Pengakuan atas Hutan Kelola Rakyat: Jalan Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan Oleh Budiman Sudjatmiko 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengakuan atas Hutan Kelola Rakyat: Jalan Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan Oleh Budiman Sudjatmiko 1"

Transkripsi

1 Pengakuan atas Hutan Kelola Rakyat: Jalan Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan Oleh Budiman Sudjatmiko 1 Pendahuluan Konflik agraria sampai saat ini belum juga mereda. Bahkan pada tahun-tahun terakhir ekskalasinya kembali meningkat. Secara umum, menurut data BPN RI sampai dengan 2007, jumlah sengketa agraria di Indonesia sampai dengan sebanyak kasus; konflik agraria sebanyak 858 kasus; dan perkara agraria yang sedang diproses di pengadilan sebanyak kasus. Dari segi luasan, tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan secara optimal seluas: ha. Nilai ekonomi tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar: m2 x Rp ,- (NJOP tanah paling rendah)= Rp ,-Sedangkan perkiraan opportunity lost dari tanah yang tidak termanfaatkan akibat status sengketa tersebut mencapai 146,804 triliun rupiah (melebihi angka APBN) dan dapat dipastikan angka tersebut terus bertambah hingga sekarang. Menurut banyak kalangan (akademisi, para pegiat reforma agraria, petani dan masyarakat adat) penyebab dari konflik agraria termasuk didalamnya di sektor Kehutanan adalah adanya ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan tanah, kawasan hutan maupuan masyarakat adat. Sesungguhnya, permasalahan ini bukan hanya domain petani, masyarakat adat dan pegiat reforma agraria. Meski dengan cara pandang yang berbeda, pihak lain seperti institusi swasta dan juga badan usaha/ badan hukum Negara maupun pemerintahan juga merasakan dampaknya. Dampak nyata dari adanya ketidakpastian hukum adalah adanya tumpang tindih klaim penguasaan kawasan hutan antara petani/ masyarakat adat dengan BUMN, Swasta maupun pemerintah. Penyebabnya tak lain adalah legislasi dan kebijakan yang tidak terumuskan dengan jelas, sektoralisasi agraria, pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan dinafikkanya pengakuan atas hak kelola rakyat baik petani hutan maupun masyarakat adat. Untuk itulah diperlukan adanya arah perubahan kebijakan dan penganggaran dalam mencapai keadilan dan kepastian tenurial kehutanan. Tujuannya, tak lain dan tak bukan memastikan pelaksanaan konstitusi untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran pada rakyat. Landasan hukum Reformasi kebijakan tenurial untuk memberikan kepastian dan keadilan kepada seluruh komponen kehutanan adalah mandat dari UUD 1945, TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 1 Anggota Komisi II DPR RI. Gagasan yang ditulis ini sebagian besar berasal dari pandangan masyarakat sipil Indonesia yang bergerak dalam reforma agraria kehutanan dan juga dari Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa.

2 Perubahan yang Hendak di Tuju Untuk mewujudkan kawasan hutan yang berkeadilan dan berkepastian hokum maka diperlukan langkah bersama antar komponen bangsa dalam bentuk: a. Perubahan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan Adanya fakta bahwa hanya terdapat 14,24 juta hektar atau hanya 12% kawasan hutan yang ditetapkan dengan status hukum yang final menandakan minimnya legalitas dan legitimasi atas kawasan hutan yang juga memberi dampak terus meningkatnya ekskalasi konflik agraria kehutanan. Oleh karenanya perubahan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam bentuk pemberian kepastian hukum atas kawasan hutan sangatlah penting. Pemberian kepastian hukum dapat diawali dengan penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Dengan begitu tercapai suatu kawasan yang legal dan legitimate. Legal dalam pengertian bahwa kawasan tersebut mengikuti tata aturan baik dalam konteks prosedural maupun substansial. Memperkuat kewenangan Kementerian Kehutanan atas Kawasan Hutan Negara melalui Hak Pengelolaan Hak pengelolaan adalah alas hak bagi kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk menguasai tanah demi melaksanakan tugasnya. Di masa kolonial, hak pengelolaan dikenal dengan istilah beheer (S , S ). Setelah kemerdekaan Indonesia, dasar hukum yang digunakan adalah PP No. 8/1953 tentang Penguasaan Tanah Negara. Peraturan ini tetap berlaku meski UUPA telah diundangkan pada tahun 1960, dengan penyesuaian terhadap penggunaan istilahnya. Hak penguasaan yang disebut dalam PP No. 8/1953 diubah menjadi hak pengelolaan. Ada beberapa peraturan terkait dengan hak pengelolaan ini. Hak pengelolaan memungkinan instansi pemerintah memanfaatkan tanah untuk kepentingannya sendiri atau memberikannya kepada pihak lain. Untuk tujuan terakhir ini didasarkan pada perjanjian pemanfaatan antara instansi dengan pihak ketiga yang akan memanfaatkan tanah. Pihak ketiga kemudian membayar uang pemasukan kepada instansi pemegang hak pengelolaan. BPN menerbitkan sertifikat hak atas tanah, umumnya adalah hak pakai, hak guna bangunan atau hak guna usaha dengan ketentuan di dalam sertifikat tanah tercantum bahwa tanah tersebut berada di atas hak pengelolaan. Pada saat durasi hak berakhir maka tanah akan kembali pada pemegang hak pengelolaan. Kemenhut perlu mempunyai hak pengelolaan atas kawasan hutan negara yang dikelolanya. Dengan memegang hak ini maka Kemenhut tidak akan terbebani dengan urusan pelepasan kawasan hutan untuk menjawab kebutuhan tanah bagi pembangunan di sektor lain. Hak pengelolaan memungkinkan Kemenhut menjalankan wewenang mengurus manajemen hutan terhadap pemegang hak atas tanah yang berada dalam lingkup hak pengelolaannya. Di dalam kawasan yang menjadi hak pengelolaan, Kementerian juga tetap dimungkinkan pemberian izin-izin pemanfaatan hutan. Pertimbangan memberikan hak pengelolaan kepada Kementerian Kehutanan telah diwacanakan oleh Pemerintah beberapa dekade silam. Dalam buku sejarah kehutanan Indonesia dinyatakan bahwa pengelolaan hutan memerlukan penguasaan atas tanah atas dasar PP No. 8/1953. Selain itu, Instruksi Menteri Dalam Negeri No, 26/1982 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No /4275/Agr tanggal 3 November 1982 menyatakan bahwa pengesahan batas-batas kawasan tata guna hutan kesepakatan perlu mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. Untuk setiap fungsi kawasan hutan agar segera dipastikan statusnya sebagai hak pengelolaan Kemenhut (Parlindungan 1989:27-8).

3 b. Penyelesaian Konflik Kehutanan Menurut data yang dirilis Huma di tahun 2011, setidaknya ada 85 kasus konflik agrarian yang secara terbuka 2 di kawasan hutan Indonesia. Berbagai konflik tersebut disebabkan salah satunya adalah adanya penafikan, kesewenang-wenangan dan pelanggaran sepihak pemerintahan kolonial dan juga berlanjut oleh Kemenhut terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan. Sejauh ini sudah banyak inisiatif untuk penyelesaian konflik baik pada level akar rumput maupun nasional, sayangnya sampai saat ini belum terdapat mekanisme penyelesaian yang terlembaga dan komprehensif dalam penyelesaian konflik agraria termasuk didalamnya kehutanan. KNUPKA: Mati Sebelum Sempat Hidup (?) Gagasan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) mempunyai referensi legislasi. Dari sisi administrasi pemerintahan, bentuknya sebagai komisi memang dilajimkan seperti yang terjadi pada kasus Komnas HAM. Bila cara peneguhannya melalui Keppres, selain mirip dengan kasus Komnas HAM, juga sama dengan kasus Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Meskipun dibentuk oleh Keppres, keputusannya tetap mengikat semua pihak. Bahkan, selain mengikat, keputusannya juga final, sekalipun tidak bersifat eksekutorial. Untuk membuat keputusan mengenai kasus-kasus itu bersifat eksekutorial, diperlukan pengesahan dari pengadilan (khusus). Dalam posisi demikian, putusan KNuPKA tidak akan bersifat eksekutorial karena masih harus disahkan oleh pengadilan. Prinsip dan doktrin-doktrin progresif dalam penyelesaian sengketa telah mulai dikembangkan seperti yang tampak dalam uraian di atas. Semisal asas retroaktif, pembuktian terbalik dan defenisi-defenisi tentang barang bukti. Karena hendak menyelesaikan konflik masa lalu, maka KNUPKA harus lebih memajukan prinsip dan doktrin progresif tersebut. Ini penting, karena yang sedang dilawan oleh pikiranpikiran KNUPKA adalah sebuah pandangan hukum yang membenci semangat menoleh ke belakang. Mengenai prosedur beracara, tentu saja KNuPKA akan menggunakan sistem beracara sendiri yang khusus. Karena mengkritik prosedur beracara di pengadilan yang tidak mungkin bisa menyelesaikan konflik masa lalu, KNuPKA justru harus merumuskan prosedur beracara tersendiri yang memihak pada korban (sederhana, murah, tidak formalistik). Gagasan pembentukan komisi ini dibuat untuk menanggapi menguatnya tuntutan keadilan dari para korban sejalan dengan adanya perubahan politik, khususnya perubahan konfigurasi komitmen pimpinan dan lembaga negara, yang bisa membuka peluang bagi dihargai, dilindungi dan dipenuhinya hak-hak korban ketidakadilan yang terjadi pada periode ketika Indonesia dikuasai oleh Rejim sebelumnya. (dipetik dari Naskah Akademik KNUPKA dengan pemberian judul oleh Penulis) 2 Selain konflik terbuka, ada model konflik lain yang berjalan tertutup/ laten. Merujuk pada James C. Scott, konflik tertutup tersebut berlangsung sehari-hari, seperti dalam bentuk pencurian kayu dalam jumlah kecil, tidak mau menuruti perintah dari petugas kehutanan, mematikan pohon, menggeser/ mencabut patok batas dan lain-lain.

4 c. Perluasan dan Pengakuan atas Hak Kelola Rakyat (Petani maupun Masyarakat Adat) atas hutan Petani hutan maupun masyarakat adat merupakan dua tipologi utama masyarakat yang berada mendiami, di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Keduanya mempunyai sejarah penguasaan hutan dan isinya sebelum maupun sesudah adanya pemerintahan kolonial maupun sebelum dan sesudah Indonesia berdiri. Klaim sejarah dan kebutuhan akan pengelolaan hutan oleh petani dan masyarakat adat pada satu sisi dengan pihak lain (perusahaan swasta, BUMN/BHMN, pemerintah) menjadi landas picu terjadinya ekskalasi konflik. Ekskalasi konflik yang terjadi lebih banyak kemudian membuat rakyatlah yang mengalami kekalahan sehingga tidak dapat mengakses hutan. Hasilnya, menurut data CIFOR (2006) setidaknya terdapat 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kehutanan disebutkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 10, 2 juta orang miskin berada di wilayah hutan. Sesungguhnya, Kemenhut telah mengembangkan kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai skema seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM). Sayangnya, berbagai skema tersebut masih saja menimbulkan konflik dan perlawanan oleh masyarakat. Padahal sesungguhnya banyak inisiatif petani hutan maupun masyarakat adat yang tidak lagi menimbulkan konflik dan perlawanan dan saat ini memerlukan pengakuhan dan pengukuhan serta perluasan wilayah kelola (untuk wilayah lain) dari pemerintah. Kalijaya: Runtuhnya Klaim Perhutani atas Klaim Hutan Negara Saat memasuki wilayah hutan Kalijaya hal yang pertama dapat dilihat adalah kemegahan sekretariat Serikat Petani Pasundan (SPP) OTL Kalijaya. Secretariat ini menjadi symbol bahwa lahan yang dulunya dikuasai oleh Perhutani sekarang telah jatuh kembali kepada pemilik sahnya yakni masyarakat Desa Kalijaya. Menurut penuturan warga, pada jaman dahulu wilayah tersebut merupakan tempat pemukiman penduduk. Baru pada tahun 1918, masyarakat di usir oleh pihak Belanda dan ditampung di daerah yang lebih rendah. Sejauh ini belum diketahui alasan pemindahan tersebut. Proses pengusiran warga didahului dengan ditariknya surat cap Singa yang waktu itu dianggap sebagai bukti pemilikan lahan. Bukti bahwa nenek moyang telah pernah tinggal di sana, salah satunya adalah terdapat kuburan di tengah hutan. Di era setelahnya, yakni pada tahun 1950 lahan tersebut dikuasai oleh Djawatan Kehutanan yang kemudian diteruskan oleh Perhutani di tahun Pada era reformasi, terjadi penjarahan hutan yang dilakukan oleh blandong. SPP tidak mau terlibat saat pengambilan kayu. Kami sengaja tidak mau terlibat karena kalau mengambil kayu maka kami akan ditangkap dan dituduh sebagai penjarah. Baru setelah hutan gundul maka masyarakat mulai masuk hutan, ujar Ndang (56), Koordinator Wilayah SPP Kalijaya. Di tahun 2000 warga memasuki wilayah hutan. Proses masuknya warga ke hutan dimulai dengan ajakan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk mendaftar sebagai anggota SPP. Dari hasil pendaftaran terdapat 1200 orang pendaftar yang kemudian membagi lahan. Model pembagian lahan dilakukan dengan cara mengundi. Rata-rata pemilikan lahan adalah 1-3 hektar. Pada awalnya, teknik kelola yang dilakukan adalah model jadah artinya masyarakat menanam hutan secara asal-asalan yang penting target ke depannya adalah hutan kembali ada tanamannya. Beberapa tanaman yang ada diantaranya jagung, singkong, pisang (tanaman pertanian) dan petai, kelapa, khapol, kopi dan albasia (tanaman keras).

5 Usai penguasaan bukan berarti tidak ada tindakan dari Perhutani. Pernah terjadi Brimob datang ke wilayah tersebut. Selain itu, Perhutani juga menwarkan PHBM di tahun Penwaran tersebut di tolak oleh anggota SPP dengan cara mengulur pertemuan hingga akhirnya Perhutani jenuh dan kemudian secara tidak tertulis Perhutani akhirnya membiarkan SPP mengelola hutan tetapi tidak memperluas lahan. Penolakan terhadap PHBM dilakukan SPP dikarenakan beberapa sebab diantaranya: sharing kayu diyakini tidak akan sampai ke kas Negara dan sarat korupsi, PHBM berpotensi koruptif karena bagi hasil bersifat sangat transaksional, kampanye tentang PHBM bagus, implementasinya sangat jelek dan tidak mensejahterakan rakyat. Sebagai sebuah catatan di wilayah ini PHBM dan kelembagaannya yakni LMDH juga ada dan mempunyai anggota. Tanaman yang ada adalah Mahoni dan Jati tetapi sekarang masih kecil dan cenderung tidak berkembang. Selain itu, LMDH juga mendapatkan dampak politik dari keberadaan SPP karena mereka bisa menawar Perhutani dan akhirnya dibolehkan menanam hutan dengan albasia dengan bagi hasil 75% untuk masyarakat dan 25% untuk Perhutani. Dalam hal penggarapan lahan model kelola yang dilakukan adalah system kebon yakni beberapa macam tanaman jadi satu (petani, khapol, kopi, kelapa, albasia, karet). Hasil dari tanaman ini relative bagus. Para petani berpendapat bahwa dengan adanya model hak kelola rakyat maka masyarakat mendapatkan manfaat baik dalam bentuk kesejahteraan dan keamanan hutan yang berhubungan dengan kelestarian hutan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Kesejahteraan Keamanan dan Kelestarian Hutan Masyarakat bisa naik haji. Setidaknya saat Hutan betul-betul aman dari pencurian ini ada 5 orang yang sudah dan akan berhaji Masyarakat bisa beli motor minimal 1 dalam 1 keluarga karena rasa kepemilikan yang tinggi Hutan lestari dengan dibuktikan tanamantanaman yang relative beragam. Hal ini berbeda dengan wilayah di PHBM yang tanamannya tidak tumbuh baik dan tidak hijau Masyarakat bisa membuat rumah seharga juta Masyarakat bisa menyekolahkan anaknya bahkan sampai kuliah Masyarakat Desa Kalijaya beranggapan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat lebih baik dari desa lainnya Kondisi yang baik pada pengelolaan hutan model rakyat ini semakin membuktikan bahwa klaim hutan yang dilakukan rakyat telah berhasil membuat masyarakat sejahtera dan keamanan atas hutan yang berimbas pada kelestarian dan secara maupun langsung maupun tidak langsung telah meruntuhkan klaim Perhutani atas hutan. (Barid Hardiyanto: 2012) Penutup Upaya mewujudkan kawasan hutan yang berkeadilan dan berkepastian hukum hanya dapat tercapai bila seluruh komponen bangsa berpegang pada substansi dari konstitusi bahwa semua hal yang dilakukan berawal dan berakhir pada upaya

6 mensejahterakan dan memberikan pengelolaan sumber daya agraria demi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, tak ada jalan dan pilihan lain selain bahwa segala pikiran dan tindakan baik dalam konteks kebijakan maupun penganggaran ditujukan pada upaya pengakuan dan perluasan wilayah atas hak kelola rakyat. Sebab telah teruji bahwa inisiatif yang di buat telah menghasilkan konflik dan perlawanan yang paling minimal. Dan terbukti memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang langsung dan sebesar-besarnya pada rakyat.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat STOCKTAKING ASSESSMENT SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Disusun Oleh : Paramita Iswari Edi Suprapto Max J. Tokede Lyndon B.

Lebih terperinci

Komentar dan Rekomendasi atas Dokumen Program/Rencana Investasi Kehutanan

Komentar dan Rekomendasi atas Dokumen Program/Rencana Investasi Kehutanan Komentar dan Rekomendasi atas Dokumen Program/Rencana Investasi Kehutanan Diusung oleh HuMa, BIC, debtwatch Indonesia, ELAW Indonesia, AMAN, Solidaritas Perempuan, KPSHK, Forest Peoples Programme, IESR,

Lebih terperinci

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Tim Penyusun: Dhoho A. Sastro M. Yasin Ricky Gunawan Rosmi Julitasari Tandiono Bawor JAKARTA 2010 Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Lebih terperinci

Climate Change PILIHAN SKEMA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Climate Change PILIHAN SKEMA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Climate Change PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Diterbitkan oleh: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Forests and Climate Change Programme

Lebih terperinci

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber : LN 1997/68; TLN

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM PENATAAN HAK GUNA USAHA UNTUK SEBESAR BESAR KEMAKMURAN RAKYAT 1. Oleh: Prof. Dr. H Achmad Sodiki 2

KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM PENATAAN HAK GUNA USAHA UNTUK SEBESAR BESAR KEMAKMURAN RAKYAT 1. Oleh: Prof. Dr. H Achmad Sodiki 2 KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM PENATAAN HAK GUNA USAHA UNTUK SEBESAR BESAR KEMAKMURAN RAKYAT 1 Oleh: Prof. Dr. H Achmad Sodiki 2 A. Sekilas sejarah Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda

Lebih terperinci

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 16 TAHUN 1985 (16/1985) Tanggal : 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/75; TLN NO. 3318 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Tata Guna Lahan di Kalimantan Tengah

Tata Guna Lahan di Kalimantan Tengah Pangan, Bahan Bakar, Serat dan Hutan Tata Guna Lahan di Kalimantan Tengah Menyatukan tujuan pembangunan dan keberlanjutan untuk optimalisasi lahan CIFOR Dialog Hutan (The Forests Dialogue/TFD), Maret 2014

Lebih terperinci

Kebijakan Agraria Di Indonesia Dari Masa Ke Masa

Kebijakan Agraria Di Indonesia Dari Masa Ke Masa Kebijakan Agraria Di Indonesia Dari Masa Ke Masa ( 2007 (disampaikan dalam rangka Rapat Pimpinan Asosiasi Petani Indonesia, 11 Desember Oleh: Nursyahbani Katjasungkana, SH Anggota Komisi II (Agraria, Pemda,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN REVISI MATRIKS KOMENTAR DAN TANGGAPAN TENTANG RENCANA INVESTASI KEHUTANAN INDONESIA 11 Februari 2013 Isi 1 PENDAHULUAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. 2 KOMENTAR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG

Lebih terperinci

PERENCANAAN TATA RUANG SECARA PARTISIPATIF

PERENCANAAN TATA RUANG SECARA PARTISIPATIF PERENCANAAN TATA RUANG SECARA PARTISIPATIF Sebuah Panduan Ringkas dengan Pengalaman dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Tim Penulis Martua T. Sirait, Feri Johana, Ujjwal Pradhan /ICRAF Leonie Wezendonk

Lebih terperinci

LAPORAN PENYELENGGARAAN FORUM NASIONAL UNTUK HUTAN DAN MASYARAKAT PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT STATUS KINI DAN MASA DEPAN

LAPORAN PENYELENGGARAAN FORUM NASIONAL UNTUK HUTAN DAN MASYARAKAT PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT STATUS KINI DAN MASA DEPAN LAPORAN PENYELENGGARAAN FORUM NASIONAL UNTUK HUTAN DAN MASYARAKAT PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT STATUS KINI DAN MASA DEPAN Jakarta, 15 16 April 2014 FORUM NASIONAL UNTUK HUTAN DAN MASYARAKAT PENGELOLAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

Intisari. Kata Kunci : Pengakuan dan perlindungan hukum hak ulayat, otonomi daerah. Pendahuluan

Intisari. Kata Kunci : Pengakuan dan perlindungan hukum hak ulayat, otonomi daerah. Pendahuluan PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH DI DESA COLOL KECAMATAN POCORANAKA TIMUR KABUPATEN MANGGARAI TIMUR (STUDI KASUS) Intisari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Kondisi Ekonomi dan Kebijakan Sektor Pertanian. menjadi krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia ternyata sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Kondisi Ekonomi dan Kebijakan Sektor Pertanian. menjadi krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia ternyata sangat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kondisi Ekonomi dan Kebijakan Sektor Pertanian Sejak terjadinya krisis ekonomi pada bulan Juli 1977 yang berlanjut menjadi krisis multi dimensi yang dialami bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan

Lebih terperinci

PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS) TAHUN

PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS) TAHUN Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 25 TAHUN 2000 (25/2000) Tanggal: 20 NOVEMBER 2000 (JAKARTA) Sumber: LN 2000/206 Tentang: 2000-2004 PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi khususnya

Lebih terperinci

TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK

TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Bekerjasama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Didukung oleh: The Asia Foundation dan Royal Netherlands

Lebih terperinci

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 i PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR I. UMUM Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa

Lebih terperinci