MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG"

Transkripsi

1 MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG Rd. ADE KOMARUDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 ii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.

3 iii Judul Tesis Nama NRP : Model Perubahan Penggunaan Lahan Pesisir untuk Mendukung Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang : Rd. Ade Komarudin : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Ketua Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 07 Februari 2013 Tanggal Lulus :

4 iv PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Oktober ini adalah Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Mendukung Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Karawang. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku anggota komisi pembimbing atas segala dukungan, motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan selama penelitian sampai penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis 5. Pemerintah Kabupaten Karawang yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini 6. Rekan-rekan PWL Bappenas dan Reguler Angkatan 2011 atas dukungan dan kerjasamanya selama ini, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini Terima kasih yang istimewa disampaikan kepada istriku Puri Subekti beserta seluruh keluarga besar di Karawang, Bekasi dan Bogor, atas segala do a dan dukungan selama ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat dan semoga pembelajaran yang telah dilakukan penulis dalam prosesnya dapat meningkatkan kapasitas penulis untuk lebih bermanfaat bagi masyarakat. Amiin. Bogor, Februari 2013 Rd. Ade Komarudin

5 v DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 4 Kerangka Pikir Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 6 Definisi Wilayah Pesisir 6 Kebijakan Pemerintah 6 Tata Ruang 7 Lahan 7 Sistem Informasi Geografis 9 Pemodelan dengan Pendekatan Celullar Automata (CA)-Markov 10 METODE PENELITIAN 12 Lokasi dan Waktu Penelitian 12 Alat dan Bahan 13 Data 13 Rancangan Alir Penelitian 14 Teknik Analisis dan Pengolahan Data 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 Kondisi Umum Fisik Wilayah 21 Sosial Ekonomi 28 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 30 Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik. 39 Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan 43 Arahan Kebijakan yang Mendukung RTRW Pesisir Kabupaten Karawang. 49 SIMPULAN DAN SARAN 63 Simpulan 63 Saran 63 DAFTAR PUSTAKA 64 RIWAYAT HIDUP 75 vi vii viii

6 vi DAFTAR TABEL 1. Matriks data dan metode analisis Matriks Error Ilustrasi matriks transisi area/probabilitas Lereng dan luasannya Jenis tanah dan luasnya di pesisir Kabupaten Karawang Penggunaan lahan dan luasnya di pesisir Kabupaten Karawang Rencana pola ruang pesisir Kabupaten Karawang dan luasnya Jumlah penduduk di pesisir Kabupaten Karawang Fasilitas sekolah di pesisir Kabupaten Karawang Luas perubahan penggunaan lahan Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan Matriks persentase perubahan penggunaan lahan Luas abrasi dan akresi antara tahun 1994 dan 2012 per Kecamatan Luas abrasi dan akresi per penggunaan lahan Inkonsistensi penggunaan lahan pesisir eksisting dengan RTRW Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Perbandingan luasan data vektor dan raster Matriks probabilitas perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan Matriks area transisi penggunaan lahan tahun 1994 dan Nilai kappa tiap skenario Perbandingan luas penggunaan lahan 2012 dan hasil prediksi Matriks inkonsistensi Peta RTRW dan Peta prediksi potensial Perbandingan abrasi/akresi pada penerapan sempadan tahun Persen kelas inkonsistensi dan nilai kappa untuk hasil simulasi tiap arahan kebijakan. 62

7 vii DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pikir penelitian 5 2. Tetangga terdekat dari sel (i,j) yang dibentuk dari sel (i,j) dan 8 sel tetangganya Diagram alir penelitian Peta Kecamatan Pesisir Kabupaten Karawang Tahapan penentuan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Filter matriks 5 x Diagram alir simulasi model prediksi penggunaan lahan Peta bentuk lahan (land form) pesisir Kabupaten Karawang Peta bahan induk daratan pesisir Kabupaten Karawang Peta kondisi lereng wilayah pesisir Kabupaten Karawang Peta kondisi ketinggian pesisir Kabupaten Karawang Peta jenis tanah pesisir Kabupaten Karawang Peta curah hujan pesisir Kabupaten Karawang Peta penggunaan lahan pesisir Kabupaten Karawang Peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang Peta sebaran penduduk di pesisir Kabupaten Karawang Grafik presentase penggunaan lahan tahun 1994 dan Peta perubahan penggunaan lahan 1994 dan Garis pantai tahun 1994 dan Kondisi abrasi dan akresi di sekitar bangunan break water Peta kesesuaian fisik lahan (sumber BBSDLP) Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Pembobotan kesesuaian lahan dalam software idrisi Grafik nilai kappa pada setiap iterasi Peta Prediksi penggunaan lahan potensial tahun Peta prediksi perubahan penggunaan lahan tahun Peta kelas inkonsistensi prediksi PL 2030 terhadap RTRW Peta penggunaan lahan 2012 dengan sempadan Ilustrasi sistem silvofishery (bengen, 2004) Peta rehabilitasi hutan mangrove di area sesuai mangrove Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan kebijakan implementasi sempadan pantai Peta kelas inkonsistensi hasil prediksi 2030 untuk arahan kebijakan Implementasi sempadan pantai Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan Rehabilitasi Hutan mangrove Peta kelas inkonsistensi hasil prediksi 2030 untuk arahan kebijakan Rehabilitasi Hutan mangrove Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan kebijakan sawah 2012 tidak terkonversi Peta kelas inkonsistensi hasil prediksi 2030 untuk arahan kebijakan Sawah 2012 tidak terkonversi Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan kebijakan gabungan Peta kelas inkonsistensi hasil prediksi 2030 untuk arahan kebijakan Gabungan 61

8 viii DAFTAR LAMPIRAN 1. Citra landsat 7 pesisir Karawang tahun Peta penggunaan lahan 1994 hasil interpretasi Citra landsat 7 pesisir Karawang tahun Peta penggunaan lahan 2012 hasil interpretasi Titik hasil referensi ground thruth cek lapangan dan citra ikonos Data atribut peta kesesuaian fisik lahan (Sumber peta land system BBSDLP) 73

9 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 mendefinisikan ekosistem sebagai kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. Wilayah daratan Indonesia seluruhnya merupakan wilayah kepulauan, oleh karena itu kondisi wilayah pesisir sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan. Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang disebabkan oleh kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang sekitar 75% luasannya merupakan laut, dengan panjang pantai 81,290 km. Kondisi iklim dan interaksi pulau-pulau terhadap permukaan laut memegang peranan penting dalam penentuan ciri atau sifat wilayah pesisir Indonesia (Dahuri et al. 1996). Diperkirakan 22% jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 41 juta jiwa tinggal dan hidup di wilayah pesisir yang mata pencahariannya memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir, baik sebagai nelayan ataupun petani tambak (Nurududja et al. 2007). Pemanfaatan dan penggunaan lahan di wilayah pesisir perlu dirancang dengan matang karena ekosistem di wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang tinggi (Dahuri et al. 1996). Penggunaan lahan di wilayah pesisir merupakan gambaran aktifitas masyarakat yang dilakukan di wilayah pesisir berdasarkan kepentingan sosial, ekonomi maupun ekologi yang ada sehingga cenderung dinamis dan berubah-ubah yang disebabkan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat, kesesuaian lahan dari daya dukungnya. Apabila pemanfaatan lahan pesisir dilakukan tanpa memperhatikan integrasi dengan sumberdaya lain maka akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan pada aktifitas manusia sendiri (Dahuri et al.1996). Oleh karena itu dalam memanfaatkan lahan pesisir perlu diperhatikan kesesuaiannya. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Penentuan kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (Pourebrahim et al. 2012). Pesisir Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah pesisir yang mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan dalam kurun waktu ±20 tahun terakhir. Berkembangnya teknologi budidaya tambak udang di pertengahan tahun 1980-an menjadikan wilayah pesisir Kabupaten Karawang terkonversi besar-besaran menjadi tambak. Pada kurun waktu konversi lahan hutan bakau dan semak menjadi tambak di wilayah pesisir Karawang sangat signifikan hingga % per tahun (Sachoemar 1994). Namun

10 2 kejayaan tambak udang tersebut tidak berjalan lama. Pada akhir tahun 1990an, banyak tambak yang merugi dan ditinggalkan oleh pemiliknya akibat penyakit dan salah kelola. Akibatnya lahan tambak kemudian banyak dikonversi lagi menjadi penggunaan yang lain. Selain itu, perubahan lahan di wilayah pesisir Karawang juga disebabkan oleh semakin banyaknya ketertarikan masyarakat untuk tinggal dan menetap di wilayah pesisir terutama karena meningkatnya aktivitas ekonomi di wilayah ini. Beberapa kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang memiliki laju pertumbuhan lebih dari standar laju pertumbuhan nasional yaitu 1.3% (BPS 2011). Hal ini menyebabkan kompetisi untuk penggunaan lahan pesisir sebagai lahan usaha maupun permukiman semakin meningkat sehingga urgensi untuk implementasi perencanaan tata ruang wilayah pesisir semakin penting dilakukan. Perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang yang dinamis ini penting untuk dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui pola dan memprediksi kondisi yang akan terjadi. Kesesuaian fisik lahan dipertimbangkan dalam membuat prediksi, sehingga penggunaan lahan ke depan diharapkan dapat lebih tepat guna. Hasil prediksi ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membangun suatu perencanaan yang optimal. Untuk melakukan prediksi penggunaan lahan secara spasial dinamis, salah satu model yang dapat digunakan adalah pemodelan dengan pendekatan Celullar Automata (CA) (Munibah 2008).. Perumusan Masalah Potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Kabupaten Karawang menjadi penyebab meningkatnya aktivitas ekonomi di wilayah ini sehingga memicu pertambahan penduduk. Seiring dengan bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan lahan juga semakin meningkat. Lahan dimanfaatkan bukan hanya sekedar sebagai tempat tinggal melainkan juga sebagai tempat usaha. Pemanfaatan lahan seharusnya didasari oleh pengetahuan dan informasi mengenai kondisi lahan dan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan tersebut terhadap lingkungan manusia, sehingga pemanfaatannya tidak menimbulkan degradasi nilai lahan tersebut dan juga tidak menimbulkan kondisi yang merugikan bagi manusia di kemudian hari. Peningkatan kebutuhan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang memicu konflik kepentingan dalam memanfaatkan lahan dan jika diatur maka perubahan penggunaan lahan akan berada sepenuhnya pada penguasaan pasar yang hanya diukur dari segi keuntungan secara ekonomi. Kondisi seperti ini terindikasi terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang dimana hutan mangrove dibuka secara besar-besaran untuk dijadikan lahan tambak. Rusaknya hutan mangrove sebagai ekosistem pesisir tropis tentu sangat merugikan kondisi lingkungan, karena dengan hilangnya ekosistem laut maka jasa lingkungannya sebagai pelindung pesisir dari aktivitas lautan maupun fungsinya sebagai penghasil oksigen dan penyerap zat toxic juga ikut hilang. Pesisir Kabupaten Karawang diperkirakan telah terkena abrasi sehingga beberapa pantainya mundur 30 hingga 300 meter ke arah daratan (Dinas LH Tamben 2008).

11 3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang merupakan aturan yang dihasilkan pemerintah Kabupaten Karawang yang salah satu tujuannya adalah untuk mengatur pemanfaatan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Karawang termasuk wilayah pesisirnya, agar perubahan penggunaan lahan yang terjadi tidak hanya mengikuti hukum pasar (aspek ekonomi). RTRW juga mengendalikan penggunaan lahan agar masih memperhitungkan aspek-aspek lainnya, dimana salah satunya adalah aspek lingkungan. Oleh karena itu implementasi RTRW perlu didukung, agar pemanfaatan lahan lebih teratur dan memperhatikan seluruh aspek secara seimbang. Salah satu bentuk dukungan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat analisis perubahan penggunaan lahan, sehingga dapat dibuat strategi sehingga perubahan penggunaan lahan yang akan terjadi di masa datang lebih efisien, stabil dan lebih mengimplementasi RTRW yang dibuat oleh pemerintah. Informasi mengenai prediksi perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk membuat arahan kebijakan yang dapat mendukung impelmentasi RTRW Kabupaten Karawang untuk jangka waktu panjang ke depan khususnya di wilayah pesisir. Rumusan masalah yang dijelaskan di atas menghasilkan pertanyaanpertanyaan penelitian mengenai tahapan analisis yang akan dilakukan dalam membuat perencanaan tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Karawang yang sekaligus menjadi batasan penelitian yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaannya yaitu : 1) Bagaimanakah perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang? 2) Bagaimanakah penggunaan lahan yang sesuai secara fisik di wilayah pesisir Kabupaten Karawang? 3) Bagaimanakah model yang dapat dibangun untuk memprediksi penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun 2030? 4) Bagaimanakah arahan kebijakan penggunaan lahan pesisir yang dapat disusun untuk mendukung RTRW Kabupaten Karawang? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membuat suatu arahan kebijakan yang mendukung rencana tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Karawang berdasarkan kajian biofisik, sosial dan ekonomi dan dengan bantuan model yang akan memprediksi penggunaan lahan potensial. Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1) Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun ) Menganalisis penggunaan lahan sesuai secara fisik wilayah pesisir Kabupaten Karawang. 3) Membangun model untuk memprediksi penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun ) Menyusun arahan kebijakan penggunaan lahan pesisir yang mendukung rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang.

12 4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, yaitu 1) Memberikan informasi bagi masyarakat pesisir Karawang dalam pemanfaatan lahan pesisir di lingkungan mereka secara lebih efisien dan terencana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka. 2) Sebagai masukan bagi instansi terkait dalam pembuatan kebijakan untuk mendukung implementasi rencana tata ruang wilayah, terutama di wilayah pesisir. Kerangka Pikir Penelitian Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomisosial di wilayah pesisir Kabupaten Karawang, maka kebutuhan lahan juga akan terus meningkat, sehingga jika pemanfaatannya tidak terencana maka perubahan penggunaan lahan yang terjadi akan cenderung mengikuti hukum pasar (aspek ekonomi). Kondisi ini akan merugikan masyarakat di kemudian hari seperti rusaknya lingkungan dan menurunnya kualitas lahan. Oleh karena itu rencana tata ruang wilayah, terutama yang berkaitan dengan penggunaan lahan di wilayah pesisir memiliki urgensi yang sangat tinggi. Permasalahan-permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang hasilnya berupa arahan bagi pemerintah Kabupaten Karawang dalam membuat kebijakan penggunaan lahan di wilayah pesisir, yang dapat mendukung implementasi RTRW. Perubahan penggunaan lahan pada dua titik tahun dianalisis dengan bantuan model Markov Chain sehingga memberikan informasi mengenai pola perubahan penggunaan lahan. Hasil analisis Markov Chain tersebut bersama dengan kesesuaian lahan dan matriks ketetanggaan kemudian dijadikan input dalam memprediksi perubahan penggunaan lahan ke depan yang dilakukan dengan model prediksi penggunaan lahan di masa depan melalui pendekatan Cellular Automata. Prediksi penggunaan lahan yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan RTRW untuk menjadi dasar disusunnya arahan kebijakan penggunaan lahan untuk mendukung implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang khusus di wilayah pesisirnya. Diagram alir kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

13 Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian 5

14 6 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Wilayah Pesisir Wilayah Pesisir merupakan wilayah geografis yang dinamis dan terus berubah akibat bermacam interaksi antara daratan dan lautan (Hadley 2009). Batasan wilayah pesisir berdasarkan rapat kerja nasional proyek MREP tahun 1994 dalam Dahuri et al. (1996) menetapkan bahwa wilayah pesisir terdiri dari daratan dan lautan dimana daratan adalah daratan yang masih terpengaruhi oleh lautan dan lautan adalah laut yang masih terpengaruhi oleh daratan. Namun batas ini untuk dipergunakan dalam perencanaan cukup wilayah akan sulit karena batasnya semu dan tidak terlihat dengan kasat mata. Batasan wilayah pesisir untuk keperluan perencanaan biasanya didasarkan pada batas administrasi. Batasan administrasi wilayah lebih sering digunakan karena memiliki batas-batas yang lebih jelas. Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2007 menjelaskan bahwa batasan wilayah pesisir untuk wilayah kewenangan Kabupaten/Kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan yang berbatasan dengan laut. Kebijakan Pemerintah Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atau atas dasar kebijakan yang bersifat luas. Kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Anderson (1976) mengemukakan bahwa kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau pejabat pejabat pemerintah merupakan kebijakan publik. Sedangkan menurut Dunn (2000), kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling berkepentingan, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Secara sederhana kebijakan pemerintah dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah (Dwidjowijoto 2003). Sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik Indonesia (LANRI 1988) kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu : 1) Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri. 2) Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum. Sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis. Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh Pemerintah Daerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain. Penyusunan kebijaksanaan/kebijakan mengacu pada hal-hal berikut : 1) Berpedoman pada kebijaksanaan yang lebih tinggi.

15 7 2) Konsisten dengan kebijaksanaan yang lain yang berlaku. 3) Berorientasi ke masa depan. 4) Berpedoman kepada kepentingan umum. 5) Jelas dan tepat serta transparan. 6) Dirumuskan secara tertulis. Tata Ruang Ruang merupakan wujud multi dimensi dari lahan. Undang-Undang 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan ruang sebagai wadah yang terdiri dari ruang darat, ruang laut, ruang udara dan termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah tempat hidup manusia dan tempat manusia beraktivitas dalam memelihara kehidupannya. Tanah merupakan salah satu bagian dari ruang, sehingga penatagunaan lahan tidak dapat dilepaskan dari penataan ruang wilayah (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wujud dari struktur dan pola ruang disebut Tata Ruang, dimana struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana tata ruang dilandasi dengan pemikiran perspektif menuju keadaan pada masa depan yang diinginkan (visi), dengan dasar data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, serta beragam wawasan mengenai aktivitas manusia. Perkembangan masyarakat dan kondisi biofisik lingkungan di wilayah pesisir berlangsung secara dinamis, sehingga perencanaan tata ruang juga harus dinamis dan sesuai dengan perkembangan waktu. Lahan Pada penelitian ini lahan didefinisikan sebagai bagian daratan dari wilayah pesisir. Definisi lahan sendiri menurut para ahli diantaranya Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, hidrologi, iklim, relief dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaannya, termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang seperti reklamasi daerah-daerah pantai (pesisir), penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Pada konsep tersebut sangat jelas bahwa faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak masuk di dalamnya.

16 8 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan adalah bentuk aktivitas manusia terhadap lahan termasuk di dalamnya kondisi alamiahnya (belum ada aktivitas manusia), sehingga menyebabkan terjadinya bermacam-macam penggunaan lahan (Anderson dalam Jamil 2007). Terdapat penggunaan lahan secara umum dan penggunaan lahan secara terperinci (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Penggunaan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif misalnya pertanian, hutan, padang rumput, permukiman dan lainnya, sedangkan penggunaan secara terperinci lebih detail membagi jenis penggunaan lahan sesuai dengan syarat-syarat teknis suatu daerah dengan keadaan fisik karakteristik lahan (lereng, tekstur dan lainnya) dan sosial ekonomi tertentu. Penggunaan lahan di wilayah pesisir Indonesia pada umumnya adalah pertanian, kehutanan (mangrove), perikanan budidaya (tambak), permukiman, industri dan pariwisata. Pengelolaan lahan di wilayah pesisir yang baik memerlukan suatu pedoman dalam penggunaan lahan di wilayah pesisir agar seimbang dengan kesesuaiannya dan tidak merusak fungsi ekologinya. Hal ini menurut Dahuri et al. (1996) berkaitan dengan fungsi ekologi wilayah pesisir yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga pemanfaatan dan penggunaan lahan wilayah pesisir harus direncanakan dengan matang. Kesesuaian Lahan Lahan merupakan sumberdaya yang terbatas jumlahnya dan hampir tidak bisa diperbaharui, sedangkan manusia yang membutuhkan dan sebagai pengguna lahan jumlahnya semakin bertambah sehingga jika pemanfaatan lahan tidak teratur dan terencana maka ke depan akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi yang dapat memicu persaingan dan konflik (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Oleh karenanya pengunaan lahan harus dapat menjaga fungsi dan nilai lahan tersebut agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Untuk itu maka pengetahuan mengenai kesesuaian lahan mutlak diperlukan. Definisi kesesuaian lahan menurut Sitorus (1985) dalam Jamil (2007) adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis klasifikasi kesesuaiannya. Penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar perencanaan aktivitas apa yang akan dilakukan di atas lahan tersebut. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan bagi tipe aktivitas manusia di atas lahan (misalnya jenis tanaman dan cara pengelolaan tertentu). Terdapat juga istilah kemampuan lahan (land capability), namun beberapa ahli menganggap kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) sebagai dua istilah dengan maksud yang sama, sehingga dapat saling menggantikan dalam suatu penulisan (interchangeable) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan dalam kondisi alami dan belum dilakukan perbaikan pada kemampuannya. Sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan pada kualitas dan kemampuan lahan dalam penggunaan lahan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering

17 9 berdampak negatif pada kondisi ekologisnya. Oleh karena itu perlu dikaji mengenai kesesuaian lahan di wilayah pesisir agar pemanfaatan lahan pesisir dapat optimal tanpa mengganggu stabilitas fungsi ekologisnya sehingga tidak menimbulkan kondisi yang merugikan bagi masyarakat (banjir rob, penyakit tambak, gagal panen dan lainnya). Kesesuaian lahan dapat dikaji melaluai aspek biofisik, aspek sosial dan ekonomi yang mempengaruhi suatu penggunaan lahan. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem informasi berbasis data spasial (data yang memiliki referensi geografis) (Barus dan Wiradisastra 2000). Sistem ini secara komputerisasi memiliki empat kemampuan dalam menangani data yaitu pemasukan (input), pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (keluaran). Pemasukan data ke dalam Sistem Informasi Geografis dilakukan dengan banyak cara, diantaranya dengan digitasi dan tabulasi. Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali, dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data. Proses manipulasi dan analisis data dilakukan dengan interpolasi spasial dari data non-spasial menjadi data spasial, mengkaitkan data tabular ke data spasial, tumpang tindih peta yang meliputi map overlaying, tumpang tindih dengan bantuan matriks atau Tabel dua dimensi, dan kalkulasi peta. Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru yang dapat disajikan dalam dua bentuk yaitu tersimpan dalam format raster dan tercetak ke hardcopy, sehingga dapat dimanfaatkan secara operasional (Prahasta 2001) Struktur data spasial dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur data vektor dan raster. Struktur data vektor kenampakan keruangan akan dihasilkan dalam bentuk titik dan garis yang membentuk kenampakan tertentu, sedangkan struktur data raster kenampakan keruangan akan disajikan dalam bentuk konfigurasi sel-sel yang membentuk Gambar (Prahasta 2001) Burrough dan McDonnel (1986) memberikan definisi Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam konteks alat (toolbox based), sebagai seperangkat alat yang digunakan untuk mengoreksi, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari dunia nyata untuk tujuan tertentu. Dalam konteks basisdata (database based), Aronoff (1989) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (keluaran), sedangkan dalam konteks organisasi (organization based), Sistem Informasi Geografi (SIG) didefinisikan sebagai seperangkat fungsi-fungsi otomatis yang professional dengan kemampuan lebih baik dalam hal penyimpanan, pemanggilan kembali, manipulasi, dan tampilan lokasi data secara geografis.

18 10 Informasi penutupan lahan dapat diekstrak langsung melalui proses interpretasi citra atau foto udara yang kualitasnya baik, namun informasi tentang penggunaan lahannya tidak dapat diketahui secara langsung. Oleh karenanya diperlukan pengecekan lapang untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu daerah. Pengecekan lapang atau disebut juga ground truth didefinisikan sebagai observasi, pengukuran, dan pengumpulan informasi tentang kondisi aktual di lapangan dalam rangka menentukan hubungan antara data penginderaan jauh dan obyek yang diobservasi. Apabila ditemukan perbedaan pola atau kecenderungan yang tidak dimengerti pada data penginderaan jauh, bisa dilakukan verifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) telah banyak digunakan untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan penggunaan lahan. Analisis terpadu terhadap penggunaan lahan, potensi ekosistem, debit air, data kependudukan dan pengaruh dari masing-masing data dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), sehingga dapat dianalisis keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi sistem tersebut (Aronoff 1989). Pemodelan dengan Pendekatan Celullar Automata (CA)-Markov Model merupakan pengganti dari suatu sistem nyata yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan yang secara aktual sulit dilakukan (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan timbal-balik baik langsung ataupun tidak langsung. Namun demikian, sebagai abstraksi model tetap memiliki kompleksitas yang kurang dibandingkan realitas sebenarnya. Metode Markov Chain Metode Markov Chain adalah metode yang memproses perubahan penggunaan lahan dalam dua titik waktu yang hasilnya adalah matriks transition probability (Eastman 2003). Kombinasi Markov Chain dan Sistem Informasi Geografis melalui integrasi teknologi penginderaan jauh telah berhasil menganalisis trend, tingkat dan pola spasial dari perubahan penggunaan lahan (Weng 2002) Metode Markov Chain ini memiliki batasan dalam menjelaskan tentang interaksi antara perubahan penggunaan lahan yang muncul. Metode ini juga tidak dapat menjawab kenapa perubahan tersebut terjadi. Yang dapat dijelaskan oleh model ini adalah kapan dan tipe penggunaan lahan yang mana yang akan berubah (Lambin 1994 dalam Wen 2008). Cellular Automata Cellular Automata adalah metode pengkelasan secara matematika dengan karakter yang diskrit (dalam ruang, waktu dan nilai-nilai kondisi/state), pengambilan keputusan dan interaksi lokal (Jen 2001). Cellular Automata merupakan sistem dinamis yang beroperasi dalam ruang dengan data raster dimana nilai data raster tersebut dapat didefinisikan ke dalam binari atau diskrit (Toffoli dan Margolis 1987 dalam Wen 2008).

19 11 Cellular Automata merupakan sistem dinamis yang perilakunya dipengaruhi oleh hubungan ketetanggaan (Toffoli dan Margolis 1987 dalam Wen 2008). Model ini memiliki karakteristik spasial berdasarkan sel yang perubahannya tergantung pada sel-sel tetangganya, sel-sel tersebut akan hidup jika tiga atau lebih dari sel tetangganya hidup dan akan mati/berubah jika tiga atau lebih sel tetangganya juga mati/berubah. Menurut Irwin (2001) dalam Wen (2008) satuan entitas dari Cellular Automata beragam namun masing-masing independen. Masing-masing sel pada kondisi aktual tergantung dari kondisi sebelumnya di masa lalu secara independen. Berdasarkan hal tersebut sangat jelas bahwa model Markov mempunyai kesamaan dengan teori model Cellular Automata. Perbedaannya adalah bahwa Cellular Automata tidak hanya tergantung pada kondisi sebelumnya tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi aktual sel tetangganya sehingga Cellular Automata memiliki aspek spasial sedangkan model Markov Chain tidak mempresentasikan aspek spasial. Melalui pengintegrasian Cellular Automata dengan model Markov Chain, karakteristik berbasis rasternya dapat dikembangkan dan dimodelkan untuk model perubahan spasial sebagai sistem yang dinamis. Karakteristik model Cellular Automata dijelaskan dalam 5 (lima) karakter (Sirakoulis et al dalam Wassahua 2010) sebagai berikut, yaitu ; - Jumlah dimensi spasial (n) - Jarak dua sisi dari komposisi sel (W). Wj adalah jarak dari sisi ke j dilihat dari komposisi sel. Dimana j = 1, 2, 3, n (jumlah sel) - Jarak dari sel tetangga terdekat (d). dimana dj adalah jarak tetangga terdekat sepanjang sisi j dari j komposisi sel tiap kondisi sel Cellular Automata. - Aturan Celullar Automata sebagai fungsi F sembarang. - Kondisi sel X pada waktu t = 1, dihitung berdasarkan F dimana F merupakan fungsi dari kondisi sel X pada waktu (t) diketahui dengan aturan sebagai sebagai transisi perubahan. Deskripsi sederhana dari dua dimensi Cellular Automata (n=2), dengan jarak tetangga terdekat d1=3 dan d2=3 seperti terlihat pada Gambar 2. i-1, j-1 i-1,j i-1,j+1 i, j-1 (i, j) (i, j+1) i+1,j-1 I+1,j i+1,j+1 Gambar 2. Tetangga terdekat dari cel (i,j) yang dibentuk dari sel (i,j) dan 8 sel tetangganya (Wassahua 2010)

20 12 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diteliti adalah wilayah pesisir Kabupaten Karawang (Gambar 3), yang secara administratif berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 27 tahun 2007 mencakup kecamatan yang berbatasan dengan laut dan area perairan laut sejauh 4 mil laut. Wilayah pesisir kabupaten Karawang terdiri dari 9 kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Cilamaya Kulon, Cilamaya Wetan, Tempuran, Pedes, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, dan Pakisjaya. Garis pantai Kabupaten Karawang sepanjang 73 km (Bappeda 2006) sehingga luas area lautnya ± 469,93 Km2. Kabupaten Karawang terletak di wilayah utara Jawa Barat yang secara geografis berada pada BT BT dan 5 56 LS Dengan panjang pantai terluas kedua di wilayah pantai utara Jawa Barat, potensi wilayah pesisir Kabupaten Karawang cukup besar dengan penggunaan lahan antara lain untuk pertanian sawah teririgasi, budidaya perikanan (tambak), hutan bakau, bangunan permukiman dan daerah lindung (sempadan dan bantaran sungai). Terdapat 18 aliran sungai yang bermuara di wilayah ini dengan substrat pantai rata-rata lumpur berpasir (Dinas PKP 2009). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei Oktober tahun Gambar 3. Peta Kecamatan Pesisir Kabupaten Karawang

21 13 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM 7 dari 2titik tahun (1994 dan 2012), citra Ikonos titik tahun 2010, peta Land System dan data Potensi Desa (PODES) Bahan dalam penelitian akan dijelaskan lebih rinci pada poin data. Alat yang digunakan adalah alat berupa piranti lunak antara lain Erdas Imagine, Idrisi, ArcGIS, Microsoft Office, piranti keras seperti GPS, Camcorder, Notebook, dan piranti tulis lainnya. Data Data yang dibutuhkan ataupun yang dihasilkan pada penelitian ini disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai seperti yang disajikan pada Tabel 1. Data sekunder didapat dari penelusuran ke instansi-instansi pemilik data, melakukan studi pustaka, dan situs internet. Data yang didapat dari instansi pembuat data antara lain : (1) Peta land System didapat dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP); (2) peta administrasi, data Karawang Dalam Angka dan peta RTRWK didapat dari Bappeda Pemerintah Kabupaten Karawang; dan (3) data Potensi Desa (PODES) berasal dari BPS. Citra Ikonos 2010 didapat dari Dinas Pertanian, sedangkan citra Landsat TM 7 didapat dengan mengunduhnya dari situs resmi USGS Earth Explorer. Data primer yang disiapkan antara lain adalah data interpretasi citra Landsat dua titik tahun yaitu tahun 1994 dan Interpretasi citra tersebut divalidasi dengan data Ground thruth yang didapat dari cek lapang dan bantuan citra Ikonos. Tabel 1. Matriks Data dan Metode Analisis No Tujuan Data Sumber Metode Analisis Keluaran 1. Analisis Perubahan penggunaan lahan Landsat image time series USGS.gov, Interpretasi visual. Tumpang susun Peta Penggunaan Lahan (PL) 1994 & 2012 Data dan peta trend perubahan lahan 2. Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik Peta land system BBSDLP Analisis atribut dalam arcgis Peta kesesuaian fisik lahan dan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 3. Membangun model perubahan penggunaan lahan tahun PL 1994 dan 2012, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai dan Markov transition area. Keluaran tujuan 1 dan 2 serta Hasil analisis Markov Chain Celullar Automata- Markov (CA- Markov) dalam Idrisi Peta prediksi penggunaan lahan tahun Arahan Kebijakan untuk mendukung RTRW Peta prediksi PL 2030 dan Peta RTRW Keluaran tujuan 3 dan Bappeda Karawang Analisis inkonsistensi Arahan kebijakan tata ruang pesisir.

22 14 Rancangan Alir Penelitian Metode penelitian dirancang berdasarkan kerangka pemikiran yang kemudian diimplementasikan kedalam tahapan-tahapan pekerjaan sebagai proses untuk menjawab tujuan penelitian. Tahapan-tahapan tersebut secara rinci dilaksanakan untuk mempersiapkan berjalannya sebuah model yang hasilnya adalah peta prediksi penggunaan lahan yang kemudian dijadikan acuan dalam membuat arahan kebijakan penggunaan lahan yang dapat mendukung implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Karawang ke depan. Arahan penggunaan lahan yang dihasilkan harus sesuai dengan peraturan perundangan yang ada, dan memperhatikan kesesuaian lahan. Secara keseluruhan diagram alur penelitian yang akan dilakukan disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Diagram Alur Penelitian

23 15 Teknik Analisis dan Pengolahan Data Analisis Perubahan Penggunaan Lahan. Interpretasi Citra Landsat TM 7 Citra Landsat TM 7 hasil unduhan dari situs resmi USGS earth explorer yang berupa file geotif per band lalu dikomposit dan diolah dalam piranti lunak Erdas Imagine. Koreksi geometrik dilakukan pada citra hasil komposit dengan referensi koordinat bumi yang diambil menggunakan GPS. Koreksi geometri bertujuan untuk memastikan citra pada posisi geometrik yang sesuai dengan koordinat bumi. Akurasi koreksi geometri ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square (RMS) 1. Interpretasi citra secara visual dilakukan dengan didasarkan pada 7 unsur interpretasi yaitu rona/warna, tekstur, pola, ukuran, bentuk, bayangan, dan lokasi objek (situs) dalam perbandingannya dengan objek lain (Lillesand dan Kiefer 1997). Ketujuh unsur interpretasi tersebut dapat dijelaskan pengaruhnya terhadap proses interpretasi sebagai berikut : (1) Rona/warna berkaitan dengan warna/derajat keabuan pada suatu objek dalam citra yang disebabkan oleh besarnya pantulan cahaya dari objek; (2) Tekstur berkaitan dengan frekuensi perubahan rona pada citra; (3) Pola berkaitan langsung terhadap susunan keruangan obyek yang dapat dilihat dari pengulangan terhadap bentuk atau hubungannya, baik secara alami maupun buatan manusia yang dapat membentuk pola tertentu dan memudahkan interpreter untuk mengenalinya; (4) Ukuran dapat dijadikan pembeda pada objek yang jika dipindai dari atas bentuk penampakkannya sama namun pada kenyataannya memiliki skala ukuran yang berbeda, misalnya rumah dan pabrik; (5) Bentuk berkaitan langsung terhadap konfigurasi atau kerangka dari objek tunggal; (6) Bayangan berkaitan dengan posisi matahari pada saat pemindaian yang memberikan gambaran mengenai profil objek namun juga sekaligus dapat menutupi detil dari objek yang terhalangi; dan (7) lokasi (situs) suatu objek terhadap objek disekitarnya dapat membantu untuk mengenali objek tersebut. Proses interpretasi dimulai dengan mendigitasi objek yang terinterpretasi sebagai penggunaan lahan tertentu pada citra Landsat TM 7 dalam bentuk shape file sehingga menghasilkan polygon area penggunaan lahan aktual. File tersebut kemudian dibangun atributnya sehingga kemudian menjadi dasar pembuatan peta penggunaan lahan. Seluruh proses interpretasi dilakukan pada piranti lunak arcgis 10. Uji akurasi hasil interpretasi Pengukuran akurasi dilakukan untuk validasi hasil dari interpretasi citra. Hasil interpretasi diverifikasi dengan titik-titik ground thruth (kenyataan di lapangan) untuk melihat keakuratannya. Titik ground thruth di tentukan oleh piranti lunak Erdas dengan metode Stratified Random Sampling agar tetap objektif. Proses validasi ini dilakukan dengan modul accuracy assesment yang akan menghitung akurasi keseluruhan (overall accuracy) dan akurasi kappa. Nilai akurasi keseluruhan menguji titik-titik uji dengan hanya menghitung jumlah titik

24 16 uji interpretasi yang sama dengan kondisi aktualnya lalu di bandingkan dengan jumlah titik sampel keseluruhan. Nilai akurasi keseluruhan ini biasanya lebih tinggi dari nilai akurasi kappa karena tidak menghitung error interpretasi. Akurasi kappa memperhitungkan titik-titik error yang ditunjukkan pada matriks error (Tabel 2) Hasil interpretasi yang dapat digunakan diharapkan memiliki nilai akurasi diatas 85% (Jensen 1996). Tabel 2. Matriks Error Penggunaan Lahan hasil Interpretasi Penggunaan Lahan Referensi P i+ P i+ P i+ P r+ Jumlah P +i X ii X +i P +i X ii X +i P +i X ii X +i X ii X +i P +r X ii X +i X i+ X i+ X i+ X i+ X i+ N Keterangan : P+i : Jenis penggunaan lahan hasil interpretasi Pi+ : Jenis penggunaan lahan referensi Dimana, X+i : Jumlah titik interpretasi pada penggunaan lahan ke-i Xi+ : Jumlah titik referensi pada penggunaan lahan ke-i Xii : Jumlah titik referensi pada penggunaan lahan ke-i yang sesuai dengan titik interpretasi penggunaan lahan ke-i i : Baris atau kolom r : Jumlah Tipe penggunaan lahan N : Jumlah titik sampel validasi : Nilai kappa K hat Data atribut hasil interpretasi citra terutama dibangun untuk mengidentifikasi area/poligon berdasarkan jenis penggunaan lahan dan luasannya. Hasil interpretasi pada dua titik tahun yaitu tahun 1994 dan 2012 kemudian ditumpang tindihkan dengan berbagai proses tumpang tindih (overlay) pada piranti lunak ArcGIS untuk mendapatkan perubahan luas penggunaan lahan, trend perubahan penggunaan lahan, perubahan garis pantai dan kondisi abrasi/akresi. Lahan aktual dari hasil interpretasi citra Landsat tahun 2012 kemudian dibandingkan dengan peta RTRW Pesisir Karawang juga dengan ditumpang tindihkan untuk melihat inkonsistensi yang terjadi antara keduanya Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari BBSDLP berupa peta land system. Pada peta tersebut telah diidentifikasi potensi kesesuaian fisik tiap area

25 17 berdasarkan parameter fisik yang tergambar pada data atributnya. Data atribut peta satuan lahan tersebut antara lain landform, taksonomi tanah, litologi, lereng dan iklim. Tiap satuan lahan pada peta kesesuaian fisik lahan kemungkinan sesuai bagi lebih dari satu jenis penggunaan lahan. Peta kesesuaian fisik lahan tersebut perlu diekstraks menjadi beberapa alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang tiap-tiap satuan lahannya hanya terdiri dari satu jenis penggunaan lahan yang sesuai. Hal ini dilakukan karena untuk input simulasi model CA-Markov, tiap satuan lahan hanya boleh memiliki satu penggunaan lahan yang sesuai. Beberapa alternatif tersebut kemudian diseleksi dengan melihat kompatibilitasnya terhadap penggunaan lahan aktual tahun 2012 melalui nilai indeks kappa. Alternatif kesesuaian yang paling kompatibel dengan penggunaan lahan aktual 2012 (ditunjukkan dengan nilai kappa tertinggi), kemudian akan digunakan sebagai input dalam validasi model prediksi penggunaan lahan. Tahapan penentuan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang akan digunakan dalam validasi model disajikan dalam Gambar 5. Gambar 5. Diagram tahapan penentuan alternatif kesesuaian penggunaan lahan Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Proses pemodelan dilakukan pada piranti lunak Idrisi dengan menjalankan modul Celullar Automata Markov (CA-Markov). Modul ini diproses dengan mengkombinasikan modul Markov Chain yang menghasilkan Transitional Probability dan MOLA (Multi-Objective Land Allocation) yang melakukan proses iterasi untuk mendapatkan komposisi akhir. Prediksi perubahan penggunaan lahan diproses berdasarkan penggunaan lahan tahun awal, kesesuaian lahan dan tetangganya. Filter matriks digunakan dengan ukuran 5 x 5 yang artinya perubahan penggunaan lahan pada piksel pusat dipengaruhi oleh nilai 24 piksel tetangganya,

26 18 ukuran piksel juga akan memberi informasi mengenai berapa radius yang berpengaruh pada perubahan penggunaan pada piksel pusat. Filter matriks ini sifatnya bergerak secara horizontal atau vertikal dalam melakukan analisis ketetanggan pada suatu peta raster. Untuk filter dengan ukuran 5 x 5 nilai matriksnya disajikan pada Gambar Gambar 6. filter matriks ukuran 5 x 5 (Eastman 2003) Input untuk menjalankan simulasi model CA-Markov selain dari filter matriks ketetanggaan sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan proses pengolahan data yang diuraikan di bawah ini : Konversi vektor ke raster Proses pemodelan dengan piranti lunak Idrisi mengharuskan seluruh input data berbasis raster, sedangkan data awal seperti hasil interpretasi citra sebagian besar diolah dengan keluaran berbentuk vektor. Oleh karena itu perlu dilakukan proses konversi vektor ke raster. Peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 merupakan hasil interpretasi dari citra Landsat TM 7. Oleh karena itu berdasarkan resolusi citra Landsat TM 7 yaitu 30 x 30 maka konversi vektor ke raster dilakukan pada ukuran raster 30 x 30. Proses konversi dilakukan dalam modul import pada piranti lunak Idrisi dengan merubah data-data berbasis vektor menjadi menjadi file dengan ekstensi.rst yang berbasis raster. Matriks probabilitas dan area transisi. Salah satu faktor yang diperhitungkan pengaruhnya pada perubahan penggunaan lahan kedepan dalam model prediksi penggunaan lahan dengan pendekatan CA-Markov adalah faktor sejarah pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di masa lalu. Faktor tersebut didapat dari matriks probabilitas dan area transisi. Matrik probabilitas dan area transisi (transition area) didapat dengan metode Markov Chain dan menggunakan input penggunaan lahan tahun 1994 dan tahun 2012 (rentang waktu 18 tahun). Metode ini untuk mengetahui pola perubahan dan kemungkinan perubahan antara satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lain dalam rentang waktu tertentu. Metode Markov Chain dilakukan dengan menggunakan modul Markov dalam piranti lunak (Eastman 2003). Ilustrasi dari matriks area transisi/probabilitas diperlihatkan pada Tabel 3.

27 19 Tabel 3. Ilustrasi matriks transisi area/probabilitas Penggunaan Lahan 1994 (% atau ha) P it1 P it1 P zt1 Penggunaan Lahan 2012 (% atau ha) P it2 P it2 P zt2 X ii Keterangan : P it1 : Tipe penggunaan lahan ke-i pada tahun t1 P it2 : Tipe penggunaan lahan ke-i pada tahun t2 z : Jumlah tipe penggunaan lahan X ii : Luas perubahan penggunaan lahan ke-i periode tahun t1 dan t2 t1 : Tahun ke-1 (1994) t2 : Tahun ke-2 (2012) Penentuan input kesesuaian lahan Setelah dikonversi ke dalam bentuk raster data, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang ada diseleksi kembali untuk menentukan satu alternatif yang akan digunakan dalam simulasi model untuk proses validasi. Seleksi berdasarkan kompatibilitas dari alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai tersebut terhadap aktual penggunaan lahan tahun Kompatibilitas dilihat dari nilai kappa perbandingan masing-masing alternatif dengan penggunaan lahan tahun Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai dengan nilai kappa tertinggi akan digunakan sebagai input kesesuaian dalam simulasi model CA-Markov untuk proses validasi. Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang terpilih menjadi input kesesuaian lalu dipecah menjadi beberapa file raster sesuai dengan jumlah tipe penggunaan lahan aktual. Tiap file raster diberi pembobotan berdasarkan kesesuaian dari tiap tipe penggunaan lahan aktualnya. Semua file raster tersebut kemudian digabungkan menjadi satu file gabungan berekstensi Raster Group File (.rgf). Semua proses engolahan data input kesesuaian ini dilakukan dalam piranti lunak Idrisi. Validasi model Validasi dilakukan dengan mengeksekusi model dengan input tahun dasar 1994 (menggunakan hasil interpretasi tahun 1994), matriks Markov transition area tahun dan input kesesuaian dari alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang terpilih pada tahap sebelumnya. Proses dilakukan dalam beberapa jumlah iterasi untuk mengetahui berapa jumlah iterasi yang paling efisien dalam mengeksekusi model. Nilai kappa tiap iterasi dilihat trendnya untuk dapat memastikan pada iterasi berapa terjadi break of slope dan merupakan jumlah iterasi yang akan dipilih pada eksekusi model prediksi penggunaan lahan. Nilai kappa dari jumlah iterasi yang terpilih mewakili validasi atau kelayakan dari model untuk dapat digunakan sebagai model prediksi penggunaan lahan. X ii X ii

28 20 Prediksi penggunaan lahan tahun 2030 Model yang telah divalidasi dijalankan dengan menggunakan tahun dasar penggunaan lahan aktual Alternatif kesesuaian fisik yang dihasilkan masing-masing dijadikan input kesesuaian pada model, sehingga model dilakukan sebanyak jumlah alternatif kesesuaian yang ada. Hasilnya adalah beberapa skenario prediksi penggunaan lahan pada tahun Tiap skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030 yang dihasilkan kemudian diseleksi berdasarkan nilai inkonsistensi dan kompatibilitasnya terhadap peta pola ruang RTRW. Proses ini untuk mendapatkan skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030 yang paling konsisten penggunaan lahannya terhadap RTRW dan mendukung implementasi RTRW untuk kemudian dijadikan sebagai Peta Prediksi Penggunaan Lahan Potensial Tahun Alur tahapan simulasi model untuk mendapatkan Peta Prediksi Penggunaan Lahan Potensia Tahun 2030 disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Diagram alir simulasi model prediksi penggunaan lahan 2030 Arahan Kebijakan yang Mendukung RTRW Pesisir Karawang Masalah-masalah alih fungsi lahan pada perubahan penggunaan lahan yang diprediksi terjadi antara tahun 2012 hingga tahun 2030 kemudian dijadikan dasar dalam membuat arahan-arahan kebijakan penggunaan lahan di wilayah pesisir yang dapat dilakukan pemerintah Kabupaten Karawang. Arahan-arahan kebijakan tersebut juga harus didukung oleh adanya peraturan perundanganundangan yang terkait sehingga penerapannya sesuai hukum. Arahan-arahan kebijakan penggunaan lahan yang dihasilkan kemudian disimulasikan kembali dengan model CA-Markov untuk mengetahui dampak penerapannya pada penggunaan lahan tahun Hasil simulasi tiap arahan kebijakan tersebut lalu diuji nilai konsistensi dan kompatibilitasnya terhadap RTRW untuk mendapatkan arahan kebijakan mana yang paling mendukung implementasi RTRW hingga tahun 2030.

29 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai yang melewati pesisir Karawang dan bermuara ke pantai (Gambar 8). Lebih dari 76% dataran aluvium mendominasi bentuk lahan di wilayah pesisir, sisanya adalah dataran marin (19%) yang banyak terdapat di daratan yang berbatasan langsung dengan laut dan sedikit dataran tektonik (5%) di wilayah selatan Cilamaya. Laut Jawa Gambar 8. Peta Bentuk Lahan Pesisir Kab. Karawang Dataran marin secara umum material penyusunnya berupa pasir dengan segala ukuran tergantung sumber material sekitar dengan struktur horisontal, rona cerah, tekstur halus dan pola teratur-seragam. Vegetasi jarang sebatas mintakat pantai seperti pandanus, bakau dan beberapa jenis lainnya, permukiman jarang kecuali telah dimanfaatkan untuk kawasan pariwisata, relief datar dan proses utama adalah pengendapan membentuk bentukan-bentukan khas pantai seperti swale, laguna, bar, bukit pantai dan dataran aluvial pantai (coastal aluvial plain).

30 22 Sedangkan bentuk lahan struktural tektonik terbentuk di wilayah paling selatan pada daerah penelitian, merupakan daratan bergelombang yang terbentuk akibat proses tektonik yaitu pelipatan, pengangkatan dan sesar. Geologi Hampir seluruh daerah penelitian berbahan induk aluvium baik bentuk lahan marin maupun aluvial. Sedikit area berbahan induk sedimen terletak di selatan Kecamatan Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar 9. Peta Bahan Induk Daratan Pesisir Kab. Karawang Lereng Hampir seluruh wilayah penelitian merupakan daerah yang datar dengan persen kelerengan yang sangat rendah, hanya sebagian kecil (4%) saja yang sedikit bergelombang. Daerah yang bergelombang tersebut berada di wilayah Kecamatan Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan. Secara spasial kelerengan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang disajikan pada Gambar 10. Area dengan kelerengan 0-2% merupakan area yang terluas yaitu seluas 36, hektar area ini berbatasan langsung dengan pantai. Wilayah pesisir Kabupaten Karawang merupakan pesisir pantai utara yang karakteristik kelerengannya landai. Daerah yang sedikit bergelombang dibagian utara hanya seluas 3, hektar, dimana diantara kelas kelerengan yang lain yang terdapat di wilayah penelitian merupakan kelerangan dengan luas yang paling sempit. Kelas kelerengan dan luasannya secara lengkap diinformasikan pada Tabel 4.

31 23 Tabel 4. Lereng dan luasannya No. Lereng Luas (Ha) 1 0-2% 36, % 5, % 28, % 3, Gambar 10. Peta Kondisi Lereng Wilayah Pesisir Kab. Karawang Ketinggian Wilayah Pesisir Kabupaten Karawang memiliki fluktuasi ketinggian yang relatif kecil sehingga kondisi daratannya cenderung rata dengan ketinggian yang sebagian besar rendah yaitu 0-3 meter di atas permukaan laut (DPL), semakin ke utara ketinggian semakin meningkat walaupun tidak signifikan yaitu berkisar antara 4 10 meter DPL. Wilayah pesisir yang datar dan luas ini memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi kawasan budidaya. Kondisi ketinggian wilayah penelitian disajikan pada Gambar 11.

32 24 Gambar 11. Peta Kondisi ketinggian Pesisir Kab. Karawang Gambar 12. Peta Jenis Tanah Pesisir Kab. Karawang

33 25 Tanah Tanah di wilayah penelitian terdiri dari 5 jenis berdasarkan great group yang teridentifikasi. Jenis yang paling luas tanah asosiasi great group Endoaquepts dan Endoaquents yang meliputi 47% luas wilayah penelitian. Jenis tanah asosiasi Endoaquepts dan Udifluvents juga cukup luas (29%) meliputi bagian barat wilayah penelitian sedangkan jenis tanah asosiasi Udipsamments dan Endoaquents (11%) terletak di bagian timur wilayah penelitian dan mendekati pantainya. Ordo tanah yang mendominasi di wilayah penelitian adalah inceptisol dan terdapat juga ordo entisol ke arah bagian utaranya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di wilayah penelitian merupakan tanah-tanah yang dalam tahap pembentukan dan tanah-tanah yang baru terbentuk. Informasi jenis tanah disajikan pada Tabel 5. dan penyebarannya secara spasial terlihat pada Gambar 12. Tabel 5. Jenis Tanah dan luasnya di Pesisir Kabupaten Karawang No. No. Jenis Tanah (great group) Luas (Km 2 ) Persentase 1 Asosiasi Endoaquepts dan Endoaquents % 2 Asosiasi Endoaquepts dan Udifluvents % 3 Asosiasi Eutrudepts dan Hapludalfs % 4 Asosiasi Hydraquents dan Sulfaquents % 5 Asosiasi Udipsamments dan Endoaquents % Jumlah % Gambar 13. Peta Curah Hujan Pesisir Kab. Karawang

34 26 Iklim Temperatur rata-rata di wilayah penelitian adalah 27 o C dengan tekanan udara rata-rata 0,01 milibar, penyinaran matahari 66% dan kelembaban nisbi 80%, sampai April bertiup angin Muson Laut dan sekitar bulan Juni bertiup angin Muson Tenggara, kecepatan angin antara km/jam, lamanya tiupan ratarata 5 7 jam. Curah hujan intensitasnya hampir sama di seluruh wilayah dengan rata-rata bulan basah 3 hingga 8 bulan. Secara spasial informasi curah hujan disajikan pada Gambar 13. Penggunaan Lahan Pada tahun 2012, terdapat 6 jenis penggunaan lahan di wilayah penelitian yaitu kebun campuran, mangrove, permukiman, sawah, tambak dan tubuh air. Penamaan penggunaan lahan yang dipakai mengacu pada SNI No tahun Semua sawah yang teridentifikasi merupakan sawah teririgasi dan luasnya sangat dominan dibandingkan dengan penggunaan lahan yang ada lainnya yaitu mencapai 65 persen lebih dari luas keseluruhan wilayah penelitian. Secara spasial Peta penggunaan lahan disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kab. Karawang Hutan Mangrove teridentifikasi sangat sedikit yaitu hanya seluas 210 hektar. Area tambak teridentifikasi cukup luas yaitu seluas 18,465 hektar. Informasi keseluruhan mengenai penggunaan lahan dan luasnya disajikan pada Tabel 6.

35 27 Tabel 6. Penggunaan lahan dan luasnya di Pesisir Kabupaten Karawang No. Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentasi 1 kebun campuran mangrove permukiman 6, sawah 48, tambak 18, tubuh air Jumlah Rencana Tata Ruang Wilayah Data spasial mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang tahun RTRW tersebut dibuat dengan jangka waktu 20 tahun hingga tahun Wilayah penelitian mencakup wilayah pesisir Karawang oleh karena itu data spasial RTRW yang digunakan oleh peneliti hanyalah mencakup wilayah pesisirnya yang diproyeksikan dalam Gambar 15. Berdasarkan rencana pola ruang diketahui jika wilayah pesisir dominan lahannya diperuntukkan bagi pertanian lahan basah dengan luas meliputi 71% dari seluruh luas daratan wilayah pesisir Karawang. Peruntukkan lainnya adalah tambak, kawasan lindung hutan mangrove dan perumahan pedesaan. Gambar 15. Peta wilayah pesisir RTRW Kab. Karawang.

36 28 Tabel 7. Rencana pola ruang dan luasnya di Pesisir Kabupaten Karawang No. Rencana Pola Ruang Luas (km 2 ) Persentase 1 Kawasan lindung mangrove 8, Perumahan pedesaan 2, Pertanian lahan basah 53, tambak 9, tubuh air Tabel 7 memperlihatkan Informasi mengenai rencana pola ruang wilayah pesisir dan luasnya. Kawasan lindung hutan mangrove dalam peta pola ruang RTRW memiliki peruntukan area yang cukup luas yaitu 8,690 hektar yang membentang di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya.. Perumahan pedesaan area peruntukannya hanya seluas 2,390 hektar. Sosial Ekonomi Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Karawang pada tahun 2011 menurut data potensi desa BPS adalah 2,105,855 jiwa dan lebih dari 26% nya hidup di wilayah pesisir yaitu sebanyak 556,725 jiwa. Penduduk laki-laki sedikit lebih banyak dari penduduk perempuan yaitu sebanyak 279,816 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 276,909 jiwa. Tabel 8. Jumlah Penduduk di Pesisir Kabupaten Karawang No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 Batujaya 38,360 38,394 76,754 2 Cibuaya 25,008 23,647 48,655 3 Cilamaya Kulon 32,429 31,982 64,411 4 Cilamaya Wetan 40,022 39,926 79,948 5 Cilebar 21,233 21,531 42,764 6 Pakisjaya 19,518 19,593 39,111 7 Pedes 37,253 35,687 72,940 8 Tempuran 31,198 31,334 62,532 9 Tirtajaya 34,795 34,815 69,610 Jumlah Total 279, , ,725 Di wilayah pesisir yang terdiri dari 9 kecamatan, penduduk terpadat berada di Kecamatan Cilamaya Wetan sebanyak 79,948, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Pakisjaya yang penduduknya berjumlah 39,111 jiwa. Informasi selengkapnya mengenai penduduk seperti tertera pada Tabel 8. dan informasi spasial mengenai konsentrasi penduduk per kecamatan disajikan pada Gambar 16.

37 29 Gambar 16. Peta Sebaran Penduduk Pesisir Kab. Karawang Pendidikan Jumlah sekolah di wilayah pesisir kabupaten Karawang sebanyak 426 sekolah. Hanya kecamatan Tirtajaya yang belum memiliki sekolah tingkat SMU dan sederajat. Informasi selengkapnya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Fasilitas sekolah di Pesisir Kab. Karawang Kecamatan SD SMP SMU SMK Jumlah Batujaya Cibuaya Cilamaya Kulon Cilamaya Wetan Pakisjaya Pedes Tempuran Tirtajaya Jumlah Perekonomian Penduduk pesisir Karawang sebagian besar penghasilan utamanya adalah dari hasil pertanian, perikanan tambak dan perikanan tangkap laut. Hal ini berpengaruh pada penggunaan lahan di wilayah pesisir yang didominasi oleh tambak dan sawah.

38 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 yang dihasilkan dari interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 1994 dan 2012 secara visual. Masing-masing titik tahun citra Landsat TM 7 tersebut diambil pada bulan Maret. Hasil interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 2012 telah divalidasi menggunakan titik-titik sampel ground thruth yang kondisinya dilihat berdasarkan citra Ikonos 2010 dan cek lapangan. Validasi yang dilakukan menghasilkan nilai akurasi sebesar 93.33% dan nilai indeks kappa sebesar yang menunjukkan bahwa peta hasil interpretasi citra tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini. Proses interpretasi citra Landsat TM 7 dilakukan dengan bantuan piranti arcgis 10 dan menghasilkan peta penggunaan lahan pada skala yang mempertimbangkan resolusi spasial dari citra Landsat TM 7 dan kenampakan tutupan lahan secara visual pada citra. Luas Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan Intepretasi secara visual citra Landsat TM 7 pada wilayah penelitian menghasilkan peta dengan 7 (tujuh) kelas penggunaan lahan. Secara alfabetik 7 kelas penggunaan lahan tersebut urutannya adalah: kebun campuran, laut, hutan mangrove, permukiman, sawah, tambak dan tubuh air (sungai dan rawa) dengan informasi luas masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Luas perubahan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Kode) ha % ha % Kebun Campuran (kc) Laut (lt) 56, , Hutan Mangrove (rv) Permukiman (pkm) 5, , Sawah (sw) 49, , Tambak (tb) 17, , Tubuh Air (ta) Jumlah 131, , Tabel 10 menginformasikan beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas yang cukup signifikan yaitu kebun campuran, hutan mangrove dan sawah. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak. Luas kebun campuran menurun hampir 150 ha atau luasnya menyusut hingga 17.5%. Penyusutan kebun campuran ini terjadi diduga akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Hal ini karena jenis tanah yang digunakan

39 untuk kebun campuran ini juga merupakan tanah yang potensial untuk permukiman. Secara visual dari hasil interpretasi citra Landsat, lahan yang digunakan untuk kebun campuran biasanya terletak di sekitar permukiman sehingga apabila permukiman tersebut berkembang maka lahan kebun campuran tersebut secara otomatis akan terpakai. Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang berada di perbatasan antara daratan dan lautan yang salah satu fungsinya adalah menjadi pelindung dari efek negatif interaksi keduanya di wilayah tropis. Kondisi luas hutan mangrove yang menurun akan sangat merugikan karena tentu saja akan menurunkan fungsinya tersebut. Luas hutan mangrove di wilayah penelitian tahun 2012 menyusut 47.8% atau hampir setengah dari luas pada tahun Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove ke depan khususnya di pesisir Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan yang paling luas penyusutannya adalah sawah. Luas sawah yang teralihkan mencapai lebih dari 1,013 ha. Semakin luasnya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain, semakin mengancam identitas Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat dan tentu akan berimbas langsung pada ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah di wilayah pesisir Karawang ini selain akibat dari bertambahnya penduduk juga diduga akibat dari semakin seringnya terjadi puso akibat cuaca dan hama ditambah dengan biaya produksi sawah yang semakin tinggi menjadikan nilai ekonomi sawah semakin kalah dengan penggunaan lahan lain terutama perikanan tambak. Permukiman merupakan salah satu penggunaan lahan yang meningkat luasannya di wilayah penelitian. Luasannya meningkat seluas 542 ha atau ±9% dari tahun 1994 ke Meningkatnya penduduk di wilayah pesisir mau tidak mau berpengaruh pada meningkatnya luasan penggunaan lahan untuk permukiman karena masih dianggap luasnya lahan sehingga penyebaran permukiman masih bersifat horizontal. Perikanan tambak merupakan salah satu primadona ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Tambak udang sempat menjadi sangat maju tingkat produksinya di Kabupaten Karawang. Namun demikian, karena penyakit dan eksploitasi lahan pesisir yang terlalu berlebihan produksi udang semakin menurun dan menyebabkan kebangkrutan petambak pada akhir tahun1990-an. Kebangkitan petambak mulai terjadi terutama setelah dilakukan diversifikasi produk dari udang menjadi bandeng, mas dan produk perikanan lainnya sehingga nilai ekonomi penggunaan lahan tambak kembali meningkat. Hal tersebut menjelaskan peningkatan penggunaan lahan untuk tambak pada rentang waktu antara tahun 1994 dan Penggunaan lahan tambak luasannya meningkat lebih dari 800 ha atau sebesar 4.5%. Laut dan tubuh air (sungai dan rawa) tidak mengalami perubahan yang signifikan pada rentang tahun 1994 dan laut hanya mengalami penyusutan luas sebesar 0.8 hektar, hampir 0 persen dari luasannya, demikian juga tubuh air. Grafik yang memperlihatkan secara visual kenaikan dan penyusutan persentase luas penggunaan lahan disajikan pada Gambar

40 % 1994 % 2012 Gambar 17. Grafik persentase penggunaan lahan 1994 dan 2012 Perubahan Penggunaan Lahan 1994 dan 2012 Penyusutan dan penambahan luas penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 mengindikasikan terjadinya perubahan penggunaan atau alih fungsi lahan. Alih fungsi penggunaan lahan terluas yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 menimpa jenis penggunaan lahan sawah yaitu sebesar 1, ha sedangkan persentase perubahan lahan yang paling tinggi terjadi pada jenis penggunaan lahan Hutan mangrove yaitu sebesar %. Informasi selengkapnya mengenai perubahan penggunaan lahan dan persentasenya antara tahun 1994 dan 2012 tersaji dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha ha ha ha ha ha ha ha kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa)

41 33 Tabel 12. Matrik persentase perubahan penggunaan lahan Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah % % % % % % % % kc lt rv pmk sw tb ta Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Kebun campuran mengalami alih fungsi lahan kedalam 4 jenis penggunaan lahan lainnya yaitu (1) laut, berhubungan dengan terjadinya abrasi; (2) permukiman yang merupakan pengambil alih fungsi kebun campuran yang terluas yaitu ha; (3) sawah, seluas ha; dan (4) tambak, sebagai pengambil alih fungsi lahan kebun campuran tersempit yaitu seluas 0.35 ha. Akresi (penambahan daratan) terjadi antara tahun 1994 dan 2012, dimana daratan baru tersebut dimanfaatkan sebagai lahan (1) hutan mangrove, seluas ha, hal ini erat hubungannya dengan kegiatan penanaman hutan mangrove yang dilakukan berbagai instansi dan organisasi lingkungan hidup di Kabupaten Karawang dalam rangka upaya pembentukan kembali green belt, (2) permukiman, seluas 1.58 ha, (3) tambak, pemanfaatan yang paling luas dilakukan pada lahan akresi yaitu mencapai lebih dari ha, dan (4) tubuh air, akresi yang terjadi di area muara sungai akan segera membentuk bentuk lahan muara yang baru. Pembukaan lahan hutan mangrove yang dilakukan antara tahun 1994 dan 2012 untuk dimanfaatkan menjadi penggunaan lahan lain mencapai hampir 90%. Penggunaan lahan itu antara lain (1) kebun campuran, hal ini terjadi di hutan bakau (hutan mangrove) yang tidak lagi tergenang air sehingga masyarakat memanfaatkannya menjadi kebun campuran seluas ha, (2) laut, abrasi telah menghilangkan ha lahan hutan mangrove menjadi laut, (3) permukiman, terdapat ha lahan hutan mangrove yang dibuka untuk permukiman, (4) sawah, seluas 1.12 ha, dan (5) tambak, merupakan penyebab utama banyak dibukanya hutan mangrove di pesisir Kabupaten Karawang selama ini, sehingga dalam kurun 1994 dan 2012 pembukaan hutan mangrove untuk tambak masih merupakan yang terluas yaitu seluas ha. Permukiman merupakan penggunaan lahan yang hampir tidak mengalami perubahan fungsi lahan dari tahun Perubahan yang terjadipun tidaklah disengaja, melainkan karena abrasi yang menjadikan lahan permukiman seluas ha berubah menjadi laut. Alih fungsi lahan sawah di wilayah penelitian yaitu menjadi (1) permukiman, semakin bertambahnya penduduk menjadikan lahan sawah diubah menjadi permukiman seluas ha, (2) tambak, meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha tambak menjadikan alih fungsi

42 34 lahan sawah menjadi tambak terjadi seluas ha, dan (3) tubuh air, terdapat area lahan pesawahan yang karena berada di daerah rawa apabila musim hujan maka berubah menjadi tubuh air seluas 2.18 ha. Pada tahun 1994, terdapat ha luas tambak yang beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain, terutama lahan tambak udang yang bangkrut akibat penyakit yang ditinggalkan oleh pengelolanya. Tambak terbengkalai tersebut sebagian dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengelolanya menjadi tambak kembali ataupun mengalami alih fungsi menjadi jenis penggunaan lahan yang lain, yaitu (1) kebun campuran, seluas 9.25 ha, (2) permukiman, seluas ha, dan (3) sawah, seluas ha. Selain itu terdapat juga tambak yang dihijaukan kembali dengan ditanami hutan mangrove seluas ha. Namun alih fungsi yang terluas yang terjadi pada tambak adalah diakibatkan oleh abrasi yaitu seluas ha tambak berubah menjadi laut dengan penyebab utamanya adalah tidak adanya green belt yang melindungi tambak-tambak tersebut dari gerusan arus dan ombak laut. Gambar 18. Peta perubahan penggunaan lahan 1994 dan 2012 Gambar 18 memperlihatkan bagian barat wilayah penelitian yaitu di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya terjadi perubahan penggunaan lahan yang paling dominan yaitu penggunaan lahan sawah menjadi tambak. Usaha tambak dikecamatan-kecamatan tersebut memang paling banyak dan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain, bahkan beberapa tempat di kecamatan-kecamatan tersebut diberi nama tambak, seperti desa Tambaksari dan Tambaksumur yang menunjukkan dominannya area tambak di wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah timur daerah penelitian yaitu Kecamatan Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan justru banyak terjadi dari berbagai penggunaan lahan menjadi permukiman. Wilayah ini memang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif

43 35 lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga kehidupannya lebih dinamis dan memicu pertambahan penduduk yang lebih tinggi. Abrasi dan Akresi Pembahasan mengenai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir tentu tidak lepas dari proses fisik yang terjadi di lautan. Kekuatan ombak dan arus laut sangat berpengaruh pada garis pantai, terutama apabila daratan yang berbatasan dengan laut tersebut merupakan pantai dengan berbahan dasar lembut seperti lumpur atau lumpur berpasir yang mudah berpindah. Pantai dengan dasar tersebut biasanya ditumbuhi vegetasi mangrove (Woodroffe 1992) yang membantu menjaga kestabilan sedimen (Thampanya et al. 2006). Jika sedimen/tanah daratan pantai tidak stabil maka dengan mudah akan terbawa arus dan ombak sehingga berpindah ke tempat lain. Kejadian tersebut mengakibatkan kondisi yang disebut abrasi (erosi pesisir) dan akresi (sedimentasi pesisir/penambahan daratan). Kondisi abrasi dan akresi secara nyata terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pemberitaan mengenai kerugian akibat abrasi dan akresi sudah sering terdengar. Permukiman, infrastruktur, lahan usaha tambak dan lainnya tergerus menjadi lautan sehingga kerugian yang dialami masyarakat sudah sangat memprihatinkan. Secara visual sebenarnya akan lebih mudah mengetahui kondisi abrasi dan akresi ini melalui penginderaan jauh, seperti yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 yang disajikan pada Gambar 19. Tabel 13. Luas abrasi dan akresi tahun 1994 dan 2012 per kecamatan Kecamatan Kondisi Abrasi (ha) Akresi (ha) Pakisjaya Batujaya tirtajaya Cibuaya Pedes Cilebar Tempuran Cilamaya kulon Cilamaya wetan Abrasi dan akresi yang terjadi sedikit merubah panjang garis pantai wilayah pesisir Karawang, dari panjang km pada tahun 1994 menjadi km di tahun 2012 yang berarti memendek sepanjang 186 meter. Tabel 13 menginformasikan, pada kurun waktu tahun 1994 dan 2012 abrasi terparah terjadi di Kecamatan Cibuaya yakni seluas 162 hektar. Sedangkan akresi atau penambahan daratan paling luas terjadi di Kecamatan Cilamaya wetan. Kecamatan Cilebar merupakan kecamatan dengan wilayah pesisir paling labil dimana akresi dan abrasi di kecamatan tersebut terjadi cukup luas.

44 Legenda Pakis 2. Cibuaya 3. Cilebar darat darat darat laut laut laut laut darat laut darat darat laut 4. Cilamaya Wetan 1994 Gambar 19. Garis pantai tahun 1994 dan

45 37 Gambar 20. Kondisi abrasi dan akresi di sekitar bangunan break water Perpindahan sedimen yang mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi juga dapat disebabkan oleh kegiatan anthropogenik (manusia sebagai penyebab) seperti penebangan hutan, penghijauan, dan konstruksi perairan seperti dam, jetty dan pemecah gelombang (Hogart 2001). Hal inilah yang terindikasi menjadi penyebab terjadinya akresi dan abrasi di Kecamatan Cilebar, yang diketahui melalui hasil interpretasi citra Landsat TM 7 dengan dibantu citra Ikonos seperti yang tarlihat pada Gambar 20. Gambar tersebut mengindikasikan terjadinya abrasi dan akresi akibat adanya bangunan pemecah gelombang (break water) yang menjorok ke laut. Hasil pengecekan lapangan membuktikan keberadaan pemecah gelombang tersebut berada di antara wilayah yang terkena abrasi dan akresi. Daerah disebelah barat pemecah gelombang mengalami abrasi sedangkan daerah sebelah timur mengalami akresi. Hasil pengolahan peta menunjukkan daerah yang mengalami abrasi daratannya terkikis ±200 meter ke arah darat antara tahun 1994 dan 2012, sebaliknya di daerah yang mengalami akresi terjadi penambahan daratan sepanjang ±200 meter ke arah laut. Pembangunan pemecah gelombang dan bangunan-bangunan laut lainnya di wilayah pesisir yang tidak memperhitungkan aspek oseanografi terbukti telah berpengaruh langsung pada kondisi fisik dari lahan pesisir. Jika kestabilan lahan yang diinginkan untuk konsep perencanaan penggunaan lahan tentu bangunan laut yang menyebabkan abrasi maupun akresi ini cukup merugikan. Secara keseluruhan luas abrasi dan akresi yang terjadi di wilayah penelitian hampir seimbang yaitu masing-masing ha dan ha. Lahan terluas yang mengalami abrasi adalah lahan tambak yaitu seluas ha. lahan baru akibat terjadinya akresi sebagian besar juga dimanfaatkan menjadi tambak.

46 38 Tabel 14. Luas abrasi dan akresi per penggunaan lahan Abrasi (ha) kebun campuran 2.6 Hutan mangrove 82.2 Permukiman 12.1 laut Tambak tubuh air 2.1 Akresi (ha) Hutan mangrove 55.0 Laut permukiman 1.6 tambak tubuh air 1.3 Lahan permukiman yang tergusur oleh terjadinya abrasi seluas 12.1 ha. Banyaknya permukiman yang didirikan tepat dipinggir pantai membuat resiko kerugian akibat abrasi semakin tinggi. Sementara itu terjadinya akresi memicu konflik perebutan lahan baru. Aturan pemerintah mengenai sempadan pantai masih belum terimplementasi di lapangan sehingga lahan yang berbatasan langsung dengan laut masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat dan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Dampak dari pemanfaatan zona pantai sebagai wilayah permukiman dan budidaya menjadikan kerugian dari terjadinya abrasi dan akresi masih sulit teratasi. Informasi selengkapnya mengenai luas abrasi dan akresi yang terjadi per-penggunaan lahan di wilayah penelitian dalam rentang waktu tahun 1994 dan 2012 disajikan pada Tabel 14. Inkonsistensi Penggunaan Lahan Pesisir Tahun 2012 dengan RTRW Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun 2012 dibandingkan dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang untuk mengetahui inkonsistensi yang terjadi pada peruntukan penggunaan lahan oleh RTRW dan kondisi penggunaan lahan sesungguhnya (aktual). Setelah dibandingkan, ternyata terlihat adanya inkonsistensi pada beberapa peruntukkan lahan dengan luasan yang diinformasikan oleh Tabel 15. Tabel 15 memperlihatkan, selain digunakan untuk sawah (80%), area pertanian lahan basah pada aktualnya juga digunakan sebagai hutan mangrove (0.05%), permukiman (11%), kebun campuran (1.1%) tubuh air (0.02%) dan tambak (7.92%). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsistensi masih tinggi namun penggunaan lahan untuk permukiman di kawasan pertanian sudah mulai meluas. Area yang diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung Hutan Mangrove yang berada di wilayah Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya, hanya 0.8 % yang masih sesuai dengan aktual, selebihnya digunakan untuk penggunaan lahan yang lain terutama tambak. Hal ini sangat memprihatinkan khususnya jika dilihat dari sisi lingkungan, karena Hutan mangrove merupakan ekosistem penunjang kehidupan yang sangat penting di wilayah pesisir beriklim tropis.

47 39 Tabel 15. Inkonsistensi RTRW dengan penggunaan lahan aktual LU 2012 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha Jumlah lt 56, ,672 sw , , , ,211 rv pkm - - 5, ,518 kc ta tb , , ,465 Jumlah 56, , , , , ,059 Inkonsistensi lahan yang diperuntukkan bagi perumahan pedesaan cukup tinggi % kawasan tesebut masih dipergunakan untuk sawah dan 2.85% untuk tambak. Hal ini menandakan wilayah pesisir kabupaten Karawang masih memberikan ruang bagi pertambahan penduduk. Lebih dari 50% kawasan tambak konsisten dengan aktual penggunaannya. Namun demikian penggunaan kawasan ini untuk sawah cukup tinggi yaitu sebesar 36.43% dari kawasannya. Sisanya pada aktual digunakan untuk permukiman, kebun campuran dan hutan mangrove. Secara keseluruhan inkonsistensi penggunaan lahan aktual tahun 2012 terhadap RTRW pesisir kabupaten Karawang terjadi sebesar 19.5%, hal ini berarti lebih dari 80% keseluruhan luas area wilayah pesisir Kabupaten Karawang, penggunaan lahannya masih sesuai dengan peruntukkannya dalam RTRW pesisir. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah masih konsisten terhadap RTRW. Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik. Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan (Eastman 2003). Berdasarkan data atribut yang dianalisis dari peta land system yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), lahan wilayah pesisir dapat dikelompokan menjadi beberapa satuan lahan, dengan masing masing satuan lahan memiliki kondisi fisik lahan yang sama dan sesuai terhadap satu atau beberapa penggunaan lahan. Secara geografis satuan lahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 21. Data-data atribut peta yang terdiri dari landform, taksonomi tanah, litologi, lereng dan iklim, membagi peta menjadi 3 (tiga) satuan lahan dengan kesesuaian fisik penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) Hutan mangrove; (2) Permukiman, Kebun Campuran dan Hutan mangrove; dan (3) Sawah, Kebun Campuran, Permukiman dan Hutan mangrove. Tambak tidak termasuk sebagai penggunaan lahan yang sesuai pada satuan lahan 1, karena walaupun kondisi fisik satuan lahan

48 40 tersebut sepertinya mendukung, namun ada satu pembatas yang membuat penggunaan lahan untuk tambak tidak sesuai dilakukan pada satuan lahan tersebut. Faktor pembatas itu adalah jenis tanah Sulfaquent yang merupakan tanah dengan bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 cm (Hardjowigeno 2003). Penggalian kolam tambak pada kondisi tanah tersebut dikhawatirkan akan membuat terpaparnya bahan sulfidik yaitu pirit (FeS 2 ) ke udara sehingga memicu terjadinya proses oksidasi dan membentuk asam sulfat dan jarosit yang merupakan zat beracun bagi tumbuhan. Gambar 21. Peta Kesesuaian Fisik Lahan (sumber : Peta land system) Peta kesesuaian fisik lahan di wilayah penelitian kemudian diekstraksi menjadi 12 komposisi penggunaan/penutupan lahan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Ke-12 komposisi ini selanjutnya digunakan sebagai 12 alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai, dimana tiap satuan lahannya hanya memiliki satu penggunaan lahan dan ditambah dengan satuan lahan untuk tubuh air (sungai dan rawa) dan laut. Alternatif Komposisi Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Pada penelitian ini terdapat lima satuan lahan dalam tiap alternatif Penggunaan Lahan Sesuai yang dihasilkan dari ekstraksi peta kesesuaian fisik lahan berdasarkan peta land system dimana tiga diantaranya terdiri dari kombinasi penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian fisik lahan, sedangkan dua lainnya adalah satuan lahan yang ditambahkan berdasarkan penutupan lahan aktual yaitu tubuh air yang merupakan perairan darat (sungai dan rawa) dan laut. Komposisi penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian fisik dalam tiap alternatif disajikan dalam Tabel 16.

49 41 Tabel 16. Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai kesesuaian penggunaan lahan Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Sawah Sawah Sawah kebun Campuran kebun Campuran kebun Campuran dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual * Lanjutan Tabel 16. kesesuaian penggunaan lahan Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual * Alternatif yang memiliki nilai kappa untuk kompabilitas dengan kondisi aktual tahun 2012 tertinggi. 41

50 42 Berdasarkan kompatibilitas dengan kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2012, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memiliki nilai kappa yang tertinggi yaitu Nilai kappa tersebut menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang akan digunakan sebagai input kesesuaian (suitability) dalam proses validasi model prediksi penggunaan lahan. Sebaran geografis jenis penggunaan/penutupan lahan pada alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 tersaji dalam Gambar 22. Gambar 22. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 Secara visual terlihat bahwa alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memang merupakan alternatif yang komposisi jenis penggunaan/penutupan lahannya paling kompatibel dengan kondisi aktual tahun Seperti pada kondisi aktual, sawah mendominasi bagian selatan wilayah penelitian dengan area permukiman berada di tengah bagian timur. Sehingga wajar jika nilai kappa yang dihasilkan paling tinggi.

51 43 Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Konversi Vektor ke Raster Interpretasi penggunaan lahan dan hasil Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik pada pembahasan sebelumnya, semuanya menghasilkan peta berbasis data vektor. Kedua hasil analisis tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai data spasial input pemodelan. Sementara itu, pemodelan dengan pendekatan CA- Markov dijalankan dengan input yang mengharuskan data berbasis raster, oleh karenanya konversi bentuk data vektor ke bentuk data raster mutlak diperlukan. Konversi vektor ke raster dilakukan pada ukuran raster 30 x 30 selain karena sumber data hasil interpretasi adalah citra Landsat TM 7, juga karena konversi data vektor ke ukuran raster 30 x 30 telah terbukti lebih efektif dan efisien (Munibah 2008). Tabel 17 menunjukkan bahwa perbedaan luasan data vektor dan data raster pada seluruh file yang dikonversi sama sekali tidak signifikan. Hal ini menunjukkan data raster yang dihasilkan dapat mewakili data vektornya sehingga tidak akan menyebabkan bias data yang fatal ketika digunakan pada proses simulasi model prediksi dengan pendekatan CA-Markov. Tabel 17. Perubahan luasan data vektor dan raster Penggunaan lahan aktual 1994 aktual 2012 vektor raster % vektor raster % Laut 56,673 56, ,672 56, Sawah 49,225 49, ,211 48, Hutan mangrove Permukiman 5,976 5, ,518 6, Kebun Campuran Tubuh Air (sungai,rawa) Tambak 17,653 17, ,465 18, Rata2 131, , , , Matriks Probabilitas dan Area Transisi (Markov Chain). Matriks probabilitas dan area transisi yang dihasilkan dengan menjalankan modul Markov dalam piranti Idrisi, merupakan salah satu input untuk pemodelan dengan pendekatan CA-Markov, selain dari penggunaan lahan tahun awal dan kesesuaian lahan. Pada modul ini, dilihat pola perubahan penggunaan lahan pada tahun 1994 (sebagai tahun awal) sampai tahun Proses ini menghasilkan matrik probabilitas dan area transisi seperti yang disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19. Matrik yang dihasilkan modul Markov ini merupakan faktor sejarah pola perubahan penggunaan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 tahun dengan rentang waktu 18 tahun. Pemodelan untuk memprediksi penggunaan lahan dengan pendekatan CA-Markov mengasumsikan perubahan penggunaan lahan yang akan terjadi dalam rentang tertentu di waktu yang akan datang diduga sedikit banyak dipengaruhi oleh pola perubahan penggunaan lahan yang telah terjadi dalam rentang waktu yang sama ke belakang.

52 44 Tabel 18. Matrik probabilitas penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun 2012 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt :sw : rv : pmk : kc : ta : tb Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 19. Matrik transition area penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun jumlah sel 2012 Jumlah sel 1994 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt :sw : rv : pmk : kc : ta : tb Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Angka-angka matrik pada tabel sebelumnya, menunjukan peluang dari suatu kelas penggunaan lahan akan berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai yang mendekati satu menunjukan semakin tingginya peluang suatu penggunaan lahan untuk berubah menjadi penggunaan lahan pasangan kolom atau barisnya. Matrik transition area merupakan salah satu input yang akan digunakan untuk menjalankan modul CA-Markov untuk memprediksi penggunaan lahan pada rentang 18 tahun ke depan. Hasil matrik probabilitas pada Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa laut, permukiman dan tubuh air merupakan kelas penggunaan lahan yang paling stabil dan sangat kecil peluangnya untuk berubah. Sawah juga secara keseluruhan persen peluang perubahannya sangat kecil. Namun jika dilihat dari jumlah piksel, sawah memiliki peluang cukup luas untuk berubah menjadi permukiman dan tambak. Kebun campuran cukup berpeluang untuk berubah menjadi sawah dan permukiman. Sementara itu kelas penggunaan lahan yang paling rentan perubahan adalah hutan mangrove.

53 45 Sejak menjamur dan meningkatnya usaha pertambakan di wilayah pesisi Kabupaten Karawang, pembukaan lahan Hutan mangrove untuk kepentingan pertambakan sering dilakukan, oleh karenanya luas lahan Hutan mangrove semakin sempit. Hal ini belum termasuk penebangan pohon-pohon Hutan mangrove untuk dijadikan material bangunan dan bahan bakar. Kondisi ini terlihat dalam perbandingan luas Hutan mangrove pada tahun 1994 dan 2012 dimana Hutan mangrove merupakan jenis penggunaan/penutupan lahan yang trend penurunannya terlihat paling signifikan. Pembobotan Input Kesesuaian Lahan Nilai kappa kompatibilitas alternatif-alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai terhadap aktual penggunaan lahan 2012 yang telah dilakukan pada pembahasan sebelumnya, telah menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai input kesesuaian dalam simulasi prediksi penggunaan lahan tahun 2012 untuk validasi model. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 ini kemudian difungsikan sebagai referensi dalam pengalokasian suatu lahan (Munibah 2008). Tiap satuan penggunaan lahan dipecah kedalam peta pembobotan kesesuaian lahan. Jumlah tipe penggunaan lahan yang dibuat peta pembobotannya disesuaikan dengan jumlah tipe penggunaan lahan aktual tahun Gambar 23. Pembobotan kesesuaian lahan dalam piranti lunak Idrisi Tiap peta pembobotan kesesuaian lahan memiliki satuan lahan yang di kelaskan kedalam 2 kelas yaitu sesuai (S) yang diberi bobot 2 dan tidak sesuai (N) yang diberi bobot (1). Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan tersebut kemudian digabungkan menjadi satu file dengan ekstensi raster group file (.rgf) dalam modul collection editor untuk dapat dijadikan input dalam modul CA-Markov

54 46 pada piranti Idrisi. Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan dari alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 secara visual disajikan pada Gambar 23. Validasi Model Validasi dilakukan dengan menjalankan simulasi celullar automata- Markov (CA-Markov) menggunakan input yang telah dipersispkan pada pembahasan sebelumnya yaitu matriks transition area, kesesuaian lahan dan penggunaan lahan tahun 1994 sebagai tahun dasar. Filter yang digunakan untuk simulasi ini adalah filter 5 x 5 yang merupakan penterjemah dari konsep ketetanggaan. Hasil simulasi tersebut adalah peta prediksi Validasi dilakukan dalam beberapa jumlah iterasi sehingga menghasilkan beberapa peta prediksi. Tiap peta prediksi tahun 2012 yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan penggunaan lahan 2012 aktual untuk mendapatkan peta prediksi dengan nilai kappa tertinggi pada jumlah iterasi yang paling efisien. Pada penelitian ini jumlah iterasi dilakukan dari mulai 3 hingga 15. Nilai kappa bergerak naik pada iterasi 5 lalu stabil hingga iterasi 10. Nilai kappa menurun pada iterasi 12 dan selanjutnya tidak bergerak naik kembali. Secara visual, grafik nilai kappa validasi disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Grafik nilai kappa pada tiap iterasi Gambar 24 menunjukkan break of slope (perubahan yang nyata) dari nilai kappa yang dihasilkan (Munibah 2008), terjadi pada jumlah iterasi 5, 7 dan 10 dengan nilai kappa yang menunjukkan kompatibilitas antara penggunaan lahan 2012 hasil prediksi dan penggunaan lahan 2012 aktual sebesar Semakin banyak jumlah iterasi maka waktu yang dibutuhkan dalam menjalankan simulasi semakin lama. Oleh karena itu, pertimbangan waktu iterasi digunakan untuk memilih iterasi 5 sebagai iterasi yang paling efisien diantara jumlah iterasi lain dengan nilai kappa tertinggi untuk ditentukan sebagai jumlah iterasi yang akan digunakan dalam model prediksi.

55 47 Prediksi Perubahan Lahan Tahun 2030 Hasil validasi dengan nilai kappa menunjukkan modul Celullar Automata (CA)-Markov dalam piranti lunak Idrisi 32 dapat digunakan untuk membangun model prediksi penggunaan lahan masa depan. Modul Markov pada penelitian ini menggunakan penggunaan/penutupan lahan tahun 1994 dan 2012 sebagai input dengan rentang waktu 18 tahun, sehingga prediksi yang dapat dilakukan dengan tahun dasar 2012 adalah untuk penggunaan lahan tahun Tabel 20. Nilai kappa tiap skenario Skenario Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2030 Nilai Overall Kappa Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang berjumlah 12 alternatif, masing-masing kemudian dibuat file dengan ekstensi raster group file (.rgf) untuk dijadikan input kesesuaian (suitability) dalam model prediksi penggunaan lahan untuk tahun Input lainnya adalah penggunaan lahan tahun 2012 sebagai tahun dasar dan matriks transition area hasil modul Markov. Model prediksi dengan pendekatan CA-Markov tersebut kemudian dijalankan dengan filter 5x5 sehingga menghasilkan 12 skenario prediksi penggunaan lahan tahun Skenario-skenario tersebut kemudian dibandingkan dengan peta RTRW Pesisir Kabupaten Karawang untuk dicari skenario mana yang paling kompatibel dengan Peta RTRW. Hasilnya disajikan pada Tabel 20. Skenario 4 merupakan skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030 yang memiliki kompatibilitas tertinggi terhadap peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. hal ini ditunjukkan dengan nilai kappa tertinggi dibandingkan skenario yang lain yaitu sebesar Kompatibilitas penggunaan lahan hutan mangrove pada skenario prediksi 4 terhadap peta RTRW lebih tinggi dibandingkan skenario prediksi yang lain. Hal ini menjadi penyebab menonjolnya nilai kappa skenario prediksi 4. Nilai kappa yang tertinggi dari skenario prediksi 4 selanjutnya menjadikan skenario ini sebagai Peta Prediksi Penggunaan Lahan Potensial Tahun Secara spasial peta tersebut disajikan pada Gambar 25.

56 48 PL 2030 Gambar 25. Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun Tabel 21. Perbandingan luas penggunaan lahan 2012 dan hasil prediksi 2030 PL 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % kc lt , , rv pmk , , sw , , tb , , ta Jumlah , , , , , Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 21 memperlihatkan bahwa perubahan luas dari tahun 2012 ke tahun 2030 yang terprediksikan terjadi pada seluruh penggunaan lahan kecuali tubuh air (sungai dan rawa) yang relatif stabil. Jenis penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak, sedangkan yang lainnya luas penggunaan lahannya menurun. Abrasi dan akresi diprediksi masih signifikan terjadi pada tahun Tabel 21 juga memperlihatkan bahwa jenis penggunaan lahan yang mengalami perubahan yang terluas antara tahun 2012 dan 2030 diprediksikan

57 49 terjadi pada penggunaan lahan untuk sawah yang berubah menjadi tambak dan permukiman. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk di wilayah pesisir tentu akan meningkat seiring kegiatan ekonomi yang juga terus meningkat terutama di bidang perikanan tambak, sehingga kebutuhan ruang untuk tambak dan permukiman juga akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan diprediksi banyak terjadi di wilayah Cilamaya Kulon, Tempuran dan Cilamaya Wetan. Ketiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dibandingkan kecamatan yang lain. Perubahan sawah menjadi tambak tejadi hampir di seluruh wilayah perbatasan kedua penggunaan lahan tersebut. Secara spasial prediksi perubahan lahan disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Peta prediksi perubahan penggunaan lahan tahun Arahan Kebijakan yang Mendukung RTRW Pesisir Kabupaten Karawang. Inkonsistensi Hasil Prediksi dengan RTRW Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan arahan kebijakan apa saja yang dapat diusulkan untuk diberlakukan dalam rangka mendukung RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Terlebih dahulu harus dilihat konsistensi dari implementasi pola ruang RTRW pada prediksi penggunaan lahan tahun 2030 dengan membandingkan secara spasial peta RTRW pesisir dengan Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun Perbandingan tersebut menghasilkan nilai kappa

58 50 dengan inkonsistensi sebesar 19.8%. Hal ini berdasarkan standar penilaian kappa menurut Jensen (1996) masih dapat diterima. Artinya peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 tersebut secara alami dan tanpa adanya arahan kebijakan khusus masih konsisten dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Tabel 22, memberi informasi yang cukup mengenai inkonsistensi yang terjadi pada tiap jenis penggunaan lahan. Pada kondisi aktual laut, meskipun masih terjadi akresi dan abrasi, namun perairan laut masih memiliki konsistensi yang tinggi. Pertanian lahan basah (sawah) juga memiliki konsistensi yang cukup dengan 78.81% peruntukan lahan basah masih digunakan sebagai sawah pada tahun Walaupun demikian, pada tahun 2030 diprediksikan lahan yang diperuntukkan untuk pertanian lahan basah masih banyak yang dimanfaatkan untuk permukiman dengan area yang cukup luas yaitu 6, hektar. Perencanaan lahan ruang untuk kawasan lindung Hutan mangrove adalah yang paling memprihatinkandengan hanya 1.05% saja yang sesuai. Pada tahun 2030 diprediksikan 96.86% dari lahan yang diperuntukkan untuk hutan mangrove, aktualnya dimanfaatkan untuk pertambakan. Minat masyarakat pada usaha perikanan tambak yang cukup tinggi menjadikan masyarakat mengabaikan sisi ekologi lingkungan. Hutan mangrove yang sebenarnya sangat bernilai dan memiliki jasa lingkungan yang tinggi, tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat keberadaannya. Akresi dan abrasi juga diprediksi masih akan terjadi dengan melihat terjadinya inkonsistensi luasan lautan dengan penggunaan lahan yang lain pada tahun Abrasi terutama masih mengancam kawasan tambak dan hutan mangrove. Peruntukan lahan pada RTRW untuk sawah mengalami inkonsistensi yang cukup luas sehingga mencapai lebih dari 10 ribu hektar masih digunakan untuk permukiman dan tambak. Hal ini dimungkinkan karena pertambahan penduduk dan persaingan nilai ekonomi dari usaha pertanian sawah dan tambak selalu terjadi di wilayah pesisir. Peruntukan lahan RTRW untuk perumahan desa juga mengalami inkonsistensi. Sebanyak 2, lahan kawasan perumahan desa masih berupa sawah di tahun Pada tahun 2030 juga diprediksikan peruntukkan lahan RTRW untuk tambak sebanyak 33.53% dari keseluruhan lahan masih dipergunakan untuk penggunaan lahan sawah. Kondisi wilayah pesisir Karawang yang landai dan memiliki sistem pengairan yang cukup menjadikan fluktuasi perubahan penggunaan lahan antara dua jenis penggunaan lahan ini terjadi.

59 51 Tabel 22. Matriks konsistensi peta RTRW dan Peta prediksi potensial 2030 PL 2030 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha lt 56, , sw , , , , rv pmk , , kc ta tb , , , , Jumlah 56, , , , , ,

60 52 Inkonsistensi yang terjadi pada peta prediksi penggunaan lahan tahun 2030 terhadap RTRW selanjutnya dikelaskan kembali menjadi 3 kelas yaitu (1) Konsisten, (2) Bisa dikonsistenkan dan (3) Mutlak tidak konsisten. Kelas konsisten adalah untuk area dengan penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukkan RTRW. Kelas yang bisa dikonsistenkan adalah untuk area-area dengan penggunaan lahan yang masih bisa dirubah atau dialih fungsikan satu sama lain yaitu untuk penggunaan lahan sawah, tambak, mangrove dan kebun campuran. Sedangkan untuk kelas yang mutlak tidak konsisten adalah area-area yang terjadi abrasi dan akresi dan area yang peruntukkan RTRW-nya untuk penggunaan lahan lain namun digunakan untuk permukiman Gambar 27. Peta kelas inkonsistensi prediksi PL 2030 terhadap RTRW Berdasarkan pengkelasan tadi didapati area dengan kelas konsisten seluas 80.19%, area dengan kelas bisa dikonsistenkan seluas 12.98%, dan area dengan kelas yang mutlak tidak konsisten hanya seluas 6.83% dari luas keseluruhan. Berdasarkan pengkelasan tersebut, peta prediksi penggunaan lahan 2030 secara alami masih dapat mendukung peta RTRW dengan wilayah inkonsistensi mutlak hanya sebesar 6.83%. Secara visual pengkelasan inkonsistensi peta prediksi penggunaan lahan potensial 2030 terhadap RTRW disajikan dalam Gambar 27. RTRW pesisir Kabupaten Karawang diprediksikan masih konsisten pada tahun Namun demikian, inkonsistensi yang terjadi pada beberapa penggunaan lahan, perlu diusahakan untuk dikurangi. Oleh karena itu dilakukan analisis kebijakan untuk menghasilkan arahan-arahan kebijakan yang dapat diterapkan agar penggunaan lahan dimasa yang akan datang lebih konsisten terhadap RTRW pesisir.

61 53 Arahan Kebijakan Inkonsistensi peruntukan penggunaan lahan RTRW pesisir pada prediksi penggunaan lahan yang akan terjadi di tahun 2030, dijadikan pertimbangan untuk membuat arahan-arahan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi inkonsistensi tersebut. Beberapa kondisi yang menonjol terjadi pada prediksi perubahan penggunaan lahan antara tahun 2012 dan 2030 menjadi dasar arahanarahan kebijakan yang akan dibuat. Kondisi-kondisi tersebut adalah : (1) masih terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir; (2) persentase hilangnya luasan mangrove di wilayah pesisir yang tinggi; dan (3) alih fungsi sawah yang semakin luas terjadi di wilayah pesisir. Arahan-arahan kebijakan untuk mencegah terjadinya tiga kondisi tersebut harus memiliki dasar peraturan dan perundangan yang kuat dan telah berlaku. Arahan-arahan kebijakan yang diharapkan dapat diterapkan antara lain sebagai berikut : Arahan kebijakan pertama adalah arahan kebijakan mengimplementasikan area sempadan pantai. Arahan kebijakan ini diharapkan mampu untuk mengurangi terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pada penjelasan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa area sempadan pantai merupakan kawasan lindung. Sedangkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mendefinisikan sempadan pantai sebagai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 31 pada Undang-Undang 27 tahun 2007 tersebut juga mengamanahkan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan batas sempadan pantai sesuai dengan keperluan perlindungan dan karakteristik pantai. Perlindungan dalam hal ini adalah terhadap gempa bumi, tsunami, abrasi, dan bencana akibat aktifitas lautan. Sempadan pantai juga di implementasikan untuk melindungi ekosistem pesisir. Gambar 28. Penggunaan lahan tahun 2012 dengan sempadan.

62 54 Sempadan pantai yang diterapkan (Gambar 28) nantinya diharapkan dapat dihijaukan dengan ditanami mangrove. seluruh area pantai di pesisir Kabupaten Karawang dapat ditanami oleh mangrove berdasarkan karakteristik sedimen. Keberadaan mangrove pada area sempadan nantinya diharapkan dapat berpengaruh pada berkurangnya abrasi dan akresi yang terjadi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thampanya et al (2006) telah membuktikan keberadaan mangrove dapat mengurangi terjadinya abrasi. Arahan kebjakan kedua adalah melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Daerah yang direhabilitasi adalah satuan lahan pada peta kesesuaian fisik lahan yang hanya sesuai untuk mangrove. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pertama dengan mengembalikan langsung fungsi lahan menjadi hutan mangrove, dan kedua dengan menerapkan sistem silvofishery atau wanamina. Kebijakan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan yang kedua lebih mungkin diterapkan. Hal ini karena hampir seluruh lahan yang hanya sesuai untuk mangrove tersebut, pada kenyataannya difungsikan sebagai tambak. Oleh karenanya usaha rehabilitasi secara langsung dengan pendekatan pertama tentu akan mengalami penolakan dari masyarakat yang sudah tergantung pada usaha tambak untuk menunjang ekonominya. Kenyataan ini didukung oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dimana disebutkan bahwa pada wilayah kawasan lindung mangrove yang ketergantungan masyarakatnya sangat tinggi terhadap budidaya ikan dapat dikembangkan pola silvofishery. Silvofishery atau juga disebut wanamina merupakan kegiatan tambak yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove (Gambar 29). Tanaman mangrove dalam sistem wanamina bukan sekedar bagian dari penyelamatan lingkungan namun juga memiliki fungsi yang bermanfaatan bagi kegiatan tambak itu sendiri. Mangrove adalah habitat asli dari ikan/udang yang dibudidayakan dalam tambak air payau sehingga keberadaanya di dalam sistem tambak tentu saja disukai oleh obyek tambak sehingga pertumbuhannya lebih maksimal. Konversi mangrove berlebihan dapat mengurangi produktivitas tambak hingga 70% (Jamil 2007). Oleh karenanya sistem silvofishery ini selain dapat mengembalikan penghijauan juga dapat menjaga produktivitas para petani tambak. Gambar 29. Ilustrasi sistem silvofishery (Bengen 2004)

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 12 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diteliti adalah wilayah pesisir Kabupaten Karawang (Gambar 3), yang secara administratif berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 yang dihasilkan dari interpretasi citra Landsat

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian.

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (UU No. 26 tahun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kota merupakan obyek geografis yang sangat popular di semua kalangan masyarakat, sehingga menjadikan kota sebagai objek kajian yang menarik untuk dikaji baik itu bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 17 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penggunaan lahan masa lalu dan penggunaan lahan masa kini sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang saling berhubungan antara lain peningkatan jumlah penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan (Maret - November 2009), dan obyek penelitian difokuskan pada tiga kota, yaitu Kota Padang, Denpasar, dan Makassar.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 Ayesa Pitra Andina 3510100044 JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 Latar Belakang Pengembangan Kawasan a PESISIR Aksesbilitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Mahasiswa : Cherie Bhekti Pribadi (3509100060) Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Teguh Hariyanto, MSc Udiana Wahyu D, ST. MT Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Apalagi akhir-akhir ini sumberdaya daratan yang selama ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : YOGA

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penutup lahan adalah suatu fenomena yang sangat kompleks berdasarkan pada, pertama karena hubungan yang kompleks, interaksi antara kelas penutup lahan yang

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Kurikulum : Program Magister Sains Kode Mata Kuliah SKS Semester Mata Kuliah Wajib SPs (6 SKS) PPS 500 Bahasa Inggris 3 Ganjil TSL 500 Geostatistik 3 Ganjil Mata Kuliah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG Oleh : Firman Farid Muhsoni, S.Pi, M.Sc Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail : firman_fmm@yahoo.com.sg

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Oktober, 2013) ISSN: 2301-9271 Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 Latri Wartika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN)

APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN) APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN) Hernandea Frieda Forestriko Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pengembangan Wilayah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMAKASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMAKASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMAKASIH... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Indentifikasi Masalah...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN)

HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN) HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN) Sri Rezeki Mokodompit 1, Ir. Sonny Tilaar MSi², & Raymond

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Analisis Pola Permukiman Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Analisis Pola Permukiman Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Pulau Batam Analisis Pola Permukiman Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin dan Nur Indah Kusumawati Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Baba Barus, Dr Staf Pengajar : Atang Sutandi, Dr Baba Barus, Dr

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. 33 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Adapun penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Berikut ini

Lebih terperinci