BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan kesehatan psikologis individu. Psychological well being

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan kesehatan psikologis individu. Psychological well being"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu. Psychological well being berperan penting bagi semua individu dalam menjalankan aktivitas sehari hari dalam kehidupan karena psychological well being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidupnya. Teori psychological well being dikembangakan oleh Ryff pada tahun Psychological well being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari, dimana dalam proses tersebut kemungkinan akan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan dengan psychological well being (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995 : 719). Psychological well being tidak hanya merujuk pada kesehatan mental yang bersifat negatif saja, akan tetapi juga merujuk kepada bagaimana seorang individu mampu mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara optimal, sebagaimana individu yang berfungsi baik secara fisik, emosional maupun psikologi (Ryff dalam Iriani dan Ninawati,2005 : 46) 19

2 20 Well being merupakan konsep yang rumit yang berhubungan dengan pengalaman dan keberfungsian yang optimal (Ryan dan Deci, 2001: 143). Terdapat dua paradigma dan perspektif yang diturunkan dari pandangan filsafah mengenai kebahagian well being. Pandangan pertama merupakan pandangan hedonic, tujuan hidup yang utama adalah mencapai kebahagiaan. Pandangan yang dominan dari ahli psikologis yang berpandangan hedonic adalah well being tersusun dari kebahagian subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mengandung kenikmatan. Pandangan yang kedua merupakan pandangan eudaimonic, Waterman 1993 menyatakan bahwa konsep well being pada pandangan ini menekankan pada bagaimana cara individu untuk hidup dalam diri sejatinya ( true self ), ia juga menyatakan fokus well being pada pandangan ini adalah realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana individu dapat mengaktualisasikan potensi dirinya (Ryan dan Deci dalam Wikanestri,2015 : 433). Konsep Ryff (1989) berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar adanya penyakit fisik saja. Psychological well being terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa secara psikologi ( psychological well being). Menurut Ryff gambaran tentang karakteristik orang memiliki kesejahteraan psikologis menunjuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh ( fully functioning person). Pandangan Maslow tentang aktualisasi diri ( sefl actualization), pandangan Jung tentang inviduasi, konsep Alport tentang

3 21 kematangan. Juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi di banding putus asa. Konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, serta criteria positif tentang orang yang bermental sehat yang dikemukakan Johada (Ryff,1989: 720). Dalam psychological well being Ryff (1989) menyebutkan ada enam dimensi yang membangun psychological well being yaitu 1) dimensi penerimaan diri ( self Acceptance), yang mengacu pada bagaimana individu menerima diri, 2) dimensi hubungan positif dengan orang lain (Positive Relations with other), yang mengacu pada bagaimana individu membina hubungan baik dan saling percaya dengan orang lain, 3) dimensi penguasaan lingkungan (Environmental Mastery), yang mengacu pada bagaimana kemampuan individu mengahadapi hal hal dilingkungan, 4) dimensi otonomi (Autonomy), yang mengacu pada kemampuan individu untuk lepas dari pengaruh orang lain dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu, 5) dimensi tujuan hidup (Purpose In Life), yang mengacu pada hal hal yang dianggap penting dan ingin dicapai individu dalam kehidupan, 6) dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth), bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang (Azani, 2012: 4). Dari uraian diatas maka psychological well being sebagai suatu pencapaian dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan dirinya, mengembangkan hubungan baik dengan orang lain, mampu

4 22 mengendalikan lingkungan, menjadi pribadi yang mandiri, memiliki tujuan hidup dan terus berkembang secara personal. 2. Dimensi dimensi psychological well being Ryff dalam buku Human Development (2000 : 529) mengemukakan enam dimensi dari psychological well being, yaitu : 1. Dimensi penerimaan diri (Self Acceptance) Disebut juga dengan kemampuan menerima diri baik dari segi positif maupun negatif. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek dirinya termasuk didalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya individu yang menilai negatif dirinya menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri atau tidak menerima diri apa adanya Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1989)

5 23 menandakan seseorang memiliki psychological well being yang tinggi (Ryff, 1989: 1071). Indikator penerimaan diri menurut Comton (2005), diantaranya evaluasi positif, kemampuan untuk mengakui beberapa aspek diri, dan kemampuan untuk menerima kualitas diri baik positif dan negatif.(comton, 2005:179 ) 2. Dimensi hubungan positif dengan orang lain ( Positive Relations with other) Kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepeduliaan terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip member dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989: 1071). Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Hubungan positif dengan orang lain yaitu ketika individu mampu merasakan kehangatan dan memiliki rasa percaya kepada individu lain.

6 24 Psychological well being seseorang baik jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam hubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian, kedekatan dan penerimaan dalam suatu hubungan (Mariana, 2013: 23). Indikator hubungan positif dengan orang lain menurut Comton (2005) antara lain, dekat, hangat, hubungan intim dengan lainnya, keprihatinan tentang kesejahteraan lainnya, dan empati dan kasih sayang bagi orang lain 3. Dimensi penguasaan lingkungan (Environmental Mastery) Individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik ditandai dengan memiliki perasaan penguasaan dan mampu mengelola lingkungan, memiliki kemampuan untuk mengendalikan lingkungan sosial, menggunakan kesempatan di lingkungan sekitas dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan konteks sesuai dengan keadaan fisiknya dan nilai pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah ditandai denga kesulitan mengelola urusan sehari hari, merasa tidak mampu merubah atau meningkatkan hubungan di sekelilingnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekelilingnya, kurang penguasaan terhadap dunia luar. Teori perkembangan menggambarkan penguasaan lingkungan sebagai kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Mental yang sehat dikarakteristikkan dengan

7 25 kemampuan individu untuk memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya, mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun control yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri. Indikator Penguasaan lingkungan menurut Comton (2005) antara lain, rasa penguasaan dan kompetensi, kemampuan untuk memilih situasi dan lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan. 4. Dimensi otonomi (Autonomy) Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri ( self determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Mampu mandiri dan mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu dan tanpa campur tangan orang lain. Individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara cara tertentu (Ryff, 1989: 1071). Orang dapat berfungsi sepenuhnya dengan memiliki evaluasi diri, dimana seseorang tidak melihat kepada orang lain untuk mendapatkan

8 26 suatu penilaian, tetapi mengevaluasi diri sendiri dengan patokan standar dirinya sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain. Indikator otonomi menurut Comton (2005) antara lain, independen dan mandiri ditentukan sendiri, kemampuan untuk menahan tekanan sosial, dan kemampuan untuk mengatur perilaku dari dalam 5. Dimensi tujuan hidup (Purpose of life) Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik ditandai dengan memiliki hidup dan kesadaran akan keberarahan, merasa memiliki kebermaknaan dalam kehidupan masa sekarang dan masa lalunya, memegang keyakinan dan memberikan tujuan hidup, dan memilliki tujuan hidup dalam jangka panjang. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas meraskan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup yang jelas. Sebaliknya individu yang memiliki tujuan hidup yang rendah akan kehilangan makna hidup, arah dan cita cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang member arti pada kehidupan (Ryff,1989: 1071).

9 27 Indikator tujuan hidup menurut Comton (2005) antara lain, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki makna hidup dan rasa dalam kehidupan. 6. Dimensi pertumbuhan pribadi (Personal growth) Seseorang harus mengembangkan potensi dirinya sendiri untuk tumbuh berkembang menjadi manusia. Kebutuhan untuk mengatualisasikan diri sendiri dan menyadari potensi seseorang adalah pusat dari perspektif klinis pada pertumbuhan pribadi. Hal ini juga mungkin paling dekat dengan gagasan Aristoteles tentang eudaimonic yaitu bagaimana individu dapat hidup dalam dirinya sejatinya dan mengatualisasikan dirinya sendiri. Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensi, tumbuh sebagai individu yang dapat berfungsi secara penuh ( fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya. Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dalam kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik. Indikator pertubuhan pribadi menurut Comton (2005), antara lain, kapasitas untuk tumbuh dan mengembangkan potensi, perubahan

10 28 pribadi dari waktu ke waktu yang mencerminkan tumbuh pengetahuan diri dan Ke efektifan, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru 3. Faktor faktor yang mempengaruhi psychological well being a. Usia Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989 : 1071) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well being pada orang dari berbagai kelompok usia. Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni young (25-29 tahun), mildlife (30-64 tahun), dan older (> 65 tahun). Pada individu dewasa akhir ( older), memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri, sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki skor yang rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa madya ( mildlife) memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri mendapat skor yang rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal ( young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang

11 29 lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor yang rendah (Ryff, 1989: 1076). Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, menunjukkan peningkat terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa. b. Jenis kelamin Menurut Ryff (1989: 1079) satu satunya dimensi yang menunjukkan signifikan antara laki laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, streotipe gender telah tertanam dalam diri anak laki laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitive terhadap perasaan orang lain. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan baik dengan orang lain. c. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau kolektivisme member dampak terhadap psychological well being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur

12 30 yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. d. Status sosial ekonomi Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang baik dari dirinya ini akan berdampak pada dimensi penerimaan dirinya (Ryan dan Deci, 2001: ). e. Religiusitas Adanya pengaruh religiusitas terhadap psychological well being diterangkan oleh Pollner yang mengatakan bahwa agama dapat menyiakan sumber sumber untuk menjelaskan dan menyelesaikan problematik, agama meningkatkan perasaan berdaya dan mampu (efikasi) pada diri seseorang, agama menjadi landasan perasaan bermakna, memilih arah, dan identitas personal. ( Amawidayati dan utami, 2006: 169). B. Lembaga Permasyarakatan dan Narapidana 1. Pengertian Lembaga Permasyarakatan Lembaga Permasyarakatan atau disingkat dengan kata Lapas adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak

13 31 didik pemasyarakatan di Indonesia (Budiyono, 2009 : 223). Dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor: 12 tahun 1995 Lembaga permasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana (KUHP, 2013:6). Lembaga Permasyarakatan merupakan unit pelaksanaan teknis di bawah Direktorat Jendaral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni lembaga permasyarakatan ini adalah narapidana (napi) atau Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) bisa juga disebut dengan tahanan. Pembinaan secara umum adalah suatu proses penggunaan manusia, peralatan, uang, waktu, metode dan sistem yang didasarkan pada prinsip tertentu untuk usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan daya guna dan hasil guna yang sebesar besarnya. Pengertian lain dari pembinaan adalah segala usaha atau tindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan atau pengembangan, pengarahan, penggunaan serta pengendalian sesuatu secara berdaya guna berhasil guna (Budiyono, 2009:223). Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh almarhum Bapak Sahardjo, SH (Menteti Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato beliau menyampaikan bahwa pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian dalam konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, Istilah Pemasyarakatan dibakukan

14 32 sebagai pengganti Kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk reinteragsi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan didalam masyarakat (Munawan,2013:47). Dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakkan hukum. Pola pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku sebagai anggota masyarakat yang baik berguna bagi dirinya, masyarakat dan negara. Maka yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana agar membangkitkan kembali rasa percaya dirinya dan dapat mengembangkan fungsi sosialnya dengan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Berdasarkan UU. No. 12 tahun 1995 pembinaan narapidana dilaksanakan dengan sistem : a. Pengayoman Pengayoman adalah perilaku terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindakan pidana oleh warga binaan pemasyarakat, juga memberikan

15 33 bekal hidupnya kepada waraga binaan pemasyarakatan, agar warga yang berguna di masyarakat. b. Persamaan perlakuan dan pelayanan Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda bedakan orang. c. Pendidikan Pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanam jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. d. Penghormatan harkat dan martabat manusia Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah sebagai orang yang tersesat, warga binaa pemasyarakat harus tetap diperlukan sebagai manusia. e. Kehilangan kemerdekaan Kehilangan kemerdekaan merupakan satu satunya penderitaan adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada didalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di lembaga pemasyarakatan (warga binaan tetap memperoleh hak haknya yang lain seperti layaknya manusia, denga kata lain hak perdatanya tetap

16 34 dilindungi seperti hak memperoleh perawatan, kesehatan, makan, minum, pakaian tempat tidur, latihan, olah raga atau rekreasi). f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan kekeluargaan atau orang tertentu. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga atau orang tertentu adalah warga binaan pemasyarakatan berada di lembaga pemasyarakatan, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan oleh masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan kedalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dalam kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Dalam Konferensi Lembang tahun 1963 dirumuskan prinsip prinsip pokok yang bersumber dari 10 syarat Sistem Permasyarakatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Sahardjo, SH ( Sianturi, 1996:93-96) antara lain: 1. Prinsip pengayoman Narapidana harus diayomi dan diberikan bekal hidup agar dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna 2. Bukan tindakan balas dendam Tidak boleh dilakukan tindakan balas dendam terhadap narapidana dan terpidana anak anak, baik yang merupakan tindakan perlakuan, ucapan. cara perawatan atau pun penempatan

17 35 3. Pembinaan dan bukanlah tindakan penyiksaaan Kepada narapidana harus diberikan pemahaman pemahaman mengenai norma norma hidup dan kehidupan, tidak mengizinkan terjadinya homoseksualitas, dan sebagainya, serta mengikutsertakan mereka dalam kegiatan kegiatan sosial. 4. Tidak membuat narapidana menjadi lebih buruh Negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk dan lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi hukuman pidana. Karena itu harus diadakan pemisahan antara narapidana dewasa dengan anak anak, narapidana dengan tindak pidana ringan dan berat dan sebagainya. 5. Pembimbingan berdasarkan Pancasila Kepada narapidana harus diberikan pemahaman yang berdasarkan Pancasila, misalnya kegotongroyongan, toleransi beragama, jiwa kekeluargaan disamping kerohanian para narapidana. 6. Supaya didirikan lembaga lembaga pemasyarakatan yang lebih baik/ manusiawi Lembaga lembaga pemasyarakatan yang sudah ada yang akan dibangun harus menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang fungsi rehabilitative, edukatif dan korektif dalam sistem pemasyarakatan. 7. Didekatkan kepada masyarakat Selama menjalani masa pidananya, narapidana tidak boleh diasingkan jauh dari masyarakat. Hubungan dengan masyarakat harus dapat dipelihara melalui adanya hiburan kedalam Lapas yang dilakukan oleh masyarakat

18 36 luar dan kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga dan sahabat narapidana itu sendiri. 8. Narapidana dipekerjakan bukan sekedar isi waktu Pekerjaan yang dilakukan oleh para narapidana jangan ditunjukan untuk kepentingan suatu instansi atau jawatan atau kepentingan Negara dan bukan hanya pada saat (bukan diadakan sekedar pengisi waktu). 9. Pidana hanya berupa kehilangan kemerdekaan Sebagai derita atau nestapa, maka narapidana hanya dijatuhi pidana yang berupa perampasan terhadap kemerdekaannya, sehingga kehormatannya harus tetap dijaga karena itu, sebagai mantan narapidana nantinya, harus dihindari stigma masyarakat yang tetap mengatakan mereka adalah napi, sehingga perlu menyiapkan mereka kemampuan untuk dapat bekerja setelah lepas dari Lapas. 10. Supaya didirikan lembaga lembaga permasyarakatan yang lebih manusiawi Lembaga lembaga pemasyarakatan yang sudah ada dan yang akan dibangun harus menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang fungsi rehabilitative, edukatif, dan korektif dalam sistem pemasyarakatan. 2. Pengertian Narapidana Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana).

19 37 R.A Koesnan Mengatakan menurut bahasa narapidana berasal dari dua kata yaitu nara dan pidana, nara berasal dari bahasa sansekerta yang berarti kaum maksudnya adalah orang orang, sedangkan pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu straaf (Yunitri, 2013: 3). Selanjutnya dalam UU No. 12 Tahun 1995 pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. C. Pengertian Pembunuhan Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh dan perbuatan membunuh. Dalam istilah KUHP ( Kitab Undang undang Hukum Pidana), pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain (Pratama, 2006: 382). Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh KUHP yang dewasa telah disebut pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain dengan melakukan rangkaian tindakan yang berakibat meninggalnya orang lain (Pratama, 2006: 382). Kitap Hukum Undang-Undang Pidana memuat tentang ketentuanketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditunjukan terhadap nyawa orang lain yang dalam KUHP Bab XIX yang terdiri dari 13 Pasal yaitu dari Pasal 338 sampai 350. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP di kelompokan menjadi :

20 38 1. Atas dasar unsur kesalahan, Atas dasar kesalahan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : - Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena sengaja - Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian 2. Atas dasar unsur objek (nyawa) Atas dasar objek (kepentingan hukum yang dilindungi), kejahatan terhadap nyawa dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu : - Kejahatan terhadap nyawa pada umumnya - Kejahatan terhadap bayi pada saat tidak lama setelah dilahirkan - Kejahatan terhadap bayi pada saat masih didalam kandungan (KUHP dan KUHAP) D. Pembunuhan Dari Sudut Pandang Islam 1. Pengertian Pembunuhan dalam Islam Ulama fiqif mendefinisikan pembunuhan dengan Perbuatan manusia yang berakibat hilangnya nyawa seseorang (Audah dalam Nurani, 2013: 1). menurut Zuhaili pembunuhan mencabut nyawa seseorang. Apabila dilihat dari segi hukumannya, pembunuhan dalam Islam ada dua bentuk, yaitu pembunuhan yang diharamkan, seperti membunuh orang lain dengan sengaja tanpa sebab, dan pembunuhan yang dibolehkan, seperti membunuh orang yang murtad jika ia tidak mau tobat atau membunuh musuh dalam peperangan (Nurani, 2013: 1-2).

21 39 Dasar keharaman membunuh banyak dijelaskan dalam Al quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW, diantaranya dasar larangan membunuh dijelaskan dalam al quran surat Al Isra ayat 33 : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. 2. Macam macam pemunuhan dalam Islam Jumhur ulama fikih termasuk ulama Mazhab Syafi I dan Mazhab Hanbali, membagi tindak pidana pembunuhan kepada tiga macam yaitu sebagai berikut : a. Pembunuhan sengaja, yaitu suatu pembunuhan yang disengaja, dibarengi dengan rasa permusuhan, dengan menggunakan alat yang biasa dapat menghilangkan nyawa, baik secara langsung maupun yang tidak langsung, seperti menggunakan senjata kayu atau batu besar yang berakibat pada kematian b. Pembunuhan semi sengaja, yaitu suatu pembunuhan yang disengaja, dibarengi dengan rasa permusuhan, tetapi dengan menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan, seperti memukul atau melempar seseorang dengan batu kecil, atau dengan tongkat kecil sehingga menyebabkan kematian.

22 40 c. Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan yang terjadi bukan disengaja, seperti seseorang yang melempar batu yang kemudian mengenai orang lain dan mengakibatkan kematian (Nurani, 2013: 3) Sebagian fukaha membagi pembunuhan dari sisi halal dan haramnya menjadi lima : a. Wajib, yaitu membunuh orang murtad dan tidak mau bertaubat dan kafir harbi (orang kafir yang diperangi karena mengganggu umat muslim) apabila ia masuk Islam maka mendapat jaminan keamanan. b. Haram, yaitu membunuh orang yang maksum (orang yang mendapat jaminan keselamatan) tanpa ada alasan yang dibenarkan. c. Makruh, yaitu pembunuhan yang dilakukan tentara terhadap keluarganya yang kafir, tetapi dia tidak menghina Allah dan Rasul- Nya, tidak makruh membunuhnya. d. Sunah, yaitu pembunuhan yang dilakukan seorang tentara terhadap keluarganya yang kafir dan menghina Allah dan Rasul-Nya. e. Mubah, yaitu membunuh orang yang dikisas dan membunuh tawanan, bahkan sebagian fukaha mewajibkan karena jika tidak membunuhnya akan terjadi mafsadat (kerusakan) (Ensiklopedi Hukum Islam, 2014).

23 41 Keharaman Pembunuhan dalam Al Qur an dan hadis, a. Al Quran surat Al Isra ayat 33 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. b. Al Qur an surat Al Furqan ayat 68 Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). c. Hadis Rasulullah SAW Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah bersabda. tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: 1) kafir setelah beriman (murtad), 2), zina setelah menikah dan 3), membunuh seorang yang tidak membunuh orang lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berasaskan Pancasila. Dalam usaha-usahanya Negara menjumpai banyak rintangan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas

BAB II LANDASAN TEORI. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas BAB II LANDASAN TEORI II.A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Persepsi Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Sejak manusia itu dilahirkan pada

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN A. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Prosedur Pelaksanaan Cuti Bersyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya Khutbah Pertama:??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????:????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai anggota masyarakat, individu harus mematuhi norma-norma yang berlaku, agar tercapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep yang membahas tentang psikologi positif (Ryff, 1989). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah menuntaskan wajib belajar 12 tahun yang berakhir pada jenjang pendidikan menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 BAB IV ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 A. Analisis Tentang Penyatuan Penahanan Anak Dengan Nara Pidana Dewasa menurut UU NO. 23 Tahun

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian eksperimen (True Experimental Research) yaitu suatu penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian eksperimen (True Experimental Research) yaitu suatu penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 TIPE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis eksperimen dengan cara memberi perlakuan sesuatu pada situasi tertentu, kemudian membandingkan hasil tersebut

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Munculnya ide sistem Pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, S.H sebagai menteri

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Erikson (dalam Lahey, 2009), mengungkapkan individu pada masa remaja akan mengalami konflik

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- Undang Dasar 1945 pasal 3 yang berbunyi Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Santrock, orang yang telah lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun. Seringkali usia yang telah lanjut dianggap sebagai masa

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari Sriwulan_@yahoo.co.id Abstraksi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan kepustakaan dalam penelitian mengenai PWB beserta aspek-aspeknya dan faktor-faktor yang memengaruhi dan bagaimana hubungan PWB dengan faktor

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA KONSEP KEGIATAN. penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih

BAB II KERANGKA KONSEP KEGIATAN. penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih BAB II KERANGKA KONSEP KEGIATAN 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Percaya Diri Percaya Diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA NARAPIDANA KASUS MUTILASI SKRIPSI

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA NARAPIDANA KASUS MUTILASI SKRIPSI GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA NARAPIDANA KASUS MUTILASI SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Pada Program Studi Psikologi Oleh : Dukut Pamungkas

Lebih terperinci