BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Pemasaran merupakan langkah penting yang dibuat suatu perusahaan atau

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Suatu organisasi atau perusahaan yang menawarkan barang maupun jasa tentunya membutuhkan sarana dalam memasarkan barang maupun jasa. Pemasaran merupakan langkah penting yang dibuat suatu perusahaan atau organisasi agar barang atau jasa yang dihasilkan bisa dikenal luas oleh masyarakat. Salah satu teknik pemasaran adalah dengan iklan yang bertujuan untuk menarik perhatian konsumen terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Di era digital ini, akan terasa jauh lebih mudah untuk menargetkan konsumen melalui media elektronik. Mengingat teknologi yang sudah berkembang pesat, bukan tidak mungkin untuk menarik minat banyak calon konsumen dalam waktu yang relatif singkat menggunakan iklan melalui media elektronik. Dengan adanya kecepatan di bidang teknologi, tentunya sangat membantu dalam pembuatan maupun dalam penyebaran iklan. Karena kecepatan di bidang teknologi pula, banyak perusahaan yang memanfaatkan iklan kampanye global sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri terlebih dahulu dengan konsumen daripada kompetitornya (Kaplan, 1994; Chan, Li, Diehl, & Terlutter, 2007). Namun kecepatan teknologi juga memperbesar kemungkinan konsumen untuk terkena paparan media yang tidak menyenangkan, terutama hal-hal yang memiliki 1

2 2 kecenderungan ofensif bagi konsumen. Terbukanya negara untuk iklan dan media asing, terutama melalui televisi dan internet, berarti bahwa orang di seluruh Asia memiliki kesempatan yang lebih besar terkena paparan iklan yang berpotensi ofensif (Waller & Fam, 2000; Kim & Waller, 2003). Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk menyebarkan iklan adalah dengan menggunakan peran media massa. Salah satu fungsi media massa menurut Laswell (Tankard & Werner, 2005 : 386; Kriyantono, 2007) adalah penyampaian warisan sosial (transmission of the social herritage), di mana merupakan suatu fungsi dimana media menyampaikan informasi, nilai dan norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan fungsi tersebut, sangatlah penting bagi media untuk memaksimalkan fungsi ini agar iklan tetap dapat disampaikan dengan baik kepada konsumen, namun tetap memegang penyampaian warisan sosial, di mana warisan sosial tersebut diharapkan sesuai dengan kebudayaan yang dianut oleh bangsa tersebut. Adanya perbedaan budaya, tentu memiliki warisan sosial yang berbeda pula. Budaya Barat cenderung lebih terbuka terhadap iklan, sementara budaya Timur memiliki kecenderungan untuk lebih sensitif terhadap iklan dan cenderung menganggap iklan ofensif. Penulisan yang dilakukan Chan, Li, Diehl, dan Terlutter (2007) menunjukkan bahwa konsumen dengan budaya Timur (diwakilkan oleh subyek dari Cina) cenderung lebih menganggap iklan ofensif, membuat perasaan tidak nyaman, menjijikkan dan tidak sopan, sementara konsumen dengan budaya Barat (dalam hal ini diwakilkan oleh responden Jerman), lebih menganggap iklan ofensif, menjengkelkan dan konyol. Oleh karena itu, walaupun konsumen dari kedua

3 3 negara dengan budaya yang berbeda dikondisikan dengan melihat iklan ofensif yang sama, maka konsumen dari kedua negara memiliki perilaku dan pola pikir yang berbeda dalam menanggapi iklan yang ofensif. Keberagaman budaya ini tentu juga dapat mempengaruhi penilaian moral konsumen terhadap iklan ofensif. Indonesia telah menerapkan sejumlah aturan yang tegas mengenai iklan. Berikut aturan mengenai asas umum periklanan, yang diambil dari tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia yang disempurnakan (Agustrijanto, 2001): 1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. (Bab II, sub-bab A: asas-asas umum, pasal 1) 2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku dan golongan (Bab II, sub-bab A: asasasas umum, pasal 2). 3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat (Bab II, sub-bab A: asasasas umum, pasal 3). Berdasarkan penjelasan di atas, maka iklan yang berhubungan dengan sara dan kekerasan tentu dilarang di Indonesia. Tak hanya iklan, hal ini juga sangat penting diterapkan dalam aturan penyiaran dan pewartaan di Indonesia. Peraturan ini digunakan dapat menghentikan adanya siaran atau iklan yang dianggap tidak mendidik. Dengan adanya aturan ini, diharapkan bahwa citra penyiaran di Indonesia dapat semakin membaik. Iklan di satu sisi, dapat menjadi teknik pemasaran yang baik, namun di sisi lain, dapat juga membawa sisi negatif bagi perusahaan. Apabila iklan yang

4 4 digunakan dianggap ofensif atau menyerang kalangan tertentu, bukan tidak mungkin iklan dapat menyebabkan masyarakat menjadi tersinggung dan bertindak agresif. Umumnya iklan ofensif cenderung dapat menimbulkan konflik yang dapat berdampak negatif terhadap perusahaan atau organisasi. Bertahun-tahun yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan munculnya sebuah iklan pariwisata di Malaysia. Permasalahannya adalah salah satu konten dalam iklan tersebut memuat tradisi budaya Indonesia, yaitu tari pendet yang berasal dari Bali (Kompas, 2009, Tentu munculnya iklan ini menimbulkan kontroversial tersendiri bagi dunia pariwisata di Indonesia. Menurut kompas (2009, hal menarik yang ditemukan dengan adanya iklan kontroversial tersebut adalah bahwa pariwisata Bali justru kian populer, bahkan salah satu media cetak di Australia menyoroti masalah ini dan mempublikasikan berita dengan judul Malaysia steals Bali dance (Malaysia mencuri tari Bali). Beberapa waktu yang lalu, warganet sempat menemukan sebuah iklan yang dicurigai melanggar etika periklanan. Iklan tersebut dikeluarkan oleh salah satu perusahaan penyedia jasa yang bergerak di bidang transportasi (Agung, 2016, Iklan tersebut menghebohkan warganet dikarenakan memuat dua konten yang tidak pantas. Konten pertama terletak pada perempuan yang tampak memiliki luka dan darah di sekujur tubuhnya. Perempuan tersebut ditampilkan seolah-olah mengalami kecelakaan. Konten tersebut dianggap meresahkan masyarakat karena menimbulkan perasaan takut. Konten ini tidak sesuai dengan asas umum periklanan bab II, sub-bab B, pasal 1, huruf m

5 5 (Agustrijanto, 2001), tentang adanya perwujudan dari rasa takut dan kepercayaan terhadap takhayul. Konten kedua terletak pada adegan munculnya pesaing dalam iklan. Adanya pesaing seolah menggambarkan bahwa perempuan tersebut mendapat luka setelah memanfaatkan jasa dari pesaingnya. Tampilan ini dianggap merendahkan jasa dari produk pesaing. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan asas umum periklanan bab II, sub-bab B, pasal 3, huruf b dan c (Agustrijanto, 2001), tentang perbandingan langsung dan bersifat merendahkan pesaing. Menurut peraturan dari Etika Pariwara Indonesia (Dewan Periklanan Indonesia, 2014) pada ketentuan bab III, mengenai tata krama isi iklan pasal 1.20 yang berisi pernyataan bahwa Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing, tampak jelas bahwa ketentuan ini telah dilanggar. Ketika perusahaan menyadari adanya kesalahan ini, perusahaan tersebut segera menghapus iklan tersebut, kemudian mengunggahnya kembali setelah memotong bagian yang dianggap bermasalah. Jenis iklan di atas termasuk iklan yang kontroversial karena dianggap telah meresahkan masyarakat. Tidak hanya kontroversial, iklan tersebut juga berpotensi menjadi ofensif karena memuat konten yang dianggap kasar, tidak menyenangkan dan bahkan menjijikkan, bagi sebagian masyarakat yang telah menonton iklan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya komentar negatif dari masyarakat yang tidak menyukai konten iklan. Agung (2016, mengungkapkan bahwa salah satu akun berinisial D.Y. menyebutkan bahwa dirinya tidak menyetujui konten dari

6 6 iklan tersebut karena berpotensi menjelek-jelekan pesaing dari perusahaan tersebut. Sementara akun A.N. menyebutkan bahwa iklan tersebut sangat tidak sensitif, kasar dan tidak etis. Adanya ketidaksetujuan dari konsumen, memungkinkan iklan yang awalnya kontroversial menjadi iklan ofensif, di mana iklan tersebut meresahkan dan membuat masyarakat tidak nyaman melihat konten dari iklan tersebut. Adanya potensi iklan ofensif, menyebabkan perusahaan harus berhati-hati dalam mengembangkan konten iklan agar tidak membuat konsumen merasa tidak nyaman. Berdasarkan pengalaman tersebut, hendaknya perusahaan dapat mengambil pembelajaran dari peristiwa ini bahwa jenis iklan ini dapat dihindari agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Selain iklan ofensif, ada beberapa produk yang pada dasarnya sudah dianggap ofensif (Wilson and West, 1995; Waller, 1999b). Contoh produk yang pada dasarnya dianggap ofensif, antara lain: alkohol, rokok, pembalut wanita, dan kondom. Hal ini biasanya menyebabkan pemasaran produk tersebut secara otomatis dianggap ofensif. Namun demikian, produk-produk tersebut masih tetap mendatangkan keuntungan bagi perusahaan karena walaupun dianggap ofensif, namun masih ada konsumen yang berniat untuk membeli produk-produk tersebut. Ada kemungkinan produk tidak mempengaruhi kondisi moral calon konsumen sehingga tidak mempengaruhi niat membeli produk. Di Indonesia, iklan rokok dan kondom masih dianggap cukup ofensif. Hal ini terlihat dengan tidak adanya tampilan fisik produk secara langsung pada iklan, bahkan iklan dengan tampilan dewasa hanya boleh ditayangkan pada jam tertentu di

7 7 malam hari (bab II, sub-bab C: penerapan khusus; Agustrijanto, 2001). Tampilan yang diijinkan untuk diiklankan biasanya hanyalah kemasan dari produk, bukan wujud dari produk itu sendiri. Walaupun demikian, konsumen yang membeli dan mengkonsumsi produk tersebut masih cukup banyak. Ketika konsumen memandang suatu iklan sebagai iklan yang ofensif, maka secara tidak langsung, konsumen menilai iklan tersebut secara negatif. Penilaian negatif ini dimungkinkan terjadi karena karakter moral dari konsumen. Karena merasa kondisi moralnya terusik, maka akan mempengaruhi penilaiannya terhadap produk atau jasa tersebut. Penilaian moral ini dapat mempengaruhi perilaku konsumen secara keseluruhan, termasuk niat membeli konsumen terhadap produk atau iklan tersebut. Jika penilaian konsumen buruk terhadap suatu iklan, hal ini dikuatirkan dapat mempengaruhi niat membeli konsumen terhadap produk atau jasa tersebut. Berdasarkan Fereidouni (2008; Madni, Hamid, dan Rashid, 2016), konsekuensi dari iklan kontroversial yang berpotensi ofensif dapat berujung pada aksi negatif yang dapat dilakukan konsumen, seperti menurunnya level pembelian, keluhan, bahkan termasuk boikot. Ketika seseorang merasa ada yang salah dengan suatu hal, ada beberapa kemungkinan karakter yang dapat ditonjolkan. Salah satunya adalah dengan merasa defensif, yang merupakan karakter yang berkebalikan dari tindakan ofensif. Karakter ini memiliki kemungkinan untuk dapat menonjol ketika konsumen sedang berdebat dan mempertahankan pendapatnya mengenai iklan yang dianggap ofensif.

8 8 Contoh produk yang berpotensi menjadi ofensif adalah adanya rumor mengenai kandungan babi dalam beberapa produk mie instan impor. Dikatakan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia telah menemukan dan menarik sejumlah mie instan bermasalah itu dari peredaran karena tidak mencantumkan pernyataan di kemasan bahwa produk tersebut tidak halal (BBC, 2017, Konsumen yang telah mengkonsumsi produk tersebut tampak kecewa dengan pernyataan ini. Hal ini disebabkan konsumen tersebut beragama muslim sehingga produk yang tidak halal tersebut seharusnya tidak dapat dikonsumsi menurut aturan agama. Perusahaan pengimpor produk tersebut dianggap telah melanggar Undang-Undang No. 8, tahun 1999, tentang perlindungan konsumen, terutama bab III, pasal 4, huruf c, tentang hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa (Agustrijanto, 2001). Produk ini berpotensi menjadi ofensif karena dianggap telah melanggar norma agama bagi kaum muslim. Adanya produk yang tidak halal membuat kaum muslim menjadi tidak nyaman dan memiliki kecenderungan untuk tidak membeli produk serupa yang sejenis. Konsumen cenderung merasa khawatir apabila mengkonsumsi produk yang sejenis, walaupun produk tersebut halal sehingga niat untuk membeli produk sejenis, dapat berkurang. Dikhawatirkan, hal ini dapat merugikan perusahaan pengimpor lain yang mengimpor produk sejenis. Adanya iklan maupun produk ofensif ini dikuatirkan menimbulkan reaksi yang kurang baik dari masyarakat. Bahkan beberapa konsumen telah bertindak agresif dengan menyerang secara verbal melalui media sosial menggunakan kalimat-

9 9 kalimat yang kurang pantas.. Model Intuisionis Sosial (SIM) yang dikembangkan oleh Haidt (Paxton, Ungar, & Greene, 2011) mendeskripsikan bahwa penilaian moral umumnya didominasi oleh intuisi, terutama didorong oleh respon emosional otomatis yang dan diproduksi oleh proses bawah sadar. Oleh karena itu, wajar jika konsumen mengeluarkan respon emosional yang ditimbulkan dari perasaan kurang nyaman yang dirasakan. Sehingga dampak dari respon emosional tersebut adalah munculnya penilaian moral konsumen, yaitu reaksi negative yang salah satunya adalah bertindak agresif. Adanya kemajuan teknologi memungkinkan terjadinya penyerangan verbal mengingat banyaknya komentar jahat yang telah beredar di internet. Komentar jahat tersebut umumnya terjadi karena masyarakat cenderung merasa tidak nyaman, bahkan memungkinkan untuk mengusik kondisi moralnya. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap penilaian moral konsumen. Penilaian moral tersebut dapat terbentuk dari sebuah pemahaman yang terjadi pada saat pengambilan keputusan terlibat, di mana proses pengambilan keputusan adalah sebuah proses kompleks yang dipengaruhi oleh faktor personal, situasional, dan isu terkait (Barnett, 2001; Lehr & Sumarah, 2004). Ketiga aspek ini memungkinkan konsumen untuk membentuk sebuah pemahaman yang terbentuk oleh ketidak nyamanan sehingga muncullah reaksi negatif. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menentukan rumusan permasalahan yang hendak dijawab dalam penulisan ini, yakni:

10 10 1. Apakah iklan ofensif dan iklan non ofensif dapat mempengaruhi niat membeli konsumen? 2. Apakah penilaian moral dapat mempengaruhi niat membeli konsumen? 3. Apakah iklan ofensif dan iklan non ofensif, serta penilaian moral dapat mempengaruhi niat membeli konsumen? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris tingkat keofensifan dan nilai moral terhadap niat membeli konsumen di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan bagi pengembangan kajian ilmu psikologi, khususnya pada bidang psikologi ekonomi, psikologi industri dan psikologi sosial. Penelitian ini juga dapat mengembangkan teori tingkat keofensifan, nilai moral dan niat membeli konsumen. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi yang bermanfaat bagi perusahaan, perusahaan periklanan, hubungan konsumen serta pihak-pihak terkait mengenai pengaruh keofensifan iklan dan nilai moral terhadap niat membeli konsumen. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman dan gambaran kepada perusahaan agar dapat menciptakan suatu produk atau iklan yang tidak dianggap ofensif atau kontroversial, dengan mempelajari faktor-faktor yang membuat suatu produk atau iklan dianggap ofensif oleh konsumen di Indonesia. Dengan mengetahui reaksi yang dihasilkan konsumen,

11 11 perusahaan atau organisasi dapat menyimpulkan seberapa besar dampak yang dihasilkan dan berapa besar pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup perusahaan atau organisasi tersebut apabila dianggap ofensif oleh konsumen di Indonesia. D. Perbedaan dengan Penulisan Sebelumnya Penulisan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sebab: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Chan, Li, Diehl, dan Terlutter (2007) yang berjudul Consumers Response to Offensive Advertising: A Cross Cultural Study. Tujuan penelitian adalah untuk menunjukkan bagaimana konsumen di Cina dan Jerman bereaksi terhadap iklan yang berpotensi menjadi ofensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden China dan responden Jerman memiliki penilaian dan persepsi yang berbeda terhadap iklan yang berpotensi ofensif. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Forsyth (1980) yang berjudul A Taxonomy of Ethical Ideologis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji tingkat idealisme dan relativisme yang dialami, serta mengukur dan mengelompokkan individu dalam salah satu dari empat ideologi etis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prediksi mengenai ada perbedaan karakteristik dalam empat kelompok ideologi etis, telah terbukti benar. Perbedaan karakteristik dari keempat kelompok ideologi etis juga menunjukkan adanya perbedaan dalam penilaian moral terhadap suatu hal atau aturan yang berlaku.

12 12 3. Penelitian yang dilakukan oleh Madni, Hamid, dan Rashid (2016) yang berjudul Influence of Controversial Advertisement on Consumer Behavior. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi hubungan antara perilaku dan respon konsumen terhadap iklan kontroversial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku konsumen dan iklan kontroversial, namun penelitian yang mengartikulasi mengenai hubungan antara iklan dan perilaku kontroversial masih kurang. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Younus, Rasheed, dan Zia (2015) yang berjudul Identifying the Factors Affecting Customer Purchase Intention. Tujuan penelitian adalah untuk mengobservasi efek dari pengetahuan pelanggan mengenai produk, dukungan selebriti terhadap produk dan nilai keuntungan terhadap niat membeli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai keuntungan, pengetahuan pelanggan mengenai produk dan dukungan selebriti terhadap produk memiliki hubungan yang signifikan dengan niat membeli. Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya pada beberapa hal, yaitu variabel penelitian yang akan diuji, lokasi penelitian, karakteristik subjek, tinjauan teoritis serta skala yang akan digunakan. Penelitian sebelumnya hanya meneliti dari segi ekonomi, dengan kata lain, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang meneliti keofensifan iklan dari sudut pandang psikologi. Penelitian ini juga penting untuk dilakukan karena menggabungkan variabel yang berbeda dari penelitian sebelumnya, serta terdapat konteks penelitian baik wilayah maupun budaya yang berbeda.