Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan. fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan. fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Hakekat dari otonomi daerah adalah kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan (Adi, 2012). Menurut Analisis dan Deskripsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) tahun 2012, pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan (Setijaningsih, 2011). Disebutkan oleh Sidik (2002), Pemerintah Daerah dapat lebih menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya, melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karenanya revenue capacity (kapasitas pendapatan) ini merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah dalam mengatur kegiatan pemerintahan, mengelola serta meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Di sisi lain, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DJPK (2013) melihat dari analisis rasio pajak, pendapatan daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemerintah Kota (Pemkot) di Provinsi Jawa Tengah berada di bawah rata-rata Nasional yakni sebesar 1,5 persen dari 2,1 persen. Dan jika dilihat dari sisi ruang fiskalnya, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat terbawah dengan perolehan 19,9 persen. Hal ini disebabkan oleh porsi belanja pegawai yang mencapai 63,3 persen dari total pendapatan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa 1

2 Tengah masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai pendapatan daerah sebesar 61,9 persen. Sedangkan penerimaan pendapatan yang bersumber dari pajak daerah hanya sebesar 4 persen dari total pendapatan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas pendapatan di Pemerintah Daerah di Jawa Tengah belum optimal. Menurut pengamat ekonomi Akhmad Syakir Kurnia dalam harian Tribun edisi 20 Desember 2013, ketimpangan ekonomi antar daerah masih terlihat di Jawa Tengah, sehingga diharapkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkonsentasi pada peningkatan perekonomian kerakyatan di setiap kota, khususnya yang selama ini masih tertinggal dan sedang dalam tekanan. Di sisi lain, jika melihat kondisi Pemkab dan Pemkot di Eks-Karesidenan Semarang berdasarkan pada kriteria tipologi klassen menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Pemerintah Daerah di Eks-Karesidean Semarang terdapat keberagaman, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 1. Kondisi Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang Menurut Klasifikasi Tipologi Klassen tahun 2012 Daerah Maju dan Tumbuh: 1. Kota Semarang 2. Kabupaten Semarang Daerah Berkembang Cepat: 1. Kabupaten Grobogan Daerah Maju Namun Dalam Tekanan Ekonomi: 1. Kota Salatiga 2. Kabupaten Kendal Daerah Relatif Tertinggal: 1. Kabupaten Demak Sumber: BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 2

3 Ketimpangan ekonomi antar daerah berdampak pada kondisi rata-rata perekonomian daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Sehingga Pemerintah Daerah perlu mengatahui kondisi kapasitas pendapatan daerah yang ada untuk meninjau kembali kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing daerah dalam upaya meningkatkan ekonomi daerahnya. Secara Nasional, pendapatan daerah dimasing-masing Pemkab dan Pemkot dapat dianalisa sebagaimana yang dipaparkan dalam Analisis dan Deskripsi APBD setiap tahun yang diterbitkan oleh DJPK. Namun, hasil analisis yang didapat hanya berdiri sendiri pada tahun tertentu dan juga skala analisis yang digunakan mencakup seluruh Pemkab dan Pemkot se-indonesia sehingga, hasil analisis tersebut menjadi kurang bisa dibandingkan dari tahun ke tahun sekaligus kurang bisa menggambarkan kapasitas pendapatan masing-masing daerah secara lebih dalam. Oleh karenanya dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji serta menganalisis lebih dalam kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot dengan mempersempit ruang lingkup penelitian agar tingkat komparabel yang didapat menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan daerah yang menjadi objek penelitian berada pada satu Provinsi yang sama sehingga kebijakan dan prioritas-prioritas yang diambil tidak jauh berbeda. Dan juga menganalisis serta menggambarkan seberapa besar kondisi kapasitas pendapatan daerah pada level Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran terkait dengan keberagaman Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang menurut tipologi klassen. Wilayah Eks- Karesidenan ini mencakup Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal dan, Kabupaten Demak. 3

4 Wilayah Eks-Karesidenan Semarang dipilih dengan pertimbangan bahwa, Pemkab dan Pemkot yang berada di Eks-Karesidenan Semarang sebagai salah satu karesidenan utama di hindia belanda yang memiliki potensi strategis (Susatyo, 2006). Menurut Didiek Sukmono, Wakil Ketua Kadin Jawa Tengah Bidang Investasi dalam harian Tribun Jateng yang ditulis oleh Yulianto (2014), mengungkapkan bahwa akan banyak investor meramaikan Jawa Tengah, baik yang relokasi atau membuka pabrik baru. Wilayah favorit untuk mendirikan pabrik baru yakni di Eks-Karesidenan Semarang, yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Grobogan, dan Demak. Dipilihnya wilayah Eks- Karesidenan Semarang oleh para investor untuk menanamkan modalnya, juga turut menjadi salah satu pertimbangan dalam penelitian ini untuk mengkaji lebih dalam bagaimana gambaran kondisi kapasitas pendapatan di Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Steviyani (2014) menunjukkan bahwa wilayah Eks-Karesidenan Surakarta mengalami kondisi perekonomian yang beragam, dan dari hasil analisis diketahui bahwa tingkat rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Surakarta masih di bawah 25 persen dengan hubungan yang instruktif, namun pada tingkat derajat desentralisasinya mengalami kenaikan terus menerus. Berdasarkan pada penelitian terdahulu, dalam melakukan analisis kapasitas pendapatan umumnya menggunakan alat analisis seperti; rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio pajak, rasio pajak perkapita, serta rasio ruang fiskal. Akan tetapi, rasio-rasio tersebut kurang dapat menganalisa lebih dalam bagaimana kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, maka pada penelitian berikut perlu ditambahkan alat 4

5 analisis, yakni: analisis pertumbuhan pendapatan dan derajat desentralisasi dengan harapan hasil analisa yang didapatkan dapat benar-benar bisa menggambarkan kapasitas pendapatan untuk masing-masing daerah yang diteliti. Pada analisis pertumbuhan pendapatan akan menguraikan lebih rinci pertumbuhan dari masingmasing komponen pendapatan daerah yakni pertumbuhan pendapatan daerah, pertumbuhan pajak daerah, pertumbuhan retribusi daerah, dan juga pertumbuhan transfer. Sedangkan derajat desentralisasi akan menggambarkan seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan desentralisasi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah: Bagaimana gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang selama tahun anggaran ? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan/atau Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang sebagai bahan pertimbangan atau evaluasi atas kapasitas pendapatan bagi masing-masing daerah, serta dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan di Pemerintah Daerah (Pemkab dan Pemkot) mengenai aspek-aspek yang terkait dengan pendapatan daerah dalam APBD, terkhusus pada Pemkab dan Pemkot wilayah Eks-Karesidenan Semarang untuk meningkatkan pendapatan daerahnya dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. 5

6 TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah (Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000). Menurut Sudarwanto (2013), instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam APBD. Menurut DJPK (2010), APBD ialah wujud pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, yakni APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Revenue Capacity (Kapasitas Pendapatan) Kapasitas pendapatan merupakan gambaran pendapatan daerah yang dapat memberikan peningkatan dalam basis ekonomi (Hy et al. 1993). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang menyebutkan bahwa, kapasitas keuangan daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan masyarakat sedangkan, Bradbury dan Zhao (2007) berpendapat bahwa kapasitas pendapatan didefinisikan sebagai kemampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan dari sumber daya yang ada. Lain halnya dalam RPJMD Kabupaten Lombok Tengah, yang menjelaskan bahwa suatu kapasitas riil keuangan daerah adalah 6

7 total penerimaan daerah setelah dikurangkan dengan berbagai pos atau belanja dan pengeluaran pembiayaan yang wajib dan mengikat serta prioritas utama. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendapatan, Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan yang belum dioptimalkan secara maksimal (Hy et al. 1993). Pendapatan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak Pemerintah Daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). Disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 2009, pendapatan daerah dikelompokkan atas : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Disebutkan dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 PAD yaitu, pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD pada umumnya terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah. Menurut Sari (2011), PAD merupakan bagian dari sumber pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan oleh masingmasing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. 7

8 Wenny (2012) berpendapat bahwa, PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. 2. Dana Perimbangan Menurut Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), DAU dan, Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat, DBH pajak dari Provinsi yang disalurkan kepada Pemkab dan Pemkot, dana penyesuaian dan otsus, serta bantuan keuangan dari Provinsi atau dari Pemerintah Daerah lainnya. Analisis Pendapatan Daerah Analisis pendapatan daerah merupakan gambaran kondisi pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD (DJPK, 2013). Sedangkan menurut Mahmudi (2010), analisis pendapatan menunjukan seberapa besar tingkat kemandirian keuangan daerah. Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam analisis pendapatan daerah, diantaranya: 8

9 1. Analisis Pertumbuhan Pendapatan Menurut Mahmudi (2010) analisis pertumbuhan pendapatan diantaranya menganalisis pertumbuhan PAD, pertumbuhan pajak daerah, pertumbuhan retribusi daerah, dan pertumbuhan pendapatan transfer. Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui apakah Pemerintah Daerah dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama beberapa periode anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan pendapatan secara positif ataukah negatif (Sagay, 2013). Pertumbuhan pendapatan pada tahun tertentu dapat dihitung dengan rumus : Pertumbuhan Pendapatan Th = (Pendapatan Th Pendapatan Th ( )) X 100% Pendapatan Th ( ) Keterangan : Th t Th (t - 1) : Tahun sekarang. : Tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan daerah diharapkan dapat mengimbangi inflasi, jika pertumbuhan pendapatan tersebut positif maka terjadi peningkatan kinerja pendapatan, dan apabila pertumbuhan pendapatan adalah negatif, maka hal tersebut menunjukan bahwa terjadi penurunan kinerja pendapatan dan harus dicari penyebab penurunannya tersebut. 2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Menurut DJPK (2013), rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah lain. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus: 9

10 Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah = Pendapatan Transfer Total Pendapatan Daerah 100% Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah dalam mendanai belanja daerah. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio dana transfer yang rendah (Sudarwanto, 2013). 3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Aryanto, 2011). Halim (2004), menyebutkan bahwa rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Rasio Kemandirian Daerah = Pendapatan Asli Daerah Transfer Pusat + Propinsi + Pinjaman 100% Semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah (DJPK, 2011). Dwirandra (2008) menyebutkan bahwa tingkat kemampuan kemandirian keuangan daerah dapat 10

11 dilihat dari pola hubungan tingkat kemandirian, dan kemampuan keuangan daerah sebagai berikut: Tabel 2. Pola Hubungan Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan Rendah Sekali 0-25 Instruktif Rendah >25-50 Konsultatif Sedang >50-75 Partisipatif Tinggi > Delegatif Sumber: Dwirandra (2008) 4. Derajat Desentralisasi Ariana et al. (2012) berpendapat bahwa, derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah PAD dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2010). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : Derajat Desentralisasi = Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah 100% Disebutkan oleh Daling (2013) derajat desentralisasi menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk menggali serta mengelola pendapatan. 11

