BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Studi tentang Implementasi Kebijakan Publik di tingkat lokal yang berbasiskan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Studi tentang Implementasi Kebijakan Publik di tingkat lokal yang berbasiskan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN Jadi perda ini targetnya adalah PNS yang mayoritas guru. Guru ini tidak diajak baik-baik untuk bicara. Jadi mungkin anggapan dari Pak Ali, karena dia berasal dari LSM, guru ini kalau bosnya sudah dipegang, kepala dinasnya yang ngomong, ya udah kita dilecehkanlah ya. Itulah kira-kira (Bapak Yunus, Wakil Ketua I PGRI Lombok Timur, ketika menanggapi pertanyaan tentang mengapa PGRI berani ambil sikap terhadap Perda Zakat di Lombok Timur) A. Latar Belakang Studi tentang Implementasi Kebijakan Publik di tingkat lokal yang berbasiskan pada Hukum Syariat, sampai saat ini belum banyak hadir. Kalau pun jamak dibahas, antara Studi Kebijakan Publik dan Hukum Syariat tersebut selalu berada dalam dua kerangka kajian yang berbeda. Implementasi kebijakan berada dalam ruang teknokratis, sedangkan syariat berada dalam dimensi ideologis. Sehingga, dalam tataran praksis, proses implementasi kebijakan publik seringkali abai terhadap apa yang muncul dari kehidupan keseharian (daily-life) masyarakat, khususnya yang muncul dari persoalan lokal etik 1. Pengabaian studi kebijakan publik tersebut tercermin salah satunya dari Perda Syariat yang jamak menimbulkan polemik ketika diimplementasikan. Misalnya, dengan apa yang terjadi di Lombok Timur di tahun 2005 ketika menerapkan Perda 1 Kajian Kebijakan Publik yang cenderung terpisah dari daily-life masyarakat tersebut, khususnya yang berfokus pada persoalan implementasi kebijakan, tercermin dari pembahasan tentang Kebijakan Publik dalam dua arena yang berbeda: Politik dan Administrasi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa sampai pada awal tahun 1900-an (Wilson, 1887), kajian mengenai Kebijakan Publik cenderung memiliki keberjarakan dengan setiap dinamika dan proses sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Dengan cara berlindung di balik makna Objektifitas tersebut, Kebijakan Publik menjadi arena yang terpisah dengan dan tidak berangkat dari nalar yang ada di masyarakat dan karenanya harus bersikap rasional, serta memahami Kebijakan Publik sebatas soal Administrasi. Sehingga, dengan demikian, situasi yang berada dalam lingkungan kebijakan hanyalah dianggap sebagai Objek Kebijakan yang perlu diubah (positivistik), bukan sebagai Subjek Kebijakan yang harus dijadikan standar dalam membuat kebijakan (post-positivistik). Lihat Purwo Santoso, Hasrul Hanif, dan Rahmad Gusthomy (eds.), Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hlm. XX-XXV; lihat Wayne Parsons Public Policy: Pengantar Teori dan Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media. Hlm. 4-7; Lihat Warsito Utomo Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm

2 Zakat, pada perda ngangkang yang terjadi di Aceh 2, perda Bupati Cianjur tahun 2001 yang memberlakukan secara ketat pemakaian jilbab, dan sebagainya. Artinya, studi tentang implementasi kebijakan publik selama ini belum berangkat dari kehendak atau nalar yang berasal dari masyarakat, dengan cara menjadikan masyarakat sebagai sebuah subjek bukan objek dari kebijakan (Winarno, 2008: 42-45). Dengan kata lain, persoalan studi kebijakan cenderung belum mampu untuk menjadi jembatan (link) penyelesaian persoalan publik dalam konteks akademis, dengan cara membongkar tradisi studi kebijakan publik selama ini yang cenderung bersifat teknokratis yang cenderung elitis. Di sinilah pentingnya memaknai ulang tentang Kebijakan Publik, khususnya pada tahap implementasi sebagai salah satu fase dalam siklus kebijakan: bahwa cara pandang dalam implementasi kebijakan sudah saatnya mampu untuk menjangkau dimensi lebih dari persoalan prosedural yang cenderung elitis, rasional, dan terpisah dari ruang publik. Cara pandang ortodoks seperti ini, dalam hipotesa penulis disebabkan karena minimnya kajian kebijakan publik dalam dimensi Politik. Kebijakan publik, termasuk juga dalam fase implementasi, dianggap sekadar bagian dari liniaritas siklus kebijakan dan memiliki segala daya kekuasaan negara sebagai representasi publik yang dianggap tidak problematik (Santoso, 2004: xxix). Oleh karena itu, kebijakan yang lahir dari ortodoksi negara seperti ini diasumsikan tidak akan banyak mengalami persoalan ketika diimplementasikan 3. Ketidakresponsifan kajian kebijakan publik 2 Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh dimulai saat 19 Desember Namun, di tahun 1999, tepatnya melalui UU No. 44 Tahun 1999, Pemerintahan Habibie secara implisit sudah memberlakukan Syariat Islam di Aceh. Syariat Islam di Aceh muncul dengan tujuan agar Aceh tidak memisahkan diri dari NKRI. Dengan demikian, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh muncul bukan karena proses politik yang genuine, alami, melainkan lebih karena suatu kebijakan politik agar Aceh tidak melepaskan diri, serta dipahami secara sepotong-sepotong (hanya soal pakaian), dan lebih disebabkan untuk political expediency. Lihat Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus Islam, Negara, dan Civil Society. Jakarta: Paramadina. Hlm Kajian mengenai implementasi kebijakan yang cenderung memfokuskan pada daya kuasa negara sebagai representasi publik yang sah dalam sebuah kebijakan seperti ini lazim lahir pada lapis Generasi Kedua dalam lapis generasi pengembangan studi tentang kebijakan. Generasi yang cenderung menekankan pada sistem top- 2

3 seperti inilah, dalam argumentasi penulis, yang mengakibatkan mengapa perda syariat jamak menimbulkan polemik ketika diberlakukan di tengah masyarakat, bahkan di masyarakat yang homogen Muslim sekalipun. Kenapa pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada tahap implementasi? Oleh karena, dalam tahap implementasi, aspek konflik lebih mudah untuk ditemukan sebagai sebuah gejala sosial yang lahir dalam situasi interaksi manusia (Parsons, 2005). Dari gejala sosial tersebutlah sebuah kasus ditelaah secara teoritik, lalu diambil hipotesa dan divalidasi kebenarannya. Gejala sosial yang hadir selama fase implementasi kebijakan Perda Syariat (zakat) dibedah dalam 2 dimensi: teks perda dan hukum syariat (text), dan konteks (context) sosial-politik dimana perda tersebut dijalankan. Dengan demikian, kevalidan persinggungan antara studi Implementasi Kebijakan Publik terhadap Hukum Syariat dapat diukur dengan melihat gejala-gejala sosial yang muncul selama Perda Syariat tersebut diimplementasikan. Dalam konteks corak masyarakat Lombok Timur, gejala sosial dari dua mainstream kajian tersebut menjadi relevan untuk dibahas. Secara basis sosial, Kabupaten Lombok Timur adalah 1 diantara 7 daerah di Indonesia (4 Provinsi dan 3 Kabupaten) yang sudah legal menerapkan Perda Zakat di sekitar tahun % dari masyarakat Lombok Timur pun beragama Islam. Bahkan jumlah masjid yang tersebar di Lombok Timur pun jumlahnya sangat banyak, dengan perbandinga: masjid, 1 Gereja, dan 1 Pura 5. Seremonial-seremonial keagamaan pun sering dilakukan dalam ragam peribadatan dan tata budaya keseharian. Misalnya, dalam down ini (top-downer perspective) lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan implementasi kebijakan seperti ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Lihat Riant Nugroho Public Policy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm Institute Manajemen Zakat Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Kabupaten Potensial di Indonesia. Jakarta: Institut Manajemen Zakat 5 Lombok Timur dalam Angka Tahun BPS Lombok Timur 3

