V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial dengan program CLUE-S memerlukan skenario yang ditentukan berdasarkan pada kebutuhan. Pada penelitian pemodelan spasial ini expert judgment dilakukan berdasarkan studi pustaka dan peneltian-penelitian sebelumnya. Skenario yang digunakan berdasarkan pada demand modul dan spatial policy. Skenario yang ditetapkan ada enam buah yang ditunjukkan pada Tabel 18. Demand module dalam program CLUE-S merupakan tabel time series untuk setiap penggunaan lahan berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan sebelumnya. Spatial policy adalah area restriction (areal terlarang) yang membatasi wilayah untuk dikonversi seperti kawasan lindung dan cagar alam. (Lampiran 13). Tabel 20 berikut menjelaskan kombinasi skenario yang dilakukan pada simulasi perubahan penggunaan lahan. Skenario pertama, merupakan skenario baseline, digunakan sebagai pembanding. Skenario ini menggunakan demand module, dengan laju perubahan penggunaan lahan yang sama dengan laju 20 tahun yang lalu (demand.in1) dan tanpa ada larangan konversi pada wilayah tertentu (region_nopark.fil). Bila diterjemahkan kedalam keadaan realitas, tanpa ada larangan konversi adalah keadaan peraturan-peraturan yang melarang wilayah tertentu untuk tidak dikonversi dilanggar. Dengan kata lain, spatial policy ini sama dengan tidak adanya penegakan hukum. Skenario kedua dan kelima menggunakan demand module, dengan laju perubahan penggunaan lahan sama dengan laju 20 tahun yang lalu (demand.in1), tetapi untuk skenario kedua, spatial policy pada cagar alam saja sementara pada skenario kelima spatial policy pada cagar alam dan kawasan lindung. Pada skenario ketiga, keempat dan keenam, demand module yang digunakan adalah separuh dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun yang lalu. Spatial policy yang digunakan pada skenario ketiga, keempat dan keenam adalah tanpa ada larangan, larangan pada cagar alam dan larangan pada cagar alam dan kawasan lindung.

2 Menurut FAO (2003) selama kurun waktu 1990 sampai 2000 laju deforestasi atau perubahan kawasan hutan menjadi jenis penggunaan lahan lain di Indonesia adalah hektar per tahun atau 1,2%. Perubahan hutan menjadi jenis penggunaan lain di wilayah Bandung adalah 2,63 % per tahun (Tabel 18). Berdasarkan hal tersebut diatas, ditetapkan demand module dengan prediksi setengah dari laju perubahan penggunaan lahan untuk penetapan skenario. Tabel 18 Skenario-skenario yang digunakan dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Bandung Skenario Laju pertumbuhan Spatial policy pertama Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in1) kedua Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in1) ketiga Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in2) keempat Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in2) kelima Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in1) keenam Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003) (demand.in2) Tidak ada (region_nopark.fil) Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam (region_park1) Tidak ada (region_nopark.fil) Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam (region_park1) Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung (region_park2) Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung (region_park2) Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis statitik dengan regresi logistik binari adalah seperti yang disajikan pada Tabel 19 dan 20. Hasil dari analisis regresi logistik diuji ketepatannya dengan menggunakan metode ROC (relative operating characteristic). Nilai ketepatan ini biasanya berada ROC diantara 0.5 sampai 1.0. Nilai 1.0 mengindikasikan hasil perhitungan tepat sempurna, sedangkan nilai 0,5 mengindikasikan bahwa hasil tersebut karena pengaruh acakan saja (Pontius & Scheneider 2001). Hasil ROC paling tinggi adalah diperoleh oleh penggunaan lahan sawah, kemudian pada kawasan terbangun, selanjutnya perkebunan dengan

3 Nilai cukup tinggi ada pada penggunaan lahan hutan dengan dan lainnya dengan Nilai yang terendah adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan (Tabel 19). Persamaan regresi logistik yang digunakan adalah Log [p/(1-p)]= β 0 + β 1 X 1i +β 2 X 2i β n X ni., β merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi dan p adalah peluang munculnya jenis penggunaan lahan dan driving factor (variabel bebas) tertentu. Untuk menganalisis persamaan tersebut digunakan Exp(β). Bila nilai Exp (β) lebih besar dari satu artinya peluang munculnya penggunaan lahan tersebut akan meningkat bila terdapat peningkatan pada variabel bebas. Sebaliknya, bila nilai Exp (β) lebih kecil atau sama dengan satu, maka peluang munculnya penggunaan lahan tersebut menurun dengan terdapatnya peningkatan pada variabel bebas. Tabel 19 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan Driving Factors (variabel bebas) Hutan Lainnya Kawasan Terbangun Perkebunan Pertanian Lahan Kering Sawah Kepadatan penduduk -0,011-0,023 0,032-0,010-0,013-0,043 Tingkat pendidikan 0,041 0,077 0,056-0,058-0,094 Kondisi tempat tinggal -0,016-0,068 0,069-0,019 0,049-0,073 Usaha bidang pertanian 0,031 0,046-0,013-0,005-0,074 Aluvial 5,505 0,366-1,456 Andosol 1,759-0,626-1,502 15,811 Asosiasi 0,518-0,399-0,495 Grumosol -0,702 Kompleks 1,426 0,439-0,775-0,261-0,946 Latosol 6,299-1,020-0,720 Aluvium 1,202-5,220-21,679 2,408-33,120 Aluvium, fasies gunung api -0,452 1,518 Eosen -0,736 2,811-18,525-1,005 Hasil gunung api kwarter tua -3,097 1,398-23,576 1,195 Hasil gunung api tak teruraikan -1,483-4,426 0,458-19,525 0,421-31,719 Miosen fasies sedimen -2,005-3,283 2,431 Pliosen fasies sedimen -2,147 17,801 Plistosen sedimen gunung api -1,386 3,615-1,966 Elevasi 0,001-0,005 0,000-0,002 0,000-0,003 Slope -0,005-0,013-0,007 0,011 0,004 Aspek 0,002-0,001 Jarak dari jalan raya utama 0,000 0,000-0,001 0,000 0,000 Jarak dari pusat kota Bandung 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Curah hujan -0,001-0,001 0,001 0,000 0,000-0,001 Konstanta -11,844 7,520-38,822 64,989-2,091 37,441 Akurasi (ROC) 0,901 0,892 0,936 0,921 0,813 0,966

4 Tabel 20 Hasil analisis regresi logistik nilai Exp(β) dari penggunaan lahan Driving Factors (vaiabel bebas) Hutan Lainnya Kawasan Terbangun Perkebunan Pertanian Lahan Kering Sawah Kepadatan penduduk 0,989 0,977 1,033 0,990 0,987 0,958 Tingkat pendidikan 1,042 1,080 1,058 0,944 0,910 Kondisi tempat tinggal 0,984 0,934 1,071 0,981 1,051 0,929 Usaha bidang pertanian 1,031 1,047 0,987 0,995 0,929 Aluvial 245,987 1,441 0,233 Andosol 5,807 0,535 0,223 7,352E+06 Asosiasi 1,678 0,671 0,609 Grumosol 0,495 Kompleks 4,161 1,551 0,460 0,770 0,388 Latosol 544,192 0,361 0,487 Aluvium 3,328 0,005 0,000 11,110 0,000 Aluvium, fasies gunung api 0,636 4,563 Eosen 0,479 16,630 0,000 0,366 Hasil gunung api kwarter tua 0,045 4,046 0,000 3,304 Hasil gunung api tak teruraikan 0,227 0,012 1,581 0,000 1,523 0,000 Miosen fasies sedimen 0,135 0,038 11,369 Pliosen fasies sedimen 0,117 5,381E+07 Pleistosen sedimen gn api -1,386 37,138 0,140 Elevasi 1,001-9,037 1,000 0,998 1,000 0,997 Slope 0,995-0,611 0,993 1,011 1,004 Aspek 1,002 0,999 Jarak dari jalan raya utama 1,000 1,000 0,999 1,000 1,000 Jarak dari pusat kota Bandung 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Pada Tabel 20 terlihat bahwa peluang penggunaan lahan hutan akan meningkat bila variabel pendidikan, usaha bidang pertanian, jenis tanah aluvial, andosol, latosol, aluvium dan elevasi meningkat. Sementara pada peluang penggunaan lahan kawasan terbangun meningkat bila variabel kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal, jenis tanah kompleks, geologi (eosen, hasil gunung api kwarter tua, hasil gunung api tak teruraikan, miosen fasies sedimen, pliosen fasies sedimen, pleistosen sedimen gunung api) dan akses meningkat. Sedangkan pada peluang penggunaan lahan sawah akan meningkat bila variabel jenis tanah andosol meningkat. Pada pemodelan ini simulasi dilakukan selama 20 tahun, dengan kondisi awal pada tahun 2003 dan terakhir pada ahun Hasil simulasi setiap tahun

5 dapat dipetakan secara spasial. Pada pemodelan dengan enam skenario ini peta hasil simulasi disajikan dan dianalisis dalam lima tahunan. Hasil pemodelan skenario pertama yaitu laju perubahan tetap dan tanpa ada kebijakan spasial disajikan pada Gambar 20. Penggunaan lahan hasil pemodelan pada tahun 2008 dibandingkan dengan keadaan awal, akan terdapat penurunan luasan hutan, penggunaan lahan yang tetap adalah kawasan terbangun dan sawah, sementara penggunaan lahan lainnya, perkebunan dan pertanian lahan kering bertambah luas. Pada tahun 2013 kondisi ini akan tetap terjadi, kecuali pada penggunaan lahan perkebunan yang menjadi menurun. Pada tahun 2018, kondisi tetap seperti tahun 2013 tetapi terjadi musnahnya lahan persawahan. Lahan persawahan akan digantikan oleh kawasan terbangun. Pada tahun terakhir simulasi kondisi hampir sama dengan kondisi tahun sebelumnya dengan makin menurunnya kawasan hutan dan makin meluasnya pertanian lahan kering. Pemodelan dengan skenario kedua berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan tetap, tetapi ada kebijakan spasial bahwa kawasan cagar alam tidak boleh dikonversi. Jenis penggunaan lahan hutan akan mengalami penurunan terutama di bagian utara dan barat yang tergantikan oleh pertanian lahan kering. Hasil simulasi pada tahun 2008, 2013 dan 2018 menghasilkan kondisi yang hampir sama dengan kondisi hasil pemodelan pada skenario pertama (Gambar 21). Perbedaan yang nyata terjadi pada hasil simulasi tahun 2023, tampak luasan hutan yang tersisa merupakan kawasan cagar alam. Kawasan hutan akan berkurang di bagian barat laut tergantikan oleh pertanian lahan kering. Secara ukuran luas, wilayah hutan pada tahun 2003 pada skenario pertama dan kedua adalah sama, yang berbeda adalah lokasi hutan tersebut.

6 (b) (c) (d) (e) Gambar 20 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario pertama) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario pertama) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario pertama) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario pertama)

7 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 21 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kedua) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kedua) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kedua) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario kedua)

8 Pemodelan dengan skenario ketiga berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan tidak ada kebijakan spasial. Hasil simulasi berupa peta penggunaan lahan hasil simulasi disajikan pada Gambar 22. hasil simulasi pada tahun 2008, 2013, 2018 dan 2023 semua jenis penggunaan lahan masih ada. Penurunan luasan yang tampak jelas adalah pada jenis penggunaan lahan hutan. Penurunan kawasan perkebunan tampak terjadi pada akhir simulasi terutama perkebunan yang berbatasan dengan kawasan terbangun dan sawah. Wilayah yang nyata bertambah luas adalah pertanian lahan kering. Kawasan terbangun dan sawah tidak menunjukkan pertambahan luas yang cukup nyata. Pemodelan dengan skenario keempat berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan ada kebijakan spasial untuk melarang perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam. Peta hasil simulasi dengan skenario ke empat ini digambarkan pada Gambar 23. Hasil simulasi dengan skenario keempat hampir sama dengan simulasi dengan skenario ketiga, perbedaan yang cukup nyata terjadi pada tahun 2018 dan Luas hutan tersisa karena tidak terkonversi pada tahun 2018 dan 2023 pada skenario keempat sama luasnya dengan pemodelan dengan skenario ketiga, tetapi lokasilokasi hutan tersebut berbeda. Pada pemodelan skenario keempat lokasi hutan tersisa adalah kawasan cagar alam. Pemodelan dengan skenario kelima berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan sama dengan sebelumnya tetapi kebijakan spasial adalah larangan konversi untuk cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan skenario kelima digambarkan oleh peta penggunaan lahan pada Gambar 24. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Sebagaima hasil simulasi skenario pertama dan kedua, terdapat penurunan luasan sawah pada tahun 2018, tergantikan oleh kawasan terbangun. Tetapi terdapat perbedaan dengan hasil simulasi pertama dan kedua adalah pada tahun 2018 dan 2023 yang menunjukkan luasan hutan yang tersisa lebih luas daripada simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Lokasi hutan tersisa pada akhir simulasi meliputi kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

9 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 22 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario ketiga) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2003 (hasil simulasi skenario ketiga) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario ketiga) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario ketiga)

10 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 23 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keempat) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keempat) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keempat) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keempat)

11 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 24 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kelima) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kelima) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kelima) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario kelima)

12 Pemodelan dengan skenario keenam berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan kebijakan spasial ada larangan konversi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan dengan skenario keenam ini disajikan pada Gambar 25. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario ketiga dan keempat. Sebagaimana pada hasil simulasi skenario ketiga dan keempat, pada tahun 2018 dan 2023 masih terdapat sawah. Perbedaan dengan hasil simulasi ketiga dan keempat adalah luasan hutan yang tersisa pada akhir simulasi lebih luas daripada simulasi dengan skenario ketiga dan keempat. Pada hasil simulasi skenario pertama, kedua dan kelima di tahun ke 10 tampak bahwa kawasan terbangun menggeser kawasan persawahan. Dampak dari habisnya persawahan secara ekonomi akan menurunkan hasil sektor pertanian, meskipun akan meningkatkan hasil sektor lain seperti perdagangan, industri dan jasa. Bila hal tersebut terjadi, maka produksi padi sawah yang berasal dari Kabupaten Bandung yang berjumlah ton pada tahun 2003 tidak diperoleh lagi (BPS 2003). Hal ini telah terjadi di sepanjang Jalur Pantai Utara Jawa, akibat alih fungsi lahan persawahan menjadi areal industri yang mengkibatkan kerawanan pangan nasional. Menurut Rustan (2004) hal tersebut disebabkan oleh trade off hasil pertanian yang makin turun dibanding produk industri, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, adanya land absentee kepemilikan lahan, adanya kemudahan dalam investasi bidang industri sehingga tidak ada resistensi dari pemilik lahan pertanian (persawahan) untuk mempertahankannya. Semakin meluasnya kawasan terbangun akan mengurangi luasan permukaan tanah, keadaan ini akan menurunkan infiltrasi tanah bila terjadi hujan (Mather 1986), yang akan meningkatkan run off atau aliran permukaan. Bila fasilitas drainase yang ada di kawasan terbangun kurang, maka peluang untuk terjadinya banjir atau genangan akan semakin tinggi pada saat musim penghujan. Dampak sosial yang terjadi dengan hilangnya persawahan adalah akan terjadi pergeseran pada mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Pada simulasi dengan skenario pertama, kedua dan kelima ini, pada tahun ke 20 kawasan hutan akan sangat berkurang terutama di wilayah bagian barat. Wilayah ini terletak di Kecamatan Rongga dan Kecamatan Cipongkor. Dampak

13 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 25 (a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 (b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keenam) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keenam) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keenam) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keenam)

14 yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Tetapi secara ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air tanah. Selain itu, penurunan kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai, Sumberjaya, Lampung. Hal yang berbeda terjadi pada skenario ketiga, keempat dan keenam. Berdasarkan skenario ini, areal persawahan masih dapat dijaga sampai pada akhir simulasi. Berdasarkan skenario ini, kawasan hutan tetap tergeser oleh jenis penggunaan pertanian lahan kering. Dampak yang dapat terjadi sama dengan dampak yang diakibatkan oleh skenario pertama, kedua dan kelima. Meskipun demikian, intensitas dampak diduga tidak seberat pada skenario pertama, kedua dan kelima. Bila dibandingkan hasil pemodelan skenario ketiga, keempat dan keenam pada akhir simulasi, maka yang tampak nyata adalah lokasi kawasan hutan yang ada. Lokasi kawasan hutan di bagian selatan Kabupaten Bandung dari tiga skenario tersebut berbeda luasannya. Skenario ketiga paling kecil luasannya, dan skenario keenam paling luas. Rencana Struktur Ruang Metropolitan Bandung (Distarkim 2005) menetapkan wilayah bagian selatan sebagai zona konservasi. Berdasarkan hal tersebut, maka skenario keenam merupakan skenario yang paling baik untuk dipilih. Skenario keenam adalah skenario terbaik yang berdasar pada laju perubahan penggunaan lahan separuh dari laju perubahan penggunaan lahan eksisting dan adanya larangan konversi lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

15 5.2. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Perhitungan WI di Wilayah Kabupaten Bandung ditunjukkan pada Tabel 21 dan 22. Hasil perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 14. Hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria WI menghasilkan angka indeks kesejahteraan manusia (Human Wellbeing Index) Kabupaten Bandung adalah 55. Indeks kesejahteraan ekosistem (Ecosystem Wellbeing Index ) adalah 69. Jadi nilai WI adalah 62; sementara indeks stress kesejahteraan (Wellbeing Stress Index) untuk Kabupaten Bandung adalah 1.8. Bila dibandinglan dengan indeks kesejahteraan Indonesia yang bernilai 42 (Prescott-Allen 2001) termasuk pada area poor, maka indeks kesejahteraan Kabupaten Bandung lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa rata-rata wilayah Kabupaten Bandung kebih berkelanjutan bila dibandingkan dengan rata-rata keadaan di Indonesia. Keadaan ini disebabkan karena kondisi Indonesia merupakan rata-rata dari berbagai daerah. Secara umum keadaan sosial, ekonomi dan sebaran penduduk di Indonesia tidak terdistribusi secara merata, pusat kegiatan ekonomi, sosial dan budaya berada di Pulau Jawa. Tabel 21 Perhitungan WI Subsistem Dimensi Jumlah indikator Manusia Ekosistem Gabungan total skor Ratarata Kemakmuran & Ekonomi Pengetahuan, budaya dan keahlian Infrastruktur Lahan Air Flora (penggunaan sumber daya) Tabel 22 Indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung Indeks (Index) Nilai Kesejahteraan manusia (human wellbeing) 55 Kesejahteraan ekosistem (ecosystem wellbeing) 69 Wellbeing 62 Stress kesejahteraan (wellbeing stress) 1.8

16 Wellbeing Stress Index (WSI) merupakan rasio kesejahteraan manusia terhadap stress ekosistem, untuk menggambarkan tekanan terhadap peningkatan kesejahteraan. Hal ini berakibat terhadap kehidupan (wellbeing) ekosistem. Angka WSI sama dengan 1.0 mengandung arti stress dari ekosistem sudah melampaui kesejahteraan manusia (dalam standar termasuk dalam band poor). Semakin rendah nilai ini semakin besar akibat dari tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia terhadap kehidupan ekosistem. Kabupaten Bandung dengan nilai WSI 1.8, menunjukkan bahwa posisi wilayah ini mendekati band medium. Nilai ini mengandung arti bahwa tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia belum melampaui tekanan ekosistem. Kondisi ekosistem yang baik dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Kondisi ini dimetaforakan oleh sebuah telur. Ekosistem diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik. Bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka untuk wilayah Kabupaten Bandung (tahun 2003) adalah Angka ini merupakan penggabungan dari keadaan angka harapan hidup dengan nilai 65.4; angka melek huruf 97.5; angka rata-rata lama sekolah 7.7 dan konsumsi per kapita (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Tampak bahwa angka ini sejalan dengan angka WI, tetapi IPM hanya menyoroti aspek manusia, tanpa melihat aspek ekosistem. Hasil perhitungan dipetakan pada barometer sustainability seperti disajikan pada Gambar 26.. Tampak bahwa tingkat berkelanjutan untuk wilayah Bandung adalah dalam posisi medium. Posisi ini adalah posisi di tengah, yang mengarah ke almost sustainable untuk ekosistem, sedangkan untuk manusia mengarah ke almost unsustainable. Hal ini mengandung arti bahwa keadaan ekosistem wilayah Kabupaten Bandung relatif lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata wilayah lain di Indonesia.

17 Gambar 26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung (Hasil analisis) Chambers, Simmons & Wackernagel (2002) mengkaji hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah dan menggambarkannya dalam empat kondisi (Gambar 27). Zona A menggambarkan kondisi kualitas hidup tidak tercapai tetapi modal alam terlindungi. Zona B menunjukkan untuk mecapai kualitas lingkungan yang minimal terjadi penurunan modal alamiah. Sementara pada zona C untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi modal alam mengalami penurunan. Kondisi ideal adalah pada zona D yaitu untuk mencapai kualitas hidup yang baik dapat sejalan dengan melindungi alam, yang artinya menuju sustainability. Kondisi pada zona-zona A, B dan C dapat diarahkan menuju ke kondisi D dengan cara mengembangkan sustainability (developing sustainability).

18 Gambar 27 Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah (Chambers, Simmons & Wackernagel 2002) Pengembangan keberlanjutan seperti digambarkan oleh Chambers Simmons & Wackernagel (2002) perlu dilakukan untuk menjaga daya dukung alamiah dan mengurangi penurunan modal alamiah. Bila dikaitkan dengan diagram Chambers tersebut maka kondisi Kabupaten Bandung dapat menuju ke Zona D. Berdasarkan hal tersebut diatas maka hasil perhitungan keberlanjutan ini merupakan salah satu masukan dalam penentuan strategi pengelolaan wilayah Kabupaten Bandung.

19 5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan mengandung arti bahwa secara spasial sumberdaya alam yang ada, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa mengurangi daya dukung alamiah, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pada bagian ini akan dibahas strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi adalah jurus atau cara atau teknik yang taktis dalam mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut sebelumnya telah dilakukan penelitian-penelitian yang meliputi analisis deskripsi regulasi tata ruang, pemodelan spasial untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada time frame 20 tahun mendatang, dan analisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah. Pemodelan spasial dengan CLUE-S untuk wilayah Kabupaten Bandung memberikan hasil pada penggunaan lahan yang masih menggambarkan kondisi paling ideal adalah skenario ketiga, keempat dan keenam. Hasil simulasi dengan skenario-skenario ini, sampai dengan tahun ke 20 masih mengandung semua jenis penggunaan lahan. Dari ketiga skenario ini, terpilih skenario keenam sebagi skenari terbaik. Skenario keenam ini mensyaratkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan eksiting dan adanya larangan alih fungsi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Kondisi keberlanjutan pembangunan Kabupaten Bandung berdasarkan indeks kesejahteraan manusia dan ekosistem ada posisi di tengah. Untuk kesejahteraan manusia levelnya berada pada hampir tidak berkelanjutan dan untuk ekosistem berada pada hampir berkelanjutan. Artinya, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai kondisi keberlanjutan yang sedang. Hal ini berdasarkan pada kesejahteraan ekosistem yang hampir berkelanjutan, dan kesejahteraan manusia pada level hampir tidak berkelanjutan. Pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan dilakukan lokakarya analisis prospektif yang melibatkan stakeholder pakar yang terlibat di wilayah penelitian. Identifikasi

20 faktor-faktor yang ada adalam strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung disajikan pada pada Tabel 23. Tabel 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Hasil analisis) Faktor Geofisik Sosial Ekonomi Aksesibilitas Ekologi Iklim Kebijakan Karakteristik Jenis Tanah Geologi Elevasi Aspek Slope Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan Rasio Guru/ Murid (Sekolah Dasar) Tingkat putus sekolah dasar Kondisi Tempat Tinggal Persentase tenaga kerja di bidang pertanian Produksi pertanian Listrik tersedia/ kebutuhan Tingkat pendapatan masyarakat Status kepemilikan lahan Jalan Raya Jarak ke pusat kota Persentase jalan yang baik terhadap panjang jalan yang ada Persentase areal budidaya dari seluruh lahan pertanian Persentase kawasan lindung yang dikelola dengan baik Jumlah curah hujan tahunan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah (peraturan) Perencanaan tata ruang Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel pengaruh langsung antar faktor. Para peserta lokakarya memberikan nilai pengaruh langsung antar faktor pada tabel tersebut. Kemudian direkapitulasi pengaruh antar faktor dari masing-masing peserta lokakarya untuk dilakukan penggabungan. Hasil penggabungan pengaruh langsung antar faktor berupa grafik/ diagram pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi dikategorikan sebagai faktor kunci. Faktor kunci

21 adalah faktor yang berada di variabel penentu dan variabel penghubung (Gambar 28) Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Kepadatan penduduk Perencanaan Tingkat pendapatan masyarakat Status kepemilikan lahan Pengaruh Tingkat pendidikan Kebijakan pemerintah Alokasi dana pembangunan Tingkat aksesibilitas Jenis tanah Elevasi Tenaga kerja pertanian Slope Kondisi tempat tinggal Geologi Persentase jalan raya Listrik tersedia Tingkat putus baik SD Aspek Rasio guru murid Koordinasi antar Rata-rata curah hujan Produksi pertanianlembaga Ketergantungan Gambar 28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Hasil identifikasi faktor-faktor tampak bahwa faktor kunci yang berperan penting karena pengaruh dan ketergantungan antar faktor cukup tinggi pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk Kabupaten Bandung adalah : (1) kepadatan penduduk; (2) tingkat pendidikan; (3) perencanaan; (4) tingkat pendapatan masyarakat; (4) status kepemilikan lahan; (5) kebijakan pemerintah; (6) alokasi dana pembangunan Hasil penyusunan keadaan atau state dari ketujuh faktor kunci tersebut adalah faktor kapadatan penduduk dan kebijakan pemerintah memiliki dua keadaan. Sedangkan tingkat pendidikan, perencanaan, status kepemilikan lahan dan alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan atau state dari kepadatan penduduk ada dua kondisi. Pertama, kepadatan penduduk dimasa datang relatif tetap seperti kondisi saat ini (1A). Keadaan kedua adalah kepadatan

22 penduduk dimasa datang menjadi lebih tinggi dari sekarang, hal ini berarti jumlah penduduk semakin besar tetapi luasan lahan tetap (1B). Tingkat pendidikan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama tingkat pendidikan menjadi semakin buruk, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk tidak terdidik, peningkatan jumlah tuna aksara (2A). Hal ini dimungkinkan terjadi bila biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Keadaan kedua, tingkat pendidikan masyarakat relatif tetap seperti kondisi saat ini (2B). Keadaan ketiga, tingkat pendidikan masyarakat menjadi semakin baik, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk terdidik dan masa sekolah masyarakat semakin lama (2C). Hal ini dimungkinkan bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun benar-benar terlaksana dan biaya pendidikan tinggi semakin terjangkau oleh masyarakat. Keadaan atau state perencanaan memiliki tiga keadaan kondisi perencanaan semakin kurang aplikatif dan kondusif, dalam arti peraturan sebagai acuan yang ada tidak berdasarkan pada aturan/ kebijakan yang lebih tinggi (3A). Keadaan kedua, kondisi perencanaan stabil, dalam arti peraturan sebagai acuan tidak tegas berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi tetapi tidak terdapat sangsi terhadap pelanggaran dari perencanaan yang telah ditetapkan (3B). Keadaan ketiga, kondisi perencanaan semakin kondusif dan aplikatif, terdapat aturan yang jelas yang mengacu pada aturan yang lebih tinggi dan ada sangsi terhadap pelanggaran (3C). Keadaan atau state tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan pertama, tingkat pendapatan masyarakat menjadi semakin kecil (4A). Keadaan kedua, tingkat pendapatan masyarakat relatif tetap (4B). Keadaan ketiga, tingkat pendapatan masyarakat semakin besar tetapi nilainya tetap (4C). Keadaan keempat, tingkat pendapatan masyarakat dalam arti nilai yang semakin besar (4D). Status kepemilikan lahan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama, status kepemilikan lahan perseorangan semakin tinggi, dalam arti persentase status kepemilikan lahan makin lebih banyak dimiliki oleh perseorangan (pribadi atau institusi) daripada milik negara (5A). Keadaan kedua, status kepemilikan lahan perseorangan relatif tetap (5B). Keadaan ketiga, status kepemilikan lahan

23 perseorangan semakin rendah, dalam arti persentase kepemilikan lahan makin banyak dimiliki oleh negara (5C). Terdapat dua keadaan dari kebijakan pemerintah. Kedaan pertama adalah kebijakan pemerintah relatif tetap (6A). Keadaan kedua, kebijakan pemerintah semakin baik dalam arti semakin kondusif dan aplikatif serta transparan (6B). Alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama adalah alokasi dana pembangunan semakin kecil (7A). Keadaan kedua, alokasi dana pembangunan relatif tetap (7B). Keadaan ketiga, alokasi dana pembangunan semakin besar (7C). Secara ringkas ketujuh faktor kunci dan keadaannya ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Faktor Kepadatan penduduk Tingkat pendidikan Perencanaan Keadaan 1 A 1 B Tetap Makin tinggi (makin padat) 2 A 2 B 2 C Makin buruk Tetap Makin baik 3 A 3 B 3C Makin kurang Stabil Makin aplikatif dan aplikatif kondusif 4 A 4 B 4C 4D Tingkat pendapatan masyarakat Makin kecil Tetap Makin besar jumlahnya tetapi nilai tetap Status kepemilikan lahan 5 A 5 B 5 C Persentase kepemilikan perseorangan makin kecil Persentase kepemilikan perseorangan tetap Jumlah dan nilai makin besar Persentase kepemilikan perseorangan makin besar Kebijakan pemerintah 6 A 6 B tetap Makin kondusif dan transparan Alokasi dana 7A 7B 7C pembangunan Makin kecil tetap Makin besar nilainya

24 Tabel 25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung No Skenario Urutan Faktor 1 Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5A-6B-7C 2 Optimis (berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5B-6B-7C 3 Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha yang keras) 1B-2C-3C-4C-5B-6B-7C 4 Kondisi tetap seperti saat ini 1B-2B-3B-4B-5B-6A-7B 5 Kondisi semakin buruk (semakin tidak berkelanjutan) 1B-2A-3A-4A-5C-6A-7A Tabel 26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung Skenario Jumlah Persen Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 17 13,1 Optimis (berkelanjutan) 18 13,8 Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha yang keras) 38 29,3 Kondisi tetap seperti saat ini 29 22,3 Kondisi semakin buruk (semakin tidak berkelanjutan) 28 21,5 Total Skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis untuk berkelanjutan (29,3%). Skenario ini mempunyai keadaan sebagai berikut: kepadatan penduduk semakin tinggi, tingkat pendidikan makin baik; perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif; tingkat pendapatan masyarakat makin besar dalam jumlah tetapi nilai tetap; persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap; kebijakan pemerintah makin kondusif dan transparan; alokasi dana untuk pembangunan makin besar.

25 Implikasi skenario dan rekomendasi pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung Hasil lokakarya analisis prospektif adalah ditemukannya tujuh faktor kunci yang paling berpangaruh pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci tersebut adalah kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, persentasi kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan penduduk meningkat. Tingkat kependidikan menjadi faktor kunci berikutnya pada analisis prospektif. Hal ini dibuktikan pada hasil regresi logistik. Peluang terdapatnya hutan dan kawasan terbangun meningkat dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor pula dalam tingkat keberlanjutan (Omar 2003, Prescott-Allen 2001). Pada Lampiran 14 ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, yaitu rasio guru dan murid cukup baik. Perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif menjadi faktor kunci. Faktor ini ditetapkan berdasarkan hasil lokakarya analisis prospektif. Saat ini perencanaan lebih menitik beratkan pada bagaimana membuat rencana. Hanya sedikit perhatian diberikan pada kontrol terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Selain itu, perencanaan yang tepat adalah suatu rencana guna lahan yang dapat mengantisipasi perubahan yang sangat cepat (Akbar 2001). Tingkat pendapatan masyarakat sebagai faktor kunci berkaitan dengan keadaan bahwa tingkat pendapatan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam. Tingkat

26 pendapatan dapat berpenganruh positif dan negatif terhadap penataan ruang. Semakin tinggi tingkat pendapatan akan meningkatkan tingkat atau standar kehidupan yang membutuhkan sumberdaya dan energi serta lahan (Hall 2006). Persentase kepemilikan lahan antara kepemilikan pribadi atau swasta dengan negara merupakan faktor kunci yang ditetapkan berdasarkan analisis prospektif. Kepemilikan lahan pribadi atau swasta memberikan peluang yang lebih tinggi untuk terjadinya konversi penggunaan lahan. Kepemilikan lahan harus didefiniskan dengan jelas yang meliputi batasan, jumlah dan kualitas sumberdaya bersama publik, dan semi publik. Pendefinisian penting untuk pengendalian pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi sumberdaya (Nugroho dan Dahuri 2004). Kebijakan pemerintah makin kondusif berkaitan dengan kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang merupakan faktor kunci. Saat ini terdapat adanya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan tata ruang yaitu antara Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Alokasi dana pembangunan merupakan faktor kunci hasil analisis prospektif. Jumlah dana dialokasikan untuk pembangunan mempengaruhi pembangunan, yang berakibat pada penataan ruang. Alokasi dana pembangunan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penggunaan lahan (Lambin et al. 2003). Dari ketujuh faktor kunci tersebut, faktor yang tinggi pengaruhnya dan tetapi ketergantungannya relatif rendah adalah kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Keadaan kepadatan penduduk ada dua keadaan yaitu tetap dan makin tinggi atau makin padat. Keadaan tetap relatif lebih sulit untuk dicapai, jadi keadaan kepadatan yang makin tinggi akan terjadi. Sementara tingkat pendidikan terdapat tiga keadaan yaitu makin buruk, tetap dan makin baik. Jadi, tingkat pendidikan dapat dianggap faktor kunci yang paling penting. Hal ini sejalan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi peluang untuk terdapatnya jenis penggunaan lahan hutan, jenis penggunaan lahan lainnya dan kawasan terbangun. Selain itu, pada penilaian tingkat keberlanjutan tingkat

27 pendidikanpun memberikan kontribusi yang tinggi pada level keberlanjutan pembangunan wilayah. Bila skenario agak optimis ini terjadi pada 20 tahun mendatang dengan keadaan kepadatan penduduk makin tinggi, tingkat pendidikan makin baik, perencanaan wilayah makin aplikatif, tingkat pendapatan masyarakat makin besar, persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap, kebijakan makin kondusif, alokasi dana pembangunan makin besar; maka faktor yang harus didorong adalah tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dalam grafik hasil analisis prospektif (Gambar 28) berada pada tingkat ketergantungan dibawah satu, tetapi tingkat penaruhnya cukup tinggi yaitu diatas satu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perlu didorong. Dorongan terhadap faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi faktor lainnya. Secara umum tingkat pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian UNESCO-UIS/OECD (2005) yang melakukan analisis tren tingkat pendidikan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara yang diamati adalah Argentina, Brazil, Chile, China, Mesir, India, Indonesia, Jamaika, Jordania, Malaysia, Paraguay, Peru, Philippines, Federasi Rusia, Srilanka, Thailand, Tunisia, Uruguay dan Zimbabwe. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara WEI (World Education Indicator). Indikator tingkat pendidikan yang digunakan dalam WEI adalah harapan bersekolah, tingkat kelulusan dari SLTA, rasio murid dan guru SLTA, biaya per murid di SLTA, persentase murid pada SLTA swasta. Angka harapan bersekolah di Indonesia adalah 11.9 tahun, dan merupakan angka terendah bila dibandingkan dengan negara WEI lainnya, dengan rata-rata adalah 13.5 tahun untuk negara dengan PDB rendah dan 17.3 tahun untuk PDB tinggi. Tingkat kelulusan SLTA adalah 41% sementara negara dengan PDB rendah adalah 57.7% dan negara dengan PDB tinggi adalah 78%. Biaya untuk pendidikan tingka SLTA adalah PPP$ 379 merupakan sepertiga dari negara WEI lain dengan PDB rendah. Sementara itu sesuai dengan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG) yang terdiri dari delapan tujuan, yaitu (1) pengentasan kemiskinan dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3)

28 peningkatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) pengurangan kematian anak, (5) perbaikan kesehatan ibu, (6) perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan dan (8) pengembangan kerjasama global untuk pembangunan (United Nation 2006). MDG ini berasal dari deklarasi milenium PBB (United Nation Millenium Declaration) pada tahun 200 yang diadopsi oleh 189 negara. Target yang ditetapkan sebagain besar ingin dicapai pada tahun 2015 berdasarkan situasi global tahun 1990an. Indonesia sendiri telah menyusun MDG (Bappenas 2005), pada tujuan kedua, yaitu pencapaian pendidikan dasar, sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar (sembilan tahun), yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP/MTs sebesar 90 persen paling lambat pada tahun Di Kabupaten sendiri komponen pendidikan pada Indeks Pembangunan Manusia, yang diwakili oleh angka melek huruf dengan nilai 97.5% dan rata-rata lama sekolah 7.7 tahun (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Dari angka tersebut tampak bahwa kebijakan penetapan wajib belajar untuk pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai. Berdasarkan keadaan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut diatas, tingkat pendidikan perlu didorong untuk lebih baik sesuai dengan target tujuan MDG Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan langkah-langkah kebijakan meliputi: meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan (Bappenas 2006). Lima penyebab dari perubahan penggunaan diungkapkan oleh Lambin et al. (2003) yaitu kelangkaan sumberdaya; aspek ekonomi akibat pasar; adanya intervensi kebijakan; meningkatnya kerentanan karena berkurangnya kemampuan beradaptasi; perubahan organisasi sosial dan perilaku. Bila kelima alasan ini

29 dihubungkan dengan implikasi dari skenario agak optimis maka dua penyebab perubahan penggunaan lahan yaitu intervensi kebijakan dan perubahan organisasi sosial dan perilaku, akan memperoleh dampak positif dari skenario ini. Implikasi dari skenario optimis berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Seperti diungkapkan oleh Munasinghe (1993) pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan ekonomi yaitu adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Dengan keadaan peningkatan alokasi dana pembangunan, diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada aspek ekologi, skenario agak optimis berdampak positf dengan adanya perencanaan dan kebijakan yang transparan yang karena terjadinya peningkatan pendidikan Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Sesuai dengan Gambar 1 (Kerangka Pikir) pada Bab I, model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan ini mengandung tiga komponen utama yaitu model perubahan penggunaan lahan, komponen pembangunan wilayah berkelanjutan, komponen penataan ruang. Hasil ketiga komponen ini merupakan umpan balik untuk Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah atau akan disusun. Klasifikasi dari jenisjenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik (Eriyatno 1999). Model perubahan penggunaan lahan CLUE-S merupakan input dalam penataan ruang. Model dengan CLUE-S dapat memprediksikan perubahan penggunaan lahan sampai 20 tahun mendatang. Hasil prediksi berupa peta penggunaan lahan yang diperoleh dengan menetapkan skenario perubahan penggunaan lahan. Skenario yang terpilih adalah skenario keenam yaitu laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan ada larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Sebagaimana dijelaskan oleh Forrester (1995) yang menganalisis dinamika perkotaan atau wilayah, meskipun termasuk sistem dinamis masalah penataan

30 ruang termasuk sistem sosial. Model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan, menetapkan laju perubahan penggunaan lahan perlu diturunkan. Penurunan laju perubahan penggunaan lahan dapat diatur oleh regulasi. Faktor kunci dan penurunan laju perubahan penggunanaan lahan saling berpengaruh. Faktor perencanaan untuk menetapkan penurunan laju perubahan penggunaan lahan, bila ditetapkan dengan regulasi, dapat mencapai tujuan penataan ruang yang berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan (sustainability), dapat diperoleh oleh ekosistem dengan spatial policy (model perubahan penggunaan lahan) dengan melarang konversi lahan pada wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berkelanjutan mengandung aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah, atau menurut Munasinghe (1993) mengandung aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara menurut konsep dalam analisis keberlanjutan dengan Wellbeing Index (WI) terdapat dua kelompok saja yaitu manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001). Aspek manusia dalam konsep WI mengandung lima unsur yaitu kesehatan dan kependudukan; kemakmuran, pengetahuan dan kebudayaan, masyarakat, persamaan. Aspek ekosistem mengandung lima unsur yaitu lahan, air, udara, spesies dan diversias genetik, dan penggunaan sumberdaya. WI cukup memberikan informasi keberlanjutan pembangunan wilayah. Indikator dari keberlanjutan meliputi buruk (0-20), miskin (20-40), sedang (40-60), memadai (60-80), baik (80-100). Sementara kondisi keberlanjutan meliputi buruk (tidak berkelanjutan), miskin (hampir tidak berkelanjutan), sedang, hampir berkelanjutan dan berkelanjutan. Pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, informasi WI pada wilayah yang dikaji cukup memadai. Informasi nilai WI digunakan untuk menetapkan skenario dan strategi. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian

31 pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Hasil dari model perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S adalah peta penggunaan lahan masa mendatang berdasarkan skenario. Skenario yang sesuai dipilih untuk penyusunan perencanaan tata ruang. Skenario perubahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak disesuaikan. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor kunci hasil temuan analisis prospektif. Perencanaan yang disusun selain berdasarkan pada kebutuhan penduduk di masa datang (antroposentris) perlu didampingi oleh keterbatasan wilayah tersebut. Jadi hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai batas atau dari wilayah yang tidak dapat dikembangkan lagi. Aspek pemanfaatan ruang berdasar pada RTRW yang telah disusun dan pembiayaan yang diperlukan. Aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci yang diperoleh yaitu alokasi dana pembangunan. Berdasarkan skenario terpilih maka alokasi dana pembangunan diperkirakan akan meningkat. Karena itu, pembiayaan untuk pemanfaatan ruang diperkirakan meningkat. Bila pemanfaatan ruang telah merujuk pada perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sejalan dengan kegiatan pembangunan. Aspek pengendalian menjadi sangat penting dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Aspek pengawasan dan penertiban berdasar pada regulasi yang ada. Tahapan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten meliputi persiapan penyusunan; peninjauan kembali RTRW Kabupaten sebelumnya; pengumpulan data dan informasi; analisis; konsepsi atau perumusan konsep rencana; legalisasi rencana menjadi Peraturan Daerah. Pada tahap analisis, yang dilakukan meliputi analisis terhadap kondisi sekarang dan kecenderungan di masa depan dengan menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dalam proses pengumpulan data dan informasi. Dokumen RTRW berisi rencana yang berdasarkan pada sektor, program, sasaran, lokasi, instansi, sumber pembiayaan dan dimensi waktu (Kimpraswil 2002). Berdasarkan hal tersebut, model perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan CLUE-S

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bandung yang memiliki luas sekitar 307.370,08 hektar. Bagian utara dari Kabupaten Bandung berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun regional akibat adanya pembangunan ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Stockholm

Lebih terperinci

bidang REKAYASA PENDUDUK DALAM PEMODELAN SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANDUNG) LIA WARLINA

bidang REKAYASA PENDUDUK DALAM PEMODELAN SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANDUNG) LIA WARLINA bidang REKAYASA PENDUDUK DALAM PEMODELAN SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANDUNG) LIA WARLINA Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Komputer Indonesia Land use change

Lebih terperinci

Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001)

Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) LAMPIRAN Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) SOSIAL TEMA SUBTEMA INDIKATOR Persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan Kemiskinan Indeks gini dari ketidaksamaan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PEMODELAN PERUBAHAN GUNA LAHAN (KASUS KABUPATEN MAJALENGKA)

PEMODELAN PERUBAHAN GUNA LAHAN (KASUS KABUPATEN MAJALENGKA) T A T A L O K A 2011 Biro Penerbit Planologi UNDIP PEMODELAN PERUBAHAN GUNA LAHAN (KASUS KABUPATEN MAJALENGKA) Land Use Change Modeling (Case Study Of Kabupaten Majalengka) Lia Warlina Jurusan Perencanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Temuan lembaga riset "The Indonesian Institute" tahun 2014 mencatat, ada tiga hal besar yang masih menjadi persoalan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Pertama,

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan masalah rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng wiwifadly@gmail.com ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah enganalisis dan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar Bupati Murung Raya Kata Pengantar Perkembangan daerah yang begitu cepat yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan pambangunan daerah dan perkembangan wilayah serta dinamisasi masyarakat, senantiasa

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian visi dan misi walikota dan wakil walikota pada akhir periode masa jabatan, maka ditetapkanlah beberapa indikator

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 06 Kabupaten Tahun Anggaran : 06 : Hulu Sungai Selatan TUJUAN SASARAN INDIKATOR SASARAN 4 Mewujudkan nilai- nilai agamis sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Pembangunan daerah agar dapat berhasil sesuai dengan tujuannya harus tanggap terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat. Kondisi tersebut menyangkut beberapa masalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan pembagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem

Lebih terperinci

PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH PROVINSI LAMPUNG 2015 2019 PROVINSI LAMPUNG 2015 2019 BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI

BAB II DESKRIPSI ORGANISASI BAB II DESKRIPSI ORGANISASI 2.1. Sejarah Organisasi Kota Serang terbentuk dan menjadi salah satu Kota di Propinsi Banten berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2007 yang diundangkan pada tanggal 10 bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain:

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program dan Kegiatan dalam dokumen Memorandum Program Sanitasi ini merupakan hasil konsolidasi dan integrasi dari berbagai dokumen perencanaan terkait pengembangan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Jabatan : H.

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH A. VISI DAN MISI Kebijakan Pemerintahan Daerah telah termuat dalam Peraturan Daerah Nomor 015 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan tempat dimana proses pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Pada proses

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen... I-7 1.4.

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN Kebijakan Pendidikan Working Paper: Investing in Indonesia s Education: Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures, World Bank

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PROVINSI JAMBI :

PENDIDIKAN PROVINSI JAMBI : PENDIDIKAN PROVINSI JAMBI : Amanat undang-undang dasar 1945 1. Pembukaan Alinea IV: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Tahun Penduduk menurut Kecamatan dan Agama Kabupaten Jeneponto

Tahun Penduduk menurut Kecamatan dan Agama Kabupaten Jeneponto DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Luas Wilayah menurut Kecamatan di Kabupaten Jeneponto... II-2 Tabel 2.2 Jenis Kebencanaan dan Sebarannya... II-7 Tabel 2.3 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Jeneponto Tahun 2008-2012...

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mewujudkan ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mewujudkan ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja, 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat besar dalam perekonomian nasional. Sektor ini mendorong pencapaian tujuan pembangunan perekonomian nasional secara langsung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan

Lebih terperinci