12 5. Rasio Pajak Rasio pajak merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu Negara dalam satu tahun (DJPK, 2013). Pada level Pemerintah Daerah rasio pajak digambarkan dengan membandingkan total penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Terkait dengan rasio pajak menurut Sudarwanto (2013), tingginya rasio pajak menggambarkan tinggi sumber penerimaan daerah dari pajak. Sedangkan rendahnya rasio pajak ini menggambarkan rendahnya potensi ekonomi di daerah yang bersangkutan dalam penerimaan pajak daerah. Dalam harian Bisnis Indonesia (2009) yang ditulis oleh Aris, mengungkapkan bahwa rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali PDB dari masyarakat berupa pajak. Rasio ini dirumuskan, sebagai berikut : Rasio Pajak = Jumlah Penerimaan Pajak Daerah PDRB 100% 6. Rasio Pajak Per Kapita Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak ini juga menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah (Sudarwanto, 2013). Selain itu DJPK (2013) menyebutkan bahwa, pajak per kapita memang belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah. Namun, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita dapat rumusan sebagai berikut: 12

13 Rasio Pajak Perkapita = Realisasi Pajak Daerah Jumlah Penduduk Semakin tinggi nilai pajak per kapita maka kontribusi penduduk dalam membayar pajak dan keberhasilan pajak sebagai sumber PAD semakin tinggi. 7. Rasio Ruang Fiskal Menurut Sudarwanto (2013), ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Rasio ruang fiskal dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio Ruang Fiskal = Total Pendapatan (Enmarked + Belanja yang sifatnya mengikat) Total Pendapatan X 100% Enmarked terdiri dari DAK, pendapatan hibah, dana darurat, dan dana penyesuaian atau otsus sedangkan, belanja mengikat terdiri dari belanja pegawai dan belanja bunga. Menurut Mesakh dalam harian kompas (2013), berpendapat bahwa semakin besar ruang fiskal maka semakin besar flesibilitas daerah untuk mengalokasi kegiatan dalam APBD-nya dalam prioritas pembangunan daerah dan sebaliknya, jika semakin kecil ruang fiskal suatu daerah, maka semakin kecil pula fleksibilitas daerah untuk mengalokasi kegiatan dalam APBD-nya dalam prioritas pembangunan daerahnya. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dan deskriptif eksploratif yang dilakukan pada empat Kabupaten dan dua Kota di Eks- 13

14 Karesidenan Semarang yang meliputi: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal serta Kabupaten Grobogan. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berbentuk data cross section dan time series. Data cross section yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan realisasi APBD, data jumlah penduduk, dan juga data PDRB Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun yang sama. Sedangkan untuk data time series yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa data laporan realisasi APBD, data jumlah penduduk dan juga data PDRB Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun anggaran Data tersebut diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) perwakilan Provinsi Jawa Tengah, dan Badan Pusat Statistik (BPS) perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur kapasitas pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang, menggunakan alat analisis sebagai berikut : 1. Analisis pertumbuhan pendapatan, 2. Rasio ketergantungan keuangan daerah, 3. Rasio kemandirian keuangan daerah, 4. Derajat desentralisasi, 5. Rasio pajak, 6. Rasio pajak perkapita dan, 7. Rasio ruang fiskal, 14

15 Dari alat analisis tersebut data-data akan diolah dan dianalisis secara cross sectional dan juga time series. Selanjutnya dari hasil pengolahan data akan diketahui bagaimana gambaran kapasitas pendapatan dimasing-masing Pemkab dan Pemkot yang diteliti, serta keterjadian-keterjadian yang terkait dengan pengelolaan kapasitas pendapatan daerah. Setelah itu, hasil pengelolaan kapasitas pendapatan dimasing-masing Pemkab dan Pemkot akan dibandingkan dengan hasil analisis rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, dan kemudian hasil pengelolaan data akan dieksplor terkait dengan faktor-faktor yang terjadi pada tahun-tahun tersebut. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Pertumbuhan Pendapatan Grafik 1.A Trend Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 50.00% 40.00% 30.00% 27.18% 30.85% 20.00% 10.00% 13.23% 16.66% 6.76% 0.00% % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 15

16 Grafik 1.B Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 13.23% 16.66% 6.76% 27.18% 30.85% 0.00% % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Dalam Grafik 1.A memperlihatkan kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam meningkatkan pendapatan, sebagaimana yang tercermin dalam Grafik 1 trend rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks- Karesidenan Semarang mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Pada tahun 2008 rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang sebesar 13,23 persen dan kemudian ditahun 2009 meningkat menjadi 16,66 persen namun pada tahun 2010 rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan dengan rata-rata menjadi sebesar 6,76 persen penurunan pertumbuhan pendapatan ini juga diikuti penurunan yang sangat drastis pada pendapatan retribusi daerah (Grafik 2). Namun ditahun 2011 terjadi kenaikan pertumbuhan yang melejit terhadap pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang sebesar 20,42 persen sehingga rata-ratanya menjadi 27,18 persen dan 16

17 pada tahun 2012 menunjukkan adanya kemajuan pendapatan daerah yang semakin meningkat sehingga menjadi 30,85 persen. Penurunan pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang yang terjadi ditahun 2010, disebabkan oleh faktor turunnya pendapatan dari sisi retribusi daerah sedangkan dari sisi pendapatan pajak serta pendapatan transfer dimasingmasing daerah meningkat namun, besarnya proporsi pendapatan tersebut belum memberikan konstribusi yang besar pada keseluruhan PAD-nya. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jawa Tengah (2010) disebutkan bahwa, meskipun secara keseluruhan realisasi pendapatan daerah telah melebihi dari yang ditargetkan, namun masih terdapat potensi pendapatan yang belum optimal dalam pencapaian kinerjanya. Sedangkan laju pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2011 meningkat dengan rata-rata 27,18 persen hal ini juga didukung dengan pertumbuhan pendapatan yang berasal dari pendapatan pajak (Grafik 3) dan pendapatan transfer (Grafik 4) yang juga meningkat namun, dari sisi laju pertumbuhan retribusi (Grafik 2) mengalami penurunan. Umumnya peningkatan atas pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang disebabkan adanya kenaikan kontribusi PAD, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan yang sah, namun hal ini juga tergantung dengan kondisi lapangan masing-masing daerah yang dapat mempengaruhi kenaikan ataupun penurunan pendapatan daerah tersebut. Berdasarkan tipologi klassen, Pemkot Semarang serta Pemkab Semarang masuk dalam kategori daerah cepat maju dan tumbuh, hal ini dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan pendapatan daerah selama tahun dengan 17

18 menduduki posisi di atas rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, keadaan ini didukung dengan adanya pertumbuhan positif dari pendapatan pajak ditahun 2011 yang mempunyai proporsi tersebesar dalam penerimaan PAD-nya. Dilain sisi Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga termasuk dalam kategori daerah maju namun dalam tekanan ekonomi, hal ini tercermin dari trend pertumbuhan pendapatan Pemkab Kendal, yang hanya ditahun 2010 saja berada di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang, sekalipun dalam trend pertumbuhan pendapatan Pemkot Salatiga menunjukkan adanya peningkatan, namun peningkatan tersebut belum melampaui rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang. Berbeda dengan kondisi pertumbuhan pendapatan di Pemkab Grobogan yang mengalami penurunan ditahun 2010 sebesar 26,96 persen, sehingga pertumbuhan pendapatannya menjadi 1,67 persen, dibandingkan tahun sebelumnya pertumbuhan pendapatan Pemkab Grobogan sebesar 28,63 persen, namun kemunduran tersebut tidak berlangsung lama, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kenaikan ditahun namun perningkatan tersebut masih di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang kondisi demikian, dikarenakan Pemkab Grobogan masuk dalam kategori daerah berkembang cepat. Pemkab Demak masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal menurut tipologi klassen hal tersebut dikarenakan pertumbuhan pendapatannya mengalami kondisi yang tidak stabil, yang didukung dengan adanya penurunan pertumbuhan pendapatan selama tahun dan mengalami kenaikan pertumbuhan pendapatan ditahun Ketidakstabilan pertumbuhan pendapatan pada Pemerintah Daerah di Eks- Karesidenan Semarang turut disebabkan dengan berfluktuasinya pertumbuhan 18

19 retribusi dimasing-masing daerah, seperti yang ditunjukkan dalam Grafik 2. Hal demikian memerlukan interfensi Pemerintah Pusat yang lebih tinggi sehingga disparitas antar daerah bisa berkurang. Selama tahun pertumbuhan retribusi daerah di Eks-Karesidenan Semarang (Grafik 2.A) mengalami penurunan sebesar 4,99 persen, namun ditahun 2010 menjadi negatif 0,07 persen, tahun 2011 pertumbuhan retribusi daerah tersebut kembali mengalami penurunan menjadi negatif 20,20 persen. Dilain sisi, pada tahun 2012 retribusi daerahnya mengalami peningkatan sehingga pertumbuhan retribusi Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang menjadi 5,35 persen. Grafik 2.A Trend Pertumbuhan Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% % 12.97% 7.98% -0.07% 5.35% % % % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 19

20 Grafik 2.B Pertumbuhan Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% % 12.97% 7.98% 5.35% -0.07% % % % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Dalam Grafik 2 memperlihatkan bahwa seluruh Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang mengalami pertumbuhan retribusi yang berfluktuatif, tahun 2011 Pemkab dan Pemkot di Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan terhadap pendapatan retribusinya. Kemunduran pertumbuhan retribusi dimayoritas Pemkab dan Pemkot tersebut berimplikasi pada kondisi kapasitas pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang. Secara umum di Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang masih mengalami kendala-kendala terkait dengan penerimaan retibusi daerahnya, hal ini dikarenakan: 1. Masih adanya sebagian wajib pajak dan wajib retribusi daerah yang belum mentaati kewajibannya membayar pajak maupun retribusi daerah (LKPD Provinsi Jawa Tengah, 2011). 20

21 2. Masih kurangnya promosi potensi retribusi daerah (promosi pemakaian villa atau tempat penginapan, gedung atau aula, alat berat, laboratorium inseminasi buatan atau semen beku) (LKPD Provinsi Jawa Tengah, 2011). 3. Masih ada penerimaan retribusi yang tidak mencapai target anggaran (LKPD Kabupaten Semarang, 2011). 4. Kurangnya kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak dan retribusi (LKPD Kota Salatiga, 2011). Pada Pemkab Demak dan juga Pemkab Grobogan mengalami pertumbuhan retribusi yang negatif ditahun LKPD Kabupaten Demak tahun 2011 menjelaskan bahwa realisasi retribusi 2011 mengalami penurunan sebesar Rp. 19,225,703,078.- hal ini dikarenakan (Satuan Kerja Perangkat Daerah) SKPD RSUD Sunan Kalijaga berubah status menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sehingga retribusinya dicatat sebagai lain-lain PAD yang sah. Sedangkan untuk realisasi retribusi Pemkab Grobogan tahun 2011 masih menghadapi beberapa kendala diantaranya, masih terdapat beberapa pos pendapatan retribusi yang tidak mencapai target anggaran serta masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi daerah. Ditahun 2012 kondisi pertumbuhan retribusi di sebagian besar Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kemajuan hal tersebut dapat dilihat pada rata-rata tingkat pertumbuhan retribusi daerah se Eks-Karesidenan Semarang mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi hal serupa tidak terjadi pada Pemkot Semarang dan Pemkab Semarang. Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang mengalami kendala dalam penerimaan retribusinya hal tersebut menyebabkan kemunduran dalam pertumbuhan retribusi 21

22 daerahnya. Tingkat pertumbuhan retribusi kedua daerah ini berada di bawah ratarata, dan juga untuk Pemkab Semarang berada dalam posisi pertumbuhan retribusi yang negatif. Sekalipun proporsinya tidak sebesar penerimaan pajak daerah, kurang optimalnya penerimaan retribusi yang diperlihatkan dalam Grafik 2, juga turut mempengaruhi tingkat pertumbuhan PAD (Grafik 1) di Pemkot dan Pemkab se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam LKPD Kota Semarang menjelaskan bahwa pendapatan retribusi daerah tahun 2012 mengalami penurunan, hal tersebut dikarenakan adanya penerimaan retribusi daerah yang tidak mencapai target. Dilain sisi LKPD Kabupaten Semarang (2012) juga turut menjelaskan bahwa penerimaan dari retribusi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah, kondisi fasilitas yang tersedia, serta kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan obyek-obyek maupun fasilitas sumber retribusi. Kendala-kendala yang mengakibatkan penerimaan retibusi daerah belum maksimal, antara lain disebabkan oleh: 1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola. 2. Rendahnya intensifikasi. 3. Belum adanya sistem yang memadai. Sedangkan pertumbuhan retribusi yang semakin meningkat pada Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, didukung dengan keberhasilan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi Pemerintah Daerah dalam meningkatkan realisasi pendapatan retribusi dimasing-masing daerah. Pemkab Grobogan yang merupakan daerah berkembang cepat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan retribusi ditahun 2012, hal serupa 22

23 juga terjadi pada Pemkab Demak sebagai daerah yang relatif tertinggal. Dilain sisi Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga, sebagai daerah yang maju namun dalam tekanan ekonomi mampu meningkatkan PAD masing-masing daerah dengan adanya kenaikan pertumbuhan retribusi ditahun Berbanding terbalik dengan daerah bertumbuh dan maju dengan cepat yakni Pemkot Semarang dan juga Pemkab, justru mengalami penurunan pendapatan retribusi selama tahun Grafik 3.A Trend Pertumbuhan Pajak Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % % 80.00% 60.00% 52.64% 40.00% 20.00% 5.54% 14.74% 17.10% 31.90% 0.00% % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 23

24 Grafik 3.B Pertumbuhan Pajak Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % % 80.00% 60.00% 52.64% 40.00% 20.00% 5.54% 14.74% 17.10% 31.90% 0.00% % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Trend selama tahun dalam Grafik 3.A menunjukkan, adanya pertumbuhan pajak Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang yang meningkat secara positif, penurunan pertumbuhan pajak terjadi ditahun Rata-rata pertumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2009 sebesar 14,74 persen, ditahun 2010 menunjukkan pertumbuhan yang positif yakni sebesar 17,10 persen, kemudian ditahun 2011 semakin meningkat menjadi 52,64 persen namun pada tahun 2012 mengalami penurunan, sehingga pertumbuhan pajak daerahnya menjadi 31,90 persen. Secara umum pertumbuhan pajak Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kondisi yang beragam, pada beberapa Pemerintah Daerah mengalami peningkatan namun, ada juga yang mengalami penurunan terhadap pertumbuhan pajaknya. 24

25 Pemkot Semarang merupakan daerah dengan pertumbuhan pajak paling besar ditahun 2011 hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian Pemkot Semarang yang mengalami perubahan pertumbuhan secara positif, sumber pendapatan terbesar PAD Pemkot Semarang berasal dari pajak daerahnya. Dalam LKPD Kota Semarang tahun 2011, mengungkapkan bahwa keberhasilan penerimaan pajak daerah tersebut tak lepas dari adanya peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak. Peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak dapat dilihat dari jumlah wajib yang membayar pajak sesuai dengan ketentuan yakni sebanyak wajib pajak. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 11,2 persen jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang berjumlah wajib pajak. Kondisi demikian juga diikuti oleh sejumlah Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pertumbuhan pajak dimasing-masing daerah tahun 2011, diantaranya Pemkab Demak, Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Semarang. Secara umum peningkatan tersebut didukung dengan adanya langkah yang telah dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah berupa upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah sehingga penerimaan pendapatan dari pajak daerahnya semakin meningkat. Namun masih terdapat faktor lain yang menyebabkan tingkat pertumbuhan pajak mengalami penurunan ditahun 2012, secara umum hal ini disebabkan oleh: 1. Masih adanya mutasi obyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya (LKPD Kota Salatiga, 2012) 25

26 2. Adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya dan banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012). 3. Keterbatasan SDM dalam pendataan pajak untuk memperoleh informasi keuangan wajib pajak yang riil (dobel pembukuan) (LKPD Kota Salatiga, 2012). 4. Kondisi pelayanan dan sarana yang kurang memadai sehingga kurang bisa menunjang penerimaan pajak (BPK, 2012). 5. Masih kurangnya kesadaran wajib pajak akan arti pentingnya pajak bagi pembangunan (LKPD Kabupaten Kendal, 2012). Pemkab Demak sebagai daerah yang relatif tertinggal mengalami penurunan pertumbuhan pajak daerahnya ditahun 2012, bahkan keadaan ini menempatkan Pemkab Demak dalam posisi di bawah rata-rata perumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Berdasar tipologi klassen Pemkab Grobogan merupakan daerah berkembang cepat hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan pendapatan pajak ditahun 2012 namun, peningkatan tersebut belum mampu melampaui rata-rata pertumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Lain halnya dengan Pemkot Salatiga ditahun 2012 mengalami penurunan pertumbuhan pajak menjadi sebesar 17,58 persen, dan juga Pemkab Kendal yang mengalami kenaikan pertumbuhan pajak daerahnya menjadi 33,73 persen, hal tersebut menyebabkan kedua daerah tersebut masuk dalam katagori daerah maju namun, dalam tekanan ekonomi. Dilain sisi, sebagai daerah maju dan tumbuh dengan cepat yakni, Pemkab Semarang dan Pemkot Semarang yang justru mengalami penurunan pertumbuhan pendapatan daerahnya. 26

27 Ketidakstabilan pertumbuhan pendapatan daerah di Eks-Karesidenan Semarang juga turut serta diikuti dengan berfluktuasinya pendapatan transfer dimasing-masing daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Pendapatan transfer merupakan penerimaan uang dari suatu entitas pelaporan lain (DAU dan DAK), dana perimbangan atau penyesuaian, dan DBH (bagi hasil pajak dan bukan pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan bagi hasil lainnya) lain-lain pendapatan yang sah merupakan penerimaan dana penyesuaian dan bantuan keuangan dari Provinsi (BPK, 2010). Pertumbuhan pendapatan transfer se Eks-Karesidenan Semarang selama lima tahun memperlihatkan kondisi yang berfluktuasi (Grafik 4), oleh karenanya rata-rata pendapatan transfer selama tahun terjadi penurunan sehingga rata-rata pendapatan transfer Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang menjadi 5,79 persen, sebaliknya pada tahun 2010 besarnya pendapatan transfer meningkat dan semakin meningkat kembali ditahun 2011, yakni menjadi 26,78 persen. Lain halnya dengan pertumbuhan transfer daerah ditahun 2012 yang mengalami penurunan, menjadi 13,08 persen hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pendapatan transfer pada Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang, terkecuali untuk Pemkot Salatiga yang justru mengalami peningkatan. 27

28 Grafik 4.A Trend Pertumbuhan Transfer Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% -5.00% % % 26.78% 16.12% 13.08% 5.79% 6.96% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 4.B Pertumbuhan Transfer Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 35.00% 30.00% 26.78% 25.00% 20.00% 16.12% 13.08% 15.00% 10.00% 5.79% 6.96% 5.00% 0.00% -5.00% % % Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 28

29 Rata-rata pertumbuhan transfer Pemerintah Daerah terbesar se Eks- Karesidenan Semarang terjadi pada tahun 2011, kenaikan pertumbuhan transfer tersebut didukung dengan peningkatan realisasi pendapatan transfer oleh semua Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam LKPD Provinsi Jawa Tengah (2011) dijelaskan bahwa dalam realisasi DAU pada tahun anggaran 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp. 107,392,466,000.- atau 9,19 persen dibandingkan pada tahun anggaran Dalam DJPK (2011) menjelaskan bahwa secara Nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Lain halnya dengan penerimaan transfer berupa DAU di Pemkot Semarang yang mengalami kenaikan pada tahun 2011 dan juga perubahan mekanisme penerimaan yang dilaksanakan yakni sesuai Perpres Nomor 6 Tahun 2011 tentang DAU Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2011 yang kemudian dikoreksi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.07/2011 bahwa penerimaan DAU dari Pemerintah Pusat ditransfer dan ditampung dalam rekening giro BPD Jateng a.n Kas Daerah Kota Semarang (LKPD Kota Semarang, 2011). DJPK (2013) menyebutkan bahwa, jumlah transfer ke daerah memiliki trend yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN. Dalam APBD masing-masing Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang, secara nominal mengalami kenaikan dalam penerimaan transfernya, namun secara umum hal tersebut masih terkendala dengan adanya penerimaan transfer yang tidak mencapai target misalnya, sering terlambatnya transfer dana dari Propinsi maupun Pusat sehingga mempengaruhi likuiditas pengelolaan keuangan. (LKPD Kabupaten Kendal, 2012). Dijelaskan dalam LKPD Kota 29

30 Semarang (2012) bahwa terdapat penurunan bagi hasil pajak tahun 2012 dibanding tahun 2011, yang dikarenakan PBB sudah menjadi pajak daerah. Dilain sisi besar alokasi dana perimbangan yang diterima Pemkab Demak juga mengalami fluktuasi, karena sangat bergantung pada kemampuan keuangan Pemerintah Pusat setiap tahunnya (LKPD Kabupaten Demak, 2012). Laju pertumbuhan transfer di daerah cepat maju dan tumbuh memperlihatkan adanya penurunan pada tahun 2012, yakni untuk Pemkot Semarang sebesar 15,50 persen dan untuk Pemkab Semarang sebesar 13,54 persen, hal serupa juga terjadi pada Pemkab Grobogan sebagai daerah berkembang dan juga Pemkab Demak sebagai daerah relatif tertinggal. Hal berbeda ditunjukkan dalam pertumbuhan transfer daerah maju namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Kendal yang justru mengalami kondisi yang berfluktuasi hal ini mencerminkan bahwa Pemerintah Daerah belum mampu menstabilkan peneriman Pemerintah Daerahnya. 2. Ketergantungan Keuangan Daerah Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD terhadap APBD maka, akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada Pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab (Rinaldi, 2012). Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat diketahui trend ketergantungan keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam lima tahun mengalami kondisi yang berfluktuasi (Grafik 5.A). Dalam Grafik 5.B memperlihatkan ketergantungan keuangan se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun 2009 mengalami peningkatan yakni sebesar 86,49 persen sebaliknya pada tahun sebelumnya hanya 85,45 persen. Hal ini dikarenakan 30

