BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berada dalam kandungan (UU Nomor 23 tahun 2002). Seorang anak bukanlah

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah seseorang yang berusia 0-18 tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan (UU Nomor 23 tahun 2002). Seorang anak bukanlah orang dewasa mini. Hal yang membedakan seorang anak dengan orang dewasa adalah bahwa anak masih mengalami apa yang disebut tumbuh-kembang. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang anak mendapatkan lingkungan yang kondusif agar proses tumbuh-kembang dapat berjalan dengan baik (Setiawan, 2007). Selain tumbuh kembang, anak juga mempunyai kebutuhan psikososial. Menurut Erik Erikson, teori psikososial menekankan kepada psikologis ego manusia dalam memahami kepribadian individu terhadap latar belakang sosial dan sejarah. Ego dipandang sebagai suatu struktur kepribadian otonom yang muncul di setiap tahap perkembangan manusia (Hjelle et al., 1981). Sementara itu, dalam Taksonomi Praktik Keperawatan NNN (Nanda-NIC-NOC): Penempatan Diagnosa Keperawatan, menyebutkan bahwa diagnosa yang harus ditangani dalam domain psikososial adalah tentang promosi kesehatan mental, emosional dan fungsi sosial yang optimal. Psikososial dibagi menjadi beberapa kelas, salah satunya adalah emotion (emosi) (Herdman & Kamitsuru, 2012). Emosi dalam Taksonomi Praktik Keperawatan NNN (Nanda-NIC-NOC) merupakan kondisi mental atau perasaan yang dapat mempengaruhi persepsi tentang dunia. Sementara itu menurut Goleman (2002 dalam Asrori, 2009) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis, 1

2 2 psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Psikososial mempunyai beberapa permasalahan, salah satu masalah psikososial adalah disabilitas. Disabilitas adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Soleh, 2014). Sementara itu, menurut Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Bagi masyarakat Yogyakarta maupun kalangan LSM, istilah difabel sangat populer sebagai pengganti sebutan penyandang cacat, karena dianggap lebih ramah dan menghargai daripada sebutan cacat. Di samping lebih ramah, istilah difabel lebih egaliter dan memiliki keberpihakan, karena different ability berarti memiliki kemampuan yang berbeda. Tidak saja mereka yang memiliki ketunaan yang memiliki kemampuan yang berbeda, tetapi juga mereka yang tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan yang berbeda (Soleh, 2014). Menurut Susenas, penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 2,45 %. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada pada urutan kedua terbanyak dari 33 Provinsi dengan persentase 3,89 % (Riskesdas, 2013). Sedangkan, di

3 3 Kabupaten Sleman terdapat penyandang disabilitas, dimana sekitar adalah anak anak (Dinsos Sleman, 2017). Salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak adalah Child Friendly City (CFC). Program ini diawali oleh program Growing Up City yang diinisiasi oleh UNESCO. Program tersebutlah yang telah melatarbelakangi konsep CFC atau yang dikenal dengan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA). Program ini menurut UNICEF memiliki tujuan untuk menciptakan suatu kondisi yang mengaspirasi hak-hak anak melalui tujuan, kebijakan, program-program dan struktur pemerintahan lokal. Kegiatan ini sudah diujicobakan di empat negara antara lain Australia, Argentina, Mexico dan Polandia (Widiyanto and Rijanta, 2012). Di Indonesia, program Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) diampu oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dan terakomodasi dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 mengenai Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Sudah ada ratusan kabupaten/kota yang telah ditetapkan menjadi kabupaten/kota layak anak, salah satunya adalah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. KLA Sleman yang mempunyai misi meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan dan anak sudah beberapa kali menerima penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak dari pemerintah pusat (KLA Sleman, 2013). Selanjutnya, dengan melihat berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan anak, kementerian ini menciptakan dan

4 4 mengembangkan berbagai program tentang KLA yang diterapkan di Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia (Widiyanto and Rijanta, 2012). Program-program dari KLA dapat dilihat dari indikator-indikator yang disusun. Menurut Peraturan Menteri nomor 12 tahun 2011, indikator KLA dibagi menjadi 5 klaster, yaitu Hak Sipil dan Kebebasan, Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif; Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan; Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya; dan Perlindungan Khusus (Permen Pppa no.12 Thn 2011). Menurut Permen PPPA Nomor 12 tahun 2011, terdapat 3 indikator dalam klaster pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya yaitu pendidikan, tujuan pendidikan, serta kegiatan hiburan, seni dan budaya. Dalam indikator pendidikan, pemerintah harus memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas tanpa diskriminasi, misalnya adalah dengan mendorong adanya sekolah inklusi yang membaurkan anak disabilitas dengan anak normal dalam satu sistem pengajaran (Permen Pppa no. 11 Thn 2011). Sementara itu dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin 4 tentang Pendidikan Berkualitas disebutkan bahwa salah satu target yang ingin dicapai adalah menyediakan lingkungan pembelajaran yang aman, anti kekerasan, inklusif dan efektif bagi semua orang (Dirjen Bina Gizi KIA, 2015). Di Indonesia, pendidikan inklusi menjadi gagasan yang telah dipayungi oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Salah satu hal signifikan dalam peraturan tersebut adalah

5 5 diwajibkannya pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk minimal satu sekolah yang harus menyelenggarakan pendidikan inklusi (Aini,2010). Menurut data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa sampai Februari 2015 sudah terdapat 44 sekolah inklusi dengan rincian, 33 SD, 7 SMP, 3 SMK dan 1 MA (Salamah, 2015). Beberapa sekolah dasar inklusi tersebut antara lain SD N Plaosan 1, SD N Gejayan dan SD N Mustokorejo yang memulai pendidikan inklusi sejak Namun, apakah program KLA dalam hal ini adalah program sekolah ramah anak yang didalamnya terdapat sekolah inklusi di Kabupaten Sleman tersebut tersebut sudah berjalan secara optimal, terutama dalam menangani emosi anak berkebutuhan khusus? Maka dari itu, dipandang perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran upaya pemenuhan kebutuhan psikososial: emosi pada anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, didapatkan rumusan masalah yaitu: Bagaimana gambaran upaya pemenuhan kebutuhan psikososial: emosi pada anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi Kabupaten Sleman? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sleman. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah:

6 6 a. Mengetahui pelaksanaan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sleman b. Mengetahui permasalahan psikososial: emosi pada anak berkebutuhan khusus. c. Mengetahui upaya pemenuhan kebutuhan psikososial: emosi pada anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi Kabupaten Sleman. D. Manfaat Penelitian 1. Keilmuan atau teori Menambah ilmu dalam bidang kesehatan masyarakat yang merupakan aplikasi dari teori emosi dan program pemerintah utamanya program kota/kabupaten layak anak. 2. Bagi institusi pendidikan Menambah wawasan keilmuan dan pengalaman bagi mahasiswa ilmu kesehatan khususnya mahasiswa ilmu keperawatan dalam menambah referensi tentang emosi. 3. Bagi masyarakat Menambah pengetahuan pada masyarakat khususnya tentang program kota/kabupaten layak anak agar masyarakat tahu dan bisa ikut serta dalam mensukseskan serta mengevaluasi program tersebut. 4. Bagi pemerintah dan puskesmas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masalah program kota/kabupaten layak anak khususnya tentang program bagi anak penyandang disabilitas.

7 7 E. Keaslian Penelitian 1. Irmawati (2009), dengan judul penelitian Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) di Kota Solo. Hasil dari penelitian tersebut adalah responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Anak cukup baik namun belum optimal. Ada beberapa hal yang menjadi evaluasi yaitu kemampuan Pemerintah Kota Solo dalam mengenali kebutuhan anak masih terbatas, keterbatasan dana, ego sektoral antar lembaga pemerintahan, pengaruh lingkungan dan kesadaran orang tua serta culture of silence. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada variabel yang digunakan, lokasi penelitian yang dilakukan di Solo, dan jenis penelitiannya yaitu kualitatif. 2. Kavaki (2011), dengan judul An analysis of the indicators of child-friendly city, case study: Quchan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui mekanisme yang diperlukan untuk operasional peraturan, standar, dan kriteria tentang Child Friendly Cities (CFC). Perbedaan penelitian penulis dan penelitian tersebut adalah menggunakan metode kuantitatif dan lokasi penelitian di Iran tepatnya tiga kota di wilayah Quchan: Yaqub Abad, Region dan Farhangian. Sedangkan persamaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah tentang implementasi kota/kabupaten layak anak. 3. Nono (2013), dengan judul Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Inklusi Kabupaten Pontianak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam kategori baik

8 8 dan cukup baik. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah variabel penelitian dan lokasi penelitian di Pontianak. Sedangkan persamaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah jenis penelitiannya yaitu kualitatif. 4. Indriawati (2013), dengan judul Implementasi Kebijakan Tugas Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Inklusif di SD Negeri se-kecamatan Jurejo Batu. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tugas guru pembimbing khusus dalam proses identifikasi, merancang, memberikan program serta memodifikasi pengajaran pendidikan inklusif di SD Junrejo Batu. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah variabel penelitian dan lokasi penelitian di Kota Batu. Sedangkan persamaan penelitian tersebut adalah jenis penelitiannya menggunakan metode kualitatif.