BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Indonesia, termasuk didalamnya penyakit infeksi jamur. Infeksi jamur sebagai

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi masih tetap merupakan masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk didalamnya penyakit infeksi jamur. Infeksi jamur sebagai salah satu penyakit yang tersebar luas di dunia, menyerang semua golongan umur dan semua ras. Dua puluh sampai dua puluh lima persen penduduk di dunia menderita penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur dengan angka kejadian yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Havlickova et al., 2008). Peningkatan kejadian infeksi jamur ini salah satunya disebabkan adanya resistensi obat antijamur terutama pada individu imunokompromais yang berkaitan juga dengan peningkatan insiden infeksi oportunistik dan infeksi jamur sistemik (Rizk et al., 2004). Infeksi jamur (mikosis) ada yang bersifat superfisial maupun sistemik. Mikosis sistemik dibagi menjadi dua yaitu mikosis sistemik primer dan oportunistik (Walsh dan Dixon, 1996). Ada beragam spesies jamur yang bisa menyebabkan mikosis tetapi hampir 70 % jamur invasif sebagai agen penyebab mikosis oportunistik adalah spesies Candida dan Aspergillus (Pfaller dan Diekema, 2010). Spesies Candida yang paling banyak menyebabkan kandidiasis invasif pada manusia yaitu Candida albicans (C. albicans) (Marchetti et al., 2004). Infeksi sistemik candida (kandidiasis sistemik) ternyata berhubungan 1

2 2 dengan peningkatan angka kematian sebesar 38%, pemanjangan waktu dan biaya perawatan di rumah sakit (Perea dan Patterson, 2002). Salah satu faktor yang berperan pada patogenitas dan virulensi C. albicans adalah pembentukan biofilm sebagai salah satu cara C. albicans untuk mempertahankan diri dari antifungi (Nicholls et al., 20011; Mayer et al., 2013). Penggunaan peralatan medis seperti stent, shunts, prostesis, implan, tabung endotrakeal, alat pacu jantung dan berbagai jenis kateter terbukti mendukung kolonisasi dan pembentukan biofilm oleh Candida (Kojic dan Darouiche, 2004). Infeksi jamur yang disebabkan oleh biofilm sangat sukar diobati. Untuk membunuh bakteri dalam biofilm membutuhkan 1000 kali dosis antibiotika yang diperlukan untuk mencapai hasil yang sama seperti pada sel planktonik (Hetrick et al., 2009). Obat berbasis metal, seperti 1,10-fenantrolin diketahui memiliki aktivitas sebagai anti kanker, anti plasmodium (Mustofa et al., 2003) dan anti jamur (Coyle et al., 2003a). Senyawa 1,10-fenantrolin merupakan suatu kelator logam tipikal yang dapat mengikat zat besi (Boumans et al., 1997) dan mencegah pembentukan radikal hidroksil yang diperantarai oleh zat besi melalui reaksi fenton. Kelator besi bisa merusak struktur sel biofilm sehingga antibiotik bisa masuk dan membunuh bakteri (Reid et al., 2009). Penelitian oleh Coyle et al. (2003a) menyatakan bahwa obat berbasis logam seperti 1,10-fenantrolin menunjukkan kemampuan sebagai antijamur dengan cara merusak fungsi mitokondria dan menginduksi stres oksidatif. Prasad (2006) juga mengungkapkan bahwa kekurangan zat besi pada C. albicans dengan paparan bathophenantroline (suatu

3 3 kelator) menyebabkan peningkatan fluiditas membran sel. Besi sendiri merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bakteri yaitu berperan dalam transfer elektron dan pembentukan biofim (Weinberg, 2004; Banin et al., 2006) serta mengatur motilitas permukaan dan mempromosikan pembentukan biofilm dengan menstabilkan matriks polisakarida. Kekurangan zat besi diperkirakan bisa merusak perkembangan biofilm (Musk et al., 2005). Mustofa et al. (2003) telah berhasil mengembangkan senyawa baru yang merupakan turunan 1,10-fenantrolin dengan cara melakukan modifikasi struktur senyawa tersebut yaitu berupa senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10- fenantrolinium bromida. Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh Nuryastuti (2013) menggunakan uji broth microdilution dalam media RPMI, senyawa sintetik turunan 1,10-fenantrolin tersebut mempunyai aktivitas sebagai anti jamur yaitu mampu menghambat pertumbuhan jamur candida spp. dengan nilai kadar hambat minimal (KHM) sebesar 3,13 µg/ml (data belum dipublikasikan). Penelitian tentang aktivitas dari senyawa baru turunan 1,10-fenantrolin ini masih sangat terbatas terutama dalam hal mekanisme kerjanya sebagai antijamur. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi untuk mengkaji aktivitas anti jamur in vitro senyawa baru (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida terhadap sel planktonik dan biofilm C. albicans dan pengaruhnya terhadap integritas membran sel.

4 4 I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat menghambat pertumbuhan sel planktonik C. albicans? 2. Apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat menghambat pertumbuhan sel biofilm C. albicans? 3. Apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat mereduksi sel biofilm C. albicans? 4. Apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat mempengaruhi integritas membran sel C. albicans? I.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengkaji aktivitas antijamur senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida pada sel C. albicans Tujuan Khusus : 1. Mengkaji apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat menghambat pertumbuhan sel planktonik C. albicans. 2. Mengkaji apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat menghambat pertumbuhan sel biofilm C. albicans. 3. Mengkaji apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat mereduksi sel biofilm C. albicans.

5 5 4. Mengkaji apakah senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida dapat mempengaruhi integritas membran sel C. albicans. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang aktivitas farmakologi senyawa baru turunan 1,10- fenantrolin hasil modifikasi Mustofa et al. (2003) ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya oleh : 1. Sholikhah et al. (2007) tentang aktivitas sitotoksik turunan senyawa N-alkil dan N-benzil 1,10-fenantrolin pada sel line kanker manusia. 2. Sholikhah et al. (2006) tentang aktivitas antiplasmodium dan sitotoksik senyawa baru turunan N-alkil dan N-benzil 1,10-fenantrolin secara in vitro. 3. Wijayanti et al. (2006) tentang aktivitas antiplasmodium dan toksisitas akut senyawa baru turunan N-alkil dan N-benzil 1,10-fenantrolin pada tikus model malaria. 4. Mustofa et al. (2003) tentang aktivitas antiplasmodium turunan senyawa 1,10 fenantrolin secara in vitro dan hubungan antara aktivitas dan struktur kuantitatifnya. Untuk penelitian tentang aktivitas anti jamur senyawa baru (1)-N-2- metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida terhadap C. albicans pembentuk biofilm dan pengaruhnya terhadap integritas membran sel secara in vitro belum pernah dilakukan.

6 6 I.5. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi tentang efek senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida terhadap isolat C. albicans baik terhadap sel planktonik maupun terhadap strain yang mampu membentuk biofilm, serta bagaimana efek senyawa ini terhadap integritas membran sel C. albicans pembentuk biofilm. Diharapkan data ini dapat digunakan untuk pengembangan senyawa (1)-N-2-metoksibenzil-1,10-fenantrolinium bromida sebagai obat anti jamur baru khususnya terhadap C. albicans pembentuk biofilm.