31 adanya kenaikan pendapatan transfer dimasing-masing daerah, diantaranya Pemkab Semarang 86,50 persen, Pemkab Demak 91,71 persen, Pemkab Kendal 87,21 persen, dan Pemkab Grobogan 89,41 persen. Grafik 5.A Trend Ketergantungan Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 90.00% 85.00% 80.00% 75.00% 70.00% 65.00% 60.00% 85.45% 86.49% 83.69% 84.26% 83.62% 2008 Kota Semarang 2009 Kab. Semarang Kota Salatiga 2012 Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 5.B Ketergantungan Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 90.00% 85.00% 85.45% 86.49% 83.69% 84.26% 83.62% 80.00% 75.00% 70.00% 65.00% 60.00% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 31

32 Trend selama lima tahun (Grafik 5.A) memperlihatkan masih ada daerah yang mempunyai kecenderungan tingkat ketergantungan keuangannya berada di atas rata-rata seperti, Pemkab Semarang, Pemkab Grobogan dan Pemkab Demak dengan tingkat ketergantungannya paling besar selama tahun Faktorfaktor umum yang menyebabkan terjadinya kenaikan ketergantungan keuangan daerah, yaitu: 1. Terjadinya peningkatan pendapatan transfer, yang berupa DAU (LKPD Kabupaten Semarang, 2011). 2. Masih lemahnya data dasar wajib pajak maupun retribusi daerah serta kurangnya optimalnya penerapan self assesment system dalam pemungutan pajak daerah (LKPD Kabupaten Semarang, 2012). 3. Sumber penerimaan dalam APBD Pemkab Grobogan masih sangat tergantung dana perimbangan dari Pemerintah Pusat (LKPD Kabupaten Grobogan, 2008) 4. Belum optimalnya kontribusi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap PAD (BPK, 2011). Pemkab Demak menunjukkan adanya peningkatan terhadap ketergantungan keuangan daerahnya selama lima tahun, hal serupa juga turut dijelaskan dalam LKPD Kabupaten Demak (2012) bahwa, pendapatan daerah dari komponen PAD meningkat setiap tahunnya, namun proporsi PAD bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan masih relatif kecil dibandingkan dengan sumber pendapatan dari dana perimbangan, sehingga dependensi sumber pendapatan dari Pemerintah Pusat masih sangat tinggi. Dan juga proporsi pendapatan dari komponen dana perimbangan dalam struktur pendapatan APBD Pemkab Demak relatif sangat dominan, dimana dalam lima tahun terakhir dari 32

33 tahun kontribusinya berkisar antara 59,34 persen-83,87 persen. Dengan adanya kenaikan dalam ketergantungan keuangan daerah tersebut dapat menyebabkan Pemerintah Daerah kurang dapat mengatur sendiri kegiatan pemerintahan, mengelola pembangunan serta meningkatkan kesejateraan masyarakatnya. Untuk Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal mengalami kondisi ketergantungan keuangan daerah yang berfluktuasi selama tahun (Grafik 5.A). Tingkat ketergantungan keuangan Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal ditahun 2011 berada di bawah rata-rata masing-masing sebesar 83,40 persen, 81,63 persen namun, pada tahun 2012 terjadi kenaikan menjadi 86,16 persen serta 83,97 persen yang mengakibatkan tingkat ketergantungan Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal berada di atas rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang. Faktor penyebab ketergantungan keuangan daerah Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal berada di bawah rata-rata Eks-Karesidenan Semarang juga turut dijelaskan dalam LKPD Kota Salatiga (2011), yakni terdapat pendapatan transfer berupa DBH pajak mengalami penurunan yang disebabkan DBH dari Bea Perolehan Hak Tanah Bangunan (BPHTB) Tahun 2011 merupakan pajak daerah. Bila di Pemkab Kendal, dengan persentase penerimaan pendapatan mencapai 126,02 persen (LKPD Kabupaten Kendal, 2011). Sedangkan faktor penyebab lainnya yang mengakibatkan kenaikan pada tingkat ketergantungan keuangan daerah tahun 2012 dikarenakan adanya penurunan dari sisi penerimaan PAD, seperti: 33

34 1. Masih adanya mutasi obyek PBB yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya dan masih adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya serta banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012). 2. Belum optimalnya pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah dari perusahaan daerah aneka usaha untuk memberikan kontribusi target kepada pendapatan daerah disebabkan upaya-upaya optimalisasi pengelolaan Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) belum memberikan hasil yang maksimal (LKPD Kota Salatiga, 2012). 3. Pos-pos pendapatan transfer terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2011 (BPK, 2012). Namun hal yang berkebalikan terjadi di Pemkot Semarang, bahwa persentase ketergantungan keuangannya setiap tahun berada di bawah nilai ratarata se Eks-Karesidenan Semarang. Rendahnya angka ketergantungan keuangan ini dikarenakan terjadi peningkatan kemandirian keuangan Pemkot Semarang untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pemerintah dan pembangunan melalui, kemajuan dalam optimalisasi penerimaan PAD dengan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, optimalisasi aset dan kekayaan daerah, pengembangan BUMD serta realisasi pos-pos pendapatan tertentu di Pemkot Semarang setiap tahunnya yang dapat melampaui target anggarannya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan dalam sisi pendapatan daerah di Pemkot Semarang. Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang yang merupakan daerah daerah cepat maju dan tumbuh berdasar tipologi klassen tahun 2012 secara nyata 34

35 menunjukkan adanya penurunan tingkat ketergantungan keuangan yang dimilikinya, walaupun presentase ketergantungan keuangan Pemkab Semarang berada di atas rata-rata. Hal serupa juga terjadi pada daerah berkembang cepat yakni Pemkab Grobogan dan juga daerah relatif tertinggal yakni Pemkab Demak, hal tersebut mencerminkan adanya penurunan dalam penerimaan dana transfer baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Provinsi. Dilain sisi Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Kendal menunjukkan adanya kenaikan terhadap tingkat ketergantungan keuangan daerahnya, kondisi demikian juga didukung dengan hasil klasifikasi daerah berdasar tipologi klassen yang menempatkan kedua daerah tersebut dalam daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi. Masih tingginya kondisi ketergantungan Pemerintah Daerah baik Pemkab maupun Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah perlu meningkatkan penerimaan PAD serta menggali kembali potensi PAD yang ada dimasing-masing daerah. 3. Kemandirian Keuangan Daerah Kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat dapat terlihat dari tingkat kemandirian keuangan pada Grafik 6.B. Hasil pengolahan data yang ditunjukkan dalam Grafik 6.A menjelaskan bahwa rata-rata kemandirian keuangan daerah pada Pemkab dan Pemkot se Eks- Karesidenan Semarang setiap tahun meningkat, namun peningkatan yang terjadi belum melampaui 25 persen dengan pola hubungan instruktif. Hal ini mengindikasikan trend kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan serta mengolah berbagai macam sumber pendapatannya masih sangat rendah. 35

36 Grafik 6.A Trend Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 12.72% 13.92% 14.35% 15.13% 17.89% 0.00% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 6.B Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Karesidenan Semarang Tahun % 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 12.72% 13.92% 14.35% 15.13% 17.89% 0.00% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Melihat kembali pada kondisi mayoritas Pemkab dan Pemkot se Eks- Karesidenan Semarang dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan keadaan 36

37 kemandirian keuangan daerah yang beragam. Seperti pada Pemkab Demak, Pemkot Salatiga, Pemkab Kendal, dan juga Pemkab Grobogan trend kemandirian keuangan daerahnya berfluktuatif. Naik-turunnya tingkat kemandirian keuangan daerah-daerah tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: 1. PAD setiap tahun menunjukkan peningkatan, namun proporsi PAD terhadap pendapatan daerah guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan masih relatif kecil, dibandingkan dengan sumber penerimaan dari dan perimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih sangat tinggi (LKPD Kota Salatiga, 2010) 2. Minimnya PAD sehingga ketergantungan kepada anggaran dari Pemerintah Pusat sangat besar (LKPD Kabupaten Demak, 2009). 3. Pengelolaan pendapatan daerah yang belum efektif (LKPD Kabupaten Demak, 2010). 4. Sumber penerimaan dalam APBD daerah masih sangat tergantung dana perimbangan dari Pemerintah Pusat (LKPD Kabupaten Grobogan, 2008) Walaupun kondisi kemandirian keuangan daerah di Pemkot Salatiga berfluktuatif, namun besar tingkat kemandirian keuangannya mampu berada di atas rata-rata selama tahun Kondisi demikian dipicu dengan adanya peningkatan penerimaan PAD terutama yang berasal dari pajak penerangan jalan sebagai objek pajak daerah yang memberikan kontribusi terbesar (LKPD Kota Salatiga, 2009) namun jika dalam persentase kenaikan penerimaan pajak penerangan jalan masih belum terlalu besar, sedangkan dari sisi pendapatan retribusi daerah realisasinya ditahun 2009 menurun menjadi Rp. 6,843,378,023.- bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 22,321,901,

38 Lain halnya dengan trend tingkat kemandirian keuangan Pemkot Semarang yang berada meningkat dan selalu berada di atas rata-rata kemandirian keuangan se Eks-Karesidenan Semarang, kenaikan ini secara umum dikarenakan adanya keberhasilan upaya intensifikasi dalam pemungutan penerimaan terutama dari sisi PAD. Dalam LKPD Kota Semarang (2012) menjelaskan bahwa mulai tahun anggaran 2012 PBB sudah menjadi pajak daerah Pemkot Semarang yang diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2011 tentang PBB Perkotaan, yakni sebesar Rp. 160,463,199, Sebaliknya kenaikan tersebut tidak sepenuhnya terjadi dalam setiap entitas dari sisi PAD, hal tersebut dapat dilihat dari sisi penerimaan retribusi Pemkot Semarang (Grafik 2). Penerimaan retribusi Pemkot Semarang tahun 2012 mengalami penurunan, hal tersebut disebabkan adanya pendapatan retribusi yang tidak mencapai target anggaran tahun 2012 misalnya jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum dan jasa pengujian kendaraan bermotor, penyebab tidak tercapainya target penerimaan retribusi tersebut adalah: 1. Pelayanan parkir tepi jalan umum dikarenakan keterbatasan personil dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika dan rendahnya intensifikasi, serta belum adanya sistem yang memadai. 2. Pengujian kendaraan bermotor dikarenakan berkurangnya jumlah armada angkutan yang melakukan pengujian kendaraan. Kondisi demikian menyebabkan tingkat kemandirian keuangan Pemkot Semarang cenderung meningkat dan konsisten berada di atas rata-rata kemandirian keuangan daerah se di Eks-Karesidenan Semarang. Trend kemandirian keuangan daerah (Grafik 6) turut menjelaskan bagaimana kondisi kemandirian keuangan daerah di Pemkab Semarang. Pemkab 38

39 Semarang menunjukkan kemandirian keuangan daerah yang meningkat, namun kenaikan tersebut berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks- Karesidenan Semarang. Hal tersebut juga ditunjukkan dalam rasio pajak (Grafik 8) dan rasio pajak per kapitanya (Grafik 9). Dalam LKPD Kabupaten Semarang tahun 2012 menjelaskan bahwa, dari sisi penerimaan PAD di Pemkab Semarang masih mengalami kendala, diantaranya: 1. Masih lemahnya data dasar wajib pajak maupun retribusi daerah. 2. Kurangnya optimalnya penerapan self assesment system dalam pemungutan pajak daerah. 3. Penerimaan dari retribusi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah, kondisi fasilitas yang tersedia, serta kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan obyek-obyek maupun fasilitas sumber retribusi. Meskipun demikian tidak serta merta penerimaan PAD di Pemkab Semarang seluruhnya menurun, karena masih terdapat beberapa realisasi retribusi yang dapat memenuhi target, misalnya: 1. Retribusi pengujian kendaraan bermotor karena adanya kenaikan tarif uji kendaraan berdasarkan Perda nomor 8 tahun Retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang merupakan penerimaan retribusi baru berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Sedangkan dari sisi penerimaan dana transfer Pemerintah Pusat yang berupa dana perimbangan selalu meningkat dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, kondisi demikian menggambarkan tingkat kemandirian keuangan 39

40 daerah di Pemkab Semarang, yang terus meningkat namun masih berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Berdasarkan hasil analisis kemandirian keuangan daerah di Eks- Karesidenan Semarang memperlihatkan bahwa seluruh klasifikasi daerah menurut tipologi klassen tahun 2012 mengalami kenaikan, hal tesebut mengindikasikan bahwa komponen PAD dimasing-masing daerah mengalami peningkatan, walaupun jika dilihat dari tingkat ketergantungan keuangan daerahnya (Grafik 5), komponen penerimaan dana transfer dimasing-masing daerah mengalami kondisi yang beragam. 4. Derajat Desentralisasi Kemampuan Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang dalam menyelenggarakan desentralisasi setiap tahun mengalami kondisi yang berfluktuatif, dalam Grafik 7 turut memperlihatkan arah pergerakan yang semakin meningkat dari tahun peningkatan ini mengindikasikan semakin meningkat pula kinerja Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan sumber dayanya, hal ini dapat diamati lebih detail dalam Grafik 7.A dan Grafik 7.B. Peningkatan derajat desentralisasi dimasing-masing daerah se Eks-Karesidenan Semarang dapat dilihat dengan tingginya tingkat kemandirian keuangan daerah (Grafik 6), pertumbuhan pendapatan daerah (Grafik 1), dan juga rendahnya tingkat ketergantungan keuangan daerah (Grafik 5). 40

41 Grafik 7.A Trend Derajat Desentralisasi Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.59% 11.87% 11.50% 12.09% 13.90% 10.00% 5.00% 0.00% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 7.B Derajat Desentralisasi Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.59% 11.87% 11.50% 12.09% 13.90% 10.00% 5.00% 0.00% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Derajat desentralisasi yang dimiliki Pemkot Semarang menempati posisi di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang setiap tahunnya, hal ini juga dapat 41

42 dilihat dengan tingkat kemandirian Pemkot Semarang yang secara konsisten berada di atas rata-rata seperti yang terlihat dalam Grafik 6. dan juga rendahnya tingkat ketergantungannya dalam Grafik 5, konsistensi Pemkot Semarang ini turut didukung dengan adanya perkembangan secara agregrat pada perekonomian yang mengalami peningkatan, hal tersebut ikut serta meningkatan kemampuan PAD di Pemkot Semarang. Dengan adanya peningkatan yang ditunjukkan dalam rasio derajat desentralisasi, juga berimplikasi bahwa Pemkot Semarang terus mengalami peningkatan kemampuan dalam menyelenggarakan desentralisasi. Namun untuk Pemkab Demak, Pemkab Kendal, dan Pemkab Grobogan masing-masing daerah ini memiliki derajat desentralisasi yang besarnya berada di bawah rata-rata, hal tersebut tidak terlepas dari tingkat kemandirian keuangan daerah dari Pemkab Demak, Pemkab Kendal, dan juga Pemkab Grobogan yang cenderung berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks- Karesidenan Semarang. Kondisi yang demikian disebabkan karena proporsi penerimaan daerahnya cenderung didominasi oleh dana perimbangan yang meningkat, sehingga kontribusi PAD terhadap kemampuan penyelenggaraan desentralisasi daerahnya kecil. Sedangkan untuk Pemkab Semarang dan juga Pemkot Salatiga mengalami derajat desentralisasi yang berfluktuasi. Ketidakstabilan kemampuan Pemkot Salatiga dan Pemkab Semarang dalam menyelenggarakan desentralisasi daerahnya, juga diikuti dengan kondisi yang berfluktuatif pula pada tingkat kemandiriaan keuangan daerah, tingkat ketergantungan keuangan daerah serta pertumbuhan pendapatan daerahnya. Meskipun dalam klasifikasi daerah berdasarkan tipologi klassen terjadi keberagaman namun secara nyata terjadi 42

43 kenaikan derajat desentralisasi pada seluruh Pemerintah Daerah se Eks- Karesidenan Semarang tahun 2012, hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja masing-masing Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada guna menyelenggarakan desentralisasi telah meningkat. 5. Rasio Pajak Tingginya rasio pajak menggambarkan seberapa tinggi penerimaan daerah yang bersumber dari pajak daerah. Pada Grafik 8.A menunjukkan bahwa trend rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2012 rata-rata rasio pajaknya mencapai 0.53 persen. Berdasarkan data rasio pajak di 33 Provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara Nasional sebesar 1,39 persen (DJPK, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata rasio pajak se Eks- Karesidenan Semarang berada masih berada di bawah rata-rata rasio pajak secara Nasional, meskipun demikian terdapat peningkatan rasio pajak se Eks- Karesidenan Semarang setiap tahunnya (Grafik 8.B). Seperti yang ditunjukkan dalam Grafik 8.A Pemkot Semarang dan Pemkot Salatiga, secara konsisten selama lima tahun tingkat rasio pajaknya cenderung meningkat dan berada di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang. Ditahun 2012 Pemkot Semarang memiliki rasio pajak tertinggi yaitu sebesar 1.10 persen, dan kemudian disusul oleh Pemkot Salatiga (0.83 persen). Peningkatan cukup tinggi di Pemkot Semarang hal ini dikarenakan, mulai tahun anggaran 2012 PBB sudah menjadi pajak daerah Pemkot Semarang yang diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2011 tentang PBB Perkotaan, penerimaan PBB tahun 2012 sebesar Rp. 160,463,199,082.- terdiri dari realisasi ketetapan pajak PBB tahun 2012 sebesar Rp. 130,859,160,961.- dan realisasi pembayaran atas piutang pajak PBB yang 43

44 timbul sebelum tahun 2012 sebesar Rp. 29,604,038,121.- (LKPD Kota Semarang, 2012). Grafik 8.A Trend Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 1.00% 0.80% 0.60% 0.40% 0.20% 0.00% 0.29% 0.30% 0.30% 0.44% 0.53% Kota semarang Kab. Semarang Kota salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-Rata Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 8.B Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 1.00% 0.80% 0.60% 0.40% 0.29% 0.30% 0.30% 0.44% 0.53% 0.20% 0.00% 2008 Kota semarang 2009 Kab. Semarang Kota salatiga 2012 Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-Rata Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Selanjutnya dalam Pemkot Salatiga setiap tahun rasio pajaknya selalu berada di atas rata-rata, sesuai dengan LKPD Kota Salatiga (2009, 2010), hal ini 44

45 dikarenakan terdapat proporsi penerimaan dari pajak hotel yang selalu meningkat dan juga adanya realisasi penerimaan pajak penerangan jalan yang merupakan objek pajak daerah dengan proporsi terbesar terhadap PAD di Pemkot Salatiga. Dalam LKPD Kota Salatiga (2012) terdapat peningkatan realisasi pendapatan pajak daerah Pemkot Salatiga, dibandingkan tahun sebelumnya, adapun peningkatan dari sisi pajak tersebut dikarenakan terjadi penerimaan yang berasal dari pajak BPHTB. Penerimaan pajak BPHTB tersebut, termasuk penerimaan transfer DBH BPHTB bagian pusat atas kurang bayar DBH BPHTB bagian Pemerintah Pusat bagi rata tahun anggaran 2010 sebesar Rp. 481,469,231.- yang baru direalisasikan pada tahun anggaran Grafik 8.C Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 1.00% 0.80% 0.60% 0.40% 0.29% 0.30% 0.31% 0.44% 0.53% 0.20% 0.00% Kota semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 1 Penerimaan pajak BPHTB pada tahun 2010 yang terealisasi tahun 2012 disebabkan adanya perubahan pengelolaan pendapatan BPHTB Pemkot Salatiga diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemkot Salatiga sejak tahun anggaran Sebagaimana dalam LKPD Pemkot Salatiga (2012) menegaskan bahwa basis akuntansi yang digunakan dalam pelaporan keuangan Pemkot Salatiga adalah basis kas. Basis kas sendiri digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan. 45

46 Dalam penggunaan basis kas tentunya terdapat kelemahan misalnya penggunaan basis kas dalam LKPD Pemerintah Daerah tersebut hanya memfokuskan pada arus kas dalam periode pelaporan berjalan, dan mengabaikan kejadian yang mungkin berpengaruh pada kemampuan Pemerintah dalam mengoptimalkan kinerja Pemerintahannya, seperti halnya dalam grafik 8.C yang menunjukkan perbedaan besarnya persentase rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang tahun 2010, sebesar satu persen. Perubahan tersebut mencoba untuk menunjukkan bahwa, alokasi DBH BPHTB tahun 2010 yang realisasi tahun 2012 dihitung dengan menggunakan metode akrual. Namun masih ada daerah yang rasio pajaknya berfluktuatif dan berada di bawah rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang seperti, Pemkab Demak, Pemkab Kendal dan juga Pemkab Grobogan yang menempati urutan terendah dalam kepemilikan rasio pajaknya. Walaupun realisasi pajak daerah Pemkab Grobogan melebihi dari anggaran yang ditetapkan namun masih ada pencapaian terendah yang terjadi pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) yaitu pada pajak sarang burung walet sebagimana penerimaan pajak tersebut tidak memenuhi target karena banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak dengan alasan produksi sarang burung turun dan harga di pasaran juga turun, untuk membuktikan alasan tersebut juga sangat sulit disebabkan para wajib pajak tidak melakukan pembukuan dan hanya berdasarkan asumsi (LKPD Kabupaten Grobogan, 2012). Secara umum naik-turunnya rasio pajak dimasing-masing Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, dikarenakan: 46

47 1. Masih ada objek pajak daerah yang tidak dapat melampaui target yang telah ditetapkan yaitu pajak reklame dan pajak penerangan jalan (LKPD Kabupaten Demak, 2011). 2. Kurangnya kesadaran wajib pajak akan arti pentingnya pajak bagi pembangunan (LKPD Kabupaten Kendal, 2012). 3. Keterbatasan SDM pemeriksa pajak untuk memperoleh informasi keuangan wajib pajak yang riil (dobel pembukuan) (LKPD Kota Salatiga, 2010). 4. Masih adanya mutasi obyek PBB yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya dan masih adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya serta banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012). Rasio pajak Pemkab Semarang setiap tahunnya meningkat namun, masih berada di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam LKPD Kabupaten Semarang (2011) menyebutkan enam dari sepuluh objek pajak di Pemkab Semarang dapat melampaui dari anggaran, objek pajak tersebut ialah yang berasal dari pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir dan pajak air tanah. Pada tahun anggaran 2011 terdapat dua objek pajak baru yaitu pajak air tanah dan pajak BPHTB sehingga terjadi peningkatan dalam rasio pajak di Pemkab Semarang. Dalam rasio pajak Pemkab Semarang tahun 2012 menunjukkan peningkatan sebesar 0.02 persen, hal tersebut dikarenakan masih adanya hambatan yang dihadapi oleh Pemkab Semarang dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam pemungutan pajak daerahnya, diantaranya: 47

48 1. Pajak Hotel dan Pajak Hiburan Konsekwensi dari sistem pemungutan pajak self assesment yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dimana sistem tersebut tidak seiring dengan peningkatan kesadaran wajib pajak. Hal lainnya ialah kondisi di lapangan, yang selalu menjadi alasan pengusaha perhotelan adalah tingginya biaya pengelolaan hotel dan beban biaya lain-lain selain pajak yang ditanggung oleh pengusaha. Kurang mendukungnya jalan menuju kawasan perhotelan, pada saat hari libur jalan menuju kawasan perhotelan tersebut sering dilakukan penutupan untuk mengurangi tingkat kemacetan jalan utama. Serta pengaruh dari tingkat perekonomian masyarakat dimana tingkat hunian menurun. 2. Pajak Mineral Bukan Logam Tingkat intensifikasi dan ekstensifikasi (pengupayaan penerimaan pajak) sudah maksimal, namun obyek pajaknya terbatas, sehingga volume pengambilan dan pendapatannnya terbatas. 3. Pajak Sarang Burung Walet Pajak ini baru diberlakukan bulan September 2012, sehingga belum ada pemasukan dikarenakan pendataan wajib pajak sarang burung walet baru dioptimalkan, dan dari data yang ada untuk saat ini belum ada panen. Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang sebagai daerah bertumbuh maju dan cepat menunjukkan adanya peningkatan rasio pajak yang dimiliki oleh masing-masing daerah selama tahun , hal tersebut mencerminkan Pemerintah Daerah mampu mengoptimalkan penerimaan daerahnya yang bersumber dari pajak daerah. Peningkatan rasio pajak ditahun 2012 juga terjadi 48

49 pada daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga hal tersebut didukung dengan masuknya PBB menjadi penerimaan pajak daerah. Dilain sisi, berdasarkan tipologi klassen Pemkab Grobogan menempati klasifikasi daerah yang berkembang cepat hal ini dapat dilihat dari meningkatnya rasio pajak Pemkab Grobogan menjadi 0,23 persen ditahun 2012, meskipun demikian rasio pajak tersebut masih berada di bawah ratarata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Berbeda halnya dengan tingkat rasio pajak yang dimiliki oleh Pemkab Demak, dengan terjadinya ketidakstabilan rasio pajak yang dimiliki Pemkab Demak selama dengan kecenderungan berada di bawah rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang, menempatkan tingkat rasio pajak yang dimiliki Pemkab Demak berada pada klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, hal tersebut mencerminkan bahwa belum optimal penerimaan pajak daerah di Pemkab Demak sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun Rasio Pajak Per Kapita Rasio pajak per kapita Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran yang terlihat dalam Grafik 9.A dan Grafik 9.B, rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah di seluruh Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang dibagi dengan total penduduk setiap tahunnya. 49

50 Rp400,000 Rp350,000 Rp300,000 Rp250,000 Rp200,000 Rp150,000 Rp100,000 Rp50,000 Grafik 9.A Trend Rasio Pajak Per Kapita Kabupaten dan Kota se Eks- Rp0 Karesidenan Semarang Tahun Rp28,394 Rp30,930 Rp35,576 Rp60,789 Rp86, Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Grafik 9.B Rasio Pajak Per Kapita Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Rp400,000 Rp350,000 Rp300,000 Rp250,000 Rp200,000 Rp150,000 Rp100,000 Rp50,000 Rp0 Semarang Tahun Rp28,394 Rp30,930 Rp35,576 Rp60,789 Rp86, Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Rata-rata rasio pajak perkapita se Eks-Karesidenan Semarang selama tahun menunjukkan perubahan yang semakin meningkat. Rasio pajak 50

51 perkapita tahun 2011 yakni sebesar Rp. 60,789.- jika dibandingkan dengan rasio pajak per kapitanya ditahun 2010 yang hanya sebesar Rp. 35,576.- dan peningkatan dari rasio pajak perkapita ini semakin meninggi kembali ditahun 2012 yakni sebesar Rp. 86,156.- hal tersebut menunjukkan peningkatan yang semakin besar dalam rasio pajak per kapita se Eks-Karesidenan Semarang. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata rasio pajak per kapita dari seluruh Pemkab dan Pemkot dalam skala Nasional ditahun 2012 yakni sebesar Rp. 337,731.- kondisi rata-rata rasio pajak per kapita se Eks-Karesidenan Semarang masih berada dibawah rata-rata rasio pajak per kapita skala Nasional. Sebagian besar Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang menunjukkan peningkatan rasio pajak perkapitanya hal tersebut didukung dengan peningkatan dalam penerimaan pajak dimasing-masing daerah, namun hanya Pemkot Semarang dan Pemkot Salatiga yang peningkatan rasio pajak perkapitanya mampu mengunguli rata-rata rasio pajak per kapita se Eks-Karesidenan Semarang, hal ini sesuai dengan peningkatan rasio pajak yang terlihat dalam Grafik 8. Pada Grafik 9.1 dan Grafik 9.2 terlihat bahwa masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang yakni Pemkab Semarang, Pemkab Demak, Pemkab Kendal dan juga Pemkab Grobogan yang memiliki rasio terendah setiap tahunnya. Secara umum kondisi ini di sebabkan, karena: 1. Keterbatasan potensi sumber daya alam yang ada di Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang (BPK, 2011) 2. Masih besarnya ketergantungan penerimaan keuangan dari sumber dana perimbangan (LKPD Kota Salatiga, 2010) 51

52 3. Masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan penerimaan lain-lain (BPK 2012) 4. Pengelolaan pendapatan daerah yang belum efektif (LKPD Kabupaten Demak, 2012) 5. Kurangnya optimalnya penerapan self assesment system dalam pemungutan pajak daerah (LKPD Kabupaten Semarang, 2012). 6. PAD setiap tahun menunjukkan peningkatan, namun proporsi PAD terhadap pendapatan daerah guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan masih relatif kecil, dibandingkan dengan sumber penerimaan dari dana perimbangan (LKPD Kota Salatiga, 2011) Pajak per kapita pada Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2012 menunjukkan adanya peningkatan hal tersebut mencerminkan bahwa peningkatan penerimaan pajak meningkat seturut dengan semakin banyak masyarakat yang mau membayar pajak guna mendukung pembangunan daerahnya, meskipun jika dilihat dari klasifikasi daerah berdasarkan tipologi klassen terdapat keberagaman. 7. Rasio Ruang Fiskal Fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD-nya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah, dapat terwujud dengan pencapaian seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki daerah tersebut. Pada Grafik 10 memperlihatkan pergerakan ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang tahun mengalami kondisi yang berfluktuasi, terlebih ditahun 2011 besarnya rata-rata 52

53 ruang fiskal menurun tajam menjadi 25,13 persen sedangkan besarnya ruang fiskal ditahun 2010 sebesar 27,62 persen. Disebutkan oleh DJPK (2010) bahwa secara agregat Nasional, maupun di tingkat Provinsi, Pemkab dan Pemkot terjadi penurunan ruang fiskal, utamanya dalam persentase (terhadap pendapatan). Hal ini menunjukkan bahwa secara riil sebenarnya telah terjadi penurunan kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah di seluruh wilayah. Penurunan ruang fiskal daerah menunjukkan bahwa kemampuan dan fleksibilitas daerah untuk menggunakan anggaran mereka untuk kebutuhan belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil mereka menjadi semakin sempit. Grafik 10.A Trend Rasio Ruang Fiskal Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 37.08% 44.48% 27.62% 25.13% 31.57% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. 53

54 Grafik 10.B Rasio Ruang Fiskal Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 44.48% 37.08% 31.57% 27.62% 25.13% Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah. Dari Grafik 10 ditunjukkan bahwa tahun 2010 sampai 2011 rata-rata rasio ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan, terlebih yang terjadi ditahun 2011 mayoritas Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang berada di bawah rata-rata ruang fiskal Eks-Karesidenan Semarang, sehingga hal ini menyebabkan besarnya ruang fiskal yang dimiliki Eks-Karesidenan Semarang mencapai titik terendah selama tahun anggaran , meskipun demikian jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya masih terdapat kenaikan ataupun penurunan besarnya ruang fiskal dimasing-masing Pemerintah Daerah. Dalam RPJMD Provinsi Jawa Tengah tahun 2013, menyebutkan bahwa belanja daerah di Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun ( ) cenderung mengalami peningkatan, baik belanja langsung maupun tidak langsung. Secara proporsional, belanja tidak langsung lebih besar dibandingkan 54

55 belanja langsung. Hal tersebut dikarenakan dalam struktur belanja tidak langsung terdapat belanja hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan bagi hasil dengan persentase yang relatif besar. Trend rasio ruang fiskal Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang (Grafik 10) memperlihatkan bahwa ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Kendal yang masuk dalam daerah maju namun dalam tekanan ekonomi berdasar tipologi klasen mengalami kondisi ruang fiskal yang berfluktuasi sehingga pada tahun 2012 ruang fiskal yang dimilikinya berada di bawah rata-rata dengan proporsi sebesar 27,53 persen atau terendah kedua setelah Pemkab Grobogan. Sedangkan jika melihat pada tahun 2009, rasio ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Kendal menempati posisi tertinggi dan berada di atas rata-rata dibandingkan dengan daerah lainnya. Dilain sisi, rasio ruang fiskal yang dimiliki Pemkot Semarang sebagai daerah maju cepat dan bertumbuh juga ikut berfluktuasi, besarnya ruang fiskal Pemkot Semarang mengalami kemerosotan selama tahun , terlebih pada tahun 2009 besar ruang fiskal Pemkot Semarang berada dalam posisi di bawah rata-rata, hal tersebut mengakibatkan flesibilitas yang dimiliki Pemkot Semarang dalam meningkatkan pembangunan daerahnya juga berkurang. Ketidakstabilan besarnya rasio ruang fiskal yang dimiliki oleh setiap Pemerintah Daerah berimplikasi pada naik-turunnya kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhan masing-masing daerahnya. Lain halnya dengan ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Grobogan, bahwa selama tahun ruang fiskal yang dimiliki mengalami penurunan dan cenderung di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, meskipun ditahun 55

56 2012 besar rasio ruang fiskal Pemkab Grobogan menunjukkan peningkatan, namun kenaikan ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Grobogan belum sepenuhnya mampu melampaui besarnya rasio ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang. Hal tersebut jika dilihat dari total pendapatan daerah yang dimiliki Pemkab Grobogan setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan fluktuatif, namun dari sisi perkembangan belanja tidak langsung cenderung lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan pendapatan daerahnya (RPJMD Kabupaten Grobogan ). Hal ini juga menjadi salah satu penyebab Pemkab Grobogan menempati klasifikasi daerah berkembang cepat menurut tipologi klassen. Secara umum kondisi berfluktuatifnya rasio fiskal dimasing-masing Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang ditunjang oleh beberapa faktor kemungkinan, yakni: 1. Pada penetapan APBD TA 2012, alokasi belanja langsung sebesar Rp. 259,579,465,000.- dan pada perubahan APBD TA 2012 dialokasikan sebesar Rp. 289,607,601,000.- meningkat 11,57%. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya program atau kegiatan yang mendesak dan harus segera diselesaikan, khususnya peningkatan sarana infrastruktur dan utilitas kota (LKPD Kota Salatiga, 2012). 2. Penghapusan akun belanja ditahun sebelumnya namun, dimunculkan kembali nama akun belanja tersebut ditahun selanjutnya, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penurunan dari besarnya belanja tersebut (BPK, 2011) 3. Tingkat inflasi di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 4,24 persen, lebih tinggi dibandingkan inflasi tahun 2011 sebesar 2,68 persen. Laju inflasi di 56

57 Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah utamanya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tingkat inflasi yang tinggi akan sangat merugikan ekonomi masyarakat, di sisi yang lain tingkat harga yang tinggi akan menyebabkan melemahnya daya saing pasar (LKPD Kabupaten Demak, 2012) 4. Besarnya belanja meningkat yang didukung dengan adanya kenaikan terhadap belanja tidak terduga merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan Pemerintah Daerah (BPK, 2012) 5. Kenaikan beban pegawai antara lain disebabkan adanya kenaikan gaji pegawai rata-rata 10% dari tahun lalu (LKPD Kota Semarang, 2012). Pemkab Semarang sebagai daerah maju dan bertumbuh dengan cepat menunjukkan adanya kenaikan ruang fiskal ditahun , hal tersebut juga terjadi pada daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkot Salatiga. Namun berbeda halnya bila melihat kondisi ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Demak selama tahun mengalami kondisi yang tidak stabil, walaupun terjadi kenaikan ruang fiskal menjadi 34,12 persen ditahun Bila melihat klasifikasi daerah menurut tipologi klassen Pemkab Demak menempati klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, sehingga Pemkab Demak perlu memanfaatkan dengan optimal ruang fiskal yang ada guna melaksanakan kegiatan ataupun program-program Pemerintah Daerah yang dapat meningkatkan pembangunan daerah di Pemkab Demak. 57

58 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang dalam upaya mengatur sendiri kegiatan, mengelola pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal tersebut dalam dilihat dari: 1. Dari sisi kinerja Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kondisi yang berfluktuasi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis pertumbuhan keuangan daerahnya, kinerja Pemkot maupun Pemkab dalam hal pendapatan daerah mengalami peningkatan ditahun Kenaikan pada sisi pendapatan ini didukung dengan adanya kenaikan pertumbuhan pajak dimasing-masing daerah yang dikarenakan adanya pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 serta pertumbuhan dari pendapatan transfer. Di sisi lain, kinerja Pemkot maupun Pemkab juga mengalami penurunan dalam hal pemungutan retribusi daerah ditahun hal tersebut dikarenakan masih terdapat kendala-kendala dalam pemungutan retribusi dimasing-masing Pemerintah Daerah seperti penerimaan retribusi daerah yang tidak bias mencapai target, meskipun demikian hal tersebut tidak terlalu berdampak terhadap pertumbuhan pendapatan daerah di Eks-Karesidenan Semarang. 2. Kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam menyelenggaran desentralisasi mengalami peningkatan selama tahun

59 2012. Kenaikan persentase derajat desentralisasi tersebut dapat dilihat dari peningkatan dalam kemandirian keuangan serta pertumbuhan keuangan daerah, dan juga penurunan ketergantungan keuangan daerah. Dengan demikian hal tersebut mengindikasikan bahwa, Pemkab dan Pemkot se Eks- Karesidenan Semarang telah berusaha untuk menggali serta mengelola pendapatan dengan baik. Bila melihat dari sisi ruang fiskal Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang ditahun menunjukkan adanya penurunan, hal tersebut memperlihatkan bahwa dana yang dapat digunakan untuk fleksibilitas infrastruktur se Eks-Karesidenan Semarang, semakin kecil. 3. Peningkatan atas rasio pajak dan rasio pajak perkapita mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang telah mampu mengoptimalkan kemampuan pendapatan yang bersumber dari pajak diantaranya berupa PBB, BPHTB, pajak air tanah serta pajak penerangan jalan. Peningkatan rasio pajak ini didukung dengan adanya pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 dan juga peningkatan kesadaran masyarakat dalam rangka membayar pajak setiap tahunnya, sehingga hal tersebut mendukung penerimaan dari PAD yang turut serta meningkat. 4. Keberagaman kondisi daerah di Eks-karesidenan Semarang yang didasarkan pada klasifikasi tipologi klassen tidak serta merta tercermin di dalam alat analisis kapasitas pendapatan yang digunakan. Daerah maju dan tumbuh justru memiliki pertumbuhan pendapatan yang menurun, lain halnya dengan daerah 59

60 maju namun dalam tekanan ekonomi yang mampu meningkatan pertumbuhan pendapatannya dan juga peningkatan dalam derajat desentralisasi. Saran dan Keterbatasan Penelitian Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang perlu meninjau kembali terkait dengan pemungutan retribusi serta pajak daerah seperti adanya peningkatan atas pelayanan perpajakan, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain daerah, dan juga mengoptimalkan pendayagunaan aset dimasing-masing daerah agar dapat lebih memberi kontribusi yang semakin meningkat terhadap PAD. Dengan melihat hasil analisis pada seluruh rasio yang ada pada Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang hendaknya kondisi kapasitas pendapatan daerah dimasing-masing Pemerintah Daerah dapat lebih ditingkatkan dan diperbaiki. Seperti halnya pada Pemkot Semarang sebagai daerah maju dan bertumbuh dengan cepat yang meningkat dalam penerimaan pajak daerahnya, sebaiknya hal tersebut turut didukung pula dengan adanya peningkatan terhadap realisasi penerimaan pada akun PAD lainnya, seperti retribusi daerah, lain-lain pendapatan yang sah maupun pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan Pemerintah Daerah lainnya perlu lebih mengoptimalkan pendayagunaan kapasitas pendapatan riil daerah yang didukung dengan membuat terobosan dan upaya peningkatan PAD dengan tujuan untuk memenuhi belanja dan peningkatan pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan ketergantungan keuangan daerah terhadap dana perimbangan masih kerap mendominasi penerimaan keuangan dimasing-masing daerah. Keadaan demikian, mencerminkan bahwa kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil 60

61 dilaksanakan, sehingga dimungkinkan perlunya menambah atau memperbaharui kebijakan terkait dengan pengalokasian besarnya dana perimbangan, didukung dengan adanya peningkatan perekonomian kerakyatan yang diprioritaskan pada daerah tertinggal, dan sedang dalam tekanan ekonomi, sehingga dapat menyukseskan pelaksanaan otonomi di Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Pada penelitian selanjutnya diperlukan untuk menambah ataupun memperbaharui rentang tahun penelitian serta analisis kapasitas pendapatan yang digunakan, sehingga informasi yang terkait dengan kapasitas pendapatan lebih mendalam. Kurang detailnya pembahasan dalam penelitian ini dikarenakan terbatasnya informasi yang didapatkan oleh karenanya perlu menambah informasi yang didapat melalui wawancara langsung kepada Pemkab dan Pemkot terkait. Dilain sisi, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, sehingga diperlukan alat uji statistik agar hasil analisis yang diperoleh dapat lebih robust. 61

62 DAFTAR PUSTAKA Adi, Priyo Hari Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi dan Relevansinya Dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali), Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Volume XXI, No. 1: Ariana, Hermawanti., Suharyono, dan Devianti, Dwi Risma Analisis Pendapatan dan Belanja Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur. Fakultas Ekonomi, Universitas Mulawarman. Aris, Achmad Optimalisasi Pajak Belum Dapat Dihitung. Aryanto, Rudi Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah Volume III No. 2: Bradbury, Katherine, dan Zhao, Bo Measuring Disparities in Non-School Cost and Revenue Capacity among Massachusetts Cities and Town. Federal Reserve Bank of Boston, Public Policy Center Research Department, No. 06-3: Daling, Marchelino Analisis Kinerja Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal EMBA Vol. 1 No. 3 (September): Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Deskripsi dan Analisis APBD Jakarta: Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah., Deskripsi dan Analisis APBD Jakarta: Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah., Deskripsi dan Analisis APBD Jakarta: Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah. 62

63 , Deskripsi dan Analisis APBD Jakarta: Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah. Dwirandra, A.A.N.B Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali Tahun Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis Volume 3 No. 2 (Juli): Halim, Abdul, Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat. Hy, R.J., Boland, C., Hopper, R., and Sims, R Measuring Revenue Capacity and Effort of County Governments: A Case Study of Arkansas. Public Administration Review Vol. 53, No. 3: Mahmudi Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Mesakh, Eddy Maaf, Rakyat NTT Ingin Merdeka!. Pemerintah Kabupaten Grobogan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Grobogan Tahun Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Grobogan Tahun Pemerintah Kota Semarang Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah Tahun Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta. 63

64 . 2004a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta., 2004b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan. Jakarta., Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Tanggungjawaban Keuangan Daerah. Jakarta., Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta., Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran Jakarta., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta. Sagay, Brian Kinerja Pemerintah Daerah Dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Emba Vol. 1 No. 3 (September): Sari, Erni Purnama., 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Pemerintah Kabupaten Gresik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Surabaya. Setijaningsih, 2011, Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Madiun Tahun , Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 64

65 Sidik, Machfud., 2002, Optimalisai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah STIA LAN Bandung, 10 April Steviyani Revenue Capacity Pemkab/Pemkot Se Eks-Karesidenan Surakarta Tahun Anggaran Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Sudarwanto, Adenk Analisis APBD Tahun Jurnal STIE Semarang Vol. 5 No. 1 (Februari): Susatyo, Rachmat., 2009, Penguasaan Tanah dan Ketenagakerjaan di Karesidenan Semarang pada Masa Kolonioal, Universitas Padjadjaran, Bandung. Wenny, Cherrya Dhia Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah STIE MDP Vol. 2 No.1 (September): Yulianto, Agung Tiga Perusahaan Besar Multinasional Masuk Jateng pada

66 Lampiran 1. Hasil Olah Data LAMPIRAN Tabel 3. Hasil Analisis Pertumbuhan Pendapatan Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota Semarang 12.46% 14.26% 7.15% 59.01% 49.48% Kab. Semarang 17.05% 8.98% 9.34% 34.77% 17.20% Kota Salatiga 24.75% 17.51% -2.84% 17.58% 28.36% Kab. Demak 25.59% 14.64% 12.98% 31.37% 41.32% Kab. Kendal % 15.95% 12.28% 8.18% 28.81% Kab. Grobogan 12.10% 28.63% 1.67% 12.18% 19.96% Rata-Rata 13.23% 16.66% 6.76% 27.18% 30.85% Tabel 4. Hasil Analisis Pertumbuhan Pajak Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 11.61% 7.70% 15.00% % 65.94% Kab. Semarang 12.89% 13.91% 28.33% 50.34% 19.68% Kota Salatiga 13.16% 15.08% 0.05% 72.71% 17.58% Kab. Demak 29.41% 31.12% 3.17% 81.48% 29.82% Kab. Kendal % -1.31% 20.92% 9.38% 33.73% Kab. Grobogan -2.83% 21.97% 35.14% -0.76% 24.69% Rata-Rata 5.54% 14.74% 17.10% 52.64% 31.90% 66

67 Tabel 5. Hasil Analisis Pertumbuhan Retribusi Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 10.00% % 15.29% 4.88% 0.46% Kab. Semarang 12.36% 22.83% 13.08% 12.25% % Kota Salatiga 14.90% % 6.43% 3.79% 34.75% Kab. Demak 18.82% 29.53% 17.56% % 30.59% Kab. Kendal 15.33% 27.99% % -7.95% 18.88% Kab. Grobogan 6.40% 54.43% 5.54% % 6.12% Rata-Rata 12.97% 7.98% -0.07% % 5.35% Tabel 6. Hasil Analisis Pertumbuhan Transfer Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 17.68% 14.19% -8.35% 28.98% 15.50% Kab. Semarang 13.58% 1.57% 9.05% 29.44% 13.54% Kota Salatiga 27.91% -6.52% 5.22% 18.94% 21.50% Kab. Demak 12.52% 4.28% 17.10% 33.00% 4.36% Kab. Kendal 10.78% 16.68% 6.81% 26.02% 11.89% Kab. Grobogan 14.25% 4.54% 11.94% 24.30% 11.68% Rata-Rata 16.12% 5.79% 6.96% 26.78% 13.08% 67

68 Tabel 7. Hasil Olah Data Ketergantungan Keuangan Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 71.82% 79.40% 68.96% 70.31% 65.83% Kab. Semarang 88.91% 86.50% 87.35% 86.74% 86.06% Kota Salatiga 87.25% 84.71% 81.48% 83.40% 86.16% Kab. Demak 93.69% 91.71% 93.27% 93.35% 91.19% Kab. Kendal 82.35% 87.21% 81.69% 81.63% 83.97% Kab. Grobogan 88.69% 89.41% 89.39% 90.12% 88.49% Rata-Rata 85.45% 86.49% 83.69% 84.26% 83.62% Tabel 8. Hasil Olah Data Kemandirian Keuangan Daerah Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 25.04% 25.06% 29.30% 36.12% 46.74% Kab. Semarang 12.47% 13.38% 13.41% 13.97% 14.42% Kota Salatiga 13.24% 16.65% 15.37% 15.20% 16.06% Kab. Demak 6.69% 7.39% 7.12% 7.06% 9.55% Kab. Kendal 11.21% 11.09% 11.66% 10.05% 11.57% Kab. Grobogan 7.63% 9.97% 9.25% 8.38% 9.00% Rata-Rata 12.72% 13.92% 14.35% 15.13% 17.89% 68

69 Tabel 9. Hasil Olah Data Derajat Desentralisasi Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 17.99% 19.90% 20.20% 25.39% 30.77% Kab. Semarang 11.09% 11.57% 11.72% 12.11% 12.41% Kota Salatiga 11.56% 14.10% 12.53% 12.68% 13.84% Kab. Demak 6.31% 6.79% 6.66% 6.59% 8.71% Kab. Kendal 9.23% 9.72% 9.57% 8.21% 9.72% Kab. Grobogan 7.37% 9.14% 8.30% 7.55% 7.97% Rata-Rata 10.59% 11.87% 11.50% 12.09% 13.90% Tabel 10. Hasil Olah Data Rasio Pajak Pemkab dan Pemkot Se Eks- Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 0.42% 0.40% 0.41% 0.74% 1.10% Kab. Semarang 0.19% 0.20% 0.24% 0.32% 0.34% Kota Salatiga 0.52% 0.55% 0.50% 0.78% 0.83% Kab. Demak 0.20% 0.24% 0.23% 0.38% 0.44% Kab. Kendal 0.23% 0.20% 0.22% 0.21% 0.26% Kab. Grobogan 0.18% 0.19% 0.23% 0.21% 0.23% Rata-Rata 0.29% 0.30% 0.30% 0.44% 0.53% 69

70 Tabel 11. Hasil Olah Data Pajak Per Kapita Pemkab dan Pemkot Se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang Rp94,929 Rp100,741 Rp114,192 Rp227,123 Rp366,593 Kab. Semarang Rp19,692 Rp22,171 Rp28,181 Rp41,734 Rp48,734 Kota Salatiga Rp44,805 Rp50,494 Rp54,050 Rp91,880 Rp105,337 Kab. Demak Rp9,629 Rp12,521 Rp12,763 Rp22,894 Rp29,085 Kab. Kendal Rp20,836 Rp20,269 Rp26,293 Rp28,498 Rp37,377 Kab. Grobogan Rp6,858 Rp8,305 Rp11,542 Rp11,385 Rp13,957 Rata-Rata Rp28,394 Rp30,930 Rp35,576 Rp60,789 Rp86,156 Tabel 12. Hasil Olah Data Ruang Fiskal Pemkab dan Pemkot Se Eks- Karesidenan Semarang Tahun Kota semarang 49.64% 42.32% 37.89% 31.77% 41.59% Kab. Semarang 32.01% 34.07% 20.90% 24.68% 28.44% Kota Salatiga 32.35% 37.90% 24.58% 27.50% 31.73% Kab. Demak 37.25% 37.75% 30.93% 28.07% 34.12% Kab. Kendal 35.67% 83.41% 27.69% 24.44% 27.53% Kab. Grobogan 35.55% 31.43% 23.73% 14.34% 26.03% Rata-Rata 37.08% 44.48% 27.62% 25.13% 31.57% 70

71 Lampiran 2. Data APBD dan BPS Kota Semarang yang Digunakan 71

72 Data APBD dan BPS Kota Semarang yang Digunakan 72

73 Lampiran 3. Data APBD dan BPS Kabupaten Semarang yang Digunakan 73

74 Data APBD dan BPS Kabupaten Semarang yang Digunakan 74

75 Lampiran 4. Data APBD dan BPS Kota Salatiga yang Digunakan 75

76 Data APBD dan BPS Kota Salatiga yang Digunakan 76

77 Lampiran 5. Data APBD dan BPS Kabupaten Kendal yang Digunakan 77

78 Data APBD dan BPS Kabupaten Kendal yang Digunakan 78

79 Lampiran 6. Data APBD dan BPS Kabupaten Demak yang Digunakan 79

80 Data APBD dan BPS Kabupaten Demak yang Digunakan 80

81 Lampiran 7. Data APBD dan BPS Kabupaten Grobogan yang Digunakan 81

82 Data APBD dan BPS Kabupaten Grobogan yang Digunakan 82

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*) ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN Haryani 1*) 1) Dosen FE Universitas Almuslim Bireuen *) Haryani_68@yahoo.co.id ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk menganalisis

Lebih terperinci

SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN 2008-2012 M. SHIDQI ADHIATMA (232010109) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana I. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN B A B III 1 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Daerah Tahun 2010-2015 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Data realisasi keuangan daerah Kabupaten Rembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN CAPAIAN KINERJA Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH BAB V PENDANAAN DAERAH Dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya suatu belanja pemerintah Daerah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya pendapatan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III. GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Tenggara dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUNGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUNGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUNGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Wakatobi dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia, adanya desentralisasi pengelolaan pemerintah di daerah dan tuntutan masyarakat akan transparansi serta akuntabilitas memaksa pemerintah baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah menerbitkan paket peraturan perundang undangan bidang pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Johny Montolalu Joorie M. Ruru RINGKASAN Undang-undang Nomor 33

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Tahun 2008 2012 Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan 2009-2013 Pengelolaan keuangan daerah yang mencakup penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN (RPJMD) Tahun 20162021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Kabupaten Pandeglang dikelola berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku diantaranya UndangUndang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury

ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN 2007 Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury 1. Kebijakan Ekonomi Makro Berdasarkan SAP No.4, CaLK harus

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB IV METODA PENELITIAN BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi dan kateristik obyek penelitian, maka penjelasan terhadap lokasi dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan tata cara pemerintahan terwujud dalam bentuk pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Konsekuensi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp , BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Deskriptif Secara keseluruhan dari tahun 2010-2014 APBD di Kabupaten/

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada pembangunan nasional. Pembangunan nasional tidak hanya mengalami pertumbuhan, tetapi juga mengalami

Lebih terperinci

PROFIL KEUANGAN DAERAH

PROFIL KEUANGAN DAERAH 1 PROFIL KEUANGAN DAERAH Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang adalah menyelenggarakan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Milyar BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat dari Pendapatan Daerah, Belanja

Lebih terperinci

Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James Antony. L. F

Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James Antony. L. F Catatan atas Laporan Keuangan Kabupaten Boyolali dan Kota Salatiga untuk Ekonomi Kebijakan Ekonomi Makro, Kebijakan Keuangan, dan Pencapaian Target Kinerja APBD Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rancangan APBD yang hanya bisa diimplementasikan apabila sudah disahkan

BAB I PENDAHULUAN. rancangan APBD yang hanya bisa diimplementasikan apabila sudah disahkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di 136 BAB V PENUTUP Keberhasilan otonomi daerah dalam era globalisasi dapat terwujud apabila pemerintah daerah mampu melakukan efisiensi dan efektivitas anggaran dan pengoptimalan pendapatan daerah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Pohuwato. Data diperoleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Pohuwato. Data diperoleh 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Pohuwato. Data diperoleh dari Situs Perimbangan Keuangan Pemerintah (www.djpk.depkeu.go.id). Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program di segala bidang secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah tidak terlepas dari batasan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO HELDY ISMAIL Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud dan Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan Indonesia sejak tahun 2004 mengharuskan pemerintah untuk menyerahkan beberapa urusan untuk diselesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Pendapatan Daerah Secara umum, pendapatan daerah terdiri dari tiga jenis yaitu pendapatan asli

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH 5.1 PENDANAAN Rencana alokasi pendanaan untuk Percepatan Pembangunan Daerah pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2009 memberikan kerangka anggaran yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN ` BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah merupakan komponen penting dalam perencanaan pembangunan, sehingga analisis mengenai kondisi dan proyeksi keuangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian dan menuntut pemerintah agar mampu melaksanakan reformasi di segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci