceptance rendah menjadi tinggi. Hal yang sama juga ditunjukan melalui penelitian Orizani (2015) yang menunjukkan adanya perbedaan penerimaan diri antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil pengukuran penerimaan diri memerlihatkan ada peningkatan pada kelompok perlakuan setelah diberikan Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Hal ini memerlihatkan bahwa ACT terbukti efektif untuk meningkatkan penerimaan diri. Sementara penelitian Kusumawati (2013)

25 43 menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan penerimaan diri yang signifikan setelah diberikan terapi Cognitif Behavioural Therapy. Terapi CBT kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi terapi ACT Acceptance and Commitment Therapy (ACT) merupakan salah satu bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang cukup efektif dalam mengurangi kecemasan, meningkatkan aspek psikologis yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang dialami agar menjadi lebih baik (Forman dalam Hayes, 2006). Terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan (Hayes et al, 2006). ACT diharapkan dapat meningkatkan penerimaan diri dan gambaran diri pada narapidana. Seperti dikatakan oleh Johada (Ardilla & Ike 2013) bahwa seseorang yang dapat menerima dirinya adalah individu yang sudah mampu belajar untuk dapat hidup dengan dirinya sendiri, dalam arti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang mengacu pada 6 prinsip dasar yaitu Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006). Sesi acceptance (penerimaan) peserta diajak untuk menerima pikiran dan perasaan meskipun terdapat hal yang tidak

26 44 diinginkan/ tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa cemas dan lainnya. Peserta berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami tanpa mengubah atau membuang pikiran tidak dinginkan, tetapi dengan melakukan berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran. Pada sesi cognitive defusion peserta diajak untuk mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan sehingga memunculkan penerimaan diri yang tinggi pada peserta. Hayes (2006) mengungkapkan bahwa cognitive defusion merupakan usaha untuk menemukan jalan bagaimana mengaitkan sebuah pemikiran dengan menata ulang kognisi dan mengurangi fungsi yang tidak berguna, yang bertujuan untuk mengurangi penolakan secara emosi dimana dapat terjadi saat seseorang menolak untuk mengalami pengalaman buruk. Proses cognitive defusion ini membuat peserta mampu mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang terjadi selama ini sehingga peserta mampu menyadari bahwa dirinya berkuasa atas pikirannya, bukan pikiran terhadap tubuhnya. Sesi Being present. Dalam sesi ini peserta dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku yang ditunjukkan menjadi lebih fleksibel dan kegiatan yang dilakukan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya. Pada sesi ini terapis meminta peserta fokus pada situasi atau peristiwa yang menimbulkan kecemasan saat ini dan terapis memandu peserta untuk kembali melakukan latihan dengan menggunakan metafora selanjutnya peserta bercerita tentang pengalamannya, dan peserta belajar untuk

27 45 mengidentifikasi serta menjelaskan pikiran/ perasaan agar peserta dapat mengerti dirinya. Hayes (2006) mengungkapkan bahwa kontak dengan keadaan sekarang melibatkan kesadaran dari psikologi dan lingkungan fisik. Peserta dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku yang ditunjukkan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya. Sesi self as a contex bertujuan membantu peserta melihat dirinya sendiri tanpa harus menghakimi/menghubungkan peserta dengan nilai benar ataupun salah. Menurut Hayes (2006) mengamati diri atau diri sebagai kontek mengacu pada sebuah persepsi diri tentang dunia dan terlepas dari perilaku saat ini dan pengalaman pribadi. Haris (2009) mendiskripsikan self as a contex sebagai poin yang mana individu mengamati pengalaman pribadinya sendiri. ACT membantu peserta untuk menjadi lebih fokus pada dirinya sendiri dengan cara latihan pikiran, dan latihan pengalaman. Sesi values bertujuan untuk membantu peserta mengklarifikasi nilai yang ada dalam hidupnya dan membantu peserta untuk mengambil keputusan atau tindakan yang mendukung nilai-nilai hidup yang sudah ada. Menurut Hayes (2006) di ACT, nilai menunjukkan kualitas bentuk dari latar belakang hidup peserta dan dapat menjadi gambaran hidup di masa sekarang. Peserta dibantu untuk menggunakan nilai yang sudah ada untuk mengatasi masalahnya saat ini. Dengan mengklarifikasi nilai-nilai tersebut, akan membantu peserta meningkatkan keinginan untuk melakukan perilaku baru yang adaptif. Sesi Commited Action. Sesi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan merekognisi nilai yang ada pada diri. Menurut Hayes (2006) ini sebagai sebagai

28 46 tindakan dari komitmen peserta. Pada verbal dan tindakan, terhadap kegiatan yang akan dipilih, termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Peserta siap untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya dengan berkomitmen terhadap dirinya dan melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya dengan nilai-nilai yang sudah ada pada diri. Dalam hal ini terapis tidak berusaha untuk membuat klien mengubah pikiran dan perasaan mereka, sebaliknya tujuannya adalah untuk mengubah tanggapan mereka terhadap pikiran dan perasaan mereka sendiri. ACT percaya bahwa emosi dan perilaku dapat eksis secara bersama-sama atau secara mandiri dari satu sama lain (Hayes, steven., Jason, Frank, Jason, 2006). Oleh karena itu terapis mengarahkan klien langsung terhadap penerimaan emosi dan pengalaman mereka dan untuk hadir dalam menghadapi emosi yang kuat yang mungkin mereka hindari. Setiap sesi akan mengulas dan menyasar ke 6 dimensi ACT dengan menggunakan metafora, imajinasi dan materi lainnya serta di dalam ACT peserta akan diberikan pekerjaan rumah berupa pencatatan buku harian yang dilakukan setiap hari selama satu minggu, dan setiap minggunya terapis akan membahas buku harian dan memantau setiap perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta. Acceptance and Commitment Therapy idealnya dilaksanakan dalam 6-8 sesi pertemuan dengan lamanya waktu antara 60 sampai dengan 120 menit dan dilakukan 1 minggu sekali untuk memaksimalkan waktu dan pekerjaan rumah peserta (Hayes & Rowse, 2008). Pada proses terapi ACT klien akan belajar bagaimana menerima pikiran dan perasaan mereka yang mungkin dicoba untuk ditolak. Selain penerimaan,

29 47 komitmen untuk bertindak juga sangat penting. Komitmen melibatkan membuat keputusan secara sadar tentang apa yang penting dalam hidup dan apa yang bersedia dilakukan agar hidupnya dihargai. ACT memanfaatkan pekerjaan rumah dan latihan perilaku sebagai cara untuk menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka. Focus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna (Corey, 2009). ACT diharapkan dapat membuat penerimaan diri dan penghormatan diri individu dalam ke 6 sesi menjadi lebih baik sehingga kemampuan flesibilitas psikologis tercapai. Fleksibilitas psikologis yaitu kemampuan sepenuhnya untuk menghubungkan saat ini dan reaksi psikologis yang dihasilkan orang dalam keadaan sadar dan mampu bertahan atau mengubah perilaku dalam situasi dan melayani nilai-nilai yang sudah dipilih (Hayes & Flecher, 2005). Tercapainya fleksibilitas psikologis pada individu setelah ACT diberikan akan berdampak positif sehingga meningkatkan penerimaan diri. Penerimaan diri yang tinggi dari hasil intervensi ACT ini dapat ditunjukkan dengan perubahan sikap yang terlihat pada tiap individu yaitu cara berkomunikasi yang baik, kemampuan dalam menjalankan tugas, melakukan sharing pendapat secara efektif dan adanya touch satu sama lain mampu menguatkan dan meningkatkan penerimaan diri. Perubahan juga terlihat dari individu yang positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah yang positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik. Kualitas hidup individu juga meningkat terlihat

30 48 pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg, T., Konstrad, I & Frostholm, 2013). Menurut Maslow (Ardilla & Ike 2013) seorang yang dapat menerima dirinya adalah individu yang dapat dengan tenang, bebas dari rasa bersalah, malu dan rendah diri atas keterbatasan dirinya sendiri, dan tidak merasakan kecemasan oleh orang lain terhadap dirinya. Individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri mereka sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya. Selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat. Sebaliknya, orang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karakteristik mereka sendiri, merasa diri mereka tidak berguna dan tidak percaya diri (Ceyhan & Ceyhan, 2011). Sehubungan dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi ACT mampu menjadikan seseorang dapat menerima dan berkomitmen besar atas permasalahan yang dialami, sehingga tingkat penerimaan dirinya menjadi tinggi. D. Landasan Teori Penerimaan diri merupakan suatu keadaan dengan seseorang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada pada diri dan memandang positif kehidupan yang telah dijalani (Santrock, 2002). Selanjutnya Sheerer (Praptomojati, 2015) menyebutkan penerimaan diri pada diri seseorang

31 49 dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu, adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan, adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan sederajat dengan orang lain, tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain, tidak adanya rasa malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri, ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan, dan tidak adanya penyangkalan atas keterbatasan yang ada, ataupun pengingkaran kelebihan. Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan maupun kelemahan/kekurangan orang tersebut. Dengan demikian, seseorang akan dapat berinteraksi dengan baik karena orang tersebut dapat menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain secara positif. Sebaliknya individu yang memunyai penerimaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti, merasa iri terhadap keadaan orang lain, akan sulit membangun hubungan positif dengan orang lain, dan tidak bahagia (Husniyati, 2009). Penerimaan diri yang rendah dapat diupayakan meningkat salah satunya dengan memberikan intervensi ACT yang merupakan salah satu terapi yang popular saat ini dan dianggap lebih fleksibel dan lebih efektif dalam menangani berbagai kasus (Montgomery, Kim, & Franklin, 2011). Terapi ini mengajarkan untuk menerima pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan

32 50 dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes, 2006). Penerimaan/acceptance memiliki arti menerima, sehingga disini ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya, setelah itu barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2006). Komitmen memunyai arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Narapidana berkomitmen terhadap keputusan dan tujuan yang ingin dicapainya melalui proses komunikasi yang terapeutik antara terapis dan klien, sehingga klien harus bisa bertahan dengan apa dipilih karena sudah berkomitmen (Stuart, 2009). ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki beberapa kasus pada klien dengan depresi, ansietas, penyalahgunaan narkoba, nyeri kronik, PTSD, anoreksia dan skizofrenia (Hayes, 2005). Pendekatan ini melibatkan sepenuhnya penerimaan pengalaman sekarang dan penuh kesadaran untuk melepaskan hambatan. Penerimaan dalam pendekatan ini adalah tidak sekedar mentoleransi melainkan tidak menghakimi serta aktif merangkul pengalaman saat ini. Berbeda dengan pendekatan CBT dimana kognisi ditantang atau diperdebatkan, di ACT kognisi yang diterima. Klien belajar bagaimana menerima pikiran dan perasaan mereka yang mungkin dicoba untuk ditolak. Selain penerimaan, komitmen untuk bertindak juga sangat penting. Komitmen melibatkan membuat keputusan secara sadar tentang apa yang penting dalam hidup dan apa yang bersedia dilakukan agar hidupnya dihargai. ACT memanfaatkan pekerjaan rumah dan latihan perilaku sebagai cara untuk

33 51 menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka. Focus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna (Corey G, 2009). Pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang mengacu pada 6 prinsip dasar yaitu Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006). Dari 6 sesi yang dilakukan pada intervensi ACT maka diharapkan dapat membuat penerimaan diri dan penghormatan diri individu menjadi lebih baik sehingga membantu untuk meningkatkan pemfungsian dan quality of life dengan meningkatkan psychological flexibility, atau kemampuan bertindak secara efektif sesuai dengan nilai-nilai personal meskipun terjadi gangguan terhadap pikiran (interfering thought), emosi dan sensasi tubuh (Hayes et al, 2006). Menurut Harris (2009) psychological flexibility adalah kemampuan untuk berada pada saat sekarang dengan penuh kesadaran dan keterbukaan terhadap pengalaman, dan dapat mengambil tindakan yang berdasarkan nilai kehidupan yang dianut. Lebih sederhanyanya, psychological flexibility adalah kemampuan untuk berada pada saat ini, terbuka, dan melakukan apa yang ada. Kemampuan untuk berada dalam kondisi sadar secara penuh, terbuka pada pengalaman, dan untuk bertindak sesuai dengan nilai. Dalam hal ini peningkatan psychological flexibility dapat ditunjukkan dengan perubahan sikap yang terlihat pada individu yaitu cara berkomunikasi yang baik, kemampuan dalam menjalankan tugas, dan melakukan sharing

34 52 pendapat secara efektif. Sedangkan perubahan yang terjadi secara kognitif berupa positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah secara positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik. Selain itu quality of life meningkat terlihat pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg, T., Konstrad, I & Frostholm, 2013). Dengan penerapan terapi ACT diharapkan narapidana akan menerima kondisinya dan dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk melakukan apa yang sudah dipilihnya (Heyes, 2005). Melihat proses terapi yang diterapkan oleh ACT, maka ACT diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan diri pada narapida dengan vonis hukuman pertama kali. Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan melalui Gambar 1. berikut:

35 53 Keterangan : : Diberi intervensi : Indikator keberhasilan Intervensi Gambar 1. Kerangka Penelitian Proses Penerimaan Diri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penerimaan Diri. untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penerimaan Diri. untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerimaan Diri 1. Definisi Penerimaan Diri Santrock (2002) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. menimbulkan rasa takut dan perasaan tidak menyenangkan, karena stigma yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. menimbulkan rasa takut dan perasaan tidak menyenangkan, karena stigma yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Lembaga pemasyarakatan (Lapas) lebih dikenal dengan istilah penjara menimbulkan rasa takut dan perasaan tidak menyenangkan, karena stigma yang melekat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan banyak negara di seluruh dunia adalah masalah HIV/AIDS. HIV (Human

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan banyak negara di seluruh dunia adalah masalah HIV/AIDS. HIV (Human BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu permasalahan di bidang kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia adalah masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerimaan diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berhubungan dengan orang lain sebagai proses sosialisasi dan interaksi sosial dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan diri 2.1.1 Definisi Penerimaan Diri Ellis (dalam Richard et al., 201) konsep penerimaan diri disebut Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai

BAB II KAJIAN TEORI. karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai BAB II KAJIAN TEORI A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempat kerjanya. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran) A. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Asal Sekolah Kelas : Nissa (Nama Samaran) : 18 tahun : Perempuan : Islam : Siswa : SMA Negeri 1 Sanden : XII Semester : 1 Alamat B. Deskripsi Kasus

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN oleh Rosita E.K., M.Si Konsep dasar dari konseling adalah mengerti

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

Reality Therapy. William Glasser

Reality Therapy. William Glasser Reality Therapy William Glasser 1. Latar Belakang Sejarah William Glasser lahir tahun 1925, mendapatkan pendidikan di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di Case Western Reserve University pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Konseling Kelompok Salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik dan pengalaman belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Modul ke: Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendekatan Kognitif Terapi kognitif: Terapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. ( Yosep, 2007 ). Harga

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. memiliki ibu berstatus narapidana sejak awal dan I responden butuh beberap

BAB IV ANALISIS. memiliki ibu berstatus narapidana sejak awal dan I responden butuh beberap BAB IV ANALISIS Hasil penelitian ialah dari seluruh responden yang berjumlah III orang diketahui, dari II anak menyatakan bahwa dapat menerima sebagai anak yang memiliki ibu berstatus narapidana sejak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA :

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : 081-5687-1604 NB : Materi ini telah TIM RDRM persentasikan di Dinas Kesehatan Kota Semarang 2017 About Me Nama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMA Pasundan 2 Bandung yang beralamat di Jl. Cihampelas No 167. 2. Populasi Penelitian

Lebih terperinci

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK www.mercubuana.ac.id MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pada remaja di panti asuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak kejahatan atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena.

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu kegiatan profesional dan ilmiah, pelaksaan konseling bertitik tolak dari teori-teori yang dijadikan sebagai acuannya. Pada umumnya teori diartikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diri merupakan tingkat dimana individu benar-benar mempertimbangkan. kelebihan dan kekurangan dalam dirinya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diri merupakan tingkat dimana individu benar-benar mempertimbangkan. kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Hurlock dalam Sari (2002:34) mengemukakan bahwa Penerimaan diri merupakan tingkat dimana individu benar-benar mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB ll TINJAUAN TEORI. A. Kebahagiaan

BAB ll TINJAUAN TEORI. A. Kebahagiaan BAB ll TINJAUAN TEORI 1. Pengertian Kebahagiaan A. Kebahagiaan Menurut kamus umum, kebahagiaan adalah keadaan sejahtera dan kepuasan hati, yaitu kepuasaan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- Undang Dasar 1945 pasal 3 yang berbunyi Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Modul ke: Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Fakultas Psikologi Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konseling Berbasis Problem Konseling berbasis problem:

Lebih terperinci

Konsep Diri Rendah di SMP Khadijah Surabaya. baik di sekolah. Konseli mempunyai kebiasaan mengompol sejak kecil sampai

Konsep Diri Rendah di SMP Khadijah Surabaya. baik di sekolah. Konseli mempunyai kebiasaan mengompol sejak kecil sampai BAB IV ANALISIS ISLAMIC COGNITIVE RESTRUCTURING DALAM MENANGANI KONSEP DIRI RENDAH SEORANG SISWA KELAS VIII DI SMP KHADIJAH SURABAYA A. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Seorang Siswa Kelas VIII Mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang supportif dan kondusif termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. di

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang supportif dan kondusif termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. di 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 28 B UUD 1945 disebutkan bahwa setiap anak berhak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy) Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy) Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Terapi Realitas (Reality

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, salah satu dari tugas perkembangan kehidupan sosial remaja ialah kemampuan memahami

Lebih terperinci

PROSES TERJADINYA MASALAH

PROSES TERJADINYA MASALAH PROSES TERJADINYA MASALAH ` PREDISPOSISI PRESIPITASI BIOLOGIS GABA pada sistem limbik: Neurotransmiter inhibitor Norepineprin pada locus cereleus Serotonin PERILAKU Frustasi yang disebabkan karena kegagalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan manusia lainnya. Ketika seorang anak masuk dalam lingkungan sekolah, maka anak berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Abnormal

Pengantar Psikologi Abnormal Pengantar Psikologi Abnormal NORMAL (SEHAT) sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum ABNORMAL (TIDAK SEHAT) tidak sesuai dengan kategori umum. PATOLOGIS (SAKIT) sudut pandang medis; melihat keadaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy adalah keyakinan diri individu tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan individu peroleh dari kerja kerasnya yang

Lebih terperinci

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional 15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional Saat ini kecerdasan emosional tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak munculnya karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang pada umumnya ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga setiap kegiatan manusia atau masyarakat harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan

Lebih terperinci

CHAPTER EIGHT Emotional Determinants. (Personality Development, Elizabeth B. Hurlock)

CHAPTER EIGHT Emotional Determinants. (Personality Development, Elizabeth B. Hurlock) CHAPTER EIGHT Emotional Determinants (Personality Development, Elizabeth B. Hurlock) Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Dari Bapak Dr. H. A. Juntika Nurihsan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI.

TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI. TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI. Yusak Novanto, S.Psi, M.Psi, Psikolog Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan Surabaya yusak.novanto@uphsurabaya.ac.id

Lebih terperinci

KONSEP DASAR. Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan.

KONSEP DASAR. Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. KONSEP DASAR Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagianbagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya,

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri ( Stuart, 2006 ). Gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. keinginan dalam hidupnya. Perasaan yakin akan kemampuan yang dimiliki akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. keinginan dalam hidupnya. Perasaan yakin akan kemampuan yang dimiliki akan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Percaya Diri 1. Pengertian Percaya Diri Percaya diri merupakan hal yang sangat penting yang seharusnya dimiliki oleh semua orang. Dengan percaya diri seseorang akan mampu meraih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa Keputusasaan (Hopelessness) Pengertian Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternative atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Secara Umun Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Harga Diri 1.1. Pengertian harga diri Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan konformitas teman sebaya dengan konsep diri terhadap kenakalan remaja di Jakarta Selatan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai

Lebih terperinci

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM PROGRAM PENGABDIAN PADA MASYARAKAT BAGIAN PSIKOLOGI KLINIS FAKULTAS PSIKOLOGI UNDIP BEKERJASAMA DENGAN RS. HERMINA BANYUMANIK SEMARANG PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM SEMARANG, 23 AGUSTUS 2014

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Percaya Diri Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berfungsi pentingnya kehidupan manusia, karena dengan kepercayaan diri

Lebih terperinci