PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)"

Transkripsi

1 PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) ENIKE RATNA SARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) ENIKE RATNA SARI Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Perkembangan Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) Nama Mahasiswa : Enike Ratna Sari NIM : E Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS NIP Mengetahui, Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP Tanggal:

4 RINGKASAN ENIKE RATNA SARI. Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. PENDAHULUAN. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penerapan teknik silvikultur TPTII ini, sudah tentu akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur tegakan pada areal produksi akibat penebangan dan penjaluran untuk ditanami jenis unggulan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui keadaan tegakan pada areal bekas tebangan/loa, khususnya pada LOA setelah 2 (dua) tahun, dan untuk mengetahui pertumbuhan jenis Shorea leprosula Miq. pada tahun kedua yang di tanam dengan teknik silvikultur TPTII. METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada tiga kondisi hutan, yaitu hutan primer (data sekunder) dan LOA TPTII 2 (dua) tahun (data primer). Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak dengan ukuran 100 m x 100 m. Dalam plot pengamatan dibuat subpetak untuk tingkat pohon 20 m x 20 m (20 m x 17 m setelah dilakukan kegiatan penjaluran), tingkat tiang 10 m x 10 m, tingkat pancang 5 m x 5 m, dan tingkat semai 2 m x 2 m. Data yang diambil untuk mengetahui pertumbuhan tanaman Shorea leprosula Miq. dalam jalur tanam adalah data diameter dan tinggi. HASIL DAN KESIMPULAN. Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur pada suatu tegakan. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun perubahan komposisi dan struktur tegakan dapat dilihat dari penurunan nilai baik itu komposisi jenis, kerapatan, maupun frekuensi di LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Namun penurunan nilai tersebut tidak terlalu besar karena jumlah tegakan (pohon dan permudaan) di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih memenuhi kriteria sebagai hutan produktif. Struktur tegakan tinggal pada LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong normal dengan dicirikan oleh kurva jumlah individu per kelas diameter yang menyerupai J terbalik. Dominansi jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun juga masih didominasi oleh jenis komersial ditebang (KD). Keanekaragaman jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi hutan primer namun tingkat keanekaragamannya masih tergolong sedang karena memiliki nilai diatas 2,00. Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada tahun kedua menunjukkan nilai yang cukup tinggi karena memiliki persentase diatas 75% dengan rata-rata diameter dan tinggi masing-masing adalah 1,70 cm dan 262,20 cm. Kata Kunci: Komposisi, Struktur, Teknik Silvikultur, TPTII

5 SUMMARY ENIKE RATNA SARI. Stand Development in the Area of Former Felling with Intensive Indonesian Selective Cutting and Planting (TPTII) (In the Area of IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan). Under the supervisions of Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. INTRODUCTION. One of the silvicultural system applied in Indonesia is the Intensive Indonesian Selective Cutting and Planting (TPTII). TPTII is a silvicultural technique which is the development of Selective Cutting and Line Planting (TPTJ) system and enrichment planting from the TPTI system. The application of this silvicultural techniques, certainly will result in the changes of the composition and structure of stands in the area of production due to logging and routing for planting seed types. This research was conducted to determine the circumstances of stands in the logged over area (LOA), especially on LOA after 2 (two) years, and to determine the growth in the second year of Shorea leprosula Miq. which were implanted with TPTII silvicultural techniques. METHODOLOGY. This research was conducted in three forest conditions, primary forest (secondary data) and LOA TPTII 2 (two) years (primary data). The method used is a terraced path method with size 100 m x 100 m. In the observations plot made subplot for tree level 20 m x 20 m (20 m x 17 m after the routing activities), the pole level 10 m x 10 m, the sapling level 5 m x 5 m, and the seedling level 2 m x 2 m. The data are taken to determine the growth of plant Shorea leprosula Miq. in the planting lines are the diameter and height data. RESULTS AND CONCLUSIONS. The implementation of silvicultural techniques of TPTII result of changes in the composition and structure on a stand. On LOA TPTII 2 (two) years, the changes in composition and structure of the stands can be seen from the decline in value of species composition, density, and frequency of the LOA TPTII 2 (two) years compared with conditions in primary forest. However, the decline is not too large because the number of stands (trees and regeneration) in LOA TPTII 2 (two) years still meets the criteria as production forest. The structure of residual stand on LOA TPTII 2 (two) years is still relatively normal and it characterized by the number of individuals per diameter class curve that resembles a J reverse. Species dominance of LOA TPTII 2 (two) years are still dominated by commercial cut-down species (KD). The diversity of the LOA TPTII 2 (two) years was decreased when compared with primary forest conditions, but the level of diversity is still classified as having a value above 2,00. Life percentage of Shorea leprosula Miq. during the second year showed a relatively high value, because it has a higher percentage at 75% with an average diameter and height of each are 1,70 cm 262,20 cm. Keywords: Composition, Structure, Silvicultural Techniques, TPTII

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2011 Enike Ratna Sari NIM E

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih karunia dan berkat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah). Skripsi ini berisi informasi tentang perkembangan tegakan yang terjadi di Logged Over Area (LOA) TPTII 2 (dua) tahun yang dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Selain itu terdapat juga informasi tentang pertumbuhan tanaman Shorea leprosula Miq. dengan umur tanam 2 (dua) tahun. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Utama PT. Erna Djuliawati yang telah memberikan izin penelitian dan seluruh staf yang banyak membantu dalam pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan adik tercinta atas doa, kasih sayang, dan semangat yang diberikan, serta rekan-rekan yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Mei 2011 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 September 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Heru Prasetyo dan Sumarmi. Jenjang pendidikan formal pertama ditempuh penulis di SD Negeri Semplak 2 Bogor pada tahun Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor pada tahun Pada tingkat menengah atas, penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun Kemudian pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam himpunan profesi mahasiswa silvikultur, Tree Grower Community (TGC), sebagai staf Project Division pada tahun Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain adalah Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2008, Belantara Departemen Silvikultur tahun 2008, TGC in Action tahun 2009, dan Planting for Future tahun Penulis juga dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata ajaran Dendrologi dan Ekologi Hutan. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturraden dan Cilacap pada tahun Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah pada tahun Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

9 UCAPAN TERIMAKASIH Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas Berkat dan Kasih Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada: 1. Keluarga Tercinta, Bapak (Heru Prasetyo), Mama (Sumarmi), serta Kedua Adik (Hermawan Cahya Setiaji dan Cristian Febrianto), yang selalu mendoakan serta memberikan dukungan dan kasih sayang yang tidak ada hentinya kepada penulis; 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta banyak memberikan ilmu dan masukanmasukan berharga kepada penulis; 3. Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Dr. Ir. Achmad, MS selaku Ketua Sidang atas ilmu serta segala kritik dan saran yang diberikan kepada penulis; 4. Keluarga Besar PT. Erna Djuliawati Logging Unit II Kalimantan Tengah, Bapak Eka Kusdiandra, Bapak Edward Vincent Pattiata, Bapak Teddy Christianto, Bapak Aspin Simarmata, Bapak Budi Harsana, Bapak Nixon, Tim Penelitian (Bapak Budiarjo, Bang Okta, Bang Budi PU, Bang Pius, Bang Dedy, dll.), serta keluarga besar Camp DPH KM 95 atas kerjasama, keramahtamahan, serta rasa kekeluargaan yang banyak diberikan kepada penulis selama praktek; 5. Mas Ruli Endriadi, atas segala bantuan dan masukan yang diberikan kepada penulis agar skripsi ini segera selesai; 6. Keluarga besar Laboratorium Ekologi Hutan, Bapak Cecep Kusmana, Bapak Iwan Hilwan, Bapak Istomo, Bapak Dadan Mulyana, Ibu Mudiani, dan Bibi Era atas ilmu yang diberikan, rasa kekeluargaan, serta semua kebaikan dan bantuan yang diberikan selama ini; 7. Keluarga besar Departemen Silvikultur (Dosen dan Staf) atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan selama kuliah;

10 8. Teman-teman satu bimbingan, Esty Kusuma Rahmasari (enyit), Putri Kartika Sari, Sambang Parinda, dan Dedy Wahyudi (decil) atas kebersamaan, semangat, dan segala bantuan yang diberikan selama ini; 9. Teman-teman seperjuangan Silvikultur 43: Belinda Bunganagara, Dwita Noviani, Laura Flowrensia, Bundo Yauvina, Luqman Noor Hakim, Niechi Valentino, Asep Hendra, Tina Maretina, Nuri Fathia, Dessy C. Lestari, Lika Aulia Indina, Nur Trianna, Anindita Julian, Ariani Ichtisinii, dll. atas kebersamaan, kekompakan, serta kegilaan yang pernah dilakukan bersama. I ll be missing all of you guys!! 10. Ratna Jamilah dan Permana Zainal, atas kebersamaan, persahabatan, dan canda tawa selama ini serta setiap bantuan yang diberikan saat pengambilan data; 11. Helga emon Sugiarti, atas kebersamaan dan persahabatan selama ini, serta semua keluh kesah yang boleh penulis curahkan, makasiiiih emoonch!! 12. Keluarga besar Silvikultur, angkatan 42 (bang Kristian, teh Gina, bang Iyum, ka PM, dll.), 44, 45, dan 46; 13. Teman-teman FAHUTAN 43 atas kebersamaanmya dalam keluarga Fahutan; 14. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis selama kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Suksesi Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Pertumbuhan Tanaman Kondisi Ekologis Shorea leprosula Miq Sifat Fisik Tanah dan Sifat Kimia Tanah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Objek dan Alat Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Pengambilan Contoh Tanah (Fisik dan Kimia) Analisis Data Analisis Vegetasi Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Dominansi Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks Kekayaan Jenis Indeks Kemerataan Jenis Koefisien Kesamaan Komunitas Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah BAB IV KONDISI UMUM 4.1. Kondisi Fisik dan Administrasi Topografi dan Kelerengan Geologi dan Tanah Iklim dan Intensitas Hujan... 23

12 4.5. Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi Hidrologi Sosial Ekonomi Masyarakat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan Komposisi Jenis Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis Dominansi Jenis Struktur Tegakan Indeks Dominansi Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks Kekayaan Jenis Indeks Kemerataan Jenis Kesamaan Komunitas Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Perbandingan Rata-Rata Diameter dan Tinggi Shorea Leprosula Miq Analisis Tanah Sifat Fisik Tanah Sifat Kimia Tanah Hubungan Antara Kondisi Tanah dengan Perkembangan Tegakan di Jalur Antara dan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67

13 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Kelas lereng dan topografi Formasi geologi Jenis tanah PT Erna Djuliawati Rata-rata curah hujan dan hari hujan di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di sekitar areal IUPHHK PT Erna Djuliawati Luas penutupan vegetasi dirinci menurut TGHK Monografi desa binaan PT. Erna Djuliawati tahun Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada hutan primer Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada LOA TPTII 2 tahun Indeks Nilai Penting (INP) berdasarkan kelompok jenis pada plot pengamatan Nilai Indeks Dominansi (C) pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkatan pertumbuhan Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Indeks Kemerataan Jenis (E) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Hasil pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun... 55

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Petak pengamatan analisis vegetasi Kerapatan jenis komersial ditebang yang ditemukan pada plot pengamatan Frekuensi jenis komersial ditebang pada plot pengamatan Struktur tegakan pada kondisi hutan primer Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan (LOA) dengan teknik silvikultur TPTII setelah 2 (dua) tahun Kondisi jalur tanam pada pengukuran tahun kedua... 50

15 v DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Daftar nama jenis yang ditemukan di plot penelitian Daftar jenis pohon komersial dalam cruising PT. Erna Djuliawati Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%)... 90

16 vi 19. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) Dokumentasi penelitian Peta lokasi penelitian di areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati

17 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara & Indrawan, 1998). Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable), hutan tetap harus dijaga dan dikelola dengan baik berdasarkan pada tiga prinsip dasar kelestarian hutan, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial. Hutan sebagai suatu ekosistem alam memiliki fungsi dan manfaat yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia, baik itu secara ekologis, ekonomis, maupun sosial. Namun dalam beberapa dekade belakangan ini, hutan di Indonesia telah mengalami degradasi akibat illegal logging, perladangan, illegal mining, serta kebakaran hutan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan berupa kayu yang tidak diikuti dengan kegiatan penanaman kembali juga menjadi salah satu penyebab cepatnya hutan di Indonesia mengalami degradasi. Indrawan (2008) menyebutkan bahwa sejarah eksploitasi hutan alam primer di Indonesia dimulai sejak lahirnya Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya peraturan dan undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada pihak pengusaha untuk mengusahakan hutan alam menjadi hutan produksi untuk dapat memenuhi permintaan akan bahan baku kayu gergajian dan kayu lapis yang cukup tinggi. Untuk tetap menjaga dan mendorong tercapainya hutan yang mampu menjalankan fungsinya secara ekonomis dan ekologis, maka diperlukan suatu sistem dalam pengelolaan hutan alam produksi. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan mengembangkan sekaligus menerapkan suatu sistem dan teknik

18 2 silvikultur yang wajib dilaksanakan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Sutisna, 2001). Sedangkan teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan (Elias, 2009). Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 antara lain berupa pemilihan jenis unggul, pemuliaan pohon, penyediaan bibit, manipulasi lingkungan, penanaman, dan pemeliharaan. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up. Pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m 2 (Indrawan, 2008). Dengan diterapkannya sistem silvikultur TPTII ini, sudah tentu akan menyebabkan terjadinya perubahan terhadap komposisi dan struktur tegakan pada areal produksi akibat penebangan dan penjaluran untuk ditanami jenis unggulan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui keadaan tegakan pada areal bekas tebangan/loa, khususnya pada LOA setelah 2 (dua) tahun, dan untuk mengetahui pertumbuhan jenis Shorea leprosula Miq. yang di tanam dengan teknik silvikultur TPTII tahun kedua, serta dapat membandingkan data yang diperoleh pada penelitian ini dengan data pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama.

19 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari pelaksanaan kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati; 2. Mengetahui perkembangan tegakan serta rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula dengan umur tanam t+2 pada 3 (tiga) tingkat kelerengan, yaitu datar (0-15%), sedang (15-25%), dan curam (> 25%) Manfaat Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang perkembangan tegakan setelah 2 (dua) tahun kegiatan penebangan dan pemanenan serta rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. dengan umur tanam t+2 yang dilaksanakan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).

20 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 o LU dan 10 o LS (Vickery, 1984). Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar mm per tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas o C dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%. Mulyana et al. (2005) mendefinisikan hutan hujan tropis sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (biasanya jauh lebih tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara tertutup. Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto 2006). Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi 3 (tiga) zone, yaitu hutan hujan bawah ( m dpl), hutan hujan tengah ( m dpl), dan hutan hujan atas ( m dpl). Pada hutan hujan bawah, jenis kayu penting yang biasanya mendominasi di hutan ini berasal dari suku Dipterocarpaceae dengan genus seperti Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Selain itu, terdapat juga genus-genus lainnya seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Koompasia, Octomeles, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).

21 5 Sedangkan pada hutan hujan tengah, jenis kayu umum yang sering dijumpai terdiri dari suku Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hamamelidaceae, dan lain-lain. Sementara pada hutan hujan atas, jenis kayu utamanya terdiri dari Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998). Komponen penyusun hutan hujan tropis terdiri dari 2 (dua) macam komponen, yaitu abiotik dan biotik. Menurut Ewusie (1980), komponen penyusun abiotik terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, angin, cahaya, dan karbondioksida. Sedangkan komponen biotik yang menyusun hutan hujan tropis antara lain adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit Suksesi Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara & Indrawan, 1998). Gopal dan Bhardwaj (1979) menyebutkan bahwa suksesi adalah perubahan langsung secara keseluruhan pada selang waktu lama, bersifat kumulatif, di dalam komunitas tertentu, dan terjadi pada tempat yang sama. Suksesi secara keseluruhan berkembang sebagai akibat dari interaksi organisme-organisme dengan lingkungannya. Perubahan selama suksesi terjadi akibat pengaruh faktorfaktor eksternal seperti input unsur hara. Suksesi terjadi sebagai proses perkembangan komunitas yang sesuai dengan hukum alam. Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton & Wolf, 1977). Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah: a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah;

22 6 b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya; c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecessis individuindividu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers; d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu Simple Agregation dan Mixed Agregation; e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan Co-existence; f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap; g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan. h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan;

23 7 i. Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Dalam masyarakat yang telah stabilpun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohonpohon yang tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohonpohon yang selama ini hidup tertekan. Demikian, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan kepada keseimbangan (Soerianegara & Indrawan, 1998) Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan (Troup 1966 dalam Departemen Kehutanan 1992). Sistem Tebang Pilih Tanam Indonessia Intensif (TPTII) adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari TPTII adalah (Departemen Kehutanan, 2005): a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah; b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 (lima) kali, kualitas produk lebih baik;

24 8 c. Target produksi bisa lebih fleksibel tergantung pada investasi tanaman; d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik; dan e. Kemampuan perusahaan meningkat Pertumbuhan Tanaman Menurut Sitompul dan Guritno (1995) pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Davis dan Jhonson (1987) juga mendefinisikan pertumbuhan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth). Nyakpa et al. (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu peranan penting dari faktor genetis adalah kemampuan suatu tanaman untuk berproduksi tinggi. Potensi hasil yang tinggi serta sifat-sifat lainnya seperti ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit berhubungan sangat erat dengan susunan genetik tanaman. Faktor lingkungan yang diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain adalah suhu, ketersediaan air, energi surya, mutu atmosfer, struktur dan komposisi udara tanah, reaksi tanah, serta organisme tanah. Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Davis & Jhonson, 1987). Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor lingkungan dan 1 (satu) faktor genetik yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat

25 9 genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis & Jhonson, 1987). Laju pertumbuhan pohon tropis biasanya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan lingkar batang atau diameter. Pohon tropis dapat lebih mudah diukur dan akurat dengan pengukuran pertumbuhan rata-rata yang dimulai dari pengukuran awal (Gardner et al. 1991) 2.5. Kondisi Ekologis Shorea leprosula Miq. Dipterocarpaceae merupakan kelompok kayu perdagangan utama (meranti dan balau (Shorea), mersawa (Anisoptera), keruing (Dipterocarpus) dan kapur (Dryobalanops)). Batangnya silinder, dan banyak yang mencapai ukuran sangat besar, 30 m atau lebih (tinggi bebas cabang). Menurut Ashton (1982), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpadeae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Diantara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpadeae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa), Cotylelobium, Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam), Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna (Alrasyid et al. 1991). Shorea leprosula Miq. memiliki nama lokal meranti merah atau meranti tembaga (Indonesia) dan beberapa nama daerah seperti kontoi bayor, lempung kumbang, engkabang (Kalimantan), meranti, banio, ketuko (Sumatra), dan kayu bapa (Maluku). Penyebaran alami S. leprosula terdapat di semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatra hingga Kalimantan (Joker, 2002). Pohon S. leprosula dapat mencapai tinggi 60 meter dengan tinggi bebas cabang mencapai 35 meter dan diameter sampai 175 cm (Sutarno & Riswan, 1997). Batangnya mempunyai kulit luar yang berwarna abu-abu atau coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal. Penampangnya berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda, kayu gubal berwarna kuning muda sampai kemerah-merahan, kayu teras berwarna coklat muda sampai merah (Heyne, 1987). Cabang-cabangnya besar,

26 10 tumbuh secara horizontal, jumlahnya tidak banyak dan cepat gugur. Rantingrantingnya banyak dan halus. Daunnya tunggal berbentuk bulat telur sampai jorong (Sastrapradja et al. 1977), panjangnya 8-14 cm dan lebar 3,5-5,5 cm (Lemmens & Soerianegara 1994). Tangkai daun berbulu halus lebat, panjangnya 1-2 cm (Prawira & Tantra, 1986). Pada daun yang muda terdapat domatia mulai dari pangkal ibu tulang daun sampai hampir di ujungnya membentuk semacam garis (Rudjiman, 1997). Permukaan atas daun berwarna hijau dan licin, sedangkan permukaan bawah kelabu, coklat atau kekuning-kuningan serta tertutup oleh bulu yang sangat rapat. Kayu S. leprosula mempunyai kerapatan kg/m 3 pada kadar kelembaban 15% (Lemmens & Soerianegara, 1994). Kayu S. leprosula termasuk kelas awet III-V dan kelas kuat II-IV, mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengkerut. Kayunya terutama dipakai untuk vinir dan kayu lapis, disamping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan dan dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan, peti pengepak, peti mati dan alat musik (Martawijaya et al. 1981). Resinnya yang sering disebut damar daging dihasilkan diantara akarakarnya digunakan sebagai bahan obat. Kulitnya dipakai untuk bahan pewarna (Sutarno & Riswan, 1997) Sifat Fisik Tanah dan Sifat Kimia Tanah Tanah merupakan suatu media tumbuh bagi tanaman yang memiliki fungsi sebagai tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara lateral atau horizontal maupun secara vertikal. Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur dan struktur), sedangkan stabilitas ukuran ruang ini tergantung pada konsistensi tanah terhadap pengaruh tekanan. Kerapatan porositas tersebut menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi) (Hanafiah, 2005). Menurut Hanafiah (2005) tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara fraksi pasir (berdiameter 2,00 0,20 mm), debu (berdiameter 0,20 0,002 mm), dan liat (berdiameter < 0,002 mm). Berdasarkan kelas teksturnya maka tanah

27 11 digolongkan menjadi: (i) tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir (mengandung minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung), (ii) tanah bertekstur halus atau tanah berliat (mengandung minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir), (iii) tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung. Peran dari tekstur tanah sendiri akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan ini memiliki bentuk, ukuran, dan kemantapan yang berbedabeda (Hardjowigeno, 2003). Bulk density atau bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya bulk density berkisar antara 1,1 1,6 g/cc (Hardjowigeno, 2003). Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang poreus berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masukkeluar tanah secara leluasa (Hanafiah, 2005). Reaksi tanah (ph tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H + ) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H + di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain H +, di dalam tanah dapat ditemukan pula ion OH - yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H +. Nilai ph berkisar antara 0 14 dengan ph 7 disebut netral sedangkann ph kurang dari 7 disebut masam dan ph lebih dari 7 disebut alkalis (Hardjowigeno, 2003). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g). kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. KTK dinyatakan dalam

28 12 satuan miliekuivalen per 100 g (me/100 g). KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 2003).

29 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Mei 2010 dan berlokasi di petak GG-39 pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah Objek dan Alat Objek penelitian ini adalah kondisi hutan sebelum dilakukan penebangan atau hutan primer yang berupa data sekunder, serta analisis vegetasi menggunakan plot permanen di areal bekas tebangan TPTII dengan umur tanaman t+2 pada jalur bersih/antara. Pengukuran plot tersebut dilakukan pada tiga kelas kelerengan yang berbeda di tiap petaknya, yaitu kelerengan datar (0-15%), kelerengan sedang (15-25%), dan kelerengan curam (> 25%), dimana luas masing-masing plot permanen tersebut adalah satu hektar. Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah peta kerja, kompas, pita diameter (phiband), meteran jahit, kaliper, haga hypsometer, patok, tali rafia atau tambang, golok, ring tanah, kantong plastik, kamera, tally sheet, dan alat tulis Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi Analisa vegetasi dilakukan pada kondisi hutan bekas tebangan TPTII dua tahun (HBT TPTII 2 tahun). Pada lokasi penelitian dibuat plot pengamatan permanen berukuran 100 m x 100 m berdasarkan tiga kelerengan yang berbeda, yaitu kelerengan datar, sedang, dan curam. Pada masing-masing kelerengan dibuat tiga plot pengamatan permanen. Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan subpetak contoh dengan ukuran sebagai berikut: 1. Tingkat pohon dengan ukuran petak 20 m x 20 m; 2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 m x 10 m;

30 14 3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 m x 5 m; dan 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 m x 2 m. Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisa vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara & Indrawan 1998). Dengan demikian berdasarkan pengamatan tersebut dapat diketahui komposisi dan struktur tegakan yang dominan pada plot pengamatan di kelerengan datar, sedang, dan curam. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, serta diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlahnya saja. Metode pengambilan data yang dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar m Jalur tanam lebar 3 m 100 m 20 m 100 m 20 m A B C D 17 m Gambar1 Petak pengamatan analisis vegetasi.

31 15 Keterangan: A = subpetak intensif untuk tingkat semai (2 m x 2 m); B = subpetak intensif untuk tingkat pancang (5 m x 5 m); C = subpetak intensif untuk tingkat tiang (10 m x 10 m); dan D = subpetak intensif untuk tingkat pohon setelah kegiatan penebangan dan penjaluran (20 m x 17 m) Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Persentase hidup mencerminkan jumlah tanaman Shorea leprosula Miq. yang hidup yang terdapat dalam plot contoh penelitian, dalam hal ini yang ditanam di jalur tanam. Persentase hidup anakan pada jalur tanam dinyatakan dalam persen (%). Data yang dikumpulkan untuk menentukan Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. yang terdapat di jalur tanam adalah jumlah tanaman yang ditanam di jalur tanam dan jumlah tanaman yang hidup pada akhir pengukuran Pengambilan Contoh Tanah (Fisik dan Kimia) Pengukuran sifat fisik tanah dilakukan dengan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Sifat fisik tanah yang diamati dari contoh tanah yang diambil antara lain tekstur tanah, bobot isi, ruang pori, dan kadar air. Adapun cara pengambilan tanah tidak terusik adalah sebagai berikut (Balai Penelitian Tanah, 2004): 1. Lapisan tanah bagian atas diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah; 2. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah; 3. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm; 4. Tanah di sekitar tabung digali; 5. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung;

32 16 6. Kedua tabung dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan; dan 7. Tabung ditutup dengan tutup plastik. Untuk menganalisa sifat kimia tanah (ph tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro), diambil contoh tanah terusik dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut: 1. Tentukan tempat atau titik pengambilan contoh tanah individu; 2. Bersihkan permukaan tanah dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah; 3. Cangkul tanah tersebut sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul; 4. Campur dan aduk contoh tanah individu tersebut dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (ini merupakan contoh tanah komposit); 5. Beri label yang berisi keterangan tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi pengambilan contoh tanah, dan kedalaman contoh tanah. Untuk pengambilan contoh tanah komposit pada penelitian dilakukan pada tiga titik pada tiap kelerengan. Berat contoh tanah yang diambil adalah 250 gram dari setiap petak pengamatan Analisis Data Analisis Vegetasi Untuk mengetahui gambaran tentang komposisi jenis dan struktur tegakan hutan, dilakukan perhitungan terhadap parameter yang meliputi indeks nilai penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kesamaan komunitas. Pengolahan data hasil analisis vegetasi meliputi:

33 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas (Mueller- Dombois & Ellenberg 1974). INP merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR) (Soerianegara & Indrawan 1998). INP KR FR (untuk tingkat semai dan pancang); dan INP KR FR DR (untuk tingkat tiang dan pohon) Dimana: a. Kerapatan (K) Jumlah individu suatu jenis K Luas areal sampel b. Kerapatan Relatif (KR) KR Kerapatan suatu jenis 100% Kerapatan seluruh jenis c. Frekuensi (F) F Jumlah plot ditemukan suatu Jumlah seluruh plot jenis d. Frekuensi Relatif (FR) FR e. Dominansi (D) Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis Jumlah LBDS suatu jenis D Luas areal sampel f. Dominansi Relatif (DR) 100% Dominansi suatu jenis DR 100% Dominansi seluruh jenis Indeks Dominansi Indeks dominansi adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominansi (penguasaan) suatu jenis dalam suatu komunitas. Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai

34 18 indeks tertinggi adalah 1 (satu), yang menunjukan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka indeks dominansi akan mendekati 0 (nol). Untuk mengetahui indeks dominansi suatu jenis dapat digunakan rumus Simpson sebagai berikut (Misra 1973): C ni N 2 Dimana, C = indeks dominansi; ni = jumlah individu jenis ke-i; dan N = jumlah total individu seluruh jenis Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman jenis dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponenkomponennya. Indeks keanekaragaman yang paling banyak digunakan dalam ekologi komunitas adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Ludwig & Reynold 1988). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: H' S i 1 ni ni.ln N n dimana, H = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener; S = jumlah jenis; n i = jumlah individu jenis ke-i; dan N = jumlah total individu seluruh jenis Indeks Kekayaan Jenis Untuk mengetahui indeks kekayaan jenis dapat digunakan rumus Margallef sebagai berikut:

35 19 R 1 S 1 ln N dimana, R 1 = indeks kekayaan jenis Margallef; S = jumlah jenis; dan N = jumlah total individu seluruh jenis. Berdasarkan Magurran (1988), kekayaan jenis suatu komunitas dianggap rendah apabila nilai R 1 -nya < 3,5. Apabila nilai R 1 = 3,5-5,0 maka hal tersebut menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang. Jika nilai R 1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut dianggap tinggi Indeks Kemerataan Jenis Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan adalah (Ludwig & Reynold 1988): H' E ln S dimana, E = indeks kemerataan jenis; H = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener; dan S = jumlah jenis. Berdasarkan Magurran (1988), besaran E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis yang rendah. Apabila besaran E = 0,3-0,6 maka besaran tersebut menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang. Besaran E dapat dikatakan menunjukkan kemerataan jenis yang tinggi jika nilai E > 0, Koefisien Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan atau index of similarity (IS) diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, beberapa unit sampling, atau beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. Besar kecilnya IS dapat menggambarkan tingkat kesamaan komposisi jenis dan struktur dari dua tegakan, unit sampling, atau komunitas yang dibandingkan. Rumus untuk menghitung IS adalah sebagai berikut: 2W IS 100% a b

36 20 dimana, IS = koefisien kesamaan komunitas (index of similarity); W = jumlah dari nilai penting yang sama atau terendah ( ) dari suatu jenis yang terdapat dalam dua tegakan (komunitas) yang dibandingkan; a = total nilai penting dari tegakan (komunitas) pertama; dan b = total nilai penting dari tegakan (komunitas) kedua Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam % Hidup Tingkat mortalitas semai ditentukan dengan rumus berikut: ET 0 ET 0 ET n 100% dimana, ET +0 = jumlah tanaman pada awal penanaman; dan ET +n = jumlah tanaman yang mati pada akhir pengukuran Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah Pengukuran sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di laboratorium tanah Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

37 21 BAB IV KONDISI UMUM 4.1. Kondisi Fisik dan Administrasi Dilihat secara geografis letak areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati terletak pada sampai dengan LS dan sampai dengan BT. Luas total areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 15/Kpts-IV/1999, tanggal 18 Januari 1999 ialah sebesar ± Ha (PT. Erna Djuliawati, 2009) Berdasarkan Pembagian daerah aliran sungai, maka areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati terletak di kelompok hutan Sungai Salau Sungai Seruyan. Secara administrasi Pemangkuan Hutan, termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyan Hulu, Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Seruyan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah (PT. Erna Djuliawati, 2009) Topografi dan Kelerengan Keadaan areal kerja IUPHHHK PT. Erna Djuliawati seluruhnya merupakan lahan kering yang berada pada ketinggian 111 m m diatas permukaan laut, dengan kondisi topografi yang berkisar antara datar hingga sangat curam. Secara umum pengelompokkan kelas lereng berdasarkan Laporan Pemotretan Udara, Penataan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan Pemeriksaan Areal Kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Yang dilaksanakan oleh APHI/PT. Mapindo Parama dan yang telah memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal INTAG No. 038/97 pada Bulan November Adapun pengelompokan luasan areal PT Erna Djuliawati berdasarkan kelas lereng dan topografi terdapat dalam tabel 1.

38 22 Tabel 1 Kelas lereng dan topografi Kelas Luas Kemiringan Topografi Lereng (Ha) (%) A 0-8% Datar ,48 B 8-15% Landai ,05 C 15-25% Agak Curam ,61 D 25-40% Curam ,74 E > 40% Sangat Curam ,12 Jumlah ,00 Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja IUPHHK PT Erna Djuliawati skala 1 : (PT Mapindo Parama/APHI), Laporan Pemotretan Udara, Pemetaan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan pemeriksaan lapangan Areal Kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin 1 : dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmanit benua (94,05%) dan sedikit batuan alas kerak benua (5,95%). Formasi Geologi areal kerja IUPHHK PT Erna Djuliawati dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Formasi geologi No. Formasi Geologi Luas Ha % 1 Batuan Alas Kerak Benua ,95 Batu sabak, batu tanduk filit, kuarsit sekis, magmatit, gunung sapi malih, amfibolih Batuan Magmatit Benua 2 Tonalit, granodiolit, granit, diorite kuarsa, diorite, dan gabro ,00 3 Lava, breksi, tufa, dan aglomerat ,05 Jumlah ,00 Sumber: Peta Geologi Indonesia lembar Banjarmasin skala 1: , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor tahun 1993, areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah antara lain ialah jenis tanah latosol (44%) dan podsolik merah kuning (56%). Jenis tanah yang terdapat di PT. Erna Djuliawati secara lengkap dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

39 23 Tabel 3 Jenis tanah PT. Erna Djuliawati Jenis Tanah Kode SK USDA PPT Fisiografi Tanah Mentan (1990) (1983) (1980) Kambisol Dystropets Kandiudults Kandiudos Dystropets Kandiudults Kandiudos Dystropets Kandiudults Kandiudos Bahan Induk Kepekaan Terhadap Erosi Luas (Ha) (%) Distrik Podsolik Perbukitan Plutonik Latosol Kandik Intrusi Masam Agak Peka ,4 Oksisol Haplik Kambisol Distrik Podsolik Pegunungan Plutonik Latosol Kandik Intrusi Masam Agak Peka ,6 Oksisol Haplik Kambisol Distrik Podsolik Podsolik Plutonik Merah Dataran Kandik Masam Kuning Oksisol Peka Haplik Jumlah ,00 Sumber: Peta Tanah Pulau Kalimantan Skala 1: , Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Iklim dan Intensitas Hujan Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja IUPHHHK PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson Sebagian besar wilayahnya termasuk tipe hujan A (0-14,3%) dan sedikit tipe hujan B (14,3-33,3%). Dengan mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan di Camp Departemen Pembinaan Hutan (DPH) PT. Erna Djuliawati selama 9 tahun ( ), dapat diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar ± mm dengan rata-rata jumlah hari hujan 117 hari, sehingga diperoleh nilai intensitas hujan sebesar ± 26,7 mm. Nilai rata-rata curah hujan selama 9 tahun dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

40 24 Tabel 4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati BULAN CH Ratarata & HH IH CH Januari HH CH Februari HH CH Maret HH CH April HH CH Mei HH CH Juni HH CH Juli HH CH Agustus HH September CH HH CH Oktober HH November CH HH CH Desember HH Jumlah CH HH Sumber: Stasiun Pengamatan Curah Hujan Camp Departemen Pembinaan Hutan (DPH) IUPHHK PT Erna Djuliawati Prop. Dati I Kalimantan Tengah ( ). Suhu udara rata-rata adalah 26,4 C dengan kisaran suhu bulanan antara 26,1 C 29,7 C. Suhu udara yang tergolong rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dengan suhu rata-rata sebesar 26,1 C. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu mencapai 29,7 C. Rata-rata kelembaban udara bulanan yang terjadi ialah sebesar 85% dengan kisaran antara 83%-87%. Adapun kecepatan angin rata-rata ialah 4,2 km/jam, dengan kisaran antara 3,6 km/jam 5,4 km/jam. Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 5,4 km/jam, sedangkan untuk kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli. Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di sekitar areal IUPHHK PT. Erna Djuliawatidapat dilihat pada tabel 5 berikut.

41 25 Tabel 5 Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di sekitar areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Nomor Bulan Suhu Udara Kelembaban ( C) Udara (%) 1. Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Kecepatan Angin (km/jam) Rata-rata Sumber: Stasiun Meteorologi Klas II Nanga Pinoh Balai Wilayah II, Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan ( ) Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi Tipe hutan yang terdapat di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati secara keseluruhan merupakan hutan hujan tropika dataran rendah yang didominasi oleh kelompok dari jenis-jenis Dipterocarpaceae. Keadaan penutupan lahan di areal kerja terdiri dari hutan primer seluas ± Ha (27.31 %), Hutan Bekas Tebangan seluas ± Ha (56.00 %), areal tidak berhutan (non hutan) seluas ± Ha (14.03 %), Buffer Zone Hutan Lindung seluas ± Ha (1.07 %), dan Kawasan Lindung seluas Ha (1.60 %). Luas masing-masing strata hutan, yang dikelompokkan menurut fungsi hutan disajikan dalam tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Luas penutupan vegetasi dirinci menurut TGHK No. Penutupan Lahan Fungsi Hutan Persentase Jumlah (Ha) HPT (Ha) HP (Ha) (%) 1 Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Non Hutan Jumlah Buffer Zone Hutan Lindung Kawasan Lindung Jumlah Total Sumber: Peta Citra Landsat 7 ETM + Band 542 path/row 120/61 liputan 13 April 2007 Skala 1 :

42 Hidrologi Areal kerja PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Salau Ha, DAS Seruyan Ha, DAS Kaleh Ha, DAS Manjul Ha dan DAS Salau Hulu Ha. Adapun sungaisungai besar yang mengalir melalui kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati ialah S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau. Ketiga sungai tersebut dapat mengalir terus menerus sepanjang tahun (PT. Erna Djuliawati, 2009) Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah desa yang terletak didalam IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati terdapat sebanyak 14 desa yang menyebar disepanjang daerah aliran sungai Seruyan dan Manjul. Sebagian besar mata pencaharian penduduk desa adalah bertani dengan jenis mayoritas padi dan palawija/sayuran serta bertumpu pada sistem perladangan berpindah. Masyarakat desa juga mengandalkan perburuan satwa liar untuk menambah penghasilan, terutama perburuan jenis babi hutan dan payau. Monografi pertumbuhan kondisi sosial ekonomi masyarakat di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati terdapat pada tabel 7. Tabel 7 Monografi desa binaan PT. Erna Djuliawati tahun 2008 No. Uraian Total I MONOGRAFI Luas Areal Penduduk - Jumlah Penduduk - Jumlah Jiwa Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur a th b th c th d. 30 th ke atas Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Agama a. Islam b. Kristen Protestan c. Kristen Katolik d. Hindu Kaharingan Mata Pencaharian a. Petani b. Pedagang c. Pegawai Negeri d. ABRI e. Pertukangan

43 27 Tabel 7 (lanjutan) No. Uraian Total f. Swasta 5 Tingkat Pendidikan a. SD b. SLTP c. SLTA d. Sarjana 6 Sarana dan Prasarana a. Jalan darat b. Jalan sungai c. Posyandu d. Sekolah - Jumlah sekolah - Jumlah Guru - Jumlah murid e. Masjid f. Gereja g. Balai Saranah h. Balai Pertemuan i. Angkutan/ Transportasi - Sepeda - Kendaraan Bermotor - Sampan - Kelotok/ Ketinting - Lain-lain j. Olahraga k. Kesenian Daerah II POTENSI DAERAH a. Lahan Kering b. Lahan Basah c. Peternakan d. Perikanan e. Kerajinan f. Dll III 1 SOSIAL EKONOMI BUDAYA Sosial Ekonomi a. Pendapatan rata-rata/ bulan b. Sumber Pendapatan - Berladang - Pertanian Menetap - Perikanan - Atap Sirap - Rotan - Lain-lain 2 Budaya a. Adat Istiadat b. Sistem Kepemilikan Lahan c. Tokoh Masyarakat d. Tokoh Adat e. Tokoh Agama Sumber: Data Departemen PMDH Tahun

44 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas atau tegakan yang telah terganggu. Dengan mengetahui komposisi jenis tersebut, maka dapat diketahui juga perkembangan tegakan yang telah berlangsung pada komunitas yang terganggu tersebut. Apabila komposisi jenis pada tegakan tersebut sudah mendekati kondisi awal, dalam hal ini mendekati kondisi pada hutan primer, maka dapat dikatakan bahwa kondisi tegakan tersebut telah pulih. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak GG-39 pada areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah, pada kondisi hutan primer dan bekas tebangan/logged over area (LOA) setelah 2 (dua) tahun dengan teknik silvikultur TPTII yang diukur pada 3 (tiga) kelas kelerengan yang berbeda, maka diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda untuk tiap tingkatan permudaannya. Hasil dari analisis vegetasi untuk komposisi jenis yang terdapat di petak GG-39 dapat dilihat di tabel 8. Tabel 8 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) Rata-rata LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) Rata-rata Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif).

45 29 Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tiap tingkatan permudaan berbeda. Jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon, baik itu di hutan primer maupun di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Pada hutan primer, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 38 jenis per hektar, kemudian kelas kelerengan sedang yaitu sekitar 36 jenis per hektar dan kelas kelerengan datar yaitu sekitar 25 jenis per hektar. Berbeda dengan jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pohon. Untuk tingkat pohon, jumlah jenis terbesar dapat ditemukan pada kelerengan sedang yaitu sekitar 51 jenis per hektar, kemudian pada kelerengan datar dan curam terdapat jumlah jenis yang sama yaitu sekitar 47 jenis per hektar. Pada tingkat pohon, jumlah jenis yang ditemukan jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat permudaan lainnya. Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII ternyata menyebabkan terjadinya perubahan dalam komposisi jenis. Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa pada LOA TPTII 2 tahun terjadi penurunan jumlah jenis untuk tingkat semai dan pancang pada semua kelas kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terjadi pada tingkat pancang di kelerengan datar, yaitu sekitar 17 jenis. Hal ini dapat terjadi karena ketika proses suksesi berlangsung, terjadi persaingan tumbuh diantara jenis-jenis yang toleran dan intoleran. Sehingga jenis yang lambat tumbuh akan ternaungi dan tertekan. Kondisi berbeda ditemukan pada tingkatan tiang dan pohon. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi peningkatan jumlah jenis pada kelerengan datar dan curam. Jika diperhatikan jumlah jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir mendekati pada kondisi hutan primer. Namun kondisi LOA TPTII 2 (dua) tahun belum dapat dikatakan sudah kembali seperti pada kondisi hutan primer, karena proses suksesi masih terus berlangsung sehingga. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai jumlah jenis yang masih fluktuatif pada tiap tingkatan permudaannya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan baik di hutan primer maupun LOA TPTII setelah 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa komposisi jenis yang ditemukan di areal penelitian sangat bervariasi pada semua tingkat pertumbuhan. Komposisi jenis yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih banyak karena dianggap pada hutan primer tersebut telah terjadi kestabilan

46 30 sehingga jenis-jenis yang ada merupakan jenis-jenis yang telah beradaptasi dan merupakan jenis puncak dalam proses suksesi. Terjadinya perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan LOA TPTII disebabkan karena terjadinya pemungutan hasil hutan melalui kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis pada LOA TPTII tersebut. Perubahan komposisi jenis yang sedang terjadi di LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan karena proses suksesi yang sedang berlangsung. Kecenderungan jumlah jenis yang menurun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis Kerapatan merupakan banyaknya individu tumbuhan yang dinyatakan per satuan luas. Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa suatu jenis dengan nilai kerapatan yang tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Sedangkan frekuensi dapat dipakai sebagai parameter yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai frekuensi yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi serta menunjukkan jumlah unit contoh yang mengandung jenis tertentu (Fachrul 2008). Pada tabel 9 berikut dapat dilihat komposisi permudaan jenis dilihat dari nilai kerapatan (N/Ha) dan frekuensi yang terdapat pada plot pengamatan di masing-masing kelerengan. Dari tabel tersebut terlihat adanya penurunan nilai kerapatan dan frekuensi apabila dibandingkan antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Tabel 9 Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi Kondisi Semai Pancang Tiang Pohon Kelerengan Hutan K F K F K F K F Datar (0-15 %) , , , ,69 Primer Sedang (15-25 %) , , , ,74 Curam (> 25 %) , , , ,65 Rata-rata , , , ,69

47 31 Tabel 9 (lanjutan) 1 LOA TPTII 2 Tahun Rata-rata , , , ,81 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif); K (Kerapatan); F (Frekuensi). Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah permudaan jenis komersial jika dibandingkan antara hutan primer dengann LOA TPTII 2 (dua) tahun, baik dari nilai kerapatan maupun nilai frekuensinya. Jika dilihat dari nilai rata-ratanya, pada tingkat semai terjadi penurunan kerapatan sekitar ind/ha. Sedangkan masing-mas ing adalah 72 ind/ha dan 127 ind/ha. memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan pada hutan primer. Penurunan nilai kerapatan yang signifikan ditemukan hampir pada setiap kelerengan. Hal ini dapat disebabkan karenaa proses suksesi yang masih berlangsung pada areal bekas tebangan tersebut. Suksesi sekunder yang belum stabil atau mencapai klimaksnya mengakibatk kan kerapatan yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun ini belum memiliki nilai yang mendekati kondisi hutan primer. Gambar berikut ini adalah histogram yang membandingkan kerapatan padaa hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. 2 Datar (0-15 %) ,94 3 Sedang (15-25 %) , ,67 Curam (> 25 %) , , , , , ,84 Pada tingkat pancang penurunan kerapatan yang terjadi sekitar ind/ha. pada tingkat tiang dan pohon penurunan kerapatan yang terjadi Kerapatan Jenis Komersial Ditebang , , ,79 Permudaan jenis komersial di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada umumnya Kerapatan (N/Ha) % % > 25 % 0-15 % % > 25 % Semai Pancang Tiang Pohon Primer LOA TPTII 2 Tahun Kondisi Hutan Gambar 2 Kerapatan jenis komersial ditebang yang ditemukan pengamatan. pada plot

48 32 Berbeda dengan kerapatan, nilai frekuensi antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun justru mengalami peningkatan pada beberapa kelerengan dan tingkat permudaan. Padaa hutan primer kisaran nilai frekuensi untuk semua tingkat permudaan berkisar antara 0,65-0,83 atau 65%-83%. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun nilai frekuensinya berkisar antara 0,67-0,94 atau 67%-94% %. Jika diamati dari nilai rata-ratanya, terjadi peningkatan nilai frekuensi untuk tingkat semai, tiang dan pohon padaa LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan kondisi hutan primer. Namun terjadi penurunann nilai frekuensi pada tingkat pancang. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola penyebaran jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan hutan primer. Peningkatan nilai frekuensi mendekati nilai 100% menandakan bahwa pola penyebaran jenis dalam plot pengamatan hampir tersebar merata. Sedangkan nilai frekuensi yang rendah menunjukkan bahwa penyebaran jenis dalam plot pengamatan n tidak merata. Hal ini dapat disebabkan karena adaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya kurang. Histogram berikut menunjukkan pola penyebaran (frekuensi) jenis komersial ditebang pada hutan primer dengann LOA TPTII 2 (dua) tahun yang ditunjukkan dalam gambar 3. Pola Penyebaran Jenis Komersial Ditebang Frekuensi (%) 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, % % > 25 % 0-15 % % > 25 % Semai Pancang Tiang Pohon Primer LOA TPTII 2 Tahun Kondisi Hutan Gambar 3 Frekuensi jenis komersial ditebang pada plot pengamatan. Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawan (2000) mengemukakan bahwa suatu permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 1000 batang/ /ha dengan

49 33 nilai penyebarannya 40% untuk tingkat semai, 240 batang/ha dengan penyebaran 60% untuk tingkat pancang, 75 batang/ha dengan penyebaran 75% untuk tingkat tiang, dan 25 batang/ha dengan penyebaran 25% untuk tingkat pohon. Berdasarkan uraian tersebut, nilai kerapatan dan frekuensi pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih dianggap memenuhi kriteria yang dikemukakan oleh Wyatt-Smith. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Soerianegara dan Indrawan (1998) juga menegaskan bahwa jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas. Tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya frekuensi relatif suatu jenis menunjukkan bahwa jenis tersebut tersebar merata hampir di seluruh petak pengamatan Dominansi Jenis Dominansi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas atau tegakan. Dominansi dari jenis-jenis yang ada pada suatu tegakan dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP) yang dimiliki jenis-jenis tersebut. Dapat dikatakan bahwa jenis yang memiliki INP tertinggi merupakan jenis paling dominan dalam tegakan tersebut. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat adanya persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) daripada jenis lainnya. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan atau menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan, 1998). Pada tabel 10 dan 11 berikut disajikan daftar 5 jenis dominan yang ditemukan pada plot pengamatan yang memiliki INP tertinggi.

50 34 Tabel 10 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada hutan primer Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%) Primer Datar Sterculia gilva 24,14 Eugenia sp. 33,15 Eugenia sp. 48,23 Shorea leprosula 40,52 (0-15 %) Shorea beccariana 20,36 Litsea firma 24,41 Dialium sp. 34,12 Eugenia sp. 30,59 Shorea quadrinervis 19,20 Myristica iners 17,18 Litsea firma 19,90 Litsea firma 29,64 Eugenia sp. 19,05 Sterculia gilva 16,36 Myristica iners 17,88 Dialium sp. 22,31 Litsea firma 14,65 Vatica rassak 12,68 Sterculia gilva 17,40 Shorea beccariana 19,66 Sedang Shorea dasyphylla 29,94 Sterculia gilva 20,24 Eugenia sp. 35,64 Shorea leprosula 34,87 (15-25 %) Canarium denticulatum 23,87 Myristica iners 19,59 Dialium sp. 23,02 Shorea beccariana 30,23 Shorea beccariana 21,70 Vatica rassak 18,41 Sterculia gilva 21,02 Eugenia sp. 25,75 Sterculia gilva 17,85 Diospyros malam 15,45 Litsea firma 20,50 Dialium sp. 15,85 Litsea firma 13,64 Litsea firma 13,01 Pithecellobium sp. 16,14 Pithecellobium sp. 15,24 Curam Shorea beccariana 24,47 Litsea firma 25,20 Litsea firma 29,43 Shorea leprosula 24,52 (> 25 %) Shorea leprosula 23,38 Eugenia sp. 20,14 Eugenia sp. 24,95 Eugenia sp. 22,44 Eugenia sp. 17,38 Myristica iners 15,34 Pithecellobium sp. 20,42 Dialium sp. 20,41 Litsea firma 15,58 Sterculia gilva 14,91 Dialium sp. 18,57 Shorea beccariana 18,80 Shorea dasyphylla 15,45 Shorea beccariana 13,50 Nephelium sp. 18,40 Pithecellobium sp. 16,88

51 35 Tabel 11 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada LOA TPTII 2 tahun Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%) LOA TPTII Datar Litsea firma 47,03 Macaranga conifera 63,43 Litsea firma 63,19 Eugenia sp. 50,77 2 Tahun (0-15 %) Eugenia sp. 44,86 Litsea firma 45,44 Eugenia sp. 39,47 Litsea firma 39,34 Shorea leprosula 35,33 Shorea leprosula 18,42 Vatica rassak 26,26 Shorea beccariana 16,67 Dipterocarpus sp. 21,07 Eugenia sp. 10,96 Pithecellobium sp. 14,33 Shorea leprosula 16,58 Shorea beccariana 17,60 Shorea beccariana 10,29 Nephelium sp. 11,36 Vatica rassak 16,16 Sedang Eugenia sp. 34,91 Macaranga conifera 54,58 Litsea firma 49,40 Shorea beccariana 40,37 (15-25 %) Shorea dasyphylla 32,09 Litsea firma 43,04 Eugenia sp. 40,37 Eugenia sp. 36,76 Litsea firma 30,44 Shorea leprosula 22,53 Myristica iners 22,26 Litsea firma 24,44 Dipterocarpus sp. 21,06 Shorea beccariana 19,68 Sterculia gilva 20,27 Shorea leprosula 19,77 Shorea quadrinervis 15,86 Sterculia gilva 4,93 Pithecellobium sp. 17,43 Pithecellobium sp. 15,25 Curam Litsea firma 51,98 Litsea firma 42,04 Litsea firma 39,89 Eugenia sp. 40,28 (> 25 %) Eugenia sp. 34,52 Eugenia sp. 28,44 Eugenia sp. 35,59 Litsea firma 35,93 Shorea quadrinervis 22,84 Shorea leprosula 26,22 Vatica rassak 27,72 Eusideroxylon zwageri. 22,85 Shorea beccariana 13,43 Macaranga conifera 24,75 Shorea leprosula 26,09 Pithecellobium sp. 15,98 Myristica iners 11,43 Myristica iners 14,14 Myristica iners 1793 Durio sp. 14,90

52 36 Dari tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa jenis-jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae. Sedangkan jenis lainnya yang termasuk ke dalam famili non Dipterocarpaceae yang banyak mendominasi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.), banitan (Sterculia gilva), medang (Litsea firma), kayu arang (Diospyros malam), girik (Pithecellobium sp.), dan lampung/garung (Macaranga conifera). Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 10 dan 11 dapat dilihat lima jenis yang mendominasi pada tiap tingkatan permudaan untuk masing-masing kondisi hutan dan kelerengan sangat bervariasi dilihat berdasarkan INP. Pada hutan primer, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai pada kelerengan datar adalah banitan (Sterculia gilva) yaitu sebesar 24,14%. Untuk tingkat pancang dan tiang adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 33,15% dan 48,23%. Sedangkan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 40,52%. Pada kelerengan sedang, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai adalah meranti bukit (Shorea dasyphylla) sebesar 29,94%. Tingkat pancang didominasi oleh banitan (Sterculia gilva) dengan INP sebesar 20,24%. Untuk tingkat tiang dan pohon jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dan lempung (Shorea leprosula) dengan INP masing-masing sebesar 35,64% dan 34,87%. Sedangkan pada kelerengan curam, jenis-jenis yang mendominasi untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon adalah tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 24,47%, medang (Litsea firma) sebesar 25,20% dan 29,43%, serta (Shorea leprosula) sebesar 24,52%. Adanya kegiatan penebangan dan penjaluran sebelumnya ternyata menyebabkan terjadinya perubahan jenis-jenis dominan pada areal penelitian. Berdasarkan tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang nyata terhadap jenis-jenis yang mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Jenis yang banyak mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun baik di kelerengan datar, sedang maupun curam adalah medang (Litsea firma). Berbeda dengan jenis yang banyak ditemukan pada hutan primer, yaitu jenis lempung (Shorea leprosula). Pada kelerengan datar di LOA TPTII 2 (dua) tahun, jenis medang (Litsea firma) banyak mendominasi untuk vegetasi tingkat semai dan tiang dengan INP

53 37 masing-masing sebesar 47,03% dan 63,19%. Sedangkan tingkat pancang banyak didominasi oleh jenis lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 63,43%. Pada tingkat pohon, jenis yang memiliki nilai INP tertinggi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dengan INP sebsesar 50,77%. Pada kelerengan sedang, jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) untuk tingkat semai dengan INP sebesar 34,91%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 54,58. Tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis medang (Litsea firma) sebesar 49,40% dan tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 40,37%. Sedangkan pada kelerengan curam hanya jenis medang (Litsea firma) yang mendominasi pada tingkat semai, pancang, dan tiang dengan INP masingmasing 51,98%, 42,04%, dan 39,89%, serta jambu-jambu (Eugenia sp.) pada tingkat pohon dengan INP sebesar 40,28%. Berdasarkan tabel 10 dan 11 juga dapat dilihat bahwa terdapat beberapa jenis yang terdapat di hutan primer masih ditemukan juga di LOA TPTII 2 (dua) tahun meskipun telah terjadi kegiatan penebangan dan penjaluran pada dua tahun sebelumnya. Jenis-jenis tersebut tetap ada dalam plot pengamatan meskipun tingkat dominasi dari jenis tersebut mengalami penurunan. Seperti yang terjadi pada jenis lempung (Shorea leprosula) pada tingkat pohon di kelerengan datar dan sedang. Jenis ini mengalami penurunan nilai INP karena jenis ini termasuk ke dalam jenis komersial ditebang (KD). Sehingga kemungkinan besar ketika kegiatan penebangan berlangsung banyak dari jenis ini yang ditebang. Namun terdapat juga beberapa jenis yang ternyata lebih mendominasi di LOA TPTII 2 (dua) tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran berlangsung, jika dibandingkan dengan hutan primer. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah jambujambu (Euginia sp.) dan medang (Litsea firma). Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa untuk kondisi hutan setelah kegiatan penebangan, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkatan permudaan mengalami perubahan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kegiatan penebangan yang mengakibatkan adanya jenis-jenis tertentu yang rusak, hilang, bahkan mati. Namun pada beberapa jenis justru terlihat lebih banyak mendominasi setelah kegiatan penebangan dilakukan. Hal ini

54 38 menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kesesuaian terhadap tempat tumbuh yang lebih baik dibandingkan jenis lainnya. Tabel 12 berikut ini juga menunjukkan dominansi jenis yang terdapat di plot penelitian berdasarkan INP yang dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar yaitu jenis Komersial Ditebang, jenis Komersial Tidak Ditebang, dan Jenis Lain. Tabel 12 Indeks Nilai Penting (INP) berdasarkan kelompok jenis pada plot pengamatan Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok Tingkatan Vegetasi Jenis Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) KD 156,55 146,29 232,25 214,59 KTD 16,94 50,24 56,99 53,67 JL 26,51 3,47 10,76 31,74 Sedang (15-25 %) KD 167,59 167,33 239,48 216,87 KTD 6,27 18,71 49,50 40,72 JL 26,13 13,97 11,02 42,41 Curam (> 25 %) KD 154,90 163,37 235,72 185,44 KTD 13,96 17,43 47,04 56,75 JL 31,13 19,20 17,23 57,80 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) KD 179,81 118,58 246, KTD 1,30 70,17 37, JL 18,89 11,25 16, Sedang (15-25 %) KD 172,18 118,47 253, KTD 11,23 61,84 43, JL 16,59 19,68 3, Curam (> 25 %) KD 174,06 155,65 249, KTD 10,35 38,59 38, JL 15,58 5,77 11, Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif); KD (Komersial Ditebang); KTD (Komersial Tidak ditebang); JL (Jenis Lain). Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa jenis-jenis dari kelompok komersial ditebang paling mendominasi hampir di setiap kelerengan dan tingkatan permudaan. Hal ini ditunjukkan dengan INP untuk vegetasi tingkat semai dan pancang yang nilainya > 150%. Hal yang sama juga dapat dilihat pada vegetasi tingkat tiang dan pohon dimana INP yang dimiliki kelompok jenis ini memiliki nilai > 200% di semua kelas kelerengan. Menurut Budiansyah (2006), peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang

55 39 mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkatt kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya Struktur Tegakan Struktur tegakan hutan disebabkan oleh sebaran pohon dalam suatu tegakan baik secara vertikal maupun horizontal. Davis dan Jhonson (1987) menyatakan bahwa stuktur tegakan vertikal didefinisikan sebagai sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horizontal adalah banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya. Gambar 4 dan 5 berikut merupakan histogram struktur tegakan horizontal yang menunjukkann hubungan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas diameter yang terdapat di hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Jumlah Pohon (N/Ha) Strukturr Tegakan (N/Ha) pada Hutan Primer Datar (0-15 %) Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) >60 Kelas Diameter (cm) Gambar 4 Struktur tegakan pada kondisi hutan primer.

56 40 Jumlah Pohon (N/Ha) Struktur Tegakan (N/Ha) pada LOA TPTII 2 Tahun >60 Kelas Diameter (cm) Datar (0-15 %) Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) Gambar 5 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan (LOA) dengan teknik silvikultur TPTII setelah 2 (dua) tahun. Berdasarkan histogram yang ditunjukkan pada gambar 4 dan 5, dapat dilihat bahwa perbandingan jumlah pohon per hektar antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun jauh berbeda. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan sebelumnya sudah pasti akan mengakibatkan penurunan kerapatan hampir pada semua kelas diameter di berbagai kelerengan. Namun menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawann (2000) jumlah pohon per hektar yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong cukup karena jumlahnya > 25 batang/hektar pada masing-masing kelerengannya. Begitu juga menurut Kepmenhut No. 200/Kpts-II/1994 tanggal 26 April 1994 tentang kriteria hutan produksi alam tidak produktif. Dalam Kepmenhut tersebut, hutan produksi alam yang tidak produktif adalah areal hutan produksi dengan salah satu kriteria teknis, yaitu (1) pohon inti yang berdiameterr minimum 20 cm kurang dari 25 batang/ha, (2) pohon induk kurang dari 10 batang/ha. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah pohon dengan diameter 20 cm up yang terdapat pada LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah lebih dari 25 batang/ha. Sehingga dapat dikatakan areal penelitian ini masih tergolong hutan alam produksi yang masih produktif. Struktur tegakan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun menunjukkan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar, sehingga kurva yang dihasilkan menyerupai J terbalik. Secara umum, struktur tegakan pada plot pengamatan menunjukkan karakteristik

57 41 yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal meskipun terjadi penurunan jumlah pohon antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun akibat kegiatan penebangan Indeks Dominansi Nilai indeks dominansi dapat digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas. Nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada banyak jenis, sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu), yang menunjukkan bahwa komunitas tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis (Indrawan, 2000). Berdasarkan analisis vegetasi yang telah dilakukan, diperoleh nilai indeks dominansi yang dapat dilihat pada tabel 14 berikut. Tabel 13 Nilai Indeks Dominansi (C) pada kondisi hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkatan pertumbuhan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,08 0,08 0,06 0,06 Sedang (15-25 %) 0,12 0,06 0,05 0,05 Curam (> 25 %) 0,09 0,07 0,05 0,05 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 0,16 0,24 0,09 0,07 Sedang (15-25 %) 0,16 0,19 0,07 0,05 Curam (> 25 %) 0,13 0,12 0,06 0,06 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Menurut Kasraji (1996) nilai indeks dominansi semakin mendekati nilai 1 (satu) berarti dominansi pada komunitas tersebut relatif dipusatkan pada sedikit atau satu jenis saja, sementara jika nilai dominansi semakin mendekati nol, maka dominansi pada komunitas tersebut tersebar merata pada semua jenis. Jika nilai dominansi suatu komunitas lebih tinggi terhadap nilai dominansi pada kondisi hutan primer, maka dominansi cenderung dipusatkan pada sedikit jenis. Sedangkan jika nilai dominansi suatu komunitas lebih rendah terhadap nilai

58 42 dominansi pada hutan primer, maka nilai dominansi jenis relatif tersebar pada beberapa jenis. Dari tabel 13 dapat terlihat kecenderungan peningkatan nilai dominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan nilai dominasi pada hutan primer. Peningkatan nilai ini terjadi hampir di tiap tingkatan permudaan pada berbagai kelas kelerengan. Pada tingkat semai kenaikan nilai dominasi terjadi berkisar antara 0,04-0,08. Kemudian di tingkat pancang kenaikan indeks dominansinya berkisar antara 0,05-0,16. Pada tingkat tiang terjadi juga kenaikan nilai dominasi yang berkisar antara 0,01-0,03. Sedangkan pada tingkat pohon kenaikan yang terjadi tidak terlalu besar hanya sekitar 0,01. Hasil penelitian yang terdapat pada tabel 13 juga menunjukkan bahwa indeks dominansi tertinggi pada hutan primer dapat ditemukan pada tingkat semai di kelerengan sedang dengan nilai indeks sebesar 0,12. Sedangkan nilai indeks dominansi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun mengalami peningkatan dengan nilai indeks tertinggi sebesar 0,24 yang ditemukan pada tingkat pancang di kelerengan datar. Berdasarkan uraian tersebut, dari ketiga kondisi hutan yang diteliti nilai indeks dominansi yang ditemukan hampir semuanya rendah. Nilai indeks dominansi yang ditemukan hanya berkisar antara 0,05-0,24 dan tidak ada yang mendekati nilai 1 (satu). Hal ini menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terpusat pada satu jenis melainkan pada beberapa jenis Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis merupakan parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari pengaruh faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas dan untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas (Fachrul, 2008). Keanekaragaman jenis tersusun atas dua buah komponen. Komponen pertama adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas, yang mana para ekologis menyebutnya species richness (kekayaan jenis) dan komponen yang kedua adalah species evenness (kemerataan jenis). Penentuan besarnya tingkat keanekaragaman

59 43 jenis dilakukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Indeks tersebut membandingkan antar kondisi hutan yang diamati, sehingga nantinya dapat dijadikan salah satu variabel yang diperhitungkan dalam menentukan status perkembangan suksesi yang sedang berlangsung (Kent & Cooker, 1992) Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan. Besarnya nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) yang terdapat di plot pengamatan dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 2,78 2,94 3,10 3,17 Sedang (15-25 %) 2,61 3,06 3,27 3,37 Curam (> 25 %) 2,85 2,97 3,23 3,35 LOA 2 tahun Datar (0-15 %) 2,11 2,24 3,03 3,21 Sedang (15-25 %) 2,45 2,41 3,12 3,25 Curam (> 25 %) 2,46 2,59 3,13 3,35 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Berdasarkan tabel 14, nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) yang terdapat pada hutan primer berkisar antara 2,61-3,37. Indeks keanekaragaman terkecil terdapat pada tingkat semai sedangkan indeks tertinggi terdapat pada tingkat pohon. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun indeks keanekaragaman jenisnya mengalami penurunan dengan nilai berkisar antara 2,11-3,35. Menurut Magurran (1988) besaran H dengan nilai < 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan jika nilai H = 1,5-3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Apabila besaran H memiliki nilai > 3,5, maka tingkat keanekaragamannya dianggap tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong sedang. Kegiatan

60 44 pemanenan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya ternyata mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Namun, penurunan tingkat keanekaragaman jenis yang terjadi tidak terlalu besar. Karena setelah dua tahun, tingkat keanekaragaman yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak berbeda jauh nilainya dengan hutan primer dan indeks keanekaragaman jenis (H ) tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong sedang. Keanekaragaman jenis yang tinggi memang menjadi karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh hutan hujan tropika selain lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim dan siklus hara tertutup (Mulyana et al. 2005). Soerianegara (1996) mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah. Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi Indeks Kekayaan Jenis Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis. Dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ). Marpaung (2009) menyebutkan bahwa Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas dan besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang ada pada areal tersebut. Besarnya nilai R 1 yang terdapat di hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat dilihat pada tabel 15 berikut. Tabel 15 Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kekayaan Jenis (R 1 ) Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 4,00 6,08 6,69 7,40 Sedang (15-25 %) 5,27 6,05 7,41 7,95 Curam (> 25 %) 5,94 5,43 6,23 7,34

61 45 Tabel 15 (lanjutan) LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 2,75 3,51 7,39 8,58 Sedang (15-25 %) 3,45 4,36 7,80 7,79 Curam (> 25 %) 4,06 4,50 7,55 9,11 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai R 1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Sedangkan nilai R 1 = 3,5-5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Apabila diperoleh nilai R 1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam tabel 16, dapat diketahui bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R 1 ) pada kondisi hutan primer secara umum memiliki nilai diatas 5,00, kecuali pada vegetasi tingkat semai di kelerengan datar dimana nilainya adalah 4,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekayaan jenis yang terdapat di hutan primer tergolong tinggi (lihat tabel 8). Hutan primer dianggap memiliki keadaan yang stabil atau klimaks, sehingga diasumsikan memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang terdapat di hutan primer untuk tiap tingkatan vegetasi pada berbagai kelerengan berkisar antara jenis. Keadaan yang berbeda ditunjukkan di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dari tabel 15 dapat terlihat bahwa pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi penurunan nilai indeks kekayaan Margallef (R1) untuk tingkat semai dan pancang di berbagai kelerengan. Nilainya hanya berkisar 2,75-4,50, sehingga tingkat kekayaan jenisnya tergolong kedalam kriteria rendah-sedang. Namun pada tingkat tiang dan pohon justru terjadi peningkatan nilai R 1 jika dibandingkan pada hutan primer. Indeks kekayaan Margallef yang ditunjukkan hampir semuanya memiliki nilai diatas 5,00 baik untuk tingkat tiang maupun pohon di berbagai kelerengan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kekayaan Margallef (R 1 ) untuk tingkat tiang dan pohon di LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi Indeks Kemerataan Jenis Kemerataan jenis merupakan parameter lainnya yang juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis suatu komunitas. Nilainya dapat diperoleh dengan

62 46 menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Apabila nilai indeks semakin besar maka dapat dikatakan bahwa komposisi jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu jenis saja). Menurut Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah. Apabila nilai E berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,6 maka kemerataan jenis tergolong sedang. Sedangkan jika nilai E > 0,6 maka kemerataan jenis dalam komunitas tersebut dapat dikatakan tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai indeks kemerataan (E) yang terdapat di plot pengamatan pada tabel 16. Tabel 16 Indeks Kemerataan Jenis (E) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kemerataan Jenis (E) Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,86 0,81 0,87 0,82 Sedang (15-25 %) 0,73 0,84 0,87 0,86 Curam (> 25 %) 0,78 0,83 0,91 0,87 LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 0,76 0,74 0,83 0,83 Sedang (15-25 %) 0,79 0,73 0,84 0,86 Curam (> 25 %) 0,77 0,79 0,87 0,85 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Dari tabel 16 dapat terlihat bahwa indeks kemerataan jenis (E) baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai diatas 0,60. Indeks kemerataan tertinggi pada hutan primer terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,91. Begitu juga pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, nilai indeks kemerataan untuk tingkat pohon pada kelerengan sedang mengalami penurunan nilai menjadi 0,86. Sedangkan indeks kemerataan tertinggi di LOA TPTII 2 (dua) tahun terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,87. Meskipun terjadi penurunan nilai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun perubahannya tidak terlalu besar karena selisih nilainya hanya berkisar 0,01-0,10. Berdasarkan uraian data tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat kemerataan jenis baik di hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi. Karena baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun rata-rata

63 47 memiliki nilai indeks kemerataan diatas 0,60 hampir di semua kelerengan dan tingkat vegetasi. Tingginya nilai indeks kemerataan jenis ini mengindikasikan bahwa komposisi jenis pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tersebar merata. Artinya, pada kedua kondisi hutan ini tidak hanya di dominasi oleh satu jenis, namun tersebar pada banyak jenis Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui tingkat kesamaan suatu komunitas dapat dicari dengan menghitung nilai Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity). Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Komunitas yang dibandingkan pada penelitian ini adalah hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dua komunitas ini dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengannya. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat pada tabel 17 berikut. Tabel 17 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Tingkat Pertumbuhan Pohon Komunitas Hutan Kelerengan Semai Pancang Tiang Pohon Datar (0 % - 15 %) 42,09 41,80 60,00 62,75 Primer vs LOA TPTII 2 Sedang (15 % - 25 %) 51,97 30,24 51,01 62,58 tahun Curam (> 25 %) 47,48 51,55 58,66 59,69 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai kesamaan komunitas pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai yang bervariasi pada tiap tingkatan vegetasi dan kelerengannya. Nilai indeks kesamaan (IS) tertinggi pada tingkat semai adalah 51,97%. Sedangkan pada tingkat pancang nilai IS tertinggi adalah 51,55%. Untuk tingkat tiang nilai IS tertinggi adalah 60,00%. Pada tingkat pohon nilai IS tertinggi adalah 62,75%. Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar antara 0-100%. Nilai 0% menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antar jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan. Sedangkan nilai 100% menunjukkan bahwa dua komunitas yang dibandingkan adalah sama. Kusmana dan Istomo (2005) menyatakan bahwa nilai

64 48 IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0% dan umumnya dua komunitas dianggap relatif sama apabila mempunyai IS 75%. Namun menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dua komunitas dianggap sama apabila nilai ISnya mendekati 100%. Berdasarkan uraian tersebut dan jika melihat data yang terdapat dalam tabel 17 dapat terlihat bahwa nilai IS yang ditunjukkan hampir semuanya jauh dari 100% bahkan kurang dari 75%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pada masing-masing komunitas yang dibandingkan tidak sama. Karena pada beberapa tingkatan vegetasi ditemukan perbedaan baik komposisi jenis maupun jumlah individu antara ketiga komunitas tersebut. Selain itu, rendahnya nilai IS yang dihasilkan dapat disebabkan karena berubahnya komposisi dan struktur tegakan akibat pemungutan hasil kayu dan kerusakan tegakan tinggal yang terjadi setelah kegiatan pemanenan. Oleh karena itu, daopat dikatakan bahwa kondisi di LOA TPTII 2 (dua) tahun belum sepenuhnya kembali ke kondisi seperti pada hutan primer Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Dalam teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m 2 (Indrawan, 2008). Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran terhadap jalur tanam yang berukuran panjang 100 m, dimana dalam satu jalur tersebut terdapat 40 tanaman. Sehingga dalam 1 (satu) hektar plot pengamatan terdapat 5 (lima) jalur tanam dengan total tanaman 200 buah. Pengambilan data persentase hidup tanaman pada jalur tanam dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan dalam tiap kelerengannya. Jenis yang di tanam dalam jalur penelitian ini adalah Shorea leprosula Miq.

65 49 Data tanaman yang diambil dalam penelitian ini adalah data tanaman dengan umur tanam 2 (dua) tahun. Persentase hidup tanaman S. leprosula pada jalur tanam ditunjukkan pada tabel 18 berikut. Tabel 18 Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Kelerengan Ulangan Total Hidup Total Mati Total Tanam % Hidup Datar (0-15%) , , ,27 Rata-rata ,08 Sedang (15-25%) , , ,97 Rata-rata ,41 Curam (> 25%) , , ,46 Rata-rata ,08 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif). Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa jumlah total tanaman yang ditanam pada jalur tanam TPTII berbeda-beda. Jumlah tanaman yang terdapat dalam jalur plot pengamatan tersebut kurang dari jumlah seharusnya yaitu 200 tanaman tiap kelerengan. Jumlah total seluruh tanaman yang ditanam dalam jalur pengamatan adalah tanaman. Jumlah ini masih kurang dari jumlah tanaman yang seharusnya ditanam. Hal ini disebabkan karena kondisi umum yang terdapat di plot pengamatan. Sehingga terdapat beberapa titik yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman. Titik-titik tersebut adalah rawa dan tumpukan ranting yang cukup dalam, mengingat areal penelitian ini merupakan areal bekas tebangan. Persentase hidup dari tanaman S. leprosula dalam jalur tanam pada tahun kedua cukup baik. Hal ini ditunjukkan dari nilai persentase hidup yang terdapat dalam tabel 18 dimana nilainya di atas 50%. Persentase hidup tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada jalur pengamatan di kelerengan datar dan curam, dimana nilai persentase hidup rata-ratanya masing-masing adalah 80,08%.

66 50 Sedangkan pada kelerengan sedang persentase hidup rata-rata tanaman S. leprosula hanya 76,41%. Berdasarkan data yang tersaji dalam tabel 18 dapat diketahui bahwa tingkat mortalitas pada tanaman S. leprosula yang terdapat pada jalur tanam sekitar 21%. Nilai ini dapat dikatakan cenderung sedang karena dari total tanaman yang ditanam terdapat 323 tanaman yang mati. Hal ini dapat disebabkan karena persaingan unsur hara yang terjadi antara tanaman yang terdapat di jalur tanam dengan tanaman lain berada di luar jalur tanam tersebut. Selain itu, penyebab cukup besarnya jumlah tanaman yang mati pada jalur tanam ini adalah karena tanaman kurang mendapatkan cahaya matahari. Mengingat bahwa pada lokasi penelitian belum adanya atau belum dilaksanakannya kegiatan pemeliharaan, maka intensitas cahaya matahari yang masuk juga berkurang. Hal ini menyebabkan tanaman kurang memperoleh cahaya matahari mati untuk proses fotosintesis dan respirasi sehingga pada akhirnya tanaman tersebut mati. Gambar 6 Kondisi jalur tanam pada pengukuran tahun kedua Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan tanaman-tanaman berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya

67 51 naungan, evaporasi dari tanaman dapat dikurangi (Suhardi 1995 dalam Putri 2009) Perbandingan Rata-Rata Diameter dan Tinggi Shorea leprosula Miq. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter. Disamping karena mudah pelaksanaanya, juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup tinggi. Oleh karena itu, pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006). Pengambilan data pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman S. leprosula yang dilakukan di jalur tanam TPTII menunjukkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 19. Tabel 19 Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Kelerengan Ulangan Total Hidup Rata-rata Diameter (cm) Rata-rata Tinggi (cm) ,53 275,19 Datar (0-15%) ,54 225, ,12 325, ,31 214,62 Sedang (15-25%) ,82 238, ,82 274, ,34 248,27 Curam (> 25%) ,79 255, ,03 302,55 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Dari tabel 19 dapat diketahui rata-rata diameter tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada kelerengan datar dengan diameter sebesar 2,12 cm. Sedangkan rata-rata diameter terendah terdapat pada kelerengan sedang, yaitu sebesar 1,31 cm. Hal yang sama juga dapat dilihat pada rataan tinggi tanaman S. leprosula yang terdapat dalam jalur tanam. Rata-rata tinggi tanaman tertinggi juga terdapat pada jalur tanam dengan kelerengan datar dengan tinggi tanaman 275,19 cm. Sedangkan rata-rata tinggi tanaman yang paling rendah terdapat dalam jalur tanam dengan kelerengan sedang dengan tinggi rata-rata 214,62 cm.

68 52 Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan sempurna di tempat tumbuhnya. Fluktuasi pertumbuhan diameter dan tinggi yang terjadi diduga akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung, salah satunya tingkat kesuburan tanah yang kurang. Selain itu disebabkan oleh keterbukaan tajuk akibat adanya perlakuan pemeliharaan lanjutan, yaitu pembebasan tajuk dalam jalur tanam hingga lebar jalur tanam menjadi lebih lebar dari sebelumnya sampai batas maksimal 10 m (Pamoengkas 2006) Analisis Tanah Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan sifat yang bertanggung jawab atas peredaran udara serta ketersediaan air dan zat terlarut melalui tanah. Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar, retensi air, drainase, aerasi, dan nutrisi tanaman sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman hutan. Hasil analisis sifat fisik tanah yang dilakukan di plot penelitian dapat dilihat pada tabel 20 berikut. Tabel 20 Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Air Kondisi Kedalaman Bobot isi Permeabilitas Lokasi Kelerengan Hutan Tanah (g/cm 3 Tersedia ) (cm/jam) (%) Primer cm - 0,93 10,41 2,74 Datar (0-15 %) 1,28 12,34 1, cm Sedang (15-25 %) 1,11 13,17 2,14 Jalur Curam (> 25 %) 1,21 6,13 1,35 Tanam Datar (0-15 %) 0,89 15,52 5,81 LOA TPTII 2 Tahun Bawah Tegakan cm 0-10 cm cm Sedang (15-25 %) 0,89 15,65 7,16 Curam (> 25 %) 1,02 12,05 6,27 Datar (0-15 %) 1,27 9,56 1,89 Sedang (15-25 %) 1,28 7,50 1,89 Curam (> 25 %) 1,08 11,82 4,43 Datar (0-15 %) 0,84 14,49 10,40 Sedang (15-25 %) 1,01 14,98 3,11 Curam (> 25 %) 0,98 14,68 9,21 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)

69 53 Dari tabel 20 tersebut dapat diketahui sifat fisik tanah yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Lebih spesifik lagi, pada LOA TPTII 2 (dua) tahun pengamatan sifat fisik tanah dilakukan di jalur tanam dan di bawah tegakan pada kedalaman 0-10 cm dan cm. Jika mengacu pada hasil analisis sifat fisik tanah dalam tabel 20 dapat dilihat bahwa nilai yang terdapat di hutan primer tidak jauh berbeda dengan nilai yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun untuk masing-masing parameter. Bobot isi (bulkdensity) dapat menjadi suatu petunjuk tidak langsung kepadatan tanah, udara, air, dan penerobosan akar tumbuhan ke dalam tubuh tanah. Keadaan tanah yang padat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karena akar-akarnya tidak berkembang dengan baik (Baver et al dalam Poerwowidodo 2004). Pengukuran nilai bobot isi yang terdapat pada hutan primer adalah 0,93 g/cm 3. Sedangkan nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun berkisar antara 0,84-1,28 g/cm 3. Nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman cm cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kedalaman 0-10 cm, baik itu pada jalur tanam maupun dibawah tegakan. Hal ini diduga akibat adanya aktivitas alat berat pada saat kegiatan penebangan dua tahun sebelumnya. Masuknya alat berat ke dalam plot penelitian dapat menyebabkan pemadatan tanah, sehingga menyebabkan kenaikan nilai bobot isi pada tanah lapisan atas (0-10 cm). Menurut Hardjowigeno (2003) bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah. Pada umumnya bobot isi tanah di daerah tropis berkisar dari 1,1-1,6 g/cm 3. Dari hasil penelitian ini, bobot isi tanah pada plot penelitian bisa dikatakan cukup rendah dan masih berada dalam selang kategori normal karena nilai yang diperoleh berada diantara kriteria tersebut. Meskipun terjadi kenaikan nilai bobot isi dari kondisi hutan primer ke LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun kenaikan nilai bobot isi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terlalu besar. Makin padat suatu tanah makin tinggi bobot isi tanah yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Begitu pula sebaliknya, tanah dengan bobot isi rendah akan menyebabkan akar tanaman lebih mudah berkembang. Selain bobot isi, sifat fisik tanah lainnya yang diamati adalah air tersedia dan permeabilitas. Air tersedia merupakan air yang terdapat antara kapasitas

70 54 lapang dan koefisien layu (Soepardi, 1983). Sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk mentransfer air atau udara, serta biasanya diukur dengan istilah jumlah air yang mengalir melalui tanah dalam waktu yang tertentu dan ditetapkan sebagai inchi/jam (Hakim 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa air tersedia yang terdapat di plot penelitian pada kondisi hutan primer adalah 10,41%. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun air tersedia pada kedalaman 0-10 cm berkisar antara 6,13%-13,17% dan pada kedalaman cm berkisar antara 12,05%-15,65%. Jika mengacu pada tabel 20, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai kadar air tersedia di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Nilai air tersedia terbesar terdapat di jalur tanam pada kedalaman cm. Hal ini diduga karena akar tanaman yang terdapat di jalur tanam dianggap sudah mampu menyimpan air secara optimal sehingga menyebabkan nilai air tersedia pada jalur tanam lebih tinggi. Begitu juga dengan nilai permeabilitas tanah. Jika diamati, nilai permeabilitas yang terdapat pada tabel 20 sangat bervariasi. Nilai permeabilitas tanah pada hutan primer adalah 2,74 cm/jam. Sedangkan nilai permeabilitas tanah di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman cm cenderung lebih besar dibandingkan pada kedalaman 0-10 cm, baik yang terdapat di jalur tanam maupun dibawah tegakan. Pada kedalaman 0-10 cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 1,35-4,43 cm/jam. Sedangkan pada kedalaman cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 3,11-10,40 cm/jam. Menurut Hardjowigeno (2003) permeabilitas tanah dikatakan sangat cepat apabila nilainya > 25,0 cm/jam, cepat apabila nilainya 12,5-25,0 cm/jam, agak cepat apabila nilainya 6,5-12,5 cm/jam, sedang apabila nilainya 2,0-6,5 cm/jam, agak lambat apabila nilainya 0,5-2,0 cm/jam, lambat apabila nilainya 0,1-0,5 cm/jam, dan dikatakan sangat lambat jika nilainya <0,1 cm/jam. Berdasarkan pernyataan tersebut, nilai permeabilitas yang terdapat di plot pengamatan pada hutan primer cenderung sedang. Di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 0-10 cm, baik di jalur tanam maupun di bawah tegakan, permeabilitas tanahnya dapat dikatakan agak lambat-sedang. Sedangkan pada kedalaman cm nilai permeabilitasnya cenderung sedang-agak cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah pada kedalaman 0-10 cm di lokasi penelitian untuk meloloskan

71 55 air ke lapisan dibawah cenderung lambat. Namun apabila air tersebut sudah berada di lapisan pada kedalaman cm, maka air tersebut cenderung dengan mudah diloloskan oleh tanah. Syarief (1985) diacu dalam Musthofa (2007) menyatakan bahwa permeabilitas dapat menghilangkan daya air untuk mengerosi tanah, sedangkan drainase mempengaruhi baik buruknya pertukaran udara. Selanjutnya faktor tersebut mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dan perakaran dalam tanah Sifat Kimia Tanah Poerwowidodo (2004) menyatakan bahwa tingkat kesuburan tanah dapat diukur berdasarkan gatra kimiawinya. Dalam penelitian ini, dilakukan juga analisis terhadap sifat kimia tanah dengan tujuan untuk mengetahui kadar hara yang terdapat pada tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah ph dan Kapastas Tukar Kation (KTK). Berdasarkan analisis kimia tanah yang dilakukan, maka diperoleh hasil seperti pada tabel 21 berikut Tabel 21 Hasil pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Kondisi Hutan Lokasi Kelerengan ph 1:1 KTK H 2 O KCl (me/100 g) Primer - - 4,80 4,00 8,58 Jalur Tanam Datar (0-15 %) 4,20 3,50 5,63 Sedang (15-25 %) 4,30 3,40 7,80 LOA TPTII 2 Curam (> 25 %) 4,50 3,50 9,83 Tahun Bawah Tegakan Datar (0-15 %) 4,10 3,20 10,50 Sedang (15-25 %) 4,30 3,40 7,88 Curam (> 25 %) 4,40 3,40 9,00 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Tabel 21 menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai ph antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Hutan primer memiliki ph (H 2 O) 4,80. Sedangkan di LOA TPTII 2 (dua) tahun, ph tanah di semua kelerengan berkisar antara 4,10-4,50. Hal ini menunjukkan bahwa ph di areal penelitian termasuk sangat masam, baik di hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun (Olson 1981 dalam Poerwowidodo 2004).

72 56 Derajat kemasaman tanah menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H + di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H + didalam tanah, semakin masam tanah tersebut (Hardjowigeno, 2003). Reaksi tanah (ph) menjadi asam disebabkan karena tingginya curah hujan yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci dan adanya dekomposisi mineral alumunium silikat akan membebaskan ion aluminium (Al 3+ ), Ion tersebut akan dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila di hidrolisis akan menyumbangkan ion H +, akibatnya tanah menjadi masam (Nyakpa et al. 1988). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003). Berdasarkan hasil analisis kimia tanah, maka diperoleh nilai KTK di hutan primer sebesar 8,58 me/100 g. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun nilai KTK-nya berkisar antara 5,63-10,50 me/100 g. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Perdana (2009), nilai KTK yang terdapat pada kedua kondisi hutan tersebut tergolong rendah karena berkisar diantara 5,0-16,00 me/100 g. KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan cirri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran, serta pemupukan. Tanah dengan KTK tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 2003) Hubungan Antara Kondisi Tanah dengan Perkembangan Tegakan di Jalur antara dan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Tanah merupakan suatu tubuh alam, disintesakan dalam bentuk penampang dari berbagai campuran hancuran mineral dan bahan organic. Bila mengandung cukup air dan udara akan menjadi tunjangan mekanik dan makanan bagi tumbuhan (Buckman dan Brady 1974).

73 57 Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal, antara lain kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Riquier 1977 dalam Arsyad 1989) Kegiatan penebangan yang dilaksanakan tentu saja menimbulkan dampak yang nyata pada kondisi tanah yang terdapat di suatu areal bekas tebangan. Pemadatan tanah secara otomatis akan terjadi akibat masuknya alat berat ke dalam hutan yang pada akhirnya akan mengganggu sistem perakaran tanaman, dalam hal ini tingkat semai dan tiang, dimana kedalaman efektif untuk pertumbuhan akar pada tingkat tersebut adalah 0-20 cm. Dan dampak nyata dari pemadatan tanah akibat masuknya alat berat tersbut terjadi setidaknya pada tanah lapisan atas (0-20 cm). Terbentuknya celah (gap) di areal bekas tebangan akibat terbukanya tajuk setelah kegiatan penebangan tentunya juga mempengaruhi sifat kimia tanah yang terdapat di areal tersebut. Mengingat bahwa pada kondisi hutan sebelum adanya kegiatan penebangan merupakan hutan primer dimana siklus hara yang terjadi adalah siklus hara tertutup, maka dengan adanya celah tersebut akan memungkinkan terjadinya pencucian hara yang lebih cepat. Sehingga dapat menurunkan kualitas kimia tanah tersebut. Kegiatan penebangan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya pada areal pengamatan tentu saja juga menimbulkan efek terhadap sifat fisik dan sifat kimia pada areal pengamatan. Efek yang ditimbulkan pada tanah tersebut secara tidak langsung juga berdampak terhadap pertumbuhan tegakan baik yang berada di jalur antara maupun tanaman Shorea leprosula Miq. yang terdapat di jalur tanam. Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang komposisi jenis dan kerapatan, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan nilai komposisi jenis dan kerapatan yang tinggi untuk tingkat semai dan pancang di LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan keadaan pada hutan primer. Sementara itu, nilai komposisi jenis maupun kerapatan untuk tingkat tiang dan pohon cenderung stabil

74 58 atau tidak berkurang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi semai dan pancang terhadap sifat fisik dan sifat kimia tanah yang berubah setelah kegiatan penebangan masih kurang. Sementara kemampuan adaptasi untuk tingkat tiang dan pohon sudah lebih baik sehingga perubahan sifat fisik dan sifat kimia tanah tidak terlalu berpengaruh. Oliver dan Larson (1983) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan tegakan akan meningkatkan kelembaban yang memungkinkan akar untuk melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan ruang pori untuk menyimpan kelembaban. Oksigen tanah dan nutrisi akan meningkat seperti juga dengan peningkatan ruang pori. Sehingga akar dan mikroorganisme dapat mengambilnya dari bahan induk tanah dan mengedarkannya ke tanah dan akhirnya ke pohon. Sementara itu, untuk tanaman yang berada dalam jalur tanam dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai diameter rata-rata dan tinggi rata-rata pada pengukuran di tahun kedua. Selain dari perlakuan awal dalam penanaman tanaman S. leprosula, keadaan ini juga tidak terlepas dari kondisi tanah tempat tanaman tersebut tumbuh yang secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman S. leprosula tersebut. Jika dilihat dari sifat kimia yang diamati, tanah pada jalur tanam dapat dikatakan kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum. Hal ini dapat dilihat dari nilai ph yang cenderung kecil dan KTK yang tergolong rendah. Keterbukaan tanah dengan lebar 3 (tiga) meter untuk jalur tanam menyebabkan pencucian hara oleh air hujan lebih cepat terjadi. Hal ini dikarenakan tutupan vegetasi yang hilang akibat kegiatan pembersihan jalur tanam untuk kegiatan penanaman. Akibatnya, tanah pada lapisan atas yang merupakan top soil akan dengan mudah hilang sehingga menyebabkan tingkat kesesuaian untuk pertumbuhan tanaman berkurang. Oleh karena itu, pada awal kegiatan penanaman tanaman S.leprosula dilakukan tindakan pemberian top soil pada lubang tanam untuk mengantisipasi kondisi tanah yang telah mengalami pencucian akibat keterbukaan tajuk.

75 59 Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman hutan di lapangan dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan yang terdiri dari faktor genetis dan faktor lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh gen-gen kromosom yang mempengaruhi proses-proses fisiologis melalui pengendalian pada sintesis enzim-enzim yang berperan ganda pada aneka reaksi fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor lingkungan dimunculkan oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu tanaman yang mempengaruhi proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2000).

76 60 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya ternyata menyebabkan perubahan komposisi dan struktur tegakan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Penurunan jumlah jenis tertinggi yang terjadi pada tingkat semai dan pancang masing-masing adalah sebesar 14 jenis dan 17 jenis, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon komposisi jenisnya cenderung stabil. 2. Dominansi jenis dari kelompok kayu komersial ditebang (KD) masih cukup mendominasi di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada setiap tingkatan vegetasinya. Untuk tingkat semai dan pancang rata-rata nilai Indeks Nilai Penting (INP) dari kelompok kayu KD dari semua kelerengan masing-masing adalah 175,35% dan 130,90%. Sedangkan rata-rata INP untuk tingkat tiang dan pohon dari kelompok kayu KD masing-masing adalah 249,63% dan 230,82%. 3. Struktur tegakan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun masih menunjukkkan karakteristik struktur tegakan hutan alam normal dengan membentuk kurva J terbalik. Meskipun jumlah pohon/ha menurun pada masing-masing kelas diameter, namun ketersediaan pohon tersebut masih tergolong cukup. 4. Keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H ) pada LOA TPTII 2 (dua) tahun berkisar antara 2,11-3,35 dengan tingkat keanekaragaman sedang. Untuk kekayaan jenis (R 1 ) nilainya berkisar antara 2,75-9,11 dengan tingkat kekayaan cukup tinggi. Sedangkan untuk kemerataan jenis (E) nilainya berkisar antara 0,73-0,91 dengan tingkat kemerataan yang cukup tinggi. 5. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) untuk vegetasi pohon hanya 62,75% pada kelerengan datar, 62,58% pada kelerengan sedang, dan 59,69% pada kelerengan curam. Sehingga dapat dikatakan proses suksesi sekunder masih berlangsung pada LOA TPTII 2(dua) tahun dan belum mencapai tahap klimaks. 6. Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq di jalur tanam TPTII pada pengukuran tahun kedua cukup besar, yaitu 80,08%. Rata-rata diameter dan

77 61 tinggi tanaman S. leprosula pada pengukuran tahun kedua adalah 1,70 cm dan 262,20 cm Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perkembangan komposisi dan struktur di areal bekas tebangan pada tahun berikutnya. 2. Kegiatan pemeliharaan tanaman pada jalur tanam perlu dilakukan lebih intensif untuk tetap mempertahankan persentase hidup yang lebih tinggi serta riap dari tanaman di jalur tanam tersebut. 3. Pelaksanaan pemantauan perkembangan tegakan tinggal pada jalur antara dengan melakukan inventarisasi tegakan tinggal secara periodik dan berkesinambungan untuk komposisi dan struktur permudaan atau tegakan yang terdapat di jalur antara.

78 62 DAFTAR PUSTAKA Alrasyid H et al Vamedicum Dipterocarpaceae. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan Departemen Kehutanan. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Ashton PS Dipterocarpaceae. Flora Malesiana Series I-Spermathopyta, Vol.9, Part 2. Sijthoff & Noordhoff International Publishers, Alphen aan den Rijn. The Netherlands. Budiansyah B Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Buckman HO dan NC Brady The Nature and Properties of Soils. New York: McMillan Company. Davis LS dan KN Jhonson Forest Management. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. Departemen Kehutanan Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 200/Kpts-IV/1994 tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang Tidak Produktif. Jakarta: Departemen Kehutanan Petunjuk Pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Jakarta: Departemen Kehutanan. Ewusie JY Pengantar Ekologi Tropika. Usman T, penerjemah. Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Elements of Tropical Ecology.

79 63 Elias Sistem Dan Teknik Silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Di Indonesia. Diklat Was-Ganis Pemanenan Hutan Produksi. Fachrul MF Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Gardner FP, RB Pearce, dan RL Mitchell Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H dan Subiyanto, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gopal B dan N Bhardwaj Elements of Ecology. India: Department of Botany. Rajasthan University. Hakim N et al Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Hanafiah KA Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Heyne K Tumbuhan Berguna Indonesia III. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Indrawan A Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Di dalam: Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Bogor, 23 Agu Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan RI. hlm Indriyanto Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Joker D Informasi Singkat Benih Shorea leprosula Miq. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Kasraji Dinamika Masyarakat Tumbuhan pada Hutan Bekas Tebangan Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah di HPH PT. Minas Pagai Lumber Corporation Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

80 64 Kent M dan P Cooker Vegetation Description and Analysis: A Practical Approach. CRC Press. Kusmana C dan Istomo Diktat Ekologi Hutan. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Lemmens RHMJ dan I Soerianegara Timber Trees: Major Commercial Timbers. Plant Resources of South-East Asia no 5 (1). Bogor: Prosea Foundation. Ludwig JA dan JF Reynolds Statistical Ecology a Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley & Sons. Magurran AE Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd. Marpaung BA Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan Produksi Alam dengan Menggunakan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Martawijaya A et al Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. McNaughton SJ dan LL Wolf Ekologi Umum. Pringgoseputro S dan B Srigandono, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: General Ecology. Misra R Ecology Workbook. New Delhi: Oxford & IBH Publishing House. Mueller-Dombois D, Ellenberg H Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons. Mulyana M, T Hardjanto, dan G Hardiansyah Membangun Hutan Tanaman Meranti (Membedah Mitos Kegagalan Melanggengkan Tradisi Pengusahaan Hutan). Tangerang: Wana Aksara. Musthofa A Perubahan Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Tanah pada Hutan Alam yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

81 65 Nyakpa MY et al Kesuburan Tanah. Lampung: Badan Penerbit Universitas Lampung. Oliver CD dan BC Larson Forest Stand Dynamics. New York: John Wiley and Sons Inc. Pamoengkas P Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) [desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Perdana YI Karakteristik Tanah pada Lahan Bekas Tambang yang Ditanami rumput Signal (Brachiaria decumbens Stapf) di PT. International Nickel Indonesia Sorowako Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Poerwowidodo Mengenal Tanah Hutan: Metode Kaji Tanah. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Poerwowidodo Mengenal Tanah. Bogor: Laboratorium Pengruh Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Prawira S dan IGM Tantra Pengenalan 89 Jenis Pohon Penting. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. PT Erna Djuliawati Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan Tengah. Puslitbangtanah Cara Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis (Uji Tanah). [10 Desember 2009]. Putri IR Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari Terhadap Pertumbuhan Jenis Shorea parvifolia dan Shorea leprosula dalam Sistem TPTI Intensif (Studi Kasus di areal IUPHHK-HA PT. Sarpatim Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rudjiman Identifikasi 15 Jenis Anggota Genus Shorea Roxb. di Kalimantan Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Sastrapradja S et al Jenis-jenis Kayu di Indonesia. Bogor: Proyek Sumberdaya Ekonomi LBN-LIPI.

82 66 Shukla RS dan PS Chandel Fifth Revised and Enlarged Edition: Plant Ecology. New Delhi: Schand & Company Ltd. Sitompul SM dan B Guritno Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soepardi G Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soerianegara I Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Soerianegara I dan A Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Sutarno H dan S Riswan Seri Pengembangan Prosea 5 (2).3 Latihan Mengenal Pohon Hutan: Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. Bogor: Yayasan Prosea Indonesia. Sutisna M Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Vickery ML Ecology of Tropical Plants. John Wiley and Sons. New York. Hlm Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

83 LAMPIRAN 67

84 68 Lampiran 1 Daftar nama jenis yang ditemukan di plot penelitian No Nama Daerah Nama Botani Famili Kelompok Asam gandis Baccaurea sp. Euphorbiaceae KTD 2 Asam mangga & sejenisnya Mangifera sp. Anacardiaceae KTD 3 Bangkirai Shorea laevis Ridley Dipterocarpaceae KD 4 Banitan Sterculia gilva Miq. Sterculiaceae KD 5 Bayur Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae KD 6 Bengkal Palaquium dasyphyllum Pierre ex Dubard Sapotaceae KD 7 Benuang Duabanga moluccana Blume Sonneratiaceae KD 8 Berangan Castanopsis sp. Fagaceae KD 9 Bilayang Pometia sp. Sapindaceae KD 10 Bintangur Calophyllum inophyllum L. Clusiaceae KD 11 Cempedak & sejenisnya Artocarpus champeden Spreng. Moraceae KTD 12 Dara-dara Myristica iners Blume Myristicaceae KD 13 Durian Durio sp. Bombacaceae KTD 14 Garu Aquilaria malaccensis Lam. Thymelaeaceae KD 15 Geronggang Cratoxylon arborescens (Vahl.) Blume Hypericaceae KD 16 Geyumbang Pithecolobium sp. Fabaceae KD 17 Girik Pithecellobium sp. Fabaceae KD 18 Jabon Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq Rubiaceae KTD 19 Jambu-jambu Eugenia sp. Myrtaceae KD 20 Jawar Shorea quadrinervis V. Sl. Dipterocarpaceae KD 21 Jelutung Dyera costulata (Miq) Hook. F Apocynaceae JL 22 Juji Dialium sp. Fabaceae KTD 23 Kapul & sejenisnya Baccaurea dulois Muell. Arg. Euphorbiaceae KTD 24 Kapur Dryobalanops sp. Dipterocarpaceae KD 25 Kayu arang Diospyros malam Bakh. Ebenaceae KD 26 Kayu bawang Scorodocarpus borneensis Becc. Olaceae KD 27 Kedondong hutan Spondias sp. Anacardiaceae KTD 28 Kembayar Canarium denticulatum Blume Burseraceae KD 29 Kempas Koompassia malaccensis Maing. ex. Bent Fabaceae JL 30 Kemuning Murraya paniculata (L) Jack. Rutaceae KD 31 Kenuar Shorea bracteolata Dyer. Dipterocarpaceae KD 32 Keranji & sejenisnya Dialium sp. Fabaceae KD 33 Keruing Dipterocarpus sp. Dipterocarpaceae KD 34 Keruing lowet Dipterocarpus hasseltii Blume Dipterocarpaceae KD 35 Keruing rambut Dipterocarpus gracilis Blume Dipterocarpaceae KD 36 Keruing tempudau Dipterocarpus kuntsleri King Dipterocarpaceae KD 37 Ladang-ladang Koompassia sp. Fabaceae JL 38 Lampai (kelampaian) Sandoricum koetjape (Burm. f.) Merr. Meliaceae KTD 39 Lampung/garung Macaranga conifera (Zoll) Muell. Arg. Euphorbiaceae KTD 40 Langsat & sejenisnya Lansium sp. Meliaceae KTD

85 69 Lampiran 1 (lanjutan) Lempung Shorea leprosula Miq. Dipterocarpaceae KD 42 Lomo jalomo Atuna racemosa Raf. Chrysobalanaceae KD 43 Macaranga (mahang) Macaranga gigantifolia Merr. Euphorbiaceae KTD 44 Manggeris Koompassia excelsa (Becc.) Taub. Fabaceae JL 45 Manggis & sejenisnya Garcinia parvifolia Miq. Guttiferae KTD 46 Markabang Shorea johorensis Foxw. Dipterocarpaceae KD 47 Marlanang Shorea parvifolia Dyer Dipterocarpaceae KD 48 Medang Litsea firma (Blume) Hook. F Lauraceae KD 49 Melapi Shorea atrinervosa Sym. Dipterocarpaceae KD 50 Merading Diploknema ramiflora (Merr.) H.J.Lam Sapotaceae KD 51 Meranti bukit Shorea platyclados Sloot. ex Foxw. Dipterocarpaceae KD 52 Meranti lapang Shorea bracteolata Dyer. Dipterocarpaceae KD 53 Meranti putih Shorea lamellata Foxw. Dipterocarpaceae KD 54 Meranti tahan Hopea mengarawan Miq Dipterocarpaceae KD 55 Meringkau Shorea sp. Dipterocarpaceae KD 56 Merkunyit Shorea assamica Dyer Dipterocarpaceae KD 57 Mersawa Anisoptera sp. Dipterocarpaceae KD 58 Mersiput Shorea longisperma Roxb. Dipterocarpaceae KD 59 Nyatoh Palaquium sp. Sapotaceae KD 60 Nyatoh merah Palaquium gutta (Hook.f.)Baill. Sapotaceae KD 61 Nyatoh putih Palaquium xanthochymus Burck. Sapotaceae KD 62 Nyerakat (meranti batu) Shorea dasyphylla Foxw. Dipterocarpaceae KD 63 Pelawan Tristaniopsis whiteana Griff. Myrtaceae KD 64 Petai & sejenisnya Parkia sp. Fabaceae KTD 65 Pisang-pisang Lophopetalum javanica (Zoll.) turcz Calestraceae KD 66 Poli-poli Cassia sp. Fabaceae KD 67 Pulai Alstonia scholaris (L) R. Br. Apocynaceae KD 68 Rambutan & sejenisnya Nephelium sp. Sapindaceae KTD 69 Rengas Gluta renghas Linn. Anacardiaceae KD 70 Resak Vatica rassak (Korth.) Blume Dipterocarpaceae KD 71 Sengkuang Dracontomelon costatum Blume Anacardiaceae KD 72 Simpur Dillenia excelsa (Jack) Gilg Dilleniaceae KD 73 Tamburan - - KD 74 Tengkawang buah Shorea stenoptera Burck Dipterocarpaceae JL 75 Tengkawang rambut Shorea beccariana Burck Dipterocarpaceae JL 76 Terap pekalong Artocarpus sp. Moraceae KD 77 Ulin Eusideroxylon zwageri Teysm&Binn. Lauraceae JL Keterangan: KD ( Komersial ditebang); KTD (Komersial tidak ditebang); JL (Jenis lain).

86 70 Lampiran 2 Daftar jenis pohon komersial dalam cruising PT. Erna Djuliawati No Jenis Kayu Singkatan dalam Cruising Kode Jenis dalam Peta Pohon dan Tally Sheet Kode Kelompok dalam LHC dan LHP A. KELOMPOK KAYU MERANTI 1 Meranti Merah Kenuar (+) MMK 1 1 Markabang (+) MMM 2 1 Lempung (+) MML 3 1 Jawar (+) MMJ 4 1 Marlanang (+) MMG Meranti Putih Meranti tahan (-) MPT 6 2 Meranti lapang (-) MPL 7 2 Nyerakat (meranti batu) (-) NPN 8 2 Melapi (-) MPM Meranti Kuning Merkunyit (+) MKK 10 3 Mersiput (+) MKS 11 3 Meranti kuning lainnya (+) MKA Kapur Kapur (+) KPR 13 4 Kapur batu (-) KPB Keruing Keruing lowet (-)KRL 15 5 Keruing tempudau (-) KRT 16 5 Keruing rambut (-) KRR Bangkirai (-) BKR 18 6 Temparas (-)LTS Agathis (+) AGT Nyatoh Nyatoh hitam (+) NTH 20 8 Nyatoh putih (+) NTP Mersawa (-) MSW Resak (-) LLR Geronggang (+) LGG Pulai (+) LPU Jelutung Jelutung hitam (+) JLH Jelutung putih (+) JLP Durian burung (+) BHD 85 14

87 71 Lampiran 2 (lanjutan) Campuran Floter (CF) B. KELOMPOK KAYU RIMBA CAMPURAN Benuang (+) LLB Kelempayan (+) LLK Medang (+) LLM Bintangur (+) LBR Dara-dara (+) LDR Bayur (+) LBY Garu (+) LGR Macaranga (mahang) (+) LMA Cempaka hutan (+) LLC Lempung ipil (+) LLI Bengkal (+) LBL Geyumbang (+) LGB Pisang-pisang (+) LPP Rukam (+) LRM Asam kuning (+) AKN Campuran Singker (CS) Juji (-) LLJ Girik (-) LLG Kempas (-) LLL Poli-poli (-) LPL Lomo jalomo (-) LMO Jambu-jambu (-) LJB Sungkai (Lukai) (-) LSI Terap pekalong (-) LTR Asam mangga & sejenisnya (-) BHA Simpur (-) LLS Kayu arang (-) LLA Kayu bawang (-) LKB Sembiring (-) LSM Punaga (-) LLP Bilayang (-) LLD Banitan (-) LBN Kenari (-) LKI Meringkau (-) LMR Kemuning (-) LKG Palawan (-) LWN Pala hutan (-) LPH Araw (-) LAW Sangkuang (-) LSD Alaban (leban) (-) LAN 61 15

88 72 Lampiran 2 (lanjutan) Belumai (-) LBI Cemara hutan (-) LCH Kasturi (-) LKS Merading (-) LMG Ara kendang (-) LAK Kangkala (-) LKK Randu hutan (-) LRH Rawali (marwali) (-) LMI Kayu ipuh (-) LIP Kembayau (-) LKU Merdondong (-) LDD Berangan (-) LBB Cempedak & sejenisnya (-) BHC Manggis & sejenisnya (-) BHM Petai & sejenisnya (-) BHP Keranji & sejenisnya (-) BHK Rambutan & sejenisnya (-) BHR Langsat & sejenisnya (-) BHL Kapul & sejenisnya (-) BKL Kedondong hutan (-) BKH C. KELOMPOK KAYU INDAH 16 Sindur (paru-paru) (+) PRU Ulin (-) ULN Rengas (+) LLR Bungur (-) LBG D. KELOMPOK KAYU DILINDUNGI 20 Manggeris (-) MGR Tengkawang Tengkawang rambut (+) TKR Tengkawang buah (+) TKB Keterangan: (+) = kayu tenggelam/floter; (-) = kayu terapung/singker Sumber: Departemen FE&OA PT. Erna Djuliawati

89 73 Lampiran 3 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Banitan 1.366,67 10,10 0,33 14,04 24,14 2 Tengkawang rambut 1.766,67 13,05 0,17 7,30 20,36 3 Jawar 1.533,33 11,33 0,19 7,87 19,20 4 Jambu-jambu 1.133,33 8,37 0,25 10,67 19,05 5 Medang 766,67 5,67 0,21 8,99 14,65 6 Mersiput 1.333,33 9,85 0,03 1,12 10,98 7 Lempung 733,33 5,42 0,12 5,06 10,47 8 Merkunyit 1.000,00 7,39 0,05 2,25 9,64 9 Asam mangga & sejenisnya 400,00 2,96 0,15 6,18 9,14 10 Keruing rambut 466,67 3,45 0,12 5,06 8,50 11 Nyerakat (meranti batu) 600,00 4,43 0,08 3,37 7,80 12 Bengkal 333,33 2,46 0,11 4,49 6,96 13 Dara-dara 333,33 2,46 0,09 3,93 6,40 14 Kayu arang 333,33 2,46 0,09 3,93 6,40 15 Markabang 466,67 3,45 0,03 1,12 4,57 16 Ulin 233,33 1,72 0,07 2,81 4,53 17 Macaranga (mahang) 66,67 0,49 0,08 3,37 3,86 18 Durian 133,33 0,99 0,05 2,25 3,23 19 Kembayar 166,67 1,23 0,04 1,69 2,92 20 Bayur 133,33 0,99 0,03 1,12 2,11 21 Ladang-ladang 66,67 0,49 0,03 1,12 1,62 22 Meranti lapang 66,67 0,49 0,01 0,56 1,05 23 Poli-poli 33,33 0,25 0,01 0,56 0,81 24 Rengas 33,33 0,25 0,01 0,56 0,81 25 Resak 33,33 0,25 0,01 0,56 0,81 TOTAL ,33 100,00 2,37 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

90 74 Lampiran 4 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Jambu-jambu 432,00 18,41 0,56 14,74 33,15 2 Medang 309,33 13,18 0,43 11,23 24,41 3 Dara-dara 197,33 8,41 0,33 8,77 17,18 4 Banitan 202,67 8,64 0,29 7,72 16,36 5 Resak 149,33 6,36 0,24 6,32 12,68 6 Kayu arang 85,33 3,64 0,15 3,86 7,50 7 Lempung 85,33 3,64 0,13 3,51 7,15 8 Asam mangga & sejenisnya 74,67 3,18 0,15 3,86 7,04 9 Jawar 90,67 3,86 0,12 3,16 7,02 10 Rengas 64,00 2,73 0,16 4,21 6,94 11 Keruing rambut 74,67 3,18 0,12 3,16 6,34 12 Juji 64,00 2,73 0,13 3,51 6,24 13 Tengkawang rambut 69,33 2,95 0,09 2,46 5,41 14 Ulin 48,00 2,05 0,11 2,81 4,85 15 Durian 37,33 1,59 0,08 2,11 3,70 16 Girik 37,33 1,59 0,08 2,11 3,70 17 Kembayar 42,67 1,82 0,07 1,75 3,57 18 Meranti lapang 42,67 1,82 0,07 1,75 3,57 19 Kayu bawang 32,00 1,36 0,05 1,40 2,77 20 Bintangur 21,33 0,91 0,05 1,40 2,31 21 Nyerakat (meranti batu) 21,33 0,91 0,05 1,40 2,31 22 Poli-poli 16,00 0,68 0,04 1,05 1,73 23 Mersiput 16,00 0,68 0,03 0,70 1,38 24 Nyatoh hitam 16,00 0,68 0,03 0,70 1,38 25 Terap pekalong 16,00 0,68 0,03 0,70 1,38 26 Kapul & sejenisnya 10,67 0,45 0,03 0,70 1,16 27 Lampai (kelampaian) 10,67 0,45 0,03 0,70 1,16 28 Merkunyit 10,67 0,45 0,03 0,70 1,16 29 Bangkirai 16,00 0,68 0,01 0,35 1,03 30 Geyumbang 10,67 0,45 0,01 0,35 0,81 31 Bengkal 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 32 Bayur 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 33 Kedondong hutan 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 34 Lomo jalomo 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 35 Macaranga (mahang) 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 36 Melapi 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 37 Merading 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 38 Rambutan & sejenisnya 5,33 0,23 0,01 0,35 0,58 TOTAL 2346,67 100,00 3,80 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

91 75 Lampiran 5 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Jambu-jambu 38,67 15,51 0,37 16,37 0,72 16,35 48,23 2 Juji 29,33 11,76 0,25 11,11 0,49 11,25 34,12 3 Medang 16,00 6,42 0,15 6,43 0,31 7,05 19,90 4 Dara-dara 16,00 6,42 0,13 5,85 0,25 5,61 17,88 5 Banitan 16,00 6,42 0,13 5,85 0,23 5,14 17,40 6 Kayu arang 12,00 4,81 0,11 4,68 0,24 5,43 14,92 7 Girik 10,67 4,28 0,09 4,09 0,23 5,20 13,57 8 Lempung 10,67 4,28 0,09 4,09 0,17 3,96 12,34 9 Resak 9,33 3,74 0,08 3,51 0,16 3,68 10,93 10 Asam mangga & sejenisnya 8,00 3,21 0,08 3,51 0,17 3,90 10,61 11 Nyatoh hitam 9,33 3,74 0,09 4,09 0,12 2,77 10,61 12 Merkunyit 6,67 2,67 0,07 2,92 0,11 2,42 8,01 13 Kayu bawang 5,33 2,14 0,04 1,75 0,12 2,73 6,62 14 Poli-poli 5,33 2,14 0,05 2,34 0,09 2,13 6,61 15 Rambutan & sejenisnya 5,33 2,14 0,04 1,75 0,11 2,50 6,39 16 Tengkawang rambut 5,33 2,14 0,05 2,34 0,08 1,79 6,27 17 Rengas 5,33 2,14 0,04 1,75 0,10 2,30 6,19 18 Kembayar 4,00 1,60 0,04 1,75 0,09 2,17 5,53 19 Keruing rambut 2,67 1,07 0,03 1,17 0,09 2,17 4,41 20 Mersawa 2,67 1,07 0,03 1,17 0,07 1,69 3,93 21 Terap pekalong 2,67 1,07 0,03 1,17 0,05 1,15 3,39 22 Mersiput 2,67 1,07 0,03 1,17 0,04 0,98 3,22 23 Bintangur 2,67 1,07 0,03 1,17 0,03 0,78 3,02 24 Durian 2,67 1,07 0,03 1,17 0,03 0,75 2,99 25 Macaranga (mahang) 2,67 1,07 0,03 1,17 0,03 0,64 2,88 26 Jawar 2,67 1,07 0,03 1,17 0,03 0,58 2,82 27 Nyerakat (meranti batu) 2,67 1,07 0,03 1,17 0,02 0,48 2,72 28 Lomo jalomo 1,33 0,53 0,01 0,58 0,04 0,86 1,98 29 Markabang 1,33 0,53 0,01 0,58 0,03 0,69 1,81 30 Pulai 1,33 0,53 0,01 0,58 0,03 0,61 1,73 31 Jelutung hitam 1,33 0,53 0,01 0,58 0,02 0,47 1,59 32 Bayur 1,33 0,53 0,01 0,58 0,02 0,40 1,52 33 Pisang-pisang 1,33 0,53 0,01 0,58 0,02 0,40 1,52 34 Geyumbang 1,33 0,53 0,01 0,58 0,02 0,34 1,46 35 Ulin 1,33 0,53 0,01 0,58 0,02 0,34 1,46 36 Manggeris 1,33 0,53 0,01 0,58 0,01 0,31 1,43 TOTAL 249,33 100,00 2,28 100,00 4,38 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

92 76 Lampiran 6 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Lempung 19,33 11,55 0,55 10,22 3,62 18,74 40,52 2 Jambu-jambu 19,67 11,75 0,45 8,48 2,00 10,36 30,59 3 Medang 19,33 11,55 0,55 10,22 1,52 7,86 29,64 4 Juji 14,00 8,37 0,44 8,23 1,10 5,71 22,31 5 Tengkawang rambut 10,67 6,37 0,33 6,23 1,36 7,05 19,66 6 Girik 10,67 6,37 0,31 5,74 1,14 5,89 18,00 7 Dara-dara 6,00 3,59 0,21 3,99 0,46 2,38 9,96 8 Durian 4,33 2,59 0,17 3,24 0,79 4,06 9,89 9 Rambutan & sejenisnya 6,00 3,59 0,23 4,24 0,38 1,99 9,81 10 Ulin 4,00 2,39 0,16 2,99 0,57 2,94 8,32 11 Kayu arang 4,67 2,79 0,17 3,24 0,30 1,56 7,59 12 Merkunyit 4,00 2,39 0,15 2,74 0,34 1,74 6,88 13 Keruing rambut 2,33 1,39 0,09 1,75 0,62 3,20 6,34 14 Jawar 2,67 1,59 0,07 1,25 0,60 3,12 5,96 15 Bintangur 3,00 1,79 0,12 2,24 0,26 1,34 5,37 16 Kembayar 2,33 1,39 0,09 1,75 0,35 1,83 4,97 17 Banitan 3,00 1,79 0,11 2,00 0,19 0,96 4,75 18 Rengas 2,67 1,59 0,11 2,00 0,22 1,12 4,71 19 Mersiput 1,33 0,80 0,05 1,00 0,47 2,43 4,23 20 Kayu bawang 2,33 1,39 0,08 1,50 0,23 1,19 4,08 21 Meranti lapang 1,67 1,00 0,05 1,00 0,33 1,72 3,72 22 Poli-poli 2,33 1,39 0,08 1,50 0,15 0,77 3,66 23 Pisang-pisang 1,67 1,00 0,07 1,25 0,23 1,17 3,41 24 Asam mangga & sejenisnya 1,67 1,00 0,05 1,00 0,23 1,20 3,19 25 Markabang 1,33 0,80 0,04 0,75 0,29 1,51 3,05 26 Resak 1,67 1,00 0,07 1,25 0,09 0,47 2,72 27 Mersawa 1,33 0,80 0,05 1,00 0,17 0,89 2,68 28 Kedondong hutan 1,33 0,80 0,04 0,75 0,14 0,71 2,26 29 Terap pekalong 1,33 0,80 0,05 1,00 0,06 0,29 2,08 30 Bayur 1,00 0,60 0,04 0,75 0,10 0,51 1,86 31 Nyerakat (meranti batu) 1,00 0,60 0,03 0,50 0,13 0,67 1,77 32 Langsat & sejenisnya 1,00 0,60 0,04 0,75 0,06 0,31 1,66 33 Manggeris 0,67 0,40 0,03 0,50 0,13 0,65 1,55 34 Melapi 0,67 0,40 0,01 0,25 0,17 0,87 1,52 35 Lomo jalomo 0,67 0,40 0,03 0,50 0,06 0,32 1,21 36 Ladang-ladang 0,67 0,40 0,03 0,50 0,04 0,22 1,12 37 Jelutung hitam 0,67 0,40 0,03 0,50 0,04 0,20 1,10 38 Merading 0,67 0,40 0,03 0,50 0,04 0,19 1,09 39 Nyatoh hitam 0,67 0,40 0,03 0,50 0,03 0,14 1,04 40 Kapul & sejenisnya 0,67 0,40 0,03 0,50 0,03 0,13 1,03

93 77 Lampiran 6 (lanjutan) Macaranga (mahang) 0,33 0,20 0,01 0,25 0,09 0,46 0,90 42 Lampung ipil 0,33 0,20 0,01 0,25 0,08 0,42 0,87 43 Geronggang 0,33 0,20 0,01 0,25 0,06 0,32 0,77 44 Bengkal 0,33 0,20 0,01 0,25 0,03 0,13 0,58 45 Garu 0,33 0,20 0,01 0,25 0,02 0,09 0,53 46 Rukem (rukam) 0,33 0,20 0,01 0,25 0,01 0,08 0,52 47 Sembiring tabu hitam 0,33 0,20 0,01 0,25 0,01 0,07 0,52 TOTAL 167,33 100,00 5,35 100,00 19,34 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

94 78 Lampiran 7 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Nyerakat (meranti batu) 6.133,33 24,15 0,16 5,80 29,94 2 Kembayar 4.466,67 17,59 0,17 6,28 23,87 3 Tengkawang rambut 2.566,67 10,10 0,32 11,59 21,70 4 Banitan 1.833,33 7,22 0,29 10,63 17,85 5 Medang 1.133,33 4,46 0,25 9,18 13,64 6 Lempung 1.733,33 6,82 0,12 4,35 11,17 7 Keruing rambut 800,00 3,15 0,19 6,76 9,91 8 Dara-dara 633,33 2,49 0,15 5,31 7,81 9 Jambu-jambu 733,33 2,89 0,13 4,83 7,72 10 Rengas 566,67 2,23 0,09 3,38 5,61 11 Meranti tahan 1.033,33 4,07 0,04 1,45 5,52 12 Jawar 633,33 2,49 0,08 2,90 5,39 13 Resak 500,00 1,97 0,05 1,93 3,90 14 Meranti lapang 366,67 1,44 0,07 2,42 3,86 15 Merkunyit 200,00 0,79 0,07 2,42 3,20 16 Ulin 200,00 0,79 0,07 2,42 3,20 17 Bintangur 266,67 1,05 0,05 1,93 2,98 18 Kayu arang 200,00 0,79 0,05 1,93 2,72 19 Mersiput 200,00 0,79 0,05 1,93 2,72 20 Markabang 166,67 0,66 0,04 1,45 2,11 21 Asam mangga & sejenisnya 133,33 0,52 0,04 1,45 1,97 22 Lampai (kelampaian) 100,00 0,39 0,04 1,45 1,84 23 Melapi 133,33 0,52 0,03 0,97 1,49 24 Bengkal 100,00 0,39 0,03 0,97 1,36 25 Rambutan & sejenisnya 66,67 0,26 0,03 0,97 1,23 26 Bayur 66,67 0,26 0,01 0,48 0,75 27 Geyumbang 66,67 0,26 0,01 0,48 0,75 28 Lomo jalomo 66,67 0,26 0,01 0,48 0,75 29 Pisang-pisang 66,67 0,26 0,01 0,48 0,75 30 Durian 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 31 Juji 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 32 Kapur 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 33 Kayu bawang 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 34 Ladang-ladang 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 35 Manggeris 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 36 Nyatoh hitam 33,33 0,13 0,01 0,48 0,61 TOTAL ,00 100,00 2,76 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

95 79 Lampiran 8 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Banitan 309,33 12,83 0,27 7,41 20,24 2 Dara-dara 240,00 9,96 0,35 9,63 19,59 3 Resak 202,67 8,41 0,36 10,00 18,41 4 Kayu arang 176,00 7,30 0,29 8,15 15,45 5 Medang 144,00 5,97 0,25 7,04 13,01 6 Juji 117,33 4,87 0,24 6,67 11,53 7 Jambu-jambu 128,00 5,31 0,21 5,93 11,24 8 Mersiput 165,33 6,86 0,08 2,22 9,08 9 Tengkawang rambut 96,00 3,98 0,17 4,81 8,80 10 Girik 85,33 3,54 0,16 4,44 7,98 11 Kembayar 117,33 4,87 0,11 2,96 7,83 12 Rengas 74,67 3,10 0,15 4,07 7,17 13 Merkunyit 69,33 2,88 0,13 3,70 6,58 14 Ulin 80,00 3,32 0,07 1,85 5,17 15 Nyerakat (meranti batu) 58,67 2,43 0,08 2,22 4,66 16 Jawar 32,00 1,33 0,07 1,85 3,18 17 Keruing rambut 32,00 1,33 0,07 1,85 3,18 18 Bintangur 26,67 1,11 0,07 1,85 2,96 19 Kayu bawang 21,33 0,88 0,05 1,48 2,37 20 Poli-poli 26,67 1,11 0,04 1,11 2,22 21 Terap pekalong 26,67 1,11 0,04 1,11 2,22 22 Asam mangga & sejenisnya 21,33 0,88 0,04 1,11 2,00 23 Durian 21,33 0,88 0,04 1,11 2,00 24 Geyumbang 21,33 0,88 0,03 0,74 1,63 25 Lempung 16,00 0,66 0,03 0,74 1,40 26 Kapul & sejenisnya 10,67 0,44 0,03 0,74 1,18 27 Markabang 10,67 0,44 0,03 0,74 1,18 28 Mersawa 10,67 0,44 0,03 0,74 1,18 29 Kedondong hutan 10,67 0,44 0,01 0,37 0,81 30 Meranti lapang 10,67 0,44 0,01 0,37 0,81 31 Pisang-pisang 10,67 0,44 0,01 0,37 0,81 32 Bengkal 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 33 Bayur 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 34 Lampai (kelampaian) 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 35 Kenuar 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 36 Paru-paru 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 37 Pulai 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 38 Rambutan & sejenisnya 5,33 0,22 0,01 0,37 0,59 TOTAL 2410,67 100,00 3,60 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

96 Lampiran 9 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Jambu-jambu 45,33 11,76 0,37 11,07 0,73 12,81 35,64 2 Juji 26,67 6,92 0,27 7,91 0,47 8,20 23,02 3 Banitan 28,00 7,27 0,25 7,51 0,36 6,25 21,02 4 Medang 26,67 6,92 0,23 6,72 0,39 6,86 20,50 5 Girik 22,67 5,88 0,17 5,14 0,29 5,12 16,14 6 Nyerakat (meranti batu) 22,67 5,88 0,12 3,56 0,35 6,11 15,55 7 Keruing rambut 21,33 5,54 0,16 4,74 0,29 4,99 15,27 8 Resak 17,33 4,50 0,17 5,14 0,27 4,68 14,32 9 Lempung 17,33 4,50 0,13 3,95 0,26 4,51 12,96 10 Kayu arang 16,00 4,15 0,15 4,35 0,24 4,14 12,64 11 Rambutan & sejenisnya 13,33 3,46 0,12 3,56 0,24 4,22 11,24 12 Poli-poli 9,33 2,42 0,09 2,77 0,14 2,36 7,55 13 Dara-dara 9,33 2,42 0,08 2,37 0,13 2,30 7,10 14 Asam mangga & sejenisnya 8,00 2,08 0,07 1,98 0,17 3,01 7,06 15 Merkunyit 8,00 2,08 0,08 2,37 0,10 1,81 6,26 16 Terap pekalong 8,00 2,08 0,07 1,98 0,09 1,57 5,63 17 Pisang-pisang 6,67 1,73 0,07 1,98 0,08 1,43 5,14 18 Rengas 6,67 1,73 0,07 1,98 0,08 1,40 5,10 19 Nyatoh hitam 6,67 1,73 0,07 1,98 0,07 1,15 4,86 20 Tengkawang rambut 6,67 1,73 0,05 1,58 0,09 1,52 4,83 21 Bintangur 5,33 1,38 0,05 1,58 0,09 1,55 4,52 22 Kembayar 5,33 1,38 0,05 1,58 0,08 1,41 4,38 23 Kayu bawang 5,33 1,38 0,05 1,58 0,08 1,33 4,30 24 Ulin 5,33 1,38 0,05 1,58 0,06 0,97 3,94 25 Dara-dara 4,00 1,04 0,04 1,19 0,08 1,34 3,57 26 Mersiput 4,00 1,04 0,04 1,19 0,04 0,63 2,85 27 Melapi 2,67 0,69 0,03 0,79 0,05 0,85 2,34 28 Langsat & sejenisnya 2,67 0,69 0,03 0,79 0,05 0,79 2,27 29 Paru-paru 2,67 0,69 0,03 0,79 0,04 0,72 2,20 30 Mersawa 2,67 0,69 0,03 0,79 0,04 0,62 2,10 31 Meranti lapang 2,67 0,69 0,03 0,79 0,03 0,53 2,01 32 Pulai 1,33 0,35 0,01 0,40 0,03 0,60 1,34 33 Lampai (kelampaian) 1,33 0,35 0,01 0,40 0,03 0,59 1,33 34 Bengkal 1,33 0,35 0,01 0,40 0,03 0,53 1,27 35 Merading 1,33 0,35 0,01 0,40 0,03 0,47 1,21 36 Marlanang 1,33 0,35 0,01 0,40 0,03 0,44 1,19 37 Ladang-ladang 1,33 0,35 0,01 0,40 0,02 0,41 1,15 38 Simpur 1,33 0,35 0,01 0,40 0,02 0,41 1,15 39 Bayur 1,33 0,35 0,01 0,40 0,02 0,37 1,12 40 Jelutung putih 1,33 0,35 0,01 0,40 0,02 0,36 1,10 41 Manggis & sejenisnya 1,33 0,35 0,01 0,40 0,02 0,26 1,00 42 Jawar 1,33 0,35 0,01 0,40 0,01 0,18 0,92 43 Markabang 1,33 0,35 0,01 0,40 0,01 0,18 0,92 TOTAL 385,33 100,00 3,37 100,00 5,74 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting). 80

97 81 Lampiran 10 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Lempung 16,33 9,11 0,45 7,71 4,00 18,05 34,87 2 Tengkawang rambut 14,67 8,18 0,36 6,12 3,53 15,93 30,23 3 Jambu-jambu 17,00 9,48 0,53 9,07 1,60 7,20 25,75 4 Juji 11,33 6,32 0,36 6,12 0,76 3,41 15,85 5 Girik 11,00 6,13 0,35 5,90 0,71 3,21 15,24 6 Keruing rambut 8,33 4,65 0,25 4,31 1,37 6,17 15,12 7 Medang 7,33 4,09 0,25 4,31 0,60 2,70 11,09 8 Rambutan & sejenisnya 6,67 3,72 0,24 4,08 0,64 2,90 10,69 9 Merkunyit 5,67 3,16 0,16 2,72 0,90 4,06 9,94 10 Ulin 5,00 2,79 0,20 3,40 0,69 3,11 9,30 11 Rengas 5,67 3,16 0,19 3,17 0,57 2,57 8,90 12 Resak 6,00 3,35 0,20 3,40 0,40 1,80 8,55 13 Mersiput 5,67 3,16 0,17 2,95 0,54 2,43 8,54 14 Meranti lapang 4,00 2,23 0,15 2,49 0,79 3,56 8,29 15 Bintangur 5,00 2,79 0,17 2,95 0,56 2,50 8,24 16 Dara-dara 4,33 2,42 0,17 2,95 0,28 1,29 6,65 17 Kayu arang 4,33 2,42 0,16 2,72 0,26 1,17 6,31 18 Nyerakat (meranti batu) 4,33 2,42 0,12 2,04 0,26 1,16 5,62 19 Nyatoh hitam 3,33 1,86 0,13 2,27 0,24 1,08 5,21 20 Durian 3,00 1,67 0,11 1,81 0,35 1,60 5,08 21 Markabang 2,33 1,30 0,08 1,36 0,52 2,33 4,99 22 Pisang-pisang 2,33 1,30 0,09 1,59 0,19 0,85 3,74 23 Kayu bawang 2,67 1,49 0,09 1,59 0,15 0,66 3,73 24 Poli-poli 2,33 1,30 0,09 1,59 0,17 0,75 3,64 25 Mersawa 1,67 0,93 0,07 1,13 0,25 1,14 3,21 26 Banitan 2,00 1,12 0,08 1,36 0,11 0,49 2,97 27 Paru-paru 1,33 0,74 0,04 0,68 0,33 1,51 2,93 28 Langsat & sejenisnya 1,67 0,93 0,07 1,13 0,12 0,52 2,58 29 Jawar 1,33 0,74 0,03 0,45 0,21 0,93 2,13 30 Kembayar 1,33 0,74 0,05 0,91 0,09 0,43 2,08 31 Bengkal 1,00 0,56 0,04 0,68 0,12 0,55 1,79 32 lampung ipil 1,00 0,56 0,04 0,68 0,05 0,24 1,48 33 Petai & sejenisnya 0,67 0,37 0,03 0,45 0,11 0,49 1,31 34 Kedondong hutan 0,67 0,37 0,03 0,45 0,10 0,46 1,29 35 Marlanang 0,67 0,37 0,03 0,45 0,04 0,19 1,01 36 Asam mangga & sejenisnya 0,67 0,37 0,03 0,45 0,04 0,18 1,01 37 Sembiring tabu hitam 0,67 0,37 0,03 0,45 0,04 0,18 1,01 38 Kemuning 0,67 0,37 0,03 0,45 0,04 0,17 0,99 39 Jelutung hitam 0,67 0,37 0,03 0,45 0,04 0,17 0,99 40 Merading 0,67 0,37 0,03 0,45 0,03 0,13 0,96

98 82 Lampiran 10 (lanjutan) Bayur 0,67 0,37 0,03 0,45 0,02 0,11 0,93 42 Cempedak & sejenisnya 0,33 0,19 0,01 0,23 0,09 0,43 0,84 43 Tengkawang buah 0,33 0,19 0,01 0,23 0,09 0,43 0,84 44 Kapul & sejenisnya 0,33 0,19 0,01 0,23 0,04 0,17 0,58 45 Terap pekalong 0,33 0,19 0,01 0,23 0,04 0,17 0,58 46 Ara kendang 0,33 0,19 0,01 0,23 0,03 0,11 0,53 47 Ladang-ladang 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,11 0,52 48 Meranti tahan 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,11 0,52 49 Simpur 0,33 0,19 0,01 0,23 0,01 0,06 0,47 50 Kenuar 0,33 0,19 0,01 0,23 0,01 0,05 0,46 51 Bungur 0,33 0,19 0,01 0,23 0,00 0,02 0,43 TOTAL 179,33 100,00 5,88 100,00 22,16 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

99 83 Lampiran 11 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Tengkawang rambut 2.766,67 16,40 0,24 8,07 24,47 2 Lempung 2.733,33 16,21 0,21 7,17 23,38 3 Jambu-jambu 1.266,67 7,51 0,29 9,87 17,38 4 Medang 1.266,67 7,51 0,24 8,07 15,58 5 Nyerakat (meranti batu) 2.000,00 11,86 0,11 3,59 15,45 6 Banitan 800,00 4,74 0,24 8,07 12,81 7 Kembayar 700,00 4,15 0,20 6,73 10,88 8 Dara-dara 600,00 3,56 0,19 6,28 9,84 9 Keruing rambut 533,33 3,16 0,13 4,48 7,65 10 Ulin 333,33 1,98 0,12 4,04 6,01 11 Meranti lapang 500,00 2,96 0,08 2,69 5,66 12 Asam mangga & sejenisnya 266,67 1,58 0,11 3,59 5,17 13 Merkunyit 500,00 2,96 0,05 1,79 4,76 14 Girik 233,33 1,38 0,07 2,24 3,63 15 Kayu arang 200,00 1,19 0,07 2,24 3,43 16 Rengas 200,00 1,19 0,07 2,24 3,43 17 Jawar 200,00 1,19 0,05 1,79 2,98 18 Bangkirai 166,67 0,99 0,04 1,35 2,33 19 Bintangur 133,33 0,79 0,04 1,35 2,14 20 Juji 133,33 0,79 0,04 1,35 2,14 21 Resak 133,33 0,79 0,04 1,35 2,14 22 Terap pekalong 133,33 0,79 0,04 1,35 2,14 23 Durian 100,00 0,59 0,04 1,35 1,94 24 Lampai (kelampaian) 100,00 0,59 0,04 1,35 1,94 25 Kayu bawang 133,33 0,79 0,03 0,90 1,69 26 Langsat & sejenisnya 100,00 0,59 0,03 0,90 1,49 27 Rambutan & sejenisnya 66,67 0,40 0,03 0,90 1,29 28 Mersawa 100,00 0,59 0,01 0,45 1,04 29 Lomo jalomo 66,67 0,40 0,01 0,45 0,84 30 Mersiput 66,67 0,40 0,01 0,45 0,84 31 Nyatoh hitam 66,67 0,40 0,01 0,45 0,84 32 Poli-poli 66,67 0,40 0,01 0,45 0,84 33 Bengkal 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 34 Geyumbang 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 35 Kapur 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 36 Manggeris 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 37 Markabang 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 38 Sangkuang 33,33 0,20 0,01 0,45 0,65 TOTAL ,67 100,00 2,97 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

100 84 Lampiran 12 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Medang 501,33 14,90 0,45 10,30 25,20 2 Jambu-jambu 341,33 10,14 0,44 10,00 20,14 3 Dara-dara 261,33 7,77 0,33 7,58 15,34 4 Banitan 277,33 8,24 0,29 6,67 14,91 5 Tengkawang rambut 362,67 10,78 0,12 2,73 13,50 6 Resak 160,00 4,75 0,25 5,76 10,51 7 Rengas 128,00 3,80 0,24 5,45 9,26 8 Girik 144,00 4,28 0,21 4,85 9,13 9 Merkunyit 144,00 4,28 0,19 4,24 8,52 10 Kembayar 128,00 3,80 0,19 4,24 8,05 11 Keruing rambut 96,00 2,85 0,21 4,85 7,70 12 Kayu arang 101,33 3,01 0,16 3,64 6,65 13 Juji 96,00 2,85 0,16 3,64 6,49 14 Lempung 101,33 3,01 0,12 2,73 5,74 15 Ulin 58,67 1,74 0,13 3,03 4,77 16 Nyerakat (meranti batu) 53,33 1,58 0,08 1,82 3,40 17 Asam mangga & sejenisnya 42,67 1,27 0,09 2,12 3,39 18 Rambutan & sejenisnya 42,67 1,27 0,08 1,82 3,09 19 Bintangur 32,00 0,95 0,08 1,82 2,77 20 Markabang 37,33 1,11 0,05 1,21 2,32 21 Kayu bawang 26,67 0,79 0,07 1,52 2,31 22 Poli-poli 32,00 0,95 0,05 1,21 2,16 23 Meranti lapang 26,67 0,79 0,05 1,21 2,00 24 Pisang-pisang 26,67 0,79 0,04 0,91 1,70 25 Terap pekalong 21,33 0,63 0,04 0,91 1,54 26 Durian 16,00 0,48 0,04 0,91 1,38 27 Langsat & sejenisnya 16,00 0,48 0,04 0,91 1,38 28 Nyatoh hitam 16,00 0,48 0,04 0,91 1,38 29 Lampai (kelampaian) 16,00 0,48 0,03 0,61 1,08 30 Ladang-ladang 10,67 0,32 0,03 0,61 0,92 31 Geyumbang 10,67 0,32 0,01 0,30 0,62 32 Kedondong hutan 10,67 0,32 0,01 0,30 0,62 33 Paru-paru 10,67 0,32 0,01 0,30 0,62 34 Jawar 5,33 0,16 0,01 0,30 0,46 35 Mersiput 5,33 0,16 0,01 0,30 0,46 36 Nyatoh putih 5,33 0,16 0,01 0,30 0,46 TOTAL 3365,33 100,00 4,40 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

101 85 Lampiran 13 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Medang 30,67 9,79 0,27 9,30 0,51 10,34 29,43 2 Jambu-jambu 25,33 8,09 0,23 7,91 0,45 8,96 24,95 3 Girik 21,33 6,81 0,19 6,51 0,35 7,10 20,42 4 Juji 18,67 5,96 0,17 6,05 0,33 6,56 18,57 5 Rambutan & sejenisnya 18,67 5,96 0,17 6,05 0,32 6,40 18,40 6 Resak 17,33 5,53 0,15 5,12 0,28 5,57 16,22 7 Kayu arang 17,33 5,53 0,15 5,12 0,26 5,18 15,83 8 Banitan 16,00 5,11 0,16 5,58 0,25 5,00 15,69 9 Lempung 16,00 5,11 0,13 4,65 0,24 4,77 14,52 10 Dara-dara 13,33 4,26 0,12 4,19 0,17 3,39 11,83 11 Nyerakat (meranti batu) 13,33 4,26 0,09 3,26 0,20 3,96 11,47 12 Nyatoh hitam 10,67 3,40 0,11 3,72 0,15 2,97 10,09 13 Poli-poli 8,00 2,55 0,08 2,79 0,12 2,43 7,77 14 Keruing rambut 8,00 2,55 0,08 2,79 0,10 1,94 7,28 15 Ladang-ladang 6,67 2,13 0,07 2,33 0,13 2,64 7,10 16 Tengkawang rambut 6,67 2,13 0,07 2,33 0,11 2,19 6,64 17 Rengas 6,67 2,13 0,07 2,33 0,09 1,87 6,33 18 Terap pekalong 5,33 1,70 0,05 1,86 0,11 2,13 5,69 19 Merkunyit 5,33 1,70 0,05 1,86 0,08 1,58 5,14 20 Kayu bawang 5,33 1,70 0,05 1,86 0,07 1,47 5,03 21 Kembayar 5,33 1,70 0,05 1,86 0,06 1,23 4,79 22 Markabang 5,33 1,70 0,04 1,40 0,08 1,64 4,74 23 Macaranga (mahang) 4,00 1,28 0,04 1,40 0,06 1,16 3,84 24 Bengkal 4,00 1,28 0,04 1,40 0,05 1,07 3,75 25 Mersiput 2,67 0,85 0,03 0,93 0,05 1,07 2,85 26 Pisang-pisang 2,67 0,85 0,03 0,93 0,05 1,06 2,84 27 Kedondong hutan 2,67 0,85 0,03 0,93 0,05 1,01 2,80 28 Bintangur 2,67 0,85 0,03 0,93 0,05 0,91 2,69 29 Paru-paru 2,67 0,85 0,03 0,93 0,03 0,68 2,46 30 Meranti lapang 2,67 0,85 0,03 0,93 0,03 0,61 2,39 31 Ulin 2,67 0,85 0,03 0,93 0,02 0,47 2,25 32 Manggis & sejenisnya 1,33 0,43 0,01 0,47 0,04 0,90 1,79 33 Langsat & sejenisnya 1,33 0,43 0,01 0,47 0,04 0,76 1,65 34 Meranti tahan 1,33 0,43 0,01 0,47 0,03 0,61 1,50 35 Jelutung hitam 1,33 0,43 0,01 0,47 0,02 0,36 1,25 TOTAL 313,33 100,00 2,87 100,00 4,97 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

102 86 Lampiran 14 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Lempung 12,33 7,01 0,36 6,09 2,35 11,41 24,52 2 Jambu-jambu 14,33 8,14 0,44 7,45 1,41 6,85 22,44 3 Juji 14,67 8,33 0,44 7,45 0,95 4,63 20,41 4 Tengkawang rambut 9,00 5,11 0,25 4,29 1,94 9,40 18,80 5 Girik 11,67 6,63 0,37 6,32 0,81 3,93 16,88 6 Medang 11,33 6,44 0,33 5,64 0,96 4,66 16,74 7 Keruing rambut 7,67 4,36 0,24 4,06 1,68 8,14 16,56 8 Resak 10,33 5,87 0,32 5,42 0,89 4,34 15,63 9 Ulin 7,00 3,98 0,28 4,74 1,30 6,32 15,04 10 Durian 6,33 3,60 0,25 4,29 0,95 4,62 12,51 11 Kembayar 6,00 3,41 0,19 3,16 0,53 2,59 9,16 12 Rambutan & sejenisnya 4,67 2,65 0,19 3,16 0,44 2,12 7,93 13 Bintangur 3,67 2,08 0,12 2,03 0,78 3,80 7,91 14 Dara-dara 4,67 2,65 0,17 2,93 0,31 1,51 7,10 15 Banitan 5,33 3,03 0,15 2,48 0,25 1,21 6,73 16 Mersiput 3,00 1,70 0,09 1,58 0,66 3,21 6,50 17 Kayu bawang 4,00 2,27 0,15 2,48 0,35 1,70 6,46 18 Poli-poli 3,67 2,08 0,15 2,48 0,27 1,29 5,85 19 Nyerakat (meranti batu) 3,67 2,08 0,13 2,26 0,16 0,77 5,11 20 Paru-paru 2,33 1,33 0,09 1,58 0,39 1,87 4,78 21 Rengas 3,00 1,70 0,11 1,81 0,24 1,17 4,68 22 Mersawa 2,00 1,14 0,08 1,35 0,26 1,25 3,74 23 Asam mangga & sejenisnya 1,67 0,95 0,07 1,13 0,34 1,66 3,73 24 Kayu arang 2,33 1,33 0,09 1,58 0,17 0,81 3,72 25 Nyatoh hitam 2,33 1,33 0,09 1,58 0,16 0,76 3,67 26 Markabang 1,67 0,95 0,07 1,13 0,29 1,42 3,50 27 Langsat & sejenisnya 2,00 1,14 0,08 1,35 0,15 0,71 3,20 28 Merkunyit 2,00 1,14 0,07 1,13 0,18 0,88 3,15 29 Meranti lapang 1,67 0,95 0,07 1,13 0,20 0,99 3,06 30 Pisang-pisang 2,00 1,14 0,08 1,35 0,11 0,55 3,04 31 Ladang-ladang 1,00 0,57 0,04 0,68 0,25 1,22 2,46 32 Merading 1,33 0,76 0,05 0,90 0,10 0,48 2,14 33 Terap pekalong 1,00 0,57 0,04 0,68 0,06 0,30 1,55 34 Kedondong hutan 0,67 0,38 0,03 0,45 0,14 0,68 1,51 35 Simpur 0,67 0,38 0,03 0,45 0,07 0,33 1,16 36 Bengkal 0,67 0,38 0,03 0,45 0,07 0,32 1,15 37 Tengkawang buah 0,33 0,19 0,01 0,23 0,14 0,68 1,09 38 Bilayang 0,67 0,38 0,03 0,45 0,05 0,26 1,09 39 Jawar 0,67 0,38 0,03 0,45 0,02 0,11 0,94 40 Lampung ipil 0,33 0,19 0,01 0,23 0,04 0,21 0,62

103 87 Lampiran 14 (lanjutan) Sembiring tabu hitam 0,33 0,19 0,01 0,23 0,04 0,19 0,61 42 Jelutung hitam 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,12 0,53 43 Bayur 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,11 0,53 44 Ara kendang 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,11 0,53 45 Keranji & sejenisnya 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,11 0,52 46 Lampai (kelampaian) 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,10 0,52 47 Geronggang 0,33 0,19 0,01 0,23 0,02 0,10 0,51 TOTAL 176,00 100,00 5,91 100,00 20,60 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting). Lampiran 15 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Medang 1.633,33 20,94 0,40 26,09 47,03 2 Jambu-jambu 1.600,00 20,51 0,37 24, Lempung 1.466,67 18,80 0,25 16,52 35,33 4 Keruing 1.033,33 13,25 0,12 7,83 21,07 5 Tengkawang rambut 1.033,33 13,25 0,07 4,35 17,60 6 Jawar 200,00 2,56 0,05 3,48 6,04 7 Bangkirai 166,67 2,14 0,05 3,48 5,62 8 Dara-dara 166,67 2,14 0,05 3,48 5,62 9 Banitan 133,33 1,71 0,04 2,61 4,32 10 Nyerakat 100,00 1,28 0,03 1,74 3,02 11 Kayu bawang 66,67 0,85 0,03 1,74 2,59 12 Rengas 66,67 0,85 0,01 0,87 1,72 13 Girik 33,33 0,43 0,01 0,87 1,30 14 Kayu arang 33,33 0,43 0,01 0,87 1,30 15 Rambutan 33,33 0,43 0,01 0,87 1,30 16 Ulin 33,33 0,43 0,01 0,87 1,30 TOTAL 7.800,00 100,00 1,53 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

104 88 Lampiran 16 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Lampung 688,00 43,43 0,43 20,00 63,43 2 Medang 304,00 19,19 0,56 26,25 45,44 3 Lempung 133,33 8,42 0,21 10,00 18,42 4 Jambu-jambu 74,67 4,71 0,13 6,25 10,96 5 Tengkawang rambut 64,00 4,04 0,13 6,25 10,29 6 Dara-dara 53,33 3,37 0,09 4,38 7,74 7 Banitan 42,67 2,69 0,09 4,38 7,07 8 Jawar 42,67 2,69 0,08 3,75 6,44 9 Rambutan 32,00 2,02 0,08 3,75 5,77 10 Rengas 21,33 1,35 0,05 2,50 3,85 11 Girik 21,33 1,35 0,04 1,88 3,22 12 Terap pekalong 16,00 1,01 0,04 1,88 2,89 13 Pulai ,35 0,03 1,25 2,60 14 Benuang 10,67 0,67 0,03 1,25 1,92 15 Kayu arang 10,67 0,67 0,03 1,25 1,92 16 Kembayar 10,67 0,67 0,03 1,25 1,92 17 Markabang 10,67 0,67 0,03 1,25 1,92 18 Keruing 10,67 0,67 0,01 0,63 1,30 19 Kedondong hutan 5,33 0,34 0,01 0,63 0,96 20 Nyatoh 5,33 0,34 0,01 0,63 0,96 21 Ulin 5,33 0,34 0,01 0,63 0,96 TOTAL 1.584,00 100,00 2,13 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

105 89 Lampiran 17 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Medang 50,67 22,22 0,32 16,44 1,00 24,53 63,19 2 Jambu-jambu 32,00 14,04 0,23 11,64 0,56 13,79 39,47 3 Resak 20,00 8,77 0,17 8,90 0,35 8,59 26,26 4 Girik 10,67 4,68 0,11 5,48 0,17 4,18 14,33 5 Rambutan 8,00 3,51 0,08 4,11 0,15 3,74 11,36 6 Banitan 8,00 3,51 0,08 4,11 0,15 3,63 11,25 7 Lempung 8,00 3,51 0,08 4,11 0,14 3,32 10,94 8 Terap pekalong 8,00 3,51 0,08 4,11 0,11 2,67 10,28 9 Dara-dara 6,67 2,92 0,07 3,42 0,10 2,49 8,84 10 Juji 5,33 2,34 0,05 2,74 0,11 2,62 7,70 11 Tengkawang rambut 5,33 2,34 0,05 2,74 0,08 2,07 7,15 12 Rengas 5,33 2,34 0,05 2,74 0,08 2,05 7,13 13 Asam mangga 5,33 2,34 0,05 2,74 0,08 1,98 7,06 14 Bilayang 5,33 2,34 0,05 2,74 0,08 1,89 6,97 15 Kayu arang 5,33 2,34 0,05 2,74 0,07 1,59 6,67 16 Ulin 4,00 1,75 0,04 2,05 0,10 2,42 6,23 17 Keruing tempudau 2,67 1,17 0,03 1,37 0,08 1,84 4,38 18 Nyatoh 2,67 1,17 0,03 1,37 0,07 1,61 4,15 19 Kayu bawang 2,67 1,17 0,03 1,37 0,06 1,35 3,89 20 Kapul 2,67 1,17 0,03 1,37 0,05 1,16 3,69 21 Langsat 2,67 1,17 0,03 1,37 0,04 1,03 3,57 22 Meranti tahan 2,67 1,17 0,01 0,68 0,05 1,26 3,12 23 Meranti lapang 2,67 1,17 0,01 0,68 0,04 1,02 2,87 24 Merkunyit 1,33 0,58 0,01 0,68 0,04 1,00 2,27 25 Nyatoh putih 1,33 0,58 0,01 0,68 0,04 0,97 2,24 26 Mahang 1,33 0,58 0,01 0,68 0,04 0,94 2,21 27 Geyumbang 1,33 0,58 0,01 0,68 0,03 0,76 2,03 28 Meranti putih 1,33 0,58 0,01 0,68 0,03 0,64 1,91 29 Mersiput 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,61 1,88 30 Simpur 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,54 1,81 31 Pisang-pisang 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,53 1,80 32 Keruing rambut 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,50 1,77 33 Jawar 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,44 1,71 34 Tengkawang buah 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,42 1,69 35 Bengkal 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,40 1,67 36 Jabon 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,40 1,66 37 Kembayar 1,33 0,58 0,01 0,68 0,02 0,37 1,64 38 Poli-poli 1,33 0,58 0,01 0,68 0,01 0,36 1,63 39 Ladang-ladang 1,33 0,58 0,01 0,68 0,01 0,32 1,59 TOTAL 228,00 100,00 1,95 100,00 4,09 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

106 90 Lampiran 18 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Jambu-jambu 13,67 17,08 0,40 13,95 1,71 19,74 50,77 2 Medang 11,33 14,17 0,39 13,49 1,01 11,68 39,34 3 Tengkawang rambut 4,00 5,00 0,15 5,12 0,57 6,55 16,67 4 Lempung 4,67 5,83 0,16 5,58 0,45 5,16 16,58 5 Resak 4,67 5,83 0,17 6,05 0,37 4,28 16,16 6 Girik 4,00 5,00 0,16 5,58 0,33 3,76 14,34 7 Kayu arang 4,00 5,00 0,16 5,58 0,21 2,48 13,06 8 Rambutan 3,33 4,17 0,12 4,19 0,25 2,87 11,22 9 Jawar 2,33 2,92 0,09 3,26 0,38 4,40 10,57 10 Keruing 1,33 1,67 0,05 1,86 0,47 5,45 8,98 11 Ulin 2,00 2,50 0,08 2,79 0,23 2,65 7,94 12 Bilayang 2,00 2,50 0,08 2,79 0,20 2,27 7,56 13 Kayu bawang 2,00 2,50 0,07 2,33 0,16 1,81 6,64 14 Dara-dara 1,67 2,08 0,05 1,86 0,13 1,55 5,49 15 Mersiput 1,67 2,08 0,07 2,33 0,08 0,91 5,31 16 Markabang 1,33 1,67 0,05 1,86 0,13 1,50 5,03 17 Durian 1,00 1,25 0,04 1,40 0,17 1,97 4,62 18 Lomo jalomo 0,67 0,83 0,03 0,93 0,23 2,62 4,38 19 Kembayar 1,00 1,25 0,04 1,40 0,06 0,66 3,30 20 Asam mangga 1,00 1,25 0,04 1,40 0,04 0,51 3,16 21 Merading 0,67 0,83 0,03 0,93 0,11 1,32 3,09 22 Lampung/garung 0,33 0,42 0,01 0,47 0,18 2,08 2,97 23 Keruing tempudau 0,67 0,83 0,03 0,93 0,09 1,03 2,80 24 Manggeris 0,33 0,42 0,01 0,47 0,17 1,91 2,79 25 Bintangur 0,67 0,83 0,03 0,93 0,06 0,71 2,47 26 Rengas 0,67 0,83 0,03 0,93 0,06 0,69 2,45 27 Bengkal 0,67 0,83 0,03 0,93 0,05 0,56 2,33 28 Jelutung 0,67 0,83 0,03 0,93 0,05 0,52 2,28 29 Benuang 0,67 0,83 0,01 0,47 0,07 0,75 2,05 30 Terap pekalong 0,67 0,83 0,03 0,93 0,02 0,26 2,02 31 Meranti bukit 0,33 0,42 0,01 0,47 0,09 1,00 1,88 32 Kempas 0,33 0,42 0,01 0,47 0,08 0,94 1,82 33 Kapur 0,67 0,83 0,01 0,47 0,04 0,50 1,79 34 Tengkawang buah 0,33 0,42 0,01 0,47 0,07 0,77 1,65 35 Ladang-ladang 0,33 0,42 0,01 0,47 0,06 0,66 1,54 36 Lampai 0,33 0,42 0,01 0,47 0,06 0,63 1,52 37 Juji 0,33 0,42 0,01 0,47 0,04 0,51 1,39 38 Banitan 0,33 0,42 0,01 0,47 0,03 0,33 1,21 39 Poli-poli 0,33 0,42 0,01 0,47 0,03 0,32 1,20 40 Kedondong hutan 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,27 1,15

107 91 Lampiran 18 (lanjutan) Simpur 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,21 1,09 42 Gaharu 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,21 1,09 43 Kemuning 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,20 1,08 44 Mersawa 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,19 1,07 45 Bayur 0,33 0,42 0,01 0,47 0,02 0,18 1,06 46 Keranji 0,33 0,42 0,01 0,47 0,01 0,15 1,03 47 Bangkirai 0,33 0,42 0,01 0,47 0,01 0,14 1,02 48 Nyerakat 0,33 0,42 0,01 0,47 0,01 0,13 1,01 TOTAL 80,00 100,00 2,87 100,00 8,67 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting). Lampiran 19 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Jambu-jambu 2.766,67 18,78 0, ,91 2 Nyerakat 4.133,33 28,05 0, ,09 3 Medang 1.633,33 11,09 0, ,44 4 Keruing 2.033,33 13,80 0, ,06 5 Jawar 1.266,67 8,60 0, ,86 6 Tengkawang rambut 866,67 5,88 0, ,56 7 Lempung 533,33 3,62 0, ,49 8 Lampung 433,33 2,94 0, ,20 9 Rengas 300,00 2,04 0, ,07 10 Banitan 133,33 0,90 0, ,13 11 Dara-dara 133,33 0,90 0, ,32 12 Kayu arang 66,67 0,45 0, ,07 13 Pulai 66,67 0,45 0, ,07 14 Bintangur 66,67 0,45 0, ,26 15 Nyatoh 66,67 0,45 0, ,26 16 Asam mangga 33,33 0,23 0, ,03 17 Geronggang 33,33 0,23 0, ,03 18 Girik 33,33 0,23 0, ,03 19 Kembayar 33,33 0,23 0, ,03 20 Markabang 33,33 0,23 0, ,03 21 Simpur 33,33 0,23 0, ,03 22 Ulin 33,33 0,23 0, ,03 TOTAL ,33 100,00 1,65 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

108 92 Lampiran 20 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Lampung 730,67 35,31 0,49 19,27 54,58 2 Medang 384,00 18,56 0,63 24,48 43,04 3 Lempung 250,67 12,11 0,27 10,42 22,53 4 Tengkawang rambut 213,33 10,31 0,24 9,38 19,68 5 Banitan 37,33 1,80 0,08 3,13 4,93 6 Rambutan 37,33 1,80 0,08 3,13 4,93 7 Dara-dara 32,00 1,55 0,08 3,13 4,67 8 Kayu arang 42,67 2,06 0,07 2,60 4,67 9 Rengas 37,33 1,80 0,07 2,60 4,41 10 Berangan 32,00 1,55 0,07 2,60 4,15 11 Jambu-jambu 32,00 1,55 0,05 2,08 3,63 12 Nyatoh 26,67 1,29 0,05 2,08 3,37 13 Keruing 26,67 1,29 0,04 1,56 2,85 14 Jawar 21,33 1,03 0,04 1,56 2,59 15 Markabang 21,33 1,03 0,04 1,56 2,59 16 Bintangur 16,00 0,77 0,04 1,56 2,34 17 Terap pekalong 16,00 0,77 0,04 1,56 2,34 18 Nyerakat 26,67 1,29 0,03 1,04 2,33 19 Bangkirai 21,33 1,03 0,03 1,04 2,07 20 Lomo jalomo 21,33 1,03 0,03 1,04 2,07 21 Durian 10,67 0,52 0,03 1,04 1,56 22 Bayur 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 23 Benuang 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 24 Kedondong hutan 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 25 Mersiput 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 26 Nyatoh merah 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 27 Simpur 5,33 0,26 0,01 0,52 0,78 TOTAL 2.069,33 100,00 2,56 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

109 Lampiran 21 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Medang 38,67 17,16 0,29 14,47 0,71 17,77 49,40 2 Jambu-jambu 32,00 14,20 0,23 11,18 0,60 14,98 40,37 3 Dara-dara 17,33 7,69 0,16 7,89 0,27 6,68 22,26 4 Banitan 16,00 7,10 0,15 7,24 0,24 5,94 20,27 5 Girik 12,00 5,33 0,12 5,92 0,25 6,18 17,43 6 Resak 10,67 4,73 0,11 5,26 0,22 5,62 15,62 7 Mersiput 8,00 3,55 0,08 3,95 0,15 3,84 11,34 8 Rambutan 8,00 3,55 0,07 3,29 0,12 3,01 9,85 9 Langsat 6,67 2,96 0,07 3,29 0,13 3,28 9,53 10 Keruing 5,33 2,37 0,05 2,63 0,11 2,80 7,80 11 Kayu arang 5,33 2,37 0,05 2,63 0,09 2,34 7,34 12 Kedondong hutan 5,33 2,37 0,05 2,63 0,09 2,21 7,21 13 Juji 5,33 2,37 0,05 2,63 0,08 1,95 6,94 14 Lempung 5,33 2,37 0,05 2,63 0,08 1,91 6,91 15 Nyerakat 4,00 1,78 0,04 1,97 0,09 2,24 5,99 16 Keruing tempudau 2,67 1,18 0,03 1,32 0,05 1,27 3,77 17 Durian 2,67 1,18 0,03 1,32 0,05 1,25 3,75 18 Kayu bawang 2,67 1,18 0,03 1,32 0,05 1,24 3,74 19 Melapi 2,67 1,18 0,03 1,32 0,05 1,22 3,72 20 Rengas 2,67 1,18 0,03 1,32 0,04 1,08 3,58 21 Cempedak 2,67 1,18 0,03 1,32 0,04 1,08 3,58 22 Bengkal 2,67 1,18 0,03 1,32 0,04 1,05 3,55 23 Nyatoh merah 2,67 1,18 0,03 1,32 0,03 0,73 3,23 24 Bilayang 1,33 0,59 0,01 0,66 0,04 1,02 2,27 25 Petai 1,33 0,59 0,01 0,66 0,04 1,00 2,25 26 Bintangur 1,33 0,59 0,01 0,66 0,04 0,89 2,14 27 Markabang 1,33 0,59 0,01 0,66 0,03 0,85 2,10 28 Ulin 1,33 0,59 0,01 0,66 0,03 0,66 1,91 29 Pelawan 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,61 1,86 30 Kapur 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,60 1,85 31 Merading 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,57 1,82 32 Berangan 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,56 1,81 33 Poli-poli 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,54 1,79 34 Simpur 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,44 1,69 35 Keranji 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,43 1,68 36 Keruing lowet 1,33 0,59 0,01 0,66 0,02 0,43 1,68 37 Tengkawang rambut 1,33 0, ,66 0,02 0,41 1,66 38 Terap pekalong 1,33 0,59 0,01 0,66 0,01 0,37 1,62 39 Kembayar 1,33 0,59 0,01 0,66 0,01 0,32 1,57 40 Meringkau 1,33 0,59 0,01 0,66 0,01 0,32 1,57 41 Geyumbang 1,33 0,59 0,01 0,66 0,01 0,28 1,53 TOTAL 225,33 100,00 2,03 100,00 3,99 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting). 93

110 94 Lampiran 22 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Tengkawang rambut 5,33 6,43 0,17 5,86 3,35 28,09 40,37 2 Jambu-jambu 11,67 14,06 0,37 12,61 1,21 10,09 36,76 3 Medang 8,67 10,44 0,28 9,46 0,54 4,54 24,44 4 Lempung 4,33 5,22 0,15 4,95 1,15 9,59 19,77 5 Girik 5,00 6,02 0,19 6,31 0,35 2,92 15,25 6 Keruing 4,00 4,82 0,15 4,95 0,60 4,99 14,76 7 Ulin 3,33 4,02 0,13 4,50 0,58 4,84 13,37 8 Resak 3,00 3,61 0,07 2,25 0,34 2,84 8,71 9 Kayu bawang 2,00 2,41 0,08 2,70 0,40 3,31 8,42 10 Keruing tempudau 2,00 2,41 0,07 2,25 0,39 3,22 7,89 11 Durian 2,33 2,81 0,09 3,15 0,14 1,19 7,15 12 Markabang 1,67 2,01 0,07 2,25 0,34 2,83 7,09 13 Kayu arang 2,33 2,81 0,08 2,70 0,13 1,06 6,57 14 Banitan 2,00 2,41 0,08 2,70 0,14 1,17 6,28 15 Dara-dara 2,00 2,41 0,08 2,70 0,11 0,89 6,01 16 Lomo jalomo 1,67 2,01 0,05 1,80 0,17 1,42 5,23 17 Rambutan 1,67 2,01 0,07 2,25 0,11 0,91 5,17 18 Marlanang 1,00 1,20 0,04 1,35 0,30 2,52 5,08 19 Jawar 1,33 1,61 0,05 1,80 0,13 1,12 4,53 20 Bintangur 1,33 1,61 0,05 1,80 0,11 0,92 4,33 21 Poli-poli 1,00 1,20 0,04 1,35 0,13 1,08 3,64 22 Asam mangga 0,67 0,80 0,03 0,90 0,21 1,80 3,50 23 Rengas 1,00 0,40 0,04 1,35 0,11 0,94 3,49 24 Terap pekalong 1,00 0,40 0,04 1,35 0,09 0,73 3,29 25 Simpur 1,00 0,40 0,04 1,35 0,08 0,63 3,19 26 Keruing lowet 1,00 0,40 0,04 1,35 0,07 0,59 3,15 27 Mersiput 1,00 0,40 0,04 1,35 0,06 0,52 3,08 28 Nyatoh merah 1,00 0,40 0,04 1,35 0,05 0,44 3,00 29 Melapi 1,00 0,40 0,04 1,35 0,05 0,43 2,99 30 Keranji 1,00 0,40 0,03 0,90 0,05 0,46 2,56 31 Kemuning 0,67 0,40 0,03 0,90 0,05 0,44 2,14 32 Juji 0,67 0,40 0,03 0,90 0,04 0,36 2,06 33 Kenuar 0,67 0,40 0,03 0,90 0,04 0,34 2,04 34 Nyerakat 0,67 0,40 0,03 0,90 0,04 0,33 2,03 35 Kedondong hutan 0,67 0,40 0,03 0,90 0,04 0,32 2,02 36 Berangan 0,67 0,40 0,03 0,90 0,03 0,29 1,99 37 Langsat 0,33 0,40 0,01 0,45 0,05 0,39 1,25 38 Bengkal 0,33 0,40 0,01 0,45 0,04 0,35 1,20 39 Bilayang 0,33 0,40 0,01 0,45 0,03 0,22 1,08 40 Kembayar 0,33 0,40 0,01 0,45 0,03 0,22 1,07

111 95 Lampiran 22 (lanjutan) Merkunyit 0,33 0,40 0,01 0,45 0,03 0,22 1,07 42 Bayur 0,33 0,40 0,01 0,45 0,02 0,16 1,01 43 Merading 0,33 0,40 0,01 0,45 0,02 0,15 1,00 44 Petai 0,33 0,40 0,01 0,45 0,01 0,11 0,96 TOTAL 83,00 100,00 2,96 100,00 11,94 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting). Lampiran 23 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Medang 2.200,00 23,00 0,53 28,99 51,98 2 Jambu-jambu 1.500,00 15,68 0,35 18,84 34,52 3 Jawar 1.700,00 17,77 0,09 5,07 22,84 4 Tengkawang rambut 800,00 8,36 0,09 5,07 13,43 5 Dara-dara 400,00 4,18 0,13 7,25 11,43 6 Lempung 466,67 4,88 0,11 5,80 10,68 7 Banitan 366,67 3,83 0,11 5,80 9,63 8 Rengas 533,33 5,57 0,05 2,90 8,47 9 Keruing 400,00 4,18 0,05 2,90 7,08 10 Lampung 200,00 2,09 0,05 2,90 4,99 11 Nyerakat 266,67 2,79 0,04 2,17 4,96 12 Kayu arang 100,00 1,05 0,04 2,17 3,22 13 Sengkuang 200,00 2,09 0,01 0,72 2,82 14 Kapul 66,67 0,70 0,03 1,45 2,15 15 Ulin 66,67 0,70 0,03 1,45 2,15 16 Asam mangga 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 17 Bangkirai 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 18 Kembayar 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 19 Manggis hutan 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 20 Markabang 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 21 Nyatoh 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 22 Rambutan 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 23 Resak 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 24 Simpur 33,33 0,35 0,01 0,72 1,07 TOTAL 9.566,67 100,00 1,84 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

112 96 Lampiran 24 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR INP 1 Medang 346,67 20,00 0,55 22,04 42,04 2 Jambu-jambu 250,67 14,46 0,35 13,98 28,44 3 Lempung 277,33 16,00 0,25 10,22 26,22 4 Lampung 261,33 15,08 0,24 9,68 24,75 5 Dara-dara 96,00 5,54 0,21 8,60 14,14 6 Banitan 80,00 4,62 0,12 4,84 9,45 7 Kayu arang 58,67 3,38 0,12 4,84 8,22 8 Keruing 53,33 3,08 0,08 3,23 6,30 9 Rambutan 32,00 1,85 0,07 2,69 4,53 10 Tengkawang rambut 26,67 1,54 0,05 2,15 3,69 11 Durian 21,33 1,23 0,05 2,15 3,38 12 Rengas 21,33 1,23 0,05 2,15 3,38 13 Benuang 37,33 2,15 0,03 1,08 3,23 14 Nyerakat 37,33 2,15 0,03 1,08 3,23 15 Jawar 16,00 0,92 0,04 1,61 2,54 16 Tengkawang buah 26,67 1,54 0,01 0,54 2,08 17 Asam mangga 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 18 Kapul 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 19 Manggis hutan 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 20 Nyatoh 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 21 Resak 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 22 Simpur 10,67 0,62 0,03 1,08 1,69 23 Girik 5,33 0,31 0,01 0,54 0,85 24 Kedondong hutan 5,33 0,31 0,01 0,54 0,85 25 Kembayar 5,33 0,31 0,01 0,54 0,85 26 Nyatoh merah 5,33 0,31 0,01 0,54 0,85 27 Terap pekalong 5,33 0,31 0,01 0,54 0,85 TOTAL 1.733,33 100,00 2,48 100,00 200,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); INP (Indeks Nilai Penting).

113 97 Lampiran 25 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP 1 Medang 21,33 13,56 0,17 11,82 0,40 14,51 39,89 2 Jambu-jambu 18,67 11,86 0,17 11,82 0,32 11,91 35,59 3 Resak 14,67 9,32 0,13 9,09 0,25 9,31 27,72 4 Lempung 14,67 9,32 0,12 8,18 0,23 8,59 26,09 5 Dara-dara 9,33 5,93 0,09 6,36 0,15 5,63 17,93 6 Nyerakat 6,67 4,24 0,07 4,55 0,13 4,60 13,38 7 Girik 6,67 4,24 0,07 4,55 0,10 3,69 12,47 8 Kedondong hutan 5,33 3,39 0,05 3,64 0,09 3,31 10,33 9 Banitan 5,33 3,39 0,05 3,64 0,08 2,81 9,83 10 Rambutan 4,00 2,54 0,04 2,73 0,11 3,87 9,14 11 Tengkawang rambut 4,00 2,54 0,04 2,73 0,09 3,40 8,67 12 Keruing 4,00 2,54 0,04 2,73 0,07 2,41 7,68 13 Asam mangga 4,00 2,54 0,04 2,73 0,06 2,07 7,34 14 Poli-poli 2,67 1,69 0,03 1,82 0,06 2,34 5,86 15 Rengas 2,67 1,69 0,03 1,82 0,05 1,95 5,47 16 Markabang 2,67 1, ,82 0,05 1,76 5,28 17 Kembayar 2,67 1,69 0,03 1,82 0,04 1,46 4,97 18 Juji 2,67 1,69 0,01 0,91 0,03 1,28 3,88 19 Durian 1,33 0,85 0,01 0,91 0,04 1,50 3,25 20 Keranji 1,33 0,85 0,01 0,91 0,04 1,46 3,21 21 Ulin 1,33 0,85 0,01 0,91 0,03 1,23 2,99 22 Merading 1,33 0,85 0,01 0,91 0,03 1,05 2,81 23 Benuang 1,33 0,85 0,01 0,91 0,03 0,97 2,73 24 Lampung 1,33 0,85 0,01 0,91 0,03 0,97 2,73 25 Kayu arang 1,33 0,85 0,01 0,91 0,03 0,93 2,69 26 Meranti putih 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,86 2,62 27 Tamburan 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,86 2,62 28 Keruing tempudau 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,78 2,54 29 Kejumbang belang 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,63 2,39 30 Nyatoh merah 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,57 2,32 31 Keruing rambut 1,33 0,85 0,01 0,91 0,02 0,55 2,31 32 Mersiput 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,53 2,29 33 Bilayang 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,46 2,22 34 Bengkal 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,46 2,21 35 Langsat 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,43 2,19 36 Nyatoh putih 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,42 2,18 37 Simpur 1,33 0,85 0,01 0,91 0,01 0,42 2,18 TOTAL 157,33 100,00 1,47 100,00 2,73 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

114 98 Lampiran 26 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) No. Nama Daerah K KR F FR D DR INP Jambu-jambu 13,00 14,44 0,39 11,89 1,69 13,95 40,28 2 Medang 12,00 13,33 0,39 11,89 1,30 10,71 35,93 3 Ulin 5,33 5,93 0,20 6,15 1,31 10,78 22,85 4 Girik 5,67 6,30 0,20 6,15 0,43 3,53 15,98 5 Durian 3,67 4,07 0,12 3,69 0,87 7,14 14,90 6 Lempung 3,33 3,70 0,13 4,10 0,55 4,50 12,30 7 Resak 3,67 4,07 0,15 4,51 0,27 2,20 10,79 8 Rengas 3,67 4,07 0,15 4,51 0,20 1,62 10,20 9 Banitan 3,33 3,70 0,12 3,69 0,18 1,50 8,90 10 Jawar 3,00 3,33 0,11 3,28 0,22 1,85 8,46 11 Tengkawang rambut 2,33 2,59 0,08 2,46 0,36 2,96 8,02 12 Markabang 2,33 2,59 0,08 2,46 0,32 2,67 7,72 13 Kayu bawang 1,67 1,85 0,07 2,05 0,33 2,73 6,63 14 Kayu arang 1,67 1,85 0,07 2,05 0,30 2,44 6,34 15 Dara-dara 2,33 2,59 0,09 2,87 0,10 0,84 6,30 16 Keruing tempudau 0,67 0,74 0,03 0,82 0,49 4,05 5,61 17 Keranji 1,00 1,11 0,04 1,23 0,38 3,14 5,48 18 Jelutung 0,67 0,74 0,03 0,82 0,37 3,02 4,58 19 Rambutan 1,33 1,48 0,05 1,64 0,17 1,41 4,53 20 Keruing 1,33 1,48 0,05 1,64 0,17 1,37 4,49 21 Terap pekalong 1,00 1,11 0,04 1,23 0,25 2,08 4,42 22 Mersiput 1,33 1,48 0,05 1,64 0,12 0,96 4,09 23 Keruing lowet 1,00 1,11 0,04 1,23 0,20 1,67 4,01 24 Nyatoh putih 0,67 0,74 0,03 0,82 0,24 1,99 3,55 25 Tengkawang buah 0,67 0,74 0,03 0,82 0,22 1,79 3,35 26 Juji 1,00 1,11 0,04 1,23 0,06 0,47 2,81 27 Simpur 0,67 0,74 0,03 0,82 0,12 0,98 2,54 28 Keruing rambut 0,67 0,74 0,03 0,82 0,08 0,63 2,19 29 Asam mangga 0,67 0,74 0,03 0,82 0,07 0,59 2,15 30 Merading 0,67 0,74 0,03 0,82 0,07 0,58 2,14 31 Lomo jalomo 0,67 0,74 0,03 0,82 0,07 0,58 2,14 32 Melapi 0,67 0,74 0,03 0,82 0,07 0,55 2,11 33 Langsat 0,67 0,74 0,03 0,82 0,05 0,40 1,96 34 Kedondong hutan 0,67 0,74 0,03 0,82 0,05 0,39 1,95 35 Kapul 0,67 0,74 0,03 0,82 0,04 0,30 1,86 36 Kembayar 0,67 0,74 0,03 0,82 0,03 0,25 1,81 37 Nyatoh 0,67 0,74 0,03 0,82 0,03 0,23 1,79 38 Pelawan 0,33 0,37 0,01 0,41 0,06 0,46 1,24 39 Kemuning 0,33 0,37 0,01 0,41 0,04 0,37 1,15 40 Pisang-pisang 0,33 0,37 0,01 0,41 0,04 0,36 1,14

115 99 Lampiran 26 (lanjutan) Meringkau 0,33 0,37 0,01 0,41 0,04 0,31 1,09 42 Petai 0,33 0,37 0,01 0,41 0,04 0,29 1,07 43 Bintangur 0,33 0,37 0,01 0,41 0,03 0,23 1,01 44 Bilayang 0,33 0,37 0,01 0,41 0,03 0,22 1,00 45 Asam gandis 0,33 0,37 0,01 0,41 0,02 0,18 0,96 46 Tamburan 0,33 0,37 0,01 0,41 0,02 0,13 0,91 47 Marlanang 0,33 0,37 0,01 0,41 0,02 0,13 0,91 48 Kenuar 0,33 0,37 0,01 0,41 0,01 0,10 0,88 49 Nyerakat 0,33 0,37 0,01 0,41 0,01 0,10 0,88 50 Poli-poli 0,33 0,37 0,01 0,41 0,01 0,10 0,88 51 Nyatoh merah 0,33 0,37 0,01 0,41 0,01 0,10 0,88 52 Geronggang 0,33 0,37 0,01 0,41 0,01 0,09 0,87 TOTAL 90,00 100,00 3,25 100,00 12,15 100,00 300,00 Keterangan: K (Kerapatan); KR (Kerapatan Relatif); F (Frekuensi); FR (Frekuensi Relatif); D (Dominansi); DR (Dominansi Reatif); INP (Indeks Nilai Penting).

116 100 Lampiran 27 Dokumentasi penelitian Lokasi penelitian Petak GG 39 Kondisi jalur tanam di LOA TPTII 2 (dua) tahun

117 101 Kondisi jalur antara di LOA TPTII 2 (dua) tahun (a) Pengukuran (a) diameter dan (b) tinggi terhadap tanaman Shorea leprosula Miq. (b)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 o LU dan 10 o LS (Vickery, 1984).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian yaitu di RPH Jatirejo, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropika Menurut UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, hutan adalah adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Pebruari 2012 di lahan agroforestri Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani yang mempunyai tanaman jati pada hutan rakyat di Desa Karanglayung, Desa Babakan Asem dan Desa Conggeang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH

PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 8 No. 1, April 217, Hal 69-77 ISSN: 286-8227 PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH Growth Development of Logged-Over

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK 11/1/13 MAKALAH SEMINAR/EKSPOSE HASIL PENELITIAN TAHUN 13 BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA SAMARINDA KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK Oleh: Asef

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG Muhammad Syukur Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : msyukur1973@yahoo.co.id ABSTRAKS:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam berupa suatu ekosistem. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Dramaga, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat (Gambar 4.1). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yakni dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELlTlAN

METODOLOGI PENELlTlAN METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO

KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii), DI BLOK CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 KAJIAN ASPEK VEGETASI DAN KUALITAS TANAH SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (STUDI KASUS DI AREAL HPH PT. SARI BUMI KUSUMA, KALIMANTAN TENGAH) PRIJANTO PAMOENGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

STRUKTUR, KOMPOSISI TEGAKAN DAN RIAP TANAMAN

STRUKTUR, KOMPOSISI TEGAKAN DAN RIAP TANAMAN STRUKTUR, KOMPOSISI TEGAKAN DAN RIAP TANAMAN Shorea parvifolia Dyer. PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) DEDY WAHYUDI DEPARTEMEN SILVIKULTUR

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

ABSTRACT PENDAHULUAN. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : (2002) Arti kel (Article) Trop. For. Manage. J. V111 (2) : (2002)

ABSTRACT PENDAHULUAN. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : (2002) Arti kel (Article) Trop. For. Manage. J. V111 (2) : (2002) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : 75-88 (2002) Arti kel (Article) PENERAPAN SISTEM SILVIULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) PADA HUTAN DIPTEROCARPACEAE, HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH (Studi Kasus Di Pulau Sebaik Kabupaten Karimun Kepulauan Riau) IFA SARI MARYANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm ISSN

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm ISSN Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm. 14-19 ISSN 0853 4217 Vol. 15 No.1 PENGARUH PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI JABON (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) PADA MEDIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016. BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Hutan Bambu tepatnya di Kawasan Ekowisata Boon Pring Desa Sanankerto Kecamatan Turen Kabupaten Malang, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Singkat Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci