PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD"

Transkripsi

1 PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2010 M. Daud NRP E

3 ABSTRACT M. DAUD.Bioethanol Production from Several Tropical Wood Species using Simultaneous Saccharification and Fermentation Processes. Under Direction of WASRIN SYAFII and KHASWAR SYAMSU. This study aims to determine the best method to produce bioethanol from several wood species using simultaneous saccharification and fermentation (SSF) processes. Four different tropical wood species namely sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.), gmelina (Gmelina arborea Roxb), pine (Pinus merkusii Jung. et de Vr.) and oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) were milled to determine their chemical properties before treatments. The first study was conducted to determine the best pretreatment to produce the highest pulp yield and low kappa number and lignin content. The treatments were conducted under three kinds of alkalinity (active alkali) namely 16, 18and 20% and also two kinds of sulfidity namely 20 and 25% using kraft process. The second study was conducted to determine the best method to hydrolyse (saccharification) and fermentation on SSF processes. SSF runs were performed in 500 mlerlenmeyers using a total slurry 200 ml. The substrate and nutrient media were autoclaved (121 o C and 20 minutes). The samples from the best pretreatment method diluted to 2.5% (w/v) of total slurry was used as substrate. The enzyme preparation used commercial cellulase enzyme. The amount of cellulase added were 4 and 8% (w/w) dry mass of samples. In the other hand, the substrate was added with Aspegillus niger. All SSF processes were inoculated with 10% (v/v) yeast Saccharomyces cereviciae. The SSF experiments were run for 96 hours. The results showed that the species of tropical wood affected the chemical properties of samples significantly. The best pretreatment (alkalinity and sulfidity) for sengon, gmelina, pine and oil palm were 18% and 25%, 20% and 25%, 18% and 25%, as well as 16% and 20%, respectively. Total of sugar and reducing sugar tended to decrease with time of cultivation whereas ethanol concentration increase significantly. The growth of Saccharomyces cereviciaeand Aspergillus nigertended to increase at initial cultivation and decrease by the end of cultivation.the best method to hydrolyse (saccharification) and fermentation on SSF processes for all tropical wood species were using cellulase 8% of dry mass and 10% (v/v) of Saccharomyces cereviciae which produced the highest bioethanol concentration on gmelina,sengon, pine and oil palm were 0.98; 0.79; 0.57 and 0.51%, respectively with the yields of 10.02,5.39, 7.65, and 3.28% and also productivity , , , and L/ha per year respectively. Key words: bioethanol, simultaneous saccharification and fermentation, tropical wood species, cellulase, Saccharomyces cereviciae

4 RINGKASAN M. DAUD. Produksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan.Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan KHASWAR SYAMSU. Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstraktif, delignifikasi, dan proses hidrolisisnya yang lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Meskipun pada dasarnya harga bahan baku berlignoselulosa pada dasarnya secara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih menemui kendala seperti rendemen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol. Oleh karena itu, untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat kimia bahan baku dari beberapa jenis bahan baku dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, menentukan metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis dan fermentasi yang tepat dalam meningkatkan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang diperoleh melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (SSF) dan menganalisis hubungan antara karakteristik bahan baku dan metode dengan pertumbuhan mikroba, gula pereduksi, total gula, kadar dan rendemen etanol selama kultivasi serta menganalisis produktivitas bioetanol beberapa jenis kayu tropis. Dua jenis kayu tropis cepat tumbuh yang termasuk golongan kayu daun lebar yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.), dan gmelina (Gmelina arborea Roxb.), satu jenis kayu daun jarum yaitu pinus (Pinus merkusii Jung. et de Vr.) serta satu jenis tumbuhan monokotil yaitu kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.),dianalisis komponen kimianya yang meliputi kelarutan dalam air dingin dan air panas (TAPPI T 207 0m-93), kelarutan dalam natrium hidroksida 1% (TAPPI T 212 om-93), kelarutan dalam alkohol benzena (TAPPI T 264 om- 88). Selain itu, dilakukan juga penentuan kadar lignin yang didasarkan pada metode lignin klason, kadar holoselulosa, kadar selulosa, dan kadar hemiselulosa. Setelah itu, dilakukanperlakuan pendahuluan (delignifikasi) menggunakan proses kraft dengan menggunakan 3 taraf alkalinitas (16, 18 dan 20%) serta 2 taraf sulfiditas (20% dan 25%). Kemudian dilakukan pengujian terhadap rendemen dan bilangan kappa untuk menentukan perlakuan pendahuluan terbaik untuk bahan baku proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. Perlakuan pendahuluan terbaik didasarkan pada rendemen pulp tertinggi dan bilangan kappa terendah. Setelah diperoleh metode perlakuan pendahuluan yang tepat pada masingmasing jenis bahan baku maka dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dengan menggunakan berbagai metode sakarifikasi enzim selulase pada konsentrasi berbeda yaitu (4 dan 8% bobot kering sampel). Selain itu,

5 diperlakukan juga sakarifikasi dengan A. niger (5 x 10 7 CFU/cc). Semua proses sakarifikasi difermentasi menggunakanekstraks jamur S.cereviciae (1.5 x10 9 CFU/cc) dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (SSF).SSF dilakukan selama96 jam pada suhu konstan 37 o C untuk sakarifikasi dengan enzim selulase (4 dan 8%) sedangkan sakarifikasi dengan kapang A. niger dilakukan pada suhu 30 o C. Pada akhir fermentasi dihitung kadar etanol, gula pereduksi, total gula dan jumlah kapang A. niger dan khamir S. sereviciae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komponen kimia (kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1%, etanol-benzena, serta kadar lignin, selulosa, holoselulosa dan hemiselulosa) di antara bahan baku. Rendemen pulp sangat dipengaruhi oleh bahan baku, alkalinitas dan sulfiditas serta interaksinya sedangkan bilangan kappa cenderung hanya dipengaruhi oleh bahan bakunya. Mengacu pada rendemen dan bilangan kappa, perlakuan pendahuluan yang optimal untuk produksi bioetanol diperoleh pada proses kraft adalah masing-masing alkalinitas 18% dan sulfiditas 25% pada kayu pinus dan sengon, alkalinitas 20% dan sulfiditas 25% pada kayu gmelina sedangkan pada kelapa sawit alkalinitas 16% dan sulfiditas 20%. Kadar gula total dan gula pereduksi cenderung mengalami penurunan selama kultivasi sedangkan kadar etanol mengalami peningkatan. Pertumbuhan Saccharomyces cereviciae dan Aspergillus niger cenderung mengalami peningkatan pada awal kultivasi kemudian mengalami penurunan pada akhir kultivasi. Metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan yang tepat untuk memproduksi bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang optimal adalah dengan menggunakan enzim selulase 8% (w/w) bobot kering dengan penambahan 10% (v/v) Saccharomyces cereviciae yang menghasilkan kadar etanol masing-masing pada kayu gmelina, sengon, pinus, dan kelapa sawit berturut-turut sebesar 0.98, 0.79, 0.57 dan 0.51% (v/v) dengan rendemen masing-masing sebesar 10.02, 5.39,7.65, dan 3.20% (v/v) dan produktivitas berturut-turut sebesar , , dan L/ha per tahun.kayu gmelina dan sengon sangat prospektif dikembangkan sebagai penghasil bioetanol dan dapat dikembangkan sebagai hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia. Kata Kunci: bioetanol, sakarifikasi dan fermentasi secara simultan, kayu tropis, selulase, Saccharomyces cereviciae

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Ir. Suminar S. Achmadi, PhD.

9 Judul Tesis : Produksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan Nama : M. Daud NRP : E Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Ketua Prof. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. St., PhD. Anggota Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan TeknologiHasil Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 07 Juli 2010 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk menguraikanproduksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009-Mei 2010, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Rekayasa Bioproses, Laboratorium BIORIN dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan,Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB dan Laboratorium Afiliasi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia serta Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara serta seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan kasih sayangnya serta dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. dan Prof. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. St., PhDselaku pembimbing, Prof. Ir. Suminar S. Achmadi, PhD selaku penguji luar komisi, Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc. selaku moderator ujian tesis, dan Dr. Ir. Wayan Darmawan, M. Sc. selaku ketua Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan serta dosen-dosen Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan atas segala ilmunya selama penulis menempuh pendidikan S-2. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada laboran Laboratorium Kimia Hasil Hutan terutama kepada Pak Supriatin, Gunawan dan rekan-rekan mahasiswa bagian kimia hasil hutan serta adik-adik mahasiswa S-1 yang tidak bisa penulis ucapkan satu per satu. Terima kasih juga buat laboran Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB terutama kepada Ibu Emi, Ibu Peppi, Ibu Nia, Pak Asep, serta rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Sherly Marelisa, STP, Prima Widya Pratiwi, STP., Nurhidayah Didu, SPt, MSi. dan Supatmawati, STP, MSi., terima kasih juga kepada laboran Laboratorium Mikrobiologi Pangan terutama kepada Ibu Ari, serta laboran Laboratorium Afiliasi, Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia terutama Pak Ijul dan Pak Fuji atas segala bantuannya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan terutama kepada Agussalim, S. Hut., Ratih Damayanti, S. Hut., M. Si.dan Malik El Baker, BSc, M.Si, terima kasih juga buat Sri Utami, SP, MSi. serta rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Ucapan terima kasih juga kepada bapak Suhasman, S. Hut., M.Si dan Ibu Andi Detti Yunianti, S. Hut., MP sebagai rekan sekaligus sebagai orang tua penulis selama penulis menempuh pendidikan S-2 di IPB. Ucapan terima kasih juga buat para dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin atas segala dukungannya selama ini terutama kepada Prof. Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc. Ucapan terima kasih buat Saputra S. Hut dan seluruh saudara angkatku dan rekan-rekan alumni dan adik-adikku mahasiwa Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin dan IPB buat seluruh dukungannya. Ucapan terima kasih juga buat Auliyaa Tsanina Sari, S. Sos. atas segala doa dan motivasinya selama ini. Ucapan terima kasih pula buat Ade Darmansyah, Eldi Arasi, Adly Firma, Frensy Firma, Iwan Wahyu Kaswanto, I Made Sanjaya, Alfa

11 Mulia Wibowo, Eza Hanifah, Gunawan, Muhammad Nur Afifuddin, Wesley, dan Stephanus Hanny Rekyanto, S. Hut., MSi. atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih buat Prima Fotocopy Center atas segala bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh kuliah S-2.Terima kasih juga buatserta rekan-rekan Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia dan forum Pascasarjana Sulawesi Selatan, buat anak-anak ikatan keluarga mahasiswa Sulawesi Selatan, rimbawan pecinta alam (RIMPALA) IPB, Tree Climber Organization, Lembaga Studi Ular Indonesia SIOUX, rekan-rekan di Jejak Petualang Indonesia, Walhi dan WWF atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu. Penelitian ini tidak hanya berhenti sampai di sini, tapi akan terus berkembang seiring dengan semangat kita untuk memberikan yang terbaik bagi hutan dan industri perkayuan serta perkembangan bioenergi di Indonesia demi meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan di Indonesia. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2010 M. Daud

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bisang, Enrekang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 November 1985 dari Ayah Hamasaah dan Ibu Marina. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMUN I Enrekang dengan predikat lulusan terbaik dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur pemantauan bakat dan prestasi (JPBP)Universitas Hasanuddin, dan memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada berbagai organisasi diantaranya pengurus Jamaah Mushollah Ulil Albab (JMUA), pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pengurus Biro Khusus Belantara Kreatif (BKBK), dan Wakil Ketua Sylva Indonesia (p.c) UNHAS, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrengpulu (HPMM), anggota Pioneer English Meeting Club (PEMC) Fort Rotterdam, dan pengurus Al Markaz for Khudi Enlightening Studies (MAKES), Makassar, Sulawesi Selatan serta berbagai organisasi dan perkumpulan non profit lainnya. Berbagai prestasi yang pernah diperoleh diantaranya sebagai Penerima Beasiswa Tanabe Foundation dan Maruki Foundation, Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin tahun 2007 serta Wisudawan Terbaik Universitas Hasanuddin tahun Penulis menjadi assisten dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun Selama menempuh pendidikan S-2 penulis pernah mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi Sekolah Pascasarjana IPB (Prestasi Akademik Gemilang). Aktif di berbagai organisasi di antaranya anggota Forum Wacana Sulsel Sekolah Pascasarjana IPB, anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Indonesian Wood Research Society), anggota Forum Teknologi Hasil Hutan, anggota Lembaga Studi Ular Indonesia SIOUX. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan menulis pada berbagai seminar nasional maupun internasional.

13 xii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL...xiii DAFTAR GAMBAR.....xiv DAFTAR LAMPIRAN.... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesis... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Komponen Kimia Kayu... 4 Selulosa... 4 Hemiselulosa... 6 Lignin... 9 Zat Ekstraktif Pemanfaatan Bioetanol sebagai Energi Baru dan Terbarukan Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Proses Produksi Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Perlakuan Pendahuluan Hidrolisis Fermentasi Destilasi Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan Kapang Aspergillus niger Khamir Saccharomyces cerveiciae Gambaran Jenis Bahan Baku Produksi Bioetanol Kayu Pinus (Pinus merkusii Jung et. de Vr.) Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Analisis Komponen Kimia Bahan Baku Persiapan Bahan Baku Penelitian Tahap I (Proses Perlakuan Pendahuluan) Penelitian Tahap II (Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan) Metode Analisis Selama Kultivasi Analisis Data xi

14 xiii HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kimia Bahan Baku Komponen Non Struktural Komponen Struktural Rendemen Pulp Bilangan Kappa Kadar Total Gula Kadar Gula Pereduksi dan Kadar Etanol Pertumbuhan Mikroba selama Proses SSF Rendemen Etanol KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 xiv DAFTAR TABEL xii Halaman 1 Hasil Kelarutan Zat Ekstraktif Bahan Baku Hasil Analisis Komponen Kimia Primer Bahan Baku Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku Perbedaan Rendemen pada Berbagai Bahan Baku Bilangan Kappa Rata-Rata pada Berbagai Jenis Bahan Baku Sifat Kimia Pulp Terpilih untuk Proses SSF Rendemen Etanol pada Beberapa Jenis Bahan Baku Produktivitas Beberapa Tanaman Penghasil Bioetanol

16 xv DAFTAR GAMBAR Halaman xiii 1 Struktur Dasar Selulosa Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa O-Asetil Galaktoglukomanan dari Kayu Daun Jarum O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum Spruce Diagram Alir Penelitian Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku Rendemen Hasil Delignifikasi Bahan Baku Pengaruh Alkalinitas terhadap Rendemen Bilangan Kappa Bahan Baku Kadar Lignin Bahan Baku pada Berbagai Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 4% Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 8% Total Gula pada SSF dengan Apergillus niger Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan Selulase 4% Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan Selulase 8% Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan A. niger Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF dengan Enzim Selulase 4% Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF dengan Enzim Selulase 8% Pertumbuhan Khamir S.cereviciae pada SSF dengan A. niger dan S.cerevisiae Pertumbuhan Aspergillus niger pada SSF dengan A.niger... 71

17 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman xiv 1 Data Kadar Air Serbuk Bahan Baku Data Kelarutan Air Dingin Bahan Baku Data Kelarutan Air Panas Bahan Baku Data Kelarutan NaOH 1% Bahan Baku Data Kelarutan Etanol Benzena Bahan Baku Data Kadar Lignin Bahan Baku Data Kadar Selulosa Bahan Baku Data Kadar Holoselulosa Bahan Baku Data Kadar Hemiselulosa Bahan Baku Data Pengukuran Rendemen Bahan Baku Data Pengukuran Bilangan Kappa Bahan Baku Data Kadar Lignin Pulp Hasil Delignifikasi Data Kadar Selulosa Pulp Hasil Delignifikasi Data Kadar Holoselulosa Pulp Hasil Delignifikasi Data Kadar Hemiselulosa Pulp Hasil Delignifikasi Kurva Standar Total gula Data Mentah Total gula Kurva Standar Gula Pereduksi Data Mentah Gula Pereduksi Pertumbuhan Khamir Saccharomyces cereviciae Pertumbuhan Aspergillus niger Kurva Standar Kadar Etanol Kadar Etanol pada Berbagai Metode SSF Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan Air Dingin Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan Air Panas Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan NaOH 1% Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Selulosa Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Holoselulosa

18 xvii 29 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Lignin Analisis Ragam Rendemen Pulp Analisis Ragam Bilangan Kappa Pulp Analisis Ragam Kadar Selulosa Pulp xv 33 Contoh Perhitungan Produktivitas Etanol Bahan Baku xvi

19 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan energi dunia akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan bahan energi terutama bahan bakar fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadangan minyak dunia sehingga bahan bakar fosil ini menjadi semakin langka dan harganya pun meningkat secara signifikan. Di sisi lain, perkembangan industri berbahan bakar fosil telah menyebabkan dampak lingkungan dan pemanasan global. Salah satu cara mengurangi krisis energi dan dampak yang diakibatkan oleh penggunaan energi berbahan baku fosil adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati (BBN). Selain dapat diperbaharui, BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas-gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global (Smith et al. 2003, Samejima 2008). BBN merupakan salah satu sumber energi yang mudah diperoleh di Indonesia. Banyak jenis sumber energi alternatif yang dapat diolah menjadi BBN seperti jarak pagar, kelapa sawit (biodiesel), tebu, ubi kayu dan aren (bioetanol). Selama ini, produksi bioetanol diarahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu, ubi kayu dan jagung. Padahal bahan-bahan tersebut pada dasarnya merupakan sumber pangan yang cukup potensial, sehingga pengembangan bioetanol dari bahan pangan tersebut ke depan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat persaingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu pengembangan bioetanol dari bahan yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat yaitu terutama bahan berlignoselulosa sehingga memungkinkan ke depan untuk pemanfaatan limbahlimbah kayu di hutan dan limbah industri untuk bioenergi serta pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia. Beberapa bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol di Indonesia adalah tumbuhan berkayu. Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol telah mulai diteliti dan dikembangkan (Ingram 1997, Boussaid et al. 1999, Spagnuolo

20 2 et al. 1999, Smith et al. 2003, Samejima 2008). Bahan berlignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol adalah bagas (Martinez et al. 2000), jerami (Neureiter et al. 2002) dan kayu (Ingram et al. 1997, Spagnuolo et al. 1999, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1998, Stenberg et al. 1999, Stenberg et al. 2000). Harga bahan baku berlignoselulosa pada dasarnya secara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih menemui kendala seperti rendemen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat (inhibitors) yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol (Stenberg et al. 1998, Stenberg et al. 1999). Oleh karena itu, untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan (pretreatment), hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi. Salah satu metode yang dapat meningkatkan produktivitas bioetanol adalah dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan atau simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Rumusan Masalah Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu memerlukan proses pendahuluan akibat keberadaan lignin, zat ekstraktif, kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat sebagai hasil samping selama proses hidrolisis dan fermentasi. Meskipun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak produktif, namun biaya produksinya masih relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati. Oleh karena itu, tantangan teknologi dalam biokonversi bahan berlignoselulosa tersebut menjadi bioetanol saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol.

21 3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat kimia bahan baku dari beberapa jenis bahan baku dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, menentukan metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis dan fermentasi yang tepat dalam meningkatkan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang diperoleh melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan, menganalisis hubungan antara karakteristik bahan baku dan metode dengan pertumbuhan mikroba, gula pereduksi, total gula, kadar dan rendemen etanol selama kultivasi serta menganalisis produktivitas bioetanol beberapa jenis kayu tropis. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan komponen kimia (kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1%, etanol-benzena, kadar lignin, selulosa, holoselulosa dan hemiselulosa) di antara bahan baku. 2. Bahan baku, alkalinitas dan sulfiditas serta interaksinya berpengaruh terhadap rendemen hasil delignifikasi (pulp) dan bilangan kappa. 3. Metode SSF memberikan pengaruh terhadap kadar dan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis. 4. Pertumbuhan mikroba, kadar gula pereduksi, dan kadar total gula dipengaruhi oleh bahan baku, metode SSF dan lama kultivasi. 5. Produktivitas bioetanol dipengaruhi oleh jenis bahan baku kayu tropis. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi terhadap pemanfaatan kayu dan bahan berlignoselulosa lainnya terutama limbah kehutanan dan pertanian sebagai bahan baku produksi bioetanol dan juga mendorong pengembangan diversifikasi energi dengan pemanfaatan energi alternatif yang baru dan terbarukan yang lebih ekonomis dan lebih ramah lingkungan serta mendorong pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia.

22 4 TINJAUAN PUSTAKA Komponen Kimia Kayu Kayu disusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen (Haygreen & Bowyer 1995). Di samping itu, kayu juga mengandung senyawa anorganik yang disebut abu. Abu tersebut mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Komposisi unsur kimia penyusun kayu sangat bervariasi. Secara umum komposisi unsur kimia kayu untuk karbon sekitar 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, nitrogen %, dan abu (mineral) % (Brown et al. 1952, Haygreen & Bowyer 1993). Jaringan kayu tersusun dari bahan polimer dalam bentuk fraksi polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin (Sjostrom 1995, Brown et al. 1952, Fengel & Wegener 1995, Eaton & Hale 1993, Haygreen & Bowyer 1993). Komponen polimer ini disebut juga komponen primer karena merupakan komponen utama penyusun dinding sel kayu. Selain komponen primer, kayu juga mengandung berbagai macam bahan organik lainnya dan bahan anorganik yang disebut zat ekstraktif yang terdapat di dalam dinding sel maupun rongga sel. Zat ekstraktif disebut juga komponen sekunder karena keberadaannya di dalam kayu bukan merupakan bagian struktural dari dinding sel. Komponen sekunder yang berupa bahan organik ini dapat diekstraks dari dalam kayu tanpa merusak struktur dinding sel kayu (Fengel & Wegener 1995). Selulosa Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit D-anhidro glukopyranosa yang terikat melalui ikatan glikosida β-1-o-4. Gambar 1 menunjukkan struktur dasar selulosa. Jumlah unit-unit glukosa yang menyusun selulosa atau biasa disebut derajat polimerisasi (degree of polymeritation) sekitar dalam setiap kayu (Eaton & Hale 1993). Selulosa dibentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses fotosintesis, air (H 2 O) yang diperoleh dari dalam tanah diangkut oleh xylem bagian luar (kayu gubal) dan karbondioksida (CO 2 ) yang diperoleh dari udara dipadukan menjadi glukosa (C 6 H 12 O 6 ) dan oksigen (O 2 ) dengan bantuan sinar matahari. Selanjutnya glukosa

23 5 tersebut diangkut ke pusat-pusat pengolahan yang terletak pada pucuk cabang dan akar (meristem ujung) dan ke lapisan kambium yang menyelubungi batang utama, cabang dan akar. Kemudian dalam suatu proses kompleks, glukosa mengalami modifikasi kimia dengan dilepaskannya satu molekul air (H 2 O), dan terbentuklah andhidrit glukosa (C 6 H 10 O 5 ). Dua unit anhidrid glukosa kemudian saling bersambungan ujung-ujungnya membentuk selobiosa, selanjutnya selobiosa membentuk polimer berantai panjang yang disebut selulosa yang merupakan polimer tersusun dari unit pengulangan dari selobiosa (Haygreen & Bowyer 1993). Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 1 Struktur Dasar Selulosa Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan penggelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat (Casey 1980). Dalam produksi bioetanol, selulosa dipertahankan supaya sedikit mungkin mengalami kerusakan selama proses pulping. Semakin tinggi kandungan selulosa suatu bahan diharapkan menghasilkan rendemen etanol yang tinggi pula (Saddler 1993).

24 6 Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tak sempurna menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobiosa. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara asam/basa (Saddler 1993). Hemiselulosa Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa, gula heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini relatif berantai pendek dan bercabang. Derajat polimerisasinya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen monosakarida yang menyusun hemiselulosa terdiri atas glukosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa (Eaton & Hale 1993, Barnet & Jeronimidis 2003). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia komponen-komponen gula hemiselulosa. Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama hemiselulosa kayu daun jarum dengan kayu daun lebar adalah jenis dan jumlah gula penyusun hemiselulosanya. Kayu daun jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi sedangkan kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh hemiselulosa pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglukomanan atau biasa disebut galaktoglukomanan (Gambar 3). Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah O-asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan (Gambar 4).

25 7 Sumber: Fengel & Wegener (1995) Gambar 2 Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 3 O-Asetil Galaktoglukomanan dari Kayu Daun Jarum

26 8 Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 4 O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri atas gugus-gugus ikatan asam uronat dan xilosa sangat tahan terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil mudah dihidrolisis oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama lignin (Sjostrom 1995). Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan pelarut asam maupun basa menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa. Beberapa enzim yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain endo- 1,4-β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-d-mannase (mannase). Enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa tersebut dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma spp. dan Aspergillus spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase adalah Bacillus spp. dan Streptomyces spp. (Saddler 1993).

27 9 Lignin Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari unit-unit fenil propana. Meskipun terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen, lignin bukanlah suatu karbohidrat tetapi suatu senyawa fenol. Lignin yang berasal dari kayu daun jarum dan kayu daun lebar mempunyai beberapa sifat kimia yang sama yaitu mempunyai metoksil, hidroksil, dan gugus karbonil serta mempunyai inti fenil dalam rangka fenil propana (Haygreen & Bowyer 1993). Menurut Eaton & Hale (1993), berdasarkan strukturnya dikenal tiga jenis unit dasar penyusun lignin yaitu p-kumaril alkohol, koniferil alkohol (guaiasil) dan sinapil alkohol (siringil) (Gambar 5). Dikatakan p-kumaril alkohol jika karbon nomor 3 dan 5 tidak mengikat metoksil. Tipe lignin p-kumaril alkohol umumnya ditemukan pada rumput-rumputan. Jika metoksil hanya terikat pada atom karbon nomor 3 (C3) cincin aromatik maka dikatakan guaiasil sedangkan jika karbon nomor 3 (C3) dan 5 (C5) mengikat metoksil maka disebut siringil. Berdasarkan strukturnya, lignin terdiri atas tiga tipe yaitu lignin guaiasil, lignin guaiasil-siringil dan lignin rumput-rumputan. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu daun jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10% p-kumaril alkohol. Lignin guaiasil-siringil terdapat pada kayu daun lebar yang tersusun dari guaisil dan siringil dengan rasio tertentu. Lignin rumput-rumputan terdapat pada rumput-rumputan (graminae) yang tersusun dari sekitar 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% p-kumaril alkohol (Gullichsen & Paulapuro 2000). Kayu daun lebar mempunyai metoksil yang lebih banyak dibandingkan kayu daun jarum (Eaton & Hale 1993). Struktur lignin penyusun kayu lebar dan kayu daun jarum ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7.

28 10 p-kumaril alkohol koniferil alkohol sinapil alkohol Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 5 Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 6 Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech

29 11 Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 7 Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum Spruce

30 12 Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel (Haygreen & Bowyer 1995, Siau 1984). Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Di dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan air kayu dan juga memberikan proteksi kayu terhadap organisme perusak kayu. Dalam bidang industri, lignin banyak digunakan sebagai bahan pengikat, dispersan pada industri minyak bumi, bahan penyamak, pengisi bahan dari karet, bahan untuk memperbaiki tekstur tanah, karbon aktif, dan vanilin sintesis (Brown et al. 1952, Bruce & Palfreyman 1998). Dalam proses pulping, lignin berpengaruh terhadap laju delignifikasi baik dari segi kuantitatif dan kualitatif (Syafii et al. 2009). Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak selama proses pulping akan semakin tinggi pula dan dibutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey 1980). Pada kayu daun lebar, perbandingan antara unit siringil dan guaiasil yang dikenal sebagai S/G rasio juga berpengaruh terhadap laju delignifikasi yang terjadi selama proses pulping. Syafii (2001) dan Syafii et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai S/G rasio maka laju delignifikasinya akan meningkat pula. Dalam produksi bioetanol, kehadiran lignin dapat menghambat proses degradasi polisakarida menjadi gula-gula sederhana. Oleh karena itu, lignin terlebih dahulu dihilangkan dengan menggunakan perlakuan pendahuluan (Bruce & Palfreyman 1998). Semakin banyak kandungan lignin suatu jenis kayu maka semakin banyak bahan kimia yang digunakan untuk melarutkan lignin pada proses pulping (Biermann 1993).

31 13 Zat Ekstraktif Secara umum zat ekstraktif adalah bahan yang berinfiltrasi ke dalam dinding sel atau terdapat sebagai endapan pada permukaan rongga sel atau bahan yang mengisi rongga sel yang dapat dikeluarkan/diekstraks tanpa merusak dinding sel, baik dengan pelarut polar maupun pelarut non polar. Dalam arti yang sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik, dan dalam pengertian ini nama ekstraktif digunakan dalam analisis kayu. Senyawasenyawa karbohidrat dan anorganik yang larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraks (Conner 1977). Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi mulai kurang dari 1% hingga lebih dari 10% dan dapat mencapai 20% untuk kayu-kayu tropis. Komponen zat ekstraktif dalam kayu dapat menjadi lebih tinggi pada bagian tertentu, misalnya pada bagian pangkal batang, kayu teras, akar dan bagian luka. Jumlah ekstraktif yang relatif tinggi diperoleh dalam kayu tropis dan subtropis tertentu (Zinkel 1978). Menurut Kimland & Norin (1972), kandungan dan komponen zat ekstraktif berbeda-beda di antara spesies kayu. Variasi ini juga bergantung pada letak geografi dan musim. Zat Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari, jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamella tengah, saluran interseluler dan dinding sel trakeid dan serabut libriform. Zat ekstraktif tidak tersebar merata dalam batang maupun pada dinding serat. Lemak dan esternya terdapat dalam sel parenkim terutama di dalam sel jari-jari. Bagianbagian yang larut dalam air seperti gula terdapat pada kayu gubal dari batang. Resin banyak terdapat pada pembulu kayu teras. Tanin banyak terdapat dalam kulit kayu. Bahan-bahan mineral terdapat dalam dinding sel kayu. Keberadaan zat ekstraktif kayu menyebabkan beberapa permasalahan dalam proses pulping seperti dapat meningkatkan komsumsi bahan kimia pemasak dan mengurangi rendemen pulp (Biermann 1993). Selain itu, zat ekstraktif juga dapat menghambat proses hidrolisis selulosa dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol (Saddler 1993).

32 14 Pemanfaatan Bioetanol sebagai Energi Baru dan Terbarukan Etanol (etil alkohol) adalah zat kimia organik berbentuk cair pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi yang memiliki rumus molekul C 2 H 5 OH dengan berat molekul Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molase), berpati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau bahan berlignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, dan kayu). Dalam industri, etanol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras serta farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, alkohol terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas industri dengan kadar alkohol 90-94%, kelas netral dengan kadar alkohol % (umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), kelas bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99.5% (Hambali et al. 2007). Bioetanol sangat berpotensi sebagai bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar fosil. Pemanfaatan bioetanol ini telah terbukti lebih ramah lingkungan. Hasil pembakaran bioetanol ini menghasilkan limbah yang bersih, bilangan oktan yang lebih tinggi, mengurangi emisi gas karbon monoksida dan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar diharapkan dapat mengurangi emisi karbon dioksida yang berpotensi menyebabkan pemanasan global (Smith et al. 2003, Samejima 2008). Bahan bakar yang dicampur dengan etanol disebut dengan gasohol. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) dan alcohol (bioetanol). Gasohol merupakan campuran bioetanol kering/absolut terdenaturasi dan bensin pada kadar alkohol sampai dengan sekitar 22% volume. Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni (BEX: gasohol berkadar bioetanol X%-volume). Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor bensin, digunakan dalam bentuk nett 100% (B100) atau di-blending dengan premium (EXX). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan premium hanya 87 sampai 88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax (Susmiati 2010).

33 15 Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Bioetanol dari bahan berlignoselulosa dikenal juga dengan etanol generasi kedua, sangat intensif diteliti dalam dua dekade terakhir (Yang & Wayman 2007). Produksi bioetanol dari limbah pertanian dan kehutanan telah dicoba dengan menggunakan enzim dari berbagai sumber untuk hidrolisis lignoselulosa dan mikroorganisme yang berbeda untuk fermentasi (Ohgren et al. 2006). Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit yaitu memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstrakti dan lignin serta proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Meskipun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan tidak produktif, namun biaya produksinya yang relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati menyebabkan produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa belum dikembangkan secara luas (Bruce & Palfreyman 1998, Miyafuji et al. 2003). Tantangan utama pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol adalah penemuan metode yang efisien dalam biokonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula. Hasil penelitian (Nakasaki & Adachi 2003) telah menunjukkan bahwa proses konversi secara enzimatis lebih efektif dibandingkan konversi secara kimia. Metode biokonversi yang telah terbukti paling efisien adalah metode yang menggunakan enzim selulase (Nakasaki & Adachi 2003, Yang & Wyman 2005, Dadi et al. 2006). Tantangan lain teknologi dalam biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses hidrolisis dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol, meskipun rendemen glukosa dari hasil hidrolisis saat telah berhasil ditingkatkan sampai mencapai 70% (Kristensen et al. 2006) dan rendemen total etanol dari bahan berlignoselulosa telah mencapai 21% (Mtui & Nakamura 2005).

34 16 Rendahnya rendemen bioetanol dari bahan berlignoselulosa ini disebabkan oleh adanya zat penghambat sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti asam asetat, furan aldehid, vanilin, dan fenol yang dapat menghambat kerja mikroba fermentasi (Martinez et al. 2000, Sun & Cheng 2002, Dadi et al. 2006). Selain itu, adanya interaksi antara enzim dan substrat sangat mempengaruhi proses kerja enzim dalam proses hidrolisis dan fermentasi ini sehingga penemuan metode perlakuan pendahuluan dan teknologi enzim menjadi sangat penting pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol yang lebih efisien dan ekonomis (Mosier et al. 2005). Beberapa metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode ini dikenal dengan nama simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Metode SSF telah berhasil diterapkan pada proses produksi bioetanol dari kayu (Stenberg et al. 1999, Pan et al. 2006, Balat et al. 2008, Modig et al. 2008, Kristensen et al. 2008, Sukumaran et al. 2009). Metode SSF ini lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan metode separate hydrolysis and fermentation (SHF) (Stenberg et al. 1999). Penggunaan SSF juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan metode SHF (Chandel et al. 2007). Pada kondisi substrat dan enzim selulase yang sama metode SHF menghasilkan derajat konversi glukosa menjadi etanol sekitar 40% sedangkan SSF dapat mencapai 60%. Produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa dengan metode SSF sangat bergantung pada metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis serta kondisi media fermentasi yang digunakan. Beberapa penelitian yang telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dengan optimalisasi proses perlakuan pendahuluan antara lain dengan pemanasan. Hasil penelitian Ballesteros et al. (1998) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dengan pemanasan dapat meningkatkan rendemen glukosa dari 20% sampai mencapai sekitar 70%. Selain itu, perlakuan pendahuluan lain yang juga efektif adalah pemberian pemanasan dan bahan kimia seperti SO 2 (Stenberg et al. 1999), H 2 SO 4, HNO 3, HCl (Li et al. 2007), NaOH (Wang et al. 2008), pemanasan dengan Ca(OH) 2 (Martinez et al.

35 , Nilvebrant et al. 2007) dan H 2 O 2 (Thomsen et al. 2006) serta dengan penambahan aditif pada saat hidrolisisi seperti bovine serum albumin (BSA) (Yang & Wyman 2005), 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride (Dadi et al. 2006). Beberapa peneliti juga mencoba mengoptimalkan proses hidrolisisnya yaitu dengan merekayasa kondisi substrat dan konsentrasi selulase (Stenberg et al. 1999, Dadi et al. 2005), pengaturan suhu dan ph media (Olofsson et al. 2008) dan penambahan β-glukosidase (Yang et al. 2006), pemberian enzim xilanase dan feruloil esterase (Tabka et al. 2006) serta penggunaan mikroba yang telah terbukti lebih efektif dalam proses fermentasi glukosa dari bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol. Beberapa mikroba yang telah banyak dikembangkan dalam proses fermentasi bioetanol menjadi antara lain S. cereviciae (Stenberg et al. 1999, Domingues et al. 1999, Boussaid et al. 1998, Jeppsson et al. 2005, Edgardo et al. 2008, Modig et al. 2008), Zimomonas mobilis (Ingram et al. 1997), Escherichia coli (Zaldivar & Ingram 1999, Martinez et al. 2000), Corynebacterium glutamicum (Sakai et al. 2007), serta penggunaan strain mikroba hasil rekayasa bioteknologi seperti Kluyveromyces marxianus CECT (Ballesteros et al. 2003), Escherichia coli KO11 (Okuda et al. 2007) serta merekayasa tanaman penghasil bioetanol (Ayako et al. 2008). Proses Produksi Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Perlakuan Pendahuluan Perlakuan pendahuluan sangat diperlukan dalam proses pembuatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa. Perlakuan pendahuluan ini berfungsi untuk menghilangkan lignin, mereduksi sifat kristalinitas selulosa, meningkatkan permukaan kontak enzim, memudahkan hidrolisis selulosa pada proses selanjutnya serta menghilangkan zat ekstraktif yang dapat menghambat kerja enzim dan mikroba (Ingram et al. 1997, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1999). Hasil penelitian Hamelinck et al. (2005) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh menjadi sekitar 90% dari hasil teoritis, sedangkan tanpa perlakuan pendahuluan hasil gula yang diperoleh hanya kurang dari 20%.

36 18 Perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan metode fisis misalnya dengan pemanasan (Stenberg et al. 1999), metode kimia misalnya dengan SO 2 pada konsentrasi rendah (Stenberg et al. 1999), pemberian Ca(OH) 2 (Martinez et al. 2000), atau penambahan 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride (Dadi et al. 2006) dan metode biologi atau kombinasi dari ketiga metode ini. Beberapa metode perlakuan pendahuluan yang sering digunakan secara komersial pada proses pembuatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa antara lain: organosolv, steam explotion, dilute acid prehydrolisis dan ammonia fibre explotion (AFEX) (Ingram et al. 1997, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1999, Pan et al. 2006). Salah satu metode perlakuan pendahuluan secara kimia adalah fraksinasi. Fraksinasi substrat biasanya menggunakan larutan asam seperti asam sulfat maupun larutan basa seperti natrium hidroksida (Stenberg et al. 1999). Proses utama dalam fraksinasi adalah proses delignifikasi atau lebih dikenal dengan proses pulping. Ada beberapa metode pulping secara kimia yang sering dilakukan yaitu proses kraft (proses sulfat), proses soda dan proses sulfit. Dalam teknologi pulping, proses kraft merupakan metode yang umum digunakan. Proses kraft ini akan menghasilkan pulp yang lebih kuat (kraft dalam bahasa jerman). Proses kraft ini mampu menggunakan lebih banyak jenis kayu (Suratmadji 1994). Menurut Casey (1980), penggunaan proses kraft mampu mengolah semua jenis bahan baku, bersifat toleran terhadap kayu yang masih mengandung kulit, waktu pemasakan yang lebih pendek, adanya daur ulang sisa pemasakan sehingga biaya lebih murah, menghasilkan kualitas pulp yang sangat prima, serta rendemennya yang tinggi. Larutan utama dalam proses kraft adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na 2 S). Natrium hidroksida merupakan bahan kimia pemasak utama yang berfungsi untuk mempercepat kelarutan lignin, sedangkan natrium sulfida merupakan komponen aktif tambahan yang berfungsi untuk menggantikan bahan alkali yang hilang selama proses pemasakan sehingga konsentrasi larutan pemasak alkali tetap stabil (Fengel and Wegener 1995).

37 19 Dalam teknologi pulping kraft, adanya penambahan Na 2 S dapat menyebabkan pembentukan NaSH yang dapat bereaksi dengan lignin, sehingga kelarutan lignin lebih besar. Penambahan Na 2 S juga memberikan keuntungan karena bahan kimia ini tidak bersifat aktif terhadap selulosa dan hemiselulosa. Hal ini menyebabkan delignifikasi menjadi lebih singkat, dan suhu maksimum dapat diturunkan serta memungkinkan untuk memasak semua jenis kayu. Penambahan Na 2 S pada proses kraft menyebabkan perubahan sebagian gugus-gugus ujung aldehida menjadi gugus karboksil yang lebih stabil sehingga mengurangi pelepasan primer polisakarida-polisakarida oleh alkali. Penambahan Na 2 S pada proses pulping kayu mampu meningkatkan stabilitas sebagian gugusgugus ujung poliosa tertutama glukomanan, namun tidak berpengaruh terhadap komponen poliosa lainnya, terutama xilan (Sjostrom 1995). Besarnya persentase bahan kimia pemasak dalam proses kraft sangat berpengaruh terhadap proses delignifikasi. Persentase bahan kimia pemasak biasanya dinyatakan sebagai alkalinitas (alkali aktif) dan sulfiditas. Alkalinitas adalah jumlah NaOH dan Na 2 S yang digunakan dalam larutan pemasak yang dinyatakan sebagai Na 2 O sedangkan sulfiditas adalah persentase jumlah Na 2 S terhadap alkali aktif. Jumlah alkali yang digunakan bergantung pada jenis bahan baku, kondisi pemasakan dan besarnya delignifikasi yang diinginkan. Pemasakan dengan menggunakan alkali tidak hanya menghilangkan lignin, tetapi juga bereaksi dengan karbohidrat. Jika alkali yang digunakan berlebihan dapat menyebabkan degradasi selulosa yang besar sehingga rendemen dan sifat pulp yang dihasilkan mengalami penurunan. Konsentrasi alkali (alkalinitas) yang umum digunakan pada proses kraft berkisar antara 14 sampai dengan 18%. Kisaran sulfiditas yang digunakan dalam proses kraft umumnya berkisar antara 20 sampai dengan 30% dengan nilai yang umum digunakana adalah 25% (Casey 1980).

38 20 Hidrolisis Proses hidrolisis selulosa menjadi unit-unit glukosa agak rumit dibandingkan dengan bahan berpati karena ikatan selulosa merupakan ikatan beta (β) sedangkan pati berikatan alfa (α). Walaupun demikian proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan melalui proses hidrolisis dengan asam atau pun enzim (Spagnuolo et al. 1999, Domingues et al. 1999, Stenberg et al. 1999). Enzim yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi unit-unit glukosa adalah enzim selulase. Enzim selulase ini dapat disintesis dari berbagai organisme seperti Kluyveromyces marxianus (Domingues et al. 1999), Trichoderma reesei, T. longibranchiatum (Ingram et al. 1997), T. viride, Aspergillus niger (Nakasaki & Adachi 2002), Paenibacillus sp. dan Thermobifida fusca (Sanchez et al. 2004). Fermentasi Fermentasi adalah proses produksi bioetanol dari gula sederhana dengan menggunakan mikroba (Ingram et al. 1997). Beberapa mikroba yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah Saccharomyces cereviciae, Schizosaccharomyces sp., Candida sp., and Kluyveromyces sp. Dalam bidang industri, S. cereviciae merupakan khamir yang banyak dikembangkan karena sangat tahan dan toleran terhadap etanol yang tinggi (Domingues et al. 1999, Jeppsson et al. 2005). Saat ini, salah satu kendala pada proses pembuatan bioetanol dengan menggunakan bahan berlignoselulosa adalah tingginya biaya produksi. Oleh karena itu, salah satu metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (Stenberg et al. 1999, Nakasaki & Adachi 2002). Beberapa jamur lain yang memiliki kemampuan yang tinggi yang dapat digunakan dalam SSF tidak terdapat di alam namun diperoleh dengan teknik isolasi gen seperti S. cereviciae LAC4, S. cereviciae LAC12 (Domingues et al. 1998), Escherina coli LY01 (Zaldivar et al. 1999), Escherina coli adhe, Zimomonas mobilis pdc (Ingram et al. 1997).

39 21 Destilasi Destilasi adalah proses pemurnian yang dilakukan untuk memisahkan etanol dari air dan karbon dioksida. Melalui destilasi, pemanasan alkohol pada suhu rentang o C akan mengakibatkan etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol hingga mencapai 95%. Lain halnya bila etanol yang dihasilkan mencapai 99,5-100%, maka yang digunakan adalah destilasi absorbent. Destilasi absorbent memiliki pipa yang dindingnya berlapis zeolit (Soerawidjaja 2006). Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan Secara sederhana proses konversi biomassa lignoselulosa menjadi bioetanol melalui beberapa tahapan utama yang meliputi perlakuan pendahuluan, hidrolisis, fermentasi, dan purifikasi. Proses tersebut dapat dibagi berdasarkan tahapan hidrolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer (dilute-acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), dan hidrolisis enzimatik (enzymatic hydrolysis). Terdapat beberapa variasi teknik hidrolisis enzimatik yang digabungkan dengan tahapan fermentasi, seperti separate atau sequential hydrolysis and fermentation (SHF), simultaneous saccharification and fermentation (SSF), simultaneous saccharification and co-fermentation (SSCF), dan consolidated bioprocessing (CBP) (Hamelinck et al. 2005). Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan, sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Proses ini pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al. (1977) yang mengkombinasikan hidrolisis menggunakan enzim selulase dan khamir S. cereviseae untuk memfermentasi gula menjadi etanol secara simultan. Tahap proses SSF ini berlangsung dalam satu reaktor. Khamir yang ditambahkan secara langsung memfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh komplek enzim selulolitik, sehingga polisakarida yang terhidrolisis menjadi monosakarida tidak berubah kembali menjadi polisakarida. Hal ini menyebabkan laju sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan lebih tinggi dibanding proses yang terpisah. Kelebihan lain proses ini adalah

40 22 penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses dapat meningkatkan efisiensi biaya dan meminimalkan terjadinya kontaminasi proses dan etanol yang dihasilkan (Ballesteros et al. 2004). Kelemahan proses ini adalah terdapatnya perbedaan kondisi optimum pada proses hidrolisis dan fermentasi. Enzim selulase dalam hidrolisis bekerja optimum pada suhu o C, sedangkan S.cereviseae dalam fermentasi optimal antara suhu o C. Bahan berlignoselulosa merupakan salah satu bahan yang telah banyak dikembangkan sebagai penghasil bioetanol dengan menggunakan metode SSF untuk mengurangi biaya produksinya (Spagnuolo 1999). Beberapa bahan berlignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol melalui metode SSF adalah bagas (Martinez et al. 2000), jerami (Neureiter et al. 2002) dan kayu (Bousaid et al. 1999, Stenberg et al. 2000). Kapang Aspergillus niger Kapang Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaciae dan ordo Eurotiales. Kapang ini memiliki miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu o C, namun genus Aspergillus dapat tumbuh pada kisaran o C. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 30 o C dengan ph optimum 7,0 atau agak asam dan bersifat tidak tahan panas. Kapang A. niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkomsumsi molekul-molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel. Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung lebih baik pada suhu kamar o C daripada suhu optimum pertumbuhannya (37.8 o C). Sintesis enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30 o C karena energi respirasi lebih banyak digunakan untuk pembentukan spora daripada untuk membentuk miselium. Kapang A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, β-glukosidase, asam glukonat, glukosa

41 23 oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukanohidrolase, β-xilosidase, xilanase dan lipase. Glukoamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkisar kd dan ph optimum berkisar antara 4,0-5,0. Suhu optimum aktivisai berkisar antara o C (Selvakumat et al. 1996). Khamir Saccharomyces cerveiciae Khamir S. cerveiciae termasuk dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora. S. cerveiciae memperbanyak diri dengan aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar & Chan 1986). Dinding sel S.cerveiciae terdiri atas komponen-komponen glukan, manan, protein, kitin dan lemak (Waluyo 2004). Khamir S.cerveiciae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 o C. Khamir ini mempunyai aktivitas optimum pada suhu o C dan tidak aktif pada suhu lebih dari 40 o C. Khamir S. cerveiciae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee & Mardon 1970). Biakan S. cerveiciae mempunyai kecepatan fermentasi optimum pada ph 4.48 (Harrison & Graham 1970). Menurut Hagerdal et al. (2001), keunggulan lain dari khamir S.cereviseae adalah toleran terhadap senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa. Meskipun demikian, khamir ini memiliki kelemahan yaitu S. cerevieae dari galur liar tidak dapat memfermentasi gula C5 (pentosa) seperti: xilosa, arabinosa, celloligosaccharides, menjadi salah satu kendala pemanfaatannya. Beberapa upaya rekayasa genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang dapat memfermentasi xilosa dan glukosa (Govindaswamy & Vane 2007).

42 24 Khamir S.cerevisiae biasanya dikenal dengan baker s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolit utama adalah etanol, CO 2 dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Khamir S. cerevisiae memerlukan suhu 30 o C dan ph agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan terus meningkat sehubungan proses fermentasi terhambat (Oura 1983). Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan mmhg, jika lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan cenderung ke arah pertumbuhan sel (Kosaric et al. 1983). Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, kalium, dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen minor, begitu juga dengan mineral seperti Mn, Co, Cu dan Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat, dan vitamin. Substrat yang digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar biasanya telah mengandung nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. Dalam beberapa hal, diperlukan tambahan nutrien dalam bentuk komponen tunggal seperti garam amonium dan kalium fosfat atau dari sumber murah seperti corn steep liquor (Kosaric et al. 1983). Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO 2 reaksi berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO 2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0.51 g etanol. Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis. Hal ini disebabkan oleh sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi, yaitu terbentuknya gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5% substrat (Oura 1983). Etanol yang dihasilkan dapat menghalangi fermentasi lebih lanjut saat konsentrasinya mencapai 13-15% volume, tetapi hal ini dipengaruhi suhu dan jenis khamir (Prescott & Dunn 1981).

43 25 Gambaran Jenis Bahan Baku Produksi Bioetanol Kayu Pinus (Pinus merkusii Jung et. de Vr.) Berdasarkan sistematika modern, kayu pinus tergolong kingdom Plantae, divisio Spermatophyta, subdivisio Gymnospermae, kelas Coniferae, ordo Pinales, famili Pinaceae, genus Pinus dan spesies Pinus merkusii (Tjitrosoepomo 2004). Pinus menyebar di daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa sebagai hutan tanaman. Pinus dapat tumbuh pada tanah yang jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek (Martawijaya et al. 1989). Tinggi pohon pinus berkisar antara meter dengan panjang batang bebas cabang 2-25 meter. Diameter pohon bisa mencapai 100 cm, tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas serta beralur lebar dan dalam (Martawijaya et al. 1989). Kayu pinus mengandung 54.9% selulosa, 24.3% lignin, 14.0% pentosan, 1.1% abu, dan 0.2% silika. Kelarutan zat ekstraktif kayu pinus sekitar 6.3% dalam alkohol-benzena, 0.4% dalam air dingin, 3.2% dalam air panas, 11.1% dalam NaOH 1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu pinus sekitar kj/kg (Soerianegara & Lemmens 1994). Pinus banyak digunakan sebagai bahan konstruksi, furniture, vinir, kayu lapis, papan partikel, pulp dan kertas. Pinus juga dapat disadap menghasilkan oleoresin yang dapat diolah lebih lanjut menjadi terpentin dan gondorukem. Pinus biasanya dipanen pada umur 30 tahun untuk menghasilkan hasil yang optimum. Namun untuk keperluan industri pulp dan kertas biasanya pemanenan dilakukan pada umur 15 tahun. Volume tegakan yang diproduksi dari hutan tanaman kalimantan timur sekitar m 3 /ha. Kerapatan kayu pinus pada kadar air 15% adalah kg/m 3 (Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenis kayu pinus berkisar antara dengan berat jenis rata-rata sekitar 0.55 (Martawijaya et al. 1989).

44 26 Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen dulu dikenal dengan nama Albizia Falcataria (L.) Fosberg dan Albizzia falcata (L.) Backer. Tanaman ini dalam sistem klasifikasi modern, tergolong ke dalam famili Mimusoceae. Kayu sengon menyebar seluruh Jawa (hutan tanaman), Maluku, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya. Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah kering maupun becek atau agak asin, dan menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1989). Curah hujan maksimum untuk pertumbuhan tanaman ini adalah mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (Soerianegara & Lemmens 1994). Kayu sengon mengandung 49.4% selulosa, 26.8% lignin, 15.6% pentosan, 0.6% abu, dan 0.2% abu. Kelarutan zat ekstraktif kayu pinus sekitar 3.4% dalam alkohol-benzena, 3.4% dalam air dingin, 4.3% dalam air panas, 19.6% dalam NaOH 1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu sengon sekitar kj/kg (Soerianegara & Lemmens 1994). Tanaman sengon banyak digunakan sebagai hutan tanaman industri untuk barang kerajinan, furniture, vinir, kayu lapis, flooring, papan serat, papan partikel, papan semen komposit. Kerapatan kayu sengon berkisar kg/m 3 pada kadar air 12% (Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenisnya berkisar antara dengan berat jenis rata-rata 0.33 (Martawijaya et al. 1989)..

45 27 Kayu sengon termasuk kayu cepat tumbuh. Pada tempat tumbuh yang ideal kayu sengon dapat tumbuh sampai 7 m pada umur kurang dari 1 tahun. Pada umur 6 tahun tingginya dapat mencapai tinggi sekitar 25.5 m dan diameter 17 cm, tinggi 32.5 m dengan diameter 40.5 cm pada umur 9 tahun, tinggi 38 m dengan diameter 54 cm setelah 12 tahun. Pada umur 15 tahun dapat mencapai 39 m dan diameter 63.5 cm. Untuk mengasilkan produksi yang optimum tanaman ini dipanen pada umur tahun. Namun untuk keperluan pulp biasanya dipanen pada umur 8 tahun. Riap tegakan sengon sekitar m 3 /ha per tahun. Pada tanah yang subur riapnya dapat mencapai m 3 /ha per tahun pada umur 9-12 tahun (Soerianegara & Lemmens 1994). Produktivitas sengon pada masa panen sekitar 200 m 3 /ha (Trubus 2008). Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Menurut Abdulrrohim et al. (2004) kayu gmelina merupakan kayu yang tergolong dalam famili Verbenaceae. Pohonnya berukuran sedang hingga besar, tinggi total dapat mencapai 40 m dengan tinggi bebas cabang dapat mencapai 20 m, batang silindris dengan diameter dapat mencapai 100 cm. Tanaman ini tumbuh pada habitat yang bervariasi dari hutan hujan sampai hutan gugur, dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan suhu tahunan berkisar o C, dengan suhu maksimum rata-rata bulan terpanas o C dan rata-rata suhu minimum bulan terdingin o C. Curah hujan tahunan bervariasi antara mm. Pertumbuhan optimum terutama pada daerah dengan rata-rata curah hujan tahunan mm dan memiliki periode kering 3-5 bulan dan kelembaban relatif minimal 40%. Tanaman ini mempunyai pertumbuhan yang baik pada tanah yang lembab dan memiliki suplai unsur hara yang memadai. Kayu gmelina mengandung 47.33% selulosa, 29.72% lignin, 17.42% pentosan, 0.95% abu, dan 0.33% silika. Kelarutan zat ekstraktif kayu gmelina sekitar 2.99% dalam alkohol-benzena, 6.54% dalam air dingin, 7.45% dalam air panas, dan 18.16% dalam NaOH 1% (Abdulrrohim et al. 2004). Kayu gmelina memiliki nilai kalor sekitar kj/kg. Kayu ini kurang baik dijadikan kayu bakar karena terbakar dengan cepat dan jika dijadikan arang menghasilkan banyak abu (Soerianegara & Lemmens 1994).

46 28 Kayu gmelina banyak digunakan sebagai bahan konstruksi ringan, barang kerajinan, furniture, vinir, lantai (flooring), alat musik, korek api, pulp dengan kualitas baik. Kerapatan kayu gmelina adalah sekitar kg/m 3 pada kadar air 15% (Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenisnya antara dengan berat jenis rata-rata 0.42 (Abdurrohim 2004). Riap kayu gmelina sekitar m 3 /ha per tahun namun dapat mencapai 38 m 3 /ha per tahun. Pada tanah yang kurang subur produksi hutan tanaman gmelina ini sekitar 84 m 3 /ha setelah umur 12 tahun, namun pada kondisi tanah yang subur produksinya dapat mencapai 304 m 3 /ha pada umur 10 tahun (Soerianegara & Lemmens 1994). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menurut Tjitrosoepomo (2004), tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Monocotylidonae, ordo Aracales, famili Araceae (Palmae), genus Elaeis dan species Elaeis guineensis Jacq. Batang kelapa sawit berbentuk silindris dan sampai umur 12 tahun masih tertutup oleh sisa pelepah, sehingga memberi kesan berdiameter lebih besar. Umumnya kelapa sawit tidak bercabang, tetapi bila tunas bagian atas rusak dapat menyebabkan terbentuknya cabang yang bentuknya meruncing dari pangkal ke ujung batang. Produktivitas batang kelapa sawit sekitar 145 batang/ha. Umur tua kelapa sawit adalah 25 tahun dengan produktivitas sekitar 606 m 3 /ha. Menurut Prayitno (1995), berat jenis empulur kayu berkisar antara 0.27 sampai dengan Estimasi potensi limbah perkebunan dari tahun dilaporkan bahwa di Indonesia limbah kelapa sawit mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan batang karet, kelapa dan tebu. Potensi yang besar ini karena Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit sekitar 4 juta ha dengan total produksi 8 juta ton CPO dan Kernel (Suwono 2003). Berdasarkan data BPS tahun 2004 dari 4 juta ha perkebunan tersebut, sekitar 1.23 juta ha berada di Propinsi Riau. Luasnya lahan kebun kelapa sawit akan menghasilkan limbah padat sawit yang sangat banyak. Limbah padat sawit yang dihasilkan dapat berupa cangkang, batang, tandan kosong, pelepah dan lain-lain yang merupakan sisa dari industri sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal (Padil 2005). Selama ini, limbah

47 29 padat sawit dibakar di lahan dan menghasilkan abu yang digunakan sebagai pupuk tanaman (Suwono 2003). Selain itu limbah padat seperti cangkang digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk pembangkit uap serta bahan baku karbon aktif. Pemanfaatan limbah dengan metode seperti ini hanya dapat menanggulangi limbah dalam skala kecil sedangkan limbah padat diproduksi dalam skala yang cukup besar (Miura et al. 2003). Oleh karena itu, diperlukan suatu terobosan yang dapat mengolah limbah padat sawit karena limbah padat sawit mempunyai potensi sebagai sumber energi (Saputra et al. 2007).

48 30 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Rekayasa Bioproses, Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Laboratorium BIORIN Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB, Laboratorium Afiliasi, Departemen Kimia FMIPA, Universitas Indonesia dan Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, hammer mill, saringan 40 dan 60 mesh, penangas air, stirrer, gelas piala 400 ml, Erlenmeyer 250 ml, filter, pengaduk kaca, glass filter, timbangan, oven, gelas piala 200 ml, thermometer, thimble ekstraksi, sohklet, kondensor, corong buchner, glass filter, filtering flask, Erlenmeyer 1000 ml, gelas piala 100 ml, gelas piala 50 ml, pipet volume, Erlenmeyer 300 ml, tank stainless steel, digester, mixer, lampu spirtus, ruang laminar, inkubator, bulb, sprayer, autoklaf, sentrifuse, ph meter, toples, gelas kimia, labu ukur, pengaduk, labu semprot, pipet skala, pipet mikron, labu isap, corong, alat fermentasi, ose, tabung reaksi, sprayer, buret, hot plate, timbangan digital, botol Schott, alat fermentasi, X ray difraction merk Shimadzu, Spektrofotometer, dan GC (Gas Chromatography). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk dari beberapa kayu tropis yaitu dua jenis kayu daun lebar yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.) dan gmelina (Gmelina arborea Roxb.), satu jenis kayu daun jarum yaitu pinus (Pinus merkusii Jung. et de Vr.) serta satu jenis tumbuhan monokotil yaitu kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), bahan-bahan kimia seperti NaOH, Na 2 S, asam asetat (CH 3 COOH) 10%, etanol (C 2 C 5 OH), benzena (C 6 H 6 ), asam sulfat (H 2 SO 4 ), natrium klorit (NaClO 2, asam asetat glasial, asam nintrat (HNO 3 ) 3.5%, Na 2 SO 3. Isolat yang digunakan adalah kapang Aspergillus niger dan khamir Saccharomyces cereviceae serta enzim selulase komersial produksi

49 31 Sigma Aldrich, Japan (0,83 U/mg). Bahan lain adalah foil aluminium, air suling (aquadest), glukosa, kertas saring, tissue, kapas, dan kertas label, kertas saring, kertas label, tabung epperdorf, botol sampel 30 ml, potatoe dextrose agar (PDA), alkohol 96%, ekstraks khamir, malt, pepton, glukosa, 3,5-dinitrosalisilat, aliumnatriumtartrat-tetrahydrat (C 4 H 4 KNaO 6.4H 2 O), phenol, Na-Metabisulfit, HCl, indikator fenolptalein, buffer sitrat ph 5, nutrisi media yang terdiri atas (NH 4 ) 2 HPO 4 dan MgSO 4.7H 2 O. Metode Penelitian Prosedur pembuatan bioetanol dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan yaitu analisis komponen kimia, persiapan bahan baku, peremajaan mikroba, perlakuan pendahuluan dengan kraft, sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. Analisis Komponen Kimia Bahan Baku Pengambilan sampel dan persiapan kayu untuk analisis dilakukan berdasarkan TAPPI T 257 om-85 tentang Sampling and Preparing Wood for Analysis. Kayu dibuat seukuran korek api, kemudian sampel tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 hari, selanjutnya dikering udarakan selama 5 hari, sampai mencapai kadar air sekitar 12%. Sampel kemudian digiling dengan menggunakan hammer mill dan disaring menggunakan 40 dan 60 mesh. Sampel uji dari beberapa jenis kayu kemudian ditentukan komponen kimianya yang meliputi kadar selulosa, lignin, hemiselulosa dan kelarutan zat ekstraktifnya dalam alkohol-benzena, air dingin, air panas dan NaOH 1%. Selain itu juga dilakukan penentuan derajat kristalinitas selulosa bahan baku dengan menggunakan difraksi sinar X merk Shimadzu. Sebelum dilakukan pengujian sifat kimia bahan baku, terlebih dahulu dilakukan penentuan kadar air. Pengukuran kadar air merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88. Metode analisis komponen kimia bahan baku dilakukan dengan TAPPI T 207 om-93.

50 32 Pengukuran Kadar Air Sekitar 2 g sampel ditimbang g (A) dalam botol timbang. Selanjutnya sampel dikeringkan selama 2 jam dalam oven pada suhu 105 ± 3 o C, dinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Sampel kemudian dioven kembali selama 1 jam, dinginkan dan selanjutnya ditimbang. Proses tersebut diulang hingga dicapai berat konstan (B). Menghitung kadar air yang dinyatakan dalam persen. Kadar Air, % = ((A-B)/B) x 100% Kelarutan dalam Air Dingin Sebanyak 2 ± 0.1 g sampel kayu ditempatkan ke dalam gelas piala 400 ml dan dengan perlahan ditambahkan dengan 300 ml air suling. Kemudian diekstraksi pada suhu 23 ± 2 o C selama 48 jam sambil diaduk. Sampel selanjutnya dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3 o C. Sampel dicuci dengan 200 ml air suling dingin dan kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3 o C, setelah itu didinginkan dan ditimbang. Kelarutan dalam Air Panas Sebanyak 2 ± 0.1 g sampel ditempatkan dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air suling panas dan selanjutnya ditempatkan dalam penangas air. Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air dalam penangas air di atas permukaan air dalam Erlemeyer. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan. Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air suling dingin dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3 o C. Kelarutan dalam air dingin dan air panas, % = ((A-B)/A) x 100% A = bobot kering sampel awal, g B = bobot kering sampel setelah ekstraks, g

51 33 Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Natrium Hidroksida (NaOH) 1% Penentuan komponen zat ekstraktif dalam natrium hidroksida 1% didasarkan pada metode TAPPI T 212 om-93. Sebanyak 2.0 ± 0.1 g sampel ditempatkan dalam gelas piala 200 ml. Selanjutkan ditambahkan dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1% dan diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam penangas air pada suhu o C selama 60 menit. Diusahakan agar permukaan air dalam penangas air berada di atas permukaan larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk kaca selama masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Setelah 60 menit sampel dipindahkan ke dalam glass filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 ml air panas. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml asam asetat 10% dan sampel dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam asetat dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 ml larutan asam asetat 10% yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Glass filter dikeringkan dengan sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang. Kelarutan dalam Natrium Hidroksida 1%, % = ((A-B)/A) x 100% A = bobot kering kering sampel sebelum ekstraks, g B = bobot kering sampel setelah ekstraksi, g Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Alkohol-Benzena Penentuan komponen zat ekstraktif dalam alkohol benzena didasarkan pada metode TAPPI T 264 om-88. Labu ekstraks dibersihkan dan dikeringkan. Bahan yang akan diekstraks ditempatkan dalam thimbel dan selanjutkan ditempatkan dalam alat sokhlet. Thimbel ditutup dengan kasa halus untuk menghindari hilangnya sampel. Sampel selanjutnya diekstrak dengan 200 ml larutan campuran ethanol-benzena selama 6-8 jam, dan diusahakan agar tingkat pendidihan larutan minimal 4 kali pembilasan per jam ekstraks. Setelah diekstraks dengan etanol benzena, sampel dipindahkan ke dalam corong buchner, pelarut dihilangkan dengan vakum, dan selanjutnya thimbel dan kayu dicuci dengan etanol untuk menghilangkan benzena. Sampel selanjutnya dipindahkan kembali ke dalam

52 34 thimbel ekstraks, kemudian diekstraks dengan etanol 95% selama 4 jam atau lebih hingga ethanol tidak berwarna. Sampel uji selanjutnya dioven dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan. Kelarutan dalam alkohol-benzena, % = ((A-B)/A) x 100% dengan, A = bobot kering sampel awal, g B = bobot kering sampel setelah ekstraksi, g Kadar Lignin (Lignin Klason) Penentuan kadar lignin Klason dilakukan merujuk pada prosedur dalam Dence (1992). Serbuk kayu bebas ekstraktif ekuivalen 500 mg disiapkan dan ditempatkan dalam gelas piala 50 ml. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan asam sulfat 72% secara perlahan sambil diaduk hingga serbuk terdispersi sempurna. Sampel uji selanjutnya disimpan pada suhu kamar selama 3 jam sambil diaduk sesekali. Sampel selanjutnya disimpan ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3% yaitu dengan penambahan air hingga total volume 191 ml (total volume 381 ml untuk penggunaan asam sulfat 72% sebanyak 10 ml). Sampel uji kemudian dipanaskan dalam autoklaf selama 30 menit pada suhu 121 o C. Selanjunya dilakukan penyaringan dengan menggunakan glass filter, lalu dioven dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan. Kadar lignin, % = (A/B) x 100% dengan, A = bobot lignin, g B = bobot kering kayu, g

53 35 Kadar Holoselulosa (Hemiselulosa dan Selulosa) Sampel kayu bebas ekstraktif ekuivalen 2.5 g bobot kering ditempatkan dalam Erlenmeyer 250 ml. Sampel uji kemudian ditambahkan dengan 100 ml air suling, 1 g natrium klorit dan 1 ml asam asetat glasial. Kemudian dipanaskan dengan penangas air pada suhu 80 o C. Diusahan agar permukaan air dalam penangas air lebih tinggi dari permukaan larutan dalam Erlenmeyer. Sebanyak 1 g natrium klorit dan 0,2 ml asam asetat ditambahkan ke dalam contoh uji setiap interval pemanasan selama 1 jam, penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan glass filter, selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 asam asetat 10% ditambahkan ke dalam sampel uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan. Holoselulosa, % = (A/B) x 100% dengan: A = bobot holoselulosa, g B = bobot kering kayu, g Kadar Selulosa Sebanyak kurang lebih 2.5 g serbuk bahan baku bebas ekstraktif ditempatkan dalam Erlenmeyer 300 ml. Selanjutnya ditambahkan 125 ml larutan asam sitrat 3.5% ke dalam sampel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam penangas air selama 12 jam pada suhu 80 o C. Setelah pemanasan, sampel uji disaring dengan air suling hingga tidak berwarna dan selanjutnya dikeringudarakan. Sampel uji dipindahkan ke dalam Erlenmeyer kembali lalu ditambahkan 125 ml larutan campuran NaOH dan Na 2 SO 3 dan dilakukan pemanasan selama 2 jam pada suhu 50 o C. Sampel uji disaring dengan cawan saring dan selanjutnya dicuci dengan air suling hingga filtrat tidak berwarna. Sebanyak 50 ml larutan natrium klorit 10% ditambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya sebanyak 100 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam contoh uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven pada suhu 105 ± 3 o C dan ditimbang hingga beratnya konstan.

54 36 Selulosa, % = (A/B)x 100% A = bobot selulosa, g B = bobot kering kayu, g Kadar Hemiselulosa Kadar hemiselulosa diperoleh dengan cara mengurangkan persentase kadar holoselulosa dengan kadar selulosa. Hemiselulosa, % = holoselulosa (%) selulosa (%) Persiapan Bahan Baku Pembuatan Serpih Dolok kayu dipotong menggunakan gergaji ke arah transversal dengan ukuran tertentu (± 3 cm). Setelah kulitnya dibuang kemudian kayu dicacah menggunakan golok dengan ketebalan antara 2-4 mm, panjang ± 3 cm dan lebar 2-3 cm kemudian diangin-anginkan. Sebelum dimasak, serpih ditentukan kadar airnya terlebih dahulu dan disimpan dalam kantong tertutup. Pembuatan Larutan Pemasak Larutan Natrium Hidroksida (NaOH) Ditimbang kira-kira 1 kg padatan NaOH teknis, dilarutkan dengan air dalam tank stainless steel. Setelah larut diencerkan sampai volume larutan menjadi 2 L dan disaring dengan kain penyaring. Larutan disimpan dalam botol dan dibiarkan 2-3 hari, kemudian ditentukan konsentrasinya. Larutan Natrium Sulfida (Na 2 S) Ditimbang kira-kira 1 kg padatan natrium sulfida teknis, dilarutkan dengan air dalam tank stainless steel dan sambil dilakukan pengadukan. Setelah padatan larut diencerkan sampai volume larutan mencapai kira-kira 2 L. Larutan selanjutnya disaring dengan kain kasa dan disimpan dalam botol. Larutan disimpan selama seminggu, kemudian ditentukan konsentrasinya.

55 37 Peremajaan Mikroba Pembuatan PDA (Potatoe Dextrose Agar) Peremajaan mikroba dilakukan pada kondisi yang steril dengan menggunakan media potatoe dextrose agar (PDA). Sebanyak 3,9 gram media padat PDA dilarutkan dalam 100 ml air. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dipanaskan di atas hot plate. Larutan diaduk dengan menggunakan stirrer. Setelah warna larutan menjadi agak bening kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak ± 5 ml, kemudian ditutup dengan kapas dan foil aluminium. Kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit. Tabung reaksi kemudian dimiringkan dan disimpan pada suhu kamar. Persiapan kultur Aspergillus niger Isolat A. niger diperbanyak dan diremajakan dengan mengkultivasikan ke dalam media PDA, kemudian diinkubasikan dalam inkubator pada suhu kamar o C selama 5 hari. Pembuatan media YMGP Media YMGP dibuat dengan melarutkan sebanyak 5 g/l yeast extract, 5 g/l malt, 10 g/l pepton dan 5 g/l glukosa ke dalam 50 ml air suling. Larutan kemudian diaduk dengan menggunakan stirrer untuk selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit. Kemudian didinginkan selama sehari. Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae Isolat khamir S.cerevisiae diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Setelah itu, dikultivasikan pada media YMGP 50 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker dengan kecepatan 125 rpm pada suhu 30 o C selama 24 jam.

56 38 Penelitian Tahap I (Proses Perlakuan Pendahuluan) Perlakuan Pendahuluan dengan Menggunakan Proses Kraft Sampel uji ekuivalen 200 g bobot kering ditempatkan dalam digester. Larutan pemasak NaOH dan Na 2 S disiapkan sesuai dengan kebutuhan. Banyaknya kebutuhan larutan pemasak dihitung berdasarkan kondisi pemasakan yang digunakan sebagai berikut: alkali aktif (Na 2 O) sebanyak 16, 18 dan 20%, rasio serpih dengan larutan pemasak 1 : 4, sulfiditas 20 dan 25%. Suhu maksimum pemasakan sekitar 170 o C dengan lama pemasakan 4 jam. Setelah itu, akan diperoleh pulp hasil delignifikasi kayu. Pulp kemudian dihitung rendemen dan bilangan kappanya. Pulp yang dihasilkan ditimbang (A gram). Sebagian pulp diambil dan ditimbang B gram, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 o C sampai beratnya konstan dan ditimbang (C gram). Rendemen pulp = C/B x A x 100% BKT Keterangan: BKT = Bobot kering tanur kayu yang dimasak Bilangan kappa dihitung berdasarkan metode TAPPI T 241 su-71. Sebanyak 1 gram pulp kering oven dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1000 ml dan ditambahkan air suling 500 ml. dikocok dengan stirrer sampai homogen. Tambahkan 25 ml KMnO N dan 25 ml H 2 SO 4 4 N serta 200 ml air suling. Biarkan selama 5 menit, kemudian tambahkan 15 ml KI 10%. Titrasi dengan tiosulfat 0.1 N dengan indikator kanji. Indikator ditambahkan setelah larutan berwarna kuning. Lakukan pula penitaran blanko. Bilangan kappa = (b-a) x N tio 0.1 dengan, a = banyaknya ml tio pada penitaran contoh b = banyaknya ml tio pada penitaran blanko N = normalitas

57 39 Penelitian Tahap II (Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan) Penelitian tahap II merupakan kelanjutan dari metode penelitian I. Setelah diperoleh metode perlakuan pendahuluan yang tepat pada masing-masing jenis bahan baku maka dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dengan menggunakan berbagai metode sakarifikasi enzim selulase pada konsentrasi berbeda yaitu (4 dan 8% bobot kering sampel). Selain itu, diperlakukan juga sakarifikasi dengan A. niger (5 x 10 7 CFU/cc). Semua proses sakarifikasi difermentasi menggunakan ekstraks jamur S.cereviciae (1.5 x10 9 CFU/cc) dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (SSF). SSF dengan Isolat Jamur A. niger SSF dilakukan dalam satu fermentor (Erlenmeyer). Berat substrat yang digunakan adalah 5 g untuk masing-masing substrat. Pulp yang diperoleh dari perlakuan pendahuluan dan fraksinasi kemudian diencerkan sampai mencapai keenceran 2.5% dari total media (5 gram/200 ml total media). Media SSF diberi dengan nutrient dengan konsentrasi masing-masing 0.5 g/l (NH 4 ) 2 HPO 4 ; g/l MgSO 4.7H 2 O. ph awal yang digunakan adalah sekitar diatur dengan menggunakan NaOH dan HCl, kemudian dipertahankan dengan buffer sitrat ph 5. Substrat dan media nutrient dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121 o C selama 20 menit. Setelah itu ditambahkan isolat jamur A.niger (6.5 x 10 7 CFU/cc) dan ekstrak jamur S.cereviciae (1.5 x 10 9 CFU/cc) masing-masing sebanyak 10%. Proses SSF dilakukan selama 96 jam pada suhu konstan 30 o C. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam. Pada akhir fermentasi dihitung kadar etanol, gula pereduksi, total gula dan jumlah A. niger dan khamir S. cereviciae. SSF dengan Hidrolisis Menggunakan Enzim Selulase Komersial SSF dilakukan dalam satu fermentor. Berat substrat yang digunakan adalah 5 g untuk masing-masing substrat. Pulp yang diperoleh dari perlakuan pendahuluan dan fraksinasi kemudian diencerkan sampai mencapai keenceran 2.5% dari total media (5 gram/200 ml total media). Media SSF diberi dengan nutrien dengan konsentrasi masing-masing 0.5 g/l (NH 4 ) 2 HPO 4 ; g/l MgSO 4.7H 2 O. ph awal yang digunakan adalah sekitar diatur dengan

58 40 menggunakan NaOH dan HCl. Substrat dan media nutrient dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121 o C selama 20 menit. Setelah itu, dilakukan penambahan enzim selulase dengan konsentrasi 4% dari bobot kering substrat kayu, lalu ditambahkan dengan ekstraks jamur S. cereviciae 10 % (1.5 x 10 9 CFU/cc) dari total media, setelah itu, ditambahkan buffer sitrat ph 5. Proses SSF juga dilakukan dengan menggunakan enzim selulase 8%. SSF dilakukan selama 96 jam pada suhu konstan 37 o C. Pada akhir fermentasi dihitung kadar etanol, gula pereduksi, total gula dan jumlah khamir S. sereviciae. Metode Analisis Selama Kultivasi Penentuan Total Gula dengan Metode Fenol H 2 SO 4 Penentuan total gula didasarkan pada metode Dubois et al. (1956). Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Kurva standar fenol adalah sebagai berikut: 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 mg/l glukosa masingmasing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat (H 2 SO 4 ) pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kemudian dikocok lalu tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbannya diukur pada 490 nm dengan menggunakan spektrofotometer. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. Penentuan Gula Pereduksi dengan Metode DNS Penentuan gula pereduksi dilakukan berdasarkan metode Miller (1959). Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang akan diukur absorbannya pada panjang gelombang 550 nm.

59 41 Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 gram asam 3,5-dinitrosalisilat dan 19.8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu, ditambahkan 306 gram Na-K- Tatrat, 7.6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50 o C dan 8.3 g Na-Metabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5 sampai dengan 6. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 gram NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N. Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa 0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; dan 0.6 g/l. Nilai gula pereduksi diukur dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linear. Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut: sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansnya pada panjang gelombang 550 nm. Pengujian Kadar dan Rendemen Etanol Pengujian kadar etanol dilakukan dengan menggunakan GC (Gas Chromatography). Sebelum pengukuran dibuatkan dulu kurva standar dengan menggunakan etanol murni. Rendemen dihitung dengan membandingkan volume etanol yang diperoleh dengan berat sampel bahan baku yang digunakan. Pemilihan proses produksi terbaik didasarkan pada rendemen etanol tertinggi. Rumus yang digunakan untuk menghitung rendemen etanol adalah sebagai berikut: Rendemen (% v/v) = Volume etanol yang diperoleh secara aktual (ml)x 100% Volume Bahan Baku (ml) Perhitungan Jumlah Mikroba Jumlah mikroba dihitung dengan pengamatan di bawah mikroskop dengan metode hitungan mikroskop (Haemacytometer) pada perhitungan jamur S. cereviciae dan metode total plate count (TPC) pada perhitungan jamur A. niger.

60 42 Persiapan Bahan Baku Penghilangan Kulit (Debarking) Hammer Mill Chipping Alkalinitas: 16; 18 dan 20%) Sulfiditas: 20 dan 25% Perhitungan Rendamen dan Bilangan Kappa Serpih (Chips) Delignifikasi (Proses Kraft) Sampel Kayu Ukuran Korek Api Penentuan Komponen Kimia Kayu dan Derajat Kristalinitas Selulosa Tahap I: Optimasi Pretreatment Pulp Peremajaan Mikroba Tahap II: Hidrolisisi dan Fermentasi Simultan Selulase: 4% Selulase: 8% A. niger (6.5 x 10 7 CFU/cc) S. cereviciae (1.5 x 10 9 CFU/cc) Sakarifikasi dan Fermentasi secara Simultan (SSF) Etanol Kadar dan Rendemen Etanol Gambar 8 Diagram Alir Penelitian

61 43 Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software spss 15.0 for windows. Pada penelitian analisis komponen kimia bahan baku, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) sederhana, dengan 4 perlakuan jenis bahan baku yaitu A 1 (pinus), A 2 (sengon), A 3 (gmelina) dan A 4 (kelapa sawit). Model matematis untuk rancangan RAL menurut Gaspertz (1991) adalah sebagai berikut: Y ij = + I +ε ij dengan, Y IJ I ε ij : Nilai pengamatan yang memperoleh perlakuan ke-i : Rata-rata umum hasil pengamatan : Pengaruh perlakuan ke-i : Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j Jika perlakuan yang berpengaruh terhadap nilai respon, selanjutnya diuji dengan uji beda nyata (BNJ) atau uji Tukey dengan rumus adalah sebagai berikut: w = q a (p,fe) s Ў dengan, w = Nilai uji Tukey (BNJ) q a p = Nilai tabel Tukey = Jumlah perlakuan fe = Derajat bebas galat s Ў s 2 r = Galat baku nilai tengah = (s 2 / r ) ½ = Kuadrat tengah galat = Jumlah ulangan Pada penelitian tahap I, analisis rendemen, bilangan kappa dan kadar lignin pulp hasil pemasakan dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Setiap kombinasi perlakuan diulang masing-masing sebanyak dua kali yang terdiri atas 3 faktor, yaitu:

62 44 1. Jenis Kayu yang terdiri atas 4 taraf: A 1 A 2 A 3 A 4 = Kayu pinus (P) = Kayu sengon (S) = Kayu gmelina (G) = Kelapa sawit (KS) 2. Konsentrasi Alkalinitas terdiri atas 3 taraf: B 1 B 2 B 3 = 16% (A16) = 18% (A18) = 20% (A20) 3. Konsentrasi Sulfiditas terdiri atas 2 tataf: C 1 C 2 = 20% (Su20) = 25% (Su25) Model matematis untuk rancangan faktorial menurut Gaspertz (1991) sebagai berikut: Y ijk = μ + α i + β j + γ k + (αβ) ij + (αγ) ik + (βγ) jk + (αβγ) ijk + Є ijk Dengan, Y ijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B dan taraf ke-k faktor C). Μ = Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya) α i = Pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A. β j = Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B. γ k = Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor C. (αβ) ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B. (αγ) ik = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-k faktor C. (βγ) jk = Pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C. (αβγ) ijk = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C. Є ijk = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi ijk.

63 45 Hasil analisis ragam yang menunjukkan perlakuan yang berpengaruh terhadap respon, selanjutnya diuji lanjut dengan uji Tukey. Setelah dilakukan penelitian tahap I, maka dilanjutkan dengan penelitian tahap II dengan memilih proses perlakuan pendahuluan (konsentrasi alkalinitas dan sulfiditas) yang menghasilkan rendemen tertinggi dan bilangan kappa yang rendah pada penelitian tahap I. Rancangan yang digunakan pada penelitian tahap II adalah rancangan percobaan faktorial dengan rancangan dasar RAL. Setiap kombinasi perlakuan diulang masing-masing sebanyak dua kali yang terdiri atas 2 faktor, yaitu: 1. Jenis Kayu yang terdiri atas 4 taraf: A 1 A 2 A 3 A 4 = Kayu pinus (P) = Kayu sengon (S) = Kayu gmelina (G) = Kelapa sawit (KS) 2. Metode Hidrolisis terdiri atas 5 tataf: B 1 B 2 B 3 = Selulase 4% (E4) = Selulase 8% (E8) = Aspergillus niger (AN) Variabel pengamatan pada penelitian tahap II ini adalah yaitu gula pereduksi, total gula, jumlah S. cereviciae, jumlah A. niger, kadar etanol dan rendemen etanol. Data diamati setiap 24 jam selama 96 jam. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan.

64 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin, tanin, dan pigmen (Sanderman 1960). Hasil analisis ragam menunjukkan kelarutan air dingin dipengaruhi oleh jenis bahan baku dimana kelarutan air dingin bervariasi antara 2.45 sampai dengan 12.86% (Lampiran 2). Kelarutan air dingin terendah terdapat pada kayu pinus sedangkan tertinggi terdapat pada kelapa sawit. Kelarutan air dari pinus ini relatif sama dengan kayu sengon namun berbeda nyata dengan kelarutan kayu gmelina dan kelapa sawit (Tabel 1). Kelarutan air panas dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut dalam air panas, meliputi garam-garam anorganik, garam organik, gula, gum, pektin, galaktan, tanin, pigmen, polisakarida, dan komponen lain yang terhidrolisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan air panas bervariasi antara 8.00 sampai dengan 15.30% (Lampiran 3). Kelarutan air panas terendah terdapat pada kayu sengon dan tertinggi terdapat pada kelapa sawit (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Kelarutan Zat Ekstraktif Bahan Baku Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Jenis Bahan Air Dingin Air Panas NaOH 1% Etanol-Benzena Baku Pinus 2.45±0.00 c 9.53±1.73 b 10.33±0.18 d 2.54 Sengon 2.53±0.00 c 8.10±0.14 b 13.10±0.64 c 3.28 Gmelina 7.23±0.12 b 8.48±0.04 b 16.03±0.39 b 7.36 Kelapa sawit 12.38±0.68 a 15.30±0.00 a 43.43±0.74 a Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf nyata 5%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh terhadap kelarutan air panas, dimana kelarutan air panas dari kayu sengon berbeda tidak nyata dengan kayu pinus dan gmelina namun berbeda nyata dengan kelapa sawit.

65 47 Kelarutan dalam larutan NaOH 1% dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut, meliputi senyawa anoraganik, seperti karbohidrat yang mempunyai berat molekul tinggi, tanin, kinon, zat warna dan sebagaian lignin (TAPPI 1991). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kelarutan dalam NaOH 1%. Berdasarkan hasil uji Tukey terlihat bahwa antara satu jenis bahan baku dan lainnya mempunyai kelarutan NaOH 1% yang berbeda (Tabel 1). Menurut Martawijaya et al. (1981), kayu yang memiliki zat ekstraktif yang tinggi dalam alkohol benzena memerlukan banyak bahan kimia dalam pembentukan pulp. Kelarutan dalam etanol-benzena terendah terdapat pada kayu pinus dan tertinggi terdapat pada kelapa sawit. Secara umum, keberadaan zat ekstraktif dalam kayu dapat menyebabkan beberapa masalah dalam proses delignifikasi kayu di antaranya dapat meningkatkan konsumsi bahan kimia pemasak, mengurangi rendemen pulp. Menurut Syafii et al. (2009), terdapat kecenderungan bahwa jenis kayu dengan kadar ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan laju delignifikasi menjadi semakin rendah. Ekstraktif yang bersifat asam juga dapat menyebabkan korosif pada digester dan warna gelap pada pulp. Dalam proses hidrolisis dan fermentasi, keberadaan zat ekstraktif dapat menghambat proses degradasi selulosa maupun hemiselulosa menjadi gula maupun proses fermentasi oleh khamir S.cereviciae sehingga rendamen etanol yang dihasilkan berkurang. Oleh karena itu, dalam proses pulping zat ekstraktif ini juga dihilangkan bersama lignin. Komponen Struktural Komponen primer kayu merupakan suatu kelompok bahan polimer penyusun utama dinding sel yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh terhadap komponen primer bahan baku terutama kadar selulosa, lignin, dan holoselulosa dengan hasil uji Tukey ditunjukkan pada Tabel 2.

66 48 Tabel 2. Hasil Analisis Komponen Kimia Primer Bahan Baku Jenis Bahan Baku Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Holoselulosa (%) Pinus 42.40±0.11 b ±0.00 a 65.65±0.99 a Sengon 41.30±0.42 b ±0.14 a 56.83±0.04 b Gmelina 47.56±0.62 a ±0.14 a 64.40±0.92 a Kelapa sawit 25.88±0.17 c ±0.99 b 42.27±0.18 c Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf nyata 5%. Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh pada kadar lignin (Lampiran 29). Kadar lignin pada sampel uji bervariasi antara sampai dengan 27.50% (Lampiran 6), dimana kadar lignin rata-rata terendah terdapat pada kelapa sawit dan tertinggi terdapat pada kayu pinus. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar lignin kayu sengon relatif sama dengan kayu gmelina namun lebih tinggi dari kelapa sawit dan cenderung lebih rendah dari kayu pinus (Tabel 2). Tingginya kadar lignin pada kayu pinus disebabkan oleh kayu tersebut termasuk kayu daun jarum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Biermann (1993), bahwa kandungan lignin kayu daun jarum umumnya lebih tinggi dibandingkan kayu daun lebar. Kandungan lignin kayu daun jarum berkisar antara 25 sampai dengan 35% sedangkan pada kayu daun lebar berkisar antara 18 sampai dengan 25%. Perbedaan kadar lignin dalam kayu dapat berpengaruh terhadap laju delignifikasi. Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak akan semakin tinggi dan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey 1980). Tujuan utama proses pulping adalah melarutkan sebanyak mungkin lignin dengan sedikit mungkin terjadinya kerusakan pada komponen selulosa. Kadar lignin yang rendah akan menyebabkan proses hidrolisis dan fermentasi menjadi lebih mudah. Menurut Nzelibe & Okafoagu (2007), lignin dapat menghambat proses sakarifikasi (hidrolisis) polisakarida sehingga perlu dihilangkan sehingga hidrolisis menjadi lebih efisien. Lignin merupakan jaringan polimer fenolik yang merekatkan serat selulosa sehingga menjadi sangat kuat. Kekuatan ikatan lignin menjadi penghalang dalam proses hidrolisis dan fermentasi pada proses konversi biomassa menjadi etanol. Delignifikasi dapat membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih

67 49 mudah diakses oleh asam atau enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sun & Cheng (2002) yang menyatakan bahwa lignin yang terdapat pada tongkol jagung dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga dapat menurunkan kinerja enzim pada proses sakarifikasi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku sangat mempengaruhi kadar selulosa bahan baku (Lampiran 27). Kadar selulosa pada sampel uji bervariasi antara sampai dengan 48.00% (Lampiran 7), dimana kadar selulosa terendah terdapat pada kelapa sawit dan tertinggi terdapat pada kayu gmelina. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar selulosa kayu pinus relatif sama dibandingkan kayu sengon namun lebih rendah bandingkan kayu gmelina serta lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit (Tabel 2). Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan penggelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat. Dua reaksi selulosa utama adalah reaksi peeling off yaitu pemutusan ujung pereduksi selulosa pada suhu 70 o C dan pemutusan gugus asetil secara acak di atas suhu 150 o C. Semakin tinggi kandungan selulosa bahan baku diharapkan meningkatkan rendemen pulp yang dihasilkan sehingga efisiensi proses pulping juga menjadi lebih tinggi. Selain selulosa, dalam kayu maupun dalam jaringan tanaman yang lain terdapat sejumlah polisakarida yang disebut poliosa atau hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berbagai unit gula, memiliki rantai molekul yang lebih pendek dan bercabang. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk poliosa dapat dibagi menjadi kelompok seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat, dan deoksiheksosa. Rantai utama hemiselulosa dapat terdiri hanya atas satu unit (homopolimer) seperti xilan atau terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer), seperti glukomannan. Beberapa unit selalu atau kadang-kadang merupakan gugus samping rantai utama (tulang punggung) seperti asam 4-O-metilglukuronat, galaktosa (Fengel & Wegener, 1995).

68 50 Kadar holoselulosa menyatakan banyaknya karbohidrat total dalam suatu bahan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar holoselulosa dipengaruhi oleh jenis bahan baku, dimana kadar holoselulosa terendah terdapat pada kelapa sawit kemudian diikuti kayu sengon dan tertinggi terdapat pada kayu gmelina dan pinus yang memiliki kadar holoselulosa yang relatif sama berdasarkan hasil uji Tukey. Dalam proses kraft, penambahan Na 2 S mempengaruhi pembentukan NaSH yang bereaksi dengan lignin, sehingga kelarutan lignin menjadi lebih besar, delignifikasi menjadi lebih sempurna dan reaksi yang terjadi terhadap selulosa dan hemiselulosa menjadi kurang merusak. Adanya penggantian sebagian NaOH oleh Na 2 S memungkinkan dipersingkatnya waktu pemasakan atau diturunkannnya suhu maksimum pemasakan sehingga rendemen pulp yang dihasilkan meningkat. Penambahan Na 2 S pada proses kraft menyebabkan perubahan sebagian gugusgugus ujung hemiselulosa terutama glukomanan, namun tidak berpengaruh terhadap komponen hemiselulosa lainnya (Sjostrom 1995). Jadi, pada dasarnya dalam teknologi proses kraft, komponen holoselulosa dipertahankan sehingga tidak terhidrolisis selama proses pemasakan. Semakin tinggi komponen hemiselulosa bahan baku diharapkan dapat menghasilkan rendemen pulp yang tinggi yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi gula dan kemudian difermentasi menjadi etanol. Struktur mikrofibril dalam kayu tersusun dari daerah-daerah teratur yang disebut daerah kristalin dan daerah yang tidak teratur yang disebut amorf. Daerah kristalin tersusun dari selulosa yang sulit dihidrolisis atau didegradasi baik oleh asam maupun enzim. Kristalinitas selulosa menunjukkan persentase daerah kristalin yang terdapat dalam mikrofibril. Hasil pengujian derajat kristalinitas selulosa ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 9. Derajat kristalinitas selulosa tertinggi terdapat pada kayu pinus sekitar 51.14% dan terendah terdapat pada kayu gmelina 48.38%.

69 51 Tabel 3. Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku Jenis Bahan Baku Derajat Kristalinitas Selulosa (%) Pinus Gmelina Sengon Kelapa Sawit Dalam produksi bieotanol, reaktivitas pulp terhadap suatu pereaksi dalam proses hidrolisis sangat bergantung pada proporsi komponen kristalin dan amorf selulosa penyusunnya. Daerah kristalin sangat sulit dipenetrasi oleh agen penghidrolisis seperti enzim karena rantai selulosa tersusun secara teratur dan ikatan antara rantai selulosa yang kuat yaitu ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Yoshida et al 2008). Pemecahan molekul selulosa dihambat oleh tingginya derajat polimerisasi dan kristalisasi molekul selulosa serta kandungan lignin yang membungkus molekul selulosa. Hidrolisis selulosa sulit terjadi jika derajat polimerisasi, kristalinitas dan kandungan lignin belum berkurang, sehingga produktivitas mikroorganisme dalam menghasilkan selulase rendah (Irawadi 1991). Perlakuan awal yang efisien harus dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf dan membebaskan dari lapisan lignin. Sun & Cheng (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa perlakuan pendahuluan berfungsi sebagai berikut: meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik, menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat, menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, dan efisiensi biaya.

70 Gambar 9 Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku 52

71 53 Rendemen Pulp Proses pulping adalah proses yang bertujuan untuk mendegradasi lignin untuk menghasilkan pulp yang mengandung holoselulosa sebanyak-banyaknya. Banyaknya komponen kayu yang tidak terdegradasi setelah proses pulping ini dinyatakan sebagai rendemen Rendemnen (%) Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Alkalintas 16% Alkalintas 18% Alkalintas 20% Pinus Sengon Gmelina Kelapa Sawit Gambar 10 Rendemen Hasil Delignifikasi Bahan Baku Rendemen hasil delignifikasi bahan baku dengan menggunakan proses kraft berkisar antara dan 61.04% (Gambar 10). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa variasi rendemen ini sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku, alkalinitas dan sulfiditas serta interaksi ketiganya. Gambar 10 menunjukkan bahwa rendemen bahan baku yang dihasilkan dari proses kraft sangat ditentukan oleh alkalinitas dan sulfiditas yang digunakan, dimana pada kayu pinus dan sengon rendemen tertinggi diperoleh pada alkalinitas dan sulfiditas berturut-turut 18% dan 25%, kayu gmelina pada alkalinitas 20% dan sulfidit 25% sedangkan

72 54 pada kelapa sawit diperoleh pada alkalinitas 16% dan sulfiditas 20%. Penggunaan kombinasi alkalinitas dan sulfiditas tersebut akan menghasilkan rendemen yang hampir mendekati komponen holoselulosa bahan bakunya, sehingga dapat dikatakan bahwa proses tersebut telah menyebabkan proses delignifikasi yang hampir sempurna. Dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, informasi tersebut dapat menjadi dasar dalam perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan lignin dan zat ekstraktif yang mudah larut yang dapat menghalangi proses hidrolisis dan fermentasi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol. Lignin diketahui merupakan komponen kimia kayu yang sangat sukar didegradasi oleh enzim selulolitik sehingga dapat mengahalangi enzim untuk menghidrolisis polisakarida (holoselulosa) kayu. Oleh karena itu, dengan semakin berkurangnya kadar lignin dalam pulp akan mempermudah proses hidrolisis holoselulosa menjadi gula-gula sederhana. Secara statistik pengaruh dan perbedaan bahan baku terhadap rendemen dapat dilakukan dengan cara membandingkan rendemen rata-rata pada setiap bahan baku pada semua kombinasi perlakuan alkalinitas dan sulfiditas melalui analisi ragam. Hasil analisis ragam dan uji lanjut menunjukkan bahwa rendemen pulp sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan di mana rendemen terendah diperoleh pada kelapa sawit sedangkan rendemen tertinggi terdapat pada kayu pinus. Kayu sengon dan kayu gmelina memiliki rendemen yang relatif sama (Tabel 4). Perbedaan rendemen yang dihasilkan pada berbagai jenis bahan baku ini disebabkan oleh perbedaan komponen kimianya terutama holoselulosa dan lignin serta reaksi yang terjadi selama proses pulping. Semakin tinggi kandungan holoselulosa bahan baku yang tidak terdegradasi selama proses pulping menyebabkan rendemen bahan baku juga meningkat.

73 55 Tabel 4 Rendemen pada Berbagai Bahan Baku. Jenis Bahan Baku Rendemen Rata-Rata (%) Pinus Gmelina Sengon Kelapa Sawit Konsentrasi alkali merupakan variabel utama dalam pelarutan lignin dan polisakarida. Peningkatan alkalinitas akan meningkatkan alkali aktif yang akan mendegradasi lignin. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa secara umum rendemen tertinggi diperoleh dengan menggunakan alkalinitas 18% (Gambar 11), peningkatan alkalinitas diatas 18% cenderung menurunkan rendemen disebabkan alkali aktif pada konsentrasi tersebut menyebabkan sebagian holoselulosa ikut terdegradasi ,80 Rendemen (%) ,87 44, Alkalinitas (%) Gambar 11 Pengaruh Alkalinitas terhadap Rendemen Rata-Rata Pulp

74 56 Bilangan Kappa Bilangan kappa merupakan indikator kandungan lignin sisa di dalam pulp. Bilangan kappa yang tinggi menunjukkan kandungan lignin sisa pulp masih tinggi, tingkat kematangan dan delignifikasinya rendah sehingga menghasilkan pulp dengan kualitas yang kurang baik. Data bilangan kappa untuk masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Gambar 12. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap bilangan kappa sedangkan alkalinitas dan sulfiditas berpengaruh tidak nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi alkalinitas dan sulfiditas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bilangan kappa tetapi lebih ditentukan jenis bahan baku yang digunakan. Tabel 5 menunjukkan bilangan kappa rata-rata pada berbagai jenis bahan baku. Berdasarkan tabel tersebut bilangan kappa tertinggi berturut-turut pada pinus, kemudian sengon dan gmelina serta terendah terdapat pada kelapa sawit. Tingginya lignin sisa pada kayu pinus disebabkan jenis ini termasuk kayu daun jarum yang didominasi oleh jenis lignin guaiasil yang sulit terhidrolisis. Walaupun kayu gmelina dan sengon, keduanya termasuk kayu daun lebar namun diduga S/G rasio pada kayu sengon lebih rendah (ligninnya didominasi guaiasil) dibandingkan dengan gmelina. Menurut Syafii (2001) dan Syafii et al. (2009), perbedaan komposisi siringil dan guaiasil pada lignin kayu daun lebar dapat menyebabkan perbedaan laju delignifikasi. Semakin tinggi kandungan siringil dibandingkan guaiasil dalam kayu akan menyebabkan kandungan metoksil yang semakin tinggi pula, sehingga lignin bersifat lebih reaktif dan berimplikasi pada semakin cepatnya laju delignifikasi dan semakin mudahnya proses pulping berlangsung. Hasil penelitian Syafii (2001) menunjukkan bahwa lignin kayu sengon memiliki S/G rasio sebesar Jenis tumbuhan monokotil yaitu kelapa sawit menunjukkan bilangan kappa yang paling rendah. Hal ini disebabkan oleh kandungan lignin pada jenis tumbuhan ini lebih rendah dibandingkan jenis bahan baku yang lain.

75 57 Bilangan kappa hasil hasil delignifikasi (pulp) Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Alkalintas 16% Alkalintas 18% Alkalintas 20% Pinus Sengon Gmelina Kelapa Sawit Gambar 12 Bilangan Kappa Bahan Baku pada Berbagai Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas Tabel 5 Bilangan Kappa Rata-rata pada Berbagai Jenis Bahan Baku Jenis Bahan Baku Bilangan kappa Pinus Sengon Gmelina Kelapa Sawit 8.88 Menurut Biermann (1993), kadar lignin Klason dapat didekati dengan cara mengalikan bilangan kappa dengan bilangan konstanta sebesar Oleh karena itu, berdasarkan hubungan tersebut kadar lignin pulp dihitung dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 13. Proses delignifikasi menggunakan metode kraft pada berbagai kombinasi alkalinitas dan sulfiditas dapat menurunkan kadar lignin hingga menjadi sekitar 0.73 sampai dengan 3.33% terhadap kadar pulp. Hal ini menunjukkan bahwa pengaplikasian proses kraft pada berbagai kombinasi perlakuan telah mampu mendegradasi lignin secara sempurna.

76 58 Kadar Lignin Hasil Delignifikasi (%) Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Sulfiditas 20% Sulfiditas 25% Alkalinitas 16% Alkalinitas 18% Alkalinitas 20% Pinus Sengon Gmelina Kelapa Sawit Gambar 13 Kadar Lignin Bahan Baku pada Berbagai Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas Sisa lignin yang terdapat dalam pulp disebabkan oleh adanya ikatan antara lignin dan karbohidrat yang dikenal dengan lignin-carbohydrate complexes (LCCs) yang tidak dapat dihidrolisis oleh alkali aktif. Lignin umumnya tidak pernah ditemukan dalam bentuk sederhana di antara polisakarida-polisakarida dinding sel, tetapi selalu bergabung atau berikatan dengan polisakarida tersebut. Bentuk ikatan LCCs beranekaragam pada setiap jenis tanaman. Ikatan lignin dengan karbohidrat ini terjadi melalui ikatan kovalen (Jeffries 1994). Ikatan antara lignin dan karbohidrat yang bersifat stabil lebih banyak ditemukan pada ikatan LCCs adalah ikatan ester. Ikatan ester terjadi antara gugus karboksil bebas dari asam uronik pada hemiselulosa dan gugus benzil pada lignin (Jeffries 1994). Jenis ikatan lain yang ditemukan pada ikatan LCCs adalah ikatan eter dan glikosida. Dalam pembuatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa, perlakuan awal menjadi hal yang sangat penting. Perlakuan pendahuluan ini dilakukan dengan cara menghilangkan lignin agar kadar holoselulosa dalam bahan meningkat dan dapat meningkatkan permukaan kontak enzim. Perlakuan pendahuluan diharapkan

TINJAUAN PUSTAKA. Komponen Kimia Kayu

TINJAUAN PUSTAKA. Komponen Kimia Kayu 4 TINJAUAN PUSTAKA Komponen Kimia Kayu Kayu disusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen (Haygreen & Bowyer 1995). Di samping itu, kayu juga mengandung senyawa anorganik yang disebut abu. Abu tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi berupa bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil seperti solar, bensin dan minyak tanah pada berbagai sektor ekonomi makin meningkat, sedangkan ketersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Sampai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan produksi minyak bumi nasional yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan minyak bumi di Indonesia. Cadangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan limbah lignoselulosik yang terdiri atas sebagian besar selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya aktivitas pembangunan menyebabkan jumlah sampah dan pemakaian bahan bakar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi yang ramah lingkungan. Selain dapat mengurangi polusi, penggunaan bioetanol juga dapat menghemat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin menipis. Menurut data statistik migas ESDM (2009), total Cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2009

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 2010 pemakaian BBM sebanyak 388.241 ribu barel perhari dan meningkat menjadi 394.052 ribu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya semakin meningkat. Hal ini disebabkan kerena pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jagung digunakan sebagai salah satu makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia sebagai tumbuhan yang kaya akan karbohidrat. Potensi jagung telah banyak dikembangkan menjadi berbagai

Lebih terperinci

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc Jurnal PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN Anggota Kelompok 7: YOSUA GILANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25]

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25] BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan konsumsi energi semakin meningkat pula tetapi hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan cadangan

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao BAB 1V A. Hasil Uji Pendahuluan HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao sebelum dan sesudah hidrolisis diperoleh

Lebih terperinci

Hak Cipta milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. : 1001 1 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia beserta rahmat-nya kepada kita semua, sehingga kami diberikan kekuatan dan kelancaran dalam menyelesaikan

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE Penyusun: Charlin Inova Sitasari (2310 100 076) Yunus Imam Prasetyo (2310 100 092) Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Advisory (FAR), mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penyumbang

BAB I PENDAHULUAN. Advisory (FAR), mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penyumbang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Permasalahan Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rabobank, Pawan Kumar, Rabobank Associate Director

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia mencapai 21,22 juta kiloliter pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaannya di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014),

II. TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaannya di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jerami Padi Jerami padi merupakan salah satu limbah agroindustri yang paling banyak ketersediaannya di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), produksi padi di

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : ampas padat brem, hidrolisis, H 2 SO 4, gula cair

ABSTRAK. Kata kunci : ampas padat brem, hidrolisis, H 2 SO 4, gula cair Karina Novita Dewi. 1211205027. 2017. Pengaruh Konsentrasi H 2 SO 4 dan Waktu Hidrolisis terhadap Karakteristik Gula Cair dari Ampas Padat Produk Brem di Perusahaan Fa. Udiyana di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan 11 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq) dari famili Arecaceae merupakan salah satu sumber minyak nabati, dan merupakan primadona bagi komoditi perkebunan. Potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta isu pelestarian lingkungan telah meningkatkan pamor biomassa sebagai salah satu sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan kebutuhan energi (khususnya energi dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa yang

TINJAUAN PUSTAKA. Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioetanol Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa yang dilanjutkan proses destilasi. Bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan cadangan BBM semakin berkurang, karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. Produksi pisang Provinsi Lampung sebesar 697.140 ton pada tahun 2011 dengan luas areal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis bahan bakar minyak merupakan salah satu tanda bahwa cadangan energi fosil sudah menipis. Sumber energi fosil yang terbatas ini menyebabkan perlunya pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Asam laktat merupakan senyawa asam organik yang telah digunakan dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan farmasi. Asam laktat dapat dipolimerisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis-Jenis Proses Proses pembuatan pulp adalah pemisahan lignin untuk memperoleh serat (selulosa) dari bahan berserat. Oleh karena itu selulosa harus bersih dari lignin supaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini berlaku global termasuk di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang industri jasa maupun industri pengolahan bahan baku menjadi

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang industri jasa maupun industri pengolahan bahan baku menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, kehidupan sebagian besar masyarakatnya adalah ditopang oleh hasil-hasil pertanian dan pembangunan disegala bidang industri jasa

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOETANOL DARI BUAH SALAK DENGAN PROSES FERMENTASI DAN DISTILASI

PEMBUATAN BIOETANOL DARI BUAH SALAK DENGAN PROSES FERMENTASI DAN DISTILASI TUGAS AKHIR PEMBUATAN BIOETANOL DARI BUAH SALAK DENGAN PROSES FERMENTASI DAN DISTILASI (Production of Bioethanol from Snake Fruit with Fermentation and Distillation) Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BIOETANOL DARI LIGNOSELULOSA: POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PADAT DARI INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT

BIOETANOL DARI LIGNOSELULOSA: POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PADAT DARI INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT BIOETANOL DARI LIGNOSELULOSA: POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PADAT DARI INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT Maya Sarah 1), Erni Misran 1), Siti Syamsiah 2), Ria Millati 3) 1) Teknik Kimia USU 2) Teknik Kimia UGM

Lebih terperinci

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto BIOETHANOL Kelompok 12 Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto PENGERTIAN Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kartika Mayasai, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kartika Mayasai, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Energi merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Banyak negara saling bersaing untuk mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber energi tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah memasuki tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan karakteristik fisik dan kimianya, tanaman jagung (Zea mays) memiliki banyak kegunaan, berpotensi sebagai sumber bio energi dan produk samping yang bernilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ervi Afifah, 2014 Produksi Gula Hidrolisat Dari Serbuk Jerami Padi Oleh Beberapa Fungi Selulolitik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ervi Afifah, 2014 Produksi Gula Hidrolisat Dari Serbuk Jerami Padi Oleh Beberapa Fungi Selulolitik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jerami merupakan limbah hasil panen bahan makanan pokok beras yang berasal dari tanaman padi (Oryza sativa). Melimpahnya limbah jerami ini berbanding lurus dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton

BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada tahun 2002. Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Energi fosil khususnya minyak bumi merupakan sumber energi utama dan sumber devisa negara bagi Indonesia. Kenyataan menunjukan bahwa cadangan energi

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOETHANOL DARI AIR CUCIAN BERAS (AIR LERI) SKRIPSI. Oleh : CINTHYA KRISNA MARDIANA SARI NPM

PEMBUATAN BIOETHANOL DARI AIR CUCIAN BERAS (AIR LERI) SKRIPSI. Oleh : CINTHYA KRISNA MARDIANA SARI NPM PEMBUATAN BIOETHANOL DARI AIR CUCIAN BERAS (AIR LERI) SKRIPSI Oleh : CINTHYA KRISNA MARDIANA SARI NPM. 0931010056 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari buah pisang yang belum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Furfural merupakan salah satu senyawa kimia yang memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai pelarut dalam memisahkan senyawa jenuh dan tidak jenuh pada industri minyak bumi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%,

BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%, BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia saat ini sebagian besar masih bertumpu pada bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%, gas alam 28,57%

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4

ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4 ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL.

PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL. Pemanfaatan Sampah Sayuran sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol (Deby Anisah, Herliati, Ayu Widyaningrum) PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL Deby Anisah 1), Herliati 1),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. energi karena cadangan energi fosil yang terus menurun. Mengantisipasi masalah

I. PENDAHULUAN. energi karena cadangan energi fosil yang terus menurun. Mengantisipasi masalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah utama yang dihadapi di seluruh dunia dewasa ini adalah krisis energi karena cadangan energi fosil yang terus menurun. Mengantisipasi masalah krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri semakin berkurang, bahkan di

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri semakin berkurang, bahkan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri semakin berkurang, bahkan di beberapa tempat terpencil mengalami kelangkaan pasokan. Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Substrat 1. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pisang merupakan buah yang umum ditemui di Indonesia. Badan Pusat statistik mencatat pada tahun 2012 produksi pisang di Indonesia adalah sebanyak 6.189.052 ton. Jumlah

Lebih terperinci

GAPLEK KETELA POHON (Manihot utillisima pohl) DENGAN PENAMBAHAN Aspergillus niger

GAPLEK KETELA POHON (Manihot utillisima pohl) DENGAN PENAMBAHAN Aspergillus niger KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI GAPLEK KETELA POHON (Manihot utillisima pohl) DENGAN PENAMBAHAN Aspergillus niger SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. grade industri dengan kadar alkohol %, netral dengan kadar alkohol 96-99,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. grade industri dengan kadar alkohol %, netral dengan kadar alkohol 96-99,5 2.1 Tinjauan Umum Bioetanol BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula, pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu. Etanol umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian.

I. PENDAHULUAN. keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Industri pulp dan kertas merupakan industri yang cukup penting untuk keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian. Kebutuhan pulp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat petunjuk ilmu maupun manfaat tersendiri dan kewajiban manusia sebagai ulil albab yaitu mempelajari

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN BIDANG KEGIATAN : PKM-GT DIUSULKAN OLEH : LILY KURNIATY SYAM F34052110 (2005) JIHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Kertas merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan manusia. Hal ini ditunjukan dari tingkat konsumsinya yang makin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. alternatif penanganan limbah secara efektif karena dapat mengurangi pencemaran

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. alternatif penanganan limbah secara efektif karena dapat mengurangi pencemaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengolahan limbah tapioka berupa onggok menjadi bioetanol merupakan alternatif penanganan limbah secara efektif karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin menipis seiring dengan meningkatnya eksploitasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para peneliti untuk mengembangkan usaha dalam menanggulangi masalah ini diantaranya menggunakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

STUDI BAHAN BAKU BERLIGNOSELULOSA DARI LIMBAH PERTANIAN UNTUK PRODUKSI GULA XILOSA MURAH DIIKUTI PROSES FERMENTASI MENGHASILKAN ETANOL

STUDI BAHAN BAKU BERLIGNOSELULOSA DARI LIMBAH PERTANIAN UNTUK PRODUKSI GULA XILOSA MURAH DIIKUTI PROSES FERMENTASI MENGHASILKAN ETANOL STUDI BAHAN BAKU BERLIGNOSELULOSA DARI LIMBAH PERTANIAN UNTUK PRODUKSI GULA XILOSA MURAH DIIKUTI PROSES FERMENTASI MENGHASILKAN ETANOL Disusun oleh: Rurry Patradhiani 2305100 001 Indira Setia Utami 2305100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber energi semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber energi yang ada. Manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indutri. Pemanfaat jagung dalam bidang industri selain sebagai sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indutri. Pemanfaat jagung dalam bidang industri selain sebagai sumber BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Jagung Jagung merupakan tanaman yang banyak dijadikan sebagai bahan baku indutri. Pemanfaat jagung dalam bidang industri selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL Oleh : Hikmatush Shiyami M. (2309100063) Azizah Ayu Kartika (2309100148) Pembimbing : Ir. Mulyanto, M.T. Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu, diperlukan upaya peningkatan produksi etanol secara besar-besaran

I. PENDAHULUAN. itu, diperlukan upaya peningkatan produksi etanol secara besar-besaran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) saat ini meningkat. Bahan bakar fosil tersebut suatu saat dapat habis karena eksploitasi terus menerus dan tidak dapat diperbaharui.

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG. Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan. Indonesia

LATAR BELAKANG. Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan. Indonesia 1 LATAR BELAKANG Indonesia Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan Hidrogen - Ramah lingkungan - Nilai kalor lebih besar (119,02 MJ/kg) Bagasse tebu melimpah (5,706 juta ton/tahun)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus pemasok energi nasional. Bioetanol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia dan berkembangnya negaranegara maju menuju negara

Lebih terperinci

Peralatan dan Metoda

Peralatan dan Metoda Bab III Peralatan dan Metoda III.1 Metodologi Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa tujuan utama penelitian ini adalah mempersiapkan selulosa dari biomassa (tanaman lignoselulosa) agar dapat lebih

Lebih terperinci

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS Padil, Silvia Asri, dan Yelmida Aziz Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Riau, 28293 Email : fadilpps@yahoo.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang dan Masalah. Kebutuhan energi makin lama makin meningkat. Peningkatan kebutuhan

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang dan Masalah. Kebutuhan energi makin lama makin meningkat. Peningkatan kebutuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan energi makin lama makin meningkat. Peningkatan kebutuhan energi ini disebabkan oleh pertambahan penduduk yang sangat pesat dan peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini, penggunaan bahan bakar di Indonesia meningkat dengan drastis tiap tahunnya. Peningkatan ini menimbulkan menipisnya ketersediaan bahan

Lebih terperinci

Pembuatan Pulp dari Batang Pisang

Pembuatan Pulp dari Batang Pisang Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 36-50 Jurnal Teknologi Kimia Unimal http://ft.unimal.ic.id/teknik_kimia/jurnal Jurnal Teknologi Kimia Unimal Pembuatan Pulp dari Batang Pisang Syamsul

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 30 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Rekayasa

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOETANOL DARI RUMPUT GAJAH

PEMBUATAN BIOETANOL DARI RUMPUT GAJAH PEMBUATAN BIOETANOL DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Scumach) DENGAN PROSES HIDROLISA ENZIM DAN FERMENTASI Di Bawah Bimbingan : Ir. Budi Setiawan, MT Oleh : Tita Rizki Kurnia 2309 030 028 Anne Rufaidah

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI

PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK DENNY IRAWATI. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Dibimbing oleh

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian kehidupan manusia di bumi. Berdasarkan data Departemen ESDM (2008), kondisi umum penggunaan energi di Indonesia masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengawet pada produk makanan atau minuman sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam industri makanan. Apalagi perkembangan zaman menuntut produk makanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jagung (Zea mays) Menurut Effendi S (1991), jagung (Zea mays) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain padi dan gandum. Kedudukan tanaman ini menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bahan bakar. Sumber energi ini tidak dapat diperbarui sehingga

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bahan bakar. Sumber energi ini tidak dapat diperbarui sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang digunakan sebagai bahan bakar. Sumber energi ini tidak dapat diperbarui sehingga ketersediaan bahan bakar minyak

Lebih terperinci