REPRODUKSI SEKSUAL KARANG (Ordo Scleractinia): PEMIJAHAN, PERKEMBANGAN LARVA DAN METAMORFOSA SYAFYUDIN YUSUF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REPRODUKSI SEKSUAL KARANG (Ordo Scleractinia): PEMIJAHAN, PERKEMBANGAN LARVA DAN METAMORFOSA SYAFYUDIN YUSUF"

Transkripsi

1 REPRODUKSI SEKSUAL KARANG (Ordo Scleractinia): PEMIJAHAN, PERKEMBANGAN LARVA DAN METAMORFOSA SYAFYUDIN YUSUF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 2

3 3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Reproduksi Seksual Karang (ordo Scleractinia): Pemijahan, Perkembangan Larva dan Metamorfosa adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain sudah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012 Syafyudin Yusuf C

4 4

5 5 ABSTRACT SYAFYUDIN YUSUF, Sexual Reproduction of Coral (Ordo Scleractinia): Spawning, Larval Development and Metamorphosis. Supervised by: NEVIATY PUTRI ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR and JAMALUDDIN JOMPA. Coral reef damage was exacerbated in several parts of Indonesia and only had 70% in good and very good conditions remaining. Destructive fishing and exploitation of ornamental corals have added to the scarcity of coral species. As a result the distance between the colonies of the species can inhibit the further reproduction between the colonies. However, the information pattern and timing of reproduction in natural coral is still limited, and reproduction efforts in exsitu methods were still in the research scale. This research was carried out at two separate locations namely Spermonde Archipelago and the Great Barrier Reef and was aimed to : (a) compare the pattern and timing of coral reproduction in Spermonde Archipelago Indonesia and in Orpheus Island of Great Barrier Reef Australia, (b) know the response time of spawning and spawning behavior of coral polyps caused by induction of spawning, (c) compare the fertilization, embryo development, competence time of species, (e) determine the appropriate light intensity, substrate position, CCA and zooxanthellae induction for larvae settlement, juveniles attachment dan metamorphosis of planula larvae. The results were coral reproduction pattern of small polyp corals were performed during rainy season but the bigger polyps were in dry seasons in Spermonde, while in the GBR was held in November and December during early summer. Synchronous broadcast spawning took place at 18:00 19:00 in lunar period 0 2 days AFM, while the high tide in Spermonde. Otherwise, multispecies mass spawning in GBR took place at 19:00-21:.00 for 3-5 AFM in the low tides. The water flow and strong aeration provided for A. tenuis was spawned earlier more than one hour than natural spawning. The same pattern of inter-species fertilization rate, more than 95% fertilization were achieved in less than 4 hours. In addition, the development of embryos and larvae were significantly differed between two species, i.e. embryos and larvae A.millepora grew faster than A.tenuis while Ctenactis crassa was faster than Fungia concina. Furthermore, the competence time of Acroporidae was longer than Fungiidae. Planulae larvae and juveniles of A. tenuis much more settled and attached while in higher light intensities of μmol/m 2 /s. However, light intensity did not affect the total deposition of larvae and juveniles settled. Juveniles prefer attached at the horizontal substrate were significantly much more than those at vertical substrate. Induction of zooxanthellae and CCA separately could affect metamorphosis significantly. Larval metamorphosis of A. tenuis showed the same response to different concentrations of zooxanthella. Keywords : sexual reproduction, coral, spawning, larval development, metamorphosis, crustose coralin algae.

6 6

7 7 RINGKASAN SYAFYUDIN YUSUF, Reproduksi Seksual Karang (ordo Scleractinia): Pemijahan, Perkembangan Larva dan Metamorfosa. Dibimbing oleh : NEVIATY PUTRI ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR, JAMALUDDIN JOMPA. Tekanan yang berlebih terhadap ekosistem terumbu karang menyebabkan ekosistem ini tidak mampu memulihkan daya dukungnya. Akibatnya, kerusakan terumbu karang yang makin parah di berbagai kawasan di Indonesia dan hanya tersisa 30 % dalam kondisi yang baik dan sangat baik. Disamping perikanan yang merusak (destructive fishing), ancaman eksploitasi karang hias telah menambah kelangkaan populasi jenis karang tertentu. Akibatnya jarak antara koloni spesies tertentu makin jauh sehingga menghambat komunikasi reproduksi antar koloni. Pemulihan spesies terumbu karang membutuhkan waktu yang lama dan upaya yang cukup besar. Pemulihan alami tergantung pada kemampuan reproduksi populasi karang dari berbagai daerah sumber larva. Namun demikian, informasi pola dan waktu reproduksi karang di alam masih sangat terbatas, sehingga upaya reproduksi secara terkontrol masih dalam skala riset. Penelitian ini dilakukan secara terpisah pada dua lokasi yakni di Kepualan Spermonde dan di Great Barrier Reef dan berlangsung secara sekuensial dalam 4 tahap, yakni tahap (1) observasi pemijahan, (2) induksi pemijahan, (3) perkembangan larva dan (4) metamorfosis larva. Penelitian observasi bertujuan : (a) membandingkan pola reproduksi dan waktu puncak pemijahan beberapa spesies karang di Kepulauan Spermonde Indonesia dan di Orpheus Island Great Barrier Reef Australia. Penelitian eksperimen bertujuan : (c) mengetahui respon waktu pemijahan dan tingkahlaku pemijahan melalui metode induksi fisik, (d) membandingkan tingkat fertilisasi, perkembangan embrio, competense time antar spesies, (e) menentukan intensitas cahaya yang sesuai bagi pengendapan dan penempelan larva planula (e) menentukan posisi substrat (vertikal atau horizontal) untuk penempelan larva planula, dan (f) mengetahui pengaruh induksi zooxanthella dan CCA terhadap metamorfosis larva planula. Penelian tahap pertama berupa pola pemijahan, sinkronisasi waktu dan faktor lingkungan saat kejadian pemijahan dilakukan di Kepulauan Spermonde dan Orpheus Island GBR. Hasil penelitian menunjukkan pola dan waktu reproduksi karang di kepulauan Spermonde berlangsung sepanjang tahun mengikuti pola musim di Indonesia, sementara di Great Barrier Reef pemijahan karang terkonsentrasi pada satu rentang waktu pada awal musim panas. Pemijahan karang di Kepulauan Spermonde berlangsung pada bulan terang (purnama) khusus karang berpolip kecil (Acropora, Pocillopora) sementara yang berpolip besar umumnya memijah dan gonad pada bulan gelap. Semakin jauh dari bulan purnama, maka waktu pemijahan semakin larut malam. Kelompok genera Acropora umumnya memijah pada awal malam. Pembedaan kondisi lingkungan saat karang memijahkan gametnya jelas terlihat pada dua lokasi yang jauh lintangnya antara Kepulauan Spermonde lintang rendah dan Great barrier reef lintang tinggi. Di Kepulauan Spermonde, karang memijah pada saat puncak pasang tinggi, curah hujan tinggi (khusus polip kecil) dan curah hujan rendah (polip besar) dan semuanya dalam kondisi suhu yang cenderung konstan o C. Sementara di Orpheus Island karang

8 8 memijah pada suhu 27 o C, puncak dan lembah pasut kedua, dan curah hujan yang masih sedikit (awal musim hujan). Penelitian tahap ke dua menitikberatkan pada ujicoba pemijahan secara induksi terhadap karang yang matang gonad. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan induksi fisik pemijahan menggunakan air mengalir dan aerasi kuat mendapat respon yang positif dari karang Acropora tenuis. Dengan perlakuan tersebut, pemijahan karang lebih awal sekitar 2 jam sebelum terjadinya pemijahan secara alami atau normal baik di alam maupum di tempat penampungan induk laboratorium. Tingkahlaku pemijahan karang sebagai respon dari induksi pemijahan ini berlangsung normal, yakni fase setting, birth, glinding, upward dan brusting. Keseluruhan fase biologis pemijahan berlangsung selama 60 menit. Penelitian tahap ke tiga difokuskan pengamatan proses biologi fertilisasi dan perkembangan embrio hingga larva planula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat fertilisasi semua spesies memiliki pola yang sama hingga mendekati sempurna > 90% dalam kurun waktu 4 jam setelah pemijahan. Stadia sel blastula umumnya dicapai pada umur sel jam. Perkembangan embrio dan larva karang Acropora tenuis dan A. millepora lebih cepat dibandingkan dengan kelompok Fungia concina dan Ctenactis crassa. Kelompok karang Acroporidae memiliki waktu berenang (competence time) lebih lama dibanding karang Fungiidae. Secara spesifik perkembangan embrio A. millepora lebih cepat dibanding A. tenuis, demikian halnya dengan Ctenactis crassa lebih cepat dibanding Fungia concina. Penelitian tahap ke empat mengenai metamorfosa larva karang A. tenuis yang berlangsung di OIRS Jamescook University. Hasilnya memperlihatkan bahwa larva dan juvenil A. tenuis lebih banyak mengendap dan melekatan pada intensitas cahaya yang lebih terang dengan rentang µmol/m 2 /s. Namun dari semua intensitas cahaya tidak mempengaruhi total pengendapan larva planula dan pelekatan juvenil. Preferensi penempelan juvenil lebih banyak di dalam substrat yang berposisi horizontal dan berbeda nyata dibanding substrat vertikal. Secara terpisah induksi CCA dan induksi zooxanthella mempengaruhi laju metamorfosis larva planula A. tenuis, namun kombinasi antara keduanya tidak berpengaruh. Metamorfosa larva A. tenuis menunjukkan respon yang sama terhadap perbedaan konsentrasi zooxanthella, tanpa zooxanthella dan CCA metamorfosa planula secara signifikan lebih rendah. Kata kunci : reproduksi seksual, pemijahan, embriogenesis dan metamorfosis.

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.

10 10

11 11 REPRODUKSI SEKSUAL KARANG (Ordo Scleractinia): PEMIJAHAN, PERKEMBANGAN LARVA DAN METAMORFOSA Syafyudin Yusuf Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

12 12 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA. : Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA. : Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Dirhamsyah, MSc. : Staf peneliti Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

13 13 Judul : Reproduksi Seksual Karang (ordo Scleractinia): Pemijahan, Perkembangan Larva dan Metamorfosa Nama : Syafyudin Yusuf NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc. Ketua Prof. Dr. M. Zairin Junior, M.Sc. Anggota Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan DekanSekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr Tanggal Ujian : 18 Juli 2012 Tanggal Lulus :...

14 14

15 15 PRAKATA Gelar doktor merupakan gelar akademik tertinggi yang bisa diberikan oleh perguruan tinggi yang saya dapatkan saat ini di Institut Pertanian Bogor. Berbagai upaya dan doa telah dilakukan untuk menggapainya, sehingga dengan dengan kata bijak tidak ada kata terlambat melainkan akan datang tepat pada waktu yang dijanjikannya. Untuk itu saya patut bersyukur kepada Allah SWT yang telah menunjukkan jalan untuk sampai pada penyelesaian studi ini. Disertasi ini berjudul Reproduksi seksual karang (Ordo: Scleractinia) : pemijahan, perkembangan larva dan metamorfosis. Salah satu subbagian yang akan dimuat dalam jurnal Indonesia Journal of Marine Science adalah reproduction pattern and synchronous spawning of Acropora spp in Spermonde Archipelago, Makassar. Sementara tulisa ilmiah lain akan dimasukkan ke jurnal nasional dan internasional. Dengan keberhasilan skala akademik ini, maka penulis inging menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, MSc., selaku ketua program studi Ilmu Kelautan dan sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan perhatian, nasehat, motivasi, tenaga dan pikiran serta kesempatan kepada saya mulai dari rencana awal penelitian hingga akhir dari penulisan disertasi ini. Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa,MSc. selaku anggota komisis pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi dan pendampingan yang tulus sehingga mampu menjalani riset dan penyelesaian disertasi ini. Prof. Bette Willis, ARC Center of Excellence Coral Reef Studies James Cook Australia, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bergabung dalam Coral Reproduction Project di Orpheus Island Research Station BGR Australia untuk menyelesaikan penelitian disertasi ini. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan saya untuk mengenyam pendidikan program doktor dan program magister di Institut Pertanian Bogor. Rektor Universitas Hasanuddin dan Dirjen Dikti yang telah memberikan ijin belajar untup program doktor di IPB dan telah memberikan bantuan dana pendididkan, dana perjalanan penelitian ke Jamescook University dan Great Barrier Reef.

16 16 Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk belajar di Fakultas ini dan telah meberikan pelayanan terbaik khususnya dalam mempimpin ujian terbuka dan tertutup penyelesaian studi doktor. Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA., selaku penguji luar komisis pembimbing pada ujian tertutup dan terbuka, Dr. Etty Riani, MSc. yang telah bersedia menguji saat ujian tertutup dan telah mengoreksi, mengarahkan, saran perbaikan disertasi ini. Dr. Dirhamsyah, M.Sc. Pusat Penelitian Oseanologi yang telah bersedia diundang sebagai penguji tamu pada ujian terbuka promosi doktor. Rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 program studi Ilmu Kelautan IPB, terkhusus rekan angkatan masuk 2007 IKL dan ITK, rekan-rekan pondokan PTD dan rekan asal unhas dan Sulawesi Selatan yang samasama merantau, rekan seorganisasi Wacana IPB, yang banyak saling membantu, memotivasi untuk bisa maju dan terus maju bersama hingga masuk finis meraih gelar doktor. Orang tua (Yusuf Rahman, Alm.dan Hj. Mujijah) dan mertua (Abdurahman Karim dan Saadiah), adik-adik tercinta (Zainul Haris, Siti Nur Aini, SE, Suratman, Amd, Ssi, Surajiman, Amd) yang telah memberikan dukungan moril serta doa yang tak pernah putus untuk kesuksesan selama studi ini. Istri tercinta Nunung Akhirany, SPt. MSi dan anakda tersayang Anugrah Samudra yang telah sabar menunggu selama masa studi dan banyak mengirimkan doa untuk papa selama pendidikan di Bogor dan di saat melakukan penelitian di laut. Terimakasih pula atas kesabaran dan pengorbanannya selama ini. Disertasi ini akan ku persembahkan bagi keluarga, rekan, agama, bangsa dan negara dan siapa saja yang membacanya dan berterimakasih bila mendapat koreksi. Semoga karya ini memberikan inspirasi yang lebih besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan kelautan Indonesia dan Internasional. Bogor, 18 Juli 2012 Syafyudin Yusuf, ST. MSi

17 17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bima Nusa Tenggara Barat pada tanggal 19 Juli 1969 dari ayah Yusuf Rahman (Alm) dan ibunda Hj. Mujijah. Penulis adalah putra pertama dari 5 bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar dan tamat pada tahun Melanjutkan studi ke jenjang S2 pada tahun 2001 pada program studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, dan berhasil tamat pada tahun Pada tahun 2007 penulis kembali melanjutkan studi program doktor (S3) di IPB pada program studi yang sama atas biaya dari BPPS Dikti Kementrian Pendidikan nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin dan sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Terumbu Karang (Center for Coral Reef Research) Universitas Hasanuddin. Beberapa ekspedisi yang pernah diikuti antara lain, ekspedisi Karimunjawa bersama P3O-LIPI tahun 1994, ekspedisi Komodo tahun (1995), ekspedisi Taka Bonerate (1995) ekspedisi Togian Banggai tahun 1998 dan 2000, hingga memimpin ekspedisi Wallacea 2006 di Teluk Tomini. Pada tahun 2011 yang lalu penulis berkesempatan mengikuti joint research ke Jamescook University Australia untuk meneliti reproduksi karang di Orpheus Island Research Station Great Barrier Reef. Berbagai pertemuan ilmiah nasional dan internasional telah diikuti dan mempresentasikan makalah yang bertema antara lain : ekologi terumbu karang, perdagangan karang hias, status bambu laut (Isis hippuris), biota laut langka, rehabilitasi dan restorasi terumbu karang dan perubahan iklim terhadap pemutihan karang. Penulis berkesempatan memberikan materi pelatihan terumbu karang pada tingkat masyarakat, pejabat, wartawan dan kademisi. Pada ICRS (International Coral Reef Symposium) 9-13 Juli 2012 di Cairns Australia penulis mempresentasikan makalah berjudul First quatitative of coral bleaching in Indonesia.

18 18

19 19 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...xxi DAFTAR GAMBAR...xxiii DAFTAR LAMPIRAN...xxv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 Ruang Lingkup Penelitian... 5 Kebaruan Penelitian... 9 Hipotesis penelitian METODOLOGI UMUM 11 Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Penelitian POLA REPRODUKSI DAN SINKRONISASI PEMIJAHAN KARANG (Ordo Scleractinia) DI KEPULAUAN SPERMONDE INDONESIA DAN ORPHEUS ISLAND GREAT BARRIER REEF AUSTRALIA..15 ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN METODOLOGI PENELITIAN HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA INDUKSI PEMIJAHAN KARANG Acropora tenuis UNTUK MENSTIMULASI RESPON POLIP MELEPASKAN GAMET 47 ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN METODOLOGI PENELITIAN HASIL PENELITIAN... 53

20 20 PEMBAHASAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN LARVA DALAM EMBRIOGENESIS KARANG (Ordo : Scleractinia) HASIL PEMIJAHAN EXSITU...71 ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN METODOLOGI PENELITIAN PEMBAHASAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA METAMORFOSIS LARVA KARANG Acropora tenuis (Dana 1846) DALAM KONDISI TERKONTROL..105 ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN MATERI DAN METODE HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA PEMBAHASAN UMUM 134 KESIMPULAN UMUM..146 DAFTAR PUSTAKA 147 LAMPIRAN...153

21 21 DAFTAR TABEL Halaman 1. Metode pengamatan gonad dan pemijahan spesies karang di Kep. Spermonde Makassar dan Orpheus Island GBR Daftar spesies karang (tingkat klasifikasi) yang matang gonad dan yang memijah di Kepulauan Spermonde Makassar Pola musim dan bulan) kematangan gonad dan pemijahan karang di Kep.Spermonde dan Orpheus Island GBR Waktu pemijahan karang (masehi dan hijryah) di Kepulauan Spermonde Indonesia dan Orpheus Great Barrier Reef Australia Variabel lingkungan saat pemijahan dan matang gonad karang polip besar dan polip kecil di Kepulauan Spermonde Makassar Respon waktu pada fase pemijahan pada perlakuan induksi pemijahan karang Acropora tenuis Analisis sidik ragan (satu arah) respon waktu pemijahan (menit) A. tenuis (General Linear model menggunakan Uji Tukey) Respon waktu pada sitting dan glinding pasca sunset dari berbagai perlakuan induksi pemijahan dan pemijahan alami A. tenuis Hasil pengamatan setiap fase pemijahan karang A. tenuis (15 November 2011) Komparasi metode induksi pemijahan biota laut : kerang kima (Tridacnidae), kerang lola (Trochidae) dan karang (Scleractinia) Metode stimulasi pemijahan karang (Scleractinia) dari berbagai sumber dan penelitian ini Tingkat fertilisasi dari A. tenuis, A. millepora dan C. crassa Analisis ragam tingkat fertilisasi karang spesies A. tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa Tingkat pembelahan sel embrio karang A. millepora Tingkat pembelahan sel embrio karang A.tenuis Tingkat pembelahan sel embrio spesies Ctenactis crassa Klasifikasi umur berdasarkan fase hidup embrio-larva-juvenil karang dan total competence time Perbandingan umur larva dan competence time dari tiap spesies Rata-rata dan rentang ukuran setiap fase embriogenesis masing-masing spesies karang Analisis sidik ragam tingkhlaku pengendapan larva planula A. tenuis Proporsi pengendapan larva [rata-rata ± (SE)] pada intensitas cahaya dan selama waktu penelitian Analisis sidik ragam pengaruh intensitas cahaya dan posisi substrat terhadap pelekatan juvenil A. tenuis

22 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) perlakuan induksi CCA dan Zooxanthella terhadap metamorfosa larva planula A. tenuis Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan Z3, Z6, Z Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan CCA, kontrol (non CCA)

23 23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Metode pengamatan gonad dan pemijahan spesies karang di Kep. Spermonde Makassar dan Orpheus Island GBR Daftar spesies karang (tingkat klasifikasi) yang matang gonad dan yang memijah di Kepulauan Spermonde Makassar Pola musim dan bulan) kematangan gonad dan pemijahan karang di Kep.Spermonde dan Orpheus Island GBR Waktu pemijahan karang (masehi dan hijryah) di Kepulauan Spermonde Indonesia dan Orpheus Great Barrier Reef Australia Variabel lingkungan saat pemijahan dan matang gonad karang polip besar dan polip kecil di Kepulauan Spermonde Makassar Respon waktu pada fase pemijahan pada perlakuan induksi pemijahan karang Acropora tenuis Analisis sidik ragan (satu arah) respon waktu pemijahan (menit) A. tenuis (General Linear model menggunakan Uji Tukey) Respon waktu pada sitting dan glinding pasca sunset dari berbagai perlakuan induksi pemijahan dan pemijahan alami A. tenuis Hasil pengamatan setiap fase pemijahan karang A. tenuis (15 November 2011) Komparasi metode induksi pemijahan biota laut : kerang kima (Tridacnidae), kerang lola (Trochidae) dan karang (Scleractinia) Metode stimulasi pemijahan karang (Scleractinia) dari berbagai sumber dan penelitian ini Tingkat fertilisasi dari A. tenuis, A. millepora dan C. crassa Analisis ragam tingkat fertilisasi karang spesies A. tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa Tingkat pembelahan sel embrio karang A. millepora Tingkat pembelahan sel embrio karang A.tenuis Tingkat pembelahan sel embrio spesies Ctenactis crassa Klasifikasi umur berdasarkan fase hidup embrio-larva-juvenil karang dan total competence time Perbandingan umur larva dan competence time dari tiap spesies Rata-rata dan rentang ukuran setiap fase embriogenesis masing-masing spesies karang Analisis sidik ragam tingkhlaku pengendapan larva planula A. tenuis Proporsi pengendapan larva [rata-rata ± (SE)] pada intensitas cahaya dan selama waktu penelitian Analisis sidik ragam pengaruh intensitas cahaya dan posisi substrat terhadap pelekatan juvenil A. tenuis

24 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) perlakuan induksi CCA dan Zooxanthella terhadap metamorfosa larva planula A. tenuis Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan Z3, Z6, Z Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan CCA, kontrol (non CCA)

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kelompok karang berpolip kecil dan polip besar Curah hujan terkini (2011) dan rata-rata setiap bulan di Kepulauan Spermonde dan Orpheus island Great Barrier Reef Waktu yang dibutuhkan untuk fase pemijahan karang A.tenuis dalam perlakuan induksi pemijahan Rancangan perlakuan induksi pemijahan karang di OIRS Great Barrier Reef Australia (November 2011) Hasil uji beda rata-rata (Tukey HSD) perlakuan induksi pemijahan karang A.tenuis Analisis sidik ragam respon waktu pemijahan fase setting dan glinding karang A.tenuis Hasil ujibeda nyata Tukey perlakuan induksi pemijahan Tingkat fertilisasi A. tenuis dan A. millepora selama 6 jam setelah pemijahan Analisis varian tingkat fertilisasi pada setiap waktu antar spesies Hasil uji beda nyata Tukey tingkat fertilisasi spesies karang A. tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa Diameter telur, embrio dan panjang larva karang rata-rata setiap spesies Analisis varian ukuran telur, embrio dan larva karang antar spesies Hasil Uji beda nyata Tukey perkembangan ukuran embrio,larva planula antara spesies Jumlah larva yang mengendap dan berenang bebas pengaruh dari intensitas cahaya S1, S2, S3 dan S Kombinasi percobaan induksi zooxanthella dan CCA dalam proses metamorfosis juvenil karang Hasil analisis varian metamorfosa juvenil karang yang diberi perlakuan CCA/non CCA dan zoxanthella menurut waktu pengamatan Hasil uji beda nyata Tukey metamorfosis harian juvenil karang Hasil uji beda nyata Tukey HSD pengendapan tingkahlaku larva setiap waktu pengamatan hari ke2, 4, dan Hasil analisis varian pengendapan larva karang berdasarkan hari, intensitas cahaya dan kombinasi keduanya Hasil uji beda nyata Tukey metamorfosa larva planula yang diinduksi zooxanthella Hasil uji beda nyata tukey terhadap metamorfosis juvenil karang yang diinduksi konsentrasi zooxanthella Hasil uji beda nyata Tukey terhadap metamorfosis juvenil karang yang yang diamati harian

26 2

27 PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan akibat faktor antropogenik dan peristiwa alami. Sekitar 30 % terumbu karang masih dalam kondisi baik dan sangat baik, sebaliknya 70 % telah rusak dan rusak parah (Puslit Oseanografi-LIPI 2009). Wilayah Indonesia timur, perikanan yang merusak (destructive fishing) merupakan penyebab utama rusaknya terumbu karang. Di samping itu, perdagangan karang hidup untuk hiasan akuarium di seluruh dunia terus meningkat % per tahun. Sementara Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar setelah Filipina mengurangi jumlah kuota ekspornya (Yusuf et al. 2007). Eksploitasi karang hias dengan mengandalkan populasi di alam berdampak pada hilangnya beberapa spesies karang tertentu. Kelangkaan populasi karang tertentu dapat menyebabkan berkurangnya potensi reproduksi bagi sebagian besar spesies target. Akibatnya dari sisi fisiologi reproduksi, komunikasi secara biokimiawi reproduksi menjadi jarang sehingga beberapa spesies karang mengalami kegagalan reproduksi. Pengendalian pengrusakan dan eksploitasi terumbu karang disamping melalui pendekatan sosial, juga diperlukan pendekatan melalui sains dan tehnologi. Upaya restorasi terumbu karang bisa dilakukan melalui metode transplantasi dan metode biorock. Namun tehnologi tersebut masih mengandalkan bibit hasil fragmentasi dari alam. Bila pengambilan induk karang dengan cara-cara yang tidak benar, maka terumbu juga akan terancam. Teknologi perbanyakan generatif terhadap biota laut seperti ikan, kerang-kerangan, udang, kepiting dan sebagainya telah sukses dilakukan untuk tujuan budidaya komersil. Namun khusus pada hewan karang belum banyak dilakukan, masih dalam taraf riset. Perbanyakan generatif karang diharapkan bisa menjawab permasalahan kelangkaan karang hias yang terus dieksploitasi dan menjadi sumber bagi restorasi ekosistem terumbu karang yang sudah rusak. Secara generatif karang (ordo: Scleractinia) memiliki kemampuan reproduksi ganda yakni secara seksual dan aseksual (Richmond and Hunter 1990). Fenomena karang keras yang memijah baru ditemukan pada tahun 1980-an (Poinski 2004). Studi reproduksi seksual karang menjadi populer setelah adanya laporan pemijahan massal 156 spesies karang tahun 1983 di Great

28 2 Barrier Reef, Australia (Willis et al. 1985). Hingga saat ini penelitian mengenai reproduksi karang secara alami di terumbu karang tropik Indonesia dilakukan oleh Bahtiar (1994), Munasik (2002), Rani (2004), Romawanti (2006), Kawaroe et al. (2007), Mustafa (2010) dan Patiung (2010). Penelitian masih sebatas histologi gonad untuk menentukan kematangan gonad dan periode reproduksi. Jika dibanding dengan terumbu karang Indonesia yang sangat luas dan biodiversitas yang sangat beragam, informasi reproduksi beberapa spesies karang secara spasial masih belum cukup untuk menggambarkan pola reproduksi karang di Indonesia. Menurut Twan et al. (2006) faktor lingkungan berperan penting dalam menentukan waktu reproduksi dan pemijahan. Fluktuasi lingkungan yang kecil di daerah tropik seperti di Indonesia menjadi penyebab tersebarnya waktu reproduksi karang sepanjang tahun dan diduga tidak memijah secara sinkron antar spesies (Oliver et al. 1988; Richmond dan Hunter 1990). Dengan adanya informasi waktu puncak reproduksi, maka pemijahan buatan (induksi reproduksi) karang menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi induksi reproduksi merupakan langkah inisiasi dalam menemukan metode yang terbaik untuk memijahkan karang secara simultan, agar diperoleh sinkronisasi kebutuhan masing-masing sel gamet. Walaupun belum banyak informasi dan pengalaman mengenai pemijahan buatan karang sebelumnya, Seikai National Fisheries Research Institute Jepang telah mulai mengembangkan metode induksi pemijahan menggunakan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) sebagai zat perangsang pemijahan gonad (Omori dan Fujiwara 2004). Metode ini masih menyisakan masalah, bila terjadi kesalahan konsentrasi H 2 O 2 saat eksperimen, akan membawa dampak negatif bagi individu karang. Hampir semua fase reproduksi invertebarata di laut termasuk hewan karang mengalami kondisi yang tidak terkontrol. Shimomura et al. (2000) dan Omori dan Fujiwara (2004) telah membuka jalan untuk memulai memelihara juvenil dari hasil induksi reproduksinya di Okinawa Jepang. Guest et al (2010) mengungkapkan metode terstruktur dan higienis penanganan reproduksi karang secara exsitu mulai dari pemijahan, fertilisasi dan pemeliharaan larva karang. Proses embriogenesis karang telah diteliti oleh Harrison dan Wallace (1990), khusus genus Acropora diteliti oleh Hayashibara et al. (1997), Fungia scutaria (Schwarz et al. 1999). Selanjutnya Ball et al. (2002), Okubo dan Motokawa (2007), Gleason dan Hoffman (2010) menjelaskan beberapa aspek dalam embriogenesis karang jenis-jenis tertentu.

29 3 Rumusan Masalah Jika dibanding dengan luas dan keanekaragaman terumbu karang di Indonesia, maka informasi reproduksi karang masih sangat minim dan spasial. Metode penelitian reproduksi karang selama ini terbatas menggunakan metode histologi. Metode histologi membutuhkan perlakuan yang rumit dan lama sehingga informasi dan metode tersebut belum cukup untuk menggambarkan pola reproduksi karang di Indonesia. Semua jenis karang keras yang berada di lintang tinggi memiliki kemampuan reproduksi masal dengan model pemijahan yang sinkron dalam jumlah yang besar (mass synchronous spawning). Sebaliknya, pada daerah lintang rendah atau mendekat ke daerah ekuator, sinkronisasi pemijahan antar koloni atau antar spesies jarang terjadi dan pola reproduksi sepanjang tahun (Oliver et al dan Kenyon 1995 diacu Baird et al. 2004). Penelitian ini akan menjawab apakah terjadi sinkronisasi pemijahan karang di daerah tropis seperti di Indonesia? Ketika lingkungan perairan di sekitar daerah lintang tinggi Central Great Barrier Reef menunjukkan fluktuasi yang cukup besar, hal dapat memicu sinkronisasi pemijahan secara masal (Harrison dan Wallace 1990). Namun dengan fluktuasi faktor lingkungan yang relatif kecil atau hampir sama (Richmond dan Hunter 1990; Hayashibara et al. 1993), kapan dan dalam kondisi lingkungan yang bagaimana saat terjadinya pemijahan karang di Indonesia? Kondisi alamiah, pemijahan karang berlangsung pada saat bulan purnama atau bulan baru. Ketika itu terjadi pasang tertinggi dan surut terendah bulanan, efeknya kecepatan arus air yang lebih cepat juga membawa nutrien dan suhu yang relatif lebih dingin dibanding dengan saat pasang perbani. Berdasarkan prinsip fenomena osenografi tersebut, maka pemijahan buatan terhadap biota lola (Trochus nilotichus) dengan memanfaatkan arus air yang deras dan aerasi kuat mampu memberikan rangsangan terhadap pelepasan gamet atau pemijahan. Berdasarkan hal tersebut, apakah arus air deras dan aerasi kuat mampu memberikan respon kepada karang untuk melakukan pemijahan lebih awal dari jadwal alamiahnya? Fase embrio bagi hewan invertebrata air umumnya memiliki pola perkembangan yang sama, namun besaran dan kecepatan proses embriogenesisnya berbeda. Bagi hewan karang yang melakukan fertilisasi dan

30 4 perkembangan embrio di luar tubuh mengalami banyak hambatan dan berbagai riset masih menyisakan pertanyaan. Untuk mempelajari embriogenesis bisa diawali dengan ujicoba dalam kondisi terkontrol laboratorium. Hampir semua spesies karang Acroporidae berjenis kelamin hermaprodit, sedangkan Fungiidae umumnya gonokhorik. Perbedaan morfologi keduanya lebih jelas dimana Acropora umumnya bercabang sementara Fungiidae semuanya berbentuk piring terbalik. Perbedaan morfologi dan model pemijahan antara keduanya, adakah perbedaan fertilisasi, embriogenesis dan competence time larva planulanya?. Metamorfosis dan pengendapan larva merupakan fase yang krusial dalam siklus hidup karang, karena pada fase ini larva mengalami perubahan morfologi tubuh dan berupaya menemukan substrat sebagai habitat baru untuk penempelan juvenilnya. Setiap spesies memiliki relung tersendiri untuk hidup dan beradaptasi sehingga secara genetik larva akan tetap memilih habitat seperti habitat induknya. Karang induk dan juga larva atau juvenilnya memiliki preferensi habitat pada kedalaman tertentu terkait dengan intensitas cahaya. Sehingga pertanyaan yang muncul adakah pengaruh cahaya terhadap pengendapan larva planula dan penempelan juvenil? Karena kehabisan energi dari cadangan kuning telur, maka suplai energi bagi larva planula otomatis dari zooxanthella, namun penyerapan zooxanthella dari alam cukup lambat karena konsentrasi zooxanthella di alam sangat sedikit. Dengan penambahan zooxanthella dalam jumlah yang banyak, apakah mampu mempercepat metamorfosis larva karang? Selanjutnya unsur kalsium dalam kalsium karbonat dibutuhkan juvenil untuk membangun kerangka kapur pada awal kalsifikasi juvenil. Beberapa penelitian menemukan larva dan juvenil karang lebih banyak menempel pada alga berkapur yang disebut crustose coralline algae (CCA). Apakah dengan menginduksi CCA bisa mempercepat metamorfosis larva planula?

31 5 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian reproduksi karang adalah untuk mengetahui pola dan waktu reproduksi karang di Kepulauan Spermonde Indonesia dan di Orpheus Island Central Great Barrier Reef dan membandingkan embriogenesis famili Acroporidae dan Pocilloporidae. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Membandingkan pola reproduksi, sinkronisasi pemijahan karang tropis Indonesia dan subtropis Great Barrier Reef. 2. Mengetahui respon waktu pemijahan dan tingkahlaku pemijahan Acropora tenuis melalui metode induksi fisik. 3. Membandingkan tingkat fertilisasi, perkembangan embrio, competense time karang dalam proses embriogenesis antar spesies dari Famili Acroporidae dan Fungiidae. 4. Mengetahui tingkahlaku pengendapan, metamorfosis dan penempelan larva berdasarkan intensitas cahaya, posisi substrat, induksi zooxanthella dan Crustose Coralline Algae (CCA). Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan metode reproduksi secara seksual ex-situ dalam kondisi terkontrol. Hasil pengembangbiakan secara masal ini bisa mensuplai kebutuhan juvenil karang untuk restorasi terumbu karang dan perbanyakan populasi karang hias skala besar. Ruang Lingkup Penelitian Reproduksi seksual karang tergantung pada spesiesnya, letak lintang, isolasi geografi, musim, kondisi oseanografi lokal maupun regional dimana karang bisa hidup (Mendes dan Woodley 2002). Perairan Indonesia yang terletak sekitar garis khatulistiwa dengan tingkat keanekaragaman spesies karang yang sangat tinggi memungkinkan terjadinya pola reproduksi yang berbeda-beda. Iklimnya yang terdiri dari musim hujan dan musim kemarau akan

32 6 menentukan masa reproduksi karang di alam. Selain itu, habitat yang sangat bervariasi, diperkirakan bisa mempengaruhi masa reproduksi yang berbeda bagi setiap spesies karang. Asumsi perbedaan waktu reproduksi karang menurut wilayah akan memunculkan pertanyaan mengenai faktor lingkungan yang paling menentukan reproproduksi karang pada setiap kawasan. Kebanyakan peneliti menjelaskan perbedaan faktor oseanografi sangat mempengaruhi reproduksi karang secara independen. Menurut Kenyon (2008) di wilayah perairan Indo Pasifik Tengah isolasi reproduksi karang umumnya terjadi secara temporal. Hingga saat ini penelitian reproduksi karang di Indonesia masih terbatas pada metode gametogenesis. Sementara metode pengecekan gonad yang matang secara insitu dan pemijahan secara exsitu belum banyak diterapkan. Mengingat wilayah terumbu karang Indonesia yang begitu luas dan sebagai kawasan hot spot diversity coral triangle, maka metode histologi untuk informasi reproduksi belumlah cukup untuk menggambarkan pola dan musim reproduksi karang di Indonesia. Suatu tantangan dunia sains biologi karang, masih banyak spesies yang belum diketahui musim dan pola reproduksinya, disamping itu sinkronisasi pemijahannya pun masih belum jelas. Karang memijah membutuhkan waktu yang sinkron pada jam-jam tertentu (Veron 2000; Fukami et al. 2004; Omori dan Fujiwara 2004). Karang akan memijah pada jendela waktu 1 jam pada malam hari (Ananthasubramaniam et al. 2011). Walaupun belum banyak informasi dan pengalaman mengenai pemijahan buatan karang sebelumnya, Seikai National Fisheries Research Institute Jepang telah mulai mengembangkan metode induksi pemijahan menggunakan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) sebagai zat perangsang pemijahan gonad (Omori dan Fujiwara 2004). Prinsip dari induksi fisik pemijahan adalah merangsang polip karang untuk memberikan respon biologis pelepasan gamet. Metode induksi fisik menjadi alternatif untuk pemijahan biota yang dapat memecahkan masalah di atas. Yusuf et al. (2006) telah berhasil memijahkan kerang lola (Trochus niloticus) menggunakan metode fisik (air mengalir, aerasi kuat, dan desikasi atau penjemuran). Upaya pemijahan buatan merupakan langkah inisiasi dalam memecahkan masalah sinkronisasi pemijahan karang dalam laboratorium. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai fertilisasi tiga spesies karang, pembelahan sel dan perkembangan embrio hingga larva planula. Sekitar 85% karang yang bereproduksi seksual melangsungkan fertilisasi gamet

33 7 pada kolom air (Levitan et al. 1992; Lasker 2006). Dalam siklus hidup hewan karang, fertilisasi merupakan fase yang sangat ringkas (Lasker 2006). Kegagalan fertilisasi membawa dampak yang fatal bagi populasi karang. Sementara embriogenesis merupakan proses perkembangan embrio hingga menjadi juvenil. Embriogenesis telah dijelaskan oleh Harrison dan Wallace (1990), khusus genus Acropora oleh Hayashibara et al. (1997), Fungia scutaria oleh Schwarz et al. (1999), Selain itu Ball et al. (2002), Okubo dan Motokawa (2007), Gleason dan Hoffman (2010) mereview beberapa aspek dalam embriogenesis karang. Selama fase planktonik, embrio-larva membutuhkan waktu yang berbeda hingga melekat di dasar atau disebut competence ime (Gleason dan Hoffmann 2011). Secara umum, competence time bagi larva karang sekitar 48 jam (Thamrin 2006), namun ada pula yang 96 jam tergantung genetik dan faktor lingkungan. Larva planula bermetamorfosis membentuk juvenil, suatu proses perubahan morfologi organisme air yang dari stadium larva planktonik menjadi juvenil (Nakamura et al. 2011). Karena diketahui tergolong kritis, planula akan memilih lokasi dan substrat yang permanen untuk melekatkan diri tergantung pada faktor lingkungan seperti cahaya, salinitas, pergerakan air, kedalaman, bentuk permukaan substrat dan sedimentasi (Mundy dan Babcock 1998; Raymondy dan Morse 2000). Karang mengendap pada media substrat crustose coraline algae (CCA) dan substrat karang mati. Keberadaan CCA dapat mempengaruhi pengendapan larva karang sebelum mencapai substrat, bahkan alga berkapur merah (red coraline algae) diketahui memiliki preferensi yang lebih baik dibanding dengan substrat tanpa alga berkapur (Birrel et al. 2009). Penelitian ini didasarkan pada prinsip-prinsip pengendapan dan pelekatan juvenil karang. Oleh karena itu, lingkup penelitian ini dibatasi pada respon juvenil karang terhadap simulasi intensitas cahaya dan posisi substrat, induksi zooxanthella dan keberadaan crustose coralline algae.

34 8 Populasi karang menurun /degradasi terumbu karang Pengrusakan habitat t.karang Kegagalan reproduksi Eksploitasi karang hias/diperdagangkan Rekrutmen alami dan restorasi Sinkronisasi reproduksi Tehnik reproduksi terkontrol Informasi reproduksi yang minim Ujicoba reproduksi yang jarang Riset observasi reproduksi di alam eksperimen metode pengembangbiakan Reproduksi seksual karang (ordo Scleractinia) : pemijahan, perkembangan larva dan metamorfosa Reproduksi seksual di alam metode Pengembangbiakan terkontrol - Pola reproduksi tahunan (T1) dan Sinkronisasi pemijahan - Indikator lingkungan pemicu pemijahan (T3) Pengembangan sains bio-ekologi dan fisiologi reproduksi Hasil penelitian Kegunaan - Metode pemijahan yang efektif (T3) - Perkembangan embrio-larva, competence time (T4). - Laju metamorfosis (T5,T6, T7) Metode pengembangbiakan dan perbanyakan populasi karang, Gambar 1 Bagan alir kerangka penelitian reproduksi seksual karang yang berawal dari degradasi terumbu karang hingga solusi sains dan tehnis.

35 9 Kebaruan Penelitian Kebaharuan (novelty) penelitian ini yakni : 1. Penelitian ini mengungkap pola waktu reproduksi karang berpolip kecil dan berpolip besar dan pemijahan yang sinkron (menurut hari dan jam) beberapa spesies dari genus Acropora di perairan tropis Indonesia. Belum ada penelitian sebelumnya yang mengungkap pola reproduksi tahunan khusus karang tropis dan juga penelitian yang mengungkap sinkronisasi pemijahan karang di daerah tropis, mengingat kondisi lingkungan perairan yang cenderung konstan. Penelitian reproduksi karang oleh Bahtiar (2002), Rani dan Jompa (2006), Munasik dan Wijatmoko (2004); Romawanti (2006); Patiung (2010) dan Mustafa (2010) di Indonesia atau tropis lainnya hanya mengungkap gametogenesis secara spasial, tidak secara temporal tanpa menemukan sinkronisasi pemijahan. Sementara beberapa hasil riset mengungkapkan bahwa Pemijahan yang sinkron antar spesies dan koloni hanya terjadi pada terumbu karang lintang tinggi seperti di GBR, Red Sea dan Jepang (Willis et al. 1985; Hanafy et al. 2010; Hayashibara et al. 1993). 2. Metode induksi pemijahan berupa air mengalir dan aerasi kuat mampu menstimulasi pemijahan karang lebih cepat dari waktu pemijahan yang sebenarnya. Belum ada metode pemijahan karang secara induksi menggunakan air mengalir dan aerasi kuat. Metode tersebut pernah diapliksikan pada hewan bercangkang lola (Trochus nilotichus) (Yusuf et al. 2006). Induksi kimiawi pemijahan karang menggunakan H 2 O 2 oleh Omori dan Fujiwara (2004) berdampak negatif bagi karang dimana terjadi sekresi lendir yang berlebihan atau rejeksi zooxanthella selama kontaminasi. Tingkat kegagalan pemijahan menjadi lebih besar bila karang mengalami stress dalam larutan kimia tersebut.

36 10 Hipotesis penelitian Hipotesis yang diajukan untuk dianalisis dan dibuktikan adalah : 1. Induksi pemijahan berupa air mengalir dan aerasi kuat mampu memberikan rangsangan pemijahan karang lebih awal 2. Terdapat pengaruh intensitas cahaya terhadap pengendapan dan pelekatan juvenil karang Acropora tenuis. 3. Posisi substrat berpengaruh terhadap penempelan juvenil karang Acropora tenuis. 4. Induksi zooxanthella dan CCA mempengaruhi metamorfosis larva Acropora tenuis

37 11 METODOLOGI UMUM Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama dua tahun ( ) yang bertempat di Kepulauan Spermonde Selat Makassar dan di Orpheus Island Research Station (OIRS) Central Great Barrier Reef Australia. Pengamatan pemijahan dan pengecekan gonad karang secara insitu di Kepulauan Spermonde dilakukan di terumbu karang Pulau Bone Tambu, Pulau Langkai, Pulau Badi. Pengamatan gonad dan pemijahan karang di alam secara insitu dilakukan di Cattle Bay, Pioneer Bay Orpheus Island, sementara pengamatan pemijahan karang exsitu dilakukan di laboratorium Orpheus Island Research Station (OIRS). Kawasan Kepulauan Spermonde merupakan paparan yang tersusun dominan oleh terumbu karang yang memiliki 98 buah pulau dengan luas paparan ha (Jompa et al. 2006) baik yang bertipe terumbu karang tepi (fringing reef), maupun patch reef yang membentuk terumbu pengahalang (barrier reef). Pada sisi luar sebelah barat, terumbu karang berupa gosong karang (patch reef) memanjang membentuk terumbu penghalang (barrier reef). Paparan terumbu karang dan perairan Spermonde lebarnya sekitar 40 km dari daratan Makassar yang terbagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dan pengaruh daratan, yakni : zona satu atau zona pinggir dari pantai kearah laut lepas sejauh kira-kira 5 km atau hingga kedalaman 20 m. Pada zona dua atau zona dalam, mulai dari jarak 5 km kearah laut hingga 12,5 km, sedangkan zona tiga atau zona tengah dari jarak 12,5 km ke arah laut lepas hingga 30 km dengan kedalaman yang bervariasi antara m. Sementara zona empat atau zona terluar atau barrier reef zone mulai dari jarak 30 km hingga 40 km batas terluar dari paparan Spermonde (Hoeksema 1990). Orpheus Island adalah sebuah pulau dalam kawasan Palm Islands Marine Park yang terdapat dalam kawasan Great Barrier Reef. Pulau ini terletak memanjang utara-selatan dengan beberapa teluk yang menjadi kawasan konservasi dan riset, seperti Cattle Bay dan Pioneeer Bay dimana semuanya menghadap ke daratan utama (leeward). Lokasi ini masih mendapat pengaruh sedimentasi sehingga tingkat kekeruhan kolom air lebih tinggi dan jarak pandang yang pendek.

38 ' ' ' ' ' ' ' ' N W E S km ' PA NG KA JE NE KE PU LAU AN ' P. Badi #Y P. S ULAW ES I P. Langkai #Y P. Bonetam bung #Y MAR OS ' #Y P. Bar anglom po KETERANGAN : #Y Lokasi Pemijahan Garis Pantai Darat Tutupan Terumbu KOTA M AKASSAR GO W A ' ' ' ' ' Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Spermonde % SAMUDERA PASIFIK AUSTRALIA 14 OIRS-GBR % Palm Island 18 Townsville QUEENSLAND 22 N AUSTRALIA W E S km Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Orpheus Island Great Barrier Reef.

39 13 Metode Penelitian Secara umum, penelitian ini terbagi dalam empat bagian, yakni pola reproduksi, induksi pemijahan, perkembangan larva, dan metamorfosis. Penelitian tahap pertama, dengan melakukan pengecekan kematangan gonad dan pengamatan pemijahan secara insitu di alam. Disamping itu dilakukan pemijahan exsitu di laboratorium. Kemunculan gonad pada patahan karang bercabang menunjukkan kematangan gonad. Pengamatan kematangan gonad dan pemijahan karang dilakukan pada bulan terang (purnama) dan bulan gelap (perbani). Pencatatan waktu pemijahan dilakukan untuk menunjukkan sinkronisasi pemijahan karang. Untuk mendukung penelitian ini digunakan pula empat penelitian lain terhadap beberapa spesies karang Euphyllia glabrescen, Euphyllia ancora, Galacea fascicularis dan Acropora nobilis yang umumnya menggunakan metode histologi gonad. Penelitian tahap dua, dalam wadah running water system percobaan induksi pemijahan menggunakan air mengalir, aerasi kuat dan kombinasi keduanya serta kontrol untuk membuktikan pengaruhnya terhadap waktu pemijahan. Pemberian rangsangan dalam induksi pemijahan karang berlangsung selama 3 jam (15: 00 18:00). Rangsangan fisik ini dihentikan untuk memberikan peluang hewan uji (Acropora tenuis) berelaksasi. Selama kurun waktu 30 menit dilakukan pengamatan respon tingkahlaku polip akibat perlakuan tersebut hingga saat pemijahan (pelepasan gonad) berlangsung. Rangkaian proses pemijahan gonad terbagi dalam 5 tahap, yakni setting stage atau kemunculan gonad sekitar mulut, birth stage atau proses pengeluaran gonad terjepit di mulut, gliding stage atau pelepasan buntelan dari mulut tapi tertahan oleh tentakel, upward stage atau pelepasan ke kolom air, dan bursting stage atau pemecahan buntelan telur. Penelitian tahap tiga, perlakuan fertilisasi gamet dengan mencampurkan sperma dan telur secara bersilangan dari koloni yang berbeda masing-masing spesies. Proses awal fertilisasi terjadi minimal dalam waktu 30 menit setelah pemijahan. Telur yang membelah menjadi dua atau lebih merupakan indikasi terjadinya fertilisasi. Pengamatan pembelahan sel embrio dilakukan hingga stadia blastula prawnchip. Pengamatan pembelahan sel dan perkembangan embrio-larva (embriogenesis) dilakukan hingga stadia planula

40 14 menggunakan mikrometer okuler yang dipasang pada lensa okuler mikroskop binokuler Olymphus S2-51. Penelitian tahap empat, tahap penelitian ini akan melihat pengendapan larva, pelekatan juvenil dan metamorfosis larva dalam tiga spesies perlakuan, yakni 1) perlakuan intensitas cahaya, 2) posisi substrat untuk penempelan juvenil dan 3) induksi zooxanthella dan crustose coralline algae (CCA). Simulasi intensitas cahaya terbagi dalam 4 tingkat reduksi yakni 60%, 45%, 30% dan 15%.l. Pada posisi substrat untuk pelekatan juvenil terdiri atas dua posisi, yakni vertikal dan horizontal. Perlakuan induksi zooxanthella terbagi dalam tiga konsentrasi, yakni 3000 sel/ml, 6000 sel/ml dan 9000 sel/ml ditambah kontrol (tanpa zooxantella) dan terakhir metamorfosa akan dilihat dari pengaruh induksi CCA dibanding dengan kontrol (tanpa CCA). Fase Alam (Observasi) Reproduksi karang di Great Barrier Reef Variabel : Jenis karang Waktu pemijahan/ matang gonad Lingkungan perairan dan Astronomi Variabel : Temperature, Salinitas, Pasut, Fase bulan Reproduksi karang di Kepulauan Spermonde Variabel : Jenis karang Waktu pemijahan/ matang gonad Pemijahan Terkontrol Fase Laboratorium (Eksperimen) Induksi Pemijahan (suhu, air mengalir, aerai kuat) Fertilisasi Gamet (tiap jenis) Pemeliharaan larva karang (beda spesies dan famili) Metamorfosa larva planula (intensitas cahaya, CCA, Zoox) Variabel : Respon waktu pemijahan : Variabel : telur yang fertil Variabel : Pembelahan perkembangan embrio-larva sel, Variabel : Metamorfosis larva, pelekatan juvenil Gambar 4 Skema alur metodologi penelitian

41 15 POLA REPRODUKSI DAN SINKRONISASI PEMIJAHAN KARANG (Ordo Scleractinia) DI KEPULAUAN SPERMONDE INDONESIA DAN ORPHEUS ISLAND GREAT BARRIER REEF AUSTRALIA ABSTRAK SYAFYUDIN YUSUF. Pola Reproduksi dan Sinkronisasi Pemijahan Karang (Ordo Scleractinia) Di Kepulauan Spermonde Indonesia dan Orpheus Island Great Barrier Reef Australia. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR dan JAMALUDDIN JOMPA Pola reproduksi seksual dan waktu pemijahan karang tergantung pada spesies, geografi, musim dan kondisi perairan baik lokal maupun regional. Penelitian ini bertujuan menentukan pola reproduksi sinkronisasi dan lingkungan yang berpengaruh terhadap pemijahan karang di Kepulauan Spermonde dibandingkan dengan di Great Barrier Reef (BGR) tengah. Pola reproduksi seksual bagi karang berpolip kecil umumnya terjadi pada musim hujan, akan tetapi karang berpolip besar matang gonad umumnya pada musim kemarau di kepulauan Spermonde dibanding dengan di GBR terjadi pada bulan November dan Desember pada awal musim panas. Pemijahan yang sinkron terjadi pada jam 18:00-19:00 pada 0-2 hari bulan purnama (BP) pada saat pasang tinggi, temperatur 30,3 o C di kepulauan Spermonde. Sedangkan pemijahan yang multispesies di GBR berlangsung pada jam 19 : 00 21:00 selama 3-5 (BP) pada saat air laut surut dimana suhu 27 o C. Perairan Kepulauan Spermonde memiliki variasi lingkungan yang kecil, sehingga waktu reproduksi karang menyebar sepanjang tahun mengikuti pola dua musim (hujan dan kemarau) dan periode bulan (purnama dan akhir atau awal), dibandingkan dengan pemijahan karang di Great Barrier Reef dimana terjadi pemijahan masal yang sinkron. Kondisi lingkungan pemijahan karang berpolip besar berbeda dengan lingkungan karang berpolip kecil. Kata Kunci : Karang, reproduksi seksual, pemijahan sinkron, Kepulauan Spermonde, Great Barrier Reef

42 16 ABSTRACT SYAFYUDIN YUSUF. Reproduction Pattern and Synchronous Spawning of Coral (Ordo: Scleractinia) in Spermonde Archipelago and Great Barrier Reef Australia. Supervised by NEVIATY P. ZAMANI, M.ZAIRIN JUNIOR and JAMALUDDIN JOMPA Pattern of sexual reproduction and spawning event of scleractinian corals are correlated with the species, geography, monsoon, local and regional oceanographic conditions. This study was aimed to determine the reproduction pattern, synchronization and the environmental cues of spawning in Spermonde Archipelago reefs compared to the Central Great Barrier Reef. Reproduction pattern of small polyp corals was commonly performed during rainy season but the bigger polyps were in dry seasons in Spermonde compared to the GBR that occurred during November and December of early summer. Synchronously broadcast spawning took place at 18:00 19:00 in lunar period 0 2 days after full moon, while the high tide level and the temperature was 30.3 o C in Spermonde. Otherwise, multispecies coral mass spawning in GBR took place at 19:00-21:.00 for 3-5 days AFM in the low tides while the temperature was 27 o C. Spermonde Archipelago waters have less environmental variability, so that coral spawning event extend for several months and occured during different lunar phases compared to the Great Barrier Reef that have synchronous mass spawning. Environmental condition for spawning event of the small polyps coral were different from the bigger polyps corals. Keywords : Coral, sexual reproduction, synchronous spawning, Spermonde Archipelago, Great Barrier Reef

43 17 PENDAHULUAN Karang keras (Filum Coelenterata; Kelas Anthozoa; Ordo Scleractinia) memiliki kemampuan reproduksi ganda yakni secara seksual dan aseksual (Sumich 1996, Richmond dan Hunter 1990, Thamrin 2006). Reproduksi seksual secara alami semua hewan karang bervariasi tergantung pada spesiesnya. Koloni karang mampu menghasilkan gamet jantan dan betina. Sekitar 75 persen dari semua spesies karang merupakan koloni yang hermaprodit. Sifat seksualitas dari karang baik yang hermaprodit atau yang gonokoristik tergantung pada spesies dan atau genera (Wallace 1999, Veron 2000). Penelitian reproduksi karang dimulai sejak tahun 1937, sepuluh tahun kemudian Atoda 1947 meneliti perkembangan larva karang (Kojis dan Quinn, 1981), sebelumnya Kojis dan Quinn (1980) juga telah meneliti reproduksi karang Faviidae. Tahun 1980-an penelitian reproduksi karang berkembang di Great Barrier Reef Australia, Laut Merah dan Karibia (Willis et al. 1985, Richmond dan Hunter 1990, Wallace 1999). Perkembangan penelitian reproduksi karang sudah menemukan fenomena pemijahan yang diawali tahun 1980-an (Poinski 2004). Sebagian besar spesies karang keras (ordo Scleractinia) tergolong pemijah (spawner), yakni melepaskan gamet ke kolom air secara simultan (Richmond dan Hunter 1990, Baird et al. 2009, Willis et al. 1985). Menurut Mendes dan Woodley (2002) bahwa reproduksi seksual karang ditentukan antara lain oleh spesies karang dan letak lintang, isolasi geografi, musim, kondisi oseanografi lokal maupun regional dimana karang hidup. Seperti terumbu karang di Indonesia yang terletak sekitar garis khatulistiwa kemungkinan memiliki pola reproduksi yang berbeda dengan daerah tropis lainnya dan juga subtropis. Iklim Indonesia yang terdiri dari musim hujan dan musim kemarau akan menentukan masa reproduksi karang di alam. Di samping itu, perbedaan habitat yang sangat bervariasi menurut wilayah perairan, diperkirakan bisa mempengaruhi masa reproduksi yang berbeda bagi setiap spesies karang. Asumsi perbedaan waktu reproduksi karang menurut wilayah akan mengundang banyak pertanyaan, faktor apa yang paling menentukan reproproduksi karang. Kebanyakan peneliti menjelaskan perbedaan faktor oseanografi sangat mempengaruhi reproduksi karang secara

44 18 independen. Menurut Kenyon (2008) di wilayah perairan Indo Pasifik Tengah isolasi reproduksi karang umumnya terjadi secara temporal. Willis et al. (1985), Harrison dan Wallace (1990) banyak menjelaskan mengenai reproduksi masal secara sinkron merupakan fenomena yang unik di terumbu karang Australia. Sekitar terumbu karang Great Barrier Reef lebih lebih dari 143 spesies memijah dalam minggu yang sama pada bulan purnama (Willis et al. 1985, Richmond dan Hunter 1990, Willis et al. 1997, Willis et al. 2006). Selain di Great Barrier Reef Australia fenomena pemijahan masal karang banyak tercatat di daerah subtropis seperti Jepang (Loya et al ).dan Karibia (Willis et al. 1997, Secore 2009). Penelitian observasi reproduksi karang tersebut memberikan rujukan kepada para peneliti lain untuk melihat tipe dan pola reproduksi karang di wilayah terumbu karang lain seperti di kawasan hot spot diversity coral triangle, Indonesia. Hingga saat ini penelitian reproduksi karang masih terbatas pada gametogenesis seperti oleh Bahtiar (1994) di Selat Lombok, Munasik (2002) di Jepara, Rani (2004) dan Romawanti (2006) di Kep. Spermonde. Penelitian reproduksi karang baik pola reproduksi, waktu kematangan gonad, maupun waktu pemijahan akan sangat bermanfaat sebagai langkah awal dalam mengembangkan reproduksi seksual karang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pola reproduksi dan waktu puncak pemijahan gamet beberapa spesies karang serta faktor lingkungan yang terdapat di Kepulauan Spermonde Indonesia dan di Orpheus Island Great Barrier Reef Australia. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan tempat Penelitian ini telah dilaksanakan selama dua tahun ( ) yang bertempat di Kepulauan Spermonde Selat Makassar dan di Orpheus Island Research Station (OIRS) Central Great Barrier Reef Australia. Pengamatan pemijahan dan pengecekan gonad karang secara insitu di Kepulauan Spermonde dilakukan di terumbu karang Pulau Bone Tambu, Pulau Langkai, Pulau Badi. Pengamatan gonad dan pemijahan karang di alam secara insitu dilakukan di Cattle Bay, Pioneer Bay Orpheus Island, sementara pengamatan

45 19 pemijahan karang exsitu dilakukan di laboratorium Orpheus Island Research Station (OIRS). Kawasan Kepulauan Spermonde merupakan paparan yang tersusun dominan oleh terumbu karang yang memiliki 98 buah pulau dengan luas paparan ha (Jompa et al. 2006) baik yang bertipe terumbu karang tepi fringing reef maupun patch reef yang membentuk barrier reef. Pada sisi luar sebelah barat, terumbu karang berupa gosong karang (patch reef) memanjang membentuk terumbu penghalang (barrier reef). Paparan terumbu karang dan perairan Spermonde lebarnya sekitar 40 km dari daratan Makassar yang terbagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dan pengaruh daratan, yakni : zona satu atau zona pinggir dari pantai kearah laut lepas sejauh kira-kira 5 km atau hingga kedalaman 20 m. Pada zona dua atau zona alam, mulai dari jarak 5 km kearah laut hingga 12,5 km, sedangkan zona tiga atau zona tengah dari jarak 12,5 km ke arah laut lepas hingga 30 km dengan kedalaman yang bervariasi antara m. Pada zona empat atau zona terluar atau barrier reef zone mulai dari jarak 30 km hingga 40 km batas terluar dari paparan Spermonde (Hoeksema 1990). Orpheus Island adalah sebuah pulau dalam kawasan Palm Islands Marine Park yang terdapat dalam kawasan Great Barrier Reef. Pulau ini terletak memanjang utara-selatan dengan beberapa teluk yang menjadi kawasan konservasi dan riset, seperti Cattle Bay dan Pioneeer Bay dimana semuanya menghadap ke daratan utama (leeward). Lokasi ini masih mendapat pengaruh sedimentasi sehingga tingkat kekeruhan kolom air lebih tinggi dan jarak pandang yang pendek Bahan dan Metode Sebanyak 13 spesies karang yang telah diketahui waktu reproduksinya di Kepulauan Spermonde, dimana 9 spesies merupakan hasil penelitian ini tahun 2011 dan 5 spesies lainnya dari hasil penelitian lain. Pada Orpheus Island Great Barrier Reef tercatat 8 spesies karang yang menjadi sampel dalam penelitian ini (Tabel 1).

46 20 Pengamatan insitu Kematangan Gonad Karang di Alam Pengamatan kematangan gonad karang dilakukan secara exsitu dan insitu (Willis et al. 1985) terhadap 13 spesies karang dari Kepulauan Spermonde dan 8 spesies di Orpheus Island. Daftar spesies karang dan metode pengamatannya tertera pada Tabel 1 di bawah. Secara exsitu, pengamatan gonad dil akukan dengan cara histologi dan pengamatan pemijahan terkontrol di laboratorium. Secara insitu kematangan gonad karang bisa terlihat dari warna sel gonad dari bekas patahan karang dengan cara mematahkan sebagian koloni karang Acropora (Harrison et al. 1984) langsung pada habitatnya. Tabel 1 No Metode pengamatan gonad dan pemijahan spesies karang di Kep. Spermonde Makassar dan Orpheus Island GBR Spesies Karang Pengamatan Gonad Pemijahan Referensi Habitat Histologi Lab Habitat Kepulauan Spermonde, Selat Makassar Indonesia 1 Acropora loripes Penelitian ini Acropora digitifera Penelitian ini Acropora cerealis Penelitian ini Acropora nasuta Penelitian ini Acropora aculeus Penelitian ini Acropora spp Penelitian ini Acropora nobilis Rani, Pocillopora verrucosa Rani, Heliofungia actiniformis Romawanti, Euphyllia glabrescent Penelitian ini 2011 Euphyllia glabrescent Patiung, Euphyllia ancora 12 Catalaphyllia jardiney 13 Galaxea fascicularis Orpheus Island, GBR Australia Patiung, 2010 Penelitian ini 2011 Mustafa, Acropora tenuis Penelitian ini Acropora millepora Penelitian ini Acropora spathulata Penelitian ini Acropora hycinthus Penelitian ini Ctenactis crassa Penelitian ini Fungia fungites Penelitian ini Fungia concina Penelitian ini Galaxea striata Penelitian ini 2011 Ket : tanda ( ) pengamatan gonad dan pemijahan dilakukan dengan metode tersebut.

47 21 Khusus karang yang berpolip besar Catalaphyllia jardiney, E. glabrescen dan E.ancora polipnya dibuka menggunakan betel dan palu untuk memecahkan kerangka kapurnya yang keras. Indikasi kematangan gonad dari hasil patahan cabang karang yakni bila terlihat buliran kuning atau oranye apabila specimen karang tersebut sudah matang gonad atau siap memijah (Harrison et al. 1984). Berikut pada Gambar 5 ditampilkan metode pengamatan reproduksi karang secara insitu dan exsitu. (a) (b) Gambar 5 (c) Pengecekan kematangan gonad secara insitu (a,b), pemijahan secara exsitu (c,d). (d) Pengamatan Pemijahan Karang insitu dan exsitu Pengamatan pemijahan karang dilakukan secara insitu di alam dan secara exsitu dalam laboratorium (Willis et al. 1985). Pengamatan pemijahan secara insitu maksudnya specimen karang yang memijah diamati secara langsung di alam (Orpheus island GBR) dengan mengetahui lebih awal jadwal pemijahan di sekitar wilayah tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penyelaman malam dari jam 19:00 20:30 waktu Townsville Australia.

48 22 Secara exsitu pengamatan pemijahan karang dilakukan dalam laboratorium Orpheus Island Research Station (OIRS) GBR (Gambar 1) dan Marine Station Pulau Barrang Lompo Makassar. Beberapa koloni karang target yang telah diketahui matang gonad diangkat dari habitatnya kemudian disimpan dalam bak-bak penampungan. Bak-bak tersebut berisi air tersaring mµ dan terus diberi aerasi. Setiap koloni karang diberi alas agar mendapat sirkulasi air yang sama pada semua bagian koloni. Pengamatan mulai dilakukan sesaat setelah matahari terbenam, suasana lingkungan dalam kondisi gelap. Setiap koloni diamati kondisi pemijahannya menggunakan senter cahaya infra red. Variabel Pemijahan Karang Variabel pemijahan karang dalam penelitian ini terbagi dua, yakni variabel tergantung (dependent / internal karang) dan variabel bebas (independen / lingkungan). Variabel dependent terdiri dari tipe pemijahan : apakah karang brooder atau spawner dan jenis kelamin spesies : apakah hermaprodit atau gonokhorik (Richmond dan Hunter 1990; Wallace 1999, Thamrin 2006). Variabel waktu pemijahan yang perlu dicatat yakni bulan, tanggal, dan jam pemijahan (setelah tenggelam matahari) (Willis et al. 1985). Tipe karang brooder, yakni kelompok karang yang melakukan pembuahan (fertilisasi) secara internal dalam rongga tubuh sehingga bakal individu keluar dalam bentuk planula. Tipe karang spawner, yakni kelompok karang yang melepaskan sel telur dan sel sperma ke kolom air sehingga melakukan fertilisasi di luar tubuh. Sementara karang yang hermaprodit dimana ovari dan sperma berkembang dalam mesenteri yang sama, atau dalam polip yang sama, atau berbeda polip tapi dalam koloni yang sama, melepaskan gamet baik secara bersamaan ataupun berbeda waktu. Sebaliknya, karang yang gonokhorik hanya memiliki satu spesies gamet (sperma atau ovari) dan hanya melepaskan salah satunya (Richmond dan Hunter 1990, Guest et al. 2010). Variabel Lingkungan Reproduksi Karang Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap reproduksi karang. Faktor yang mempengaruhi reproduksi adalah variasi suhu perairan, pasang surut (Oliver et al. 1988; Mendes dan Woodley 2002), fase bulan (Baird

49 23 et al ), dan curah hujan (Mendes dan Woodley 2002). Dalam penelitian ini variabel lingkungan (variabel independen) diperlukan adalah suhu perairan, pasang surut, fase bulan, dan curah hujan. Pengukuran suhu perairan laut dilakukan secara manual menggunakan digital temperature di Pulau Badi setiap 3 kali sehari (pagi 06:00-07:00, siang 12:00-13:00 dan sore 17:00-18:00) dari tanggal 1 September 2009 hingga 30 April Data suhu perairan Orpheus Island tahun 2011 diperoleh dari AIMS data stasiun pengamatan Sensor Float 2 yang terpsang di Orpheus Island pada tahun 2012 (Australian Institute of Marine Science, 2012). Selanjutnya data curah hujan ( ) di Kepulauan Spermonde diperoleh dari Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar, dan untuk data curah hujan Orpheus Island diperoleh dari Station Palm Island Water Treat Lat: S Lon: E (Bureau Meteorology of Queensland Australia 2012). Analisis Data Analisis multivariat Euclidian Distance (Krebbs 1999; Supranto 2010) terhadap variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap pemijahan digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok karang (polip besar dan polip kecil) berdasarkan kebutuhan lingkungan pemijahannya.

50 24 HASIL PENELITIAN Spesies karang yang matang gonad dan memijah Dari bebeberapa penelitian reproduksi karang tercatat 13 spesies karang yang diketahui waktu kematangan gonad dan puncak reproduksinya di Kepulauan Spermonde dan 8 spesies dari sekitar 30 spesies karang yang memijah secara sinkron sekitar Orpheus Island Great Barrier Reef (Tabel 2). Semua spesies karang pada Tabel 2 di bawah, dibagi menjadi dua kelompok yakni a) kelompok spesies polip kecil dan b) kelompok spesies polip besar. Karang berpolip kecil adalah spesies karang yang memiliki ukuran polip 5 mm, sedangkan karang berpolip besar ukuran polipnya > 5 mm hingga puluhan sentimeter (Veron, 2000). Tabel 2 Daftar spesies karang (tingkat klasifikasi) yang matang gonad dan yang memijah di Kepulauan Spermonde Makassar. Filum Coelenterata Kelas Anthozoa Ordo Scleractinia Suku Acroporidae Genus Spesies Lokasi Acropora A.loripes* Spermonde A.digitifera* Spermonde A.cerelais* Spermonde A.nasuta* Spermonde A.aculeus* Spermonde A.nobilis* Spermonde Acropora spp Spermonde A. tenuis* Orpheus Is A. millepora* Orpheus Is A. spathullata Orpheus Is A. cytherea* Orpheus Is Pocilloporidae Pocillopora P. verrucosa* Spermonde Oculinidae Galaxea G.fascicularis** Spermonde Euphyllidae Euphyllia E.ancora** Spermonde E.glabrescen** Spermonde Fungiidae Fungia F.fungites** Orpheus Is F.concina** Orpheus Is Ctenactis crassa** Orpheus Is Heliofungia H.actiniformis** Spermonde Caryophyllidae Catalaphyllia C.jardiney** Spermonde Keterangan : * polip kecil ** polip besar

51 25 Yang termasuk karang polip kecil dalam Tabel 2 di atas yakni dari genera Acropora : A.loripes, A. digitifera, A. cerealis, A.nasuta, A.aculeus, Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa. Sedangkan yang termasuk karang berpolip besar yakni : Euphyllia glabrescen, Heliofungia actiniformis, Catalaphyllia jardiney, Galaxea fascicularis, Euphyllia ancora dan Euphyllia glabrescen. Spesies-spesies karang dari hasil penelitian lain di Kepulauan Spermonde : A. nobilis dan Pocillopora verrucosa (Rani 2004), Euphyllia ancora dan Euphyllia glabrescen (Patiung 2011), Heliofungia actiniformis (Romawanti 2006), dan Galaxea fascicularis (Mustafa 2011). Pola Reproduksi Karang menurut Bulan dan Musim Perbedaan letak geografis antara wilayah kepulauan Spermonde dan GBR Australia memberikan gambaran perbedaan waktu kematangan gonad (gametogenesis) dan waktu puncak pemijahan karang (spawing). Pada daerah dengan kondisi lingkungan yang cenderung konstan seperti daerah tropis Indonesia, periode pemijahan melebar sampai beberapa bulan dan pelepasan gamet terjadi fase bulan yang berbeda (Shlesinger dan Loya 1985, Szmant 1986, Richmond dan Hunter 1990, Hayashibara et al. 1983). Karakteristik perairan sekitar Orpheus Island Great Barrier Reef yang mengenal empat musim memiliki informasi reproduksi yang dan waktu puncak pemijahan berbagai spesies karang. Berbeda dengan perairan tropis seperti di Indonesia, misalnya di Kepulauan Spermonde, dimana perbedaan suhu perairan tidak terlalu menyolok menyebabkan waktu reproduksi karang menyebar sepanjang tahun. Pada penelitian ini tercatat beberapa spesies karang yang matang gonad dan memijah di Kepulauan Spermonde Selat Makassar. Jika dilihat dari periode musim, maka kematangan gonad dan atau pemijahan gamet karang di Kepulauan Spermonde mengikuti pola musim, yakni ada yang memijah pada musim hujan dan ada pula pada musim kemarau. Secara normal, musim hujan berlangsung dari bulan Oktober April, sementara musim kemarau berlangsung dalam bulan April Oktober (Nontji 2007). Pada Tabel 3 terdapat 2 spesies karang memijah pada bulan Desember adalah Euphyllia ancora dan Euphyllia glabrescen, 3 spesies yang memijah pada bulan Februari yakni Catalaphyllia jardiney, Pocillopora verrucosa dan Acropora nobilis. Pada bulan Maret tercatat 6 spesies yang memijah, dimana

52 26 semuanya dari satu genera Acropora yakni A. loripes, A. digitifera, A cerealis, A. nasuta, dan A. aculeus. Delapan spesies karang yang diteliti di Orpheus Island GBR semuanya memijah pada bulan November Setiap tahun pada lokasi yang sama dan spesies yang sama di Orpheus Island GBR berlaku ketepatan waktu pemijahan (synchronous spawning) yang sudah diprediksi sebelumnya. Namun demikian, hasil penelitian lain pada tahun 1980-an dan 1990-an memperlihatkan pemijahan karang di beberapa lokasi dan spesies yang sama di GBR sedikit bergeser dari Bulan November, misalnya pada Bulan Oktober dan Desember. Acropora tenuis yang memijah bulan November 2011 lalu, pernah tercatat memijah pada bulan Oktober di Magnetic Island dan bulan Desember di lokasi lain di GBR (Wallace 1999; Willis et al. 1985). Demikian halnya dengan Acropora millepora cukup banyak ditemukan memijah pada bulan November, namun pernah tercatat memijah pada bulan Desember (Wallace 1999; Richmond dan Hunter 1990). Tabel 3 Pola musim dan bulan) kematangan gonad dan pemijahan karang di Kep.Spermonde dan Orpheus Island GBR. No Spesies Bulan Musim Lokasi Pemijahan SPE 1 Euphyllia ancora* Desember Awal Hujan Spermonde E. glabrescen* SPE 2 Catalaphyllia jardiney* Februari Hujan Spermonde Acropora.nobilis Pocillopora verrucosa SPE 3 A. loripes, A. digitifera Maret Akhir Hujan Spermonde A. cerealis, A. nasuta A. aculeus, Acropora spp SPE 4 Heliofungia actiniformis* Agustus Kemarau Spermonde E.glabrescen* September GBR 1 Acropora tenuis, A. millepora, A.hyacinthus, A. spathullata Galaxea sp* Fungia fungites* F. concina* Ctenactis crassa* November Akhir Semi- Awal Panas Great Barrier Reef GBR 2 A. nasuta, A. listeri A.muricata, A. illepora, A.longicyanthus Keterangan : Desember Awal Musim Panas Great Barrier Reef *karang berpolip besar Data pemijahan bulan Desember diacu dari Wallace (1999) Bagi spesies karang yang berpolip kecil Acropora dan Pocillopora cenderung matang gonad dan atau memijah pada musim hujan atau akhir musim hujan. Sebaliknya karang berpolip besar kematangan gonadnya pada musim

53 27 kemarau seperti Heliofungia actiniformis dan Euphyllia glabrescen. Khusus spesies E.glabrescen tercatat matang gonad dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan tepatnya pada Bulan Agustus dan Desember. Karang polip besar lainnya adalah Catalaphyllia jardiney hanya ditemukan matang gonad pada akhir musim hujan tepatnya pada bulan Februari. Sebaliknya, beberapa spesies karang di Orpheus Island GBR memijah pada awal musim hujan pada bulan November dan atau Desember. Hasil penelitian ini memperlihatkan pemijahan karang baik yang berpolip besar maupun polip kecil pada Bulan November, namun penelitian lain (Wallace 1999) dalam tiga dekade sebelumnya menemukan karang Acropora sekitar Orpheus Island juga memijah serentak pada bulan Desember. Hal ini tergantung pada pengaruh kondisi oseanografi yang memicu kematangan gonad. Sinkronisasi Waktu Pemijahan Karang Hipotesis yang diungkapkan oleh Babcock et al. (1986) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat mengatur secara detail waktu pemijahan tahunan (bulan masehi), malam pemijahan (fase bulan) dan waktu (jam) pemijahan. Pada pembahasan ini penulis menfokuskan pada malam pemijahan (fase bulan) dan waktu (jam) pemijahan dan kaitan kedua faktor tersebut. Pada Tabel 4 dan Gambar 6 tercatat sebanyak 4 spesies karang yang memijah pada tanggal 19 Maret 2011 bertepatan dengan bulan purnama 14 Rabiul Awal 1432 hijryah (-1 BP) yakni dari genera Acropora : Acropora nasuta, A.aculeus, A.digitifera, dan A.cerealis. Demikian juga pada tahun sebelumnya, Acropora loripes memijah pada tanggal 4 Maret 2010 bertepatan dengan dua hari sebelum purnama 13 Rabiulawal 1431 hijryah (-2 BP). Pada tanggal 8 Maret Rabiul Akhir 1433 hijryaah (-1 BP) tercatat 5 spesies karang Acropora spp yang terlihat secara visual matang gonad di P. Badi. Pada tiga tahun terakhir (2010, 2011 dan 2012) data-data tersebut memperlihatkan beberapa spesies Acropora spp di Kepulauan Spermonde memijah secara bersamaan (synchrony time of spawning) dari tahun ke tahun. Semua spesies karang Acropora memijah pada sekitar bulan purnama sekitar bulan Maret. Pada sepuluh tahun yang lalu hasil penelitian Rani (2004) yang menemukan A. nobilis memijah pada bulan Februari Namun fenomena pemijahan yang sinkroni tersebut tidak bisa dikatakan mass spawning atau

54 28 pemijahan masal, karena belum cukup data untuk menjelaskan hal ini. Sebanyak 30 koloni Acropora yang diperiksa terdapat 4 spesies yang terlihat matang gonad bulan Maret 2011 di Pulau Bone Tambu dan sampling berikutnya 30 koloni tercatat 5 koloni dari Acropora spp di terumbu karang Pulau Badi bulan Maret tahun Pada Tabel 4 dan Gambar 6, karang di Orpheus Island memijah serentak pada bulan November dengan variasi malam ( BP) bertepatan dengan bulan Zulhijjah 1432 H. Penelitian ini mencatat 8 spesies karang yang memijah secara exsitu dalam rentang waktu empat hari dari tanggal 14 November sampai 17 November 2011 di Orpheus Island GBR. Karang A. millepora memijah dalam dua malam pada tanggal 17 Zulhijjah (+ 2 BP) dan 18 Zulhijjah (+3 BP). Tabel 4 Spesies Kepulauan Spermonde Waktu pemijahan karang (masehi dan hijryah) di Kepulauan Spermonde Indonesia dan Orpheus Great Barrier Reef Australia. Tanggal Masehi Tanggal Hijryah BP (Bulan Purnama) Acropora loripes 14 Maret Rabiul Akhir +1 BP A Acropora digitifera 19 Maret Rabiul Awal 0 BP L Acropora cerealis 19 Maret Rabiul Awal 0 BP L Acropora nasuta 19 Maret Rabiul Awal 0 BP L Acropora aculeus 19 Maret Rabiul Awal 0 BP L Acropora spp 8 Maret Rabiul Akhir -1 BP Acropora nobilis Februari BP A Pocillopora verrucosa Februari BP 19:00 A Orpheus Island GBR Acropora millepora 14 Nov Zulhijjah +2 BP A Acropora tenuis 15 Nov Zulhijjah +3 BP A Acropora millepora 15 Nov Zulhijjah +3 BP L Acropora tenuis 15 Nov Zulhijjah +3 BP L Ctenactis crassa 15 Nov Zulhijjah +3 BP L Acropora hycinthus 16 Nov Zulhijjah +4 BP L Fungia fungites 16 Nov Zulhijjah +4 BP L Fungia concina 16 Nov Zulhijjah +4 BP L Galaxea fascicularis 16 Nov Zulhijjah +4 BP L Fungia concina 17 Nov Zulhijjah +5 BP L Keterangan : L = di laboratorium, A = di alam BP = bulan purnama (+) setelah (-) sebelum Jam

55 29 Karang jenis A. tenuis dan Ctenactis crassa memijah dalam satu malam tanggal 15 November 2011 bertepatan 18 Zulhijjah (+3 BP). Hingga malam ke-4 bulan purnama (+ 4BP) ada empat spesies karang : A. hyacinthus, Fungia fungites, Fungia concina, dan Galaxea fascicularis memijah secara sinkroni pada malam yang sama pada tanggal 16 November Pada akhir pengamatan malam ke-5 (+5 BP) spesies karang jamur F. concina masih melepaskan gametnya pada jam 24:00. Suatu rekor pemijahan yang sangat telat dari semua kejadian pemijahan semua spesies. Kep. Spermonde +bulan purnama P.verrucosa A.nobilis Catalaphyllia A.loripes Heliofungia E.glabrescen (6a) Heliofungia E.ancora E.glabrescen Galaxea Bulan masehi (Jan-Des) A.digitifera A.cerealis, A.nasuta, A.aculeus A. loripes Orpheus Island GBR, Australia 6 + malam purnama F.fungites Galaxea F.fungites F.concina A.millepora A.hyacinthus Ctenactis A. tenuis A. tenuis A.millepora Bulan masehi (Okt-Des 2011) (6b)

56 30 Gambar 6 Waktu kematangan gonad dan pemijahan karang (bulan masehi dan fase bulan) di (2a) Kepulauan Spermonde Sulawesi dan (2b) Orpheus Island GBR Dari beberapa data waktu pemijahan dianalisis menggunakan regresi linear terungkap bahwa semakin jauh dari bulan purnama, maka waktu (jam) pemijahan karang juga makin larut malam hingga barasan tertentu. Hipotesis tersebut dapat dibuktikan pada grafik (Gambar 7) yang memperlihatkan korelasi antara fase bulan purnama dan waktu (jam) pemijahan. Grafik tersebut memperlihatkan adanya korelasi positif fase bulan dan waktu (jam) pemijahan, bahwa semakin jauh dari bulan purnama, maka waktu (jam) pemijahan karang akan semakin telat ke waktu tengah malam (dini hari). Hal ini dibuktikan degan persamaan korelasi yang dihasilkan : Y = 0,037x + 0,186 dengan kekuatan korelasi cukup kuat R 2 = 0,808. 1:55 0:00 jam pemijahan 22:04 20:09 18:14 16:19 y = 0.037x R² = : malam bulan hijryyah Gambar 7 Korelasi antara malam bulan hijryyah dan waktu (jam) pemijahan karang. Menurut Willis et al. (1985) bahwa waktu (jam) pemijahan karang tergantung pada penyinaran bulan. Pendapat Willis et al. (1985) tersebut belum secara rinci menyebutkan dengan tegas atau dibuktikan hubungan antara kedua faktor waktu tersebut. Pendapat lain Penland et al. (2004), van Woesik et al. (2006) bahwa penentuan bulan pemijahan tergantung pada penyinaran matahari di waktu siang, tapi mereka menepik, kondisi penyinaran dan cuaca yang bagaimana yang mendukung pra-pemijahan belum diketahui dengan pasti. Yang

57 31 jelas, menurut Willis et al. (1985) bahwa waktu pemijahan di malam hari diatur oleh periode pasang surut (akan dijelaskan pada sub pembahasan berikut). Pelepasan gamet karang terjadi pada saat pemijahan masal yang terjadi secara sinkroni (Babcock et al. 1986). Pemijahan massal yang sinkron merupakan tipe yang umum terjadi dalam kurun waktu tahunan dan mencapai puncaknya pada waktu beberapa jam setelah matahari terbenam dan mengikuti fase bulan purnama. Hipotesis ini telah banyak dibuktikan namun tergantung pula pada kesiapan (perkembangan) gonad (gametogenesis) sebelum pemijahan. Jika gonad berkembang secara optimal pada masing masing stadium, maka akan terjadi kesuksesan fertilisasi setelah pemijahan. Karang memiliki respon bertingkat terhadap waktu untuk melakukan pemijahan secara sinkron : a) circal-annual (tingkatan bulan), 2) circal-lunar (tingkatan hari) dan c) circal-diel (tingkatan jam) dalam jarak waktu yang tepat sehingga para peneliti mempelajari fisiologi dari binatang karang (Babcock et al. (1986), Van Woesik et al. (2006). Semua spesies karang genus Acropora dalam penelitian ini memijah di awal malam (18:10 20:00) tergantung spesiesnya, kecuali Acropora hyacinthus memijah pada jam di Orpheus Island. Empat spesies Acropora digitifera, A. nasuta, A.aculeus dan A.cerealis di Kepulauan Spermonde lebih awal melepaskan gamet yakni pada jam 18:00 19:00 saat bulan purnama (0 BP). Sementara Kelompok genus Acropora yang berasal dari Orpheus Island memijah pada jam 19:20-21:00 (waktu Queensland Australia) lebih lambat dibanding dengan waktu pemijahan di Spermonde Indonesia. Fukami et al. (2003) mencatat waktu pemijahan karang spesies A.digitifera dan A. gemmifera dari jam 21:00 sampai jam 22:00 sementara A. tenuis memijah dari jam 19:00 hingga 20:00.waktu setempat. Akan tetapi hal ini tergantung pada waktu tenggelamnya matahari yang berbeda-beda menurut lintang bumi. Setelah matahari tenggelam, ada jedah waktu hingga munculnya sinar bulan purnama. Namun bila menjauh dari bulan purnama, maka jedah waktu gelap akan lebih lama. Kondisi gelap ini dimanfaatkan oleh semua individu dan spesies karang untuk segera melepaskan gametnya. Dalam penelitian ini, karang melepaskan gamet pada suasana gelap diperkirakan menit sebelum terbit bulan yang disesuaikan dengan kondisi air tenang saat puncak atau lembah pasut. Pernyataan tersebut masih perlu dibuktikan dengan

58 32 penelitian lebih lanjut. Hal ini sekaligus merupakan kekurangan dalam penelitian ini tidak mencatat waktu tenggelamnnya matahari dari hari ke hari selama pemijahan berlangsung, sehingga tidak diketahui dengan pasti berapa jedah waktu antara matahari terbenam dan waktu mulai terbit bulan dan atau mulai karang memijah. Pemijahan karang yang sinkron bisa ditentukan waktunya berdasarkan bulan masehi dan bulan hijryyah. Selanjutnya dari bulan hijryyah, waktu pemijahan karang ditentukan oleh fase bulan dan waktu terbitnya bulan. Dengan demikian, pemijahan karang secara sinkron ini menjadi dasar pemikiran bahwa beberapa spesies Acropora lain dalam kawasan yang sama memiliki peluang yang sama untuk memijah dalam waktu yang sinkron. Pemijahan masal karang bisa diprediksi berdasarkan a) circa-annual untuk prediksi bulanan), b) circa-lunar untuk prediksi hari) dan c) circa-diel untuk prediksi jam). Setelah dua dekade mempelajari pola reproduksi ( ), berdasarkan pengalaman dan informasi ilmiah, maka Pharoh and Willis diacu Baird et al.(2009) mampu memprediksi waktu pemijahan karang selama dua dekade ke depan hingga 2014 (Gambar 8). Tahun Jan 1 Des 1 Nov 1 Oct 1 Sept 1 Keterangan lingkaran : Putih = posisi pada bulan Sept-Jan bulan purnama setiap tahun. Kuning : pemijahan masal yang hanya terjadi satu bulan. Merah : pemijahan dalam 2 bulan. Biru : prediksi tahunan. Dirancang oleh A. Pharaoh & B.Willis (Baird et al. 2009) Gambar 8 Pola waktu (tanggal, bulan dan tahun) dan prediksi pemijahan karang di Orpheus Island Central Great Barrier Reef (Baird et al. 2009).

59 33 Kondisi Lingkungan Pemijahan Karang Pada penelitian ini, data kondisi meteorologi dan oseanografi secara time series (suhu perairan, curah hujan, dan pasang surut) tersedia untuk menjelaskan hubungannya dengan waktu pra dan saat pemijahan. Suhu perairan yang tercatat selama empat bulan (Januari April 2011) di Kepulauan Spermonde berkisar antara 26,5 32,5 o C dengan rata-rata 29,7 ± 0,8 o C. Suhu tersebut lebih tinggi dibanding dengan suhu rata-rata tahunan 29,08 o C (Gambar 9b). Pada saat pemijahan karang berlangsung di Kepulauan Spermonde tanggal 19 Maret 2011 suhu tercatat 30,3 o C lebih tinggi dari pada suhu ratarata tahunannya. Namun pada tujuh hari sebelum dan sesudah pemijahan, suhu perairan berkisar 29,0 30,8 o C (Gambar 9a). Kisaran suhu sebelum waktu pemijahan merupakan faktor kondisi persiapan pemijahan, sebaliknya setelah pemijahan merupakan faktor penentu kelanjutan hidup larva dan pemulihan induk karang Suhu di Kep Spermonde, Makassar A. aculeus A. nasuta A. loripes A. digitifera A. loripes 30,3 o C (9a) (9b) Gambar 9 Suhu perairan laut (9a) Kepulauan Spermonde Makassar (September April) dan (9b) rata-rata suhu tahunan Perairan Orpheus Island GBR.

60 34 Grafik perubahan suhu perairan sekitar Orpheus Island GBR yang diperoleh dari stasiun AIMS Sensor Float 2 Orhpeus Island 2012 (Gambar 9b). Dari grafik tersebut terlihat fluktuasi suhu tahunan antara o C. Variasi suhu harian yang terukur pada tahun 2011 tertinggi mencapai 30 o C pada bulan Januari dan terendah 21 o C pada bulan Juli. Dari bulan Juli, suhu perairan di Orpheus Island terus naik hingga kembali memuncak bulan Januari Selama kenaikan suhu tersebut pada bulan November 2011 tercatat beberapa spesies karang memijah serentak mass spawning di Orpheus Island GBR. Suhu perairan pada saat itu tercatat 27 o C, namun beberapa hari sebelumnya suhu perairan lebih rendah, sekitar 26 o C yang juga berpengaruh terhadap kesiapan pemijahan. (10a) (10b) Gambar 10 Kondisi pasang surut Kep. Spermonde Makassar dan Orpheus Island, GBR Australia beserta posisi pasut saat saat pemijahan tiap spesies karang.

61 35 Suhu permukaan air dipengaruhi oleh penyinaran matahari, sementara suhu perairan merupakan faktor input lingkungan yang mempengaruhi proses gametogenesis dalam siklus skala tahunan (Baird et al. 2009). Meskipun pemijahan terjadi pada suhu permukaan air (SST) tertentu, namun demikian suhu bukanlah satu-satunya faktor yang bisa menentukan waktu pemijahan di Australia pantai timur dan pantai barat dengan pola SST yang sama (Baird et al. 2009). Pada sisi lain, perubahan penyinaran matahari merupakan prediktor atau penanda yang bagus secara empirik menentukan waktu pemijahan pada studi kasus Montastrea annularis di Laut Karibia (Van Woesik et al. 2006). Posisi tinggi muka air laut saat pemijahan di Kepulauan Spermonde Indonesia (Gambar 10a) berbeda dengan di Orpheus Island Great Barrier Reef (Gambar 10b). Pada saat berlangsungnya pemijahan karang Acropora di Indonesia posisi muka air berada di puncak pasang tinggi dengan range pasut 0,9 meter, sebaliknya di Orpheus Island pemijahan berlangsung pada tunggakan pasang pertama dan surut terendah dengan range pasang sebesar 1,3 meter, kemudian berturut menurun sesuai dengan berkurangnya fase bulan purnama. Tipe pasang antara dua lokasi tersebut berbeda, dimana di Spermonde pasang surut bertipe campuran yang condong ke harian ganda, sementara di Orpheus tipe pasang surutnya berupa tipe campuran condong ke harian tunggal. Pemijahan empat spesies karang Acropora di Kepulauan Spermonde berlangsung pada posisi puncak air tertinggi (puncak purnama). Pada saat itu posisi bulan purnama disebut supermoon tahun 2011, artinya bulan yang mancapai ukuran terbesar sepanjang waktu. Waktu pemijahan GBR berada pada posisi puncak dan lembah kedua hingga pada posisi surut terendah. Harrison et al. (1984) mengatakan bahwa salah satu faktor kegagalan reproduksi bagi biota laut yang memijah masal dan sinkroni adalah hujan lebat. Berdasarkan hal tersebut maka strategi reproduksi yang dilakukan dengan menenggelamkan sebagian konsentrasi sperma dan telur ke kolom air sehingga terjadi fertilisasi, sehingga banyak hipotesis yang berupaya menjelaskan tingkahlaku waktu pemijahan seperti memijah pada saat surut terendah di sekitar Central Great Barrier Reef untuk mensukseskan fertilisasi (Babcock et al. 1986). Salah satu parameter lingkungan meteorologi yang diperkirakan mempengaruhi massa air laut adalah curah hujan. Jika dihubungkan dengan pemijahan biota laut, maka variasi curah hujan tahunan di berbagai wilayah berkaitan dengan waktu pemijahan. Musim hujan di Perairan selat Makassar

62 36 terjadi dalam kurun waktu Oktober April. Pada Gambar 11a data curah hujan dari bulan Desember hingga April tergolong tinggi. Puncak curah hujan tertinggi rata-rata tahunan ( ) terjadi pada bulan Januari sebesar 714,83 mm. Pada tahun 2011 curah hujan hampir merata pada Januari-Maret dengan puncak tertinggi pada Maret sebesar 592,5 mm lebih rendah dibanding rata-rata tahunannya. Pada saat yang sama yakni bulan Maret tahun terjadi pemijahan karang berbagai spesies genus Acropora di Kepualaun Spermonde. curah hujan (mm) curah hujan (mm) Kepulauan Spermonde Makassar T.2011 T Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Orpheus Island, GBR Australia T.2011 T Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt (11a) (11b) Gambar 11 Curah hujan rata-rata tahunan 11a) Kepulauan Spermonde Makassar ( ) 11b) Orpheus Island GBR ( ) Sumber data : 11a) Stasium meteorologi maritim paotere Makassar, 11b) Bureau of Australian Meteorology climate/data. Gambar 11b menunjukkan rata-rata tahunan ( ) curah hujan di Orpheus Island tertinggi terjadi pada bulan Februari, sementara pada tahun 2011 curah hujan tinggi hanya terjadi pada dua bulan Februari-Maret (698,6 mm

63 37 dan 834,2 mm). Namun demikian, pada lokasi ini curah hujan yang rendah pada bulan November (65,8 mm) merupakan kondisi waktu yang tepat untuk karang pemijahan. Suatu kondisi curah hujan yang kontradiksi antara Spermonde dan Orpheus Island, dimana karang memijah pada kondisi curah hujan maksimum pada bulan Maret di Spermonde, sebaliknya karang di Orpheus memijah pada kondisi curah hujan yang minim. Selama 4 hari pengamatan pemijahan karang, jarang terjadi hujan di lokasi penelitian, cuaca masih cenderung panas dan kadang pula mendung. Namun tujuh hari sebelumnya dan empat hari setelah pemijahan terakhir sempat terjadi turun hujan dengan intensitas ringan. Variasi nilai faktor lingkungan perairan yang tercatat saat pemijahan dan matang gonad setiap jenis karang di Kepulauan Spermonde dalam rentang yang relatif kecil. Suhu perairan pada saat karang memijah dan matang gonad berada dalam rentang 29,31 30,3 o C dan ph yang relatif konstan 7,34 7,88, dan salinitas dalam rentang tinggi ppt. Salinitas yang tinggi tercatat pada musim kemarau dan sebaliknya salinitas yang rendah pada saat musim hujan juga menjadi preferensi bagi karang yang memijah. Curah hujan yang tinggi saat pemijahan karang maksimum tercatat pada bulan Maret mendekati 600 mm dan minimum pada bulan Agustus-Sptember (Tabel 5). Berdasarkan analisis multivariat (Bray-Curtis) terhadap variabel lingkungan perairan saat pemijahan dan kematangan gonad karang di Kepulauan Spermonde, maka terbentuk dua klaster besar yang diikuti oleh klaster jenis-jenis karang. Klaster pertama terbentuk karang yang berpolip kecil dan klaster kedua terbentuk pantuk pada karang yang berpolip besar. Klaster pertama kelompok karang berpolip kecil yang terdiri dari semua jenis Acropora diberikan penciri variabel lingkungan saat musim hujan dengan suhu dan salinitas yang rendah, curah hujan yang tinggi. Sebaliknya klaster ke dua yang terdiri dari jenis karang berpolip besar memiliki penciri variabel lingkungan pada musim kemarau dimana curah hujan yang rendah, suhu perairan dan salinitas yang tinggi. Kedua klaster tersebut memperjelas perbedaan kondisi lingkungan antara dua kelompok karang saat pemijahan dan kematangan gonadnya.

64 38 Tabel 5 Jenis karang Variabel lingkungan saat pemijahan dan matang gonad karang polip besar dan polip kecil di Kepulauan Spermonde Makassar Bulan masehi Fase bulan Suhu ( o C) ph Salinitas (ppt) Curah Hujan (mm) A.loripes Maret Purnama 29,6 7, ,5 A.digitifera Maret Purnama 30,3 7, ,5 A.cerealis Maret Purnama 30,3 7, ,5 A.nasuta Maret Purnama 30,3 7, ,5 A.aculeus Maret Purnama 30,3 7, ,5 A.nobilis Februari Purnama 29,5 7, ,7 P.verrucosa Maret Purnama 29,5 7, ,7 Catalaphyllia April gelap/baru 29,5 7, ,7 Heliofungia Agustus gelap/baru 29,31 7, Heliofungia September gelap/baru 30,21 7, E.glabrescen Agustus gelap/baru 29,31 7, E.glabrescen Desember gelap/baru 29,79 7, ,0681 E.ancora Desember gelap/baru 29,79 7, ,0681 kelompok polip besar kelompok polip kecil Gambar 12 Hasil analisis dendrogram (Euclidian Distance) terhadap spesies berdasarkan faktor multifaktor lingkungan pemijahan.

65 39 PEMBAHASAN Jumlah spesies karang keras (Scleractinia) yang telah diteliti kematangan gonad dan pemijahannya di Kepulauan Spermonde sebanyak 13 spesies, merupakan rekor terbanyak dibanding lokasi terumbu karang lainnya di Indonesia. Misalnya dari kawasan tiga gili Selat Lombok tercatat Acropora nobilis, A. cytherea (Bahtiar 2002), di Pulau Panjang, Jepara dari spesies Acropora aspera (Munasik dan Wijatmoko, 2004), Caulastrea furcata dan Lobophyllia corymbosa dari Kepulauan Seribu (Kawaroe et al. 2007). Secara komparatif, Indonesia memiliki luas terumbu karang terbesar dan keanekaragaman tertinggi di dunia, namun informasi reproduksi karang masih sangat minim. Terumbu karang Indonesia memiliki karakteristik yang sangat spesifik karena berada dalam lingkungan geografik dan topografi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut makin diperkuat oleh distribusi terumbu karang yang tersebar seluruh diperairan yang dipengaruhi oleh berbagai massa air lautan dunia seperti di sebelah utara di Lautan Pasifik dan Lautan Cina Selatan, sebelah selatan dipengaruhi oleh Lautan Hindia dan pengaruh perairan pedalaman Indonesia sendiri. Reproduksi karang berpolip kecil telah dilaporkan oleh oleh Richmond dan Hunter (1990), Willis et al. (2006). Sebanyak 250 spesies karang keras dari 500 spesies telah diteliti model dan waktu reproduksinya di seluruh dunia (Wallacea 1999). Menurut Willis et al. (2006) bahwa di Great Barrier Reef Great lebih dari 30 spesies karang yang memijah dalam waktu atau malam yang sama pada lokasi terumbu yang sama. Sekitar 143 spesies karang melepaskan gamet dalam satu minggu di sekitar bulan purnama pada bulan Oktober dan atau November. Sementara hasil penelitian di Laut Merah tercatat 24 spesies telah diketahui waktu reproduksinya (Shlesinger dan Loya 1985; Shlesinger et al. 1998) dan hanya 19 spesies diantaranya melepaskan gonad (spawner) (Shlesinger et al. 1998). Selain yang tercatat dalam penelitian ini, pemijahan karang keras multi spesies di daerah tropik diawali penelitian dari terumbu karang Singapura (Guest et al. 2002). Hal ini menunjukkan adanya fenomena yang luar biasa dari terumbu karang tropik dengan fluktuasi lingkungan yang kecil (Baird and Babcock 2000, Guest et al. 2002). Sebanyak 13 spesies karang keras baik yang polip kecil maupun yang polip besar telah diketahui memijah dan matang

66 40 gonad di Kepulauan Spermonde sehingga penelitian ini juga berkontribusi menambah catatan pemijahan terumbu karang tropik umumnya dan di Indonesia khususnya. Menurut Munasik (2002), dalam setahun musim reproduksi karang di Indonesia (studi kasus Laut Jawa) terbagi dalam tiga periode, yakni : 1) karang memijah sebelum musim hujan (Oktober November), 2) karang memijah saat dan setelah musim hujan (Januari April), 3) karang memijah sepanjang tahun atau tidak dipengaruhi oleh musim seperti karang brooding. Dalam penelitian ini tercatat karang memijah atau matang gonad sepanjang tahun dari spesies yang berbeda-beda, bahwa ada yang dua kali dalam setahun. Kelemahan dari teori Munasik belum memasukkan bulan Desember sebagai bulan pemijahan atau kematangan gonad bagi karang berpolip besar. Selain itu, teori tersebut belum ditunjang oleh data yang cukup dari lokasi penelitiannya (Kepulauan Karimun Jawa) juga data dari kawasan terumbu karang Indonesia. Oleh karena itu, khusus kawasan terumbu karang Spermonde, penulis membagi musim pemijahan karang ke dalam tiga musim yakni : 1) awal dan akhir musim hujan (November-Desember) dan Februari-Maret), 2) musim kemarau (Juni-Juli) dan 3) musim pancaroba akhir (Agustus-September). Ada beberapa alasan yang bisa dikemukan, antara lain walaupun secara regional Indonesia memiliki musim yang sama, namun musim dalam skala lokal akan bervariasi menurut karakteristik wilayahnya. Misalnya arah angin di belahan utara khatulistiwa berbeda dengan di belahan selatannya. Kepulauan Spermonde lebih banyak dipengaruhi massa air Selat Makassar (Arlindo) yang berbeda dengan massa air Laut Jawa. Biasanya beberapa anggota spesies dari genus Acropora di berbagai lokasi terumbu karang dunia melepaskan gamet secara sinkron terutama di Great Barrier Reef (Babcock et al. 1986, Willis et al. 1985; Richmond dan Hunter 1990), di Red Sea (Hanafy et al. 2010; Richmond dan Hunter 1990). Lebih lanjut Hanafy et al. (2010) mengatakan bahwa proporsi kematangan gonad Acropora secara sinkroni di Red Sea lebih tinggi dibanding dengan di Great Barrier Reef, walaupun jumlah spesies genus Acropora lebih banyak di Great Barrier Reef. Baird et al. (2002) mencatat proporsi genus Acropora yang spawning secara sinkroni sekitar 72% di GBR tengah, 63% di GBR bagian utara dan 66 % di terumbu karang pantai barat Australia. Sekitar terumbu karang Red

67 41 Sea tercatat 85 % di lokasi Marsa Alam Reef bulan April 2008 dan 99% bulan April 2009 di Hurghada Reef. Sebagai bahan perbandingan pemijahan karang multi spesies di kepulauan Spermonde Indonesia, Guest et al. (2002) telah meneliti adanya pemijahan multi spesies sekitar daerah terumbu karang tropis. Sementara di Great Barrier Reef, pemijahan sinkroni multispesies merupakan fenomena yang khas terjadi setiap tahun (Harrison dan Wallace 1990). Sekitar 105 spesies karang telah diketahui waktu pemijahan di Graet barrier Reef (Babcock et al. 1986, Willis et al. 1985) dan waktu pemijahan berikutnya sudah bisa diprediksi hari dan tanggal dan bulannya (Paraoh and Willis diacu Baird et al. 2009) pemijahan berdasarkan pengalaman dan perhitungan astronomi peredaran bulan. Hipotesis yang paling umum berlaku bagi biota laut dan hewan karang bahwa isyarat lingkungan memberikan respon terhadap mekanisme fisiologi untuk mengatur reproduksi baik skala tahunan, hari (malam), dan jam pemijahan (Babcock et al. 1986). Berbagai faktor lingkungan yang kompleks yang turut menentukan waktu reproduksi karang, misalnya suhu air (Baird et al. 2009), siklus bulan purnama dan pasang surut (Wiilis et al.1985), variasi suhu tahunan dan penyinaran matahari (Mendes dan Woodley 2002; Brady et al. 2009). Variasi lingkungan yang besar berperan penting dalam waktu reproduksi. Menurut Oliver et al. (1988) bahwa pemijahan masal terjadi wilayah yang memiliki fluktuasi lingkungan yang besar. Pada semua lokasi pemijahan, variabel suhu bukanlah faktor yang menentukan waktu pemijahan karang. Temperatur merupakan ultimate factor atau faktor yang memberikan sinyal awal bagi reproduksi karang atau gametogenesis. Karang di Orpheus atau di GBR umumnya membentuk gametogenesis pada suhu yang sedang meningkat, lalu memijah pada suhu 27 o C. Peranan suhu pada kejadian pemijahan karang dijelaskan oleh Willis et al. (1985). Terumbu karang di tepi daratan utama lebih besar pengaruh suhu perairan terhadap waktu pemijahan dibanding dengan karang yang berada di laut lepas di GBR tengah. Spesies karang yang tumbuh di dekat pantai daratan utama lebih cepat memijah sebulan sebelum karang yang tumbuh di daerah terumbu tengah dan terumbu luar (Babcock et al. 1986; Willis et al. 1985). Pemijahan empat spesies karang Acropora di Kepulauan Spermonde berlangsung pada puncak pasang air tertinggi (puncak purnama), posisi bulan

68 42 purnama supermoon. Sementara di GBR, waktu pemijahan berada pada posisi puncak dan lembah kedua hingga pada posisi surut terendah. Musim hujan di Makassar terjadi pada Oktober April. Curah hujan dari bulan Desember hingga April tergolong tinggi. Puncak curah hujan tertinggi rata-rata tahunan ( ) bulan Januari. Pada saat yang sama yakni bulan Maret tahun terjadi pemijahan karang berbagai spesies genus Acropora di Kepualaun Spermonde. Suatu kondisi curah hujan yang kontradiksi antara Spermonde dan Orpheus Island, dimana karang memijah pada kondisi curah hujan maksimum pada bulan Maret di Spermonde, sebaliknya karang di Orpheus memijah pada kondisi curah hujan yang minim. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Pola reproduksi karang di perairan tropis Indonesia berlangsung sepanjang tahun, dimana karang berpolip kecil memijah pada musim hujan dan berpolip besar pada musim kemarau. Sedangkan di Orpheus Island GBR semua spesies karang memijah secara masal pada awal musim panas. 2. Karang Acropora spp di perairan tropis memijah secara sinkron (synchronous spawning) namun tidak secara masal. Karang berpolip kecil memijah pada bulan purnama dan berpolip besar sekitar bulan gelap atau bulan baru. SARAN 1. Penelitian ini masih terbatas pada beberapa spesies karang sekitar Kepulauan Spermonde, maka diperlukan suatu observasi lebih banyak terhadap berbagai spesies karang di berbagai lokasi terumbu karang agar diketahui pola dan waktu reproduksi di Indonesia. 2. Untuk kebutuhan aplikasi pemijahan exsitu karang hias dalam labortaorium, masih diperlukan informasi waktu reproduksi berbagai jenis karang tersebut untuk produksi masal guna memenuhi permintaan karang hias yang cukup besar.

69 43 DAFTAR PUSTAKA Australian Inst itute of Marine Science Water temperature on Orpheus Island Sensor Float #2nd long term. [terhubung berkala]. http :// watcher/orpheus. Babcock RC, Bull GD, Harrison PL, Heyward AJ, Oliver JK Synchronous spawning of 105 scleractinian coral species on the Great barrier Reef. Mar.Biol 90 : Bahtiar I Reproduction of Three Scleractinian Corals (Acropora cytherea, A. nobilis, Hydnophora rigida) In Eastern Lombok Strait, Indonesia. Thesis of Jamescook University, Townsville Australia Bahtiar I Promoting recruitment of Scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat Indonesia. Proc 9th International Coral Reef Symposium. Bali Indonesia, October 23-27, Royalindo Convention International Baird AH, Hughes TP, Nojima S, Pratchett MS, van Woesik R, Yamasaki H Latitudinal pattern in spawning synchroni in the Acropora. Japan vs Great Barrier Reef. Galaxea, Journal of Coral Reef Studies 11: 37 Baird AH, Guest JR, Willis BL, Systematic and biogeographycal patterns in the reproductive biology of scleractinian corals. Annu. Rev.Evol. Syst 40: [terhubung berkala]. [2 Maret 2011]. Baird AH, Marshal PA, Wolstenholme J Latitudinal variation in the reproduction of Acropora in the Coral Sea. Proc 9th Int Coral Reef Symp I : Baird AH, Babcock RC Morphological differences among three species of newly settle pocilloporoid coral recruits. Coral Reefs 19 : Baird H A, et al Temperature tolerance of symbiotic and non-symbiotic coral larvae. Didalam : Proceedings of 10th International Coral Reef Symposium Brady AK, Hilton JD, Vize PD Coral spawning timing is direct response to solar light cycles and is not an entrained circadian response. Coral Reefs 28 : Bureau of Meteorology of Australia Daily Rainfall of Palm Island Water Treat station number : State: QLD. bom.gov.au/climate/data.html.[ 2 Maret 2012] Fukami H, Omori M, Shimoike K, Hayashibara T, Hatta M Ecological and genetic aspects of reproductive isolation by different spawning times in Acropora corals. Mar.Biol. 142 :

70 44 Guest JR, Chou LM, Baird AH, Goh BPL Multispecific, synchronous coral spawning in Singapore. Coral Reefs 21 : Guest J, Heyward A, Omori M, Iwao K, Morse A, Boch C, Rearing coral larvae for reef rehabilitation. Di dalam : Edwards Aj. Editor. Reef rehabilitation manual. Coral Reef. St.Lucia Australia Targeted Research and Capacity Building for Management Program Hanafy MH, Aamer MA, Habib M, Rouphael AB, Baird AH Synchronous reproduction of corals in the Red Sea. Coral Reefs 29 : Harrison PL, babcock RC, Bull GD, Oliver JK, Wallace CC, Willis BL Mass spawning in tropical reef corals. Science 223 : Harrison PL, Wallace CC Reproduction, dispersal and recrutment of scleractinian corals. Di dalam : Hanafy, editor. Coral Reefs 29 : Hoeksema BW Systematic and Ecology of Mushroom Corals (Scleractinia-Fungiidae). [ PhD Thesis] Leiden Netherland. Hunter CL Environmental cues of controlling spawning in two Hawaiian corals : Montipora verrucosa and Montipora dilatata. Di dalam : Richmond RH and Hunter CL, Reproduction and recruitment of corals : comparisons among the caribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog Ser 60 : hlm Jompa J, Moka W, Yanuarita D Condition of Spermonde Ecosystem: Its Relationship with the Utilization of Maritime Resources of the Spermonde Archipelago (tidak dipublikasikan). Kawaroe M, Soedharma D, Maulinia, Oogenesis of scleractinian corals Caulastrea furcata dan Lobophyllia corumbosa [Short Communication]. Hayati 14 : Kenyon JC Acropora (Anthozoan : Scleractinia) reproductive synchrony and spawning phenology in the nothern Line Island, Central Pacific, as inferred in size classes of developing oocyte. Pac. Sci. 62 : Kojis BL, Quinn NJ Mode and timing of sexual reproduction in some members of the hermatipic coral family Faviidae. Di dalam : Kojis BL, Quinn NJ Aspect of sexual reproduction and larval development in the shallow water hermatipic coral, Goniastrea australiensis (Edward and haime, 1857). Bull Mar Sci 31 (3): Kojis BL, Quinn NJ Aspect of sexual reproduction and larval development in the shallow water hermatipic coral, Goniastrea australiensis (Edward and Haime, 1857). Bull Mar Sci 31 (3): Loya Y, Sakai K, Heyward A Reproductive pattern of fungiid corals in Okinawa, Japan. Galaxea 11 :

71 45 Mendes JM, Woodley JD Timing of reproduction in Montastrea anularis : relatioship to environmental variabels. Mar. Ecol. Prog. Ser. 227 : Munasik Reproduksi seksual karang di Indonesia : Suatu kajian. Konperensi Nasional III Wilayah Pesisir dan Laut. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia; Bali Mei Munasik, Wijatmoko W Sexual reproduction of coral Acropora aspera from Panjang Island: (I. Gametogenesis). Indonesian Journal of Marine Sciences. 9 (4) : Mustafa R Studi perkembangan gonad karang keras Galaxea fascicularis (Linnaeus 1767) di Pulau Badi Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nontji A Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta. Oliver JK, Babcock RC, Harrison PL, Willis BL Geographic extent of mass spawning: clues to ultimate causal factors. Di dalam : Wild C et al, editor; Biogeochemical responses following coral mass spawning on the Great Barrier Reef : pelagic-benthic coupling. Coral Reefs 27 : Patiung R Keterkaitan sinyal reproduksi alam dalam proses reproduksi dan perkembangan sel telur karang keras (Scleractinia) polip besar di Pulau Badi Makassar. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penland L, Kloulechad J, Idip D, van Woesik R Coral spawning in the western Pacific Ocean in related to solar isolation : evidence of multiple spawning event in Palau. Coral Reefs 23 (1) : Rani C Reproduksi seksual karang skeraktinia Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa di terumbu karang tropik Pulau Barrang Lompo, Makassar [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.. Richmond RH, Hunter CL Reproduction and recruitment of corals : comparisons among the caribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog Ser 60 : Romawanti SA Studi perkembangan gonad karang Heliofungia actiniformis (Fungiidae) di Pulau Barrang Lompo Makassar Sulawesi Selatan [Skripsi]. Makassar : Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Hasanuddin. Secore [Sexual Coral Reproduction] Coral Reproduction Training (31st March April 7th 2009). National University of Singapore. [terhubung berkala] [Maret 2010].

72 46 Shlesinger Y, Loya Y Coral community reproductive patterns : Red Sea versus the Great Barrier Reef. Science Magazine. [terhubung berkala]. http :// [3 April 2008]. Shlesinger Y, Goulet TL, Loya Y Reproductive pattern of scleractinian corals in the nothern Red Sea. Di dalam : Hanafy et al. (editor) 2010 Synchronous reproduction of corals in the Red Sea. Coral Reefs; 29 : Supranto J Analisis multivariat : Arti dan interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta Szmant AM Reproductive ecology of Caribean reef corals. Coral Reefs 5 : Thamrin Karang : Biologi reproduksi dan ekologi. Pekanbaru : Minamandiri Press. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK The Ecology of the Indonesian Seas Part One. Perplus Hongkong van Woesik R, Lacharmoise F, Koksal S Annual cycles of solar isolation predict spawning times of caribean corals. Ecol Lett 9 : Veron JCE Corals of the world. Volume 1-2. Australian Institute of Marine Sciences and CRR Qld Pty Ltd. Wallace CC Staghorn Corals of the World : A Revision of the Genus Acropora. Australia. CSIRO Willis BL, Babcock RC, Harrison PL, Olover JK, Wallace CC Pattern in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to Proc. 5th International Coral Reef Congress; Tahiti. 4 : Willis BL, van Oppen MJH, Miller DJ, Vollmer SV, Ayre DJ The role of hibridization in the evolution of reef corals. Annual Review of Ecology Evolution and Systematic 37 : [terhubung berkala]. [2 Maret 2011]. Willis, BL, Babcock RC, Harrison PL, Wallace CC Hybridization and breeding incompatibilities within the mating systems of mass spawning reef corals. Di dalam : Lessios HA, Macintyre IG, editor. Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium; Panama, June

73 47 INDUKSI PEMIJAHAN KARANG Acropora tenuis UNTUK MENSTIMULASI RESPON POLIP MELEPASKAN GAMET ABSTRAK SYAFYUDIN YUSUF. Induksi Pemijahan Karang Acropora tenuis untuk Menstimulasi Respon Polip Melepaskan Gamet. Dibimbing oleh : NEVIATY P. ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR, dan JAMALUDDIN JOMPA Persiapan jangka panjang reproduksi karang ditentukan oleh kondisi lingkungan musiman. Sementara waktu pemijahan ditentukan oleh siklus fase bulan yang mempengaruhi pasang surut. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menstimulasi pemijahan gonad karang dalam air. Hal inilah yang melatarbelakangi percobaan induksi fisik pemijahan terkontrol terhadap karang. Penelitian ini bertujuan mengetahui respon waktu pemijahan, tingkahlaku pemijahan dan kelayakan metode induksi fisik pemijahan karang Acropora tenuis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi fisik berupa air mengalir dan aerasi kuat mampu memberikan respon pemijahan karang A. tenuis lebih awal dua jam sebelum waktu normalnya. Tingkahlaku pemijahan karang sebagai respon dari induksi fisik berlangsung normal pada semua fase : sitting, birth, glinding, upward dan brusting yaitu selama 60 menit. Kelebihan dari metode induksi fisik air mengalir dan aerasi kuat ini dimana pasca perlakuan karang tetap sehat. Kata kunci : induksi pemijahan, Acropra tenuis.

74 48 ABSTRACT SYAFYUDIN YUSUF. Spawning Induction of coral species Acropora tenuis to stimulate the polyps responses for gonads releasing. Under direction of: NEVIATY P. ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR, and JAMALUDDIN JOMPA Long-term preparation of coral reproduction was affected by seasonal environmental conditions. While spawning was more affected by moon phases and the tides. Therefore, the physical movement of watermass is the factor that might stimulate coral spawning at the time. This research observed the time response of spawning, spawning behavior and physical feasibility of induction spawning method to Acropora tenuis. Experiment used three treatments of induction i.e. high water flow, strong aeration and combination of them and the another was as control unit. The results showed that the water flow and strong aeration provided spawning response for coral. In addition, A. tenuis spawned earlier two hours than natural spawning. Coral spawning behavior in response to the induction of normal biological progress of spawning phases, i.e. sitting, birth, glinding, upward and brusting had spent for 60 minutes. The advantage of the induction methods was coral colonies still healthy settled toward post-treatment, therefore, it is recomended for coral spawning induction. Key words: spawning induction, Acropra tenuis

75 49 PENDAHULUAN Musim pemijahan karang bervariasi menurut wilayah, waktu dan durasinya (Van Woesik 2010). Selanjutnya, waktu pemijahan karang umumnya terjadi dalam periode tertentu pada setiap populasi dan berlangsung konsisten dari tahun ke tahun dengan variasi yang kecil (Harrison et al. 1984, Babcock et al. 1986, Brady et al. 2009). Spesies karang yang memijah membutuhkan waktu yang sinkron pada jam-jam tertentu, mulai menjelang malam setelah matahari terbenam sampai tengah malam (Veron 2000, Fukami et al. 2004, Omori dan Fujiwara 2004). Jendela waktu karang memijah hanya 1 jam setelah malam tiba baik kondisi bulan gelap atau bulan terang (Ananthasubramaniam et al. 2011). Walaupun tidak bisa dilepaskan dengan waktu malam, paling tidak ada faktor pemicu bagi karang sebelum melakukan pemijahan pada jam tertentu. Pada tingkatan hari (circa-dial), jam pemijahan dipicu oleh pencahayaan siang, asumsi ini menjadi inspirasi percobaan induksi pemijahan melalui manipulasi cahaya (Knowlton et al.1997, Brady et al. 2009). Koringa (1974) mencatat tiga faktor yang menentukan waktu reproduksi pada hewan invertebrata laut, yakni : variasi temperatur tahunan, siklus pasang surut, dan variasi pencahayaan baik penyinaran bulan maupun siklus pergantian siang dan malam (gelap dan terang). Van Woesik (2010) meneliti pelepasan gamet (pemijahan) karang pada kondisi cuaca tenang dan cuaca laut berangin atau gelombang. Dari penelitian tersebut ternyata angin merupakan faktor pemicu (stressor) pemijahan karang, namun karang akan melepaskan gametnya setelah perairan dalam kondisi tenang. Hasil penelitian tersebut memberikan inspirasi untuk menciptakan faktor stimulan pra-pemijahan yang disebut dengan induksi pemijahan atau pemijahan buatan. Walaupun belum banyak informasi dan pengalaman mengenai pemijahan buatan karang sebelumnya, Seikai National Fisheries Research Institute Jepang telah mulai mengembangkan metode induksi pemijahan menggunakan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) sebagai zat perangsang pemijahan gonad (Omori dan Fujiwara 2004). Kelemahannya, bila terjadi kesalahan konsentrasi H 2 O 2 saat eksperimen, akan membawa dampak negatif bagi individu karang dimana akan terjadi sekresi lendir yang berlebihan atau pembuangan zooxanthella selama kontaminasi. Tingkat kegagalan pemijahan

76 50 menjadi lebih besar bila karang mengalami stress dalam larutan kimia tersebut, sehingga metode kimiawi tersebut masih menyisakan pertanyaan. Prinsip dari induksi fisik pemijahan adalah merangsang polip karang secara fisik untuk memberikan reaksi biologis pelepasan gamet. Metode induksi fisik menjadi alternatif untuk pemijahan biota yang dapat memecahkan masalah di atas. Yusuf et al. (2006) telah berhasil memijahkan kerang lola (Trochus niloticus) menggunakan metode fisik (air mengalir, aerasi kuat, dan desikasi atau penjemuran). Pada spesies moluska lain seperti kima (Tridacna spp), pemijahan buatan menggunakan metode penjemuran, peningkatan suhu telah berhasil memberikan rangsangan pemijahan. Akan tetapi, kematangan gonad sebagai prasyarat bagi koloni karang yang akan dipijahkan merupakan hal yang utama. Upaya pemijahan buatan merupakan langkah inisiasi dalam memecahkan masalah sinkronisasi pemijahan karang dalam laboratorium. Sementara aplikasi tehnik pemijahan karang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab apakah metode induksi fisik mampu berfungsi sebagai stressor bagi polip karang untuk memijahkan gametnya. Bila metode ini berhasil merangsang pemijahan karang, maka bisa direkomendasikan sebagai metode pemijahan buatan yang aman bagi koloni karang dibanding dengan bahan kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon waktu pemijahan dan tingkahlaku pemijahan Acropora tenuis melalui metode induksi fisik air mengalir dan aerasi kuat. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dalam Bulan November 2011 di laboratorium Orpheus Island Research Station (OIRS) Great Barrier Reef Jamescook University. Karena bulan November 2011 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan penelitian reproduksi karang sekitar Central Great Barrier Reef (Willis 2011, komunikasi pribadi)

77 51 Persiapan Wadah Perlakuan penelitian Penelitian ini menggunakan wadah rectangle plastik segi empat bervolume 10 liter berukuran 30 x 20 x 20 cm 3 yang diisi air laut tersaring 50 mikron sebanyak 8 liter hingga mendekati 3 cm batas atas baskom. Sebanyak 12 unit wadah rectangle dipersiapkan untuk 4 perlakuan masing-masing 3 kali ulangan. Kebutuhan perlakuan air mengalir disupali dari pipa ½ inch yang diarahkan dari atas wadah rectangle, berikut dengan kebutuhan aerasi kuat. Semua unit perlakuan ditempatkan dalam bak elip fiber (2 x 1 x 0,6 m 3 ) berisi air setinggi 15 cm atau ¾ dari tinggi wadah unit penelitian guna menjaga kestabilan dan keseragaman suhu air laut perlakuan selama penelitian. Wadah unit perlakuan Saluran air Sistem aerasi Kontainer elip Gambar 11 Penempatan unit-unit percobaan induksi pemijahan karang. Koleksi Specimen Karang Acropora tenuis yang matang gonad dikoleksi dari rataan terumbu sekitar Cattle Bay di Orpheus Island Great Barrier Reef Australia. Untuk mengetahui kematangan telur karang, salah satu cabang koloni dipatahkan kemudian dilihat pada bagian patahan apakah ada bintik atau bercak berwarna merah atau kuning atau oranye. Warna tersebut menunjukkan kematangan gonad bagi karang. Sebanyak 3 koloni karang yang berdiameter 50, 45 dan 40 cm dibagi menjadi 12 sub koloni (sampel), masing-masing sampel berukuran sekitar 15 cm. Semua sampel dibawa ke laboratorium menggunakan bak plastik 100 x 50 x 60 cm yang berisi air laut dari perairan

78 52 sumber karang, dimana suhu berkisar antara o C. Karang sampel yang baru diambil diaklimatisasi dahulu dalam bak berisi air tersaring sebelum dilakukan percobaan induksi fisik. Perlakuan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dimana setiap perlakuan bebas ditempatkan secara acak dalam kontainer bak elips. Sebanyak empat perlakuan dengan tiga kali ulangan, dimana perlakuan A adalah karang yang diberi rangsangan air mengalir, perlakuan B adalah karang diberi rangsangan aerasi kuat, perlakuan AB adalah karang yang diberi rangsangan gabungan antara air mengalir dan aerasi kuat, perlakuan C adalah kontrol yang hanya diberi sedikit aliran air agar tidak terjadi stagnasi massa air dalam wadah perlakuan. Pengamatan tingkahlaku pemijahan Pemberian rangsangan dalam induksi pemijahan karang berlangsung selama 3 jam (15:00 18:00). Rangsangan fisik ini dihentikan untuk memberikan peluang hewan uji (Acropora tenuis) berelaksasi. Selama kurun waktu 30 menit dilakukan pengamatan respon tingkahlaku polip akibat perlakuan tersebut hingga saat pemijahan (pelepasan gonad) berlangsung. Setiap fase difoto menggunakan kamera digital 10 Mpixel untuk sekitar media percobaan penelitian, sementara untuk kebutuhan gambar detail digunakan mikroskop binokuler yang lengkapi digital kamera (Olymphus) yang online dengan PC komputer. Petunjuk pengamatan tingkahlaku pemijahan karang dikembangkan oleh Van Vegel (1994) yang diambil dari pemijahan spesies Montastrea anularis. Menurut Van Vegel ada 5 fase pemijahan, yakni : 1. Setting stage (Babcock et al. 1986) yaitu saat buntelan telur dan sperma terlihat jelas di bawah lempeng mulut. 2. Birth stage, yaitu saat buntelan telur sperma terjepit pada mulut polip 3. Gliding stage, yaitu telah dikeluarkan namun masih bergerak dan tertahan oleh lendir dan tentakelnya 4. Upward stage, yaitu saat buntelan telur bergerak ke atas permukaan air. 5. Bursting stage, yaitu buntelan telur dan sperma terpecah menjadi unit-unit telur dan sperma terlepas dari buntelan.

