Bab III Gambaran Umum Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Gambaran Umum Wilayah"

Transkripsi

1 Bab III Gambaran Umum Wilayah III.1 Batas Wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung atau Cekungan Bandung, atau sering juga disebut dengan Bandung Metropolitan, merupakan salah satu cekungan dengan sistem aliran sungai (DAS) terbesar di Pulau Jawa. Wilayah CAT Bandung terletak pada latitude 7 o 19 6 o 24 Lintang Selatan dan longitude 106 o o 51 Bujur Timur. Secara administratif CAT Bandung meliputi empat wilayah, termasuk dua kabupaten (Kabupaten Bandung dan sebagian Kabupaten Sumedang) dan dua kota (Kota Bandung dan Kota Cimahi) dengan total area ,38 ha, yaitu : 1. Kota Bandung seluas ,65 ha atau 4,94 % 2. Kabupaten Bandung seluas ha atau 90,83% 3. Kota Cimahi seluas 4.036,73 ha atau 1,2 % 4. sebagian Kabupaten Sumedang (Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Kecamatan Tanjungsari) seluas ha atau 5,88 %. Cekungan Bandung merupakan satu wilayah yang secara ekologis berbatasan dengan CAT Lembang di sebelah utara dan sebelah barat berbatasan dengan CAT Batujajar, di bagian timur CAT Sumedang dan CAT Malangbong, di bagian selatan berbatasan dengan CAT Garut, CAT Banjarsari dan CAT Cibuni. Daerah ini dikelilingi kompleks pegunungan Tangkubanperahu di sebelah utara, dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung (G.) Burangrang 2076 m di atas muka laut (aml), G. Tangkubanperahu (2064 m.aml), G. Manglayang (1800 m.aml), dan G. Bukit Jarian (1282 m.aml). Sedangkan di bagian selatan oleh kompleks pegunungan Patuha - Malabar, dengan puncak-puncaknya antara lain G. Malang (1256 m.aml), G. Cakra (1807 m.aml), G. Malabar (2321 m.aml), dan G. Tanjak Nangsi (1514 m.aml). Di bagian barat dibatasi oleh G. Lagadar, G. Lalakon dan G. Padakasih yang memisahkan CAT Bandung Soreang dan CAT Batujajar. 28

2 Komplek pegunungan Krenceng (1736 m.aml), dan G. Mandalawangi (1676 m.aml) membatasi cekungan ini di sebelah timur. III.2 Tata Lingkungan Topografi CAT Bandung berupa suatu bentangan alam dengan ketinggian dataran antara m di atas muka laut (aml) yang dikelilingi oleh rangkaian pegunungan dengan ketinggian puncaknya antara m.aml. Kondisi Iklim Daerah penelitian terletak di daerah ekuatorial tropikal yang dipengaruhi angin monsun Barat dan angin monsun Timur, kedua monsun tersebut mempengaruhi siklus hidrologi di CAT Bandung. Secara umum wilayah penelitian mempunyai iklim tropis, dengan suhu udara antara 22,6-23,9 C, dan kelembaban antara %. Data tersebut merupakan hasil pencatatan periode dari stasiun klimatologi Bandung. Suhu udara umumnya akan naik atau turun sesuai dengan naik turunnya ketinggian, di daerah survei suhu udara tersebut akan berkurang sekitar 0,55 C pada setiap penurunan beda tinggi 100 m. Curah hujan rata-rata tahunan di daerah survei bervariasi, dari 1700 mm dibagian tengah arah tenggara Kota Bandung, sampai lebih dari 3500 mm dibagian utara dan kurang dari 3000 mm dibagian selatan dengan curah hujan rata-rata 2250 mm/tahun. Curah hujan rata-rata bulanan yang relatif terbasah, yaitu di atas 200 mm terjadi pada November-April, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan yang relatif kering, yaitu di bawah 200 mm terjadi pada Mei - Oktober. Dari stasiun meteorologi Margahayu dengan ketinggian 1250 m.aml, tercatat evaporasi Pan A menunjukkan 1259 mm/tahun. Dengan faktor koreksi antara 0,6-0,8 diperoleh angka evapotranspirasi sebesar 1007 mm/tahun. 29

3 Kondisi iklim sangat menentukan besarnya evaporasi, dan di samping faktor-faktor lainnya seperti kondisi geologi serta tataguna lahan, sangat berpengaruh terhadap pembentukkan airtanah di wilayah penelitian. Limpasan Air Koefisien limpasan air rata-rata di CAT Bandung bervariasi terhadap waktu akibat pengaruh angin monsun, di mana nilai koefisien limpasan maksimum terjadi pada bulan April sebesar 58 l/det/km 2 dan minimum pada bulan September sebesar 10 l/det/km 2, sedangkan koefisien limpasan rata-rata tahunan sebesar 36 l/det/km 2. Berdasarkan luas wilayah CAT Bandung dengan luas wilayah pengaliran sebesar 2283 km 2 dan dengan curah hujan rata-rata wilayah 2250 mm/tahun (5200 juta m 3 ) diperoleh limpasan 1150 mm/tahun (2570 juta m 3 ). Geomorfologi Penelitian geologi daerah Bandung telah dilakukan, antara lain oleh Klompe dan Kusumadinata (1956), Silitonga (1973), Djoko Hartono (1989), dan Alzwar (1989). Berdasarkan geomorfologinya, wilayah CAT Bandung dibagi menjadi empat satuan geomorfologi, yaitu satuan danau yang meliputi dataran tinggi Bandung, satuan kerucut gunung api yang melingkari cekungan di sebelah Utara-Timur dan Selatan, serta satuan Pematang Homoklin yang membentuk perbukitan Rajamandala dan menutup CAT Bandung di sebelah Barat. Struktur yang berkembang di wilayah CAT Bandung didominasi oleh sesar dengan arah utama Barat Timur dan Baratlaut Tenggara. Sesar Lembang yang berarah Barat Timur adalah sesar yang paling penting di daerah ini, terutama dalam kaitannya dengan pasokan air ke dalam CAT Bandung. Adanya sesar dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap aliran tanah. Pengaruh positif yaitu bahwa sesar dapat menyalurkan air, sedangkan pengaruh negatif bahwa sesar dapat menahan gerakan air tanah dan sewaktu-waktu menimbulkan bencana. 30

4 Kondisi Hidrogeologi Sistem akifer terbentuk karena adanya perbedaan kemampuan lapisan batuan pembawa air. Kemampuan ini dicirikan oleh daya menyimpan/meloloskan air yang ditentukan oleh sifat fisik batuan yaitu keterusan dan kelulusannya. 31

5 Gambar III.1 Peta Wilayah Cekungan Air Tanah Bandung(Distamben Prov. Jawa Barat, 2006) 32

6 Berdasarkan sifat fisik tersebut litologi akuifer di wilayah CAT Bandung dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) sistem yakni : Akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir. Material penyusun akuifer terdiri dari lanau, pasir dan kerikil yang umumnya belum padu dan mempunyai kesarangan dan kelulusan sedang hingga tinggi. Akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir dan rekahan Litologi akuifer yang termasuk dalam sistem akuifer dengan aliran ruang antar butir dan rekahan ini memiliki kesarangan dan kelulusan rendah hingga tinggi. Akuifer dengan aliran melalui rekahan/celah. Umumnya memiliki produktivitas akuifer rendah sampai langka airtanah. Hidrogeologi daerah penelitian secara regional telah disusun oleh Soetrisno (1983), CAT Bandung mempunyai produktivitas akuifer sedang sampai tinggi, setempat-setempat di bagian selatan dijumpai daerah langka, demikian juga daerah puncak bukit/gunung. Daerah yang berproduktivitas tinggi terletak di kota Bandung sampai Cimahi. Arah aliran air bawah tanah di CAT Bandung berasal dari sebelah utara mengalir ke selatan, dari timur mengalir ke barat, dan dari selatan mengalir ke utara, semuanya mengumpul di dataran Bandung sekitar sepanjang S. Citarum. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu akuifer air bawah tanah yang terdapat di wilayah CAT Bandung secara umum dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok kedalaman sebagai berikut 1. Akuifer dangkal mengandung air bawah tanah bebas kedalaman kurang dari 10 m 2. Akuifer dangkal mengandung air bawah tanah bebas atau semi tertekan kedalaman m. 3. Akuifer dalam mengandung air bawah tanah tertekan kedalaman m. 4. Akuifer dalam mengandung air bawah tanah tertekan kedalaman m. 33

7 5. Akuifer dalam mengandung air bawah tanah tertekan kedalaman lebih dari 210 m. Air bawah tanah pada akuifer dengan kedalaman kurang dari 45 m dialokasikan untuk keperluan domestik atau rumah tangga penduduk. Sementara untuk keperluan industri memanfaatkan air bawah tanah pada kedalaman akuifer lebih dari 45 m. Kondisi air bawah tanah dinilai berdasarkan kondisi awal air bawah tanah yang terdapat pada akuifer dengan kedalaman lebih dari 45 m. Sungai utama yang mengalir pada satuan ini adalah Sungai (S.) Citarum dengan anak sungai di bagian utara antara lain : S. Cimahi, S. Cibeureum, S. Cikapundung, S. Cipamokolan, S. Cikeruh dan S. Citarik. Sedangkan di bagian selatan antara lain : S. Ciwidey, S. Cisangkuy dan S. Citarum Hulu. Sungai-sungai tersebut membentuk pola aliran mendaun (subdendritik). Imbuhan Airtanah Imbuhan terhadap akifer dangkal di CAT Bandung pada umumnya merupakan proses langsung baik alamiah maupun buatan, dan berlangsung seketika paling lama rentang mingguan. Sedangkan imbuhan terhadap akifer tengah dan akifer dalam terjadi secara langsung dan tidak langsung. Proses langsung terjadi di daerah imbuhan utama, dan proses tidak langsung terjadi hampir di seluruh daerah cekungan. Kondisi tersebut terjadi karena pada saat ini tinggi pisometrik dari airtanah dalam berada di bawah tingi preatik airtanah dangkal. Artinya, imbuhan berlangsung pertama ke akifer dangkal dan karena adanya beda tinggi tersebut, akifer dangkal mengimbuh ke akifer tengah/dalam melalui bocoran. Berdasarkan pisometri asal penyusunan akifer Bandung, maka daerah Utara CAT Bandung merupakan daerah imbuh utama. Pengujian Geyh (1990) terhadap isotop stabil δ 18 O dan δ 2 H dari 44 conto airtanah yang berasal dari sumur bor dan mata air yang tersebar di CAT Bandung membuktikan bahwa daerah imbuh terletak di bagian Utara CAT Bandung pada ketinggian m.dpl. waktu alir airtanah dari daerah imbuh ke daerah luah berselang dalam beberapa dekade sampai sekitar 34

8 700 tahun. Sedangkan hasil uji isotop 14 C menunjukkan bahwa airtanah menjadi relatif lebih muda ke arah Barat cekungan, di bagian Timur umur airtanah tahun sebelum hari ini. Angka-angka ini membuktikan bahwa meskipun airtanah merupakan sumberdaya alam yang terbaharui, namun waktu pengisian kembali (replenishment) sangat relatif. Jumlah imbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik daerah imbuh seperti rupabumi, jenis batuan, hidrogeolgi, curah hujan, sistim aliran permukaan dan tutupan lahan. Berdasarkan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Geoteknologi - LIPI, 2007, dengan menggunakan metoda neraca kelembaban tanah, jumlah total imbuhan potensial airtanah di CAT Bandung (dari data stasiun Nanjung) diperkirakan sekitar 334,7 juta m 3 atau sekitar 6,1 % dari total hujan. Jumlah ini berbeda dengan hasil perhitungan dengan menggunakan metoda klasik (Thornwaite) dimana hasil menunjukkan 8,6 % dari total hujan menjadi imbuhan potensial (Ruchijat, 2000). Mengacu pada kondisi topografi dan geologi, diprediksikan bahwa hanya 50 % dari potensi tersebut (sekitar 165 juta m 3 ) yang dapat secara efektif menjadi imbuhan ke akifer dalam. Laju imbuhan potensial cenderung konstan, walaupun terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan tata guna lahan, dll. III.3 Tata Ruang Tataguna lahan di Kota Bandung sangat didominasi perdagangan dan jasa selain permukiman, sedangkan kota-kota di sekitarnya masih didominasi pertanian, perumahan serta industri. Kawasan permukiman baik skala besar maupun kecil sampai sekarang tumbuh dengan cepat. Sehubungan dengan itu salah satu dampak yang sangat dirasakan semakin terancamnya daerah-daerah konservasi seperti di bagian Utara dan Selatan. 35

9 Pertumbuhan lahan terbangun dalam kurun waktu menunjukkan kecenderungan penurunan dan kenaikan di jenis penggunaan lahan tertentu. Secara luasan lahan, maka guna lahan kawasan dan zona industri meningkat sebesar 5,2% serta pemukiman meningkat 10,40%. Kecenderungan tersebut diperkirakan akan tetap meningkat sampai dengan tahun Sementara itu untuk lahan sawah dalam kurun waktu tersebut memperlihatkan kecenderungan yang terus menurun yaitu sebesar 19,01 %. Sementara itu jika dikaitkan dengan kebijakan pola tata ruang Provinsi Jawa Barat, maka di wilayah Metropolitan Bandung kawasan yang seharusnya berfungsi lindung adalah seluas ,7 ha atau sebesar 30,28 % yang tersebar terutama di bagian Utara dan Selatan, dan kawasan budidaya seluas ,1 ha. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi kawasan lindung tersebut dalam kurun waktu mengalami kecenderungan yang terus menurun dan terkonversi menjadi lahan terbangun terutama di kawasan lindung non-hutan. Berikut ini adalah tabel kecenderungan lahan terbangun di kawasan lindung dan kawasan budidaya pada kurun waktu Tabel III.1. Pergeseran penggunaan lahan Penggunaan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan Sawah Permukiman Kebun Campuran Ladang/tegalan Kawasan & Zona Industri Kawasan Pertambangan/galian Semak belukar Padang rumput/ilalang Tanah kosong/terbuka Sungai/Danau/Waduk Luas Lahan 1994 (ha) 57294, , , , , , ,6 2356,2 461,8 2516,5 6427,8 1611,7 6767,1 (Sumber : Bapeda Prov. Jawa Barat, 2004) Luas Lahan 2001 (ha) 55748,7 5541, , , , , ,7 2478,8 537,2 3138,5 6427,8 1611,7 6776,6 Perubahan (ha) -1545, ,4-1734, , , , ,1 +122,5 +75,4 +622, ,4 36

10 III.4 Kondisi Sosio-Ekonomi Kependudukan Jumlah penduduk di CAT Bandung yang terdiri dari wilayah administratif Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan berkisar antara 1,74-4,37%, dimana konsentrasi penduduk terdapat di kota Bandung yaitu sebanyak 34%. Populasi penduduk di wilayah CAT Bandung adalah jiwa pada tahun 2005 dan diprediksikan mencapai jiwa pada kepadatan penduduk rata-rata di wilayah CAT Bandung adalah 20 jiwa/ha, dimana kepadatan penduduk kota Bandung adalah 139 jiwa/ha, kota Cimahi 105 jiwa/ha, dan kabupaten Bandung 13 jiwa/ha. Sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sumedang yang masuk ke dalam wilayah CAT Bandung yaitu kecamatan Tanjungsari 16 jiwa/ha, kecamatan Cimanggung 16 jiwa/ha, dan kecamatan Jatinangor 32 jiwa/ha. Tabel III.2. Poyeksi penduduk CAT Bandung sampai dengan tahun 2025 (Sumber : Bapeda Prov. Jawa Barat, 2005, dengan perhitungan) Perekonomian Data tahun 2003, perdagangan dan industri tidak termasuk minyak dan gas bumi, memberikan kontribusi terbesar terhadap PRDB (Produk Regional Domestik Bruto) atas dasar harga berlaku. Dari sektor perdagangan terhitung Rp triliun dan dari sektor industri Rp triliun, atau sama dengan 31,91 % dan 30,85 % dari total PDRB. Selanjutnya, sektor transportasi dan komunikasi terhitung 11,64% dan sektor jasa 10,79 %. 37

11 Di Kabupaten Bandung, kontribusi terbesar diperoleh dari industri proses (53,66 %), diikuti oleh perdagangan (17,41 %) dan pertanian (9,53%). Pola yang sama juga ditemukan di Kota Cimahi. Pada tahun 2003, atas dasar harga berlaku, sektor industri memberikan kontribusi sebesar 68,08 % dari PDRB total, diikuti oleh sektor perdagangan (15,19 %). Secara umum tinjauan perekonomian 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sumedang yang berada di wilayah CAT Bandung (Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung dan Jatinangor) dilihat dari nilai PDRB Kabupaten Sumedang secara keseluruhan. Kontribusi terbesar diperoleh dari sektor pertanian (32.65%), perdagangan (26,50%) dan industri (16,89%). Aktivitas ekonomi di CAT Bandung terkonsentrasi di kedua kota dan Kabupaten Bandung yang dapat dilihat dari perbandingan PDRBnya. Laju pertumbuhan PDRB tahunan di CAT Bandung mencapai 15,66 %, di mana laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kota Bandung dengan 19,56 %. Pada tahun 2003, PDRB total untuk wilayah CAT Bandung adalah sebesar Rp triliun, yang terdiri dari : 1. Kota Bandung Rp triliun 2. Kab. Bandung Rp triliun 3. Kota Cimahi Rp triliun 4. Kabupaten Sumedang Rp triliun (Sumber : BPS, 2003) III.5 Kondisi Sumberdaya Air III.5.1 Potensi Potensi Air Permukaan Wilayah CAT Bandung merupakan bagian dari aliran sungai (DAS) Citarum Hulu yang bersumber di lereng Gunung Wayang bagian tenggara. Potensi air air yang ditunjukkan dari aliran air permukaan rata-rata per tahun pada wilayah Sungai Citarum mencapai 13,07 milyar m 3 /tahun. Dari potensi yang besar tersebut 38

12 kapasitas yang dapat ditampung melalui 3 (tiga) bendungan (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) adalah sebesar 4,38 milyar m 3 (6,8%). Berdasarkan RTRWP Jabar 2010, aliran rata-rata yang diperoleh dari DAS Citarum (luas ,47 ha) mencapai 9,052 milyar m 3 /tahun, sedangkan aliran mantap mencapai 3,9 milyar m 3 /tahun. Untuk sungai dan anak sungai yang berada di wilayah CAT Bandung, potensi air permukaan yang ditunjukkan aliran rata-rata mencapai 1,744 milyar m 3 /tahun dan aliran mantap sekitar 1,447 milyar m 3 /tahun. Potensi Mata Air dan Air Bawah Tanah Mata air pada umumnya ditemukan di wilayah konservasi yang merupakan recharge area. Total discharge dari mata air kurang dari 600 liter/detik. Jumlah ini tidak stabil, melainkan berfluktuasi tergantung pada perubahan cuaca/musim. Jumlah yang signifikan dari mata air digunakan sebagai sumber air alternatif, terutama di daerah rural. Kebanyakan dari sumber mata air di CAT Bandung terletak pada ketinggian lebih dari 750 m di atas permukaan laut. Potensi mata air ini mencapai liter/detik atau m 3 /tahun (Gunawan 1995). Mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 716.K/40/MEM/2003, berdasarkan potensinya, airtanah di CAT Bandung dibagi kedalam tiga cekungan airtanah, yaitu Cekungan Lembang, Cekungan Batujajar dan CAT Bandung-Soreang, yang diklasifikasikan sebagai airtanah terkekang dan tidak terkekang (bebas). 39

13 Tabel III.3 Potensi Airtanah di DAS Citarum Cekungan Airtanah Jumlah cadangan airtanah No Nama Area Tingkat (juta m 3 /tahun) (Km 2 ) Investigasi Tak Terkekang terkekang 1 Lembang 169 Diketahui Batujajar 85 Diketahui Bandung-Sorea ng 1716 Diperkirakan Sumber : Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 716.K/40/MEM/2003, Pasokan Air Bersih PDAM Perusahaan daerah pengelola penyediaan air minum di Kota Bandung (PDAM) menyediakan air untuk kebutuhan domestik di wilayah Kota dan Kabupaten Bandung. Prosentase cakupan pelayanan di kota Bandung mencapai 52 % dengan jumlah sambungan langsung sekitar rumah tangga. Di Kabupaten Bandung, PDAM baru melayani 23% dari total populasi dengan jumlah sambungan langsung rumah tangga. Di Kota Cimahi, cakupan pelayanan PDAM 20% dengan jumlah sambungan langsung rumah tangga. III.5.2 Proyeksi dan Kebutuhan Air Bersih Seiring dengan tekanan peningkatan populasi, kebutuhan air domestik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kebutuhan air domestik pada tahun 1995 adalah 227,08 juta m 3 dan meningkat hingga 318 juta m 3 pada tahun Kebutuhan air industri pun cenderung meningkat dengan proyeksi laju peningkatan kebutuhan air 10%, pada tahun 2005 kebutuhan air industri sebesar 134 juta m 3. III.5.3 Pengambilan Air Tanah Pengambilan air tanah di daerah Bandung meningkat pesat antara tahun 1985 sampai 1996 yang mencapai 76,8 juta m 3, kemudian menurun seiring dengan krisis ekonomi dan mencapai jumlah terendah pada tahun 1998 sebesar 41,7 juta m 3, kemudian mulai meningkat lagi hingga diperkirakan pada tahun

14 mencapai 58,5 juta m 3. Demikian juga perkembangan jumlah sumur produksi meningkat pesat antara tahun 1985 sampai 1996 yang mencapai 2628, kemudian menurun hingga tahun Setelah keadaan ekonomi kembali teratasi, kecenderungan penggunaan air tanah kembali meningkat. Pengguna terbesar air bawah tanah di wilayah ini adalah domestik dan sektor industri. Saat ini tercatat bahwa lebih dari 75% air yang digunakan oleh industri untuk kegiatan prosesnya di Bandung Metropolitan diperoleh dari air tanah (Asdak, PR 14 Juni 2007). Selain itu PDAM kabupaten dan kota di beberapa daerah juga menggunakan air tanah untuk penyediaan air domestik. Penggunan Airtanah Industri Sekitar 50 % industri di CAT Bandung merupakan industri tekstil yang membutuhkan jumlah air yang cukup banyak dalam proses kegiatannya. Banyak dari industri ini berlokasi di wilayah yang tidak tercakup/memiliki infrastruktur/sarana penyediaan air bersih, oleh karena itu air tanah dinilai merupakan solusi yang murah dan efektif untuk mendukung kegiatannya. Gambar III.2 Perkembangan Pengambilan Air Tanah di CAT Bandung (Sumber : Djaendi, Pusat Lingkungan Geologi, dari Trisno, 2007) Penggunaan airtanah oleh industri pada tahun 1993 mencapai 59,55 % dari jumlah total air yang dibutuhkan, dan meningkat hingga 66,34 % pada tahun 1995 dan kemudian menurun sebesar 59,60 % pada tahun Krisis ekonomi yang terjadi 41

15 di Indonesia pada tahun 1997 turut memberikan dampak terhadap abstraksi airtanah. Pada tahun 1999 penggunaan airtanah oleh industri menurun hingga 57,20 % dan kemudian meningkat 57,84% pada tahun 2000 dan mencapai hampir 70 % pada tahun Penggunaan Airtanah Domestik Saat ini, tidak ada data yang akurat mengenai jumlah (m 3 ) yang telah diekstraksi oleh masyarakat untuk keperluan domestiknya di CAT Bandung. III.6 Laju Kerusakan Air Tanah Eksploitasi sumberdaya airtanah yang tak terkendali merupakan permasalahan berat yang dihadapi sehingga menyebabkan kondisi airtanah kian memburuk, hal ini disebabkan antara lain akibat kebergantungan industri terhadap airtanah sangat besar. Gambar III.3 Proyeksi abstraksi airtanah oleh penggunaan domestik ( ) (Sumber : Wangsaatmaja, 2006) 42

16 Kebergantungan terhadap airtanah tersebut antara lain disebabkan oleh faktor-faktor : Ekstraksi air tanah saat ini membutuhkan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan sumber air alternatif lainnya seperti air permukaan, PDAM maupun waste water recycle, di mana penggunaan air permukaan membutuhkan investasi yang lebih besar dalam penyediaan konstruksi sarana pengolah air baku dibandingkan dengan infrastruktur untuk pengambilan airtanah. Selain itu pembangunan sarana pengolah air baku membutuhkan penyediaan lahan dan membutuhkan biaya yang cukup mahal untuk operasional dan perawatannya, Kualitas air tanah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sumber alternatif seperti air permukaan yang membutuhkan pengolahan terlebih dahulu untukmemperoleh air dengan kualitas setara dengan kualitas air tanah; Kemudahan dan kepraktisan memperoleh sumber air tanah dibandingkan dengan sumber air alternatif lain; Ketidakmampuan PDAM sebagai pemasok kebutuhan air baku, baik untuk keperluan rumah tangga maupun komersial, dan tidak ada institusi khusus lainnya yang menyediakan air baku untuk industri, sehingga industri tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan air tanah untuk kegiatannya; 43

17 Gambar III.4. Peta sebaran sumur produksi di CAT Bandung (Sumber : Distamben Prov. Jabar, 2005) 44

18 Kontinuitas laju aliran airtanah tidak dipengaruhi oleh peak time, seperti pada sistem penyedia air baku lainnya (PDAM) yang seringkali mengalami overload pada waktu puncak; Gambar III.5 Perubahan kondisi sumberdaya airtanah CAT Bandung (Distamben Prov. Jawa Barat, 2006) Faktor lain penyebab semakin memburuknya kondisi airtanah adalah : Perubahan fungsi dan Tata Guna Lahan daerah-daerah resapan akibat pembangunan, di mana prosentase daerah resapan di CAT Bandung yang sudah menjadi lahan tertutup: 47 %. Perubahan fungsi lahan ini akan mempengaruhi sistem hidrologis terutama di wilayah hulu DAS Citarum. 45

19 Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat maupun industri terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat kerusakan air tanah. III.7 Dampak Akibat Pengambilan airtanah Penurunan Muka Air Tanah Berdasarkan data pemantauan sumur selama beberapa periode, terdapat perubahan yang signifikan terhadap muka air tanah di wilayah CAT Bandung dari artesis positif menjadi artesis negatif. Sebagai contoh, artesis positif teridentifikasi di wilayah dayeuhkolot-bojongsoang +4,0 m di atas permukaan tanah pada tahun 1920, tetapi pada tahun 1960 muka airtanah mengalami penurunan menjadi +3,9 m di atas permukaan tanah. Pada pertengahan tahun 1970-an, muka air tanah menurun hingga -2,0 m di bawah muka tanah dan menjadi -40 dan -80 m di bawah muka tanah pada Gambar III.6. Penurunan Muka Air Tanah di beberapa sumur pantau (Sumber : DGTL,2004, dalam Wangsaatmaja, 2006) 46

20 Ketinggian muka air tanah juga dipantau dengan menggunakan automatic water level recorder (AWLR) dan telemetry di kurang lebih 30 sumur pantau di wilayah studi. Wilayah dengan penurunan muka air tanah terbesar sehingga membentuk cone of Depression adalah Cijerah dengan penurunan hingga 20 m selama , Cimanggung dan Rancaekek lebih dari 60 m berdasarkan pemantauan di sumur dalam PT. Kahatex. Di kawasan industri Leuwigajah penurunan mencapai 40 m pada periode yang sama. Penurunan muka tanah juga memberikan dampak terhadap sumur dalam milik PDAM. Dari 32 sumur dalam yang dimiliki PDAM dengan volume ekstraksi 550 l/det pada tahun menjadi 115 lt/det pada tahun Penurunan muka air tanah, yang selain akan mengakibatkan masyarakat sekitarnya menjadi kesulitan memperoleh air, juga akan mengancam kelangsungan usaha atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Berdasarkan data di CAT Bandung sebagai contoh, intensitas penurunan tertinggi umumnya terjadi pada lokasi-lokasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pusat-pusat industri). Tabel III.4. Tabel penurunan muka air tanah di wilayah CAT Bandung N o Lokasi Penelitian Kedudukan MAT (m BMT) Fluktuasi Penurunan (m/tahun) 1 Daerah Cimahi ,19 2 Leuwigajah,Cimindi,Utama, 41,05-71,4 3,11-15,12 Cibaligo 3 Cijerah,Cibuntu,Garuda,Arjona, 29,9-51,54 1,27-4,32 Maleber, Husen, Pasir Kaliki 4 Buah Batu.Kiaracondong, 22,7-49,5 1,61-3,1 Kb.waru 5 Dayeuh Kolot 25,67-66,64 3,0-12,26 6 Jl.Moh.Toha 1,47 7 Cicaheum,Uj.berung,Gedebage, 16-49,5 1,63-2,12 Cipadung, Cibiru 8 PT.Grandtex (AWLR) 1,63 9 PT. Bintang Agung (AWLR) 2,12 10 Cikeruh,Rancaekek,Cimanggung, 6,78-23,57 0,52-3,85 Cikancung 11 PT.Kewalram (AWLR) 2,01 47

21 12 Bojongsalam (AWLR) 0,44 13 Sekitar Majalaya 31,72-50,17 0,32-3,9 14 Ciparay,Banjaran,Pamengpeuk 7,7-29,39 0,89-4,57 15 Katapang,Soreang 1,51-30,85 0,38-1,6 16 Bojongkunci (AWLR) 0,77 17 Cipedung (AWLR) 0,38 (Sumber : Hasjim, 2006) Gejala Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence) Banyak faktor yang dimungkinkan dalam memberi dampak terhadap keterjadian land subsidence di CAT Bandung, namun abstraksi airtanah yang intensif bagi penggunaan industri, perdagangan maupun domestik, diyakini sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya land subsidence di CAT Bandung. Penurunan permukaan tanah (amblesan), merupakan dampak lanjutan dari penurunan muka air tanah, di mana terjadi kekosongan pori-pori pada lapisan batuan atau tanah sehingga mengalami pemampatan akibat kehilangan tekanan pori pada massa batuan. Pada daerah yang telah mengalami penurunan muka tanah dapat dicirikan dengan semakin meluasnya wilayah yang mengalami bencana banjir. Data sebagaimana tercantum pada Tabel III.6 berikut ini memperlihatkan sebaran lokasi yang mengalami penurunan muka tanah. No Tabel III.5 Penurunan muka tanah di wilayah CAT Bandung Daerah Besar Penurunan (cm) Rata-rata Penurunan (cm/th) 1 Cimahi - Leuwigajah 84,5 21,1 2 Bojongsoang 83,9 20,9 3 Kopo 18,9 4,7 4 Banjaran 63,9 15,9 5 Dayeuhkolot 20,8 5,2 6 Gedebage 24,3 6,1 7 Ujungberung 20,6 5,2 8 Majalaya 8,4 2,1 9 Rancaekek 11,8 2,9 10 Cicalengka 44,5 11,1 (Sumber : Abidin, 2003) 48

22 Land subsidence telah dihitung dan dipantau secara berkala dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Sesuai dengan data yang telah diperoleh, land subsidence di beberapa lokasi telah mencapai penurunan 20 mm/bulan atau 24 cm/tahun, terutama di wilayah zona kritis seperti Cimahi, Rancaekek dan Dayeuhkolot (Abidin,2003). Penurunan Kualitas Airtanah Terjadinya penurunan kualitas airtanah disebabkan oleh infiltrasi unsur-unsur pencemar baik yang berasal dari limbah domestik maupun perembesan unsur-unsur logam yang terdapat pada lapisan tanah atau batuan itu sendiri. Pada 2004, kualitas air tanah telah diteliti terhadap sampel dari 25 sumur bor. Dari sampel tersebut, 19 sumur bor (76 %) telah memiliki total coliform yang melebihi standar 1000/100 ml, dan hanya 24 % yang memiliki nilai total coliform di bawah standar. Delapan belas sumur bor dari 25 sampel (72 %) melebihi baku mutu fecal coliform untuk standar kelas 1, yaitu 100/100 ml. Sedangkan hasil penelitian laboratorium terhadap 50 sampel sumur bor pada tahun 2005, menyatakan bahwa 78 % sampel tidak memenuhi standar baku mutu dan 70 % sampel melebihi standar fecal coliform (Wangsaatmaja, 2006). Untuk parameter kadar residu terlarut, COD, NO3, Fe dan Mn, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat telah melakukan penelitian terhadap 496 sampel dari sumur bor airtanah di wilayah CAT Bandung, dan diperoleh hasil sebagai berikut : 49

23 Tabel III.6 Kualitas airtanah di CAT Bandung (Sumber : Distamben Prov. Jawa Barat, 2005) Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas airtanah di wilayah CAT Bandung pada umumnya telah mengalami pencemaran khususnya parameter COD serta logam berat Fe dan Mn. III.8 Pengelolaan Airtanah Dari sektor kebijakan, upaya pengendalian pemanfaatan airtanah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain : 1. Menerapkan instrumen perijinan Pengambilan airtanah industri dilakukan melalui suatu prosedur perijinan. Ijin diberikan dengan mempertimbangkan jumlah sumur bor yang beroperasi, kedalaman pengambilan air tanah, serta debit pengambilan. 2. Implementasi pajak airtanah : Pajak airtanah diperhitungkan berdasarkan NPA (Nilai Perolehan Air) yang mencakup beberapa komponen, antara lain komponen sumberdaya, komponen pemulihan dan komponen harga air baku. Selain itu penerapan pajak air tanah juga ditentukan berdasarkan tarif progresif. Semakin banyak air yang diambil, semakin besar faktor nilai indeks pengalinya terhadap harga baku air. 3. Pengawasan dan penertiban pengambilan airtanah : 50

24 Antara lain dengan melakukan : Pemantauan terhadap instrumentasi sumur bor industri (flow meter) Pemetaan sumur bor yang beroperasi Pemantauan muka air tanah Penertiban sumur-sumur ilegal (tak berijin) Dari segi teknologi, upaya konservasi airtanah yang telah dan dapat dilakukan antara lain : 1. Pembuatan sumur-sumur resapan Pembuatan sumur-sumur resapan dilakukan untuk membantu meningkatkan kapasitas pengisian air air tanah dengan cara menampung air hujan dan langsung mengalirkan ke dalam lapisan akifer yang kosong (rusak). Selain membangun sumur resapan baru, juga dapat dilakukan dengan mengalihfungsikan sumur-sumur bor produksi yang sudah tidak aktif. Implementasi kebijakan baru dalam bentuk pilot proyek pecontohan, belum diberlakukan secara masal 2. Penghematan penggunaan airtanah Penghematan penggunaan air tanah dilakukan untuk mengurangi konsumsi airtanah industri melalui substitusi dengan sumberdaya air lainnya seerti air permukaan, PDAM maupun tindakan konservasi mandiri pihak industri seperti dengan melakukan recycle, reuse air sisa/bekas produksinya. Khusus upaya substitusi penggunaan air permukaan, salah satunya adalah pembuatan divertion tunnel untuk mengalihkan aliran sungai Cibatarua ke DAS Citarum, dan sampai dengan saat ini, langkah tersebut masih dalam tahap persiapan Dalam jangka menengah, kebutuhan air di wilayah Cekungan Bandung akan mendapatkan penambahan suplai air baku yang berasal dari penyodetan S. Cibatarua dengan kapasitas aliran 600 lt/detik. Air tersebut menjadi sumber air baku PDAM untuk memproduksi air bersih. 51

25 3. Perlindungan daerah resapan Perlindungan daerah resapan dilaksanakan melalui program reboisasi dan penghijauan. Walaupun aktivitas penghijauan telah banyak dilakukan namun keberlanjutan fungsi-fungsi dari konservasi daerah resapan belum dapat terevaluasi secara menyeluruh. 52

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Daerah penelitian saat ini sedang mengalami perkembangan pemukiman

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Daerah penelitian saat ini sedang mengalami perkembangan pemukiman BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Daerah penelitian saat ini sedang mengalami perkembangan pemukiman padat penduduk yang sangat pesat, peningkatan aktivitas industri, dan perambahan kawasan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan karunia terpenting yang dimiliki oleh alam beserta isinya.

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan karunia terpenting yang dimiliki oleh alam beserta isinya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan karunia terpenting yang dimiliki oleh alam beserta isinya. Selain itu air juga merupakan sumberdaya alam yang melimpah. Persebarannya di muka bumi mencapai

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days. Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Hingga saat ini, di Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

Pengembangan Sumberdaya Air Alternatif dengan Cara Transfer Sumberdaya Air dari Luar Cekungan Bandung ABSTRAK

Pengembangan Sumberdaya Air Alternatif dengan Cara Transfer Sumberdaya Air dari Luar Cekungan Bandung ABSTRAK Pengembangan Sumberdaya Air Alternatif dengan Cara Transfer Sumberdaya Air dari Luar Cekungan Bandung Tatas 1), Yudi Rahayudin 2) 1)Staf Pengajar Program Studi Diploma Teknik Sipil FTSP ITS tatas@ce.its.ac.id

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum Bab III Studi Kasus III.1 Daerah Aliran Sungai Citarum Sungai Citarum dengan panjang sungai 78,21 km, merupakan sungai terpanjang di Propinsi Jawa Barat, dan merupakan salah satu yang terpanjang di Pulau

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air sebagai komponen ekologi mempunyai sifat khas yaitu: pertama merupakan benda yang mutlak dibutuhkan oleh kehidupan, kedua, air mempunyai mobilitas yang tinggi dalam

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) KEGIATAN KEGIATAN PENYUSUNAN ZONA PEMANFAATAN DAN KONSERVASI AIR TANAH PADA CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) DI JAWA TENGAH DINAS

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat. Sungai Citarum berhulu dari mata air di Gunung Wayang,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Permen ESDM No.2 tahun 2017, tentang Cekungan Airtanah di Indonesia, daerah aliran airtanah disebut cekungan airtanah (CAT), didefinisikan sebagai suatu wilayah

Lebih terperinci

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Metropolitan Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan pusat pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan mutlak bagi seluruh kehidupan di bumi. Air juga merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Tetapi saat ini, ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Airtanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) di bawah permukaan tanah, termasuk mataair yang muncul di permukaan tanah. Peranan airtanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

PENGERTIAN HIDROLOGI

PENGERTIAN HIDROLOGI PENGERTIAN HIDROLOGI Handout Hidrologi - Dr. Ir. Dede Rohmat, M.T., 2009 1 Pengertian Hidrologi (Wikipedia Indonesia) Hidrologi (berasal dari Bahasa Yunani: Yδρoλoγια, Yδωρ+Λoγos, Hydrologia, "ilmu air")

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 39 BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 4.1 KARAKTERISTIK UMUM KABUPATEN SUBANG 4.1.1 Batas Administratif Kabupaten Subang Kabupaten Subang berada dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Bab V Pengembangan Model

Bab V Pengembangan Model Bab V Pengembangan Model V.1 Batasan Model Dari pemaparan permasalahan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa menurunnya kondisi ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sub DAS Cikapundung 4.1.1 Letak dan luas Daerah Sungai Cikapundung terletak di sebelah utara Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, dan merupakan bagian hulu Sungai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di bumi, air yang berada di wilayah jenuh di bawah air permukaan tanah secara global, kira-kira sejumlah 1,3 1,4 milyard km3 air: 97,5 % adalah airlaut 1,75 % berbentuk

Lebih terperinci

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii Sari Metode penelitian yang dilakukan adalah survey geologi permukaan, pendataan klimatologi hidrologi dan hidrogeologi daerah telitian dan sekitarnya serta analisis air. Beberapa data diambil dari data

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI TAHUN 2012 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007).

Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007). Bab II Tinjauan Teoritis II.1 Umum Ketersediaan airtanah di alam terdapat pada lapisan batuan pembawa air yang disebut akuifer yang membentuk suatu cekungan airtanah. Berdasarkan Perda Prov. Jawa Barat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Simulasi Dan Analisis Kebijakan Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih

Lebih terperinci

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR Sidang Ujian OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN BANGKALAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab pertama studi penelitian ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup yang mencakup ruang lingkup materi dan ruang lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang meliputi kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang meliputi kegiatan BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang meliputi kegiatan produksi primer, kegiatan produksi sekunder, dan kegiatan produksi tersier. Industri merupakan salah

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM 51 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis 1. Keadaan Alam Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07 o 44 04 08 o 00 27 Lintang Selatan dan 110 o 12 34 110 o 31 08 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI Kabupaten Kendal terletak pada 109 40' - 110 18' Bujur Timur dan 6 32' - 7 24' Lintang Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten

Lebih terperinci

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Handouts Geologi Lingkungan (GG405) SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Disusun Oleh: Nandi, S.Pd. 132314143 JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub DAS Cikapundung berada di bagian hulu Sungai Citarum dan merupakan salah satu daerah yang memberikan suplai air ke Sungai Citarum, yang meliputi Kab. Bandung Barat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sumberdaya air bawah tanah merupakan sumberdaya yang vital dan strategis, karena menyangkut kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak dalam berbagai aktivitas masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Airtanah merupakan salah satu komponen dari siklus hidrologi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Airtanah merupakan salah satu komponen dari siklus hidrologi yang ada di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Airtanah merupakan salah satu komponen dari siklus hidrologi yang ada di bumi. Airtanah berasal dari pengisian kembali (recharge) dari infiltrasi air hujan ataupun

Lebih terperinci

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Novitasari,ST.,MT. TIU & TIK TIU Memberikan pengetahuan mengenai berbagai metode dalam penanganan drainase, dan mampu menerapkannya dalam perencanaan drainase kota:

Lebih terperinci

Jurnal APLIKASI ISSN X

Jurnal APLIKASI ISSN X Volume 3, Nomor 1, Agustus 2007 Jurnal APLIKASI Identifikasi Potensi Sumber Daya Air Kabupaten Pasuruan Sukobar Dosen D3 Teknik Sipil FTSP-ITS email: sukobar@ce.its.ac.id ABSTRAK Identifikasi Potensi Sumber

Lebih terperinci

PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH

PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH DR. Heru Hendrayana Geological Engineering, Faculty of Engineering Gadjah Mada University Perrnasalahan utama sumberdaya air di Indonesia Bank data (kelengkapan(

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Semua makhluk hidup di dunia ini pasti membutuhkan air untuk hidup baik hewan, tumbuhan dan manusia. Begitu besar peran air dalam kehidupan membuat air termasuk kebutuhan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktifitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

2015 PROYEKSI KEBUTUHAN AIR BERSIH PENDUDUK KECAMATAN INDRAMAYU KABUPATEN INDRAMAYU SAMPAI TAHUN

2015 PROYEKSI KEBUTUHAN AIR BERSIH PENDUDUK KECAMATAN INDRAMAYU KABUPATEN INDRAMAYU SAMPAI TAHUN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekitar 70% wilayah di bumi adalah lautan dan sisanya adalah daratan oleh karena itu jumlah air di bumi cukup banyak sehingga planet bumi di katakan layak untuk kehidupan.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muka bumi yang luasnya ± 510.073 juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 148.94 juta Km 2 (29.2%) dan lautan 361.132 juta Km 2 (70.8%), sehingga dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci