BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Definisi dan Insiden Ventilator associated pneumonia (VAP) merupakan bagian dari hospital acquired pneumonia dengan kejadian yang cukup tinggi di ICU 1,2,20. VAP didifenisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang dilakukan ventilasi mekanik setelah pemasangan pipa endotrakea selama 48 jam atau lebih. 1,2 Resiko VAP meningkat paling tinggi pada awal rawatan dengan ventilasi mekanik, dimana terjadi peningkatan resiko tiga persen setiap hari dari hari pertama sampai hari kelima. Setelah hari kelima peningkatan resiko sebesar dua persen perhari sampai hari ke sepuluh. Peningkatan resiko sebesar satu persen perhari setelah hari ke sepuluh. 1 Kejadian VAP di ruang perawatan intensif masih sangat tinggi dengan angka mortalitas yang tinggi, lama rawatan yang memanjang dan biaya perawatan yang sangat tinggi. 2 Meskipun belum ada data mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, pada kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP sekitar 9% -27% dengan angka mortalitas 15% - 50%. 1,3,18,22 Tingginya angka ini dipengaruhi oleh populasi pasien dan organisme penyebab, dengan pemanjangan masa rawatan pada VAP sekitar 6.1 hari dan penambahan biaya mencapai dolar Amerika setiap pasien. 3 Menurut onsetnya VAP dikelompokkan dalam 2 kelompok utama yakni VAP onset cepat, dimana kejadian VAP muncul dalam 4 hari pertama setelah dilakukan tindakan ventilasi mekanik, maupun VAP onset lambat yakni VAP yang muncul setelah 4 hari dilakukan tindakan ventilasi mekanik. 2,4. Etiologi dan Patogenesis VAP Patogenesis terjadinya VAP umumnya terjadi akibat mikroaspirasi organisme patogen dari orofaring dan regurgitasi sekresi lambung ke dalam paru disertai penurunan mekanisme 20

2 pertahanan tubuh. 4,22,23. Faktor resiko terhadap kejadian VAP secara umum dikelompokkan dalam 2 kelompok yakni faktor resiko yang masih dapat dimodifikasi maupun faktor resiko VAP yang tidak dapat dimodifikasi. Jenis tindakan medis, pengobatan dan kebiasaan di ICU merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi, sedangkan usia diatas 60 tahun, COPD, ARDS, cedera kepala dan intubasi ulang merupakan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi 21. Diagnosis dan pengobatan yang cepat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas VAP 22 Mengingat aspirasi bakteri dari saluran nafas atas merupakan patogenesis penting dari VAP, maka keberadaan flora normal di rongga mulut menjadi penting diperhatikan. Ada lebih dari 350 spesies bakteri di rongga mulut, yang berkoloni pada beberapa tempat. Streptokokus sanguis, Actynomyces viscosus dan bakteroides gingivalis umumnya berkoloni di gigi. Sreptokokus salivarius umumnya berkoloni di bagian dorsal dari lidah. Sedangkan Streptokokus mitis sering dijumpai pada mukosa bukal dan permukaan gigi. 23 Pada kondisi dimana terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh, misalnya pada pasien critically ill, terjadi penurunan fibronectin yang menyebabkan sistem retikuloendotel sebagai sistem pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen 23 Mikroorganisme penyebab VAP didominasi oleh bakteri patogen, dan dapat disebabkan lebih dari 1 organisme. Penyebab lain seperti jamur dan virus jarang dijumpai. 21 Penyebab yang paling sering adalah bakteri basil gram negative aerobik seperti Pseudomonas aeroginosa, Echercichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Acinetobacter sp. 21 Bakteri kokus gram positif seperti Staphylococus aureus, khususnya MRSA mengalami peningkatan yang pesat dalam kejadian VAP di Amerika Serikat 24. Pneumonia akibat S.aureus lebih sering dijumpai pada pada pasien dengan diabetes mellitus dan cedera kepala yang dirawat di UPI 24. Theron D(2002) membagi mikroorganisme penyebab VAP berdasarkan onset VAP, dimana pada VAP onset cepat sering dijumpai Staphylococus aureus (gram positif), Haemofilus influenza (gram negative) dan Streptokokus pneumonia (gram positif). Sedangkan pada VAP onset lambat bakteri penyebab yang sering dijumpai seperti MRSA, Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter atau enterobacter. 5 21

3 Ozcaka O,dkk (2012) menyebutkan bahwa Acinetobacter baumannii merupakan bakteri yang paling sering menjadi penyebab VAP. 15 Chastre J dan Fagon J (2002), menyebutkan 60 persen bakteri penyebab VAP merupakan bakteri basil gram negatif. Dalam penelitiannya dengan mengumpulkan 2490 aspirat bronkus dari 1689 kasus VAP dengan teknik bronkoskopi dijumpai bahwa patogen penyebab VAP meliputi Pseudomonas aeruginosa, Acinotebacter spp, Stenotrophonomas maltophilia, Enterobacteriaceae, Haemophilus spp, Staphylococcus aureus, Streptococcus spp, Streptococcus pneumoniae, Coagulasenegative staphylococci, Neisseria, mikroorganisme anaerobik, dan jamur (tabel 1). 4 Tabel 1.Patogen penyebab VAP Kuman patogen Frekuensi (%) Pseudomonas aeruginosa 24,4 Acinetobacter spp. 7,9 Stenotrophomonas maltophilia 1,7 Enterobacteriaceae 14,1 Haemophilus spp. 9,8 Staphylococcus aureus 20,4 Streptococcus spp. 8,0 Streptococcus pneumoniae 4,1 Coagulase-negative staphylococci 1,4 Neisseria spp 2,6 Bakteri anaerob 0,9 Lain-lain 3,8 dikutip dari Chastre J, FAgon JY.Ventilator associated pneumonia.am J Respir crit.care med 2002;165: Pneumonia terjadi karena adanya invasi bakteri pada saluran nafas bawah dan parenkim paru yang seharusnya steril, dimana kejadian ini juga dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien. 4 Pada dasarnya tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi paru, seperti adanya 22

4 barier anatomis pada glottis dan laring, reflex batuk, sekresi trakheobronkial, mukosiliari, sistem imunitas humoral dan seluler, sistem fagosit seperti makrofag dan netrofil 4. Gangguan pada sistem ini memungkinkan terjadinya invasi bakteridan kejadian pneumonia. 4 Patogenesis VAP utamanya akibat aspirasi patogen yang berkoloni pada permukaan mukosa orofaring. Tindakan intubasi bukan hanya dapat mengganggu barrier alami antara orofaring dan trakea namun juga dapat menfasilitasi masuknya kuman pada sekitar cuff pipa endotrakea. Fenomena ini sering terjadi pada pasien terintubasi dengan posisi supine di UPI. Pada pasien yang bukan critically ill ataupun rawatan singkat, flora normal dan patogen bisa menjadi penyebab VAP, namun pada pasien critically ill dan rawatan lebih dari 5 hari kuman gram negatif dan Staphylococcus aureus lebih sering dijumpai. 4 Selain aspirasi orofaring, aspirasi material lambung juga dapat menimbulkan kejadian VAP. Kejadian masuknya kuman patogen dari lambung ke orofaring berhubungan dengan tingkat keasaman lambung, dimana pemberian antasida yang dapat merubah keasaman di lambung akan dapat mempengaruhi pola kuman di lambung Manipulasi pada pipa ventilator, sehingga material kondensasi pada pipa ventilator masuk ke dalam saluran nafas pasien juga meningkatkan resiko kejadian VAP. Tindakan bronkoskopi, penghisapan sekret trakea, dan manual ventilasi dengan alat-alat yg terkontaminasi dapat menyebarkan mikroorganisme patogen ke salauran nafas bawah. 4 Sumber kuman patogen lain yang dapat menyebabkan VAP termasuk dari sinus paranasal, plak gigi, daerah subglotik antara pita suara dan cuff pipa endotrakea. 4 Faktor resiko pada VAP penting diketahui, karena akan memberikan informasi tentang besarnya kemungkinan kejadian VAP pada individu maupun populasi. Dengan mengetahui faktor resiko kita dapat memikirkan tindakan preventif terhadap kejadian VAP. 4 Pasien-pasien paska operasi memiliki resiko tinggi terjadinya VAP, dimana hampir sepertiga pasien pneumonia yang dirawat di UPI merupakan pasien paska operasi. Kejadian VAP paska operasi berhubungan dengan kondisi umum dan beratnya penyakit sebelum dilakukan tindakan operasi, seperti nilai albumin serum dan nilai American Society of Anasthesiologist pasien sebelum operasi. Riwayat merokok, lamanya rawatan rumah sakit sebelum di operasi, lamanya tindakan operasi, dan operasi pada abdomen bagian atas ataupun operasi thoraks akan meningkatkan kejadian pneumonia secara bermakna paska operasi. 23

5 Perawatan dengan ventilasi mekanik lebih dari 2 hari juga terbukti meningkatkan resiko kejadian VAP. Selain itu tindakan operasi kardiothoraks dan operasi cedera kepala juga menunjukkan peningkatan resiko timbulnya VAP dibandingkan jenis operasi lainnya. 4 Penggunaan antibiotik di rumah sakit berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pemberian antibiotik dalam 8 hari pertama dapat menurunkan resiko VAP. Pada analisis multivariat terlihat bahwa tindakan resusitasi jantung paru dan pemakaian sedasi secara kontiniu akan meningkatkan resiko VAP, dan penggunaan antibiotik disebutkan dapat mengurangi kejadian timbulnya VAP. Dapat disimpulkan bahwa ternyata penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien di UPI akan menurunkan kejadian VAP, namun disisi lain kejadian patogen multiresisten terhadap antibiotik mengalami peningkatan. 4 Secara teori, pasien yg mendapat profilaksis stress ulcer yang tidak terjadi perubahan keasaman lambung, seharusnya kolonisasi bakteri di lambung juga rendah sehingga angka kejadian VAP juga akan rendah. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa ada hubungan tingkat keasaman lambung dengan kolonisasi bakteri di lambung, dimana pada lambung dengan peningkatan PH diatas 4, setelah pemberian antasida dan H2 bloker terjadi peningkatan kolonisasi bakteri yang bermakna (p<0.001), dimana jenis kuman didominasi oleh bakteri basil gram negative.sucralfate sebagai gastroprotective yang tidak terlalu mempengaruhi PH lambung ternyata lebih rendah dalam menimbulkan kejadian VAP, dan kejadian VAP juga lebih rendah pada pasien yang tidak diberikan sucralfate. Oleh karena itu pemberian profilaksis sebaiknya menjadi perhatian sebab dapat meningkatkan resiko kejadian VAP 4 Adanya pipa endotrakea pada saluran nafas akan menyebabkan trauma lokal dan inflamasi saluran nafas, dimana mekanisme pertahanan saluran nafas juga akan terganggu, dan kemungkinan terjadinya aspirasi kuman patogen pada sekitar cuff pipa endotrakea juga akan meningkat. Pemilihan pipa endotrakea juga dapat mempengaruhi kejadian aspirasi yang tentunya meningkatkan kejadian VAP. Penggunaan pipa endotrakea low volume high pressure menurunkan kejadian VAP sampai 56%, sedangkan penggunaan pipa endotrakea high volume low pressure akan menurunkan kejadian VAP sebesar 20%. Menjaga agar tekanan cuff tetap adekuat menjadi penting, karena leakage pada cuff dapat menyebabkan 24

6 cairan sekresi rongga mulut masuk kedalam trakea. 4 Sekresi subglotik yang terakumulasi di atas cuff ETT dapat masuk ke saluran nafas bawah dan menyebabkan kejadian VAP. Dalam hal ini subglotic secretion drainage menjadi strategi pencegahan kejadian VAP, dengan melakukan penghisapan sekret yang terkumpul di atas cuff ETT tersebut. 25 Tindakan penghisapan sekresi orofaring baik secara kontiniu maupun intermiten dapat mencegah terjadinya aspirasi cairan sekresi ke dalam trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik sehingga mengurangi kejadian VAP. 4 Tindakan intubasi ulang juga ternyata meningkatkan resiko kejadian VAP, dimana hal ini dimungkinkan karena aspirasi mikroorganisme patogen orofaring ke dalam saluran nafas bawah pada pasien dengan disfungsi subglotik dan penurunan kesadaran pada pasien yang diintubasi sebelumnya. Hal lain yang mungkin juga ikut berperan adalah terjadinya aspirasi dari material lambung ke dalam saluran nafas bawah karena masih terpasangnya NGT setelah ekstubasi. Pada satu penelitian case control kejadian VAP sebesar 42% pada pasien yang di intubasi ulang, sedangkan kejadian VAP pada kontrol sebesar 4%. Penelitian lain menyebutkan bahwa intubasi ulang diidentifikasikan sebagai salah satu faktor resiko independent timbulnya VAP (p<0.001). 4 Tindakan early trakeostomy sebagai faktor resiko kejadian VAP masih menjadi kontroversi, dimana masih sedikit penelitian tentang hal ini. Pada beberapa penelitian menunjukkan terjadi penurunan kejadian VAP yang dilakukan tindakan early trakeostomi, namun pada penelitian lain tidak terlihat mamfaat dari tindakan ini dalam pencegahan kejadian VAP. 4 Hampir semua pasien dengan ventilasi mekanik menggunakan nasogastric tube (NGT) untuk evakuasi sekresi lambung dan usus sehingga dapat mencegah distensi lambung.selain itu NGT juga berfungsi untuk mendukung nutrisi pasien. Meskipun secara umum pemasangan NGT bukan merupakan faktor resiko potensial kejadian VAP, namun NGT dapat meningkatkan kolonisasi orofaring dimana terjadi stagnasi sekresi orofaring dan meningkatkan resiko terjadinya refluks oesofagus dan aspirasi.pemberian diet lebih cepat pada pasien critically ill diketahui bermamfaat, namun hal ini dapat meningkatkan kolonisasi bakteri di lambung, refluks oesofagus dan kejadian pneumonia.kejadian pneumonia aspirasi 25

7 lebih tinggi pada pemberian NGT secara bolus dibandingkan dengan dengan pemberian diet melalui NGT secara kontiniu.posisi pasien selama ventilasi mekanik juga mempengaruhi resiko kejadian VAP, dimana pada posisi supine kejadian VAP lebih tinggi dibandingkan dengan posisi semirekumben. 4 Peralatan ventilasi mekanik dapat menjadi sumber bakteri yang bertanggungjawab terhadap kejadian VAP, dimana kontaminasi reservoir nebulizer dapat menyebarkan partikel- partikel kecil. 4 Penggunaan suksion juga dapat berpotensi meningkatkan resiko VAP, dimana penggunaan closed suction dinyakini meminimalisasi kontaminasi mikroorganisme dibandingkan dengan sistem open suction sehingga kejadian VAP juga dapat diminimalisasi. 4 Ventilasi mekanik dengan masalah humidifikasi dapat meningkatkan kolonisasi bakteri pada tubing ETT, dan pembentukan kondensasi sehingga dapat meningkatkan kejadian VAP, dimana dengan humidifikasi kelembaban udara yang diinspirasi dapat diatur. 4 Adanya sinusitis akan meningkatkan kejadian VAP, dimana 67 % pasien dengan ventilasi mekanik yang menderita sinusitis akan mengalami kejadian VAP dalam beberapa hari.penggunaan intubasi nasotrakeal berhubungan dengan kejadian sinusitis yang lebih tinggi dibandingkan dengan intubasi orotrakea. Oleh karena itu tindakan intubasi oral lebih dianjurkan pada pasien denganventilasi mekanik. 26 Transport pasien dengan ventilasi mekanik keluar dari UPI akan meningkatkan kejadian VAP, dimana pasien yang ditransport keluar UPI minimal 1 kali akan meningkatkan resiko kejadian VAP sebesar 24%. 4 Diagnosis VAP Diagnosis VAP pada umumnya didasari pada 3 komponen yaitu tanda infeksi sistemik, dijumpainya infiltrat baru atau perburukan infiltrat pada foto radiologis dada dan adanya bukti infeksi bakteri pada parenkim paru. Tanda-tanda infeksi sistemik meliputi demam, takikardi, dan leukositosis, merupakan tanda yang tidak spesifik, dimana tanda ini juga ditemukan pada infeksi lainnya. Adanya infiltrat pada foto radiologis dada juga perlu dibedakan dengan kejadian edema paru baik kardiogenik maupun nonkardiogenik, dan 26

8 kontusio paru. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sekret trakea penting dilakukan dalam menentukan kuman penyebab pneumonia, meskipun ternyata kebanyakan pasien rawatan UPI mengalami peningkatan jumlah koloni kuman patogen pada orofaring meskipun tidak terinfeksi pneumonia. 4 Pada 1991, Pugin,dkk memperkenalkan CPIS dengan menilai kombinasi dari tandatanda klinis pada pasien yang dicurigai mengalami VAP, meliputi temperatur, leukosit darah, sekresi trakeobronkial, radiologis dada, perbandingan PaO2/FiO2 sebagai parameter untuk mendiagnosa VAP. Tabel 2.Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) : Variabel Nilai Demam 0 = 36,5 0 C dan 38,4 0 C 1 = 38,5 0 Cdan 38,9 0 C 2 = 39 0 C atau < 36,5 0 C Leukosit darah 0= 4000 dan = < 4000 atau > = < 4000 atau > bentuk band 50 % Sekret trakea 0 = tidak ada 1 = sekret non purulen 2 = sekret purulen PaO 2 /FiO 2 0 = >240, ARDS atau kontusio paru 2 = 240 tanpa ARDS Radiologis dada 0 = tidak dijimpai infiltat 1 = infiltrat yang difus 2 = infiltrat terlokalisir dikutip dari Miney J,dkk. Guidelines for prevention, diagnosis and treatment of ventilator associated pneumonia (VAP) in the trauma patient. J Trauma.2006; 60:

9 Disebutkan bahwa CPIS lebih dari 6 berhubungan dengan angka kejadian VAP dengan sensitivitas 89%,spesifisitas 47%,positive predictive value 57% dan negative predictive value 84%. 4 Pada penelitian lain Singh,dkk menggunakan CPIS modifikasi sebagai algoritma dalam menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu,dimana CPIS kurang dari 6 dalam 3 hari, penggunaan antibiotik dapat dihentikan. 28 Mengingat VAP merupakan pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dilakukan tindakan intubasi dan ventilasi mekanik, maka penilaian CPIS untuk mendiagnosa VAP juga dilakukan setelah 48 jam tindakan ventilasi mekanik. Spesimen kuman dapat diambil dengan metode invasif maupun non invasif.bronkoalveolar lavage (BAL) dan protected specimen brush (PSB) merupakan tindakan invasif pengambilan sampel, sedangkan tindakan nonivasif dilakukan dengan metode aspirasi endotrakea. 4 Diagnosis VAP diambil setelah sebelumnya pasien dinyakini tidak terkena pneumonia. Nilai CPIS lebih dari 6 dapat digunakan untuk mendiagnosis kejadian VAP pada pasien, sedangkan bila CPIS dibawah 6 diagnosa VAP dapat disingkirkan. 27 Pencegahan VAP Dengan memahami patogenesis VAP, maka kita dapat menyusun strategi dalam pencegahan kejadian VAP. Secara garis besar pencegahan VAP dibagi dalam 2 kelompok, yakni pencegahan secara non farmakologis maupun pencegahan secara farmakologis. 27 Mengingat aspirasi sekret orofaring maupun sekresi lambung dan saluran cerna menjadi patogenesis utama dalam VAP, maka secara non farmakologis, tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah kejadian ini. Sedangkan secara farmakologis dilakukan tindakantindakan dengan obat-obatan untuk mencegah kolonisasi bakteri di orofaring maupun di lambung yang dapat masuk ke saluran nafas bawah ketika terjadi aspirasi. 4,24 Tindakan - tindakan pencegahan VAP yang dilakukan secara non farmakologis lebih mudah dan lebih murah bila dibandingkan dengan tindakan secara farmakologi. Secara non farmakologis dapat dilakukan beberapa tindakan seperti menghindari tindakan intubasi trakea jika memungkinkan, mengusahakan waktu penggunaan ventilasi mekanik yang singkat, memberikan pemahaman kepada staf di ICU tentang VAP dan pentingnya 28

10 pencegahannya, melakukan sucksioning subglotic, mengutamakan intubasi oral dibandingkan intubasi nasal, menghindari manipulasi pada sirkuit ventilator, posisi semirecumben, mencegah kejadian distensi lambung, mencegah terbentuknya biofilm, melakukan tindakan asepsis pada tangan sebelum melakukan kontak dengan pasien. 4,7,24 Meskipun hal-hal tersebut diatas sudah dilakukan dan menjadi prosedur tetap di UPI, angka kejadian VAP masih cukup tinggi, sehingga pencegahan secara farmakologis masih diperlukan.. Pencegahan VAP secara farmakologi Pencegahan secara farmakologis dapat dilakukan dengan dekontaminasi orofaring maupun selective dekontaminaton of the digestive (SDD).Tindakan SDD dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik yang tidak dapat diserap. Namun pencegahan dengan cara ini akan menimbulkan permasalahan munculnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Demikian juga tindakan dekontaminasi oral dengan antibiotik juga akan menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotik. Menginngat hal tersebut diatas, maka tindakan dekontaminasi oral dengan menggunakan zat antiseptik menjadi pilihan saat ini. Beberapa zat antiseptik yang dapat digunakan pada dekontaminasi orofaring seperti klorhexidin, povidone iodine, hydrogen peroksida, dan listerine. 12 Pada beberapa literatur disebutkan tentang penggunaan klorheksidin dan listerine sebagai zat dekontaminasi orofaring dalam menurunkan kejadian VAP. 5 Ozcaka O dkk (2012), menyebutkan penggunaan klorheksidin swab pada mukosa mulut menunjukkan penurunan kejadian VAP dibandingkan dengan saline 0.9% ( 41,4% dan 68.8%) 15 Pada penelitian Tantipong H,dkk (2008) disebutkan bahwa dekontaminasi oral dengan klorheksidine 2% efektif dan aman dalam menurunkan kejadian VAP. 16 Houston S dkk (2002), membandingkan pemakainan klorheksidin 0,12% dengan listerine sebagai kontrol 2 kali sehari pada 561 sampel dengan ventilasi mekanik yang dipilih secara acak. Kejadian nosokomial pneumonia pada kelompok klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine dijumpai tidak bermakna (4/270 dan 9/291, p=0,21). Pemeriksaan kultur menunjukkan pertumbuhan bakteri lebih sering pada kelompok 29

11 klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine, dimana perbedaan ini juga tidak bermakna (52/270 dan 44/291, p=0,19). 13 Snyders O,dkk (2011) menyebutkan dekontaminasi orofaring dengan klorheksidin menurunkan kejadian VAP sebesar 36%, dimana penggunaan klorheksidin 2% disebutkan paling efektif dalam menurunkan kejadian VAP. 28 Selain klorheksidin, listerine juga dapat digunakan sebagai dekontaminasi oral dalam pencegahan VAP. Gordon J,dkk (1985) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa listerine kumur secara bermakna menurunkan munculnya plak gigi serta mencegah perkembangan gingivitis Klorheksidin Klorheksidin telah dipakai secara luas dikalangan kedokteran, baik oleh dokter umum, dokter spesialis, maupun dokter gigi, sebagai antibakteri selama lebih dari 25 tahun. 14 Klorheksidin mulai dikenal sejak 1950 sebagai antimikroba dengan rumus kimia1,1 '- hexamethylenebis [5-(p-chlorqpheny1)biguanide] di-d-gluconate, rumus molekulnya adalah C 22 H 3O C l2 N 10 2C 6 H , struktur kimianya adalah: Dikutip dari prijantojo.peranan chlorhexidine terhadap kelainan gigi dan rongga mulut. Cermin dunia kedokteran 1996; 113:33 Sejak diperkenalkan, klorheksidin digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik, dimana klorheksidin ternyata sangat efektif sebagai desinfektan pada kulit sebelum operasi, cuci tangan sebelum operasi, serta desinfektan alat alat yang digunakan saat operasi. Klorheksidin merupakan antiseptik dengan spektrum luas yang sangat efektif untuk menghambat bakteri gram (-), gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan virus. 15,17,30 Telah dibuktikan bahwa klorheksidin dapat mengikat bakteri, mungkin disebabkan adanya interaksi antara muatan positif dan molekul-molekul klorheksidin dengan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri 30

12 yang menyebabkan terjadinya penetrasi ke dalam sitoplasma yang menyebabkan kematian mikroorganisme. 12,15,30 Pada PH fisiologis klorheksidin mengikat bakteri di permukaan rongga mulut. Pada konsentrasi 4-32 mcg/ml klorheksidin bersifat bakteriostatik, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi akan bersifat bakteriosidal. 12,14. Pada pemakaian klorheksidin 0,2% obat kumur 2 kali sehari menunjukkan hambatan pembentukan plak gigi dan berkurangnya kejadian radang ginggiva 14 Penyelidikan secara in vitro menunjukkan bahwa klorheksidin diserap oleh hydroxyapatit permukaan gigi dan mucin dari saliva, kemudian dilepas perlahan-lahan dalam bentuk yang aktif. Keadaan ini merupakan dasar aktivitas klorheksidin dalam membentuk plak gigi. Kumur-kumur dengan klorheksidin 0.2% dua kali sehari akan mengurangi mikroorganisme dalam saliva sebesar 80%, dan apabila dihentikan bakteri akan kembali seperti semula dalam 24 jam. 12, Listerine Listerine yang adalah merek dagang merupakan antiseptik yang efektif untuk mencegah pembentukan plak gigi. 11 Sebagai antiseptik, listerine dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanpa merusak secara keseluruhan. Sebagai antibakteri pemakaian antiseptik sebagai obat kumur bertujuan menghambat pertumbuhan bakteri plak. 11 Bahan aktif yang terkandung dalam listerine meliputi : tymol, eucalyptol, mentol, dan metil salisilate. Zat-zat ini terlarut dalam etanol 26,9%. Pada listerin original terkandung timol 0,0624%. Zat aktif timol sendiri merupakan zat antiseptik dan anti jamur yang sudah lama digunakan, yang merupakan komponen utama bersama eucalyptol, mentol, dan compor. 31 Ujicoba klinis menunjukkan adanya penghambatan pembentukan plak dan radang ginggiva pada pemakaian listerine selama 7-60 hari. Hal ini juga didukung oleh penelitian Lamser,dkk selama 6 bulan yang menunjukkan listerine dapat mengurangi penimbunan plak dan menurunkan derajat keradangan ginggiva. Pada penelitian Gordon,dkk yang melibatkan 144 mahasiswa kedokteran gigi dengan kumur-kumur listerine 2 kali sehari sebanyak 20 ml setiap kali kumur selama 30 detik. Hasil evaluasi menunjukkan terjadi penurunan 31

13 pembentukan plak secara bermakna pada bulan 1,3 dan 6. Radang ginggiva juga mengalami penurunan yang bermakna pada penggunaan listerine Kerangka Teori INTUBASI DAN VENTILASI MEKANIK DEKONTAMINASI ORAL DENGAN ANTISEPTIK -Klorheksidin -povidone iodine -hidrogen peroksida -listerine PENCEGAHAN NONFARMAKOLOGIS - Intubasi per oral - Pemakaian ventilator sesingkat mungkin - Subglotticsuctioning - Posisi setengah duduk - Hindari distensi abdomen - Jumlah perawat yang adekuat - Cuci tangan VAP KOLONISASI KUMAN OROFARING ASPIRASI SEKRET OROFARING DAN SEKRESI DEKONTAMINASI ORAL DENGAN ANTIBIOTIK : menyebabkan : menghambat 32

14 2.3 KERANGKA KONSEP TINDAKAN INTUBASI + VENTILASI MEKANIK DEKONTAMINASI ORAL DENGAN KLORHEKSIDIN 0,2% VAP (CPIS) DEKONTAMINASI ORAL DENGAN LISTERINE Keterangan : : menyebabkan : mencegah Identifikasi Variabel Variabel bebas : Dekontaminasi oral dengan klorheksidin 0,2% Dekontaminasi oral dengan listerine Varibel tergantung : Kejadian VAP 33

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ventilator associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang dilakukan ventilasi mekanik setelah pemasangan pipa endotrakea selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien

Lebih terperinci

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara

Lebih terperinci

L A M P I R A N. : dr. Boynardo Simamora Tempat / Tgl Lahir : Medan, 7 Februari 1982 : Kristen Protestan : Jl Teh 2 No 28 P.

L A M P I R A N. : dr. Boynardo Simamora Tempat / Tgl Lahir : Medan, 7 Februari 1982 : Kristen Protestan : Jl Teh 2 No 28 P. L A M P I R A N Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti Nama : dr. Boynardo Simamora Tempat / Tgl Lahir : Medan, 7 Februari 1982 Agama : Kristen Protestan Alamat Rumah : Jl Teh 2 No 28 P.Simalingkar Medan Nama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial merupakan konstributor penting pada morbiditas dan mortalitas.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) 1. Pengertian VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator adalah suatu sistem alat bantu hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Ventilator dapat juga berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Intensive Care Unit (ICU) 2.1.1 Definisi ICU Intensive Care Unit ( ICU ) adalah bagian rumah sakit yang dilengkapi dengan staf khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Clinical PulmonaryInfection Score (CPIS) CPIS didefinisikan sebagai suatu alat dalam menegakkan diagnosis Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain eksperimental. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: Kelompok I : chlorhexidine

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection dapat

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection dapat PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection dapat didefinisikan sebagai suatu infeksi yang didapat oleh pasien di rumah sakit yang diyakini sebagai penyebab

Lebih terperinci

Skala Jawaban I. KUISIONER A : DATA DEMOGRAFI

Skala Jawaban I. KUISIONER A : DATA DEMOGRAFI 70 Lampiran 1 KUISIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, PELATIHAN, KOMPETENSI DAN KINERJA PERAWAT DI RUANG PERAWATAN INTENSIF RS. GRHA KEDOYA JAKARTA ==========================================================

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem di dalam rongga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur, mycoplasma, protozoa dan virus yang dapat bertahan dari waktu ke waktu. Organisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencym paru, distal dari bronkiolus terminalis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencym paru, distal dari bronkiolus terminalis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 VAP 2.1.1 Pengertian Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencym paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Menurut Paren (2006) pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi 21 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi semakin meningkat, termasuk angka kejadian infeksi nosokomial. 1 Infeksi nosokomial merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Nosokomial menjadi masalah yang cukup berdampak di negara berkembang seperti Indonesia. Infeksi nosokomial ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut manusia merupakan habitat aneka ragam mikroorganisme. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang telah berhasil dideteksi

Lebih terperinci

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Nosokomial Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit oleh kuman yang berasal dari rumah sakit. 24 Infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit infeksi merupakan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Abstrak. Abstract

LAPORAN PENELITIAN. Abstrak. Abstract LAPORAN PENELITIAN Pengaruh Penggunaan Pipa Endotrakea dengan Drainase Sekret Subglotis Terhadap Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi masih menjadi permasalahan di berbagai negara berkembang di dunia karena menjadi penyebab kematian dan kecatatan dengan jumlah kasus yang selalu bertambah setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian bahan cetak di kedokteran gigi digunakan untuk mendapatkan cetakan negatif dari rongga mulut. Hasil dari cetakan akan digunakan dalam pembuatan model studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ventilasi mekanik merupakan terapi definitif pada klien kritis yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ventilasi mekanik merupakan terapi definitif pada klien kritis yang mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ventilasi mekanik merupakan terapi definitif pada klien kritis yang mengalami hipoksemia dan hiperkapnia. Memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ventilasi mekanik

Lebih terperinci

KOMPARASI PEMBERIAN HEXADOL DAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) Hadi Kusuma Atmaja

KOMPARASI PEMBERIAN HEXADOL DAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) Hadi Kusuma Atmaja KOMPARASI PEMBERIAN HEXADOL DAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) Hadi Kusuma Atmaja Abstract: Patients in critical care unit inserted by ventilators

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini karies gigi masih merupakan penyakit utama di bidang kesehatan gigi dan mulut. Karies adalah salah satu masalah kesehatan rongga mulut yang dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK

PENGARUH PEMBERIAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK PENGARUH PEMBERIAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK LAPORAN AKHIR HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tubuh secara alami merupakan tempat berkoloninya kompleks mikroorganisme, terutama bakteri. Bakteri-bakteri ini secara umum tidak berbahaya dan ditemukan di

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hospital Acquired Pneumonia (HAP), adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit setelah mendapat perawatan lebih dari 48 jam, yang sebelumnya tidak ada. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, berdasar data Riskesdas tahun 2007, pneumonia telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, berdasar data Riskesdas tahun 2007, pneumonia telah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia masih menjadi penyebab terbanyak morbiditas dan mortalitas anak di seluruh dunia. Menurut data WHO, setiap tahunnya pneumonia menyebabkan kematian sekitar

Lebih terperinci

Perawatan Ventilator

Perawatan Ventilator Perawatan Ventilator PERAWATAN PASIEN DENGAN VENTILATOR Pengertian Ventilator adalah suatu alat system bantuan nafas secara mekanik yang di desain untuk menggantikan/menunjang fungsi pernafasan. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ventilasi bagi pasien dengan gangguan fungsi respiratorik (Sundana,

BAB I PENDAHULUAN. ventilasi bagi pasien dengan gangguan fungsi respiratorik (Sundana, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ventilasi mekanik (ventilator) memegang peranan penting bagi dunia keperawatan kritis, dimana perannya sebagai pengganti bagi fungsi ventilasi bagi pasien dengan gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). Udara dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah utama dalam bidang ilmu kedokteran saat ini terkait erat dengan kejadian-kejadian infeksi. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya data-data yang memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan

BAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudidayakan diseluruh masyarakat. Gigi yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan pada 90% dari populasi dunia. Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH 1 PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTARA CHLORHEXIDINE DENGAN POVIDONE IODINE SEBAGAI ORAL HYGIENE PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK DI ICU YANG DINILAI DENGAN FOTO TORAK THE DIFFERENCE OF EFFECTIVENESS BETWEEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi yang terjadi pada luka yang ditimbulkan oleh prosedur operasi invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1 IDO merupakan komplikasi pembedahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien menjalani proses perawatan lebih dari 48 jam, namun pasien tidak menunjukkan gejala sebelum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi kronis rongga mulut dengan prevalensi 10 60% pada orang dewasa. Penyakit periodontal meliputi gingivitis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah salah satu penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan, khususnya pada individu yang mudah terserang penyakit, dengan

Lebih terperinci

Kata kunci: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle, kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

Kata kunci: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle, kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) INTERVENSI VAP BUNDLE DALAM PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) PADA PASIEN DENGAN VENTILASI MEKANIS (The Incidence of VAP after VAP Bundle Intervention Among Patients with Mechanical Ventilation)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Infeksi nosokomial atau hospital acquired infection adalah infeksi yang didapat klien ketika klien tersebut masuk rumah sakit atau pernah dirawat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spinalis dan cairan serebrospinalis (LCS). Cairan ini mempunyai total volume

BAB I PENDAHULUAN. spinalis dan cairan serebrospinalis (LCS). Cairan ini mempunyai total volume BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu komplikasi dari anestesi spinal adalah infeksi ruang subarachnoid akibat kontaminasi dari jarum atau cairan injeksi, atau dari organisme yang menjalar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru, dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Nosokomial 2.1.1. Definisi Pneumonia Nosokomial Pneumonia nosokomial adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perawatan gigi dan mulut. Ketika klinik tersebut dipergunakan, personil yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perawatan gigi dan mulut. Ketika klinik tersebut dipergunakan, personil yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Klinik Gigi dan Mulut merupakan tempat bagi pasien untuk mendapatkan perawatan gigi dan mulut. Ketika klinik tersebut dipergunakan, personil yang terlibat adalah dokter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis seperti Indonesia yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman (Refdanita et al., 2004). Salah satu infeksi

Lebih terperinci

Keywords: Chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, number of oropharyngeal bacteria, oral hygiene, mechanical ventilator.

Keywords: Chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, number of oropharyngeal bacteria, oral hygiene, mechanical ventilator. PENELITIAN Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Mochamat*, Johan Arifin*, Jati Listiyanto

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. ISPA dapat diklasifikasikan menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi di Intensive Care Unit pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia

Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi di Intensive Care Unit pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi di Intensive Care Unit pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia Abstrak Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Ventilator Associated Pneumonia

Ventilator Associated Pneumonia Ventilator Associated Pneumonia Area Kategori Indikator Perspektif Sasaran Strategis Dimensi Mutu Tujuan Klinis Tindakan pengendalian infeksi RS Proses Bisnis Internal Terwujudnya penyelenggaraan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang predominan. Bakteri dapat dibagi menjadi bakteri aerob, bakteri anaerob dan

BAB I PENDAHULUAN. yang predominan. Bakteri dapat dibagi menjadi bakteri aerob, bakteri anaerob dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Flora normal rongga mulut terdiri dari berbagai mikroflora termasuk bakteri, jamur, mycoplasma, protozoa dan virus; bakteri merupakan kelompok yang predominan. Bakteri

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan. lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan. lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat. Diperkirakan saat ini terdapat 125 juta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penting bagi kelangsungan hidup, modal dasar dan fungsi utama pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. penting bagi kelangsungan hidup, modal dasar dan fungsi utama pembangunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kelangsungan hidup, modal dasar dan fungsi utama pembangunan untuk memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

LAPORAN PENDAHULUAN. PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI Keperawatan Gawat Darurat & Intensif LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. B DENGAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA DI GENERAL INTENSIVE CARE UNIT (GICU) RSUP MOHAMMAD HOSEIN PALEMBANG PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI Keperawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Alginat merupakan bahan cetak hidrokolloid yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Alginat merupakan bahan cetak hidrokolloid yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alginat merupakan bahan cetak hidrokolloid yang paling banyak digunakan selama beberapa tahun terakhir. Bahan cetak ini memiliki kelebihan antara lain mudah pada manipulasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis dapat bersifat acute maupun chronic ( Manurung, 2008). Bronchitis adalah suatu peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke pasien, operator ke lingkungan dan lingkungan ke pasien (Infection Control

BAB I PENDAHULUAN. ke pasien, operator ke lingkungan dan lingkungan ke pasien (Infection Control BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kontrol infeksi adalah suatu upaya pencegahan penyebaran mikroorganisme, baik dari pasien ke pasien lainnya, pasien ke operator, operator ke pasien, operator ke lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, atau parasit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagian tubuh manusia seperti kulit, mukosa mulut, saluran pencernaan, saluran ekskresi dan organ reproduksi dapat ditemukan populasi mikroorganisme, terutama bakteri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN POVIDONE IODINE 1% SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK

PENGARUH PEMBERIAN POVIDONE IODINE 1% SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK PENGARUH PEMBERIAN POVIDONE IODINE 1% SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan F. KEPERAWATAN Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan Kaji TTV, catat perubahan TD (Postural), takikardia, demam. Kaji turgor kulit, pengisian kapiler dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan dan plak, terutama pada daerah sayap bukal atau bagian-bagian yang sukar dibersihkan (David dan MacGregor,

Lebih terperinci

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Pendahuluan Sejarah; Thn 1984 ISPA Ringan ISPA Sedang ISPA Berat Thn 1990 Titik berat PNEUMONIA BALITA Pneumonia Pneumonia Berat Bukan Pneumonia Di Indonesia Kematian bayi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisme Multidrug-Resistant (MDR) didefinisikan sebagai organisme yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang dilakukan di Paris, didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akar selama atau sesudah perawatan endodontik. Infeksi sekunder biasanya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akar selama atau sesudah perawatan endodontik. Infeksi sekunder biasanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan endodontik merupakan bagian dari perawatan pulpa gigi yang bertujuan untuk menjaga kesehatan pulpa baik secara keseluruhan maupun sebagian serta menjaga kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi 2.1.1 Pneumonia Pneumonia, salah satu bentuk tersering dari Infeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA), adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

Lebih terperinci