79 53 Analisis Data Data dalam skala waktu (jam : menit) yang tercatat pada saat fase setting dan fase glinding dikonversi ke dalam data total menit. Perhitungan jarak waktu dimulai dari waktu tenggelam matahari (sunset) jam 18:28 (waktu Townsville, Australia) sebagai patokan. Alasannya : karena karang memijah umumnya terjadi setelah matahari tenggelam dan sesaat sebelum bulan terbit. Data total waktu (menit) dari 5 perlakuan dan 2 variabel : fase setting dan fase glinding dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam (oneway-anova), perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji perbedaan rata-rata tiap perlakuan (Uji-Tukey). HASIL PENELITIAN Respon Karang terhadap Induksi Fisik Pemijahan Setiap organisme memiliki respon terhadap lingkungan habitatnya untuk melangsungkan reproduksi. Menurut Babcock (1986) waktu (jam) pemijahan karang diatur oleh siklus pencahayaan, baik pencahayaan matahari siang maupun pencahayaan malam (bulan). Dalam hal ini karang akan memijah mulai setelah matahari tenggelam hingga tengah malam atau dini hari. Dalam skala bulanan, umumnya karang berpolip kecil seperti Acropora memijah pada malam setelah bulan purnama (Willis et al. 1985; Mendles dan Woodly (2002). Sementara untuk skala hari, karang memijah pada awal malam atau beberapa saat setelah matahari tenggelam (Baird et al. 2009). Respon yang dapat diamati dalam penelitian ini adalah waktu pada dua fase pemijahan, yakni fase setting dan fase glinding, disamping itu waktu jedah atau lamanya waktu setting menunggu fase glinding (Tabel 6). Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa karang yang diberi perlakuan induksi fisik atau perlakuan kontrol lebih cepat memberikan respon pada fase setting. Pada fase ini karang memunculkan indung gonad pada lapisan jaringan di bawah mulut polip pada jam 18:50, 18:52 dan 18:55. Sementara perlakuan induksi baik air mengalir, aerasi kuat dan kombinasi baru pertama kali memberikan respon setelah lebih dari 20 menit kemudian. Setelah 1,5 jam kemudian baru terjadi sitting dalam perlakuan kontrol pada jam 20:00.

80 54 Tabel 6 Respon waktu pada fase pemijahan pada perlakuan induksi pemijahan karang Acropora tenuis. Perlakuan Respon (waktu) fase pemijahan Setting (S) Glinding (G) Air Mengalir 18:52-18:58 19:18 19:24 Aerasi Kuat 18:50-18:55 19:17 19:32 Kombinasi 18:55-19:00 19:13 19:25 Kontrol 20:00-20:15 20:15 20:31 Fase glinding atau pelepasan buntelan gonad, karang pada perlakuan air mengalir dan aerasi kuat serta perlakuan kombinasi memberikan respon glinding yang lebih cepat dibanding perlakuan kontrol atau terjadi pada jam Hasil pengamatan menunjukkan pelepasan buntelan perdana pada perlakuan kombinasi jam 19:13, 19:17 dan 19:18. Jika dibandingkan dengan pemijahan secara alamiah pada perlakuan kontrol, karang Acropora tenuis beserta karang spesies Acropora spp lainnya baru memijah pada jam 20:15 (waktu Townsville, Australia) pada tanggal 15 November Pada tanggal 14 November 2011 karang A. millepora memijah lagi pada jam 20 : 50 dalam laboratorium OIRS. Sebagai bahan perbandingan, penelitian degraaf et al. (1999) di Bonaire Karibia mencatat tingkahlaku pemijahan karang Eusmalia yang mulai telihat gonadnya dibawah jaringan mulut (fase setting) beberapa saat setelah matahari tenggelam jam 19:00. Baru pada jam 19:45 22:25 buntelan gonad dilepaskan secara perlahan. Penelitian yang sama juga memperlihatkan waktu pemijahan karang A. palmata pada malam ke-4 BP yang berlangsung pada jam 21:20-21:40 dan malam ke-5 BP pada jam 21:00 dan 21:15, 21:00 21:50. Pelepasan gamet karang dalam waktu yang singkat dikontrol oleh siklus pasang surut, waktu tenggelam matahari, siklus biologi reproduksi, peningkatan hormon dan kondisi fisik dari polip (Veron 2000; Baird et al. 2009; Mendes and Woodley 2002; Richmond dan Hunter 1990). Setiap organisme perairan yang sessil termasuk karang melakukan pemijahan secara sinkron dalam waktu yang singkat ketika kondisi lingkungan yang sangat cocok. Malam merupakan waktu yang tepat untuk melepaskan gonad bagi spesies yang bersifat broadcaster, meskipun Porites dan Pocillopora pernah ditemukan memijah pada waktu siang. Karang melepaskan gametnya di malam hari sebelum bulan purnama terbit atau pada saat air menuju ke titik surut. Keuntungan karang melepaskan gamet pada saat kondisi perairan tenang adalah terjadi fertilisasi yang sempurna di permukaan air (Van Woesik 2010). Secara alamiah kondisi tersebut dapat

81 55 mensukseskan fertilisasi silang diantara sumber gonad yang berbeda (Willis et al. 2006). Karena untuk mensukseskan reproduksinya setiap organisme laut yang melepaskan gonad dengan memadukan tiga faktor yang saling terkait, yakni faktor pengenceran sperma, durasi ketahanan gamet dalam air dan waktu kontak yang aktif bagi sperma dan telur (Szmant et al. 1997). Tabel 7 di bawah ini menampilkan hasil analisis sidik ragam terhadap perlakuan induksi fisik untuk menstimulasi pemijahan karang. Dari hasil analisis tersebut diperoleh nilai F yang signifikan untuk semua sumber keragaman dengan probabilitas (0,00 < 0,05), kecuali pada analisis kombinasi antara perlakuan dan fase pemijahan yang memiliki nilai F (2,29) dan probabilitas (0,129 > 0,05). Model regresi yang terbentuk berupa hubungan positf (R 2 = 0,989) bahwa semakin lama waktu dalam fase sitting, maka waktu untuk fase glinding juga akan semakin lama atau semakin jauh dari waktu matahari terbenam. Tabel 7 Analisis sidik ragan (satu arah) respon waktu pemijahan (menit) A. tenuis (General Linear model menggunakan Uji Tukey) Model Terkoreksi SK JK Db KT F hit P (0,05) 34071,367 a , ,673* 0,000 Perlakuan 29952, , ,472* 0,000 Fase 3288, , ,885* 0,000 Perlakuan*Fase 220, ,057 2,129 0,109 Galat 372, ,694 Total , R 2 = 0,989 Adjusted R 2 = 0,983 Tabel 8 Respon waktu pada sitting dan glinding pasca sunset dari berbagai perlakuan induksi pemijahan dan pemijahan alami A. tenuis Perlakuan Waktu pasca sunset 18:28 Jedah (menit) (menit) (Sitting) ± sd (Glinding) ± sd (S - G) Air Mengalir (A) 26,5 ± 3,5 a 52,0 ± 2,8 a 23 Aerasi Kuat (B) 25,7 ± 4,0 a 51,0 ± 2,6 a 25 Kombinasi (AB) 18,7 ± 2,9 a 47,6 ± 2,3 a 29 Kontrol (K) 97,0 ± 8,7 b 119,7 ± 6,5 b 19

82 b waktu (menit) a 0 A B AB K Fase setting Fase Glinding Gambar 13 Rata-rata waktu respon pemijahan pada perlakuan induksi pemijahan (A,B,AB,K). Tabel 8 dan Gambar 13 menunjukkan adanya perbedaan respon antara perlakuan induksi fisik pemijahan, selanjutnya respon waktu pemijahan induksi untuk semua perlakuan berbeda dengan waktu pemijahan yang normal (kontrol). Perlakuan induksi pemijahan berpengaruh nyata (F=289,472; P<0,05) terhadap waktu pemijahan (fase sitting maupun glinding). Induksi fisik berupa air mengalir (A), aerasi kuat (B) dan kombinasi (AB) bisa mempercepat waktu pemijahan dibanding waktu pemijahan normal atau kontrol (K) (Lampiran 3). Waktu tercepat yang dibutuhkan karang untuk mencapai fase sitting (mulai waktu matahari tenggelam) yakni dari perlakuan kombinasi aerasi dan air mengalir (AB) : 18,7 ± 2,9 menit. Respon waktu tersebut lebih cepat dibanding pada perlakuan air mengalir (A) dan aerasi kuat (B) masing-masing 26,5 ± 3,5 menit dan 25,7 ± 4,0 menit. Sementara karang pada yang tidak diberi perlakuan air mengalir dan aerasi kuat (kontrol) memberikan respon waktu pemijahan jauh lebih lama, yakni 97 ± 8,66 menit (Tabel 8). Pada fase glinding, respon pelepasan buntelan gonad (glinding) tercepat bagi karang tercatat pada perlakuan kontrol (AB) yakni 47,6 ± 2,3 menit, beberapa menit lebih cepat dibanding respon karang pada aerasi kuat (A) 52,0 ± 2,8 menit dan air mengalir (B) 51,0 ± 2,6 menit. Seperti halnya pada fase sitting, pada perlakuan kontrol respon karang pada fase glinding waktunya lebih lama yakni 119,7± 6,5 menit (Tabel 3). Dari hasil penelitian ini, karang A. tenuis memberikan respon pemijahan yang lebih cepat apabila diberi perlakuan induksi atau rangsangan fisik dibanding dengan pemijahan secara alamiah.

83 57 Tingkahlaku polip karang saat pemijahan Menurut Van Vegel ada 5 fase proses pemijahan karang, yakni : 1. Setting stage (Babcock et al. 1986) yaitu saat buntelan telur dan sperma terlihat jelas di bawah lempeng mulut. 2. Birth stage, yaitu saat buntelan telur sperma terjepit pada mulut polip 3. Gliding stage, yaitu buntelan telah dikeluarkan namun masih bergerak dan tertahan oleh mucus dan tentakelnya 4. Upward stage, yaitu saat buntelan telur bergerak ke atas permukaan air. 5. Bursting stage, yaitu buntelan telur dan sperma terpecah menjadi unit-unit telur dan sperma terlepas dari buntelan. Sebagai bahan ilustrasi, dalam penelitian ini tergambar dengan jelas fase-fase pemijahan karang A. tenuis dari hasil pemijahan dalam laboratorium OIRS GBR, seperti di bawah ini (Gambar 14). Pada pengamatan tingkahlaku pemijahan karang A. tenuis diperoleh empat fase dari lima fase yang diugkapkan oleh Van Vegel (1996). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan waktu respon antar polip berdekatan dalam satu koloni, berikut penjelasan masingmasing fase pemijahan sesuai dengan hasil pengamatan langsung melalui foto dan foto mikroskop. Fase setting merupakan awal bagi polip dalam pemijahan, pada fase ini buntelan mulai terbentuk dimana polip memformulasikan buntelan telur dan sperma dari berbagai mesenteri. Setelah telur dan sperma terkumpul dalam satu buntelan setiap polip, maka secara perlahan buntelan didorong oleh otot mesenteri mendekati mulut. Dalam posisi tersebut polip sedikit cembung dan menampakkan warna yang cerah. Semakin lama warna polip semakin berubah mendekat ke warna kandungan buntelannya (warna merah atau kuning cerah). Menurut Rani dan Jompa (2005) bahwa sesaat sebelum berlangsungnya pemijahan, warna polip terlihat lebih cerah (kuning, kemerah-merahan) dan nampak bengkak sekitar mulut polip. Buntelan telur terus terdorong ke atas sehingga semua otot polip terikut. Pada saat yang sama semua tentakel karang A. tenuis terkontraksi menjadi lebih pendek, demikian halnya dengan tentakel A. valida ( Wallace 1999).

84 58 Tabel 9 Hasil pengamatan setiap fase pemijahan karang A. tenuis (15 November 2011) Fase pemijahan Waktu Ciri fisik Fase setting menit polip berwarna lebih cerah, cembung kearah mulut membentuk kubah karena terisi buntelan gonad, tentakel lebih pendek dari normal Fase birth 5-10 menit Warna polip mengikuti warna gonda/buntelan, karena buntelanam memenuhi tubuh polip, tentakel lebih pendek. Polip ikut terangkat dari koralit, gonad mulai muncul pada mulut polip, hampir keluar dan bahkan ada yang baru dilepaskan. Fase glinding 3-5 detik Buntelan yang sudah keluar masih tertahan oleh polip dalam beberapa detik untuk membersihkan mukusnya. Fase upward 3-6 detik Buntelan gonad dilepaskan melayang di kolom hingga permukaan air menit Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan fase upward seluruh koloni Fase brusting menit Buntelan yang mengapung mulai pecah melepaskan ikatan telur dan sperma, air menjadi keruh karena konsentrasi sperma, populasi telur bertambah padat. Polip membutuhkan banyak enegi untuk melepaskan buntelan telur keluar mulut, keadaan tentakel lebih pendek. Karang mengumpulkan energi selama hari siang dari hasil fotosintesa alga simbiotiknya, lebih dari 80 % energi diperoleh dari algae tersebut (Van Woesik et al. 2006). Energi tersebut dibutuhkan untuk proses reproduksi (Rinkevich 1989). Oleh karena itu, salah satu alasan banyak spesies karang melakukan pemijahan masal di musim panas di GBR tengah adalah fotosintesa maksimum untuk kecukupan energi saat pemijahan dan kesempurnaan perkembangan gonad. Fase birth atau fase melahirkan dimana polip berupaya keras melepaskan buntelan gonad. Seluruh energi polip dikerahkan, kadang tertahan atau terjepit oleh lingkaran mulut yang sempit selama beberapa detik. Namun fungsi mukus sebagai pelicin dan elastisitas oosit dalam buntelan membantu memperlancar terlepasnya buntelan dari mulut polip. Sebagai referensi ukuran buntelan karang A. nobilis sebesar µm, sementara diameter telur rata-rata untuk spesies tersebut adalah 416,59 ± 24,06 µm (Rani dan Jompa, 2005). Acropora tenuis sendiri memiliki fekunditas telur lebih dari 10 butir per polip atau tiap buntelannya, ukuran oositnya sebesar 517 µm, lebih kecil dibanding oosit Acropora valida sebesar 633 µm (Wallace 1999).

85 59 Fase setting Fase birth dan glinding Fase upward 1 Fase upward 2 Fase bursting 1 Fase bursting 2 Gambar 14 Tahapan tingkahlaku pemijahan karang A. tenuis (15 November 2011).

86 60 Fase Glinding umumnya hanya beberapa detik, dimana buntelan tertahan oleh tentakel polip karena masih terkait dengarenaan benang lendir. Upaya tentakel membersihkan lendir merupakan respon yang sangat positif membantu buntelan agar tidak saling terikat di permukaan air dan mengurangi perkembangan media bagi bakteri. Fase upward yakni saat pelepasan buntelan gonad dari polip setelah buntelan terlepas dari fase glinding. Buntelan melayang menuju permukaan air karena mengandung lemak yang memiliki daya apung. Menurut Rani dan Jompa (2005) bahwa buntelan gamet memberi daya apung positif sehingga mampu mengapung di permukaan air. Beberapa saat kemudian, paket buntelan ini mulai pecah dan melepaskan telur dan sperma disebut fase brusting agar bisa melakukan hibridisasi atau perkawinan silang. Kejadian pemijahan masal melibatkan sejumlah spesies dan individu karang dimana gamet yang dilepaskan mengapung di lapisan permukaan air dan menciptakan sistem interaksi antar gamet untuk berasosiasi dalam proses fertilisasi. Komparasi metode induksi pemijahan Pada Tabel 10 tercatat berbagai metode induksi pemijahan yang sudah berhasil diterapkan pada biota laut seperti kima, lola dan karang. Pembahasan ini didasarkan pada acuan dari berbagai hasil riset. Secara garis besar, terdapat tiga klasifikasi metode induksi pemijahan, yakni secara fisik, biologi dan kimiawi. Metode fisik lebih banyak digunakan dalam berbagai riset, karena pilihan ini disamping menstimulasi lingkungan fisik akan lebih mudah dilakukan dan murah. Sementara metode biologi masih dianggap sebagai metode yang kurang baik menurut biologiwan atau animal welfarer karena harus mengorbankan individu lain untuk memperoleh gonad yang diekstraksi. Penggunaan bahan kimia untuk merangsang pemijahan masih dianggap metode yang mahal sehingga tidak populer karena menggunakan bahan kimia yang sulit diperoleh, kecuali dipesan khusus atau dari negara-negara tertentu.

87 61 Tabel 10 Metode Komparasi metode induksi pemijahan biota laut : kerang kima (Tridacnidae), kerang lola (Trochidae) dan karang (Scleractinia) Kima (Tridacnidae) Lola (Trochidae) Fisik -Penjemuran -Penjemuran -Air mengalir -Aerasi kuat Karang (Scleractinia) -Aerasi kuat -Air mengalir -Temperatur (Bail out) -Artificial sunset Biologi -Ekstrak gonad -Tidak ada -Tidak ada Kimiawi -Hormon serotonin -Tidak ada -Hidrogen peroksida Sumber: Yusuf et al (2006); Braley (1993); Omori dan Fujiwara (2004); Brady et al. (2009); Haris et al. (2007) Penggunaan air mengalir merupakan modifikasi kondisi perairan yang sebenarnya, dimana pada saat air pasang dan surut terjadi pergerakan air laut yang membawa massa air dengan berbagai macam kandungannya (suhu, nutrien, plankton, oksigen, dll). Massa air laut akan mensuplai kebutuhan organisme dan membersihkan polip karang dari endapan sedimen. Massa air laut yang bergerak juga mentransfer gas dan bahan metabolit yang dibutuhkan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, dan reproduksi bagi semua organisme laut (Thomas dan Atkinson 1997 diacu Nakamura dan Van Woesik 2001). Air yang mengalir kuat melalui tubuh organisme, kekuatan pergerakan air tersebut menimbulkan friksi sehingga terjadi gangguan stress karena massa air yang lewat mencegah terjadinya lapisan tipis pembatas antara lingkungan dan tubuh organisme. (Patterson dan Sebens 1989 diacu Nakamura dan Van Woesik 2001). Dengan metode air mengalir, mampu menstimulasi kelompok karang (Scleractinia) dan kerang lola (Trochidae) sehingga memijahkan gonadnya. Metode peningkatan suhu untuk reproduksi seksual masih belum bisa dibuktikan dengan jelas. Namun reproduksi aseksual bailout polip karang telah berhasil dilakukan (Haris et al. 2007), namun tidak jarang yang gagal karena polip mati akibat tidak tahan terhadap suhu air yang tinggi. Metode peningkatan suhu untuk pelepasan polip (bail out) didasarkan pada peristiwa bleaching. Ada dua kemungkinan bila suhu perairan meningkat, yakni zooxanthella keluar dari jaringan (Hoegh-Guldberg 1999) atau polip yang melepaskan diri (bail out).

88 62 Metode penjemuran dimaksudkan untuk meningkatkan suhu cairan tubuh organisme agar terjadi tekanan fisiologi dalam tubuh sehingga organisme dengan mudah melepaskan gonadnya. Metode ini hanya boleh dilakukan pada hewan bercangkang seperti kima (Braley 1993) dan atau kerang lola (Yusuf et al. 2006), namun demikian metode ini tidak bisa diaplikasikan pada hewan karang karena jaringan lunak yang sangat tipis berupa polip sangat sensitif terhadap udara terbuka atau udara dan perairan yang bersuhu panas. Metode artificial sunset merupakan metode kedua yang berhasil menstimulasi faktor lingkungan agar terbentuk respon pemijahan pada hewan karang. Metode ini cukup mudah dilakukan dengan memberi jarak waktu sunset dari normalnya, hasilnya secara signifikan waktu pemijahan berbeda dari normalnya. Dalam metode ini tidak ditemukan dampak negatif akibat perlakuan dan bisa dilakukan dimana saja, dengan syarat koloni karang telah matang gonad. Metode penyemprotan gonad adalah satu-satunya metode biologi yang memanfaatkan ekstraksi gonad untuk merangsang pemijahan. Gonad diperoleh dari individu yang dikorbankan atau sengaja dimatikan atau disedot dari kantong indung gonad. Gonad mengandung Gonadothropin Releasing Hormon (GnRH) yang meragsang individu untuk melepaskan hormonnya. Metode ini sangat cocok untuk diaplikasikan di daerah yang melimpah biota yang dimaksud dan berhasil diaplikasikan pada kelompok kerang raksasa/kima (suku : Tridacnidae) (Braley 1993). Penyuntikan serotonin adalah metode kimiawi yang sudah lama diberikan kepada kima untuk merangsang pemijahan gonad. Serotonin merupakan neurotransmitter disuntikkan ke dalam indung gonad kima ketika hewan kima diketahui telah matang gonad. Kelemahannya, bila kima belum matang gonad, maka sperma akan terkuras keluar akibat bahan ini. Bila kelebihan konsentrasi atau kesalahan sasaran gonad maka individu kima melemah (Braley 1993). Kelebihan dan Kelemahan Metode Induksi Pemijahan Karang Spawning tidak akan terjadi bila telur dalam induk karang belum mencapai kematangan. Bagaimanapun juga, gamet diperoleh dari koloni karang yang sudah matang dan siap fertilisasi menjadi larva planula kemudian bermetamorfosis menjadi polip (Hayashibara et al. 2003).

89 63 Tabel 11 Metode stimulasi pemijahan karang (Scleractinia) dari berbagai sumber dan penelitian ini No Metode Kelebihan Kekurangan 1 Hidrogenperoksida (Omori dan Fujiwara 2004) 2 Simulasi sunset (Brady et al. 2009) 3 Air mengalir (penelitian ini) 4 Aerasi kuat (penelitian ini) 5 Peningkatan suhu (Haris dkk. 2007) 6 Penjemuran (penelitian ini) Berhasil memijahkan gamet karang Berhasil merangsang pemijahan karang lebih awal dari jadwalnya, karang tetap sehat Berhasil merangsang pemijahan karang lebih awal dari jadwalnya, karang tetap sehat Berhasil merangsang pemijahan karang lebih awal dari jadwalnya, karang tetap sehat Berhasil untuk metode bail out polip Polip karang stres, sekresi lendir, rejeksi zooxanthella dari jaringan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Gagal terjadi pemijahan, polip karang akan stres, akhirnya mati dan bleaching Polip mati karena kekeringan Khusus untuk hewan karang, pemijahan buatan masih belum populer, karena disamping pengetahuan pemijahan belum populer di Indonesia, juga hewan ini masih banyak tersedia di alam. Berangkat dari pengalaman pemijahan kerang lola (Yusuf et al. 2006) yang memanfaatkan stimulasi fisik air mengalir, aerasi kuat dan desikasi, respon pemijahan kerang lola yang terbaik dan lebih cepat berasal dari stimulasi air mengalir dan aerasi kuat. Atas dasar informasi tersebut, maka penelitian pemijahan karang dirancang dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya secara obyektif (Tabel 11). Penelitian tentang pemijahan buatan (induksi pemijahan) terhadap beberapa invertebrata laut seperti moluska, udang-udangan telah banyak dilakukan termasuk di Indonesia. Hayashibara et al. (1996) Seikai National Fisheries Research Institute telah mengembangkan metode eksperimen dalam skala laboratorium tahun 1999 telah melakukan percobaan pemijahan beberapa spesies karang menggunakan metode perangsangan H 2 O 2 kombinasi dengan air mengalir (Omori dan Fujiwara 2004). Metode ini menemui kendala karena

90 64 H 2 O 2 merangsang organisme karang untuk melepaskan lendir yang berlebihan, zooxanthella mengalami bail out dan akhirnya karang mengalami kematian. Omori dan Fujiwara (2004) melakukan induksi pemijahan menggunakan hidrogenperoksida (H 2 O 2 ) sebagai zat perangsang pemijahan gonad terhadap dua spesies yakni Acropora dan Montipora. Waktu yang dibutuhkan sekitar 9 jam sejak pemberian H 2 O 2 hingga tiba saat karang memijahkan gametnya ke kolom air semnetara pemijahan buatan sebelumnya membutuhkan waktu 16 jam. Kesalahan tehnis pada metode pemijahan buatan menggunakan H 2 O 2 akan membawa dampak negatif bagi individu karang dimana akan terjadi sekresi lendir atau pembuangan zooxanthella selama kontaminasi hidrogenperoxida. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi peroksida yang diberikan dan lamanya waktu kontaminasi (Omori dan Fujiwara, 2004). Hal ini dapat diantisipasi dengan segera memindahkan karang ke wadah air yang mengalir. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini induksi fisik untuk merangsang pemijahan karang telah berhasil mempercepat waktu respon pemijahan karang sebelum jadwal pemijahan sebenarnya di alam. Pemberian induksi fisik yang berlebihan mempengaruhi waktu pemijahan karang menjadi lebih lambat dibanding dengan yang tidak diberi rangsangan fisik. Setelah diberi rangsangan fisik, karang membutuhkan kondisi perairan yang lebih tenang untuk relaksasi otot dan mengumpulkan enegi. Hal ini bisa diasumsikan bahwa semakin besar tekanan rangsangan, maka karang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk relaksasi. Oleh karena itu, waktu respon pemijahan pada fase sitting dan fase glinding serta waktu jedah antara kedua fase tersebut lebih lama beberapa menit dibanding dengan pada karang yang tidak diberi perlakuan atau pemijahan alami. Kesimpulan sementara dari hasil penelitian ini sepadan dengan hasil penelitian Van Woesik (2010) bahwa pada perairan kondisi tenang lebih lama pasca angin dan gelombang memberikan peluang periode pemijahan yang lebih lama pula dibanding dengan kondisi perairan tenang yang membutuhkan waktu lebih pendek.

91 65 Penerapan metode induksi fisik dimaksudkan untuk merangsang fisiologi binatang karang untuk melepaskan gametnya. Hal ini didasarkan fenomena lingkungan yang berlangsung secara independen sehingga mempengaruhi proses-proses biologi organisme perairan. Mendes and Woodley (2002); Penland et al. (2004) telah membuktikan siklus reproduksi karang sangat erat kaitannya dengan siklus suhu permukaan laut, disamping itu variabel fisik lingkungan berperan mengontrol pembentukan gamet dan sinkronisasi pelepasan gamet (pemijahan). Bahkan Levitan (2006) mengungkapkan bahwa kondisi lingkungan mengontrol kelarutan dan penyebaran gamet, distribusi populasi biota laut, kelimpahan dan rasio spesies kelamin secara individu, kemampuan reproduksi, sinkroni dan tingkahlaku pemijahan biota laut. Lebih lanjut Van Woesik et al. (2006) menghubungkan faktor lingkungan dengan reproduksi seksual dan waktu pelepasan gamet karang. Lingkungan menjadi standar biologi bagi karang dalam menentukan waktu pemijahan pada tiga tingkatan yang saling terkait, yakni : (1) waktu dalam setahun, (2) waktu dalam siklus bulan dan (3) waktu di saat malam, karena umumnya karang melepaskan gamet pada malam hari, walaupun pernah terjadi saat pagi dan sore hari. Richmond dan Hunter (1990) tidak melihat adanya hubungan antara fase bulan dengan waktu pemijahan, karena kebanyakan karang di Great Barrier Reef memijah pada saat air surut terendah (Willis et al. 1985; Babcock et al. 1985), ketika spesies yang sama memijah di Jepang pada saat pasang tinggi (Hayashibara et al. 1993). Hal ini beralasan bahwa waktu pembentukan gamet selama setahun terkait dengan suhu permukaan air (Harrison et al. 1984; Szmant-Froelich 1986; Hayashibara et al. 1993). Lebih jauh Orton (1920) berpendapat bahwa suhu permukaan air merupakan faktor yang paling penting dalam mengontrol reproduksi invertebrata laut. Namun Van Woesik (2006) menepis pengaruh suhu permukaan air terhadap penentuan waktu pemijahan. Sebaliknya laju perubahan dan akumulasi respon polip terhadap siklus penyinaran merupakan prediktor yang terbaik bagi pemijahan, tapi intensitas cahaya bukan menjadi penentu waktu pemijahan. Meskipun banyak penelitian yang mengungkap faktor pemicu pemijahan karang, namun Ananthasubramaniam et al. (2011) mengakui informasi ilmiah mengenai jalur pemicu pemijahan masih minim. Pertanyaan yang muncul menurut Ananthasubramaniam et al. (2011), apakah lingkungan tunggal mampu

92 66 mempengaruhi siklus tahunan reproduksi karang sehingga menentukan waktu bulan, hari dan jam pemijahan dengan benar. Penelitian lain mencoba menstimulasi faktor cahaya sebagai stressor pemijahan dalam waktu singkat (Brady et al. 2009). Ternyata fragmen karang yang diberi perlakuan simulasi cahaya gelap lebih awal memberikan respon pemijahan gonad dibanding dengan normalnya. Dari tiga kondisi waktu gelap 0, 1, 2 jam sebelum sunset, hasilnya karang yang lebih awal memijah berasal dari perlakuan penutupan yang lebih awal yakni 2 jam sebelum waktu normalnya (Brady et al. 2009). Para ahli juga belum menentukan kondisi lingkungan oseanografi sebagai stressor terakhir yang dialami oleh karang sebelum melakukan pemijahan. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut, karena menurut Ananthasubramaniam et al. (2011) jendela waktu karang memijah sangat sempit sekitar 1 jam. Karang menfaatkan kondisi perairan tenang untuk melepaskan gametnya setelah mendapat stressor. Kondisi air yang tenang terjadi pada saat puncak pasang tertinggi dan lembah surut terendah. Waktu sesaat perairan tenang inilah yang dimanfaatkan oleh karang untuk memijahkan gonadnya. Ketika kondisi pasang tertinggi dan surut terendah tersebut terjadi perbedaan tekanan air yang lebih besar, arus yang lebih kencang (Riegl dan Piller 2003) membawa massa air yang lebih dingin yang mengandung oksigen dan nutrien. Apakah kondisi lingkungan yang kompleks antara perbedaan tekanan air, arus kencang, nutrien, oksigen tinggi yang terjadi saat pasang surut tertinggi dan terendah tersebut merupakan stressor bagi pemijahan karang?. Kondisi lingkungan fisik perairan seperti upwelling, lapisan termoklin dangkal sekitar terumbu karang dan amplitudo pasang surut yang tinggi menyebabkan arus kuat dapat menopang kelangsungan hidup karang selama mengalami tekanan anomali suhu perairan yang lebih tinggi. Van Woesik (2010) meneliti pelepasan gamet (pemijahan) karang pada kondisi cuaca tenang dan cuaca laut berangin atau gelombang. Dari penelitian tersebut karang akan melepaskan gametnya ketika air laut dalam kondisi tenang atau tak berangin/bergelombang. Angin merupakan faktor pemicu pemijahan yang dibutuhkan sebelum fase-fase pemijahan dan hasil uji hipotesis bahwa pada kondisi perairan tenang dalam waktu yang lebih lama akan memberikan peluang periode pemijahan yang lebih lama pula dibanding dengan kondisi perairan tenang yang singkat.

93 67 Disamping keberhasilan, penelitian induksi fisik pemijahan ini juga menemui kegagalan selama penelitian. Pada prinsipnya kegagalan pemijahan karang di Makassar karena kurangnya informasi waktu reproduksi spesiesspesies karang di lokasi tersebut. Namun di balik itu, bagi karang yang gonokhorik seperti Goniopora, Galaxea, Pocillopora teramati melepaskan abu/asap sperma masing-masing koloni dari perlakuan aerasi kuat dan air mengalir. Ketika diberi perlakuan salinitas rendah, kecenderungan reaksi fisiologi tubuh polip menjadi lebih stress dan memilih untuk menyimpan telurnya atau menunda pemijahan dibanding melepaskannya. Selanjutnya pada penelitian pendahuluan di OIRS untuk A. tenuis tidak memberikan respon pelepasan gonad. Hal ini diduga disebabkan oleh luka pada bagian tubuh karang yang terpotong. Menurut Hall (1997) laju regenerasi terhambat pada daerah luka yang sedang mengalami perkembangan gonad. Meskipun luka tidak mempengaruhi fekunditas dalam skala koloni. Fekunditas koloni pada karang yang mengalami luka menurun 8% dibanding kontrol akibat dari kehilangan jaringan reproduksi (Hall 1997). Luka pada koloni karang tidak mempengaruhi reproduksi jantan, tapi mempengaruhi volume telur per polip sehingga menurun 38-44% pada sekitar polip yang terluka. Dampak dari luka terhadap komponen reproduksi jantan lebih rendah karena spermatogenesis tetap berlangsung selama 4-10 minggu menjelang pemijahan spesies Goniastrea (Babcock 1984) dan Acropora (Wallace, 1985).

94 68 SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini bahwa induksi fisik berupa air mengalir dan aerasi kuat mampu mempercepat respon pemijahan karang A. tenuis dalam kondisi terkontrol secara exsitu. SARAN 1. Walaupun metode induksi fisik (air mengalir, aerasi kuat) telah berhasil memijahkan karang berpolip kecil (Acropora tenuis), perlu dilakukan ujicoba terhadap spesies karang lain terutama spesies karang yang berpolip sedang dan polip besar, karena respon setiap bentuk dan spesies karang berbeda. 2. Penelitian mengenai induksi pemijahan karang baru dilakukan di daerah terumbu karang Great Barrier Reef, kesempatan berikutnya agar bisa dilakukan di sekitar terumbu karang Indonesia untuk menjawab masalahmasalah reproduksi terumbu karang tropis. DAFTAR PUSTAKA Ananthasubramaniam B, Nisbet RM, Morse DE, Doyle FJ Integrate and fire models of insolation driven entrainment of broadcast spawning in corals. Theor Ecol 4: Babcock RC Reproduction and distribution of two species of Goniastrea (Scleractinia) from the Great Barrier Reef province. Di dalam : Brady eds Coral spawning time is a direct response to solar light cycles and is not an entrained cicardian response. Coral Reefs 28 : Brady A, Hilton J, Vize P Coral spawning time is a direct response to solar light cycles and is not an entrained cicardian response. Coral Reefs 28 : Braley RD The Giant Clam : Hathery and Nursery Culture Manual. ACIAR Monograph No

95 69 de Graaf M, Geertjes GJ, Videler JJ Observation on spawning scleractinian corals and other invertebrates on the reefs of Bonaire (netherlands Antilles, Caribbean). Bull Mar Sci 64 : Fukami A, Budd AF, Levitan DR, Jara JA, Kersanach R, Knowlton N Geographic differences in species boundaries among members of the Montastrea anularis complex base on molecular and morphological markers. Evolution 58 : Hall VR Effect of injury on growth, reperoduction and survivorship of commorn reef crest coral. Proc. 8th Coral Reef Symp 1 : Haris A, Patiung R, Yusuf S, Kajian tentang pelepasan polip (Bail-Out) karang lunak Sinularia flexibilis secara buatan. Jurnal Sain & Teknologi 7 : Harrison PL, Babcock RC, Bull GD, Oliver JK, Wallace CC, Willis BL Mass spawning in tropical reef corals. Science 223 : Hayashibara T, Iwao K and Omori M, Induction and control of spawning in Okinawan Staghorn Corals. Coral Reefs 46 : Koringa P Relations between the moon and periodicity in the breeding of marine animals. Di dalam : Kojis and Quinn Aspect of sexual reproduction and larval development in the shallow water hermatypic coral, Goniastrea australiensis (Edwards and Haime, 1857). Bull Mar Sci 31 : Knolton N, Mate JL, Guzman HM, Rowan R, Jara J Direct evidence for reproductive isolation among the three species of the Montastrea anularis complex in Central America (Panama and Honduras). Mar Biol 127 : Levitan DR The relationship between egg size and fertilization success in broadcast-spawning marine invertebrates. Integrative and Comparative Biology 46 : Omori M and Fujiwara S Manual for restoration and Remediation of Coral Reefs. Nat. Conserv. Bureau. Ministry of the Enviro. Japan. Hoegh-Guldberg O Climate change, coral bleaching and the future of the world s coral reefs. Mar Freshwater Res. 50 : Palumbi SR Genetic divergence, reproductive isolation, and marine speciation. Di dalam : Willis B (eds) The Role of Hybridization in the Evolution of Reef Corals. Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst : Patterson MR, Sebens KP (1989) Forced convection modulates gas exchange in cnidarians. Proc Natl Acad Sci USA 86: Di dalam : T. Nakamura, R. Van Woesik 2001 (eds). Water-flow rates and passive diffusion partially explain differential survival of corals during the 1998 bleaching event. Mar Ecol Prog Ser 212:

96 70 Penland L, Kloulechad J, Idip D, Van Woesik R Coral spawning in the western Pacific Ocean is related solar radiation : evidence of multiple spawning events in Palau. Coral Reefs 23 : Rani C, Jompa J Tingkahlaku memijah karang Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa di terumbu karang tropik Pulau Barrang Lompo Makassar. Torani 15 : Riegl B, Piller WE Possible refugia for reefs in times of environmental stress. Di dalam : Glynn PW, Colley SB. Eds Survival of brooding and broadcasting Reef Corals following large scale disturbances: Is there any hope for broadcasting species during global warming? Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July Thomas FIM, Atkinson ML Ammonium uptake by coral reefs: effects of water velocity and surface roughness on mass transfer. Di dalam : T. Nakamura, R. Van Woesik 2001 (eds). Water-flow rates and passive diffusion partially explain differential survival of corals during the 1998 bleaching event. Mar Ecol Prog Ser 212: Van Woesik R, Lacharmoise F, Koksal S Annual cycles of solar insolation predict spawning times of Caribbean corals. Ecology Letters 9: Van Woesik R Calm before the spawn: global coral spawning patterns are explained by regional wind fields. Proc. R. Soc. B 277 : Veron JCE Corals of the world. Volume 1-2. Australian Institute of Marine Sciences and CRR Qld Pty Ltd. Wallace CC Reproduction, recruitment and fragmentation in nine sympatric species of the coral genus Acropora. Di dalam : Ananthasubramaniam eds (2011). Integrate and fire models of insolation driven entrainment of broadcast spawning in corals. Theor Ecol 4 : Wallace CC Staghorn corals of the world : A revision of the genus Acropora. CSIRO, Australia Willis BL, Van Oppen MJH, Miller DJ, Vollmer SV, Ayre DJ The role of hybridization in the evolution of reef corals. Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst 37: Yusuf S, Budimawan, Littay M, Fatmawati Spawning of the top shell (Trochus nilotichus) using different injuced methods. Jurnal Torani Special Ed. 16 (5):

97 71 FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN LARVA DALAM EMBRIOGENESIS KARANG (Ordo : Scleractinia) HASIL PEMIJAHAN EXSITU ABSTRAK SYAFYUDIN YUSUF. Fertilisasi Dan Perkembangan Larva dalam Embriogenesis Karang (Ordo : Scleractinia) Hasil Pemijahan Exsitu. Dibimbing oleh: NEVIATY P. ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR, JAMALUDDIN JOMPA Sekitar delapan puluh lima persen jenis karang melepaskan gamet dan melakukan fertilisasi di permukaan air. Fertilisasi dan perkembangan larva menentukan kelangsungan hidup populasi karang dan setiap spesies memiliki karakteristik embriogenesis yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat fertilisasi, perkembangan embrio, competence time larva spesies karang yang memijah bulan November 2011 di GBR. Fertilisasi gamet diamati setiap jam selama 6 jam, perkembangan sel embrio diamati dalam selang waktu tertentu hingga mencapai stadia multisel (prawnchip), dilanjutkan dengan pengamatan perkembangan larva hingga planula. Competence time ditentukan berdasarkan umur larva mulai dari waktu pemijahan hingga larva planula yang mengendap atau melekat pada substrat. Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan pola tingkat fertilisasi antar spesies, lebih dari 95% fertilisasi dicapai dalam waktu kurang dari 4 jam. Stadia multisel Acropora spp dicapai pada jam dan C. crassa sekitar 17 jam. Perkembangan embrio dan larva berbeda secara signifikan antar spesies, embrio dan larva Acropora millepora berkembang lebih cepat dibanding A. tenuis, sementara Ctenactis crassa lebih cepat dibanding Fungia concina. Ukuran maksimum larva planula tergantung pada karakteristik tiap spesies dimana A. millepora ( µm) lebih besar dibanding A. tenuis ( µm), C. crassa ( µm) lebih besar dibanding F. concina ( µm). Competence time Acroporidae antara jam, lebih lama dibanding Fungiidae antara jam. Kata kunci : fertilisasi, perkembangan larva, karang keras

98 72 ABSTRACT SYAFYUDIN YUSUF. Fertilization and Larval Development in Embriogenesis of Coral (Ordo: Scleractinia) from Exsitu Spawning. Supervised by : NEVIATY P. ZAMANI, M. ZAIRIN JUNIOR, and JAMALUDDIN JOMPA Approximately eighty five percent of coral species release their gametes and take fertilization in water column (Guest et al. 2010). Fertilization and larval development determine the coral population survival of species which has a difference embryogenesis characteristic. Aims of this research were to compare the rate of fertilization, embryo development, and competence time of coral larva which spawned on November 2011 in GBR. Gametes fertilization was observed each hour for six hours, while embryonic cell development was observed in a certain time interval to achieve multicellular stadia (prawnchip). Larval development was observed until the planulae and competence time determined by the age of larvae beginning from the spawning up to the planulae that settled or attached on substrate. The results of this research showed the same pattern of inter-species fertilization rate, it was more than 95% of fertilization achieved in less than 4 hours. Multicellular stadia of two Acropora spp was achieved at range of hours and at C. crassa about 17 hours. In addition, the development of embryos and larvae was significantly differed between two species, i.e. embryos and larvae A.millepora grew faster than A.tenuis while Ctenactis crassa was faster than Fungia concina. The maximum size of planulae larvae of A. Millepora ( μm) was bigger than A. tenuis ( μm), while C. crassa ( μm) was greater than F. concina ( μm). The competence time of Acroporidae was hours that longer than Fungiidae which was hours. Keywords : fertilisation, larval development, hard coral

99 73 PENDAHULUAN Kelangsungan hidup organisme perairan sangat ditentukan oleh kesuksesan fase awal dalam siklus hidupnya. Seperti organisme sessile laut lainnya, stadia embrio karang (Scleractinia) bersifat planktonik yang rentan akibat perubahan lingkungan, predasi, kompetisi dan penyakit. Kegagalan satu fase akan berdampak pada keberadaan populasi organisme (Levitan 2006; Markey et al. 2007). Untuk itu, salah satu strategi biologi karang dengan melakukan reproduksi secara masal. Sekitar 85% reproduksi seksual karang dengan cara melepaskan gamet di kolom air (broadcaster) sehingga fertilisasi gamet berlangsung di luar tubuh (Levitan et al. 1992, Lasker 2006). Dalam siklus hidup hewan karang, fertilisasi merupakan fase hidup yang sangat ringkas dan sebagai komponen yang sangat penting dalam evolusi organisme (Lasker 2006). Telur karang yang fertil berkembang menjadi stadia embrio (embryo stage), kemudian menjadi larva planula dan bermetamorfosis menjadi polip muda. Selama fase embrio dan larva planula sebagai planktonik terbawa oleh arus massa air menyebar ke berbagai lokasi hingga mengendap (Hayashibara et al. 1997), Schwarz et al. (1999), Portune et al. (2010), Gleason dan Hoffman (2011). Proses embriogenesis karang secara umum dijelaskan oleh Harrison dan Wallace (1990), khusus genus Acropora oleh Hayashibara et al. (1997), Fungia scutaria oleh Schwarz et al. (1999). Selanjutnya Ball et al. (2002), Okubo dan Motokawa (2007), Gleason dan Hoffman (2010) mereview beberapa aspek dalam embriogenesis karang. Embrio dan larva karang membutuhkan waktu yang berbeda selama fase planktonik hingga melekat di dasar atau disebut Copetence Time (Gleason dan Hoffmann 2011). Competece time berbeda setiap spesies, model reproduksi dan posisi geografi. Secara umum, competence time bagi karang sekitar 48 jam (Thamrin 2006). Menurut Okubo dan Motokawa (2007) bahwa perkembangan embrio karang memperlihatkan kemiripan dengan embrio hewan lainnya pada bentuk pole, blastopole dan mulut. Walaupun telah ada penemuan pemijahan karang secara masal (Harrison et al. 1984; Willis et al. 1985), namun informasi perkembangan larva secara embriologi dan morfologi dari berbagai spesies belum semuanya terungkap. Penelitian detail mengenai embriologi muncul bersamaan dengan berkembangnya penelitian anatomi dan biologi molekular (Ball et al. 2002).

100 74 Sementara penelitian embriologi dan anatomi kandungan embrio dan larva biota laut terus berkembang untuk menyempurnakan penanganan terbaik terhadap larva dan juvenil karang untuk tujuan riset lanjutan, budidaya dan konservasi. Penelitian ini menggunakan specimen Acroporidae (A. tenuis dan A. millepora) yang berasal dari habitat yang sama pada zona reef flat 2-3 m di Cattle Bay Orpheus Island. Kedua spesies ini menyebar di seluruh dunia dan umum ditemukan baik di daerah tropis tengah, maupun wilayah tropis bagian utara (Jepang) dan selatan khatulistiwa (GBR Australia). Namun apakah embriogenesis keduanya juga sama?. Famili Fungiidae diwakili oleh : Ctenactis crassa dan Fungia fungites, keduanya bersumber dari patch reef yang lebih dekat dengan daratan utama dimana substratnya lebih dominan sedimen pasir dan pasir halus, selanjutnya dalam penelitian ini akan dipelajari embriogenesis kedua famili karang tersebut. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat fertilisasi, perkembangan embrio dan competence time karang dalam proses embriogenesis dari famili Acroporidae (A. millepora dan A. tenuis) dan Fungiidae (Ctenactis crassa dan Fungia fungites) yang memijah pada bulan November 2011 di Great Barrier Reef Australia. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan November 2011 bertepatan dengan awal musim panas di Queensland Australia. Seluruh kegiatan dalam tahap penelitian ini bertempat di laboratorium OIRS (Orpheus Island Research Station) Jamescook University yang berlokasi di Orpheus Island Central GBR. Perlakuan Pemijahan Karang induk yang matang gonad diambil dari Cattle Bay Orpheus Island Great Barrier Reef Australia pada siang hari sebelum malam pemijahan. Karang yang dipilih dari famili Acroporidae : A. millepora, A. tenuis dan Fungiidae : Ctenactis crassa dan Fungia concina. Koloni karang diambil dari habitatnya

101 75 menggunakan betel dan palu untuk melepaskan koloni dari habitatnya. Semua koloni karang diangkut dengan keranjang terbuka hingga dimasukkan ke dalam wadah polyethilen yang berisi air laut guna pengangkutan di kapal. Koloni ditempatkan dalam wadah pemijahan disertai air mengalir dan aerasi. Aerasi dihentikan setelah matahari terbenam untuk memberikan kesempatan karang berelaksasi dan lebih mudah mengumpulkan telurnya. A. millepora memijah pada tanggal 14 November 2011 jam 19:50, sementara karang A. tenuis memijah pada pada tanggal 15 November 2011 jam 19 : 30, dan Ctenactis crassa memijah pada tanggal 15 November 2011 jam 22:00. dan Fungia concina memijah pada tanggal 17 November 2011 jam Gambar 15 Proses pemijahan exsitu di laboratorium OIRS. (a) pengumpulan induk, (b) penempatan induk karang dalam bak, (c) karang memijah, (d) konsentrat telur karang. Telur dan sperma dikoleksi sesaat setelah pemijahan, kemudian dilakukan pencucian sperma. Pencucian dilakukan dengan memanen dan memindahkan telur yang mulai pecah (brusting) dari stok lama ke media air bersih sebanyak 4 kali sehingga larutan telur lebih jernih pada wadah ke empat, berarti bahwa sperma telah berkurang dalam konsentrasi yang sangat minim.

102 76 Pengamatan Fertilisasi dan Embriogenesis Perlakuan fertilisasi gamet dengan mencampurkan sperma dan telur secara bersilangan dari koloni yang berbeda masing-masing spesies (Guest et al. 2010). Sperma dan telur karang dicampur dengan perbandingan konsentrasi 10 5 /ml sperma : 10 2 /L telur. Proses awal fertilisasi terjadi minimal dalam waktu 30 menit setelah pemijahan (Negri dan Heyward 2001). Percampuran sperma dan telur dilakukan dalam tiga wadah yang terpisah sebagai ulangan perlakuan. Sampling terlur yang fertil sebanyak 5 kali setiap jam selama 6 jam pertama setelah dilakukan fertilisasi. Pengamatan perkembangan telur-larva menggunakan mikroskop binokuler Olymphus S2-51 dengan pembesaran 10 x 40. Jumlah telur yang membelah menjadi dua atau lebih merupakan indikasi terjadinya fertilisasi. Seiring dengan hal tersebut, juga dilakukan pemotretan untuk mengamati perkembangan dan pembelahan sel hingga fase planula. Pengamatan pembelahan sel embrio dilakukan hingga stadia blastula prawnchip. Perkembangan embriogenesis dilakukan dengan mengukur diameter sel telur fertil, sel embrio dan panjang larva planula. Standar ukuran diameter obyek menggunakan mikrometer okuler yang dipasang pada lensa okuler mikroskop binokuler Olymphus S2-51. Analisis Data Tingkat fertilisasi telur dinyatakan dalam proporsi jumlah telur yang terbuahi atau fertil dibanding dengan jumlah keseluruhan populasi telur. Nilai rata-rata setiap data hasil pengukuran dan standar deviasi ditentukan menggunakan analisis descriptive statistic. Data fertilisasi dari tiap spesies dan perkembangan ukuran larva dianalisis dengan univariat ANOVA, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan Uji Tukey. Untuk analisis data perkembangan embrio karang digunakan analisis regresi linear : Y = bx + a.

103 77 HASIL PENELITIAN Fertilisasi Gonad Karang Fertilisasi merupakan proses biologi dalam siklus hidup organisme yang tergolong kritis karena berlangsung di alam. Fenomena agregasi pemijahan dan pelepasan gamet yang sinkron di alam dalam kondisi lingkungan yang bagus merupakan faktor yang mensukseskan fertilisasi (Babcock et al. 1986). Karena menurut Levitan (2006) semua kelompok hewan invertebrata perairan termasuk karang, pertemuan kedua gamet merupakan fungsi dari kondisi lingkungan yang mengontrol kelarutan dan penyebaran gamet, distribusi genetik populasi, kelimpahan dan rasio kelamin, karakteristik reproduksi, sinkroni dan tingkahlaku pemijahan, dan karakteristik gametnya sendiri. Fertilisasi tiga spesies karang mulai terlihat pada 1 jam pertama (T.1) setelah pemijahan pada semua spesies, namun tingkat fertilisasi masing-masing spesies berbeda (Tabel 12 dan Gambar 16). Telur yang sudah pecah dari bundel dari A. tenuis tercatat mengalami fertilisasi yang lebih tinggi yakni 60 % pada jam pertama dibanding A. millepora baru mencapai 3% dan Ctenactis crassa sebanyak 15%. Telur dari dua spesies A. millepora dan C. crassa membutuhkan jedah waktu yang lebih lama untuk mencapai tingkat fertilisasi yang lebih tinggi yakni pada jam kedua (T.2), namun pada jam yang sama fertilisasi A. tenuis masih jauh lebih tinggi (94 %), dibanding A. millepora 42 % dan 45 % untuk C. crassa. Perbedaan tingkat fertilisasi mulai terlihat antara A. millepora dan C. crassa pada jam ke-3 (T.3), dimana fertilisasi A. millepora sudah setara dengan A. tenuis 95 %, sementara C. crassa tingkat fertilisasi masih lebih lambat. Pada jam ke empat setelah pemijahan, semua telur dari semua jenis karang mencapai fertilisasi yang hampir sempurna. Hasil analisis data (ANOVA) menunjukkan ada perbedaan tingkat fertilisasi antara spesies pada salah satu atau lebih level waktu (F = 50,0733; P< 0,05) (Tabel 13). Data yang diperoleh tiga spesies tersebut menunjukkan pola fertilisasi yang berbeda antara T.1, T.2 dan T.3. Hal ini didukung oleh hasil uji lanjut Tukey (0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat fertilisasi antara waktu T.1, T.2 dan T.3. Pengamatan fertilisasi berhenti pada jam ke-6 (T.6) disamping karena fertilisasi mencapai puncaknya, juga karena pada saat itu semua telur telah berubah menjadi fase multisel dan blastula awal.

104 78 Tabel 12 Tingkat fertilisasi dari A. tenuis, A. millepora dan C. crassa A. Tenuis A.millepora C. crassa Waktu jam Fertilisasi jam Fertilisasi Jam Fertilisasi Pemijahan T % % % T % % % T % % % T % % % T % % % T % % % T % % % 120% Fertilisasi 100% 80% 60% 40% 20% 0% C.crassa A.tenuis A.millepora T.0 T.1 T.2 T.3 T.4 T.5 T.6 Gambar 16 Tingkat fertilisasi timeseries A. tenuis, A. millepora dan C.crassa Tabel 13. Analisis ragam tingkat fertilisasi karang spesies A. tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa. SK JK DB KT F P(0,05) Antar Spesies 32933, , ,07326* 0,0000 Galat 1534, , Total 34468,

105 79 Tingkat fertilisasi A.tenuis berlangsung lebih cepat dan mencapai Tingkat fertilisasi mencapai maksimum pada jam ke 3 mencapai 97,7 ± 0.4%. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Markey et al. (2007) yang mencatat fertilisasi sebesar 97 ± 1% dan 98 ± 1% yang dicapai pada tiga jam setelah pemijahan. Pada penelitian lain tercatat 95% telur fertil setelah diberi konsentrasi sperma 10 8 sel/ml (Markey et al. 2007). Kesuksesan fertilisasi spesies Montipora digitata, Platygyra sinensis and Favites pentagona (Oliver dan Babcock 1992) dan beberapa spesies Acropora (Heyward and Negri 2000) ditentukan antara lain oleh konsentrasi sperma. Menurut Oliver dan Babcock (1992) tingkat fertilisasi menurun ketika konsentrasi sperma yang rendah sebagai akibat dari rendahnya probabilitas pertemuan antara sperma dan telur. Sebaliknya fertilisasi yang melibatkan konsentrasi sperma yang rendah akan mensukseskan fertilisasi. Secara normal, konsentrasi sperma yang optimum untuk fertilisasi adalah /ml. 120% 100% Fertilisasi tingkat fertilisasi 80% 60% 40% 20% 0% T.0 T.1 T.2 T.3 T.4 T.5 T.6 Waktu (jam ke-n) Gambar 17 Tingkat fertilisasi (rata-rata ± sd) dari tiga spesies A. tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa. Hasil eksperimen Negri dan Heyward (2000) menunjukkan adanya perbedaan tingkat atau respon fertilisasi dari beberapa spesies karang Acropora. Fertilisasi A. nasuta mencapai 94% dengan konsentrasi sperma 10 5 /ml. Sementara A. gemmifera fertilisasinya hanya mencapai 42% akibat terjadinya polisperma karena konsentrasi yang terlalu besar 10 8 /ml. Namun tidak

106 80 demikian halnya dengan A. nasuta dan A. tenuis, dengan konsentrasi sperma sebanyak 10 7 /ml untuk A. nasuta menghasilkan fertilisasi sebanyak 80%. Sebaliknya konsentrasi sperma yang lebih tinggi pada A.tenuis yakni 10 8 /ml menghasilkan fertilisasi 95%, lebih tinggi dibanding A.nasuta yang diberi konsentrasi sperma yang lebih rendah. Hal yang menarik bahwa konsentrasi sperma 10 5 /ml pada A.nasuta hampir sama hasil fertilisasinya dengan A. tenuis dengan konsentrasi sperma 10 8 /ml. Perbedaan respon fertilisasi akibat dari konsentrasi sperma tergantung pada perlakuan saat fertilisasi, bila fertilisasi berlangsung pada media air laut yang diberi aerasi dan pergerakan air dalam media, maka dengan konsentrasi sperma yang tinggi, tetap menghasilkan fertilisasi yang tinggi. Karena massa air yang mengalir akan mengencerkan larutan sperma dan mencegah penempelan sperma yang lebih banyak pada telur karang. Perkembangan Sel Embrio dan Larva Karang Proses embriogenesis karang keras (Scleractinia) telah diamati oleh Harrison dan Wallace (1990), khususnya genus Acropora telah dijelaskan pula oleh Hayashibara et al. (1997), A. millepora (Ball et al. 2002). Berikut perkembangan embrio dan larva karang Acropora millepora sesuai dengan hasil pengamatan mikroskop (Gambar 14) hasil pemijahan tanggal 14 November 2011 di OIRS GBR sebagai berikut : 1. Stadia telur : telur karang masih dalam bentuk buntelan, mulai terlepas satu persatu dari ikatan buntelan. Bentuknya yang bulat dan lonjong berwarna kuning keemasan. Ukuran telur berkisar antara mikron berumur 1-2 jam pada media air sebelum fertilisasi. 2. Stadia fertilisasi : nampaknya sebagian besar telur telah membelah menjadi dua seperti terpaut di bagian tengah yang biasa disebut blastomere dimana prosesnya disebut cleavage yang dicapai sekitar 1-2 jam pasca pemijahan. 3. Stadia embrio 4-8 sel : pembelahan sel terus berlangsung mencapai 4 sel pada 3 jam pasca pemijahan, namun sebagian sel sudah melewati fase 4 selnya. 4. Stadia embrio dan multi sel : embrio mencapai pembelahan sel pada 4 jam pasca pemijahan.

107 81 5. Stadia blastula awal : setelah multi sel berubah bentuk seperti lembaran multi sel yang disebut prawchip (kerupuk), umumnya dicapai pada 5 jam pasca pemijahan. 6. Stadia blastula : bentuk prawnchip berkembang membentuk lekukan pinggir seperti mangkok berlubang cekung sebagai awal dari gastrula. Stadia ini dicapai pada umur 6-10 jam pasca pemijahan. 7. Stadia transsisi blastula ke gastrula : perkembangan embrio mengarah ke pembentukan gastrula dari blastula yang sempurna, yang membutuhkan waktu selama jam pasca pemijahan. 8. Stadia gastrula : embrio membentuk rongga sebagai cikal bakal coelum pada cnidaria yang umumnya dicapai pada waktu selama...jam pasca pemijahan. 9. Stadia planula awal : embrio berbentuk bulat penuh sebagai awal dari planula, memiliki cilia sehingga bergerak berputar. Stadia ini dicapai pada 47 jam pasca pemijahan. 10. Stadia planula : embrio mulai berbentuk lonjong, bergerak maju dengan cepat mengandalkan cilia tubuh, yang dicapai sekitar umur 54 jam pasca pemijahan. 11. Stadia planula akhir : embrio membentuk morfologi dengan panjang maksimum, berenang bebas melamban pada umur jam karena larva mulai mendeteksi substrat yang cocok untuk melekatkan diri. 12. Stadia planula metamorfosa : planula yang panjang mulai memendek berbentuk peer sehingga disebut planula pear umur 85 jam. 13. Polip transisi awal edwardsia : larva planula yang mengendap telah berubah bentuk menjadi plat pipih yang terbagi enam sekat. Pembagian tubuh planula merupakan cikal bakal terbentuknya ruang tubuh yang simetris radial berkelipatan enam. Stadia ini dicapai pada umur jam. Planula pear mulai melekatkan diri pada substrat dasar atau pada dinding media. Planula yang melekat cenderung berkoloni atau mendekat satu sama lain. 14. Stadia polip penuh : polip sempurna sudah terbentuk dengan jaringan transparan yang menggelembung 12 sekat yang transparan. Ada yang soliter menempel pada substrat dan banyak yang berkoloni.

108 82 Terdapat beberapa tahap perkembangan embrio karang. Telur yang fertil (cleavage) membelah menjadi dua bagian yang sama atau disebut holoblastik cleavage (Okubo 2007). Cleavage berubah bentuk menjadi tidak rata atau beralur sehingga membentuk dua blastomore yang sama. Pada kelompok hydroid, bentuk cleavage awal yang beralur tersebut merupakan cikal bakal bagian posterior larva (Goldstein dan Freeman 1997 diacu Ball et al. 2002). Stadiun cleavage pertama pada hydroid memiliki kesamaan dengan Acropora. Perbedaan dengan hydroid yakni pembelahan sel setelah fase 8 sel pada Acropora tidak tampak. Karena beberapa pola pembelahan sel kadang berlangsung secara cepat. Sebaliknya fase embrio yang berbentuk prawn chip kadang tidak ditemukan pada umumnya spesies karang, kecuali hanya pada famili Acroporidae karena perkembangannya berlangsung dengan cepat. Pada Acroporidae, embrio prawn chip bentuknya tidak teratur yang terdiri dari 2 lapis sel. Pada stadia embrio gastrula yang terbentuk pada jam, perkembangan morfologi melalui gastrulasi sebagai bentukan dari 2 lapis sel merupakan cikal bakal lapisan endodrmis dan ektodermis. Betuk prawnchip secara menyeluruh semakin menebal. Bagian pinggir yang menebal mulai terangkat dan memipih pada bagian tengahnya. Proses ini berlangsung terus hingga salah satu lapisan sel tereliminir epitelialnya dan terjadi rediferensiasi untuk membentuk endoderm (Ball et al. 2008) Sekitar jam, embrio gastrula berbentuk lonjong menutupi lubangnya, yang disebut lubang blastopore, pada salah satu ujung blastopore terlihat seperti lubang meskipun ada lubang pada ujung larva gastrula. Penutupan lubang blastopore merupakan pertanda berakhirnya stadia embrionik selanjutnya merupakan awal dari kehidupan larva yang berbentuk pear yang dilengkapi rambut getar cilia sehingga mampu berenang. Lubang oral nampak pada sisi posterior larva yang baru terbentuk yang menunjukkan arah berenang. Lubang tersebut dikeliling oleh cilia. Pada fase akhir larva planula, cenderung berbentuk memanjang dari bentuk pear menjadi bentuk spindel.

109 Keterangan : 1. Telur 1 sel 2. Cleavage 2 sel 3. 4 sel Sel 5. Prawnchip (blastula awal) 6. Blastula 7. Blastula transisi 8. Gastrula 9. Planula awal 10. Planula 11. Planula akhir peer 12. Planula metamorfosa 13. Polip edwardsia 14. Polip penuh Gambar 18 Perkembangan embrio hingga juvenil metamorfosa dari karang Acropora millepora hasil pemijahan 14 November 2011 di laboratorium OIRS Orpheus Island GBR.

110 84 Gambar 19 Siklus embrio dan larva hingga metamorfosa larang secara umum dari genus Acropora (Hayashibara et al. 1993) Gambar 20 Siklus perkembangan embrio dan larva karang Acropora millepora (Ball et al. 2002)

111 85 Meskipun planula bersifat labil karena transisi antara dua bentuk, namun pengendapan dan metamorfosa planula dipicu oleh bahan biofilm yang dihasilkan dari coraline algae (Webster et al. 1996). Coraline algae tidak cocok untuk larva yang masih berupa plankton, akan tetapi bahan biofilm tersebut merupakan biomagnet bagi planula yang metamorfosa melekat pada substrat menggunakan aboralnya. Larva planula yang panjang berkontraksi memendek membentuk lempengan pipih (flat disc) yang terbagi ke dalam bagian-bagian secara radial sebagai dasar pembagian ruang mesenteri selama proses pengendapan yang permanen dan bermetamorfosis menjadi juvenil karang yang disebut polip (Harrison dan Wallace, 1990). Dalam waktu yang singkat sebelum dan sesudah larva mengendap, terdapat kejadian reorganisasi jaringan secara cepat (Harrison dan Wallace 1990) yang terkait dengan proses metamorfosis dari planula menjadi polip dan memulai proses kalsifikasi. Pembelahan Sel Embrio Karang Beberapa koloni Acropora millepora memijah pada jam 20:50 dan berakhir pada jam 21:30 dalam laboratorium OIRS Orpheus Island pada tanggal 14 November Telah diuraikan di atas mengenai stadia perkembangan sel embrio dan larva secara dekriptif, hal tersebut menggambarkan rangkaian biologis embrio dan larva dari spesies A. millepora. Gambar 21 dan Tabel 14 di bawah ini menampilkan proporsi pembelahan sel setiap waktu pengamatan. Ball et al membagi stadium embrio, stadium larva dan stadium juvenil karang dalam siklus embriologi karang keras. % pembelahan sel 100% 80% 60% 40% 20% 0% A. millepora 1sel 2 sel 4 sel 8 sel 64 sel pre-blastula T0 T1 T2 T3 T4 T11 T17 Jam ke-tn Gambar 21 Fertilisasi dan pembelahan sel embrio karang A. millepora.

112 86 Tabel 14 Tingkat pembelahan sel embrio karang A. millepora Waktu Tingkat pembelahan sel embrio (X ± sd %) 20:50-64 sel Memijah 1sel 2 sel 4 sel 8 sel (multisel) 21:30 T T T2 61 ± 9 39 ± T3 3 ± 5 17 ± ± ± T4 19 ± ± ± 7 preblastula T11 98 ± T Pembelahan sel telur pada Acropora millepora mulai terjadi pada jam atau 2 jam setelah pemijahan dengan proporsi 39 ± 9%. Pada jam atau 3 jam setelah memijah, pembelahan sel bervariasi ada yang 2 sel, 4 sel dan 8 sel dengan proporsi tertinggi pada 4 sel sebesar 70 ± 21 %. Selanjutnya pada jam ke-4 (01.10) proporsi pembelahan 8 sel dan 64 sel lebih tinggi 40 ± 15% dan 41 ± 7%. Berselang lebih dari enam jam, atau pada jam pagi hari pembelahan sel sudah tidak ada, multisel berubah ke bentuk embrio stadia blastula awal (early blastula). Spesies karang A. tenuis memijah sekitar jam 18:00 dan berakhir jam 19:30 waktu GBR tengah Australia. Melalui proses biologi yang sama dengan A. millepora, pada A. tenuis lebih awal meresponi waktu pembelahan sel pada jam 21:00 atau 2 jam setelah pemijahan terakhir dengan proporsi fertilisasi hanya sebesar 5%. Pada jam ke-3 pembelahan sel masih berkisar dari sel telur membelah menjadi dua sel telur yang fertil sebanyak 83 ± 8 %. Empat jam setelah pemijahan (23:33), pembelahan sel lebih bervariasi yakni ada yang 2 sel, 4 sel dan 8 sel. Proporsi pembelahan sel terbesar pada saat 4 sel yakni 63±14 % dan 8 sel mulai terbentuk sebanyak 20±14 % (Gambar 20 dan Tabel 15). Pada jam ke 5 setelah pemijahan (24:33) stadia embrio 64 sel mulai terlihat berbentuk memanjang dengan proporsi 55±16 %, selanjutnya pada jam ke-6 (00:33) tercatat 82±11%.

113 87 % pembelahan sel 100% 80% 60% 40% 20% 0% A. tenuis T0 T1 T2 T3 T.4 T.5 T.6 T.17 waktu pasca pemijahan (jam) 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 64 sel pre-blastula Gambar 22 Tingkat pembelahan sel embrio karang A.tenuis Tabel 15 Tingkat pembelahan sel embrio karang A.tenuis Waktu Tingkat pembelahan sel embrio (X ± sd %) sel Memijah 1sel 2 sel 4 sel 8 sel (multisel) T T T2 95±2 5± T3 17±8 83± T ±14 20± T ±5 37±5 55±16 preblastula T.6 18±11 82± T.17 88±8 Koloni karang jamur Ctenactis crassa memijah pada jam 22:00 hingga dalam laboratorium OIRS Orpheus tanggal 15 November Pada Gambar 19 dan Tabel 14.yang menampilkan data perkembangan sel embrio karang Ctenactis crassa. Pembelahan pertama sel telur terjadi pada jam sebesar 15 %. Tiga puluh menit kemudian, 24:30 telah terjadi pembelahan ke 2 sel dan 4 sel dengan total 45 %. Pembelahan makin variatif yang diawali pembelahan ke 8 sel 3 % pada jam 01:00, namun demikian masih ada pembelahan 2 sel 27% dengan puncaknya pada 4 sel sebanyak 40%. Pada jam 02:20 masih didominasi oleh pembelahan 4 sel. Sembilan jam setelah pemijahan (07:30), bentuk 4 sel mulai berkurang, sementara 8 sel lebih dominan

114 88 dengan proporsi 66%. Terbentuknya sel embrio yang multi sel (64 sel, dst) baru terlihat pada jam ke-17 hingga pada jam ke-25 dan seterusnya. Pembelahan sel pada tiga spesies di atas menunjukkan adanya kesamaan pola pada umur 0-4 jam (T.0-T.4) setelah pemijahan. Proses perubahan fase pembelahan sel pada spesies Ctenactis crassa berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan spesies A. millepora dan A. tenuis. Namun pada jam-jam berikutnya terdapat perbedaan dari tiga spesies tersebut terutama dalam pembentukan multisel dan pre-blastula (prawn chip). Pre blastula pada spesies A. millepora terbentuk antara umur 4 11 jam, sementara pre-blastula pada A. tenuis terbentuk antara umur 6 17 jam atau minimal 2 jam lebih lambat dibanding A. millepora. Sedangkan pada spesies Ctenactis crassa terbentuknya preblastula pada umur larva antara jam setelah pemijahan. Embriogenesis pada Acropora intermedia, A. solitaryensis, A. hyacinthus, A. digitifera, and A. tenuis telah diteliti hingga tingkat morfologinya (Okubo and Notokawa 2007). Semua spesies memperlihatkan pola perkembangan yang sama. Embrio yang membelah terpilin di bagian tengah disebut holoblastik cleavage memiliki kuning telur yang lebih banyak. Setelah stadia morula, embrio membentuk stadia prawnchip dengan bentuk yang melebar tidak beraturan terdiri dari dua lapis sel. Embrio prwanchip yang menggulung pada bagian pinggir membentuk stadia bowl sebagai bagian dari proses awal gastrulasi. Bagimanapun juga, lubang blastopore mulai tertutup dan stomodeum (mulut dan faring) terbentuk melalui invaginasi pada daerah dekat blastopore yang tertutup tersebut. Embriogenesis karang telah diteliti sebanyak 19 species dari karang keras yang melepaskan gamet selama musim panas (musim spawning karang). Fertilisasi telur terjadi 2 jam setelah pemijahan pada semua spesies kemudian membentuk larva blastula setelah 7-10 jam. Pembentukan lapisan endodermal pada spesies Platygyra sinensis melalui invaginasi dan nampaknya larva menjadi tidak sehat atau lemah pada semua spesies setelah larva berumur 36 jam pasca pemijahan. Larva kembali terlihat sehat dan bergerak pada umur 48 jam (Babcock et al. 1986).

115 89 Ctenactis crassa % pembelahan sel 100% 80% 60% 40% 20% 0% 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel multisel T.0 T.1 T.2 T.3 T.4 T.9 T.17 T.25 Waktu pasca pemijahan (jam) Gambar 23 Tingkat pembelahan sel embrio karang Ctenactis crassa. Tabel 16 Tingkat pembelahan sel embrio spesies Ctenactis crassa Waktu Pembelahan sel embrio (X ± sd %) Memijah 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel multisel T T.1 85±5 15± T.2 50±7 20±7 25± T.3 27±9 30±4 40±9 3± T.4 5±1 20±3 50±4 20± T ±3 66± T ±7 57±12 preblastula T.17 44±8 54± T.25 72±13 Periode berenang bebas bagi planula yang brooding antara 0,5-3 hari, lebih pendek dibanding dengan spesies yang spawning antara 3-8 hari. Pada kebanyakan spesies karang brooding, larva mengendap dua hari setelah pemijahan, meskipun ada pula yang masih berenang hingga tiga minggu bahkan sampai dua bulan (Jones dan Endean 1973). Hasil penelitian lain terungkap pada umur larva jam, larva sudah bisa mengendap. Selama stadia planula, menurut Okubo and Notokawa (2007) rongga konkaf terbentuk pada sisi aboral yang berhubungan dengan sejumlah spyrocyst, yang berfungsi untuk melekatkan diri pada substrat pada saat sebelum larva bermetamorfosis.

116 90 Umur Larva Berenang Bebas (Larval Competence Time) Competence atau kompetensi diartikan sebagai kemampuan larva dalam meresponi faktor eksternal selama larva tersebut berkembang hingga mengendap atau menempel pada substrat (Gleason dan Hoffmann 2011). Competence time adalah waktu yang dibutuhkan selama masa embrio dan larva planktonik hingga mengendap pada substrat. Planula hasil pemijahan gamet membutuhkan waktu yang bervariasi untuk mencapai substrat atau metamorfosis tergantung pada individu dan spesies (Gleason dan Hoffmann 2011). Berikut empat spesies karang yang memiliki competence time yang berbeda yakni Acropora tenuis, A. millepora, Ctenactis crassa, Fungia concina hasil pemijahan di laboratorium OIRS Orpheus Island GBR bulan November 2011 (Tabel 17). Dalam penelitian ini, spesies Acropora tenuis menempuh competence time jam, dimana hampir sama dengan Acropora millepora jam. Sementara hasil penelitian Ball et al. (2002) pada spesies yang sama mendapatkan competence time yang lebih cepat yakni jam. Berbeda pula dengan pada kelompok Fungiid (Ctenactis crassa dan Fungia concina) umumnya mendapatkan competence time lebih cepat dari pada Acroporidae, yakni jam dan lebih dari 72 jam. Tabel 17. Spesies Karang Klasifikasi umur berdasarkan fase hidup embrio-larva-juvenil karang dan total competence time Waktu fase larva hingga polip (jam) Fertilisasi Embrio Planula Meta- morfosa Polip Compete nce Time Acropora tenuis Acropora millepora Acropora millepora (Ball et al 2002) > Ctenactis crassa Fungia concina > 72 Larva berkembang dalam air hingga stadia edwardsia stage (terbentuk 3-4 pasang mesenteri) atau stadia halcampoide stage (terbentuk enam pasang mesenteri). Perbedaan competence time tergantung pada model reproduksi antara larva yang dihasilkan dari brooding dan boadcast spawning. Larva hasil brooring artinya larva yang dilepaskan dalam bentuk planula yang sempurna.

117 91 Sementara larva hasil broadcasting adalah larva yang dihasilkan dari proses fertilisasi telur dan sperma di luar tubuh. Karang A. tenuis dan A. millepora membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai fase metamorfosa ( dan jam) dibanding dengan karang Fungiidae ( jam), demikian halnya dengan fase-fase sebelumnya kecuali stadia telur dan embrio. Oleh karena itu, kelompok larva karang Fungiidae akan mengendap atau melekat pada terumbu karang yang lebih dekat dari induk dibanding dengan kelompok larva dari Acroporidae. Hal ini disebabkan karena siklus planktonik embrio dan larvanya lebih cepat sehingga lebih awal untuk mengendap. Baird (1998) menemukan competence time maksimum pada A. millepora selama 60 hari dan A. valida mencapai 90 hari. Konsekuensi dari waktu pengendapan yang lebih cepat pada kelompok Fungiidae adalah minimnya ancaman larva sehingga kemugkinan keberhasilan pengendapan akan lebih besar. Sementara Acroporidae yang memiliki competence time yang lebih lama, peluang gagal metamorfosa lebih besar akibat hambatan alami seperti predasi. Namun demikian genus Acropora memiliki strategi yang luar biasa dengan melakukan pemijahan massal dalam waktu yang sinkron sehingga peluang untuk kelangsungan hidup larva juga lebih besar. Disamping itu, competence time juga ditentukan oleh cadangan energi dalam embrio sebagai slah satu strategi sekaligus faktor pembatas dalam fase planktonik. Untuk menempuh jarak yang jauh dan competence time yang cukup lama, larva karang planktonik membutuhkan energi yang cukup banyak. Untuk menempuh waktu yang lama, karang harus memiliki energi yang cukup banyak dan strategi pencadangan lemak dan pengontrolan metabolisme. Strategi yang dilakukan larva yakni : (1) dengan mengatur laju metaboli, (2) menyimpan cadangan lemk yang banyak, (3) kandungan zooxanthella sejak dari inang untuk fotosintesis. Namun terkadang larva planula dihadapkan oleh faktor pemangsaan, polusi dan perubahan lingkungan perairan (pencemaran). Sebagai bahan perbandingan dengan hasil penelitian di atas, pada Tabel 18 berikut ditampilkan beberapa catatan umur larva dan waktu maksimum competensi beberapa spesies Scleractinia. Ada perbedaan waktu pengendapan larva planula berdasarkan spesies dan menurut lokasi.

118 92 Tabel 18 Perbandingan umur larva dan competence time dari tiap spesies Spesies karang Larva Competence (hari) (hari) Lokasi Sumber A. millepora 4 GBR Heyward and Negri 1999 A. Millepora 1-4 Okinawa Heyward et al A. millepora 60 GBR Baird 1998 A. valida 90 GBR Baird 1998 A. solitaryensis GBR Nozawa and Harrison 2000 A. logycianthus 2-4 GBR Harrison 1997 Caryphyllia smithii GBR Tratter et al 1982 Cyphastrea serailia GBR Nozawa and Harrison 2000 P. daedalea 2-3 GBR Nozawa and Harrison Australia Wilson and Harrison 1998 Acanthastrea Shlesinger dan Loya 1985, lordhowensis 6-10 Red Sea 1991) G. australiensis GBR Wilson and Harrison 1998 Dalam penelitian lain (Shlesinger dan Loya 1986) terungkap periode perkembangan larva karang hasil brooding dan broadcast spawning berbeda. Bagi larva yang dihasilkan dari pemijahan, minimum competence time yang dibutuhkan adalah jam, sementara larva hasil brooding rata-rata membutuhkan waktu hanya 4 jam untuk mencapai pengendapan pada substrat. Dalam penelitian lain dikatakan periode berenang bebas dari planula antara 0,5-3 hari terjadi pada spesies yang brooding dan 3-8 hari terjadi pada spesies yang spawning. Perbedaan ini tergantung pada waktu yang dibutuhkan oleh larva dari karang yang memijah untuk berkembang dalam air hingga stadia edwardsia stage (terbentuk 3-4 pasang mesenteri) atau stadia halcampoide stage (terbentuk enam pasang mesenteri). Pada kebanyakan spesies karang, larva mengendap dalam dua hari setelah pemijahan, meskipun ada pula yang masih berenang selama tiga minggu bahkan sampai dua bulan. Paling lama larva berenang bebas hingga mengendap lebih dari satu bulan setelah spawning (36-42 hari). Perkembangan Ukuran Embrio dan Larva Planula Banyak hasil penelitian yang menjelaskan umur larva (broadcasting atau brooding), namun masih sediit informasi perkembangan ukuran larva mulai dari fase telur hingga planula. Pada bagian ini akan dibahas perkembangan ukuran embrio dan larva karang dari masing-masing spesies dari Acroporidae (Acropora millepora dan Acropora tenuis) dan famili Fungiidae (Fungia concina dan Ctenactis crassa). Hipotesis yang dimunculkan dalam subbagian penelitian ini

119 93 adalah terdapat perbedaan ukuran (diameter dan panjang) dalam embriogenesis masing-masing spesies dan kelompok famili (Acroporidae dan Fungiidae). Ukuran awal bagi telur karang saat pemijahan bervariasi baik antar spesies maupun antar buntelan atau antar individu telur dalam buntelan. Pada hewan uji dua spesies Acropora millepora dan Acropora tenuis, ukuran telur yang matang masing-masing yakni 451 ± 5,9 µm dan 517 ± 13 µm. Ukuran tersebut lebih besar 5-10 kali lipat dibanding telur karang Fungiidae (Fungia concina dan Ctenactis crassa) masing-masing 60 µm dan 100 µm. Perkembangan embrio-larva planula untuk semua spesies menurut hasil Uji-Tukey (α =0,05) berbeda secara signifikan (df=24; F=58,9), sebaliknta uji beda ukuran antara waktu (Tn) tidak berbeda. Perkembangan embrio A. millepora lebih cepat dibanding A. tenuis. Dari analisis regresi linear A. millepora, persamaan Y = 46,42x + 441,7 dengan R 2 = 0,905 memperlihatkan nilai kemiringan yang lebih besar dibanding pada A. tenuis dengan persamaan Y = 26,21x + 468, dengan R² = 0,933. Ukuran embrio-larva (µm) Y = 46,42x + 441,7 R² = 0,905 y = 26.21x R² = A.tenuis A.millepora 0 T.1 T.6 T.14 T.19 T.26 T.32 T.38 T.40 T.44 T.50 T.55 T.60 T.66 T.72 Waktu (jam) Gambar 24 Perkembangan ukuran embrio dan larva Acroporidae (A.tenuis dan A. millepora)

120 94 Perkembangan embrio dan larva dua spesies karang Acroporidae (Acropora millepora dan Acropora tenuis) dalam penelitian ini dibagi dalam 4 fase perkembangan, yakni (1) fase pembelahan sel (T1-T14) untuk kedua spesies dan (2) fase embrio (T14-T26) A.millepora dan (T14-T38) A. tenuis, (3) fase planula berkembang (T26 T.44) dan (4) fase pra metamorfosis (T44- T.72) A.millepora, sedangkan untuk spesies A. tenuis fase planula terbentuk pada (T.38 T.50) dan pra metamorfosis (T.50 T.72) (Gambar 24). Secara spesifik, Gambar 24 memperlihatkan perkembangan embrio dua spesies Acropora (A. millepora dan A. tenuis) hampir berimpit pada (T.0 - T.26), terutama pada T.19 dengan diameter 566 µm dan 558,8 µm, dan pada T.26 diameter 580 µm dan 575 µm. Perkembangan embrio A. millepora lebih besar dibanding dengan Acropora. tenuis. Perbedaan mulai terlihat 26 jam pasca pemijahan (T.26) dimana A. millepora mulai menunjukkan perkembangan yang lebih cepat, sementara A. tenuis terlihat meningkat ukurannya setelah 32 jam pasca pemijahan (T.32). Setelah 44 jam pasca pemijahan (T.44) A. millepora dan T.50 A. tenuis ukuran larva mulai terenduksi, karena ukuran panjang planula yang berenang bebas telah mencapai titik maksimal untuk mempersiapkan diri fase pra metamorfosis. A.millepora membutuhkan waktu lebih lama, sementara beberapa jam kemudian larva A. tenuis juga telihat mengkerut setelah perubahan fase planula hingga T.60 dan kembali tumbuh pada T.66 hingga akhir penelitian T.72. Pada akhir penelitian ini sebelum metamorfosa, panjang larva A.millepora 1020 µm dan A. tenuis 832 µm. Dalam kelompok Fungiidae, ukuran telur Ctenactis crassa lebih besar dibanding Fungia concina (100 : 60 µm). Perkembangan ukuran telur dan embrio famili Fungiidae berbentuk linear terhadap waktu, semakin bertambah umur embrio maka beda ukuran antara dua spesies makin besar. Embrio C. crassa lebih cepat berkembang dibanding F. concina. Hal ini terlihat dari persamaan regresi C. rassa : Y = 32,14x + 73,68 dengan R² = 0,908 yang mempelihtkan tingkat kemiringan yang lebih besar (32,14) dibanding F. concina (22,07) dari persamaan regresi Y = 22,07x + 0,814 dengan R² = 0,916 (Gambar 25). Perkembangan embrio kedua spesies karang Fungiidae dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase pertumbuhan, yakni (1) fase pembelahan sel C. crassa yang terjadi dalam rentang waktu (T1-T10) dan F. concina (T1-17),

121 95 (2) fase perkembangan embrio C. crassa (T10-T42) dan (T17-T46) F. concina, (3) fase perkembangan planula C.crassa (T42 dst) dan (T46 dst) F. concina Ctenactis crassa Fungia concina Ukuran embrio-larva (µm) y = 32.14x R² = y = 22.07x R² = T.1 T.2 T.3 T.5 T.10 T.17 T.25 T.30 T.34 T.42 T.46 T.51 T.60 T.76 T.89 Waktu (jam) Gambar 25 Perkembangan ukuran embrio dan larva Fungiidae (Ctenactis crassa dan Fungia concina) Dari pembagian fase di atas berdasarkan waktu perkembangan embrio dan larva masing-masing spesies di atas sehingga dapat diklasifikasi diameter telur (oosit), embrio, panjang larva planula, diameter larva yang metamorfosa (Tabel 19). Tabel 19 Rata-rata dan rentang ukuran setiap fase embriogenesis masingmasing spesies karang Spesies Rentang ukuran tiap fase larva (µm) telur embrio planula metamorfosa A. millepora >1000 A. tenuis >900 Ctenactis crassa >450 Fungia concina >300 Data tersebut memperlihatkan adanya perbedaan ukuran masing-masing spesies pada setiap fase/stadia perkembangan embrio dan larva karang.

122 96 Walaupun diameter telur A. millepora (451 µm) sedikit lebih kecil dibanding A. tenuis (517 µm), namun dengan perkembangan ukuran yang lebih cepat pada stadia embrio A. millepora sehingga ukuran panjang larva planula ( µm) melebihi panjang planula A. tenuis ( µm). Ukuran telur, embrio dan larva planula untuk spesies C. crassa lebih besar dan berkembang lebih cepat dibanding dengan spesies F. concina. Larva planula untuk C. crassa dicapai pada ukuran µm, sementara pada F. concina µm dan merupakan ukuran biologi terkecil diantara semua embrio karang dalam penelitian ini. PEMBAHASAN Penelitian embriogenesis telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Babcock et al. (1986); Hayashibara et al. (1997); Okubo dan Motokawa (2007), umumnya menjelaskan embriogenesis dari genus Acropora. Lebih dari 75 persen spesies karang keras (Scleractinia) dari tipe reproduksi yang hermaprodite broadcast dan lebih dari 70 spesies diantaranya yang gonochoris broadcaster melakukan fertilisasi eksternal (Guest et al. 2010). Pasca pelepasan dari polip, telur karang membutuhkan waktu pemisahan dari buntelan dan waktu pematangan lanjutan untuk beradaptasi dengan lingkungan perairan sebelum melakukan hibridisasi dengan sperma. Dengan alasan kebutuhan waktu tersebut, maka fertilisasi memiliki waktu jedah antara saat pelepasan dan pembelahan sel. Telur-telur karang umumnya mengalami fertilisasi setelah 2 jam pasca pemijahan (Guest et al. 2010). Fertilisasi dan perkembangan embrio selama fase planktonik karang berlangsung di permukaan air (Harrison dan Wallace 1990). Dalam penelitian ini, fertilisasi terjadi pada jam pertama pasca hibridisasi sperma dan telur, namun beberapa penelitian menyebutkan fertilisasi baru terlihat pada jam kedua. Acropora tenuis memberikan respon prosentase fertilisasi yang lebih tinggi pada jam pertama pasca hibridisasi dibanding dua spesies lainnya A. humilis dan C. crassa. Perbedaan ini disebabkan karena telur Acropora tenuis berasal dari hasil induksi atau rangsangan pemijahan secara fisik (air mengalir dan aerasi kuat). Disamping respon pemijahan yang lebih cepat, metode induksi pemijahan tersebut ternyata mampu memberikan

123 97 rangsangan percepatan fertilisasi. Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut apa dan bagaimana proses tersebut sehingga mampu mempercepat pemijahan dan fertilisasi. Puncak fertilisasi > 95% terjadi pada jam ke 3 dan 4, sehingga total waktu fertilisasi dalam penelitian ini hanya 4 jam. Penelitian tersebut di atas mendukung penelitian sebelumnya oleh Markey et al. (2007) yang mendapatkan tingkat fertilisasi mencapai maksimum pada 4 jam setelah hibridisasi sebanyak 97,7 ± 0.4%. Dalam penelitian yang sama, fertilisasi 97 ± 1% dan 98 ± 1% dicapai setelah tiga jam setelah pemijahan. Sementara Acropora tenuis menunjukkan tingkat fertilisasi 95 % setelah dihibridisasi dengan konsentrasi sperma 10 8 /ml. Potensi fertilisasi karang Platygyra sinensis meningkat hingga 100 % beberapa saat setelah pemijahan. Satu jam kemudian, laju fertilisasi gamet karang ini mulai bervariasi dan cenderung menurun. Selama 3 jam setelah pemijahan, fertilisasi menurun dengan tajam hingga sampai nol, hal ini berarti tiga jam setelah pemijahan, gamet-gamet karang ini semuanya sudah terfertilisasi (Oliver dan Babcock, 1992). Namun penelitian lain mendapatkan fertilisasi spesies Platygyra sinensis baru mencapai 20-30% mulai terlihat pada 4 dan 5 jam setelah pemijahan. Oliver dan Babcock (1992) mengungkapkan faktor yang mempengaruhi kegagalan fertilisasi. Meskipun umur telur dan sperma bervariasi, akan tetapi fertilisasi bisa diakibatkan oleh melemahnya kondisi sperma yang kurang aktif bergerak karena kehabisan energi. Disamping itu, kelarutan gamet yang bervolume sedikit pada kolom air juga menyebabkan rendahnya tingkat fertilisasi. Umumnya pemijahan yang berlangsung pada malam hari di alam, konsentrasi sperma tersebar dan berkurang, sehingga fertilisasi terjadi dalam waktu yang lebih lama karena gamet terbawa arus keluar dari areal terumbu karang. Tingkat fertilisasi yang tinggi di alam selama musim pemijahan terjadi pada kondisi perairan sedang tenang. Sebaliknya fertilisasi di alam akan terganggu oleh faktor oseanografi dan klimatologi. Fertilisasi tidak akan berlangsung dengan baik karena kondisi angin yang kencang. Ketika angin kuat yang membangkitkan gelombang yang tinggi, massa air akan bercampur sempurna, dimana air permukaan akan turun dan sebaliknya. Sehingga gamet yang seharusnya mengapung untuk fertilisasi akan terbawa bercampur dengan massa air yang tenggelam. Dalam kondisi perairan yang tidak tenang atau angin kencang, proporsi fertilisasi akan lebih rendah. Sebagai salah satu strategi

124 98 memaksimalkan fertilisasi spesies karang yang selalu mengapungkan gametnya, namun cuaca di permukaan berperan penting dalam menentukan laju fertilisasi dan kesuksesan pemijahan gamet karang. Di samping itu, rendahnya tingkat fertilisasi juga diakibatkan oleh menurunnya kondisi lingkungan misalnya menurunnya kelarutan oksigen, meningkatnya CO 2 dan ph yang rendah (Oliver dan Babcock 1992). Kesuksesan fertilisasi didukung oleh kondisi lingkungan perairan, dimana fertilisasi dalam laboratorium dengan air yang tersaring dan bersih menghasilkan tingkat fertilisasi yang mendekati sempurna. Di samping itu, fertilisasi juga ditentukan oleh konsentrasi sperma yang optimal, karena bila berlebih akan terjadi polisperma dan bila terlalu sedikit akan mengurangi kesempatan telur terbuahi. Oleh karena itu Guest et al. (2010) menyarankan untuk menggunakan konsentrasi sperma sel/ml. Lasker (2006) menjelaskan bahwa salah satu faktor pendukung yang utama dalam fertilisasi adalah kejadian pemijahan yang sinkroni dimana ketersediaan telur bersama sperma dalam waktu yang bersamaan. Secara biokimiawi, sperma mampu mendekat ke telur yang berenang pasif disamping karena sperma memiliki flagel, juga sifat kemotaksis dari sperma terhadap telur yang dapat mempengaruhi daya tahan fertilisasi. Di alam, kondisi perairan yang tenang dan suhu yang normal (tergantung lokasi) dapat meningkatkan fertilisasi telur karang. Pada akhirnya kesuksesan fertilisasi tergantung pada lokasi dan waktu pemijahan the right palce and the right time (Lasker 2006). Embriogenesis pada Acropora intermedia, A. solitaryensis, A. hyacinthus, A. digitifera, and A. tenuis telah diteliti hingga tingkat morfologinya (Okubo and Notokawa (2007). Semua spesies memperlihatkan pola perkembangan yang sama. Embriogenesis A.palmata dari Laut Karibia menurut Portune et al. (2010) sama dengan embriogenesis pada A. millepora di Pasifik. Hasil penelitian Okubo dan Motokawa (2007) bahwa pembelahan sel dari oosit Acropora umumnya dicapai dalam waktu kurang dari 6 jam setelah pemijahan. Satu jam pertama telur belum terbuahi (oosit) biasanya dalam bentuk yang bulat, atau sedikit lonjong, atau oval. Selanjutnya sekitar 2 jam setelah terbuahi sel telur terbagi menjadi dua sel yang disebut blastomere (prosesnya disebut cleavage). Embrio yang membelah terpilin di bagian tengah disebut holoblastik cleavage memiliki kuning telur (islecithal yolk) yang lebih banyak. Selama 3 jam embrio terbagi lagi menjadi 4 sel, 4 jam menjadi 8 sel dan 5 jam

125 99 menjadi 16 sel hingga menjadi multisel (morula) pada 6 jam setelah fertilisasi (Okubo dan Motokawa, 2007). Setelah stadia morula, embrio membentuk stadia prawnchip dengan bentuk yang melebar tidak beraturan terdiri dari dua lapis sel. Embrio prawnchip yang menggulung pada bagian pinggir membentuk stadia bowl sebagai bagian dari proses awal gastrulasi. Bagimanapun juga, lubang blastopore mulai tertutup dan stomodeum (mulut dan faring) terbentuk melalui invaginasi pada daerah dekat blastopore yang tertutup tersebut. Dalam penelitian ini, pengamatan perkembangan sel atau tingkat pembelahan sel gamet hingga mencapai stadia multiselluler (morula) atau sebelum stadia blastula. Untuk dua spesies dari genus Acropora fase morula hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam, lebih cepat dibanding hasil pengamatan Okubo dan Motokawa (2007) dan Ball et al. (2002). Lebih jauh Ball et al. (2002) mendapatkan stadia morula pada 9 jam setelah fertilisasi. Perkembangan embrio dan larva karang famili Acroporidae (A. millepora dan Acropora tenuis) berbeda signifikan terhadap dua spesies dari Fungiidae (Ctenactis crassa dan Fungia concina) dan jika dibandingkan antar waktu masing-masing spesies tidak berbeda. Embrio Acroporidae ukurannya lebih besar dibanding Fungiidae. Di antara spesies Acropora, embrio dan larva A. millepora berkembang lebih cepat dibanding A. tenuis. Demikian halnya dengan embrio dan larva Ctenactis crassa berkembang lebih cepat dibanding Fungia concina. Mungkin inilah alasan mengapa para peneliti biologi reproduksi karang cenderung memilih kelompok Acroporidae untuk dijadikan hewan uji eksperimen reproduksi dan perkembangan larva. Disamping itu, Acropora lebih mudah ditemukan karena komposisi spesies dan kelimpahannya di alam jauh lebih besar (Wallace, 1999). Reproduksi Acropora lebih mudah diprediksi dan bersifat masal serta sinkron (Wallace et al. 1985; Baird et al. 2009). Pembentukan lapisan endodermal pada spesies Platygyra sinensis melalui invaginasi dan nampaknya larva menjadi tidak sehat atau lemah pada semua spesies setelah larva berumur 36 jam setelah spawning. Larva kembali terlihat sehat dan bergerak pada umur 48 jam. Larva planula mengalami pengendapan dalam aquarium pada umur 4-7 hari setelah fertilisasi. Kesimpulannya, larva karang yang dihasilkan dari gamet yang dilepaskan spesies karang menyebar dari karang induknya (Babcock et al. 1986) Ukuran masing-masing fase planktonik larva karang tergntung pada karangteristik tiap spesies. Perkembangan larva yang berenang bebas menjadi

126 100 larva yang mengendap dan melekat membutuhkan waktu yang berbeda-beda setiap stadia (Schwarz et al. 1999). Dalam waktu 12 jam setelah fertilisasi, spesies Fungia scutaria sudah terbentuk larva planula berbentuk lonjong bercilia yang berenang perlahan. Pada umur 24 jam setelah fertilisasi sudah mencapai 100 µm, kemudian dalam waktu 3 x 24 jam larva sudah memiliki mulut dan rongga gastrik yang fungsional dan sudah difungsikan untuk proses memakan seperti Artemia (Schwarz et al. 1999). Spesies karang Ctenactis crassa mencapai ukuran panjang larva planula sekitar dan F. concina µm. Ukuran panjang larva planula A. millepora sebelum metamorfosis masih jauh beberapa kali lebih besar dibanding kelompok Fungiidae yakni sekitar µm dan A. tenuis µm. Dalam penelitian ini, competence time spesies karang Fungiidae (C. crassa : jam dan F. concina : > 72 jam) lebih cepat dibanding dengan kelompok Acroporidae (A. millepora : jam dan A. tenuis : jam). Berbagai laporan yang mengungkap competence time minimum sebelum larva mengendap (Harrison dan Wallace 1990) terkadang masih bisa diprediksi dengan tepat. Namun keraguan tersebut ditepis oleh beberapa penelitian lain (Baird 1998) dimana larva karang ada yang mampu bertahan hidup antara hari hingga mengendap. Hal ini berarti bahwa larva karang ini cenderung mengendap pada jarak yang cukup jauh dari lingkungan induknya. Waktu tersebut merupakan rekor terlama fase larva sebelum mengendap dari semua spesies karang yang memijah seperti Caryphyllia smithii 8-10 minggu, Goniastrea australiensis hari, Acanthastrea lordhowensis hari, Cyphastrea serailia hari Bagi karang Pocilloporidae seperti Stylophora, Seriatopora dan Pocillopora memiliki competence time larva yang lebih pendek dibanding karang-karang Faviidae seperti Goniastrea, Platygyra dan Favia. Faviidae membutuhkan competence time 6 8 hari dibanding Pocilloporidae 1-5 hari (Shlesinger dan Loya 1985). Sementara larva planula Platygyra sinensis mulai mengendap dalam aquarium pada umur 4 hari namun ada pula yang mencapai 7 hari setelah fertilisasi. Larva karang yang dihasilkan dari gamet yang dilepaskan menyebar dari karang induknya (Babcock et al. 1986) membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan larva planula hasil brooding. Mundy and Babcock (1998) juga menjelaskan bahwa competence time larva karang untuk mengendap tergantung pada spesies, model pemijahan

127 101 dan kondisi cahaya. Morse et al. (1988) masih mengungkapkan pertanyaan bagaimana planula merespon variasi faktor lingkungan secara bersamaan seperti cahaya, faktor biotik dan sedimentasi hingga saat ini belum diketahui. Larva hasil pelepasan gamet berenang sebagai planktonik mengalami perkembangan selama lebih kurang 4 10 hari sebelum mengalami metamorfosis dan mengendap secara permanen (Shlesinger dan Loya 1985; Shlesinger dan Loya 1986). Untuk Acropora longycianthus memperlihatkan 50% larva mengendap pada tegel yang terpasang dalam waktu 2-4 hari setelah pemijahan, sedangkan competence time jauh lebih lama terdapat pada Acropora millepora selama 60 hari, Acropora valida sembilan 90 hari (Baird 1998) dan Acropora solitaryensis hari (Wilson and Harrison 1998; Baird 1998). SIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan : 1. Tingkat fertilisasi antar spesies Acropora tenuis, A. millepora dan Ctenactis crassa berbeda antar waktu dan mencapai puncaknya pada jam ke-4 pasca pemijahan. 2. Waktu berenang bebas (Competence time) larva kelompok karang Acroporidae lebih lama dibanding dengan Fungiidae. 3. Perkembangan embrio-larva famili Acroporidae lebih cepat dibanding Fungiidae. Embrio dan larva karang A. millepora berkembang lebih cepat dibanding A. tenuis, sementara Ctenactis crassa juga lebih cepat dibanding Fungia concina. SARAN 1. Data competence time larva belum cukup untuk menjelaskan tingkahlaku larva mengendap, oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengungkap tingakhlaku larva yang berenang bebas hingga mengendap. 2. Untuk penelitian lebih lanjut, larva bisa digunakan untuk melakukan ujicoba berbagai riset fisiologi larva karang yang berenang bebas yang dipengaruhi oleh faktor oseanografi.

128 102 DAFTAR PUSTAKA Babcock RC, Heyward A Larval development of certain gamete spawning scleractinian corals. Coral Reefs 5 : Babcock RC, Bull GD, Harrison PL, Heyward AJ, Oliver JK Synchronous spawning of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar. Biol 90 : Baird A The lenght of the larval phase in corals : new insights into patterns of coral connectivity. Australian Coral Reef Society Autum Newsletter. June 1998 : 6-8. Ball EE, Hayward DC, Hoyes JSR, Hislop NR, Samuel G, Saint R, Harrison PL, Miller DJ Coral development: from classical embryology to molecular control. Int. J. Dev. Biol. 46: Birrell, C.L., McCook, L.J., Willis, B.L., Harrington, L Chemical effects of macroalgae on larval settlement of the broadcast spawning coral Acropora millepora. Mar. Eco. Prog. Ser. 362 : Daniel F. Gleason DF, Hofmann DK Coral larvae: From gametes to recruits. J. Exp. Mar. Bio. and Eco. 408 : Franke ES, Babcock RC, Styan CA Sexual conflict and polyspermy under sperm limited conditions : insitu evidence from field simulations with the free spawning marine echinoid Evechinus chloroticus. Di dalam : Lasker HR High fertilisation success in a surface brooding Carribean Gorgonian. Biol. Bull. 210 : Gleason DF, Hoffman DK Coral Larvae : From gametes to recruits. J. Exp. Mar. Bio.Eco. 408 : Goldstein B, Freeman G Axis specification in animal development. Di dalam : Ball EE (editor). Coral development: from classical embryology to molecular control. Int. J. Dev. Biol. 46: Guest J, A. Heyward M. Omori, K. Iwao, A. Morse, C. Boch Rearing Corals Larvae for Reef Rehabilitation. Edwards AJ (Editor) : Reef Rehabilitation Manual. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. St.Lucia Australia : Harrison PL, Babcock RC, Bull GD, Oliver JK, Wallace CC, Willis BL Mass spawning in tropical reef corals. Science 223 : Harrison PL, Wallace CC Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. Di dalam : Makey et al. (editor) Insecticides and a fungicide affect multiple coral life stages. Mar Ecol Prog Ser. 330 :

129 103 Hayashibara T, Ohike S, Kakimuna Y Embryonic and larval development and planula metamorphosis of four gamete spawning Acropora (Anthozoa, Scleractinia). Proc.8th Int. Coral Reef Symp 2: Lasker, HR High Fertilization Success in a Surface-Brooding Caribbean Gorgonian. Biol. Bull. 210: Levitan DR The relationship between egg size and fertilization successin broadcast-spawning marine invertebrates. Integrative and Comparative Biology. 46 : Markey KL, Baird AH, Humphrey C, Negri AP Insecticides and a fungicide affect multiple coral life stages. Mar. Ecol. Prog. Ser. 330 : Mundy CN, Babcock RC Role of light intensity and spectral quality in coral settlement: Implications for depth-dependent settlement? Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 223 : Negri AP, Heyward AJ Inhibition of fertilization and larval metamorphosis of the coral Acropora millepora (Ehrenberg 1834) by petroleum products. Mar. Poll. Bull. 41 : Okubo N, Motokawa T Embryogenesis of the reef building coral Acropora spp. Zoo. Sci. 24 : Oliver J, Babcock R Aspects of the fertilization ecology of broadcast spawning corals: sperm dilution effects and in situ measurements of fertilization. Biol. Bull. 183: Portune KJ, Volstra CR, Medina M, Szmant AM Development and heat stress induced transcriptomic change during embryogenesis of the scleractinian coral Acropora palmata. Marine Genomics 3 : Portune KJ, Voolstra CR, Medina M, Szmant AM Development and heat stress-induced transcriptomic changes during embryogenesis of the scleractinian coral Acropora palmata. Marine Genomics 3 : Schwarz JA, Krupp DA, Weis VM Late larval development and onset of symbiosis in the scleractinian coral Fungia scutaria. Biol. Bull 196 : Shlesinger Y, Loya Y Coral community reproductive patterns : Red Sea versus the Great Barrier Reef. Science Magazine. [terhubung berkala]. http :// [3 April 2008]. Thamrin Karang : Biologi reproduksi dan ekologi. Pekanbaru : Minamandiri Press. Wallace CC Staghorn Corals of the World : A Revision of the Genus Acropora. Australia. CSIRO. Collingwood, Australia.

130 104 Webster NS, Smith LD, Heyward AJ, Watts JEM, Webb RI, Linda L, Blackall, Negri AP Metamorphosis of a scleractinian coral in response to microbial biofilms. App. Env. Micro. : Willis BL, Babcock RC, Harrison PL, Olover JK, Wallace CC Pattern in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to Proc. 5th International Coral Reef Congress. 4 : Wilson J, Harrison P Settlement competency periods of larvae of 3 species of scleractinian corals. Mar Biol 131:

131 105 METAMORFOSIS LARVA KARANG Acropora tenuis (Dana 1846) DALAM KONDISI TERKONTROL ABSTRAK SYAFYUDIN YUSUF. Metamorfosis larva karang Acropora tenuis (Dana 1846) dalam kondisi terkontrol. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, M.ZAIRIN JUNIOR, dan JAMALUDDIN JOMPA Fase metamorfosa bagi larva karang tergolong kritis, karena perubahan morfologi, ancaman predasi dan kompetisi sehingga sering mengancam kelangsungan hidup. Proses reproduksi karang secara terkontrol terus diupayakan untuk mencapai kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh intensitas cahaya, posisi substrat terhadap pengendapan larva planula dan pelekatan juvenil, pengaruh induksi zooxanthella dan CCA terhadap metamorfosis larva karang A. tenuis. Percobaan intensitas cahaya menggunakan metode reduksi cahaya 4 tingkat, yakni 170, 130, 90 dan 45 µmol/m 2 /s. Posisi substrat terdiri dari dua, yakni vertikal dan horizontal. Metamorfosis larva karang menggunakan metode induksi zooxanthella dan CCA. Hasilnya, larva dan juvenil A. tenuis lebih banyak mengendap dan melekat pada intensitas cahaya yang lebih tinggi ( µmol/m 2 /s). Namun dari semua intensitas cahaya tidak mempengaruhi total pengendapan larva planula dan pelekatan juvenil. Preferensi penempelan juvenil lebih banyak di dalam substrat yang berposisi horizontal dan berbeda nyata dibanding substrat vertikal. Secara terpisah induksi CCA dan induksi zooxanthella mempengaruhi laju metamorfosis larva planula A. tenuis, namun kombinasi antara keduanya tidak berpengaruh. Metamorfosa larva A. tenuis menunjukkan respon yang sama terhadap perbedaan konsentrasi zooxanthella, kecuali tanpa zooxanthella dan CCA. Kata kunci : metamorfosa, zooxanthella, crustose coralline algae

132 106 ABSTRACT SYAFYUDIN YUSUF. Metamorphosis of Coral Lavae Acropora tenuis (Dana 1846) in Control Condition. Under supervised by NEVIATY P. ZAMANI, M.ZAIRIN JUNIOR, dan JAMALUDDIN JOMPA Metamorphic phase of coral larvae is classified as critical, due to the morphological changes, threat of predation and competition that often threatens the survival of larvae. Therefore, controlled coral reproduction process is continuously attempted to achieve a higher survival. This research was aimed to know the effect of light intensity, the position of the substrate for planulae larvae deposition and juveniles attachment, the effect of zooxanthella and CCA induction for metamorphosis of planulae larvae. The experiments used 4 level of light intensities i.e. 170, 130, 90 and 45 μmol/m 2 /s. Thereby, the position of subtract was modified into vertical and horizontal. Furthermore, the rate of metamorphosis of planulae larvae conveyed an induction zooxanthella and the CCA. The results showed that larvae and juvenile of A. tenuis were much more settled and attached in higher light intensities μmol/m 2 /s. However, light intensity did not affect the total deposition of planulae larvae and juveniles settlement and attachement behavior. Juvenile attachment preferences in the substrate were much more positioned horizontally than vertically significantly. Induction of zooxanthellae and CCA separately could significantly affect the metamorphosis. However, combination of both had no effect. Larvae metamorphosis of A. tenuis showed the same response to different concentrations of zooxanthella, except without zooxanthella and CCA. Keywords: metamorphosis, light intensity, zooxanthella, CCA

133 107 PENDAHULUAN Metamorfosis adalah suatu proses perubahan morfologi dalam siklus hidup organisme air yang memediasi stadium larva planktonik menjadi juvenil (Nakamura et al. 2011). Fase metamorfosis tergolong fase yang kritis, karena sering mengancam kelangsungan hidup dimana terjadi perubahan bentuk tubuh larva, cadangan energi internal mulai habis dan memulai bentuk kehidupan baru pada substrat dengan berbagai ancaman predasi dan kompetisi. Menurut Nakamura et al (2011) jika metamorfosis sukses, maka kelangsungan hidup larva menjadi juvenil akan lebih tinggi atau sebaliknya. Penelitian mengenai metamorfosis larva planula dan pengendapannya dengan berbabagai model eksperimen telah banyak dilakukan misalnya oleh Mundy dan Babcock (1996,1998); Kuffner (2001); Negri et al. (2001); Harrington et al. (2004); Petersen et al. (2005); Suzuki dan Hayashibara (2006); Schwarz et al. (2006), dan review ditulis oleh Nozawa (2008); Gleason dan Kofmann (2011). Pemilihan habitat oleh larva planktonik merupakan fase yang kritis bagi organisme invertebrata yang melekat pada substrat (sessile), karena kondisi lingkungan harus sesuai dengan stadium akhir dari larva tersebut (Baird et al. 2003). Larva planula akan memilih lokasi dan substrat yang permanen untuk melekatkan diri tergantung pada faktor fisik, seperti cahaya, salinitas, pergerakan air, kedalaman, bentuk permukaan substrat dan sedimentasi (Mundy dan Babcock 1998; Raymondy dan Morse 2000). Pada habitat terumbu karang, substrat yang cocok untuk pelekatan larva karang ditentukan menurut bahan biokimia di permukaan substrat seperti biofilm algae, diatomae dan atau bakteri (Baird and Morse, 2004; Raimondi and Morse, 2000). Bahan biokimiawi tersebut terkandung oleh Crustose Coraline Algae (CCA) dan Red Coraline Algae (RCA) sehingga mampu berfungsi sebagai substrat bagi pengendapan dan pelekatan larva planula. CCA juga memberikan ruang atau mikrohabitat bagi larva karang yang sesuai dengan kebutuhan proses metamorfosis terutama pengendapan dan penempelan larva (Harrington et al. 2004; Baird et al. 2003). Birrel et al.(2009) mengatakan bahwa makroalga dapat mempengaruhi pengendapan larva karang sebelum larva mencapai substrat, bahkan alga berkapur merah (Red Coraline Algae) diketahui memiliki preferensi yang lebih baik dibanding dengan lokasi tanpa alga berkapur tesebut. Karang membutuhkan suplemen kalsium serta kondisi lingkungan sebagai

134 108 pemicunya (Heyward dan Negri, 1999). Harrington et al. (2004) mengindikasikan sumber kalsium berasal dari algae berkapur CCA. Semua hewan karang besifat simbiosis dengan algae bersel tunggal dari zooxanthella (Symbiodinium spp) dalam tubuhnya. Larva karang menginduksi alga simbionya zooxanthella ketika hewan ini sedang mengkonsumsi berbagai material jaringan melalui mulut termasuk zooxanthella atau alga uniseluler lainnya (Schwarz et al. 2002). Pendapat lain mengungkapkan beberapa spesies telah terinduksi zooxanthella pada fase telur dalam inangnya. Namun umumnya karang yang melakukan fertilisasi di luar tubuh akan menginduksi zooxanthella pada fase metamorfosis ketika larva tersebut telah memiliki mulut secara fungsional. Selama fase larva, cahaya berpengaruh langsung terhadap tingkahlaku larva dalam menemukan dan memilih substrat (Mundy dan Babcock 1998). Cahaya sebagai komponen utama fotosintesis bagi simbion zooxanthella sehingga mampu mensuplai energi ke inangnya. Hubungan antara intensitas cahaya dan pengendapan karang bervariasi menurut spesies (Suzuki dan Hayashibara 2006). Larva planula akan memilih intensitas cahaya yang sesuai untuk proses pengendapan (Gleason dan Hofman 2010). Radiasi cahaya yang dibutuhkan berkisar (PAR, nm) untuk mempertahankan produksi energi mulai dari fase juvenil yang mengendap hingga karang dewasa. Pengaruh intensitas cahaya terhadap pengendapan dan metamorfosis larva A. millepora telah diteliti oleh Babcock diacu dalam Harrison dan Wallace (1990). Lebih jauh Kuffner (2001) telah meneliti pengaruh radiasi ultraviolet (UVR nm) terhadap pengendapan larva karang Pocillopora damicornis. Namun bagaimana respon metamorfosis larva planula terhadap intensitas cahaya belum banyak diketahui, seberapa besar intensitas cahaya yang lebih banyak mempengaruhi metamorfosis atau pengendapan larva juga belum diketahui. Proses metamorfosis dari larva planula dalam skala laboratorium membutuhkan penanganan khusus karena metamorfosis merupakan fase kritis berikutnya setelah fertilisasi dan perkembangan larva. Selama proses penempelan pada substrat, larva planula cenderung memilih substrat yang bercelah dan kasar memiliki preferensi yang lebih baik dibanding substrat yang permukaannya halus (Thamrin 2006). Hal ini dimungkinkan untuk mempertahankan penempelan dan menghindari predasi.

135 109 Dalam upaya pengembangan ilmu dan teknologi pengembangbiakan karang terkontrol secara masal, maka penelitian ini mencoba membatasi lingkup pada metamorfosa larva planula menjadi juvenil baru (early juvenile) yang dipengaruhi oleh induksi zooxanthella dikombinasi dengan crustose coraline algae (CCA). Selanjutnya percobaan pengararuh intensitas cahaya yang dikombinasi dengan posisi substrat terhadap pengendapan dan metamorfosa larva planula. Hasil penelitian ini akan melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya guna menyempurnakan tehnis pemeliharaan larva dan juvenil karang sebagai fase yang paling kritis dalam siklus hidup hewan air. Penelitian ini bertujuan : - Mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap tingkahlaku pengendapan dan penempelan larva planula karang A. tenuis. - Menentukan posisi substrat (vertikal atau horizontal) untuk penempelan larva planula karang A. tenuis. - Mengetahui pengaruh induksi zooxanthella dan CCA terhadap metamorfosis larva planula karang A. tenuis MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan November Seluruh kegiatan dalam tahap penelitian ini bertempat di Laboratorium OIRS (Orpheus Island Research Station) Jamescook University yang berlokasi di Orpheus Island, Palm Island Park, Central Great Barrier Reef Australia. Hewan Uji Penelitian metamorfosis larva karang menggunakan hewan uji dari spesies A. tenuis dan A. millepora yang diperoleh dari hasil pemijahan laboratorium di OIRS pada tanggal November 2011 dari pemijahan masal. Larva kedua spesies karang tersebut dipelihara secara intensif selama 5 hari sebelum digunakan dalam penelitian ini. Kedua spesies karang ini hidup pada habitat yang cenderung sama yakni sekitar rataan dan tubir terumbu kedalaman 2-4 m di Cattle Bay Orpheus Island.

136 110 Perlakuan Intensitas Cahaya Semua unit perlakuan menggunakan wadah loyang (bin) plastik bervolume 10 L (35 x 18 x 20 cm 3 ) ditempatkan dalam bak fiber elip berisi air laut agar terjadi kestabilan suhu media air dan homogenisasi perlakuan. Kepadatan larva yang setiap unit perlakuan 1,2 larva per ml sudah berumur 4 hari akan segera mengendap dalam beberapa hari. Eksperimen pengendapan larva akibat pengaruh intensitas cahaya dilakukan di bawah atap fiber outdoor. Secara normal intensitas cahaya matahari langsung di lokasi penelitian sebesar 295 µmol/m 2 /s, di bawah atap fiberglass transparan sebesar 228 µmol/m 2 /s. Untuk mereduksi cahaya yang masuk ke dalam media perlakuan digunakan waring hitam guna menutupi loyang agar terjadi reduksi cahaya. Masing-masing perlakuan diberi intensitas cahaya sebagai berikut : S1 = 1 sheet waring (170 µmol/m 2 /s), S2 = 2 sheet waring (130 µmol/m 2 /s), S3 = 3 sheet waring (90 µmol/m 2 /s), S4 = 4 lapis waring (50 µmol/m 2 /s) (Gambar 26). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 12 unit total perlakuan (µmol/m 2 /s) y = 447.9e -0.43x R² = S0 S1 S2 S3 S4 perlakuan Keterangan : S0 = 228 µmol/m 2 /s (100%), S1 = 170 µmol/m 2 /s (60%), S2 = 130 µmol/m 2 /s (45%), S3 = 90 µmol/m 2 /s (30%), S4 = 50 µmol/m 2 /s (15%). Gambar 26 Standar intensitas cahaya berdasarkan jumlah tutupan Setiap tingkat perlakuan, proporsi intensitas cahaya yang masuk ke wadah perlakuan sebagai berikut S1: 60%, S2: 45%, S3: 30% dan S4: 15%. Pemilihan intensitas cahaya pada penelitian ini didasarkan pada kondisi

137 111 intensitas cahaya pada perairan sekitar daerah lereng hingga dasar terumbu µmol/m 2 /s (Mundy dan Babcock 1998). Tingkahlaku larva planula akibat pengaruh intensitas cahaya dibagi dalam dua fase, yakni fase larva planula yang berenang dan planula yang mengendap. Pengamatan tingkahlaku larva planula dilakukan setiap 2 hari selama 6 hari pemeliharaan. Sementara pengamatan juvenil yang melekat dilakukan pada hari ke 6 atau akhir perlakuan. Untuk menghitung larva yang berenang dan yang mengendap dilakukan dengan mengambil sampel 1 ml menggunakan pipet sebanyak 10 kali di kolom air. Posisi Substrat Eksperimen pelekatan juvenil menggunakan substrat terbuat dari tembikar terracota yang berukuran 10 x 10 cm 2. Setiap unit perlakuan diisi dengan 6 substrat yang diletakkan secara horizontal dan vertikal masing-masing 3 unit substrat. Semua unit perlakuan ditutupi dengan waring hitam bertingkat (sesuai intensitas cahaya yang diinginkan). Pengamatan pelekatan larva atau juvenil awal akibat pengaruh kombinasi faktor cahaya dan posisi substrat dilakukan pada hari ke enam (akhir penelitian) dengan menghitung jumlah juvenil yang sudah melekat pada permukaan substrat horizontal dan vertikal. Persiapan Isolat Zooxanthella (Symbiodinium sp) Zooxanthella diisolasi dari specimen karang Acropora tenuis dengan cara menyemprot jaringan lunak hingga jaringannya rontok dalam kantong plastik transparan. Penyemprotan menggunakan udara dari tabung SCUBA melalui selang yang higienis. Kemudian jaringan karang diencerkan dan disaring secara bertahap dari 50, 10 dan 5 µm. Jaringan dan zooxanthela kembali dipisahkan dan dihomogenisasi menggunakan sentrifuse 2000 x g. Endapan zooxanthella dibilas dua kali dengan air laut steril hingga bersih dari jaringan jaringan lunak. Isolat zooxanthella digunakan 2 jam setelah diisolasi (Schwarz et al. 1999)

138 112 a b c d e f Gambar 27 Larva planula (a,b), wadah pemeliharaan (c, d) dan juvenil metamorfosa (e, f). Persiapan bahan CCA (Hydrolithon onkodes) Bahan crustose coralline algae (CCA) berasal dari spesies algae Hydrolithon onkodes (Heydrich) dikoleksi dari zona puncak terumbu sekitar Orpheus Island pada sisi windward. Bahan CCA dihaluskan lalu disertifuge untuk mendapatkan endapan yang halus berukuran mikron. Bahan CCA disimpan dalam freezer untuk menonaktifkan perkembangan bakteri sebelum digunakan. CCA diinduksi ke dalam lubang pecobaan plate Iwaki sebanyak 0,1

139 113 gram setiap lubang unit percobaan. Pemberian CCA dimaksudkan untuk mensuplai ion Ca 2+ dalam mempercepat metamorfosa dan untuk pembentukan kalsit bagi juvenil dan meminimalisasi variasi pembentukan morfogenik antar planula (Heyward dan Negri 1999). Perlakuan Induksi CCA dan Zooxanthella Larva planula A. tenuis dan A. millepora yang telah berumur 72 jam yang berenang berbentuk memanjang berukuran 120 µm akan bermetamorfosa membentuk larva (pear shape) yang mengendap atau melekat di dasar substrat. Metamorfosa karang ini dapat dipicu dengan menambahkan bahan suplemen kebutuhan dasar yakni zooxanthella sebagai sumber energi dan bahan kalsium pembentukan skeleton (Heyward dan Negri 1999). Pemeliharaan larva menggunakan tabung Iwaki 6 lubang setiap plate bervolume 10 ml tiap tabung. Kepadatan larva sebanyak 2-3 larva/ml atau larva dalam setiap tabung Iwaki. Pemeliharaan larva dikondisikan sama dengan kondisi stok larva dimana suhu air berkisar C, salinitas 35 ppt, sama dengan kondisi suhu perairan sekitar Orpheus Island. Dengan pertimbangan ilmiah di atas, percobaan metamorfosa karang menggunakan bahan suplemen CCA dan simbion zooxanthella untuk memacu laju metamorfosa larva karang A. tenuis dan A. millepora. Perlakuan induksi zooxanthella dan CCA dimaksudkan untuk memacu proses metamorfosis juvenil karang. Induksi CCA dimasukkan lebih awal sekitar 1 jam sebelum pemasukan larva ke dalam tabung Iwaki (Heyward dan Negri 1999), kemudian induksi zooxanthella diberikan pada satu jam setelah pemeliharaan. Pemeliharaan larva berlangsung selama 3 hari. Induksi CCA dikombinasi dengan induksi zooxanthella dengan tiga tingkat kepadatan yakni Z3 (3 x 10 3 /ml), Z6 (6 x 10 3 /ml) dan Z9 (9 x 10 3 /ml). Kepadatan zooxanthella ini tergolong rendah untuk menghindari pembusukan dalam media pemeliharaan yang kecil Kombinasi perlakuan CCA x (Z3, Z6, Z9) dan Non CCA x (Z3, Z6, Z9), selain itu terdapat perlakuan kontrol (C) tanpa diberi CCA dan zooxanthella. Pengamatan metamorfosa karang dilakukan pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Hal ini didasarkan pada hasil Heyward dan Negri (2000) mendapatkan hasil larva metamorfosis dan melekat pada substrat sebanyak 79.6 ± 3.1% dari larva karang A. millepora dalam waktu 24 jam dalam media CCA. Pengamatan menggunakan mikroskop binokuler Wild Herrbrudo dengan pembesaran

140 114 maksimum 10 x 40. Indikasi metamorfosa yakni terbentuknya larva planula yang bermetamorfosa membentuk pear planula dan juvenil (polip awal). Analisis Data Pengaruh perlakuan intensitas cahaya terhadap pengendapan planula dan pelekatan juvenil menggunakan rancangan acak lengkap dianalisis dengan ANOVA. Rancangan penelitian berupa (a) perlakuan perbedaan intensitas cahaya, (b) waktu perlakuan. Faktor independen intensitas cahaya terdiri dari 4 tingkat dan faktor waktu sebanyak 3 tingkat. Perlakuan intensitas cahaya terdiri dari (1) S1 intensitas cahaya 60%, (2) S2 intensiritas cahaya 45%, (3) S3 intensitas cahaya 30% dan (4) S4 intensitas cahaya 15%. Data pelekatan juvenil karang (rata-rata dan standar deviasi) yang melekat pada substrat dan luar substrat, pada substrat horizontal dan vertikal. Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan, data dianalisis dengan Chi-kuadrat. Perlakuan kombinasi pengaruh induksi CCA dan zooxathella tehadap metamorfosis menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang menggunakan 2 perlakuan CCA dan 3 perlakuan zooxanthela. Untuk perlakuan CCA, yakni (a) pemberian CCA dan (b) tanpa CCA, sementara perlakuan zooxanthella terdiri dari konsentrasi zooxanthella (1) Z3 (3x10 3 sel/ml), (2) Z6 (6x10 3 sel/ml) dan (3) Z9 (9x10 3 sel/ml). Data metamorfosis ditentukan berdasarkn jumlah larva planula yang berubah bentuk dari larva planula panjang menjadi planula peer dan juvenil melekat. Semua data dari penelitian eksperimen ini menggunakan analisis univariat ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Analisis regresi linear Y = bx + c digunakan untuk menentukan laju metamorfosis dari nilai kemiringan (b).

141 115 HASIL PENELITIAN Pengendapan Larva Planula Pola tingkahlaku pengendapan larva planula yang diberi perlakuan intensitas cahaya diteliti selama 6 hari memperlihatkan variasi antar waktu dan antar perlakuan. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan adanya perbedaan tingkat pengendapan larva antar waktu pada taraf kepercayaan (α 0,05, db:2) dan interaksi antara waktu dan intensitas cahaya (α 0,05, db:11), namun tidak terdapat perbedaan antar perlakuan intensitas cahaya (Tabel 20). Tabel 20 Analisis sidik ragam tingkhlaku pengendapan larva planula A. tenuis. SK JK DB KT F Sig (0,05). Corrected Model 19803, ,354 3, ,005 Intercept 80466, ,78 153,6196 0,000 Hari 15800, ,111 15, ,000 Intensitas Cahaya 789, ,2963 0, ,684 Hari * I. Cahaya 19803, ,354 3, ,005 Error 12571, ,8056 Total Corrected Total 32375,22 35 Tingkahlaku larva planula menurut waktu memperlihatkan tingkat pengendepan yang berbeda (Tabel 20). Secara umum pada semua perlakuan intensitas cahaya, proporsi rata-rata pengendapan planula tertinggi terjadi pada hari ke empat sebesar 73,62±10,69% yang berbeda secara nyata dibanding dengan proporsi pengendapan hari kedua dan ke enam. Pada hari ke dua, tingkat pengendapan larva planula sebesar 29,87 ± 15,88% yang hampir sama dengan pada hari ke enam yang kembali menurun 33,75 ± 13,22%. Fenomena pengendapan larva pada hari ke empat merupakan fase penjajakan bagi planula terhadap keberadaan dan kesiapan substrat. Berkurangnya proporsi pengendapan pada hari ke enam menunjukkan bahwa sebagian larva karang belum siap melekat dan kembali berenang setelah menjajaki substrat yang tersedia. Kegagalan sebagian planula untuk melekat dan metamorfosis disebabkan oleh faktor kesesuaian atau kesiapan substrat yang belum memiliki struktur lapisan biofilm. Baik secara individu maupun

142 116 populasi planula memiliki kapasitas untuk menentukan apakah melanjutkan penempelan terhadap substrat yang sudah dijejaki atau kembali berenang untuk mencari substrat yang lain. Pelekatan planula pada substrat tergantung pada faktor pendukung yakni lapisan biofilm yang terdapat pada permukaan substrat. Golbuu dan Richmond (2007); Negri et al. (2001) mengatakan bahwa biofilm terbentuk dari bakteri sehingga mampu menstimulasi pengendapan dan metamorfosis larva planula. Komposisi biofilm bervariasi menurut letak, kedalaman dan waktu (Erwin 2008). Pada intensitas cahaya S1 (170 µmol/m 2 /s) dan S2 (130 µmol/m 2 /s) tercatat masing-masing larva planula mengendap sebanyak 52,22 ± 22,93% dan 51,67 ± 29,26%. Proporsi pengendapan larva menurun hingga mencapai 42,11 ± 34,48% dan 36,99 ± 37,11% pada intensitas S3 (90 µmol/m 2 /s) dan S4 (50 µmol/m 2 /s) (Gambar 26 dan Tabel 21). Walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan intensitas cahaya S1, S2, S3, S4, namun hasil rata-rata proporsi pengendapan yang lebih tinggi pada intensitas cahaya S1 dan S2 dibanding S3 dan S4. Dengan kata lain, larva A. tenuis lebih menyukai kondisi intensitas cahaya yang lebih terang dari pada intensitas cahaya yang lebih redup. Larva planula Acropora tenuis lebih banyak mengendap pada cahaya dengan intensitas cahaya yang tinggi dan menurun pada intensitas rendah (Mundy dan Babcock 1998). Hal ini disebabkan karena spesies Acropora tenuis ini hidup pada habitat terumbu karang yang dangkal, sehingga larva sudah beradaptasi dengan kondisi cahaya secara alamiah. Sebaliknya Suzuki dan Hayashibara (1998) bahwa larva karang lebih menyukai kondisi cahaya yang tereduksi atau gelap untuk pengendapan sebaliknya intesitas cahaya yang tinggi akan menghambat pengendapan dan pelekatan. Dalam kondisi yang terang, larva karang akan mengendap atau melekat pada sisi substrat yang tersembunyi (Suzuki dan Hayashibara 2006).

143 % pengendpan planula H-2 H-4 H-6 0 S1 S2 S3 S4 Intensitas Cahaya Keterangan : S1 = 170 µmol/m 2 /s (60%), S2 = 130 µmol/m 2 /s (45%), S3 = 90 µmol/m 2 /s (30%), S4 = 50 µmol/m 2 /s (15%). Gambar 28 Proporsi pengendapan larva [rata-rata ± (SE)] pada intensitas cahaya dan selama waktu penelitian Tabel 21 Proporsi pengendapan larva [rata-rata ± (SE)] pada intensitas cahaya dan selama waktu penelitian Intensitas Proporsi Pengendapan larva (%) Cahaya Hari-2 Hari-4 Hari-6 rata±sd S1 35,00 75,00 46,67 52,22±22,93 S2 50,00 61,67 43,33 51,67±29,26 S3 19,00 87,33 20,00 42,11±34,48 S4 15,49 70,47 25,00 36,99±37,11 rata±sd 29,87±15,88 a 73,62±10,69 b 33,75±13,22 a Bagi induk Acropora tenuis yang hidup pada daerah tubir terumbu dan lereng terumbu atas menyukai intensitas cahaya µmol/m 2 /s (Suzuki dan Hayashibara, 2006). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana larva lebih banyak mengendap pada intensitas cahaya yang lebih tinggi. Intensitas cahaya pada zona intertidal atau rataan terumbu cukup tinggi yakni µmol/m 2 /s. Menurut Mundy dan Babcock (1998) intensitas cahaya tersebut terlampau tinggi menghambat penempelan atau pengendapan larva. Pada zona lereng terumbu, intensitas cahaya antara µmol/m 2 /s menjadi referensi cahaya yang paling baik bagi hampir semua spesies karang untuk mengendap dan melekat. Sebagai bahan perbandingan, hasil penelitian Suzuki dan Hayashibara (2006) memperlihatkan pengendpan larva lebih banyak (>50%) terjadi pada

144 118 intensitas cahaya 150 µmol m -2 /s. Pola tingkahlaku pengendapan larva planula yang sudah siap bermetamorfosa ini menunjukkan adanya proses pengenalan substrat di dasar pada hari pertama kemudian bertambah banyak hingga hari ke empat. Fenomena tersebut merupakan indikator adanya tahap penjajakan substrat bagi sebagian larva planula yang akan bermetamorfosa. Sebaliknya, bagi larva planula yang sudah saatnya bermetamorfosa atau mengendap lebih awal, sejak hari ke dua sudah terlihat planula yang menempel. Pada hari ke enam, sebagian planula mengendap dan sebagian lagi kembali ke kolom air karena selektivitas substrat. Menurut Suzuki dan Hayashibara (2006) pengendapan larva melalui tiga proses, yakni : 1) proses pencarian dan pengenalan substrat, 2) proses pelekatan dan 3) proses metamorfosis. Pelekatan Juvenil Pelekatan juvenil merupakan fase kedua dalam metamorfosis setelah fase pengendapan (Suzuki dan Hayashibara 2006). Pelekatan juvenil karang A. tenuis pada penelitian ini ditandai dengan kemunculan polip pada substrat dan di luar substrat. Dua tipe posisi substrat yang dipasang untuk mengetahui preferensi pelekatan juvenil karang yakni substrat posisi vertikal dan posisi horizontal, keduanya dikombinasi dengan perlakuan intensitas cahaya. Hasil analisis ANOVA Univariat (db=3; α=0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah juvenil yang melekat antara perlakuan intensitas cahaya (Tabel 21). Sebaliknya terdapat perbedaan yang nyata pelekatan juvenil menurut posisi substrat (db=1; α=0,05) dan kombinasi perlakuan antara posisi substrat dengan intensitas cahaya (db=7; α=0,05). Tabel 22 Analisis sidik ragam pengaruh intensitas cahaya dan posisi substrat terhadap pelekatan juvenil A. tenuis SK JK DB RK F Sig. Corrected Model a ,167 4,897 0,038 Posisi substrat 24704, ,167 4,897 0,038 Intensitas cahaya 22304, ,944 1,312 0,298 Cahaya * posisi 77183, ,167 3,016 0,032 Error , ,439 Total , Corrected Total ,833 23

145 119 Pelekatan juvenil pada wadah yang diberi perlakuan intensitas cahaya S1 dan S2 masing-masing 138,33 ± 148,80 juvenil dan 158 ± 150,44 juvenil, lebih tinggi dibanding dengan pelekatan juvenil pada intensitas cahaya S3 dan S4 masing-masing 137 ± 14,8 juvenil dan 80,67 ± 68,04 juvenil (Gambar 29a). Larva karang A. tenuis lebih banyak melekat pada intensitas cahaya yang lebih tinggi (S1 :170 µmol/m 2 /s dan (S2 :130 µmol/m 2 /s) dibanding pada intensitas cahaya rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suzuki dan Hayashibara (2006) yang menggunakan intensitas cahaya 150 µmol/m 2 /s menunjukkan pelekatan lebih dari 50% juvenil. 350 H6 substrat out substrat Rata-rata (juvenil) jumlah (juvenil) Total (a) 0 S1 S2 S3 S4 Keterangan : intensitas cahaya S1 = 170 µmol/m 2 /s, S2 = 130 µmol/m 2 /s, S3 = 90 µmol/m 2 /s, S4 = 50 µmol/m 2 /s. 0 S1 S2 S3 S4 Intensitas Cahaya (b) Gambar 29 Pelekatan juvenil karang A. tenuis. (a) rata-rata pelekatan (b) jumlah pelekatan pada substrat, luar substrat dan juvenil total. Secara umum total pelekatan juvenil dalam substrat lebih tinggi dibanding dengan luar luar substrat. Dari hasil pengamatan juvenil yang baru melekat pada substrat tembikar (Gambar 29b) memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan pelekatan juvenil karang dengan berkurangnya intesitas cahaya. Secara kuantitatif pada Gambar 29b jumlah total juvenil yang melekat pada substrat pada intensitas cahaya S1 dan S2 lebih tinggi dibanding dengan yang tercatat pada intensitas cahaya S3. Pada cahaya yang paling redup S4 jumlah pelekatan tercatat dua kali lebih rendah dibanding pada cahaya S3. Pola pelekatan tersebut seiring dengan pola pelekatan juvenil pada substrat tembikar (100 cm 2 ) dimana pada intensitas cahaya yang tinggi S1 dan S2 jumlah pelekatan lebih tinggi dibanding pada intensitas cahaya S3 dan S4. Namun berbeda dengan pola pelekatan yang terjadi di luar substrat, dimana sebanyak 108 juvenil pada intensitas cahaya S1 terus meningkat

146 120 menjadi 152 juvenil pada S2 dan meningkat dengan tajam dan mencapai jumlah pelekatan yang maksimum pada intensitas cahaya S3. Sebaliknya, juvenil yang melekat pada intesitas cahaya S4 berkurang hampir 3 kali lipat dibanding pada perlakuan S3. Sebaliknya juvenil karang yang melekat di luar substrat meningkat dari intensitas cahaya tinggi S1, S2 dan mencapai puncaknya pada intensitas cahaya S3, namun pada intensitas cahaya S4 (cahaya paling redup) jumlah juvenil yang melekat menurun drastis. Hal ini berarti bahwa juvenil karang A. tenuis lebih baik preferensi pelekatannya pada kondisi cahaya yang lebih terang dalam batasan µmol m 2 /s dibanding dengan kondisi cahaya yang redup. Hasil penelitian ini setara dengan penelitian Mundy dan Babcock (1998) yang menemukan pelekatan juvenil Goniastrea aspera dan A. tenuis dominan pada kondisi intensitas cahaya 70% atau yang lebih terang. Kedua spesies larva karang tersebut mengikut pola sebaran spasial dari induk mereka yang hidup pada kondisi cahaya yang lebih terang atau habitat yang lebih dangkal Rata-rata/unit perlakuan Rata-rata/100 cm (a) Substrat Luar Substrat 0 (b) vertikal horizontal Gambar 30 Preferensi pelekatan juvenil pada : (a) substrat dan luar substrat, (b) posisi substrat (vertikal dan horizontal). Preferensi pelekatan juvenil A. tenuis (Gambar 30) memperlihatkan perbedaan antara pelekatan pada substrat dan luar substrat (Gambar 28a) serta posisi substrat yang terbagi menjadi substrat vertikal dan horizontal (Gambar 30b). Hingga akhir penelitian jumlah juvenil yang melekat dalam substrat (100 cm 2 ) sebanyak 229 ± 100 juvenil, sementara di luar substrat sebanyak 156,75 ± 77 juvenil. Jumlah pelekatan pada substrat lebih banyak 1,5 kali dibanding yang tercatat di luar substrat. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan adanya perbedaan antara pelekatan dalam substrat dan luar substrat (χ 2 hit >χ 2 tabel ).

147 121 Sementara perbandingan pelekatan juvenil pada posisi substrat horizontal jauh lebih banyak dibanding pada substrat vertikal dengan perbandingan 11 : 1 untuk substrat horizontal. Secara kuantitatif, data juvenil yang melekat tercatat pada substrat vertikal 78 ± 36,34 juvenil dibanding substrat horizontal sebanyak 838 ± 125,24 juvenil. Hasil penelitian tersebut mendukung Harrington et al. (2004) yang menemukan pelekatan juvenil 2,8 kali lebih banyak pada substrat berposisi horizontal dibanding yang vertikal. Hal ini berarti bahwa juvenil karang A. tenuis memiliki preferensi pelekatan yang lebih baik dalam substrat dan yang berposisi horizontal dibanding di luar substrat dan substrat yang vertikal. Sebaliknya Nozawa (2008) menemukan pelekatan juvenil di alam lebih banyak secara signifikan pada substrat vertikal, dengan alasan bahwa pada substrat horizontal sering terjadi sedimentasi partikel yang mendominasi permukaan substrat, kompetisi dan pemangsaan yang tinggi dan penempelan algae sehingga menghambat penempelan larva planula. Sementara dalam kondisi terkontrol (laboratorium) tidak menemui permasalahan seperti di alam sehingga pelekatan juvenil di dalam substrat tembikar didukung oleh permukaan substrat yang kasar dan memiliki celah yang baik untuk preferensi pelekatan juvenil karang A. tenuis. Sementara pada permukaan luar substrat (wadah plastik) yang licin walaupun jumlah pelekatan juvenil kurang dibanding pada substrat. Namun demikian patut mendapat perhatian khusus karena hingga saat ini belum ada hasil studi pelekatan juvenil karang pada substrat yang licin. Kehadiran biofilm pada subtrat yang licin bisa menjadi faktor biomagnifikasi pelekatan juvenil pada substrat yang licin disamping sifat pelekatan larva planula yang cenderung bergerombol. Golbuu dan Richmond (2007); Negri et al. (2001) biofilm berasal dari lapisan bakteri yang mampu menstimulasi pengendapan dan metamorfosis larva planula. Metamorfosis Larva Planula Metamorfosis juvenil karang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perubahan morfologi larva planula sebelumnya berbentuk panjang menjadi planula yang berbentuk peer dan atau planula yang mulai melekat (Gambar 27 dan 31). Dari hasil penelitian ini akan diketahui pengaruh induksi CCA dan zooxanthella terhadap metamorfosa larva planula A. tenuis.

148 122 Hasil analisis data menggunakan ANOVA univariat memperlihatkan model analisis yang terkoreksi cukup sesuai (R 2 = 0,774; DB=7; P<0,05) (Tabel 22). Dalam analisis tersebut induksi isolat zooxanthella memberikan pengaruh nyata terhadap metamorfosa larva planula (db=3; F18,965; P<0,05). Demikian halnya dengan induksi CCA terhadap metamorfosa larva A. tenuis berpengaruh cukup signifikan (db = 1; F= ; α 0,05). Namun berbeda dengan perlakuan kombinasi antara CCA dan Zooxanthella yang tidak memberikan pengaruh yang berbeda antar perlakuan. a b a. Larva peer planula metamorfosis mengendap sekitar CCA b. Larva planula telah bermetamorfosis membentuk polip baru sekitar CCA. c. Pelekatan larva planula metamorfosis membentuk polip baru (hasil scanning mikroskop) (Birrel et al. 2008) Gambar 31 Larva karang A. tenuis (a,b) dan A. millepora (c) yang mermetamorfosis c Pengaruh Induksi Zooxanthella Hasil analisis rata-rata (Gambar 28) menunjukkan bahwa metamorfosis larva cenderung meningkat dengan makin bertambahnya konsentrasi zooxanthella (Z3, Z6, Z9). Dari 25 sampel larva planula setiap perlakuan, jumlah metamorfosa terbesar pada perlakuan Z6 dan Z9 masing-masing (15,83± 5,08 juvenil dan 15,67± 4,17 juvenil), lebih tinggi dibanding perlakuan Z3 (13,56 ± 6,08 juvenil). Sementara perlakuan kontrol (C) tanpa diberi induksi zooxanthella rata-rata larva yang metamorfosa sangat sedikit (3,4 ± 4,58 juvenil). Secara signifikan lebih rendah dan berbeda nyata terhadap perlakuan induksi zooxanthella (db=3, P<0,05) (Tabel 23). Pemberian zooxanthella pada saat sebelum larva bermetamorfosa akan berpengaruh terhadap proses metamorfosis, hanya dengan pemberian

149 123 zooxanthella konsentrasi 3 x 10 3 /ml sudah bisa memberi pengaruh terhadap proses metamorfosis larva planula. Tabel 23 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) perlakuan induksi CCA dan Zooxanthella terhadap metamorfosa larva planula A. tenuis SK JK DB KT F Sig. Corrected Model a Intercept Zoox CCA CCA * Zoox Error Total Corrected Total R Squared =,774 (Adjusted R Squared =,750) 25 rata sd juvenil metamorfosa n = 25 0 Z3 Z6 Z9 C Perlakuan Zooxanthella Keterangan : Z3 = konsentrasi zooxanthella 3 x10 3 /ml; Z6 = konsentrasi zooxanthella 6 x10 3 /ml Z9 = konsentrasi zooxanthella 9 x 10 3 /ml; C = kontrol (tanpa zooxanthella) Gambar 32 Jumlah juvenil metamorfosa (rata-rata ± sd) A. tenuis pada perlakuan induksi zooxanthella. Selanjunya pengamatan selama tiga hari pada percobaan induksi zooxanthella menunjukkan adanya variasi laju metamorfosis. Laju metamorfosis didasarkan pada analisis regresi linear (Gambar 33) dan persamaan regresi linear khususnya nilai kemiringan garis (Tabel 24). Dilihat dari model grafik garis

150 124 pada perlakuan Z3, Z9 dan C, bahwa metamorfosis pada hari pertama ke hari kedua berlangsung lambat, sementara pada hari kedua ke hari ketiga metamorfosis berlangsung lebih cepat. Kecuali pada perlakuan Z6 grafik garis membentuk garis lurus dimana laju metamorfosis untuk semua waktu / hari berlangsung sama cepatnya. Rata ± sd juvenil metamorfosa Z3.1 Z3.2 Z3.3 n = 25 a a a Z6.1 Z6.2 Z6.3 Z9.1 Z9.2 Z9.3 C1 C2 C3 b -10 Perlakuan Zooxanthella (hari) Keterangan : Z3 = zooxanthella 3x10 3 /ml ; Z6 = zooxanthella 6x10 3 /ml Z9 = zooxanthella 9x10 3 /ml ; C = kontrol (tanpa zooxanthella) 1,2,3 = hari ke-1,2,3. Gambar 33 Perkembangan metamorfosis harian (hari 1,2,3) masing-masing perlakuan induksi zooxanthella. Tabel 24 Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan Z3, Z6, Z9 Perlakuan Zooxanthella Persamaan dan R 2 Perbandingan laju metamorfosa Z3 : Zoox 3 x 10 3 y = 5,333x + 2,888; R² = 0,819 Z6 : Zoox 6 x 10 3 y = 8,5x - 5,333; R² = 0,998 Z9 : Zoox 9 x 10 3 y = 3,5x + 8,666; R² = 0,854 Kontrol (C) y = 2x - 1,222; R² = 0,964 Z6 > Z3 >Z9 > C Lambannya metamorfosis pada hari pertama-kedua disebabkan karena planula membutuhkan proses adaptasi penyerapan zooxanthella yang belum optimal menghasilkan energi. Sementara pada hari berikutnya, zooxanthella mulai memberikan energi hasil fotosintesisnya pada inang (larva) sehingga laju metamorfosis lebih cepat. Pada semua perlakuan induksi zooxanthella Z3, Z6 dan Z9 hingga pada hari ke-3 mencapai larva metamorfosa sekitar 20 juvenil (75%). Analisis regresi

151 125 linear terhadap grafik di atas memperlihatkan nilai kemiringan atau koefisien yang berbeda antara perlakuan induksi zooxanthella. Nilai koefisien menunjukkan laju metamorfosis selama tiga hari. Pada perlakuan induksi zooxanthella Z3 dan Z9, laju metamorfosis antara hari pertama ke hari kedua lebih kecil dibanding pada hari kedua ke hari ketiga. Sementara perlakuan Z6 laju metamorfosis sama pada kedua fase tersebut. Koefisien metamorfosis larva planula A. tenuis yang terbesar dalam penelitian ini yang berasal dari perlakuan Z6 sebesar 8,5 juvenil/hari, lebih tinggi dibanding pada perlakuan Z3 dengan koefisien 5,3 juvenil/hari dan Z9 nilai koefisien persamaan 3,5 juvenil/hari. Koefisien metamorfosis terkecil yakni 2 juvenil/hari pada perlakuan kontrol C. Hal ini berarti bahwa dengan menginduksi zooxanthella pada fase larva planula, dapat mempercepat laju metamorfosa. Laju metamorfosis larva pada perlakuan induksi zooxanthella berbeda nyata dibanding kontrol. Namun demikian, diantara semua perlakuan induksi zooxanthella, konsentrasi 6 x 10 3 (Z6) mampu mempengaruhi laju metamorfosis lebih cepat dibanding perlakuan Z3 dan Z9. Pengaruh Induksi CCA Penelitian ini membandingkan laju metamorfosis dari perlakuan induksi bahan CCA dan tanpa induksi CCA (NCCA). Pada saat yang sama kedua perlakuan tersebut mendapat suplai zooxanthella. Bagaimana laju metamorfosis jika larva tanpa diinduksi CCA maupun zooxanthella (C) (Gambar 34). Hasil analisis data menggunakan ANOVA univariat menunjukkan perbedaan metamorfosa yang nyata antara induksi CCA dan kontrol (non CCA) (db=2; α0,05) (Tabel 25). Jumlah larva yang metamorfosa selama penelitian hingga hari ketiga pada perlakuan CCA sebanyak 22 larva (n=25), sementara pada perlakuan kontrol (C) larva yang bermetamorfosa hanya 5 larva (n = 25) (Gambar 30). Hal ini berarti bahwa dengan pemberian CCA sangat dibutuhkan dalam proses metamorfosa larva planula.

152 Rata sd metamorfosa CCA.1 CCA.2 CCA.3 Keterangan : CCA = induksi CCA C (kontrol) = tanpa CCA dan zooxanthella. 1,2,3 = hari ke-1,2,3 ; a,b = beda nyata perlakuan. Gambar 34 Grafik linear metamorfosis harian setiap perlakuan CCA dan kontrol (Non CCA). C.1 C.2 C.3 Tabel 25 Perbandingan laju metamorfosis larva planula A. tenuis antar perlakuan CCA, kontrol (non CCA). Perlakuan Persamaan dan R 2 CCA-Non CCA CCA y = 7,25x - 0,75 R² = 0,946 Kontrol (Non CCCA) y = 2x - 1,22 R² = 0,964 Keterangan : CCA = induksi CCA, C = kontrol (tanpa CCA) Perbandingan laju metamorfosa CCA>C Perbandingan relatif laju metamorfosis larva planula didasarkan pada koefisien persamaan regresi linear. Koefisien metamorfosis tertinggi pada perlakuan induksi CCA sebesar 7,25, sementara untuk perlakuan kontrol koefisiennya diperoleh sebesar 2, dimana jauh lebih rendah dibanding perlakuan CCA. Hal tersebut berimplikasi bahwa pengaruh induksi CCA terhadap metamorfosis larva planula karang berbeda nyata (db=2; F=161,052; P<0,05) (Tabel 22). Hal ini berarti bahwa dengan pemberian CCA pada media pemeliharaan larva mampu mempercepat metamorfosis larva karang. Pengaruh kombinasi induksi Zooxanthella dan CCA Kombinasi perlakuan induksi CCA pada setiap konsentrasi zooxanthella menunjukkan variasi hasil metamorfosis larva planula (Gambar 35). Induksi CCA pada perlakuan Z3+CCA dan Z9+CCA menunjukkan tingkat metamorfosis yang sama dan lebih tinggi dibanding pada perlakuan Z6+CCA. Sementara pada perlakuan induksi zooxanthella tanpa CCA memperlihatkan bahwa induksi

153 127 zooxanthella pada perlakuan Z3+NCCA dan Z6+NCCA lebih tinggi metamorfosisnya dibanding pada perlakuan Z9+NCCA. Walaupun berbeda dari nilai rata-rata, namun metamorfosis larva planula antara perlakuan induksi CCA dan non CCA (NCCA) tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Disamping itu, induksi CCA dan non CCA yang dikombinasi dengan induksi zooxanthella (Z3, Z6, dan Z9) secara statistik tidak memberikan hasil metamorfosis yang signifikan (db=3; F=0,535; p>0,05) (Tabel 22). Jika hanya diinduksi CCA atau zooxanthella, maka pengaruhnya signifikan terhadap metamorfosis juvenil karang Acropora tenuis. Rata sd juvenil metamorfosa n=25 Z3+CCA Z6+CCA Z9+CCA Z3+NCCA Z6+NCCA Z9+NCCA Keterangan : CCA = induksi CCA, NCCA = tanpa CCA Z3 = zooxanthella 3x10 3 /ml Z6 = zooxanthella 6x10 3 /ml Z9 = zooxanthella 9x10 3 /ml Gambar 35 Rata-rata ± sd juvenil metamorfosa pada perlakuan kombinasi zooxanthella dan CCA. Sebaliknya jika kedua perlakuan zooxanthella dan CCA/Non CCA dikombinasi, maka tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap metamorfosis. Kehadiran dua komponen yang dibutuhkan oleh larva planula justru tidak saling bersinergi untuk metamorfosis. Ada beberapa asumsi yang bisa dijadikan alasan : (a) setiap fase/umur larva karang membutuhkan input organik yang berbeda sehingga memberikan respon yang berbeda pula terhadap input, (b) antara CCA dan Non CCA tidak berpengaruh banyak terhadap metamorfosis melainkan karena kehadiran zooxanthella. (c) menurut Schwarz

154 128 (1999) bahwa kehadiran zooxanthella bukan untuk mensukseskan pengendapan dan metamorfosis larva planula, melainkan untuk mengganti fungsi suplai energi kuning telur yang sudah mulai habis. (d) penyerapan CCA yang efektif oleh planula metamorfosa berlangsung pada saat fase awal polip ketika sudah melekat dengan baik, karena polip membutuhkan ion kalsium untuk menyusun kerangka berawal dari polip muda. (d) CCA bukan hanya akan mensuplai ion kalsium untuk kalsifikasi skeleton, menurut Harrington et al. (2004) CCA yang masih hidup bahkan bentuk CCA organik mati memiliki ruang permukaan sebagai media bakteri atau diatomae. Sementara bakteri dan diatom membentuk lapisan biofilm sebagai preferensi penempelan yang baik dan signifikan. PEMBAHASAN Larva planula karang khususnya spesies A. tenuis dalam penelitian ini lebih banyak mengendap pada kondisi intensitas cahaya yang lebih tinggi antara µmol/m 2 /s. Preferensi cahaya tersebut sesuai dengan habitat penyebaran induk karang A. tenuis yang umumnya dijumpai pada lereng terumbu bagian atas sekitar kedalaman 1-5 m, sementara pada kedalaman lebih dari 5 meter induk karang ini sudah sangat jarang ditemukan, seperti A. tenuis di Cattle Bay Orpheus Island ter distribusi pada kedalaman maksimum 5 meter. Kedalaman habitat yang berimplikasi pada intensitas cahaya yang makin redup dengan makin dalamnya habitat. Setiap spesies karang memiliki batas intensitas cahaya berbeda tergantung pada genetiknya. Mundy dan Babcock (1998) yang menemukan pelekatan juvenil Goniastrea aspera dan A. tenuis dominan pada kondisi intensitas cahaya 70% atau yang lebih terang. Sementara intensitas cahaya pada zona intertidal atau rataan terumbu cukup tinggi yakni µmol/m 2 /s. Namun tidak semua zona intertidal mendapat intensitas cahaya yang tinggi. Beberapa diantaranya dipengaruhi oleh kekeruhan atau sedimentasi perairan seperti di Cattle Bay Orpheus Island sebagai lokasi sumber induk. Menurut Mundy dan Babcock (1998) intensitas cahaya µmol/m 2 /s terlampau tinggi sehingga menghambat penempelan atau pengendapan larva. Pada zona lereng terumbu, intensitas cahaya antara µmol/m 2 /s dan menjadi referensi cahaya yang

155 129 paling baik bagi hampir semua spesies karang untuk mengendap dan melekat. Preferensi intensitas cahaya µmol/m 2 /s inilah yang menjadi dasar penentuan intensitas cahaya dalam penelitian ini yang terbagi dalam 4 level, yakni 170 µmol/m 2 /s, 130 µmol/m 2 /s, 90 µmol/m 2 /s dan 50 µmol/m 2 /s. Dengan intensitas cahaya µmol/m 2 /s lebih banyak planula yang mengendap dibanding µmol/m 2 /s. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Suzuki dan Hayashibara (2006) memperlihatkan pengendpan larva lebih banyak (>50%) terjadi pada intensitas cahaya 150 µmol m -2 /s. Pola tingkahlaku pengendapan larva planula berlangsung fluktuatif, meningkat hingga hari ke-4, namun proporsi pengendapan larva berkurang lagi pada hari ke-6. Hal ini menunjukkan adanya proses penjajakan atau identifikasi substrat bagi larva planula. Menurut Suzuki dan Hayashibara (2006) pengendapan larva melalui tiga proses, yakni : 1) proses pencarian dan pengenalan substrat, 2) proses pelekatan dan 3) proses metamorfosis. Larva A. tenuis lebih menyukai permukaan substrat yang horizontal dibanding yang vertikal. Menurut Mundy dan Babcock (1998) karang lebih memilih struktur substrat yang vertikal sebagai tempat penempelan larva planula, namun mekanisme dan kelanjutan hidup dari larva atau juvenil tersebut belum banyak diketahui. Hasil penelitian Harrington et al. (2004) bahwa pengendapan larva A. millepora dan A. tenuis berbeda nyata tergantung pada spesies CCA, posisi atau kemiringan substrat, dan CCA hidup atau mati. Selain itu, larva A. tenuis lebih banyak melekat pada permukaan atas yang bersih tanpa sedimen, tanpa algae dan pemangsaan (Mundy dan Babcock 1998). Disamping itu, faktor fisik seperti cahaya dan sedimentasi sangat mempengaruhi pilihan lokasi substrat pengendapan larva planula. Intensitas cahaya yang kuat mewakili kondisi substrat terumbu karang yang dangkal. Sementara penempelan larva pada permukaan substrat yang vertikal bagian depan dalam penelitian ini merupakan represetasi dari kondisi substrat vertikal di alam. Pada intensitas cahaya yang redup, akan terjadi pertumbuhan yang lambat, tingkat pemangsaan dan pertumbuhan algae yang rendah serta sedimentasi yang tinggi (Raimondi dan Morse 2000). Pemberian zooxanthella pada fase larva planula sebelum metamorfosa telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap metamorfosa larva planula. Zooxanthella berperan memberikan energi terhadap larva planula setelah

156 130 kehabisan cadangan kuning telur (Schwarz et al. 1999). Ada beberapa mekanisme masuknya zooxanthella dari lingkungan ke dalam tubuh larva planula ke lapisan sel endodermal yang belum mengandung zooxanthella. Larva planula yang mengandung zooxanthella lebih cepat mengendap dibanding yang belum memiliki zooxanthella. Harrington et al. (2004) mengungkapkan bahwa respon larva yang mengendap lima spesies CCA berbeda-beda, ada yang sangat cocok dan berkorelasi positif, ada pula yang berkorelasi negatif atau menolak. Laju pengendapan A. tenuis menunjukkan tingkatan yang lebih tinggi dibanding kontrol scara signifikan. Karena CCA mengandung bahan kimia untuk menginduksi pengendapan dan metamorfosis seperti bentuk polysacharida yang teridentifikasi dari spesies H. Borgensenii. CCA mengandung morfogen yang mampu menginduksi pengendapan dan metamorfosis yang tinggi dalam waktu 24 jam. Morfogen tersebut mengandung methanol yang dihasilkan oleh setiap spesies CCA. Disamping itu menurut Golbuu and Richmond (2007) bahwa CCA menghasilkan biofilm dari bakteri secara bersama-sama atau independen CCA mampu menstimulasi pengendapan dan metamorfosis larva planula. Selanjutnya komposisi biofilm bervariasi menurut letak, kedalaman dan waktu (Erwin et al. 2008). Penelitian yang menginduksi Hym-248 menghasilkan metamorfosis yang lebih baik dibanding menggunakan CCA. Hym-248 merupakan kelompok peptida GLW-amida yang berperan sebagai hormon untuk mentriger metamorfosis pada hidrozoa dan spesies karang. Peptida tersebut mendorong molekul endogen untuk merangsang terjadinya proses metamorfosis Acropora dengan efisien, sehingga membutuhkan waktu yang ringkas untuk melengkapi proses dibanding dengan induksi CCA (Iwao et al diacu Nakamura et al. 2011).

157 131 SIMPULAN Dari beberapa hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut : 1. Intensitas cahaya tidak mempengaruhi pengendapan larva dan pelekatan juvenil A. tenuis. Preferensi penempelan juvenil yang baik pada substrat berposisi horizontal. 2. Dengan induksi crustose corallin algae (CCA) dan zooxanthella secara terpisah mampu mempercepat metamorfosis larva planula, namun dalam kombinasi antara keduanya respon metamorfosis larva planula justru lebih lambat. SARAN 1. Dalam penelitian ini menggunakan rentang konsentrasi zooxanthella yang sempit yakni sel/ml. Hasilnya tidak menunjukkan metamorfosa yang signifikan. Olehkarena itu, diperlukan kajian lain yang menggunakan konsentrasi zooxanthella dalam rentang yang lebih besar agar diketahui konsentrasi yang lebih tepat untuk metamorfosis larva. 2. Ada pengaruh yang tidak signifikan terhadap metamorfosis akibat induksi zooxanthella dan CCA, perlu dilakukan kajian mengenai waktu yang tepat untuk diberikan CCA dan zooxanthella secara terpisah atau bersamaan.

158 132 DAFTAR PUSTAKA Anthony KRN, Kline DI, Diaz-Pulido G, Dove S, Hoegh-Guldberg O (2008) Ocean acidification causes bleaching and productivity loss in coral reef builders. Proc Nat. Acad Sci USA 105: Baird AH, Babcock RC, Mundy CP Habitat selection by larvae influences the depth distribution of six common coral species. Mar Eco Prog Ser. 252 : Baird AH, Morse ANC Induction of metamorphosis in larvae of the brooding corals Acropora palifera and Stylophora pistillata. Marine and Freshwater Research 55 : [terhubung berkala]. [13 Mei 2012]. Birrell CL, McCook LJ, Willis BL, Harrington L Chemical effects of macroalgae on larval settlement of the broadcast spawning coral Acropora millepora. Marine Ecology Progress Series 362 : Erwin PM, Song B, Szmant AM Settlemet behavior of Acropora palmata planulae : effect of biofilm age and crustose coralline algae cover. Proceeding of the 11th ICRS. Fort Lauderdale Florida Feely RA, Sabine CL, Lee K, Berelson W, Kleypas J The impact of anthropogenic CO2 on the CaCO3 system in the oceans. Di dalam : Nakamura (editor). Coral larvae under ocean acidification: survival, metabolism and metamorphosis. Plos One 6(1): e doi: /journal.pone Gleason DF, Danilowicz BR, Nolan CJ Reef water stimulate substratum exploration in planulae from brooding Caribean corals. Coral Reefs 28 : Golbuu Y, Richmond RH, Substratum preferences in planula larvae of two species of scleractinian corals, Goniastra retifirmis and Stylaraea puctata. Marine Biology 152 : Harrington L, Fabricus K, De Ath G, Negri A Regnition and selection of settlement substrata determine post settlement survival ini corals. Ecology 85 : Iwao K, Fujisawa T, Hatta M A cnidarian neuropeptide of GLWamide family induces metamorphosis of reef building corals in the genus Acropora. Di dalam : Gleason and Hofmann (editor) Coral larvae : from gamets to larvae. J. Exp. Mar. Bio and Eco. 408 : Kuffner IB, Andersson AJ, Jokiel PL, Rodgers KS, Mackenzie FT Decreased abundance of crustose coralline algae due to ocean acidification. Nature Geoscience 1: Leitz T Induction of settlement and metamorphosis cnidarian larvae: signals and signal transduction. Inv Reprod Dev 31:

159 133 Morse DE, Hooker N, Morse ANC, Jensen RA Control of larval metamorphosis and recruitment in sympatric agariciid corals. J Exp Mar Biol Ecol 116: Mundy CN, Babcock RC Role of light intensity and spectral quality in coral settlement : implications for depth dependent settlement. J Exp Mar Biol Ecol 233 : Nakamura M, Ohki S, Suzuki A, Sakai K Coral larvae under ocean acidification: survival, metabolism, and metamorphosis. Plos One 6(1): e doi: Negri AP, Webster NS, Hill RT, Heyward AJ Metamorphosis of broadcast spawning corals in response to bacteria from crustose algae. Di dalam : Gleason and Hofmann (editors) Coral larvae : from gamets to larvae. J Exp Mar Biol Ecol 408 : Nozawa Y Micro-crevice structure enhances coral spat survivorship. J. Exp Mar Biol 367 : Raimondi PT, Morse ANC The concequences of complex larval behavior in a coral. Ecology 81 : Richmond RH, Hunter CL Reproduction and recruitment of corals : comparisons among the Caribean, the Tropical Pacific and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog Ser 60 : Schmich J, Trepel S, Leitz T The role of GL Wamides in metamorphosis of Hydractinia echinata. Dev Gene Evol 208: Suzuki G, Hayashibara T Inhibition of settlement and metamorphosis in Acropora (Anthozoa, Scleractinia) larvae by high-intensity light. Proc. of 10th International Coral Reef Symposium : Williams R Surface brooding in the Caribbean gorgonian Pterogorgia anceps. Coral Reefs 29: 437.

160 134 PEMBAHASAN UMUM Laju degradasi terumbu karang dewasa ini melebihi daya pulihnya secara alami. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kerusakan terumbu karang sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia yang dengan sengaja mengeksploitasi sumberdaya perikanannya (Gulberg and Loya 2009). Akibatnya terumbu karang tidak memiliki ketahanan yang baik dalam menopang kehidupan ekosistem. Kerentanan ekosistem terumbu karang juga diakibatkan oleh pemanasan global dimana terjadi peningkatan suhu permukaan laut dan asidifikasi air laut (Edwards 2010; Edwards and Gomez 2007). Kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak pada berkurangnya keanekaragaman karang keras. Ancaman keanekaragaman hayati masih berlanjut dengan adanya upaya legal pemanfaatan karang hidup untuk hiasan akuarium air laut. Perdagangan bunga karang atau karang hias makin marak dilakukan, karena permintaan akan karang hias di pasar internasional makin tinggi, sebaliknya pemanfaatan karang dari alam makin dibatasi (Bruckner 2001; Yusuf 2006; 2010). Pada tahun 1992 dan 1993, volume ekspor karang Indonesia mencapai puncahnya tertinggi keping, kemudian tahun 1999 sebesar keping (Yusuf 2006; 2010), pengurangan bertahap hingga keping tahun 2010 (PHKA 2010). Untuk mengatasi degradasi terumbu karang dan berkurangnya populasi jenis karang tertentu di alam, dibutuhkan upaya rehabilitasi yang mengacu pada tehnologi fragmentasi (aseksual) dan tehnologi breeding (sexual). Khusus tehnologi fragmentasi telah banyak diterapkan pada puluhan spesies karang terutama karang bercabang untuk rehabilitasi terumbu karang (Edwards 2010). Sementara perbanyakan karang secara seksual masih dalam skala penelitian dan masih menemui banyak kendala. Walaupun di beberapa negara seperti Australia, Jepang, Palau (Edwards 2010) dan Bali Indonesia (Aspari 2011 : komunikasi pribadi) pihak swasta telah membudidayakan karang. Namun demikian, penelitian reproduksi karang masih tetap menjadi tantangan untuk menjawab berbagai fenomena reproduksi di alam dan budidaya sehingga bisa diaplikasikan dalam kondisi terkontrol.

161 135 Karang keras (Filum Coelenterata; Kelas Anthozoa; Ordo : Scleractinia) memiliki kemampuan reproduksi ganda yakni secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual secara alami bagi semua hewan karang bervariasi tergantung pada spesiesnya. Koloni karang mampu menghasilkan gamet jantan dan betina. Sekitar ¾ spesies karang merupakan koloni yang hermaprodit (Veron 2000). Sifat seksualitas dari karang baik yang hermaprodit atau yang gonokoristik tergantung pada spesies dan atau genera (Veron 2000). Fenomena pemijahan karang keras baru ditemukan pada tahun 1980-an (Poinski 2004). Sekitar ¾ dari karang keras melakukan pemijahan (karang spawner) dengan cara melepaskan gamet ke kolom air secara simultan (Veron 2000). Sedangkan ¼ diantaranya diperkirakan menghasilkan larva planula yang telah terbuahi secara internal (karang brooder). Sinkronisasi pemijahan karang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga beberapa koloni karang sejenis yang kadang berada pada tempat yang terpisah harus melepaskan gamet secara sinkron dalam waktu yang bersamaan agar terjadi pembuahan atau fertilisasi diantara gamet jantan dan betina (Veron 2000). Fenomenan pemijahan masal karang tercatat di daerah subtropis seperti di Great Barrier Reef, Jepang, Caribia (Willis et a. 1997; Secore 2008). Penelitian reproduksi karang lebih intensif dilakukan di Great Barrier Reef, 30 spesies melepaskan gamet secara bersamaan dalam satu malam, selanjutnya dalam seminggu tercatat 150 spesies melepaskan gametnya (Willis et al. 2006). Hingga saat ini penelitian mengenai reproduksi karang secara alami di terumbu karang tropik terutama di Indonesia baru dilakukan oleh Munasik (2002), Rani (2004), dan Bahtiar (1994). Pemijahan karang telah dilaporkan pula tejadi di Kepulauan Karimun Jawa, Jepara (Munasik 1995). Dengan tingginya tingkat keanekaragaman jenis karang dan luasnya potensi terumbu karang Indonesia, bisa dipastikan bahwa informasi mengenai reproduksi karang masih sangat minim. Praktek pemijahan karang di beberapa lokasi secara induksi masih jarang dilakukan, Omori dan Fujiwara (2004) mencoba melakukan induksi pemijahan dalam kondisi terkontrol. Induksi pemijahan baru terbatas pada karang Acropora dan Montipora hingga terbentuk fase larva planula dan anakan karang di daerah subtropois. Sementara induksi pemijahan karang tropis khususnya di Indonesia masih jarang dilakukan. Disamping itu, masih sedikit informasi mengenai tingkat keberhasilan pemijahan secara buatan (injuced spawning) dan perkembangan

162 136 serta keberhasilan hidup larva karang dari berbagai jenis karang di daerah tropis. Keberhasilan metode pemijahan secara induksi tentu harus didukung oleh informasi waktu pemijahan yang tepat dari spesies karang tertentu. Penelitian reproduksi secara buatan akan mengarahkan kita pada bagaimana menemukan metode yang tepat untuk menghasilkan anakan atau juvenil karang yang kini sedang dieksploitasi untuk karang hias. Namun jika dibanding dengan terumbu karang Indonesia yang sangat luas dan jenis yang sangat beragam, informasi beberapa jenis karang secara spasial masih belum cukup untuk menggambarkan pola reproduksi karang di Indonesia. Beberapa penelitian reproduksi sebatas gambaran fenomena reproduksi karang di alam. Menurut Twan et al (2006) faktor lingkungan berperan penting dalam menentukan waktu reproduksi dan pemijahan. Fluktuasi lingkungan yang kecil di daerah tropik seperti di Indonesia menjadi penyebab tersebarnya waktu reproduksi karang sepanjang tahun dan diduga tidak memijah secara sinkron antar spesies (Oliver et al. 1988; Richmond dan Hunter 1990). Perbedaan letak geografis antara wilayah kepulauan Spermonde dan GBR Australia memberikan gambaran perbedaan waktu kematangan gonad dan waktu puncak pemijahan karang. Pada daerah dengan kondisi lingkungan yang cenderung konstan seperti daerah tropis Indonesia, periode pemijahan melebar sampai beberapa bulan dan pelepasan gamet terjadi fase bulan yang berbeda (Shlesinger dan Loya 1985, Szmant 1986, Richmond dan Hunter 1990, Hayashibara et al. 1993). Karakteristik perairan sekitar Orpheus Island Great Barrier Reef yang mengenal empat musim memiliki informasi reproduksi yang dan waktu puncak pemijahan berbagai jenis karang. Berbeda dengan perairan tropis seperti di Indonesia, misalnya di Kepulauan Spermonde, dimana perbedaan suhu perairan tidak terlalu menyolok menyebabkan waktu reproduksi karang menyebar sepanjang tahun. Pada penelitian ini tercatat beberapa spesies karang yang matang gonad dan memijah di Kepulauan Spermonde Selat Makassar. Jika dilihat dari periode musim, maka kematangan gonad dan atau pemijahan gamet karang di Kepulauan Spermonde mengikuti pola musim, yakni ada yang memijah pada musim hujan dan ada pula pada musim kemarau. Secara normal, musim hujan berlangsung dari bulan Oktober April, sementara musim kemarau berlangsung dalam bulan April Oktober (Nontji 2007).

163 137 Semua jenis karang yang diteliti di Orpheus Island GBR memijah pada bulan November Setiap tahun pada lokasi yang sama dan spesies yang sama di Orpheus Island GBR berlaku ketepatan waktu pemijahan (synchronous spawning) yang sudah diprediksi sebelumnya. Namun demikian, hasil penelitian lain pada tahun 1980-an dan 1990-an pemijahan karang di beberapa lokasi dan spesies yang sama di GBR sedikit bergeser dari Bulan November, misalnya pada Bulan Oktober dan Desember. Acropora tenuis yang memijah bulan November 2011 lalu, pernah tercatat memijah pada bulan Oktober di Magnetic Island dan bulan Desember di lokasi lain di GBR (Wallace 1999; Willis et al. 1985). Demikian halnya dengan Acropora millepora cukup banyak ditemukan memijah pada bulan November, namun pernah tercatat memijah pada bulan Desember (Wallace 1999; Richmond dan Hunter 1990). Jenis A. tenuis dan Ctenactis crassa memijah dalam satu malam tanggal 15 November 2011 bertepatan 18 Zulhijjah (+3 BP). Hingga malam ke-4 bulan purnama (+ 4BP) ada empat jenis karang : A. hyacinthus, Fungia fungites, Fungia concina dan Galaxea fascicularis memijah secara sinkroni pada malam yang sama pada tanggal 16 November Pada akhir pengamatan malam ke-5 (+5 BP) jenis karang jamur F. concina masih melepaskan gametnya pada jam 24:00. Suatu rekor pemijahan yang sangat telat dari semua kejadian pemijahan semua spesies. Setiap spesies memiliki waktu spawning yang berbeda (Fukami et al. 2003). Pemijahan karang jenis A.digitifera dan A. gemmifera dari jam 21:00 sampai jam 22:00 sementara A. tenuis memijah dari jam 19:00 hingga 20:00 waktu setempat. Perbedaan waktu pemijahan tergantung pada waktu tenggelamnya matahari yang berbeda-beda menurut lintang bumi. Kekurangan dalam penelitian ini tidak mencatat waktu tenggelamnnya matahari dari hari ke hari semasa pemijahan, sehingga tidak diketahui dengan pasti berapa jedah waktu antara matahari terbenam dan waktu mulai terbit bulan dan atau mulai karang memijah. Pemijahan empat spesies karang Acropora di Kepulauan Spermonde berlangsung pada puncak pasang air tertinggi (puncak purnama), posisi bulan purnama supermoon. Sedangkan di GBR, waktu pemijahan berada pada posisi puncak dan lembah kedua hingga pada posisi surut terendah. Musim hujan di Makassar terjadi pada bulan Oktober April sementara puncaknya terjadi pada bulan Desember - Februari. Puncak curah hujan tertinggi rata-rata tahunan

164 138 ( ) bulan Januari. Pada saat yang sama yakni bulan Maret tahun terjadi pemijahan karang berbagai jenis genus Acropora di Kepualaun Spermonde. Suatu kondisi curah hujan yang kontradiksi antara Spermonde dan Orpheus Island, dimana karang memijah pada kondisi curah hujan maksimum pada bulan Maret di Spermonde, sebaliknya karang di Orpheus memijah pada kondisi curah hujan yang minim. Beberapa penelitian reproduksi menjelaskan fenomena biofisik reproduksi karang di alam. Menurut Twan et al. (2006) faktor lingkungan berperan penting dalam menentukan waktu reproduksi dan pemijahan seperti temperatur, pasang surut, penyinaran, kejutan fisik dan ketersediaan makanan. Sebagai hewan invertebrata, karang merespon tekanan lingkungan dengan memberikan sinyal terhadap gangguan endokrin (Gross et al. 2006). Secara kimiawi, perkembangan komponen endogen bisa memperjelas fenomena reproduksi karang (Twan 2003). Faktor endogen seperti hormon esrtadiol-17β berfungsi mengatur sinkronisasi gametogenesis dan pemijahan karang secara masal. Penelitian mengenai sinyal kimiawi selama musim reproduksi karang hingga kini baru dilakukan di daerah subtropis dan terbatas pada jenis Euphyllia ancora (Twan 2003) dan Montipora capitata (Tarrant 2007). Koringa (1974) mencatat tiga faktor yang menentukan waktu reproduksi pada hewan invertebrata laut, yakni : variasi temperatur tahunan, siklus pasang surut, dan variasi pencahayaan baik penyinaran bulan maupun siklus pergantian siang dan malam (gelap dan terang). Van Woesik (2010) meneliti pelepasan gamet (pemijahan) karang pada kondisi cuaca tenang dan cuaca laut berangin atau gelombang. Dari penelitian tersebut ternyata angin merupakan faktor pemicu (stressor) pemijahan karang, namun karang akan melepaskan gametnya setelah perairan dalam kondisi tenang. Secara alamiah kondisi tersebut dapat mensukseskan fertilisasi silang diantara sumber gonad yang berbeda (Willis et al. 2006). Karena untuk mensukseskan reproduksinya setiap organisme laut yang melepaskan gonad dengan memadukan tiga faktor yang saling terkait, yakni faktor pengenceran sperma, durasi ketahanan gamet dalam air dan waktu kontak yang aktif bagi sperma dan telur (Szmant et al. 1997). Menurut Van Vegel ada 5 fase proses pemijahan karang, yakni :Setting stage (Babcock et al. 1986) yaitu saat buntelan telur dan sperma terlihat jelas di bawah lempeng mulut. Birth stage, yaitu saat buntelan telur sperma terjepit pada

165 139 mulut polip. Gliding stage, yaitu buntelan telah dikeluarkan namun masih bergerak dan tertahan oleh mucus dan tentakelnya. Upward stage, yaitu saat buntelan telur bergerak ke atas permukaan air. Bursting stage, yaitu buntelan telur dan sperma terpecah menjadi unit-unit telur dan sperma terlepas dari buntelan. Dengan perlakuan air mengalir dan aerasi kuat mampu mempercepat waktu pemijahan karang dalam kondisi terkontrol. Respon waktu pemijahan lebih cepat 97 menit yang diberi perlakuan air mengalir dibanding pemijahan yang normal baik dalam bak (exsitu) maupun yang di alam (insitu). Indikator respon polip untuk memijah dapat dilihat dari kemunculan gonad sekitar mulut yang disebut fase setting. Prinsip dari induksi fisik pemijahan adalah merangsang polip karang secara fisik untuk memberikan reaksi biologis pelepasan gamet. Metode induksi fisik menjadi alternatif untuk pemijahan biota yang dapat memecahkan masalah di atas. Yusuf et al (2006) telah berhasil memijahkan kerang lola (Trochus niloticus) menggunakan metode fisik (air mengalir, aerasi kuat, dan desikasi atau penjemuran). Pada jenis moluska lain seperti kima (Tridacna spp), pemijahan buatan menggunakan metode penjemuran, peningkatan suhu telah berhasil memberikan rangsangan pemijahan. Akan tetapi, kematangan gonad sebagai prasyarat bagi koloni karang yang akan dipijahkan merupakan hal yang utama. Secara garis besar, terdapat tiga klasifikasi metode induksi pemijahan, yakni secara fisik, biologi dan kimiawi. Metode fisik lebih banyak digunakan dalam berbagai riset, karena pilihan ini disamping menstimulasi lingkungan fisik akan lebih mudah dilakukan dan murah. Sementara metode biologi masih dianggap sebagai metode yang kurang baik menurut biologiwan atau animal welfarer karena harus mengorbankan individu lain untuk memperoleh gonad yang diekstraksi. Penggunaan bahan kimia untuk merangsang pemijahan masih dianggap metode yang mahal sehingga tidak populer karena menggunakan bahan kimia yang sulit diperoleh, kecuali dipesan khusus atau dari negaranegara tertentu. Penggunaan air mengalir merupakan modifikasi kondisi perairan yang sebenarnya, dimana pada saat air pasang dan surut terjadi pergerakan air laut yang membawa massa air dengan berbagai macam kandungannya (suhu, nutrien, plankton, oksigen, dll) untuk mensuplai kebutuhan organisme dan membersihkan polip karang dari endapan sedimen. Massa air laut yang

166 140 bergerak juga mentransfer gas dan bahan metabolit yang dibutuhkan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan dan reproduksi bagi semua organisme laut (Thomas dan Atkinson 1997 diacu Nakamura dan Van Woesik 2001). Pemijahan buatan masih belum populer, karena kelompok hewan ini sebelumnya tidak bernilai ekonomis dan masih banyak tersedia di alam. Namun demikian mulai dimanfaatkan untuk ornamen akuarium, juga belum ada metode yang standar dalam pemeliharaan. Berangkat dari pengalaman pemijahan kerang lola (Yusuf et al. 2006) memanfaatkan stimulasi fisik air mengalir, aerasi kuat dan desikasi. Respon pemijahan kerang lola yang terbaik dan lebih cepat dari stimulasi fisik berupa air mengalir dan aerasi kuat. Sehingga penelitian ini telah menginspirasi penelitian pemijahan karang dengan berbagai modifikasi. Embrio dan larva membutuhkan waktu yang berbeda selama fase planktonik hingga melekat di dasar atau disebut Copetence Time (Gleason dan Hoffmann 2011). Competece time berbeda setiap spesies, model reproduksi dan posisi geografi. Secara umum, competence time bagi karang sekitar 48 jam (Thamrin 2006). Menurut Okubo dan Motokawa (2007) bahwa perkembangan embrio karang memperlihatkan kemiripan dengan embrio hewan lainnya pada bentuk pole, blastopole dan mulut. Walaupun telah ada penemuan pemijahan karang secara masal (Harrison et al. 1984; Willis et al. 1985), namun informasi perkembangan larva secara embriologi dan morfologi dari berbagai spesies belum semuanya terungkap. Penelitian detail mengenai embriologi muncul bersamaan dengan berkembangnya penelitian anatomi dan biologi molekular (Ball et al. 2002). Sementara penelitian embriologi dan anatomi kandungan embrio dan larva biota laut terus berkembang untuk menyempurnakan penanganan terbaik terhadap larva dan juvenil karang untuk tujuan riset lanjutan, budidaya dan konservasi. Hasil eksperimen Negri dan Heyward (2000) menunjukkan adanya perbedaan tingkat atau respon fertilisasi dari beberapa jenis karang Acropora. Fertilisasi A. nasuta mencapai 94% dengan konsentrasi sperma 10 5 /ml. Sementara A. gemmifera fertilisasinya hanya mencapai 42% akibat terjadinya polisperma karena konsentrasi yang terlalu besar 10 8 /ml. Namun tidak demikian halnya dengan A. nasuta dan A. tenuis, dengan konsentrasi sperma sebanyak 10 7 /ml untuk A. nasuta menghasilkan fertilisasi sebanyak 80%. Sebaliknya konsentrasi sperma yang lebih tinggi pada A.tenuis yakni 10 8 /ml menghasilkan fertilisasi 95%, lebih tinggi dibanding A.nasuta yang diberi

167 141 konsentrasi sperma yang lebih rendah. Hal yang menarik bahwa konsentrasi sperma 10 5 /ml pada A.nasuta hampir sama hasil fertilisasinya dengan A. tenuis dengan konsentrasi sperma 10 8 /ml. Competence atau kompetensi diartikan sebagai kemampuan larva dalam meresponi faktor eksternal selama larva tersebut berkembang hingga mengendap atau menempel pada substrat (Gleason dan Hoffmann 2011). Competence time adalah waktu yang dibutuhkan larva mulai dipijahkan hingga mengendap di substrat selama masa embrio dan larva planktonik. Planula hasil pemijahan gamet membutuhkan waktu yang bervariasi untuk mencapai substrat atau metamorfosis tergantung pada individu dan spesies (Gleason dan Hoffmann 2011). Karang Acroporidae (A. tenuis dan A. millepora) membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai fase metamorfosa ( dan jam) dibanding dengan karang Fungiidae (Cteanactis crassa dan Fungia concina) selama jam), demikian halnya dengan fase-fase sebelumnya kecuali stadia telur dan embrio. Oleh karena itu, kelompok larva karang Fungiidae akan mengendap atau melekat pada terumbu karang yang lebih dekat dibanding dengan kelompok larva Acropora. Hal ini disebabkan karena perkembangan embrio dan larva yang lebih cepat sehingga lebih awal untuk mengendap. Baird (1998) menemukan competence time maksimum pada A. millepora selama 60 hari dan A. valida mencapai 90 hari baru mengendap dan metamorfosa. Konsekuensi dari waktu pengendapan yang lebih cepat pada kelompok Fungiidae adalah minimnya ancaman larva sehingga kemugkinan keberhasilan pengendapan akan lebih besar. Sementara Acroporidae yang memiliki competence time yang lebih lama, peluang gagal metamorfosa lebih besar akibat hambatan alami seperti predasi selama fase planktonik. Namun demikian Acropora memiliki strategi yang luar biasa dengan melakukan pemijahan massal dalam waktu yang sinkron sehingga peluang untuk kelangsungan hidup larva juga lebih besar. Disamping itu, competence time juga ditentukan oleh cadangan energi dalam embrio sebagai salah satu strategi sekaligus faktor pembatas dalam fase planktonik. Untuk menempuh waktu yang lama, karang harus memiliki energi yang cukup banyak disamping strategi pencadangan lemak dan pengontrolan metabolisme. Perkembangan embrio dan larva karang famili Acroporidae (A. millepora dan Acropora tenuis) berbeda signifikan terhadap dua spesies dari Fungiidae

168 142 (Ctenactis crassa dan Fungia concina). Embrio karang Acroporidae umumnya berukuran lebih besar dibanding Fungiidae. Di antara spesies Acropora, embrio dan larva A. millepora berkembang lebih cepat dibanding A. tenuis dan demikian halnya dengan embrio dan larva Ctenactis crassa berkembang lebih cepat dibanding Fungia concina. Mungkin inilah alasan mengapa para peneliti biologi reproduksi karang cenderung memilih kelompok Acroporidae untuk dijadikan hewan uji eksperimen reproduksi dan perkembangan larva. Disamping itu, Acropora lebih mudah ditemukan karena komposisi spesies dan kelimpahannya di alam jauh lebih besar (Wallace 1999). Reproduksi Acropora lebih mudah diprediksi dan bersifat masal serta sinkron (Wallace et al. 1985; Baird et al. 2009). Larva planula Acropora tenuis lebih banyak mengendap pada cahaya dengan intensitas cahaya yang tinggi dan menurun pada intensitas rendah (Mundy dan Babcock 1998). Hal ini disebabkan karena spesies Acropora tenuis ini hidup pada habitat terumbu karang yang dangkal, sehingga larva sudah beradaptasi dengan kondisi cahaya terang secara alamiah. Bagi induk Acropora tenuis yang hidup pada daerah tubir terumbu dan lereng terumbu atas lebih menyukai intensitas cahaya µmol/m 2 /s (Suzuki dan Hayashibara, 2006). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana larva lebih banyak mengendap pada intensitas cahaya yang lebih tinggi. Intensitas cahaya pada zona intertidal atau rataan terumbu cukup tinggi yakni µmol/m 2 /s. Sebaliknya Suzuki dan Hayashibara (1998) bahwa larva karang lebih menyukai kondisi cahaya yang tereduksi atau gelap untuk pengendapan sebaliknya intesitas cahaya yang tinggi akan menghambat pengendapan dan pelekatan. Dalam kondisi yang terang, larva karang akan mengendap atau melekat pada sisi substrat yang tersembunyi (Suzuki dan Hayashibara 2006). Menurut Mundy dan Babcock (1998) intensitas cahaya tersebut terlampau tinggi menghambat penempelan atau pengendapan larva. Pada zona lereng terumbu, intensitas cahaya antara µmol/m 2 /s menjadi referensi cahaya yang paling baik bagi hampir semua jenis karang untuk mengendap dan melekat. Larva planula yang mengendap kemudian bermetamorfosis membentuk juvenil. Metamorfosis adalah suatu proses perubahan morfologi dalam siklus hidup organisme air yang memediasi stadium larva planktonik menjadi juvenil (Nakamura et al. 2011). Fase metamorfosis tergolong fase yang kritis, karena sering mengancam kelangsungan hidup dimana terjadi perubahan bentuk tubuh

169 143 larva, cadangan energi internal mulai habis dan memulai bentuk kehidupan baru pada substrat dengan berbagai ancaman predasi dan kompetisi. Menurut Nakamura et al (2011) jika metamorfosis sukses, maka kelangsungan hidup larva menjadi juvenil akan lebih tinggi atau sebaliknya. Larva planula akan memilih lokasi dan substrat yang permanen untuk melekatkan diri tergantung pada faktor fisik, seperti cahaya, salinitas, pergerakan air, kedalaman, bentuk permukaan substrat dan sedimentasi (Mundy dan Babcock 1998; Raymondy dan Morse 2000). Karang mengendap pada media substrat crustose coraline algae (CCA). Birrel et al. (2009) mengatakan bahwa CCA dapat mempengaruhi pengendapan larva karang sebelum larva mencapai substrat, bahkan alga berkapur merah (red coraline algae) diketahui memiliki preferensi yang lebih baik dibanding dengan lokasi tanpa alga berkapur tesebut. Penelitian metamorfosa larva karang ini didasarkan pada prinsip-prinsip pengendapan dan pelekatan juvenil karang yakni respon juvenil karang terhadap simulasi intensitas cahaya dan posisi substrat, pengaruh induksi zooxanthella dan CCA. Preferensi penempelan juvenil lebih banyak di dalam substrat yang berposisi horizontal dan berbeda nyata dibanding substrat vertikal. Secara terpisah induksi CCA dan induksi zooxanthella mempengaruhi laju metamorfosis larva planula A. tenuis, namun kombinasi antara keduanya tidak berpengaruh. Metamorfosa larva A. tenuis menunjukkan respon yang sama terhadap perbedaan konsentrasi zooxanthella, tanpa zooxanthella dan CCA metamorfosa planula secara signifikan lebih rendah. Laju metamorfosis larva zooxanthella dan azooxanthella tidak menunjukkan perbedaan waktu (Schwarz et al. 1999). Induksi zooxanthella menurut Schwarz et al. (1999) bukan untuk mensukseskan pengendapan dan metamorfosis bagi planula zooxanthella dan azooxanthella. Akan tetapi dalam penelitian lain terhadap Fungia scutaria terungkap bahwa larva planula yang menyerap zooxanthella selama tiga hari memperlihatkan perkembangan larva metamorfosis menjadi polip baru lebih cepat. Fungia scutaria baru akan menyerap zooxanthella pada saat setelah mulut larva sudah berkembang dan difungsikan, sementara beberapa spesies lain menyerap zooxanthella dalam tiga cara, yakni zooxanthella sudah terinfeksi sejak dalam inangnya, zooxanthella melekat pada ektoderm lalu masuk ke endoderm, dan masuk melalui mulut (Fit dan Trench 1983 diacu Schwarz et al. 1999)

170 144 Biasanya planula memperoleh zooxanthella dari lingkungan setelah mengendap dan metamorfosis. Sementara Fungia scutaria menyerap zooxanthella sesaat planula dilepaskan dari induknya. Sebaliknya A. tenuis belum memiliki zooxanthella ketika zigot baru dilepaskan dari induknya (Richmond dan Hunter 1990). Secara normal, metamorfosis larva dalam air laut mulai terjadi pada hari ke-6, Markey et al. (2007) mendapatkan 77.8 ± 0.2% larva yang metamorfosis, selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 meningkat menjadi 97.8 ± 0.9% and 96.7 ± 0.9%. Heyward dan Negri (2000) mendapatkan hasil larva metamorfosis dan melekat pada substrat sebanyak 79.6 ± 3.1% dari larva karang A. millepora selama 24 jam dalam media CCA (Negri and Heyward 2000). Dalam penelitian ini, pengaruh CCA terhadap pengendapan dan metamorfosis larva planula cukup signifikan dibanding dengan medium tanpa CCA. Menurut Ritson-Williams et al. (2010); Golbuu and Richmond (2007); Baird dan Morse (2004) bahwa metamorfosis dan pelekatan juvenil karang dari berbagai famili umumnya terjadi pada kebanyakan substrat CCA. Harrington et al. (2004) meneliti lima spesies crustose coralin algae untuk menguji respon pengendapan larva, yakni : Neogoniolithon fosliei, Porolithon onkodes, Hydrolithon reinboldii, Titanoderma prototypum and Lithoporella melobesioides. Hasilnya spesies CCA T.prototypum lebih disukai larva untuk melekat sebanyak 15 kali lebih banyak dibanding N.fosliei. Di samping itu, Birrell et al. (2008) menemukan Lobophora variegata ditemukan berlimpah pada terumbu karang yang mengalami degradasi. Makroalga coklat yang berbentuk folios Lobophora variegata melepaskan bahan kimia yang cocok dan merangsang pengendapan larva A. millepora. Sebaliknya pengendapan larva karang terhambat oleh makro alga lain seperti Padina sp dan larva karang menghidari komunitas algae hijau filamen seperti Chlorodesmis fastigata. Gleason et al. (2009) menemukan konsentrasi bahan biokimia yang terbentuk secara alamiah dalam kolom air sekitar 1 meter di atas komunitas terumbu karang yang didominasi algae dan terumbu karang yang sehat. Bahan biokimiawi tersebut sebagai biomagnet bagi larva larang untuk mendekat dan mengendap pada substrat tersebut. Sinyal kimia tersebut terdiri dari berbagai sumber seperti makro alga. Makro algae berfungsi sebagai biomagnetik mempengaruhi pengendapan larva A. millepora (Birrel et al. 2008).

171 145 Menurunnya tingkat metamorfosis larva Acroporidae pada air laut yang mengalami asidifikasi mengancam kehidupan larva karang. Kuffner et al. (2008) mengatakan bahwa laju rekrutmen dan persen penutupan CCA secara signifikan menurun akibat asidifikasi. Sebaliknya kesuksesan metamorfosis larva karang merupakan peran dari CCA (Morse et al. 1998). CCA terdiri dari MgCO 3, yang lebih larut dalam kalsium karbonat dibanding aragonit dan kalsit (Feely et al diacu Nakamura 2011)

172 146 KESIMPULAN UMUM Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan wilayah perairan tropis Kepulauan Spermonde Indonesia dan Orpheus Island GBR sebagai wilayah subtropis, dan metode insitu dan exsitu untuk mengamati reproduksi karang, maka dapat ditarik beberapa simpulan penelitian, yakni : 1. Pola reproduksi karang di perairan tropis Indonesia berlangsung beberapa bulan sepanjang tahun, dimana karang berpolip kecil memijah pada musim hujan dan berpolip besar pada musim kemarau. Sedangkan di Orpheus Island GBR semua spesies karang memijah secara masal pada awal musim panas. Lebih khusus hanya karang genus Acropora di perairan tropis memijah secara sinkron (synchronous spawning) namun tidak secara masal. Karang berpolip kecil memijah pada bulan purnama dan berpolip besar sekitar bulan gelap atau bulan baru. 2. Induksi pemijahan berupa air mengalir, aerasi kuat dan kombinasi keduanya mampu mempercepat respon pemijahan karang A. tenuis. 3. Spesies Acropora tenuis memiliki tingkat fertilisasi lebih cepat pada tiga jam pertama dan fertilisasi semua spesies termasuk A. millepora dan Ctenactis crassa mencapai puncaknya pada jam ke empat pasca pemijahan. Competence time larva karang Acroporidae lebih lama dibanding dengan Fungiidae. Perkembangan embrio-larva famili Acroporidae juga lebih cepat dibanding Fungiidae. Secara spesifik embrio dan larva karang A. millepora berkembang lebih cepat dibanding A. tenuis, sementara Ctenactis crassa juga lebih cepat dibanding Fungia concina. 4. Intensitas cahaya tidak mempengaruhi pengendapan larva dan pelekatan juvenil A. tenuis. Preferensi penempelan juvenil yang baik pada substrat berposisi horizontal. Induksi crustose corallin algae (CCA) dan zooxanthella secara terpisah mampu mempercepat metamorfosis larva planula, namun dalam kombinasi antara keduanya respon metamorfosis larva planula justru lebih lambat.

173 147 DAFTAR PUSTAKA Babcock RC, Bull GD, Harrison PL, Heyward AJ, Oliver JK Synchronous spawning of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar Biol 90 : Bahtiar I Reproduction of Three Scleractinian Corals (Acropora cytherea, A. nobilis, Hydnophora rigida) In Eastern Lombok Strait, Indonesia. Thesis of Jamescook University, Townsville Australia. Baird AH, Guest JR, Willis BL, Systematic and biogeographycal patterns in the reproductive biology of scleractinian corals. Annu. Rev.Evol. Syst 40: [terhubung berkala]. [2 Maret 2011]. Baird AH The length of the larval phase in corals : new insights into patterns of coral connectivity. Australian Coral Reef Society Autum Newsletter. June 1998 : 6-8. Ball EE, Hayward DC, Hoyes JSR, Hislop NR, Samuel G, Saint R, Harrison PL, Miller DJ Coral development: from classical embryology to molecular control. Int. J. Dev. Biol. 46: Birrell CL, McCook LJ, Willis BL, Harrington L Chemical effects of macroalgae on larval settlement of the broadcast spawning coral Acropora millepora. Mar Ecol Prog Ser 362 : Bruckner A.W., Development of Sustainable Management Guidelines. International Workshop on the Trade in Stony Corals April, Jakarta. Edwards, A., Reef Rehabilitation Manual. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management. pp.166. Edwards, A., E. Gomez, Reef Restoration Concept and Guidelines : Making Sensile Management Choices in the Face of Uncertaintly. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Gross T.S., C.M. Wieser, N.J. Kernaghan, and D.S. Ruessler, Development And Validation Of Procedures For Monitoring Endocrine And Reproductive Function In Freshwater Mussels. URL: U.S. Geological Survey. Page Last Modified: April Gulberg, O.H, Y. Loya, Bleaching and Related Ecological Factor. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management. CRTR Working Group Findings

174 148 Fukami H, Omori M, Shimoike K, Hayashibara T, Hatta M Ecological and genetic aspects of reproductive isolation by different spawning times in Acropora corals. Mar.Biol. 142 : Gleason DF, Hoffman DK Coral Larvae : From gametes to recruits. J. Exp. Mar. Bio.Eco. 408 : Harrison PL, Babcock RC, Bull GD, Oliver JK, Wallace CC, Willis BL Mass spawning in tropical reef corals. Science 223 : Hayashibara T, Shimoike K, Kimura T, Hosaka S, Heyward A, Harrison P, Kudo K, Omori M Patterns of coral spawning at Akajima Island, Okinawa, Japan. Mar Ecol Prog Ser 101 : Koringa P Relations between the moon and periodicity in the breeding of marine animals. Di dalam : Kojis dan Quinn (editor) Aspect of sexual reproduction and larval development in the shallow water hermatypic coral, Goniastrea australiensis (Edwards and Haime, 1857). Bull Mar Sci 31 : Munasik Reproduksi Seksual Karang di Indonesia : Suatu kajian. Konperensi Nasional III Wilayah Pesisir dan Laut. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia; Bali Mei Hlm Mundy CN, Babcock RC Role of light intensity and spectral quality in coral settlement : implications for depth dependent settlement. J Exp Mar Biol Ecol 233 : Nakamura M, Ohki S, Suzuki A, Sakai K Coral larvae under ocean acidification: survival, metabolism, and metamorphosis. Plos One 6(1): e doi: Negri AP, Heyward AJ Inhibition of fertilization and larval metamorphosis of the coral Acropora millepora (Ehrenberg 1834) by petroleum products. Mar. Poll. Bull. 41 : Nontji A Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta. Okubo N, Motokawa T Embryogenesis of the reef building coral Acropora spp. Zoo. Sci. 24 : Oliver JK, Babcock RC, Harrison PL, Willis BL Geographic extent of mass spawning: clues to ultimate causal factors. Di dalam : Wild C et al, (editor): Biogeochemical responses following coral mass spawning on the Great Barrier Reef : pelagic-benthic coupling. Coral Reefs (2008) 27 : Omori M, Fujiwara S Manual for restoration and Remediation of Coral Reefs. Nat. Conserv. Bureau. Ministry of the Enviroment. Japan. Poinski, M Underwater sex: Virgin Islands coral expected to spawn soon. Cyber Diver News Network (CDNN) Eco News Science - Underwater

175 149 Sex Virgin Islands Corals Spawn Soon.mht. (3 April 2004). Http//: WWW. CDNN. Diakses pada tanggal 10 April Rani C Reproduksi seksual karang scleractinia Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa di terumbu karang tropik Pulau Barrang Lompo, Makassar [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Richmond RH, Hunter CL Reproduction and recruitment of corals : comparisons among the caribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog Ser 60 : Secore [Sexual Coral Reproduction] Coral Reproduction Training 31st (March April 7th 2009). National University of Singapore. [terhubung berkala] [Maret 2010]. Shlesinger Y, Loya Y Coral community reproductive patterns : Red Sea versus the Great Barrier Reef. Science Magazine. [terhubung berkala]. http :// [3 April 2008]. Suzuki G, Hayashibara T Inhibition of settlement and metamorphosis in Acropora (Anthozoa, Scleractinia) larvae by high-intensity light. Proc. of 10th International Coral Reef Symposium : Szmant AM Reproductive ecology of Caribean reef corals. Coral Reefs 5 : Tarrant, AM Hormonal signaling in cnidarians: do we understand the pathways well enough to know whether they are being disrupted? Ecotoxicology 16 : Thomas FIM, Atkinson ML Ammonium uptake by coral reefs: effects of water velocity and surface roughness on mass transfer. Limnol Oceanogr 42(1): Di dalam : T. Nakamura, R. Van Woesik (editor) Water-flow rates and passive diffusion partially explain differential survival of corals during the 1998 bleaching event. Mar Ecol Prog Ser 212: Twan W.H., J.S.Hwang, C.F. Chang, Sex Steroids in Scleractinian Coral, Euphyllia ancora: Implication in Mass Spawning. Bio. Rep 68, (2003). Published online before print 22 January DOI / biolreprod Twan, W.H., J.S. Hwang, Y.H. Lee, S.R.Jeng, W.S. Yueh, Y.H.Tung, H.F. Wu, S.Dufour, and C.F. Chang, The Presence and Ancestral Role of Gonadotropin-Releasing Hormone in the Reproduction of Scleractinian Coral, Euphyllia ancora. Endocrinology 147 : The Endocrine Society. doi: /en USA. Van Woesik R Calm before the spawn: global coral spawning patterns are explained by regional wind fields. Proc. R. Soc. B 277 :

176 150 Veron JCE Corals of the world. Volume 1-2. Australian Institute of Marine Sciences and CRR Qld Pty Ltd. Wallace CC Staghorn corals of the world : A revision of the genus Acropora. CSIRO, Australia Willis BL, Babcock RC, Harrison PL, Olover JK, Wallace CC Pattern in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to Proc. 5th International Coral Reef Congress; Tahiti. 4 : Willis BL, Van Oppen MJH, Miller DJ, Vollmer SV, Ayre DJ The Role of Hybridization in the Evolution of Reef Corals. Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst 37: Willis, BL, Babcock RC, Harrison PL, Wallace CC Hybridization and breeding incompatibilities within the mating systems of mass spawning reef corals. Di dalam : Lessios HA, Macintyre IG, editor. Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium; Panama, June hlm Yusuf S, Budimawan, Littay M, Fatmawati Spawning of the top shell (Trochus nilotichus) using different injuced methods. Jurnal Torani Special Ed. 16 (5): Yusuf S, Rani C, Jompa J Fenomena bleaching karang tahun 2009 di Pulau Badi Selat Makassar. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 24 Juli Universitas Gajah Mada.

177 LAMPIRAN 151

178 152

179 153 LAMPIRAN Lampiran 1 Kelompok karang berpolip kecil dan polip besar Kelompok karang berpolip kecil (coralit < 5 mm) Acropora digitifera A. nasuta A. aculeus A. hyacinthus.a. loripes A. tenuis

180 154

181 155 Kelompok karang berpolip besar (coralit > 5 mm) Fungia sp Euphyllia glabrescen Galaxea striata Euphyllia ancora Heliofungia actiniformis Lobophyllia sp

182 156 Lampiran 2 Curah hujan terkini (2011) dan rata-rata setiap bulan di Kepulauan Spermonde dan Orpheus island Great Barrier Reef. Kep.Spermonde Orpheus Island Terkini Rata-rata Terkini Rata-rata Bulan T.2011 T T.2011 T Nov 181,20 159,56 65,80 98,40 Des 438,80 553,41 174,50 199,60 Jan 560,40 714,83 230,00 354,50 Feb 527,70 515,59 698,60 507,10 Mar 592,50 360,23 834,20 324,80 Apr 383,00 191,09 130,60 150,80 Mei 161,70 68,39 72,20 86,30 Jun 8,40 66,86 44,00 69,70 Jul 0,80 25,81 2,60 33,80 Ags 0,00 14,93 2,00 33,60 Sep 0,00 56,93 0,00 47,80 Okt 38,70 68,50 94,40 51,10 Lampiran 3 Waktu yang dibutuhkan untuk fase pemijahan karang A.tenuis dalam perlakuan induksi pemijahan. Perlakuan Air mengalir Aerasi kuat Kombinasi Alami kode Respon waktu pemijahan (menit) Setting stage(s) Glinding stage(g) Jedah (S-G) A A A rata 26,5 52,0 25,5 B B B rata 25,7 51,0 25,3 AB AB AB rata 18,7 47,7 29,0 C C C rata 97,0 119,7 22,7

183 157 Lampiran 4 Rancangan perlakuan induksi pemijahan karang di OIRS Great Barrier Reef Australia (November 2011) Perlakuan Arus kuat (A) Perlakuan Aerasi kuat (B) Kombinasi Aerasi dan Air mengalir (AB) Unit perlakuan berisi karang Karang siap memijah Karang sudah memijah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LARVA DALAM EMBRIOGENESIS KARANG Acropora HASIL PEMIJAHAN EX-SITU. Larval Development in Embriogenesis of Acropora from Ex-Situ Spawning

PERKEMBANGAN LARVA DALAM EMBRIOGENESIS KARANG Acropora HASIL PEMIJAHAN EX-SITU. Larval Development in Embriogenesis of Acropora from Ex-Situ Spawning PERKEMBANGAN LARVA DALAM EMBRIOGENESIS KARANG Acropora HASIL PEMIJAHAN EX-SITU Larval Development in Embriogenesis of Acropora from Ex-Situ Spawning Syafyudin Yusuf, N P. Zamani, J. Jompa Diterima : 28

Lebih terperinci

PENDAHULUAN POLA REPRODUKSI KARANG

PENDAHULUAN POLA REPRODUKSI KARANG PENDAHULUAN Pengetahuan dasar mengenai reproduksi karang penting dan dapat membantu dalam usaha pengelolaan sumber daya terumbu karang. Cara dan waktu reproduksi karang sangat besar pengaruhnya dalam proses

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

GROWTH & REPRODUCTION

GROWTH & REPRODUCTION Farid K. Muzaki, S.Si., M.Si Jurusan BIOLOGI FMIPA ITS Surabaya CORAL BIOLOGY III GROWTH & REPRODUCTION Biology of Coral SB091546 introduction Pertambahan panjang linear, berat, volume atau luas Pertambahan

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU MEMIJAH KARANG Acropora nobilis DAN Pocillopora verrucosa DI TERUMBU KARANG TROPIK PULAU BARRANGLOMPO, MAKASSAR ABSTRACT PENDAHULUAN

TINGKAH LAKU MEMIJAH KARANG Acropora nobilis DAN Pocillopora verrucosa DI TERUMBU KARANG TROPIK PULAU BARRANGLOMPO, MAKASSAR ABSTRACT PENDAHULUAN TINGKAH LAKU MEMIJAH KARANG Acropora nobilis DAN Pocillopora verrucosa DI TERUMBU KARANG TROPIK PULAU BARRANGLOMPO, MAKASSAR Spawning behaviour of Acropora nobilis and Pocillopora verrucosa in coral reefs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

Reproduksi karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah: II. Waktu spawning

Reproduksi karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah: II. Waktu spawning Indonesian Journal of Marine Sciences. 10(1): 30-34. (2005) Reproduksi karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah: II. Waktu spawning (Sexual reproduction of coral Acropora aspera from Panjang

Lebih terperinci

Ilmu Kelautan. Maret Vol. 10 (1) : ISSN

Ilmu Kelautan. Maret Vol. 10 (1) : ISSN ISSN 0853-7291 Reproduksi Karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah : II. Waktu Spawning Munasik* dan Wisnu Widjatmoko Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR

STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR Mahmud, Oktiyas Muzaki Luthfi Program Studi Ilmu kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi karang Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Salah satu organisme yang dapat berperan sebagai bioindikator perairan tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF Oleh : Siti Aisyah Cinthia Indah Anggraini C64103025 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG PELEPASAN POLIP (BAIL-OUT) KARANG LUNAK Sinularia flexibilis SECARA BUATAN

KAJIAN TENTANG PELEPASAN POLIP (BAIL-OUT) KARANG LUNAK Sinularia flexibilis SECARA BUATAN J. Sains & Teknologi, Desember 2007, Vol. 7 No. 3 : 125-136 ISSN 1411-4674 KAJIAN TENTANG PELEPASAN POLIP (BAIL-OUT) KARANG LUNAK Sinularia flexibilis SECARA BUATAN Abdul Haris 1,5), Syafyudin Yusuf 2,5),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Karang Target

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Karang Target 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Karang Target Secara taksonomi phylum Coelenterata atau Cnidaria memiliki ciri khas yakni sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini dikenal dengan nama

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 61 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu

Lebih terperinci

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Laksito Nugroho M 0401037 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN iii KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan

Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan 59 M. A. Fajri et al. / Maspari Journal 03 (2011) 63-68 Maspari Journal 03 (2011) 63-68 http://masparijournal.blogspot.com Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH Studi Kasus: Sekolah Dasar Negeri Di Kabupaten Sukohardjo Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah II) MUHAMMAD YUSUF SULFARANO BARUSMAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di:

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di: Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 212, Halaman 51-57 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr Pengaruh Perbedaan Jenis Substrat dan Kedalaman Terhadap Jumlah Juvenil Karang

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di:

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di: Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 109-117 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr Pengaruh Hym-248 Terhadap Metamorfosis Planula Karang Acropora spp Di

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR. OLEH: Drs. JOB NICO SUBAGIO, MSI NIP

KARYA ILMIAH REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR. OLEH: Drs. JOB NICO SUBAGIO, MSI NIP KARYA ILMIAH REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR OLEH: Drs. JOB NICO SUBAGIO, MSI NIP. 195711201986021001 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI i TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S.

PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S. PENGARUH REGULASI, PERSAINGAN DAN KEKUATAN BELI TERHADAP HUBUNGAN PEMASOK-RITEL MODEREN DAN KINERJA PEMASOK DI JAKARTA DEDIE S. MARTADISASTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat

Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat Tesis Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 i

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang mempakan habitat laut yang penting di perairan tropis yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak serta sebagai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci