HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 yang dihasilkan dari interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 1994 dan 2012 secara visual. Masing-masing titik tahun citra Landsat TM 7 tersebut diambil pada bulan Maret. Hasil interpretasi citra Landsat TM 7 tahun 2012 telah divalidasi menggunakan titik-titik sampel ground thruth yang kondisinya dilihat berdasarkan citra Ikonos 2010 dan cek lapangan. Validasi yang dilakukan menghasilkan nilai akurasi sebesar 93.33% dan nilai indeks kappa sebesar yang menunjukkan bahwa peta hasil interpretasi citra tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini. Proses interpretasi citra Landsat TM 7 dilakukan dengan bantuan piranti arcgis 10 dan menghasilkan peta penggunaan lahan pada skala yang mempertimbangkan resolusi spasial dari citra Landsat TM 7 dan kenampakan tutupan lahan secara visual pada citra. Luas Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan Intepretasi secara visual citra Landsat TM 7 pada wilayah penelitian menghasilkan peta dengan 7 (tujuh) kelas penggunaan lahan. Secara alfabetik 7 kelas penggunaan lahan tersebut urutannya adalah: kebun campuran, laut, hutan mangrove, permukiman, sawah, tambak dan tubuh air (sungai dan rawa) dengan informasi luas masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Luas perubahan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Kode) ha % ha % Kebun Campuran (kc) Laut (lt) 56, , Hutan Mangrove (rv) Permukiman (pkm) 5, , Sawah (sw) 49, , Tambak (tb) 17, , Tubuh Air (ta) Jumlah 131, , Tabel 10 menginformasikan beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas yang cukup signifikan yaitu kebun campuran, hutan mangrove dan sawah. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak. Luas kebun campuran menurun hampir 150 ha atau luasnya menyusut hingga 17.5%. Penyusutan kebun campuran ini terjadi diduga akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Hal ini karena jenis tanah yang digunakan

2 untuk kebun campuran ini juga merupakan tanah yang potensial untuk permukiman. Secara visual dari hasil interpretasi citra Landsat, lahan yang digunakan untuk kebun campuran biasanya terletak di sekitar permukiman sehingga apabila permukiman tersebut berkembang maka lahan kebun campuran tersebut secara otomatis akan terpakai. Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang berada di perbatasan antara daratan dan lautan yang salah satu fungsinya adalah menjadi pelindung dari efek negatif interaksi keduanya di wilayah tropis. Kondisi luas hutan mangrove yang menurun akan sangat merugikan karena tentu saja akan menurunkan fungsinya tersebut. Luas hutan mangrove di wilayah penelitian tahun 2012 menyusut 47.8% atau hampir setengah dari luas pada tahun Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove ke depan khususnya di pesisir Kabupaten Karawang. Penggunaan lahan yang paling luas penyusutannya adalah sawah. Luas sawah yang teralihkan mencapai lebih dari 1,013 ha. Semakin luasnya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain, semakin mengancam identitas Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat dan tentu akan berimbas langsung pada ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah di wilayah pesisir Karawang ini selain akibat dari bertambahnya penduduk juga diduga akibat dari semakin seringnya terjadi puso akibat cuaca dan hama ditambah dengan biaya produksi sawah yang semakin tinggi menjadikan nilai ekonomi sawah semakin kalah dengan penggunaan lahan lain terutama perikanan tambak. Permukiman merupakan salah satu penggunaan lahan yang meningkat luasannya di wilayah penelitian. Luasannya meningkat seluas 542 ha atau ±9% dari tahun 1994 ke Meningkatnya penduduk di wilayah pesisir mau tidak mau berpengaruh pada meningkatnya luasan penggunaan lahan untuk permukiman karena masih dianggap luasnya lahan sehingga penyebaran permukiman masih bersifat horizontal. Perikanan tambak merupakan salah satu primadona ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Tambak udang sempat menjadi sangat maju tingkat produksinya di Kabupaten Karawang. Namun demikian, karena penyakit dan eksploitasi lahan pesisir yang terlalu berlebihan produksi udang semakin menurun dan menyebabkan kebangkrutan petambak pada akhir tahun1990-an. Kebangkitan petambak mulai terjadi terutama setelah dilakukan diversifikasi produk dari udang menjadi bandeng, mas dan produk perikanan lainnya sehingga nilai ekonomi penggunaan lahan tambak kembali meningkat. Hal tersebut menjelaskan peningkatan penggunaan lahan untuk tambak pada rentang waktu antara tahun 1994 dan Penggunaan lahan tambak luasannya meningkat lebih dari 800 ha atau sebesar 4.5%. Laut dan tubuh air (sungai dan rawa) tidak mengalami perubahan yang signifikan pada rentang tahun 1994 dan laut hanya mengalami penyusutan luas sebesar 0.8 hektar, hampir 0 persen dari luasannya, demikian juga tubuh air. Grafik yang memperlihatkan secara visual kenaikan dan penyusutan persentase luas penggunaan lahan disajikan pada Gambar

3 % 1994 % 2012 Gambar 17. Grafik persentase penggunaan lahan 1994 dan 2012 Perubahan Penggunaan Lahan 1994 dan 2012 Penyusutan dan penambahan luas penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 mengindikasikan terjadinya perubahan penggunaan atau alih fungsi lahan. Alih fungsi penggunaan lahan terluas yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 menimpa jenis penggunaan lahan sawah yaitu sebesar 1, ha sedangkan persentase perubahan lahan yang paling tinggi terjadi pada jenis penggunaan lahan Hutan mangrove yaitu sebesar %. Informasi selengkapnya mengenai perubahan penggunaan lahan dan persentasenya antara tahun 1994 dan 2012 tersaji dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha ha ha ha ha ha ha ha kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa)

4 33 Tabel 12. Matrik persentase perubahan penggunaan lahan Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah % % % % % % % % kc lt rv pmk sw tb ta Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Kebun campuran mengalami alih fungsi lahan kedalam 4 jenis penggunaan lahan lainnya yaitu (1) laut, berhubungan dengan terjadinya abrasi; (2) permukiman yang merupakan pengambil alih fungsi kebun campuran yang terluas yaitu ha; (3) sawah, seluas ha; dan (4) tambak, sebagai pengambil alih fungsi lahan kebun campuran tersempit yaitu seluas 0.35 ha. Akresi (penambahan daratan) terjadi antara tahun 1994 dan 2012, dimana daratan baru tersebut dimanfaatkan sebagai lahan (1) hutan mangrove, seluas ha, hal ini erat hubungannya dengan kegiatan penanaman hutan mangrove yang dilakukan berbagai instansi dan organisasi lingkungan hidup di Kabupaten Karawang dalam rangka upaya pembentukan kembali green belt, (2) permukiman, seluas 1.58 ha, (3) tambak, pemanfaatan yang paling luas dilakukan pada lahan akresi yaitu mencapai lebih dari ha, dan (4) tubuh air, akresi yang terjadi di area muara sungai akan segera membentuk bentuk lahan muara yang baru. Pembukaan lahan hutan mangrove yang dilakukan antara tahun 1994 dan 2012 untuk dimanfaatkan menjadi penggunaan lahan lain mencapai hampir 90%. Penggunaan lahan itu antara lain (1) kebun campuran, hal ini terjadi di hutan bakau (hutan mangrove) yang tidak lagi tergenang air sehingga masyarakat memanfaatkannya menjadi kebun campuran seluas ha, (2) laut, abrasi telah menghilangkan ha lahan hutan mangrove menjadi laut, (3) permukiman, terdapat ha lahan hutan mangrove yang dibuka untuk permukiman, (4) sawah, seluas 1.12 ha, dan (5) tambak, merupakan penyebab utama banyak dibukanya hutan mangrove di pesisir Kabupaten Karawang selama ini, sehingga dalam kurun 1994 dan 2012 pembukaan hutan mangrove untuk tambak masih merupakan yang terluas yaitu seluas ha. Permukiman merupakan penggunaan lahan yang hampir tidak mengalami perubahan fungsi lahan dari tahun Perubahan yang terjadipun tidaklah disengaja, melainkan karena abrasi yang menjadikan lahan permukiman seluas ha berubah menjadi laut. Alih fungsi lahan sawah di wilayah penelitian yaitu menjadi (1) permukiman, semakin bertambahnya penduduk menjadikan lahan sawah diubah menjadi permukiman seluas ha, (2) tambak, meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha tambak menjadikan alih fungsi

5 34 lahan sawah menjadi tambak terjadi seluas ha, dan (3) tubuh air, terdapat area lahan pesawahan yang karena berada di daerah rawa apabila musim hujan maka berubah menjadi tubuh air seluas 2.18 ha. Pada tahun 1994, terdapat ha luas tambak yang beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain, terutama lahan tambak udang yang bangkrut akibat penyakit yang ditinggalkan oleh pengelolanya. Tambak terbengkalai tersebut sebagian dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengelolanya menjadi tambak kembali ataupun mengalami alih fungsi menjadi jenis penggunaan lahan yang lain, yaitu (1) kebun campuran, seluas 9.25 ha, (2) permukiman, seluas ha, dan (3) sawah, seluas ha. Selain itu terdapat juga tambak yang dihijaukan kembali dengan ditanami hutan mangrove seluas ha. Namun alih fungsi yang terluas yang terjadi pada tambak adalah diakibatkan oleh abrasi yaitu seluas ha tambak berubah menjadi laut dengan penyebab utamanya adalah tidak adanya green belt yang melindungi tambak-tambak tersebut dari gerusan arus dan ombak laut. Gambar 18. Peta perubahan penggunaan lahan 1994 dan 2012 Gambar 18 memperlihatkan bagian barat wilayah penelitian yaitu di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya terjadi perubahan penggunaan lahan yang paling dominan yaitu penggunaan lahan sawah menjadi tambak. Usaha tambak dikecamatan-kecamatan tersebut memang paling banyak dan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain, bahkan beberapa tempat di kecamatan-kecamatan tersebut diberi nama tambak, seperti desa Tambaksari dan Tambaksumur yang menunjukkan dominannya area tambak di wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah timur daerah penelitian yaitu Kecamatan Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan justru banyak terjadi dari berbagai penggunaan lahan menjadi permukiman. Wilayah ini memang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif

6 35 lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga kehidupannya lebih dinamis dan memicu pertambahan penduduk yang lebih tinggi. Abrasi dan Akresi Pembahasan mengenai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir tentu tidak lepas dari proses fisik yang terjadi di lautan. Kekuatan ombak dan arus laut sangat berpengaruh pada garis pantai, terutama apabila daratan yang berbatasan dengan laut tersebut merupakan pantai dengan berbahan dasar lembut seperti lumpur atau lumpur berpasir yang mudah berpindah. Pantai dengan dasar tersebut biasanya ditumbuhi vegetasi mangrove (Woodroffe 1992) yang membantu menjaga kestabilan sedimen (Thampanya et al. 2006). Jika sedimen/tanah daratan pantai tidak stabil maka dengan mudah akan terbawa arus dan ombak sehingga berpindah ke tempat lain. Kejadian tersebut mengakibatkan kondisi yang disebut abrasi (erosi pesisir) dan akresi (sedimentasi pesisir/penambahan daratan). Kondisi abrasi dan akresi secara nyata terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pemberitaan mengenai kerugian akibat abrasi dan akresi sudah sering terdengar. Permukiman, infrastruktur, lahan usaha tambak dan lainnya tergerus menjadi lautan sehingga kerugian yang dialami masyarakat sudah sangat memprihatinkan. Secara visual sebenarnya akan lebih mudah mengetahui kondisi abrasi dan akresi ini melalui penginderaan jauh, seperti yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 yang disajikan pada Gambar 19. Tabel 13. Luas abrasi dan akresi tahun 1994 dan 2012 per kecamatan Kecamatan Kondisi Abrasi (ha) Akresi (ha) Pakisjaya Batujaya tirtajaya Cibuaya Pedes Cilebar Tempuran Cilamaya kulon Cilamaya wetan Abrasi dan akresi yang terjadi sedikit merubah panjang garis pantai wilayah pesisir Karawang, dari panjang km pada tahun 1994 menjadi km di tahun 2012 yang berarti memendek sepanjang 186 meter. Tabel 13 menginformasikan, pada kurun waktu tahun 1994 dan 2012 abrasi terparah terjadi di Kecamatan Cibuaya yakni seluas 162 hektar. Sedangkan akresi atau penambahan daratan paling luas terjadi di Kecamatan Cilamaya wetan. Kecamatan Cilebar merupakan kecamatan dengan wilayah pesisir paling labil dimana akresi dan abrasi di kecamatan tersebut terjadi cukup luas.

7 Legenda Pakis 2. Cibuaya 3. Cilebar darat darat darat laut laut laut laut darat laut darat darat laut 4. Cilamaya Wetan 1994 Gambar 19. Garis pantai tahun 1994 dan

8 37 Gambar 20. Kondisi abrasi dan akresi di sekitar bangunan break water Perpindahan sedimen yang mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi juga dapat disebabkan oleh kegiatan anthropogenik (manusia sebagai penyebab) seperti penebangan hutan, penghijauan, dan konstruksi perairan seperti dam, jetty dan pemecah gelombang (Hogart 2001). Hal inilah yang terindikasi menjadi penyebab terjadinya akresi dan abrasi di Kecamatan Cilebar, yang diketahui melalui hasil interpretasi citra Landsat TM 7 dengan dibantu citra Ikonos seperti yang tarlihat pada Gambar 20. Gambar tersebut mengindikasikan terjadinya abrasi dan akresi akibat adanya bangunan pemecah gelombang (break water) yang menjorok ke laut. Hasil pengecekan lapangan membuktikan keberadaan pemecah gelombang tersebut berada di antara wilayah yang terkena abrasi dan akresi. Daerah disebelah barat pemecah gelombang mengalami abrasi sedangkan daerah sebelah timur mengalami akresi. Hasil pengolahan peta menunjukkan daerah yang mengalami abrasi daratannya terkikis ±200 meter ke arah darat antara tahun 1994 dan 2012, sebaliknya di daerah yang mengalami akresi terjadi penambahan daratan sepanjang ±200 meter ke arah laut. Pembangunan pemecah gelombang dan bangunan-bangunan laut lainnya di wilayah pesisir yang tidak memperhitungkan aspek oseanografi terbukti telah berpengaruh langsung pada kondisi fisik dari lahan pesisir. Jika kestabilan lahan yang diinginkan untuk konsep perencanaan penggunaan lahan tentu bangunan laut yang menyebabkan abrasi maupun akresi ini cukup merugikan. Secara keseluruhan luas abrasi dan akresi yang terjadi di wilayah penelitian hampir seimbang yaitu masing-masing ha dan ha. Lahan terluas yang mengalami abrasi adalah lahan tambak yaitu seluas ha. lahan baru akibat terjadinya akresi sebagian besar juga dimanfaatkan menjadi tambak.

9 38 Tabel 14. Luas abrasi dan akresi per penggunaan lahan Abrasi (ha) kebun campuran 2.6 Hutan mangrove 82.2 Permukiman 12.1 laut Tambak tubuh air 2.1 Akresi (ha) Hutan mangrove 55.0 Laut permukiman 1.6 tambak tubuh air 1.3 Lahan permukiman yang tergusur oleh terjadinya abrasi seluas 12.1 ha. Banyaknya permukiman yang didirikan tepat dipinggir pantai membuat resiko kerugian akibat abrasi semakin tinggi. Sementara itu terjadinya akresi memicu konflik perebutan lahan baru. Aturan pemerintah mengenai sempadan pantai masih belum terimplementasi di lapangan sehingga lahan yang berbatasan langsung dengan laut masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat dan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Dampak dari pemanfaatan zona pantai sebagai wilayah permukiman dan budidaya menjadikan kerugian dari terjadinya abrasi dan akresi masih sulit teratasi. Informasi selengkapnya mengenai luas abrasi dan akresi yang terjadi per-penggunaan lahan di wilayah penelitian dalam rentang waktu tahun 1994 dan 2012 disajikan pada Tabel 14. Inkonsistensi Penggunaan Lahan Pesisir Tahun 2012 dengan RTRW Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun 2012 dibandingkan dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang untuk mengetahui inkonsistensi yang terjadi pada peruntukan penggunaan lahan oleh RTRW dan kondisi penggunaan lahan sesungguhnya (aktual). Setelah dibandingkan, ternyata terlihat adanya inkonsistensi pada beberapa peruntukkan lahan dengan luasan yang diinformasikan oleh Tabel 15. Tabel 15 memperlihatkan, selain digunakan untuk sawah (80%), area pertanian lahan basah pada aktualnya juga digunakan sebagai hutan mangrove (0.05%), permukiman (11%), kebun campuran (1.1%) tubuh air (0.02%) dan tambak (7.92%). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsistensi masih tinggi namun penggunaan lahan untuk permukiman di kawasan pertanian sudah mulai meluas. Area yang diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung Hutan Mangrove yang berada di wilayah Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya, hanya 0.8 % yang masih sesuai dengan aktual, selebihnya digunakan untuk penggunaan lahan yang lain terutama tambak. Hal ini sangat memprihatinkan khususnya jika dilihat dari sisi lingkungan, karena Hutan mangrove merupakan ekosistem penunjang kehidupan yang sangat penting di wilayah pesisir beriklim tropis.

10 39 Tabel 15. Inkonsistensi RTRW dengan penggunaan lahan aktual LU 2012 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha Jumlah lt 56, ,672 sw , , , ,211 rv pkm - - 5, ,518 kc ta tb , , ,465 Jumlah 56, , , , , ,059 Inkonsistensi lahan yang diperuntukkan bagi perumahan pedesaan cukup tinggi % kawasan tesebut masih dipergunakan untuk sawah dan 2.85% untuk tambak. Hal ini menandakan wilayah pesisir kabupaten Karawang masih memberikan ruang bagi pertambahan penduduk. Lebih dari 50% kawasan tambak konsisten dengan aktual penggunaannya. Namun demikian penggunaan kawasan ini untuk sawah cukup tinggi yaitu sebesar 36.43% dari kawasannya. Sisanya pada aktual digunakan untuk permukiman, kebun campuran dan hutan mangrove. Secara keseluruhan inkonsistensi penggunaan lahan aktual tahun 2012 terhadap RTRW pesisir kabupaten Karawang terjadi sebesar 19.5%, hal ini berarti lebih dari 80% keseluruhan luas area wilayah pesisir Kabupaten Karawang, penggunaan lahannya masih sesuai dengan peruntukkannya dalam RTRW pesisir. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah masih konsisten terhadap RTRW. Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik. Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan (Eastman 2003). Berdasarkan data atribut yang dianalisis dari peta land system yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), lahan wilayah pesisir dapat dikelompokan menjadi beberapa satuan lahan, dengan masing masing satuan lahan memiliki kondisi fisik lahan yang sama dan sesuai terhadap satu atau beberapa penggunaan lahan. Secara geografis satuan lahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 21. Data-data atribut peta yang terdiri dari landform, taksonomi tanah, litologi, lereng dan iklim, membagi peta menjadi 3 (tiga) satuan lahan dengan kesesuaian fisik penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) Hutan mangrove; (2) Permukiman, Kebun Campuran dan Hutan mangrove; dan (3) Sawah, Kebun Campuran, Permukiman dan Hutan mangrove. Tambak tidak termasuk sebagai penggunaan lahan yang sesuai pada satuan lahan 1, karena walaupun kondisi fisik satuan lahan

11 40 tersebut sepertinya mendukung, namun ada satu pembatas yang membuat penggunaan lahan untuk tambak tidak sesuai dilakukan pada satuan lahan tersebut. Faktor pembatas itu adalah jenis tanah Sulfaquent yang merupakan tanah dengan bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 cm (Hardjowigeno 2003). Penggalian kolam tambak pada kondisi tanah tersebut dikhawatirkan akan membuat terpaparnya bahan sulfidik yaitu pirit (FeS 2 ) ke udara sehingga memicu terjadinya proses oksidasi dan membentuk asam sulfat dan jarosit yang merupakan zat beracun bagi tumbuhan. Gambar 21. Peta Kesesuaian Fisik Lahan (sumber : Peta land system) Peta kesesuaian fisik lahan di wilayah penelitian kemudian diekstraksi menjadi 12 komposisi penggunaan/penutupan lahan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Ke-12 komposisi ini selanjutnya digunakan sebagai 12 alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai, dimana tiap satuan lahannya hanya memiliki satu penggunaan lahan dan ditambah dengan satuan lahan untuk tubuh air (sungai dan rawa) dan laut. Alternatif Komposisi Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik Pada penelitian ini terdapat lima satuan lahan dalam tiap alternatif Penggunaan Lahan Sesuai yang dihasilkan dari ekstraksi peta kesesuaian fisik lahan berdasarkan peta land system dimana tiga diantaranya terdiri dari kombinasi penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian fisik lahan, sedangkan dua lainnya adalah satuan lahan yang ditambahkan berdasarkan penutupan lahan aktual yaitu tubuh air yang merupakan perairan darat (sungai dan rawa) dan laut. Komposisi penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian fisik dalam tiap alternatif disajikan dalam Tabel 16.

12 41 Tabel 16. Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai kesesuaian penggunaan lahan Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Sawah Sawah Sawah kebun Campuran kebun Campuran kebun Campuran dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual * Lanjutan Tabel 16. kesesuaian penggunaan lahan Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove dan Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut Kappa dengan land use aktual * Alternatif yang memiliki nilai kappa untuk kompabilitas dengan kondisi aktual tahun 2012 tertinggi. 41

13 42 Berdasarkan kompatibilitas dengan kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2012, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memiliki nilai kappa yang tertinggi yaitu Nilai kappa tersebut menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang akan digunakan sebagai input kesesuaian (suitability) dalam proses validasi model prediksi penggunaan lahan. Sebaran geografis jenis penggunaan/penutupan lahan pada alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 tersaji dalam Gambar 22. Gambar 22. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 Secara visual terlihat bahwa alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memang merupakan alternatif yang komposisi jenis penggunaan/penutupan lahannya paling kompatibel dengan kondisi aktual tahun Seperti pada kondisi aktual, sawah mendominasi bagian selatan wilayah penelitian dengan area permukiman berada di tengah bagian timur. Sehingga wajar jika nilai kappa yang dihasilkan paling tinggi.

14 43 Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Konversi Vektor ke Raster Interpretasi penggunaan lahan dan hasil Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik pada pembahasan sebelumnya, semuanya menghasilkan peta berbasis data vektor. Kedua hasil analisis tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai data spasial input pemodelan. Sementara itu, pemodelan dengan pendekatan CA- Markov dijalankan dengan input yang mengharuskan data berbasis raster, oleh karenanya konversi bentuk data vektor ke bentuk data raster mutlak diperlukan. Konversi vektor ke raster dilakukan pada ukuran raster 30 x 30 selain karena sumber data hasil interpretasi adalah citra Landsat TM 7, juga karena konversi data vektor ke ukuran raster 30 x 30 telah terbukti lebih efektif dan efisien (Munibah 2008). Tabel 17 menunjukkan bahwa perbedaan luasan data vektor dan data raster pada seluruh file yang dikonversi sama sekali tidak signifikan. Hal ini menunjukkan data raster yang dihasilkan dapat mewakili data vektornya sehingga tidak akan menyebabkan bias data yang fatal ketika digunakan pada proses simulasi model prediksi dengan pendekatan CA-Markov. Tabel 17. Perubahan luasan data vektor dan raster Penggunaan lahan aktual 1994 aktual 2012 vektor raster % vektor raster % Laut 56,673 56, ,672 56, Sawah 49,225 49, ,211 48, Hutan mangrove Permukiman 5,976 5, ,518 6, Kebun Campuran Tubuh Air (sungai,rawa) Tambak 17,653 17, ,465 18, Rata2 131, , , , Matriks Probabilitas dan Area Transisi (Markov Chain). Matriks probabilitas dan area transisi yang dihasilkan dengan menjalankan modul Markov dalam piranti Idrisi, merupakan salah satu input untuk pemodelan dengan pendekatan CA-Markov, selain dari penggunaan lahan tahun awal dan kesesuaian lahan. Pada modul ini, dilihat pola perubahan penggunaan lahan pada tahun 1994 (sebagai tahun awal) sampai tahun Proses ini menghasilkan matrik probabilitas dan area transisi seperti yang disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19. Matrik yang dihasilkan modul Markov ini merupakan faktor sejarah pola perubahan penggunaan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 tahun dengan rentang waktu 18 tahun. Pemodelan untuk memprediksi penggunaan lahan dengan pendekatan CA-Markov mengasumsikan perubahan penggunaan lahan yang akan terjadi dalam rentang tertentu di waktu yang akan datang diduga sedikit banyak dipengaruhi oleh pola perubahan penggunaan lahan yang telah terjadi dalam rentang waktu yang sama ke belakang.

15 44 Tabel 18. Matrik probabilitas penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun 2012 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt :sw : rv : pmk : kc : ta : tb Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 19. Matrik transition area penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 Tahun jumlah sel 2012 Jumlah sel 1994 Kelas 1 : lt 2 :sw 3 : rv 4 : pm 5 : kc 6 : ta 7 : tb 1 : lt :sw : rv : pmk : kc : ta : tb Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Angka-angka matrik pada tabel sebelumnya, menunjukan peluang dari suatu kelas penggunaan lahan akan berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai yang mendekati satu menunjukan semakin tingginya peluang suatu penggunaan lahan untuk berubah menjadi penggunaan lahan pasangan kolom atau barisnya. Matrik transition area merupakan salah satu input yang akan digunakan untuk menjalankan modul CA-Markov untuk memprediksi penggunaan lahan pada rentang 18 tahun ke depan. Hasil matrik probabilitas pada Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa laut, permukiman dan tubuh air merupakan kelas penggunaan lahan yang paling stabil dan sangat kecil peluangnya untuk berubah. Sawah juga secara keseluruhan persen peluang perubahannya sangat kecil. Namun jika dilihat dari jumlah piksel, sawah memiliki peluang cukup luas untuk berubah menjadi permukiman dan tambak. Kebun campuran cukup berpeluang untuk berubah menjadi sawah dan permukiman. Sementara itu kelas penggunaan lahan yang paling rentan perubahan adalah hutan mangrove.

16 45 Sejak menjamur dan meningkatnya usaha pertambakan di wilayah pesisi Kabupaten Karawang, pembukaan lahan Hutan mangrove untuk kepentingan pertambakan sering dilakukan, oleh karenanya luas lahan Hutan mangrove semakin sempit. Hal ini belum termasuk penebangan pohon-pohon Hutan mangrove untuk dijadikan material bangunan dan bahan bakar. Kondisi ini terlihat dalam perbandingan luas Hutan mangrove pada tahun 1994 dan 2012 dimana Hutan mangrove merupakan jenis penggunaan/penutupan lahan yang trend penurunannya terlihat paling signifikan. Pembobotan Input Kesesuaian Lahan Nilai kappa kompatibilitas alternatif-alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai terhadap aktual penggunaan lahan 2012 yang telah dilakukan pada pembahasan sebelumnya, telah menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai input kesesuaian dalam simulasi prediksi penggunaan lahan tahun 2012 untuk validasi model. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 ini kemudian difungsikan sebagai referensi dalam pengalokasian suatu lahan (Munibah 2008). Tiap satuan penggunaan lahan dipecah kedalam peta pembobotan kesesuaian lahan. Jumlah tipe penggunaan lahan yang dibuat peta pembobotannya disesuaikan dengan jumlah tipe penggunaan lahan aktual tahun Gambar 23. Pembobotan kesesuaian lahan dalam piranti lunak Idrisi Tiap peta pembobotan kesesuaian lahan memiliki satuan lahan yang di kelaskan kedalam 2 kelas yaitu sesuai (S) yang diberi bobot 2 dan tidak sesuai (N) yang diberi bobot (1). Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan tersebut kemudian digabungkan menjadi satu file dengan ekstensi raster group file (.rgf) dalam modul collection editor untuk dapat dijadikan input dalam modul CA-Markov

17 46 pada piranti Idrisi. Peta-peta pembobotan kesesuaian lahan dari alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 secara visual disajikan pada Gambar 23. Validasi Model Validasi dilakukan dengan menjalankan simulasi celullar automata- Markov (CA-Markov) menggunakan input yang telah dipersispkan pada pembahasan sebelumnya yaitu matriks transition area, kesesuaian lahan dan penggunaan lahan tahun 1994 sebagai tahun dasar. Filter yang digunakan untuk simulasi ini adalah filter 5 x 5 yang merupakan penterjemah dari konsep ketetanggaan. Hasil simulasi tersebut adalah peta prediksi Validasi dilakukan dalam beberapa jumlah iterasi sehingga menghasilkan beberapa peta prediksi. Tiap peta prediksi tahun 2012 yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan penggunaan lahan 2012 aktual untuk mendapatkan peta prediksi dengan nilai kappa tertinggi pada jumlah iterasi yang paling efisien. Pada penelitian ini jumlah iterasi dilakukan dari mulai 3 hingga 15. Nilai kappa bergerak naik pada iterasi 5 lalu stabil hingga iterasi 10. Nilai kappa menurun pada iterasi 12 dan selanjutnya tidak bergerak naik kembali. Secara visual, grafik nilai kappa validasi disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Grafik nilai kappa pada tiap iterasi Gambar 24 menunjukkan break of slope (perubahan yang nyata) dari nilai kappa yang dihasilkan (Munibah 2008), terjadi pada jumlah iterasi 5, 7 dan 10 dengan nilai kappa yang menunjukkan kompatibilitas antara penggunaan lahan 2012 hasil prediksi dan penggunaan lahan 2012 aktual sebesar Semakin banyak jumlah iterasi maka waktu yang dibutuhkan dalam menjalankan simulasi semakin lama. Oleh karena itu, pertimbangan waktu iterasi digunakan untuk memilih iterasi 5 sebagai iterasi yang paling efisien diantara jumlah iterasi lain dengan nilai kappa tertinggi untuk ditentukan sebagai jumlah iterasi yang akan digunakan dalam model prediksi.

18 47 Prediksi Perubahan Lahan Tahun 2030 Hasil validasi dengan nilai kappa menunjukkan modul Celullar Automata (CA)-Markov dalam piranti lunak Idrisi 32 dapat digunakan untuk membangun model prediksi penggunaan lahan masa depan. Modul Markov pada penelitian ini menggunakan penggunaan/penutupan lahan tahun 1994 dan 2012 sebagai input dengan rentang waktu 18 tahun, sehingga prediksi yang dapat dilakukan dengan tahun dasar 2012 adalah untuk penggunaan lahan tahun Tabel 20. Nilai kappa tiap skenario Skenario Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2030 Nilai Overall Kappa Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang berjumlah 12 alternatif, masing-masing kemudian dibuat file dengan ekstensi raster group file (.rgf) untuk dijadikan input kesesuaian (suitability) dalam model prediksi penggunaan lahan untuk tahun Input lainnya adalah penggunaan lahan tahun 2012 sebagai tahun dasar dan matriks transition area hasil modul Markov. Model prediksi dengan pendekatan CA-Markov tersebut kemudian dijalankan dengan filter 5x5 sehingga menghasilkan 12 skenario prediksi penggunaan lahan tahun Skenario-skenario tersebut kemudian dibandingkan dengan peta RTRW Pesisir Kabupaten Karawang untuk dicari skenario mana yang paling kompatibel dengan Peta RTRW. Hasilnya disajikan pada Tabel 20. Skenario 4 merupakan skenario prediksi penggunaan lahan tahun 2030 yang memiliki kompatibilitas tertinggi terhadap peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. hal ini ditunjukkan dengan nilai kappa tertinggi dibandingkan skenario yang lain yaitu sebesar Kompatibilitas penggunaan lahan hutan mangrove pada skenario prediksi 4 terhadap peta RTRW lebih tinggi dibandingkan skenario prediksi yang lain. Hal ini menjadi penyebab menonjolnya nilai kappa skenario prediksi 4. Nilai kappa yang tertinggi dari skenario prediksi 4 selanjutnya menjadikan skenario ini sebagai Peta Prediksi Penggunaan Lahan Potensial Tahun Secara spasial peta tersebut disajikan pada Gambar 25.

19 48 PL 2030 Gambar 25. Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun Tabel 21. Perbandingan luas penggunaan lahan 2012 dan hasil prediksi 2030 PL 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % kc lt , , rv pmk , , sw , , tb , , ta Jumlah , , , , , Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa) Tabel 21 memperlihatkan bahwa perubahan luas dari tahun 2012 ke tahun 2030 yang terprediksikan terjadi pada seluruh penggunaan lahan kecuali tubuh air (sungai dan rawa) yang relatif stabil. Jenis penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak, sedangkan yang lainnya luas penggunaan lahannya menurun. Abrasi dan akresi diprediksi masih signifikan terjadi pada tahun Tabel 21 juga memperlihatkan bahwa jenis penggunaan lahan yang mengalami perubahan yang terluas antara tahun 2012 dan 2030 diprediksikan

20 49 terjadi pada penggunaan lahan untuk sawah yang berubah menjadi tambak dan permukiman. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk di wilayah pesisir tentu akan meningkat seiring kegiatan ekonomi yang juga terus meningkat terutama di bidang perikanan tambak, sehingga kebutuhan ruang untuk tambak dan permukiman juga akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan diprediksi banyak terjadi di wilayah Cilamaya Kulon, Tempuran dan Cilamaya Wetan. Ketiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dibandingkan kecamatan yang lain. Perubahan sawah menjadi tambak tejadi hampir di seluruh wilayah perbatasan kedua penggunaan lahan tersebut. Secara spasial prediksi perubahan lahan disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Peta prediksi perubahan penggunaan lahan tahun Arahan Kebijakan yang Mendukung RTRW Pesisir Kabupaten Karawang. Inkonsistensi Hasil Prediksi dengan RTRW Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan arahan kebijakan apa saja yang dapat diusulkan untuk diberlakukan dalam rangka mendukung RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Terlebih dahulu harus dilihat konsistensi dari implementasi pola ruang RTRW pada prediksi penggunaan lahan tahun 2030 dengan membandingkan secara spasial peta RTRW pesisir dengan Peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun Perbandingan tersebut menghasilkan nilai kappa

21 50 dengan inkonsistensi sebesar 19.8%. Hal ini berdasarkan standar penilaian kappa menurut Jensen (1996) masih dapat diterima. Artinya peta prediksi penggunaan lahan potensial tahun 2030 tersebut secara alami dan tanpa adanya arahan kebijakan khusus masih konsisten dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang. Tabel 22, memberi informasi yang cukup mengenai inkonsistensi yang terjadi pada tiap jenis penggunaan lahan. Pada kondisi aktual laut, meskipun masih terjadi akresi dan abrasi, namun perairan laut masih memiliki konsistensi yang tinggi. Pertanian lahan basah (sawah) juga memiliki konsistensi yang cukup dengan 78.81% peruntukan lahan basah masih digunakan sebagai sawah pada tahun Walaupun demikian, pada tahun 2030 diprediksikan lahan yang diperuntukkan untuk pertanian lahan basah masih banyak yang dimanfaatkan untuk permukiman dengan area yang cukup luas yaitu 6, hektar. Perencanaan lahan ruang untuk kawasan lindung Hutan mangrove adalah yang paling memprihatinkandengan hanya 1.05% saja yang sesuai. Pada tahun 2030 diprediksikan 96.86% dari lahan yang diperuntukkan untuk hutan mangrove, aktualnya dimanfaatkan untuk pertambakan. Minat masyarakat pada usaha perikanan tambak yang cukup tinggi menjadikan masyarakat mengabaikan sisi ekologi lingkungan. Hutan mangrove yang sebenarnya sangat bernilai dan memiliki jasa lingkungan yang tinggi, tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat keberadaannya. Akresi dan abrasi juga diprediksi masih akan terjadi dengan melihat terjadinya inkonsistensi luasan lautan dengan penggunaan lahan yang lain pada tahun Abrasi terutama masih mengancam kawasan tambak dan hutan mangrove. Peruntukan lahan pada RTRW untuk sawah mengalami inkonsistensi yang cukup luas sehingga mencapai lebih dari 10 ribu hektar masih digunakan untuk permukiman dan tambak. Hal ini dimungkinkan karena pertambahan penduduk dan persaingan nilai ekonomi dari usaha pertanian sawah dan tambak selalu terjadi di wilayah pesisir. Peruntukan lahan RTRW untuk perumahan desa juga mengalami inkonsistensi. Sebanyak 2, lahan kawasan perumahan desa masih berupa sawah di tahun Pada tahun 2030 juga diprediksikan peruntukkan lahan RTRW untuk tambak sebanyak 33.53% dari keseluruhan lahan masih dipergunakan untuk penggunaan lahan sawah. Kondisi wilayah pesisir Karawang yang landai dan memiliki sistem pengairan yang cukup menjadikan fluktuasi perubahan penggunaan lahan antara dua jenis penggunaan lahan ini terjadi.

22 51 Tabel 22. Matriks konsistensi peta RTRW dan Peta prediksi potensial 2030 PL 2030 Perairan Laut Pertanian lahan basah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan danau tambak Jumlah ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha lt 56, , sw , , , , rv pmk , , kc ta tb , , , , Jumlah 56, , , , , ,

23 52 Inkonsistensi yang terjadi pada peta prediksi penggunaan lahan tahun 2030 terhadap RTRW selanjutnya dikelaskan kembali menjadi 3 kelas yaitu (1) Konsisten, (2) Bisa dikonsistenkan dan (3) Mutlak tidak konsisten. Kelas konsisten adalah untuk area dengan penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukkan RTRW. Kelas yang bisa dikonsistenkan adalah untuk area-area dengan penggunaan lahan yang masih bisa dirubah atau dialih fungsikan satu sama lain yaitu untuk penggunaan lahan sawah, tambak, mangrove dan kebun campuran. Sedangkan untuk kelas yang mutlak tidak konsisten adalah area-area yang terjadi abrasi dan akresi dan area yang peruntukkan RTRW-nya untuk penggunaan lahan lain namun digunakan untuk permukiman Gambar 27. Peta kelas inkonsistensi prediksi PL 2030 terhadap RTRW Berdasarkan pengkelasan tadi didapati area dengan kelas konsisten seluas 80.19%, area dengan kelas bisa dikonsistenkan seluas 12.98%, dan area dengan kelas yang mutlak tidak konsisten hanya seluas 6.83% dari luas keseluruhan. Berdasarkan pengkelasan tersebut, peta prediksi penggunaan lahan 2030 secara alami masih dapat mendukung peta RTRW dengan wilayah inkonsistensi mutlak hanya sebesar 6.83%. Secara visual pengkelasan inkonsistensi peta prediksi penggunaan lahan potensial 2030 terhadap RTRW disajikan dalam Gambar 27. RTRW pesisir Kabupaten Karawang diprediksikan masih konsisten pada tahun Namun demikian, inkonsistensi yang terjadi pada beberapa penggunaan lahan, perlu diusahakan untuk dikurangi. Oleh karena itu dilakukan analisis kebijakan untuk menghasilkan arahan-arahan kebijakan yang dapat diterapkan agar penggunaan lahan dimasa yang akan datang lebih konsisten terhadap RTRW pesisir.

24 53 Arahan Kebijakan Inkonsistensi peruntukan penggunaan lahan RTRW pesisir pada prediksi penggunaan lahan yang akan terjadi di tahun 2030, dijadikan pertimbangan untuk membuat arahan-arahan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi inkonsistensi tersebut. Beberapa kondisi yang menonjol terjadi pada prediksi perubahan penggunaan lahan antara tahun 2012 dan 2030 menjadi dasar arahanarahan kebijakan yang akan dibuat. Kondisi-kondisi tersebut adalah : (1) masih terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir; (2) persentase hilangnya luasan mangrove di wilayah pesisir yang tinggi; dan (3) alih fungsi sawah yang semakin luas terjadi di wilayah pesisir. Arahan-arahan kebijakan untuk mencegah terjadinya tiga kondisi tersebut harus memiliki dasar peraturan dan perundangan yang kuat dan telah berlaku. Arahan-arahan kebijakan yang diharapkan dapat diterapkan antara lain sebagai berikut : Arahan kebijakan pertama adalah arahan kebijakan mengimplementasikan area sempadan pantai. Arahan kebijakan ini diharapkan mampu untuk mengurangi terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pada penjelasan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa area sempadan pantai merupakan kawasan lindung. Sedangkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mendefinisikan sempadan pantai sebagai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 31 pada Undang-Undang 27 tahun 2007 tersebut juga mengamanahkan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan batas sempadan pantai sesuai dengan keperluan perlindungan dan karakteristik pantai. Perlindungan dalam hal ini adalah terhadap gempa bumi, tsunami, abrasi, dan bencana akibat aktifitas lautan. Sempadan pantai juga di implementasikan untuk melindungi ekosistem pesisir. Gambar 28. Penggunaan lahan tahun 2012 dengan sempadan.

25 54 Sempadan pantai yang diterapkan (Gambar 28) nantinya diharapkan dapat dihijaukan dengan ditanami mangrove. seluruh area pantai di pesisir Kabupaten Karawang dapat ditanami oleh mangrove berdasarkan karakteristik sedimen. Keberadaan mangrove pada area sempadan nantinya diharapkan dapat berpengaruh pada berkurangnya abrasi dan akresi yang terjadi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thampanya et al (2006) telah membuktikan keberadaan mangrove dapat mengurangi terjadinya abrasi. Arahan kebjakan kedua adalah melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Daerah yang direhabilitasi adalah satuan lahan pada peta kesesuaian fisik lahan yang hanya sesuai untuk mangrove. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pertama dengan mengembalikan langsung fungsi lahan menjadi hutan mangrove, dan kedua dengan menerapkan sistem silvofishery atau wanamina. Kebijakan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan yang kedua lebih mungkin diterapkan. Hal ini karena hampir seluruh lahan yang hanya sesuai untuk mangrove tersebut, pada kenyataannya difungsikan sebagai tambak. Oleh karenanya usaha rehabilitasi secara langsung dengan pendekatan pertama tentu akan mengalami penolakan dari masyarakat yang sudah tergantung pada usaha tambak untuk menunjang ekonominya. Kenyataan ini didukung oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dimana disebutkan bahwa pada wilayah kawasan lindung mangrove yang ketergantungan masyarakatnya sangat tinggi terhadap budidaya ikan dapat dikembangkan pola silvofishery. Silvofishery atau juga disebut wanamina merupakan kegiatan tambak yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove (Gambar 29). Tanaman mangrove dalam sistem wanamina bukan sekedar bagian dari penyelamatan lingkungan namun juga memiliki fungsi yang bermanfaatan bagi kegiatan tambak itu sendiri. Mangrove adalah habitat asli dari ikan/udang yang dibudidayakan dalam tambak air payau sehingga keberadaanya di dalam sistem tambak tentu saja disukai oleh obyek tambak sehingga pertumbuhannya lebih maksimal. Konversi mangrove berlebihan dapat mengurangi produktivitas tambak hingga 70% (Jamil 2007). Oleh karenanya sistem silvofishery ini selain dapat mengembalikan penghijauan juga dapat menjaga produktivitas para petani tambak. Gambar 29. Ilustrasi sistem silvofishery (Bengen 2004)

26 55 Area yang menjadi sasaran arahan kebijakan sistem silvofishery ini merupakan satuan lahan pada peta land system yang hanya sesuai bagi hutan mangrove namun kondisi aktualnya tambak (Gambar 30). Arahan kebijakan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan sistem silvofishery ini menjadi jalan tengah yang positif untuk dilakukan, karena tidak perlu mengganggu aktivitas usaha tambak masyarakat. Gambar 30. Rehabilitasi hutan mangrove di area sesuai hutan mangrove Arahan kebijakan ketiga adalah perlindungan terhadap konversi penggunaan lahan sawah untuk menghindari berkurangnya luas penggunaan sawah. Perlindungan lahan sawah dari konversi ini dasar peraturannya adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ditambah dengan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan. Peraturan-peraturan itu hadir disebabkan oleh makin disadarinya kepentingan menjamin penyediaan pangan bagi masyarakat. Padi yang merupakan hasil dari sawah adalah makanan pokok bangsa kita dan Karawang merupakan salah satu Kabupaten produsen padi yang penting di negara kita. Alih fungsi lahan sawah berarti berkurangnya produksi padi yang berimbas langsung pada persediaan pangan untuk rakyat. Secara kualitatif inkonsistensi total yang terjadi pada tahun penggunaan lahan pada tahun 2012 lebih sedikit dibandingkan penggunaan lahan prediksi tahun Salah satu faktor penyebabnya adalah menurunnya luasan sawah. Oleh karena itu tidak melakukan konversi sawah juga merupakan arahan kebijakan yang layak dimunculkan untuk mendukung RTRW. Arahan kebijakan keempat adalah penerapan ketiga arahan kebijakan sekaligus secara spasial. Melakukan tiga arahan kebijakan diatas diharapkan

27 56 kebijakan terbaik untuk dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang untuk mengatasi seluruh kondisi-kondisi yang dipermasalahkan diatas berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan antara tahun 2012 dan Prediksi Dampak Kebijakan terhadap Inkonsistensi RTRW Pesisir Tahun 2030 Berdasarkan Hasil Simulasi Pemodelan CA-Markov. Arahan-arahan kebijakan yang telah dibuat kemudian disimulasikan dengan pemodelan CA-Markov dengan input penggunaan lahan tahun dasar peta penggunaan lahan tahun 2012 yang telah di modifikasi berdasarkan kebijakan yang dibuat. Peta prediksi yang dihasilkan pada tiap arahan kebijakan kemudian dibandingkan dengan peta RTRW untuk mengetahui kelas konsistensi dan nilai kappa indeksnya. Hasilnya adalah sebagai berikut : 1) Arahan kebijakan mengimplementasikan area sempadan pantai. Simulasi implementasi sempadan pantai dilakukan untuk melihat efektifitas sempadan sebagai arahan kebijakan yang dapat mengurangi abrasi. Simulasi dilakukan dengan membuat prediksi penggunaan lahan tahun 2030 dengan dasar tahun 2012 yang telah diberi area sempadan 100 meter dari garis pantai dengan penggunaan lahan mangrove (Gambar 28). Hasilnya menunjukkan implementasi sempadan tersebut mengurangi luasan abrasi dan akresi yang terjadi antara tahun 2012 dan 2030 (Tabel 23) dengan peta prediksi yang dihasilkan terlihat pada Gambar 31. Gambar 31. Peta prediksi penggunaan lahan 2030 untuk arahan kebijakan implementasi sempadan pantai

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 12 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diteliti adalah wilayah pesisir Kabupaten Karawang (Gambar 3), yang secara administratif berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PESISIR UNTUK MENDUKUNG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG Rd. ADE KOMARUDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peta Daerah Berpotensi Banjir Rob Karena Pasang Surut Analisis daerah yang berpotensi terendam banjir rob karena pasang surut dilakukan dengan pemetaan daerah berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN I. PROFIL ORGANISASI 1. Pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang terletak Jalan Ir. Suratin, No. 1 Karawang, dengan luas gedung 645 m 2 berdiri di atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang 25 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1. Kabupaten Karawang 4.1.1. Administratif dan Geografis Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada posisi 5 o 56-6

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga memiliki kawasan pesisir yang luas dari tiap wilayah pulaunya. Kawasan pesisir ini digunakan oleh penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan degradasi

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang sangat intensif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi 54 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.093km, sehingga memiliki potensi sumberdaya pesisir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan

Lebih terperinci