dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus yang ter

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus yang ter"

Transkripsi

1 HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA SISWA SMA KORBAN BULLYING AJENG FISTE FIFTINA Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris mengenai hubungan kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 105siswa-siswi SMA X yang duduk dikelas XI dan mengalami bullying. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah kuesioner dari kepercayaan diri dan perilaku asertif yang berbentuk skala likert. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis korelasi bivariate. Uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada uji korelasi Bivariate sebesar 0,506 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (ρ 0,05). Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hipotesis diterima yang artinya terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Kata Kunci : Kepercayaan Diri, Perilaku Asertif, Korban Bullying PENDAHULUAN Pada tahapan perkembangan psikososial tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman, dan peran yang mereka miliki, serta memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanakkanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Santrock, 1995). Pada dasarnya untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada suatu perilaku yang sering digunakan oleh remaja dalam hal ini adalah siswa untuk menindas temannya yang lebih lemah. Perilaku ini dikenal dengan istilah bullying. Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri (Sejiwa, 2008). Remaja yang tertindas umumnya tidak mempunyai keberanian untuk melawan temannya yang lebih kuat sehingga mereka lebih banyak diam ketika

2 dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus yang terjadi saat ini. Media mulai banyak memberitakan tentang bullying pada remaja. Kasus bullying yang terbaru adalah kasus yang terjadi di SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Kasus tersebut melibatkan tiga orang siswi sebagai pelaku dan satu orang siswi sebagai korban. Kejadiannya bermula saat salah seorang dari pelaku yang juga senior dari korban memanggil korban dan menegur korban karena tidak memakai kaos dalam dan baju yang dikenakannya transparan. Teguran yang disampaikan oleh sang senior ternyata membuat korban merasa teraniaya dan tidak berani melawan hingga korban menangis (Solopos, 2011). Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di setiap negara, Smith dan Ken Rigby (dalam Detiknews, 2010) memberikan gambaran data kasus di sekolah di beberapa negara, yaitu di Inggris (27%- SMP dan 10%-SMA), Australia (25-30% bahkan tiap hari) dan secara internasional (23%-SMP dan 10% SMA). Hasil studi oleh ahli intervensi bullying, Dr. Amy Huneck (dalam Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008) mengungkapkan bahwa 10-60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun dorongan, sedikitnya sekali dalam seminggu. Menurut Rigby (dalam Riauskina, 2006) penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, tak jarang anak yang menjadi korban bullying melakukan bunuh diri karena tidak punya cukup keberanian untuk mengkomunikasikan apa yang dialaminya. Menurut Sciara, 2004; Olweus, 2005; dan Coloroso, 2006 (dalam Saripah, 2010) dalam sebuah peristiwa bullying, pelaku dan korban sama-sama merupakan elemen kunci yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Pelaku bullying pada umumnya memiliki ciri khas yaitu agresivitas yang tinggi dan kurang memiliki empati. Sementara itu, pada korban, yang perlu ditingkatkan adalah assertiveness dan kepercayaan dirinya. Dengan demikian, bentuk-bentuk bantuan yang perlu diberikan kepada korban hendaknya fokus kepada upaya meningkatkan asertivitasnya dan kepercayaan dirinya. Chapman (dalam Saripah, 2010) mencatat bahwa The dominant bullying

3 behaviour is effectively reinforced by the response given by secure and nonassertive people to bullying. Selanjutnya, hasil studi pendahuluan oleh Edmonton (dalam Saripah, 2010) juga memperlihatkan korban bullying cenderung memiliki ketidakpercayaan diri yang tinggi. Pada diri korban, aspek percaya diri ini yang tidak mampu mereka tampilkan sehingga mereka menjadi target dari pelaku. Musen (1979) mengatakan bahwa kepercayaan diri seseorang akan sangat dipengaruhi oleh masa perkembangan yang sedang dilaluinya. Terutama bagi remaja, kepercayaan diri ini akan mudah berubah. Hal ini tergantung dari pengalamanpengalaman dalam hubungan interpersonalnya. Namun demikian pengalaman tidak selalu memeberikan umpan balik positif. Akibatnya, bila umpan balik yang diterima remaja positif maka kepercayaan diri yang dimilikinya akan membaik, sebaliknya jika umpan balik yang diterimanya sering kali negatif hal ini akan memengaruhi kepercayaan dirinya. Kepercayaan diri seseorang akan tergantung pada beberapa hal namun yang sudah jelas kepercayaan diri seseorang tergantung pada interaksi sosial seseorang. Melalui interaksi ini individu akan mendapatkan umpan balik dalam aktivitas yang dilakukannya. Kepercayaan diri adalah salah satu aspek yang terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Kepercayaan diri berkaitan dengan evaluasi tingkah laku pribadi dengan prestasi dan kemampuan diri serta melibatkan aspek perasaan disamping aspek kognitif (Walgito, 1993). Kepercayaan diri memiliki fungsi sebagai pendorong remaja meraih kesuksesan. Untuk itu remaja yang menjadi korban bullying perlu diberikan perhatian khusus dan memfokuskan pada kelebihan yang dimiliki, serta cara mengurangi kelemahannya. Dengan begitu, seorang remaja akan memiliki pandangan yang baik terhadap dirinya dan akhirnya akan memiliki kepercayaan diri yang baik. Apabila kepercayaan diri yang dimiliki telah cukup maka seseorang akan dengan mudah untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya. Perilaku ini sering disebut dengan perilaku asertif (Saripah, 2010). Hasil studi pendahuluan oleh Chapman (dalam Saripah, 2010) menunjukkan korban bullying memiliki asertivitas yang rendah. Asertivitas adalah kemampuan untuk menyatakan dan mengekspresikan diri secara tepat, tegas namun tetap tidak menyinggung perasaan orang lain. Ketidakmampuan korban untuk

4 berlaku asertif ini secara tidak langsung merupakan reward yang makin memperkuat pelaku untuk menjalankan aksi bullying-nya. Dalam hal ini salah satu respon korban bullying adalah respon tindakan. Dalam menghadapi bullying, korban dapat bertindak secara agresif, asertif dan submisif. Sesuai dengan penelitian dari Yayasan Semai Jiwa Amini (2010), di Ambon, Masohi dan Piru mayoritas korban bullying membalas perlakuan teman dengan perilaku agresif, Meski demikian di Ambon dan Masohi ditemukan pula bahwa ada sebagian korban mampu bertindak asertif dengan cara menyatakan ketidaksukaan dan tidak memberi contekan (di Ambon) serta berani melaporkan pelaku ke guru (di Masohi). Sementara di Piru ditemukan bahwa siswa kurang mampu berlaku asertif menangani pelaku. Dengan berbagai tindakan siswa tersebut yang lebih perlu diterapkan adalah tindakan asertif siswa, sebab jika siswa membalas dengan agresif maka lebih cenderung akan menimbulkan perkelahian, begitu juga siswa yang menampilkan tindakan submisif maka tidak menutup kemungkinan siswa tersebut akan menjadi bulan-bulanan pelaku bullying. Untuk itu perlu ditanamkan perilaku asertif pada setiap anak sehingga mereka dapat mengekspresikan dirinya tanpa menyinggung orang lain. Termasuk dalam menolak secara halus untuk dijadikan bulanbulanan oleh pelaku bullying. Praktik bullying akan terhenti apabila korban mampu untuk melawan dan mengkomunikasikan apa yang telah dialaminya kepada pihak yang lebih berwenang. Berdasarkan uraian diatas, dapat diajukan perumusan masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying? TINJAUAN PUSTAKA Kepercayaan Diri Wijaya (2000) mendefinisikan kepercayaan diri adalah kekuatan keyakinan mental seseorang atas kemampuan dan kondisi dirinya dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi dan perkembangan kepribadian seseorang secara keseluruhan. Karakteristik Individu yang Memiliki Kepercayaan Diri Menurut Fatimah (2006) ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri yang proporsional, diantaranya adalah: a. Percaya akan kemampuan diri sendiri. Individu tidak membutuhkan pujian,

5 pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat dari orang lain. b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh kelompok atau orang lain. c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain atau berani menjadi diri sendiri. Setiap penolakan yang dilakukan orang lain tidak selalu berarti ia tidak suka dengan kita melainkan kadang apa yang kita berikan tidak sesuai dengan harapan. d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosi stabil). Untuk mengendalikan emosi diperlukan suatu kontrol yang kuat dalam diri seseorang. Pribadi yang percaya diri mampu mengendalikan diri mereka dengan selalu berpikiran objektif dan realistis. Objektif dalam melihat sesuatu secara terarah dan realistis, yang artinya melihat sesuai dengan kenyatan yang ada. e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung pada bantuan orang lain). f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap orang lain, diri sendiri, dan situasi diluar dirinya. Positif thinking pada diri tercapai apabila seseorang itu telah mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri mereka sendiri. g. Memiliki harapan-harapan yang realistik sehingga ketika harapan itu tidak terwujud individu mampu untuk melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi. Perilaku Asertif Bower dan Bower (1992), mendefinisikan assertivitas dalam berbagai bentuk, yaitu kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, memilih bagaimana bertindak, mempertahankan hakhak yang dimiliki, mempertinggi harga diri, dan dapat berkata tidak pada saat yang tepat. Aspek-aspek Asertif Rathus dan Nevid (1983) mengemukakan sepuluh aspek dari assertivitas. Adapun kesepuluh aspek tersebut adalah : a. Bicara Asertif Perilaku ini dibagi menjadi dua macam, yaitu rectifying statement (mengemukakan hak-hak dan berusaha mencapai tujuan tertentu dalam suatu situasi) dan commondatory statement

6 (memberikan pujian untuk menghargai orang lain dan memberikan umpan balik positif). b. Kemampuan Mengungkapkan Perasaan Mengemukakan perasan kepada orang lain dan mengungkapkan perasaan ini dengan suatu tingkat spontanitas yang tidak berlebihan. c. Menyapa atau Memberi Salam Kepada Orang Lain Menyapa dan memberi salam kepada orang lain yang ingin ditemuinya, termasuk yang baru dikenalnya dan membuat suatu pembicaraan. d. Ketidaksepakatan Menampilkan cara yang efektif dan jujur menyatakan rasa tidak setuju. e. Menanyakan Alasan Menanyakan alasannya bila diminta untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak langsung menyanggupi atau menolak begitu saja. f. Berbicara Mengenai Diri Sendiri Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara yang menarik dan merasa yakin bahwa orang akan lebih berespon terhadap perilakunya dari pada menunjukkan perilaku menjauh dan menutup diri. g. Menghargai Pujian dari Orang Lain Menghargai pujian orang lain dengan cara yang sesuai. h. Menolak Untuk Menerima Begitu Saja dengan Cara yang Sesuai Mengakhiri percakapan yang bertele-tele dengan orang yang memaksa pendapatnya. i. Menatap Lawan Bicara Ketika berbicara atau diajak berbicara maka menatap lawan berbicaranya. j. Respon melawan takut Menampilkan perilaku melawan yang biasanya memancing rasa cemas dan biasanya respon sosial. Korban Bullying Menurut Coloroso (2007) korban bullying adalah pihak yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental ketika mendapatkan perlakuan agresif dan manipulatif secara berulang-ulang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Sejiwa (2010) biasanya korban bullying adalah pihak yang tidak berdaya mencegahnya dan selalu ketakutan apabila perilaku yang tidak menyenangkan yang sengaja dilakukan untuk menekan dan mengintimidasi tersebut terjadi lagi. METODE PENELITIAN

7 Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diuji, yaitu: 1. Veriabel Bebas : Kepercayaan Diri 2. Variabel Terikat : Perilaku asertif Definisi Operasional Variabel 1. Kepercayaan Diri Kepercayaan diri adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan dan merasa puas terhadap dirinya. Dalam penelitian ini kepercayaan diri diukur dengan menggunakan skala kepercayaan diri yang didasarkan pada karakteristik individu yang memiliki kepercayaan diri yang dikemukakan Fatimah (2006) yaitu percaya akan kemampuan diri sendiri, tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompoknya, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, punya kendali diri yang baik, memiliki internal locus of control, mempunyai cara pandang positif terhadap orang lain, diri sendiri, dan situasi di luar dirinya, dan memiliki harapan-harapan yang realistik. 2. Perilaku Asertif Perilaku asertif adalah perilaku terbuka untuk menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran kepada orang lain secara jujur dan terbuka dengan tetap menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri. Dalam penelitian ini perilaku asertif diukur dengan menggunakan skala perilaku asertif yang didasarkan pada aspekaspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh Rathus dan Nevid (1983) yang terdiri dari bicara asertif, kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa atau memberi salam kepada orang lain, ketidaksepakatan, menanyakan alasan, berbicara mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang lain, menolak untuk menerima begitu saja dengan cara yang sesuai, menatap lawan bicara, respon melawan takut. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang merupakan pelajar SMA X, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia tahun, dan juga pernah mengalami bullying di sekolah. Sampel dalam penenlitian ini adalah seluruh siswasiswi yang duduk di kelas XI. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yang

8 dipilih peneliti memiliki karakteristik yang mendasar dari populasi siswa-siswi SMA tersebut. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dengan skala kepercayaan diri dan perilaku asertif. Jenis skala yang digunakan adalah skala Likert, dengan pilihan jawaban : Selalu, Sering, Jarang, Tidak pernah. Pernyataan pada skala terdiri dari pernyataan favorable dan unfavorable. Penentuan Sampel Penelitian Pada penelitian ini subjek yang digunakan adalah yang memenuhi kriteria korban bullying. Adapun kriteria tersebut adalah siswa atau siswi yang pernah mendapatkan perilaku agresif dari seniornya, terjadi setidaknya satu kali dalam seminggu, dan perilaku agresif tersebut terjadi berulang atau subjek menerima perilaku agresif tersebut lebih dari satu jenis. Perilaku agresif tersebut antara lain dipukul, dicubit, ditendang, diolok-olok, diejek, dicaci maki, dikucilkan, diintimidasi. Teknik Analisis Data Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis uji korelasi bivariate yaitu menganalisis adakah hubungan kepecayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows. HASIL PEMBAHASAN Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji apakah ada atau tidaknya hubungan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, diperoleh bahwa hipotesis yang telah dirumuskan diterima, yang artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri, maka semakin tinggi pula perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Hal ini dapat dilihat pada tabel korelasi di atas bahwa hasil analisis data antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif menunjukan koefisien korelasi sebesar 0,506 dengan taraf signifikansi sebesar (ρ<0.01). Hal ini menunjukan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri

9 dengan perilaku asertif, artinya semakin tinggi kepercayaan diri, maka semakin tinggi pula perilaku asertif. Individu-individu dalam hal ini siswa-siswi SMA yang berani menyatakan keinginannya tanpa menyinggung orang lain adalah yang memiliki kepercayaan diri. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Alberti dan Emmons (dalam Gunarsa, 1981) mengatakan bahwa orang yang memiliki tingkah laku asertif adalah mereka yang menilai bahwa orang boleh berpendapat dengan orientasi dari dalam, dengan tetap memperhatikan sungguh-sungguh hak-hak orang lain. Mereka umumnya memiliki kepercayaan diri yang kuat. Bila merujuk pada teori yang ada, Sciara (dalam Saripah, 2010) bahwa korban bullying adalah individu yang memiliki kepercayaan diri dan perilaku asertif yang rendah. Namun dalam penelitian ini, berdasarkan deskripsi yang ada dijelaskan bahwa kepercayaan diri dan perilaku asertif dalam penelitian ini tinggi, hal ini dikarenakan bahwa siswa SMA yang menjadi korban bullying memiliki beberapa kategori mulai dari perlakuan yang pernah diterima hingga tingkat keparahan bullying yang pernah mereka alami. Dalam penelitian ini subjek yang didapat lebih banyak yang tergolong dalam kategori yang tidak parah dalam menerima perlakuan bullying. Seperti yang tertera pada deskripsi subjek penelitian berdasarkan frekuensi bullying yaitu 88 (84%) subjek mengalami bullying hanya 1 kali dalam seminggu, 10 (10%) subjek mengalami bullying 3 kali dalam seminggu, dan hanya ada 7 (6%) subjek yang mengalami bullying setiap hari. Oleh karena itu kepercayaan diri dan perilaku asertif pada mereka masih tergolong dalam ketegori yang tinggi atau tidak terpengaruhi. Berbeda dengan korban bullying yang termasuk dalam kategori parah. Hal tersebut umumnya akan memengaruhi kepercayaan diri dan perilaku asertif yang dimiliki oleh seorang korban bullying, dikemukakan oleh Sciara (dalam Saripah 2010). Tingginya kepercayaan diri dan perilaku asertif pada korban bullying dalam penelitian ini mungkin karena dipengaruhi oleh keberadaan siswa pada sekolah tersebut. Subjek yang digunakan oleh peneliti adalah siswa-siswa yang baru saja memasuki kelas XI sehingga kemungkinan siswa-siswa tersebut untuk menjadi korban bullying yang tergolong parah masih cukup kecil. Hal ini dikarenakan siswa-siswa tersebut baru satu tahun menjadi junior di sekolah tersebut. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah skala kepercayaan diri dan perilaku asertif yang dibuat peneliti lebih mengarah pada

10 pernyataan situasi dalam pergaulan dengan teman sebaya sehingga tingkat keperacyaan diri dan perilaku asertif yang terlihat berada pada tingkat yang sangat tinggi. Berdasarkan perhitungan nilai mean asertif berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa laki-laki mempunyai nilai mean asertif yang lebih tinggi dibandingkan nilai mean asertif pada perempuan. Hal ini mungkin dikarenakan pada perempuan lebih merasa takut untuk dapat mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya bagaimana perasaannya serta apa yang menjadi keinginnanya bila dibandingkan dengan laki-laki yang lebih cenderung untuk dapat mengungkapakan secara terbuka. Hal ini didukung oleh teori Rathus dan Nevid (1983), perempuan pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan pikiran dan perasaan dibandingkan dengan laki-laki. Adapun perhitungan nilai mean asertif berdasarkan usia diketahui bahwa subjek dengan usia tahun sebanyak 30 (28%) subjek dan yang berusia tahun sebanyak 75 (72%). Pada usia tahun memiliki nilai mean asertif yang lebih tinggi dibandingkan dengan mean asertif pada usia tahun. Perbedaan skor yang ada tidak terlalu jauh begitu juga dengan perbedaan umur yang ada sebenarnya keduanya termasuk dalam kategori remaja awal. Masa remaja dibagi dua bagian yaitu periode remaja awal berkisar antara umur tahun, dan periode remaja akhir yaitu umur tahun (dalam Prabowo, 1996). Berkembangnya perilaku asertif dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya. Selain jenis kelamin,tingkat pendidikan, salah satu faktor dalam perilaku asertif adalah usia. Kebanyakan remaja berperilaku asertif dalam pencarian identitas dirinya (Rathus, l986). Menurut Rathus (1986) Berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku asertif adalah apa yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya. Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya. Dalam penelitian ini, terlihat bahwa 91 (87%) subjek tinggal dengan orang tua memiliki mean asertif 98,00 dan 14 subjek tinggal dengan keluarga lain sebanyak 14 (13%) memiliki mean asertif 96,57. subjek yang tinggal bersama dengan orang tuanya memiliki perilaku asertif yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang tinggal bersama keluarga lain. Hal ini berarti orang tua memiliki peranan yang sangat penting,

11 perilaku asertif dapat terbentuk salah satunya karena campur tangan orang tua. Selanjutnya menurut Sulvina (2007) korban bullying biasanya tidak percaya diri dan ragu-ragu pada dirinya sendiri. Menurut Riauskina (2005) akibat bullying berpengaruh pada seberapa sering dan seberapa lama seseorang mengalami bullying. Semakin sering dan dengan durasi yang lama maka akibat bullying dapat memberi dampak yang semakin buruk pada korban. Subjek dalam penelitian ini lebih banyak yang tergolong dalam kategori bullying yang ringan. Hal ini terlihat pada deskripsi karakteristik subjek, sebanyak 88 (84%) subjek dengan mean asertif 98,10 mengalami bullying hanya 1 kali dalam seminggu, sebanyak 10 (9%) subjek dengan mean asertif 95,00 mengalami bullying 3 kali dalam seminggu, dan sebanyak 7 (7%) subjek dengan mean asertif 98,14 mengalami bullying setiap hari. Oleh karena itu bullying yang mereka terima tidak memengaruhi kepercayaan diri dan perilaku asertif subjek. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima, yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Artinya semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin tinggi pula perilaku asertif siswa SMA korban bullying. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri maka semakin rendah pula perilaku asertif siswa SMA korban bullying. Pada perilaku asertif dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel memiliki perilaku asertif yang tinggi. Hal ini dapat dimungkinkan karena memang siswa-siswa tersebut memiliki kemampuan mengungkapkan perasaan dan keinginan yang cukup tinggi dengan teman-teman sebaya. Siswa-siswa tersebut lebih leluasa karena merasa dalam tingkat pergaulan yang sama dengan teman-teman sebaya di sekolah tersebut. Berdasarkan data deskripsi dari jenis kelamin diketahui bahwa subjek penelitian laki-laki mempunyai perilaku asertif yang lebih tinggi dibandingkan perilaku asertif pada perempuan. Berdasarkan deskripsi dari usia diketahui bahwa subjek penelitian yang memiliki rentang usia antara tahun cenderung memiliki perilaku asertif yang lebih tinggi dibandingkan subjek penelitian pada rentang usia tahun.

12 Berdasarkan deskripsi dari tinggal bersama diketahui bahwa subjek penelitian yang tinggal bersama dengan orang tua lebih memiliki perilaku asertif yang tinnggi. Berdasarkan frekuensi terkena bullying, subjek lebih banyak tergolong pada frekuensi terkena bullying yang ringan yaitu 1 kali dalam seminggu. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dengan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying,maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Subjek Penelitian Dari riset ini didapat bahwa adanya keterkaitan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Oleh karena itu, bagi guru-guru maupun orang tua yang sangat berperan dalam perkembangan anakanaknya, maka diharapkan dari pihak sekolah maupun pihak keluarga agar dapat menanamkan kepercayaan diri sejak dini pada seorang anak agar dalam pergaulannya dilingkungan social dapat sesuai dengan apa yang diharapkan dana dapat berperilaku asertif terhadapa siapapun yang berhubungan dalam pergaulan sosial anak tersebut. Dan untuk para siswa lebih bias mengembangkan kepercayaan dir bagi yang belum yakin akan kemampuan dirinya. Agar dapat mengungkapakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa menyinggung orang lain dan agar tidak menjadi salah satu korban dari perilaku bullying. 2. Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut Bagi peneliti berikutnya yang ingin meneliti tentang kepercayaan diri, dan perilaku asertif pada korban bullying dapat meneliti lebih lanjut hal-hal yang mungkin memiliki pengaruh terhadap kedua variabel tersebut dengan subjek penelitian yang berbeda, seperti hubungan agresifitas dengan empati pelaku bullying pada self esteem pelaku bullying pada mahasiswa IPDN. Dengan cara ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya Psikologi Pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Bower, S. A., & Bower, G. H. (1992). Asserting your self: A practical guide for positive change. (update ed). California: Addison Wesley. Coloroso, B. (2007). Stop bullying : memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU. Jakarta: PT Serambi Ilmu.

13 Detiknews. (2010). Kasus bullying juga menimpa Okke siswa SMA 46 Jakarta 0/04/03/065911/ /10/ kasusbullying-juga-menimpa-okke-siswasma-46-jakarta. (diakses pada 2 Mei 2011). Fatimah, E. (2006). Psikologi perkembangan : Perkembangan peserta didik. Bandung: Balai Setia. Gunarsa, S.D. (1992). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia. Musen, H. P. (1979). Handbook of reaserch methods in child development. New Delhi. Wiley Easton Private, Ltd. Prabowo, H., & Fakhrurrozi, M. (2004). Skala psikologi. Jakarta: Gunadarma Rathus, S.A. (l986). Essentials of Psychology. New York : Holt Rinehart and Winston. Rathus, S. A & Nevid, J. S. (1983). Adjusment and growth : the challenges of life. (2 nd ed). New York: CBS Collage Publishing. Saripah, I. (2010). Model konseling kognitif untuk menanggulangi bullying siswa. Jurnal Psikologi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sejiwa. (2010). Kekerasan terhadap anak. Laporan penelitian. Jakarta: Yayasan Semai Jiwa Amini. Sejiwa. (2010). Catatan Positif dari Timang Gajah. Jakarta : Semai Solopos. (2011). Korban bullying SMA 70 cabut laporan. /korban-bullying-sma-70-bulungancabut-laporan (diakses pada 2 Mei 2011). Sulvina, K. (2004). Bullying in secondary school. London: A Sage Publication Company. Wijaya, A. H. (2000). Antara percaya diri dan percaya dewa. o.id. (diakses pada 1 Juni 2011). Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). (2008). Mengatasi kekerasan dari sekolah dan lingkungan anak. Jakarta: Grasindo. Riauskina, I. I., Djuwita, R., & Soesetio, S.R. (2005). Gencet-gencetan dimata siswa-siswi kelas 1 SMA: naskah kognitif skenariao & dampak gencet-gencetan. Jurnal Psikologi Sosial. Santrock, J. W. (1995). Life-span development: Perkembangan masa hidup. Edisi kelima jilid 1. Jakarta: Erlangga.

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemahaman tentang pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang erat dalam proses sejarah kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Ia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat pada saat sekarang ini, telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang menghadang di hadapannya.dari masalah yang ringan seperti mencontek

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1.1. Asertivitas Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan, dan pikiran kepada orang lain tanpa rasa cemas, dengan tetap menjaga dan menghargai hakhak

Lebih terperinci

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI Masa awal remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif karena penelitian ini banyak menggunakan angka-angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

ARTIKEL EFEKTIVITAS PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK DALAM MENGATASI PERILAKU BULLYING TEMAN KELAS

ARTIKEL EFEKTIVITAS PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK DALAM MENGATASI PERILAKU BULLYING TEMAN KELAS ARTIKEL EFEKTIVITAS PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK DALAM MENGATASI PERILAKU BULLYING TEMAN KELAS PESERTA DIDIK KELAS VIII UPTD SMP NEGERI 2 PAPAR TAHUN AJARAN 2015 / 2016 SKRIPSI Diajukan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting dalam pembentukan karekter seseorang. Remaja umumnya masih labil dalam tindakan dan perilakunya. Sehubungan dengan hal tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga mengajarkan kepada peserta didiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan pendapatnya, berani tampil di muka umum, memiliki kepedulian sosial, dan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia terlahir memiliki kesamaan dan perbedaan antara satu dengan lainnya, dan hal tersebut yang menjadikan manusia sebagai makluk yang unik. Manusia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINDAKAN BULLYING DI SEKOLAH DENGAN SELF ESTEEM SISWA

HUBUNGAN TINDAKAN BULLYING DI SEKOLAH DENGAN SELF ESTEEM SISWA HUBUNGAN TINDAKAN BULLYING DI SEKOLAH DENGAN SELF ESTEEM SISWA 1 Mega Ayu Septrina 2 Cheryl Jocelyn Liow 3 Febrina Nur Sulistiyawati 4 Inge Andriani 1 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta Aning Az Zahra Prodi Psikologi/Fakultas Psikologi dan Humaniora, Univarsitas Muhammadiyah Magelang Email: aningazzahra@rocketmail.com

Lebih terperinci

PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA

PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA NUR IKHSANIFA Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda INTISARI Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menghadapi lingkungan yang memiliki perbedaan pola pikir, kepribadian serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini fenomena kekerasan sudah menjadi suatu tradisi yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Tak seharipun media massa melewatkan pemberitaan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hal ini pendidikan bukan lagi diterjemahkan sebagai bentuk pelajaran formal semata yang ditujukan untuk mengasah kemampuan berpikir saja. Pendidikan juga

Lebih terperinci

Bab 4. Hasil Penelitian Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin. belajar dan self regulation yaitu siswa yang berjenis kelamin

Bab 4. Hasil Penelitian Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin. belajar dan self regulation yaitu siswa yang berjenis kelamin Bab 4 Hasil Penelitian 4.1 Gambaran profil subjek 4.1.1 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin Subjek yang ikut mengisi kuesioner penelitian motivasi belajar dan self regulation yaitu siswa

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Dwi Hurriyati

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Dwi Hurriyati Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 GAYA PENGASUHAN CONSTRAINING DENGAN KOMITMEN DALAM BIDANG PENDIDIKAN (STUDI KORELASI PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk memberikan pengajaran kepada siswa atau murid di bawah pengawasan guru dan kepala sekolah. Di dalam sebuah institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, disadari atau tidak remaja akan kehilangan hak-hak pribadi

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, disadari atau tidak remaja akan kehilangan hak-hak pribadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode tertentu, sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara betingkahlaku yang sesuai dengan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan kunci untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi, pekerjaan dan sosial. Di dalam kehidupan setiap individu akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya membuat

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya membuat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya membuat individu menjalin sebuah hubungan sosial demi memenuhi kebutuhan hidup, baik secara moril

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

PENGARUH TEMAN SEBAYA TERHADAP KECENDERUNGAN BULLYING PADA SD PADAMU NEGERI MEDAN. Reflina Sinaga Surel:

PENGARUH TEMAN SEBAYA TERHADAP KECENDERUNGAN BULLYING PADA SD PADAMU NEGERI MEDAN. Reflina Sinaga Surel: PENGARUH TEMAN SEBAYA TERHADAP KECENDERUNGAN BULLYING PADA SD PADAMU NEGERI MEDAN Reflina Sinaga Surel: sinagareflina@yahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tak akan terlepas dari kodratnya, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, yang mana ia harus hidup berdampingan dengan manusia lainnya dan sepanjang hidupnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu

PENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, adanya kecenderungan perilaku asertif sangat membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pada remaja dapat diselesaikan. Apabila tugas tugas pada remaja

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pada remaja dapat diselesaikan. Apabila tugas tugas pada remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja di harapkan dapat berkembang secara optimal agar tugas-tugas perkembangan pada remaja dapat diselesaikan. Apabila tugas tugas pada remaja dapat diselesaikan

Lebih terperinci

Nama : Wienda Tridimita Ayu NPM : Fakultas : Psikologi Jurusan : Psikologi Pembimbing : Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph.D

Nama : Wienda Tridimita Ayu NPM : Fakultas : Psikologi Jurusan : Psikologi Pembimbing : Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph.D HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT DENGAN ORANG TUA DAN PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA Nama : Wienda Tridimita Ayu NPM : 18512091 Fakultas : Psikologi Jurusan : Psikologi Pembimbing : Prof. Hera Lestari Mikarsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bagi anak untuk memperoleh pendidikan yang umumnya digunakan para orang tua. Selain memperoleh pengetahuan atau pelajaran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik laki-laki adalah agresif,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik laki-laki adalah agresif, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik laki-laki adalah agresif, mandiri, obyektif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dan kontrol diri pada pegawai administrasi sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dan kontrol diri pada pegawai administrasi sekolah HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN KONTROL DIRI PADA PEGAWAI ADMINISTRASI SEKOLAH Disusun Oleh : Nama : Ratna Suryaningtyas NPM : 18510975 Pembimbing : Erik Saut H. Hutahaean S.Psi., M.Si FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut UU no. 20/03 tentang sistem pendidikan Nasioanl pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

STUDI KASUS DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA TUNARUNGU DI SMK NEGERI 30 JAKARTA

STUDI KASUS DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA TUNARUNGU DI SMK NEGERI 30 JAKARTA 86 Studi Kasus Dampak Psikologis Bullying Pada Siswa Tunarungu di SMK Negeri 30 Jakarta STUDI KASUS DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA TUNARUNGU DI SMK NEGERI 30 JAKARTA Oleh: Ria Damayanti 1) Dra.

Lebih terperinci

STUDI FENOMENOLOGI : DINAMIKA PSIKOLOGIS KORBAN BULLYING PADA REMAJA NASKAH PUBLIKASI

STUDI FENOMENOLOGI : DINAMIKA PSIKOLOGIS KORBAN BULLYING PADA REMAJA NASKAH PUBLIKASI STUDI FENOMENOLOGI : DINAMIKA PSIKOLOGIS KORBAN BULLYING PADA REMAJA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana ( S-1 ) Psikologi Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak diharapkan dapat mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA Disusun oleh : Herni Rosita

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA Disusun oleh : Herni Rosita HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA Disusun oleh : Herni Rosita 10502099 Abstrak Individu dalam perannya sebagai mahasiswa, dituntut untuk menjadi lebih mandiri, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat bagi setiap individu untuk menimba ilmu dan tempat untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beranjak dewasa. Selain tugas-tugas akademis yang dikerjakan, mahasiswa juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beranjak dewasa. Selain tugas-tugas akademis yang dikerjakan, mahasiswa juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa memiliki tugas yang beragam meliputi tugas-tugas kehidupannya yaitu sebagai seorang remaja ataupun seseorang yang sedang beranjak dewasa. Selain tugas-tugas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Ghony rancangan penelitian adalah strategi suatu penelitian,

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Ghony rancangan penelitian adalah strategi suatu penelitian, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Menurut Ghony rancangan penelitian adalah strategi suatu penelitian, yaitu merupakan upaya yang menggambarkan keseluruhan pemikiran atau program penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri, 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harga diri adalah penilaian seseorang mengenai gambaran dirinya sendiri yang berkaitan dengan aspek fisik, psikologis, sosial dan perilakunya secara keseluruhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu pendidikan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

Lebih terperinci

PENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI

PENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI PENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel. Perilaku Bullying Secara operasional, definisi bullying dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Coloroso (006:43-44),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah remaja merupakan suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan membawa kehancuran bagi remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (hubungan kausalitas) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti

BAB III METODE PENELITIAN. (hubungan kausalitas) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah eksperimen. Penelitian eksperimen adalah suatu cara untuk memberi hubungan sebab akibat (hubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hubungan interpersonal sangat penting untuk perkembangan perasaan kenyamanan seseorang dalam berbagai lingkup sosial. Hubungan Interpersonal membantu dalam

Lebih terperinci