4 acara yasinan di malam jumat, nyongkolan, pengajian TPA (Taman Pendidikan Al- Quran), dan sebagainya Namun demikian, kualitas keber-agama-an tersebut, faktanya, masih terbatas pada seremonial (text). Ritual keagamaan tersebut belum masuk ke dalam aspek kognitif yang bersifat pemahaman secara substantif (context) untuk menyelesaikan problema di masyarakat. Sebut saja, soal kemiskinan, misalnya. Hal ini terbukti ketika syariat Islam ingin ditransformasikan ke dalam bentuk kebijakan publik dalam bentuk implementasi Perda Zakat sebagai alternatif penyelesaian persoalan kesejahteraan, tampak banyak penolakan yang terjadi di masyarakat. Bahkan penolakan tersebut sebagian besar berasal dari kalangan terdidik, yaitu PNS Guru (PGRI) dan Birokrat dengan didukung oleh beberapa elemen mahasiswa, yang sepanjang tahun terus memperjuangkan agar terjadi revisi hingga pembatalan perda bernomor 9 Tahun 2002 tersebut. Dana Zakat Profesi hasil dari pemotongan gaji sebesar 2,5% yang berjumlah sekitar 9 Miliar sepanjang tahun dengan rata-rata 3 (tiga) miliar berhasil dikumpulkan per tahunnya pun pada akhirnya dikembalikan kepada donatur zakat (muzakki) tersebut karena merasa tidak ikhlas dan tidak sesuai prosedur syariat dalam mengambil dana zakat. Secara konsep, Perda Zakat Profesi ini memotong 2,5 % gaji bagi siapa pun yang penghasilannya sudah masuk hukum syariat, yaitu nishab 6 dan haul, dengan diqiyaskan (analogikan) pada zakat pertanian. Oleh karena itu, perda ini berlaku tidak hanya bagi instansi horizontal (PNS Birokrat dan Guru), tapi juga bagi institusi vertikal seperti kepolisian dan lembaga yudikatif. Namun demikian, secara fakta di lapangan, melalui surat edaran Bupati, donatur zakat (muzakki) yang benar-benar 6 Nishob adalah nilai dari sebuah harta yang telah wajib dikeluarkan. Dalam Zakat Profesi, nishob dari harta untuk dikeluarkan sebagai zakat profesi adalah 85 gram emas atau setara dengan 653 kg padi atau gandum. Lihat Ismail Nawawi Zakat: Dalam Perspektif Fiqh, Sosial, dan Ekonomi. Surabaya: Putra Media Nusantara. Hlm. 38 4

5 disasarkan untuk dipotong gajinya melalui bendahara di bank BPD (gaji kotor) hanyalah kepada PNS, terutama para guru. Tak terkecuali, bagi PNS yang berada dalam kondisi minus (hutang) atau berada dalam golongan rendah (honorer). Persoalan kian menjadi pelik karena sepanjang implementasi, karena persoalan implementasi kebijakan Perda Zakat, faktanya, juga dipicu oleh oknum di DPRD yang mendapat Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partai atas sebab kekalahan dalam pemilihan Bupati oleh DPRD di tahun Kontestasi politik antara DPRD dengan Bupati Ali bin Dahlan (Ali BD) tersebut berlanjut dan menumpang di antara 2 (dua) aktor yang sedang berkonflik antara PGRI (interest group) dengan Bupati (eksekutif) di akhir Dengan demikian, proses politik yang terjadi di sepanjang implementasi kebijakan Perda Zakat di Lombok Timur bukan lagi sebatas dalam persoalan perbedaan penafsiran Hukum Syariat (ideologis) melainkan sudah berada dalam kerangka proses perebutan sumber daya kekuasaan dan ekonomi (pragmatis). Sisi pragmatisme konflik politik itulah yang secara teoritis akan dibahas dalam konsep implementasi kebijakan. Secara teoritis, penelitian ini menggunakan konsep Implementasi Kebijakan Publik versi Grindle dalam kerangka nalar berpikir Studi Politik. Oleh karena, Grindle menekankan bahwa setiap implementasi kebijakan dalam ragam kebijakannya, menekankan pada 2 (dua) dimensi sekaligus: Isi (produk kebijakan secara tekstual atau yang lazim disebut dengan Policy Statement/ Policy Content) dan Konteks (ruang dimana kebijakan tersebut diimplementasikan atau dapat juga disebut Policy Contex /Policy Outcome) Konsep Implementasi Kebijakan Publik versi Grindle tersebut, tepat untuk digunakan dalam penelitian yang berbasis pada Studi Politik Kebijakan seperti ini 5

6 dimana Hukum Syariat menjadi salah satu aspek pembahasannya. Oleh karena, sepanjang implementasi Perda Zakat di Lombok Timur, banyak persoalan politik yang muncul tidak sekadar karena aspek administratif hukum dalam perda syariat atau yang tertera pada persoalan hukum syariat agama (textual), melainkan juga karena aspek sosiologis, misalnya pada tingkat pemahaman masyarakat menerima hukum syariat, kontestasi politik antar aktor yang terlibat, hingga relevansi penerapan hukum syariat untuk menjawab persoalan sosial-ekonomi di masyarakat (kontekstual). Dengan demikian, penulis menegaskan kembali bahwa penelitian ini berfokus pada studi tentang Implementasi Kebijakan Publik yang mengambil kasus pada penerapan Perda Zakat No. 9 Tahun 2002 sepanjang kepemimpinan Bupati Ali BD periode Secara lebih mendalam, penelitian ini akan membedah kasus tersebut dengan melihat setiap gejala sosial-politik yang muncul dalam 2 (dua) dimensi kebijakan versi Griddle: teks dan konteks. Kacamata dimensi implementasi kebijakan tersebut berguna untuk mempermudah penulis sekaligus pembaca dalam memetakan setiap dinamika yang terjadi di dalamnya. Dengan demikian, penulis lebih mudah untuk menganalisis dengan menggunakan pisau analisis yang tepat untuk setiap gejala yang muncul. Dan untuk pembaca, lebih mudah untuk menjelaskannya secara lebih logis dan sistematis dalam sudut pandang Ilmu Politik. Hasil penelitian ini pun dapat digunakan sebagai evaluasi bagi pemerintah (pusat dan daerah) untuk lebih mempertimbangkan secara seksama tentang dampak dan manfaat dari adanya Perda Zakat (Syariat), khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Evaluasi ini bisa berlaku bagi kebijakan yang sedang berjalan atau yang akan berjalan (akan diimplementasikan) di seluruh wilayah Indonesia. Bahwa dalam corak masyarakat yang cenderung homogen 6

7 pun, tidak serta mudah untuk menerapkan kebijakan yang berkenaan dengan konteks kehidupan (human being) mereka. Dengan kata lain, penelitian ini pun berguna untuk masyarakat agar lebih kritis serta berperan aktif terhadap setiap kebijakan yang diimplementasikan. Agar relasi antara Negara dengan Masyarakat tidak sekadar dalam kerangka subjek-objek kebijakan, tapi lebih bersifat partisipatif dan akomodatif yang meniscayakan kehadiran Masyarakat dalam setiap proses kebijakan, termasuk pada tahap implementasi. B. Rumusan Masalah Bagaimana Implementasi Perda Zakat di Lombok Timur Turunan Pertanyaan Masalah: Mengapa Implementasi Perda Zakat di Lombok Timur Tidak Dapat Dilaksanakan dengan Baik? C. Tujuan Penelitian Dengan mengacu pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk 1. Mengetahui bagaimana sejarah lahirnya Perda Zakat di Lombok Timur 2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Perda Zakat dalam dua dimensi (tekstual dan dimensi kontekstual) dari implementasi kebijakan Perda Zakat 3. Mengetahui bagaimana para aktor politik melakukan strategi penguasaan publik sebagai alat legitimasi terhadap implementasi kebijakan Perda Zakat 7

8 4. Mengetahui apa saja faktor-faktor limitasi implementasi kebijakan Perda Zakat yang menimbulkan kegagalan dalam membangun konsensus di antara para aktor yang terlibat D. Kerangka Teori Penting untuk dipahami bahwa kedudukan peneliti adalah sebagai orang luar, baik luar secara aspek teritorial (demografis), maupun secara personal (subjektif). Peneliti adalah aktor yang tidak memiliki pretensi apapun terhadap isu Perda Zakat ini, selain daripada untuk kepentingan penyusunan penelitian. Sehingga, posisi peneliti seperti ini yang pada gilirannya akan menentukan obyektifitas peneliti dalam mengkerangkai teori dalam membangun argumentasi dalam menjelaskan setiap gejala sosial yang terjadi. Meskipun demikian, bukan berarti kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam penelitian ini cenderung yang melihat implementasi kebijakan sebagai proses administratif semata. Oleh karena, terlalu sumir menganalisa persoalan implementasi kebijakan Perda Zakat hanya sekadar karena faktor administratif. Ruang-ruang politik untuk menegosiasikan implementasi kebijakan ini, pada faktanya, jamak terjadi. Oleh karena itu, Peneliti memilih untuk menggunakan cara bekerja kerangka teori Grinddle untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini D.1. Implementasi Kebijakan dalam Nalar Politik Sedari awal, penting untuk mendudukan Implementasi Kebijakan dalam Nalar Politik. Oleh karena, implementasi kebijakan dalam ragam bentuk ekspresi politik di tataran praksisnya, tidak memadai jika hanya dibahas dalam tataran 8

9 tujuan-tujuan kebijakan yang ditujukan untuk masyarakat (policy output), melainkan implementasi kebijakan juga berkenaan dengan respon yang muncul sebagai aktivitas dari pemerintah (policy outcome) 7 implementasi kebijakan (output) dalam cara berpikir ini menginsyaratkan dua aspek penting, yaitu hasil rumusan kebijakan itu sendiri (policy statement atau policy output) dan dampak yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan tersebut (policy outcome) Yang pertama berkaitan dengan naskah-naskah kebijakan yang dihasilkan dari proses kebijakan (content), yang kedua berkaitan dengan adanya aktivitas umpan balik sebagai respon dari hadirnya kebijakan tersebut di tengah masyarakat (context). Pendekatan implementasi kebijakan seperti ini mencoba melengkapi sekaligus membongkar stagnasi studi kebijakan untuk mendekatinya dalam kerangka Pendekatan Politik (political behaviour). Sebagaimana yang disampaikan oleh Santoso (130: 2010) dalam merumuskan asumsi Implementasi Kebijakan dalam perspektif politik Implementasi sebuah kebijakan bisa jadi telah direncanakan secara cermat menurut organisasi prosedur, dan manajemen yang tepat, dan menghasilkan perilaku sebagaimana diharapkan. Tetapi jika itu semua mengabaikan realitas kekuasaan, misalnya: kemampuan kelompok-kelompok yang menentang kebijakan tersebut untuk mengganggu kebijakan tersebut, maka kebijakan itu bisa jadi akan gagal. Asumsi tersebut menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap implementasi kebijakan dalam era kontemporer saat ini, lebih pada mensintesiskan antara 7 In general, the task of implementation is to establish a link that allows that goals of public policies to be realized as outcomes of governmental activity. Merilee S. Grindle (eds) Politics and Policy Implementation in The Third World. NJ: Princeton University Press. Hlm. 6 9

10 implementasi sebagai proses administratif juga sebagai proses politis. Sehingga, pembahasan mengenai implementasi kebijakan menyangkut pada dua hal. Pertama, soal Policy Content yang dimaknai sebagai produk kebijakan yang memuat tujuan dan misi kebijakan yang telah dirumuskan dari policy-making; kedua, sedangkan Policy Context dimaknai sebagai segala representasi lingkungan di mana suatu proses kebijakan, termasuk implementasi, berlangsung 8 D.2. Beberapa Konsep dan Variabel Implementasi Kebijakan Dengan memahami implementasi kebijakan sebagai sebuah linkage antara dunia konsep (Policy Content) dengan dunia realita (Policy Context), Implementasi Kebijakan tidak lagi sekadar berada dalam dimensi yang bersifat prosedural dan cenderung memaksakan konteks sosial 9 agar sesuai dengan tujuan kebijakan (policy output). Tapi, juga mesti memperdalam pembahasan implementasi kebijakan agar sensitifitas terhadap problematika sosial, terutama di negara dunia ketiga 10, menjadi terjelaskan sebagai dampak dari aktivitas pemerintah secara jangka panjang (policy outcome). Hal tersebut, secara tidak langsung, akan membatasi setiap konsep implementasi yang dipaparkan di dalam penelitian ini. Yaitu, sebatas pada konsepkonsep yang menjelaskan pada missing-link antara kebijakan yang dirumuskan 8 Santoso, Purwo Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: POLGOV-Research Centre for Politics and Government Istilah Memaksakan Konteks Sosial dalam istilah lain menurut Purwo Santoso, bisa juga disebut sebagai Pemerkosaan Realita. Oleh karena, realita sosial yang ada cenderung ditafsirkan secara sepihak dan terbatas dengan berselimutkan pada teori-teori tertentu ketika melakukan analisis. Cara bekerja atau pakem yang bersifat positivistik seperti ini sangat mungkin saat melakukan analisis tidak sesuai dengan fakta sebenarnya dan cenderung mengambil sebuah proposisi berdasarkan pada sebuah keajegan dan persebaran data, sehingga membuat fakta dipaksa mengikuti data. Lihat Santoso, Purwo Op Cit. Hlm. xxiii 10 Persoalan-persoalan implementasi kebijakan yang berkenaan dengan dimensi Content dan Context seperti ini jamak hadir dalam negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang: negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Persoalan-persoalan kebijakan di negara tersebut muncul sebagai upaya untuk menjelaskan mengapa program Great Society of Johnson Administration ketika diterapkan di negara-negara tersebut tidak mencapai hasil yang berjalan sesuai yang diprediksikan. Merilee S. Grindle (eds.) Op Cit. Hlm

11 dengan konteks dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Pembatasan ini penting agar konsep yang digunakan untuk mengkerangkai penelitian ini dapat lebih terarah dan tajam untuk membaca persoalan yang diangkat. Setidaknya, ada tiga konsep yang bisa menjadi dasar teori dalam mengkerangkai Implementasi Kebijakan yang berhubungan denngan missing-link antara Policy Outcome dan Policy Output tersebut Pertama. Menurut Grindle, implementasi kebijakan tidak ubahnya seperti delivery system antara dua aspek dalam implementasi kebijakan, yaitu identifies two major dimensions that affect the implementation process: the content of the policy and the context, or sociopolitical setting, in which the implementation is attempted 11. Dalam penjelasan yang lebih lengkap, Implementasi Kebijakan adalah (Grindle, 1980: 5-6) It is an on going process of decision making by a variety of actors, the ultimate outcome of which is determined by the content of the program being pursued and by the interaction of the decision makers within a given politico-administrative context. Lebih jelasnya, digambarkan dalam skema di bawah ini 11 Merilee S. Grindle. Politics and Policy Implementation in the Third World, dalam Cormick, James M (reviewed) The Journal of Developing Areas. Vol.16, No. 3. P Diunduh pada 22 Juli 2013 dari 11

12 Gambar 2. Proses Implementasi Kebijakan Sebagai Proses Administratif dan Politis 12 Kedua. Memperjelas apa yang disampaikan oleh Grindle, Purwo Santoso (2010) lebih menekankan Implementasi Kebijakan sebagai: proses administratif untuk mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendaya-gunakan serangkaian instrument kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negosiasi antara implementor dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan. Purwo Santoso, merujuk pada 2 pendekatan pada Hogwood dan Gunn, menekankan bahwa dalam Implementasi Kebijakan ada dua pendekatan yang biasa 12 Lihat Merilee S. Grindle (eds.) Op Cit. Hlm. 11 dan Purwo, Santoso Op Cit. Hlm

13 digunakan 13. Pertama, pendekatan top-down; dan kedua, pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down mengisyaratkan bahwa proses implementasi kebijakan ditentukan dari atas, berjalan secara prosedural, dan karena itu tujuan-tujuan atau visi yang ingin dicapai dari kebijakan sudah bersifat final (state-promoted). Sedangkan, pendekatan bottom-up meniscayakan hadirnya publik secara luas dalam proses implementasi kebijakan dalam posisi sebagai subyek kebijakan, dan oleh karena itu mutlak untuk menghadirkan proses negosiasi yang bernuansa politis antar setiap aktor yang terlibat di dalamnya (society-promoted). Untuk memperjelas perbedaan adanya dua pendekatan dalam implementasi kebijakan tersebut, maka terdapat empat faktor pembeda dalam melihat setiap persoalan implementasi kebijakan yang telah dirumuskan: corak institusi, sifat keputusan dalam implementasi, tujuan kebijakan, dan pemaknaan terhadap implementasi. Empat faktor determinasi inilah yang akan dijadikan dasar dalam membangun argumentasi penelitian ini. Sehingga, klaim terhadap implementasi kebijakan Perda Zakat memiliki dasar teoritis yang jelas 14 Pertama. Corak institusi menjelaskan pola relasi antara institusi state dengan civil society. Kapasitas state ditentukan pada otoritasnya membuat kebijakan dan dana yang diberikan. Sedangkan, kapasitas civil society ditentukan pada modal sosial dan jaringan yang bisa dimobilisasi. Kapasitas yang masing-masing dimiliki oleh kedua institusi ini pada gilirannya akan menentukan seberapa determinan state memandang dirinya sendiri (inward looking) dan menempatkan posisi masyarakat ketika mengimplementasi kebijakan (outward-looking). Jika ruang kemandirian dan keterlibatan masyarakat minim di setiap fase implementasi kebijakan, maka 13 Lihat Brian W. Hogwood dan Lewis E. Gunn Policy Analysis for the Real World. UK: Oxford University Press. Chapter 5, dalam Purwo Santoso Op Cit. Hlm Untuk lebih jelas kontras perbedaan Implementasi Kebijakan baik yang bersifat Top-Down maupun yang Bottom-Up ini dapat dilihat pada tabel yang lebih lengkap pada Santoso, Purwo Op Cit. Hlm

14 masyarakat menjadi objek kebijakan, dan corak implementasi kebijakan bersifat top-down, yang membatasi kemandirian dan keterlibatan masyarakat dalam setiap detil implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika masyarakat terlibat sedari awal dalam proses implementasi kebijakan untuk menentukan apa yang masyarakat inginkan sesungguhnya terhadap sebuah kebijakan, maka corak implementasi tersebut bersifat bottom-up. Kedua. Sifat keputusan dalam Implementasi menentukan kerangka kerja yang dibangun: apakah implementasi tersebut bersifat mengikat untuk dijalankan dan sudah ditentukan setiap detil kebijakannya, atau kebijakan tersebut hasil dari sebuah kesepakatan yang terjadi di masyarakat dan tidak mendetil arahan implementasi kebijakannya. Kalau yang cenderung mengikat, maka implementasi kebijakan ini cenderung otoritatif dan berasal dari state. Jika implementasi kebijakan adalah bagian dari kehendak yang muncul masyarakat yang dikontekstualisasikan dengan budaya setempat, maka kebijakan tersebut bersifat konsensus dan masyarakat diberikan peluang untuk berinovasi dalam implementasi. Ketiga. Tujuan Kebijakan dalam proses implementasi yang bersifat mengikat dan final selayaknya dalam hukum positif, maka implementasi tersebut bersifat top-down. Memiliki kapasitas pemaksaan (otoritatif) untuk ditaati dengan meminimalisir ruang untuk melakukan negosiasi oleh banyak pihak. Sedangkan, tujuan yang banyak mengandung ambiguitas dan cenderung memiliki daya ikat rendah untuk dipatuhi, maka kebijakan tersebut bersifat bottom-up. Keempat. Pemaknaan terhadap implementasi menentukan cara bekerja implementasi kebijakan secara keseluruhan dan sekaligus akan menentukan seberapa besar potensi konflik yang terjadi di sepanjang implementasi. Jika 14

15 implementasi kebijakan sekadar dimaknai secara naif sebagai proses administratif nir-politis, maka potensi untuk melahirkan konflik menjadi teredusir karena kuantitas aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tidak beragam. Sedangkan, jika implementasi kebijakan lebih didominasi oleh proses-proses negosiasi maka akan lebih cenderung politis dan berpeluang besar melahirkan konflik ketika diimplementasikan (bottom-up) Definisi ketiga tentang Implementasi Kebijakan, yaitu sebagaimana dijabarkan oleh Mazmanian dan Sabatie: implementasi adalah upaya untuk melaksanakan keputusan kebijakan, implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives ordes or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulated the objective(s) to be pursued, and, in variety of ways, structures the implementation process. Teori ini menekankan pada tiga aspek: persoalan yang ada dalam kebijakan (identify problems), menetapkan tujuan implementasi kebijakan (stipulated the objectives), dan mengkonstruksi proses implementasi agar selaras antara policy output dan policy outcome dalam beragam cara 15. Untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, Mazmanian dan Sabatie merumuskan tiga variabel. Pertama, variabel independen, yang berkaitan dengan mudah-tidaknya suatu kebijakan tersebut diimplementasikan yang didasarkan pada beragamnya objek kebijakan, teknis pelaksanaan, perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervensi, yang berkaitan dengan kapasitas subjek kebijakan untuk mengkonstruksi kondisi sosial-ekonomi yang 15 Daniel H. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Implementation and Public Policy. New York: HarperCollins, dikutip oleh Peter de Leon dan Linda What Ever Happened to Policy Implementation? An Alternative Approve Approach. J-PART. Hlm. 473, dalam Riant Nugroho Op Cit. Hlm

16 terjadi sepanjang implementasi kebijakan, termasuk mengkondisikan struktur hierarkis antar lembaga yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Ketiga, variabel dependen yang berkaitan dengan tahapan-tahapan prosedural suatu kebijakan dilakukan (policy statement): mulai dari tahap perumusan kebijakan hingga revisi atas kebijakan tersebut Dari 3 (tiga) definisi implementasi kebijakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: titik tekan Implementasi Kebijakan berada pada wilayah delivery policy system, yaitu upaya-upaya untuk menjembatani kebijakan dalam aspek idealita (policy output) dengan kebijakan dalam aspek realita (policy outcome). Kerangka untuk menjembatani kedua corak kebijakan tersebut berada dalam dua dimensi sekaligus, yakni administratif dan politis. Dengan kata lain, mendefinisikan implementasi kebijakan sebenarnya sedang mengukur keberhasilan implementasi kebijakan dalam dua kerangka versi sekaligus: versi para pembuat kebijakan (birokrat) dengan standarisasi tetap prosedur kebijakan yang seolah bekerja nir-politik (content), atau versi para aktor politik (implementor) kebijakan serta masyarakat yang menjadi objek kebijakan yang otoritasnya ditentukan oleh proses negosiasi (context)? Oleh karena titik tekan Implementasi Kebijakan berada dalam kerangka dua dimensi content dan Context tersebut, maka pilihan teori Implementasi Kebijakan untuk mengkerangkai persoalan implementasi kebijakan Perda Zakat di Lombok Timur lebih tepat untuk menggunakan Pisau Analisis yang dibangun oleh Grindle. 16

17 D.3. Implementasi Kebijakan Grindle: Content, Context, dan Variabel Keberhasilannya Dalam konteks mengaikat antara Policy Output dan Policy Outcome tersebut, maka menjadi relevan untuk menggunakan kerangka teoritik yang dibangun oleh Grindle, yaitu pada persoalan implementasi kebijakan dari segi context dan content. Kedua aspek tersebut dengan demikian menjadi variabel dalam menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Analisa Grindle yang komprehensif ini memudahkan peneliti untuk menganalisa persoalan Perda Zakat karena menyangkut beberapa poin penting dari implementasi kebijakan: implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan. Oleh karena, segala kompleksitas sosial-politik yang terjadi pada implementasi Perda Zakat di Lombok Timur hanya dapat dikerangkai jika berada dalam potret analisa yang komprehensif dengan cara memetakannya sesuai dari kerangka analisis Grindle. Dengan demikian, melalui ketiga aspek tersebut dapat terpetakan dinamika horizontal (antar lembaga pemerintahan) sekaligus vertikal (antara lembaga pemerintahan dengan masyarakat) yang terjadi selama 2 tahun dalam periode kepemimpinan Bupati Ali BD secara utuh sehingga bisa dijelaskan pada bab-bab berikutnya Aspek Policy Content berkaitan erat dengan Policy Making 16. Oleh karena, selama perumusan kebijakan akan terlihat jelas kemana dan lebih berpihak kepada siapa suatu kebijakan tersebut dirumuskan untuk diimplementasikan. Proses 16 Theodore Lowi has pointed out that the kind of policy being made will have considerable impact on the kind of political activity stimulated by the policy making process. Lihat See T. Lowi American Business, Public Policy, Case Studies, and Political Theory. World Politics, dalam Merilee S. Grindle Op Cit. Hlm. 8 17

18 perumusan kebijakan tersebut yang pada gilirannya akan menentukan setiap detil kebijakan yang tertera pada policy content, termasuk menentukan apa (what) yang harus di-deliver melalui sebuah kebijakan dan perubahan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari diimplementasikannya sebuah kebijakan; dimana kebijakan tersebut diimplementasikan (where); hingga siapa (who) yang menjadi subjek dan objek dari kebijakan tersebut. Secara lebih detil, ada beberapa variabel untuk mendeterminasi aspek policy content terhadap setiap dampak yang dihasilkannya. Jika variabel yang menjadi determinasi lebih dominan berada dalam kutub negatif dalam derajat implementability, maka potensi untuk melahirkan konflik sosial di masyarakat akan semakin menguat. Sebaliknya, jika content dari kebijakan tersebut memenuhi ekspektasi dalam derajat implementability, maka potensi untuk melahirkan konflik sosial di tengah masyarakat akan semakin minim. Terdapat 5 (lima) variabel untuk menentukan faktor determinan dari aspek policy content tersebut dalam berekspektasi terhadap perubahan yang ada di masyarakat dari kebijakan tersebut Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, yaitu sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan 2. Jenis manfaat yang dihasilkan, yaitu manfaat dari kebijakan yang diterima oleh target groups sesuai dengan urgensitas kebutuhannya yang berbeda 3. Derajat perubahan yang diinginkan, yaitu sejauh apa kebijakan tersebut menghasilkan perubahan di tengah masyarakat. Apakah sekadar perubahan yang bersifat temporal (short-term) atau mendasar (long-term) 17 Lihat Santoso, Purwo Op Cit. Hlm ; Lihat Subarsono, A.G Op Cit. Hlm 93; Lihat Nugroho, Riant Op Cit. Hlm

19 4. Kedudukan pembuat kebijakan, yaitu mengenai posisi organisasi dari institusi pelaksana kebijakan dalam struktur koordinasi antar lembaga 5. Pelaksana program, yaitu menyangkut instansi berwenang implementor kebijakan 6. Sumber daya yang mendukung, yaitu seberapa besar kapasitas sumber daya, baik yang bersifat struktural (infrastuktur, fiskal, dan sebagainya) maupun sumber daya kultural (manusia, budaya, kearifan lokal), yang menunjang implementasi dari terlaksananya kebijakan tersebut. Namun demikian, seberapa pun baiknya rumusan kebijakan yang tertuang dalam policy content tersebut, tetap saja membutuhkan ruang dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Membutuhkan massa dan tempat dimana policy tersebut men-deliver kan sesuatu yang dibawanya. Membutuhkan wilayah serta waktu agar proses perubahan yang diinginkan dari adanya kebijakan yang telah dirumuskan dalam policy content tersebut benar-benar terimplementasikan sesuai tujuan oleh aktor kebijakan, baik sebagai subjek maupun objek kebijakan. Massa, tempat, ruang, dan waktu tersebutlah yang dimaksud dalam context. Dalam kaitannya dengan kebijakan, berarti Policy Context. Sebagaimana yang disampaikan oleh Purwo Santoso (2010: 127), bahwa policy context merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan, termasuk implementasi, berlangsung. Sehingga, Policy Context lebih dominan berkenaan dengan konteks kekuasaan yang dibangun dalam di dalam intra organisasi setiap implementator, atau ekstraorganisasi dengan target groups yang menjadi sasaran kebijakan. Dengan demikian, 19

20 yang dimaksud konteks di sini berkaitan dengan strategi implementasi permainan politik (Implementation Game) dari setiap aktor implementor kebijakan yang berusaha untuk agar setiap keinginannya terakomodasi dalam implementasi kebijakan 18. Dalam pola kekuasaan yang cenderung demokratis-egaliter, pola implementasi lebih pada proses yang melibatkan jaringan antar organisasi melalui strategi interaksi antara yang lebih kuat dengan yang lemah. Oleh karena itu, implementasi kebijakan pun membutuhkan beberapa variabel yang mendeterminasi berhasil tidaknya suatu kebijakan tersebut diimplementasikan. Asumsinya, semakin mengabaikan variabel konteks kebijakan, maka potensi untuk melahirkan limitasi dalam implementasi kebijakan semakin menguat. Pun sebaliknya. Oleh karena pelaku kebijakan memiliki persoalan penting agar bagaimana di satu sisi menjadikan sebuah isi kebijakan (content) tersebut dapat mengakomodir setiap kepentingan dari objek kebijakan, juga di sisi lain mengontrol distribusi kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (context), maka pelaku kebijakan harus memastikan bahwa titik temu antara content dan context tersebut adalah pada persoalan responsifitas: isi kebijakan yang mengakomodir kepentingan, dan sebagai feed-back terdapat dukungan terhadap kebijakan tersebut pula 19 Dengan demikian, perlu untuk mengetahui variabel kinerja implementasi berdasarkan aspek kontekstual, yaitu 18 Yang dimaksud The Implementation Game dalam definisi Bardach adalah Implementasi adalah permainan tawar menawar, persuasi, dan manuver di dalam kondisi ketidakpastian. Dalam definisi seperti ini berarti Policy Context of Implementation berkenaan dengan orang-orang dengan kepentingan sendiri yang memainkan permainan. Sehingga, makna dinamika yang hadir dalam implementasi kebijakan tersebut haruslah dipandang sebagai proses politik yang melibatkan strategi yang berbeda-beda guna mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Lihat Bardach, E The Implementation Game. MIT Press: Cambridge. Hlm. 56, dalam Wayne Parsons Op Cit. Hlm The problem of policy administrator is to ensure an adequate amiun of responsiveness to provide flexibility, support, and feedback, while at the same time maintaining enough control over the distribution of resources to achieve the stated goals. Merilee S. Grindle Op Cit. Hlm

21 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, yaitu apakah cenderung mengarah ke rezim sentralisme atau pluralisme kekuasaan 3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas (daya tanggap) yang berasal dari target groups, yaitu semakin tinggi daya akseptabilitas dan partisipatif dari objek kebijakan, maka asumsinya adalah semakin baik kinerja implementasi kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika target groups melakukan upaya penolakan besar-besaran dan cenderung pasif berperan dalam sebuah implementasi kebijakan, maka implementasi kebijakan tersebut akan cenderung melahirkan kegagalan dalam implementasi. Oleh karena Implementasi Kebijakan sangat berhubungan dengan Delivery Process, maka di bawah ini adalah gambaran utuh mengenai alur implementasi kebijakan versi Grindle yang mengaitkan antara Policy Content dan Policy Context. 21

22 Gambar 2. Alur Implementasi Kebijakan Versi Grindle 20 E. Definisi Konseptual E.1. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan yang dimaksud di sini adalah implementasi kebijakan Perda No. 9 Tahun 2002 tentang Zakat Profesi selama Periode Kepemimpinan Bupati Ali BD Implementasi kebijakan menjadi titik kunci yang dalam menyoroti lahirnya kegagalan dalam implementasi Perda Zakat, baik secara tinjauan ideologis, administratif, maupun manajerial kelembagaan pengelolaan zakat. Sehingga, dari ketiganya dapat terpetakan secara jelas pada kategori apa limitasi penerapan Perda Zakat itu muncul. 20 Lihat Nugroho, Riant Public Policy. Jakarta: Gramedia. Hlm

23 E.2. Dimensi Kebijakan Perda Zakat Dimensi kebijakan dalam konteks implementasi berarti Dimensi yang dianalisis dalam kerangka teori Implementasi Grindle: text dan context. a. Text. Text adalah policy content yang lahir dari hasil konstelasi politik sepanjang rumusan policy making, sebagaimana prosedural kebijakan dalam sistem politik Policy Content ini lebih cenderung bersifat administratif-teknokratis karena proses implementasinya bersifat struktural, cenderung mengabaikan ruang-ruang dialogis antara subjek kebijakan dengan objek kebijakan b. Context. Sedangkan Context adalah ruang-ruang implementasi kebijakan dimana faktor sosial-politik lebih menentukan berhasil-tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan ketimbang baik-buruknya suatu kebijakan tersebut dirumuskan. Jika Policy Content lebih bersifat teknokratisadministratif, maka Policy Context lebih bersifat politis, penuh konflik, dan sarat dengan kontestasi kekuasaan. Oleh karena itu, Policy Context lebih pada pemetaan secara dua hal: o Pemetaan Sosial. Yaitu, persoalan pemetaan sosial kondisi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan. Termasuk pada pemetaan terhadap kondusifitas pemahaman masyarakat dalam menerima suatu kebijakan yang bersifat inovasi, belum pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. o Pemetaan Politik. Lebih bersifat pada strategi permainan politik antara aktor yang berkepentingan terhadap policy content tersebut. Upaya-upaya untuk tarik-ulur kepentingan, lobi, pengerahan massa (riot) adalah beberapa upaya untuk menautkan antara dua macam 23

24 policy tersebut. Termasuk juga dapat melihat limitasi apa saja dari kebijakan Perda Zakat ini ditinjau dari ukuran keberhasilan implementasi kebijakan versi Grindle. F. Definisi Operasional 1. Implementasi Kebijakan berarti implementasi kebijakan Perda Zakat No. 9 Tahun 2002 sepanjang kepemimpinan Bupati Ali BD di Lombok Timur pada tahun Adapun fokus dari rentang implementasi kebijakan tersebut terjadi pada tahun , dimana konflik horizontal yang terjadi di Lombok Timur mencapai titik kulminasi. 2. Dimensi Implementasi Kebijakan Perda Zakat: Content dan Context a. Dimensi pada persoalan Teks berarti berkaitan dengan pembahasan dimensi yang berkaitan dengan merujuk pada naskah kebijakan perda No. 9 tahun 2002 (policy content) yang memiliki beberapa limitasi ketika dirumuskan (policy making) sehingga berpotensi melahirkan ambiguitas ketika dijadikan dasar hukum implementasi kebijakan b. Dimensi pada wilayah Konteks berarti berkaitan dengan pembilahan periodisasi implementasi kebijakan yang berkaitan dengan kontestasi kekuasaan antara subjek kebijakan dengan objek kebijakan sepanjang Subjek kebijakan dalam hal ini diwakili oleh implementor utama kebijakan, yaitu Bupati beserta BAZDA Lombok Timur sebagai institusi legal pengelola lembaga zakat, salah satunya adalah lembaga zakat profesi. Sedangkan objek kebijakan, diwakilkan terutama oleh PGRI Lombok Timur yang sebagian besar berasal dari guru-guru SD di Lombok Timur yang menolak serta meminta peninjauan ulang terhadap adanya pemberlakuan Perda Zakat. 24

25 G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Karena penelitian ini berangkat dari kasus tertentu pada situasi sosial tertentu, maka penelitian ini tergolong jenis Penelitian Kualitatif. Keberadaan teori yang telah dikemukakan di atas hanya sekadar bersifat mengarahkan dalam mengambil kesimpulan, tidak secara tegas mengikat dalam proses penelitian 21. Oleh karena itu, situasi sosial yang terjadi pada penelitian inilah yang menjadi Objek Penelitian 22. Kasus tertentu yang menjadi bahan analisis tersebut yaitu kasus kebijakan Perda Zakat yang tidak berjalan dengan baik saat implementasi di masyarakat. Dimensi-dimensi implementasi yang muncul dalam taraf implementasi kebijakan tentu memiliki relasi erat dalam pemetaannya pada aspek isi dan konteks saat kebijakan tersebut diimplementasikan. Dengan demikian, konseptualisasi Grindle yang dijadikan sebagai landasan teori tersebut hanya dijadikan sebagai alat pemetaan dan alat ukur dimensi implementasi yang terjadi di lapangan, tidak mengikat secara tegas selama proses pengambilan data di lapangan. Dengan adanya fleksibilitas pengambilan data di lapangan inilah yang membuat peneliti lebih mudah bekerja dalam proses pengambilan setiap data di lapangan. Baik data yang bersifat mudah didapatkan, maupun data yang bersifat untuk kalangan terbatas. Oleh karena, sebagai bagian dari sebuah kasus yang pernah menimbulkan konflik besar di masyarakat, tidak mudah untuk peneliti mendapatkan fakta yang bersifat valid untuk dijadikan sebagai data. Sisi-sisi 21 Widayanti, Titik Politik Sub-altern: Studi tentang Politik Identitas Waria di Yogyakarta. Skripsi. Hlm Prastowo, Andi Memahami Metode-Metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktek. Ar-Ruzz Media. Hlm 29 25

26 fleksibilitas dalam riset seperti ini yang tanpa keluar dalam kerangka riset ilmu sosial tersebut yang menjadikan riset ini lebih tepat menggunakan pendekatan kualitatif dalam membedah setiap persoalan di dalamnya. Dengan demikian, mekanisme cross-check kevalidan sebuah data bukan diukur pada repetisi pengujian sampel, yang lalu hasilnya diukur dalam keajegan angka-angka. Tetapi, mekanisme cross-check tersebut dilakukan dalam menghimpun beragam keterwakilan informasi (representativeness), baik yang bersifat mendukung atau saling berlawanan, untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang terpercaya (reliability) 23. Penelitian Kualitatif ini hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan 24 ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Situasi sosial pada kasus yang mirip dengan Perda Zakat di Lombok Timur, misalnya, pada Perda Miras yang terjadi di Tangerang, Perda Ngangkang yang ada di Aceh, dan sebagainya. Dalam konteks ini, kesesuaian atas sebuah konteks (Policy Context) dimana perda syariah itu muncul, tentu berbeda-beda. Tentu, objek yang diteliti, yaitu Perda Syariah (Policy Content) dalam beragam bentuknya, memiliki kesamaan. Situasi sosial dan kasusnya saja yang mengalami perbedaan. Di sinilah yang dimaksud dengan makna transfer atas 23 Ibid. Hlm Yang dimaksud dengan ditransferkan tersebut adalah seperti yang dipahami pada definisi validitas eksternal pada kajian kuantitatif, yaitu validasi kualitatif yang didasarkan pada empat macam konsepsi validitas: Validitas Kumulatif (validitas yang ditentukan berdasarkan kesamaan antara satu temuan studi dengan temuan studi lainnya), Validitas Komunikatif (validitas yang ditentukan pada derajat konfirmasi temuan dan analisis temuan kepada subjek penelitian), Validitas Argumentatif (validitas yang ditentukan berdasarkan pada kekuatan dan kesesuaian logikan dan rasionalitas yang dibangun peneliti dalam mempresentasikan hasil studi dan analisisnya, yang dapat dibuktikan secara terbalik dengan data mentah), Validitas Ekologis (Validitas yang ditentukan pada derajat pemenuhan karakter natural studi). Salim, Agus Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Hlm

27 sebuah suatu kajian dengan dikontekskan di tempat dan situasi sosial yang berbeda. Untuk membedah kasus ini secara mendalam, maka dibutuhkanlah penjabaran tentang apa saja unsur-unsur dalam metode penelitian, khususnya metode yang bersifat kualitatif. Unsur-unsur metode penelitian tersebut adalah subjek penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pengecekan keabsahan data 25. Unsurunsur metode penelitian tersebut diperlukan untuk membedah secara mendalam beberapa derivasi pertanyaan yang dibutuhkan dalam mendukung pencarian jawaban rumusan masalah, misalnya: siapa yang tepat dan layak menjadi narasumber utama (subjek penelitian) dalam wawancara, siapa aktor intelektual pada dinamika implementasi perda zakat, bagaimana situasi sosial saat terjadi konflik, bagaimana gambaran dinamika yang terjadi pada content dan context kebijakan sehingga menjadi limitasi dalam proses implementasi Perda Zakat, dan sebagainya. G.2. Subjek Penelitian Subjek penelitian terbagi menjadi dua: subjek primer dan subjek sekunder. Subjek primer adalah mereka yang tergolong sebagai pelaku (orang) utama yang menjadi bahan penelitian. Sedangkan subjek sekunder adalah mereka yang hanya sebagai pelaku pendukung terhadap pelaku utama yang diteliti 26. Dalam penelitian ini, penentuan subjek-objek kebijakan ditentukan berdasarkan determinasi setiap aktor terhadap setiap proses politik yang terjadi pada aspek content, context, maupun process implementasi kebijakan. Semakin besar 25 Prastowo, Andi Op CIt. Hlm Ibid. Hlm

28 keterlibatan setiap aktor dalam tiga aspek tersebut, maka semakin besar penentuan untuk menjadi subjek primer penelitian. Pun sebaliknya. Oleh karena, penentuan subjek tersebut didasarkan pada determinasi keterlibatan dalam dinamika implementasi. Atas dasar dua sebab tersebut, maka subjek primer penelitian, yaitu eksekutif (Bupati Lombok Timur), legislatif (DPRD Lombok Timur) dan PGRI Lombok Timur sebagai subjek primer kebijakan. Sedangkan, subjek sekunder yaitu aktor civic society (media massa), political society (gerakan mahasiswa Lombok Timur), informal leaders (tokoh masyarakat Lombok Timur) juga yang berasal dari papers (penelitian Bappenas, naskah Perda Zakat, dan beberapa sumber tertulis lainnya). Penentuan subjek primer-sekunder ini semata dilakukan hanya untuk mempermudah peneliti menentukan prioritas dalam pengambilan data. Sehingga, jangka waktu riset lapangan dengan menggunakan metode lived-in cukup efektif: tidak terlalu lama berada di lokasi penelitian, tetapi mendapatkan informasi valid dari sumber utama penelitian. G.3. Objek Penelitian Oleh karena watak dasar penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif, maka Penelitian yang digunakan untuk mencari kebenaran bukan berdasarkan pada perhitungan-perhitungan logis, terukur, dan dapat dilihat secara kasat mata. Tapi, penelitian yang mendasarkan Situasi Sosial (social situation) sebagai sebuah objek penelitian. Situasi sosial yang dimaksud di sini adalah situasi yang terdiri dari 3 elemen: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang saling berinteraksi secara kesinambungan. Sehingga, Situasi Sosial dalam penelitian ini lebih menekankan pada ruang aktivitas (process), antara subjek 28

29 primer maupun sekunder penelitian sepanjang proses linkage antara Policy Content dengan Policy Context. Dengan demikian, Objek Penelitian ini adalah aktivitas politik yang lahir dari para aktor / subjek penelitan, baik yang bersifat primer maupun sekunder. Aktivitas dari para subjek penelitian tersebut dianalisis dalam koridor sepanjang implementasi kebijakan Perda Zakat, pada dua aspek: teks dan konteks. Semakin dominan peran dari subjek penelitian tersebut dalam berperan menghasilkan dinamika pada aspek teks dan konteks, maka semakin terlihat bagaimana eksistensi dari setiap aktor. Semakin intens eksistensi politikya, maka berbanding lurus dengan kontestasi para aktor dalam untuk menunjukkan kekuatan dalam menjaga kepentingannya masing-masing ketika implementasi kebijakan. Sehingga, dari Situasi Sosial ini secara tidak langsung akan terlihat gambaran dinamika dari kecenderungan setiap aktor dalam isu implementasi kebijakan ini, yaitu apakah dalam posisi mendukung atau tidak mendukung implementasi Perda Zakat. G.4. Data dan Sumber Data Arikunto dalam Prastowo (2011: 33), menyebutkan bahwa, secara umum, sumber data dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu Paper, Place, dan Person. Paper berarti merujuk pada dokumen, keterangan, arsip, pedoman, surat keputusan, dan sebagainya yang berfungsi sebagai tempat peneliti membaca dan mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan data penelitiannya. Person berarti tempat peneliti bertanya mengenai variable yang sedang diteliti. Sedangkan Place merujuk pada ruang, laboratorium, bengkel, kelas, dan 29

BAB IV KESIMPULAN. A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi

BAB IV KESIMPULAN. A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi BAB IV KESIMPULAN A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi kebijakan ini tidak dapat terlaksana dengan baik, secara ringkas disebabkan karena empat faktor. Masing-masing

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Badan Amil Zakat Kabupaten Lombok Timur. Profil Badan Amil Zakat Kabupatan Lombok Timur

DAFTAR PUSTAKA. Badan Amil Zakat Kabupaten Lombok Timur. Profil Badan Amil Zakat Kabupatan Lombok Timur DAFTAR PUSTAKA BUKU Aflah, Noor. 2009. Arsitektur Zakat Indonesia. Jakarta: UI Press Badan Amil Zakat Kabupaten Lombok Timur. Profil Badan Amil Zakat Kabupatan Lombok Timur Dahlan, Ali bin, dan Lalu Gafar

Lebih terperinci

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah 4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK Mada Sutapa *) Abstract In the context of public goods, education is publicly owned goods and services, which the public has a right to get education

Lebih terperinci

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan Yogyakarta, 21-22 Juni 2010 MAKALAH Otda & Konflik Tata Ruang Publik Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM Otda & Konflik Tata Ruang Publik Wawan Mas udi JPP Fisipol

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK. Mada Sutapa *) Abstract

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK. Mada Sutapa *) Abstract KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK Mada Sutapa *) Abstract In the context of public goods, education is publicly owned goods and services, which the public has a right to get education

Lebih terperinci

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) Tujuan utama buku ini adalah untuk menjawab tentang peran teori terkait permasalahan administrasi publik. Sebagaimana diketahui, tujuan utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi

Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi What Ever Happened to Policy Implementation? An Alternative Approach By Peter and Linda deleon Journal of Public Policy Administration Research

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Penafsiran para ahli administrasi publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum memberikan penafsiran

Lebih terperinci

Otda & Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM. Disampaikan pada acara WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Pusham UII

Otda & Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM. Disampaikan pada acara WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Pusham UII Otda & Konflik Tata Ruang Publik Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM Disampaikan pada acara WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan NCHR Uuniversity

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penelitian dan ulasan dalam tesis ini, dapat diperoleh beberapa. 1. Regulasi perbankan syariah yang menyerahkan otoritas kepatuhan

BAB V PENUTUP. Dari penelitian dan ulasan dalam tesis ini, dapat diperoleh beberapa. 1. Regulasi perbankan syariah yang menyerahkan otoritas kepatuhan BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari penelitian dan ulasan dalam tesis ini, dapat diperoleh beberapa butir kesimpulan sebagai berikut: 1. Regulasi perbankan syariah yang menyerahkan otoritas kepatuhan syariah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif,

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif, BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif, yaitu suatu metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG Rifka S. Akibu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Terbentuknya KORSI terjadi dalam 3 (Tiga) Fase yaitu; Fase Inisiasi, Fase

BAB VII KESIMPULAN. Terbentuknya KORSI terjadi dalam 3 (Tiga) Fase yaitu; Fase Inisiasi, Fase BAB VII KESIMPULAN 7.1. Kesimpulan Terbentuknya KORSI terjadi dalam 3 (Tiga) Fase yaitu; Fase Inisiasi, Fase Konsolidasi dan Fase Perlawanan. Di Fase Inisiasi, 4 (Empat) Elemen Kelompok Kelompok Kepentingan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno : pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi terhadap semua aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program

BAB I PENDAHULUAN. maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program Jam Belajar Masyarakat

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya Oleh : Imronah*) Abstraksi Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap masalah

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Paparan Metode Penelitian Penelitian tesis ini memfokuskan pada formulasi kebijakan kriminal dalam kaitan fenomena korupsi selama masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Data-data serta argumentasi yang dibangun dalam penelitian ini, menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Keuntungan dari pendekatan kualitatif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun BAB VI PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Pada awalnya penulis ingin mengetahui peran komunikasi dalam hal ini melalui konsep demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dapat mendorong proses penganggaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belaksang Masalah Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab sebelumnya legitimasi legal formal peran serta masyarakat dalam

Lebih terperinci

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA MATA UJI : KEBIJAKAN PEMERINTAH JURUSAN/ CAWU : ILMU PEMERINTAHAN/ III HARI/ TANGGAL : SELASA,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan tiga dasar pertimbangan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada masa awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan faktor eksternal.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai 286 BAB VI PENUTUP A. Simpulan Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami

Lebih terperinci

AKTOR, KONTEN, KONTEKS KEBIJAKAN

AKTOR, KONTEN, KONTEKS KEBIJAKAN AKTOR, KONTEN, KONTEKS KEBIJAKAN Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Context Actors national politicians

Lebih terperinci

POLITIK KEUANGAN NEGARA

POLITIK KEUANGAN NEGARA POLITIK KEUANGAN NEGARA Miftah Adhi Ikhsanto, SIP, MiOP Amirudin, SIP, M.Ec.Dev 1 1. Hadir tepat waktu, paling lambat 5 menit sebelum kegiatan belajar dimulai. 2. Berpakaian rapi dan sopan. 3. Mematikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis ini memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian kualitatif melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategori, dan deskripsi yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Menurut Sugiyono 33 Setiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu untuk mengumpulkan fakta dan data sebagaimana dipergunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang penting dalam perbaikan pengelolaan keuangan negara. Salah satu perwujudannya

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang penting dalam perbaikan pengelolaan keuangan negara. Salah satu perwujudannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang efisien dan efektif merupakan salah satu bagian yang penting dalam perbaikan pengelolaan keuangan negara. Salah satu

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan hasil penelitian mengenai analisis implementasi kebijakan dana kampanye pada Pilkada tahun 2015 di Sumatera Barat. Selanjutnya, diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, yang dilakukan oleh pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang bangun perumusan kebijakan proses implementasi kebijakan dan evaluasi

Lebih terperinci

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK Untuk lebih mendalami hakekat pendidikan politik, berikut ini disajikan lagi beberapa pendapat ahli mengenai pendidikan politik. Alfian (1986) menyatakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam BAB V BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt. Para tokoh

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebebasan pers merupakan salah satu indikator penting dalam membangun suatu negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pasca reformasi 1998 media massa

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian pendidikan dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan suatu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 31 ranah afektif ini sebagai pondasi bagi siswa dalam menghadapi setiap kejadian ataupun permasalahan ia alami dalam kehidupan sehari-hari. Ranah afektif dapat mengarahkan seseorang untuk dapat berbuat

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Perguruan tinggi layaknya sebuah miniatur negara, mempunyai tatanan

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Perguruan tinggi layaknya sebuah miniatur negara, mempunyai tatanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Perguruan tinggi layaknya sebuah miniatur negara, mempunyai tatanan pemerintahan dibawah pimpinan seorang rektor, sudah selayaknya memiliki watch dog yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T.

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ALLISON Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si Dosen Jurusan Hubungan Internasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. 1 Paradigma dalam penelitian ini adalah konstruktivisme. Menurut Guba dan Lincoln realitas

Lebih terperinci

dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. 84 popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena

dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. 84 popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena BAB II METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Bratang Surabaya) menggunakan pendekatan kualitatif yang dapat digunakan

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Bratang Surabaya) menggunakan pendekatan kualitatif yang dapat digunakan BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian mengenai Kebijakan Pemerintah Kota Dalam Memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Surabaya (Studi Kasus Pengelolaan Kebun Bibit Bratang Surabaya)

Lebih terperinci

ADVOKASI KESEHATAN Waktu : 45 Menit Jumlah soal : 30 buah

ADVOKASI KESEHATAN Waktu : 45 Menit Jumlah soal : 30 buah ADVOKASI KESEHATAN Waktu : 45 Menit Jumlah soal : 30 buah Petunjuk Umum: Baca dan tandatangani pernyataan patuh pada Etika Akademik Pilihan Ganda 1. Berilah tanda silang pada lembar jawaban dengan memilih

Lebih terperinci

Komunikasi Politik dalam Sistem Politik 1

Komunikasi Politik dalam Sistem Politik 1 Komunikasi Politik dalam Sistem Politik 1 Beberapa ilmuan melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan politik. Oleh karena itu komunikasi politik dianggap memiliki fungsi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut. Kapasitas institusi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut. Kapasitas institusi tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ketika tantangan yang dihadapi datang bersamaan dengan kesempatan untuk meningkatkan daya saing dan pencapaian di tengah persaingan global, perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sifat Penelitian Secara harafiah, metodologi dibentuk dari kata metodos, yang berarti cara, teknik, atau prosedur, dan logos yang berarti ilmu. Jadi metodologi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

Implementasi Program Gerdu Kempling di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Kota Semarang

Implementasi Program Gerdu Kempling di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Kota Semarang Implementasi Program Gerdu Kempling di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Kota Semarang Oleh : Astrid Ratri Sekar Ayu, Herbasuki Nurcahyanto, Aufarul Marom*) Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu

BAB I PENDAHULUAN. pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan daerah sebagai pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu menarik

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi komunikasi bencana yang dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan pengelolaan komunikasi bencana

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perencanaan, Pelaksanaan dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perencanaan, Pelaksanaan dan BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metoda Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Program Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja dalam meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan

I. PENDAHULUAN. aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fungsi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang 78 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian 3.1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transformasi dalam arsitektur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transformasi dalam arsitektur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Transformasi dalam arsitektur Transformasi dalam arsitektur bukanlah hal baru karena selalu berkait dengan masalah klasik tentang pembentukan citra lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kebijakan 2.1.1 Pengertian Analisis Bernadus Luankali dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik dalam Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing)

BAB I PENDAHULUAN. Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media massa pada dasarnya selalu melakukan pembingkaian (framing) terhadap sebuah isu atau peristiwa melalui berita atau opini yang diterbitkannya. Praktik pembingkaian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Kualitatif Penelitian ini akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Mengacu pada pendapat Newman (2003:16), Pendekatan ini dipandang tepat karena

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAHAN POLICY BERBEDA DENGAN WISDOM KAJIAN UTAMA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN ADALAH ADALAH KEBIJAKAN PEMERINTAHAN (PUBLIC POLICY) KEBIJAKAN ADALAH WHATEVER GOVERMENT CHOOSE TO DO OR NOT TO

Lebih terperinci