DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SAMIN BOTANRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SAMIN BOTANRI"

Transkripsi

1 DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SAMIN BOTANRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku adalah merupakan disertasi hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain yang digunakan dalam penulisan disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Desember 2010 Samin Botanri NRP. G

3 ABSTRACT SAMIN BOTANRI. Spatial Distribution, Autecology, and Biodiversity of Sagoo (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, and LILIK BUDI PRASETYO. Sago palm (Metroxylon spp.) is a tropical plant. Its area distribution in Indonesia is the largest in the world, covering % of world s Sago area. It is multifunction plant, however, it is still under utilized. Ecologicaly, sago palm well adapted on fresh water or peat swamp, riverine zone, surrounding water or swamp forests. Unfortunately, there is no any valid information on its area distribution. Moreover, regarding species diversity of Sago is also unclear. Based on the above facts, it is an urgent need to know its ecological aspect, spatial distribution and species diversity. The research was conducted in March to November 2009 at the Seram Island, Maluku. Spatial distribution was developed by Supervised classification of Landsat TM coupled with ground survey to collect Ground Control Points (GCPs) for accuracy assessment. Further field survey was done to collect autecological data. Isozyme analysis was also conducted to identify species diversity. Output supervised classification of Landsat-5TM image in 2007, showed that potential area of sago palm at the Seram Island was ,8 ha. Characteristic of the habitat was distributed in the lowland (elevation less than 250 m asl), flat area, around river, near from beach, and on alluvium soil (sediment). Population structure of sago palm in the nature community follows young growth pattern, in wich rate seedling mortality was about 76,82 %. Regarding the species, M. rumphii Mart. species is the most dominant vegetation which cover 43,3 % of habitat. As adaptation strategy in swampy condition, sago palm form roots which was vertically directed to reach water surface. In sago palm community there was negative interspecific association indicated by Jaccard index less than 0,2. Abiotic component significant effected growth and sago fluor production. The variable that most have significantly effect to growth and sago flour production were micro temperature, micro relative humidity, bulk density, soil acidity, and salinity. The potential clump population at the Seram Island was about 3,2 million clump or approximately of about 1,5 million trunk of trees. M. rumphii Mart. and M. sylvestre Mart. species were the most potential with production capacity of about 566,04 kg starch/trunk and 560,68 kg starch/trunk, respectively. Genetic analysis by isozyme proved that initially known five species of Sago in the Seram Island was actualy only two species, namely Metroxylon rumphii Mart. (concist of M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart, and M. microcanthum Mart.), and Metroxylon sagu Rottb. Keywords : spatial distibution, habitat type, abiotic component, Metroxylon spp., and Seram Island.

4 RINGKASAN SAMIN BOTANRI. Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, dan LILIK BUDI PRASETYO. Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan palem wilayah tropika basah. Luas potensinya di Indonesia adalah yang terbesar di dunia sekitar 50-60%, memiliki multifungsi bagi masyarakat tetapi pemanfatannya masih kurang. Secara ekologi tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Kisaran habitat tumbuhnya cukup lebar, mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, di dataran rendah, dan pesisir pantai. Pada habitat beragam itu tumbuh berbagai spesies sagu. Di Maluku terdapat lima spesies, yaitu : Metroxylon rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart., dan M. sagu Rottb. Data potensi komoditas ini di berbagai daerah sangat variatif, antara sumber satu dengan yang lain. Berapa besar potensi sagu di P. Seram tidak diketahui secara pasti, kemudian studi mengenai ekologi sagu selama ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk memahami preferensi ekologi dan mengetahui luas potensi sebarannya. Disisi lain masih terdapat perbedaan persepsi mengenai jumlah spesies sagu, sehingga perlu dilakukan klarifikasi. Hasil klasifikasi terbimbing data citra Landsat-5TM tahun 2007 menunjukkan bahwa potensi luas areal sagu di P. Seram Maluku sebesar ,8 ha. Potensi tersebut tersebar di dataran rendah ketinggian 250 m dpl, kemiringan lereng datar-curam, dekat pinggir kiri-kanan sungai, dekat pesisir pantai sering berbatasan dengan nipah, pada tanah-tanah aluvium (Entisols dan Inceptisols). Secara umum struktur populasi sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti pola pertumbuhan muda yaitu populasi dengan jumlah individu paling banyak pada fase semai, berkurang secara drastis pada fase berikutnya. Jumlah individu fase semai yang berhasil tumbuh ke fase berikutnya hanya 23,18 %, atau mengalami kematian sekitar 76,82 %. Tinginya tingkat kematian dapat disebabkan karena : 1) sifat pertumbuhan anakan sagu, 2) terjadi persainggan di antara masing-masing individu dalam rumpunnya, 3) rentan terhadap ph rendah, dan 4) mengalami toxic karena konsentrasi Fe dan Al sangat tinggi. Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa spesies sagu menguasai sebagian besar areal lahan habitat dalam komunitas alaminya. Dengan bertambahnya fase pertumbuhan, dominasi spesies sagu ikut meningkat. Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada tipe vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Berdasarkan jumlah individu masing-masing spesies sagu, ditemukan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak (99,93 ind/ha) dan INP paling tinggi (129,35 %). Data ini memberikan petunjuk bahwa M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki kerapatan, dominasi, dan frekwensi yang melampaui spesies lain. Secara ekologi merupakan spesies dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %. Tipe habitat sagu yang ditemukan di P. Seram terdiri atas dua kategori yaitu 1) tipe habitat lahan kering, dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa

5 rawa-rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat yang kedua dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi tiga tipe yaitu : 1) habitat tergenang air payau yaitu habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan dengan vegetasi nipah (mangrove), 2) habitat tergenang temporer oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan, dan 3) habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat yang mengalami genangan pada periode waktu relatif lama, biasanya lebih dari satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram, tidak semuanya dapat tumbuh pada setiap habitat. Spesies sagu yang dapat tumbuh dan berkembang pada semua tipe habitat adalah M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., dan M. sylvestre Mart. Dua spesies sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. tumbuh pada habitat terbatas. M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M. sagu Rottb. ditemukan tumbuh di dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Dari tiga spesies sagu yang disebutkan pada bagian awal, M. rumphii Mart. memiliki kemampuan berinteraksi yang sangat kuat. Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasinya, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. memiliki kemampuan adaptasi yang luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga spesies sagu yang lain daya adaptasinya sedang (meso tolerance). Tiga dari empat tipe habitat sagu termasuk kategori tergenang. Habitat tergenang identik dengan kondisi tereduksi, artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen. Pada sisi lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk respirasi. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, sistem perakaran sagu mengalami modifikasi arah pergerakan. Biasanya muncul akar berukuran kecil dalam jumlah banyak dengan arah gerakan menuju permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas (oxytropisme). Hasil analisis Varians Ratio (VR) menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan) terjadi asosiasi spesies dalam komunitas sagu dengan nilai VR sebesar 0,83. Nilai VR < 1 mengandung makna bahwa asosiasi antara spesies bersifat negatif. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan menunjukkan bahwa terdapat asosiasi interspesifik dengan nilai chi-square berkisar antara 4,35 21,03, dan indeks Jaccard rataan 0,14. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain. Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh komponen abiotis yang terdiri dari faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu menunjukkan bahwa variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu, baik bersifat positif atau negatif. Hal ini memberi petunjuk bahwa terdapat sifat-sifat iklim, tanah, dan air yang memberikan pengaruh menguntungkan, sebaliknya ada pula yang bersifat menghambat. Pengaruh suatu parameter yang bersifat menguntungkan (positif) bagi pertumbuhan, tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif bagi produksi,

6 demikian pula sebaliknya. Komponen abiotis yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah faktor kualitas air rawa (10,0 %). Sedangkan faktor tanah merupakan komponen abiotis yang paling bepengaruh terhadap produksi pati sagu, sebesar 60,9 %. Parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing adalah temperatur mikro dan kelembaban mikro. Parameter tanah yang paling berpengruh adalah bulk density dan kemasaman tanah (ph KCl). Dilain fihak salinitas merupakan parameter kualitas air rawa yang paling berpengaruh, baik terhadap pertumbuhan maupun produksi pati sagu. Di P. Seram Maluku terdapat potensi rumpun sagu sebanyak 3,22 juta rumpun sagu dengan jumlah fase pohon sebanyak 1,47 juta batang. Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu diperoleh bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki potensi produksi paling tinggi. Potensi produksi pati sagu M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 566,04 kg/batang dan M. sylvestre Mart. 560,68 kg/batang. Sedangkan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb. rata-rata hanya mencapai 245,21 dan 237,22 kg/batang. Hasil analisis isozim menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram Maluku mengelompok membentuk dua pola pita enzim (zimogram). Kelompok pertama M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. microcanthum Mart., menyatu kedalam spesies M. rumphii Mart., sedangkan kelompok kedua spesies M. sagu Rottb. Kata kunci : distribusi spasial, tipe habitat, komponen abiotik, Metroxylon spp., dan P. Seram.

7 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SAMIN BOTANRI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Disertasi : Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku N a m a N R P Program Studi : : : Ir. Samin Botanri, MP. G Biologi Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 22 Desember 2010 Tanggal Lulus :

10

11 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dra. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc. 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Achmad M. Satari, M.Sc. 2. Prof. (Riset) Dr. Ir. Nadirman Haska, M.Sc.

12 PRAKATA Dengan rahmat Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa, penyusunan disertasi dengan judul Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku, dapat penulis selesaikan sebagaimana mestinya. Dengan rampungnya disertasi ini, penulis berkenan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungannya, baik moril maupun materil, masing-masing kepada : 1. Ayahanda (almarhum) dan Ibunda yang telah membesarkan dan menyekolahkan penulis sejak Pendidikan Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. 2. Istri dan anak-anak saya dengan kesabaran yang tulus dan ikhlas, senantiasa ditinggal untuk keperluan studi pendidikan doktor di IPB Bogor. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M,Sc., Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan dorongan sejak penyusunan proposal penelitian tahun 2007 sampai penyusunan disertasi ini. 4. Rektor Univ. Darussalam Ambon (Prof. Ismael Tahir) dan Koordinator KOPERTIS Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi ke IPB. 5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI atas bantuan beasiswa BPPS kepada penulis selama 3 tahun. 6. Pimpinan IPB dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah bersedia menerima penulis studi S3 di IPB, dan dukungan hibah penelitian doktor pada tahun Pimpinan Fakultas dan Ketua Program Studi Biologi FMIPA IPB (Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA), seluruh staf administrasi dalam lingkup IPB yang telah memberikan pelayanan yang baik untuk kelancaran administrasi studi penulis di IPB. 8. Bapak-Ibu mertua yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan studi penulis; Kakak-adik & kakak-adik ipar yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. 9. Para sahabat, kerabat, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis sejak awal sampai akhir studi pendidikan doktor di IPB. Dalam melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini, seandainya terdapat kepribadian/sikap, tutur kata, maupun perbuatan penulis, kurang atau tidak berkenan, dari lubuk hati yang sangat dalam, penulis berkenan memohon maaf yang sebesar-besarnya. Segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak, kiranya tercatat sebagai ibadah dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat manusia. Insya Allah, Amin. Bogor, Desember 2010 Samin Botanri

13 ii

14 RIWAYAT HIDUP SAMIN BOTANRI, lahir di Kalauly-Ambon pada tanggal 7 September 1962 sebagai anak keempat dari 7 bersaudara, dari orang tua, ayah La Tara Botanri (almarhum) dan ibu Wa Amun. Menikah pada tahun 1988 dengan Marwan Yani Kamsurya, SP. MP. dan dikaruniai 4 orang anak yaitu : Tina Amnah Ningsih B (21 tahun), Adnan Affan Akbar B. (19 tahun), Affif Rizqy B (12 tahun) dan Harry Algifary Alfayed B (Adith 6 tahun). Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama diselesaikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sekolah Lanjutan Atas diselesaikan di SMA Negeri 3 Kota Ambon tahun Sejak kecil berdomisili di Ambon, antara tahun berdomisili di Malang Jawa Timur. Kemudian tahun 2003 sampai sekarang berdomisili kembali di Ambon. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus tahun Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Tanah & Air Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan menamatkan pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi Biologi Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis pertama kali bekerja pada proyek penelitian tanaman umbian, kerjasama Universitas Pattimura dengan USAID-FAO selama 3 tahun, antara tahun Selain itu bertugas sebagai asisten dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Pada tahun 1989 diangkat menjadi pegawai negeri sipil sebagai dosen Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang/Makassar, dipekerjakan pada Universitas Darussalam Ambon. Pada tahun 1991 terjadi pemekaran Kopertis, dan sejak tahun 1994 penulis dialihkan ke Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, dipekerjakan pada Perguruan Tinggi yang sama. Jabatan dosen lektor kepala diperoleh pada tahun 2003 dalam bidang ilmu tanaman. Selama mengikuti pendidikan doktor, aktif mengikuti seminar nasional maupun internasional, antara lain : 1) Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas tambang berazazkan kelestarian lingkungan (soil and mining), tahun 2008, 2) Sinkroninsasi kebijakan pembukaan lahan sawit terhadap pelestarian satwaliar di Indonesia, tahun 2008, 3) Seminar pertanian nasional, tahun 2008, 4) Seminar nasional soil and palm oil, tahun 2009, 5) Menuju sinergitas stakeholders pertanian Indonesia dalam era ACFTA, tahun 2010, 6) International seminar on sago and spices for food security, tahun 2010.

15 Disertasi ini penulis persembahkan kepada : Istri : Marwan Yani Kamsurya, SP. M.P. dan anak-anak saya : Tina Amnah Ningsih B, Adnan Affan Akbar B, Affif Rizqy B, dan Harry Algifary Alfayed B (Adith) atas doa, dedikasi, dan kesabaran yang tulus & ikhlas kepada penulis dalam menempuh pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor

16 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PERSAMAAN DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Manfaat penelitian Kerangka pemikiran Hipotesis Kebaruan (Novelty)..... II. TINJAUAN PUSTAKA Autekologi Biodiversitas tumbuhan sagu Ciri-ciri morfologi tumbuhan sagu Habitat dan ekologi tumbuhan sagu Intraspesifik dan asosiasi tumbuhan sagu Potensi areal tumbuhan sagu Pemanfaatan tumbuhan sagu Distribusi spasial... III. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan peralatan Jenis data Metode Penelitian tahap I : Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Penggabungan citra Pemotongan citra Klasifikasi penutupan lahan Evaluasi akurasi Pengecekan lapangan Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Metode pengamatn vegetasi Pengamatan tumbuhan sagu Pengamatan faktor lingkungan Analisis data.... xiii xv xvii xix

17 Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Biodiversitas komunitas Biodiversitas spesies Biodiversitas genetik... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai elevasi Distribusi sagu pada berbagai kemiringan Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai 4.2. Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Struktur populasi Kelimpahan Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan rumpun Sifat morfologi sagu Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu Mekanisme adaptasi sagu Karakteristik habitat sagu di P. Seram Interaksi dengan komponen biotis Interaksi dengan komponen abiotis Potensi populasi dan produksi pati sagu di P. Seram, Maluku 4.3. Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Biodiversitas tingkat komunitas Biodiversitas tingkat spesies Biodiversitas tingkat genetik.... V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

18 DAFTAR TABEL Halaman 1 Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu Perkiraan potensi sagu dunia Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia dari berbagai sumber Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia Matrix kontingensi untuk evaluasi akurasi 34 6 Fase pertumbuhan sagu Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku Distribuusi sagu pada berbagai jarak dari sungai Kelimpahan Metroxylon spp di P. Seram, Maluku Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram, Maluku Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku xiii

19 19 Kelembaban relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Sifat air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama komunitas sagu P. Seram, Maluku Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim Eigenvector komponen utama variabel iklim Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah Eigenvector komponen utama variabel tanah Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Eigenvalues matriks korelasi faktor kualitas air rawa Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P. Seram Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli xiv

20 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sketsa kerangka pemikiran Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku Bagan alur penelitian distribusi spasial Prosedur penelitan autekologi Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu, (b) II Sawai, dan (c) III Werinama Penempatan unit contoh Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku Distribusi sagu pada jarak dari sungai di P. Seram, Maluku Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku Anakan sagu tuni yang tumbuh menggantung Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome Pertumbuhan anakan sagu melalui biji Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk. 83 xv

21 22 Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen (Levitt 1980) Diagram ringkasan adaptasi jenis sagu pada berbagai tipe habitat Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku Ulat sagu, biasanya ditemukan pada bagian empulur yang tidak diolah Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b) Asam Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER) Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) 144 xvi

22 DAFTAR PERSAMAAN Halaman 1 Producer s Accuracy User s Accuracy Overall Accuracy Rumus menghitung luas tutupan tajuk Rumus menghitung temperatur mikro harian Rumus menghitung kelembaban udara relatif harian Rumus menghitung kerapatan mutlak Rumus menghitung kerapatan relatif Rumus menghitung frekwensi mutlak Rumus menghitung frekwensi relatif Rumus menghitung dominasi mutlak Rumus menghitung dominasi relatif Rumus menghitung Indeks Nilai Penting (INP) Rumus menghitung Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) Rumus menghitung varians sampel total Pendugaan varians jumlah spesies total Rumus menghitung Variance Ratio Rumus menghitung Chi-square Rumus menghitung Indeks Jaccard (JI) Model Regresi Komponen Utama Transformasi variabel bebas menjadi variabel baku Z Persamaan regresi xvii

23 23 Rumus menghitung Indeks Similaritas (IS) Rumus menghitung Indeks Keanekaragaman Spesies (Shannon- Wiener H ) Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor iklim di P. Seram, Maluku Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim terhadap pertumbuhan sagu Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim terhadap produksi pati sagu Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor tanah di P. Seram, Maluku Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah terhadap pertumbuhan sagu Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah terhadap produksi pati sagu Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa di P. Seram, Maluku Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap pertumbuhan sagu Persamaan Regresi Komponen Uama pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap prooduksi pati xviii

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku Populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram, Maluku Tipe habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Intensitas sinaran surya rataan harian di bawah tegakan tanaman sagu di P. Seram, Maluku (lux = lumen/m2) Temperatur rataan harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Kairatu Kab. SBB dan Amahai Kab. MT P. Seram, Maluku Kelembaban udara relatif rataan harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku (%) Sifat kimia tanah dalam habitat tumbuhan sagu di P. seram, Maluku Sifat fisika tanah dalam habitat sagu di P. seram, Maluku Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram, Maluku Hasil uji Chi-Square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama vegetasi (INP 10 %) xix

25 18 Analisis Komponen Utama faktor iklim Analisis Komponen Utama faktor tanah Analisis Komponen Utama faktor kualitas air rawa 190 xx

26 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG), Malaysia dan Thailand. Flach (1983) dan Budianto (2003) menyebutkan bahwa luas areal hutan sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, yang tersebar di Indonesia lebih kurang 1,1 juta hektar atau sekitar 51,3 %, bahkan Suryana (2007) memperkirakan luasan yang lebih besar sekitar 60 % dari luas areal sagu dunia. Kebanyakan potensi luasan tumbuhan sagu nasional terdapat di wilayah Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku mencapai 96 %, sisanya tersebar di daerah lain seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Walaupun potensi sagu nasional sangat besar, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal ini ditandai dengan banyak tumbuhan sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah, diperkirakan hanya sekitar %. Sagu (Metroxylon spp.) sebagai salah satu tumbuhan palem yang tumbuh di daerah tropik basah, memiliki multifungsi dalam kehidupan masyarakat. Bagian empulur dari batang sagu dapat menghasilkan atau diambil pati sebagai bahan pangan utama bagi sebagian masyarakat Papua dan Maluku serta beberapa daerah lain di Indonesia Bagian Timur. Pemanfaatan tepung sagu atau aci sagu sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah terutama di pedesaan Papua dan Maluku telah berlangsung lama. Namun sekitar tahun terakhir terjadi perubahan pola konsumsi yang beralih ke beras. Perubahan ini berimplikasi pada pemanfaatan tepung sagu sebagai bahan pangan yang semakin berkurang bahkan terabaikan, pada sisi lain kebutuhan bahan pangan beras cenderung meningkat. Peran pati sagu tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku berbagai jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang sebagai salah satu sumber bahan baku bio-etanol. Di PNG, telah dilakukan serangkaian penelitian tentang studi kelayakan produksi bioetanol dari pati sagu. Hasil studi menunjukkan bahwa

27 2 produksi bioetanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari pengolahan satu kilogram pati kering menghasilkan bioetanol sebanyak 0,56 liter (Flach 1983). Ampas sagu kering yang merupakan limbah dalam proses ekstraksi pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik (Bintoro 2000). Dalam penanganan tumbuhan sagu dijumpai data luas areal dan potensi produksi yang sangat beragam antar penulis dan lembaga yang terkait dengan komoditas tersebut (Suryana 2007). Sebagai contoh di Maluku berdasarkan laporan Darmoyuwono (1984) dan Universitas Pattimura (1992 dalam Mulyanto dan Suwardi 2000) disebutkan bahwa luas areal tumbuhan sagu di Maluku masing-masing sekitar dan hektar. Sedangkan menurut Louhenapessy (1993) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar hektar. Luas potensi sagu yang variatif ini dapat dikarenakan metode penetapan yang berbeda, populasi sagu yang sifatnya dinamis sehingga secara temporal bisa bertambah atau sebaliknya mengalami pengurangan karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung seperti kekeringan atau terjadi kebakaran lahan karena fenomena alam atau sengaja dibakar. Selain itu dapat dikarenakan adanya aktifitas masyarakat yang melakukan pengembangan sagu melalui kegiatan penanaman atau bahkan sebaliknya melakukan perubahan peruntukkan penggunaan lahan menjadi non-sagu. Data potensi yang tersebar di Maluku, belum ditunjukkan secara pasti sebarannya pada setiap wilayah, padahal dapat dilakukan dengan menggunakan data citra satelit. Disisi lain penentuan distribusi spasial luas areal tumbuhan sagu dengan menggunakan citra satelit masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mendapatkan data distribusi sagu yang akurat perlu dilakukan dengan memanfaatkan data citra satelit sehingga dapat dipetakan penyebaran spasialnya. Salah satu citra satelit yang tersedia dan memiliki resolusi cukup tinggi adalah citra Landsat-5 TM multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m. Dengan menggunakan citra satelit ini dapat dilakukan pemetaan distribusi spasial tumbuhan sagu. Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air,

28 3 atau hutan-hutan rawa. Suryana (2007) menyebutkan bahwa tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah rawa-rawa dan lahan marginal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman konservasi. Tumbuhan sagu yang tumbuh disekitar mata air dapat berperan dalam melindungi dan melestarikan kelangsungan sumber mata air. Tumbuhan sagu memiliki kisaran kondisi pertumbuhan yang relatif luas, mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, yang penting kandungan lengas tanah terjamin cukup tinggi (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Pada kondisi habitat tersebut tumbuh dan berkembang berbagai jenis sagu. Louhenapessy (2006) mengemukakan bahwa di kepulauan Provinsi Maluku terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart. (sagu tuni), 2) M. sagu Rottb. (molat), 3) M. sylvestre Mart. (ihur), 4) M. longispinum Mart. (makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (duri rotan). Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat keanekaragaman (biodiversitas) spesies sagu di Provinsi Maluku yang berinteraksi dengan kondisi habitatnya Perumusan masalah Kisaran habitat tumbuh sagu cukup lebar, mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, dari dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran tinggi. Pada kisaran tersebut tumbuh berbagai spesies sagu. Secara umum semua spesies memiliki kesamaan habitat tumbuh, tetapi dapat pula setiap spesies, menghendaki habitat yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk memahami autekologi tumbuhan sagu yang menyangkut pola interaksi antara tumbuhan sagu dengan parameter kualitas lingkungan, penilaian kondisi populasi yang meliputi struktur populasi, kerapatan, coverage, asosiasi, pertumbuhan dan perkembangbiakan, penentuan preferensi ekologi seperti karakteristik habitat, tipe habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, dan mekanisme adaptasi sagu. Selain itu yang penting untuk dipelajari juga adalah pengaruh kualitas tanah, air, dan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi sagu sebagai wujud interaksi tumbuhan sagu dengan parameter lingkungannya.

29 4 Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, iklim mikro, dan spesies vegetasi dalam habitat itu. Ciri spesies dan genetik masing-masing tumbuhan sagu ditunjukkan oleh sifat genetik setiap spesies. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis genetik untuk dapat membedakan secara tegas biodiversitas pada tingkat spesies dan genetik terhadap tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. Dalam kaitan tersebut, maka permasalahan yang menjadi kajian penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola distribusi spasial tumbuhan sagu dalam wilayah P. Seram, Maluku? 2. Bagaimana sifat populasi berbagai spesies sagu di P. Seram? 3. Bagaimana karakteristik habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku? 4. Apakah semua spesies sagu dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe habitat, ataukah setiap spesies lebih mendominasi tipe habitat tertentu? 5. Bagaimana interaksi antara tumbuhan sagu dengan tipe habitatnya, dan bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan dan produksinya? 1.3. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan analisis untuk mengetahui penyebaran spasial tumbuhan sagu dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. 2. Mengungkapkan struktur populasi, melakukan analisis vegetasi, dan asosiasi spesies dalam komunitas sagu alami di P. Seram. 3. Mengungkapkan karakteristik habitat, serta adaptasi tumbuhan sagu pada berbagai kondisi habitat. 4. Melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi faktor lingkungan dengan pertumbuhan dan produksi pati sagu. 5. Melakukan klarifikasi spesies sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram, Maluku.

30 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu peta penyebaran spasial dan luas potensi areal sagu di P. Seram sehingga dapat dijadikan sebagai informasi penting dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan sagu dimasa yang akan datang. Dalam kaitan dengan eksploitasi dan pengembangan sagu, selain dapat memanfaatkan potensi sagu yang tumbuh secara alami, maka informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam usaha pengembangan sagu melalui kegiatan budidaya. Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara tegas terhadap konsistensi biodiversitas spesies sagu Kerangka pemikiran Dalam beberapa tahun terakhir, kajian tentang tumbuhan sagu cukup banyak dilakukan. Kebanyakan kajian yang dilakukan berkaitan dengan aspek budidaya (Jong 2005, Novarianto 2003, Bintoro 2008, dan Rostiwati et al. 2008), identifikasi jenis berdasarkan penampakan fenotipe (Miftahorrachman dan Novarianto 2003, Barahima 2005), dan fungsi atau pemanfaatan pati untuk berbagai keperluan (Gumbira Sa id 1993, Barlina dan Karouw 2003, Ishizaki 2007). Kajian mengenai aspek ekologi sagu masih sangat terbatas. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) melakukan kajian tentang persyaratan lahan bagi tumbuhan sagu. Dalam uraiannya substansi ekologi tumbuhan sagu belum tersentuh secara menyeluruh. Pada sisi lain hasil penelitian tentang distribusi spasial tumbuhan sagu belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dalam kaitan itu, maka dapat dilakukan koreksi data spasial sagu menggunakan teknologi yang lebih maju dan memiliki akurasi tinggi yakni dengan memanfaatkan data citra satelit melalui Sistem Informasi Geografis (GIS). Melalui proses analisis dapat menghasilkan informasi baru berupa data spasial dalam bentuk patch (cluster) tumbuhan sagu. Secara umum sagu tumbuh pada habitat yang berair atau tergenang air, pada pinggir-pinggir sungai, sekitar sumber-sumber air, tetapi dapat pula setiap spesies lebih menyukai kondisi habitat tertentu, dapat berupa lahan kering, lahan

31 6 tergenang secara temporer, atau tergenang permanen. Louhenapessy (1993) telah melakukan studi tentang potensi produksi tumbuhan sagu pada berbagai jenis tanah. Kajian ini masih bersifat makro, artinya setiap spesies sagu dipersepsikan tumbuh pada berbagai tipe habitat, padahal perbedaan spesies senantiasa menghendaki kondisi habitat tumbuh yang lebih spesifik. Dalam kaitan itu, maka perlu dilakukan suatu studi autekologi, sehingga dapat diungkapkan secara spesifik preferensi ekologi masing-masing spesies sagu seperti karakterisitk habitat, struktur populasi, kepadatan, coverage, pertumbuhan, perkembangbiakan, mekanisme adaptasi, dan sifat-sifat lahan seperti tanah, air, dan iklim mikro. Dalam melakukan kajian tentang habitat tumbuhan sagu, maka diperlukan informasi tentang berbagai parameter lingkungan. Parameter lingkungan yang dimaksud meliputi faktor iklim, tanah, air, dan vegetasi lain yang tumbuh dalam komunitas sagu. Faktor iklim yang berperanan dalam pertumbuhan dan perkembangan sagu berupa curah hujan, temperatur, kelembaban, dan sinaran surya. Faktor tanah meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi, sedangkan faktor air yaitu berupa ph, salinitas, unsur hara terlarut, dan sebagainya. Secara alami tumbuhan sagu dalam habitatnya, tumbuh bersama-sama atau berasosiasi dengan jenis vegetasi yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari interaksi antara berbagai faktor pertumbuhan dengan tumbuhan sagu itu sendiri Beberapa ahli, antara lain Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), dan Rostiwati et al. (2008) menyebutkan bahwa di Provinsi Maluku tumbuh dan berkembang lima spesies sagu. Sedangkan berdasarkan klasifikasi sagu yang dilakukan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) di Maluku hanya terdapat dua spesies. Oleh karena itu diperlukan suatu studi agar dapat dilakukan klarifikasi mengenai jumlah spesies sagu. Sketsa kerangka pemikiran penelitian tersaji dalam Gambar Hipotesis Dalam penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut : 1. Penyebaran spasial tumbuhan sagu di P. Seram berupa klaster-klaster sagu, banyak terdapat pada lahan datar di dataran rendah yang tergenang secara temporer atau permanen.

32 7 2. Terdapat asosiasi di antara spesies vegetasi dalam komunitas sagu alami di P. Seram. 3. Setiap spesies sagu memiliki daya adaptasi yang berbeda pada setiap tipe habitat. 4. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sagu di dalam habitatnya terdapat interaksi antara sagu dengan parameter lingkungan. Studi Distribusi Spasial Data citra Landsat-5TM Peta distribusi sagu Studi Autekologi Sagu Habitat Struktur populasi Tipe Adaptasi Pembentukan rumpun TTG T2AT T2AP TPN Spesies Vegetasi Karakteristik Kelimpahan Asosiasi Iklim Tanah Air Genetik Studi Biodiversitas Komunitas Spesies Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air payau; TPN = tergenang permanen Gambar 1. Sketsa kerangka pemikiran

33 Kebaruan (Novelty) Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa aspek sebagai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini yaitu : 1. Membuat peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram Maluku, menggunakan citra Landsat-5TM. 2. Mengungkapkan pola pertumbuhan sagu dalam komunitas sagu alami yang mengikuti pola pertumbuhan muda. 3. Mengungkapkan mekanisme adaptasi sagu pada kondisi tergenang (tereduksi) melalui perubahan arah pertumbuhan akar sebagai gerakan dalam mencari oksigen (oxytropisme). 4. Mengungkapkan mekanisme pembentukan rumpun sagu dalam komunitas sagu alami. 5. Ditemukan terdapat spesies sagu yang memiliki daya adaptasi luas (eury tolerance), sedang (meso tolerance), dan sempit (steno tolerance). 6. Menggunakan metode analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor abiotis terhadap populasi rumpun dan produksi pati sagu. 7. Melakukan klarifikasi jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku, menjadi dua spesies yaitu Metroxylon rumphii Mart. dan M. sagu Rottb.

34 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autekologi Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan dimana spesies atau individu itu hidup (Odum 1994). Autekologi mempelajari tentang sifat dan kelakuan spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka. Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi, perbedaan populasi, dan lain-lain. Kajian autekologi penting untuk menjelaskan struktur dan dinamika suatu komunitas. Kajian autekologi merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga pemahaman terhadap spesies pada suatu komunitas adalah penting, dikarenakan pengetahun tersebut digunakan sebagai dasar untuk memahami masalah vegetasi secara keseluruhan. Berbagai aspek kajian dalam autekologi pada individu setiap spesies menyangkut identifikasi tumbuhan, asosiasi spesies tumbuhan, distribusi dan manfaat tumbuhan, morfologi tumbuhan, sitogenetik spesies tumbuhan, fisiologi tumbuhan dan kompleksitas lingkungan. Selain itu autekologi juga mengkaji aspek fenologi seperti perkecambahan, gugurnya daun, produksi buah, produksi biji, pembungaan, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan perbedaan musim selama setahun, maka aspek biotik dan abiotik merupakan parameter yang harus dikuantifikasi pada fase pertumbuhan yang berbeda dengan interval waktu yang teratur. Kompleksitas faktor lingkungan menyebabkan terjadinya variasi pengaruh terhadap setiap fase dalam siklus hidup tumbuhan. Dalam kajian lebih lanjut dijelaskan korelasi fenologi dengan variasi perubahan lingkungan. Parameter yang dipelajari antara lain meliputi pembungaan, penyerbukan, pembuahan, produksi biji, viabilitas biji, dormansi, kapasitas reproduktif, pertumbuhan anakan, dan pertumbuhan vegetatif (Shukla and Chandel 1982 dalam Djufri 2006). Uraian lebih lanjut tentang autekologi oleh Barbour et al. (1987) dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi tumbuhan dalam kaitannya dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies

35 10 atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Dikemukakan lebih lanjut bahwa sub bagian autekologi meliputi demokologi (spesiasi), ekologi populasi dan demografi (ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisiologi) dan genekologi (genetika). Para ahli autekologi telah mencoba menjelaskan terjadinya distribusi spesies tertentu, sifat fenologis, fisiologis, morfologis, perilaku, dan sifat genetik yang tampak pada habitat tertentu. Autekologiawan telah berusaha untuk menjelaskan pengaruh lingkungan pada level populasi, organismik, suborganismik, dan kemudian menyusun suatu ringkasan sebagai pola adaptasi spesies agar tetap hidup (survive) dalam habitatnya Biodiversitas tumbuhan sagu Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan semua kehidupan di atas bumi, yang mencakup tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi yang menjadi tempat hidupnya. Keanekaragaman hayati memiliki tiga tingkatan (Kartono 2008), yakni : a) keanekaragaman genetik, yang merujuk pada berbagai informasi genetik yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup secara individu, b) keanekaragaman spesies, yang menjelaskan tentang jumlah spesies makhluk hidup dalam suatu ruang tertentu, dan c) keanekaragaman ekosistem, yakni keragaman habitat, komunitas hayati, serta proses-proses ekologis yang terjadi di dalam suatu ekosistem tertentu. Keaneragaman genetik dan ekosistem seringkali dapat diterangkan oleh keanekaragaman spesies karena dalam setiap spesies terkandung berbagai informasi genetik dan tiap spesies memiliki kebutuhan dasar yang berbeda terutama habitat. Primack et al. (1998) mengemukakan bahwa biodiversitas pada tingkat spesies mencakup seluruh organisme di bumi, dari bakteri dan protista melalui dunia tumbuhan, hewan dan jamur. Pada skala yang lebih kecil mencakup variasi genetik dalam spesies, di antara populasi yang terpisah secara geografik dan di antara individu di dalam suatu populasi. Keanekaragaman hayati juga meliputi variasi di dalam komunitas biologi (dimana spesies hidup) dan ekosistem (dimana komunitas berada), dan interaksi antar tingkatan tersebut.

36 11 Dalam upaya memahami keanekaragaman suatu spesies dapat dirunut dari sistem klasifikasinya. Berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan yang dikeluarkan FAO (2007) tumbuhan sagu diklasifikasikan dengan susunan sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuhan) Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular) Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Division : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Class : Liliopsida (monokotil) Subclass : Archidae Ordor : Arecales Family : Arecaceae Genus : Metroxylon Rottb. Species : 1. Metroxylon amicarum (H. Wendl.) Becc. 2. Metroxylon elatum Mart. 3. Metroxylon paulcoxii McClatcey 4. Metroxylon rumphii (Willd.) Mart. 5. Metroxylon sagu Rottb. 6. Metroxylon salomonense (Warb.) Becc. 7. Metroxylon vitiense (H. Wendl.) H. wendl.ex Hook.f. 8. Metroxylon warburgii Becc. Tumbuhan sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) membagi genus Metroxylon menjadi dua kelompok. Tumbuhan sagu memiliki jumlah row sisik kulit buah sebanyak 18 dimasukkan ke dalam kelompok Eumetroxylon. Sedangkan apabila jumlah row sisik kulit buah berjumlah antara termasuk dalam kelompok Coelococcus. Kelompok pertama Eumetroxylon memiliki dua spesies yaitu : Metroxylon sagu Rottb. dan Metroxylon rumphii Mart. Sedangkan kelompok kedua : Coelococcus, terdiri dari 7 spesies yaitu : M. squarosum Becc., M. warburgii Heim., M. upoluense Becc., M. vitiense Benth et Hook, M. amicarum Becc., M. salomonense Becc., dan M. bougainvillense Becc. Menurut Heyne (1950 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan tumbuhan sagu adalah sagu sejati

37 12 yang termasuk dalam genus Metroxylon. Tumbuhan sagu sejati ini dipisahkan atas dua kelompok berdasarkan ada-tidaknya duri pada tangkai daun. Kelompok pertama adalah yang berduri meliputi M. rumphii Mart., merupakan spesies utama dalam kelompok ini. Spesies lainnya adalah M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart. Sedangkan kelompok yang tidak berduri adalah M. sagu Rottb., sebagai jenis utama yang mempunyai berbagai forma. Klasifikasi tumbuhan sagu dilakukan pula oleh Rauwerdink (1986 dalam Barahima 2005) yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri berduri atau tidak, berumpun atau tidak, dan jumlah sisik yang menutupi buah. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tumbuhan sagu (genus Metroxylon) dibagi atas 5 spesies yaitu 1). M. sagu Rottb. yaitu tumbuhan sagu yang membentuk rumpun, berduri atau tidak, dan buahnya mempunyai 18 sisik yang membujur, 2). M. amicarum Becc, 3). M. vitiense Benth et Hook, 4). M. salomonense Becc, dan 5). M. warburgii Heim yaitu jenis sagu yang tidak berduri dan buahnya ditutupi sisik longitudinal. Wilayah penyebaran kelima spesies ini oleh Rauwerdink (1986 dalam Flach 1997) meliputi kepulauan Malaya, New Hebrides, Fiji, Carolines, dan kepulauan Salomon. Dikemukakan juga bahwa Metroxylon rumphii sinonim dengan M. squarrosum. Sedangkan M. bougainvillense dari Bougainville sinonim dengan M. salomonense dari kepulauan Salomon. McClatchey et al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H.Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M. salomonense (Warburg) Beccari, 5). M. vitiense (H. Wendland) H. Wendland ex Bentham & Hooker f., dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Wilayah penyebaran jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia, dan beberapa pulau di Micronesia dan Polynesia. Berdasarkan peta penyebaran sagu di dunia yang dibuatnya, tampak bahwa di Indonesia, PNG, dan sebagian kepulauan Filipina Selatan hanya terdapat satu spesies sagu yaitu M. sagu Rottb.

38 Ciri-ciri morfologi tumbuhan sagu a. Ciri umum Tumbuhan sagu memiliki jenis akar serabut, pada awal pertumbuhan tumbuh akar primer dan dalam pertumbuhan lanjutannya tumbuh dan berkembang akar-akar sekunder. Nitta el al (2002 dalam Barahima 2005) membagi sistem perakaran tumbuhan sagu atas dua tipe yaitu : 1) tipe besar yang memiliki diameter sekitar 6-11 mm, dan 2) tipe kecil dengan ukuran diameter antara 4-6 mm. Tipe akar besar sebagai akar adventif melekat langsung pada bagian luar epidermal, berukuran besar, dan tumbuh vertikal ke bawah. Tipe akar kecil berupa akar lateral, merupakan percabangan dari akar besar, ukurannya lebih kecil dan tumbuh atau menyebar secara lateral. Batang tumbuhan sagu terbentuk setelah masa russet berakhir yaitu setelah berumur sekitar 3-4 tahun, dan kemudian membesar dan memanjang dalam waktu sekitar 54 bulan (Flach 2005 dalam Barahima 2005). Batang sagu berbentuk silinder atau bulat memanjang dengan diameter sekitar cm, bahkan dapat mencapai cm. Pada umumnya diameter batang bagian bawah lebih besar dibandingkan dengan diameter batang bagian atas. Tumbuhan sagu memiliki batang tertinggi apabila telah sampai pada umur panen yakni 11 tahun atau lebih. Pada masa itu tinggi pohon sagu telah mencapai m, tetapi ada pula yang dapat mencapai 20 m dengan bobot sekitar satu ton (Haryanto dan Pangloli 1992). Variasi tinggi batang sagu sangat tergantung pada jenis dan pengaruh kondisi lingkungan tumbuh. Pada kondisi lingkungan tumbuh yang baik, dalam arti tanahnya subur, kandungan air cukup, maka batang sagu memiliki ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik. Batang tumbuhan sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras berupa lapisan epidermal, dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan pati. Tumbuhan sagu memiliki sistem daun menyirip yang tumbuh pada tangkai daun. Pada bagian tajuk terdapat sekitar 6-15 rangkaian daun (ental) dan pada setiap rangkaian terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan kurang lebih 20 pasang helai daun dengan panjang antara cm. Flach dan Schuiling (1991 dalam Barahima 2005) mengemukakan bahwa ukuran tajuk tumbuhan sagu berkisar

39 14 antara 6-24 ental, panjang setiap ental sekitar 5-8 meter dengan jumlah anak daun. Flach (1983) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan penyinaran yang baik pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5-7 meter. Dalam setiap tangkai daun terdapat sekitar 50 pasang daun dengan panjang bervariasi antara cm, dan lebar sekitar 5 cm. Sagu yang masih muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu sekitar tangkai. Pada setiap bulan terbentuk tangkai daun, dan diperkirakan umur tangkai daun sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah menua. Daun muda umumnya berwarna hijau muda, kemudian dengan bertambah waktu secara berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, selanjutnya berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila daun telah tua. Tangkai daun yang telah tua tersebut akan terlepas dengan sendirinya dari batang, dan meninggalkan bekas pada kulit batang. Tumbuhan sagu mulai berbunga dan berbuah pada umur sekitar tahun. Kisaran pembungaan ini sangat tergantung pada jenis atau spesies sagu dan kondisi pertumbuhannya. Fase pembungaan diawali dengan munculnya daun bendera, yaitu daun yang ukurannya lebih pendek dari daun-daun sebelumnya. Munculnya bunga merupakan indikator bahwa sagu tersebut telah mendekati akhir daur pertumbuhannya. Setelah buahnya mengering diikuti dengan kematian (Braulech 1953 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Malai bunga menyerupai tanduk rusa yang terdiri atas cabang utama, sekunder, dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina mekar. Dengan demikian tumbuhan sagu melakukan penyerbukan silang (cross polination). Oleh karena itu apabila tumbuhan sagu tumbuh secara soliter, maka jarang yang berhasil membentuk buah. Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya satu yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk terluar lainnya bersifat rudimenter, sedangkan benang sari bunga jantan berjumlah enam helai (Anonim 1979 dalam Barahima 2005). Jumlah struktur bunga sekitar cabang utama, dengan panjang 2-3 meter, cabang sekunder terdapat cabang, dan cabang ketiga terdapat 7-10 cabang (Jong 2005). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai

40 15 buah salak dan mengandung biji yang fertil. Waktu antara mulai muncul bunga sampai fase pembentukan buah diperkirakan sekitar 2 tahun (Haryanto dan Pangloli 1992). Pembentukan buah dan biji dari antesis sampai buah terakhir gugur memerlukan waktu sekitar bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon sagu sekitar buah (Jong 2005). Buah sagu terdiri atas exocarp, mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik dan di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji yang disebut sarkotesta. Di dalam sarkotesta terdapat endosperm yang berfungsi sebagai cadangan makanan bagi embrio. b. Ciri-ciri beberapa jenis sagu Di Indonesia terdapat lima spesies tumbuhan sagu yang telah diidentifikasi ciri-cirinya (Haryanto dan Pangloli 1992). Spesies sagu tersebut adalah sebagai berikut : 1. Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni) Tinggi batang berkisar dari meter, bahkan dapat mencapai 18 meter atau lebih. Memiliki tebal kulit sekitar 2-3 cm. Kulit pada bagian pangkal lebih tebal dibandingkan dengan ketebalan kulit pada bagian tengah dan bagian ujung. Diameter pada pangkal sampai ujung batang hampir sama, kecuali pada bagian dasar pangkal karena perakarannya yang dangkal. Daun berwarna hijau tua, panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 5-7 meter. Tangkai daun berduri pada bagian pangkal sampai ujung, duri terdapat pula pada pinggir daun. Duri pada tangkai daun berukuran 1-4 cm, pada stadia anakan durinya sangat banyak dan rapat. Setiap tangkai daun terdiri dari anak daun yang panjangnya cm dan lebar 5-10 cm. Memiliki sistem perakaran yang dangkal dan banyak terubusnya. Berat batang pada umur panen lebih dari satu ton. Empulurnya lunak dan sedikit mengandung serat sehingga mudah ditokok. Kadar empulur mencapai 82 % dari berat batang dengan kandungan aci/tepung sekitar 20 %.

41 16 Tepung berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan kg tepung kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Spesies ini merupakan sagu paling besar ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya. 2. Metroxylon sagu Rottboell (sagu molat) Tinggi batang berkisar dari meter, diameter sekitar cm, berat batang dapat mencapai 1,2 ton atau lebih. Tangkai daun tidak berduri, ujung daun panjang meruncing. Letak daun berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 meter, panjang lembaran daun sekitar 1,5 meter dan lebar kira-kira 7 cm. Memiliki bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan. Empulur lunak dan berwarna putih, sehingga acinya berwarna putih. Berat empulur sekitar 80 % dari berat batang, kandungan aci sekitar 18 %. Setiap pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). 3. Metroxylon sylvestre Martius (sagu ihur) Tinggi batang berkisar dari meter, bahkan dapat mencapai 20 meter. Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton. Tebal kulit berkisar 1-3 cm. Panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 4-6 meter. Daun berwarna hijau tua, memiliki tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke bawah. Pada sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri dengan panjang sekitar 1-5 cm. Empulur agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerahmerahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan pula. Berat empulur sekitar 18 % dari berat batang dengan kandungan aci sekitar %. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering (BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). 4. Metroxylon longispinum Martius (sagu makanaru) Tinggi batang sekitar meter, diameter sekitar 50 cm. Berat batang sekitar satu ton dan kandungan empulur mencapai 80 % dari berat batang (Rumalatu 1981 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

42 17 Tangkai daun pendek berkisar antara 4-6 cm dan berduri banyak. Anak daun kecil-kecil dengan panjang sekitar cm. Pinggir daun penuh duri. Kandungan aci sagu dalam empulur sekitar 200 kg per pohon, dan rasanya kurang enak. 5. Metroxylon microcanthum Martius (sagu duri rotan) Tinggi batang sekitar 8 meter dengan diameter sekitar 40 cm. Produksi aci dalam setiap pohon hampir sama dengan M. sylvestre Mart. (Soerjono dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Empulur tidak cepat mengalami fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak cepat busuk setelah dipanen Habitat dan ekologi tumbuhan sagu Daerah penyebaran tumbuhan sagu terdapat di Pasifik Selatan, Melanesia, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pada umumnya tumbuh pada lahanlahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan, dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Deinum (1984 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993) menyebutkan bahwa habitat asli tumbuhan sagu adalah tepian parit dan sungai yang becek, tanah berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Lahan sekitar parit pada umumnya berupa lahan kering, sedangkan pada pinggiran sungai, kebanyakan tergenang air atau relatif basah, meskipun ada pula yang kering. Flach (1983) menyebutkan bahwa habitat tumbuh yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Apabila akar nafas terendam air secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan, dan dengan sendirinya menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam pokok batangnya. Tempat tumbuh sagu terdapat di tanah yang lembab, di sepanjang tepi sungai, di sekitar danau dan tanah berawa (Atmawidjaja 1992). Tumbuhan sagu dijumpai juga di tempat dimana terdapat pohon nipah di muara sungai. Tanah lempung berpasir merupakan tempat tumbuh yang baik, sebaliknya di tanah

43 18 gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik. Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai tahun (Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak tergenang asalkan kondisi kadar air tanah (lengas tanah) terjamin cukup tinggi. Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak tergenang. Di daerah rawa pantai dengan kadar garam (salinitas) tinggi tumbuhan sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah yang lebih tenggelam (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku, menurut Louhenapessy (1993) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1). Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun penggenangan sementara, 3). Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh

44 19 keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai kandungan air tanah yang cukup. Tumbuhan sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu terutama ditanam di tanah gambut (Flach and Schuiling 1988 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Di daerah Arandai Bintuni Irian Jaya, sagu ditemukan tumbuh pada tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 4.5 meter dengan hasil panen mencapai 425 kg per pohon (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Sagu juga dapat tumbuh dan berproduksi baik di tanah pasiran, asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkaitan dengan penyediaan air, di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah memiliki produksi tepung sagu yang rendah. Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh baik secara alamiah pada tanah liat yang berawa, kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu tumbuhan sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Tumbuhan sagu pada umumnya tumbuh baik di tropis pada daerah yang terletak antara 10 o LS-15 o LU, dan antara 90 o -180 o BT, pada ketinggian antara meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan sagu terbaik terdapat pada ketinggian mencapai 400 dpl, pada ketinggian tempat yang lebih besar pertumbuhan terhambat dan produksinya rendah (Bintoro 1999 dalam Barahima 2005). Dalam pertumbuhan sagu diperlukan suhu minimal 15 o C, dan pertumbuhan terbaik berlangsung pada suhu sekitar 25 o C dengan kelembaban relatif sekitar 90% dan intensitas sekurang-kurangnya 900 J/cm/hari (Flach 1980; Flach et al dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Berdasarkan klasifikasi ragam curah hujan oleh Schmidt & Ferguson, daerah pertumbuhan sagu terdapat dalam kawasan ragam A (luar biasa basah-sangat basah) dan B (sangat basah-basah). Curah hujan rata-rata tahunan yang diperlukan sekitar mm, dan jumlah hari hujan tahunan rata-rata antara hari (Turukay 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Hasil studi

45 20 Luhulima et al. (2005) di Sorong Selatan didapatkan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada tipe iklim B1, curah hujan mm per tahun, jumlah hari hujan 20 hari per bulan, suhu rata-rata o C, tertinggi o C, dengan kelembaban relatif sekitar 84.33%. Menurut Mulyanto dan Suwardi (2000) dikemukakan bahwa sagu tumbuh pada kondisi ekosistem yang spesifik yang dicirikan oleh kondisi temperatur yang berkisar antara o C, kelembaban relatif terendah 60% dan tertinggi 90%, penyinaran surya terendah 900 J/cm 2 /hari dengan curah hujan yang berkisar antara mm/tahun Intraspesifik dan asosiasi tumbuhan sagu Sebagaimana tumbuhan palem pada umumnya, pada awal pertumbuhan batang belum berbentuk. Pertumbuhan pertama dari biji adalah daun dan akar, daun-daun yang tumbuh kemudian terus melebar dari daun sebelumnya. Selama 2-4 tahun pertumbuhan batang sagu belum muncul di permukaan tanah (Sjachrul 1993). Setelah pertumbuhan daun dan akar sempurna, batang akan tumbuh vertikal. Pada periode ini pertumbuhan daun berlangsung secara konstan. Daun akan tumbuh dalam setiap bulan, dan setiap daun ditaksir berumur antara bulan. Periode pencapaian tingkat pertumbuhan sangat tergantung pada jenis sagu. Tingkat pertumbuhan ini dikelompokkan atas beberapa kelompok sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Selain pengelompokkan tersebut di atas, pada areal pertumbuhan sagu yang tumbuh membentuk rumpun BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) membaginya atas beberapa tingkat pertumbuhan yaitu : 1. Tingkat semai atau anakan yaitu tumbuhan sagu yang masih kecil, memiliki batang bebas daun meter. 2. Tingkat sapihan yaitu tumbuhan sagu yang memiliki batang bebas daun 0.5-1,5 meter. 3. Tingkat tihang yaitu tumbuhan sagu dengan tinggi batang bebas daun 1,5-5,0 meter. 4. Tingkat pohon yaitu tumbuhan sagu yang memiliki tinggi batang bebas daun di atas 5 meter.

46 21 Tabel 1. Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu No. Tingkat Periode Pertumbuhan Pertumbuhan Keterangan 1. Tunas 1 tahun Anakan yang masih menempel pada pohon induk, berdaun 2 atau lebih. 2. Anakan 1-2,5 tahun Anakan yang masih menempel pada pohon induk tetapi sudah mempunyai sistem perakaran sendiri dan dapat dipisahkan dari pohon induk untuk ditanam. 3. Sapihan 1,5-2,5 tahun Anakan yang telah tumbuh secara mandiri dan telah membentuk pelepah yang keras. Pada tingkat pertumbuhan ini telah berbentuk sistem perakaran yang kuat dan sukar untuk dipisahkan. 4. Belum masak 6 tahun Pohon sagu muda yang telah tebang membentuk batang tetapi belum berbunga. 5. Masak tebang (MT) 1 Saat bunga mulai keluar sampai mulai berbuah (periode produktif) 6. Lewat masak tebang (LMT) Malai buah telah berbentuk tanduk rusa. Sumber : Sjachrul (1993). Pada rumpun yang terdiri dari beberapa semai, sapihan, tihang dan pohon menyebabkan terjadinya persaingan, diantaranya dalam mendapatkan faktor tumbuh, baik di atas tanah maupun di dalam tanah. Persaingan faktor tumbuh di atas tanah meliputi ruang, udara dan cahaya, sedangkan di dalam tanah berupa air dan unsur hara. Persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh semakin tinggi apabila jumlah individu dalam rumpun lebih tinggi. Dalam persaingan yang tinggi individu pada stadia semai biasanya mengalami hambatan pertumbuhan yang sangat berarti, dan seringkali mengalami kematian. Matanubun dan Maturbongs (2005) menyebutkan bahwa apabila jumlah populasi persatuan luas meningkat akan menyebabkan persaingan yang semakin kuat. Pada lahan kurang basah pohon sagu dapat tumbuh lebih tinggi, sedangkan pada lahan terlalu basah pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan rerumputan dan herba sehingga kalah bersaing dalam memperoleh ruang tempat tumbuh. Pada lahan kering pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan

47 22 pepohonan hutan lain sehingga kalah bersaing dalam mendapatkan sinar matahari (Flach and Schuiling 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Pola pertumbuhan yang bersama-sama ini membentuk asosiasi diantara tumbuhan sagu dengan jenis tumbuhan lain, baik dengan jenis rumputan maupun vegetasi lain berbentuk pohon Potensi areal tumbuhan sagu Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di dunia diperkirakan sekitar dua juta hektar lebih, tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa luas areal sagu dunia dapat mencapai lima juta hektar yang menyebar di Papua New Guinea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Kepulauan Pasifik. Flach (1983) memperkirakan potensi sagu dunia sekitar 2,2 juta hektar dan yang terbanyak terdapat di Indonesia mencapai 1,13 juta hektar atau sekitar 51,14 %. Sebagian besar luasan tumbuhan sagu merupakan sagu yang tumbuh liar secara alami mencapai 90 %, dan yang budidaya hanya sebasar 10 %. Di beberapa daerah di Indonesia diperkirakan bukan merupakan sagu liar, tetapi merupakan sagu budidaya. Sagu yang tumbuh liar pada umumnya terdapat di Papua New Guinea dan Indonesia (khususnya di Maluku dan Papua/Irian Jaya). Perkiraan potensi sagu dunia menurut Bintoro (2000) mencapai lebih dari 2 juta hektar, dan luas areal sagu yang sebenarnya masih perlu ditata secara lebih akurat karena kisaran potensi sagu dunia sangat lebar yaitu sekitar 600 ribu 5 juta hektar, dan sebagian besar luas areal merupakan angka perkiraan. Perkiraan potensi sagu dunia oleh Flach (1983) disajikan pada Tabel 2. Potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia sangat bervariasi antara sumber yang satu dengan yang lain pada wilayah yang sama. Mulyanto dan Suwardi (2000) melakukan kompilasi luas areal potensi tumbuhan sagu di Indonesia dari berbagai sumber menunjukkan adanya keragaman yang sangat besar. Di Irian Jaya (Papua) luas areal potensi sagu berkisar antara 800 ribu hektar sampai dengan 4,1 juta hektar. Pada wilayah yang sama perbedaan potensi luas areal bisa mencapai 4 kali lipat, atau terdapat perbedaan lebih dari 3 juta ha. Di Provinsi Kepulauan Maluku selisih antara sumber yang satu dengan lainnya

48 23 sekitar 15 ribu hektar. diperlihatkan pada Tabel 3. Potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia Tabel 2. Perkiraan potensi sagu dunia Negara Tumbuh Liar (ha) Budidaya (ha) Papua New Guinea Provinsi Sepik Provinsi Guv Provinsi Lain Indonesia Irian Jaya (Papua) Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Kepulauan Riau Kepulauan Mentawai Malaysia Sabah Serawak Malaysia Barat Thailand Philipina Kepulauan Pasifik Total Sumber : Flach (1983) Tabel 3. Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia No. Daerah Luas Areal (ha) 1. Papua Barat (Irian Jaya) Maluku Sulawesi Sumatera Kalimantan Jawa 262 Sumber : Mulyanto dan Suwardi (2000) Dalam areal sagu yang terbesar di Indonesia yakni Papua (Irian Jaya) dan Maluku mencapai 96 %, sampai dengan tahun 2003 besar potensinya masih sangat beragam. Lakuy dan Limbongan (2003) menyebutkan bahwa berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua, luas areal sagu sebesar hektar, tetapi menurut Gubernur Papua (2003) luas areal tumbuhan

49 24 sagu di Papua mencapai 4,1 juta hektar dengan perincian sebagai berikut : 1). Kabupaten Merauke : ha, 2). Kabupaten Fak-Fak : ha, 3). Kabupaten Manokwari : ha, 5). Kabupaten Biak Numfor: ha, dan 6). Kabupaten/Kota Jayapura : ha. Berdasarkan data luas areal sagu yang dikemukakan oleh Prayitno (1991 dalam Ruhendi 2000), makin menunjukkan keragaman luas potensi sagu di Indonesia yang semakin bervariasi Tabel 4). Total luas areal sagu yang dikemukakan mencapai 2,3 juta hektar, berupa hutan sedangkan yang dibudidayakan sebesar 136 ribu hektar. Luas areal sagu yang sangat menonjol terdapat di kepulauan Maluku mencapai 800 ribu hektar. Jika dibandingkan dengan data sebelumnya yang tidak mencapai 50 ribu hektar, maka luasan yang dikemukakan ini hampir mencapai 20 kali lebih besar. Tabel 4. Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia Pulau/Kepulauan Berupa Hutan (000) Budidaya (000) Irian Jaya Kepulauan Maluku Sumatera Sulawesi Kalimantan Riau Kepulauan Mentawai Jumlah Sumber : Ruhendi (2000) Potensi jenis tumbuhan sagu di daerah sentra pertumbuhan Papua sangat tinggi. Hasil identifikasi jenis-jenis sagu yang dilakukan oleh BPTP Papua ditemukan untuk jenis sagu berduri sebanyak 43 jenis, sedangkan jenis sagu yang tidak berduri sebanyak 17 jenis (Lakuy dan Limbongan 2003). Di daerah Maluku tumbuh dan berkembang lima jenis sagu (Louhenapessy 2006) yaitu : 1). Sagu tuni (Metroxylon rumphii Martius), 2). Sagu ihur (Metroxylon sylvestre Martius), 3). Sagu makanaru (Metroxylon longispinum Martius), 4). Sagu duri rotan (Metroxylon microcanthum Martius), dan 5). Sagu molat (Metroxylon sagu Rottboel). Selain itu di wilayah Seram Timur terdapat jenis sagu yang dikenal dengan nama Sagu Suanggi, yang memiliki tinggi 3-4 meter telah berbunga. Ada pula jenis sagu molat berduri pada masa anakan. Di Kota Halmahera terdapat

50 25 jenis molat merah dan molat merah berduri. Jenis-jenis ini diduga merupakan jenis baru yang terbentuk sebagai akibat terjadinya persilangan (cross over pollination) di antara spesies yang telah ada sebelumnya Pemanfaatan tumbuhan sagu Bagian-bagian tumbuhan sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari daun, tangkai daun, kulit batang, dan yang paling penting adalah pemanfaatan bagian empulur dalam menghasilkan pati dan ampas sebagai sisa ekstrak pati untuk pakan ternak dan/atau pupuk organik. Flach (1983) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu memiliki multifungsi, daun dapat dimanfaatkan sebagai atap rumah, tangkai daun sebagai bahan bangunan, kulit batang untuk bahan bakar dan industri kertas, dari empulur dapat diproses untuk berbagai kebutuhan, bahan pangan, bahan baku industri makanan, etanol, pakan ternak berprotein tinggi, industri kertas, industri tekstil, board, dan plastik biodegradable. Sedangkan derivat pati dapat dimanfaatkan sebagai lapisan kertas, bahan adhesive, dealdehide untuk industri kertas, eter dan ester sebagai bahan baku obatan. Menurut Bintoro (2007) dikemukakan bahwa berdasarkan sifat fisik dan kimia pati sagu dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan pangan saja, tetapi dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri, baik pangan maupun non pangan seperti industri kertas dan tekstil. Sebagai bahan pangan, pati sagu dapat dijadikan sebagai bahan pangan pokok sebagian masyarakat di beberapa daerah di kawasan Timur Indonesia. Saat ini pati sagu telah dimanfaatkan lebih luas lagi yaitu sebagai bahan pembuat roti, biskuit, bagea, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, dan penyedap makanan. Dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan plastik yang mudah terurai (biodegradable plastic) (Pranamuda et al dalam Bintoro 2007). Gumbira Sa id (1993) mengemukakan bahwa pati sagu dapat diolah menjadi berbagai macam keperluan seperti sirup fruktosa tinggi, protein sel tunggal untuk pangan dan pakan, Selain itu pati sagu berpotensi dan memiliki prospek yang baik sebagai substrat fermentasi aseton-butanol-etanol. Hal ini berarti bahwa pati sagu dapat diolah

51 26 menjadi etanol (gasohol), dan berpeluang sebagai salah satu sumber bahan baku bio-energi. Di Papua New Guinea telah dilakukan serangkaian penelitian tentang studi kelayakan produksi etanol dari pati sagu, dan hasil studi menunjukkan bahwa produksi etanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan produksi etanol dari pati sagu kering mencapai 0.56 liter/kg (Flach, 1983) dan di daerah Sepik telah dibangun industri etanol karena areal sagunya luas, mencapai ha. Di Malaysia pemanfaatan pati sagu telah berkembang lebih luas, yaitu untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan (monosodium glutamate), mie, karamel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat, dan industri lainnya (Bintoro 2000). Selain pati sagu, ampas sagu kering dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hasil penelitian perlakuan ampas sagu dengan takaran 12,5-25% untuk ransum ayam pedaging dan petelur tidak memberikan pengaruh yang buruk (Bintoro et al. 2007), dengan kata lain memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ayam. Selain itu dengan pemanfaatan ini dapat mengurangi pencemaran lingkungan disekitar pengolahan sagu Distribusi spasial Distribusi spasial atau penyebaran spasial (keruangan) berkaitan dengan istilah geografis, sehingga seringkali timbul istilah geospasial. Istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama dalam konteks Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur informasi geografis. Informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui. SIG itu sendiri merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya (Prahasta 2004). Menurut Aronoff (1989 dalam Prahasta 2004), SIG diartikan sebagai sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan manipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang unuk mengumpulkan,

52 27 menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografi : a) masukan data, b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), c) analisis dan manipulasi data, dan d) keluaran. Puntodewo et al. (2003) mengemukakan bahwa SIG memiliki empat komponen utama yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data, dan sumberdaya manusia. Perangkat lunak yang banyak dipakai dalam aplikasi SIG antara lain ArcView, IDRISI, ER mapper, GRASS, MapInfo, dan ERDAS. Sedangkan salah satu sumber data dalam SIG berasal dari penginderaan jauh (remote sensing). Dalam teknologi ini, objek di permukaan bumi direkam oleh sensor yang dipasang pada wahana (platform) pesawat udara atau satelit. Pada umumnya objek yang direkam sensor satelit berupa citra digital. Citra digital yang terekam dalam bentuk elemen-elemen gambar (picture element = pixel). Pixel menyatakan tingkat keabuan atau tingkat warna yang terekam pada citra (Purwadhi 2001). Perekaman citra digital oleh sensor menggunakan energi elektromagnetik. Spektrum gelombang elektromagnetik yang dipakai dalam perekaman berkisar dari spektrum ultraviolet, tampak, infra merah dekat, infra merah termal, dan gelombang mikro. Perekaman berlangsung dengan melibatkan beberapa spektrum sekaligus sehingga disebut citra multispektral. Citra digital multispektral seperti citra Lansat TM (Thematic mapper) direkam dengan menggunakan tujuh kisaran spektrum elektromagnetik atau tujuh saluran (band = channel) spektral, yaitu : band 1 biru (0,45-0,52µm) berguna untuk membedakan kejernihan air dan membedakan antara tanah dengan tanaman; band 2 hijau (0,52-0,60µm) berguna untuk mendeteksi tanaman; band 3 merah (0,63-0,69µm) berguna untuk membedakan tipe tanaman; band 4 infra merah dekat (NIR) (0,76-0,90µm) berguna untuk meneliti biomas tanaman, dan juga membedakan batas tanahtanaman dan daratan-air; band 5 infra merah sedang (MIR) (1,55-1,75µm) menunjukkan kandungan air tanaman dan tanah, berguna untuk membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman, juga digunakan untuk membedakan antara awan, salju dan es; band 6 infra merah termal (TIR) (10,40-12,50µm) berguna untuk

53 28 mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stres tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah; dan band 7 infra merah sedang (MIR) (2,08-2,35µm) berhubungan dengan mineral, rasio antara band 5 dan 7 berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral (Purwadhi 2001; Puntodewo et al. 2003). Citra digital akan bermakna apabila dilakukan interpretasi atau penafsiran citra. Interpretasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi objek yang tergambar dalam citra dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data citra berdasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial). Karakterisasi objek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak, dan asosiasi kenampakan objek. Sedangkan interpretasi citra digital merupakan evaluasi kuatitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi digital berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya. Setiap kelas kelompok pixel dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi. Objek di permukaan bumi dapat dikenali melalui pengenalan pola spektral yang dapat dilakukan dengan cara klasifikasi. (Purwadhi 2001) mengemukakan bahwa klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokkan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitatif. Klasifikasi citra secara digital dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang merupakan klasifikasi nilai pixel didasarkan pada contoh daerah yang diketahui jenis objek dan nilai spektralnya, 2) klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification), merupakan klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis objek dan nilai spektralnya, 3) klasifikasi gabungan atau klasifikasi hibrida (hybride) menggunakan kedua cara klasifikasi di atas. Jaya (2007) mengemukakan bahwa klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Proses ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation).

54 29 Kelas yang terbentuk dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer. Citra yang telah dikelompokkan dapat terdiri atas beberapa kelas tutupan lahan, seperti vegetasi, tanah kosong, padang rumput, wilayah pemukiman, wilayah lahan basah, permukaan lahan terbangun (built up) dan sebagainya. Dengan menggunakan data citra Landsat TM, Yuan et al (2005) telah melakukan klasifikasi tutupan lahan dan analisis perubahannya di kota-kota berdekatan metropolitan Minnesota. Klasifikasi tutupan lahan ini dilakukan untuk menjelaskan penyebaran spasial perubahan tutupan lahan sejak tahun 1986 sampai dengan Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode hibrid supervised-unsupervised. Selama tujuh tahun terjadi perubahan tutupan lahan berupa perluasan kota dari 23,7% menjadi 32,8%, sementara lahan pertanian, hutan dan lahan basah mengalami pengurangan dari 69,6% menjadi 60,5%.

55 30 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan tempat Penelitian berlangsung selama sembilan bulan sejak bulan Maret sampai dengan November Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di P. Seram, merupakan Pulau terbesar di Provinsi Maluku dengan luas ± km 2 (Gambar 2). Analisis tanah dan air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah (BPT) Bogor. Analisis spasial dilakukan di laboratorium Pemodelan Spasial dan Analisis Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB. Spesies tumbuhan yang tidak diketahui, diidentifikasi oleh ahli taksonomi dari Herbarium Bogoriense. Analisis isozim dikerjakan di laboratorum Biologi Tumbuhan PAU IPB Bahan dan peralatan Penelitian menggunakan potensi tumbuhan sagu yang tersebar di P. Seram provinsi Maluku. Pemetaan distribusi spasial menggunakan data citra Landsat-5 TM yang diperoleh dari BTIC Dataport BIOTROP Bogor, groundcheck ke lapangan menggunakan GPS. Prosesing dan analisis citra untuk menghasilkan peta menggunakan perangkat lunak komputer ERDAS Imagine ver. 9.1, ArcView Ver. 3.2, dan Microsoft Excell Pengolahan data spesies menggunakan Ecological Methodology (Krebs 1999). Untuk pengolahan data lingkungan abiotik dalam kaitannya dengan tumbuhan sagu digunakan perangkat lunak (software) SPSS ver.15 dan MINITAB ver. 15. Peralatan pengambilan parameter vegetasi yang dipergunakan yaitu pita meteran, kamera digital, data sheet, dan kantong sampel vegetasi. Peralatan untuk pengambilan sampel tanah dan air yaitu bor tanah, ph meter tanah, ph meter air, ring sampel, kantong sampel tanah, botol sampel air, dan pisau sampel tanah. Peralatan untuk mengukur iklim mikro berupa temperatur dan kelembaban udara relatif digunakan thermohigro meter, untuk mengukur sinaran surya digunakan lux meter (light meter). Selain itu dikumpulkan pula data iklim lokal seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban, yang diperoleh dari

56 30 Gambar 2. Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku 31

57 32 stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT) Jenis data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa : a) citra landsat-5 TM zone 52S UTM WGS 84 sebanyak empat scene citra arsip, b) peta rupa bumi (RBI) P. Seram skala 1: , dan c) peta land system Pulau Seram, dan data iklim. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi, iklim mikro, tanah, dan air Metode Penelitian tahap I : Distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Penggabungan citra Data citra landsat yang dipergunakan berupa citra landsat-5 TM yang terdiri dari empat scene citra yaitu P107/R062, P107/R063, P108/R062 (direkam pada tanggal 16 Maret 2007), dan P109/R062 (direkam pada tanggal 27 Juli 2007). Data citra yang diperoleh telah terkoreksi secara geometrik, empat scene citra tersebut selanjutnya dilakukan penggabungan. Tahapan pelaksanaannya sebagaimana tersaji dalam Gambar Pemotongan citra Empat data citra yang telah tergabung mencakup P. Seram dan Pulau- Pulau kecil disekitarnya, padahal cakupan wilayah penelitian hanya mencakup P. Seram saja, oleh karena itu dilakukan pemotongan untuk mendapatkan citra baru khusus P. Seram. Pemotongan citra ini dimaksudkan untuk efisiensi proses pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Citra yang berukuran besar memerlukan lebih banyak memori yang seringkali menghambat dalam proses pengolahannya.

58 33 Mulai Citra Landsat-5 TM Penggabungan Citra Pemotongan Citra / Pemilihan Wilayah Klasifikasi Terbimbing Tutupan Lahan ditolak Evaluasi Akurasi diterima Peta Distribusi Spasial Sagu Studi Autekologi Selesai Cek lapangan Gambar 3. Bagan alur penelitian distribusi spasial Klasifikasi penutupan lahan Klasifikasi secara digital merupakan proses pengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan pixel yang bersangkutan. Klasifikasi landcover dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification), yang dikelompokkan menjadi delapan kelas yaitu : 1) tumbuhan sagu, 2) semak belukar, 3) hutan

59 34 mangrove, 4) hutan primer, 5) bangunan/pemukiman, 6) badan air, 7) tanah terbuka, dan 8) kebun/tegalan. Prosedur pelaksanaan klasifikasi dilakukan dengan membuat traning area pada klaster untuk mewakili setiap landcover. Algoritma yang digunakan dalam klasifikasi terbimbing ini adalah algoritma Kemiripan Maksimum (maximum Likelihood Algorithm) yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan dalam proses klasifikasi. Asumsi penggunaan algoritma ini adalah objek homogen selalu menampakkan histogram yang berdistribusi normal. Di atas citra masing-masing kelas penutupan lahan mempunyai penampakan khas yang membedakan dengan kelas penutupan lahan lainnya Evaluasi akurasi Evaluasi akurasi dari hasil klasifikasi yang dibuat digunakan ukuranukuran akurasi yaitu : overall accuracy, producers accuracy (omission accuracy), dan users accuracy (commision accuracy). Ukuran-ukuran akurasi tersebut dapat diketahui dengan cara membuat matriks kontingensi atau sering disebut dengan matriks kesalahan (confusion matrix) (Jaya, 2007). Matriks kontingensi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks kontingensi untuk evaluasi akurasi Training A B C... Area Total Baris Prod s Acc A X 11 X 12 X X 1+ X 11 / X 1+ B X 11 X 22 X X 2+ X 11 / X 1+ C X 11 X 32 X X 3+ X 11 / X Total Kolom X +1 X +2 X N User s Acc X 11 /X +1 X 22 /X +2 X 11 /X Berdasarkan matriks kontingensi ditentukan tingkat akurasi yaitu : X ii Producer s Accuracy = x(100%). (1) X i X ii User s Accuracy = x(100%).. (2) X i

60 35 X ii i 1 Overall Accuracy = x100% N r.. (3) Pengecekan lapangan Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi, melalui penelusuran pada klaster sagu di setiap wilayah sampling dengan cara mengambil gambar dan tracking ordinat menggunakan GPS Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Setelah peta distribusi spasial tumbuhan sagu diketahui, ditentukan wilayah yang menjadi lokasi pengambilan sampel. Penetapan wilayah sampel menggunakan metode Judgement/Purposive samplings yaitu penetapan sampel yang didasarkan pada luas sebaran sagu yang menempati 3 terbesar, pada tiga wilayah kabupaten di P. Seram yaitu Kabupaten SBB, MT, dan SBT. Disamping itu juga dengan pertimbangan letak wilayah sampling sesuai posisi mata angin (Utara-Selatan-Timur-Barat). Tahapan prosedur penelitian autekologi disajikan pada Gambar 4. Wilayah sampel terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai berikut : 1. Wilayah sampel I : Luhu Kabupaten SBB. 2. Wilayah sampel II : Sawai Kabupaten MT. 3. Wilayah sampel III : Werinama Kabupaten SBT. Tahapan selanjutnya adalah melakukan penelusuran untuk pengamatan spesies sagu. Spesies sagu dibedakan berdasarkan klasifikasi sagu yang dipahami secara umum yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart., 2) Metroxylon sylvestre Mart., 3) M. Longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan Metroxylon sagu Rottb. Petak sampel ditetapkan dengan menggunakan metode non-random sampling (penarikan contoh tak acak), secara beraturan (systematic sampling). Pemilihan metode ini karena memiliki beberapa keuntungan (Kusmana 1997) antara lain :

61 36 1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi. 2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi. 3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses pemilihan dari satuan-satuan sampel. Distribusi spasial sagu Peta wilayah sampel Judgemen /Purposive sampling Metode sampling : Bentuk, ukuran, & cara penetapan Pengumpulan data Pengamatan spesies sagu Pengamatan vegetasi Pengambilan contoh tanah Pengambilan contoh air Pengumpulan data iklim Identifikasi tbhn yang tak diketahui Analisis sifat kimia & fisika Analisis sifat air Analisis data iklim Studi biodiversitas Analisis Data : Analisis vegetasi, asosiasi, komponen utama Gambar 4. Prosedur penelitan autekologi

62 37 4. Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan sampel yang berurutan adalah lebih mudah, karena adanya arah rintis yang jelas. 5. Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan sampel diletakan pada jarak yang beraturan setelah satuan sampel pertama ditentukan. 6. Pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan. Penempatan unit sampel pada masing-masing wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT sebagaimana tersaji pada Gambar 5. Jumlah petak pengamatan disesuaikan dengan luas wilayah sampel. Luas wilayah sampel I sekitar 250 ha, jumlah petak kuadrat yang dibuat sebanyak 36 petak. Wilayah sampel II luasnya sekitar 500 ha, jumlah petak kuadratnya 54. Luas wilayah sampel III sekitar 300 ha, jumlah petak kuadrat yang dibuat sebanyak 40 petak. Total petak pengamatan sebanyak 130 petak kuadrat Metode pengamatan vegetasi Dalam metode analisis vegetasi dikenal antara lain metode petak, mencakup metode petak tunggal dan petak ganda. Metode yang disebut terakhir salah satunya adalah metode petak ganda yang diletakkan secara sistematis (Kusmana 1997). Dalam metode ini ukuran petak kuadrat untuk vegetasi fase pohon berukuran 20 x 20 m 2, tiang 10 x 10 m 2, sapihan 5 x 5 m 2, dan semai atau tumbuhan bawah 2 x 2 m 2. Penetapan unit contoh sebagaimana tersaji pada Gambar 6. Pengamatan vegetasi meliputi jenis vegetasi, jumlah masing-masing vegetasi, intensitas ditemukan suatu jenis, dan ukuran proyeksi tajuk. Pengamatan ukuran proyeksi selanjutnya dimanfaatkan untuk menentukan luas tutupan tajuk masing-masing jenis vegetasi. Penetapannya dengan mengukur panjang jari-jari proyeksi tajuk dari pangkal batang suatu jenis sampai batas proyeksi tajuk. Luas tutupan ditetapkan dengan rumus : Luas tutupan tajuk = πr 2 (4) dimana : π = 3,14 r = jari-jari proyeksi tajuk

63 38 a b c Keterangan : Petak pengamatan Gambar 5. Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu Kab. SBB, (b) II Sawai Kab. MT, dan (c) III Werinama Kab. SBT

64 39 2m 5m 10m 20m 20m Gambar 6. Penempatan unit contoh semai sapihan tiang Arah rintis pohon Pengamatan tumbuhan sagu Berkenaan dengan fokus penelitian ini lebih diarahkan pada tumbuhan sagu, maka dilakukan uraian khusus untuk itu. Walaupun tumbuhan sagu merupakan bagian dari vegetasi dalam komunitas sagu itu sendiri. Pengamatan tumbuhan sagu yang dimaksudkan disini adalah untuk menjelaskan tumbuhan sagu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Variabel pengamatan yang diamati meliputi spesies tumbuhan sagu dan fase masingmasing spesies. Data hasil pengamatan dipergunakan untuk mengungkapkan struktur populasi tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram Provinsi Maluku. Pengamatan dilakukan pada petak kuadrat berukuran 20 m x 20 m. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi : 1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah rumpun setiap spesies sagu. Satu rumpun dianggap sebagai satu tanaman. 2. Jumlah individu per rumpun, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah individu per rumpun dengan memisahkan menjadi beberapa fase pertumbuhan. Penentuan fase pertumbuhan didasarkan pada kriteria yang dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) (Tabel 6). Pengamatan tumbuhan sagu pada masing-masing petak kuadrat yang disusun atau ditentukan secara sistematis, dipisahkan menurut tipe habitat. Pemisahan ini dimaksudkan untuk keperluan penetapan jumlah rumpun tiap-tiap jenis sagu, terkait dengan daya adaptasi sagu pada habitat tertentu. Makin banyak jumlah individu suatu jenis pada suatu tipe habitat, menggambarkan daya adaptasi yang kuat. Sebaliknya apabila jumlah populasi suatu individu rendah atau sedikit, maka daya adaptasi jenis sagu tersebut sempit.

65 40 Tabel 6. Fase pertumbuhan sagu No Fase tumbuh Kriteria BPPT (1982) Kriteria modifikasi 1. Semai (seedling) Tinggi batang bebas daun 0-0,5 m. Sejak mulai muncul anakan s/d tinggi batang bebas daun 0 m (terbentuk roset). 2. Sapihan (sapling) Tinggi batang bebas daun 0,5-1,5 m. 3. Tiang (pole) Tinggi batang bebas daun 1,5-5,0 m. 4. Pohon (trees) Tinggi batang bebas daun > 5 m. Tinggi batang bebas daun 0-2 m. Tinggi batang bebas daun 2-5 m. Tinggi batang bebas daun > 5 m. 5. Pohon Masak panen (harvesting) Masa primodia berbunga s/d terbentuk bunga/buah* Masa primodia berbunga s/d terbentuk bunga/buah. 6. Pohon veteran/melewati masak panen (post harvesting) Keterangan : * Sjachrul (1993). Masa berbuah sampai tumbuhan sagu mati* Masa berbuah sampai tumbuhan sagu mati* 3. Struktur populasi tumbuhan sagu. Pola pertumbuhan suatu organisme ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannya. Pola pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi suatu organisme. Dalam kaitan ini, struktur populasi yang dimaksudkan adalah struktur populasi tumbuhan sagu. 4. Mekansime adaptasi sagu. Pengamatan parameter ini dilakukan dengan mencermati sifat pertumbuhan sagu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan atau habitat yang senantiasa tergenang. Suatu kondisi yang seringkali tidak baik untuk jenis tumbuhan tertentu. Dengan kata lain merupakan kondisi yang bersifat marjinal bagi sebagian jenis tumbuhan, artinya tumbuh-tumbuhan tertentu tidak dapat bertahan hidup atau pertumbuhannya terganggu pada kondisi yang tergenang itu. 5. Mekanisme pembentukan rumpun. Tumbuhan sagu pada umumnya dapat berkembangbiak atau memperbanyak individu melalui organ biji dan/atau anakan berupa stolon atau rhyzome. Mekanisme pembentukan rumpun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembentukan individu baru yang berasal dari rhyzome menjauh dari pangkal pohon induk, kemudian terpisah dari pohon induk membentuk rumpun sendiri.

66 41 6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil panen per batang (pohon panen). Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang disebut tumang. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur besarnya produksi pati sagu Pengamatan faktor lingkungan a. Sifat-sifat tanah Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengamatan vegetasi yaitu pada petak berukuran 20 x 20 m 2. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga titik secara diagonal sebagaimana tersaji dalam Gambar 7. Keterangan : = titik pengambilan sampel Gambar 7. Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat Sampel tanah yang diambil dipisahkan menurut tipe habitat. Sifat-sifat tanah yang diamati meliputi sifat fisika dan kimia tanah. Terdapat sifat tanah yang ditentukan langsung di lapangan seperti ph tanah, sedangkan sifat tanah yang lain ditetapkan di laboratorium. Pengambilan sampel tanah untuk keperluan analisis kimia tanah dilakukan pada kedalaman 0-30cm dan 30-60cm. Penetapan kedalaman ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan, dimana didapatkan akumulasi sebaran perakaran sagu berada pada zone kedalaman 0 60 cm. Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat fisika tanah menggunakan ring sampel pada kedalaman antara 0-30 cm (top soil). Prosedur pengamatan sifat-sifat tanah sebagai berikut :

67 42 1. Sifat fisika tanah Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor. 2. Sifat kimia tanah Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut : a. ph, ditetapkan dengan menggunakan ph meter tanah, penetapannya dilakukan langsung di lapangan terutama untuk kedalaman 0-30 cm. Hasil pengukuran ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran di laboratorium pada kedalaman 0-30 cm dan cm. Selain ph (H 2 O) dilakukan pula penetapan ph (KCl) untuk mengetahui ph potensial di lokasi penelitian. Penetapan ph (KCl) dilakukan di laboratorium. b. Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Fe, dan Al. Analisis sifat kimia tanah menggunakan metode standard pada BPT Bogor. b. Sifat air Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT), tergenang temporer air payau (T2AP), dan tergenang permanen (TPN). Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah, dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal, sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe

68 43 habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air. Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu : 1. ph, ditetapkan dengan menggunakan ph meter air. 2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer. 3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO - 3, NH + 4, K +, Ca +, Mg +, dan PO - 4. c. Data tipe iklim 1. Iklim mikro a. Temperatur dan kelembaban udara relatif disekitar rumpun sagu dikumpulkan dengan menggunakan thermohigro meter. Pengukuran dilakukan dengan cara menggantung thermohigro pada tongkat kayu setinggi satu meter dari permukaan tanah yang ditempatkan pada salah satu bagian dalam areal hutan sagu pada masing-masing wilayah sampel. Pada setiap wilayah sampel ditempatkan satu unit thermohigro. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30, 13.00, dan Data ini kemudian di rata-ratakan untuk mendapatakan data harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan menggunakan rumus berikut : t7.30x2 t13.30 t T (5) 4 RH 7.30x2 RH13.30 RH RH (6) 4 Keterangan : T = temperatur udara ( o C); RH = relative humidity atau kelembaban udara relatif (%) b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan menggunakan lux meter antara pukul Data ini selanjutnya di rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian.

69 44 Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu pada jarak ± 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter. Pengamatan variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3 wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan. 2. Iklim lokal Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula data iklim lokal meliputi curah hujan, temperatur, dan kelembaban udara relatif. Data iklim lokal ini diperoleh dari dua stasiun Klimatologi di P. Seram, yaitu stasiun Klimatologi Amahai Kabupaten MT dan stasiun Kairatu Kabupaten SBB. Data dari dua stasiun klimatologi ini mewakili dua tipe iklim di sebagian besar wilayah P. Seram, yaitu tipe iklim A diwakili oleh stasiun klimatologi Amahai dan tipe iklim B diwakili oleh stasiun klimatologi Kairatu. Semua data yang meliputi parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang berasal dari tiga wilayah sampel yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT selanjutnya dikompilasi untuk memperoleh data rataan. Data rataan inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan menganai kondisi iklim (terutama iklim mikro), tanah, dan kualitas air rawa dalam komunitas sagu alami di P. Seram Analisis data a. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan menghitung nilai kerapatan mutlak (KM), frekwensi mutlak (FM), dan dominasi mutlak (DM). Penetapannya dilakukan dengan menggunakan formula menurut Cox (2002) sbb :

70 45 Jumlah individu suatu spesies KM (i) = (7) Jumlah total luas areal contoh Kerapatan mutlak spesies i KR (i) = x 100%... (8) Kerapatan total seluruh spesies Jumlah petak contoh yang diduduki spesies i FM (i) =... (9) Jumlah banyaknya petak yang dibuat Frekwensi mutlak spesies i KR (i) = x 100 %... (10) Frekwensi total seluruh spesies DM (i) = Jumlah penutupan spesies i (11) Jumlah dominasi spesies i DR (i) = x 100 %. (12) Jumlah dominasi seluruh spesies Untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) setiap spesies digunakan rumus sebagai berikut : INP = Kerapatan Relatif (KRi) + Frekwensi Relatif (FRi) + Dominasi Relatif (DRi). (13) Indeks nilai penting memiliki satuan mencapai 300 %, nilai persentasi yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD ditetapkan dengan rumus : INP NJD (%) (14) 3 Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel. Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1)

71 46 membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2) menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas sagu alami di P. Seram. b. Analisis asosiasi interspesifik Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan asosiasi antara spesies sagu dengan tumbuhan lain dalam komunitas sagu di P. Seram. Analisis dilakukan berdasarkan data kehadiran-ketidakhadiran (data biner) seluruh petak pengamatan pada tiga wilayah sampel, yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT secara sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menganai asosiasi vevetasi dalam komuitas sagu di P. Seram. Khusus untuk spesies sagu dilakukan pada tingkatan klasifikasi terendah yaitu yaitu varietas/subvarietas menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997). Pengujian asosiasi interspesifik ditentukan melalui dua tahap uji yaitu 1) menentukan adanya asosiasi antar spesies secara simultan (menyeluruh), dan 2) mengukur kekuatan asosiasi diantara dua pasangan spesies. Seluruh rangkaian analisis asosiasi hanya dilakukan terhadap spesies penyusun utama, yaitu spesies yang memiliki INP 10 %. Tahapan analisis asosiasi interspesifik sebagai berikut : 1. Membuat matriks data mengenai kehadiran dan ketidakhadiran suatu spesies dalam sejumlah unit sampling (US). Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan nilai 0 (Tabel 7). Tabel 7. Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling Spesies Sampling Unit (SU) Total (1) (2) (3) (...) (N) Spesies (1) n 1 (2) n 2 (3) n (S) n s Total SU T 1 T 2 T 3 T N

72 47 2. Melakukan analisis asosiasi spesies secara simultan. Meskipun semua kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi dihitung, namun mereka tidak akan bebas. Oleh karena itu Schluter (1984 dalam Ludwig and Reynolds 1988) mengusulkan suatu pendekatan baru yaitu menggunakan Variance Ratio (VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji keberartian (signifikansi) asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data kehadiran-ketidakhadiran (Tabel 4). Tahapan analisisnya sebagai berikut : - Menghitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel menggunakan rumus : δt 2 = S i 1 dimana pi = ni/n pi 1 pi. (15) - Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus : ST 2 = 1 N N j 1 pi T j t 2. (16) Dimana t adalah rata-rata jumah spesies per sampel unit. - Menghitung Variance Ratio (VR) menggunakan rumus : VR = ST 2 / δt (17) VR merupakan indeks asosiasi antar seluruh spesies. Kriterianya sebagai berikut : Bila : VR = 1 maka tidak ada asosiasi VR > 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi positif VR < 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi negatif 3. Melakukan analisis asosiasi spesies berpasangan menggunakan tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 8). Untuk mengetahui adanya asosiasi antara dua spesies digunakan rumus Chi-square (Ludwig and Reynolds 1988) dan Soegianto (1994) : 2 ( Nilai observasi Nilai harapan) Nilai harapan X i 2.. (18) Dimana 2 X i merupakan penjumlahan semua sel pada tabel kontingensi 2 x 2. Nilai harapan dihitung sebagai berikut :

73 48 E(a) = N mr ; E(b) = N ms ; E(c) = N nr ; E(d) = N ns Selanjutnya uji statistik Chi-square menjadi : 2 X i a E( a) E( a) 2... d E( d) E( d) Tabel 8. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan Spesies B Ada Tidak ada Spesies A Ada a b m = a+b Tidak ada c d n = c+d r = a+c s = b+d N = a+b+c+d Keterangan : a = jumlah petak dimana spesies A dan spesies B ditemukan b = jumlah petak dimana terdapat spesies A, namun tidak terdapat spesies B c = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A, namun terdapat spesies B d = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A dan B N = jumlah total unit sampling (petak pengamatan) Setelah nilai 2 X i diketahui, maka dibandingkan dengan dengan 2 X tabel dengan derajat bebas (df) = (r-1)(c-1), α = 0,05 (tingkat siginifikan 5 %). Karena pengujian dilakukan terhadap dua spesies berpasangan, maka df = 1. Dengan α = 0,05 diperoleh 2 X tabel = 3,84. Jika 2 X hitung > 3,84, maka hipotesis bahwa terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima, dan sebaliknya ditolak. 4. Menetapkan tipe asosiasi dengan kriteria sebagai berikut : Bila : a > E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat positif a < E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat negatif. 5. Menentukan kekuatan (tingkat) asosiasi. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya tingkat asosiasi spesies yang berpasangan menggunakan indeks Jaccard (JI) (Ludwig and Reynolds 1988) dengan rumus : JI = a a b c... (19)

74 49 Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum. Indeks Jaccard dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988) merupakan indeks tidak bias (unbiased). c. Analisis komponen utama Dalam pertumbuhan sagu terdapat interaksi antara sagu dengan komponen abiotis. Komponen abiotis yang dimaksud adalah faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Untuk menjelaskan interaksi antara tumbuhan sagu dengan komponen abiotis, maka dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis / PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis komponen utama merupakan suatu teknik mereduksi data/variabel menjadi lebih sedikit, tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal. Reduksi data/variabel dilakukan dengan menggunakan statistik uji KMO (Kaiser- Meyer-Olkin) dan MSA (Measured sampling adequacy) dengan kriteria statistik >0,5. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot. Diagram ini digunakan untuk menjelaskan interaksi antar variabel melalui korelasi diantara variabel-variabel itu. Interpretasi sifat korelasi (positif dan negatif) tergantung sudut yang dibentuk oleh garis loading plot dua variabel. Apabila sudut yang terbentuk garis loading plot berbentuk lancip, maka korelasi bersifat positif. Jika sudut yang terbentuk tumpul, maka korelasinya bersifat negatif (Setiadi 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan peningkatan variabel pasangannya. Sebaliknya apabila korelasinya bersifat negatif, maka penambahan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel yang lain. Dengan mempertimbangkan eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi suatu faktor (Dewi 2005 dan Marzuki 2007). Dalam konteks ini dapat ditentukan kontribusi faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Habitat sagu yang dimaksudkan adalah berupa besarnya peran faktor-faktor tersebut di atas dalam menentukan, dapat tumbuh atau tidaknya sagu pada suatu tempat

75 50 (kesesuaian habitat sagu) di P. Seram. Melalui pendekatan ini dapat diketahui kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap habitat sagu. Dengan demikian dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap habitat sagu. Dalam pertumbuhan sagu dengan komponen abiotis, dapat memunculkan pengaruh dari setiap faktor (iklim, tanah, dan kualitas air rawa) terhadap parameter sagu. Untuk menjelaskan pengaruh faktor tersebut dapat didekati dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis ini merupakan pengembangan dari analisis komponen utama, dikombinansikan dengan analisis regresi klasik (Gasperz 1995). Dalam analisis regresi klasik, asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain adalah tidak terdapat korelasi diantara variabel bebas (multikolinieritas). Dengan kata lain antara variabel yang satu dengan yang lain bersifat ortogonal (saling bebas). Dalam melakukan analisis dengan variabel banyak (multivariate) seringkali tidak dapat dihindari terjadinya multikolinieritas ini. Oleh karena itu pendekatan statistika yang sesuai adalah dengan menggunakan analisis regresi komponen utama (Principal Component Regression Model). Sebagaimana dalam analisis regresi pada umumnya, dikenal variabel bebas (X) dan variabel tak bebas (Y). Dalam kaitan itu, maka model ini dipergunakan untuk menguji pengaruh komponen abiotis iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa dijadikan sebagai variabel bebas, sedangkan variabel tak bebas parameter sagu yakni jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Menurut Gaspersz (1995) model regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, dilakukan analisis dengan model berikut : Y wo w1 K1 w2k 2... wmk m v (20) dimana : Y = variabel tak bebas K j = vartiabel bebas komponen utama yang merupakan kombinasi linier dari semua variabel baku Z (j = 1, 2,, m) w o = konstanta w j = parameter model regresi (koefisien regresi), (j = 1, 2,, m) v = bentuk gangguan/galat.

76 51 Dalam proses analisis semua variabel bebas ditransformasi ke dalam variabel baku Z. Transformasi data ini diperlukan karena terdapat perbedaan satuan diantara variabel bebas. Transformasi data menggunakan rumus : dimana : xi x Z i ( ). (21) s i Z i = variabel bebas ke-i dalam bentuk baku x i = variabel bebas ke-i dalam bentuk asli x = nilai rata-rata dari variabel bebas x i s = simpangan baku (standard deviation) dari x i i Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan regresi dalam bentuk variabel asli X, sebagai berikut : Y b b x... o 1 1 b2 x2 bpxp.. (22) dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable) x i = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,,, p b o = konstanta (intersep) b i = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2,, p Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Fokus studi ini dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu, karena diduga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku, maupun istilah spesies yang banyak dianut di Indonesia. Dalam studi ini dilakukan pula kajian yang berkaitan dengan biodiversitas sagu berdasarkan tingkat keanekaragamannya. Secara teoritis atas dasar tingkatannya, keanekaragaman hayati terbagi atas tiga tingkatan yaitu : 1) keanekaragaman tingkat komunitas, 2) keanekaragaman tingkat spesies, dan 3) keanekaragaman tingkat genetik. Dalam hubungan itu, maka uraian mengenai keanekaragaman atau biodiversitas tumbuhan sagu disetarakan ke dalam tiga kategori tingkatan tersebut. Tahapan penelitian biodiversitas tersaji dalam Gambar 8. Dalam hubungannya dengan studi ini, maka tumbuhan sagu diletakkan pada tataran vegetasi, merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh bersama jenis tumbuhan

77 52 yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat. Ukuran petak pengamatan disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi. Untuk jenis vegetasi bawah (seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu (sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon 20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi : Pengamatan vegetasi Analisis Kemiripan Komunitas Pengamatan Spesies Analisis Keanekaragaman Spesies Klarifikasi Spesies Analisis Genetik (Isozim) Gambar 8. Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu 1. Spesies tumbuhan, dilakukan di lapangan dengan menggunakan buku panduan identifikasi spesies. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi di lapangan diambil bagian tumbuhan (herbarium) untuk diidentifikasi di laboratorium. 2. Jumlah tiap spesies, untuk keperluan penentuan kerapatan spesies. 3. Kedapatan pada setiap unit contoh untuk menentukan frekwensi spesies. 3. Luas tutupan (coverage). Parameter ini dilakukan dengan cara mengukur panjang jari-jari tutupan tajuk vegetasi. Kemudian luas tutupan tajuk suatu spesies ditetapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan-(4). Pengukuran ini dimaksudkan untuk menentukan dominasi spesies.

78 Biodiversitas komunitas Dalam rangka menjelaskan keanekaragam komunitas tumbuhan sagu di dalam wilayah P. Seram Maluku, maka didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas. Suatu wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas sagu. Untuk menentukan kemiripan komunitas antara satu wilayah sampel dengan wilayah sampel yang lain, maka dilakukan analisis kemiripan komunitas menggunakan indeks similaritas (IS) (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989). Penetapannya dengan menggunakan rumus berikut : 2w IS x100%. (23) ( a b) dimana : IS : Indeks similaritas (kemiripan) a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua tegakan yang diamati Untuk menentukan tingkat kemiripan antar komunitas, dalam konteks ini antara satu komunitas sagu dengan komunitas yang digunakan kriteria sebagai berikut : kemiripan sangat tinggi bila IS > 75 %, kemiripan tinggi bila 50 % < IS < 75 %, kemiripan rendah bila 25 % < IS < 50 %, dan kemiripan sangat rendah bila IS < 25 % (Krebs 1999) Biodiversitas spesies Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies pada setiap komunitas sagu. Pada setiap komunitas sagu dilakukan analisis untuk mengetahui keanekaragaman spesies di dalamnya. Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan biodiversitas spesies dalam komunitas sagu. Pendekatan yang dilakukan melalui indeks keanekaragaman Shannon (H ) untuk menjelaskan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu di P. Seram Provinsi Maluku dilakukan perhitungan nilai indeks keaneragaman Shannon-Wiener (H ). Penetapan nilai indeks Shannon ini menggunakan input data nilai penting pada setiap wilayah sampel sebagai suatu komunitas tumbuhan sagu. Besarnya nilai

79 54 indeks keanekaragaman spesies (Shannon-Wiener H ) ditetapkan dengan formula berikut ini (Ludwig dan Reynolds 1988) : H = - [(n.i/n)log(n.i/n)] (24) dimana : H : Indeks keanekaragaman n.i : nilai penting dari setiap jenis N : total nilai penting Secara teoritis nilai indeks keanekaragaman Shannon (H ) biasanya berkisar antara 0-7. Jika nilai H 1, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat rendah, jika 1 < H 2 termasuk dalam kategori rendah, jika 2 < H 3 termasuk dalam kategori sedang (medium), jika 3 < H 4 termasuk dalam kategori tinggi, dan jika H > 4, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat tinggi (Soegianto 1994) Biodiversitas genetik Sifat genetik dilakukan melalui analisis molekuler. Untuk mempelajari variasi karakteristik genetik masing-masing jenis sagu dalam studi ini digunakan melalui analisis isozim. Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaatkan dalam membedakan spesies/varietas tanaman yang secara taksonomi sukar dibedakan hanya berdasarkan sifat morfologinya. Isozim sebagai penanda biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar atau jenis tumbuhan. Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi (Marzuki 2007). Menurut Hartana (2005) isozim atau isoenzim mempunyai bentuk polimorfik dalam suatu organisme atau spesies tanaman yang sama tetapi mengkatalisator reaksi metabolisme yang berbeda. Polimorfisme isozim berupa molekul-molekul protein yang berbeda fenotipenya dapat ditampakkan dalam bentuk pola pita yang berbeda dengan menggunakan elektroforesis gel pati yang diwarnai dengan pewarna yang spesifik untuk setiap enzim. Untuk keperluan analisis ini diambil beberapa helai daun muda yaitu daun ketiga dari pucuk tunas (leaf index). Daun-daun terpilih kemudian dimasukkan

80 55 dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST). Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9. Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku No Nama daerah Sagu tuni Sagu Makanaru Sagu ihur Sagu durirotan Sagu molat Nama spesies secara umum* M. rumphii Mart. M. longispinum Mart. M. sylvestre Mart. M. micracanthum Mart. M. sagu Rottb. Nama spesies menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) Spesies Varietas Subvar. M. rumphii Mart. Micracanthum Becc. Tuni M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. M. sagu Rottb. Micracanthum Becc. Sylvestre Becc. Rotang Becc. Molat Becc. Makanaro Sumber : * Haryanto dan Pangloli (1992), Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), Rostiwati et al. (2008)

81 58 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Hasil analisis tutupan lahan (land cover) menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) menunjukkan bahwa tumbuhan sagu terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, lembah-lembah bukit dengan total luas areal mencapai ha (Lampiran 1). Apabila luas areal sagu ini dibandingkan dengan luas P. Seram 1,8 juta ha, maka luas tutupan sagu hanya mencapai satu persen. Dalam rangka uji akurasi dilakukan pengumpulan Ground Control Points (GCP). Tingkat akurasi klasifikasi cukup tinggi mencapai 76 % (Gambar 9) berdasarkan overall accuracy (Producer s Accuracy = 73 % dan User s Accuracy = 68 %). Tingkat akurasi ini dipengaruhi oleh awan dan kondisi topografi sehingga tumbuhan sagu tidak terdeteksi dengan baik pada citra. Selain itu diduga karena terdapat tumbuhan sagu yang tumbuh bercampur dengan vegetasi pohon dan/atau ternaungi sehingga nilai dijitalnya bercampur dengan nilai dijital tumbuhan di atasnya. Hambatan lain yang bisa terjadi adalah pertumbuhan sagu yang tidak teratur dengan luas klaster yang relatif terbatas yakni tidak mencukupi ukuran 3 x 3 piksel. Semua klaster sagu dengan ukuran luas melebihi ukuran tersebut apabila tidak terdapat hambatan lain, misalnya karena adanya awan, maka klaster tersebut tampak pada citra. Resolusi citra landsat-5tm minimal yang dapat terdeteksi pada citra sebanyak sembilan piksel karena dilakukan focal scan dengan ukuran window 3 x 3. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram apabila dikaitkan dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu : 1) lahan datar-curam, 2) dekat pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan 5) pada ketinggian tempat antara m dpl. Sifat-sifat lahan ini selanjutnya disebut sebagai kondisi habitat tumbuhan sagu yang sesuai, sedangkan kondisi lahan yang tidak termasuk dalam kategori di atas dikategorikan sebagai kondisi habitat yang kurang, bahkan tidak sesuai untuk pertumbuhan dan pengembangan sagu.

82 Gambar 9. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 57 58

83 Distribusi sagu pada berbagai elevasi Overlay antara distribusi sagu dan Digital Elevation Model (DEM) ASTER dan observasi lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan tumbuhan sagu tumbuh di dataran rendah pada elevasi (ketinggian tempat) 250 meter dari atas permukaan laut (m dpl) (Tabel 10 dan Gambar 10). Lahan pada ketinggian ini merupakan habitat yang banyak ditemukan tumbuhan sagu, mencapai 99,98 %. Bintoro (2008) mengemukakan bahwa pada tegakan sagu alami di berbagai daerah di Indonesia seperti Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera banyak ditemukan sagu tumbuh pada ketinggian tempat mencapai 300 m dpl. Secara umum tumbuhan sagu dapat tumbuh sampai mencapai ketinggian tempat 1000 m dpl, tetapi pertumbuhan sagu terbaik berada pada ketinggian antara m dpl. Pada ketinggian yang lebih besar pertumbuhannya terhambat dan memiliki kandungan pati rendah. Pada ketinggian tempat di atas 600 m dpl pertumbuhan sagu memendek, hanya mencapai tinggi sekitar enam meter. Atas dasar ketinggian tempat ini, berdasarkan hasil survey BPPT (1982) dilaporkan bahwa tumbuhan sagu di Maluku pada umumnya ditemukan tumbuh pada ketinggian antara 0-20 m dpl. Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram kondisi habitat yang sesuai terletak pada ketinggian tempat antara m dpl (Lampiran 2). Pada ketinggian tempat yang lebih besar dari 250 m dpl tumbuhan sagu yang tumbuh pada ketinggian tersebut tidak mencapai setengah persen. Hal ini berarti bahwa secara alami tumbuhan sagu tidak dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian yang melebihi 250 m dpl. Kalaupun terdapat sagu, luas klasternya kecil-kecil atau hanya terdiri atas beberapa rumpun. Klaster-klaster seperti dengan menggunakan citra Landsat tidak dapat terdeteksi. Kelas elevasi dan distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram disajikan pada Tabel 10.

84 Gambar 10. Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku 59 58

85 60 58 Tabel 10. Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku Ketinggian tempat Luas P. Seram % Luas sagu (ha) % (m dpl) (ha) ,32 34, ,61 73, ,29 18, ,28 26, ,87 13,25 39,87 0, ,83 9,78 0,00 0, ,02 7,08 0,00 0, ,10 5,11 0,00 0, ,98 2,46 0,00 0, ,82 3,83 0,00 0,00 > ,75 5,64 0,00 0,00 Jumlah ,98 100, ,76 100,00 Pada Tabel di atas tampak bahwa dari sisi ketinggian tempat di atas permukaan laut, lahan yang terletak pada ketinggian antara m dpl sebanyak ,61 ha atau setara 52,83 % dari total luas lahan di P. Seram yang mencapai 1,8 juta hektar. Hal ini berarti bahwa secara parsial berdasarkan ketinggian tempat, maka sekitar 50 % lahan sagu di P. Seram dapat dikatakan sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan tersebut tumbuh dan berkembang sekitar ha tumbuhan sagu. Distribusi sagu di P. Seram pada berbagai ketinggian tempat yaitu : 1) pada ketinggian m dpl sebanyak 13,39 ribu ha (73,39 %), 2) m dpl 4,81 ribu ha (26,39 %). Apabila luas ini dikaitkan dengan luas lahan yang terdapat pada ketinggian antara m dpl, maka dapat dikatakan bahwa hanya sekitar 1,94 % lahan yang ditumbuhi sagu, sisanya berupa jenis vegetasi yang lain. Overlay distribusi sagu pada berbagai ketinggian tempat di P. Seram tersaji pada Gambar Distribusi sagu pada berbagai kemiringan Kondisi topografi lahan di P. Seram pada umumnya berbukit dan berlereng. Berdasarkan sifat lahan ini, tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh pada kondisi lahan dengan kemiringan rendah atau memiliki slope antara kecilsedang, berkisar antara 0-40 % (Tabel 11 dan Gambar 11). Kondisi kemiringan lereng ini merupakan sifat lahan yang sesuai sebagai habitat untuk pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 3). Pada kemiringan lereng yang lebih besar dari 40 persen tidak sesuai bagi pertumbuhan sagu. Secara parsial berdasarkan kemiringan lereng, di P. Seram terdapat sekitar ,65 ha setara dengan 18,96

86 61 % luas lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan 336,9 ribu ha ini telah tumbuh sebanyak 18,239 ha sagu. Distribusinya pada berbagai kemiringan lereng yaitu : 1) kemiringan 0-88 % (datar) sebanyak 9,17 ribu ha (50 %), 2) 8-15 % (landai) 2,79 ribu ha (15 %), 3) % (agak curam) 2,85 ribu ha (16 %), % (curam) 2,68 ribu ha (15 %). Dengan kata lain sebanyak 98 % tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kemiringan lereng antara 0-40 %. Sisanya sebesar empat persen tumbuh pada kemiringan >40 %. Tabel 11. Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram, Maluku Kemiringan Lereng Luas P. Seram Luas sagu % (ha) (ha) % 0-8 % (Datar) ,65 18, ,20 50, % (Landai) ,77 15, ,39 15, % (Agak curam) ,78 23, ,35 16, % (Curam) ,77 30, ,00 >40% (Sangat curam) ,39 12,39 756,72 4,00 Jumlah ,36 100, ,66 100, Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan Sistem lahan (land system) berkaitan dengan bahan induk pembentukan tanah. Oleh karena itu sistem lahan menentukan jenis tanah yang terbentuk di suatu tempat. Berdasarkan analisis sistem lahan (land system), tumbuhan sagu di P. Seram kebanyakan terdistribusi pada sistem lahan dari bahan-bahan seperti : 1) Limestone; coral, seluas 607,86 ha (3,33 %), 2) Alluvium-recent riverine; alluvi, 1.102,05 ha (6,04 %), 3) Alluvium, estuarine marine; allu, 3.887,91 ha (21,32 %), 4) Schist; gneiss, 1.067,40 ha (5,85 %), 5) Phyllite; schist; gneiss; sandst, 2.101,32 ha (11,52 %), 6) Andesite; basalt; diorite; gabbr, 1.227,33 ha (6,73 %), dan 7) Phyllite; schist 1.025,00 ha (5,62 %) (Tabel 12 dan Gambar 12). Jumlah luas lahan pada sistem lahan ini mencapai ha, setara 62,64 % dari total lahan sagu pulau Seram 1,8 juta ha.

87 58 Gambar 11. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku 62

88 63 58 Tabel 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku Luas P. Seram Luas sagu No. Sistem Lahan % (ha) (ha) % 1. Coral; alluvium, recent estuarin ,93 0,79 607,86 3,33 2. Limestone; coral ,76 3, ,05 6,04 3. Alluvium-recent riverine; alluvi ,52 9, ,91 21,32 4. Alluvium-recent estuarine-marine ,50 0,92 410,13 2,25 5. Limestone; coral; sandstone; mar ,31 4,34 861,21 4,72 6. Alluvium recent riverine; alluvi ,47 1,54 723,33 3,97 7. Alluvium, estuarine marine; allu , ,80 5,83 8. Marl; limestone ,41 5,42 465,66 2,55 9. Schist; gneiss ,92 3, ,40 5, Alluvium, recent marine (beachs) 9.059,67 0,49 348,48 1, Sandstone; mudstone; shale; cong ,28 4,35 231,21 1, Phyllite; schist; gneiss; sandst ,74 18, ,32 11, Sandstone; mudstone; conglomerat ,49 10,59 315,45 1, Limestone; coral, alluvium, fan ,07 1,75 521,91 2, Clay ,11 14,14 301,95 1, Limestone; sandstone; marl ,24 1,53 291,78 1, Limestone ,09 4,48 30,78 0, Limestone; alluvium, recent rive ,04 0,97 429,12 2, Limestone; coral; marl; alluvium 9.786,69 0,53 134,46 0, Alluvium recent riverine; alluvi ,24 0,60 43,65 0, Sandstone; shale; alluvium, rece ,06 1,10 163,17 0, Marl; limestone; sandstone; shal 8.966,61 0,49 28,80 0, Granite; granodiorite 2.491,29 0,13 47,25 0, Andesite; basalt; diorite; gabbr ,64 5, ,33 6, Basalt; andesite 1.263, ,10 1, Serpentinite; peridotite; dunite 8.361,45 0,45 41,94 0, Andesite; basalt ,30 0,96 35,91 0, Alluvium, fan deposits alluvium, 926,62 0,50 63,99 0, Alluvium, fan deposits, colluviu 1.068,66 0,06 218,88 1, Alluvium, fan deposits ,61 0,55 0,00 0, Sandstone; shale; alluvium; old 2.165,76 0,12 27,72 0, Phyllite; schist 689,85 0, ,00 5, Alluvium, recent riverine; alluv 7.306,11 0,40 61,18 0,33 Jumlah ,04 100, ,75 100,00 Pada sistem lahan sebagaimana yang disebutkan di atas, lahan yang ditumbuhi sagu pada umumnya >1000 ha. Sistem lahan ini diduga merupakan sistem lahan yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 4).

89 58 Gambar 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku 64

90 Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah Berdasarkan sistem lahan, apabila dikaitkan dengan jenis tanah yang terbentuk di P. Seram, maka tampak bahwa tumbuhan sagu banyak berkembang pada lima jenis tanah yatitu : 1) entisols, 2) alfisols, 3) inceptisols, 4) oxisols, dan 5) ultisols (Tabel 13). Ciri yang dipakai untuk menjelaskan jenis-jenis tanah tersebut adalah berdasarkan empat huruf pada bagian akhir tiap-tiap jenis tanah, sesuai ketentuan penamaan menurut Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff USDA 1999). Jenis-jenis tanah ini yang selanjutnya dapat dikategorikan sebagai tanah-tanah yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 5). Distribusi sagu paling banyak pada jenis tanah entisols dan inceptisols. Jenis tanah ini merupakan tanah yang belum lama terbentuk atau tanah yang baru mulai berkembang. Diduga bahan-bahan penyusunnya berasal dari bahan endapan baru yang terbawa dari bagian ketinggian terbawa oleh aliran permukaan (run off), atau berasal dari endapan banjir apabila terjadi hujan. Menurut Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff USDA 1999) tanah-tanah ini merupakan jenis tanah baru (recent). Penamaan ini sepadan dengan jenis tanah Aluvial menurut sistem klasifikasi tanah yang dikembangkan oleh Pusat penelitian Tanah Bogor (Hardjowigeno 2003). Jenis tanah Entisols memiliki ciri antara lain selalu jenuh air dan matriksnya tereduksi pada semua horizon di bawah kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Sedangkan jenis tanah Inceptisols memiliki ciri antara lain mulai terbentuk struktur dan di dalam kedalaman 50 cm dari permukaan tanah mineral mengandung cukup besi fero (Fe 2+ ) aktif untuk dapat memberikan reaksi positif terhadap alpha, alpha-dipyridil ketika tanah tidak sedang diirigasi (Soil Survey Staff USDA 1999). Pada Gambar 13 tampak sebaran jenis tanah yang sesuai bagi habitat tumbuhan sagu. Tabel 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku No. Jenis tanah Luas (ha) (%) 1. Troporthens; Tropudalfs; Tropop 607,86 3,33 2. Rendolls; Eutropepts; Tropudalfs 1.665,63 9,13 3. Tropaquepts; Fluvaquents 3.887,91 21,32 4. Hydraquents; Sulfaquuents 410,13 2,25 5. Rendolls; Tropudalfs; Eutropepts 861,21 4,72 6. Tropoquepts; Eutropepts; Tropof 723,33 3,97

91 70 66 lanjutan 7. Tropaquepts; Eutropepts; Tropud 1.063,80 5,83 8. Eutropepts; Dystropepts; Troport 465,66 2,55 9. Dystropepts; Tropudults 2.377,17 13, Tropopsamments; Tropaquents 348,48 1, Tropudults; Dystropept 247,23 1, Humitropepts; Dystropepts; Tropa 2.101,32 11, Dystropepts; troporthents; Tropu 315,45 1, Rendolls; Eutropepts 552,69 3, Eutropepts; Paleudults; Troudal 301,95 1, Eutropepts; Tropudults 291,78 1, Tropofluvents; Tropaquepts 43,65 0, Tropudults; Tropudalfs; Dystrope 163,17 0, Eutropepts; Dystropepts; tropudda 28,80 0, Eutropepts; Dystropepts 359,10 1, Dystropepts; Eutropepts; Tropudu 41,94 0, Haplorthox; Acrorthox; Dystrpep 35,91 0, Dystropepts; Tropudults; Troport 63,99 0, Dystropepts; Dystrandepts; Tropa 218,88 1, Dystropepts; Dystrandepts; Tropu 27,72 0, tropaquents; Tropopluvents; Fluva 1.025,01 5, Eutropepts; Tropaquepts; Tropfl 9,99 0,05 Jumlah 18239,76 100, Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh di bagian pinggir kiri-kanan sungai yang datar atau berupa rawa-rawa yang senantiasa terendam air, baik permanen ataupun temporer (Gambar 14). Hasil observasi lapangan ditemukan bahwa tidak semua kawasan kiri-kanan sungai terdapat tumbuhan sagu. Bagian kiri-kanan sungai yang biasanya dapat ditemukan tumbuhan sagu adalah bagian pinggir sungai yang tanahnya terdapat liat, memiliki tekstur halus, atau mengandung bahan organik yang memadai yang ditunjukkan oleh perubahan warga coklat kehitaman. Pada bagian pinggir sungai yang didominasi partikel pasir, jarang atau bahkan tidak ditemukan sagu. Louhenapessy (1993) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu dapat bertumbuh dengan baik pada tanahtanah berpasir apabila mengandung bahan organik yang cukup.

92 58 Gambar 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku 67

93 58 66 Gambar 14. Distribusi sagu pada buffer sungai di P. Seram, Maluku 68

94 69 Hasil overlay distribusi sagu dengan jarak dari pinggir kiri-kanan sungai (buffer sungai) menunjukkan bahwa terdapat sekitar ,44 ha (59,40 %) tumbuhan sagu yang tumbuh pada sisi pinggir kiri-kanan sungai berjarak <300. Hal ini berarti bahwa terdapat sekitar 7.405,36 ha tumbuhan sagu yang tumbuh pada jarak > 300 m (40,60 %) dari sisi kiri-kanan sungai (Tabel 14). Tabel 14. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai di P. Seram, Maluku No. Jarak dari sungai Luas (ha) (%) m ,44 59,40 2. > 300 m 7.405,36 40,60 Jumlah ,80 100,00 Pada Tabel di atas tampak bahwa tidak semua areal sagu di P. Seram terdapat di tempat yang berdekatan dengan sungai pada jarak sekitar 300 m. Artinya terdapat sebagian tumbuhan sagu di luar jarak tersebut. Hal ini berarti bahwa buffer sungai untuk keperluan mengetahui distribusi tumbuhan sagu pada sisi kiri-kanan sungai jaraknya perlu diperlebar Studi Autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Struktur populasi Struktur populasi tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) dalam kajian ini diuraikan menurut fase pertumbuhan berdasarkan kriteria yang dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) dengan modifikasi. Fase pertumbuhan dimaksud meliputi fase semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (pole), dan pohon (trees). Secara teoritis dikenal tiga struktur populasi yang dapat ditemukan dalam pertumbuhan suatu organisme. Pemisahan ini pada umumnya didasarkan pada tingkatan umur organisme, yaitu struktur populasi menurun, stabil, dan muda (Wirakusumah 2003). Struktur populasi menurun dicirikan oleh jumlah populasi yang tinggi pada fase umur post-reproduktif, berkurang pada fase reproduktif, dan semakin sedikit pada fase pre-reproduktif. Struktur populasi stabil dicirikan oleh jumlah populasi yang rendah pada fase post-reproduktif,

95 70 makin bertambah pada fase reproduktif, dan makin bertambah lagi pada fase prereproduktif. Struktur populasi yang berikut adalah struktur populasi muda, yaitu struktur populasi yang dicirikan oleh jumlah individu rendah pada fase postreproduktif, sedang pada fase produktif, dan sangat banyak pada fase prereproduktif. Struktur populasi sagu yang ditemukan di P. Seram Maluku secara umum menyerupai struktur populasi muda yaitu populasi yang memiliki jumlah individu paling banyak pada fase semai, kemudian berkurang secara drastis pada fase sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada fase pohon (Gambar 15). Terjadinya peningkatan populasi pada fase pohon diduga karena tiga alasan yaitu : 1) fase pohon menghambat pertumbuhan sagu pada fase dibawahnya sehingga terjadi gap antara sagu fase tiang dan pohon belum panen. Hambatan ini berlangsung sampai dengan tumbuhan sagu fase pohon tersebut berbunga. Ketika tumbuhan sagu sampai pada fase berbunga, maka ukuran daun mengecil atau tangkai dan anak-anak daun memendek. Pada masa itu tidak lagi terjadi penambahan daun yang kemudian mengarah ke kematian. Hambatan tersebut dapat pula berakhir apabila tumbuhan sagu fase pohon telah dipanen, 2) sejak akhir fase tiang sampai dengan awal fase pohon panen diperlukan periode waktu sekitar 5-7 tahun, dengan asumsi masak panen sagu sekitar 15 tahun, 2) kriteria ukuran tinggi sekitar dua meter bagi pertumbuhan sagu selama fase tiang patut dikoreksi menjadi tiga meter atau memerlukan periode waktu sekitar empat tahun, dan Apabila tiga aspek sebagaimana tersebut di atas dimasukkan dalam pembangunan struktur populasi tumbuhan sagu, kemudian ditarik garis pola pertumbuhan (trend line) maka akan membentuk huruf J terbalik. Hasil ini mirip dengan temuan Rostiwati et al. (2008) yang memperoleh trend line yang sama dengan struktur populasi sagu berdasarkan data rumpun sagu alam di Papua dan Maluku. Dalam struktur populasi sagu di P. Seram secara umum, dimana jumlah individu rata-rata fase semai mencapai 83,04 ind/ha, apabila dibandingkan dengan jumlah individu rata-rata fase sapihan sebanyak 21,59 ind/ha, terlihat bahwa terjadi pengurangan jumlah individu sagu mencapai 76,18 %. Dengan kata lain hanya sebanyak 23,82 % individu semai sagu yang sukses tumbuh mencapai fase

96 71 sapihan. Tingginya tingkat kematian atau gagalnya individu sagu fase semai tumbuh masuk ke fase sapihan dan seterusnya karena beberapa aspek yaitu :1) sifat pertumbuhan tunas, 2) banyaknya jumlah tunas, 3) kondisi kemasaman tanah, dan 4) intensitas sinaran surya yang terbatas c. Struktur populasi sagu M. longispinum Mart. 79, d. Struktur populasi M. sagu Rottb. 18,87 Populasi sagu (ind/ha) ,22 15,14 5,26 5,73 3,21 Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Populasi sagu (ind/ha) ,93 7,82 3,03 3,39 3,39 Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Fase Pertumbuhan Fase Pertumbuhan Populasi sagu (ind/ha) a. Struktur populasi M. rumphii Mart. 168,9 42,53 36,73 15,31 6,29 0,7 Populasi sagu (ind/ha) b. Struktur populasi sagu M. sylvestre Mart. 65,12 20,76 18,60 6,49 3,67 0,53 Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Fase Pertumbuhan Fase Pertumbuhan Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Gambar 15. Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku Dalam pertumbuhan tunas anakan sagu, terdapat sebagian yang muncul dari pangkal batang tidak bersentuhan dengan permukaan tanah (anakan menggantung) (Gambar 16) dan selama beberapa periode waktu tertentu sistem perakarannya tidak dapat mencapai permukaan tanah untuk masuk ke dalam tanah melakukan fungsi penyerapan unsur hara dan air. Pada masa tertentu suplai

97 72 makanan dari pohon induk ke tunas anakan tersebut terhenti. Dengan terhentinya suplai makanan ini, maka kebutuhannya tidak mencukupi untuk melangsungkan pertumbuhannya, selanjutnya menyebabkan kematian tunas anakan. ±50 cm Gambar 16. Anakan sagu M. rumphii Mart. yang tumbuh menggantung Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan dengan individu yang tumbuh lebih awal. Dalam rumpun sagu sangat mungkin terjadi kompetisi atau persaingan diantara sesama individu semai itu sendiri dan fase di atasnya. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas tanah (atmosfer) seperti udara, cahaya, ruang, dan komponen di dalam tanah seperti air, oksigen, dan unsur hara. Hasil pengukuran intensitas sinaran surya di dekat rumpun sagu menunjukkan bahwa hanya sekitar 12,40 % setara 206,53 lux sinaran surya yang masuk sampai di dekat rumpun sagu. Pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux. Hal ini karena terdapat hambatan masuknya cahaya matahari oleh tajuk rumpun

98 73 tumbuhan sagu itu sendiri. Keterbatasan intensitas sinaran ini dapat berdampak terhadap pertumbuhan anakan sagu dan dapat berakhir dengan kematian. Sinaran surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan, dan berperan dalam proses fotosintesis. Apabila intensitas sinaran surya terbatas maka proses fotosintesis tidak dapat berlangsung secara maksimal. Implikasi berikutnya adalah hasil fotosintesis (fotosintat) akan berkurang. Dengan demikian kebutuhan tunas anakan tidak dapat terpenuhi, selanjutnya dapat menyebabkan kematian anakan sagu. Tumbuhan sagu selain tumbuh pada lahan kering, sebagian besar tumbuh pada kondisi habitat tergenang, baik temporer maupun permanen. Lahan yang tergenang memungkinkan kondisinya menjadi tereduksi. Artinya terjadi kekurangan oksigen di dalam air dan tanah, karena diserap oleh akar dan organisme yang hidup di air maupun dalam tanah melalui proses respirasi. Dalam proses respirasi terjadi pembebasan molekul karbondioksida (CO 2 ). Dengan pertambahan waktu akan terjadi akumulasi CO 2 dalam air dan dalam tanah. Akumulasi ini memungkinkan terjadi reaksi dengan molekul air (H 2 O) menghasilkan senyawa asam karbonat (H 2 CO 3 ). Senyawa ini memberikan akses masam ke dalam tanah maupun air, sehingga tingkat kemasaman akan meningkat (ph turun). Hasil analisis ph (KCl) tanah atau kemasaman potensial dapat mencapai 4,3. Artinya apabila kondisi tanah terendam air dalam periode waktu cukup lama, kemasaman tanah berpotensi turun mencapai angka tersebut. Dalam kaitan dengan kematian tunas anakan sagu, diduga sebagian tunas anakan yang baru muncul tidak dapat bertahan hidup pada kondisi kemasaman yang rendah, dapat pula terjadi melalui pengaruh kemasaman rendah terhadap sistem perakaran tunas anakan yang masih muda. Kemasaman dapat bersifat mengikis sehingga dapat merusak sel-sel akar terutama yang masih muda. Akar tunas anakan yang mengalami kerusakan, berdampak terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan dapat menyebabkan kematian anakan. Kematian anakan sagu dapat pula disebabkan karena keracunan Fe dan Al. Hasil pengukuran Fe dan Al di dalam tanah mencapai 3,08 % dan 4,99 %, termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Brady (1990)

99 74 mengemukakan bahwa konsentrasi unsur mikro seperti Fe yang terlalu tinggi dalam tanah dapat bersifat toxic. Fakta penelitian mengenai kematian semai pada kondisi habitat tergenang atau tereduksi menunjukkan bahwa jumlah populasi semai pada kondisi habitat tergenang temporer air payau dan tergenang permanen hanya mencapai 162 ind/ha dan 264 ind/ha. Jumlah populasi ini hanya separoh dibandingkan dengan populasi semai pada habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar masing-masing sebesar 345,28 ind/ha dan 416,90 ind/ha. Hasil penelitian jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram ditemukan sebanyak 176,55 rumpun/ha (Gambar 17 dan Lampiran 6). Pada setiap rumpun sagu tidak selalu dapat ditemukan rumpun yang memiliki semua fase pertumbuhan berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Komposisi fase pertumbuhan yang sering dijumpai pada suatu rumpun sagu di lapangan dalam komunitas sagu alami adalah sebagai berikut : semai, sapihan, pohon; semai, pohon; semai, tiang; semai, sapihan; dan/atau hanya semai saja. Pada sejumlah rumpun sagu yang mencapai 176,55 rumpun/ha, ditemukan fase pohon sebanyak 106,06 ind/ha. Jumlah populasi pohon ini termasuk tumbuhan sagu fase masak panen dan yang telah melampaui fase masak panen (pohon veteran). Hal ini berarti bahwa sekitar 60 % rumpun sagu yang memiliki fase pohon. Dengan kata lain bahwa sekitar 40 % rumpun tumbuhan sagu di P. Seram tidak terdapat fase pohon. Terlihat pada Gambar 17 bahwa dalam struktur populasi tumbuhan sagu, fase tiang memiliki jumlah populasi paling sedikit hanya sekitar 30,3 ind/ha, atau hanya 17,2 % dari jumlah populasi rumpun yang terbentuk. Sedangkan fase sapihan mencapai 49,3 %, dan pada fase semai jumlah populasinya paling tinggi yakni mencapai dua kali lipat dari jumlah rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap rumpun tumbuhan sagu dapat ditemukan lebih dari satu individu fase semai, bahkan di lapangan untuk jenis tanaman sagu tuni dan sylvestre ditemukan ada yang dapat mencapai lebih dari 10 individu semai (rata-rata 6-8), tetapi pada fase yang lain tidak selalu terdapat pada setiap rumpun.

100 , Populasi sagu (ind/ha) ,6 87,1 80, ,27 19,08 6,48 Rumpun Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Fase Pertumbuhan Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Gambar 17. Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan Kelimpahan Kelimpahan sagu (Metroxylon spp.) dalam uraian ini diletakkan pada kelimpahan menurut spesies yang dipahami secara umum. Parameter yang dipergunakan untuk menjelaskan kelimpahan jenis adalah menurut jumlah rumpun dan indeks nilai penting (INP). Dari lima spesies sagu yang ditemukan di P. Seram yaitu M. rumphii Mart., M.sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. Khusus spesies M. microcanthum Mart. tidak diuraikan dalam pembahasan dikarenakan jumlah individunya sangat terbatas yakni tidak mencapai satu persen. Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting empat spesies sagu menunjukkan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak dan indeks nilai penting paling tinggi diantara semua spesies sagu, bahkan diantara semua spesies tumbuhan dalam komunitas sagu di P. Seram (Tabel 15 dan Gambar 18). Hal ini berarti bahwa spesies M. rumphii

101 76 Mart. merupakan spesies tumbuhan yang memiliki kerapatan, frekwensi yang melampaui spesies sagu yang lain. dominasi, dan Fakta ini memberikan petunjuk bahwa sebagian besar lahan dalam komunitas sagu di P. Seram ditempati atau dikuasai oleh spesies M. rumphii Mart. (Lampiran 7) Tabel 15. Kelimpahan Metroxylon spp. di P. Seram, Maluku Parameter Kelimpahan Wilayah Sampel Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT Rataan M. rumphii Mart. Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon Tiang Sapihan Semai M. longispinum Mart. Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon Tiang Sapihan Semai M. sylvestre Mart. Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon Tiang Sapihan Semai M. sagu Rottb. Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon Tiang Sapihan Semai Keterangan : SBB = Seram bagian Barat, MT = Maluku Tengah, SBT = Seram Bagian Timur, INP = indeks nilai penting. Secara ekologi nilai penting yang diperlihatkan oleh suatu spesies, merupakan indikasi bahwa spesies yang bersangkutan dianggap dominan pada kondisi habitat tersebut, yaitu mempunyai nilai frekwensi, kerapatan, dan dominasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies tumbuhan lain. M. rumphii Mart. merupakan spesies sagu dengan indeks nilai penting paling tinggi, mencapai 108,33 %. Spesies tumbuhan sagu yang juga memiliki indeks nilai

102 77 penting cukup tinggi yaitu M. sylvestre Mart. 48,71 % dan M. longispinum Mart. 51,77 %. Sedangkan dua spesies sagu yang lain indeks nilai pentingnya < 35 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kemampuan menguasai ruang spesies M. rumphii Mart. dua kali lebih besar dibandingkan sagu M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. Sedangkan kemampuan menguasai ruang spesies M. rumphii Mart. apabila dibandingkan dengan M. sagu Mart. tiga kali lebih tinggi. Secara keseluruhan kemampuan spesies sagu di P. Seram dalam menguasai ruang dalam komunitas sagu alami mencapai %, khusus spesies M. rumphii Mart. kemampuan menempati ruangnya sekitar 43,12 % , ,47 84,32 80,81 Nisbah jumlah dominasi (%) ,47 36,53 18,53 15,68 19, ,02 Semai Sapihan Tiang Pohon Rataan Fase pertumbuhan Keterangan : NJD = nisbah jumlah dominasi Sagu Non-sagu Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Gambar 18. NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku Pada Gambar 18 diperlihatkan nisbah jumlah dominasi (NJD = INP/3) spesies sagu secara ekologi merupakan spesies dominan dalam menguasai habitat. Sedangkan spesies tumbuhan lain (bukan sagu) memiliki nilai NJD yang rendah. Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang dijumpai pada tipe

103 78 vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Menurut Mueller dan Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan menyolok. Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan rumpun a. Pertumbuhan Dalam uraian untuk menjelaskan pertumbuhan sagu, maka siklus pertumbuhan sagu dipisahkan atas beberapa fase pertumbuhan menurut kriteria sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu fase semai (seedling). sapihan (sapling), tiang (pole), dan pohon (trees). Fase semai diawali dari keluarnya tunas sampai batang utama terbentuk (masa roset). Pada saat muncul tunas anakan, keluar satu tangkai daun, disusul dengan tangkai daun berikutnya. Setelah terbentuk anakan sempurna jumlah tangkai daun berkisar antara 3-4 tangkai dengan panjang sekitar cm. Anakan yang terus membesar, diikuti dengan bertambahnya jumlah tangkai daun antara 5-6 tangkai, dengan panjang antara 1-2 m. Menjelang masa roset, jumlah tangkai daun berkisar antara 6-8 tangkai dengan panjang sekitar 3-4 m, dan setelah masa roset jumlah tangkai daun berkisar antara 7-9 tangkai, dengan panjang dapat mencapai 5 m. Anakan sagu yang keluar dari bagian pangkal batang memiliki jumlah yang bervariasi, tergantung jenisnya. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. biasanya memiliki jumlah anakan yang lebih banyak mencapai 7-8 anakan. Sedangkan spesies sagu yang lain relatif lebih sedikit, jumlah anakan spesies M. longispinum Mart. sekitar 6-7 anakan, M. sagu Rottb. 3-4 anakan, dan yang paling sedikit ditemukan pada spesies M. microcanthum Mart. hanya sekitar 2-3 anakan.

104 79 Tunas anakan sagu yang muncul tidak semuanya sukses tumbuh menjadi anakan fase bibit (fase yang lebih besar). Sebagian besar mengalami kematian selama masa pertumbuhan awal. Berdasarkan letak tunas anakan sagu pada bagian pangkal batang, ditemukan dua tipe yaitu : 1) tunas anakan yang keluar dari bagian pangkal batang di bawah permukaan tanah atau sejajar permukaan tanah, dan 2) letak tunas anakan beberapa centimeter dari atas permukaan tanah. Tunas anakan ini biasanya gagal untuk tumbuh dan berkembang ke fase selanjutnya. Selain dari bagian pangkal batang, tunas anakan sagu muncul pula dari rhyzome yang memanjang. Pada rhyzome ini, tunas anakan keluar dari bagian bawah atau sejajar permukaan tanah dan ada pula yang keluar dari bagian atas, tidak bersinggungan dengan permukaan tanah. Tunas anakan sagu yang disebut terakhir paling rentan terhadap kematian (Gambar 19). Sejak mulai muncul tunas anakan pada pangkal batang, sampai terbentuk batang di permukaan tanah (masa roset) diperlukan waktu sekitar tiga tahun. ±3 m Gambar 19. Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome Setelah terbentuk batang pokok di permukaan tanah, pertumbuhan sagu masuk pada fase berikutnya yaitu fase sapihan (sapling). Fase ini ditandai

105 80 dengan mulai terbentuk batang sempurna sampai tinggi batang mencapai ukuran sekitar dua meter. Masa pertumbuhan selama fase ini diperlukan waktu sekitar tiga tahun (Sjachrul 1993). Dengan demikian masa pertumbuhan sejak muncul tunas anakan sampai akhir fase ini memerlukan waktu sekitar enam tahun. Pada fase ini jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan panjang sekitar 5-6 meter. Pada spesies M. rumphii dan M. sylvestre panjang pelepah daun dapat mencapai 7-7,5 meter, dengan jumlah anak daun dapat mencapai 140 helai. Pada fase ini tumbuhan sagu sudah mulai menghasilkan tunas anakan. Setelah mencapai umur lebih dari enam tahun, tumbuhan sagu masuk ke fase tiang (pole). Fase ini berlangsung sekitar tiga tahun, dan selama masa periode fase ini terjadi pertambahan tinggi batang yang bertambah sekitar tiga meter, sehingga total tinggi batang sampai dengan akhir fase tiang sekitar lima meter (Sjachrul 1993). Sejak mulai muncul tunas anakan sampai berakhir fase ini dibutuhkan waktu sekitar sembilan tahun. Sejak fase ini sering kali terjadi pertambahan diameter batang, sehingga ukuran batang relatif lebih besar daripada ukuran batang sagu di bagian pangkal. Selama fase tiang jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan jumlah anak daun dapat mencapai 180 helai. Panjang pelepah daun dapat mencapai 7,5 8,0 meter, bahkan pada jenis sagu sylvestre yang pertumbuhannya bagus, panjang pelepah daun dapat mencapai 9-10 meter. Pada akhir fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lima meter. Setelah mencapai umur sekitar sembilan tahun, maka tumbuhan sagu telah masuk ke fase pohon (trees). Pada fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lebih dari lima meter (Sjachrul 1993). Terdapat jenis sagu tertentu seperti spesies rotang dan makanaro sudah dapat dipanen pada tinggi batang mencapai 7-8 meter. Dari fase tiang sampai mencapai ukuran tinggi batang tersebut diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun. Dengan demikian tumbuhan sagu secara alami baru dapat dipanen setelah mencapai umur paling kurang 12 tahun. Pada jenis-jenis sagu yang memiliki ukuran tinggi pohon antara meter, diperkirakan untuk sampai pada masa panen diperlukan masa pertumbuhan sekitar tahun. Jenis-jenis sagu yang dapat mencapai ukuran tinggi tersebut seperti spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Selama fase ini jumlah tangkai daun berkisar antara tangkai dengan panjang pelepah mencapai 7-8

106 81 meter, dan jumlah anak daun mencapai 200 helai. Meskipun demikian, menjelang masa pembungaan ukuran pelepah daun dan anak-anak daun mulai memendek, dan pada masa pembungaan jumlah pelepah daun tidak lagi mengalami penambahan. b. Perkembangbiakan dan mekanisme pembentukan rumpun Tumbuhan sagu berkembangbiak dengan menggunakan organ generatif dan vegetatif. Perkembangbiakan dengan organ generatif menggunakan buah atau biji. Di dalam buah terdapat biji yang dapat berkecambah, tumbuh, dan berkembang membentuk individu baru. Agen penyebaran sagu melalui organ buah/biji ini diduga terjadi melalui perantaraan air, karena buah sagu dilengkapi dengan sabut yang dapat menjadikan buah sagu terapung, kemudian terbawa mengikuti arus pergerakan air. Buah sagu yang jatuh di sekitar pohon, bila terjadi hujan dan tinggi muka air meningkat, maka buah sagu akan terapung, kemudian terbawa dari bagian muara sungai atau bagian kaki bukit terangkut mengikuti arus genangan ke bagian pesisir. Apabila aliran genangan masuk sampai ke bagian pesisir pantai, maka buah sagu akan terbawa arus ke berbagai tempat dan memungkinkan terdampar pada sisi pesisir pulau lain. Jika kondisi lingkungan mendukung untuk perkecambahan biji, maka dari biji akan tumbuh anakan dan seterusnya menjadi generasi baru di tempat tersebut. Agen penyebaran buah sagu yang lain seperti melalui perantaraan hewan, menurut hemat penulis kemungkinan itu sangat kecil dikarenakan tidak terdapat bagian buah atau biji yang disukai sebagai makanan hewan liar. Argumen ini memiliki kelemahan karena penulis tidak memiliki fakta empiris atau sandaran hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam melakukan observasi atau penelitian lapangan di P. Seram selama lebih kurang enam bulan sejak Maret-Agustus 2009, tidak ditemukan fakta adanya biji sagu yang berkecambah di bawah tegakan pohon yang tumbuh dengan kerapatan tinggi. Pada tempat yang lain di sekitar hutan sagu dimana terjadi pembukaan hutan oleh masyarakat petani pengolah sagu, ditemukan biji-biji sagu yang berkecambah dengan baik dalam jumlah terbatas (Gambar 20). Fakta ini menunjukkan bahwa biji sagu akan mengalami hambatan perkecambahan apabila

107 82 tidak mendapat penyinaran surya yang cukup atau tidak mendapat penyinaran surya secara langsung. Hal ini berarti bahwa untuk mematahkan dormansi biji sagu diperlukan intensitas sinaran surya yang cukup. Apabila intensitas sinaran surya tidak terpenuhi, maka biji sagu akan tetap mengalami dormansi atau gagal berkecambah. Gambar 20. Pertumbuhan anakan sagu melalui biji Kueh (1977 dalam Flach 1983) melaporkan hasil penelitian perkecambahan biji sagu yang berasal dari Serawak, sebagian besar biji tidak dapat berkecambah, terdapat beberapa biji yang berkecambah namun memiliki mutu yang rendah. Disebutkan bahwa kegagalan perkecambahan itu kemungkinan karena biji-biji sagu tersebut tidak mendapatkan cahaya yang cukup atau cadangan makanan telah berkurang karena tersimpan dalam waktu yang cukup lama. Cara perkembangbiakan sagu yang kedua adalah melalui organ vegetatif berupa anakan, stolon, atau rhyzome yang muncul dari bagian pangkal batang. Anakan sagu biasanya muncul dari pangkal batang di bagian bawah permukaan tanah, sejajar permukaan tanah, atau tidak menyentuh permukaan tanah. Tipe anakan yang disebut terakhir pada umumnya gagal untuk tumbuh menjadi individu baru ke fase pertumbuhan berikutnya. Agen penyebaran sagu dengan

108 83 organ ini yang paling banyak terjadi melalui perantaraan manusia terutama dalam praktek budidaya. Dalam perkembangbiakan secara vegetatif ini, apabila anakan sagu tumbuh berdekatan dengan pohon induk, maka rumpun terbentuk memiliki jumlah individu yang relatif banyak. Di lapangan ditemukan rumpun sagu spesies tertentu seperti M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dapat terdiri dari individu. Rumpun sagu dengan jumlah individu sebanyak itu memiliki kemampuan penguasaan ruang dapat mencapai 10 m 2. Pertumbuhan rhyzome (percabangan basal) yang memanjang menjauh dari pohon induk, terpisah dari rumpunnya pada jarak antara 1,5 2,0 m dapat tumbuh dan berkembang membentuk rumpun sendiri (Gambar 21). Dalam mekansime pembentukan rumpun ini, percabangan basal tumbuh membesar, setelah mencapai fase sapihan mulai diikuti dengan terbentuknya tunas. Tunas-tunas ini selanjutnya tumbuh membesar, secara bersama-sama dengan pohon induk membentuk rumpun baru. ±2,5 m Gambar 21. Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk Percabangan basal akan mengalami pemanjangan, menjauh dari pohon induk atau rumpun apabila terdapat hambatan dalam pertumbuhannya, atau

109 84 terdapat kondisi yang tidak memungkinkan untuk segera tumbuh vertikal membentuk individu baru. Hambatan yang dapat menyebabkan percabangan basal memanjang jauh dari pohon induk antara lain adalah adanya tumpukan tangkai daun kering yang jatuh berserakan. Tumpukan ini memunculkan hambatan sinaran surya yang dapat memacu pergerakan tunas ke arah vertikal sebagai bagian dari mekansime fototropisme. Dengan kata lain terjadi hambatan terhadap sinaran surya sehingga pemunculan tunas ke arah vertikal terhambat, sehingga pada periode tertentu tumbuh secara horizontal, setelah cahaya cukup kemudian tumbuh secara vertikal. Dalam perkembangan selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan tunas-tunas baru membentuk suatu rumpun lagi Sifat morfologi sagu Sagu (Metroxylon spp.) merupakan jenis tumbuhan palem tropika basah, apabila diamati secara morfologi memiliki bentuk arsitektur pohon model Tomlinson. Model arsitektur ini dicirikan oleh adanya beberapa sumbu yang terbentuk dari percabangan basal, yaitu percabangan yang berkembang dari munculnya mata tunas di bagian pangkal batang, kemudian memanjang atau menjalar ke arah samping menyerupai akar (rhyzome) seterusnya membentuk individu baru (caulomere). Masing-masing kaulomer pada awalnya dihasilkan dari dasar batang yang semula jumlahnya hanya satu, terus bertambah muncul dari permukaan tanah (Halle & Oldeman 1975). Tumbuhan sagu memiliki sistem perakaran yang serupa dengan perakaran jenis tumbuhan palem pada umumnya yaitu sistem akar serabut. Akar keluar dari hampir seluruh permukaan pangkal batang di bawah permukaan tanah, bahkan sampai beberapa sentimeter di atas permukaan tanah. Akar keluar secara padat menyebar memanjang ke arah horizontal dan vertikal. Perakaran tumbuhan sagu menyebar horizontal sampai radius 3-4 meter dari pangkal batang. Sedangkan jangkauan jelajah ke dalam tanah dapat lebih dari satu meter, namun akumulasi perakaran paling banyak terdapat pada kedalaman tanah sekitar 60 cm. Diameter akar rata-rata sekitar satu centimeter, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Sepanjang akar terdapat bagian menyerupai buku, dengan jarak yang bervariasi antara 3-5 cm. Ujung akar pada umumnya berwarna putih kekuningan atau

110 85 kemerahan. Hampir pada seluruh permukaan akar tumbuh bulu-bulu akar dengan panjang antara 3-5 cm dan diameter 1,5-2,0 mm. Batang sagu berbentuk bulat, ukuran diameter bervariasi, tergantung spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran diameter batang berkisar antara cm, M. longispinum Mart. dan M. microcanthum Mart. memiliki diameter sekitar cm. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. pada umumnya memiliki ukuran diameter sekitar cm. Tinggi batang sagu bebas daun juga bervariasi tergantung spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran tinggi batang antara meter, M. longispinum Mart. sekitar meter, M. microcanthum Mart meter, dan M. sagu Rottb. berkisar antara meter. Susunan penampang batang dari bagian luar ke dalam terdiri dari kulit luar yang tipis, kulit keras, serat kasar, dan empulur. Pada sisi bagian luar batang terdapat tanda bekas pelepah daun. Jarak antara bekas pelepah yang satu dengan yang lain secara vertikal berkisar antara cm. Warna empulur bervariasi tergantung jenis sagu mulai dari putih sampai kemerahan. Spesies M. rumphii Mart. mempunyai empulur berwarna putih agak kemerahan, M. sylvestre Mart. kemerahan, M. longispinum Mart. merah muda, M. microcanthum Mart. berwarna merah muda, dan M. sagu Rottb. berwarna putih. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) dikemukakan bahwa bahwa berat kulit batang sagu berkisar antara % dari berat batang, sisanya berupa berat empulur sekitar % dan perbandingan antara berat kulit batang dan empulur selama masa pertumbuhan sagu relatif tetap. Daun tumbuhan sagu terdiri dari pelepah (tangkai daun), anak daun, tulang daun, dan spesies M. rumphii Mart. terdapat duri (spine) yang menempel pada hampir seluruh bagian pangkal pelepah. Duri-duri tersebut juga terdapat pada bagian belakang tangkai daun. Duri juga terdapat pada sisi pinggir anak daun berupa duri-duri halus. Pangkal pelepah daun sagu menempel mengitari batang. Di sepanjang tangkai daun tumbuh anak daun menyirip berhadapan atau agak berhadapan. Jarak tata letak anak daun pada tangkainya berkisar antara 5-10 cm. Pelapah atau tangkai daun berjumlah antara tangkai dan memiliki ukuran panjang sekitar 5-7 m. Pada spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. ukuran tangkai daun dapat mencapai delapan meter bahkan lebih. Setiap tangkai

111 86 daun dewasa terdapat sekitar pasang anak daun. Anak daun memiliki ukuran panjang antara cm, dan lebar cm. Flach (1983) mengemukakan bahwa tanaman sagu memiliki tangkai mencapai 18 tangkai dengan ukuran antara 5-7 m. Setiap bulan terbentuk satu tangkai daun, dan umur rata-rata tangkai daun diperkirakan sekitar bulan. Tangkai daun berwarna hijau muda, kemudian berubah warna menjadi hijau kekuningan dan selanjutnya tangkai dan anak-anak daun menguning, mengering dan gugur. Daun sagu yang masih muda pada umumnya berwarna hijau muda, kadang-kadang berwarna hijau keunguan. Dengan bertambah umur secara berangsur-angsur berubah warna menjadi hijau tua, kuning, dan coklat apabila telah mengering. Tumbuhan sagu diperkirakan mulai berbunga pada umur sekitar tahun, diikuti dengan pembentukan buah. Masa pembungaan diawali dengan munculnya tanda-tanda seperti tangkai daun dan anak-anak daun memendek, ukuran lebar menyempit dan pelepah tangkai daun menunjukkan perubahan warna menjadi hijau kekuningan. Tomlinson (1990 dalam Flach 1997) melakukan deskripsi pembungaan Metroxylon spp. dilaporkan bahwa palem ini melengkapi proses pertumbuhan dengan membentuk pembungaan, merupakan indikasi akan berakhirnya masa pertumbuhan yang diakhiri dengan kematian. Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk batang, berwarna merah kecoklatan. Bunga bercabang banyak seperti tanduk rusa yang terdiri dari cabang primer, sekunder, dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Diduga penyerbukan tumbuhan sagu berlangsung secara silang (Flach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai buah salak. Kulit buah berupa sisik yang tersusun secara diagonal. Di dalam buah terdapat biji yang sifatnya fertil. Dikemukakan juga bahwa waktu antara bunga mulai muncul sampai fase pembentukan buah, berlangsung sekitar dua tahun Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu Secara umum tipe habitat sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu 1) tipe habitat lahan kering dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa rawarawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat kedua atas

112 87 dasar karakteristiknya dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi beberapa tipe habitat yaitu : 1) tipe habitat tergenang air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan atau berbatasan dengan vegetasi nipah (mangrove). Pada umumnya terdapat di bagian belakang nipah, dari bagian pesisir ke arah daratan. Tumbuhan sagu pada tipe habitat ini biasanya mengalami perendaman atau tergenang apabila terjadi air pasang, dan kondisi habitatnya mengering jika terjadi air surut, 2) tipe habitat tergenang sementara oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan. Apabila terjadi hujan habitat sagu mengalami genangan selama beberapa waktu, pada umumnya sekitar satu sampai dua minggu atau paling lama satu bulan. Apabila tidak terjadi hujan maka kondisi habitatnya mengering, 3) tipe habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat sagu yang mengalami genangan pada periode waktu relatif cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan. Air genangan bisa berasal dari air hujan atau air sungai, dan 4) tipe habitat lahan kering, artinya kondisi habitat sagu tidak pernah mengalami genangan air, apakah dari air hujan, sungai atau air laut. Kondisi lahan pada tipe habitat ini pada umumnya kemiringan lahan agak datar, sehingga tidak memungkinkan air sungai, air laut ataupun air hujan yang jatuh tidak menyebabkan genangan tetapi mengalami run off masuk ke sungai atau kolam yang dapat menampung sejumlah air, seringkali masuk ke tipe habitat tergenang tidak permanen air tawar atau ke tipe habitat permanen (Lampiran 8). Di dalam wilayah P. Seram terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) M. rumphii Mart., 2) M. sylvestre Mart., 3) M. longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan 5) M. sagu Rottb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua spesies sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Dari lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram, hanya tiga spesies sagu yang ditemukan tumbuh pada semua tipe habitat yaitu M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. (Tabel 16). Dua spesies tumbuhan sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. ditemukan pada tipe habitat terbatas. Spesies M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer

113 88 air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Hal ini menunjukkan bahwa tiga spesies tumbuhan sagu yang disebutkan pada bagian awal memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe habitat, sedangan dua spesies yang lain memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan tipe habitat yang relatif terbatas. Tabel 16. Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram, Maluku tahun 2009 No Tipe Habitat Spesies Rataan sagu TTG T2AT T2AP TPN ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha % Populasi rumpun 1. M. rumphii 103,26 58,9 124,33 50,1 62,08 64,2 61,20 37,3 87, M. longisp. 28,37 15,8 26,01 10,5 20,00 20,7 36,04 22,0 27, M.sylvestre 37,95 22,9 85,10 34,3 14,58 15,1 11,58 7,1 37, M. microc. 4,27 2,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 1, M. sagu 0,00 0,0 12,50 5,0 0,00 0,0 55,19 33,7 16, Jumlah ,0 247,94 100,0 96,67 100,0 164,0 100,0 170,6 100,0 Populasi semai 1. M. rumphii 186,35 54,00 195,56 46,9 159,38 65,6 90,69 34,3 158, M. longisp. 53,4 15,5 49,74 11,9 40,00 16,5 77,24 29,2 55, M.sylvestre 96,46 27,9 157,71 37,8 43,75 18,0 41,24 15,6 84, M. microc. 9,06 2,6 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 2, M. sagu 0,00 0,0 13,89 3,3 0,00 0,0 55,63 21,0 17, Jumlah ,0 416,90 100,0 162,08 100,0 264,8 100,0 317,5 100,0 Populasi sapihan 1. M. rumphii 25,97 57,0 25,64 45,1 24,38 73,6 16,77 27,6 23, M. longisp. 6,46 14,2 7,68 13,5 7,50 22,6 17,48 28,8 9, M.sylvestre 11,01 24,2 18,88 33,2 1,25 3,8 3,30 5,4 8, M. microc. 2,12 4,7 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0, M. sagu 0,00 0,0 4,63 8,2 0,00 0,0 23,16 38,2 6, Jumlah ,0 56,83 100,0 33,13 100,0 60,71 100,0 49,06 100,0 Populasi tiang 1. M. rumphii 10,66 58,8 11,04 47,4 2,50 60,0 8,50 33,8 8, M. longisp. 1,11 6,1 3,57 15,3 1,67 40,0 8,06 32,1 3, M.sylvestre 5,80 32,0 6,39 27,4 0,00 0,0 0,00 0,00 3, M. microc. 0,56 3,1 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,00 0, M. sagu 0,00 0,0 2,31 9,9 0,00 0,0 8,55 34,0 2, Jumlah ,9 23,32 99,9 4,17 99,9 25,11 99,9 17,68 99,9 Populasi pohon 1. M. rumphii 57,36 55,7 41,55 43,0 15,00 72,0 24,95 26,6 34, M. longisp. 12,95 12,6 14,73 15,3 5,83 28,0 22,84 25,3 14, M.sylvestre 29,10 28,2 33,38 34,6 0,00 0,0 4,92 6,9 16, M. microc. 3,65 3,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0, M. sagu 0,00 0,0 6,94 7,2 0,00 0,0 29,44 41,3 9, Jumlah 103,06 100,0 96,60 100,0 20,83 100,0 82,14 100,0 75,66 100,0

114 89 lanjutan Populasi pohon masak panen 1. M. rumphii 8,65 50,4 8,09 32,6 0,83 33,3 7,3 26,2 6, M. longisp. 5,42 28,1 6,62 26,7 1,67 66,7 9,73 34,9 5, M.sylvestre 3,89 21,5 7,48 30,1 0,00 0,0 0,00 0,0 2, M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0, M. sagu 0,00 0,0 2,63 10,6 0,00 0,0 10,82 38,9 3, Jumlah 17,95 100,0 24,82 100,0 2,50 100,0 27,85 100,0 18,28 100,0 Populasi pohon veteran 1. M. rumphii 1,63 30,1 0,44 6,9 0,00 0,0 4,44 24,3 1, M. longisp. 3,23 59,6 2,83 44,7 0, ,46 46,2 3, M.sylvestre 0,56 10,3 0,44 6,9 0,00 0,0 0,76 4,1 0, M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0, M. sagu 0,00 0,0 2,63 41,5 0,00 0,0 4,65 25,4 1, Jumlah 5,42 100,0 6,34 100,0 0,50 100,0 18,32 100,0 7,64 100,0 Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. micrc = M. microcanthum, ind = individu, ha = hektar, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Dalam kaitan dengan habitat tergenang, Levitt (1980) mengemukakan bahwa penggenangan dapat memunculkan tiga macam cekaman secara berurutan yaitu : 1) cekaman tekanan turgor sebagai akibat potensi air meningkat, 2) cekaman defisit oksigen, dan 3) cekaman ionik oleh unsur mangan (Mn 2+ ) dan besi (Fe 2+ ). Jika terjadi penggenangan, mula-mula memunculkan cekaman air yakni peningkatan cekaman turgor, diikuti dengan cekaman sekunder berupa kekurangan oksigen dalam air, implikasi berikut adalah terjadi cekaman ionik. Ketika oksigen di dalam air berkurang, maka potensial oksidasi-reduksi menurun, implikasi selanjutnya adalah terjadi akumulasi Mn 2+ dan Fe 2+ yang bersifat meracun (toxic). Tumbuh-tumbuhan pada kondisi cekaman karena genangan, maka akan menciptakan resistensi (katahanan) melalui penghindaran (avoidance) dan toleransi (tolerance). Penghindaran terhadap cekaman defisit oksigen terjadi melalui pembesaran ruang antar sel (intercellular space) misalnya dengan meningkatkan volume perakaran yang dapat mencapai 70 %. Sedangkan toleransi terhadap cekaman berlangsung melalui penghindaran terhadap akumulasi senyawa yang bersifat toxic atau toleransi terhadap akumulasi senyawa itu. Skema adaptasi tumbuhan pada kondisi tergenang yang menyebabkan cekaman terhadap defisit oksigen tersaji pada gambar berikut (Gambar 22). Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan ukuran atau acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasi tumbuhan sagu terhadap tipe

115 90 habitatnya, tampak bahwa kemampuan adaptasi diantara spesies sagu dengan tipe habitat relatif berbeda. M. rumphii Mart. secara keseluruhan mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat pada semua tipe habitat, yang ditunjukkan melalui jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan spesies sagu lain. Ketahanan defisit oksigen Penghindaran cekaman Toleransi cekaman Perbanyak akar, menambah ruang antar sel, meningkatkan transport gas dari tajuk Penghindaran terhadap akumulasi senyawa beracun Toleransi terhadap akumulasi senyawa beracun Gambar 22. Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen (Levitt 1980) Selain spesies M. rumphii Mart., dua spesies sagu yang juga mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat dengan tipe habitatnya adalah spesies M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. Spesies M. sylvestre Mart. mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat pada tipe habitat lahan kering (TTG) dan tergenang temporer air tawar (T2AT), yang ditunjukkan oleh jumlah populasi rumpun dan fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart. Sedangkan pada tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN) populasi spesies M. sylvestre Mart. tidak lebih tinggi daripada M. microcanthum Mart. Dengan kata lain pada dua tipe habitat yang disebut terakhir ini, spesies M. longispinum Mart. mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies M. sylvestre Mart. Spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat T2AT dan TPN. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan sagu ini memiliki daya adaptasi yang cukup baik pada kondisi habitat tergenang, tetapi tidak pada air payau karena pada tipe habitat tergenang tidak permanen air payau spesies sagu ini tidak ditemukan. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa spesies M.

116 91 microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi yang sangat terbatas atau sempit terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan jumlah populasi tumbuhan sagu, tampak bahwa spesies sagu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sampai sempit terhadap berbagai kondisi habitat secara berurutan sebagai berikut M. rumphii Mart. > M. longispinum Mart. > M. sylvestre Mart. > M. sagu Rottb. > M. microcanthum Mart. Dalam hubungan ini, maka spesies M. rumphii Mart. dapat dikategorikan sebagai spesies sagu yang memiliki tingkat toleransi yang luas/lebar (eury tolerance) terhadap kondisi habitatnya. spesies tumbuhan sagu M. Longispinum Mart., M. Sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikan sebagai jenis sagu dengan tingkat toleransi sedang (meso tolerance). Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. dikategorikan sebagai spesis sagu yang memiliki tingkat toleransi sempit (steno tolerance). Indikator untuk menjelaskan lebar atau sempitnya tingkat toleransi masing-masing jenis ini didasarkan pada ada/atau tidak-adanya suatu spesies pada setiap habitat dan banyak atau sedikitnya jumlah populasi pada masing-masing habitat. Dalam kaitan itu maka dapat dikemukakan bahwa spesies M. rumphii merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Spesies M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., dan M. sagu Rottb. merupakan spesies sagu yang dapat dikategorikan sebagai spesies yang memiliki kemampuan tumbuh tinggi tetapi daya adaptasi yang terbatas. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang lebih terbatas lagi. Apabila tipe habitat ini diurutkan ke dalam tingkat marjinalisasi habitat, terkait dengan jumlah populasi rumpun masing-masing spesies sagu pada setiap tipe habitat, maka akan didapatkan urutan marjinalisasi habitat sebagai berikut : tergenang temporer air payau (T2AP) > tergenang permanen (TPN) > lahan kering (TTG) > tergenang temporen air tawar (T2AT). Artinya tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) memiliki tingkat marjinal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat marjinal tipe habitat tergenang permanen (TPN), dan tipe habitat ini lebih marjinal dibandingkan dengan tipe habitat lahan kering

117 92 (TTG). Kondisi habitat yang sangat rendah tingkat marjinalnya adalah tipe habitat tergenang temporer air tawar (T2AT). Ukuran untuk menjelaskan tinggi atau rendahnya tingkat marjinalisasi ini didasarkan pada banyak atau sedikitnya jumlah populasi rumpun sagu yang tumbuh pada setiap tipe habitat. Pada tipe habitat tergenang temporer air payau, jumlah populasi rumpun sagu hanya mencapai 96,67 ind/ha, tipe habitat tergenang permanen 164,02 ind/ha, tipe habitat lahan kering 173,85 ind/ha, sedangkan tipe habitat tergenang temporer air tawar jumlah populasinya mencapai 247,94 ind/ha. Diagram ringkasan adaptasi sagu pada berbagai tipe habitat disajikan pada Gambar 23. Habitat TTG T2AT T2AP TPN M. rumphii M. rumphii M. rumphii M. rumphii M. Sylvestre M. Sylvestre M. Sylvestre M. Sylvestre M. longispinum M. microcanthum M. longispinum akanaro M. longispinum o M. longispinum M. sagu M. sagu Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air payau; TPN = tergenang permanen; secara horizontal tidak terdapat jenis yang sama. Gambar 23. Diagram ringkasan adaptasi spesies sagu pada berbagai tipe habitat Mekanisme adaptasi sagu Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik sifatnya temporer maupun permanen. Pada kondisi habitat yang senantiasa tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ph tanah di areal lahan sagu

118 93 berkisar antara 4,47 5,63 (ph H 2 O), dan berpotensi turun lebih rendah lagi mencapai 4,13 (ph KCl). ph masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan tumbuhan. Syekhfani (1997) mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk melisis air sehingga ph tanah dapat semakin masam. Pada saat ph dalam kondisi masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran. Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawarawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat tergenang atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau udara terdesak oleh partikel air (H 2 O). Pada sisi yang lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama terjadi genangan (Gambar 24).

119 94 Gambar 24. Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang Modifikasi sistem perakaran ke arah permukaan air, atau melewati tinggi genangan ini, diduga agar supaya penyerapan oksigen oleh perakaran tumbuhan sagu dapat berlangsung dengan baik, yang dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme pergerakan ini selanjutnya disebut sebagai oxytropisme, yaitu pergerakan akar sagu menuju tempat yang cukup tersedia oksigen. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa lahan yang tergenang dalam tempo cukup lama memunculkan cekaman. Kondisi cekaman tidak menguntungkan bagi banyak jenis tumbuhan. Beberapa tumbuhan dalam menghadapi kondisi cekaman, secara alamiah terjadi pembentukan organ dalam jumlah banyak seperti rhyzome dan memperbanyak jumlah akar. Mekanisme inilah yang terjadi pada tumbuhan sagu untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi tergenang. Daubenmire (1974) mengemukakan pula bahwa banyak tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lahan yang memiliki aerase jelek, terjadi melalui dua mekanisme adaptasi yaitu : 1) melalui adaptasi morfologi seperti membentuk sistem perakaran dangkal, membentuk jaringan aerase khusus atau organ aerase tertentu, misalnya membentuk sistem ruang udara interseluler yang menghubungkan stomata dengan sistem parakaran, yang disebut

120 95 pneumatophora, dan 2) melalui adaptasi fisiologi seperti pemenuhan kebutuhan oksigen rendah dan kemampuan respirasi anaerobik secara spesifik Karakteristik habitat sagu di P. Seram a. Karakteristik iklim Intensitas sinaran surya Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan sagu pada tiga wilayah sampel di P. Seram menunjukkan bahwa hanya sebagian dari intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke lantai rumpun sagu. Dari jumlah intensitas sinaran surya yang mencapai 2000 lux (lumen/m 2 ) yang diukur pada ruang terbuka, hanya sekitar 29,69 % yang sampai ke bagian bawah rumpun tumbuhan sagu (Tabel 17). Jumlah intensitas sinaran surya yang sampai di bagian bawah rumpun sagu di antara rumpun mencapai 46,97 %, sedangkan intensitas yang sampai di bagian bawah dekat pohon hanya mencapai 12,40 %. Hal ini berarti bahwa lebih dari 50 % intensitas sinaran surya tidak dapat masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan tumbuhan sagu. Rata-rata jumlah intensitas sinaran surya yang terukur di dekat rumpun tumbuhan sagu sekitar 206,53 lux, di antara rumpun sagu yang satu dengan yang lain sekitar 781,48 lux. Sedangkan intensitas sinaran surya rata-rata yang terukur pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux (Lampiran 9). Rendahnya intensitas sinaran surya yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan pohon tumbuhan sagu dikarenakan adanya hambatan dari tajuk. tajuk terbentuk dari tangkai dan anak-anak daun yang tumbuh merapat. Selain itu pada suatu rumpun terdiri dari beberapa individu. Individu dimaksud meliputi beberapa fase berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Walaupun tidak semua rumpun ditemukan stadia pertumbuhan yang lengkap, namun pada setiap rumpun bisa terdapat lebih dari 10 individu tumbuhan sagu. Setiap individu tumbuhan sagu dapat memiliki 8-14 tangkai daun dengan anak daun dapat mencapai 150 helai.

121 96 Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Wilayah Sampel Lokasi Pengamatan Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan Rg Terbuka WS I Luhu-SBB lux (lumen/m 2 ) April 250,38 882,91 566, ,56 Mei 233,10 803,45 518, ,85 Juni 225,78 789,58 507, ,30 Juli 204,06 793,24 498, ,22 Rataan 228,33 817,30 522, ,98 WS II Sawai-MT April 186,70 837,48 512, ,89 Mei 206,91 825,95 516, ,93 Juni 199,34 796,05 497, ,26 Juli 181,24 796,23 488, ,47 Rataan 193,55 813,93 503, ,89 WS III Werinama-SBT April 252,68 960,28 606, ,48 Mei 246,39 749,79 498, ,71 Juni 182,48 762,36 472, ,03 Juli 109,34 380,47 244,91 850,80 Rataan 197,72 713,22 455, ,00 Rataan umum 177,07 670,56 423, ,56 Persen thdp Rtb 12,40 % 46,97 % 29,69 % Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Temperatur udara Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah tegakan sagu P. Seram Maluku selama periode waktu pengamatan antara bulan April sampai Juli 2009 berkisar antara 22,69 23,94 0 C (Tabel 18). Fakta ini menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan sagu relatif sempit, lebih rendah dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka. Berdasarkan data yang diperoleh dari dua stasiun Klimatologi yang terdapat di P. Seram menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata berkisar antara 24,67 26,31 o C (Lampiran 10).

122 97 Tabel 18. Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Wilayah Sampel Periode Pengamatan April Mei Juni Juli WS I Luhu-SBB Temperatur ( 0 C) MG 1 23,13 23, MG 2 23,56 23, MG 3 23,50 23, MG 4 23,44 23, Rataan 23,41 23, WS II Sawai-MT MG 1 23,50 23, MG 2 23,56 23, MG 3 23,50 23, MG 4 23,38 23, Rataan 23,48 23, WS III Werinama-SBT MG 1 23,69 23, MG 2 23,75 23, MG 3 23,88 23, MG 4 23,50 23, Rataan 23,70 23, Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Kondisi temperatur ini hampir mirip dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan pada areal pertumbuhan sagu di Papua. Rendahnya temparatur udara di bawah tegakan tumbuhan sagu dikarenakan permukaan tanah sebagian besar (sekitar 55 %) turtutup oleh bagian tajuk tumbuhan sagu, sehingga menghambat penetrasi sinaran surya sebagai sumber energi yang dapat memberikan efek panas. Implikasi dari rendahnya sinaran surya yang masuk ini menyebabkan temperatur udara di sekitar tajuk atau rumpun tumbuhan sagu lebih rendah daripada di ruang terbuka. Perubahan temperatur udara di sekitar tumbuhan sagu senantiasa mengikuti perubahan (fluktuasi) kondisi temperatur lokal (Gambar 25). Kondisi temperatur lokal rata-rata pada bulan April sekitar 26,15 o C, kondisi ini selama tiga bulan ke depan bergerak turun sampai mencapai 24,67 o C pada bulan Juli. Dengan kata lain temperatur lokal sejak bulan April sampai Juli terjadi penurunan temperatur udara sekitar 1,5 o C. Pergerakan ini mengikuti pola perubahan musim.

123 98 dimana pada bulan April termasuk musim kemarau dan sampai dengan bulan Juli sudah masuk ke musim hujan Temperatur udara (oc) April Mei Juni Juli Periode Waktu Amahai Kairatu Rataan T-mikro Keterangan : Data primer dan sekunder diolah Gambar 25. Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku Curah hujan Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari dua stasiun klimatologi di P. Seram yaitu stasiun klimatologi Amahai Kabupaten Maluku Tengah dan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram Maluku banyak ditemukan tumbuh pada kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 139,37 mm pada bulan Januari sampai 491,36 mm pada bulan Juni, puncak hujan berlangsung pada bulan Juni-Juli (Gambar 26 dan Lampiran 11). Dengan kata lain bahwa curah hujan tahunan berkisar antara 1.672,44 mm 5.896,32 mm/tahun (rata-rata 3.031,82 mm/tahun), termasuk dalam kategori tipe hujan A dan B berdasarkan klasifikasi menurut Schmidt and Ferguson (BPKH Wil. IX Ambon 2006). Jumlah curah hujan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi curah hujan

124 99 >2000 mm/tahun. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Provinsi Papua menunjukkan bahwa tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh pada tipe iklim B1 dengan curah hujan rata-rata mm/tahun. Harsanto (1992) mengemukakan bahwa jumlah curah hujan sekitar mm/tahun menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm) Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des Periode Waktu Kairatu Amahai Rataan Keterangan : Data primer dan sekunder diolah Gambar 26. Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku Kelembaban Udara Hasil penelitian kelembaban udara relatif di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram Provinsi Maluku menunjukkan bahwa jumlah kandungan uap air yang terdapat di bawah tegakan tumbuhan sagu berkisar antara 87,97 91,60 %. (Tabel 19 dan Lampiran 12). Hal ini berarti bahwa kandungan uap air di bawah tegakan tumbuhan sagu cukup besar. Apabila dibandingkan kondisi kelembaban udara lokal, tampak bahwa perubahan kondisi kelembaban udara mikro sepadan dengan perubahan kondisi kelembaban lokal. Pada bulan April rata-rata kelembaban udara relatif lokal sebesar 86,70 %, kemudian cenderung bergerak naik sampai mencapai 91,13 % pada bulan Juli (Gambar 27). Perubahan kondisi

125 100 kelembaban ini sejalan dengan peningkatan jumlah curah hujan yang mulai meningkat sejak bulan April, terus bergerak naik sampai mencapai puncaknya sekitar bulan Juni dan Juli, dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara 477,24 mm 491,36 mm. Tabel 19. Kelembaban udara relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Wilayah Sampel Periode Pengamatan April Mei Juni Juli WS I Luhu-SBB Kelembaban relatif (%) MG 1 87,38 90,38 89,63 92,13 MG 2 88,63 89,50 90,00 90,13 MG 3 87,25 85,88 89,75 92,38 MG 4 86,00 89,25 90,00 89,25 Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97 WS II Sawai-MT MG 1 88,88 91,25 92,50 91,38 MG 2 87,38 91,93 91,25 91,50 MG 3 89,63 90,75 89,25 91,75 MG 4 89,50 89,01 90,88 89,88 Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13 WS III Werinama-SBT MG 1 88,50 90,75 91,75 93,00 MG 2 88,13 90,88 92,00 92,50 MG 3 87,25 90,50 92,00 92,63 MG 4 87,13 89,88 92,00 92,75 Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72 Rataan umum 87,97 89,99 90,92 91,60 Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Di bawah tegakan rumpun sagu, tingkat kelembaban udara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif lokal, hal ini dimungkinkan karena pergerakan uap air di bawah tegakan rumpun sagu berjalan lambat karena ada hambatan tajuk rumpun sagu. sedangkan kelembaban udara relatif lokal berasal dari data stasiun klimatologi yang dipasang pada ruang terbuka, tanpa ada hambatan pohon, bangunan atau bentuk hambatan lainnya. Pada ruang terbuka pergerakan angin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan di bawah tajuk vegetasi.

126 101 Tingkat kelembaban udara relatif di P. Seram ini, baik bagi pertumbuhan sagu karena berada pada rentang yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu menghendaki kondisi kelembaban >70 % untuk menjamin pertumbuhannya yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Papua, diperoleh kelembaban relatif sebesar 83,34 % pada areal pertumbuhan sagu dengan tipe iklim B Kelembaban Udara (%) April Mei Juni Juli Periode Waktu Amahai Kairatu Rataan RH-mikro Keterangan : Data primer dan sekunder diolah Gambar 27. Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku b. Karakteritik tanah habitat sagu Hasil analisis paramater tanah menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dengan ph (H 2 O) berkisar antara 4,47 5,63 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan sagu mampu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat ph aktual bersifat masam. Pada kondisi seperti ini tidak banyak tanaman pertanian mampu bertahan hidup atau dapat tumbuh dengan baik. Apabila kondisi tanahnya makin tereduksi, maka reaksi tanah akan semakin masam. Fakta ini ditunjukkan oleh ph (KCl) hasil

127 102 analisis berkisar antara 4,13 4,67 (Lampiran 13). Berdasarkan kisaran nilai ph (KCl) ini, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu memiliki toleransi yang kuat terhadap kondisi kemasaman yang rendah. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan palem yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap kondisi kemasaman tanah yang dapat mencapai empat. Kandungan bahan organik tanah pada berbagai tipe habitat di lahan sagu P. Seram mencapai 4,81 %, termasuk dalam kategori sedang-tinggi (berdasarkan kriteria PPT Bogor dalam Hardjowegeno 1992). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari satu persen merupakan tanah yang menyerupai kondisi tanah dalam kawasan hutan. Tanah-tanah hutan biasanya memiliki kandungan bahan organik lebih dari 3 %, hal ini dikarenakan di dalam kawasan hutan sumber bahan organik cukup banyak yang berasal dari seresah tumbuhan hutan. Pada lahan yang ditumbuhi sagu dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi, dimungkinkan karena lahan tumbuhan sagu pada umumnya terletak di dataran rendah, lembah-lembah bukit, di bagian kiri-kanan sungai, atau lahan datar sampai ke arah dekat pesisir pantai. Pada wilayah tersebut bahan organik bisa berasal dari daerah dataran tinggi yang terangkut air mengikuti run off kemudian mengendap atau terakumulasi pada lahan-lahan habitat tumbuhan sagu, atau dapat pula berasal dari vegetasi dalam habitat sagu, termasuk dari tumbuhan sagu itu sendiri. Kandungan unsur hara nitrogen di habitat sagu rataan sebesar 0,19 %, nitrogen paling tinggi ditemukan pada tipe habitat T2AT mencapai 0,26 %. Rendahnya kandungan nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen tanah terbatas. Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang mempunyai kandungan protein tinggi, fiksasi atau pengikatan Nitrogen bebas oleh mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya kandungan Nitrogen tanah diduga dapat pula dikarenakan Nitrogen anorganik dalam bentuk ion terabsorpsi atau terserap oleh tumbuhan sagu termasuk vegetasi lainnya yang berada dalam habitat sagu. Secara keseluruhan pada semua tipe habitat C/N 20. merupakan rasio yang termasuk dalam kategori rendah. Rasio C/N yang rendah merupakan

128 103 petunjuk yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang terikat secara kimia dalam bentuk senyawa kompleks dalam tubuh organisme. Rasio C/N yang kurang atau sama dengan 20 %, merupakan petunjuk bahwa perombakan berlangsung cepat, dan sebaliknya apabila rasio C/N melebihi 20 %, kecepatan perombakan bahan organik akan berlangsung lambat. Jika perombakan berlangsung lambat, maka pelepasan (release) unsur hara terutama Nitrogen akan mengalami keterlambatan pula. Pada umumnya Kapasistas Tukar Kation tanah > 14 cmol/kg, pada tipe habitat tergenang permanen dapat mencapai 26,69 cmol/kg. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sagu cukup subur, artinya unsur hara yang berada di dalam tanah dalam kondisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan. Kondisi KTK yang tinggi ini merupakan petunjuk pula bahwa tanah lahan sagu di P. Seram memiliki penyanggah (buffer) terhadap unsur hara. Tanah-tanah yang memiliki KTK tinggi terhindar dari pencucian unsur hara (leaching), sehingga unsur hara senantiasa tetap berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan. Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid, maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. Kandungan kalium, kalsium, dan magnesium tanah rata-rata secara berurutan K 0,72 %, Ca 0,34 %, dan Mg 0,46 %, termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Ketiga unsur hara tersebut di dalam tanah merupakan kation basa, artinya dapat memberikan akses basa dalam meningkatkan ph tanah. Tingginya kation-kation basa ini dapat dikarenakan oleh pengaruh bahan induk tanah yang sebagian berasal dari bahan coral dan limestone. Dalam kaitan dengan sifat kation basa tersebut, Syekhfani (1997) mengemukakan bahwa di antara ion-ion basa K, Ca, dan Mg terdapat sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tumbuhan. Bila salah satu unsur lebih

129 104 Tabel 20. Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Tipe Kedalaman ph (1:5) C-Org 1) N-Total 2) C/N KTK 3) P K Ca Mg Fe Al Rasio Habitat (cm) H 2 O KCl % % - Cmol (+) /kg Total (NHO 3 + HClO4) (%) TTG ,6 4,7 2,62 0,20 12,50 14,32 0,04 0,77 0,36 0,47 3, ,3 4,5 1,57 0,13 12,50 14,28 0,05 0,72 0,29 0,48 4, T2AT ,9 4,3 6,46 0,26 21,72 25,03 0,10 0,73 0,37 0,51 3, ,5 4,1 3,12 0,14 18,45 21,49 0,06 0,87 0,33 0,58 4, T2AP ,4 4,5 6,08 0,23 20,00 18,97 0,03 0,60 0,30 0,35 1, ,3 4,3 3,24 0,24 13,25 17,21 0,05 0,62 0,33 0,40 1, TPN ,7 4,3 5,62 0,25 20,00 26,69 0,05 0,72 0,53 0,48 2, Rataan ,5 4,1 3,80 0,20 16,17 18,57 0,03 0,64 0,33 0,39 2, ,1 4,4 4,81 0,23 17,89 20,88 0,05 0,72 0,38 0,46 2, ,8 4,3 2,73 0,16 15,06 17,77 0,04 0,73 0,30 0,47 3, Rataan Umum 5.0 4,3 3,77 0,19 16,47 19,32 0,05 0,72 0,34 0,46 3,08 4,99 Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen, C-org = Karbon organik, N = Nitrogen, KTK = Kapasistas Tukar Kation, P = Phosfor, K = Kalium, Ca = Kalsium, Mg = Magnesium, Fe = Ferrum, Al = Aluminium. 1) Walkley & Black; 2) Kjeldahl; 3) NH 4 -Acetat 1N. ph7. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun

130 105 banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi ini berkaitan dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar. Bagi tumbuhan, kalium berperan dalam meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap penyakit tertentu di samping mendorong perkembangan akar. Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa kalium berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tumbuhan. proses metabolik dalam sel, mempertinggi daya tahan tumbuhan, dan penting dalam perkembangan perakaran. Sedangkan kalsium berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel, pembelahan sel, dan pemanjangan sel (elongation). Sementara magnesium berperan dalam pembentukan klorofil, sistem enzim, dan pembentukan minyak pada tumbuhan. Hasil analisis sifat fisika tanah menunjukkan bahwa bulk density atau kepadatan tanah di lahan sagu P. Seram Maluku tidak terlalu tinggi atau termasuk dalam kategori sedang yakni berkisar antara 1,07 1,31 (Tabel 21 dan Lampiran 14). Tabel 21. Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Tipe Kedalaman Tekstur (Pipet) (%) Habitat BD (cm) Pasir Debu Liat Kelas Tekstur TTG ,31 22,67 39, Lempung liat ,83 38, Lempung liat T2AT ,24 23,33 41, Lempung berliat ,17 46, Lempung liat T2AP ,19 22,00 40, Lempung liat ,50 34, Berliat halus TPN ,07 18,00 40, Liat berdebu ,17 41, Liat Berdebu Rataan ,21 21,47 40, Lempung liat ,29 40, Liat berdebu Rataan Umum ,88 40,79 39,33 Lempung liat Keterangan : BD = bulk density, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Tingkat bulk density yang sedang ini dapat dikarenakan oleh cukup tingginya kandungan bahan organik tanah di lahan sagu Pulau Seram Maluku. Kondisi ini memberi ruang yang baik untuk mendukung pertumbuhan perakaran tumbuhan sagu. Hasil analisis kelas tekstur tanah menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam kategori lempung liat, sebagian termasuk dalam kategori

131 106 liat berdebu. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada semua tipe habitat tumbuhan sagu ditemukan adanya kandungan liat, artinya tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi lahan yang memiliki kandungan liat. c. Kualitas air rawa habitat sagu Hasil analisis parameter air menunjukkan bahwa ph air pada lahan sagu di P. Seram Maluku, baik pada tipe habitat tergenang tidak permanen ataupun tergenang permanen memiliki kisaran kemasaman yang sedang berkisar antara 6,23 6,58, dengan kondisi kesuburan air yang cukup baik yang ditunjukkan oleh kandungan nitrogen, kalium, kalsium, dan magnesium yang cukup tinggi (Tabel 22 dan Lampiran 15). Kadar salinitas air pada lahan sagu di P. Seram Maluku relatif rendah, walaupun pada tipe lahan tergenang tidak permanen air payau. Hal ini diduga disebakan karena dua sebab yaitu 1) adanya pengaruh air tawar yang berasal dari sungai yang terdapat disekitar lahan tempat tumbuh sagu atau air sungai yang berdekatan dengan lahan sagu. Pada umumnya tumbuhan sagu ditemukan tumbuh pada lahan yang berada disekitar sumber air, seperti misalnya dekat sungai, dan 2) tumbuhan sagu senantiasa berada di belakang vegetasi nipah kearah daratan dari bagian pesisir pantai. Vegetasi nipah diketahui memiliki kemampuan untuk memfilter atau menyaring kadar garam yang terkandung dalam air laut, sehingga air yang masuk sampai ke lahan sagu kandungan garamnya telah turun, atau dapat pula disebabkan karena tumbuhan sagu memiliki kemampuan untuk menyaring kadar garam sehingga salinitas air menjadi rendah yakni hanya mencapai 0,60 ppt. Pada Tabel 22 tampak bahwa kandungan nitrogen mineral dalam air di lahan sagu P. Seram Maluku kebanyakan dalam bentuk Nitrat (NO - 3 ) (rata-rata 5,65 mg/l) dibandingkan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH + 4 ) (rata-rata 0,61 mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air berada dalam suasana teroksidasi, indikasi ini diperjelas dengan kondisi ph air yang mendekati netral. Hal ini berarti bahwa air tersebut belum terlalu lama menggenang terutama pada tipe habitat tergenang tidak permanen air tawar (T2AT) dan tipe lahan tergenang permanen (TPN). Lain halnya dengan tipe habitat tergenang tidak permanen air payau yang memang kondisi ph air sekitar netral karena pengaruh kandungan garam natrium

132 107 (Na) yang terkandung dalam air laut dan sering menggenangi lahan sagu ketika air pasang dan mengering ketika air surut. Tabel 22. Kualitas air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Air Bebas Lumpur Tipe + ph NH Habitat 4 K + Ca 2+ Mg NO 3 PO 4 Salinitas (ppt) mg/liter T2AT 6,23 0,60 7,23 23,31 4,97 6,66 1,27 0,13 T2AP 6,58 0,61 2,54 27,74 3,16 4,59 0,06 0,60 TPN 6,33 0,61 3,80 23,83 4,26 5,71 0,23 0,10 Keterangan : T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen; NH 4 + = Ammonium, K + Kalium, Ca 2+ = Kalsium, Mg 2+ = Magnesium, NO 3 2- = Nitrat, PO 4 3- = Phosfat, ppt = part per thousand. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Kandungan ion K dalam air cukup tinggi terutama pada tipe lahan T2AT mencapai 7,23 mg/l, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kandungan ion K pada tipe habitat T2AP dan TPN. Lebih rendahnya kadar K + pada dua tipe habitat yang disebut terakhir diduga karena K + yang terlarut dalam air pada kedua tipe habitat tersebut mengalami perkolasi, dikarenakan apabila dilihat dari lama tergenang, maka air di kedua tipe habitat itu lebih lama terendam. Faktor inilah yang memungkinkan lebih rendahnya kandungan K + dalam air di dua tipe habitat itu. Fenomena ini mirip dengan kandungan fosfat di dalam air pada tiga tipe habitat yang telah diuraikan di atas. Ion kalsium dan magnesium memiliki ciri yang mirip yakni semua tipe habitat memiliki kandungan K dan Mg yang tidak jauh berbeda antara satu tipe habitat dengan tipe habitat yang lain. Hal ini diduga karena kedua ion tersebut memiliki sifat yang relatif lebih tahan terhadap gerakan perkolasi karena mempunyai dua muatan yang bisa terikat pada permukaan koloid tanah Interaksi dengan komponen biotis a. Asosiasi interspesifik Hasil observasi untuk mengetahui jumlah spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram ditemukan sebanyak 42 spesies. Hasil analisis

133 108 Varians Ratio (VR) diperoleh nilai sebesar 0,831 (VR < 1). Hal ini berarti bahwa secara simultan (keseluruhan) spesies tumbuhan penyusun komunitas sagu di P. Seram di antara sesama spesies terjadi asosiasi yang bersifat negatif. Dalam kaitan itu, untuk menjelaskan pasangan asosiasi antara spesies yang satu dengan spesies lainnya dalam komunitas sagu terutama spesies penyusun utama dilakukan analisis chi-square. Dari 42 spesies yang tumbuh dalam komunitas sagu, terdapat 21 spesies tumbuhan sebagai penyusun utama (Lampiran 16). Kriteria untuk menentukan spesies sebagai penyusun utama berdasarkan nilai penting yang dimiliki setiap spesies yaitu spesies yang memiliki nilai penting 10 %. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan, dalam spesies sagu dan antara spesies sagu dengan spesies lain menunjukkan bahwa terdapat asosiasi dalam spesies sagu yang sama dan antara spesies sagu dengan spesies bukan sagu (Lampiran 17). Empat spesies sagu yang terdapat di P. Seram berasosiasi diantara sesamanya masing-masing M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dengan nilai X 2 sebasar 6,53, 5,12, 16,74, 20,73, 5,69, dan 5,31. Sedangkan asosiasi dengan spesies sagu dengan bukan sagu hanya terjadi dengan tiga spesies yaitu Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra Hassk., dan Nephrolepis exaltata Shcott. Tipe asosiasi semua pasangan spesies bersifat negatif dengan tingkat asosiasi berdasarkan indeks Jaccard kurang dari 0,5 atau bersifat lemah. Hasil analisis chi-square disajikan pada Tabel 23. Terjadinya asosiasi antara spesies yang bersifat negatif sebagaimana tersaji pada Tabel di atas merupakan fakta bahwa di antara setiap spesies terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan atau jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lainnya. Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup. Menurut Barbour et al. (1999 dalam Kurniawan et al. 2008) dikemukakan bahwa asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pada setiap tumbuhan dalam suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Dikemukakan lebih lanjut oleh Krivan & Sirot (2002) bahwa dalam asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi

134 109 dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai kompetitor yang mendominasi spesies lain. Tabel 23. Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama komunitas sagu P. Seram, Maluku Chi-square Tipe Indeks No. Nama spesies (X 2 ) Asosiasi Jaccard 1. M. rumphii Mart. 1.1 M. longispinum Mart. 6,53* Negatif 0, M. sylvestre Mart. 5,12* Negatif 0, M. sagu Rottb. 16,74* Negatif 0, Pandanus furcatus Roxb. 6,76* Negatif 0, Homalomena rubra Hassk. 9,28* Negatif 0, Nephrolepis exaltata Schott. 21,03* Negatif 0,05 2. M. longispinum Mart M. sylvestre Mart. 20,73* Negatif 0, M. sagu Rottb. 5,69* Negatif 0, Homalomena rubra Hassk. 4,35* Negatif 0, Nephrolepis exaltata Schott. 4,76* Negatif 0,04 3. M. sylvestre Mart. 3.1 M. sagu Rottb. 5,31* Negatif 0, Homalomena rubra Hassk. 4,45* Negatif 0, Nephrolepis exaltata Schott. 4,96* Negatif 0,04 4. M. sagu Rottb. 4.1 Pandanus furcatus Roxb. 4,56* Negatif 0, Homalomena rubra Hassk. 3,54* Negatif 0, Nephrolepis exaltata Schott. 4,48* Negatif 0,02 Keterangan : * signifikan pada taraf α Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Interaksi spesies M. rumphii Mart. memiliki tingkat asosiasi yang cukup kuat dengan spesies M. longispinum Mart., dan M. sylvestre Mart. yang ditunjukkan dengan indeks Jaccard yang cukup tinggi masing-masing sebesar 0,43 dan 0,47. Hal ini berarti bahwa dalam habitat yang sama terjadi saling menekan atau kompetisi yang cukup kuat antara spesies M. rumphii Mart. dengan M. longispinum Mart. dan antara M. rumphii Mart. dengan M. sylvestre Mart. dalam mendapatkan kebutuhan hidup dan penempatan ruang. Sedangkan asosiasi antara

135 110 spesies M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., M. sagu Rottb., Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra Hassk., dan Nephrolepis exaltata Schott. semuanya rendah, fakta ini ditunjukkan dengan indeks Jaccard kurang dari 0,20. b. Keadaan umum fauna dalam komunitas sagu Selama melakukan penelitian di tiga wilayah sampel dalam komunitas sagu di P. Seram, tercatat beberapa jenis fauna yang hidup dalam komunitas sagu seperti kelelawar (Pteropus sp), biawak (Hydrasaurus amboinensis), ular kobra (Python reticulatus), katak (Rachoporus renwardii), babi hutan (Susscrofa sp), burung raja udang (Halcyon sp), kumbang sagu (Oryctes rhinoceros L), dan ulat sagu. Di dalam wilayah sampel I Luhu-SBB pada siang hari dijumpai kelelawar bergantungan pada bagian ujung tangkai daun pohon sagu dewasa secara berkelompok dalam jumlah yang cukup banyak mencapai ratusan individu. Populasi kelelawar dalam jumlah besar yang bergantungan di tangkai daun ini menyebabkan terjadinya kerusakan anak-anak daun yang cukup berarti. Peran kelelawar dalam proses penyerbukan atau agen dispersal buah atau biji sagu tidak diketahui dengan pasti, karena tidak ditemukan fakta empiris atau sandaran hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Biawak dan ular menjadikan habitat sagu sebagai habitat tempat hidupnya, dengan kondisi yang tertutup atau ternaung ditemukan biawak berteduh pada tangkai daun sagu yang tumbuh agak mendatar kebanyakan pada tipe habitat yang tergenang, baik permanen maupun temporer. Sedangkan ular ditemukan pada tempat yang tertutup dan lembab. Dalam habitat sagu ditemukan juga katak terutama pada tipe habitat yang berair. Hewan liar yang sering ditemui di dalam komunitas sagu adalah babi hutan. Hewan ini mencari makan pada tempat-tempat pembuangan limbah pengolahan sagu, ditengarai limbah sagu ini dijadikan sebagai pakan oleh babi hutan. Selain itu pada limbah pengolahan sagu yang telah tersimpan cukup lama hidup banyak cacing tanah, di tempat-tempat ini banyak ditemukan juga bekas pembongkaran babi hutan, kemungkinan dalam mencari fauna tanah. Di beberapa bagian dalam habitat sagu dijumpai pula bekas pembongkaran tanah oleh babi hutan. Secara tidak langsung pembongkaran limbah atau pembongkaran tanah

136 111 oleh babi hutan mempunyai andil dalam perbaikan struktur tanah karena terjadi penghancuran struktur sekaligus percampuran tanah dengan bahan organik yang terdapat di bagian permukaan tanah. Pada tangkai daun sagu fase semai yang tumbuh melengkung dan berada pada posisi agak datar dijumpai burung raja udang (Halcyon sp) sedang berada di tangkai daun sagu terutama yang berada pada tipe habitat tergenang atau tangkai daun sagu yang melengkung ke atas permukaan sungai. Selain berteduh, pada waktu tertentu burung raja udang (Halcyon sp) menceburkan tubuhnya ke dalam air atau sungai. Tindakan atau perilaku tersebut tidak diketahui maksudnya. mungkin sekedar membasahi badannya atau untuk keperluan menemukan mangsa sebagai pakannya. Pada pohon sagu yang telah dipanen atau ditebang, beberapa saat kemudian dapat ditemukan kumbang sagu berwana hitam yang biasanya menempel pada bagian empulur batang yang telah dipotong dan dibelah atau dibuka. Sebelum batang dibuka, kumbang sagu dapat ditemukan pada bagian empulur tuas dan pangkal batang bekas tebangan. Selain itu kumbang sagu ini ditemukan juga pada bagian pelepah tangkai daun sagu yang telah dipanen. Diduga kumbang sagu ini mengkonsumsi atau menghisap cairan glukosa atau fruktosa dari pati sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kumbang sagu ini dapat ditemukan beberapa individu atau cukup banyak pada pagi dan sore hari. Kumbang Oryctes rhinoceros L ternyata diketahui merupakan salah satu jenis hama sagu. Kumbang ini biasanya menyerang tanaman palm seperti kelapa, kelapa sawit, dan sagu (Bintoro 2008). Menurut Rostiwati et al. (2008) kumbang Oryctes merupakan serangga hama yang menyerang pucuk daun tanaman sagu. Biasanya sekitar dua meter bagian ujung batang sagu tidak diolah atau diproses, karena memiliki kandungan pati yang rendah. Bagian ujung yang ditinggalkan ini, dalam tempo kurang lebih 3 bulan telah membusuk. Pada bagian dalam batang semula berupa empulur dapat ditemukan larva ulat sagu dalam jumlah banyak (Gambar 28). Oleh sebagian masyarakat petani di Maluku dan Papua ulat sagu ini dipanen dan dijadikan menu untuk dikonsumsi. Bustaman (2008) mengemukakan bahwa ulat sagu selama ini belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan

137 112 pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi. Sumber : Gambar 28. Ulat sagu hidup pada bagian empulur batang sagu tidak diolah Interaksi dengan komponen abiotis a. Interaksi dengan parameter iklim Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) faktor iklim menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data iklim sebesar 100 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat iklim masing-masing sebesar 55,5 % dan 44,5 % (Tabel 24). Tabel 24. Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 2,777 0,555 0,555 PC2 2,223 0,445 1,000

138 113 Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu sinaran surya mikro dan curah hujan. Sementara pada PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan sinaran surya lokal (Tabel 25). Tabel 25. Eigenvector komponen utama variabel iklim Variable PC1 PC2 Temperatur mikro 0,351-0,544 Kelembaban mikro -0,090 0,663 Sinaran surya lokal 0,406 0,494 Sinaran surya mikro 0,598-0,050 Curah hujan -0,588-0,136 Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel iklim menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara variabel sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot kedua variabel itu (Gambar 29). Korelasi positif ini mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal meningkat, maka dengan sendirinya akan terjadi peningkatan sinaran surya mikro. Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Artinya apabila sinaran surya meningkat, maka temperatur mikro dan kelembaban mikro akan bertambah. Meningkatnya sinaran surya yang diikuti dengan peningkatan temperatur mikro, dikarenakan sinaran surya sesungguhnya adalah merupakan pancaran radiasi gelombang elektromagnetik yang dapat menimbulkan efek panas. Efek ini kemudian diukur sebagai derajat panas yang dikenal sebagai temperatur. Dalam konteks ini temperatur yang dimaksud adalah temperatur mikro. Sedangkan dalam kaitan dengan korelasi positif antara sinaran surya dengan kelembaban mikro, dikarenakan temperatur yang ditimbulkan oleh sinaran surya dapat menyebabkan terjadinya evaporasi (penguapan air rawa) pada habitat sagu. Uap air ini kemudian terperangkap dalam tajuk rumpun sagu karena tutupan lahan oleh tajuk sagu mencapai >50 %. Jumlah kandungan uap air yang terukur di bawah tajuk sagu tersebut yang dikenal sebagai kelembaban mikro. Argumen

139 Second Component 114 yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun sagu hanya sekitar 46,97 %. 0,75 Loading Plot of T_mikro;...; CH RH_mikro 0,50 Sry_lokal 0,25 0,00 CH Sry_mikro -0,25-0,50 T_mikro -0,50-0,25 0,00 0,25 First Component 0,50 0,75 Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Pada Gambar 29 tampak pula bahwa variabel curah hujan memiliki korelasi negatif dengan sinaran surya lokal, sinaran surya mikro, dan temperatur mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot curah hujan dengan ketiga variabel yang disebutkan di atas membentuk sudut tumpul. Korelasi yang besifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan semakin bertambah curah hujan, maka sinaran surya (lokal maupun mikro), dan temperatur mikro akan menurun. Sinaran surya yang berkurang ini dikarenakan pada umumnya bila terjadi hujan senantiasa terdapat keawanan atau diawali dengan munculnya awan yang menghalangi sinaran surya tembus ke permukaan bumi. Kemudian dengan adanya hujan, maka dengan sendirinya dapat menurunkan temperatur udara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel iklim yang satu dengan yang lain, baik interaksi yang bersifat positif maupun negatif.

140 115 Dengan mempertimbangkan akar ciri (eigenvalues) sebagai skor komponen utama (skor PC) dan vektor ciri (eigenvector) terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor iklim terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 6,69 % (Tabel 26). Variabel iklim yang memiliki kontribusi tertinggi adalah sinaran surya mikro, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,66 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah temperatur mikro sebesar 0,78 %. Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) Temperatur mikro Kelembaban mikro Sinaran surya lokal Sinaran surya mikro Curah hujan 2,223 2,223 2,223 2,777 2,777 0,351 0,663 0,494 0,598 0,588 0,78 1,47 1,10 1,66 1,63 Jumlah 3,38 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 24 di atas, dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor iklim di P. Seram sebagai berikut : HS (F-iklim) = (0,78 T-mikro ) + (1,47 RH-mikro ) + (1,10 Sry-lokal ) + (1,66 Sry-mikro ) + (1,63 C-hujan ) (25) dimana : HS = habitat sagu terkait dengan faktor iklim T-mikro = temperatur mikro RH-mikro = kelembaban mikro Syr-lokal = sinaran surya lokal Sry-mikro = sinaran surya mikro C-hujan = curan hujan Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam persamaan-25 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram atas dasar sifat iklim sangat ditentukan oleh variabel intensitas sinaran surya mikro, selain itu ditentukan pula oleh sinaran surya lokal. Hal ini berarti bahwa tumbuhan sagu memiliki penyinaran yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik. Fakta ini menunjukkan

141 116 bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan yang memerlukan penyinaran langsung. Apabila terjadi hambatan penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhannya. Fakta ini juga semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke bagian bawah tajuk rumpun sagu. Banyak tunas anakan sagu mengalami kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun dalam mendapatkan sinaran surya. Sinaran surya yang masuk sampai dekat rumpun sagu hanya sekitar 423,82 lux setara 12,40 %, dibandingkan dengan ratarata intensitas sinaran surya terukur sebesar 1427,56 lux. Kontribusi variabel curah hujan dan kelembaban mikro terhadap habitat sagu, tertinggi kedua dan ketiga setelah sinaran surya mikro. Hal ini mengandung makna bahwa curah hujan dan kelembaban mikro memiliki peran cukup besar dalam menentukan habitat sagu di P. Seram. Peran yang sama juga terjadi pada variabel iklim yang lain seperti temperatur mikro. Peran curah hujan terhadap habitat sagu berkaitan dengan jumlah curah hujan atau tipe iklim. Dalam konteks itu, maka terdapat kecenderungan bahwa bahwa habitat sagu di P. Seram banyak tumbuh pada jumlah curah hujan berkisar antara 1.672, ,32 mm/tahun, termasuk tipe hujan A dan B menurut Schmidt-Ferguson (1951 dalam BPPT 1982 dan BPKH 2006). Dalam rangka menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu, dilakukan analisis regresi komponen utama. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu di P. Seram masing-masing sebesar 7,1 % dan 5,3 % (Lampiran 18). Persamaan regresi komponen utamanya secara berurutan sebagai berikut : Y1 = 15,74-1,321 X1 + 0,4645 X2-0,0021 X3-0,0049 X4 + 0,0247 X5 (26) Y2 = -1897, ,27 X1-5672,75 X ,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5.. (27) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha), Y2 = produksi pati sagu (kg/batang), X1 = temperatur mikro, X2 = kelembaban mikro, X3 = sinaran surya lokal, X4 = sinaran surya mikro, X5 = curah hujan.

142 117 Pada persamaan regresi di atas tampak bahwa variabel temperatur mikro memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel iklim yang lain, baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi pati sagu. Kondisi temperatur mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif atau kurang menguntungkan bagi pertambahan jumlah rumpun sagu. Namun terhadap produksi pati bersifat positif, mengandung makna bahwa kondisi temperatur mikro cukup baik terhadap penambahan produksi pati sagu. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat positif tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif terhadap produksi pati sagu, demikian sebaliknya pengaruh negatif faktor iklim terhadap jumlah rumpun sagu tidak selalu diikuti dengan pengaruh negatif terhadap produksi. Variabel iklim berikut yang berpengaruh cukup kuat terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah kelembaban mikro. Variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif, artinya kondisi kelembaban mikro berperan dalam penambahan jumlah rumpun, tetapi tidak menguntungkan bagi peningkatan produksi pati. Hal ini berarti bahwa kondisi kelembaban mikro yang baik bagi penambahan jumlah rumpun dicapai pada taraf yang tidak bersamaan dengan tingkat kelembaban mikro yang baik bagi peningkatan produksi pati. Demikian pula dengan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Curah hujan merupakan variabel iklim yang memberikan pengaruh sepadan terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Artinya variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun dan juga terhadap produksi pati sagu. Dalam kaitan dengan pembentukan rumpun dan produksi pati sagu, maka diperlukan curah hujan dalam jumlah yang memadai. Jika curah hujan berkurang dapat menghambat pembentukan rumpun baru, demikian pula untuk produksi pati sagu. Intensitas sinaran surya mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini mengandung makna bahwa sinaran surya mikro tidak memberikan andil dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Dengan kata lain apabila sinaran surya mikro cukup tidak akan membentuk rumpun baru, karena apabila sinaran surya terpenuhi maka percabangan basal

143 118 tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk. Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang. Dengan berkurangnya sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh menjadi individu baru. Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama menjadi rumpun sendiri. Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. Sinaran surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan. Energi surya dalam bentuk radiasi ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil. Kemudian melalui proses fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan (zink) yakni pada bagian batang. Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif, maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro dapat meningkatkan produksi pati sagu.

144 119 Kelembaban relatif dan temperatur udara selain berkaitan dengan sinaran surya, juga berkaitan dengan curah hujan. Apabila curah hujan meningkat maka kelembaban relatif akan bertambah, sedangkan temperatur udara akan menurun. Peran curah hujan dalam pertumbuhan sagu bukan saja berkaitan dengan naikturunnya kelembaban dan temperatur, tetapi curah hujan juga mempengaruhi tumbuhan sagu melalui ketersediaan air. Dengan meningkatnya curah hujan, maka ketersediaan air ikut meningkat, selanjutnya kebutuhan air tumbuhan akan terpenuhi, dan sebaliknya jika curah hujan berkurang atau tidak terjadi hujan, terutama pada tipe habitat lahan kering. b. Interaksi dengan parameter tanah Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 %. Tiga komponen utama tersebut (PC1, PC2, dan PC3) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 %, 25,4 %, dan 17,2 % (Tabel 27). Tabel 27. Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 3,848 0,428 0,428 PC2 2,289 0,254 0,682 PC3 1,547 0,172 0,854 Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu ph (KCl), KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3 penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum (Tabel 28). Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif dengan ph (KCl), kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki korelasi positif dengan BD (bulk density) (Gambar 30). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi

145 Second Component Second Component 120 peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan korelasi positif dengan ph (KCl), dikarenakan bahan organik dapat berparan dalam meningkatkan kemasaman tanah (Syekhfani (1997). Tabel 28. Eigenvector komponen utama variabel tanah Variable PC1 PC2 PC3 ph (KCl) 0,416 0,187-0,156 C_organik 0,348 0,363-0,193 KTK 0,494 0,098-0,023 Kalium 0,305-0,421 0,156 Kalsium 0,425 0,163 0,142 Magnesium 0,348-0,100 0,546 Fe -0,142 0,192 0,694 BD 0,031-0,532 0,171 Liat 0,213-0,539-0,290 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0-0,1-0,2-0,3-0,4-0,5 0,4 0,3-0,2 0,2 Fe 0,1 0,0-0,1-0,2-0,3-0,4-0,5 C_organik Loading Plot of ph (KCl);...; C_organik Fe Loading Plot of ph (KCl);...; Liat C_organik ph (KCl) Kalsium KTK Magnesium Kalium BD Liat Kalium -0,1 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 First Component BD Liat ph (KCl) Kalsium Magnesium KTK -0,2-0,1 0,0 0,1 0,2 First Component 0,3 0,4 0,5 Gambar 30. Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku

146 121 Korelasi positif antara ph (KCl) dengan kalsium, magnesium, dan kalium, dikarenakan unsur-unsur tersebut selain sebagai unsur hara bagi tumbuhan, juga merupakan kation basa yang dapat meningkatkan ph tanah. Bahan kapur yang sering dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki kemasaman tanah biasanya mengandung kation-kation tersebut, seperti kalsit (CaCO 3 ) dan dolomit [CaMg(CO 3 ) 2 ] (Hardjowigeno 1992). Pada Gambar 30 tampak pula bahwa C-organik berkorelasi positif dengan KTK. Dengan bertambahnya kandungan bahan organik tanah, maka KTK tanah akan meningkat. Hal ini dikarenakan bahan organik memiliki KTK sekitar 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Misalnya pada tanah-tanah mineral yang mengandung mineral liat montmorilonit, KTK-nya berkisar antara me/100 gr, sedangkan KTK bahan organik berkisar antara me/100 gr (Syekhfani 1997). Partikel liat memiliki korelasi positif dengan bulk density. Hal ini dikarenakan liat merupakan partikel tanah berukuran paling kecil dan memiliki muatan listrik, baik positif maupun negatif. Partikel yang mempunyai muatan berbeda akan terjadi tarik menarik. Dengan ukuran partikel yang sangat kecil (<0,002 mm) dan adanya daya tarik menarik ini, maka terjadi pemadatan partikel yang berimplikasi pada peningkatan bulk density. Korelasi antara ph dan Fe bersifat negatif, mengandung makna bahwa dengan bertambahnya kandungan Fe, maka ph tanah akan berkurang. Hal ini dikarenakan Fe merupakan kation masam yang memiliki andil dalam meningkatkan kemasaman tanah (ph turun). Secara teoritis kemasaman tanah yang meningkat dikarenakan oleh kandungan ion H + yang meningkat, artinya dengan meningkatnya ion H dalam tanah, ph tanah akan turun. Ion Fe memiliki kemampuan dalam memecahkan (melisis) molekul air menjadi ion H + dan OH -. Kemudian ion OH - diikat oleh Fe membentuk besi hidroksida [Fe(OH) 3 ] dan membebaskan tiga ion H + (Syekhfani 1997). Reaksinya sebagai berikut : Fe H 2 O Fe(OH) 3 + 3H + Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama (skor PC) dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel tanah terhadap habitat sagu.

147 122 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor tanah terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 10,15 % (Tabel 29). Variabel tanah yang memiliki kontribusi tertinggi adalah KTK, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,90 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah BD sebesar 0,27 %. Tabel 29. Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) ph (KCl) 3,848 0,416 1,60 C-organik 2,289 0,363 0,83 KTK 3,848 0,494 1,90 Kalium 3,848 0,305 1,17 Kalsium 3,848 0,425 1,64 Magnesium 1,547 0,546 0,85 Fe 1,547 0,694 1,07 BD 1,547 0,171 0,27 Liat 3,848 0,213 0,82 Jumlah 10,15 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 28 di atas, dapat disusun model indeks pertumbuhan sagu terkait dengan peran faktor tanah di P. Seram sebagai berikut : HS (F-tanah) = (1,60 ph-kcl ) + (0,83 C-org ) + (1,90 KTK ) + (1,17 K ) + (1,64 Ca ) + (0,85 Mg ) + (1,07 Fe ) + (0,27 BD ) + (0,82 Liat )... (28) dimana : HS (F-tanah ) = habitat sagu terkait dengan faktor tanah ph-kcl = kemasaman tanah potensial C-org = karbon organik KTK = kapasitas tukar kation K = Kalium Ca = Kalsium Mg = Magnesium Fe = Ferrum BD = bulk density Liat = partikel liat Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-28 di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah sangat ditentukan oleh variabel kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini

148 123 dikemukakan karena KTK merupakan parameter tanah yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut subur, dan sebaliknya apabila KTK rendah termasuk kurang subur. Selain itu pertumbuhan sagu dikendalikan pula oleh kation-kation basa seperti K, Ca, dan Mg dan kondisi kemasaman tanah. Pada model dalam pers-28 di atas, tampak bahwa dua sifat fisika tanah yaitu bulk density dan partikel liat, memiliki peran yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat tanah yang lain. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa untuk pertumbuhan sagu peran sifat fisik tanah kurang dominan. Hasil analisis regresi komponen utama untuk mengetahui pengaruh variabel tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu menunjukkan bahwa terdapat lima variabel tanah memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram. Lima variabel dimaksud yaitu kapasitas tukar kation (KTK), kalsium, magnesium, ferrum, dan bulk density. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu sebesar 4,3 % (Lampiran 19). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y1 = 9,363-0,016 X1-0,0389 X2 + 0,0526 X3-0,128 X4 + 2,284 X5.. (29) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun, X1 = KTK, X2 = Kalsium, X3 = Magnesium, X4 = Ferrum, X5 = bulk density. Sedangkan hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor tanah terhadap produksi pati sagu diperoleh kontribusi pengaruh faktor tanah sebesar 60,9 %. Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y2 = 745, ,731 X1 + 21,909 X2 + 2,087 X3 + 1,935 X4 + 31,129 X5 + 48,988 X6-32,131 X7-0,030 X8 + 1,647 X9.. (30) dimana : Y2 = produksi pati sagu, X1 = ph (KCl), X2 = C-organik, X3 = KTK, X4 = Kalium, X5 = Kalsium, X6 = Magnesium, X7 = Ferrum, X8 = bulk density, X9 = liat. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel tanah yang diuji berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu, tetapi terhadap produksi pati

149 124 sebagian besar variabel tanah memberikan pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sifat tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu lebih terbatas dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap produksi pati. Terdapat variabel tanah yang memberikan pengaruh yang bersifat positif atau menguntungkan. baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi. Demikian pula sebaliknya terdapat variabel yang berpengaruh negatif atau bersifat tidak menunjang terhadap populasi rumpun dan juga produksi pati. Pengaruh yang bersifat menguntungkan bagi pertumbuhan tidak selalu diikuti dengan pengaruh yang serupa terhadap produksi pati sagu. Kapasitas tukar kation, pengaruhnya terhadap jumlah populasi rumpun bersifat negatif, namun sebaliknya terhadap produksi pati bersifat positif. Demikian pula dengan pengaruh variabel kalsium dan bulk density. Pada persamaan regresi (pers-29) tampak bahwa variabel tanah yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah bulk density. Variabel ini berkaitan dengan partikel penyusun tanah. Tanah yang memiliki bulk density tinggi biasanya memiliki kandungan liat yang banyak. Tumbuhan sagu banyak tumbuh dan berkembang pada tanah-tanah yang memiliki kandungan liat tinggi. Tumbuhan sagu biasanya tumbuh pada lahan-lahan aluvium berupa endapan pada dataran rendah, bagian lembah, atau berupa endapan di sisi kiri kanan sungai. Variabel bulk density berkaitan dengan kepadatan tanah, dan tingkat kepadatan tanah di dalam habitat sagu P. Seram berada pada kondisi yang memadai yakni berkisar antara 1,07 1,31, dengan kelas tekstur lempung liat dan liat berdebu. Pada kondisi tersebut menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu, dalam arti mendukung percabangan basal tumbuh keluar menjauhi rumpun induk dan kemudian membentuk rumpun baru. Kapasitas tukar kation (KTK) dan unsur hara kalsium memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumpah populasi rumpun sagu. Artinya kedua variabel ini tidak menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Hal ini dapat dikarenakan kedua variabel tersebut merupakan variabel kesuburan tanah. Tanah yang subur dapat mendorong penambahan jumlah anakan. Dengan semakin bertambahnya jumlah anakan, maka radius rumpun semakin bertambah. Penambahan radius ini dapat menyebabkan penyatuan rumpun yang satu dengan rumpun yang lain. Dengan demikian maka jumlah populasi rumpun akan semakin

150 125 berkurang. Jadi jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat negatif, bukan dikarenakan terjadi kematian rumpun atau rusaknya rumpun. Tetapi penyatuan rumpun dalam komunitas sagu itu sendiri. Lain halnya dengan unsur hara magnesium. Unsur hara ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Artinya kondisi kesuburan magnesium rata-rata sekitar 0,46 % dapat menambah jumlah rumpun sagu. Magnesium merupakan unsur hara yang berperan dalam penyusunan atau pembentukan klorofil. Rumus kimia klorofil-a dan kloroofil-b sebagai berikut : klorofil-a C 55 H 72 O 5 N 4 Mg dan klorofil-b C 55 H 70 O 6 N 4 Mg (Anonim 2010). Karena magnesium merupakan penyusun klorofil, maka berkaitan dengan fotosintesis. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah magnesium cukup, maka klorofil yang terbentuk bertambah. Dengan demikian dapat meningkatkan fotosintesis, selanjutnya dapat meningkatkan hasil fotosintesis (fotosintat). Meningkatnya fotositat dapat meningkatkan jumlah buah dan biji. Buah atau biji sagu ini penting sebagai calon individu baru yang kemudian dapat tumbuh membentuk rumpun baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat sifat tanah yang berperan dalam meningkatkan jumlah populasi rumpun sagu melalui pengaruhnya terhadap organ vegetatif. Dalam konteks ini melalui perpanjang cabang basal (rhyzome), dan juga dapat melalui organ generatif berupa buah atau biji sagu. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, variabel kemasaman tanah (ph) memberikan pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel yang lain. Hal ini berarti bahwa dengan membaiknya kondisi kemasaman tanah, yakni meningkat >4,3 akan memberikan pengaruh positif dalam peningkatan produksi pati sagu. Pengaruh positif ini diduga berkaitan dengan ketersediaan unsur hara terutama phosfor, karena unsur hara ini sangat peka terhadap perubahan kemasaman tanah. Dengan adanya peningkatan kemasaman tanah, biasanya akan diikuti dengan perbaikan sifat tanah yang lain seperti ketersediaan unsur hara phosfor. Unsur hara ini sangat peka terhadap kemasaman. Pada kondisi kemasaman yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, biasanya phosfor tidak tersedia bagi tumbuhan. Serapan phosfor oleh tumbuhan banyak berlangsung pada kondisi kemasaman berkisar antara 5,5 6,8 dalam bentuk H 2 PO - 4 dan HPO 2-4 (Brady

151 ). Pada waktu kemasaman tanah rendah, phosfor difiksasi oleh ion Fe dan Al membentuk senyawa kompleks Fe(OH) 2 H 2 PO 4 dan Al(OH) 2 H 2 PO 4, sedangkan ketika kemasaman tinggi, maka phosfor difiksasi oleh Ca membentuk senyawa Ca(H 2 PO 4 ) 2 atau berupa senyawa kalsium yang lain. Semua senyawa kompleks yang dikemukakan di atas bersifat sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tumbuhan. Dengan demikian, apabila kondisi kemasaman berada pada kategori sedang maka phosfor menjadi tersedia dan dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hardjowigeno (1992) menyebutkan bahwa phosfor merupakan unsur hara yang memainkan peranan dalam pembentukan pati. Oleh karena itu jika phosfor terpenuhi, maka penimbunan pati dapat meningkat. Dengan demikian dapat meningkatkan produksi pati sagu. Kandungan karbon organik (bahan organik) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan parameter tanah yang dapat menjelaskan kesuburan tanah. Tanah-tanah yang memiliki kandungan bahan organik dan KTK tinggi berarti kesuburannya tinggi dan sebaliknya. Kandungan bahan organik dan KTK yang rendah menunjukkan tanah yang kurang subur atau tidak subur. Bahan organik merupakan salah satu sumber unsur hara dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Khusus KTK, sering disebut dengan istilah gudang unsur hara, artinya sebagai tempat penyimpanan unsur hara. Apabila tumbuhan memerlukan akan segera dilepas untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. KTK juga berperan sebagai buffer unsur hara, sehingga hara tertentu yang mudah tercuci bisa terhindar dari pencucian atau terangkut oleh air perkolasi (leaching). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik dan KTK berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal ini berarti bahwa unsur hara yang tersimpan dan di buffer mampu memenuhi kebutuhan sagu sehingga berimplikasi pada peningkatan produksi pati. Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur hara kalium, kalsium, dan magnesium berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal berarti bahwa apabila terjadi penambahan jumlah unsur hara tersebut dalam batas tertentu akan meningkatkan produksi sagu. Unsur hara kalium bagi tumbuhan antara lain berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim dan mendorong metabolisme karbohidrat, dan memacu perkembangan akar

152 127 (Hardjowigeno 1992). Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya kandungan kalium tanah, ketersediaan semakin tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan sagu. Dengan terpenuhinya kebutuhan, maka dengan sedirinya akan mendorong pembentukan karbohidrat, kemudian disimpan dalam bentuk pati. Dalam tubuh tumbuhan unsur hara kalsium berperan dalam menyusun dinding sel, pembentukan sel, dan elongasi (elongation) atau pemanjangan sel. Dengan semakin banyak sel yang terbentuk, maka pati yang tersimpan semakin tinggi, dengan demikian dapat meningkatkan produksi sagu. Dalam kaitan dengan pengaruh unsur hara magnesium terhadap produksi pati sagu, telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, ferrum memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Dengan kata lain unsur hara ini tidak berperan dalam meningkatkan produksi pati sagu. Ferrum diketahui sebagai unsur hara esensial mikro (Hardjowigeno 1992). Hal ini berarti bahwa unsur hara tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu peran atau fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur hara yang lain. Walaupun esensi bagi tumbuhan, tetapi apabila konsentrasi tinggi dalam tanah, dapat bersifat meracun (toxic) terhadap perakaran (Brady 1990). Implikasi dari sifat toxic ini dapat menyebabkan pertumbuhan akar terganggu. Gangguan dalam pertumbuhan akar, maka fungsinya tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Misalnya serapan unsur hara bisa berkurang atau terhambat. Jika kebutuhan unsur hara tumbuhan tidak terpenuhi, maka proses pembentukan pati tidak dapat berlangsung maksimal, dengan demikian dapat menurunkan produksi. Dalam pertumbuhan sagu di P. Seram, bulk density atau kepadatan tanah memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Artinya tanah-tanah yang memiliki kepadatan tinggi tidak baik dalam peningkatan produksi pati sagu. Hasil analasis menunjukkan bahwa bulk density mencapai 1,3 gr/cm 3, termasuk tinggi karena bulk density tanah mineral pada umumnya berkisar antara 1,1 1,6 gr/cm 3 (Hardjowigeno 1992). Secara teoritis, tanah-tanah padat merupakan tanah yang memiliki tata air (drainase) dan tata udara (airase) jelek. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa tanah-tanah yang memiliki drenase jelek atau tergenang dapat menyebabkan terjadinya cekaman terkanan turgor. Dampaknya adalah

153 128 serapan air dan unsur hara terhambat. Hambatan ini dapat berpengaruh terhadap produksi pati sagu. Selain bulk density, sifat fisika tanah lain yang diuji dan memberikan pengaruh terhadap produksi sagu adalah partikel liat. Hasil analisis menunjukkan bahwa partikel liat berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Adanya pengaruh yang bersifat positif ini diduga karena liat yang terbentuk pada habitat sagu merupakan liat yang memiliki kesuburan tinggi. Syekhfani (1997) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis liat yang memiliki kesuburan tinggi yaitu liat montmorilonit dan vermikulit. Kedua jenis liat ini memiliki KTK masing-masing sebesar me/100 gr dan me/100 gr. Dalam kaitan dengan peran KTK terhadap produksi pati sagu telah dijelaskan pada uraian sebelumnya. c. Interaksi dengan parameter kualitas air rawa Hasil analisis PCA faktor kualitas air rawa menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat kualitas air rawa sebesar 83,3 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat kualitas air rawa masingmasing sebesar 52,0 %, dan 31,3 % (Tabel 30). Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor kualitas air rawa yaitu ph, kalsium, dan nitrat. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu kalium, magnesium, dan salinitas (Tabel 31). Tabel 30. Eigenvalues matriks korelasi faktor air Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 3,1197 0,520 0,520 PC2 1,8757 0,313 0,833 Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel kualitas air rawa menggunakan loading plot menunjukkan bahwa ph air memiliki korelasi positif dengan kalium, kalsium, dan magnesium (Gambar 31). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh garis loading plot. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa dengan makin bertambah kandungan

154 Second Component 129 kalium, kalsium, dan magnesium, maka ph air akan meningkat. Kalium, kalsium, dan magnesium merupakan kation basa yang memainkan peranan dalam meningkatkan ph. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa bahan kapur untuk memperbaiki kemasaman tanah adalah mengandung kation-kation tersebut. Korelasi positif terjadi pula antara variabel salinitas dengan ph dan kalium. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya ph air dan kalium dalam air, maka akan menaikkan kadar salinitas air rawa. Tabel 31. Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa Variable PC1 PC2 ph 0,516-0,290 Kalium 0,255 0,629 Kalsium 0,554-0,091 Magnesium 0,332 0,565 NO3-0,499 0,264 Salinitas 0,044-0,352 Loading Plot of ph;...; Salinitas 0,6 Kalium Magnesium 0,4 NO3 0,2 0,0 Kalsium -0,2 Salinitas ph -0,4-0,50-0,25 0,00 First Component 0,25 0,50 Gambar 31. Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Kandungan nitrat (NO 3 ) dalam air berkorelasi negatif dengan ph. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh garis loading plot variabel tersebut. Korelasi yang bersifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan

155 130 meningkatnya ph, maka kandungan nitrat akan berkurang. Pada lahan rawa yang mengalami genangan cukup lama, biasanya oksigen berkurang dibarengi dengan peningkatan kemasaman air. Di dalam air nitrat mudah tercuci atau terbawa oleh aliran perkolasi. Dalam air yang tergenang dimana kondisinya tereduksi, nitrat biasanya dirubah ke dalam bentuk ammonium (NH 4 ). Perubahan ini antara lain diduga berperan dalam turunnya kandungan nitrat dalam air rawa di lahan sagu. Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama (skor PC) faktor kualitas air rawa dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor kualitas air rawa terhadap habitat sagu di Pulau Seram sebesar 6,26 % (Tabel 32). Variabel kualitas air rawa yang memiliki kontribusi tertinggi adalah kalsium, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,73 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah salinitas sebesar 0,14 %. Tabel 32. Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) ph 3,120 0,516 1,61 Kalium 1,876 0,629 1,18 Kalsium 3,120 0,554 1,73 Magnesium 1,876 0,565 1,10 Nitrat (NO3) 1,876 0,264 0,50 Salinitas 3,120 0,044 0,14 Jumlah 6,26 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 30 di atas, dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor kualitas air rawa di P. Seram sebagai berikut : HS (F-KAR) = (1,61 ph ) + (1,18 K ) + (1,73 Ca ) + (1,10 Mg + (0,50 Nitrat ) + (0,14 Salinitas ).. (31)

156 131 dimana : HS (F-KAR ) = habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa ph = kemasaman air K = Kalium Ca = Kalsium Mg = Magnesium NO 3 = Nitrat Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-31 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat kualitas air rawa sangat ditentukan oleh variabel kandungan kalsium. Hal ini berarti bahwa untuk habitat sagu diperlukan kalsium yang memadai. Kalsium merupakan unsur hara esensial makro, artinya diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang relatif banyak. Kalsium juga merupakan kation basa yang berperan dalam memperbaiki kemasaman air. Selain itu pertumbuhan sagu ditentukan pula oleh kation dan anion lain seperti kalsium, magnesium, dan nitrat. Setelah kalsium, variabel kualitas air rawa yang paling berperan adalah kemasaman air (ph). Kemasaman air berkaitan dengan ketersediaan unsur hara tertentu seperti phosfor, dan kelarutan senyawa logam yang dapat memberikan efek buruk terhadap pertumbuhan sagu. Kualitas air rawa di lahan sagu yang paling kecil perannya adalah salinitas. Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing sebesar 10,0 % dan 11,0 % (Lampiran 20). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y1 = 6,17 + 0,004 X1-0,018 X2-0,009 X3-2,105 X4.. (32) Y2 = 546,18 + 4,056 X1-0,370 X2 + 5,090 X3-186,047 X4.. (33) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu, Y2 = produksi pati sagu, X1 = Kalium, X2 = Kalsium, X3 = Magnesium, X4 = Salinitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa salinitas merupakan variabel air yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Pengaruh salinitas ini bersifat negatif, artinya menghambat penambahan jumlah

157 132 populasi rumpun dan tidak menunjang peningkatan produksi pati sagu, jika salinitas air meningkat. Rostiwati et al. (2008) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas air mencapai 10 ppt. Walaupun tumbuhan sagu memiliki daya adaptasi untuk dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas sebagaimana tersebut di atas, namun dengan peningkatan salinitas tidak memberikan pengaruh yang baik bagi penambahan jumlah populasi rumpun maupun terhadap produksi pati sagu. Pengaruh yang bersifat negatif dari salinitas terhadap jumlah populasi rumpun dikarenakan pada habitat tergenang terdapat garam-garam yang larut seperti garam kalsium, magnesium, dan mungkin juga natrium terutama pada habitat air payau. Garam-garam ini diduga menghambat pertumbuhan percabangan basal (rhyzome) sehingga pembentukan rumpun baru tidak dapat berlangsung. Artinya pertumbuhan percabangan basal hanya tumbuh disekitar pohon induk, tumbuh bersama dalam suatu rumpun. Dalam pertumbuhan sagu, kalium di dalam air memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini berarti bahwa kalium berperan dalam penambahan jumlah populasi rumpun sagu. Dalam kaitan ini dimungkinkan karena kalium merupakan unsur hara yang berperan dalam perkembangan akar (Hardjowigeno 1992). Dalam konteks ini diduga kalium berperan juga dalam mendorong pemanjangan percabangan basal (rhyzome) sagu. Dalam ilmu Botani, rhyzome merupakan modifikasi akar yang dapat tumbuh menjadi individu baru. Rhyzome sagu yang memanjang menjauhi pohon induk atau rumpun induk, kemudian tumbuh menjadi individu baru yang selanjutnya membentuk rumpun baru. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, hasil analisis menunjukkan bahwa variabel salinitas memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Salinitas sesungguhnya merupakan indikator yang mencirikan kandungan garam-garam yang terlarut dalam air. Tiga jenis unsur hara yang larut dalam air tersebut yakni, kalium, kalsium, dan magnesium. Tiga unsur tersebut merupakan kation yang dibutuhkan tumbuhan dan menentukan tingkat salinitas. Dalam proses serapan, dapat terjadi kompetisi diantara ketiga kation tersebut karena memiliki kemiripan sifat. Pada uraian sebelumnya dikemukakan oleh Syekhfani (1997) bahwa

158 133 terdapat kompetisi dalam penyerapan ion kalium, kalsium, dan magnesium karena secara kimia memiliki kesamaan sifat. Kalium dan magnesium yang terus bertambah dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hal ini ditunjukkan dengan pengaruh kedua kation tersebut yang bersifat positif. Pengaruh sebaliknya ditunjukkan oleh kalsium, artinya dengan semakin bertambah jumlahnya di dalam air, tidak diikuti dengan peningkatan produksi pati sagu. Hal ini diduga karena kebutuhan kalsium sagu telah dapat dipenuhi dari dalam tanah. Terkait dengan fungsi dan peran masing-masing unsur telah dijelaskan pada uraian sebelumnya Potensi populasi dan produksi pati sagu di P. Seram a. Potensi populasi sagu di P. Seram Di P. Seram Maluku terdapat luas potensi areal tumbuhan sagu lebih kurang ha. Pada luas areal tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 3,22 juta rumpun sagu, terdiri dari sagu fase semai 6,14 juta individu, sapihan 1,59 individu, tiang 0,55 juta individu, pohon 1,47 juta individu, pohon masak panen 0,35 juta individu, dan pohon veteran 0,12 juta individu (Tabel 33). Tabel 33. Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Spesies sagu Rumpun Fase Pertumbuhan Semai Sapihan Tiang Pohon Phn.Panen Phn.Veteran x 1000 ind. M.rumphii 1.714, ,9 775,8 279,3 678,3 114,8 12,8 M.longisp. 543,8 1,025,6 277,6 95,9 276,2 104,5 58,6 M.sylvestre 629,8 1,745,8 378,7 118,4 331,0 67,0 9,6 M.microc. 27,5 57,3 13,7 3,2 20,1 0,0 0,0 M.sagu 304,8 315,2 142,7 55,3 162,8 61,8 37,1 Jumlah 3.220, , ,6 552,1 1,468,2 348,0 118,1 Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. microc = M. microcanthum, ind = individu, phn = pohon. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009, kemudian dikoreksi dengan luas areal sagu di P. Seram ,8 ha. Atas dasar jumlah individu yang dimiliki, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies sagu yang sangat potensil karena memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan spesies

159 134 sagu yang lain. Apabila dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart., spesies M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu rumpun dan seluruh fase pertumbuhan hampir tiga kali lebih banyak daripada M. longispinum Mart. Demikian pula jika dibandingkan dengan jumlah individu sagu M. sylvestre Mart. Walaupun demikian dua spesies sagu yang disebut terakhir ini memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. Spesies sagu yang sangat tidak potensial di P. Seram yaitu M. microcanthum Mart. karena memiliki jumlah individu yang sangat sedikit yakni tidak mencukupi setengah persen. Dalam setiap tahun tumbuhan sagu yang telah mencapai fase pohon, dan diperkirakan dapat dipanen sekitar % atau sekitar 350 pohon sagu yang mencakup empat spesies sagu, yaitu M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Sekitar 85 % pohon sagu yang dapat dipanen berupa spesies M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart. Pada Tabel di atas terlihat bahwa populasi spesies M. sylvestre Mart. fase pohon yang dapat dipanen relatif sedikit. Hal ini dikarenakan spesies sagu ini banyak yang dipanen petani karena spesies sagu ini dapat memberikan hasil yang banyak, merupakan spesies sagu yang paling dipilih untuk panen. Argumen ini didukung dengan fakta jumlah individu M. sylvestre Mart. fase pohon veteran yang relatif sedikit. Berlainan dengan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb., dimana jumlah individu fase pohon veteran yang cukup menonjol karena kurang diminati untuk dipanen oleh masyarakat petani di P. Seram. a. Potensi produksi pati sagu di P. Seram Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu di P. Seram menunjukkan bahwa jenis tumbuhan sagu yang memiliki potensi produksi paling tinggi adalah spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. Berdasarkan tipe habitat, pada habitat lahan kering potensi produksi pati M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 685,50 kg/batang, M. sylvestre Mart. 726,22 kg/batang (Tabel 34). Potensi produksi kedua spesies sagu ini hampir sama pada semua tipe habitat. Secara umum potensi produksi pati spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dua kali lebih besar dibandingkan dengan spesies M. lonhispinum

160 135 Mart. dan M. sagu Rottb. Apabila potensi produksi sagu ini ditinjau dari tipe habitat, maka produksi pati sagu pada tipe lahan kering dan tergenang temporer air tawar (T2AT) diperoleh produksi pati sagu yang paling tinggi pada semua jenis sagu, dibandingkan dengan dua tipe habitat yang lain yakni tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN). Tabel 34. Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda Tipe Habitat No. Spesies sagu TTG T2AT T2AP TPN Rataan kg/batang 1. M. rumphii 685,50 721,50 479,17 378,00 566,04 2. M. longispinum 324,50 287,11 186,00 183,22 245,21 3. M. sylvestre 726,22 708,00 460,50 348,00 560,68 4. M. sagu - 348,44-126,00 237,22 Rataan 578,74 516,26 353,06 258,81 393,13 Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Pada tipe habitat tergenang terjadi cekaman defisit oksigen, dan cekaman ionik oleh unsur Fe dan Al. Levitt (1980) mengemukakan bahwa defisit oksigen menyebabkan penyerapan air (water uptake) berkurang karena aerase jelek. Pada tumbuh-tumbuhan yang tergenang daun-daunnya mengalami klorosis, dan ketika taraf oksigen berkurang, maka terjadi hambatan dalam proses sintesis polisakarida. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, dengan berkurangnya water uptake, maka penyerapan unsur hara ikut terhambat antara lain seperti nitrogen, magnesium, dan besi. Fenomena inilah yang menyebabkan daun tampak klorosis, dengan demikian proses fotosintesis terhambat, dampaknya adalah penimbunan fotosintat dalam bentuk pati sedikit. Selain itu apabila serapan unsur hara kalium menurun, karena water uptake bekurang maka proses metabolisme karbohidrat terhambat. Cekaman defisit oksigen karena penggenangan yang menyebabkan sintesis polisakarida menurun berpengaruh terhadap produksi sagu adalah dikarenakan produksi sagu tersimpan dalam bentuk pati (polisakarida), sehingga jika fotosintat tersimpan dalam bentuk karbohidrat sederhana, akan mudah larut dan terbuang dalam proses pengolahan.

161 136 Tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN) merupakan tipe habitat yang kurang baik bagi pertumbuhan dan produksi pati sagu. Hal ini tampak dari potensi produksi sagu yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan potensi produksi pati sagu pada tipe habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar. Potensi produksi pati sagu tuni dan sylvestre pada tipe habitat yang kurang baik tersebut sama baiknya dengan potensi produksi pati sagu makanaro dan molat pada tipe habitat yang dianggap baik bagi pertumbuhan sagu yakni habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar (T2AT). Berdasarkan potensi produksi pati sagu yang dimiliki masing-masing spesies sagu, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan jenis sagu yang berpotensi untuk dikembangkan dimasa yang akan datang. Sedangkan tipe habitat yang paling baik untuk pengembangan sagu adalah tipe habitat lahan kering (TTG) dan tergenang temporer air tawar (T2AT). Untuk keperluan pengembangan pada tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN), selain diperlukan pertimbangan pemilihan jenis sagu yang memiliki potensi produksi tinggi, juga diperlukan usaha-usaha pengelolaan berupa pengembangan saluran drainase sehingga tidak memungkinkan air tergenang dalam tempo yang relatif lama Studi Biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Berdasarkan tingkatannya, biodiversitas atau keanekaragaman hayati terdiri dari tiga tingkatan yaitu keanekaragaman tingkat komunitas, keanekaragaman tingkat spesies, dan keanekaragaman tingkat genetik (Kartono 2006). Dalam penelitian ini keanekaragaman tumbuhan sagu dikelompokkan menurut tiga tingkatan tersebut Biodiversitas tingkat komunitas Keanekaragaman sagu tingkat komunitas dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan keanekaragaman tumbuhan sagu menurut wilayah

162 137 sampel, meliputi wilayah sampel I Luhu-SBB, wilayah sampel II Sawai-MT, dan wilayah sampel III Werinama-SBT. Keanekaragaman komunitas sagu antar wilayah sampel didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989). Hasil analisis indeks kemiripan komunitas sagu antara wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel II Sawai-MT, wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel III Werinama-SBT, dan wilayah sampel II Sawai-MT dan wilayah sampel III Werinama-SBT menunjukkan bahwa komunitas sagu di P. Seram memiliki kemiripan komunitas yang termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 60,66 80,92 %. (ratarata 65,76 %) (Tabel 35). Tabel 35. Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku No. Fase Indeks Kemiripan Komunitas (%) Pertumbuhan I x II I x III II x III Rataan 1. Pohon 60,95 60,95 80,92 67,61 2. Tiang 57,14 57,52 61,42 58,69 3. Sapihan 74,91 71,60 76,47 74,33 4. Semai 65,92 60,66 60,66 62,41 Rataan 64,73 62,68 69,87 65,76 Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Berdasarkan fase pertumbuhan, tampak bahwa kemiripan komunitas paling tinggi terdapat pada fase sapihan mencapai 74,33 % dan kemiripan komunitas yang lebih rendah secara berurutan, fase tiang 58,69 %, semai 62,41 %, dan fase pohon 67,61 %. Indeks kemiripan komunitas antara wilayah sampel yang satu dengan yang lain pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan bahwa kemiripan komunitas tumbuhan sagu di P. Seram termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks rata-rata sebesar 65,76 %. Hal ini berarti bahwa terdapat kesamaan komunitas sagu alami di dalam wilayah P. Seram. Kesamaan yang tinggi ini dikarenakan pada semua wilayah sampel tumbuhan sagu tumbuh dan berkembang membentuk klaster secara masif melalui pertumbuhan rhyzome yang memanjang membentuk individu baru. Dalam perkembangan lebih lanjut individu baru ini kemudian membentuk rumpun sendiri, demikian seterusnya

163 138 dengan pertambahan waktu sehingga menguasai seluruh areal lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Sagu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan marjinal yaitu lahan dimana jenis tumbuhan atau kebanyakan tanaman perkebunan tidak dapat bertahan hidup (Suryana 2007). Secara ekologi wilayah pengamatan yang mempunyai indeks kemiripan komunitas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki kesamaan. Berdasarkan nilai IS yang diperoleh diketahui bahwa seluruh wilayah pertumbuhan sagu alami di P. Seram Maluku memiliki kemiripan komunitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan kondisi habitat atau lingkungan pertumbuhan, baik secara fisik, kimia, maupun interaksi antar spesies yang hidup pada seluruh wilayah penelitian, sehingga spesies sagu dan vegetasi lain yang tumbuh relatif sama. Akibatnya tingkat kemiripan komunitas vegetasi di seluruh wilayah penelitian termasuk dalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa kondisi mikrositus yang relatif homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang sama, karena spesies tersebut secara alami telah mengembangkan mekanisme adaptasi dan toleransi terhadap habitatnya. Kemiripan atau kesamaan komunitas vegetasi dalam areal pertumbuhan sagu di P. Seram ini didorong pula oleh adanya aktivitas masyarakat yang melakukan penanaman tumbuhan sagu, walaupun secara sporadis sejak masa lampau berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat Loveless (1983 dalam Setiadi 2005) yang mengemukakan bahwa faktor lain yang menentukan kehadiran suatu spesies tumbuhan atau komunitas tumbuhan tidak hanya sebagai akibat dari pengaruh faktor fisik dan kimia, tetapi hewan dan manusia juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tumbuhan Biodiversitas tingkat spesies Penentuan indeks keanekaragaman spesies dilakukan dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon (H ). Indeks ini mengggambarkan banyaknya jumlah individu suatu spesies atau kelimpahan jenis dan jumlah jenis spesies

164 139 tertentu atau kekayaan jenis (Muhdi 2005). Hasil analisis indeks keanekaragaman spesies menurut indeks Shannon (H ) pada semua fase pertumbuhan di seluruh wilayah sampel menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies termasuk dalam kategori sangat rendah dengan nilai H berkisar antara 0,61 0,90, kecuali pada stadia semai dalam wilayah sampel I Luhu-SBB termasuk dalam kategori rendah dengan nilai H sebesar 1,18 (Tabel 36). Tabel 36. Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P. Seram No. Fase Indeks Shannon (H ) Wil.Sampel I Wil. Sampel II Wil. Sampel III Tumbuh Rataan Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT 1. Pohon 0,61 0,61 0,65 0,62 2. Tiang 0,64 0,68 0,89 0,74 3. Sapihan 0,75 0,71 0,90 0,79 4. Semai 1,18 0,92 0,95 1,02 Rataan 0,79 0,73 0,85 0,79 Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun Nilai indeks keanekaragaman spesies pada sebagian besar pertumbuhan kurang dari satu (<1), mengandung fase makna bahwa indeks keanekaragaman spesies fase sapihan sampai fase pohon di P. Seram Maluku termasuk dalam kategori sangat rendah, sedangkan pada fase semai termasuk dalam kategori rendah. Walaupun demikian apabila diperhitungkan secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman spesies tidak mencapai satu (rataan 0,79). Dengan demikian maka secara umum dapat dikatakan bahwa indeks keaneragaman spesies dalam wilayah P. Seram termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini berarti bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu pada seluruh wilayah sampel tidak terdapat perbedaan indeks keanekaragaman spesies. Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu yang tumbuh secara alami di P. Seram telah mencapai suatu komunitas klimaks dan stabil. Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa keanekaragaman spesies merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman spesies cenderung akan lebih tinggi. Nilai indeks keanekaragaman spesies yang rendah pada umumnya dijumpai pada komunitas

165 140 yang telah mencapai klimaks. Untuk mempertahankan keanekaragaman spesies yang tinggi, suatu komunitas memerlukan gangguan secara teratur dan acak. Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen, mempunyai indeks keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan bentuk hutan mosaik atau secara regional diganggu secara periodik oleh api, angin, banjir, hama, dan intervensi manusia. Biasanya setelah terjadi gangguan akan terjadi peningkatan keanekaragaman spesies sampai pada suatu titik dimana komunitas mencapai klimaks. Selanjutnya setelah klimaks ada kecendurungan indeks keanekaragaman menurun lagi. Di dalam komunitas tumbuhan sagu alami di P. Seram seringkali terjadi gangguan melalui kegiatan pemanenan oleh masyarakat, akan tetapi gangguan yang ditimbulkan oleh aktivitas itu belum menyebabkan kerusakan berarti yang memungkinkan munculnya spesies lain atau vegetasi baru secara menyolok sehingga mampu meningkatkan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu. Disisi lain pemanenan sagu pada fase pohon tidak menyebabkan gangguan berarti terhadap eksistensi rumpun sagu, dalam arti rumpun sagu masih relatif kokoh dan fase tumbuh sagu di bawah fase pohon seperti tiang, sapihan, dan/atau semai masih tetap mendominasi habitat tumbuhnya. Hasil analisis yang tersaji dalam Tabel 18, sangat relevan dengan pendapat Barbour et al. (1987) dimana pada seluruh wilayah sampel dan fase pertumbuhan diperoleh nilai indeks keanekaragaman spesies yang tergolong rendah dan termasuk dalam kategori relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi habitat pada seluruh wilayah sampel relatif homogen, apabila terjadi gangguan tidak secara drastis yang menyebabkan kerusakan berarti Biodiversitas tingkat genetik Analisis genetik dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu karena ditengarai terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Analisis untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan menggunakan metode elektroforesis gel pati atau disebut pula dengan istilah metode isozim atau isoenzim (Hartana 2003). Untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan

166 141 menggunakan empat jenis pewarna enzim yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST). Hasil analisis enzim atau isolasi enzim menunjukkan bahwa dari empat jenis pewarna enzim, tiga jenis enzim memberikan hasil pewarnaan yang dapat dilakukan interpretasi yaitu enzim AAT, ACP, dan PER. Sedangkan pewarnaan dengan menggunakan enzim Esterase (EST) memberikan pewarnaan yang tidak sempurna. Tiga jenis enzim yang memberikan pewarnaan yang baik dan dapat dilakukan interpretasi disajikan berturut-turut dalam Gambar 32 berikut. Berdasarkan hasil analisis isozim sebagaimana terlihat pada gambar tersebut tampak bahwa pola pita isozim lima spesies sagu yang dianalisis memperlihatkan dua pola pita isozim. Spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., dan M. micrtocanthum Mart. membentuk pola pita isozim dalam satu kelompok tersendiri, sedangkan M. sagu Rottb. terpisah membentuk pola pita tersendiri pula. Empat spesies sagu yang membentuk pola pita isozim pertama merupakan spesies sagu yang memiliki duri sedangkan spesies sagu dengan pola pita isozim kedua berupa M. sagu Rottb. merupakan jenis tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram hanya terdiri dari dua spesies. Kedua spesies ini oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) dikelompokkan ke dalam spesies Metroxylon rumphii Mart. untuk spesies sagu yang memiliki duri, sedangkan spesies Metroxylon sagu Rottb. untuk tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997).

167 142 a b c Keterangan : 1 = M. rumphii Mart.; 2 = M. sylvestre Mart.; 3 = M. longispinum Mart.; 4 = M. microcanthum Mart.; 5 = M. sagu Rottb. Gambar 32. Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b) Asam Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER)

168 143 Berdasarkan hasil penelitian Sarkar (1970 dalam Flach 1997) dikemukakan bahwa jumlah kromosom tumbuhan sagu sebanyak 16 (2n = 32). Hasil penelitian ini kemudian terkoreksi berdasarkan hasil penelitian Verhaar (1976 dalam Flach 1997) yang menemukan bahwa jumlah kromosom spesies sagu tidak berduri (M. sagu Rottb.) memiliki jumlah kromosom sebanyak 13 (2n = 26). Dengan demikian, maka spesies sagu yang berduri M. rumphii Mart. memiliki jumlah kromosom sebanyak 16 dan spesies M. sagu Rottb. jumlah kromosomnya sebanyak 13. Dua spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram Provinsi Maluku yaitu M. rumphii Mart. dan M. sagus Rottb., yang meliputi lima spesies sagu sebelumnya, oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) dilakukan pengelompokkan menjadi empat varietas yaitu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu : 1) varietas microcanthum Becc., 2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya memiliki satu varietas yakni varietas molat Becc. Selanjutnya varietas microcanthum dibagi menjadi dua subvarietas yaitu subvarietas tuni dan subvarietas makanaro. Hasil analisis genetik menggunakan isozim ini semakin mempertegas atau memperjelas uraian yang dikemukakan oleh Beccari ini. Sistem klasifikasi atau cara penamaan ini menganut prinsip penamaan menurut istilah spesies biologis. Spesies biologi ini mengandung makna sebagai individu-individu organisme yang dapat melakukan pertukaran gen atau dapat kawin dan membentuk individu baru yang bersifat fertil. Selain pembagian spesies tumbuhan sagu sebagaimana yang dikemukakan di atas, ditemukan pula cara penulisan atau pemahaman bahwa di P. Seram Maluku khususnya dan Indonesia pada umumnya terdapat lima spesies sagu. Pertama kali penulis mengetahui bahwa tumbuhan sagu di Maluku berjumlah lima spesies berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Heyne (1950) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993), yaitu : 1) M. rumphii Mart., 2) M. longispinum Mart., 3) M. microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart., dan 5) M. Sagu Rottb. Penamaan ini oleh Louhenapessy (1993 dan 2006) disertakan dengan nama lokal sebagai berikut : 1) Metroxylon rumpii Mart. (sagu tuni), 2) M. sagu

169 144 Rottb. (sagu molat), 3) M. sylvester Mart. (sagu ihur), 4) M. longispinum Mart. (sagu makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (sagu duri rotan). Cara penamaan ini dianut pula oleh para ahli yang lain, misalnya Bintoro (2008) dan Rostiwati et al. (2008). Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka faham yang menganut lima spesies sagu di Maluku terutama di P. Seram terkoreksi. Dapat dikemukakan pula bahwa dalam Botanica Sistematica yang dikeluarkan FAO (2007) dari delapan spesies sagu yang terdapat di dunia, tidak terdapat spesies sagu seperti M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart, dan M. sylvestre Mart. Kemudian di dalam klasifikasi sagu yang dibuat Martius (1838 dalam FAO 2007) hanya terdapat dua spesies yaitu spesies M. rumphii Mart. dan M. elatum Mart. Ringkasan jumlah spesies sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) dan beberapa ahli yang lain disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 37. Spesies Varietas Subvarietas M. rumphii Mart. Microcanthum Tuni Sagu Sylvestre Rotang Makanaro M. sagu Rottb. Molat Gambar 33. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) Tabel 37. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli No. Nama spesies sagu Referensi 1. Metroxylon rumphii Mart. 2. Metroxylon sylvestre Mart. 3. Metroxylon longispinum Mart. 4. Metroxylon microcanthum Mart. 5. Metroxylon sagu Rottb. Hayne (1950 dalam Notohadiprawiro & Louhenapessy 1993). Louhenapessy (1993 & 2006). Bintoro (2008) Rostiwati et al. (2008).

170 145 Khusus varietas molat dari spesies M. sagu Rottb. seperti yang dikemukakan oleh Beccari (19181 dalam Flach 1997). Sejalan dengan hasil penelitian genetik sagu di PNG oleh Kjaer et al. (2004), dengan menggunakan metode AFLP disimpulkan bahwa secara taxonomy spesies M. sagu hanya terdiri dari satu spesies. Dikemukakan lebih lanjut bahwa pola distribusi morfologi secara geografi tidak mencerminkan pola variasi secara genetik. Hal ini mengandung pengertian bahwa terdapat variasi secara morfologi pada spesies M. sagu Rottb., keragaman morfologi di berbagai daerah di PNG tidak berkaitan dengan perbedaan secara genetik.

171 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Tumbuhan sagu di P. Seram Maluku terdistribusi secara spasial secara tidak merata pada seluruh wilayah, membentuk patch atau klaster pada kondisi lahan datar di dataran rendah, ketinggian 250 m dpl, kemiringan datar-curam, wilayah dekat pesisir pantai atau berdekatan dengan sungai, pada tanah-tanah aluvium (endapan) sebagian besar pada jenis tanah Entisols dan Inceptisols, dengan total luas areal mencapai ,8 ha. 2. Struktur populasi tumbuhan sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti pola pertumbuhan muda, didominasi oleh fase semai dengan tingkat kegagalan untuk tumbuh ke fase berikutnya sangat tinggi mencapai 76,82 %. 3. Dalam komunitas sagu alami di P. Seram, spesies sagu telah berkembang mendominasi sebagian besar habitatnya, tumbuh dan berkembang mengarah kepada kondisi vegetasi yang bersifat stabil. Dalam komunitas tersebut terjadi asosiasi diantara spesies yang bersifat negatif, baik secara kolektif maupun antara spesies berpasangan, dengan tingkat asosiasi secara umum rendah (JI < 0,2). 4. Tumbuhan sagu spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki daya adaptasi paling luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart. merupakan spesies sagu dengan daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga spesies sagu yang lain yaitu M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikkan sebagai spesies sagu yang memiliki daya adaptasi sedang (meso tolerance). 5. Dalam interaksi antara tumbuhan dengan komponen abiotis, terdapat pengaruh faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi (pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Faktor tanah merupakan komponen abiotis yang paling bepengaruh terhadap tumbuhan sagu, ditunjukkan melalui pengaruhnya terhadap produksi pati sagu mencapai 60,9 %. Sedangkan

172 147 terhadap jumlah populasi rumpun, pengaruh yang paling besar oleh faktor kualitas air rawa 10,0 %). Parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang paling berpengaruh terhadap tumbuhan sagu masing-masing temperatur dan kelembaban mikro, bulk density, kemasaman tanah, dan salinitas. 6. M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan spesies sagu yang memiliki kapasitas produksi tinggi, masing-masing mencapai 566,04 dan 560,68 kg/batang, sedangkan kapasistas produksi spesies M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb. masing-masing hanya sekitar 245,21 dan 237,22 kg/batang. 7. Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Maluku menurut spesies biologi hanya terdiri dari dua spesies yaitu 1) Metroxylon rumphii Mart., dan 2) Metroxylon sagu Rottb. Spesies sagu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu 1) varietas microcanthum Becc., 2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya tediri dari varietas molat. Varietas microcanthum terdiri dari dua subvarietas, yaitu subvarietas tuni Becc. dan subvarietas makanaro Becc Saran 1. Berkenaan dengan pemanfaatan sagu di P. Seram, terdapat luas lahan sagu sekitar ha, dengan jumlah populasi rumpun mencapai 3,22 juta rumpun, pohon 1,47 juta individu, dan pohon panen sekitar 350 ribu individu yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan atau bahan baku industri. 2. Dalam rangka budidaya dan pengembangan sagu dimasa yang akan datang, dapat dilakukan dengan mengembangkan subvarietas tuni Becc. Pada tipe habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar dapat pula dikembangkan varietas sylvestre Becc. Sedangkan pada kondisi habitat yang tergenang permanen dapat diusahakan varietas molat Becc. Varietas sagu ini selain memiliki daya adaptasi yang baik pada lahan tersebut, juga memiliki kandungan pati yang berwarna putih, sangat disukai masyarakat Maluku dan Papua sebagai bahan pangan. 3. Varietas atau subvarietas sagu yang kurang produktif seperti subvarietas

173 148 makanaro Becc. dan varietas rotang Becc. dapat dikembangkan sebagai tumbuhan konservasi sumber mata air, sekaligus melestarikan sumberdaya genetiknya. 4. Dalam upaya untuk meningkatkan dan menjamin kontinuitas produksi pati sagu dapat dilakukan dengan memodifikasi pola pertumbuhan ke pola pertumbuhan stabil melalui upaya sortasi anakan dan pengaturan jarak tumbuh antar individu. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan luas lahan yang sesuai bagi pengembangan sagu di P. Seram, terutama pada yang belum dimanfaatkan. 6. Perlu dilakukan analisis genetik menggunakan marker yang lebih tajam untuk memperkuat atau menguji keakuratan hasil klarifikasi jumlah spesies yang dicapai ini. 7. Mengingat tingginya perubahan penggunaan lahan untuk berbagai peruntukkan, oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang laju penyusutan perubahan tutupan lahan sagu.

174 149 DAFTAR PUSTAKA Anonim Rumus kimia klorofil-a dan klorofil-b. wordpress.com/perbedaan-pigmen-klorofil-a-dan-klorofil-b/ [13 Mei 2010] Atmawidjaja R Komoditi sagu, ditinjau dari kepentingan nasional (prospek dan permasalahannya). Prosiding Simposium Sagu Nasional, Ambon Oktober PP : [BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX Ambon Peta Iklim Pulau Seram Provinsi Maluku. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hasil survey agronomi Sagu di kepulauan Maluku dalam rangka inventarisasi potensi sagu di Maluku. Proyek Penelitian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu sebagai bahan pangan dan energi (P3SBPE). Kerjasama BPP Teknologi dan Universitas Pattimura. [BPT] Balai Penelitian Tanah Bogor Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Barahima Keragaman genetik tanaman sagu di Indonesia berdasarkan penanda molekuler genom kloroplas dan genom inti [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barbour GM, Burk JK, Pitts WD Terrestrial Plant Ecology. New York : Benyamin/Cumming Publishing. Inc. Barlina R, Karouw S Potensi pati sagu sebagai bahan baku plastik. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Bintoro HMH Country Report of Indonesia. Di dalam : Bintoro HMH et al., editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, hlm Bintoro HMH, Mashud N, Novarianto H Status teknologi sagu. Makalah disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu Indonesia. Batam, Juli Bintoro HMH Bercocok Tanam Sagu. Bogor : IPB Press.

175 150 Brady NC The Nature and Properties of Soils. New York : MacMillian Publishing Company. Budianto J Teknologi sagu bagi agribisnis dan ketahanan pangan. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Bustaman, S Potensi ulat sagu dan prospek pemanfaatannya. J Litbang Pertanian, 27(2 : p pdf. [25 Oktober 2010]. Cox GW General Ecology, Laboratory Manual. Eigth edition. New York : McGraw Hill. Daubenmire R.F Plant and Environment. A Texbook of Autecology. Third edition. New York : John Wiley & Sons. Dewi H Tingkat kesesuaian habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Djufri Studi autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acasia nilotica) terhadap eksistensi savana dan strategi penanganannya di taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization Botanica sistematica. ypertext/1251.htm. [21 Februari 2010]. Flach M The Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nation. Flach M Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops. Sago Palm, Metroxylon sagu, Rottb. Wageningen Agriculture University, Netherlands. International Plant Genetic Resources Institute, Rome. pp pdf/238.pdf. [11 Agustus 2008]. Halle F & Oldeman RAA. An Essay the Architerture and Dynamics of Growth of Tropical Trees. Translated from the Frenc by Benjamin C. Stone, Reader in Botany, School of Biological Science, University of Malaya. Kuala Lumpur Malaysia : University Malaya. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Jakarta : Melton Putra.

176 151 Hardjowigeno S Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta : Akademika Pressindo. Haryanto B, Pangloli P Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta : Kanisus. Gaspersz V Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung : Tarsito. Gubernur Provinsi Papua Pengembangan potensi dan pemberdayaan petani sagu di Provinsi Papua; Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Pp : Gumbira Sa id E Peluang pemanfaatan pati sagu dengan bioteknologi dan kajian khusus mengenai pemerkayaan protein bahan berpati dengan kultivasi media padat. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional; Ambon, Oktober Ambon : Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. hlm Harsanto PB Budidaya dan Pengolahan Sagu. Yogyakarta : Kanisus. Hartana A Elektroforesis sebagai alat pelacak marka molekul biologi. Materi pelatihan singkat Teknik Analisis dengan Metode dan Peralatan mutakhir di Bidang Hayati dan Kimia. Kerjasama antara Pusat Studi Ilmu Hayati Lembaga Penelitian IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Bogor, Oktober hlm Ishizaki A NECFER s new technology for bioethanol from sago log. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia. Batam, Juli Jaya IN Teknik-Teknik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Jong FJ An urgen need to expedite the commercialization of the sago industries. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm

177 152 Kartono AP Ekologi kuantitatif konservasi keanekaragaman hayati. Laboratorium Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB (tidak dipublikasikan). Kartono AP Dampak penambangan terhadap keanekaragaman hayati. Makalah disampaikan pada seminar Nasional Soil and Mining yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB pada tanggal, 29 Nopember Kjaer A, Barfodi A, Asmussen CB, Seberg O Investigation of genetic and morphological variation in the sago palm (Metroxylon sagu; Arecaceae) in Papua Newe Guinea. J Ann Bot 94 (1) : Krebs CJ Ecological Methodology. Canada : Addison-Welsey Longman, Inc. Krivan V & Sirot E Habitat selection by to competing species in a twohabitat environment. J The American Naturalist 160 (2) : Kurniawan A, Undaharta Ni KE, Pendit I Made R Asosiasi jenis-jenis pohon dominan di hutan dataran rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. J Biodiversitas 8 (3) : Kusmana C Metode Survey Vegetasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Lakuy H, Limbongan J Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Levitt J Responses of Plant to Environmental Stresses, 2 nd. End. New York : Academic Press. Louhenapessy JE Potensi dan Pengelolaan sagu di Maluku. Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu dengan tema Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku. Ambon Mei Louhenapessy J.E Sagu di Maluku (Potensi, Kondisi Lahan, dan Permasalahannya). Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional; Ambon, Oktober Ambon : Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. hlm Ludwig AJ, & Reynolds JF Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. New York : John Willey & Sons.

178 153 Luhulima F, Karyoto SA, Abdullah Y, Dampa DJ Feasibility study of natural sago forest for the establishment of commercial sago plantation in south Sorong, Irian Jaya Barat, Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm Mahmud Z Sinkronisasi kebijakan dalam pengembangan agribisnis sagu sebagai komponen ketahanan pangan. Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Marzuki I Studi morfo-ekotipe dan karakterisasi minyak atsiri, isozim, dan DNA pala Banda (Miristica fragrans Houtt) Maluku [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Matanubun H, Maturbongs L Sago palm potential, biodiversity and socialcultural consideration for industrial sago development in Papua, Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm Matanubun H et al Feasibility study of the natural sago forest for the establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District, Jayapura, Papua Province Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm McClatchey W, Manner HI, Elevitch CR Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm). Species Profile for Pacific Island Agroforestry. Traditional Tree Initiative. [7 Agustus 2008]. Miftahorrahman, Novarianto H Jenis-jenis sagu potensial di Sentani, Irian Jaya. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Muhdi Struktur dan Dinamika tegakan Sebelum dan Sesudah Pemanenan Kayu di Hutan Alam. Medan : Univesritas SumateraUtara. e-usu Repository.

179 154 Mulyanto B, Suwardi Distribution and characteristic of land the sago palm (Metroxylon spp) habitat in Indonesia. Di dalam : Bintoro HMH et al., editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, hlm Notohadiprawiro T, Louhenapessy JE Potensi sagu dalam penganekaragaman bahan pangan pokok ditinjau dari persyaratan lahan. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional; Ambon, Oktober Ambon : Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. hlm Novarianto H Pengembangan sagu semi budidaya. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm Odum EP Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tj. Samingan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Prahasta E Sistem Informasi Geografis, Tools dan Plug-ins. Bandung : Penerbit Informatika. Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Biologi Puntodewo A, Sonya D, Tarigan J Sistem informasi geografis untuk pengelolaan sumberdaya alam. Bagian 4 Penginderaan Jauh. Center for International Forestry Research (CIFOR), Jakarta Indonesia. hlm Purwadhi SH Interpretasi Citra Digital. Jakarta : Gramedia Widisarana Indonesia. Rostiwati T et al Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol potensial. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Ruhendi S Sago (Metroxylon spp) wood for bio-composite development. Di dalam : Bintoro HMH et al., editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, hlm Setiadi D Keterkaitan profil vegetasi sistem agroforestri kebun campur dengan lingkungannya [disertasi]. Bogor : Progam Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

180 155 Setiadi D Keanekaragaman spesies tingkat pohon di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur. J Biodiversitas 6 (2) : Setiadi D, Muhadiono I, Yusron A Penuntun Praktikum Ekologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sjachrul M Tinjauan pengolahan sagu di pabrik PT. Inhutani I Kao Maluku Utara. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional; Ambon, Oktober Ambon : Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. hlm Soegianto A Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Surabaya : Usaha Nasional. Soerianegara I, Indrawan A Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi). [SSSU] Soil Survey Staff USDA Keys to Soil Taxonomy. United States Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Services. Alih Bahasa oleh Tim Alih-Bahasa Kunci Taksonomi Tanah, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian RI. Supranto J Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Suryana A Arah dan strategi pengembangan sagu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia. Batam, Juli Syekhfani Hara-Air-Tanah-Tanaman. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Wirakusumah, S Dasar-Dasar Ekologi bagi Populasi dan Komunitas. Jakarta : UI Press. Yuan F, Sayawa KE, Loeffelholz BC, Bauer ME Land Cover Classification and Change Analysis of the Twin Cities (Minnesota) Metropolitan Area by Multitemporal Landsat Remote Sensing. Pre-print of paper accepted for publication in Remote Sensing of Environment, August 21, paper.pdf. [30 Nopember 2007].

181 L A M P I R A N

182 Lampiran 1. Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku 156

183 Lampiran 2. Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku 157

184 Lampiran 3. Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku 158

185 Lampiran 4. Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku 159

186 Lampiran 5. Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku 160

187 161 Lampiran 6. Populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Populasi sagu berdasarkan jumlah rumpun/ha No. Nama Spesies Wilayah Sampling Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT Seram Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % 1 M. rumphii 68,75 42,49 101,60 55,85 108,85 58,54 93,07 52,29 2 M. sylvestre 70,14 43,35 13,83 7,60 22,40 12,04 35,45 21,00 3 M. longisp 8,33 5,15 43,09 23,68 38,02 20,45 29,81 16,43 4 M. microcan 1,39 0,86 0,53 0,29 2,60 1,40 1,51 0,85 5 M. sagu 13,19 8,15 22,87 12,57 14,06 7,56 16,71 9,43 Jumlah 161,81 100,00 181,91 100,00 185,94 100,00 176,55 100,00 Populasi sagu berdasarkan jumlah semai/ha 1 M. rumphii 180,21 54,49 155,32 51,50 168,75 54,00 168,09 53,33 2 M. sylvestre 63,54 19,21 41,49 13,76 56,77 18,17 53,93 17,05 3 M. longisp 65,63 19,84 80,85 26,81 65,63 21,00 70,70 22,55 4 M. microcan 5,73 1,73 1,60 0,53 5,73 1,83 4,35 1,36 5 M. sagu 15,63 4,72 22,34 7,41 15,63 5,00 17,86 5,71 Jumlah 330,73 100,00 301,60 100,00 312,50 100,00 314,94 100,00 Populasi sagu berdasarkan jumlah sapihan/ha 1 M. rumphii 38,19 44,36 41,49 49,68 47,92 52,27 42,53 48,77 2 M. sylvestre 31,25 36,29 14,89 17,83 16,15 17,61 20,76 23,91 3 M. longisp 8,33 9,68 17,02 20,38 20,31 22,16 15,22 17,41 4 M. microcan 0,69 0,81 0,00 0,00 1,56 1,70 0,75 0,84 5 M. sagu 7,64 8,87 10,11 12,10 5,73 6,25 7,82 9,07 Jumlah 86,11 100,00 83,51 100,00 91,67 100,00 87,10 100,00 Populasi sagu berdasarkan jumlah tiang/ha 1 M. rumphii 15,97 44,23 13,30 52,09 16,67 57,14 15,31 51,15 2 M. sylvestre 15,28 42,31 1,60 6,25 2,60 8,93 6,49 19,16 3 M. longisp 2,08 5,77 6,91 27,09 6,77 23,21 5,26 18,69 4 M. microcan 0,00 0,00 0,53 2,08 0,00 0,00 0,18 0,69 5 M. sagu 2,78 7,69 3,19 12,50 3,13 10,71 3,03 10,30 Jumlah 36,11 100,00 25,53 100,01 29,17 99,99 30,27 100,00 Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon/ha 1 M. rumphii 29,17 40,78 38,83 46,50 42,19 48,79 36,73 45,36 2 M. sylvestre 30,56 42,72 11,70 14,01 13,54 15,66 18,60 24,13 3 M. longisp 2,78 3,88 22,34 26,75 20,31 23,49 15,14 18,04 4 M. microcan 0,69 0,97 0,00 0,00 2,60 3,01 1,10 1,33 5 M. sagu 8,33 11,65 10,64 12,74 7,81 9,04 8,93 11,14 Jumlah 71,53 100,00 83,51 100,00 86,46 100,00 80,50 100,00.

188 162.lanjutan Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon masak tebang/ha No. Nama Spesies Wilayah Sampling Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT Seram Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % 1 M. rumphii 4,17 33,33 6,38 28,57 8,33 37,20 6,29 33,04 2 M. sylvestre 4,17 33,33 3,72 16,67 3,13 13,95 3,67 21,32 3 M. longisp 1,39 11,11 7,98 35,71 7,81 34,88 5,73 27,23 4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 M. sagu 2,78 22,22 4,26 19,05 3,13 13,95 3,39 18,41 Jumlah 12,50 100,00 22,34 100,00 22,40 99,98 19,08 99,99 Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon > masak tebang/ha 1 M. rumphii 0,00 0,00 1,06 13,33 1,04 11,77 0,70 8,37 2 M. sylvestre 0,00 0,00 1,06 13,33 0,52 5,89 0,53 6,41 3 M. longisp 0,69 33,39 4,26 53,32 4,69 52,97 3,21 46,56 4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 M. sagu 1,39 66,77 1,60 20,00 3,13 35,31 2,04 40,69 Jumlah 2,08 100,00 7,98 99,98 9,38 100,00 6,48 100,00 Keterangan : Pop = populasi; ha = hektar; M.longisp = M. longispinum; M. microcan = M. microcanthum.

189 163 Lampiran 7. Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram, Maluku A. Wilayah sampel I Luhu-SBB No. Nama Spesies KR DR FR INP Pohon 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. sagu Rottb M. longispinum Mart M. microcannthum Mart Durio zibethinus Murr Langisum domesticum (L) Cocos nucifera (L) Gmellina moluccana Pandanus scandens (St. John ex Stone) Jumlah Tiang 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. sagu Rottb Theobromo cacao (L) Inocarpus fagifera (Park) Fosb Jumlah Sapihan 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. sagu Rottb Theobromo cacao L Leea guineensis G.Don Mussa paradisiaca L Jumlah Semai 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. sagu Rottb Homalomena rubra Hassk Nephrolepis exaltata Schott Leea guineensis G.Don Leea aculeata Blume Commelina benghalensis L Ichanthus vicinus (Bailey) Merr Carex cruciata Vahl Fordia cf.gibbsiae Dunn & E.G.Baker Piper betle L Terminalia catapa L Clidemia hirta D. Don Pandanus scandens St. John ex Stone Cordyline terminalis Kunth Cyrtandra hellwingii Warb Donax cannaeformis (G.Fors) K. Sch Stenocloena palustris Selaginella ciliaris Spring Aneilema nudiflorum R.Br Amischotolype marginata (Blume) Hassk Jumlah

190 164. lanjutan B. Wilayah sampel II Sawai-MT No. Nama jenis KR DR FR INP Pohon 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. sagu Rottb Pandanus furcatus Roxb Pometia ridleyi King Terminalia catapa L Kamiha eugenia Jumlah Tiang 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Leea guinnensis G.Don Terminalia catapa L Pandanus furcatus Roxb Kamiha eugenia Pometia ridleyi King Jumlah Sapihan 1. M. rumphii Mart Varietas Sylvestre becc M. longispinum Mart M. microcannthum Mart Cordyline terminals Kunth Leea guineensis G.Don Kamiha eugenia Jumlah Semai 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Bergia capensis L Nephrolepis exaltata Schott Homalomena rubra Hassk Limnocharis flava (L) Buch Selaginella ciliaris Spring Clidemia hirta D. Don Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Donax cannaeformis (G.Fors) K.Sch Jumlah

191 165. lanjutan C. Wilayah sampel III Werinama-SBT No. Nama jenis KR DR FR INP Pohon 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Kamiha eugenia Terminalia catapa L Durio zibethinus Murr Pterocarpus indicus Willd Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Octomeles sumatrana Miq Pometia ridleyi King Jumlah Tiang 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Kamiha eugenia Terminalia catapa L Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Pometia ridleyi King Myristica fragrans (Houtt) Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Jumlah Sapihan 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Mussa paradisica L Pterocarpus indicus Willd Leea guineensis G.Don Myristica fragrans (Houtt) Calamus ornatus Bl Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Ptycoccus paradoxus (Scheff) Becc Jumlah Semai 1. M. rumphii Mart M. sylvestre Mart M. longispinum Mart M. microcannthum Mart M. sagu Rottb Bergia capensis L Nephrolepis exaltata Schott Homalomena rubra Hassk Limnocharis flava (L) Buch Selaginella ciliaris Spring Clidemia hirta D. Don Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl Donax cannaeformis (G.Fors) K.Sch Jumlah

192 166 Lampiran 8. Tipe habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Tipe habitat lahan kering (TTG) Tipe habitat tergenang temporer air tawar (T2AT)

193 167.. lanjutan Tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) Tipe habitat tergenang permanen (TPN)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 30 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan tempat Penelitian berlangsung selama sembilan bulan sejak bulan Maret sampai dengan November 2009. Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di P. Seram, merupakan

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI TUMBUHAN SAGU ( Metroxylon spp) DALAM KOMUNITAS ALAMI DI PULAU SERAM, MALUKU

STUDI EKOLOGI TUMBUHAN SAGU ( Metroxylon spp) DALAM KOMUNITAS ALAMI DI PULAU SERAM, MALUKU STUDI EKOLOGI TUMBUHAN SAGU ( Metroxylon spp) DALAM KOMUNITAS ALAMI DI PULAU SERAM, MALUKU Ecology Study of Sago Palm ( Metroxylon spp) in the Natural Community at the Seram Island, Maluku 2) 1) 2) 2)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Sagu 2.1.1 Klasifikasi McClatchey et. al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H.

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autekologi Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku sebagai caracara

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 58 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Hasil analisis tutupan lahan (land cover) menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan pangan terus menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Peningkatan jumlah populasi dunia, peningkatan suhu bumi yang disebabkan efek pemanasan global,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA ABSTRAK Musayyadah Tis in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH 1127020048 Abstrak Data keragaman jenis, persebaran dan data ekologi dari Begonia liar di kawasan remnant forest (hutan restan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH: HANA FERONIKA SIREGAR 071201022/ MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HABITAT TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU

KARAKTERISTIK HABITAT TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU Karakteristik Habitat Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) di Pulau Seram, Maluku (Samin B., et al.) KARAKTERISTIK HABITAT TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU Habitat Characteristic of Sago

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PELESTARIAN SAGU DI INDONESIA (Studi Kasus di Maluku) Sistim Dusun Sebagai Pola Pelestarian Sagu di Maluku

PELESTARIAN SAGU DI INDONESIA (Studi Kasus di Maluku) Sistim Dusun Sebagai Pola Pelestarian Sagu di Maluku PELESTARIAN SAGU DI INDONESIA (Studi Kasus di Maluku) Sistim Dusun Sebagai Pola Pelestarian Sagu di Maluku J.E. Louhenapessy Fakultas Pertanian, Universitas Patimura E-mail:... ABSTRAK Potensi sagu sebagai

Lebih terperinci

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN SKRIPSI Oleh : Melyana Anggraini 061201022 / Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari permintaan pasar internasionalyang terus meningkat dari tahun ke tahun. Nanas

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

HASIL HUTAN YANG DIABAIKAN : SAGU NASIBMU KINI

HASIL HUTAN YANG DIABAIKAN : SAGU NASIBMU KINI 18 OPINI HASIL HUTAN YANG DIABAIKAN : SAGU NASIBMU KINI Oleh: Isnenti Apriani (FWI) Indonesia memiliki letak geografis yang strategis, selain memiliki tutupan hutan alam yang masih rapat yaitu seluas 82,5

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan setiap penduduk. Di Indonesia, masalah ketahanan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dapat menghasilkan genotip baru yang dapat beradaptasi terhadap berbagai

I. PENDAHULUAN. dapat menghasilkan genotip baru yang dapat beradaptasi terhadap berbagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan viabilitas genetik yang besar. Tanaman jagung dapat menghasilkan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS OLEH : KlSSlNGER PROGRAM PASCASARJAVA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KISSINGER.

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci