BERNADETHA RODEKA PINEM F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BERNADETHA RODEKA PINEM F"

Transkripsi

1 PENGARUH PENAMBAHAN H 2 O 2 SEBAGAI BAHAN PEMUCAT PADA PROSES PEMURNIAN SURFAKTAN MESA DARI JARAK PAGAR TERHADAP SIFAT FISIKO KIMIA SURFAKTAN YANG DIHASILKAN SKRIPSI BERNADETHA RODEKA PINEM F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PENGARUH PENAMBAHAN H 2 O 2 SEBAGAI BAHAN PEMUCAT PADA PROSES PEMURNIAN SURFAKTAN MESA DARI JARAK PAGAR TERHADAP SIFAT FISIKO KIMIA SURFAKTAN YANG DIHASILKAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: BERNADETHA RODEKA PINEM F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

3 Judul Skripsi : Pengaruh Penambahan H 2 O 2 sebagai Bahan Pemucat pada Proses Pemurnian Surfaktan MESA (Methyl Ester Sulfonates Acid) dari Jarak Pagar terhadap Sifat Fisiko Kimia Surfaktan yang Dihasilkan. Nama : Bernadetha Rodeka Pinem NIM : F Menyetujui, Dosen Pembimbing, (Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali) NIP Mengetahui: Ketua Departemen, (Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti) NIP Tanggal Lulus :

4 BERNADETHA RODEKA PINEM. F Pengaruh Penambahan H 2 O 2 sebagai Bahan Pemucat pada Proses Pemurnian Surfaktan MESA dari Jarak Pagar terhadap Sifat Fisiko Kimia Surfaktan yang Dihasilkan. Di bawah bimbingan Erliza Hambali RINGKASAN Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Salah satu surfaktan yang prospektif untuk dikembangkan adalah surfaktan MES, yang pemanfaatan terbesarnya adalah sebagai cleaning agent atau pembersih. Hal ini memungkinkan dilakukan mengingat kandungan asam lemak C18 pada minyak jarak pagar mempunyai sifat deterjensi yang sesuai untuk diaplikasikan sebagai bahan pembersih. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik berbasis minyak nabati yang sedang banyak dikembangkan karena kemampuannya yang bersaing dengan Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS). LAS merupakan surfaktan anionik berbasis minyak bumi yang paling banyak diproduksi saat ini. Produksi MES dapat dipenuhi dengan menggunakan jarak pagar sebagai bahan bakunya karena kadar minyak yang tinggi dan komposisi asam lemak dominannya adalah C 18. Sintesis metil ester sulfonat dapat dilakukan melalui proses kimiawi metil ester sebagai bahan baku dengan reaktan gas SO 3. Persiapan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan gas SO 3 pada suhu reaksi 100 o C dengan sampling sampel pada periode ke-3 jam. Proses sulfonasi pada penelitian ini menggunakan single tube falling film reactor dengan panjang enam meter. Laju alir metil ester yang masuk ke dalam reaktor adalah 100 ml/menit. Untuk menyempurnakan proses sulfonasi, dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 80 o C dengan lama reaksi 45 menit. Akibat proses oksidasi, surfaktan MES yang dihasilkan berwarna gelap dan hal ini merupakan masalah dalam aplikasinya sebagai cleaning agent atau pembersih sehingga harus dilakukan proses pemurnian dengan penambahan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat dengan pertimbangan sifat oksidator kuat H 2 O 2 tersebut dan sifatnya yang ramah lingkungan. Proses pemurnian yang dilakukan meliputi proses pemucatan (bleaching) dan netralisasi serta akan dilakukan perbandingan terhadap berbagai kondisi pemurnian berdasarkan perbedaan konsentrasi hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) karena dengan adanya penambahan H 2 O 2 pada konsentrasi tertentu dapat mempengaruhi sifat fisiko kimia produk yang dihasilkan. Dengan demikian dapat diperoleh kondisi pemurnian yang terbaik atau sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan H 2 O 2 sebagai bahan pemucat pada proses pemurnian surfaktan MESA jarak pagar (Jatropha oil) terhadap sifat fisiko kimia surfaktan MES yang dihasilkan. Penelitian dimulai dengan proses pengepresan biji jarak sampai kepada proses pemurnian dan analisis sifat fisiko kimia surfaktan yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Perlakuan yang digunakan adalah pemurnian (bleaching) surfaktan dengan menggunakan H 2 O 2 dengan konsentrasi 2, 4 dan 6%, diikuti dengan proses netralisasi sehingga dihasilkan surfaktan netral. Dari hasil analisa sifat fisiko kimia MESA, MESA yang dinetralisasi, MESA yang di bleaching dan MESA yang di bleaching-netralisasi, diperoleh nilai bahan aktif antara 18,94 % sampai 23,47 %, bilangan iod antara 29,75 sampai 32,82 mg Iod/g MES, tingkat warna absorbansi antara 0,27 sampai 0,52 % dan ph antara 1,11 sampai 7,15. Berdasarkan hasil dari uji statistik, proses bleaching dan bleaching-netralisasi pada konsentrasi H 2 O 2 2, 4 dan 6% tidak berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod, bilangan asam, ph, warna dan kadar bahan aktif. Tahapan proses terbaik untuk produksi MES didapat pada kondisi proses pemucatan yang diikuti oleh proses netralisasi. Proses pemurnian dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2% mampu menghasilkan sifat fisiko kimia yang tidak berbeda jauh dengan proses pemucatan dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 sebesar 4 dan 6%. Kondisi ini dinilai lebih ekonomis karena biaya yang dibutuhkan dalam proses lebih murah dibandingkan dengan proses pemurnian dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 yang lebih besar. Pada kondisi proses pemurnian (pemucatan dan netralisasi) ini diperoleh nilai ph sebesar 7,15, bilangan iod 31,02 mg I 2 /g MES, kadar bahan aktif 23,47 % dan persen absorbansi sebesar 0,52 %.

5 BERNADETHA RODEKA PINEM. F The Effect of H 2 O 2 Addition as a Bleaching Agent in the Purification Process of Methyl Ester Sulfonates Acid from Jatropha curcas L Applicable to the Physic and Chemical Characteristic of the Produced Surfactant. Under supervised by Erliza Hambali ABSTRACT Surfactant is a surface active agent that capable to reduce surface and inter- facial tension. One of them that can be developed prospectively is a MES surfactant that can be applied largely as a cleaning agent. This condition based on the oil contain C18 of MES by the jatropha curcas has a detergency nature that can be used as a cleaning agent. Methyl Ester Sulfonates (MES) is the anionic surfactant made from vegetable oil that is now being developed. MES has the similar, or even better than Linear Alkylbenzene Sulfonates that is now the most produced anionic surfactant synthesized from petroleum. Jatropha curcas is potential to be developed as MES feedstock because of oil contain and the C 18 as a dominant of fatty acid composition. Methyl Ester Sulfonates synthesis can be done by a chemical process of metyl ester as a raw material with SO 3 reactant. In this research, preparation of the sample carried out by the reaction of the methyl ester with SO 3 at a certain temperature condition with level 100 o C and sampling sample in the 3 rd period (after 3 hours). The sulfonation process in this research using single tube falling film reactor. Methyl ester input flow rate into the reactor is 100 ml/minute. For the perfect sulfonation, process will be continued by aging process with 80 o C temperature condition and 45 minutes duration. MESA produced in black color which is the main problem in its aplication as a cleaning agent so that the purification process such as bleaching and neutralization process required. The reason of usage the hydrogen peroxide as a bleaching agent because of its nature as a stronger oxidizer and versatile oxidant which is both safe and effective. Afterwards, the proportion of H 2 O 2 consentration to get the best purification process will be undertaken, because of H 2 O 2 addition in the certain concentration will be given the effect to the physic and chemical characteristic of product, so that the best purification condition can be achieved. This research purpose to learn the effect of the H 2 O 2 addition as a bleaching agent in MESA purificaton process of Methyl Ester Sulfonates Acid from Jatropha curcas L applicable to the physic and chemical characteristic of the produced surfactant. Research was begun with the Jatropha seeds pressing until the purification and analysis process. This research using single factorial completely randomized design with two replications. The treatments used are bleaching with 2, 4 dan 6% variation of H 2 O 2 consentration followed by neutralization process so that the neutral surfactant can be produced. From the physic and chemical analysis process of MESA, the neutralized MESA, bleached MESA and bleached-neutralized MESA has an active matter value from 18,94 to 23,47 percent, iodine value from 29,75 to 32,82 mg Iod/g MES, absorbency color percent from 0,27 to 0,52 percent, and ph from 1,11 to 7,15. Performance test shows that the bleaching and the bleaching-neutralization process in 2, 4 and 6% variation of H 2 O 2 consentration have no significant effect in the iodine value, acid number, ph, color and active matter of MESA. The best condition of MES purification process reached at the bleaching process followed by neutralization. The bleaching process with 2% H 2 O 2 addition can fetched the physic and chemical characteristic as the same as with 4 and 6% H 2 O 2 addition. This condition was considered more economically because of the cost more cheaper than the other process with more H 2 O 2 addition. The physic and chemical analysis result of MESA from this condition are iodine value reached about 31,02 mg I 2 /g MES, active matter about 23,47 percent, the color about 0,52 Absorbency percent and ph reached about 7,15.

6 BIODATA PENULIS Penulis lahir di Pematangsiantar pada tanggal 14 Juni Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, putri dari pasangan Yustin Pinem dan Katarina Ginting. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Budi Mulia 1 Pematangsiantar pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Budi Mulia Pematangsiantar tahun 2003, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Pematangsiantar pada tahun Lulus dari tingkat SMU, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di Insitut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi seperti Panitia J Pro (Jelantah Project) Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN), Panitia MPF (Masa Perkenalan Fakultas) Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FATETA), Fieldtrip Jawa bali dan Panitia Santa Claus Day Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI). Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2008 dengan judul Mempelajari Proses Destilasi dalam Hubungannya dengan Peningkatan Mutu Produk Fatty Acid di PT. SOCI MAS, Kawasan Industri Medan, Sumatera Utara. Dalam menyusun skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan H 2 O 2 sebagai Bahan Pemucat pada Proses Pemurnian Surfaktan MESA dari Jarak Pagar terhadap Sifat Fisiko Kimia Surfaktan yang Dihasilkan di bawah bimbingan Prof. Dr. Erliza Hambali.

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Penambahan H 2 O 2 sebagai Bahan Pemucat pada Proses Pemurnian Surfaktan MESA dari Jarak Pagar terhadap Sifat Fisiko Kimia Surfaktan yang Dihasilkan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 24 November 2010 Yang membuat pernyataan Bernadetha Rodeka Pinem F

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia-nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian penulis yang dilakukan di Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC LPPM-IPB) dan Laboratorium Surfaktan SBRC di PT. MAHKOTA INDONESIA, mulai bulan Maret sampai Agustus Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini penulis banyak sekali mendapatkan bantuan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang setulus- tulusnya kepada: 1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam segala hal. 2. Bpk Taufik Djatna dan Ibu Endang selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi saya 3. Kedua Orang Tua, Kakak dan Adik tercinta atas segala dukungan doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan. 4. Staff dan laboran Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC-LPPM IPB) yang secara langsung dan tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 5. Staff dan pegawai di PT. MAHKOTA INDONESIA yang turut membantu dalam penelitian ini. 6. Mba Renni, Mba Yenni, Mba Ira, Mba Susi, Mas Encep, Ka Anas, Ka Andrew, dan lainnya yang juga penelitian di SBRC LPPM-IPB yang turut memberi semangat dan berbagi ilmu kepada saya dalam penelitian ini. 7. Teman-teman satu team saya: Dini, Arya, Nunu dan teman dari team lain: Jaelani, Neli M., Lely dan seluruh teman TIN 43 yang telah memberi semangat selama penelitian ini, serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini belum tercipta suatu karya yang sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, 24 November 2010 Bernadetha Rodeka Pinem iii

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN PENELITIAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L.) MINYAK JARAK PAGAR METIL ESTER (BIODIESEL) SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) PROSES PEMURNIAN (BLEACHING-NETRALISASI SURFAKTAN MESA) BAHAN PEMUCAT (BLEACHING AGENTS) HIDROGEN PEROKSIDA (H 2 O 2 ) III. METODOLOGI ALAT DAN BAHAN METODE PENELITIAN TAHAP PERSIAPAN BAHAN DAN SAMPEL a. ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA (PROKSIMAT) BIJI JARAK PAGAR DAN PROSES PENGEPRESAN b. ANALISIS MINYAK JARAK PAGAR c. PEMBUATAN DAN ANALISIS METIL ESTER d. PROSES PEMBUATAN DAN ANALISIS METHYL ESTER SULFONATES ACID (MESA) PROSES PEMURNIAN SURFAKTAN MESA DAN ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA MES HASIL PEMURNIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA (PROKSIMAT) BIJI JARAK PAGAR DAN PROSES PENGEPRESAN ANALISIS MINYAK JARAK PAGAR PROSES PEMBUATAN DAN ANALISIS METIL ESTER ANALISIS SURFAKTAN MES ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA METHYL ESTER SULFONATE (MES HASIL PROSES PEMURNIAN) DERAJAT KEASAMAN (PH) TINGKAT WARNA (% ABSORBANSI) BILANGAN IOD KADAR BAHAN AKTIF (ACTIVE MATTER) V. KESIMPULAN DAN SARAN iv

10 5.1. KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komponen Penyusun Biji Jarak Pagar. 4 Tabel 2. Spesifikasi Mutu Minyak Jarak Pagar... 5 Tabel 3. Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jarak Pagar... 6 Tabel 4. Standar Mutu Biodiesel (SNI )... 9 Tabel 5. Nilai Potensial Oksidasi Bahan Pemucat. 15 Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Biji Jarak Pagar Tabel 7. Hasil Analisis Minyak Jarak Pagar Tabel 8. Hasil Analisis Metil Ester Jarak Pagar Tabel 9. Hasil Analisis MESA Jarak Pagar setelah Sulfonasi vi

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Buah jarak pagar (Jatropha curcas L) dan biji jarak pagar... 3 Gambar 2. Diagram alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan berulir... 5 Gambar 3. Reaksi esterifikasi... 7 Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan metil ester... 7 Gambar 5. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester... 8 Gambar 6. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida menggunakan katalis basa. 8 Gambar 7. Gambar molekul surfaktan dan gambaran mikroskopik surfaktan.. 10 Gambar 8. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi. 11 Gambar 9. Mekanisme reaksi pembentukan MESA Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembuatan MES Gambar 11. Reaksi kimia pembentukan disalt 13 Gambar 12. Molekul hidrogen peroksida Gambar 13. Reaksi pembentukan hidrogen peroksida Gambar 14. Reaksi pemucatan oleh hidrogen peroksida Gambar 15. Single tube falling film sulfonation reactor Gambar 16. Reaktor metil ester pilot plant SBRC dengan kapasitas 100 L Gambar 17. Diagram alir proses pemurnian yang dilakukan.. 22 Gambar 18. Diagram alir pelaksanaan Gambar 19. Proses pengepresan biji jarak dengan alat pengepress berulir Gambar 20. Proses pembuatan metil ester jarak pagar Gambar 21. Reaksi sulfonasi yang terjadi pada ikatan rangkap metil ester Gambar 22. Histogram pengaruh proses pemucatan terhadap nilai ph surfaktan MESA Gambar 23. Pengaruh proses pemurnian terhadap tingkat warna surfaktan MESA Gambar 24. Metil ester sulfonat sebelum dan sesudah pemucatan Gambar 25. Reaksi netralisasi MESA Gambar 26. Pengaruh proses pemurnian terhadap bilangan iod surfaktan MESA Gambar 27. Pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA vii

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Proksimat Biji Jarak Pagar Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Jarak Pagar Lampiran 3. Prosedur Analisis Metil Ester (Biodiesel) Lampiran 4. Prosedur Analisis Karakteristik MESA dan MES Lampiran 5. Data Hasil Analisa MESA dan MES Hasil Pemurnian Lampiran 6. Data Hasil Analisa Kadar Nilai ph Lampiran 7. Data Hasil Analisa Tingkat Warna Lampiran 8. Data Hasil Analisa Nilai Bilangan Iod Lampiran 9. Data Hasil Analisa Kadar Bahan Aktif viii

14 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengembangan biofuel dari jarak pagar sebagai salah satu sumber energi alternatif membuka peluang bagi pengembangan produk turunan oleokimia yang bernilai tinggi, yaitu surfaktan. Peningkatan potensi biodiesel dari jarak pagar menjadi surfaktan berarti akan meningkatkan nilai tambah jarak pagar. Salah satu surfaktan yang prospektif untuk dikembangkan adalah surfaktan MES, yang pemanfaatan terbesarnya adalah sebagai cleaning agent atau pembersih. Hal ini memungkinkan dilakukan mengingat kandungan asam lemak C18 pada minyak jarak pagar mempunyai sifat deterjensi yang sesuai untuk diaplikasikan sebagai bahan pembersih. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi gas SO 3. Kelebihan surfaktan MES dibandingkan surfaktan berbasis petrokimia adalah sebagai berikut: bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good biodegradability), karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Proses sulfonasi metil ester memerlukan mol ratio SO 3 yang lebih besar dibandingkan bahan baku dari petroleum dan memerlukan tahapan aging dengan temperatur tinggi. Proses sulfonasi yang dapat terjadi pada ikatan rangkap, ikatan α atom C, serta pada gugus karboksil ini menyebabkan terjadinya proses oksidasi sehingga menimbulkan warna gelap pada produk surfaktan yang dihasilkan. Warna gelap inilah yang menjadi masalah dalam aplikasinya sebagai cleaning agent atau pembersih sehingga harus dilakukan proses pemucatan. Proses pemucatan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode secara kimia dan fisika. Pemucatan secara fisika sebagai contoh hidrogenasi, memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik sehingga butuh biaya investasi yang lebih mahal serta sulit dilakukan. Sedangkan metode kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya pencampuran dengan adsorben atau senyawa pengomplek tertentu. Pemucatan dengan bahan kimia lebih banyak digunakan karena hasilnya yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Bahan kimia yang bertindak sebagai pemucat atau yang disebut dengan bleaching agent terdiri dari hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO 4, TiO 2, sodium hipoklorit, klorin, klorin dioksida, potassium permanganat, fluorin, ozon dan hidroksil radikal. Hidrogen peroksida merupakan oksidator yang lebih kuat dibandingkan dengan klorin, klorin dioksida dan potassium permanganat. Di samping itu, dengan adanya katalis, H 2 O 2 dapat dikonversi menjadi hidroksi radikal dengan tingkat reaktivitas kedua setelah fluorin (salah satu bahan pemucat dengan tingkat potensial oksidasi lebih tinggi dari hidrogen peroksida). Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan larutan hidrogen peroksida yang cukup kuat. Kelebihan hidrogen peroksida lainnya dibandingkan dengan oksidator lain, yaitu aplikasinya yang dapat disesuaikan dengan mengatur jumlah konsentrasi yang ditambahkan serta sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Konsentrasi H 2 O 2 yang ditambahkan ke dalam suatu larutan berbeda-beda tergantung pada bahan baku, tujuan proses, serta produk akhir yang dihasilkan karena adanya penambahan hidrogen peroksida tersebut dapat mempengaruhi sifat fisiko kimia produk yang dihasilkan.

15 Untuk mencapai tujuan kegiatan penelitian, dilakukan proses esterifikasi dan transesterifikasi untuk mendapatkan metil ester dari jarak pagar, proses pemurnian metil ester jarak pagar yang dihasilkan, proses sulfonasi metil ester yang dihasilkan dengan gas SO 3, serta perbaikan proses pemurnian surfaktan MES yang dihasilkan, meliputi perbaikan proses bleaching dan netralisasi dengan penambahan H 2 O 2 sebagai bahan pemucat sehingga dapat diketahui pengaruh penambahan H 2 O 2 tersebut terhadap surfaktan yang dihasilkan melalui analisis sifat fisiko kimia surfaktan yang dihasilkan TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan H 2 O 2 sebagai bahan pemucat pada proses pemurnian surfaktan MESA jarak pagar terhadap sifat fisiko kimia surfaktan MES yang dihasilkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kondisi proses pemurnian yang optimal dari beberapa konsentrasi H 2 O 2 yang ditambahkan melalui analisis fisiko kimia surfaktan MES. 2

16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal masyarakat luas di Indonesia sejak dikenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang mempunyai potensi menghasilkan minyak nabati (minyak jarak/curcas oil) sebagai bahan baku energi baru terbarukan termasuk sebagai biodiesel. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang di lahan marginal/kering sehingga dapat dikembangkan di wilayah Indonesia Timur. Selain sebagai upaya konservasi lahan, meningkatkan pendapatan masyarakat penanaman jarak pagar ini juga sebagai salah satu alternatif sumber bahan baku enegi terbarukan (Hambali, 2009). Jarak pagar memiliki buah yang terdiri dari daging buah, cangkang biji dan inti biji. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat, diameter 2 4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Inti biji merupakan sumber bagian yang menghasilkan minyak dengan proses awal ekstraksi. Kandungan minyak yang terdapat dalam biji baik cangkang maupun buah berkisar 25-35% berat kering biji. Jarak pagar mampu menghasilkan 7,5-10 ton/ha/tahun tergantung dari kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan tanah dan pemeliharaan (Hambali et al., 2007). Sebagai perhitungan kasar produksi crude jatropha oil (CJO), dari 1 ton biji kering maka dapat diperoleh minyak hasil ekstraksi sebesar kg minyak jarak. Minyak jarak pagar berwujud cairan bening berwarna kuning dan tidak menjadi keruh sekalipun disimpan dalam jangka waktu lama. Penampakan dari buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Biji Jarak pagar ( Hal yang membedakan jarak pagar dengan tanaman jarak lainnya adalah persentase komponen penyusun dan kandungan asam lemaknya. Komponen penyusun pada jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 1. 3

17 Tabel 1. Komponen Penyusun Biji Jarak Pagar Komposisi (%) Nilai a Minyak (% b/b) b a Protein (% b/b) Serat (% b/b) b 29.40±1.04 c a 2.57±0.35 c 3.17 a Abu (% b/b) Air (% b/b) Karbohidrat (% b/b) b 5.77 a b 5.00 ±0.01 c 16.89±0.91 c Sumber : Winkler et al. (1997) a, Gubitz et al. (1999) b, Peace dan Aladesanmi (2008) c 2.2. Minyak Jarak Pagar Proses ekstraksi jarak pagar menjadi minyak dilakukan secara mekanik menggunakan mesin press, baik sederhana dengan skala kecil maupun skala produksi industri. Jenis alat press dibedakan menjadi dua macam yaitu press hidrolik (hydraulic pressing) dan press ulir (expeller pressing) yang memiliki kelemahan dan keunggulan masing masing, biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi minyak. Setelah biji jarak dikeringkan dan disortir berdasarkan kualitas, biji jarak pagar dimasukkan ke dalam mesin press mekanik. Hasil pengepresan diperoleh minyak mentah atau crude jatropha oil (CJO) dan bungkil berupa sisa ampas. Untuk memurnikan CJO selanjutnya dilakukan penyaringan dan diperoleh limbah berupa sludge. Beberapa industri pengolahan mengikutkan cangkang inti biji untuk proses, sehingga tidak diperlukan proses pengelupasan cangkang dari inti buah (Hambali et al., 2007). Teknik pengepresan mekanis merupakan suatu cara pemisahan minyak dari bahan yang berupa biji-bijian dan paling sesuai untuk memisahkan minyak dari bahan yang kadar minyaknya tinggi yaitu sekitar persen. Kandungan minyak jarak pagar dalam biji adalah sekitar persen. Teknik pengepresan biji jarak dengan menggunakan ulir (screw) merupakan teknologi yang lebih maju dan banyak digunakan di industri pengolahan minyak jarak saat ini. Dengan cara ini biji jarak dipress menggunakan pengepresan berulir (screw) yang berjalan secara kontinyu. Teknik ekstraksi ini tidak memerlukan perlakuan pendahuluan bagi biji jarak yang akan diekstraksi. Biji jarak kering yang akan diekstraksi dapat langsung dimasukkan ke dalam screw press. Tipe alat pengepres berulir yang digunakan dapat berupa pengepres berulir tunggal (single screw press) atau pengepres berulir ganda (twin screw press). Rendemen minyak jarak yang dihasilkan dengan teknik pengepres berulir tunggal (single screw press) sekitar persen, sedangkan dengan teknik pengepres berulir ganda (twin 4

18 screw press) dihasilkan rendemen minyak sekitar persen. Pada Gambar 2 disajikan diagram alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan berulir (Hambali et al., 2009). Biji jarak kering Pengepresan berulir Ampas/bungkil (sistem kontinyu) Minyak jarak Gambar 2. Diagram alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan berulir (Hambali et al., 2009) Alat ekstraksi minyak jarak yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC)-LPPM IPB adalah alat press tipe ulir (screw press). Bahan yang masuk ke dalam alat akan terdorong ke depan, kemudian bahan akan mendapat tekanan yang semakin membesar sampai berada di ujung alat. Tekanan ini menyebabkan keluarnya minyak dari bahan. Minyak jarak masih mengandung kotoran yang terbawa selama pengepresan sehingga perlu dilakukan penyaringan. Pada Tabel 2 disajikan spesifikasi mutu minyak jarak pagar berdasarkan beberapa literatur. Tabel 2. Spesifikasi Mutu Minyak Jarak Pagar No Parameter Satuan Nilai mutu 1 Kadar air % (b/b) 0.25 b 2 Bobot jenis/densitas g/cm 3 0,9177 a 3 Bilangan iod Mg iod/g sampel b 4 Bilangan penyabunan Mg KOH/g lemak b 5 FFA % 2 b Sumber : a Hambali et al (2007), b Peace dan Aladesanmi (2008) Menurut Hambali, et al. (2007), minyak jarak pagar mengandung 21% asam lemak jenuh dan 79% asam lemak tak jenuh. Adapun komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 3. 5

19 Tabel 3. Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jarak Pagar Kandungan asam lemak Presentase (%) Asam miristat (C14H28O2) (C:14:0) Asam palmitat (C16H32O2) (C:16:0) Asam stearat (C18H36O2) (C:18:0) Asam arachidat (C20H40O2) (C:20:0) Asam behenat (C22H44O2) (C:22:0) Asam palmitoleat (C16H30O2) (C:16:1) Asam oleat (C18H34O2) (C:18:1) Asam linoleat (C18H32O2) (C:18:2) Asam linolenat (C18H30O2) (C:18:3) Sumber : Gubitz et al. (1999) Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat, dan asam palmitat. Asam oleat dan asam linoleat merupakan asam lemak tak jenuh, sedangkan asam palmitat merupakan asam lemak jenuh. Asam oleat merupakan asam lemak yang terdapat di sebagian besar minyak atau lemak dengan rata-rata komposisinya 50% dari total asam lemak. Menurut Sheats dan MacArthur (2002), semakin tinggi jumlah asam lemak tak jenuh dalam suatu minyak, maka akan menyebabkan minyak tersebut semakin mudah teroksidasi. Keuntungan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester (biodiesel) antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak mengganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung racun yang disebabkan adanya senyawa forbol ester dan cursin (Hambali et al., 2007). 2.3.Metil Ester (Biodiesel) Metil ester atau biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar yang bersifat terbarukan karena bersumberkan dari sumber daya hayati, seperti minyak nabati. Minyak nabati memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar yang terbarukan, sekaligus sebagai alternatif bahan bakar minyak yang berbasis petroleum atau minyak bumi (Hambali et al., 2007). Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar diesel petroleum (Haryanto, 2007). Kelebihan tersebut antara lain (1) merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan dapat dibiodegradasi, (2) mempunyai bilangan setana yang tinggi, (3) mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx dan (4) terdapat dalam fase cair. Hambali et al. (2007) menambahkan bahwa penggunaan biodiesel memiiki keuntungan antara lain emisi biodiesel bebas sulfur, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi beban impor akan bahan bakar, serta karakteristik biodiesel tidak berbeda jauh dengan solar. Biodiesel dapat diproduksi melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi maupun keduanya, tergantung pada jumlah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak jarak tersebut. Reaksi transesterifikasi adalah reaksi alkoholisis, yang hampir sama dengan reaksi hidrolisis tetapi menggunakan alkohol. Reaksi ini bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Alkohol berlebih digunakan untuk memicu reaksi pembentukan produk. Transesterifikasi bertujuan 6

20 untuk menurunkan viskositas minyak jarak dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat digunakan sesuai standar minyak diesel untuk kendaraan bermotor (Joelianingsih et al., 2006). Sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih mudah direkoveri, lebih polar, dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya (Hambali et al., 2007). Metil ester dapat terbentuk dari reaksi antara trigliserida dan metanol maupun asam lemak bebas dan metanol. Gambaran reaksi esterifikasi FFA menjadi metil ester dan diagram alir proses pembuatan metil ester dengan dua tahap dapat dilhat pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3. Reaksi esterifikasi (Hambali et al., 2007) Bahan baku dengan kadar FFA >2% H 2 SO 4 Metanol Pemanasan Pencampuran Esterifikasi Separasi KOH Metanol Pencampuran Metanol Transesterifikasi Separasi Recovery Metanol Gliserol Crude Metil ester Purifikasi Metil ester Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan metil ester (Hambali et al., 2007) Proses esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi untuk menyempurnakan konversi trigliserida menjadi alkil ester. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester disajikan pada Gambar 5. 7

21 Gambar 5. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester (Hargreaves, 2003) Transesterifikasi trigliserida diawali dengan protonisasi satu gugus karbonil pada molekul trigliserida menghasilkan senyawa intermediet II berupa senyawa karboksi. Bentuk karboksi kemudian akan bereaksi dengan alkohol membentuk senyawa intermediet III berupa molekul tetrahedral. Senyawa intermediet tetrahedral kemudian akan terpecah menjadi ester yang baru dan digliserida. Langkah ini terjadi berulang pada molekul digliserida dan molekul monogliserida (Jungermann, 1979). Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan jarak pagar setelah proses esterifikasi dengan 15%-v/v methanol. Reaksi transesterifikasi dipercepat dengan penambahan katalis KOH sebesar 1%-v/v. Reaksi transesterifikasi diawali dengan penyerangan ion alkoksida pada atom karbon gugus karbonil dalam molekul trigliserida menghasilkan senyawa intermediet berbentuk tetrahedral. Pada tahap kedua, senyawa intermediet ini akan terpecah menjadi metil ester dan anion digliserida. Anion digliserida kemudian akan bereaksi dengan metanol membentuk molekul digliserida. Molekul digliserida kemudian akan dikonversi menjadi molekul monogliserida dan gliserol melalui mekanisme yang sama. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan katalis basa disajikan pada Gambar 6 (Jungermann, 1979). O = R 1 C OR 2 + OCH 3 Katalis basa O _ R 1 C OR 2 _ (1) OCH 3 O R 1 OR 2 C Katalis basa O = R 1 C OCH 3 + OR 2 (2) OCH 3 OR 2 Katalis basa + CH 3 OH R 2 OH + OCH 3 (3) Gambar 6. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida menggunakan katalis basa (Jungermann, 1979). Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi, metil ester atau biodiesel tidak dapat langsung digunakan, karena itu harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing atau dry washing. Standar mutu biodiesel dapat dilihat pada Tabel 4 (SNI ). 8

22 Tabel 4. Standar Mutu Biodiesel (SNI ) No. Parameter Satuan Metode Uji Nilai 1. Massa jenis pada 40 o C kg/m 3 ASTM D Viskositas kinematik pada 40 o C mm 2 /s(cst) ASTM D445 2,3-6,0 3. Bilangan setana - ASTM D613 Min Titik nyala (mangkok tertutup) 5. Titik kabut 6. Korosi kepingan tembaga (3 jam pada 50 o C) 7. Residu karbon dalam : o C ASTM D93 Min. 100 o C ASTM D2500 Maks ASTM D130 Maks.no 3 -Contoh asli % massa ASTM D4530 Maks.0,05-10% ampas distilasi Maks.0,30 8. Air dan sedimen % volume ASTM D1796 Maks.0,05 9. Suhu distilasi 90% o C ASTM D1160 Maks Abu tersulfatkan % massa ASTM D874 Maks.0, Belerang ppm-m (mg/kg) ASTM D1266 Maks Fosfor ppm-m (mg/kg) ASTM D1091 Maks Bilangan asam mg KOH/g AOCS Cd 3d-63 Maks. 0,8 14. Gliserol total % massa AOCS Ca Maks Kadar ester alkil % massa SNI * Min. 96,5 16. Bilangan iodium % massa (g I2 /100 g) Catatan: * diperoleh dari hasil perhitungan antara bilangan penyabunan dan bilangan asam 2.4. Surfaktan AOCS Cd1-25 Maks. 115 Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatik atau amphifilik yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Secara umum kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) (emulsi dimana bahan pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase eksternal) atau water in oil (W/O) (emulsi dimana bahan pengemulsinya mudah larut dalam minyak) (Hargreaves, 2003). Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas, biasanya udara. Gambar molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7 (Elefani, 2008). 9

23 Hidrofilik Hidrofobik (a) (b) Gambar 7. Gambar molekul surfaktan (a) dan gambaran mikroskopik surfaktan (b) (Elefani, 2008) Surfaktan memiliki dua gugus dalam molekul yang sama yaitu gugus hidrofobik (grup nonpolar) yang memiliki sifat hidrofobik dalam media air tetapi bersifat hidrofilik dalam media hidrokarbon. Sedangkan gugus hidrofilik (grup polar) bersifat hidrofilik dalam media air tetapi bersifat hidrofobik dalam media hidrokarbon (Hargreaves, 2003). Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adhesif telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Hargreaves, 2003). Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Hargreaves, 2003). Sedangkan Swern (1979) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: 1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. 2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung heteroatom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. 4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai ph. Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti Linier Alkilbensen Sulfonat (LAS), Alkil Sulfonat (AS), Alkil Etoksilat (AE) dan Alkil Etoksilat Sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak bumi yang digunakan merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan 10

24 berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Swern, 1979) Metil Ester Sulfonat (MES) Metil ester sulfonat (MES) merupakan zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses reaksi sulfonasi. MacArthur et al. (2002) menyebutkan bahwa studi tentang C16-C18 MES yang dilakukan oleh Lion - Jepang menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik daripada surfaktan LAS atau AS (alcohol sulfate) dalam hal pencucian di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm (CaCO 3 ). Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, ph dan suhu netralisasi. Pada mekanisme reaksi sulfonasi, lokasi terjadinya proses sulfonasi adalah pada bagian α-atom karbon. Menurut Jungermann (1979), terdapat tiga lokasi terjadinya reaksi sulfonasi molekul ester dengan basis asam lemak yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α -atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Kemungkinan terikatnya pereaksi SO 3 dalam proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 8. CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 6 CH C OCH 3 Terikat pada bagian α atom C SO 3 H O CH 3 (CH 2 ) 7 CH 2 CH (CH 2 ) 6 CH C OCH 3 Terikat pada ikatan rangkap SO 3 H O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 C Terikat pada gugus karboksil OC(SO 3 H)H 2 Gambar 8. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann,1979) Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan pada Gambar 9. (dalam hal ini dijelaskan dengan menggunakan salah satu asam lemak penyusun yang dominan dari ME Jarak Pagar yaitu asam lemak oleat sekitar 34,3 45,8 %) (Gubitz et al.,1999). O 11

25 O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 C OCH 3 (I) + SO 3 O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 (C OCH 3 ):SO 3 (II) + SO 3 O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 6 CH (C OCH 3 ):SO 3 (III)+ SO 3 SO 3 H O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 (C OCH 3 ):SO 3 O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 6 CH (C OCH 3 ):SO 3 SO 3 H O CH 3 (CH 2 ) 7 CH CH (CH 2 ) 6 CH C OCH 3 SO 3 H SO 3 H (II) (III) (IV) Gambar 9. Mekanisme reaksi pembentukan MESA (Gubitz et al.,1999) Metil ester Jarak Pagar (I) dalam hal ini menggunakan senyawa asam lemak yang dominan yaitu oleat C 18 bereaksi dengan gas SO 3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO 3. Gugus SO 3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO 3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV). Di industri, proses sulfonasi secara langsung dilakukan dengan cara mereaksikan agen sulfonasi ke minyak pada suhu reaksi yang lebih tinggi dari titik leleh minyak. Setelah sulfonasi, sisa pereaksi yang tidak bereaksi dipisahkan dari produk hasil sulfonasi, kemudian dinetralisasi menggunakan larutan alkali. Pencucian dan netralisasi dilakukan pada suhu antara o C (Pore,1976). Proses sulfonasi metil ester dengan gas SO 3 dapat dilakukan pada skala laboratorium, skala pilot maupun skala industri. Peralatan sulfonasi yang dilakukan pada skala laboratorium yaitu bejana gelas berbentuk silinder dengan diameter bagian dalam 4 cm dan tingginya 45 cm. Gelas tersebut dilengkapi dengan jaket pendingin, saluran masuk dan keluar gas, dan termometer. Gas masuk melalui saluran atas dengan diameter saluran 8 mm. Proses sulfonasi pada skala ini dapat berlangsung secara kontinyu dengan lapisan tipis pada reaktor. Untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat dengan kapasitas besar dapat meningkatkan skala peralatan produksi tersebut (Hambali et al., 2007). Penggunaan suhu o C dengan rasio mol metil ester dan gas SO 3 yaitu 1:1,3 (eksotermis), merupakan kondisi ideal dalam sulfonasi pada falling film reactor. Pada awal reaksi, terjadi kontak bahan dengan gas SO 3 secara cepat hingga mencapai keseimbangan reaksi. Pada suhu tersebut dapat menghasilkan MES dengan bahan aktif 30%-65% (Hambali et al., 2009).Metil ester sulfonat yang dihasilkan larut dalam air sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Reaksi sulfonasi metil ester dengan gas SO 3 dapat digambarkan sebagai berikut: 12

26 O O SO 3 + R n C OCH 3 R n-1 CH C OCH 3 SO 3 H Sulfur trioksida Metil Ester Metil Ester Sulfonat Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembuatan MES (Watkins, 2001) Kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air disebabkan oleh kemampuan surfaktan MES dalam meningkatkan gaya tarik-menarik antara dua fasa yang berbeda polaritasnya. Hal ini terjadi karena struktur dari surfaktan yang memiliki dua gugus fungsional yang berbeda (Suryani et al., 2008). Fenomena tegangan antarmuka (Interfacial Tension, IFT) memiliki peran yang penting di dalam analisis surfaktan. Pengotor utama dalam proses pembuatan MES adalah terbentuknya disalt pada proses hidrolisis saat reaksi penetralan. Walaupun disalt merupakan surfaktan, namun di-salt memiliki sifat yang tidak diinginkan, yaitu cenderung menurunkan kinerja MES. Kraft point C16 disalt (65 C) lebih tinggi daripada C16 MES (17 C) dan disalt lebih sensitif (tidak tahan) terhadap air sadah (Mac Arthur, 2002). Akibatnya kelarutan MES di dalam air sadah dan air dingin menjadi turun. Untuk itu diperlukan proses pemurnian C16 MES dan pengoptimalan kondisi proses produksi MES. Terbentuknya disalt terjadi pada saat proses netralisasi berlangsung dengan menggunakan sodium hidroksida (NaOH). Apabila NaOH ditambahkan dalam jumlah berlebih, maka ion Na + akan mensubsitusi gugus metil pada ester sehingga terbentuk molekul dengan dua gugus sodium yang disebut sebagai disalt seperti yang terlihat pada Gambar 11. O O NaOH + R n CH C OCH 3 R n-1 CH C OCH 3 + H 2 O (I) SO 3 H SO 3 Na Basa MESA Metil Ester Sulfonat Air O O NaOH + R n CH C OCH 3 R n-1 CH C ONa + CH 3 OH (II) SO 3 Na SO 3 Na Basa MESA di-sodium salt Metanol Gambar 11. Reaksi Kimia Pembentukan Disalt (Mac Arthur, 2002) 2.6. Proses Pemurnian (Bleaching-Netralisasi) Surfaktan MESA Pemurnian merupakan suatu proses untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia ataupun 13

27 fisika. Pemurnian secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik, akan tetapi bahan yang dihasilkan baik, karena warnanya lebih jernih dan komponen utamanya menjadi lebih tinggi. Untuk metode pemurnian kimiawi bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan adsorben atau senyawa pengomplek tertentu (Hernani, 2007). Menurut Ketaren (1986), proses pemucatan (bleaching) merupakan suatu tahapan proses pemurnian surfaktan yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dan menghilangkan bau. Dalam proses pemucatan ini, produk surfaktan MESA akan mengalami peningkatan/pencerahan warna. Proses pemucatan bertujuan untuk membuat penampakan dan bau surfaktan yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan pencampuran metanol dengan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). Reaksi bleaching lalu dilanjutkan dengan metanol reflux dan pengontrolan temperatur yang presisi. Acid ester yang terbentuk dalam proses sulfonasi bersifat tidak stabil dan mudah terhidrolisis. Oleh karena itu, pencampuran yang sempurna antara asam sulfonat dan aliran basa dibutuhkan dalam proses netralisasi untuk mencegah lokalisasi kenaikan ph dan temperatur yang dapat mengakibatkan reaksi hidrolisis yang berlebih. Neutralizer beroperasi secara kontinu, mempertahankan komposisi dan ph dari pasta secara otomatis (Elefani, 2008). Proses pemucatan dapat dilakukan dengan adsorben, bahan kimia, maupun dengan cara pemanasan. Pemucatan dapat juga dilakukan dengan cara mencampur produk dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah lempung (feller earth), lempung aktif (activated clay), dan arang aktif atau dapat juga menggunakan bahan kimia lainnya (Ketaren, 1986) Peristiwa adsorbsi dapat terjadi bila dua fase bergabung, sehingga terjadi suatu proses dimana molekul dari satu fase melekat pada permukaan fase lain. Kedua fase tersebut dapat berupa fase cair dengan fase cair, fase cair dengan fase gas, fase cair dengan fase padat, atau fase gas dengan fase padat (Priatna et al., 1990) Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi atas 2 macam reaksi pemucatan, yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan proses reduksi. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena pemucatan zat warna dengan menggunakan bahan kimia lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keuntungan bahan kimia sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat yang tidak berwarna, yang tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren, 1985) 2.7. Bahan Pemucat (Bleaching Agents) Bahan pemucat (Bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorbsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk dan Othmer, 1964). Kirk dan Othmer (1985) menyatakan bahwa adsorben yang umum digunakan untuk pemucatan adalah tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tersebut umumnya digunakan untuk menghilangkan zat warna yang lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar di antaranya adalah arang aktif dan arang (karbon dan batu bara) yang biasanya digunakan untuk menghilangkan zat warna yang kurang polar. 14

28 Karbon/arang aktif adalah suatu bentuk karbon yang telah diaktifkan menggunakan panas uap air atau bahan kimia sehingga daya penyerapannya tinggi. Karbon aktif mengandung 5 15% air, 2 3% abu dan sisanya terdiri dari karbon. Adsorbsi arang aktif disebabkan karena arang aktif memiliki pori-pori dalam jumlah besar dan proses ini terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap (Jacobs, 1951). Keuntungan penggunaan arang aktif sebagai bahan pemucat adalah lebih efektif untuk menyerap zat warna dibandingkan dengan bleaching clay, sehingga arang aktif dapat digunakan dalam jumlah kecil. Arang aktif dapat juga menyerap sebagian bau yang tidak dikehendaki dan mengurangi jumlah peroksida sehingga dapat meningkatkan mutu. Kelemahan arang aktif adalah proses autooksidasi terjadi lebih cepat (Ketaren, 1986). Bentonit merupakan istilah dalam perdagangan untuk lempung mineral yang mengandung montmorilonit sebagai komponen utamanya (Kirk dan Othmer, 1985). Ukuran partikel bentonit sangat kecil dan mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi dengan pertukaran ion terutama diduduki oleh ion-ion Ca dan Mg. Bentonit berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah mineral-mineralnya. Selain itu, bentonit bersifat agak lunak, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air dan dapat melakukan pertukaran ion (Priatna, 1982). Bahan kimia yang bertindak sebagai pemucat/pemutih disebut dengan bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO 4, TiO 2, Sodium Hypochlorite, Isocyanurates and Cyanuric Acid, dan lain-lain. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan larutan hidrogen peroksida yang cukup kuat. Berikut tabel perbedaan tingkat oksidasi berbagai bahan pemucat dalam proses pemucatan (Shafii, 2008). Tabel 5. Nilai Potensial Oksidasi Bahan Pemucat (Shafii, 2008) Oksidan Potensial Oksidasi, V Fluorin 3.0 Hidroksil radikal 2.8 Ozon 2.1 Hidrogen peroksida 1.8 Potasium permanganate 1.7 Klorin dioksida 1.5 Klorin 1.4 Hidrogen peroksida merupakan oksidator yang lebih kuat dibandingkan dengan klorin, klorin dioksida dan potassium permanganate. Di samping itu dengan adanya katalis, H 2 O 2 dapat dikonversi menjadi hidroksi radikal dengan tingkat reaktivitas kedua setelah fluorin. Sementara fluorin lebih banyak diaplikasikan pada proses pengolahan limbah. Di beberapa industri penghasil detergen, dalam proses produksinya menggunakan beraneka ragam jenis bleaching agents sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya. Beberapa bleaching agents yang dapat diaplikasikan dalam skala laboratorium, seperti Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), Sodium hipoklorit, Asam Isosianurat dan Asam Sianurik (Shafii, 2008). Umumnya reduksi warna surfaktan yang utama dipilih adalah pemucatan (bleaching) dengan larutan peroksida ± 30 %, sebagaimana diperlihatkan dalam Chemithon Corp. di Amerika Serikat. Produk glikosida (glycoside) sebelum disimpan terlebih dahulu mengalami proses pemucatan dengan bahan oksidasi seperti: ozon, hidrogen peroksida, dan hipoklorit. Sedangkan untuk menstabilkan 15

29 warna dari produk digunakan gas sulfur dioksida, sodium dioksida, sodium sulfit, sodium metabisulfit dan sodium hidrosulfit (Priatna, 1982) Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) Hidrogen peroksida adalah cairan bening, agak lebih kental daripada air, yang merupakan oksidator kuat. Sifatnya sebagai oksidator kuat ini dimanfaatkan manusia sebagai bahan pemutih (bleach), desinfektan, oksidator dan dapat digunakan sebagai bahan bakar roket. Sifat lainnya yaitu, berbau khas agak keasaman dan larut dengan baik dalam air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen (Prasetyo, 2008). Hidrogen peroksida dijual bebas, dengan berbagai merek dagang dalam konsentrasi rendah (3 5%) sebagai pembersih luka atau sebagai pemutih gigi (pada konsentrasi terukur). Dalam konsentrasi agak tinggi dijual sebagai pemutih pakaian dan desinfektan. Penggunaan hidrogen peroksida dalam kosmetika dan makanan tidak dibenarkan karena zat ini mudah bereaksi dengan rumus kimia H 2 O 2 ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818 (Prasetyo, 2008). Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H 2 ) dan gas oksigen (O 2 ). Teknologi yang banyak digunakan di dalam industri hidrogen peroksida adalah autooksidasi anthraquinone. Bentuk molekul hidrogen peroksida dapat dilihat pada Gambar 12. (Prasetyo, 2008). Gambar 12. Molekul hidrogen peroksida (Prasetyo, 2008) Stabilisasi dari hydrogen peroxide ini dapat dicapai pada tingkat keasaman atau ph stabil sehingga dapat memperlambat dekomposisi peroksida. Bleaching agent lain seperti Sodium Hypochlorite digolongkan dalam bleaching agent untuk produk detergen yang banyak diaplikasikan di Asia dan Amerika. Sedangkan Isocyanurates and Cyanuric Acid digunakan sebagai pembersih toilet dan sebagai pencegah adanya alga, jamur serta bakteri di kolam renang (Waldhoff and Rudiger, 2005). Penguraian hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen merupakan reaksi eksoterm (Wood et al., 1966). Untuk menjaga kestabilan kondisi hidrogen peroksida dalam larutan yang dipasarkan dalam dunia perdagangan bisa ditambahkan bahan stabilizer seperti Gliserin, Kalsium Klorida, atau Alkohol. Larutan hidrogen peroksida sendiri mempunyai sifat oksidator sekaligus reduktor kuat (Priyanto, 1990) Dalam dunia industri, hidrogen peroksida dibentuk dari reaksi antara Natrium Dioksida dengan Asam Sulfat, reaksi pembentukannya adalah sebagai berikut: 16

30 Na 2 O 2 + H 2 SO 4 Na 2 SO 4 + H 2 O 2 Gambar 13. Reaksi pembentukan hidrogen peroksida (Priyanto, 1990) Larutan yang terbentuk kemudian dilakukan pemisahan dengan filtrasi dan destilasi. hidrogen peroksida hasil destilasi ini biasanya mempunyai konsentrasi 30 persen dan biasa disebut hidrogen peroksida Teknis atau Perhidrol (Durrant, 1960). Menurut Wood et al.,(1966), sifat hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, maka bahan ini merupakan bahan yang istimewa, karena bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah. Persamaan reaksi proses pemutihan oleh hidrogen peroksida dapat dilihat pada Gambar 14. H 2 O 2 + X H 2 O + XO (Dark pigmen) (pigmen terokdisasi) Gambar 14. Reaksi pemucatan oleh hidrogen peroksida (Wood et al.,1966) Hidrogen peroksida bisa digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB). Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi H 2 O 2 (Wood et al., 1966). Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi (Prasetyo, 2008). 17

31 III. METODOLOGI 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor sulfonasi jenis Single Tube Falling Film yang digunakan untuk mereaksikan metil ester dengan gas SO 3. Peralatan lain yang digunakan adalah piknometer, ph meter, hotplate stirrer, viskosimeter Brookfield, termometer, neraca analitis, oven, tanur, soxhlet, buret, pipet, labu Erlenmeyer, labu takar dan peralatan gelas lainnya. Penampakan visual dari reaktor sulfonasi jenis Single Tube Falling Film Reactor dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Single Tube Falling Film Reactor Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester dari minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan gas SO3. Lalu bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H 2 SO 4, metanol, etanol, NaOH, HCl, indikator Penolphtalein, indikator kanji, Na 2 SO 4, air suling, sikloheksan, asam asetat glasial, kalium iodida, Na 2 SO 2 O 3, K 2 Cr 2 O 7, larutan Wijs, toluene, khloroform, indikator metilene blue, Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB), dan aseton. Bahan pemucat hidrogen peroksida (H 2 O 2 2, 4 dan 6%), NaOH 50%, methanol 31%, 18

32 3.2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan bahan dan sampel yang terdiri dari: a) analisis proksimat biji jarak pagar dan pengepresan biji jarak pagar, b) analisis minyak jarak pagar, c) pembuatan dan analisis metil ester dan d) pembuatan dan analisis Methyl Ester Sulfonates Acid (MESA); serta tahap pemurnian MESA dan analisis sifat fisiko kimia MES hasil pemurnian Tahap Persiapan Bahan dan Sampel a. Analisis Sifat Fisiko Kimia (proksimat) Biji Jarak Pagar dan Proses Pengepresan Biji jarak pagar merupakan bahan baku yang digunakan dalam tahapan penelitian ini. Biji jarak pagar disortir guna memisahkan kotoran-kotoran lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah itu, dilakukan analisis proksimat pada biji jarak pagar yang meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar minyak. Kemudian, dilakukan pengepresan biji jarak dengan menggunakan alat screw press guna memperoleh minyak jarak. Prosedur lengkap analisis proksimat biji jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Analisis Minyak Jarak Pagar Minyak jarak yang diperoleh dari hasil pengepresan kemudian dianalisis sifat fisiko-kimianya, meliputi kadar air, kadar abu, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, dan kadar asam lemak bebas. Prosedur lengkap analisis minyak jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 2. c. Pembuatan dan Analisis Metil Ester Minyak jarak pagar yang telah diperoleh pada tahapan penelitian sebelumnya diproses untuk menghasilkan metil ester dengan cara esterifikasi dan transesterifikasi. Kemudian dilanjutkan dengan proses pencucian dengan menggunakan air hangat dan kemudian dikeringkan untuk menguapkan kandungan air yang ada dalam metil ester (Hambali et al., 2007). Minyak jarak pagar dipanaskan sampai suhu 55 C, kemudian direaksikan dengan metanol sebanyak 225% dari FFA dan katalis asam sulfat 5% FFA. Diketahui bahwa kadar asam lemak bebas minyak jarak pagar adalah sebesar 32,09% terhadap total bahan baku jarak pagar dan H 2 SO 4 1,61 liter sebagai katalis. Selanjutnya dilakukan pengadukan untuk menyeragamkan suhu sampai terbentuk ester. Suhu campuran dipertahankan pada 55 C selama satu jam. Setelah reaksi berlangsung sempurna, dilakukan tahap transesterifikasi dengan menambahkan metanol sebanyak 15% dari jumlah minyak (sekitar 72,2 liter) dan NaOH sebanyak 10 gram. Pengadukan dilanjutkan kembali selama 1 jam sehingga terbentuk gliserol sebagai produk samping. Metil ester dipisahkan dari gliserol. Kemudian metil ester dicuci dengan menggunakan air hangat dengan suhu sekitar 50 C untuk menghilangkan sisa katalis, metanol dan sabun. Pencucian dengan air hangat ini dilakukan berulang hingga tiga kali pencucian. Pengeringan metil ester dilakukan dengan pemanasan suhu 115 C sampai seluruh air menguap. Produksi metil ester jarak pagar ini dilakukan pada skala 100 liter di pilot plant SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM-IPB. Foto reaktor metil ester dengan kapasitas 100 L dapat dilihat pada Gambar

33 Gambar 16. Reaktor Metil Ester Pilot Plant SBRC LPPM-IPB dengan Kapasitas 100L Metil ester kemudian diuji sifat fisiko-kimianya, meliputi kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, gliserol total dan kadar ester. Prosedur lengkap analisis metil ester dapat dilihat pada Lampiran 3. d. Proses Pembuatan dan Analisis Methyl Ester Sulfonates Acid (MESA) Pada tahapan ini dilakukan proses sulfonasi menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) dengan tinggi 6 meter (Gambar 15). Proses sulfonasi metil ester ini dilakukan dalam Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara fase gas dan fase cair, penyerapan gas SO3 dari fase gas, dan reaksi dalam fase cair. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke liquid chamber, dan mengalir turun membentuk liquid film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus untuk keperluan ini. Ketebalan film bisa diatur dengan mengubah lebar jarak (gap) antara corong dengan tabung reaktor, menggunakan washer yang memiliki tebal tertentu. Surfaktan MESA diproduksi menggunakan metil ester minyak jarak pagar dengan menggunakan pereaksi gas SO 3. Kondisi proses yang dikaji adalah laju alir umpan konstan 100 ml/menit; sampel diambil pada periode ke-3 jam, suhu sulfonasi 100 o C, kemudian dilanjutkan dengan proses aging untuk menyempurnakan proses sulfonasi pada suhu 80 o C, waktu 45 menit, 150 rpm. Selanjutnya, dilakukan analisa terhadap surfaktan MESA yang dihasilkan. Prosedur analisis karakteristik MESA dapat dilihat pada Lampiran Proses Pemurnian Surfaktan MESA dan Analisis Sifat Fisiko Kimia MES Hasil Pemurnian Surfaktan MESA selanjutnya dimurnikan melalui proses pemucatan menggunakan metanol dan hidrogen peroksida sebanyak 2, 4 dan 6% dari bahan sebagai bahan pemucat. Proses pemurnian yang dilakukan dibagi dalam dua tahap, dimana tahap I adalah proses bleaching dengan konsentrasi 20

34 H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% dari bahan tanpa netralisasi; dan tahap II adalah proses bleaching dengan konsentrasi H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% dari bahan, diikuti dengan proses netralisasi. Setelah itu dilakukan perbandingan sifat surfaktan MES hasil pemurnian dengan surfaktan MESA sebelum pemurnian. Tujuan dilakukannya pemurnian pada tahap I hanya sebagai bahan pembanding antara surfaktan MESA sebelum pemurnian dengan surfaktan MES hasil pemurnian (tahap II) dikarenakan oleh surfaktan MESA hasil tahap I masih bersifat asam sehingga dalam aplikasinya, surfaktan ini belum dapat digunakan. Proses pemucatan (bleaching) dilakukan dengan mencampurkan MESA dengan pelarut metanol 31% (v/v, MESA basis) dan H 2 O 2 50% sekitar 2, 4 dan 6% (v/v, MESA basis) pada suhu C selama 1-1,5 jam. Selanjutnya secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai ph 6,5 7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan MESA hasil bleaching dengan pelarut NaOH 50% pada suhu 55 o C untuk membuat suasana larutan menjadi netral atau basa. Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena proses penambahan larutan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wood et al., 1996). Penambahan metanol pada proses pemucatan berfungsi untuk mengurangi pembentukan garam disodium karboksi sulfonat. Bleached agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah H 2 O 2 (hidrogen peroksida) karena sifat hidrogen peroksida tersebut yang mempunyai kecenderungan kuat untuk membebaskan oksigen dan bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah, serta menurut Wood et al., (1966) yang menyatakan bahwa proses produksi hidrogen peroksida yang lebih murah telah membawa bahan ini banyak digunakan sebagai bahan pemutih untuk berbagai hal. Lebih lanjut Durrant (1960) menyatakan bahwa hidrogen peroksida ini dapat larut dalam air pada semua konsentrasi. Dalam kondisi larutan, hidrogen peroksida mempunyai kondisi yang lebih stabil bila dibandingkan dengan dalam keadaan murni, sehingga hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan mengurai menjadi air dan oksigen dan seringkali bisa menurunkan konsentrasi hidrogen peroksida itu sendiri di dalam larutan. Prinsip pemucatan dengan hidrogen peroksida menggunakan prinsip oksidasi. Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) akan merusak ikatan rangkap pigmen pada larutan surfaktan menjadi komponen yang tidak berwarna. Oleh sebab itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan perbandingan perlakuan bleaching dengan tiga kondisi pelarut H 2 O 2 50% sekitar 2, 4 dan 6% sehingga dapat diperoleh kondisi pemurnian MES yang optimal atau efisien serta perbandingan sifat fisiko kimia surfaktan yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan proses pemurnian. Metode lengkap proses pemurnian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar

35 MESA Pemucatan Panaskan hingga 40 o C Metanol 31% MESA o C H 2 O 2 50% (2%, 4% dan 6%) MESA o C Aduk, 1 jam MESA didinginkan hingga 40 o C Bleached MESA NaOH 50% MESA o C Aduk Netralisasi Separasi Garam (disalt) MES Analisa fisiko kima Gambar 17. Diagram alir proses pemurnian yang dilakukan Untuk mengetahui pengaruh penambahan H 2 O 2 sebagai bahan pemucat pada proses pemurnian surfaktan MESA terhadap sifat fisiko kimia surfaktan yang dihasilkan, dilakukan analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal (Sudjana, 1994). Faktor yang digunakan adalah konsentrasi H 2 O 2 dengan tiga taraf (sebesar 2, 4, dan 6% dari bahan) dan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan dapat dilihat sebagai berikut: Y ij = µ+a i +ε j(i) Dimana : Y ij = hasil pengamatan pada ulangan ke-j, pada konsentrasi ke-i µ = rata-rata sebenarnya A i = pengaruh konsentrasi ke-i = galat eksperimen ε j(i) Sifat fisiko kimia produk hasil proses yang dianalisis dari rancangan percobaan ini meliputi bahan aktif (metode Ephton), bilangan asam (SNI ), ph (ASTM D ), warna (metode Klett), bilangan iod (AOAC) dan densitas (SNI ). Prosedur analisis 22

36 karakteristik MES sesudah pemurnian dapat dilihat pada Lampiran 4. Data yang dihasilkan dianalisis dengan uji anova, apabila ada perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut menggunakan metode uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%. Data hasil analisa uji anova untuk masing-masing parameter sifat fisiko kimia produk dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 9. Diagram alir pelaksanaan kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 18. Gambar 18. Diagram alir pelaksanaan kegiatan penelitian 23

37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA (PROKSIMAT) BIJI JARAK PAGAR DAN PROSES PENGEPRESAN Jarak pagar (Jatropha curcas L) yang akan dipress untuk diperoleh minyaknya dianalisis terlebih dahulu atau yang sering disebut dengan uji proksimat untuk dapat diketahui kualitas dari biji jarak pagar tersebut. Hasil analisis biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Biji Jarak Pagar Analisis Proksimat Satuan Nilai ± SD Kadar Air (%) % 9,65 ± 0,12 Kadar Abu (%) % 3,27 ± 0,08 Kadar Minyak (%) % 40,55 ± 0,96 Hasil analisis kadar minyak pada biji jarak pagar adalah sebesar 40,55%. Kadar minyak yang tinggi ini menunjukkan bahwa biji jarak pagar ini potensial untuk dikembangkan sebagai sumber minyak nabati dalam produksi surfaktan methyl ester sulfonates (MES). Menurut Hambali et al. (1935), kadar minyak pada biji-bijian berbeda-beda tergantung pada varietas tanaman, keadaan tanah dan iklim. Disamping itu juga cara dan jenis bahan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi mempengaruhi besarnya kadar minyak yang dihasilkan. Dalam hal ini, kematangan buah waktu dipanen juga berpengaruh terhadap kandungan minyak dalam biji. Hasil analisis kadar air biji jarak pagar adalah sebesar 9,65%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian biji jarak yang digunakan masih basah, sehingga diperlukan proses pengeringan atau penjemuran biji jarak tersebut. Menurut Hambali (2007), kadar air yang optimum untuk biji-bijian yang akan dipress minyaknya adalah sebesar 6 sampai 7 persen. Adanya kandungan air di dalam jaringan minyak dalam biji-bijian dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa yang akan menghasilkan asam lemak bebas. Besarnya kadar air biji jarak antara lain dipengaruhi oleh kematangan buah waktu dipanen, penjemuran dan lama penyimpanan. Kadar abu menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar, dimana kadar abu hasil analisis adalah sebesar 3,27%. Besarnya kadar abu tersebut dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuh dan iklim. Alasan digunakannya biji jarak pagar dalam penelitian kali ini menurut Hambali et al. (2006), adalah dikarenakan oleh sifat minyak jarak hasil pengepresan biji jarak pagar tergolong dalam nonedible oil (bukan merupakan minyak makan), karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia sehingga tidak terjadi kompetisi antara bahan pangan dengan bahan untuk energi atau oleochemical. Setelah dilakukan analisis proksimat, selanjutnya biji jarak pagar tersebut dipress dengan menggunakan alat pengepresan berulir (sistem kontinyu) yang memberikan tekanan yang semakin membesar sampai ke ujung alat dan tekanan inilah yang menyebabkan keluarnya minyak dari biji jarak pagar tersebut. Proses pengepresan biji jarak pagar dideskripsikan pada Gambar

38 Gambar 19. Proses pengepresan biji jarak dengan alat pengepress berulir 4.2. ANALISIS MINYAK JARAK PAGAR Minyak jarak hasil pengepresan biji jarak pagar diperoleh dengan rendemen sekitar 25% dimana selebihnya adalah sludge. Selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut terhadap minyak jarak pagar dari hasil pengepresan biji yang telah dianalisis sebelumnya guna mengetahui sifat fisiko kimia dari minyak jarak pagar yang akan diolah menjadi metil ester, sehingga dapat ditentukan jalur proses produksi minyak jarak pagar menjadi metil ester. Analisis tersebut meliputi analisis kadar air, kadar abu, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam dan FFA (Free Fatty Acid). Berikut Tabel hasil analisis minyak jarak pagar yang dihasilkan: Tabel 7. Hasil Analisis Minyak Jarak pagar. No Parameter mutu Satuan Nilai 1 Kadar air % (b/b) 0,36 2 Kadar Abu % Bilangan iod mg iod/g sampel 71,46 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g lemak 196,2 5 FFA % 32,09 6 Bilangan asam mg KOH/g lemak 63,86 Dari hasil pengujian minyak jarak di atas, diperoleh nilai kadar air yang cukup tinggi sebesar 0,36%. Sedangkan pada nilai FFA dan nilai bilangan asam yang tinggi, masing-masing sebesar 32,09 dan 63,86%. Hal ini dikarenakan oleh minyak jarak yang digunakan mengalami proses penyimpanan maupun proses pengendapan setelah pengepresan dimana kandungan air dan enzim lipase dalam biji jarak pagar akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak jarak pagar. Karena nilai FFA lebih dari 2%, maka dalam pembuatan metil ester dari minyak jarak ini akan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi ditujukan untuk mencegah terbentuknya sabun pada saat proses transesterifikasi yang nantinya akan mengganggu proses transesterifikasi sehingga mengurangi rendemen metil ester yang dihasilkan. Bilangan penyabunan diperoleh cukup besar, yaitu sebesar 196,2 mg KOH/g lemak. Menurut Jacobs (1951), besarnya bilangan penyabunan ditentukan oleh berat molekul minyak. Minyak yang mempunyai berat molekul yang rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi 25

39 daripada minyak yang berat molekulnya tinggi. Bilangan penyabunan merupakan ciri khas suatu minyak atau lemak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986). Lebih lanjut, Hambali et al. (2006) menjelaskan bahwa jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan analisis, diperoleh bilangan iod sebesar 71,46 mg I 2 /g minyak. Bilangan iod yang diperoleh ini lebih rendah dari bilangan iod berdasarkan literatur yakni 96,5 mg I 2 /g minyak (Hambali et al.,2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi selama proses penyimpanan minyak setelah ekstraksi dan mengakibatkan terbentuknya senyawa peroksida yang akan mengurangi jumlah ikatan rangkap dalam minyak sehingga nilai bilangan iod minyak jarak mengalami penurunan PROSES PEMBUATAN DAN ANALISIS METIL ESTER Hasil minyak jarak yang diperoleh kemudian diproses menjadi metil ester dengan proses pembuatan pada Gambar 20. Metil ester hasil proses esterifikasi-transesterifikasi minyak jarak pagar selanjutnya dianalisis guna mengetahui sifat fisiko kimia metil ester yang akan diolah menjadi metil ester sulfonat melalui proses sulfonasi sehingga dapat ditentukan jalur proses produksi metil ester jarak pagar menjadi metil ester sulfonat. Berikut adalah tabel hasil analisis metil ester hasil pengolahan minyak jarak pagar di laboratorium: Tabel 8. Hasil Analisis Metil Ester Jarak Pagar No. Parameter Satuan Nilai 1 Kadar Air % 0,024 2 Bilangan Asam mg KOH/g lemak 1,44 3 Bilangan Iod mg Iod/g lemak 94,917 4 Bilangan Penyabunan mg KOH/g lemak 198,125 5 Gliserol Total % 0,918 6 Kadar Ester % 97,660 Sebagian besar hasil di atas sesuai dengan literatur dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MacArthur (1998). Perubahan mencolok yang terjadi dengan proses trans-esterifikasi adalah adanya perubahan pada parameter bilangan asam dan FFA. Bilangan asam metil ester jarak pagar (0,44 mg KOH/g minyak) jauh lebih rendah dari bilangan asam jarak pagar (63,86 mg KOH/g minyak). Terjadinya fenomena tersebut menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi bersifat menurunkan bilangan asam. Asam lemak merupakan komponen penyusun minyak dan terdeteksi sebagai bilangan asam. Dengan terjadinya penurunan bilangan asam tersebut maka asam lemak telah mengalami konversi menjadi ester (dalam hal ini metil ester). Oleh karena itu, metil ester ini dapat digunakan untuk diproses lebih lanjut sebagai bahan baku MESA. 26

40 Pembuatan larutan metoksida (Metanol + Asam Sulfat) Penuangan larutan metoksida Reaksi esterifikasi / transesterifikasi Pencucian Pemisahan gliserol Proses settling Proses evaporasi Metil Ester/Biodiesel Gambar 20. Proses Pembuatan Metil Ester Jarak Pagar 4.4. ANALISIS SURFAKTAN MESA Setelah melalui proses sulfonasi, dilakukan analisis terhadap surfaktan MESA yang dihasilkan. Hasil analisis surfaktan MESA dari jarak pagar disajikan pada Tabel 9. 27

41 Tabel 9. Hasil Analisis MESA Jarak Pagar setelah Sulfonasi. Karakteristik Satuan Nilai Rata-rata Bilangan Asam mg KOH/g MESA 15,12 Bahan Aktif % 32,64 Bilangan Iod mg iod/g MESA 42,42 Ph 1,01 Warna Klett 5% aktif (MES + di-salt) 877 Dari hasil analisis di atas, diperoleh nilai bilangan iod yang lebih rendah dari metil ester sebelum sulfonasi. Penurunan nilai bilangan iod ini dapat terjadi akibat adanya proses adisi ikatan rangkap metil ester oleh gas SO 3 membentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat. Semakin tinggi suhu reaksi akan menurunkan nilai bilangan iod yang dikarenakan oleh proses sulfonasi yang semakin sempurna. Hal ini diperkuat oleh Jungermann (1979) yang mengemukakan bahwa ikatan rangkap pada metil ester merupakan salah satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi. Reaksi pembentukan MESA melalui reaksi sulfonasi pada ikatan rangkap metil ester dapat dilihat pada gambar berikut: O O CH 3 (CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 C OCH 3 + SO 3 CH 3 (CH 2 ) 7 CH 2 CH (CH 2 ) 6 CH C OCH 3 Terikat pada ikatan SO 3 H rangkap Metil Ester Sulfur trioksida Metil Ester Sulfonat Gambar 21. Reaksi sulfonasi yang terjadi pada ikatan rangkap metil ester Dari data juga diperoleh nilai bahan aktif yang cukup tinggi yaitu sebesar 32,64% yang berbanding lurus dengan bilangan asamnya sehingga bilangan asam yang diperoleh juga tergolong tinggi yaitu sekitar 15,12 mg KOH/g MESA. Surfaktan MESA yang dihasilkan masih bersifat sangat asam dengan nilai ph sebesar 1,01. Dalam aplikasinya, surfaktan yang masih asam belum bisa digunakan karena MESA yang bersifat asam masih bersifat reaktif dan tidak stabil sehingga lamakelamaaan akan mengurangi kualitas surfaktan tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan suatu proses pemurnian berupa netralisasi untuk menghasilkan surfaktan dengan ph netral. Tujuan lain proses netralisasi adalah untuk mencegah terbentuknya disalt (garam) sebagai produk samping. Akan tetapi, proses netralisasi yang melewati batas netral (ph>7) justru akan menyebabkan terbentuknya disalt. Produk samping ini terbentuk karena proses sulfonasi dari metil ester yang kurang sempurna sehingga tidak semua metil ester terkonversi menjadi metil ester sulfonat. Sebenarnya kehadiran garam ini tidak diinginkan pada pembentukan MES karena mampu menurunkan kelarutan MES dalam air dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah dan menurunkan daya simpan produk. Adapun nilai dari warna diperoleh dengan menggunakan alat spectrophotometer (metode Klett dengan 5% MESA) sehingga diperoleh tingkat warna sebesar 0,88 % (absorbansi) yang menunjukkan warna yang tidak jernih atau hitam pekat dan cukup kental. Hal ini dikarenakan oleh proses sulfonasi dengan suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi sehingga menimbulkan warna gelap pada produk serta belum dilakukannya proses pemucatan dan netralisasi pada surfaktan MESA tersebut. 28

42 4.5. ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA METHYL ESTER SULFONATE (MES HASIL PROSES PEMURNIAN) Metil ester sulfonat yang dihasilkan dari reaktor cukup kental dan berwarna gelap dengan viskositas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metil ester. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas surfaktan MES perlu dilakukan pemurnian yang meliputi pemucatan (bleaching) dan netralisasi. Melalui proses pemucatan, surfaktan akan berwarna lebih cerah sehingga memenuhi kriteria untuk diaplikasikan dalam pembuatan deterjen. Kondisi proses ini merujuk pada penelitian sebelumnya serta penelitian tentang MES oleh Chemiton, Amerika Serikat. Tabel analisis masing-masing perlakuan proses pemurnian surfaktan disajikan pada lampiran 5. Setelah melakukan proses pemucatan surfaktan MESA, selanjutnya dilakukan analisis sifat fisiko kimia MESA yang dihasilkan dari masing-masing proses pemurnian. Analisis yang dimaksud adalah: ph, FFA, warna produk (% warna Klett), kadar bahan aktif dan bilangan iod Derajat Keasaman (ph) Hasil analisis nilai ph surfaktan MES yang telah dimurnikan disajikan pada Lampiran 5. Dari data diperoleh bahwa nilai ph surfaktan MESA pada sampel awal sebesar 1,01. Nilai ph surfaktan MES setelah pemurnian mengalami peningkatan dimana nilainya lebih tinggi dari kondisi awal sebelum proses pemurnian. Dari Gambar 22 diperoleh bahwa nilai ph terendah pada proses bleaching diperoleh dari penambahan konsentrasi H 2 O 2 2% dengan nilai ph sebesar 1,11. Sedangkan pada proses bleaching-netralisasi, nilai ph tertinggi yaitu 7,15 diperoleh dari penambahan konsentrasi H 2 O 2 2%. Kondisi asam pada proses bleaching diperoleh pada waktu proses pemucatan dengan penambahan asam peroksida tanpa diikuti proses netralisasi sehingga surfaktan yang dihasilkan masih bersifat asam dan bersifat reaktif sehingga ada kemungkinan terjadinya peningkatan nilai ph surfaktan tersebut dibandingkan dengan MESA awal sedangkan kondisi netral (bleaching-netralisasi ) diperoleh pada waktu proses netralisasi surfaktan MESA setelah proses pemucatan dengan penambahan NaOH 50%. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing konsentrasi H 2 O 2 yang ditambahkan terhadap nilai ph MES yang dihasilkan, dilakukan analisis uji statistik (ANOVA) dengan dua kali pengulangan. Hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% tidak berpengaruh terhadap nilai ph yang dihasilkan pada masing-masing proses pemurnian (Lampiran 6). Histogram pengaruh tahapan proses terhadap nilai ph dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Histogram Pengaruh Proses Pemucatan terhadap Nilai ph Surfaktan MESA. 29

43 Tingkat Warna (% Absorbansi) Warna gelap yang diperoleh pada produk surfaktan ini berasal dari proses sulfonasi pembuatan MESA dengan suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi. Hasil analisis tingkat warna surfaktan MES yang telah dimurnikan disajikan pada lampiran 5. Nilai kekeruhan surfaktan MESA sample awal adalah sebesar 0,88%. Nilai kekeruhan surfaktan MES setelah proses pemucatan mengalami penurunan atau nilainya lebih rendah dari kondisi awal. Dengan demikian, proses pemucatan yang dilakukan mampu menurunkan tingkat kekeruhan warna MES sekitar 62,5-69,3% dari tingkat kekeruhan surfaktan awal. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing konsentrasi hidrogen peroksida (sebesar 2, 4 dan 6%) yang ditambahkan pada proses pemucatan dalam pengaruhnya terhadap tingkat warna surfaktan yang dihasilkan, dilakukan uji statistik dengan rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% tidak berpengaruh terhadap nilai kekeruhan surfaktan MES yang dihasilkan (Lampiran 7). Dengan demikian, kondisi proses pemurnian pada masing-masing konsentrasi H 2 O 2 yang digunakan belum mampu untuk memberikan perbedaan yang nyata pada tingkat warna atau kualitas surfaktan MES yang dihasilkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan H 2 O 2 pada konsentrasi rendah (2%) dalam proses pemucatan MESA dinilai dapat menurunkan tingkat kekeruhan MESA sampai pada tingkat tertentu sama seperti pada penambahan H 2 O 2 dengan konsentrasi yang lebih tinggi, serta dinilai lebih bersifat ekonomis karena dapat mengurangi biaya proses produksi. Gambar 23 menunjukkan histogram kekeruhan surfaktan MESA akibat pengaruh penambahan konsentrasi H 2 O 2. Sedangkan gambar 24 menunjukkan surfaktan hasil pemurnian dari setiap perlakuan. (a) Tahap I (b) Tahap II Gambar 23. Pengaruh Proses Pemurnian Terhadap Tingkat Warna Surfaktan MESA 30

44 Perlakuan Awal : MESA sebelum pemucatan Perlakuan Tahap I: (a) : MESA bleaching dengan H 2 O 2 2% (b) : MESA bleaching dengan H 2 O 2 4% (c) : MESA bleaching dengan H 2 O 2 6% (a) (b) (c) Perlakuan Tahap II: (a) : MES bleaching (H 2 O 2 2%) dan netralisasi (b) : MES bleaching (H 2 O 2 4%) dan netralisasi (c) : MES bleaching (H 2 O 2 4%) dan netralisasi Bilangan iod (a) (b) (c) Gambar 24. Metil Ester Sulfonat sebelum dan sesudah pemucatan: Hasil analisis bilangan iod surfaktan MES yang telah dimurnikan disajikan pada Lampiran 5. Dari data diperoleh bahwa nilai bilangan iod surfaktan MESA pada sampel awal (sebelum pemurnian) adalah sebesar 42,42 mg iod/g MESA. Sedangkan nilai bilangan iod yang dihasilkan setelah proses pemurnian (Gambar 26) pada tahap I berkisar antara 30,02 32,82 mg iod/g MESA dan pada tahap II berkisar antara 29,75 31,02 mg iod/g MESA. Dengan demikian, proses pemurnian yang dilakukan mampu menurunkan nilai bilangan iod MES dengan tingkat penurunan sekitar 26,87-29,87%. Tingkat penurunan tertinggi diperoleh pada proses pemurnian tahap II dengan penambahan H 2 O 2 pada konsentrasi 4% yang disertai dengan proses netralisasi. Hal ini dikarenakan oleh adanya pengaruh basa (NaOH) yang digunakan dalam proses netralisasi sehingga mengakibatkan berpindahnya ikatan rangkap pada asam lemak dari yang tidak berkonjugasi menjadi ikatan rangkap yang berkonjugasi sehingga turut menurunkan jumlah iodin yang terserap oleh surfaktan MESA tersebut. Menurut Jacobs (1951), dalam suasana alkalis dengan suhu tinggi ikatan rangkap pada asam lemak yang semula tidak berkonjugasi, cenderung berpindah dan membentuk ikatan rangkap yang berkonjugasi. Gambaran proses netralisasi MESA dapat dilihat pada Gambar

45 O O R CH C O - CH 3 + NaOH R CH C O - CH 3 + H 2 O SO 3 SO 3 Na MESA Basa MES Air Gambar 25. Reaksi Netralisasi MESA Namun demikian, setelah dilakukan analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa konsentrasi H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% pada proses pemurnian tahap I dan II tidak berpengaruh terhadap bilangan iod yang dihasilkan (Lampiran 8). Dengan demikian, kondisi proses pemurnian pada masing-masing konsentrasi H 2 O 2 yang digunakan belum mampu untuk memberikan perbedaan yang nyata pada nilai bilangan iod surfaktan MES yang dihasilkan, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah iodin yang diserap selama proses pemurnian dari setiap perlakuan masih tergolong hampir sama. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap bilangan iod dapat dilihat pada Gambar 26. (a) Tahap I (b) Tahap II Gambar 26. Pengaruh proses pemurnian terhadap bilangan iod surfaktan MESA Kadar Bahan Aktif (Active matter) Hasil analisis nilai bahan aktif surfaktan MES yang telah dimurnikan disajikan pada Lampiran 5. Hasil pengukuran nilai bahan aktif surfaktan MESA sebelum pemurnian adalah sebesar 32

46 32,64%. Hasil pengukuran nilai bahan aktif surfaktan MESA setelah pemurnian pada tahap I adalah sekitar 19,43-23,25% sedangkan pada tahap II sekitar 22,40-23,47%. Dari gambar 27 menunjukkan adanya penurunan nilai bahan aktif surfaktan MESA setelah pemurnian dengan tingkat penurunan sekitar 28,09-40,47% dari nilai bahan aktif surfaktan awal. Penurunan nilai bahan aktif ini dapat dipengaruhi oleh metanol yang belum teruapkan secara sempurna sebelum proses netralisasi serta adanya penurunan nilai bilangan iod surfaktan MES setelah pemurnian akibat proses oksidasi dari bahan pemucat (hidrogen peroksida) yang mempunyai sifat oksidator sekaligus reduktor kuat dengan tingkat potensial oksidasi sebesar 1,8V (Shafii, 2008) sehingga jika mengalami penguraian menjadi air dan oksigen selama proses pemucatan akan menimbulkan reaksi eksoterm. Namun demikian, untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan H 2 O 2 pada beberap konsentrasi (sebesar 2, 4 dan 6%) terhadap kadar bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan, dillakukan uji statistik dengan rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi H 2 O 2 tidak berpengaruh terhadap nilai bahan aktif surfaktan MES baik pada proses pemurnian tahap I maupun tahap II (Lampiran 9). Dengan demikian, kondisi proses pemurnian dengan konsentrasi H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% yang digunakan belum mampu untuk memberikan perbedaan yang nyata pada tingkat kualitas dari segi nilai bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan. Histogram pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA dapat dilhat pada Gambar 27. (a) Tahap I (b) Tahap II Gambar 27. Pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA. Berdasarkan analisa ke-empat karakteristik diatas menunjukkan bahwa kondisi proses pemucatan dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2, 4 dan 6% sebagai bahan pemucat tidak 33

47 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada sifat fisiko kimia surfaktan MES yang dihasilkan, dimana dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2% mampu menghasilkan sifat fisiko kimia yang tidak berbeda jauh dengan proses pemucatan dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 sebesar 4 dan 6%. Dengan demikian, pada penelitian kali ini telah terbukti bahwa dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 yang lebih rendah mampu memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penambahan konsentrasi yang lebih tinggi sehingga berdasarkan pertimbangan nilai ekonominya, proses pemurnian dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2% dinilai lebih efisien. Pada kondisi proses pemurnian (pemucatan dan netralisasi) ini diperoleh nilai ph sebesar 7,15, bilangan iod 31,02 mg I 2 /g MES, kadar bahan aktif 23,47 % dan persen absorbansi sebesar 0,52 %. Proses pemucatan dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2% ini bersifat lebih ekonomis dibandingkan dengan pemucatan dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 4 dan 6% karena biaya yang dibutuhkan lebih murah. 34

48 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Penambahan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) pada konsentrasi 2, 4 dan 6% sebagai bahan pemucat pada proses pemurnian surfaktan MESA jarak pagar tidak berpengaruh terhadap sifat fisiko kimia surfaktan MES yang dihasilkan. Dari hasil analisa sifat fisiko kimia MESA, MESA yang di bleaching dan MESA yang di bleaching-netralisasi, diperoleh nilai bahan aktif antara 18,94 % sampai 23,47 %, bilangan iod antara 29,75 sampai 32,82 mg Iod/mg MES, tingkat warna antara 0,27 % A - 0,52 % A dan ph antara 1,11 sampai 7,15. Tahapan proses terbaik untuk produksi MES didapat pada kondisi proses pemucatan yang diikuti oleh proses netralisasi. Proses pemurnian dengan penambahan H 2 O 2 sebesar 2% mampu menghasilkan sifat fisiko kimia yang tidak berbeda jauh dengan proses pemucatan dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 sebesar 4 dan 6%. Kondisi ini dinilai lebih ekonomis karena biaya yang dibutuhkan dalam proses lebih murah dibandingkan dengan proses pemurnian dengan penambahan konsentrasi H 2 O 2 yang lebih besar. Pada kondisi proses pemurnian (pemucatan dan netralisasi) ini diperoleh nilai ph sebesar 7,15, bilangan iod 31,02 mg I 2 /g MES, kadar bahan aktif 23,47 % dan persen absorbansi sebesar 0,52 % SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbaikan proses pemucatan (bleaching) surfaktan MESA yang optimal dengan perlakuan penguapan metanol sebelum proses netralisasi serta perbedaan konsentrasi metanol yang digunakan pada proses pemucatan. 35

49 DAFTAR PUSTAKA Agung, N. P Potensi Jarak Pagar Sebagai Tanaman Energi di Indonesia. www. Chem-Is- Try.Org [23Agustus 2010] Bernardini, E Vegetable Oils and Fats Processing. Di dalam M. Rivai, A. Suryani, L. Hartoto, dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi Untuk Menghasilkan MES Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum Pascasarjana Vol.27 No.3: Djatmiko, B dan S. Ketaren Pemurnian Minyak Makan. Agroindustri Press, Jurusan Teknologi Industri Pertanian. FATETA. IPB. Bogor Durrant, P. J General and Inorganic Chemistry. Di dalam Priyanto, H. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) Terhadap Kualitas Pemutihan Rotan Sega (Calamus caesius BI) (1990). Fakultas Teknologi Pertanian. FATETA IPB. Bogor Elefani, D Produksi Metil Ester Sulfonat untuk Surfaktan dari Chemithon Corporation, US Patent ; [2 September 2010] Gubitz, G.M., M. Mittelbach., dan M. Trabi Exploitation of The Tropical Seed Plant Jatropha curcas L. Di dalam Hambali, E., D. Setyaningsih, N. Haryanto, dan H. Kusbudiarto. Pengembangan Material Cleaning Agent untuk Mempercepat Proses Pemurnian Biodiesel Jarak Pagar (2007). Proposal. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) -IPB. Bogor Hambali, E. M. Rivai, H. Handoko, Dian, S. Purwanto, S. Mujdalipah Peningkatan Nilai Tambah Minyak Jarak Pagar Melalui Pemanfaatan Biodiesel Jarak Pagar Menjadi Surfaktan MES untuk Aplikasi sebagai Oil Well Stimulation Agent. Laporan Penelitian Peningkatan Kapasitas IPTEK Sistem Produksi. SBRC-LPPM IPB Hambali, E., D. Setyaningsih, N. Haryanto, dan H. Kusbudiarto Pengembangan Material Cleaning Agent untuk Mempercepat Proses Pemurnian Biodiesel Jarak Pagar. Proposal. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) -IPB. Bogor Hambali, E.,S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Patiwiri Pengantar Teknologi Bioenergi. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB dan Himpunan Alumni FATETA IPB. Bogor Hargreaves, T Chemical Formulation. An Overview of Surfactant-based Preparations Used in Everyday Life. The Royal Society of Chemistry. Cambridge. UK Haryanto, B Bahan Bakar Alternatif Biodiesel (Pengenalan I). USU Digital Library. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara Hendra, H. Y. C Pengaruh Tahap-Tahap Proses Pemurnian yang dilakukan PT UVOCRINE Terhadap Sifat-Sifat Minyak Kelapa Sawit Yang Dihasilkan. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor 36

50 Hernani dan Tri M Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses Pemurnian. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor Jacobs, M.B The Chemistry and Technology of Food and Food Products. Interscience. New York Joelianingsih, A.H. Tambunan, H. Nabetani, Y. Sagara, K. Abdullah Perkembangan Proses Pembuatan Biodiesel sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 20 N0. 3 Jungermann, E Fat-Based Surface-Active Agent. Di dalam Efrat, N. Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO 3 dan Suhu Reaksi Sulfonasi Pada Karakteristik Surfaktan MESA dari Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (2010). Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. Bogor Ketaren, S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta Kirk, R.E. dan D.F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology, Vol.4, 2 nd Interscience Encyclopedia Inc., New York ed. The MacArthur, B.W., B. Brooks, W.B. Sheats, and N.C Foster Meeting the Challenge of Methyl Ester Sulfonation. Chemiton Peace, O.E.O dan O. Aladesanmi Effect of Fermentation on Some Chemical and Nutritive Properties of Berlandier Nettle Spurge (Jatropha cathartica) and Physic Nut (Jatropha curcas). Di dalam Efrat, N. Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO 3 dan Suhu Reaksi Sulfonasi Pada Karakteristik Surfaktan MESA dari Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (2010). Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, Bogo Pore, J Sulfated and Sulfonated Oils. In: Karlenskind, A. (Ed.). Oil and Fats. Manual Intercept Ltd., New York Prasetyo, C Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Fatty Alcohol dari Minyak Kelapa. FATETA IPB. Bogor Priatna et al Studi Pendahuluan Kemungkinan Pemanfaatan Diatome Asal Solo Sebagai Penjernih Minyak Sawit. Di dalam Prasetyo, C. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Fatty Alcohol dari Minyak Kelapa (2008). FATETA IPB. Bogor Priyanto, H Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) Terhadap Kualitas Pemutihan Rotan Sega (Calamus caesius BI). Fakultas Teknologi Pertanian. FATETA IPB. Bogor Shafii, Salimah The Removal of Zinc and Plumbum (Lead) by Using Hydrogen Peroxide. Faculty of Chemical Engineering and Natural Resources Universiti, Malaysia, Pahang 37

51 Sheats, W. B. dan B. W. MacArthur Methyl Ester Sulfonate Products. SNI tentang biodiesel Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Suryani, A., Dadang M., Setyadjid M., A. Sudirman Rekayasa Proses Produksi, Karakterisasi dan Aplikasi Alkyl Polyglycosides (APG) Berbasis Fatty Alcohol Minyak Kelapa dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Laporan Akhir Hasil Penelitian. Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI. LPPM-IPB Swern, D Bailey s Industrial Oil and Fat Vol I 4 th edition. Chichester. Brisbane. New York Waldhoff and Rudiger, Handbook of Detergents. Part C: Analysis. Madison Avenue. New York Watkins, C Surfactant and Detergent : All Eye Are on Texas. Di dalam M. Rivai, A. Suryani, L. Hartoto, dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi Untuk Menghasilkan MES Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum Pascasarjana Vol.27 No.3: Winkler, E., N. Foidl., G.M. Gubitz., R. Staubmann., dan W. Steiner Enzyme- Supported Oil Extraction from Jatropha curcas Seeds. Di dalam Hambali, E., D. Setyaningsih, N. Haryanto, dan H. Kusbudiarto. Pengembangan Material Cleaning Agent untuk Mempercepat Proses Pemurnian Biodiesel Jarak Pagar (2007). Proposal. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) -IPB. Bogor Wood, J. H., C.W. Keenan and W. E. Bull Bowman Fundamental of College Chemistry. Di dalam M. Rivai, A. Suryani, L. Hartoto, dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi Untuk Menghasilkan MES Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum Pascasarjana Vol.27 No.3:

52 LAMPIRAN

53 Lampiran 1. Prosedur Analisis Proksimat Biji Jarak Pagar 1. Kadar Air (SNI ), Metode Oven Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 2 gram pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Untuk contoh yang berupa cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kwarsa atau kertas saring berlipat. Sampel dikeringkan dalam oven suhu 105 C selama 3 jam. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator. Lalu sampel ditimbang. Pekerjaan diulangi hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan: Kadar Air 100% W = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram) W 1 = kehilangan bobot setelah dikeringkan 2. Kadar Abu (SNI ), Abu Total Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 2 3 gram contoh ke dalam sebuah cawan porselen (atau platina) yang telah diketahui bobotnya. Untuk contoh cairan, sampel diuapkan di atas penangas air sampai kering. Kemudian diarangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 C sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka seedikit, agar oksigen bisa masuk). Lalu dinginkan dalam eksikator, kemudian timbang hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan: Kadar Abu 100% W = bobot contoh sebelum diabukan (gram) W 1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (gram) W 2 = bobot cawan kosong (gram) 3. Kadar Minyak/Lemak (SNI ), Metoda ekstraksi langsung dengan alat Soxhlet Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 2 gram, lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas berisi contoh disumbat dengan kapas, dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 C selama lebih kurang satu jam, kemudian dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Ekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Sulingkan heksana dan keringkan ekstrak lemak dalam oven pengering pada suhu 105 C. Dinginkan dan timbang. Pengeringan diulangi hingga teercapai bobot tetap. Perhitungan: %Lemak w 100% w W = bobot contoh (gram) W 1 = bobot lemak sebelum ekstraksi (gram) W 2 = bobot labu lemak sesudah ekstraksi (gram) 40

54 Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Jarak Pagar 1. Kadar Abu (SNI ), Abu Total Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 2 3 gram contoh ke dalam sebuah cawan porselen (atau platina) yang telah diketahui bobotnya. Untuk contoh cairan, sampel diuapkan di atas penangas air sampai kering. Kemudian diarangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 C sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka seedikit, agar oksigen bisa masuk). Lalu dinginkan dalam eksikator, kemudian timbang hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan: Kadar Abu 100% W W1 W2 = bobot contoh sebelum diabukan (gram) = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (gram) = bobot cawan kosong (gram) 2. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak. N, Bilangan Iod G Keterangan : B = ml Na2S2O3 blanko S = ml Na2S2O3 contoh N = normalitas Na2S2O3 G = berat contoh (gram) 12,69 = berat atom iod/10 3. Bilangan Penyabunan (SNI ) Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH Alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCL 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko. Perhitungan : Bilangan Iod, T 41

55 Keterangan : V0 = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) m = bobot contoh (gram) 4. Kadar asam lemak bebas (FFA) Panaskan contoh uji pada suhu 60 C sampai 70 C, aduk hingga homogen. Timbang contoh uji sesuai tabel dibawah ini ke dalam Erlenmeyer 250 ml. % Asam lemak bebas Berat contoh ± 10 % (g) < 1,8 10 ± 0,02 1,8 6,9 5 ± 0,01 > 6,9 2,5 ± 0,01 Tambahkan 50 ml pelarut yang sudah dinetralkan. Panaskan di atas penangas air atau pemanas dan atur suhunya pada 40 C sampai contoh minyak larut semuanya. Tambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Titrasi dengan larutan titar sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda (merah jambu) yang stabil untuk minimal selama 30 detik. Catat pengunaan ml larutan titar. Lakukan analisa sekurang-kurangnya duplo, perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh melebihi 0,05 %. Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan rumus di bawah ini dan dinyatakan dalam 2 desimal., N V % Asam Lemak Bebas 100% W V = volume larutan titar yang digunakan (ml); N = normalitas larutan titar; W = berat contoh uji (gram); 25,6 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat. 5. Pengukuran densitas (bobot jenis) berdasar SNI Bersihkan piknometer dengan cara membilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Keringkan piknometer dan timbang (W1). Masukkan sampel ke dalam piknometer sampai tanda tera. Tutup, kemudian masukkan ke dalam penangas yang suhunya sudah diatur sesuai dengan yang diingikan. Isi di dalam piknometer harus terendam dalam air. Biarkan 30 menit. Buka piknometer dan bersihkan leher pikno dengan kertas saring. Angkat piknometer. Diamkan pada suhu kamar, keringkan dan timbang (W2). Ulangi prosedur tersebut dengan blanko air. Perhitungan: Densitas Keterangan : W2 = bobot piknometer beserta sampel (gram) W1 = bobot piknometer kosong (gram) W = bobot piknometer beserta blanko / air (gram) 42

56 6. Bilangan Asam / Asam Lemak Bebas / Derajat Asam (SNI ) Sebanyak 2 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% netral. Larutan dikocok lalu ditambahkan 3-5 tetes indikator PP dan dititer dengan larutan standard NaOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Lakukan pekerjaan untuk blanko. Perhitungan : V T, a. Bilangan Asam b. Asam Lemak Bebas (FFA) M V T V T c. Derajat Asam Keterangan : V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran (ml) T = normalitas NaOH m = bobot contoh (gram) M = bobot molekul asam lemak 43

57 Lampiran 3. Prosedur Analisis Metil Ester (Biodiesel) 1. Metode Analisis Standar bilangan Asam Biodiesel/Ester Akil (FBI-A01-03) Timbang ± 0,05 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi larutan isi labu Erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Catat volume titran yang dibutuhkan (V ml). Perhitungan V N, Angka asam mg KOH/g biodiesel V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml) N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol. M = berat contoh biodiesel ester alkil (gram) Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). 2. Metode Analisis Standar Untuk Angka Penyabunan dan Kadar Ester Biodiesel Ester Alkil (FBI-A03-03) Timbang 4 5 ± 0,005 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu Erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang dibiarkan terkosongkan secara alami. Siapkan dan lakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh biodiesel. Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang tertulis untuk di dalam prosedur analisis ini, tetapi tidak mengikut-sertakan contoh biodiesel. Sambungkan labu Erlenmeyer dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan pelahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna. Ini biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, perpanjang waktu penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu dingin hingga membentuk jeli), bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah kecil akuades. Lepaskan kondfensor dari labu, tambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke dalam labu, dan titrasi isi labu dengan HCl 0,5 N sampai warna merah jambu persis sirna. Catat volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi. Perhitungan Angka penyabunan (As) = mcn - 56,1(B mg KOH/g biodiesel) dengan : B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko (ml) C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh (ml) N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N m = berat contoh biodiesel ester alkil (gram) Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut : Kadar Ester (%-b), G 44

58 dengan : As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel. Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel. Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b. 3. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak N, Bilangan Iod G Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na2S2O3 G = berat contoh (gram) 12,69 = berat atom iod/10 4. Metode Analisis Standar Untuk Kadar Gliserol Total, Bebas, Dan Terikat Di Dalam Biodiesel (FBI-A02-03) Prosedur analisis kadar gliserol total Timbang 9,9 10,1 ± 0,01 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu Erlenmeyer. Tambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik, sambungkan labu dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan isi labu pelahan selama 30 menit untuk mensaponifikasi ester-ester. Tambahkan 91 ± 0,2 ml khloroform (lihat Catatan peringatan) dari sebuah buret ke dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 25 ml asam asetat glasial (lihat Catatan no. 2) dengan menggunakan gelas ukur. Singkirkan labu saponifikasi dari pelat pemanas atau bak kukus, bilas dinding dalam kondensor dengan sedikit akuades. Lepaskan kondensor dan pindahkan isi labu saponifikasi secara kuantitatif ke dalam labu takar pada no. 03 dengan menggunakan 500 ml akuades sebagai pembilas. Tutup rapat labu takar dan kocok isinya kuat-kuat selama detik. Tambahkan akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-rapat dan campurkan baik-baik isinya dengan membolak- balikkan dan, sesudah dipandang tercampur intim, biarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna. Pipet masing- masing 6 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas piala ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing 50 ml akuades (sebagai pengganti larutan asam periodat). Pipet 100 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah no. 06 ke dalam gelas piala berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas piala ini pelahan supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas piala dengan kaca arloji/masir dan biarkan selama 30 menit (lihat Catatan no. 2). Jika lapisan akuatik termaksud mengandung bahan tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan. Tambahkan 3 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan pelahan dan kemudian biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5 menit) sebelum dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan dititrasi ini di bawah 45

59 cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah distandarkan (diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium-pati persis sirna. Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus. Ulangi langkah 08 s/d 11 untuk mendapatkan data duplo dan (jika mungkin) triplo. Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah 09 s/d 11 pada dua gelas piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada no. 07. Perhitungan Hitung kadar gliserol total (Gttl, %-b) dengan rumus : G ttl (%-b), N W dengan : C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh (ml) B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko (ml) N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat W 46

60 Lampiran 4. Prosedur Analisis Karakteristik MESA dan MES 1. Densitas (SNI ) Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 o C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20 o C dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W1). Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu ditutup. Keringkan bagian luar piknometer, kemudian piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W2). Perhitungan: Densitas Keterangan : W0 = bobot piknometer kosong W1 = bobot piknometer beserta air W2 = bobot piknometer beserta sampel 2. Penentuan nilai ph (ASTM D ) Metode ini digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (ph) bahan yang dapat terlarut dalam air. Nilai ph dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan ph-meter komersial. Alat ph-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer ph 4,0 (jika sampel yang dikur bernilai asam). Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO 2 yang memiliki ph antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Nilai ph dibaca pada ph-meter, pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO 2. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi. Larutan yang akan diukur berasal dari 1 + 0,001 gram sampel dan diencerkan dengan air dalam labu ukur 1 L. Labu dibolak balik agar sampel terlarut sempurna pada suhu 25 o C o C. 3. Pengukuran Viskositas Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer. Pastikan steker telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB 47

61 viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan. Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm. Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama. Tombol kontrol off setelah pembacaan dan ditepatkan agar jarum merah dapat terhimpit kembali ke angka nol. Viskositas (cp atau mpa.s) = Skala terbaca x Faktor Ukuran kekentalan diperoleh dengan perhitungan di atas dan tabel berikut. 4. Penentuan Bahan Aktif Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik dengan Metode Ephton Surfaktan ditimbang 1 + 0,003 gram dengan neraca analitik dalam gelas piala 250 ml. Tambahkan 30 ml aquades ke dalam gelas piala. Larutan dipanaskan di atas water bath dengan suhu 100 o C sampai larut semua. Setelah larutan dingin lalu ditambahkan indikator phenoplthalein 3 tetes, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. Volume penitaran dicatat. Larutan sampel kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Methylen blue dipipet sebanyak 3 ml dengan pipet ukur ke dalam gelas ukur bertutup. Larutan sampel dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet gondok ke dalam gelas ukur bertutup. Larutan kloroform dipipet 10 ml dengan pipet gondok ke dalam gelas ukur sambil dibilas. Larutan dalam gelas ukur dititrasi dengan n-cetylpyridium Chloride hingga warna biru antara dua fase sama. Titrasi diakhiri dan volume n-cetylpyridium Chloride dicatat sebagai volume (V) kationik. V BM, Bahan aktif (%), 5. Bilangan Iod(AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan 48

TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal masyarakat luas di Indonesia sejak dikenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Tanaman ini

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Goreng Curah Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggorengan yang

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari tumbuhan. Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati yang biasa digunakan ialah minyak

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha Curcas Linn) yang dalam Bahasa Inggris disebut Physic Nut merupakan jenis tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan sehingga

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Minyak Nabati Minyak dan lemak adalah triester dari gliserol, yang dinamakan trigliserida. Minyak dan lemak sering dijumpai pada minyak nabati dan lemak hewan. Minyak umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Dosen Pembimbing : Dr. Lailatul Qadariyah, ST. MT. Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA. Safetyllah Jatranti 2310100001 Fatih Ridho

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku, Pengepressan Biji Karet dan Biji Jarak Pagar, dan Pemurnian Minyak Biji karet dan biji jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku dikeringanginkan selama 7

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F34061189 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PENGARUH SUHU DAN

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II. 1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Biodiesel dan green diesel Biodiesel dan green diesel merupakan bahan bakar untuk mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel Institut Pertanian Bogor (IPB) Rekayasa Proses Produksi Biodiesel Berbasis Jarak (Jatropha curcas) Melalui Transesterifikasi In Situ Dr.Ir. Ika Amalia Kartika, MT Dr.Ir. Sri Yuliani, MT Dr.Ir. Danu Ariono

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Disusun oleh : Dyah Ayu Resti N. Ali Zibbeni 2305 100 023

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM

APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM Oleh IRA AYUTHIA HERDIANI F34104043 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar yang menjanjikan yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui transesterifikasi

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET Dwi Ardiana Setyawardhani*), Sperisa Distantina, Hayyu Henfiana, Anita Saktika Dewi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan manusia akan bahan bakar semakin meningkat. Namun, peningkatan kebutuhan akan bahan bakar tersebut kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Permintaan energi global sedang meningkat sebagai hasil dari prtumbuhan dari populasi, industri serta peningkatan penggunaan alat transportasi [1], Bahan bakar minyak

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar yang terdiri atas mono-alkil ester dari fatty acid rantai panjang, yang diperoleh dari minyak tumbuhan atau lemak binatang (Soerawidjaja,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 LAPORAN AKHIR PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. JARAK PAGAR Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas L. (Linnaeus). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke daerah tropis. Tanaman ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml) LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan merupakan kunci utama diberbagai sektor. Semakin hari kebutuhan akan energi mengalami kenaikan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.9 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar mesin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain ketersediaan bahan bakar minyak bumi dalam negeri semakin hari semakin

Lebih terperinci

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) Oleh : Irma Ayu Ikayulita 2308 030 034 Yudit Ismalasari 2308 030 058 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Soeprijanto,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh: Achmad Hambali NIM: 12 644 024 JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA

Lebih terperinci

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.

Lebih terperinci

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No. 2, Mei 2011 79 Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Wara Dyah Pita Rengga & Wenny Istiani Program Studi Teknik

Lebih terperinci

Nama Kelompok : MUCHAMAD RONGGO ADITYA NRP M FIKRI FAKHRUDDIN NRP Dosen Pembimbing : Ir. IMAM SYAFRIL, MT NIP.

Nama Kelompok : MUCHAMAD RONGGO ADITYA NRP M FIKRI FAKHRUDDIN NRP Dosen Pembimbing : Ir. IMAM SYAFRIL, MT NIP. Nama Kelompok : MUCHAMAD RONGGO ADITYA NRP. 2308 030 028 M FIKRI FAKHRUDDIN NRP. 2308 030 032 Dosen Pembimbing : Ir. IMAM SYAFRIL, MT NIP. 19570819 198701 1 001 Latar Belakang Bahan Bakar Solar Penggunaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak Duri Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman tahunan yang hidup di daerah tropik maupun sub tropik, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci