UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU Papilio demoleus DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN SISTEM PENANGKARAN FEBRINA MAHAYANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU Papilio demoleus DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN SISTEM PENANGKARAN FEBRINA MAHAYANI"

Transkripsi

1 UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU Papilio demoleus DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN SISTEM PENANGKARAN FEBRINA MAHAYANI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio demoleus dari Telur hingga Imago dengan Sistem Penangkaran adalah benar karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Febrina Mahayani NIM G

3 4 ABSTRAK FEBRINA MAHAYANI. Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio demoleus dari Telur hingga Imago dengan Sistem Penangkaran. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan LIN NURIAH GINOGA. Pemanfaatan kupu-kupu sering tidak diimbangi dengan menjaga kelestariannya di alam. Penangkaran dilakukan sebagai upaya pengembangan tumbuhan dan satwaliar dengan tetap memelihara kemurnian jenisnya. Salah satu jenis kupukupu yang dapat dimanfaatkan adalah P. demoleus. Pembuatan taman kupu sebagai objek ekoeduwisata di Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan salah satu bentuk pemanfaatan kupu-kupu. Meningkatkan harapan hidup kupu-kupu diharapkan mampu menghasilkan jumlah populasi yang besar tanpa merusak alam. Sistem penangkaran dikombinasikan dengan laboratorium untuk meningkatkan harapan hidup kupu-kupu hingga tahap imago. Proses perkawinan terjadi di kubah dan perawatan di laboratorium dengan dilakukan pengamatan kopulasi imago, siklus hidup, harapan hidup, perubahan morfologi, rasio seks, dan faktor abiotik. Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F ± 2.70 hari (29-40 hari) dan satu siklus hidup F 2 berlangsung lebih lama yaitu ± 3.30 hari (33-45 hari). Kurva kelangsungan hidup tipe I, mortalitas tinggi terjadi pada usia dewasa. Mortalitas tertinggi pada fase pupa persen. Kematian pada tiap fase banyak disebabkan parasit, bakteri, dan kegagalan eklosi. Harapan hidup kupukupu P.demoleus meningkat menjadi persen dari harapan hidupnya sebesar 2 persen di alam liar. Penelitian sistem penangkaran yang efektif dan renovasi fasilitas kubah, menjadi penunjang terciptanya taman kupu di IPB. Kata kunci : Mortalitas, Papilio demoleus, Pemanfaatan kupu-kupu, Harapan hidup, Siklus hidup

4 ABSTRACT FEBRINA MAHAYANI. Efforts to Increase Life Expectancy of the Papilio demoleus Butterfly from egg until Imago with Captive Breeding System. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN and LIN NURIAH GINOGA. Utilization of butterflies are often not balanced with maintaining sustainability in nature. Captive breeding is done as an effort to cultivation the plant and wildlife with maintain the purity of the strain. One species of butterfly that can be used is P.demoleus. Establishment the garden of butterfly for ecoedutourism object in Bogor Agricultural University (BAU), is a manifestation of utilizing the butterflies. Increase the life expectancy of a butterfly and be expected to have produced a big population without nature destructive. Captive breeding system was combined with laboratory treatment to increase the life expectancy of a butterfly until imago phase. The process of spawning be located at the dome and treatments performed in the laboratory with observed the imago copulation, life cycle, life expectancy, metamorphosis of P.demoleus, sex ratio, and abiotic factors. Mostly,life cycle of P.demoleus F 1 is ± 2.70days (29-40 days) and a F 2 life cycle is longer ± 3.30 days (33-45 days). Survival curve type I, high mortality rate was occurs in adult stage. At the pupa s phase in the amount of percent is the highest mortality. Many deaths in each phase due to parasites, bacteria, and eclosion failure. P.demoleus butterfly life expectancy increased to percent from his life expectancy that is 2 percent in the wild. Research about captive breeding system effectivity and renovation of the dome facilities, is support the realization of a butterfly garden at the BAU. Key word : Life expectancy, life cycle, mortality, Papilio demoleus, utilization of butterflies

5 UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU Papilio demoleus DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN SISTEM PENANGKARAN FEBRINA MAHAYANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga skripsi yang berjudul Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio demoleus dari Telur hingga Fase Imago dengan Sistem Penangkaran berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Mei Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Ibu Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi selaku pembimbing atas segala bimbingan, dukungan dan saran selama berlangsungnya penelitian dan penulisan skripsi. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muhadiono, MSc selaku penguji. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Heri yang telah membantu selama penelitian di laboratorium Pusat Penelitian Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan kubah plaza Institut Pertanian Bogor (IPB), serta kepada Pak Hari, Bu Catur, Kak Andi, Kak Yuli, Kak Syamsul, Kak Dani, Dela, Areza. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Edi Sutrisno yang telah memberikan pengarahan dan pengetahuan mengenai sampel yang digunakan dalam penelitian, serta kepada seluruh pihak di Museum Serangga dan Taman Kupu Taman Mini Indonesia Indah yang telah memberikan izin dalam pengambilan sampel. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Kakak, seluruh keluarga, teman-teman khususnya Kicep, Siti, Yuli, Erma, Uli, Kuro, Indah, Deli, serta seluruh Biologi 47 atas doa, semangat dan kasih sayangnya. Skripsi ini belum sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Febrina Mahayani

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan 2 METODOLOGI 2 Waktu dan Tempat 2 Bahan dan Alat 2 Metode 2 Tahap Persiapan 2 Identifikasi Jenis Kelamin 3 Pemeliharaan dalam Laboratorium 3 Parameter Pengamataan 4 Faktor Abiotik 4 Analisis Data 5 HASIL 5 Kopulasi Imago Parental dan Perbanyakan Keturunan 5 Siklus Hidup dan Perubahan Morfologi 7 Harapan Hidup dan Tabel Kehidupan 9 Sinkronisasi Kemunculan Imago 12 Faktor Abiotik 12 PEMBAHASAN 14 SIMPULAN 17 SARAN 17 DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN 20 RIWAYAT HIDUP 30

9 12 DAFTAR TABEL 1. Waktu hidup parental P. demoleus (n=7) 6 2. Kopulasi imago parental 6 3. Kopulasi imago F Kopulasi imago F Siklus hidup kupu-kupu P. demoleus P (n=7), F 1 dan F 2 (n=28) dan uji T 8 6. Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago Tabel kehidupan P. demoleus Rasio pertigahari dan rasio total Kondisi faktor abiotik pada tiap generasi 13 DAFTAR GAMBAR 1. a. P. demoleus jantan, b. P. demoleus betina a. Telur P. demoleus pada pucuk daun jeruk, b. Pupa yang siap dipindahkan ke kandang pupa, c. Cawan petri dan toples yang digunakan dalam pemeliharaan ulat, d. Papilod a. Pergantian kulit dari Instar 4 ke instar 5, b. Osmeterium 8 4. Metamorfosis P. demoleus Kurva ketahanan hidup P. demoleus Mortalitas P. demoleus pada beberapa fase Suhu dan kelembaban Lab PPSHB akhir bulan Januari-Awal Mei Suhu dan kelembaban kubah akhir bulan Februari-Awal Mei DAFTAR LAMPIRAN 1. Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 1) Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 2) Uji T rata-rata siklus hidup F 1 dan F 2 dengan (P<0.05) dan (P<0.01) Faktor abiotik di laboratorium PPSHB akhir bulan Januari awal Mei Faktor abiotik di kubah awal bulan Februari awal Mei

10 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keseimbangan ekosistem alam tidak terlepas dari peran serta anggota biotik di dalamnya seperti serangga, salah satunya adalah kupu-kupu. Peran ekologi kupu-kupu dalam ekosistem tidak hanya sebagai herbivora semata, tetapi juga sebagai komponen yang penting dalam penyerbukan (Subahar et al. 2007). Proses penyerbukan yang dilakukan oleh kupu-kupu membantu terbentuknya buah dan biji dari tanaman berbunga sehingga secara ekologis kupu-kupu memberikan sumbangan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memperkaya biodiversitas. Manfaat lain dari kupu-kupu yaitu sebagi indikator lingkungan, semakin banyak jenis kupu-kupu di suatu lingkungan menandakan semakin baik kualitas lingkungannya (Dewi 2003). Manfaat kupu-kupu antara lain meliputi manfaat ekologi, endemisme, konservasi, pendidikan, budaya, estetika dan ekonomi (Rahayuningsih et al. 2012). Secara ekonomi kupu-kupu memiliki nilai jual yang tinggi mulai dari pemanfaatannya sebagai benda koleksi, cindera mata, hingga objek wisata. Meningkatnya pemanfaatan kupu-kupu khususnya manfaat ekonomi mengakibatkan pada eksploitasi, yang mengancam kelestarian kupu-kupu di alam. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa penangkaran adalah upaya pengembangan tumbuhan dan satwaliar dengan tetap memelihara kemurnian jenisnya. Papilio demoleus merupakan anggota dari famili Papilionidae. Famili Papilionidae disebut juga sebagai kupu ekor walet atau swallow tail (Triplehorn & Johnson 2005). Jeruk merupakan tanaman inang dari larva P.demoleus. Lewis (2012) menyatakan larva P. demoleus memakan hamper semua varietas jeruk. Menurut Saxena dan Goyal (1978) spesifikasi tanaman inang ini, disebabkan kupu-kupu betina mendapatkan rangsangan kimia berupa bau atraktan dari ether serta 80% etanol yang terlarut dalam tanaman inang, kombinasi antara bau dan warna dari tanaman inang menciptakan respon oviposisi (peletakan telur) dari kupu-kupu. Matsumoto (2002) menyatakan spesies ini tersebar di daerah tropis dan subtropis di benua Asia, Australia, kepulauan Taiwan, Hainan, Papua Nugini, Sumba, Flores, Alor, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Fillipina, dan Maluku. Persebarannya dari India ke Nepal, Cina bagian selatan, dan Jepang, dari selatan melalui Malaysia dan Indonesia. P. demoleus tercatat ditemukan beberapa tahun terakhir ini di Republik Dominika (Guerrero et al. 2004). Mulai tahun 1970 spesies ini menginvasi pulau Jawa, Kalimantan, Filipina, dan Sumatera, yang didukung dengan adanya hutan yang menyediakan tanaman jeruk (Matsumoto 2002). Saputro (2007) menyatakan P. demoleus merupakan salah satu dari keragaman kupu-kupu yang ada di Institut Pertanian Bogor. Penangkaran kupu P. demoleus memanfaatkan kubah di plaza IPB. Kubah di plaza IPB dapat dimanfaatkan sebagai tempat kawin bagi kupu-kupu dalam sistem penangkaran dan dapat dikembangkan menjadi taman kupu sebagai objek ekoeduwisata.

11 2 Pengembangan ini memerlukan jumlah yang banyak dari kupu-kupu. Sistem penangkaran yang baik diharapkan mampu menyediakan jumlah yang ideal untuk pemanfaatan kupu-kupu secara maksimal. Keberhasilan hidup kupukupu hingga tahap imago sangat dipengaruhi oleh tehnik pemeliharaan. Sistem penangkaran yang dikombinasikan dengan penggunaan laboratorium dilakukan sebagai upaya meningkatkan harapan hidup kupu-kupu hingga tahap imago. Tujuan Penelitian ini bertujuan meningkatkan harapan hidup kupu-kupu Papilio demoleus dari telur hingga imago dan menghitung siklus hidup kupu-kupu Papilio demoleus dalam penangkaran. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2014 hingga Mei 2014 di laboratorium Pusat Penelitian Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan kubah plaza Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengamatan dan pemeliharaan kupu-kupu P. demoleus parental (P) pada tanggal 28 Januari Februari 2014, Filial 1 (F 1 ) tanggal 22 Februari April 2014, dan Filial 2 (F 2 ) tanggal 29 Maret Mei Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur, ulat dan pupa P. demoleus (berasal dari Museum Serangga dan Taman Kupu Taman Mini Indonesia Indah (MSTK TMII)), tanaman inang yaitu jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan tanaman jeruk dari jenis Citrus microcarpa, tanaman penghasil nektar (soka, pacar air, jengger ayam, pagoda, dll). Alat yang digunakan adalah cawan petri, toples, kandang pupa (40cmx40cmx40cm), papilod, kuas, termohigrometer, light meter, kamera digital, dan mikroskop stereo. Metode Tahap Persiapan Kubah tempat penangkaran dibersihkan dan direnovasi bagian-bagian yang rusak. Bagian-bagian kubah yang berlubang ditutup menggunakan paranet. Tanaman-tanaman inang dan penghasil nektar di dalam kubah diremajakan. Perangkap untuk predator seperti kadal dipasang disudut-sudut kubah dan sarangsarang laba-laba dibersihkan. Persiapan parental (P) dengan mengambil sampel telur, ulat dan pupa P. demoleus dari MSTK TMII. Pupa dipelihara dalam

12 3 kandang pupa, sedangkan telur dan ulat dirawat dalam toples di laboratorium. Pemeliharaan dilakukan hingga telur, ulat dan pupa mencapai tahap imago. Imago yang telah eklosi di identifikasi jenis kelaminnya. Tanggal, jenis kelamin, dan rasio seks perminggu dari eklosi individu yang pertama dicatat hingga eklosi individu yang terakhir. Identifikasi Jenis Kelamin Imago yang telah eklosi diidentifikasi jenis kelaminnya sebelum dimasukkan kedalam kubah. Jantan dan betina pada kupu-kupu P. demoleus memiliki pola sisik yang mirip. Ciri imago P. demoleus memiliki sejumlah besar bintik tak beraturan pada sayap, bagian atas sayap berwarna warna hitam dengan bintik-bintik berwarna orange, pada bagian dorsal sisi dalam sayap belakang terdapat bintik merah. Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat bagian ujung ventral abdomen (Gambar 1). Imago jantan terdapat lubang di bagian ujung ventral abdomen sedangkan ujungnya betina tertutup. Secara morfologi juga dapat dilihat perbedaan antara imago betina dan jantan, biasanya imago betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan sisi sayap belakang berwarna orange sedangkan pada jantan warnanya cenderung pucat dan kuning. Identifikasi juga dapat dilakukan saat fase pupa. Imago yang telah diidentifikasi kemudian dilepaskan dalam kubah penangkaran. a Gambar 1 a. P. demoleus jantan, b. P. demoleus betina. b Pemeliharaan dalam Laboratorium Telur-telur yang dihasilkan imago setelah perkawinan dipelihara dalam cawan petri dan dirawat dalam laboratorium. Daun tempat diletakkannya telur dipetik (Gambar 2A) atau telur diambil dengan menggunakan kuas dan dirawat

13 4 dalam cawan petri (Gambar 2C). Telur dirawat hingga menetas dan disediakan makanan berupa pucuk daun. Tiap perkembangan ulat diamati dan dirawat sesuai dengan fasenya. Instar kedua pada ulat diberi makan daun muda, semakin tinggi instarnya semakin tua daun yang diberikan. Pemberian pakan dan pembersihan kotoran dilakukan setiap hari. Semakin tinggi tingkat instarnya semakin banyak kebutuhan pakannya. Ulat pada fase instar 3 hingga 5 dirawat dalam toples (Gambar 2C) hingga menjadi kepompong. Kepompong dipindahkan ke kandang kepompong dengan cara ditempelkan pada sebidang karton menggunakan lem (Gambar 2B). Imago yang telah keluar dari kepompong diidentifikasi seksnya kemudian dibawa ke kubah dengan papilod (Gambar 2D). a b c d Gambar 2 a. Telur P. demoleus pada pucuk daun jeruk, b. Pupa yang siap dipindahkan ke kandang pupa, c. Cawan petri dan toples yang digunakan dalam pemeliharaan ulat, d. Papilod. Parameter Pengamataan Parameter yang diamati adalah faktor biotik dan abiotik. faktor biotik meliputi pengamatan jumlah individu yang bertahan hidup, lama siklus hidup, perubahan morfologi, dan rasio seks. Faktor abiotik terdiri dari pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Faktor Abiotik Pengukuran faktor abiotik berupa pengukuran suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Pengukuran ini dilakukan di laboratorium dan kubah pada pukul 09.00; 13.00; dan WIB. Suhu dan kelembapan diukur dengan termohigrometer. Intensitas cahaya diukur dengan light meter.

14 5 Analisis Data Data perkembangan siklus hidup F 1 dan F 2 dibandingkan. Waktu rata-rata siklus hidup diuji menggunakan uji t dengan (P<0.01) dan (P<0.05). Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago dihitung dan dicatat. Nilai persentasi harapan hidup dihitung dengan rumus: Analisis tabel kehidupan dilakukan terhadap siklus hidup kupu-kupu F 1 dan F 2. Nilai nx, lx, dx, qx, Lx, dan ex dihitung dengan rumus sebagai berikut: lx = n x x 100 n o dx = l x l (x+1) qx = Lx = Tx = ex = keterangan: x: fase atau kelas umur nx: rata-rata jumlah individu yang hidup pada fase tersebut lx: jumlah individu yang hidup pada masing-masing interval waktu (densitas awal cohort dibuat 100) dx: jumlah yang mati pada usia antara x ke x+1 qx: proporsi kematian pada fase tersebut Lx: jumlah individu yang hidup antara fase tersebut dengan fase berikutnya Tx: jumlah total individu yang hidup mulai fase tersebut hingga individu punah ex: harapan hidup pada awal interval umur tersebut F1: filial atau turunan 1 F2: filial atau turunan 2 Rasio seks indukan juga dihitung dengan rumus: R= M/F (M: jumlah jantan dan F: jumlah betina). Rasio seks pertigahari dihitung untuk menentukan sinkronisasi kemunculan imago. Pencatatan tanggal eklosi dari awal individu eklosi hingga eklosi individu terakhir dan pencatatan jenis kelamin, sebagai perhitungan rasio seks total. HASIL Kopulasi Imago Parental dan Perbanyakan Keturunan Sampel yang diambil sebagai parental, berjumlah 35 individu. Imago parental yang berhasil eklosi dari 35 individu awal menjadi 7 imago. Tujuh imago yang berhasil eklosi terdiri dari 2 jantan dan 5 betina. Ketujuh imago ini memiliki waktu eklosi seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

15 6 Tabel 1 Waktu hidup parental P. demoleus (n=7) Tanggal eklosi Lama Jenis Kondisi hidup kelamin imago (hari) 11 Februari 2014 Betina Baik 2 13 Februari 2014 Betina Baik 5 14 Februari 2014 Jantan Baik 10 Betina Baik 3 18 Februari 2014 Jantan Baik Februari 2014 Betina Baik 10 Betina Baik 6 Waktu eklosi imago parental ini menentukan pasangan untuk kopulasi imago. Tabel 2 menunjukkan satu pasang imago jantan dan betina kopulasi. Satu hari setelah kopulasi, betina menghasilkan telur sebanyak 34 telur dalam waktu satu minggu. Tanggal eklosi Jenis kelamin Tabel 2 Kopulasi imago parental Tanggal Jumlah Pasangan kawin telur Keterangan Betina Mati Betina Mati Jantan Mati Betina Mati Jantan Betina ekor jantan ( ) mengawini 1 ekor betina ( ) 34 telur dalam waktu 6 hari Mati Betina Mati Keterangan : (-) = tidak terjadi perkawinan Tanggal eklosi 23/03/14-24 /03/14 25/03/14-26/03/14 27/03/14-28/03/14 29/03/14-30/03/14 Tabel 3 Kopulasi imago F 1 Jenis kelamin Tanggal Pasangan Jantan Betina kawin Jumlah telur /03/ /03/ /03/14 1 jantan yang eklosi pada 25/03 dengan 1 betina yang eklosi pada 26/03 1 jantan yang eklosi pada 28/03 dengan 1 betina yang eklosi pada 28/03 1 jantan yang eklosi pada 28/03 dengan 1 betina yang eklosi pada 29/

16 7 Tanggal eklosi 30/04/14-2/05/14 3/05/14-5/05/14 6/05/14-8/05/14 9/05/14-12/05/14 Tabel 4 Kopulasi imago F 2 Jenis kelamin Tanggal Pasangan Jantan Betina kawin keterangan : (-)= tidak terjadi perkawinan Jumlah telur Satu pasang imago parental menghasilkan 28 individu F 1. Individu F 1 yang berhasil kopulasi sebanyak tiga pasang dengan waktu kopulasi tanggal 27, 29 dan 30 Maret 2014 (Tabel 3). Hasil dari ketiga pasang imago ini sebanyak 89 telur dalam jangka waktu satu minggu. Individu F 2 hasil kopulasi imago F 1 berhasil menjadi imago dengan jumlah 28. Imago F 2 tidak terjadi kopulasi sehingga tidak menghasilkan keturunan (Tabel 4). Siklus Hidup dan Perubahan Morfologi Parental P. demoleus memiliki rata-rata siklus hidup ± 3.10 hari dengan kisaran waktu hari. Waktu yang dibutuhkan generasi parental untuk menyelesaikan satu siklus hidup lebih lama dari generasi F 1 dan F 2. Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F ± 2.70 hari dengan waktu tersingkat yaitu 29 hari dan waktu terpanjang 40 hari. Satu siklus hidup F 2 berlangsung lebih lama yaitu ± 3.30 hari dengan waktu tercepat 33 hari dan waktu terlama 45 hari (Tabel 5). P. demoleus F 1 dan F 2 memiliki waktu terlama pada fase pupa dan waktu tersingkat pada fase prepupa (Tabel 5). Rincian satu siklus perindividu F 1 dan F 2 dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Uji T dengan taraf uji 5% dan 1 % pada instar 1, instar 2, instar 3 dan instar 4 berbeda nyata, sedangkan fase instar 5 hingga imago tidak berbeda nyata. Fase telur berbeda nyata pada taraf uji 5% dan tidak berbeda nyata pada taraf uji 1% (Tabel 5 dan Lampiran 3). Metamorfosis P. demoleus bermula dari telur berwarna kuning dan berbentuk bulat (Gambar 4). Larva instar 1 hingga instar ke 4 berwarna hitam dengan garis putih ditengahnya. Instar ke lima berwarna hijau dan bercorak hitam. Indikator perubahan instar pada larva yaitu dengan adanya pergantian kulit dan kapsul kepala (Gambar 3a). Larva memiliki osmeterium berbentuk seperti tanduk berwarna jingga yang dapat memancarkan sekresi bau tidak sedap (Gambar 3b). Fase prepupa ditandai dengan pemendekan panjang tubuh dan menempel pada substrat. Pupa P. demoleus memiliki dua warna yaitu hijau dan coklat. Smith (1978) menyatakan, warna kepompong bergantung pada substrat tempat larva mengalami pupasi, secara fisiologis kutikula coklat pada P. demoleus diproduksi mengikuti sekresi hormon. Imago P. demoleus berwarna hitam dengan corak putih pada sayap depan dan berwarna kekuningan pada sayap belakang.

17 8 Tabel 5 Siklus hidup kupu-kupu P. demoleus P (n=7), F 1 dan F 2 (n=28) dan uji T Telur Fase L.Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Prepupa Pupa Imago Betina Jantan Rata-rata satu siklus hidup Rata-rata tiap fase P (kisaran hari) 2.86 ± 0.69 (2-4) 3.71 ± 0.76 (3-5) 4.00 ± 0.82 (3-5) 4.86 ± 0.69 (4-6) 5.86 ± 0.38 (5-6) 8.29 ± 1.11(7-10) 1 ± 0 (1) ± 0.95 (10-13) 6.71 ± 3.64(2-11) 5.20 ± 3.11(2-10) ± 0.71 (10-11) ± 3.10 (48-57) Rata-rata tiap fase F 1 (kisaran hari) 2.71 ± 0.46 (2-3) 2 ± 0.27 (1-3) 2.18 ± 0.39 (2-3) 2 ± 0 (2) 3 ± 0.67 (2-4) 6.5 ± 0.96 (4-8) 1 ± 0 (1) 11 ± 0.38 (10-12) 3.71 ± 1.92 (1-8) 3.93 ± 2.02 (1-8) 3.5 ± 1.87 (1-7) ± 2.70 (29-40) Keterangan : *Berbeda nyata; ** Tidak berbeda nyata Rata-rata tiap fase F 2 (kisaran hari) 3.04 ± 0.58 (2-4) 2.86 ± 0.97 (2-5) 3.46 ±1.97 (2-9) 3.21 ± 1.23 (2-7) 4.32 ± 2.07(2-9) 7.21 ± 1.71(4-12) 1 ± 0 (1) ± 0.33 (10-12) 3.00 ± 1.19 (1-6) 2.68 ± 1.08 (1-5) 4.42 ± 1.24 (2-6) ±3.30 (33-45) Uji T F 1 dan F 2 5% 1% * ** * * * * 1.6E-05 * 1.6E-05 * * * ** ** #DIV/0! ** #DIV/0! ** ** ** ** ** Osmeterium Kulit Kapsul kepala a b Gambar 3 a. Pergantian kulit dari Instar 4 ke instar 5, b. Osmeterium.

18 9 Telur Instar 1 Instar 2 Instar 3 Imago Instar 4 Pupa prepupa Instar 5 Gambar 4 Metamorfosis P. demoleus. Harapan Hidup dan Tabel Kehidupan Individu F 1 mengalami penurunan jumlah individu menjadi 85.29% pada fase telur ke instar 1 kemudian konstan dari instar 2 hingga imago. Mortalitas pada individu F 2 terjadi pada tiap fase dengan mortalitas tertinggi pada fase telur ke instar 1 dan fase pupa ke imago (Tabel 6). Bila dibandingkan dengan parental individu yang berhasil hidup dari pupa menjadi imago lebih banyak terjadi pada F 1 dan F 2 dengan persentase 33.33% (P), 100% (F 1 ), dan (F 2 ) (Tabel 6). Keberhasilan hidup P. demoleus dari fase telur hingga imago, persentase tertinggi terjadi pada F 1 yaitu 82.35% dan persentase terendah pada generasi parental yaitu 20%. Persentase rata-rata individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago adalah 44.60% (Tabel 6). Tabel kehidupan menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi dilihat dari nilai dx terbesar yaitu 33.33% pada fase pupa. Harapan hidup tiap fasenya dapat dilihat dari nilai ex dengan harapan tertinggi pada fase instar 1 yaitu 5.75% dan terendah pada fase imago yaitu 0.50%. Nilai lx menunjukkan kelangsungan hidup individu P. demoleus mengalami penurunan tiap fasenya, dengan nilai 21.14% untuk kelangsungan hidup imago betina (Tabel 7).

19 10 Tabel 6 Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago Jumlah individu rata-rata Fase keberhasilan Parental % F1 % F2 % hidup (%) Telur L.Instar Instar Instar Instar Instar Prepupa Pupa Imago Imago betina Imago jantan Total telurimago Keterangan : L= Larva; Parental diambil dari alam liar Tabel 7 Tabel kehidupan P. demoleus x nx lx dx qx Lx Tx ex Log lx Telur L.Ins Ins Ins Ins Ins Prepupa Pupa I. Betina Keterangan: L= larva; Ins= Instar; I= Imago Kurva ketahanan hidup dibuat dengan skala log menggunakan nilai lx. Gambar 5 menunjukkan kurva ketahanan hidup P. demoleus, kurva ini menyerupai kurva ketahanan hidup tipe I. Cambell et al. (2004) menyatakan kurva tipe I relatif rata pada permulaan yang menunjukkan angka kematian rendah selama awal dan pertengahan hidup, serta menurun tajam ketika angka kematian meningkat pada kohort yang lebih tua. Foto mortalitas disajikan pada Gambar 6.

20 11 Gambar 5 Kurva ketahanan hidup P. demoleus. a b c d e Gambar 6 Mortalitas P. demoleus pada beberapa fase: a. Pupa terserang parasit d. Mortalitas larva karena bakteri b. Gagal eklosi e. Mortalitas larva karena stress c. Pupa terserang bakteri f. Mortalitas pada fase prepupa f

21 12 Sinkronisasi Kemunculan Imago Rasio jantan dan betina pertiga hari pada parental menunjukkan jantan lebih sedikit daripada betina yaitu 1/3 dan 1/2 dengan rasio total 2/5 (Tabel 8). Rasio pada F 1 menunjukkan jantan lebih banyak eklosi pada tiga hari pertama dan tiga hari terakhir waktu eklosi, waktu eklosi tiga hari kedua betina lebih banyak dari jantan dengan rasio total 14/14 (Tabel 8). Individu F 2 betina lebih banyak dari jantan pada waktu eklosi dihari ke 7 hingga 9, dan pada hari lain jantan lebih banyak dari betina dengan rasio total 16/12 (Tabel 8). Waktu eklosi jantan dan betina yang cocok pada F 2 berada pada kisaran tanggal 3-8 Mei Kondisi imago F 2 yang cacat menyebabkan kopulasi tidak dapat terjadi. Tabel 8 Rasio pertigahari dan rasio total Periode eklosi rasio total P 11/02/14-14/02/14 1/3 18/02/14-19/02/14 1/2 2/5 F 1 23/03/14-25/03/14 3/2 26/03/14-28/03/14 6/8 14/14 29/03/14-30/03/14 5/4 F 2 30/04/14-2/05/14 2/0 3/05/14-5/05/14 6/2 6/05/14-8/05/14 5/9 16/12 9/05/14-12/05/14 3/1 Faktor Abiotik Kondisi lingkungan laboratorium dan kubah pada tahap pemeliharaan generasi P, F 1 dan F 2 menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang jauh dari tiap generasi (Tabel 9). Suhu saat pemeliharaan generasi P dan F 1 di laboratorium relatif sama berkisar di suhu 27 C dan naik satu derajat pada generasi F 2. Ratarata kelembaban tertinggi terjadi pada generasi P dan relatif sama pada generasi F 1 dan F 2, sedangkan intensitas cahaya tertinggi terjadi saat generasi F 1 yaitu Lux. Suhu kubah relatif naik dari generasi P ke generasi F 2 dan kelembaban tertinggi terjadi saat generasi P dimana cuaca saat generasi ini curah hujan masih tinggi. Rata-rata suhu kubah tiap generasi mencapai C dan kelembaban rata-rata kelembaban pada generasi parental adalah 83%. Intensitas cahaya di kubah dipengaruhi oleh cuaca, intensitas terendah pada generasi P dan tertinggi pada generasi F 1 dengan cuaca relatif cerah dan cuaca pada generasi F 2 berawan (Lampiran 5).

22 13 Generasi Parental F 1 F 2 Tabel 9 Kondisi faktor abiotik pada tiap generasi Laboratorium Int. t ( C) Rh (%) Cahaya (Lux) ± ± ± (25-31) (78-95) (98-318) ± 1.90 (23-31) ± 1.52 (25-32) ± 4.23 (76-96) ± 2.82 (77-90) ± ( ) ± ( ) Kubah t ( C) Rh (%) ± 2.95 (23-34) ± 2.57 (24-34) ± 1.86 (28-35) ± 7.47 (64-96) ± 4.81 (70-91) ± 4.74 (65-86) Int. Cahaya (Lux) ± ( ) ± ( ) ± ( ) Rata-rata suhu di laboratorium PPSHB paling tinggi pada siang hari (29.67 ± 1.37 C) dan paling rendah pada sore hari (26.95 ± 1.53 C) dengan suhu minimal 23 C dan maksimal 32 C. Kelembaban rata-rata selama akhir bulan Januari hingga awal Mei 2014 berkisar antara ± 1.37 % hingga ± 1.53 % dengan kelembaban maksimal 76 % dan maksimal 81 % (Lampiran 4 dan Gambar 7). Intensitas cahaya dengan tambahan cahaya lampu berkisar antara ±45.55 lux dan ±58.41 lux dengan intensitas minimal 98 lux dan maksimal 410 lux (Lampiran 5). Gambar 7 Suhu dan kelembaban laboratorium PPSHB akhir bulan Januari-Awal Mei Rata-rata suhu di kubah paling tinggi pada siang hari (31.09 ± 2.58 C) dan paling rendah pada sore hari (27.91 ± 2.49 C) dengan suhu minimal 23 C dan maksimal 35 C. Kelembaban rata-rata selama awal bulan Februari hingga awal Mei 2014 berkisar antara ± 7.22 % hingga ± 4.63% dengan kelembaban maksimal 64 % dan maksimal 96 % (Lampiran 5 dan Gambar 8). Intensitas cahaya berkisar antara ± lux dan ± lux dengan intensitas minimal lux dan maksimal lux (Lampiran 5).

23 14 Gambar 8 Suhu dan kelembaban kubah akhir bulan Februari-Awal Mei PEMBAHASAN Kupu-kupu P. demoleus dapat melakukan kopulasi (perkawinan) di dalam kubah plaza IPB dengan ukuran diameter 13 m dan tinggi 9 m. Ukuran kandang mempengaruhi proses perkawinan kupu-kupu. Penelitian Nurjannah (2010) menggunakan kandang berukuran 3 x 2 x 3 m, ukuran ini ditentukan dengan mengadakan penelitian awal mengenai luasan minimum agar pasangan imago dapat melakukan perkawinan. Sedangkan pada penelitian Tresnawati (2010) menggunakan kandang dengan ukuran 1.5 x 1 x 2 m tidak terjadi perkawinan pada kupu-kupu Graphium Agamemnon dan Graphium doson. Menurut Harberd (2005) idealnya ukuran kandang imago minimal memiliki luas 20 m 2 dengan ketinggian 2.30 m dan lebih baik berbentuk persegi panjang dari pada persegi. Satu pasang parental P. demoleus dengan umur 3 hari (jantan) dan 2 hari (betina) berhasil melakukan perkawinan. Umur dari jantan dan betina harus sesuai agar dapat melakukan melakukan perkawinan disebabkan waktu matang untuk bereproduksi antara jantan dan betina berbeda. Kupu-kupu jantan memerlukan waktu 2-3 hari untuk kawin, sedangkan kupu-kupu betina dapat kawin 2-3 jam setelah menetas (Dewi 2003). Daur hidup kupu-kupu relatif singkat meliputi empat fase yaitu fase telur, larva, kepompong dan imago. Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F ± 2.70 hari (29-40 hari) dan satu siklus hidup F 2 berlangsung lebih lama yaitu ± 3.30 hari (33-45 hari). Putra et al. (2012) mendapatkan rata-rata satu siklus hidup P. demoleus adalah 43 ± 2.83 hari dengan kisaran hari hari. Badawi (2009) menyatakan rata-rata siklus P. demoleus maksimal dan minimal 6,1 dan 3,1 hari untuk tahap telur, 22,7 dan 12,9 hari untuk larva dan 22,4 dan 8,0 hari untuk tahap kepompong serta 5.1 hari untuk tahap imago. Perbedaan waktu ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan seperti iklim dan cuaca serta cara pemeliharaan.

24 15 Uji T untuk fase prepupa tidak terdapat hasil perhitungan (P value), karena lama siklusnya seragam sehingga tidak dapat dibandingkan. Berdasarkan uji T pada taraf uji 5% dan 1% fase instar 1 hingga instar 4 siklus F 1 dan F 2 berbeda nyata, pada fase instar 5 hingga imago uji T menunjukkan tidak berbeda nyata. Sedangkan pada fase telur pada taraf uji 5% siklusnya berbeda nyata dan pada taraf uji 1% tidak berbeda nyata. Perbedaan lama siklus ini kemungkinan disebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi, kepadatan pada F 2 lebih tinggi, tingkat adaptasi dan tingkat stress yang berbeda pada individu F 1 dan F 2. Keberhasilan hidup P. demoleus dari fase telur hingga imago, persentase tertinggi terjadi pada filial pertama yaitu 82.35% dan persentase terendah pada generasi parental yaitu 20%. Bila diambil rata-rata keberhasilan dari tahap telur hingga imago dari generasi P, F 1 dan F 2, penangkaran ini telah meningkatkan harapan hidup kupu-kupu P.demoleus menjadi 44.60% dari harapan hidupnya di alam liar yang sangat kecil. Jefferey (2006) menyatakan kupu-kupu hanya memiliki kesempatan 2% untuk dapat bertahan hidup di alam liar. Hal ini menunjukkan perawatan yang intensif meningkatkan harapan hidup kupu-kupu. Tabel kehidupan menunjukkan rata-rata individu dari F 1 dan F 2 tertinggi terdapat pada fase telur dan terendah pada fase imago. Kurva ketahanan hidup menunjukkan kurva tipe I yang berarti mortalitas banyak terjadi pada fase dewasa. Mortalitas banyak terjadi pada generasi parental dan F 2 hal ini kemungkinan disebabkan banyaknya parasit dan tingkat stress yang tinggi akibat kegiatan pembersihan kotoran. Penyebab mortalitas pada tiap fase dapat disebabkan oleh parasit, bakteri, dan tingkat stress tinggi. Telur yang terserang parasit terdapat banyak lubang di setiap sisinya dan dari lubang tersebut keluar serangga seperti lalat. Di Thailand, dua jenis parasit telur yang ditemukan adalah Ooencyrtus malayensis Ferriere (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Tetrastichus sp. (Hymenoptera: Eulophidae), selain itu Pteromalus puparum Linnaeus (Hymenoptera: Pteromalidae) adalah parasit kepompong dari P. demoleus (Lewis 2012). Kepompong yang terserang parasit lama-lama akan menghitam yang mungkin disebabkan oleh Pteromalus puparum. Pteromalus puparum dewasa meletakkan telurnya ke dalam tubuh inang pada saat stadia prepupa atau pupa yang baru terbentuk (Himawati dan Wijayanti 2010). Mortalitas pada tahap larva ditandai dengan aktifitas larva yang tidak mau makan kemudian lama kelamaan menghitam dan mati. Larva yang stress tidak mau makan, respirasi berjalan cepat, energi banyak berkurang namun pemasukan sedikit, metabolisme menjadi terganggu (Tresnawati 2010). Larva mati dengan mengeluarkan cairan hitam yang berbau tidak sedap kemungkinan disebabkan oleh bakteri. Tes bakteriologis haemolymph dari larva dan kepompong yang terinfeksi mengungkapkan adanya bakteri dari genus Bacillus (Badawi 2009). Tingginya mortalitas kemungkinan juga disebabkan kepadatan yang tinggi sehingga larva saling serang dan berujung pada kematian. Cambell et al. (2004) menyatakan kepadatan populasi yang tinggi dapat mengubah keseimbangan hormonal, yang akan mengurangi fertilitas dan meningkatkan agresivitas. Hipotesis lain adalah tingginya kematian pada generasi F 2 disebabkan terjadinya inbreeding. Inbreeding dapat munculkan beberapa penyakit yang disebabkan genetic disorder, karakter resesif akan muncul dan menyebabkan kematian. Genetic disorder adalah kondisi yang disebabkan oleh kelainan pada

25 16 material genetik akibat mutasi. Jusuf (2001) menyatakan perubahan organisme terjadi karena terjadinya perubahan bahan genetik yang disebut dengan mutasi yang dapat terjadi pada tingkat kromosom dan gen. Rasio total jantan dan betina pada parental, F 1 dan F 2 menunjukkan jumlah betina lebih banyak pada generasi parental dan jumlah yang seimbang pada F 1 dan jantan yang lebih banyak pada F 2. Nurjannah (2010) menyatakan jantan yang lebih banyak dari betina menyebabkan imago betina stress dan betina yang lebih banyak dari jantan menyebabkan betina tidak dapat pasangan kawin. Ketidaksinkronan reproduksi mengakibatkan betina tidak memiliki pasangan kawin sehingga terjadi penurunan kepadatan populasi (Calabrese et al. 2008). Sinkronisasi jenis kelamin ini tidak hanya ditentukan dari jumlah jantan dan betina tetapi juga dipengaruhi waktu eklosi dari jantan dan betina, jantan harus eklosi terlebih dahulu dari betina. Suhu saat perawatan generasi parental hingga F 2 berkisar antara C. Larva dapat berkembang baik pada suhu o C (Rouly 2001). Perkembanagan larva jantan dan betina dipengaruhi oleh suhu. Fischer dan Fiedler (2000) menyatakan pada suhu tinggi larva jantan dengan ukuran tubuh besar akan mengalami penurunan berat badan yang drastis sedangkan pada larva betina tidak terjadi perubahan berat badan pada semua suhu. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan rata-rata ukuran pupa betina lebih besar dari pupa jantan. Kelembaban di laboratorium berkisar antara 70-96%. Kelembaban yang memungkinkan untuk kehidupan serangga adalah 50-90% (Romoser 1973). Cuaca mempengaruhi intensitas cahaya saat perawatan, pada generasi parental cenderung hujan, cerah pada generasi F 1, dan cerah berawan saat generasi F 2. Kupu-kupu saat generasi F 1 dan F 2 menunjukkan jumlah yang lebih banyak dari generasi parental. Populasi kupu-kupu meningkat secara signifikan selama periode suhu tinggi dan curah hujan rendah (Boonvanno et al. 2000). Kubah tempat pemeliharan imago memiliki intensitas cahaya yang tinggi berkisar antara Lux. Rata-rata intensitas cahaya tertinggi berada pada generasi F 1, saat generasi ini terdapat tiga pasang imago yang berhasil kopulasi berbeda dengan generasi parental dengan satu pasang imago yang kawin. Peningkatan intensitas cahaya secara pesat meningkatkan aktivitas berpasangan. McDonald dan Nijhout (2000) menyatakan hal ini mungkin disebabkan prilaku jantan lebih menyukai mengejar betina yang bertengger pada substrat yang terpapar cahaya. Aktivitas kawin tertinggi terjadi pada suhu C (McDonald dan Nijhout 2000). Rata-rata suhu tertinggi terjadi saat generasi F 2 tetapi tidak terjadi kopulasi saat generasi F 2 hal ini kemungkinan disebabkan kondisi imago yang cacat. Kendala utama dari proses kopulasi di kubah adalah tingginya jumlah predator seperti kadal dan cicak serta kondisi kubah dengan banyak paranet yang rusak mengakibatkan kupu-kupu tidak mengalami kopulasi. Panjang dan pendek siklus hidup kupu-kupu dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Panas yang tinggi akan mempercepat waktu tiap stadia (Nurjannah 2010). Semakin panjang waktu yang dibutuhkan pada satu siklus maka semakin banyak pakan yang dikonsumsi. Sedangkan semakin pendek suatu siklus akan meningkatkan jumlah populasi dari kupu-kupu. Banyaknya jumlah kupu-kupu yang tersedia akan berdampak pada bentuk pemanfaatan yang lebih luas dan maksimal.

26 17 Kubah tempat penangkaran dengan diameter 13m dan tinggi 9m memiliki luas lingkaran kubah ±133m 2. Kapasitas kupu-kupu dalam suatu ruangan dipengaruhi oleh ukuran dari suatu jenis kupu-kupu. Kupu-kupu P. demoleus memiliki ukuran bentang sayap ±9cm. Idealnya luas bidang 1m 2 diisi oleh seekor kupu-kupu, hal ini dimaksudkan agar kupu-kupu selalu dapat terlihat di taman (Syaputra 2011). Mewujudkan terciptanya taman kupu yang ideal sebagai objek wisata ekoeduwisata di IPB diperlukan penangkaran kupu-kupu jenis P. demoleus atau kupu-kupu jenis lain secara intensif. SIMPULAN Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F ± 2.70 hari (29-40 hari) dan satu siklus hidup F 2 berlangsung lebih lama yaitu ± 3.30 hari (33-45 hari). Tiap fase kehidupan F 1 dan F 2 berbeda nyata pada fase larva Instar 1 hingga instar 4 dan tidak berbeda nyata pada fase telur, instar 5 hingga imago yang dibuktikan dengan uji T pada taraf 1%. Penangkaran dengan kombinasi laboratorium berhasil meningkatkan harapan hidup kupu-kupu P.demoleus dari telur hingga imago menjadi 44.60% dari harapan hidupnya di alam liar yang sangat kecil. Peningkatan populasi kupu-kupu untuk pemanfaatan pembuatan ekoeduwisata di kubah plaza IPB dibutuhkan penangkaran kupu-kupu jenis P. demoleus atau kupu-kupu jenis lain secara intensif. SARAN Bila mengadakan penelitian yang serupa usahakan tidak hanya satu pasang yang berhasil kopulasi pada generasi parental dan saat perbanyakan F 2 kawinkan betina hasil penangkaran dengan jantan dari alam liar untuk meningkatkan harapan hidupnya. Penelitian mengenai sistem penangkaran efektif dan renovasi kubah secara menyeluruh diperlukan demi terwujudnya taman kupu sebagai objek ekoeduwisata di IPB. Pihak swasta juga dapat menggunakan penelitian ini sebagai dasar pembuatan hutan kota, rumah sakit hijau, dan taman kota sehingga plasma nutfah dapat dimanfaatkan secara komersil dengan tetap menjaga kelestariannya di alam.

27 18 DAFTAR PUSTAKA Badawi A Studies on some aspects of the biology and ecology of the citrus butterfly Papilio demoleus L. in Saudi Arabia (Papilionidae, Lepidoptera). Journal of Applied Entomology 91: Boonvanno K, Watanasit Sb, Permkamc S Butterfly diversity at Ton Nga- Chang Wildlife Sanctuary, Songkhla Province, Southern Thailand. ScienceAsia 26: Calabrese JM et al Reproductive asynchrony in natural butterfly populations and its consequences for female matelessness. J Anim Ecol 77: Cambell NA, Reece JB, Mitchell LG Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Ed ke-5. Dewi R Studi teknik penangkaran kupu-kupu di Wana Wisata Curug Cilember dan Taman Mini Indonesia Indah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fischer K, Fiedler K Sex-related differences in reaction norms in the butterfly Lycaena tityrus(lepidoptera: Lycaenidae). Oikos 90(2): Guerrero KA, Veloz D, Boyce SL, Farrell BD First New World documentation of an Old World citrus pest, the lime swallowtail Papilio demoleus (Lepidoptera: Papilionidae), in the Dominican Republic (Hispaniola). American Entomologist 50(4): Harberd R Manual of tropical butterfly farming. [Internet]. [Diunduh September]. Tersedia pada: documents/13005/3192/13005%20fr%20app7%20manual%20of%20tr opical%20butterfly%20farming.pdf. Himawati MK, Wijayanti R Lepidoptera dan parasitoid yang berasosiasi pada tanaman kenanga (Kananga odorata (Lam.) Hook.F & Thomson). Caraka Tani XXV(1): Jeffrey N Butterfly conservation. [Internet]. [Diunduh pada Juli]. Tersedia pada: Jusuf M Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID) : CV. Sagung Seto. Lewis DS Lime Swallowtail, Chequered Swallowtail, Citrus Swallowtail Papilio demoleus Linnaeus (Insecta: Lipidoptera: Papilionidae). EENY 444 [Internet]. [Diunduh Juli]. Tersedia pada: Matsumoto K Papilio demoleus (Papilionidae) in Borneo and Bali. J. Lepid. Soc. 56(2):

28 19 McDonald AK, Nijhout HF The effect of environmental conditions on mating activity of the Buckeye butterfly, Precis coenia. Journal of Research on the Lepidoptera 35: Nurjannah ST Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di penangkaran [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putra RE, Dahelmi, Widiana Lama stadia pradewasa kupu-kupu Papilio demoleus (Lepidoptera:Papilionidae) pada tanaman Citrus hystrix (Rutaceae). [Internet]. [Diunduh Juli]. Tersedia pada: Rahayuningsih M, Oqtafiani R, Priyono B Keanekaragaman jenis kukukupu superfamili Papilionoidae di Dukuh Banyuwindu Desa Limbangan kecamatan Limbangan kabupaten Kendal. Jurnal MIPA 35(1): Rouly H Studi siklus hidup dan teknik pemeliharan kupu-kupu pada pohon jeruk (Cytrus sp.) dalam kandang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Romoser WS The Science of Entomology. New York (US): Macmillan Publishing Co.,Inc. p 449. Saputro NA Keanekaragaman jenis kupu-kupu di kampus IPB Darmaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Saxena KN, Goyal S Host-plant relations of the citrus butterfly Papilio demoleus L.: orientational and ovipotational responses. Entomologia Experimentalis et Applicata 24 (1): Smith AG Environmental factors influencing pupal colour determination in Lepidoptera. I. experiments with Papilio polytes, Papilio demoleus and Papilio polyxenes. Proc. R. Soc. Lond. 200(1140): Subahar TS, Anzilni FA, Devi NC Butterfly (Lepidoptera: Rhopalocera) distribution along an altitudinal gradient on Mount Tangkuban Parahu West Java, Indonesia. Raffles Bull Zool 55(1): Syaputra M Pengelolaan penangkaran kupu-kupu di Pt. Ikas Amboina dan Bali Butterfly Park Tabanan Bali [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tresnawati E Siklus hidup dan pertumbuhan kupu-kupu Graphium Agamemnon L. dan Graphium doson C&R. (Papilionidae : Lepidoptera) dengan pakan daun cempaka dan daun sirsak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Triplehorn CA, Johnson NF Borror and Delong s Introduction to the Study of Insects 7th. Belmont: Thomson Brooks/Cole.

29 20 LAMPIRAN

30 21 Lampiran 1 Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 1) Larva Fase (hari) Prepupa Pupa Imago Jenis Kelamin Total keterangan No. Telur Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 1 P. demoleus Betina kondisi imago baik 2 P. demoleus Jantan diserang predator 3 P. demoleus Betina diserang predator 4 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 5 P. demoleus Betina kondisi imago baik 6 P. demoleus Betina kondisi imago baik 7 P. demoleus Betina kondisi imago baik 8 P. demoleus Betina diserang predator 9 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 10 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 11 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 12 P. demoleus Jantan cacat 13 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 14 P. demoleus Jantan diserang predator 15 P. demoleus Jantan diserang predator 16 P. demoleus Betina kondisi imago baik 17 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 18 P. demoleus Betina kondisi imago baik 19 P. demoleus Betina kondisi imago baik 20 P. demoleus Jantan kondisi imago baik 21

31 P. demoleus Betina Kondisi lemah 22 P. demoleus Jantan cacat 23 P. demoleus Betina kondisi imago baik 24 P. demoleus Jantan kondisi lemah 25 P. demoleus Jantan cacat 26 P. demoleus Betina diserang predator 27 P. demoleus Betina diserang predator 28 P. demoleus Betina cacat Rata-rata Simpangan Baku Waktu minimum Waktu maksimum Lampiran 2 Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 2) No. Fase (hari) Jenis Larva Telur Prepupa Pupa Imago Kelamin Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Total keterangan 1 P. demoleus jantan cacat 2 P. demoleus jantan cacat 3 P. demoleus jantan cacat 4 P. demoleus betina normal 5 P. demoleus betina cacat 6 P. demoleus jantan cacat 7 P. demoleus betina Normal* 8 P. demoleus jantan Normal*

32 23 9 P. demoleus betina Normal* 10 P. demoleus jantan Normal* 11 P. demoleus jantan cacat 12 P. demoleus jantan cacat 13 P. demoleus betina Normal* 14 P. demoleus betina Normal* 15 P. demoleus betina cacat 16 P. demoleus jantan Normal* 17 P. demoleus betina cacat 18 P. demoleus jantan cacat 19 P. demoleus jantan cacat 20 P. demoleus jantan normal 21 P. demoleus betina normal 22 P. demoleus jantan Normal* 23 P. demoleus jantan cacat 24 P. demoleus betina Normal* 25 P. demoleus jantan Normal* 26 P. demoleus betina Normal* 27 P. demoleus betina cacat 28 P. demoleus jantan cacat Rata- rata Simpangan baku Waktu minimum Waktu maksimum *Kupu-kupu dilepaskan dikubah 23

33 24 24 Lampiran 3 Uji T rata-rata siklus hidup F 1 dan F 2 dengan (P<0.05) dan (P<0.01) t-test Telur Larva Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Prepupa Pupa Imago P<0.05 Hypothesized Mean Difference df t Stat #DIV/0! P(T<=t) one-tail E #DIV/0! t Critical one-tail #DIV/0! P(T<=t) two-tail E #DIV/0! t Critical two-tail #DIV/0! P<0.01 Hypothesized Mean Difference df t Stat #DIV/0! P(T<=t) one-tail E #DIV/0! t Critical one-tail #DIV/0! P(T<=t) two-tail E #DIV/0! t Critical two-tail #DIV/0!

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN DAN PENGEMBANGBIAKAN KUPU- KUPU Papilio memnon SEBAGAI UPAYA PERSIAPAN TAMAN KUPU-KUPU DI PLAZA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PEMELIHARAAN DAN PENGEMBANGBIAKAN KUPU- KUPU Papilio memnon SEBAGAI UPAYA PERSIAPAN TAMAN KUPU-KUPU DI PLAZA INSTITUT PERTANIAN BOGOR i PEMELIHARAAN DAN PENGEMBANGBIAKAN KUPU- KUPU Papilio memnon SEBAGAI UPAYA PERSIAPAN TAMAN KUPU-KUPU DI PLAZA INSTITUT PERTANIAN BOGOR LYDIA SARI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Lepidoptera adalah serangga bersayap yang tubuhnya tertutupi oleh sisik (lepidos = sisik, pteron = sayap) (Kristensen 2007). Sisik pada sayap kupu-kupu mengandung pigmen yang

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 9 Kubah penangkaran IPB.

BAHAN DAN METODE. Gambar 9 Kubah penangkaran IPB. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai bulan Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB (Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Oleh: Asih Zulnawati. (Di bawah bimbingan Prof. Dr. Dahelmi dan Dr. Resti Rahayu) RINGKASAN

Oleh: Asih Zulnawati. (Di bawah bimbingan Prof. Dr. Dahelmi dan Dr. Resti Rahayu) RINGKASAN PENGARUH TUMBUHAN INANG Citrus aurantifolia dan Citrus hystrix (RUTACEAE) TERHADAP PEMILIHAN PAKAN, PERTUMBUHAN DAN RESPIRASI Papilio memnon Linnaeus, 1758 Oleh: Asih Zulnawati (Di bawah bimbingan Prof.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu Kupu-kupu termasuk ordo Lepidoptera, kelas Insekta yang dicirikan dengan sayap tertutup oleh sisik. Ordo Lepidoptera mempunyai 47 superfamili, salah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

Vol. 06 No. 02 Oktober 2010 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Larva Papilio memnon. Larva Papilio polytes

Vol. 06 No. 02 Oktober 2010 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Larva Papilio memnon. Larva Papilio polytes Vol. 06 No. 02 Oktober 2010 ISSN 0216-9487 Jurnal Ilmiah Konservasi Hayati Larva Papilio memnon Larva Papilio polytes DAFTAR ISI Halaman Pengaruh Pemberian Getah Buah Pepaya ( Carica papaya L.) Terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

Siklus Hidup Kupu-Kupu Graphium agamemnon L. (Lepidoptera: Papilionidae) di Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Siklus Hidup Kupu-Kupu Graphium agamemnon L. (Lepidoptera: Papilionidae) di Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Siklus Hidup Kupu-Kupu Graphium agamemnon L. (Lepidoptera: Papilionidae) di Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta NARTI FITRIANA 1 *, NUR AZIZAH MAULIDIA 1, FAHMA WIJAYANTI 1 1

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Manajemen pemeliharaan 5.1.1 Pemeliharaan Sistem pemeliharaan kupu-kupu di PT Kupu-Kupu Taman Lestari menggunakan sistem pemeliharaan semi intensif. Manajemen pemeliharaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

Vol. 09 No. 02 Oktober 2013 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Papilio polytes

Vol. 09 No. 02 Oktober 2013 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Papilio polytes Vol. 09 No. 02 Oktober 2013 ISSN 0216-9487 Jurnal Ilmiah Konservasi Hayati Papilio polytes DAFTAR ISI Halaman Perilaku Grooming Macaca fascicularis, Raffles 1821 di Taman Hutan Raya Rajolelo Bengkulu Santi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT Kupu-Kupu Taman Lestari dengan alamat Jalan Batu Karu, Sandan Lebah, Sesandan Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii BABI PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya. T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya. T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu raja helena. Klasifikasi kupu-kupu T. helena adalah sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E

KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006 bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

Vol. 08 No. 02 Oktober 2012 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Kemangi (Ocimum basillicum L.) doc. Rosy

Vol. 08 No. 02 Oktober 2012 ISSN Jurnal Ilmiah. Konservasi Hayati. Kemangi (Ocimum basillicum L.) doc. Rosy Vol. 08 No. 02 Oktober 2012 ISSN 0216-9487 Jurnal Ilmiah Konservasi Hayati Kemangi (Ocimum basillicum L.) doc. Rosy DAFTAR ISI Halaman Efektivitas Ekstrak Akar dan Daun Pecut Kuda Stachytarpetha jamaicensis

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Oleh Feny Ernawati, SP dan Umiati, SP POPT Ahli Muda BBPPTP Surabaya Pendahuluan Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga atau binatang arthopoda

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini melibatkan objek yang diberikan berbagai perlakuan. Objek pada penelitian ini ialah

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu menurunkan populasi hama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman mangga (Mangifera indica L.) adalah tanaman asli India yang sekarang ini sudah banyak dikembangkan di Negara Indonesia. Pengembangan tanaman mangga yang cukup

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diversitas atau keanekaragaman makhluk hidup termasuk salah satu sumber daya lingkungan dan memberi peranan yang penting dalam kestabilan lingkungan. Semakin tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan,

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, predasi, kompetisi, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dll., dan faktor intrinsik meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,

Lebih terperinci

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 2 Mikroskop video Nikon SMZ-10A (a), dan Alat perekam Sony BLV ED100 VHS (b)

BAHAN DAN METODE. Gambar 2 Mikroskop video Nikon SMZ-10A (a), dan Alat perekam Sony BLV ED100 VHS (b) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan

Lebih terperinci

Jurnal Biology Education Vol. 4 No. 1 April 2015

Jurnal Biology Education Vol. 4 No. 1 April 2015 INVENTARISASI JENIS LEPIDOPTERA SEBAGAI BAHAN AJAR KLASIFIKASI MAKHLUK HIDUP IPA SMP DI KAWASAN HUTAN KOTA BNI KOTA BANDA ACEH Oleh : 1 Musriadi 2 Mauliza 1 Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari April 2005 sampai Februari 2006. Kegiatan ini dibagi dua bagian, yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENANGKARAN KUPU-KUPU DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI TAMAN KUPU-KUPU CIHANJUANG BANDUNG CLARA TRESNA DANGIANG SARI DENLI

MANAJEMEN PENANGKARAN KUPU-KUPU DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI TAMAN KUPU-KUPU CIHANJUANG BANDUNG CLARA TRESNA DANGIANG SARI DENLI MANAJEMEN PENANGKARAN KUPU-KUPU DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI TAMAN KUPU-KUPU CIHANJUANG BANDUNG CLARA TRESNA DANGIANG SARI DENLI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

HASIL. ujung tandan. tengah tandan. pangkal tandan

HASIL. ujung tandan. tengah tandan. pangkal tandan 2 dihitung jumlah kumbang. Jumlah kumbang per spikelet didapat dari rata-rata 9 spikelet yang diambil. Jumlah kumbang per tandan dihitung dari kumbang per spikelet dikali spikelet per tandan. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci