RANCANGBANGUN MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA. Triwulandari Satitidjati Dewayana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGBANGUN MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA. Triwulandari Satitidjati Dewayana"

Transkripsi

1 RANCANGBANGUN MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA Triwulandari Satitidjati Dewayana SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula merupakan gagasan dan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011 Triwulandari Satitidjati Dewayana F

3 ABSTRACT TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA. Design of Intelligent Decision Support System Model for Sugar Factory Performance Improvement Analysis. Supervised by M. SYAMSUL MA ARIF, SUKARDI, dan SAPTA RAHARJA. Main problems faced by sugar factories in Indonesia are low productivity and efficiency. These two aspects became the most important factors in improving sugar factory performance. Performance improvement consist of performance measurement, performance objectives, and improvement priorities setting. Since analysis of performance improvement research in sugar factories Indonesia were very limited, more research in this area are required. The purpose of this research was to design an intelligent decision support system model for sugar factory performance improvement analysis. Aspects of performance being studied were strategic performance, operational performance, and tactical performance. Objects of research are small, medium and large scale sugar factories under PTPN X. Model and prototype of performance improvement analysis resulted from this study consist of five sub-models: classification, performance measurement, best performance selection, best practice analysis, and setting performance improvement priority. To verify and validate the model, we use performance data from sugar factories during 2008 and confirmation from experts. The implementation of model results indicate that: 1) intelligence decision support system model for the analysis of the performance improvement of the sugar factory is an integrated model to achieve the objective analysis of the performance improvement in terms of determining the performance, performance targets, and priorities for performance improvement; 2) model can be used to measure strategic performance, operational performance, and especially on the tactical performance of the internal process perspective of the sugar factory; 3) output of the model selection of the best performance set as the a minimum target performance can improve the performance of strategic and operational performance of the sugar factory; and 4) model can be used to determine the priority of the sugar factory improvements and suggestions for improvement. Keywords : Performance Improvement Analysis, Intelligent Decision Support System, Sugar Factory

4 RINGKASAN TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA. Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen Untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA ARIF, SUKARDI, dan SAPTA RAHARJA. Industri gula Indonesia merupakan industri manufaktur yang berkembang pertama kali di Indonesia dimana pada masa kejayaannya (tahun 1930-an) pernah menjadi negara eksportir gula ke dua di dunia setelah Kuba. Namun, sejak tahun 1967 Indonesia menjadi negara pengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai sekarang belum tercapai. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program swasembada gula adalah pabrik (terkait dengan pengolahan). Permasalahan yang dihadapi pada sisi pengolahan yaitu rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula, yang merupakan aspek paling penting dari kinerja. Oleh karena itu perbaikan kinerja di sisi pengolahan (pabrik) menjadi kebutuhan yang mendesak dan harus dilakukan secara terus menerus. Tahap paling penting dalam perbaikan kinerja adalah tahap analisis. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada pabrik gula di Indonesia menunjukkan bahwa penelitian yang berhubungan dengan analisis perbaikan kinerja (sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk mengidentifikasi kinerja, menentukan target kinerja yang diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan) belum pernah dilakukan. Penelitian yang terkait dengan perbaikan kinerja pabrik gula khususnya produktivitas dan efisiensi terbatas pada pengukuran untuk mengetahui nilai kinerja saja. Selain itu, dalam merancangbangun model pengukuran kinerja memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, berdasarkan kecenderungan umum dalam model pengukuran kinerja, keterbatasan yang dimiliki penelitian terdahulu yaitu menggunakan ukuran kinerja dengan range yang sempit yaitu produktivitas atau efisiensi dan tidak ada keterkaitan antar ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan dan berkurangnya efektivitas sistem pengukuran kinerja. Kedua, ketidakjelasan dan rumit dalam mengaggregasikan ukuran kinerja dengan berbagai satuan pada proses pengukuran. Ketiga, infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja masih dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan proses pengukuran menjadi kurang efisien. Penelitian ini bertujuan untuk merancangbangun model sistem penunjang keputusan (SPK) intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Aspek kinerja yang dikaji merupakan kinerja pada sisi pengolahan pabrik gula khususnya dalam perspektif proses internal yang direpresentasikan dalam kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis. Obyek kajian adalah pabrik gula berskala kecil, menengah dan besar. Model yang dikembangkan diaplikasikan dalam bentuk

5 sistem yang berbasis komputer yang dirancang agar pengguna dapat berinteraksi dengan sistem, yaitu dalam bentuk prototype sistem penunjang keputusan intelijen dengan mengkombinasikan sistem pakar dan logika fuzzy. Verifikasi dan Validasi terhadap model analisis perbaikan kinerja yang dirancangbangun dilakukan menggunakan data kinerja pabrik gula PTPN X pada tahun 2008 dan konfirmasi pakar. Pakar terdiri dari satu orang peneliti dari P3GI dan dua orang praktisi dari pabrik gula dan PTPN X. Analisis perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan model analisis perbaikan kinerja yang terdiri dari lima sub model yaitu pengelompokan, pengukuran kinerja, pemilihan kinerja terbaik, analisis praktek terbaik, dan penentuan prioritas perbaikan. Ke lima sub model dirancangbangun saling terkait. Oleh karena itu, model analisis perbaikan kinerja yang dirancangbangun merupakan model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan dari analisis perbaikan kinerja yaitu penentuan kinerja, penentuan target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan. Dalam penentuan kinerja, kinerja yang di ukur yaitu kinerja strategis, operasional, dan taktis. Model pengukuran kinerja menggunakan 10 ukuran kinerja yaitu umur mesin, kapasitas giling, jumlah tebu, kualitas tebu, hilang dalam proses, jam henti giling, overall recovery, efisiensi ketel, hablur gula, dan rendemen. Ukuranukuran kinerja tersebut terkait secara vertikal (dengan visi, misi, dan strategi industri gula) maupun horisontal (antar ukuran kinerja) dengan pendekatan input, proses, dan output. Penentuan target kinerja dilakukan dengan pendekatan benchmarking. Target kinerja minimal ditentukan berdasarkan nilai ukuran kinerja terbaik yang dapat dicapai oleh pabrik gula pada setiap kelompok. Model pengelompokan menggunakan pendekatan klasifikasi yang ditentukan berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula ( metode yang digunakan pada proses pemurnian (sulfitasi dan karbonatasi) dan skala pabrik gula (skala besar, skala menengah, dan skala kecil)). Model pemilihan kinerja terbaik (keseluruhan) menggunakan pendekatan PROMETHEE. Fungsi kriteria yang digunakan adalah maksimum untuk seluruh kriteria (kinerja strategis, operasional, dan taktis). Dengan pertimbangan bahwa nilai kinerja meningkat secara linier dan selisih rentang nilai kinerja sebesar 20 maka tipe preferensi yang digunakan yaitu tipe preferensi linier dengan parameter sebesar 20. Model pemilihan kinerja terbaik (per jenis kinerja) menggunakan pendekatan sorting. Nilai kinerja setiap kelompok diurutkan dari yang tertinggi hingga terendah. Kinerja terbaik per jenis kinerja dalam setiap kelompok PG ditentukan berdasarkan nilai kinerja tertinggi. Penentuan prioritas perbaikan dapat dilakukan dengan menggunakan model yang dirancangbangun menggunakan pendekatan diagnostic. Penentuan prioritas perbaikan pabrik gula per jenis kinerja dilakukan dengan membandingkan nilai kinerja per jenis kinerja untuk setiap kelompok. Pabrik gula yang memiliki nilai kinerja dengan urutan prioritas (peringkat) selain peringkat satu ditetapkan sebagai pabrik gula yang memiliki prioritas untuk diperbaiki kinerjanya (per jenis kinerja). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk ukuran kinerja pada setiap jenis kinerja. Untuk ukuran kinerja yang sama, nilainya akan diperbandingkan antar pabrik gula dalam kelompok. Ukuran kinerja yang memiliki potensi untuk diperbaiki adalah nilai ukuran kinerja yang bukan nilai terbaik dalam kelompok. Adapun penentuan nilai

6 ukuran kinerja terbaik berdasarkan nilai kinerja tertinggi, kecuali untuk ukuran kinerja umur mesin, hilang dalam proses, dan jam henti giling ditentukan berdasarkan nilai paling rendah. Pabrik gula yang memiliki nilai ukuran kinerja bukan yang terbaik maka prioritas perbaikannya adalah ukuran kinerja tersebut. Implikasi teoritis berkaitan dengan relevansi dan kompetibilitas hasil rancangbangun model dengan teori maupun hasil penelitian terdahulu yaitu 1) mengkonfirmasi pernyataan Wibisono (2006) bahwa pendekatan terbaik untuk perusahaan manufaktur di Indonesia dalam melakukan pengukuran kinerja yaitu menggunakan pendekatan input-proses-output, 2) mengkonfirmasi hasil penelitian Radnor dan Barnes (2007) mengenai aspek formal dalam pengukuran kinerja khususnya kedalaman (keterkaitan) ukuran kinerja, dan 3) mengkonfirmasi hasil penelitian Tucker et al (1987) yang menyimpulkan bahwa hasil yang dicapai melalui penerapan praktek terbaik adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas. Model dan prototype sistem penunjang keputusan untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula dapat dimanfaatkan oleh perusahaan (PTPN) maupun pemerintah. Strategi yang direkomendasikan untuk mengimplementasikan perubahan yang direncanakan adalah persuasi rasional. Untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan tim diperlukan pelatihan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana memanfaatkan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja. Metode pelatihan yang direkomendasikan yaitu Computer- Based Training. Metode yang direkomendasikan untuk menggambarkan alur kerja yaitu Swimlane. Keunggulan model analisis perbaikan kinerja yang dihasilkan yaitu 1) integrasi model untuk mencapai tujuan dari analisis perbaikan kinerja, 2) dapat mengagregasikan berbagai ukuran kinerja dengan satuan yang berbeda secara sederhana, 3) pendekatan untuk menentukan target kinerja mengarahkan untuk menentukan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik yang dapat dicapai oleh pabrik gula lainnya dalam kelompok yang sama, dan 4) menghasilkan saran perbaikan yang diperlukan untuk perbaikan yang diprioritaskan. Adapun keterbatasan dari model yang dihasilkan yaitu 1) penentuan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik dalam kelompok saja masih memiliki kemungkinan berada dibawah potensi kinerja yang dapat di capai oleh pabrik gula, 2) dalam hal penentuan prioritas perbaikan, model yang digunakan belum dapat menunjukkan prioritas perbaikan untuk seluruh pabrik gula, 3) prototype yang dihasilkan untuk membantu melakukan analisis perbaikan memerlukan kedisiplinan admin dalam meng up date data sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya agar prototype dapat dimanfaatkan oleh seluruh pabrik gula. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu 1) penambahan dalam hal aspek kinerja, perluasan unit analisis dan perspektif dalam kerangka Balanced scorecard, 2) target kinerja dapat ditentukan dengan membandingkan nilai kinerja terbaik dalam kelompok dengan nilai kinerja terbaik yang pernah dicapai oleh pabrik gula atau perusahaan lain yang akan ditentukan prioritas perbaikannya, dan 3) Kriteria untuk penentuan prioritas perbaikan dapat ditambahkan dengan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kemungkinan-kemungkinan terhambatnya pelaksanaan perbaikan.

7 RANCANGBANGUN MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 Judul Disertasi Nama NIM : Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula : Triwulandari Satitidjati Dewayana : F Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma arif, M.Eng K e t u a Dr. Ir. Sukardi, MM Anggota Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian :... Tanggal Lulus :...

10 PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kekuatan, kemudahan, dan mengijinkan penulis menyelesaikan disertasi berjudul Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula. Disertasi yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 disusun untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi industri gula nasional. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma arif, M.Eng sebagai ketua Komisi Pembimbing, bapak Dr. Ir. Sukardi, MM dan bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan kepercayaan, bimbingan, arahan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 2. Rektor Universitas Trisakti yang telah memberikan kesempatan dan ijin tugas belajar kepada penulis. 3. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Pimpinan Fakultas Teknologi Pertanian, Pimpinan, staf pengajar, staf administrasi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu, pengalaman, dan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan pengabdian selama penulis menempuh studi. 4. Pimpinan, Staf pengajar dan staf administrasi Jurusan Teknik Industri Trisakti atas dukungan, pengertian, dan motivasi selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Bapak Dr. Koesharyono, SE MM (DGI), bapak Ir. H. Andri Faizal (PT Gula Putih Mataram), bapak Dr. Aris Toharisman (P3GI), bapak Ir. Adi Santoso, MM (PTPN X), bapak Ir. Yadi Yusriadi, MM (PG Meritjan), bapak Rama Prihandana (RNI), dan bapak Drs. Hadi Suharto, MM (DGI) atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Bapak Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar MSc, ibu Dr. Ir. Titi Chandra MSi, bapak Dr. Eng. Taufik Djatna S TP MSi atas waktu dan masukannya pada Ujian Tertutup. 7. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan bapak Dr. Ir. Agung PM, M. Agr. atas waktu dan masukannya pada Ujian Terbuka. 8. Ir. Adi Irianto, Bayu Aditya Pradhana ST, Dinda Adisty Messalina, Adisty Putri Jayanti, Orlando Aditya Kurniawan, dan keluarga besar Suryadi atas semua pengorbanan, dukungan, pengertian, motivasi, dan do a yang diberikan selama penulis menempuh studi. 9. Berbagai pihak yang tidak disebutkan satu persatu atas dukungan dan kontribusinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Akhir kata, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Desember 2011 Triwulandari Satitidjati Dewayana

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember - Jawa Timur pada tanggal 13 Desember 1965, sebagai putri bungsu enam bersaudara dari pasangan Drs. Sru Adji Suryadi (Alm.) dan Hj. Soemarni. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung pada tahun 1990 dan gelar Magister Manajemen dari Program Pascasarjana Universitas Trisakti pada tahun Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan program Doktoral (S3) pada program studi Teknologi Industri Pertanian sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai Dosen tetap Jurusan Teknik Industri - Universitas Trisakti. Selama mengikuti program S3, penulis memangku jabatan Ketua Jurusan ( ) dan Sekretaris Program Magister (2001 saat ini) di Jurusan Teknik Industri - Universitas Trisakti, serta Direktur Keuangan PT Radikom Pratama. Selain itu, penulis aktif sebagai Ketua Badan Kerjasama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri (BKSTI) Korwil Jakarta (2009 saat ini), Ketua Bidang Profesi Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri ( ), Bidang Kelembagaan Ikatan Alumni Teknik Industri ITB ( ), dan anggota Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI). Penulis menikah dengan Ir. Adi Irianto dan dikarunia empat orang anak yaitu Bayu Aditya Pradhana ST (24 tahun), Dinda Adisty Messalina (21 tahun), Adisty Putri Jayanti (19 tahun), dan Orlando Aditya Kurniawan (16 tahun).

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN iv vi ix 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Gula Perbaikan Kinerja Pengukuran Kinerja Benchmarking Pengambilan Keputusan Praktek Terbaik Sistem Penunjang Keputusan Sistem Penunjang Keputusan Intelijen Sistem Pakar Fuzzy Posisi dan Kebaruan Penelitian METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Tahapan Penelitian Analisis Sistem Pemodelan Sistem Implementasi Model Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan dan Pengolahan Data ANALISIS SISTEM 4.1Kondisi Situasional Analisa Kebutuhan Formulasi Masalah Identifikasi Sistem i

13 5. PEMODELAN SISTEM 5.1 Konfigurasi Sistem Kerangka Sistem Sistem Manajemen Dialog Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen Basis Pengetahuan Mekanisme Inferensi Sistem Manajemen Basis Model Rancangbangun Model Model Pengelompokan Model Pengukuran kinerja Model Pemilihan Kinerja Terbaik Model Analisis Praktek Terbaik Model Penentuan Prioritas Perbaikan Verifikasi dan Validasi Model Model Pengelompokan Model Pengukuran kinerja Model Pemilihan Kinerja Terbaik Model Analisis Praktek Terbaik Model Penentuan Prioritas Perbaikan IMPLEMENTASI MODEL 6.1 Pengukuran Kinerja Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Penentuan Target Kinerja Pengelompokan Pemilihan Kinerja Terbaik Penentuan Prioritas Perbaikan Perbaikan Kinerja Implikasi Teoritis Penentuan Kinerja Penentuan Target Kinerja dan Prioritas Perbaikan Implikasi Manajerial Keunggulan dan Keterbatasan Model Keunggulan Model Keterbatasan Model SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Saran untuk Penelitian Selanjutnya Penentuan Kinerja Penentuan Target Kinerja Penentuan Prioritas Perbaikan ii

14 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Instrumen kebijakan untuk industri gula Indonesia Ciri-ciri dari setiap jenis skala pengukuran Perbedaan antara MADM dan MODM Daftar stakeholders dan kebutuhannya Hasil identifikasi penyebab masalah stakeholders Deskripsi pengguna aplikasi SIANBAIKI Matriks keputusan pengelompokan Jenis kinerja, Ukuran kinerja, dan satuan Kualifikasi kinerja pabrik gula Kualifikasi ukuran kinerja Matriks keputusan untuk kinerja strategis Matriks keputusan untuk kinerja operasional Matriks keputusan untuk kinerja taktis Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja strategis Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja taktis Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja operasional Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja strategis Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja operasional Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja taktis Matriks Pay off Daftar karakteristik pembeda PG PTPN X Matriks keputusan pengelompokan pabrik gula Hasil pengelompokan pabrik gula Data kinerja setiap ukuran kinerja Matriks keputusan untuk kinerja strategis Matriks keputusan untuk kinerja operasional Matriks keputusan untuk kinerja taktis Hasil defuzzifikasi Kesesuaian hasil defuzifikasi kinerja strategis iv

16 30 Kesesuaian hasil defuzifikasi kinerja operasional Kesesuaian hasil defuzifikasi kinerja taktis Matriks pay off skala kecil Matriks pay off skala menengah Matriks pay off skala besar Matriks perbandingan berpasangan skala kecil Matriks perbandingan berpasangan skala menengah Matriks perbandingan berpasangan skala besar Peringkat Kinerja Keseluruhan Peringkat Kinerja Strategis Peringkat Kinerja Operasional Peringkat Kinerja Taktis Kinerja strategis terbaik Prioritas perbaikan kinerja strategis Kinerja operasional terbaik Prioritas perbaikan kinerja operasional Prioritas perbaikan untuk setiap pabrik gula Nilai setiap jenis kinerja Kinerja strategis dengan nilai minimal kinerja Kinerja operasional dengan nilai minimal kinerja v

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Trend produksi dan konsumsi gula nasional Aspek yang saling terkait dalam studi pergulaan nasional Produktivitas Gula Rendemen Klasifikasi pemanis Proses Pembuatan Gula Kristal Putih Roadmap sasaran pengembangan industri gula Garis besar langkah-langkah siklus analisis keputusan rasional 34 9 Bentuk Preferensi Kriteria Biasa Bentuk Kriteria Quasi Bentuk Kriteria Linier Bentuk Kriteria Level Bentuk Kriteria Linier dengan area tidak berbeda Bentuk Kriteria Gaussian Tahap-tahap Formulasi Model Siklus Model Siklus data, informasi, keputusan dan aksi Bagan alir pengembangan aplikasi SPK Arsitektur kesatuan SPK Intelijen Fungsi dasar sistem pakar Struktur Dasar Sistem Pakar Tahap Pembentukan Sistem Pakar Alur Penyelesaian Masalah dengan Logika Fuzzy Posisi dan Kebaruan Penelitian Kerangka Pemikiran Tahapan Penelitian Tahapan Rancangbangun Model Pengelompokan Tahapan Rancangbangun Model Pengukuran Kinerja Tahapan Rancangbangun Model Pemilihan Kinerja Terbaik vi

18 Keseluruhan Tahapan Rancangbangun Model Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Tahapan Rancangbangun Model Analisis Praktek Terbaik Tahapan Rancangbangun Model Penentuan Prioritas Tahapan Pengolahan Data Keterkaitan upaya untuk mengatasi permasalahan Diagram Input-Output Sistem Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula Konfigurasi model Diagram alir model Framework model analisis perbaikan kinerja Model konseptual pengelompokan pabrik gula Model Pengelompokan pabrik gula Decision Tree Pengelompokan Pabrik Gula Skema pengambilan keputusan pengelompokan pabrik gula Model konseptual pengukuran kinerja setiap jenis kinerja Agregasi nilai kinerja Keterkaitan ukuran kinerja Diagram Kehilangan Gula selama Proses di Pabrik Gula Model Pengukuran Kinerja Hirarki keputusan Pengukuran Kinerja Skema pengambilan keputusan pengukuran kinerja Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik Hirarki keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik Bentuk preferensi kriteria Pemilihan Kinerja Terbaik Model Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Model Konseptual pemilihan kinerja terbaik perjenis kinerja Model pemilihan kinerja terbaik perjenis kinerja Skema Pengambilan Keputusan pemilihan kinerja Model analisis praktek terbaik Diagram alir model analisis praktek terbaik Model Penentuan Prioritas Perbaikan vii

19 60 Skema Pengambilan Keputusan Prioritas Perbaikan Hirarki Pengelompokan Pabrik Gula Hirarki Keputusan Pengukuran Kinerja PTPN X Hirarki Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Root cause tree analisis praktek terbaik Model Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula Rerata umur mesin PTPN X Tahun Skala Pabrik Rerata jumlah tebu Kinerja rerata kualitas tebu Kinerja strategis Rerata hilang dalam proses Rerata jam henti giling Rerata Overall Recovery Efisiensi ketel Kinerja operasional Hablur gula Rerata rendemen Kinerja taktis viii

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pohon Industri untuk industri berbasis tebu Kapasitas Giling Per Pabrik Gula Topik Penelitian Spesifikasi sistem Konfirmasi pakar terhadap karakteristik pembeda pabrik gula Konfirmasi pakar terhadap ukuran-ukuran kinerja Konfirmasi pakar terhadap keterkaitan antar ukuran kinerja Kualifikasi untuk kategori kinerja Kualifikasi untuk kategori ukuran kinerja Representasi kurva kinerja strategis Representasi kurva kinerja operasional Representasi kurva kinerja taktis Aturan baku untuk kinerja strategis Aturan baku untuk kinerja operasional Aturan untuk kinerja strategis Aturan untuk kinerja operasional Konfirmasi pakar terhadap hasil pengukuran kinerja Kriteria dan bobot kriteria untuk pemilihan kinerja terbaik Fungsi Kriteria Aplikasi SIANBAIKI ix

21 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Dengan demikian, makna dari kinerja yaitu hasil kerja dan bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja merupakan kunci bagi organisasi untuk keluar dari krisis yang dihadapi. Perubahan lingkungan organisasi yang cepat dan pesat menyebabkan seluruh organisasi yang bergerak disektor bisnis maupun sektor publik harus meninjau ulang cara pandang dan perilaku dalam mencapai kinerja yang lebih baik. Kinerja organisasi atau perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh organisasi atau perusahaan pada periode tertentu dengan merujuk pada standar yang ditetapkan dan bagaimana proses kerja berlangsung. Pada umumnya, untuk mencapai kinerja sesuai standar yang ditetapkan, setiap organisasi atau perusahaan mempunyai permasalahan dan tantangan serta peluang yang menyebabkan perbaikan kinerja menjadi penting untuk dilakukan. Demikian juga dengan industri gula Indonesia. Industri gula Indonesia merupakan industri manufaktur yang berkembang pertama kali di Indonesia. Indonesia memiliki iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu. Berdasarkan hal tersebut, para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori 2004). Pada masa kejayaannya (tahun 1930-an) Indonesia pernah menjadi negara eksportir gula kedua di dunia setelah Kuba. Namun, sejak tahun 1967 Indonesia menjadi negara pengimpor gula (Effendi 2009) untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan gula masih berlanjut sampai saat ini. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan adanya trend peningkatan jumlah produksi, namun peningkatan yang terjadi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi yang juga memiliki trend meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu,

22 2 juga memperlihatkan bahwa kondisi lima tahun terakhir ketergantungan Indonesia terhadap impor gula mendekati 50% per tahun. Produksi vs Konsumsi (Juta Ton) Juta Ton 9 4,85 8 4,6 4,65 7 4,22 4,29 6 Konsumsi ,24 2,31 2,43 2,57 2,85 2 Produksi 1 0 Tahun Gambar 1 Trend Produksi dan Konsumsi Gula Nasional (ditjenbun 2010, di olah) Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Selain itu, ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai sekarang belum tercapai. Lembaga Penelitian IPB (2002) menggambarkan keseluruhan aspek yang saling terkait dalam studi pergulaan nasional seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan aspek yang saling terkait, faktor yang menentukan berhasil tidaknya program swasembada gula, yaitu : 1) sisi harga komoditi gula di

23 Permodalan/ Perkreditan 3 pasar, 2) kebun, khususnya dengan bahan baku atau usaha tani, 3) pabrik, khususnya yang berkaitan dengan pengolahan. Keadaan pergulaan dunia Kebijakan makro Moneter Tata niaga/ agroinput Perdagangan Fiskal Usaha tani Pengolahan Pemasaran Tata niaga Inflasi Penelitian & Pengembangan Harga Gambar 2 Aspek yang Saling Terkait dalam Studi Pergulaan Nasional (LPPM IPB 2002) Mardianto et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan yaitu : 1) produktivitas gula yang cenderung turun karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah; 2) impor gula yang semakin meningkat karena harga gula di pasar intenasional berada dibawah biaya produksinya, kebijakan border measure yang sifatnya ad hoc, dan banyaknya impor gula ilegal; 3) harga gula di pasar domestik tidak stabil karena sistem distribusi yang kurang efisien. Stakeholder s Pergulaan Nasional (2006), P3GI (2008), dan Effendi (2009) menegaskan bahwa permasalahan yang dihadapi pada sisi pengolahan (pabrik) yaitu rendahnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Produktivitas pabrik gula direpresentasikan dalam ton per hektar. Representasi tersebut menunjukkan banyaknya hablur gula hasil pengolahan dibandingkan dengan luas lahan tebu yang menghasilkan tebu sebagai bahan baku utama pabrik gula.

24 4 Rerata produktivitas hablur gula nasional dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar 3. Rerata produktivitas tertinggi dicapai pada tahun yaitu sebesar 16,5 ton/ha dan terendah pada tahun yaitu sebesar 4,79 ton/ha. Kondisi lima tahun terakhir (dengan rerata sebesar 6,07 ton/ha) menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun , namun masih jauh lebih rendah dibandingkan rerata yang dicapai tahun Ton/Ha ,5 9,38 8,67 Produktivitas (Ton/Ha) 6,5 6,35 5,85 4,79 4,9 6,07 Tahun Gambar 3 Produktivitas Gula (Prihandana 2004 dan BPS 2010) Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 1 adalah kelemahan dalam budidaya bibit tebu. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 2 adalah kelemahan dalam budidaya tanaman tebu yang menggunakan sistem budidaya ratoon dengan keprasan (membesarkan tunas setelah tebu di panen) yang lebih dari 3 kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai sehingga sebagaian besar tanaman banyak terserang hama penyakit. Selain itu, pengelolaan proses tebang, angkut dan giling kurang optimal. Selain

25 5 kelemahan dalam hal budidaya tanaman tebu, permasalahan pada generasi 2 juga di sebabkan oleh menurunnya luas areal tebu. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 3 adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula yang antara lain disebabkan oleh teknologi yang dimiliki telah usang, mesin pabrik yang sudah tua, dan hari giling per tahun yang rendah. Hari giling per tahun rendah disebabkan oleh kontinuitas pasokan bahan baku (tebu) yang rendah. Efisiensi pabrik gula ditunjukkan dengan kemampuannya dalam mengekstraksi kandungan gula di dalam batang tebu. Kadar kandungan gula di dalam batang tebu disebut sebagai rendemen. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) rerata tingkat efisiensi pabrik gula yang diukur dengan overall recovery (OR) kurang dari 80 persen. Artinya, gula kristal yang diperoleh pabrik gula hanya mencapai 80 persen dari potensi. Rerata rendemen efektif dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar % 12,46 Rendemen (%) ,12 7,8 6,6 6, Tahun Gambar 4 Rendemen (P3GI 2008 dan Bisnis Indonesia 2010) Rendemen tertinggi dicapai pada tahun 1935 yaitu sebesar 12,46%, sedangkan pada tahun dengan rerata rendemen sebesar 6,6%

26 6 merupakan rerata rendemen terendah sampai saat ini. Kondisi enam tahun terakhir dengan rerata rendemen sebesar 6,99% menunjukkan adanya sedikit peningkatan, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan rerata yang dicapai pada tahun Inefisiensi terjadi antara lain karena 1) kondisi saat ini pabrik gula di Jawa memperoleh pasokan bahan baku dari tebu rakyat yang baik jumlahnya maupun mutunya cenderung menurun secara tajam; 2) mayoritas pabrik gula (PG BUMN) saat ini memiliki mesin-mesin tua; 3) pabrik bekerja hanya 60-70% dari kapasitas; dan 4) banyak pabrik gula yang kapasitasnya rendah sehingga tidak bisa mencapai skala ekonomi yang efisien. Rendahnya produktivitas dan efisiensi yang dicapai saat ini dibandingkan dengan potensi (pencapaian tertinggi) yang pernah dicapai menunjukkan bahwa produktivitas dan efisiensi pabrik gula perlu diperbaiki. Sink dan Thomas (1989) menyatakan bahwa kinerja organisasi merupakan suatu fungsi hubungan timbal balik yang kompleks antara tujuh kriteria yaitu 1) Efektivitas, 2) Efisiensi, 3) Kualitas, 4) Produktivitas, 5) Kualitas dari kehidupan kerja, 6) Inovasi, dan 7) Profitabilitas. Merujuk pada Sink dan Thomas (1989) tersebut, efisiensi dan produktivitas merupakan dua dari tujuh aspek dari kinerja. Selain itu, Radnor dan Barnes (2007) menyatakan bahwa efisiensi dan produktivitas merupakan aspek penting dari kinerja. Berdasarkan hal tersebut, perbaikan kinerja di sisi pengolahan (pabrik) menjadi kebutuhan yang mendesak dan harus dilakukan secara terus menerus. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi pabrik gula yaitu 1) Analisis nilai tambah dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas dan profitabilitas di Pabrik Gula PTP XXI XXII (Yusnitati 1994); 2) analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia dengan pendekatan fungsi biaya multi-input multi-output (Siagian 1999); 3) efisiensi unit-unit kegiatan ekonomi industri gula yang menggunakan proses karbonatasi di Indonesia (Siagian 2002); 4)studi pengembangan sistem industri pergulaan nacional (LPPM IPB 2002); 5) analisis kinerja pabrik gula dengan metoda Data Envelopment Analysis (Manalu 2009); dan 6) Kajian Sistem Pengukuran Kinerja Pabrik Gula (Rahmatulloh et al.2009).

27 7 Pada dasarnya, penelitian yang terkait dengan perbaikan kinerja pabrik gula khususnya produktivitas dan efisiensi terbatas pada pengukuran untuk mengetahui kinerja. Selain itu, model pengukuran kinerja yang digunakan memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, menggunakan ukuran kinerja dengan range yang sempit yaitu (produktivitas atau efisiensi) dan tidak ada keterkaitan antar ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan dan berkurangnya efektivitas sistem pengukuran kinerja. Kedua, ketidakjelasan dan rumit dalam mengagregasikan ukuran kinerja dengan berbagai satuan pada proses pengukuran. Ketiga, masih terdapat infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan proses pengukuran menjadi kurang efisien. Perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun pada umumnya terdapat lima tahap (Swanson 1996) yang harus dilakukan yaitu : 1) tahap analisis, 2) tahap desain, 3) tahap pengembangan, 4) tahap implementasi, dan 5) tahap evaluasi. Selanjutnya, Swanson (1996) menyebutkan bahwa tahap analisis merupakan tahap paling penting. Adapun tujuan dari tahap analisis adalah untuk menentukan : 1) kinerja, 2) target kinerja, dan 3) prioritas perbaikan kinerja. Merujuk pada inti dari definisi perbaikan kinerja (LaBonte 2001) yaitu sebagai suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan menunjukkan bahwa analisis perbaikan kinerja perlu dilakukan secara terus menerus. Berdasarkan tujuan dari tahap analisis, masalah dalam analisis perbaikan kinerja merupakan masalah pengambilan keputusan. Selain itu, analisis perbaikan kinerja pada umumnya merupakan masalah yang bersifat kompleks, sehingga untuk menelaah atau menyelesaikan permasalahan perlu dilakukan dengan pendekatan sistem. Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan dikenal dengan istilah sistem penunjang keputusan (Marimin 2005; Turban et al. 2005). Sistem penunjang keputusan (SPK) dapat ditingkatkan menjadi lebih baik atau lebih intelijen dengan memanfaatkan satu atau lebih komponen-komponen artificial inteligence technology (seperti logika fuzzy dan sistem pakar berbasis aturan) yang disebut sebagai sistem penunjang keputusan intelijen (Turban 2005).

28 8 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, tahap penting yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja pabrik gula adalah tahap analisis yang bertujuan untuk menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula. Untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula diperlukan model sistem penunjang keputusan. Model sistem penunjang keputusan yang diperlukan merupakan integrasi dari berbagai model yang digunakan untuk mencapai tujuan pada tahap analisis yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan. Pemanfaatan komponen artificial inteligence technology dimungkinkan untuk digunakan sehingga sistem penunjang keputusan menjadi lebih intelijen. Beberapa pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana model untuk menentukan kinerja pabrik gula? b. Bagaimana model untuk menentukan target kinerja pabrik gula? c. Bagaimana model untuk menentukan prioritas perbaikan pabrik gula? d. Bagaimana model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat digunakan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula agar tujuan analisis berupa penentuan kinerja, penentuan target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan kinerja dapat tercapai? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat membantu pengambil keputusan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Model yang akan dihasilkan berupa model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan analisis perbaikan kinerja yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja. 1.4 Ruang Lingkup Pada umumnya, perangkat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam meningkatkan kinerja yaitu Balanced Scorecard (Lawson R., Toby Hatch dan Denis D. 2008). Terdapat empat perspektif dalam Balanced Scorecard (Niven 2006) yaitu 1) Perspektif

29 9 keuangan, 2) Perspektif pelanggan, 3) Perspektif proses internal, dan 4) Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Masing-masing perspektif menunjukkan fokus pandangan yang dititikberatkan dan merupakan peta wilayah di mana harus diletakkan strategi-strategi yang relevan. Luis S dan Prima AB (2008) menjelaskan bahwa fokus masing-masing perspektif adalah sebagai berikut 1) keberhasilan keuangan dengan pendekatan jangka pendek maupun jangka panjang untuk perspektif keuangan, 2) pelanggan untuk perspektif pelanggan, 3) serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi secara internal untuk perspektif proses internal, dan 4) sumberdaya khususnya sumberdaya manusia dalam organisasi untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Ruang lingkup penelitian yang merupakan batasan (boundary) dalam merancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula meliputi : a. Kinerja yang dikaji merupakan kinerja pada pabrik gula khususnya dalam perspektif proses internal. Proses internal yang dimaksud adalah proses produksi pada pabrik gula. b. Kinerja direpresentasikan dalam kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis. Kinerja strategis adalah kinerja yang terkait dengan sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi pada pabrik gula. Kinerja operasional adalah kinerja yang terkait dengan proses produksi pada pabrik gula. Kinerja taktis adalah kinerja yang terkait dengan hasil proses produksi pada pabrik gula dan merupakan prioritas kompetisi pabrik gula. c. Aspek kinerja yang dikaji adalah produktivitas dan efisiensi. Produktivitas adalah perbandingan antara jumlah gula sebagai output dari proses produksi pada pabrik gula dengan luas lahan yang digunakan untuk menanam tebu, dimana tebu merupakan bahan baku (input) untuk proses produksi pada pabrik gula.ukuran kinerja yang digunakan untuk produktivitas pabrik gula yaitu hablur gula yang dinyatakan dalam ton/ha. Sedangkan efisiensi terkait dengan jumlah sukrosa dalam tebu yang dapat dikristalkan menjadi gula (rendemen). Ukuran kinerja yang digunakan untuk efisiensi pabrik gula yaitu

30 10 rendemen yang dinyatakan dalam persen (%). d. Pabrik gula yang dimaksud adalah pabrik gula yang menghasilkan gula kristal putih yang dihasilkan dari tebu. e. Model yang dirancangbangun akan diaplikasikan dalam bentuk sistem yang berbasis komputer (prototipe) yang dirancang agar pengguna dapat berinteraksi dengan sistem. f. Obyek kajian adalah pabrik gula berskala kecil, menengah dan besar. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Pengembangan konsep perbaikan kinerja khususnya pada tahap analisis dan penerapannya di Indonesia, b. Rujukan bagi penelitian dan pengembangan analisis perbaikan kinerja dalam cakupan yang berbeda, c. Model dalam menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula bagi pabrik gula, PTPN dan pemerintah, d. Model dalam pengambilan keputusan perbaikan kinerja pabrik gula bagi pabrik gula, PTPN dan pemerintah

31 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Gula Gula merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan input penting dalam industri makanan dan minuman yang berperan sebagai bahan pemanis maupun bahan pengawet untuk sebagian pangan olahan. Klasifikasi pemanis menurut bentuk dan sumber bahan dapat di lihat pada Gambar 5 berikut ini : Gula Kristal Gula Gula bukan kristal Gula Cair Pemanis Dari bahan tanaman Non Gula Dari bahan kimia Gambar 5 Klasifikasi Pemanis Berdasarkan Bentuk dan Sumbernya (Sumaryanto 2003 dalam Sabil 2005) Secara fisik terdapat tiga jenis gula yaitu : 1) gula kristal, 2) gula bukan kristal, dan 3) gula cair. Menurut SK No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Tata Niaga Impor Gula antara lain mengkategorikan gula kristal sebagai gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar), gula kristal rafinasi (refined sugar), dan gula kristal putih (plantation white sugar). Gula yang dikenal dalam masyarakat luas adalah sakarosa atau sukrosa yang merupakan disakarida yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan fruktosa. Produk gula dalam negeri termasuk dalam kualifikasi yang dikenal dengan nama SHS (Superieure Hoofd Suiker).

32 Gula kristal terdiri dari gula pasir yang dihasilkan dari tebu dan gula yang dihasilkan dari bit. Namun, menurut Prihandana (2005) biaya produksi gula berbahan baku tebu lebih murah 70% dibandingkan dengan biaya produksi gula berbahan baku bit. Oleh karena itu, bahan baku industri gula yang banyak digunakan adalah tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan tanaman perkebunan. Di dalam batang tebu terkandung 20% cairan gula. Effendi (2009) menyebutkan bahwa cairan dalam tebu terdiri dari tiga macam yaitu : 1) Nira Tebu, 2) Air tanah atau air tebu bebas brix, dan 3) Protoplasma. Nira tebu tersimpan dalam sel-sel parenchim. Air tebu bebas brix merupakan air yang secara chemis bersatu dengan serat dan tidak dapat dipisahkan secara mekanis. Protoplasma berbentuk semi cairan tetapi tidak mengandung gula. Sisa pengolahan batang tebu adalah 1) tetes tebu (molases) yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula antara 50% sampai dengan 60%, asam amino dan mineral. Pemanfaatan tetes tebu sampai saat ini adalah sebagai bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan arak; 2) Pucuk daun tebu, yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dalam bentuk silase, pellet, dan wafer diperoleh pada tahap penebangan tebu; 3) ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle board dan media untuk budidaya jamur, atau dikomposkan untuk pupuk; 4) Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman tebu. Adapun pohon industri untuk industri berbasis tebu dapat dilihat pada Lampiran 1. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), tipe pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua tipe yaitu : 1) kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana pabrik gula (PG) sekaligus memiliki lahan HGU untuk pertanaman tebunya, dan 2) tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Pada umumnya, petani merupakan pemasok bahan baku tebu sedangkan PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah sekitar 66% dari produksi gula untuk petani dan 34% untuk PG.

33 Terdapat dua sistem penebangan tebu yaitu 1) tebu bakar, sebelum dilakukan penebangan tebu dibakar terlebih dahulu; dan 2) tebu hijau, tebu langsung ditebang jika batang sudah masak. Tebu bakar akan mempercepat turunnya kadar sukrosa dan kerusakannya lebih cepat karena mudah terkontaminasi oleh mikroba (Leouconostoc mesenteroides). Berdasarkan peralatan yang digunakan pada saat penebangan dan pengangkutan (sistem pemasokan) dapat dibedakan tiga jenis, yaitu 1) penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual kemudian batang tebu diikat dan diangkut menggunakan truk atau trailer (system bundled cane); 2) penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual tetapi pada saat pemuatan menggunakan bantuan alat mekanis karena tebu tidak diikat (system loosed cane); 3) penebangan dan pemuatan dilakukan oleh alat mekanis yang disebut harvester, dimana tebu dipotong secara otomatis dan langsung ditampung dalam bak truk (system chopped cane). Tebu yang telah dipanen dari areal budidaya tebu diangkut dan ditempatkan dalam areal penampungan (cane yard). Untuk menghindari menurunnya rendemen, maka tenggang waktu yang ditolerir antara waktu tebang dan giling adalah 24 jam (Moerdokusumo 1993; Effendi 2009). Makin lama tenggang waktu antara tebang dan giling akan menyebabkan semakin rendah kandungan sukrosa yang mudah larut dalam air dan dapat terhidrolisis oleh adanya ion hidrogen atau akibat aktifitas mikroba tertentu. Gula atau sukrosa dapat terdekomposisi oleh bakteri, khamir dan jamur yang aktifitasnya tergantung pada kadar sukrosa, suhu dan aktivitas air. Sebelum proses produksi gula dilakukan, diperlukan pra-pengolahan. Pada tahap ini, tebu masuk ke dalam cane preparation menggunakan sistem elevator yang berjalan melewati cane cutter 1 yaitu suatu alat yang akan memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Setelah itu tebu akan melewati cane cutter 2 yang berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil lagi karena pisau yang digunakan mempunyai jarak yang lebih rapat. Tebu yang telah dipotong-potong tersebut akan dihancurkan oleh alat yang disebut shredder sehingga tebu menjadi serpihan halus berbentuk ampas yang kemudian akan dikirim pada mill station untuk diperah.

34 Proses produksi gula dari tebu terdiri dari lima tahap, yaitu : 1) proses pemerahan atau penggilingan yang bertujuan untuk menghasilkan nira, pada proses ini ditambahkan air imbibisi yang digunakan untuk melarutkan kandungan sukrosa dan membunuh mikroba Leuconostoc mesenteroides; 2) proses pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran atau zat-zat nongula; 3) proses penguapan yang bertujuan untuk menguapkan air sebanyakbanyaknya sehingga dihasilkan nira kental; 4) proses kristalisasi ( metoda spontan, pancingan, penambahan slurry atau seed) yang bertujuan untuk memisahkan gula dari nira kental; dan 5) proses pemutaran (sentrifuse) yang bertujuan untuk memisahkan sukrosa dan molases. Adapun skema proses pembuatan gula kristal putih diperlihatkan pada Gambar 6. Batang tebu Ekstraksi Nira Bagasse Nira Kotor Penjernihan Muddy juice Penyaringan Nira jernih Evaporasi Kristalisasi Air Blotong Sentrifuse GULA Gambar 6 Proses Pembuatan Gula Kristal Putih (Effendi 2009) Industri gula merupakan salah satu industri pengolahan yang berkembang pertama kali di Indonesia. Ditinjau dari potensi yang dimiliki (iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu) serta kapasitas produksi industri gula nasional yang

35 masih terpakai 72%, maka para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori 2004). Pada awal abad ke-16 industri gula telah diusahakan oleh penduduk Cina perantauan di sekitar Jakarta, dan selanjutnya dikembangkan secara besar-besaran oleh VOC (pengusaha Belanda) di seluruh Jawa pada abad ke- 19. Jawa menjadi sentra industri gula yang memberikan kontribusi utama bagi pemerintah kolonial Belanda pada abad-20. Pada tahun 1930, Jawa menjadi eksportir terbesar ke dua di dunia setelah Kuba. Pada jaman kolonial, integrasi sistem agribisnis gula dijamin melalui organisasi dari pemerintah yang mempunyai kekuatan untuk memaksa. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial menanam tebu sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam, dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Dengan demikian, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling, sehingga industri gula di Jawa sangat efisien. Industri gula ditinjau dari aktivitas ekonomi merupakan industri yang memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja mengingat gula merupakan suatu komoditi pangan yang penggunaannya sangat luas. Selain dikonsumsi secara langsung (konsumsi akhir), gula juga merupakan bahan baku bagi banyak industri (input antara). Struktur Industri gula (Ismail 2005) berdasarkan analisis keterkaitan antara industri melalui analisis input-output menunjukkan bahwa secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor dibelakangnya sebanyak 53 sektor (dari 172 sektor) dan keterkaitan langsung ke depan dengan 30 sektor. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir saat ini, juga diperlukan untuk mendorong peningkatan produksi industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional ditandai dengan ketidakmampuan industri gula nasional mencukupi kebutuhan gula setiap tahun untuk konsumsi dan input bagi industri di dalam negeri. Kondisi industri gula nasional dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan produksi gula nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan gula yang semakin meningkat.

36 Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan gula dari tahun ke tahun, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan impor gula. Dibukanya impor gula secara bebas sejak awal tahun 1998, telah mengubah situasi pasar gula di dalam negeri menjadi sangat dipengaruhi oleh pasar gula dunia. Perubahan terhadap kebijakan gula nasional secara mendasar pada industri gula yang sebelumnya dikenal sebagai the most regulated commodity untuk melindungi produsen diubah menjadi komoditas yang diperlakukan dengan free trade policy berupa bebas impor dengan tarif bea masuk yang rendah. Kebijakan free trade tersebut telah menyebabkan gula impor dengan volume yang kurang terkontrol oleh pemerintah, hal ini menyebabkan excess supply yang berlebihan dipasar gula nasional. Hal tersebut berakibat pada harga gula dalam negeri hingga mencapai tingkat yang dapat menyebabkan kebangkrutan total industri gula nasional. Pada umumnya, kebijakan free trade dengan tarif bea masuk yang rendah tidak dilakukan oleh negara produsen gula yang termasuk dalam kategori paling efisien, apalagi di negara produsen yang masih tergantung pada gula impor seperti Indonesia. Jika industri gula nasional tidak mampu meningkatkan produksi, maka impor gula akan semakin besar. Husodo (2000) menyebutkan bahwa secara umum kondisi pergulaan nasional memiliki tiga persoalan utama. Pertama, rendahnya harga gula dipasaran dunia. Kedua, produktivitas pabrik gula rendah dan banyak yang tidak efisien. Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya, Husodo (2000) juga menyatakan bahwa persoalan makro pergulaan nasional adalah 1) dalam jangka pendek : bagaimana mengatur stok gula hingga mencapai harga yang wajar bagi produsen tanpa memberatkan konsumen, dan 2) dalam jangka panjang : bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional, dan mengarah pada swasembada dan ekspor.

37 Permasalahan industri gula nasional, pada dasarnya dapat didiagnosa dengan mengkaji permasalahan yang terdapat pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan industri gula nasional. Salah satu dari faktorfaktor yang berpengaruh adalah pabrik gula. Pada umumnya, pabrik gula (PG) di Indonesia didirikan sejak jaman Belanda. Pada tahun 1930 tercatat ada 179 PG, dan pada tahun-tahun berikutnya terjadi fluktuasi dalam hal jumlah PG. Effendi (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 jumlah PG di Indonesia mencapai 71 unit. Namun pada tahun 2008 hanya 58 unit yang beroperasi di tambah empat unit PG rafinasi. Lokasi PG menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur (31 PG), sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki delapan dan lima PG. Di luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan lima PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan (3 PG), Sumatera Utara (2 PG), Sumatera Selatan (1 PG), dan Gorontalo (1). Adapun daftar pabrik gula beserta kapasitas gilingnya dapat di lihat pada Lampiran 2. Kinerja industri gula yang mencerminkan daya saing industri gula, merupakan hasil dari interaksi antar sub sistem dalam agribisnis gula, yang terdiri dari empat sub sistem, yaitu : 1) sub sistem penyediaan input, 2) sub sistem usahatani tebu, 3) sub sistem pengolahan gula (pabrik), dan 4) sub sistem pemasaran. Selain itu, Disbun Jatim (2010) juga menyebutkan bahwa selain dipengaruhi oleh interaksi dari empat sub sistem dalam agribisnis, kinerja industri gula juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pergulaan, perubahan keunggulan komparatif dalam penggunaan input, perubahan manajemen dan kelembagaan, serta kemajuan penemuan, inovasi dan adopsi teknologi pada industri gula dan industri lain yang berkompetisi, bersubstitusi dan berkomplemen. Upaya yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing, menjaga eksistensi dan sustainability industri gula serta efisiensi yang mengarah pada penurunan biaya produksi yaitu revitalisasi industri gula. Revitalisasi industri gula pada dasarnya mencakup usaha-usaha peningkatan produktivitas dan efisiensi pada sektor on farm (usaha tani) dan off farm (pabrik gula), yang didukung oleh

38 kebijakan yang kondusif bagi terciptanya kondisi ke arah perbaikan kedua sektor tersebut. Selain itu, revitalisasi industri gula juga berkaitan erat dengan restrukturisasi industri gula terutama dalam aspek kelembagaan dan kepemilikan perusahaan gula, serta pemberdayaan lembaga usaha tani (koperasi) dan lembaga penelitian (Disbun Jatim 2010). Kinerja PG dapat di kategorikan ke dalam dua aspek, yaitu : kinerja ekonomis dan kinerja teknis. Kinerja teknis pabrik gula merupakan gabungan dari 1) kinerja unit penggilingan yang ditunjukkan oleh persen HPB (hasil bagi perahan briks) dan persen pol dalam ampas; 2) kinerja unit pengolahan yang ditunjukkan oleh persen HK (Harkat Kemurnian) dan %pol nira mentah; dan 3) Ketel (boiler) sebagai komponen utama dalam proses produksi yang ditunjukkan oleh persen efisiensi ketel dan pemakaian uap (kw/ton tebu). Standar yang digunakan sebagai pembanding (Moerdokusumo 1993 dan LPPM IPB 2002) yaitu 1) > 90% untuk persen HPB; 2) < 2% untuk persen pol dalam ampas; 3) > 96% untuk Harkat Kemurnian; 4)> 90% pol nira mentah dan 5) > 78% untuk efisiensi ketel; serta 6) 60 kw/ton tebu untuk pemakaian uap. Woerjanto (2000) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja PG agar lebih efisien yaitu : 1) pemeliharaan mesin dan peralatan pabrik yang lebih baik untuk menekan terjadinya jam henti giling pada saat musim giling, 2) penggantian mesin, peralatan, dan suku cadang dilakukan dengan benar, dalam arti mutu sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan dan harga yang wajar serta tepat waktu, 3) perlakuan preventive maintenance program dalam masa giling, yaitu pemeliharaan mesin dan perawatan semua mesin serta peralatan di saat sedang operasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan atau gangguan yang tidak diinginkan, 4) Pengoperasian semua mesin dan peralatan sesuai standart operating procedure (SOP) untuk mencegah terjadinya kesalahan operasi, 5) Proses pabrikasi dilakukan secara benar dengan sasaran mencegah terjadinya kehilangan gula dalam proses, sehingga dapat dicapai efisiensi pengolahan yang baik dengan kualitas produk yang prima, dan 6) penghematan pemakaian bahan pembantu pengolahan. Selain itu, untuk lebih meningkatkan efisiensi pabrik gula, perlu dilakukan rehabilitasi mesin dan peralatan yang sudah tidak efisien.

39 Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula nasional. Di lihat dari jumlah PG secara nasional, sekitar 80% PG berada di Pulau Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60% dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula (sekitar 80%) dihasilkan oleh petani tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan sebagian di lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi. PG yang ada di Pulau Jawa, pada umumnya telah tua (sebagian didirikan pada tahun 1800-an). Namun, sebagian besar PG di Jawa sudah direhabilitasi dan ditingkatkan kapasitasnya. Kapasitas giling ditingkatkan dengan sasaran peningkatan efisiensi, bahkan di beberapa pabrik mencapai 3 4 kali kapasitas semula. Otomatisasi dan komputerisasi beberapa peralatan pabrik telah dilakukan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya kesalahan operasional. Upaya tersebut menjadikan proses pengolahan gula lebih efisien. Namun masih ada yang menggunakan mesin dan peralatan lama yang tingkat efisiensinya relatif rendah. Dari sisi kapasitas terpasang yang dimiliki PG di Pulau Jawa, menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004) 53 % PG memiliki kapasitas giling kecil (< TTH), 44 % berkapasitas giling menengah (antara TTH), dan hanya 3% yang berkapasitas giling besar ( > TTH). Industri gula di Pulau Jawa menurut Woerjanto (2000) menghadapi tiga permasalahan struktural yaitu 1) rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula, 2) rendahnya daya saing tanaman tebu dibandingkan komoditas agribisnis lainnya, dan 3) industri gula termasuk dalam klasifikasi padat karya. Padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa dan konversi lahan sawah menyebabkan luas areal lahan tebu, baik pada lahan sawah maupun lahan kering menurun dari tahun ke tahun. Dengan banyaknya jumlah pabrik gula yang sampai saat ini beroperasi, luas lahan yang tersedia menjadi tidak memadai untuk mendukung kelancaran produksi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan pabrik gula yang sangat tergantung pada kecukupan, kontinuitas, serta mutu bahan baku tebu yang diperolehnya. Industri gula di Pulau Jawa dengan segala permasalahan yang dihadapi, merupakan kegiatan ekonomi yang secara langsung terkait dalam pemanfaatan

40 potensi keunggulan kompetitif sumber daya lokal. Oleh karena itu, industri gula di Pulau Jawa akan tetap menjadi existing assets yang memiliki prospek di masa mendatang. Jawa Timur selama ini merupakan propinsi penghasil gula terbesar di Indonesia, yang dihasilkan dari 30 PG milik BUMN (PTPN X, PTPN XI, dan RNI) serta satu pabrik gula swasta (PG Kebon Agung). Produktivitas gula yang masih rendah di Jawa Timur, terutama disebabkan oleh kualitas bahan baku (tebu) dan kinerja pengolahan (Disbun Jatim 2010). Di sisi on-farm, Jawa Timur menghadapi dua permasalahan penting (Disbun Jatim 2010) yaitu : Pertama, pergeseran budidaya tebu ke lahan tegalan akibat persaingan yang ketat dengan padi dan alih fungsi sawah menjadi area nonpertanian seperti pemukiman dan industri. Perubahan budidaya tebu ke lahan tegalan harus diikuti dengan perubahan paradigma budidaya tebu, mengingat pola reynoso yang memerlukan tenaga kerja sangat intensif dan biasa dilakukan di lahan sawah tidak dapat dilakukan lagi pada lahan tegalan. Inovasi teknologi (varietas tebu yang sesuai, pengolahan tanah yang tepat, dan pemupukan yang efektif) yang menunjang optimalisasi budidaya tebu di lahan tegalan perlu terus dikembangkan. Kedua, proporsi tebu keprasan yang relatif tinggi dibanding tanaman tebu pertama (Plant Cane). Produktivitas gula menjadi sulit ditingkatkan pada kondisi tanaman ratoon yang dikepras lebih dari empat kali. Dampak dari tanaman ratoon yang dikepras secara berulang-ulang tidak terkendali akan mengakibatkan kualitas tanaman tebu menurun tajam akibat terjadinya penurunan (degradasi) inheren genetik dari varietas tebu, peka terhadap serangan penyakit tertentu seperti penyakit Ratoon Stunsting Disease (RSD) dan menimbulkan ekses campuran varietas apabila dilakukan tambal sulam bibit secara tidak terkendali. Di sisi Off-farm Jawa Timur perlu merevitalisasi dua aspek penting (Disbun Jatim 2010) yaitu : peningkatan kapasitas giling dan rehabilitasi PG dalam rangka meningkatkan efisiensi. Meskipun rerata produktivitas tebu yang dihasilkan di lahan tegalan lebih rendah dibanding lahan sawah, upaya peningkatan produksi gula di masa mendatang salah satunya ditempuh dengan pengembangan areal tegalan. Jawa Timur memiliki potensi areal pengembangan tebu yang cukup luas yang tersebar di beberapa kabupaten atau kota. Mengingat

41 jumlah tebu yang dihasilkan akan meningkat, maka kemampuan PG dalam menggiling tebu juga harus ditingkatkan. Oleh karena itu, kelebihan pasokan tebu harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas giling PG. Selanjutnya, Disbun Jatim (2010) juga menyatakan cara lain untuk mengimbangi lonjakan jumlah tebu giling di tahun-tahun yang akan datang, yaitu dengan : meningkatkan kinerja PG serta melakukan audit PG. Kinerja PG diperbaiki dengan cara mengurangi idle capacity dan meningkatkan efisiensi melalui rehabilitasi mesin-mesin atau alat-alat yang tua dan berkinerja rendah. Kapasitas giling efektif PG diusahakan bisa mendekati atau sama dengan kapasitas terpasangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan jam henti giling. Peningkatan pemanfaatan kapasitas giling PG dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi gilingan, pengolahan, dan penggunaan energi. Audit PG dimaksudkan untuk menilai kinerja PG secara keseluruhan sehingga bisa dihasilkan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja PG tersebut. Proses audit dilakukan dengan menelusuri perjalanan tebu menjadi gula didalam PG. Melalui proses tersebut maka berbagai hal yang menyebabkan ketidak efisienan atau kinerja PG menurun bisa ditelusuri, sehingga bisa dibuat rekomendasi untuk perbaikan. Selain itu, audit PG juga digunakan sebagai kontrol atas pelaksanaan best management practices di PG. Luthfie (2010) menyatakan bahwa sisi pengolahan pada industri pergulaan di Jawa Timur dinilai sebagai titik lemah yang menjadi pangkal rendahnya produktivitas pabrik gula. Selanjutnya, Luthfie (2010) membandingkan kinerja pabrik gula di Jawa Timur dengan pabrik gula di Propinsi Lampung dengan hasil perbandingan sebagai berikut : 1) kapasitas produksi : di propinsi Lampung mencapai 8,91 ton per hektare sedangkan provinsi Jawa Timur hanya mencapai 5,975 ton per hektare, 2) rendemen : enam pabrik gula di Lampung memiliki rerata rendemen sebesar 9% sedangkan 31 pabrik gula di Jawa Timur hanya memiliki rerata rendemen sebesar 7,8%, dan 3) penghasilan petani lahan tegalan : rerata petani tebu di provinsi Lampung meraih penghasilan sebesar Rp. 13 juta Rp. 15 Juta per hektare sedangkan petani di Jawa Timur hanya meraih penghasilan sebesar Rp. 9 juta Rp. 11 Juta per hektare.

42 Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan mempunyai dimensi yang cukup luas, yaitu mencakup input, produksi, distribusi, dan harga (perdagangan). Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) menyatakan bahwa secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama, yaitu 1) Era Isolasi ( ), 2) Era Perdagangan Bebas ( ), 3) Era Transisi ( ), dan 4) Era Proteksi dan Promosi ( sekarang). Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan respon pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi industri gula nasional, yang dikeluarkan secara reaktif dan cenderung bersifat ad-hoc. Kebijakan yang hanya menekankan pada hambatan perdagangan dan pembatasan impor saja tidak akan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009) merumuskan visi, misi dan indikator pencapaian untuk industri gula nasional sebagai berikut : VISI : Mewujudkan industri gula nasional yang mandiri, berdaya saing, dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor MISI : 1. Memperkuat struktur industri gula 2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi 3. Mendorong investasi PG-PG keluar P. Jawa 4. Terpenuhinya kebutuhan gula konsumsi dan industri oleh industri gula dalam negeri Indikator Pencapaian : tercapainya swasembada gula nasional pada tahun 2014

43 Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005) Nomor SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971 Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok Surat Mensekneg No. B.136/abn sekneg/3/74, 27 Maret 1974 Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 UU No. 12/1992 Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997 Inpres No. 5/1998, 5 Januari 1998 Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 Kepmenhutbun No.282/Kpts- IX/1999, 7 Mei 1999 Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/6/2000, 5 Juni 2000 Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 SK 522/MPP/Kep/9/2004 Intensifikasi Tebu Rak-yat (TRI) Tataniaga gula pasir dalam negeri Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri Budidaya tanaman Program Pemgembangan Tebu Rakyat Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Komoditas yang diatur tataniaga impornya Ppenetapan harga provenue gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999 Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula Tentang ketentuan impor gula Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan UU No. 12/1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Pembebasan taris impor gula untuk melindungi industri dalam negeri Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula untuk meningkatkan pendapatan petani atau produsen Revisi dan mempertegas esensi Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002

44 Adapun roadmap sasaran pengembangan industri gula adalah sebagai berikut : JANGKA PENDEK Tercapainya swasembada gula nasional tahun Berhasilnya program revitalisasi pabrik gula melalui peningkatan mutu dan volume produksi gula putih 3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri 4. Memberlakukan SNI wajib gula putih JANGKA MENENGAH Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri 2. Ekspor gula setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi 3. Restrukturisasi teknologi proses pada industri gula sesuai perkembangan yang terjadi 4. Penghapusan dikotomi pasar gula rafinasi yang dapat pula dijual ke konsumen langsung JANGKA PANJANG Indonesia menjadi negara produsen gula yang mampu memasok kebutuhan negara-negara lain di Asia Pasifik Gambar 7 Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula (Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2009) 2.2 Perbaikan Kinerja Tonchia dan Toni (2001) menyebutkan bahwa pada dasarnya kinerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kinerja yang berkaitan dengan biaya (biaya produksi) dan kinerja yang berkaitan dengan selain biaya (seperti kualitas, fleksibilitas, dan sebagainya). Lingkup dari kinerja menurut Grunberg (2004) mencakup aspek ekonomi dan aspek operasional. Kinerja pabrik gula (PG) dapat di kategorikan ke dalam dua aspek (Lembaga Penelitian IPB 2002), yaitu : kinerja ekonomis dan kinerja teknis. Hasil identifikasi terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan manajemen kinerja (Holloway 2009) menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian membahas topik perbaikan kinerja. Adapun pendekatan yang digunakan bervariasi yaitu kuantitatif, kualitatif, partisipatif, interpretatif, history, prediksi, dan pengembangan model.

45 Inisiatif terhadap perbaikan kinerja diawali pada masa revolusi industri. Seiring dengan perubahan lingkungan organisasi, meningkatnya persaingan, perubahan kebutuhan internal dan eksternal organisasi dan perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan dalam setiap aspek manajemen dan organisasi maka pendekatan dan metodologi dalam perbaikan kinerja juga terus berkembang. Metoda perbaikan kinerja pada umumnya diawali dengan melakukan pemetaan terhadap aliran proses. Pendekatan ini dapat membantu dalam mengidentifikasi area potensial untuk diperbaiki. LaBonte (2001) mendefinisikan perbaikan kinerja sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk mengidentifikasi gap kinerja, meneliti sebab utama, memilih dan merancang tindakan, mengukur hasil, dan memperbaiki kinerja secara berkesinambungan. Usaha yang dilakukan organisasi untuk memperbaiki kinerjanya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pada umumnya, terdapat lima tahap yang harus dilakukan dalam model perbaikan kinerja (Swanson 1996) yaitu : 1) tahap analisis; 2) tahap desain; 3) tahap pengembangan; 4) tahap implementasi; dan 5) tahap evaluasi. Tahap yang paling kritis adalah tahap analisis. Tujuan dari tahap analisis adalah untuk menentukan kinerja, menentukan target kinerja yang diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan. 2.3 Pengukuran Kinerja Untuk menentukan kinerja perlu dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja merupakan sub sistem dari manajemen kinerja (Cokins 2004; Halachmi 2005; Stiffler 2006; Baxter dan MacLeod 2008). Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai proses untuk mengkuantifikasi efisiensi dan efektivitas dari suatu tindakan (Tangen 2004; Olsen et al. 2007; Cocca dan Alberti 2010). Tindakan yang dimaksud adalah tindakan masa lalu (Cocca dan Alberti 2010). Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa atau diagnosa terhadap proses untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki. Menurut pandangan tradisional, pengukuran kinerja adalah untuk memonitor kinerja bisnis dan mendiagnosa penyebab dari masalah. Amaratunga dan David (2002) menyatakan bahwa fungsi utama dari sistem pengukuran kinerja

46 adalah untuk mengontrol operasi dalam organisasi. Dalam model umpan balik tradisional, para manajer mengatur kinerja dengan monitoring output dan kemudian menyesuaikan input untuk mencapai suatu target dibanding mengendalikan suatu tugas dengan mempertimbangkan semua elemen data yang diperlukan untuk menguraikan status dari sistem (Bond 1999). Dikaitkan dengan manajemen operasional, Radnor dan Barnes (2007) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai proses mengkuantifikasi input, output, dan tingkat aktivitas dari suatu proses. Wibisono (1999) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja di perusahaan manufaktur pada level manajemen operasi dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu 1) pengukuran kinerja taktis (competitive priorities), 2) pengukuran kinerja operasional (manufacturing task), dan 3) pengukuran kinerja strategis (resource availability). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Craig dan Grant (2002) bahwa keunggulan bersaing suatu organisasi didukung oleh kemampuan sumber daya dan rutinitas organisasi. Karim (2008) dalam Karim (2009) menyebutkan bahwa penentuan prioritas kompetisi merupakan elemen kunci dalam strategi manufaktur. Prioritas kompetisi menunjukkan keunggulan kompetitif dan mewakili tujuan yang seharusnya dicapai (Rusjan 2005). Untuk menentukan prioritas kompetisi perusahaan manufaktur Leachman et al. (2006) mengusulkan ukuran kinerja berdasarkan pada kualitas dan volume output. Berdasarkan pengalaman implementasi pada beberapa perusahaan di Indonesia ditinjau dari aspek kepraktisan dan nilai tambah yang diberikan, Wibisono (2006) menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dalam menentukan variabel kinerja yang akan diukur adalah dengan melakukan identifikasi variabel kinerja dari 3 perspektif yaitu 1) keluaran organisasi (business results), 2) proses internal (internal business processes), dan 3) kemampuan atau ketersediaan sumber daya (resources availability). Terdapat tiga aspek formal dari pengukuran kinerja (Spitzer 2007) yaitu 1) ukuran-ukuran (variabel yang diukur), 2) proses pengukuran (tahapan yang menunjukkan bagaimana cara melakukan pengukuran), dan 3) infrastruktur teknis (berupa hardware dan software komputer yang digunakan untuk mendukung proses pengukuran). Tiga kriteria yang dapat digunakan untuk menilai keefektifan

47 dari sistem pengukuran kinerja (Olsen et al. 2007) yaitu 1) keterkaitan, 2) perbaikan terus-menerus, dan 3) pengawasan proses. Terkait dengan ukuran-ukuran (variabel) yang diukur, Medori dan Steeple (2000) menyatakan bahwa pada semua framework pengukuran kinerja yang telah dihasilkan, pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal memberikan panduan terhadap pemilihan variabel kinerja yang akan diukur. Denton (2005) menyatakan bahwa meskipun banyak hal yang dapat diukur tetapi lebih penting untuk mengukur hal yang spesifik dan relevan. Parmenter (2010) mengkategorikan ukuran kinerja dalam tiga kategori yaitu 1) KRI (Key Result Indikator), 2) KPI (Key Performance Indicator), dan 3) PI (Performance Indicator). Shahin dan Mahbod (2007) menyebutkan bahwa KPI dapat dirumuskan berdasarkan tujuan dari organisasi. Saunders et al. (2007) menegaskan pentingnya penguraian strategi organisasi ke dalam tindakan. Kaplan dan Norton dalam Parmenter (2010) merekomendasikan agar dalam pengukuran kinerja tidak menggunakan lebih dari 20 ukuran kinerja. Selain itu, Hope dan Fraser dalam Parmenter (2010) menyarankan penggunaan ukuran kinerja kurang dari 10. Radnor dan Barnes (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga kecenderungan umum dalam pengukuran kinerja yaitu 1) keluasan dari unit analisis (level individu, stasiun kerja, lini produksi, unit bisnis, perusahaan), 2) kedalaman ukuran kinerja (keterkaitan variabel kinerja), 3) peningkatan range ukuran kinerja (misalnya dari efisiensi menjadi efisiensi dan efektivitas). Dalam hal range ukuran kinerja, beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya keterbatasan dalam model pengukuran kinerja pabrik gula karena hanya dilakukan dengan menggunakan range ukuran kinerja yang sempit yaitu 1) produktivitas (Yusnitati (1994) dan Manalu (2009) terkait dengan kinerja output per input, 2) efisiensi produksi (Siagian 1999) terkait dengan kinerja proses, dan 3) efisiensi teknis (LPPM IPB 2002) terkait dengan kinerja proses. Berdasarkan kedalaman ukuran kinerja, pada penelitian terdahulu tidak memperhatikan keterkaitan ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan.

48 Selain itu, jika merujuk pada pernyataan Olsen et al. (2007) dapat menyebabkan berkurangnya keefektifan sistem pengukuran kinerja. Berbagai ukuran kinerja telah diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan. Heizer dan Render (2008) menyebutkan bahwa faktor-faktor penentu produktivitas yaitu 1) tenaga kerja, 2) modal, dan 3) manajemen. Namun, dalam pengukuran produktivitas dapat digunakan satu (single) atau lebih dari satu (multi) faktor. Gleich et al. (2008) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kinerja dapat digunakan indikator non finansial berupa volume, waktu siklus, dan kapasitas yang dimiliki. Martin (2008) mengidentifikasi ukuran-ukuran kinerja untuk menentukan efisiensi proses yaitu kualitas produk atau jasa, kapasitas atau kuantitas output, kuantitas dari produk cacat, kuantitas dari waste, waktu siklus, waktu produksi, kepuasan pelanggan, dan kepuasan karyawan. Kerangka kerja proses pengukuran kinerja perlu diperbaiki secara kontinu dengan mempertimbangkan berbagai model pengukuran kinerja yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi (Nenadal 2008). Beheshti dan Lollar (2008) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan keputusan penting yang sering menggunakan informasi subyektif. Oleh karena itu model keputusan yang memanfaatkan logika fuzzy dapat memberikan solusi yang logis. Chan et al. (2002) mengusulkan penggunaan logika fuzzy dalam evaluasi kinerja. Terkait dengan infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja, Santos et al. (2007) menunjukkan adanya variasi infrastruktur yaitu secara manual dan pemanfaatan sistem informasi. Raymond dan Marchand (2008) menunjukkan pergeseran dalam pemanfaatan sistem informasi untuk pengukuran kinerja, yaitu dari sistem informasi eksekutif ( ) ke Sistem Intelijen ( 2000 saat ini). Selain itu, Denton (2010) menyebutkan bahwa intranet dan internet dapat digunakan untuk meningkatkan pengelolaan dan pengukuran kinerja. Rancangbangun SPK pernah dilakukan antara lain oleh Lau et al. (2001) berupa Intelligent DSS for benchmarking of business partners, Marimin et al. (2005) berupa Sistem Intelijen Penilaian Kinerja Perusahaan, dan Unahabhokha et al. (2007) berupa Predictive performance measurement system : A fuzzy expert system approach.

49 2.4 Benchmarking Sistem pengukuran kinerja merupakan kunci untuk memandu dan menguji hasil dari proses perbaikan, tetapi tidak mengindikasikan bagaimana suatu proses harus di perbaiki. Salah satu pendekatan yang dapat membantu melengkapi hal tersebut adalah benchmarking. Dattakumar (2003) menyimpulkan bahwa pendekatan benchmarking dapat digunakan untuk perbaikan terus menerus. Hasil review Grunberg (2003) terhadap metoda-metoda yang digunakan untuk perbaikan kinerja aktivitas operasional pada perusahaan manufaktur menunjukkan bahwa pendekatan benchmarking juga memungkinkan untuk digunakan. Gleich et al. (2008) menyebutkan bahwa benchmarking dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja pada berbagai area. Berbagai definisi benchmarking antara lain 1) merupakan suatu proses untuk mengukur kinerja terhadap perusahaan yang terbaik dalam kelasnya, kemudian menggunakan analisis untuk memenuhi dan melebihi perusahaan tersebut (Pryor dan Katz 1993 dalam Yasin 2002), 2) pencarian praktek terbaik yang mengarah kepada kinerja yang sangat baik apabila praktek-praktek tersebut diterapkan (Partovi 1994), 3) proses identifikasi dan pembelajaran dari praktek terbaik dimanapun di dunia (Allan 1997 dalam Elmuti dan Yunus 1997), dan 4) perbandingan sistematis terhadap proses dan kinerja untuk menciptakan standar baru dan atau meningkatkan proses (Steven et al.2003). Benchmarking dapat dipergunakan dalam berbagai industri, baik jasa dan manufaktur. Perusahaan-perusahaan melakukan benchmarking karena berbagai alasan. Alasan bisa umum, seperti peningkatan produktivitas atau bisa spesifik, seperti peningkatan desain tertentu. (Muschter 1997 dalam Elmuti dan Yunus 1997). Alasan-alasan yang digunakan pada dasarnya merupakan upaya organisasi dalam rangka perbaikan kinerja. Berdasarkan hal tersebut, maka metode benchmarking dapat digunakan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja. Aplikasi benchmarking dalam perbaikan kinerja telah banyak dilakukan. Di mulai pada akhir 1970 oleh Xerox Corporation yang memutuskan untuk membandingkan operasional perusahaannya dengan L.L. Bean yang memiliki produk yang berbeda namun memiliki karakteristik fisik yang sama (Tucker et al dalam Elmuti dan Yunus 1997). Oleh karena itu, pengelompokan organisasi

50 yang memiliki karakteristik yang serupa perlu dilakukan sebelum proses benchmarking. Pengelompokan organisasi yang memiliki karakteristik yang serupa dapat dilakukan dengan menggunakan metode clustering. Xu dan Wunsch (2009) menyatakan bahwa pengelompokan (clustering) obyek kedalam beberapa kelompok (cluster) yang mempunyai sifat yang homogen atau dengan variasi sekecil mungkin diperlukan untuk memudahkan analisis data. Ukuran untuk kesesuaian atau kemiripan diantara data-data yang akan dipilih menjadi beberapa cluster dinamakan interobject similarity. Cara untuk menentukan interobject similarity tergantung pada tujuan dan jenis data. Untuk data dengan tipe metic dapat digunakan correlational measures (tingginya korelasi menunjukkan kesesuaian dan rendahnya korelasi menunjukkan ketidak sesuaian) dan distance measures ( semakin tinggi nilainya semakin rendah kesesuaiannya). Sedangkan untuk tipe data non-metic (tipe ordinal) dapat menggunakan association measures. Terdapat dua tahapan yang harus dilakukan dalam analisis cluster yaitu 1) memutuskan apakah jumlah cluster ditentukan atau tidak dan 2) menentukan algoritma yang akan digunakan dalam clustering. Untuk memutuskan berapa jumlah cluster yang akan dibentuk, Miyamoto et al. (2008) menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu 1) supervised (jika jumlah cluster ditentukan) dan unsupervised (jika jumlah cluster tidak ditentukan/alami). Gan et al. (2007) menyatakan bahwa dalam melakukan analisis clustering dapat memilih satu diantara 2 pendekatan yaitu 1) Hard Clustering atau 2) Soft Clustering (dikenal juga sebagai fuzzy clustering). Pemilihan pendekatan yang digunakan tergantung jenis data yang akan dikelompokkan. Hard Clustering digunakan apabila data berbentuk Crips sedangkan soft clustering digunakan apabila data berbentuk fuzzy. Menurut Kusumadewi dan Hari (2004) yang dimaksud dengan Fuzzy Clustering adalah salah satu teknik untuk menentukan cluster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal Ecludian untuk jarak antar vektor. Suatu algoritma clustering dikatakan sebagai algoritma Fuzzy Clustering jika dan hanya jika algoritma tersebut menggunakan strategi adaptasi secara soft

51 competitive (non-crisp). Sebagian besar algoritma Fuzzy Clustering didasarkan atas optimasi fungsi obyektif atau modifikasi dari fungsi obyektif tersebut (Kusumadewi et al. 2006). Metode yang dapat digunakan pada pendekatan Hard Clustering (Gan et al. 2007) yaitu 1) Non-Hierarchical clustering (Partitional Clustering) dan 2) Hierarchical Clustering. Pada metode Non-Hierarchical clustering, terdapat 3 cara untuk mengelompokkan data dalam satu cluster yaitu 1) sequential threshold, 2) parallel threshold, dan 3) Optimization. Sedangkan dalam metode Hierarchical Clustering, Xu dan Wunsch (2009) menyatakan bahwa terdapat dua tipe dasar yaitu 1) penyebaran (divisive), dan 2) pemusatan (agglomerative). Tipe divisive memulai pengelompokkan dari cluster yang besar (terdiri dari semua data) kemudian data yang paling tinggi ketidaksesuaiannya dipisahkan dan seterusnya sedangkan tipe agglomerative memulai pengelompokkan dengan menganggap setiap data sebagai cluster kemudian dua cluster yang mempunyai kesesuaian digabungkan menjadi satu cluster dan seterusnya. Terdapat lima cara untuk menggabungkan antar cluster yaitu 1) single linkage (berdasarkan jarak terkecil), 2) complete linkage (berdasarkan jarak terjauh), 3) centroid method (berdasarkan jarak centroid), 4) average linkage (berdasarkan berdasarkan rata-rata jarak), dan 5) ward s method (berdasarkan total sum of square dua cluster). Pemilihan pendekatan ditentukan berdasarkan kesesuaian dengan permasalahan yang dihadapi. Clustering merupakan metode yang sudah cukup dikenal dan banyak dipakai dalam data mining. Namun, mengingat metode yang dikembangkan saat ini masih bersifat heuristic maka upaya untuk menghitung jumlah cluster yang optimal dan pengklasteran yang paling baik masih terus dilakukan (Santosa 2007). Metode lain yang dapat digunakan untuk melakukan pengelompokan adalah klasifikasi. Kusnawi (2007) menyebutkan bahwa klasifikasi merupakan fungsi pembelajaran yang memetakan (mengklasifikasi) sebuah unsur (item) data ke dalam salah satu dari beberapa kelas yang sudah didefinisikan. Contoh yang populer dan mudah diinterpretasi (Pramudiono 2008; Taniar 2008) adalah dengan model prediksi menggunakan struktur pohon atau struktur berhirarki (Decision tree).

52 Decision tree (Larose 2005; Kusnawi 2007) adalah struktur flowchart yang menyerupai tree (pohon), dimana setiap simpul internal menandakan suatu tes pada atribut, setiap cabang merepresentasikan hasil tes, dan simpul daun merepresentasikan kelas atau distribusi kelas. Alur pada decision tree di telusuri dari simpul akar ke simpul daun yang memegang prediksi kelas. Decision tree mudah untuk dikonversi ke aturan klasifikasi (classification rules). Terdapat berbagai algoritma yang digunakan untuk membangun pohon keputusan antara lain yaitu algoritma C4.5. Secara umum algoritma C4.5 (Ramakrishnan 2009) adalah sebagai berikut: 1) Pilih atribut sebagai akar (didasarkan pada nilai gain tertinggi dari atribut-atribut yang ada), 2) Buat cabang untuk masing-masing nilai, 3) Bagi kasus dalam cabang, 4) Ulangi proses untuk masing-masing cabang sampai semua kasus pada cabang memiliki kelas yang sama. Hasil yang dicapai melalui penerapan praktek terbaik dari L.L. Bean adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas (Tucker et al dalam Yasin 2002). Selain itu, menurut Dragolea dan Cotirlea (2009) manfaat benchmarking antara lain yaitu 1) perbaikan terus menerus untuk mencapai kinerja yang lebih baik menjadi budaya organisasi, 2) meningkatkan pengetahuan terhadap kinerja produk dan jasa, dan 3) membantu dalam memfokuskan sumberdaya untuk mencapai target. Perkembangan konsep benchmarking dapat diklasifikasikan ke dalam lima generasi (Watson 1996; Ma arif dan Hendri 2003; Denkena et al. 2006; Martin 2008; Anand dan Kodali 2008; Dragolea dan Cotirlea 2009; Moriarty dan Smallman 2009) yaitu 1) Reverse engineering (berorientasi pada produk yang meliputi perbandingan karakteristik, kegunaan dan kinerja produk) ; 2) Competitive benchmarking (berorientasi pada efisiensi dalam menghasilkan produk); 3) Process benchmarking (berorientasi pada proses-proses bisnis tertentu yang menjadi sasaran analisis); 4) Strategic benchmarking (berorientasi pada perubahan yang mendasar dengan mengadaptasi strategi-strategi sukses); dan 5) Global benchmarking (berorientasi pada perbedaan-perbedaan budaya serta proses perencanaan strategis). Williams (2008) mengkategorikan benchmarking ke dalam dua tipe yaitu 1) internal benchmarking, dan 2) eksternal benchmarking.

53 Pierre dan Delisle (2006) mengusulkan sistem diagnosa berbasis pengetahuan pakar untuk melakukan benchmarking kinerja. Organisasi atau perusahaan yang berbeda memiliki metoda benchmarking sendiri, namun apapun metode yang digunakan, langkah-langkah utamanya adalah sebagai berikut : 1) pengukuran kinerja dari varibel-variabel kinerja terbaik pada kelompoknya relatif terhadap kinerja kritikal; 2) penentuan bagaimana tingkat-tingkat kinerja dicapai; dan 3) penggunaan informasi untuk pengembangan dan implementasi dari rencana peningkatan (Omachonu dan Ross 1994 dalam Elmuti dan Yunus 1997). Sebelum melakukan identifikasi bagaimana tingkat kinerja dicapai (praktek terbaik), perlu dilakukan pemilihan kinerja terbaik dalam kelompoknya. Proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti sebagai suatu cara pemecahan masalah dikenal sebagai pengambilan keputusan. 2.5 Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah yang memiliki fungsi antara lain : 1) pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional, dan 2) sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama. Pada prinsipnya, terdapat dua pendekatan dalam pengambilan keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi 1985; Marimin 2008, Marimin dan Maghfiroh 2010) yaitu : 1) pengambilan keputusan berdasarkan intuisi, dan 2) pengambilan keputusan rasional berdasarkan hasil analisis keputusan. Hasil keputusan dengan pengambilan keputusan berdasarkan intuisi, tidak dapat diperiksa secara logis. Sedangkan hasil keputusan dengan pengambilan keputusan berdasarkan hasil analisis keputusan, alasan terpilihnya suatu alternatif dapat ditelusuri dengan jelas dan mudah dimengerti. Adapun garis besar langkah-langkah siklus analisis keputusan rasional diperlihatkan pada Gambar 8.

54 Informasi Awal Tahap Deterministik (Perumusan Alternatif dan Kriteria) Tahap Probabilistik (Penetapan nilai dan variasinya) Tahap Informasional Pengambilan Keputusan Tindakan Informasi Baru Pengumpulan Informasi Pengumpulan Informasi Baru Gambar 8 Garis Besar Siklus Analisis Keputusan Rasional (Mangkusubroto dan Trisnadi 1985; Marimin 2004; Marimin dan Maghfiroh 2010) Pada umumnya, komponen-komponen dalam pengambilan keputusan berbasis rasional atau analisa (Marimin dan Maghfiroh 2010) terdiri dari: 1) alternatif keputusan, 2) kriteria keputusan, 3) bobot kriteria, 4) skala penilaian, 5) struktur keputusan, dan 6) metode pengambilan keputusan. Adapun sifat-sifat yang harus diperhatikan dalam memilih kriteria pada setiap persoalan pengambilan keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987; Suryadi dan Ramdhani 2002) adalah : 1) Lengkap, sehingga dapat mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan tersebut, 2) Operasional (harus mempunyai arti, dapat digunakan untuk meyakinkan pihak lain, serta dapat diukur), 3) Tidak berlebihan, sehingga menghindarkan perhitungan berulang, dan 4) Minimum, agar lebih mengkomprehensifkan persoalan. Dalam menentukan jumlah kriteria perlu sedapat mungkin mengusahakan agar jumlah kriterianya sesedikit mungkin. Semakin banyak kriteria maka semakin sulit untuk dapat menghayati persoalan dengan baik. Selain itu, jumlah perhitungan yang diperlukan dalam analisis akan meningkat dengan cepat. Secara konseptual, penilaian atau pengukuran adalah penetapan angkaangka untuk mengamati gejala sesuai dengan aturan tertentu (Pyzdek 2002). Emory dan Cooper (1996) menyebutkan bahwa pengukuran dalam penelitian

55 merupakan pemberian angka-angka pada peristiwa-peristiwa empiris sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Pengukuran dalam penelitian merupakan proses yang terdiri dari tiga bagian (Emory dan Cooper 1996; Marimin dan Maghfiroh 2010) yaitu : 1) memilih peristiwa empiris yang dapat diamati, 2) memakai angka atau simbol untuk mewakili aspek-aspek peristiwa-peristiwa tersebut, dan 3) memberikan hubungan antara variabel yang dibuat dan pengamatan yang dilakukan. Seperangkat aturan yang diperlukan untuk mengkuantitatifkan data dari pengukuran suatu variabel disebut skala pengukuran (Marimin 2010). Dasar yang paling umum untuk membuat skala mempunyai tiga ciri (Emory dan Cooper 1996) yaitu 1) Bilangannya berurutan, 2) Selisih antara bilangan-bilangan berurutan, dan 3) Deret bilangan mempunyai asal mula unik yang ditandai dengan bilangan nol. Pada umumnya, terdapat empat jenis skala pengukuran (Emory dan Cooper 1996; Marimin dan Maghfiroh 2010) yaitu : 1) Skala Nominal, 2) Skala Ordinal, 3) Skala Interval, dan 4) Skala Rasio. Adapun ciri-ciri dari setiap jenis skala seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Ciri-ciri dari Setiap Jenis Skala Pengukuran (Emory dan Cooper 1995) Selain empat jenis skala pengukuran tersebut di atas, Marimin dan Maghfiroh (2010) menambahkan satu skala pengukuran yaitu skala perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Skala Perbandingan Berpasangan sangat berguna untuk mendapatkan skala rasio dari hal-hal yang sulit diukur (pendapat, perasaan, perilaku, dan kepercayaan). Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan. Jenis Skala Ciri-ciri Skala Operasi Empiris Dasar Nominal Tidak ada urutan, jarak, atau asal mula Penentuan kesamaan Ordinal Berurutan tetapi tidak ada jarak atau asal mula yang unik Interval Rasio Berurutan dan berjarak tetapi tidak mempunyai asal mula yang unik Berurutan, berjarak, dan asal mula yang unik Penentuan nilai-nilai lebih besar atau lebih kecil daripada Penentuan kesamaan interval atau selisih Penentuan kesamaan rasio

56 Berdasarkan jumlah kriteria yang digunakan, maka persoalan keputusan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu persoalan keputusan dengan kriteria tunggal dan kriteria majemuk (multikriteria). Pengambilan Keputusan Multikriteria (MCDM) didefinisikan Kusumadewi et al. (2006) sebagai suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Terdapat beberapa fitur umum yang digunakan dalam MCDM (Janko 2005 dalam Kusumadewi et al. 2006) yaitu : 1) Alternatif, 2) Atribut, 3) Konflik antar kriteria, 4) Bobot keputusan, dan 5) Matriks keputusan. Alternatif adalah obyek-obyek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih oleh pengambil keputusan. Atribut sering disebut juga sebagai karakteristik, komponen, atau kriteria keputusan. Meskipun pada kebanyakan kriteria bersifat satu level, namun tidak menutup kemungkinan adanya sub kriteria yang berhubungan dengan kriteria yang telah diberikan. Beberapa kriteria biasanya mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya, misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria biaya. Bobot keputusan menunjukkan kepentingan relatif dari setiap kriteria. Yoon (1981) dalam Kusumadewi et al. (2006) menyatakan bahwa masalah MCDM tidak selalu memberikan suatu solusi unik, perbedaan tipe bisa jadi akan memberikan perbedaan solusi. Adapun jenis-jenis solusi pada masalah MCDM ( Kusumadewi et al. 2006) yaitu : 1) solusi ideal, 2) solusi non-dominated (solusi Pareto-optimal), 3) solusi yang lebih disukai, dan 4) solusi yang memuaskan. Pada solusi ideal, kriteria atau atribut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kriteria yang nilainya akan dimaksimumkan (kategori kriteria keuntungan), dan kriteria yang nilainya akan diminimumkan (kategori kriteria biaya). Solusi ideal akan memaksimumkan semua kriteria keuntungan dan meminimumkan semua kriteria biaya (Daellenbach dan McNickle 2005). Solusi feasible MCDM dikatakan non-dominated jika tidak ada solusi feasible yang lain yang akan menghasilkan perbaikan terhadap suatu atribut tanpa menyebabkan degenerasi pada atribut lainnya. Solusi yang memuaskan adalah himpunan bagian dari solusisolusi feasible dimana setiap alternatif melampaui semua kriteria yang diharapkan.

57 Zimmermann (1991) dalam Kusumadewi et al. (2006) menyatakan bahwa berdasarkan tujuannya, MCDM dapat dibedakan menjadi dua yaitu : Multi Attribute Decision Making (MADM) dan Multi Objective Decision Making (MODM). MADM digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam ruang diskret, sedangkan MODM digunakan untuk menyelesaikan masalahmasalah pada ruang kontinyu. Secara umum dapat dikatakan bahwa MADM menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif, sedangkan MODM merancang alternatif terbaik. Perbedaan antara MADM dan MODM ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbedaan antara MADM dan MODM (Yoon 1981 dalam Kusumadewi et al. 2006) MADM MODM Kriteria (didefinisikan sebagai) Atribut Tujuan Tujuan Implisit Eksplisit Atribut Alternatif Kegunaan Eksplisit Diskret, Jumlah terbatas Seleksi Implisit Kontinu, Jumlah tak terbatas Desain Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah MADM, antara lain yaitu : 1) Simple Additive Weighting Method (SAW), 2) Weighted Product (WP), 3) ELimination Et Coix Traduisant la realite ( ELECTRE), 4) Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), dan 5) Analytic Hierarchy Process (AHP). Untuk melakukan pemilihan terhadap organisasi yang berkinerja terbaik (menjadi best in class), Laise (2004) berpendapat bahwa pendekatan tradisional yang digunakan untuk menentukan organisasi yang menjadi best in class yaitu pendekatan ranking memiliki kelemahan. Pada pendekatan tradisional (Laise, 2004), permasalahan benchmarking dengan banyak kriteria diselesaikan dengan mengkonstruksi suatu indikator dengan merata-ratakan semua score yang diperoleh suatu organisasi atas ukuran-ukuran yang berbeda. Rata-rata merupakan suatu ukuran kecenderungan terpusat dari suatu kelompok data dan cukup mewakili jika data mempunyai suatu variabilitas yang rendah, tetapi jika dilakukan pengamatan dengan variabilitas tinggi, rata-rata bukan ukuran yang

58 baik. Menggunakan rata-rata dapat menghilangkan informasi yang pantas dipertimbangkan dan oleh karena itu tidak cocok digunakan untuk membuat perbandingan. Selanjutnya, Laise (2004) mengusulkan penggunaan metode yang merupakan pengembangan dari konsep outranking yaitu ELECTRE. Metode ELECTRE merupakan kelompok dari algoritma yang dikembangkan dalam Operational Research (Roy 1985; Vincke 1992; Roy dan Bouyssou 1993; Pamerol dan Barba-Romero 2000). ELECTRE menurut Kusumadewi et al. (2006) didasarkan pada konsep perankingan melalui perbandingan berpasangan antar alternatif pada kriteria yang sesuai. Suatu alternatif dikatakan mendominasi alternatif yang lainnya jika satu atau lebih kriterianya melebihi (dibandingkan dengan kriteria dari alternatif yang lain) dan sama dengan kriteria lain yang tersisa. Jafari et al. (2007) mengusulkan kerangka kerja untuk memilih metode penilaian kinerja terbaik menggunakan SAW. Konsep dasar metode SAW adalah mencari penjumlahan terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada semua atribut (Kusumadewi et al. 2006). Kelemahan pada metode SAW yaitu memerlukan proses normalisasi matriks keputusan ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada Metode lain yang dapat digunakan dalam melakukan identifikasi terhadap organisasi yang menjadi best in class adalah PROMETHEE. PROMETHEE (Preference Ranking Organization Method For Enrichment Evaluation) termasuk dalam keluarga metode outranking yang dikembangkan oleh B. Roy (1985). Metodologi Multicriteria outranking merupakan pengembangan dari pendekatan tradisional dalam menentukan perusahaan yang memiliki kinerja terbaik. Metoda tersebut dapat menghindari kekurangan dari metoda tradisional yang hanya berdasarkan pada agregasi kumpulan mono kriteria. PROMETHEE merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentukan urutan atau prioritas dari beberapa alternatif dalam permasalahan yang menggunakan multi kriteria. PROMETHEE mempunyai kemampuan untuk menangani banyak perbandingan dan memudahkan pengguna dengan menggunakan data secara langsung dalam bentuk tabel multikriteria sederhana.

59 Pengambil keputusan hanya mendefinisikan skala ukurannya sendiri tanpa batasan, untuk mengindikasi prioritasnya dan preferensi untuk setiap kriteria dengan memusatkan pada nilai (value), tanpa memikirkan metoda perhitungannya. Metodologi dalam mengimplementasikan PROMETHEE (Suryadi dan Ramdhani 2002) adalah sebagai berikut: 1) pengumpulan data nilai/ukuran relatif kriteria, 2) pemilihan dan penentuan tipe fungsi preferensi kriteria beserta parameternya, 3) perhitungan nilai preferensi (P) antar alternatif ditentukan berdasarkan, 4) perhitungan nilai indeks preferensi multikriteria ( ) antar alternatif, 5) perhitungan nilai leaving flow, entering flow, dan net flow pada masing-masing alternatif, dan 6) Menentukan ranking pada Promethee I (Partial Ranking) dan Promethee II (Complete Ranking). Fungsi preferensi kriteria yang dapat dipilih yaitu 1) kriteria biasa, 2) kriteria Quasi, 3) kriteria linier, 4) kriteria level, 5) kriteria level dengan area tidak berbeda, dan 6) kriteria Gaussian. Dengan menggunakan fungsi preferensi kriteria biasa, tidak ada beda (sama penting) antara a dan b jika dan hanya jika f(a) = f(b); apabila nilai kriteria pada masing-masing alternatif memiliki nilai berbeda, pengambil keputusan membuat preferensi mutlak untuk alternative memiliki nilai yang lebih baik. H (d) = 0 jika d 0 1 jika d 0 d = selisih nilai kriteria = f (a) f (b) H (d) 1 0 d Gambar 9 Bentuk Preferensi Kriteria Biasa (Suryadi dan Ramdhani 2002) Dengan kriteria Quasi, dua alternatif memiliki preferensi yang sama penting selama selisih atau nilai H(d) dari masing-masing alternatif untuk kriteria

60 tertentu tidak melebihi nilai q, dan apabila selisih hasil evaluasi untuk masingmasing alternatif melebihi nilai q maka terjadi bentuk preferensi mutlak. H (d) 1 -q 0 q d Gambar 10 Bentuk Kriteria Quasi (Suryadi dan Ramdhani 2002) H (d) = 0 jika -q d q 1 jika d < -q atau d > q Kriteria linier dapat menjelaskan bahwa selama nilai selisih memiliki nilai nilai yang lebih rendah dari p, preferensi dari pengambil keputusan meningkat secara linier dengan nilai d. Jika nilai d lebih besar dibandingkan dengan nilai p, maka terjadi preferensi mutlak. H (d) 1 -p 0 p d Gambar 11 Bentuk Kriteria Linier (Suryadi dan Ramdhani 2002) H (d) = d/p jika -p d p 1 jika d < -p atau d > p Dengan kriteria level, kecenderungan tidak berbeda q dan

61 kecenderungan preferensi p ditentukan secara simultan. Jika d berada di antara nilai q dan p, hal ini berarti situasi preferensi yang lemah (H(d) = 0.5) H (d) 1 1/2 -p -q 0 q p d Gambar 12 Bentuk Kriteria Level (Suryadi dan Ramdhani 2002) 0 jika d q H (d) = 0,5 jika q < d p 1 jika p < d Dengan kriteria linier dengan area tidak berbeda, pengambil keputusan mempertimbangkan peningkatan preferensi secara linier dari tidak berbeda hingga preferensi mutlak dalam area antara dua kecenderungan p dan q H (d) = 0 jika d q ( d - q ) / ( p q ) jika q < d p 1 jika p < d H (d) 1 -p -q 0 q p d Gambar 13 Bentuk Kriteria Linier dengan Area Tidak Berbeda (Suryadi dan Ramdhani 2002)

62 Dengan kriteria Gaussian, apabila telah ditentukan nilai σ, dimana dapat dibuat berasarkan distribusi normal dalam statistik. H (d) = 1 exp { - d² / 2σ² } H (d) 1 0 d Gambar 14 Bentuk Kriteria Gaussian (Suryadi dan Ramdhani 2002) Perhitungan nilai preferensi (P) antar alternatif ditentukan berdasarkan penyampaian intensitas (P) dari preferensi alternatif a terhadap alternatif b sedemikian rupa sehingga : P (a, b) = 0, berarti tidak ada beda (indefferent) antara a dan b, atau tidak ada preferensi dari a lebih baik dari b. P (a, b) ~ 0, berarti lemah preferensi dari a lebih baik dari b. P (a, b) ~ 1, berarti kuat preferensi dari a lebih baik dari b. P (a, b) = 1, berarti mutlak preferensi dari a lebih baik dari b. Dalam metode ini, fungsi preferensi seringkali menghasilkan nilai fungsi yang berbeda antara dua evaluasi, sehingga : P (a, b) = P (f (a) f (b)). Indeks preferensi multikriteria ditentukan berdasarkan rata-rata bobot dari fungsi preferensi P i : (a, b) = P a b n i 1 : a, b A i,

63 Hal ini dapat disajikan dengan nilai antara 0 dan 1, dengan ketentuan sebagai berikut : (a, b) 0, menunjukkan preferensi yang lemah untuk alternatif a lebih baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria. (a, b) 1, menunjukkan preferensi yang kuat untuk alternatif a lebih baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria. Perhitungan nilai leaving flow, entering flow, dan net flow pada masingmasing alternatif. Untuk setiap node a dalam grafik nilai outranking ditentukan berdasarkan leaving flow, dengan persamaan : 1 (a) = a, x n 1 x A Secara sistematis dapat ditentukan juga entering flow dengan persamaan : 1 (a) = x, a n 1 x A Sehingga pertimbangan dalam penentuan net flow diperoleh dengan persamaan : (a) = (a) - (a) Promethee I berdasarkan karakter leaving flow dan entering flow, yaitu nilai terbesar dan terkecil sebagai alternatif terbaik. Sedangkan Promethee II berdasarkan karakter net flow dan nilainya diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil. Dibandingkan dengan metodologi-metodologi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dengan multi kriteria beberapa pendapat menyatakan bahwa metodologi Promethee 1) paling efisien dan paling mudah penggunaannya Prvulovic et. al. (2008), 2) lebih fleksibel dalam menentukan preferensi (bobot)

64 mana yang lebih baik dari pasangan yang dibandingkan (Amran dan Kiki 2005). Selain itu, Triyanti dan Gadis (2008) menyatakan bahwa metode PROMETHEE menyediakan banyak fungsi yang dapat mengakomodasi berbagai karakteristik data, sedangkan metode pengambilan keputusan yang lain, seperti Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Analytical Network Process (ANP) mengasumsikan data dengan karakteristik linear mengingat semua pembobotan menggunakan normalisasi. Penyusunan model keputusan (Suryadi dan Ramdhani 2002) adalah suatu cara untuk mengembangkan hubungan-hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model, yang mencerminkan hubungan yang terjadi diantara faktor-faktor yang terlibat. Model yang banyak digunakan dalam proses pengambilan keputusan dapat dikategorikan dalam dua jenis (Suryadi dan Ramdhani 2002), yaitu model matematis dan model informasi. Model matematis merupakan model yang merepresentasikan sistem secara simbolik dengan menggunakan rumus-rumus atau besaran-besaran abstrak. Model ini selanjutnya bisa dijabarkan ke dalam operasi-operasi matriks, algoritma iteratif dan model-model keputusan matematis lainnya. Model informasi merupakan model yang merepresentasikan sistem dalam format grafik, skema atau tabel. Secara umum, model ini terbagi atas : 1) penjelasan objek, mendeskripsikan apa dan bagaimana suatu objek secara terperinci, bisa berupa tabel, daftar, dan sebagainya; 2) penjelasan hubungan, menunjukkan hubungan antar objek, representasi hubungan lebih komunikatif jika ditampilkan dalam bentuk grafik; 3) penjelasan operasi, menunjukkan urutan tugas atau proses yang dilakukan oleh suatu objek atau sekelompok objek, model dapat berupa peta proses operasi, diagram alir atau jaringan. Secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realita yang dikaji. Siregar (1991) dalam Suryadi dan Ramdhani (2002) mengungkapkan bahwa suatu model yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) tingkat generalisasi yang tinggi, 2) mekanisme transparansi, 3) potensial untuk dikembangkan, dan 4) peka terhadap perubahan asumsi. Semakin tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik, karena kemampuan

65 model untuk memecahkan masalah semakin besar. Suatu model dikatakan baik jika kita dapat melihat mekanisme suatu model dalam memecahkan masalah, artinya kita bisa menjelaskan kembali (rekonstruksi) tanpa ada yang disembunyikan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan minat peneliti lain untuk menyelidikinya lebih lanjut. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan model pada umumnya (Suryadi dan Ramdhani 2002) yaitu : 1) elaborasi, 2) analogi, dan 3) dinamis. Pengembangan model dimulai dengan yang sederhana dan secara bertahap dielaborasi hingga memperoleh model yang lebih representatif. Penyederhanaan dilakukan dengan menggunakansistem asumsi ketat, yang tercermin pada jumlah, sifat, dan relasi variabel-variabelnya. Akan tetapi asumsi yang dibuat tetap harus memenuhi persyaratannya, yaitu konsistensi, independensi, ekivalensi, dan relevansi. Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum, teori yang sudah dikenal secara meluas tetapi belum pernah digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pengembangan model bukanlah proses yang bersifat mekanistik dan linier. Oleh karena itu, dalam tahap pengembangannya mungkin saja dilakukan pengulangan. Pengembangan model suatu sistem secara umum mengandung dua tahapan proses (Simatupang 1994), yang pada prakteknya, tidak selalu mengikuti urutan yaitu : pembuatan struktur model dan pengumpulan data. Pembuatan struktur model yaitu menetapkan batas-batas sistem yang akan memisahkan sistem dari lingkungannya, dan menetapkan komponen-komponen pembentuk sistem yang akan diikutsertakan atau dikeluarkan dari model. Namun demikian, model harus lengkap, valid, dan cukup sederhana. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan besaran-besaran atribut komponen yang dipilih, dan untuk mengetahui hubungan yang terjadi pada aktivitas-aktivitas sistem. Langkah awal dalam membangun model formal yang menunjukkan ukuran performansi sistem sebagai fungsi dari variabel-variavel model adalah konsep formulasi model. Simatupang (1994) menggambarkan tahap-tahap konsep formulasi model dalam skema berikut ini :

66 MASALAH SISTEM PEMAHAMAN SISTEM MODEL KONSEPTUAL ASUMSI VARIABEL MODEL FORMULASI MODEL Gambar 15 Tahap-Tahap Formulasi Model (Simatupang 1994) Selanjutnya Levin et al. (1995) menyebutkan bahwa konsep dan ide dasar untuk pemodelan membentuk siklus model yang meliputi tiga fase pengembangan yaitu : 1) penentuan masalah, 2) pengembangan model, dan 3) pengambilan keputusan. Adapun komponen tersebut dan hubungan diantaranya dapat dilihat pada Gambar 16. TAHAP PENDUKUNG KEPUTUSAN Pembuat Keputusan Integrasi Pendukung Keputusan Presentasi dari Hasil model Formulasi masalah Komunikasi Masalah Formulasi Masalah Investigasi Penyelesaian Masalah Model Investigasi Sistem Penetapan Sistem & Tujuannya TAHAP PENENTUAN MASALAH Formulasi Model Hasil Model Eksperimen Model Eksperimental Model Konseptual Model Komunikatif Representasi Model Perancangan Eksperimen Pemrograman Model Pemrograman TAHAP PENGEMBANGAN MODEL Gambar 16 Siklus Model (Levin et al. 1995)

67 2.6 Praktek Terbaik Praktek terbaik perlu diidentifikasi sebagai masukan untuk perbaikan kinerja dimana pada tahap sebelumnya telah dilakukan penentuan prioritas perbaikannya. Asrofah et al. (2010) menyimpulkan bahwa hasil identifikasi praktek terbaik berkontribusi pada efektivitas benchmarking di perusahaan manufaktur Indonesia. Reddy dan McCarthy (2006) menegaskan bahwa praktek terbaik perlu dipromosikan setidak-tidaknya dengan memanfaatkan database yang dapat diakses oleh pihak memerlukan. Faktor yang harus diperhatikan dalam mengidentifikasi praktek terbaik (Ungan 2007) yaitu kodifikasi, kompleksitas, dan kesesuaian. Praktek terbaik dapat didefinisikan dalam tiga level (Jaffar dan Zairi 2000) yaitu 1) ide yang baik (unproven) ; 2) praktek yang baik; dan 3) praktek terbaik (proven). Ide yang baik belum dibuktikan secara empiris dan perlu dilakukan analsis untuk memastikan ide tersebut akan berdampak positip pada kinerja organisasi. Praktek yang baik berupa teknik, metodologi, prosedur, atau proses yang telah diimplementasikan dan telah meningkatkan kinerja organisasi. Praktek terbaik praktek yang baik yang telah ditetapkan sebagai pendekatan terbaik bagi banyak organisasi berdasarkan hasil analisis data kinerja. Maire et al. (2005) mengembangkan model untuk mengidentifikasi praktek terbaik didasarkan pada prinsip yang serupa dengan Quality Function Deployment (QFD). Namun, model yang dirancang hanya dapat digunakan pada proses dan bukan pada produk jadi. Southard dan Parente (2007) mengembangkan metoda baru yang digunakan untuk proses evaluasi dalam perbaikan kinerja berdasarkan pada pengetahuan internal yang dimiliki. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi praktek terbaik adalah Root Cause Analysis (RCA). RCA merupakan pendekatan terstruktur untuk mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh pada satu atau lebih kejadian-kejadian yang lalu agar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja (Corcoran 2004). Selain itu, pemanfaatan RCA dalam analisis perbaikan kinerja menurut Latino dan Kenneth (2006) dapat memudahkan pelacakan terhadap faktor yang mempengaruhi kinerja. Root Cause(s) adalah bagian dari beberapa faktor (kejadian, kondisi, faktor organisasional) yang memberikan kontribusi, atau

68 menimbulkan kemungkinan penyebab dan diikuti oleh akibat yang tidak diharapkan. Terdapat berbagai metode evaluasi terstruktur untuk mengidentifikasi akar penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang tidak diharapkan (undesired outcome). Jing (2008) menjelaskan lima metode yang populer untuk mengidentifikasi akar penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang tidak diharapkan (undesired outcome) dari yang sederhana sampai dengan komplek yaitu : 1) Is/Is not comparative analysis, 2) 5 Why methods, 3) Fishbone diagram, 4) Cause and effect matrix, dan 5) Root Cause Tree. Is/Is not comparative analysis merupakan metoda komparatif yang digunakan untuk permasalahan sederhana, dapat memberikan gambaran detil apa yang terjadi dan telah sering digunakan untuk menginvestigasi akar masalah. 5 Why methods merupakan alat analisis sederhana yang memungkinkan untuk menginvestigasi suatu masalah secara mendalam. Fishbon diagram merupakan alat analisis yang populer, yag sangat baik untuk menginvestigasi penyebab dalam jumlah besar. Kelemahan utamanya adalah hubungan antar penyebab tidak langsung terlihat, dan interaksi antar komponen tidak dapat teridentifikasi. Cause and effect matrix merupakan matrik sebab akibat yang dituliskan dalam bentuk tabel dan memberikan bobot pada setiap faktor penyebab masalah. Root Cause Tree merupakan alat analisis sebab akibat yang paling sesuai untuk permasalahan yang kompleks. Manfaat utama dari alat analisis tersebut yaitu memungkinkan untuk mengidentifikasi hubungan diantara penyebab masalah. Chandler (2004) dalam Ramadhani et. al (2007) menyebutkan bahwa dalam memanfaatkan RCA terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu : 1) mengidentifikasi dan memperjelas definisi undesired outcome (suatu kejadiaan yang tidak diharapkan), 2) mengumpulkan data, 3) menempatkan kejadiankejadian dan kondisi-kondisi pada event and causal factor table, dan 4) lanjutkan pertanyaan mengapa untuk mengidentifikasi root causes yang paling kritis. Laugen et al. (2005) menyebutkan bahwa praktek terbaik yang menyebabkan kinerja terbaik seringkali sulit untuk diidentifikasi. Davies (2000) mengusulkan pendekatan terstruktur (diagnostic) untuk memilih praktek terbaik berdasarkan pada kekuatan hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai.

69 2.7 Sistem Penunjang Keputusan Merujuk pada definisi mengenai perbaikan kinerja yang dikemukakan oleh LaBonte (2001) maka untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan perbaikan kinerja industri gula perlu digunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan analisis yang memanfaatkan sifat-sifat dasar sistem seperti pencapaian tujuan, kesatuan usaha, keterbukaan terhadap lingkungan, transformasi, hubungan antar bagian, dan mekanisme pengendalian sebagai dasar analisis. Pendekatan sistem ditandai dengan mencari semua faktor (bagian) yang penting dalam mendapatkan solusi permasalahan dan pembuatan suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan yang rasional. Kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain dalam suatu sistem menunjukkan kompleksitas sistem, sedangkan orientasi pencapaian tujuan yang memberi ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha mencapai tujuan merupakan sifat dinamis dari sistem. Oleh karena itu, pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih komprehensif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami berbagai penyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Beberapa alasan perlunya pendekatan sistem dalam mengkaji suatu permasalahan (Simatupang 1995; Eriyatno 1999), yaitu : 1) memastikan bahwa pandangan yang menyeluruh telah dilakukan, 2) mencegah analis menerapkan secara dini definisi masalah yang spesifik, 3) mencegah analis menerapkan secara dini model tertentu, 4) agar lingkungan masalah didefinisikan secara luas sehingga berbagai kebutuhan yang relevan dapat dikenali. Selanjutnya, Eriyatno (2003) dan Marimin (2005) menyatakan bahwa terdapat dua hal umum yang menandai pendekatan sistem, yaitu 1) dalam semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional. Metode untuk menyelesaikan permasalahan yang dilakukan melalui pendekatan sistem terdiri dari analisa sistem, rancangbangun model, implementasi rancangan, serta implementasi dan operasi sistem (Eriyatno 2003). Analisa sistem dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi situasional, analisa kebutuhan,

70 formulasi masalah, dan identifikasi sistem. Rancangbangun model ditujukan untuk memberikan abstraksi dari keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata dalam rangka memudahkan pengkajian suatu sistem. Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan dikenal dengan istilah Sistem Penunjang Keputusan (SPK). SPK merupakan pengembangan lebih lanjut dari Sistem Informasi Manajemen terkomputerisasi yang dirancang sedemikian rupa sehingga bersifat interaktif dengan pemakainya (Turban 1993; Suryadi dan Ramdhani 2002). Kemudahan integrasi antara berbagai komponen dalam pengambilan keputusan, seperti : prosedur, kebijakan, teknik analisis, serta pengalaman dan wawasan manajerial guna membentuk suatu kerangka keputusan yang bersifat fleksibel merupakan maksud dari sifat interaktif. Marimin ( 2004) menggambarkan Siklus data, informasi, keputusan dan aksi sebagai berikut : Bilangan Terms SIM Informasi SPK Data Aternatif Keputusan MoNev Aksi SOP Keputusan Gambar 17 Siklus Data, Informasi, Keputusan dan Aksi (Marimin 2004) Tiga tujuan yang harus dicapai SPK (Marimin 2005) yaitu 1) membantu manajer membuat keputusan untuk memecahkan masalah semi terstruktur, 2) mendukung penilaian manajer bukan mencoba menggantikannya, dan 3) meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan daripada efisiensinya. Tujuan-tujuan tersebut berhubungan dengan tiga prinsip dasar dari konsep SPK yaitu struktur masalah, dukungan keputusan, dan efektivitas masalah.

71 Model konseptual dari SPK adalah integrasi antara 1) Sistem Manajemen Basis Data, 2) Sistem Manajemen Basis Model, dan 3) Sistem Manajemen Dialog, dimana interaksinya diatur oleh Sistem Pengolahan Terpusat. Karakteristik pokok yang melandasi SPK menurut Minch dan Burns (1983) dalam Eriyatno (1999) adalah : 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan, 2) dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda, 3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelligensia buatan (artificial intelligence), ilmu sistem dan ilmu manajemen, 4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Suryadi dan Ramdhani (2002) menyebutkan bahwa tahapan rancang bangun SPK terdiri dari : 1) Identifikasi tujuan rancang bangun, yang bertujuan untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai; 2) Perancangan pendahuluan, untuk merumuskan kerangka dan ruang lingkup SPK serta persyaratan unjuk kerja yang mesti dipenuhinya, memilih konsep-konsep, menganalisis dan mengaplikasi model pembuatan keputusan yang relevan dengan tujuan SPK yang akan dibangun, juga mengidentifikasi spesifikasi SPK; 3) Perancangan Sistem, yang diawali dengan analisis sistem untuk merumuskan spesifikasi SPK dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK, beserta perangkat keras serta perangkat lunak pendukungnya. Metode yang digunakan dalam perancangan dan pengembangan suatu aplikasi SPK umumnya mengacu pada tahapan pengembangan sistem. Marimin (2005) menyebutkan bahwa proses perancangan suatu aplikasi SPK terdiri dari tujuh tahapan seperti pada Gambar Sistem Penunjang Keputusan Intelijen Sebagai tambahan terhadap sistem penunjang keputusan yang tradisional, teknik-teknik yang dikembangkan dalam intelijen buatan (artificial intelligence) telah diadopsi untuk membuat sistem penunjang keputusan yang intelijen. Sistem ini melibatkan sistem pakar berbasis aturan (rule-based) atau sistem intelijen dengan menggunakan logika fuzzy, Jaringan syaraf tiruan dan algoritma genetika. Turban (2005) mendefinisikan Sistem Penunjang Keputusan Intelijen sebagai

72 Perlu dirancang ulang Perlu dirancang ulang SPK yang melibatkan satu atau lebih dari komponen-komponen suatu sistem pakar atau artificial intelligence technology. Dengan komponen-komponen tersebut Sistem Penunjang Keputusan menjadi lebih baik atau lebih intelijen. Analis Sistem Pemgguna Langkah 1 Menentukan domain persoalan Langkah 2 Mendefinisikan persoalan Langkah 3 Menetukan perangkat Keras dan lunak Langkah 4 Membangun prototipe sistem Langkah 5 Menguji dan mengevaluasi model Langkah 6 Menggunakan model Langkah 7 Memelihara sistem Gambar 18 Bagan Alir Pengembangan Aplikasi SPK (Marimin 2005) Seperti halnya sistem yang lain, sistem pakar dan SPK juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelemahan SPK yaitu SPK hanya berfungsi secara pasif dalam interaksi manusia komputer. SPK mengeksekusi perhitungan, menampilkan data dan merespon perintah standar, namun tidak dapat berfungsi sebagai asisten intelijen terhadap pengambil keputusan. Sedangkan sistem pakar, memiliki kecerdasan pada ranah yang jelas. Oleh karena itu, integrasi antara sistem pakar dan SPK akan menghasilkan suatu sinergi yang dapat mengatasi kelemahan dalam sistem pakar dan SPK (Turban 1990; Turban et al. 2006). Hasil yang diperoleh melalui integrasi antara sistem pakar dan SPK lebih baik jika dibandingkan dengan dengan penggunaan sistem pakar atau SPK saja. Integrasi antara SPK dan sistem pakar (Turban 1990; Turban et al. 2006; Turban et al. 2007) dapat dilakukan dengan 1) sistem pakar dimasukkan ke dalam komponen-komponen SPK, 2) sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari SPK, 3) sistem pakar berbagi dengan proses SPK, 4) sistem pakar memberikan

73 solusi alternatif bagi SPK, dan 5) pendekatan kesatuan (a unified approach). Teng et al. dalam Turban 1990) mengusulkan pendekatan kesatuan untuk mengintegrasikan SPK dan sistem pakar yang dinamakan SPK Intelijen. Adapun arsitektur SPK Intelijen dapat dilihat pada Gambar 19. Basis Data Basis Pengetahuan Basis Model Sistem Manajemen Basis Data Subsistem Akuisisi pengetahuan Perekayasa Pengetahuan intelijen Mesin Inferensi Supervisor Penghubung Bahasa Natural Pengguna Subsistem Dialog Sistem Manajemen Basis Model Pusat Pengelola Intelijen Gambar 19 Arsitektur Kesatuan SPK Intelijen (Teng et al. dalam Turban 1990) Berdasarkan Gambar 19 tersebut terlihat bahwa sistem pakar tersusun diantara data dan model-model, dimana sistem pakar menjadi fungsi dasar dalam mengintegrasikan dua komponen tersebut secara intelijen. SPK Intelijen diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu SPK aktif dan SPK berevolusi sendiri. SPK aktif atau simbolik merupakan SPK yang dirancangbangun agar dapat mengambil inisiatif dalam pertanyaan dan perintah standar, sedangkan SPK berevolusi sendiri dirancangbangun untuk siaga dalam penggunaan dan secara otomatis beradaptasi dengan kebutuhan pengguna. SPK aktif dapat mengerjakan tugas, memahami domain (seperti terminologi, parameter, dan interaksi), memformulasikan permasalahan, memaparkan permasalahan, menginterpretasikan hasil, dan menjelaskan hasil dan keputusan (Mill 1990 dalam Turban et al. 2006). Dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut diperlukan komponen intelijen.

74 2.9 Sistem Pakar Fuzzy Sistem Pakar Fuzzy merupakan penggabungan sistem pakar dan sistem Fuzzy. Penerapan sistem Fuzzy dalam sistem pakar bertujuan untuk merepresentasikan pengetahuan pakar pada lingkungan yang tidak pasti, tidak lengkap, dan sangat kompleks (Kandel 2001, Marimin 2005). Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem fuzzy menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy yang digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran, yaitu nilai kebenaran antara benar dan salah. Oleh karena itu, logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Sistem Pakar Fuzzy mengembangkan sistem pakar yang menggunakan logika fuzzy secara keseluruhan (Negnevitsky 2005; Bukley dan Siler 2005), yang meliputi gugus fuzzy, aturan fuzzy if- then, serta proses inferensi. Gugus fuzzy merupakan perangkat yang tepat untuk mengekspresikan ke-ambiguity-an yang diperlukan oleh komputer untuk mengerti bahasa manusia yang tidak dapat diselesaikan dengan logika biasa. Pada umumnya, sistem Pakar Fuzzy terdiri dari dua modul utama yaitu basis pengetahuan (knowledge base) dan mesin penyimpul (inference engine) serta modul tambahan yang disebut memori kerja (working memory). Basis pengetahuan digunakan untuk menangkap keahlian pakar sedangkan mesin penyimpul mencontoh cara dan proses penalaran pakar. Memori kerja akan menampung fakta yang diberikan oleh pengguna dan menjadi perantara kesimpulan yang diambil dari prosedur inferensi. Sistem pakar atau sistem berbasis pengetahuan kecerdasan (Intelligent Knowledge Based System) merupakan salah satu bagian dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligent) yang memungkinkan komputer dapat berpikir dan mengambil kesimpulan dari sekumpulan aturan. Tujuan dari pengembangan sistem pakar adalah untuk menghasilkan suatu sistem yang dapat membantu pekerjaan manusia, terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan keahlian dan pengalaman di suatu bidang tertentu secara lebih efektif dan efisien.

75 Sistem pakar akan menyimpan dan mengelola keahlian atau pengetahuan dari seorang pakar. Pengetahuan yang ada pada sistem pakar juga dapat berasal dari buku, majalah, atau sumber-sumber tertulis lainnya. Pengetahuan yang dimiliki sistem pakar akan digunakan untuk mengolah fakta-fakta dari pengguna sehingga dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang akan diberikan kembali kepada penggunanya. Kesimpulan itu dapat dianggap sebagai hasil dari konsultasi yang diberikan oleh seorang pakar. Adapun fungsi dasar sistem pakar dapat di lihat pada Gambar 20 di bawah ini : Sistem Pakar Pengguna Fakta Kesimpulan Knowledge Base (Basis Pengetahuan) Inference Engine (Penarikan Kesimpulan) Gambar 20 Fungsi Dasar Sistem Pakar (Giarratano dan Riley 1998) Marimin (2005) menyebutkan bahwa pada prinsipnya, sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup 1) fasilitas akuisisi pengetahuan, 2) sistem berbasis pengetahuan (Knowledge Based System), 3) mesin inferensi (inference engine), 4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Adapun struktur dasar sistem pakar dapat dilihat pada Gambar 21. Pengguna Pakar Fakta Aturan Model Penghubung Sistem Berbasis Pengetahuan Nasehat Justifikasi Konsultasi Mekanisme Inferensi Akuisisi Pengetahuan Fakta Aturan Model Dangkal Mendalam Statis Dinamis Fakta Aturan Model Strategi Penalaran Strategi Pengendalian Fasilitas Penjelasan Gambar 21 Struktur Dasar Sistem Pakar (Marimin 2005)

76 Tahapan pembentukan sistem pakar pada dasarnya disusun oleh tiga unsur utama sistem yaitu 1) basis pengetahuan, 2) mesin inferensi, dan 3) implementasi. Adapun tahapan pembentukan sistem pakar secara lengkap seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22. Mulai Identifikasi Masalah Mencari Sumber Pengetahuan Akuisisi Pengetahuan Representasi Pengetahuan Pengembangan Mesin Inferensi Implementasi Pengujian Tidak Mewakili Human Expert Ya Selesai Gambar 22 Tahap Pembentukan Sistem Pakar (Marimin 2007) Akuisisi pengetahuan merupakan salah satu tahap penting dalam pengembangan sistem pakar. Pada tahap ini, dilakukan proses pengumpulan pengetahuan dari pakar oleh perekayasa pengetahuan (knowledge engineer). Sebagai salah satu elemen dalam sistem pakar, fasilitas akuisisi pengetahuan digunakan sebagai alat untuk mengisi atau mendapatkan pengetahuan, fakta, aturan, dan model yang diperlukan oleh sistem pakar dari berbagai sumber (Marimin 2007) seperti : akuisisi pengetahuan dari para pakar, pengorganisasian dari beberapa buku, jurnal, data, dasar dan media lain yang relevan dengan ruang lingkup sistem pakar yang akan dikembangkan, penyeleksian hasil deduksi dan

77 induksi dari pengetahuan yang sudah tersimpan dalam sistem pakar atau yang berupa pengalaman langsung. Terdapat tiga cara akuisisi pengetahuan (Buchanan dan Shorliffe 1984 dalam Fu 1994 di dalam Yuliasih dan Marimin 2003) yaitu : 1) handcrafting, dimana pengembang sistem mengkodekan pengetahuan (knowledge) langsung ke dalam program, 2) knowledge engineering, dimana akuisisi pengetahuan pakar dilakukan dengan cara kerjasama dengan pakar domain baik secara langsung maupun tidak, agar diperoleh pola dan bentuk pengetahuan yang nantinya disusun ke dalam basis pengetahuan, dan 3) machine learning, dimana pengetahuan diekstrak dari contoh-contoh pelatiham yang diujikan pada komputer. Representasi pengetahuan merupakan bagian yang memuat obyek-obyek pengetahuan serta hubungan yang dimiliki antar obyek tersebut. Menurut Reichgelt (1991) dalam Fu (1994) di dalam Yuliasih dan Marimin (2003) ada empat tingkat representasi pengetahuan, yaitu : 1) level implementasi, berkaitan dengan kemungkinan pembuatan program pengetahuan bagi bahasa representasi pemrograman, 2) level logic, berhubungan dengan sifat-sifat fisik bahasa pengetahuan (seperti : makna suatu ekspresi, prosedur inferensi yang berkaitan), 3) level epistemologikal, berkaitan dengan struktur pengetahuan (misalnya jaringan semantik) dan strategi inferensi bahasa representasi pengetahuan, dan 4) level konseptual, berkaitan dengan hal-hal dasar yang aktual (misalnya konsep, obyek dan lainnya) dari bahasa representasi pengetahuan. Mesin inferensi merupakan komponen dalam sistem pakar yang akan memanipulasi dan mengarahkan pengetahuan pada basis pengetahuan untuk memperoleh kesimpulan. Mesin inferensi dikategorikan dalam dua tipe (Fu, 1994 dalam Yuliasih dan Marimin 2003) yaitu : 1) mesin inferensi yang tidak menghitung tingkat kepercayaan untuk setiap kesimpulan yang dihasilkan, dan 2) mesin inferensi yang menghitung tingkat kepercayaan untuk setiap kesimpulan yang dihasilkan. Kesimpulan yang dihasilkan oleh sistem pakar diperoleh melalui pengujian fakta dan kaidah yang ada pada basis pengetahuan. Jika diperlukan, mesin inferensi juga dapat menambahkan fakta baru ke dalam basis pengetahuan. Sistem pakar dapat diterapkan untuk berbagai permasalahan yang bersifat cukup kompleks dan permasalahan yang memiliki algoritma kurang jelas dalam

78 pemecahannya sehingga dibutuhkan kemampuan seorang atau beberapa pakar untuk mencari sistematika penyelesaiannya secara evolutif. Oleh karena itu, sistem pakar dapat digunakan untuk permasalahan bersifat analitik, sintesis, dan integratif yang dihadapi oleh berbagai industri termasuk industri gula. Sistem Fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti, dengan menduga suatu fungsi menggunakan logika fuzzy. Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang input ke dalam suatu ruang output. Menurut Kusumadewi (2004) pada himpunan tegas (crisp), nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A, yang sering ditulis dengan µ A [x], memiliki dua kemungkinan, yaitu : 1) 1 ( Satu), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan, dan 2) 0 (Nol), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota suatu himpunan Dalam memahami sistem fuzzy, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui (Kusumadewi dan Hari 2004) yaitu : a. Variabel fuzzy Variabel fuzzy merupakan variabel yang akan dibahas dalam suatu sistem fuzzy. Contoh variabel fuzzy yaitu umur, temperatur, dan sebagainya. b. Himpunan fuzzy Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy. Jika pada himpunan crisp nilai keanggotaannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu 0 atau 1, pada himpunan fuzzy nilai keanggotaan terletak pada rentang 0 sampai 1. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan probabilitas menimbulkan kerancuan. Akan tetapi sesungguhnya keduanya memiliki intepretasi yang berbeda. Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan, sedangkan probabilitas mengidikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil bernilai benar dalam jangka panjang. Terdapat dua atribut dalam himpunan fuzzy, yaitu linguistik dan numerik. Linguistik merupakan penamaan suatu grup yang mewakili suatu keadaan atau

79 kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa alami. Numeris yaitu suatu angka yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel. Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang dapat digunakan (Kusumadewi & Hari, 2004) : 1) Representasi linier, 2) Representasi kurva segitiga, 3) Representasi kurva trapesium, 4) Representasi kurva bentuk bahu, 5) Representasi kurva-s, 6) Representasi kurva bentuk lonceng c. Semesta pembicaraan Semesta pembicaraan merupakan keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy. Semesta pembicaraan merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik secara monoton dari kiri ke kanan. Nilai semesta pembicaraan dapat berupa bilangan positif maupun negatif. d. Domain Domain merupakan keseluruhan nilai yang diijinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy. Domain merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik secara monoton dari kiri ke kanan. Nilai domain dapat berupa bilangan positif maupun negatif. Terdapat beberapa proses dalam logika fuzzy, yaitu : penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then, proses inferensi fuzzy. Adapun tahapan penyelesaian masalah dengan logika fuzzy dapat dilihat pada Gambar 23. Defuzzifikasi merupakan transformasi yang menyatakan kembali output dari domain fuzzy ke dalam domain crisp. Keluaran fuzzy diperoleh melalui eksekusi dari beberapa fungsi keanggotaan fuzzy. Terdapat tujuh metode yang dapat digunakan pada proses defuzzifikasi (Ross 1995) yaitu : 1) Height method (Max-membership principle), dengan mengambil nilai fungsi keanggotaan

80 terbesar dari keluaran fuzzy yang ada untuk dijadikan sebagai nilai defuzzifikasi, 2) Centroid (Center of Gravity) method, mengambil nilai tengah dari seluruh fungsi keanggotaan keluaran fuzzy yang ada untuk dijadikan nilai defuzzifikasi, 3) Weighted Average Method, hanya dapat digunakan jika keluaran fungsi keanggotaan dari beberapa proses fuzzy mempunyai bentuk yang sama, 4) Meanmax membership, mempunyai prinsip kerja yang sama dengan metode maximum tetapi lokasi dari fungsi keanggotaan maximum tidak harus unik, 5) Center of sums, mempunyai prinsip kerja yang hampir sama dengan Weighted Average Method tetapi nilai yang dihasilkan merupakan area respektif dari fungsi keanggotaan yang ada, 6) Center of largest area, hanya digunakan jika keluaran fuzzy mempunyai sedikitnya dua sub-daerah yang convex sehingga sub-daerah yang digunakan sebagai nilai defuzzifikasi adalah daerah yang terluas, 7) First (or last) of maxima, menggunakan seluruh keluaran dari fungsi keanggotaan. Permasalahan Nyata Representasi Natural Fuzzifikasi Komputasi secara Fuzzy Defuzzifikasi Solusi Gambar 23 Alur Penyelesaian Masalah dengan Logika Fuzzy (Marimin 2007) 2.10 Posisi dan Kebaruan Penelitian Hasil identifikasi terhadap penelitian mengenai industri gula maupun pabrik gula menunjukkan bahwa penelitian dapat dikelompokkan kedalam tiga topik penelitian dengan urutan persentase sebagai berikut yaitu 1) kebijakan (52%), 2) kinerja (38%), dan 3) kelembagaan (10%). Pada topik kinerja, belum

81 ditemukan adanya topik perbaikan kinerja yang bertujuan untuk menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan. Selain itu, juga belum ditemukan rancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja. Adapun daftar topik dan judul penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Rancangbangun sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan teoritis dan hasil penelitian terdahulu. Perbaikan kinerja industri gula dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja pada setiap pabrik gula (PG). Merujuk pada pernyataan Swanson (1996) mengenai tujuan pada tahap analisis maka dalam merancangbangun model perbaikan kinerja dilakukan kajian terhadap hal-hal yang terkait dengan bagaimana menentukan kinerja, bagaimana menentukan target kinerja, dan bagaimana menentukan prioritas perbaikan. Kinerja PG dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran kinerja. Oleh karena itu, diperlukan model pengukuran kinerja. Kinerja yang akan diukur merujuk pada hasil penelitian Wibisono (1999, 2006), Rusjan et al. (2005), Leachman et al. (2006), Radnor (2007), Karim (2008), dan Cocca dan Albeti (2010) yaitu kinerja strategis (kemampuan sumberdaya), kinerja operasional (tugas-tugas manufaktur), dan kinerja taktis (prioritas kompetisi). Rancangbangun model pengukuran kinerja PG mempertimbangkan pernyataan Spitzer (2007) mengenai asperk formal dalam pengukuran kinerja yaitu ukuran kinerja, proses pengukuran, dan infrastruktur yang digunakan untuk pengukuran kinerja. Merujuk pada hasil penelitian Radnor dan Barnes (2007) mengenai kecenderungan umum dalam model pengukuran kinerja khususnya pada kedalaman (keterkaitan) dan range ukuran kinerja, terdapat kekurangan pada penelitian terdahulu (Yusnitati 1994, Siagian 1999, Lembaga Penelitian IPB 2002, dan Manalu 2009). Hasil penelitian Olsen et al. menunjukkan bahwa keterkaitan antar ukuran kinerja dapat meningkatkan efektivitas dari hasil pengukuran kinerja. Oleh karena itu, dalam merancangbangun model pengukuran kinerja, ukuran kinerja yang akan digunakan diidentifikasi dari range yang lebih luas yaitu produktivitas dan efisiensi. Hal tersebut juga sesuai dengan permasalahan yang

82 dihadapi oleh pabrik gula. Sedangkan untuk keterkaitan ukuran kinerja, identifikasi ukuran kinerja akan dilakukan dengan penyelarasan secara vertikal (terkait dengan visi, misi, dan strategi industri gula) dan penyelarasan secara horisontal (keterkaitan antar ukuran kinerja dengan pendekatan input-prosesoutput). Dalam hal jumlah ukuran kinerja yang akan digunakan, rancangbangun model pengukuran kinerja memperhatikan berbagai pendekatan pada penelitian terdahulu ( Medori dan Steeple 2000; Denton 2005; Shahin dan Mahbod 2007; Saunders et al. 2007; Parmenter 2010). Selain itu, penelitian Gleich et al. (2008) dan Martin (2008) pada proses manufaktur menjadi masukan dalam mengidentifikasi ukuran kinerja operasional. Kerangka kerja proses pengukuran kinerja dapat memanfaatkan logika fuzzy seperti yang diusulkan dalam penelitian Chan et al. (2002) dan Beheshti dan Lollar (2008). Hal ini dilakukan mengingat logika fuzzy tepat untuk digunakan. Adapun infrastruktur yang akan digunakan merujuk pada hasil penelitian Lau et al. (2001), Marimin et al. (2005), Santos et al. (2007), Unahabhokha et al. (2007), Raymond dan Marchand (2008), ) dan Denton (2010) yaitu dengan memanfaatkan artificial intelligent dan internet. Merujuk pada hasil penelitian Dattakumar (2003), Grundberg (2003), Pierre dan Delisle (2006), Gleich et al. (2008) serta hasil penelitian Tucker (1987) yang membuktikan bahwa pendekatan benchmarking dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan maka dalam penentuan target kinerja akan digunakan pendekatan benchmarking. Target kinerja ditentukan berdasarkan kinerja terbaik dalam kelompok (Tucker et. al. 1987). Oleh karena itu, perlu dirancangbangun model pengelompokan PG dan model pemilihan kinerja terbaik. Rancangbangun model pengelompokan PG memperhatikan pendekatan yang dinyatakan dalam Larose (2005), Kusnawi (2007), dan Ramakrishnan (2009). Adapun rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan akan menggunakan metode PROMETHEE karena memiliki kesesuaian dengan permasalahan yang dihadapi dan sudah terbukti keunggulannya (seperti yang dikemukakan oleh Amran dan Kiki (2005), Prvlovic (2008), dan Triyanti dan Gadis (2008). Untuk pemilihan kinerja terbaik per jenis

83 kinerja digunakan pendekatan sorting (mengurutkan nilai kinerja dari yang tertinggi sampai dengan terendah dalam setiap kelompok PG). Prioritas perbaikan ditentukan berdasarkan praktek terbaik. Merujuk pada penelitian Jaffar dan Zairi (2000), maka analisis praktek terbaik merupakan praktek yang baik yang telah ditetapkan sebagai pendekatan terbaik bagi banyak PG. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis praktek terbaik yang diusulkan dalam penelitian Maire et al (2005) dan Southard dan Parente (2007) memiliki kelemahan mengingat praktek terbaik yang dihasilkan masih terbatas pada praktek yang baik (dilihat dari definisi praktek terbaik yang disimpulkan oleh Jaffar dan Zairi 2000). Pendekatan lain yang diusulkan seperti penelitian Corcoran (2004) dan Latino dan Kenneth (2006) berupa Root Cause Analysis menjadi masukan untuk merancangbangun model analisis praktek terbaik. Davies (2000) mengusulkan pendekatan terstruktur (diagnostic) untuk memilih praktek terbaik berdasarkan pada kekuatan hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini akan menjadi masukan dalam merancangbangun model penentuan prioritas perbaikan. Adapun secara singkat, gambaran mengenai posisi dan kebaruan penelitian yang digunakan untuk merancangbangun model analisis perbaikan kinerja dan sistem penunjang keputusan intelijen dapat di lihat pada Gambar 24.

84 Menentukan Kinerja Pengukuran Kinerja Cocca & Alberti 2010 : masa lalu Wibisono 2006; Radnor 2007 : I-P-O Wibisono1999: StrategisOperasionalTaktis Ukuran Kinerja Karim 2008 Rusjan et al Leachman et al Spitzer 2007 : Proses Pengukuran Medori & Steeple 2000 Denton 2005 Parmenter 2010 Shahin & Mahbod 2007 Saunders et al Radnor & Barnes 2007 : Dalam Olsen et al Range -Produktivitas : Yusnitati 1994 Manalu Efisiensi : Siagian 1999 LP IPB 2002 Model Pengukuran kinerja Infrastruktur Nenadal 2008 Beheshti & Lollar 2008 Chan et al Santos 2007 Raymond & Marchand 2008 Denton 2010 Luas Lau et al Yuliasih & Marimin 2003 Marimin et al Unahabhoka 2007 Tucker 1987 Dattakumar 2003 Grunberg 2003 Pierre & Delisle 2006 Gleich et al Pengelompokan Model Pengelompokan Menentukan Target Kinerja Kinerja Terbaik Gan et al Sadaaki et al Xu & Wunsch 2009 Larose 2005 Kusnawi 2007 Ramakhrisnan 2009 Benchmarking Pemilihan Kinerja Terbaik Laise 2004 : ELECTRE Jafari et al : SAW PROMETHEE Amran & Kiki 2005 Prvulovic 2008 Triyanti & Gadis 2008 Model Pemilihan Kinerja Terbaik Menentukan Prioritas Perbaik Praktek Terbaik Analisis Praktek Terbaik Model Analisis Praktek Terbaik Reddy & McCarthy 2 Asrofah et al Jaffar & Zairi 2000 Maire et al Southard & Parente Corcoran 2004 Latino & Kenneth 20 Pene Prioritas Davies 2000 M Pe P Pe Gambar 24 Posisi dan Kebaruan Penelitian

85 65 3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dihadapi industri gula nasional yaitu rendahnya kinerja khususnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan upaya perbaikan secara bertahap dan dilakukan terus menerus. Agar upaya perbaikan yang dilakukan dapat secara signifikan memperbaiki kinerja pabrik gula diperlukan analisis perbaikan kinerja yang tepat. Analisis perbaikan kinerja pada dasarnya merupakan rangkaian aktivitas yang dimulai dengan penentuan kinerja (saat ini), penentuan target kinerja (untuk masa yang akan datang), dan penentuan prioritas perbaikan (agar target kinerja dapat dicapai). Tahap analisis merupakan hal yang penting, dan pada umumnya merupakan masalah yang bersifat kompleks. Kompleksitas dalam melakukan analisis perbaikan kinerja dapat diatasi dengan memanfaatkan pengetahuan pakar dan logika fuzzy. Dengan memanfaatkan pengetahuan pakar dan logika fuzzy maka sistem penunjang keputusan menjadi lebih baik atau intelijen. Oleh karena itu, diperlukan sistem penunjang keputusan intelijen yang memudahkan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja. Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat beberapa pertanyaan yang yang diharapkan dapat terjawab dari hasil penelitian ini yaitu : bagaimana model untuk menentukan kinerja pabrik gula?, bagaimana model untuk menentukan target kinerja pabrik gula?, bagaimana model untuk menentukan prioritas perbaikan pabrik gula, dan bagaimana model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat digunakan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula agar tujuan analisis dapat tercapai?. Adapun tujuan dari penelitian yaitu menghasilkan model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat membantu pengambil keputusan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Model yang akan dihasilkan berupa model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan analisis perbaikan kinerja yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja.

86 66 Tinjauan pustaka dilakukan dengan mempelajari beberapa konsep dan alat bantu yang terkait dengan tujuan penelitian melalui buku referensi, jurnal-jurnal, dan laporan penelitian terdahulu. Selanjutnya dilakukan analisis sistem, pemodelan sistem, dan implementasi model yang akan diuraikan lebih lanjut pada tahapan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dapat dirumuskan kesimpulan. Selanjutnya, dapat disusun rekomendasi bagi pihak yang membutuhkan. Gambar 25 di bawah ini menunjukkan kerangka pemikiran penelitian. Input Analysis Process Analysis Output Analysis TINJAUAN PUSTAKA - Konsep Perbaikan Kinerja - Konsep Benchmarking - Konsep Pengambilan Keputusan - Konsep Sistem Intelijen - Konsep Fuzzy - Alat bantu pengambilan keputusan ANALISIS SISTEM Analisis Kebutuhan Formulasi Masalah Identifikasi sistem KESIMPULAN dirumuskan berdasarkan hasil penelitian TUJUAN PENELITIAN Menghasilkan model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja PEMODELAN SISTEM Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen Basis Pengetahuan PERUMUSAN MASALAH - Bagaimana model untuk menentukan kinerja PG? - Bagiamana model untuk menentukan target kinerja PG? - Bagaimana model untuk menentukan prioritas perbaikan kinerja PG? - Bagaimana model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja Sistem Manajemen Basis Model Pengukuran Kinerja Pengelompokan Pemilihan Kinerja Terbaik Analisis Praktek Terbaik Penentuan Prioritas Perbaikan IMPLEMENTASI MODEL FENOMENA REKOMENDASI Rendahnya kinerja industri gula disusun berdasarkan kesimpulan Outcome Analysis Gambar 25 Kerangka Pemikiran Penelitian

87 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap analisis sistem, pemodelan sistem, dan implementasi model yang digambarkan sebagai berikut : KONDISI RIIL KINERJA INDUSTRI GULA PENGETAHUAN PAKAR KONSEP PERBAIKAN KINERJA ANALISIS KEBUTUHAN FORMULASI MASALAH IDENTIFIKASI SISTEM ANALISIS SISTEM SISTEM MANAJEMEN DIALOG SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA SISTEM MANAJEMEN BASIS PENGETAHUAN SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL Pengukuran kinerja Pengelompokan Pemilihan Kinerja Terbaik Analisis Praktek Terbaik Penentuan Prioritas Perbaikan PEMODELAN SISTEM IMPLEMENTASI MODEL TIDAK SESUAI HASIL? SESUAI MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA Gambar 26 Tahapan Penelitian

88 Analisis Sistem Merujuk pada Eriyatno (2003), analisis sistem dilakukan pada tahap awal penyelesaian masalah dengan pendekatan sistem. Tahap analisis sistem terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem. Merujuk pada Eriyatno (2003), langkah awal yang dilakukan dalam pengkajian suatu sistem adalah analisis kebutuhan. Oleh karena itu, analisis sistem dimulai dengan analisis kebutuhan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan analisis perbaikan kinerja industri gula. Pemangku kepentingan (stakeholders) terdiri atas sekelompok orang (terorganisasi atau tidak), organisasi, dan institusi yang penting untuk keberhasilan perbaikan kinerja industri gula. Oleh karena itu, jumlah stakeholders terbatas dan pemilihannya harus dilakukan secara selektif. Merujuk pada Widjaja (2010) pendekatan untuk memilih atau menentukan siapa saja stakeholders bagi sebuah sistem dapat digunakan pendekatan stakeholders value. Pendekatan stakeholders value menggunakan pola pemikiran berdasarkan sebab-akibat (cybernetics). Pendekatan stakeholders value terdiri dari 1) pendekatan strategic stakeholders value, 2) pendekatan ethically critical stakeholder value, dan 3) kombinasi dari pendekatan strategic stakeholders value dan ethically critical stakeholder value. Pendekatan strategic stakeholders value mempertimbangkan kelompok orang, organisasi, dan institusi yang sesuai terutama berdasarkan besarnya value yang mereka miliki dalam mengidentifikasi stakeholders. Oleh karena itu, stakeholder tertentu dipilih karena mereka menguasai sesuatu yang sangat valuable. Sedangkan pendekatan ethically critical stakeholder value mempertimbangkan kelompok orang, organisasi, dan institusi yang terkena dampak positif atau negatif. Oleh karena itu, solusi atas konflik kepentingan diperlukan. Pendekatan yang dipilih dalam mengidentifikasi stakeholders terkait dengan sistem analisis perbaikan kinerja yaitu kombinasi dari pendekatan stakeholders value dan ethically critical stakeholder value. Permasalahan yang terkait dengan analisis perbaikan kinerja industri gula dapat terjadi karena adanya

89 69 konflik kebutuhan antar stakeholder atau pelaku sistem yang terlibat, keterbatasan sumberdaya, dan kendala eksternal. Oleh karena itu diperlukan formulasi masalah untuk mengetahui permasalahan utama yang dihadapi. Identifikasi sistem diperlukan sebagai dasar pengembangan model analiss perbaikan kinerja industri gula. Cara melakukan identifikasi sistem yaitu dengan menggambarkan sistem yang dikaji dalam bentuk diagram input-output. Diagram input-output menggambarkan masukan dan keluaran serta pengendalian dari model yang dirancangbangun. Input terdiri atas masukan yang terkendali dan masukan yang tidak terkendali, sedangkan output terdiri atas keluaran yang dikehendaki dan keluaran yang tidak dikehendaki. Melalui mekanisme pengendalian maka keluaran yang tidak dikehendaki menyebabkan perlunya peninjauan kembali terhadap masukan yang terkendali Pemodelan Sistem Tahap pemodelan sistem merupakan tahap rancangbangun sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Pada tahap ini dilakukan rancangbangun untuk sistem manajemen dialog, sistem pengolahan terpusat, sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan, dan sistem manajemen basis model. Sistem Manajemen Dialog Rancangbangun sistem manajemen dialog memperhatikan tiga komponen utama dari sistem interaktif yaitu aplikasi, presentasi dan control dialog. Presentasi merupakan komponen yang bertanggungjawab atas tampilan antarmuka, termasuk output dan input yang tersedia bagi pengguna (user). Control dialog merupakan komponen yang mengatur komunikasi antara presentasi dan aplikasi. Sedangkan aplikasi antarmuka merupakan aplikasi semantik yang disediakan sebagai antarmuka. Komponen dialog dirancangbangun dalam bentuk perangkat keras dan perangkat lunak yang menjadi sarana antarmuka antara pemakai dengan prototype. Komponen dialog akan mengumpulkan input dan menyajikan output dalam prototype. Pada tahap ini, juga akan ditentukan jenis gaya dialog yang digunakan.

90 70 Sistem Pengolahan Terpusat Untuk dapat mengakses keseluruhan data dan informasi yang disediakan dalam prototype diperlukan sistem pengolahan terpusat. Sistem pengolahan terpusat dirancangbangun untuk mengatur keseluruhan interaksi antara sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan, dan sistem manajemen basis model. Sistem Manajemen Basis Data Sistem manajemen basis data merupakan perangkat lunak sistem yang memungkinkan para pemakai membuat, mengakses, mengontrol, dan memelihara basis data dengan cara yang praktis dan efisien. Secara singkat, rancangbangun sistem manajemen basis data terdiri dari identifikasi pengguna, identifikasi model data yang digunakan, penentuan bahasa, dan identifikasi basis data yang digunakan. Sistem Manajemen Basis Pengetahuan Sistem manajemen basis pengetahuan dirancangbangun untuk mendukung subsistem lain dengan memberikan kecerdasan untuk memperbesar pengetahuan bagi pengambil keputusan. Komponen ini menyediakan keahlian yang diperlukan untuk memecahkan beberapa aspek masalah dan memberikan pengetahuan yang dapat meningkatkan prototype. Sistem Manajemen Basis Model Sistem manajemen basis model dirancangbangun untuk membuat model dengan menggunakan bahasa pemrograman, alat sistem pendukung keputusan, pembaruan dan perubahan model, dan manipulasi data model. Peran direktori model yang terhubung ke sistem manajemen basis model sama dengan direktori database. Direktori model berfungsi sebagai katalog dari semua model dan perangkat lunak lainnya pada basis model. Sistem manajemen basis model berisi elemen-elemen : 1) eksekusi model, yang mengontrol jalannya model; 2) integrasi model, yang mengarahkan output suatu model untuk diproses model lainnya; 3) perintah (Comman Processor Model), yang berfungsi untuk menerima dan menginterpretasikan instruksi-instruksi pemodelan dari komponen antarmuka

91 71 pengguna, eksekusi model atau fungsi-fungsi integrasi elemen-elemen tersebut beserta antarmukanya dengan komponen sistem pendukung keputusan. Merujuk pada Swanson (1996) mengenai tujuan dari analisis perbaikan kinerja dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan maka pada sistem manajemen basis model akan dirancangbangun basis model yaitu model pengelompokan, model pengukuran kinerja, model pemilihan kinerja terbaik, model analisis praktek terbaik, dan model penentuan prioritas perbaikan. Model Pengelompokan Model Pengelompokan dirancangbangun dengan tujuan untuk mengelompokkan pabrik gula yang memiliki karakteristik yang serupa. Tahapan yang dilakukan dalam merancangbangun model pengelompokan ditunjukkan pada Gambar 27. Tahapan diawali dengan studi dokumentasi mengenai model pengelompokan. Pendekatan yang digunakan untuk mengelompokan pabrik gula yaitu klasifikasi. Merujuk pada Kusnawi (2007), klasifikasi merupakan fungsi pembelajaran yang memetakan (mengklasifikasi) sebuah unsur (item) data ke dalam salah satu dari beberapa kelas yang sudah didefinisikan. Metode yang digunakan dalam klasifikasi yaitu decision tree. Merujuk pada Larose (2005) dan Kusnawi (2007), decision tree adalah struktur flowchart yang menyerupai tree (pohon), dimana setiap simpul internal menandakan suatu tes pada atribut, setiap cabang merepresentasikan hasil tes, dan simpul daun merepresentasikan kelas atau distribusi kelas. Alur pada decision tree di telusuri dari simpul akar ke simpul daun yang memegang prediksi kelas. Decision tree mudah untuk dikonversi ke aturan klasifikasi (classification rules). Tahap berikutnya yaitu studi dokumentasi mengenai karakteristik pabrik gula dilanjutkan dengan identifikasi karakteristik pembeda pabrik gula. Berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula, selanjutnya dilakukan identifikasi jumlah kelompok dan identifikasi kesamaan ukuran yang digunakan. Tahap selanjutnya yaitu pembuatan decision tree. Berdasarkan decision tree dapat diidentifikasi aturan-aturan yang akan digunakan untuk mengelompokkan pabrik gula.

92 72 Mulai Studi Dokumentasi Model Pengelompokan Studi Dokumentasi Karakteristik Pabrik Gula Model Konseptual Pengelompokan Pabrik Gula Identifikasi Karakteristik Pembeda Pabrik Gula Identifikasi Jumlah Kelompok Karakteristik Pembeda Pabrik Gula Identifikasi Kesamaan Ukuran Pembuatan Decision Tree Aturan Pengelompokan Model dan Skema Pengambilan Keputusan Pengelompokan Selesai Gambar 27 Tahapan Rancangbangun Model Pengelompokan Model Pengukuran Kinerja Model pengukuran kinerja bertujuan untuk menentukan nilai kinerja setiap pabrik gula. Pengukuran kinerja yang dilakukan adalah untuk kinerja input, kinerja proses, dan kinerja output yang direpresentasikan sebagai kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis. Tahapan yang dilakukan dalam rancangbangun model pengukuran kinerja ditunjukkan pada Gambar 28. Tahap awal yang dilakukan berkaitan dengan rancangbangun model pengukuran kinerja yaitu studi dokumentasi model pengukuran kinerja. Studi dokumentasi model pengukuran kinerja menghasilkan model konseptual pengukuran kinerja pabrik gula. Pendekatan yang digunakan dalam proses

93 73 pengukuran kinerja pada model pengukuran kinerja PG adalah Fuzzy Expert System (FES). Mulai Misi dan Visi Industri Gula Nasional Studi Dokumentasi Model Pengukuran Kinerja Identifikasi Ukuran Kinerja Proses Internal Identifikasi Keterkaitan Ukuran Kinerja Identifikasi Kualifikasi Kinerja dan Ukuran Kinerja Model Konseptual Pengukuran Kinerja Pabrik Gula Ukuran Kinerja Proses Internal Kualifikasi Kinerja Kualifikasi Ukuran Kinerja Fuzzifikasi Identifikasi Aturan-aturan untuk Proses Pengukuran Kinerja Identifikasi Aturan-aturan untuk Proses Pengukuran Kinerja Aturan-aturan untuk Proses Pengukuran Penentuan Metode Defuzzifikasi Model dan Skema Pengambilan Keputusan Pengukuran Kinerja Selesai Gambar 28 Tahapan Rancangbangun Model Pengukuran Kinerja Tahap selanjutnya yaitu identifikasi kriteria dan ukuran-ukuran kinerja pada proses internal pabrik gula. Identifikasi ukuran kinerja dilakukan melalui studi dokumentasi dilanjutkan dengan konfirmasi pakar. Identifikasi awal ukuranukuran kinerja yang akan digunakan disesuaikan dengan pendekatan yang

94 74 digunakan yaitu melakukan identifikasi terhadap ukuran-ukuran kinerja input, proses dan output. Ukuran-ukuran kinerja input terkait dengan kemampuan sumberdaya. Ukuran-ukuran kinerja proses terkait dengan tugas-tugas manufaktur. Ukuran-ukuran kinerja output terkait dengan prioritas kompetisi. Ukuran-ukuran kinerja yang direkomendasikan pakar sebagai kriteria pengukuran kinerja dieavaluasi keterkaitannya. Evaluasi dilakukan berdasarkan studi dokementasi dan konfirmasi pakar. Ukuran-ukuran kinerja yang akan digunakan pada proses selanjutnya adalah ukuran-ukuran kinerja yang memiliki keterkaitan dengan visi dan misi yang dicanangkan pemerintah dan keterkaitan antar ukuran-ukuran kinerja (input-proses-output). Tahap berikutnya yaitu identifikasi kualifikasi kinerja dan ukuran kinerja. Kualifikasi (skala penilaian) untuk menentukan setiap kategori pada setiap jenis kinerja ditentukan berdasarkan pertimbangan pakar. Nilai kinerja untuk setiap jenis kinerja diperoleh dari agregasi nilai ukuran kinerja yang menjadi kriteria dalam pengukuran kinerja. Kualifikasi (skala penilaian) untuk menentukan setiap kategori pada setiap ukuran kinerja ditentukan berdasarkan studi dokumentasi dan konfirmasi pakar. Selanjutnya dilakukan proses fuzzifikasi. Fungsi keanggotaan ditetapkan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi semesta pembicaraan, nama himpunan fuzzy, domain, jenis kurva untuk merepresentasikan himpunan fuzzy, dan parameter untuk setiap jenis kinerja. Fungsi keanggotaan direpresentasikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data (setiap nilai ukuran kinerja) ke dalam nilai keanggotaannya (derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara nol sampai dengan satu. Tahap berikutnya adalah identifikasi aturan-aturan yang akan digunakan pada proses pengukuran kinerja. Aturan-aturan direpresentasikan dalam bentuk If then rules. If then rules merupakan kaidah-kaidah yang menjelaskan relasi logika antara nilai-nilai parameter yang digunakan dan diidentifikasi berdasarkan seluruh kemungkinan kombinasi kategori nilai ukuran-ukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja dan masukan pakar untuk kesimpulan kategori nilai kinerja. Tahap terakhir yaitu proses penentuan metode defuzifikasi. Metode defuzifikasi yang dipilih yaitu metode centroid. Dengan menggunakan metode

95 75 centroid, maka solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Model Pemilihan Kinerja Terbaik Rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik bertujuan untuk menentukan pabrik gula berkinerja terbaik secara keseluruhan maupun untuk setiap jenis kinerja (kinerja strategis, kinerja operasional, kinerja taktis) pada setiap kelompok pabrik gula. Hasil pemilihan pada setiap kelompok pabrik gula akan digunakan sebagai standar kinerja pembanding bagi setiap pabrik gula pada kelompok yang sama, baik untuk kinerja keseluruhan maupun per jenis kinerja. Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Tahapan rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 29. Mulai Studi Dokumentasi Model Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Penentuan Fungsi Kriteria Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Pemilihan Tipe Preferensi Penentuan Nilai Parameter Model Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Selesai Gambar 29 Tahapan Rancangbangun Model Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan Tahap awal dalam merancangbangun model pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan adalah studi dokumentasi mengenai model pemilihan kinerja terbaik.

96 76 Pendekatan yang digunakan untuk memilih pabrik gula berkinerja terbaik secara keseluruhan yaitu PROMETHEE. Selanjutnya dilakukan penentuan fungsi kriteria, pemilihan tipe preferensi, dan penentuan nilai parameter. Proses penentuan fungsi kriteria, pemilihan tipe preferensi, dan penentuan nilai parameter dilakukan dengan diskusi dan konfirmasi pakar. Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Tahapan rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja ditunjukkan pada Gambar 30. Tahap awal dalam merancangbangun model pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja adalah studi dokumentasi mengenai model pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja. Pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja dilakukan dengan menggunakan pendekatan Sorting. Selanjutnya dilakukan pemilihan algoritma sorting yang akan digunakan. Mulai Studi Dokumentasi Model Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Pemilihan Algoritma Sorting Model dan Skema Pengambilan Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Selesai Gambar 30 Tahapan Rancangbangun Model Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja

97 77 Model Analisis Praktek Terbaik Model Analisis Praktek Terbaik bertujuan untuk mengidentifikasi praktek terbaik yang menghasilkan kinerja terbaik. Tahapan rancangbangun model analisis praktek terbaik ditunjukkan pada Gambar 31. Mulai Studi Dokumentasi Model Analisis Praktek Terbaik Pendefinisian Praktek Terbaik Identifikasi faktor penentu Praktek Terbaik Model dan Skema Pengambilan Keputusan Analisis Praktek Terbaik Selesai Gambar 31 Tahapan Rancangbangun Model Analisis Praktek Terbaik Tahap awal dalam merancangbangun model analisis praktek terbaik adalah studi dokumentasi mengenai model analisis praktek terbaik. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis praktek terbaik adalah root cause analysis. Root cause analysis dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antar ukuran dan faktor penentu yang menentukan kinerja. Pendefinisian praktek terbaik merujuk pada Jaffar dan Zairi (2000) dan masukan dari pakar. Selanjutnya, dilakukan identifikasi faktor penentu praktek terbaik. Hasil identifikasi faktor penentu praktek terbaik dikonfirmasi oleh pakar.

98 78 Model Penentuan Prioritas Perbaikan Model penentuan prioritas perbaikan bertujuan untuk menentukan prioritas perbaikan yang harus dilakukan oleh pabrik gula. Tahapan rancangbangun model penentuan prioritas perbaikan ditunjukkan pada Gambar 32. Mulai Studi Dokumentasi Model Penentuan Prioritas Perbaikan Penentuan Kriteria Prioritas Perbaikan Penentuan Bobot Kriteria Prioritas Perbaikan Model dan Skema Pengambilan Keputusan Penentuan Prioritas Perbaikan Selesai Gambar 32 Tahapan Rancangbangun Model Penentuan Prioritas Perbaikan Tahap awal dalam merancangbangun model penentuan prioritas perbaikan adalah studi dokumentasi mengenai hal-hal yang terkait dengan penentuan prioritas perbaikan. Penentuan prioritas perbaikan menggunakan pendekatan yang menyerupai framework yang dikembangkan oleh Davies dan Kochar (2000) berupa diagnostik atau penelusuran secara sistematis untuk memilih praktek terbaik. Adapun penentuan kriteria dan bobot kriteria prioritas perbaikan berdasarkan masukan pakar. Merujuk pada Suryadi dan Ramdhani (2002), verifikasi model dilakukan pada setiap sub model melalui perunutan secara terstruktur, yaitu dengan menjelaskan model berdasarkan komponen-komponen model beserta

99 79 argumentasi yang menjadi dasar penentuan pada setiap komponen model. Proses verifikasi model dilakukan dengan konsultasi dan konfirmasi pakar yang terkait dengan sistem yang dimodelkan. Validasi model dilakukan dengan uji coba model (Suryadi dan Ramdhani 2002) pada 11 pabrik gula yang terdiri dari enam pabrik gula berskala kecil (kapasitas giling < 3000 TCD), dua pabrik gula berskala menengah (kapasitas giling 3000 sampai dengan 6000 TCD), dan tiga pabrik gula berskala besar (kapasitas giling > 6000 TCD). Adapun metode produksi (khususnya pada proses pemurnian nira) yang digunakan 11 pabrik gula adalah sama yaitu sulfitasi. Data yang digunakan adalah data kinerja tahun Melalui uji coba model dapat diketahui apakah rancangbangun model dan keluarannya dapat dipercaya atau tidak. Hasil uji coba dikonfirmasi oleh satu orang pakar dari PTPN X untuk menentukan apakah model dapat diimplementasikan atau tidak. Model analisis perbaikan kinerja dapat direkomendasikan apabila hasil verifikasi dan validasi model menunjukkan bahwa model yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model Implementasi Model Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hasil implementasi model pada 11 pabrik gula dengan menggunakan data kinerja tahun Selain itu, juga dilakukan pengukuran kinerja dengan menggunakan target kinerja berdasarkan ukuran kinerja terbaik dalam kelompok. 3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tahun 2007 sampai dengan tahun Pengambilan data khususnya untuk keperluan validasi model dipilih Jawa Timur ( khususnya PTPN X). Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1. Lokasi terpilih mewakili daerah Jawa yang berkontribusi sebesar 60% dari total produksi gula nasional

100 80 2. Jenis perusahaan dalam lokasi terpilih mewakili BUMN yang memiliki keleluasaan untuk saling memperbandingkan antar kinerja pabrik gula dan dilakukan analisis praktek terbaik nya 3. Kapasitas giling yang dimiliki seluruh pabrik gula dalam perusahaan dan lokasi terpilih dapat mewakili pabrik gula dengan skala kecil, menengah, dan besar. 3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan data, informasi dan pengetahuan dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara sebagai berikut : 1) Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari permasalahan industri gula melalui laporan penelitian, artikel, koran atau buku yang berisi tentang permasalah kinerja industri gula, 2) Studi literatur dilakukan dengan cara mengeksplorasi literatur-literatur yang berkaitan dengan penyelesaian masalah dan literatur-literatur lain yang relevan dengan bidang kajian, 3) Survai pakar (pengisian kuestioner, diskusi, dan rekomendasi atau konfirmasi pakar), dan 4) Akuisisi pengetahuan pakar dilakukan dengan menggunakan metode akuisisi wawancara, diskusi masalah dan deskripsi masalah tentang pola berpikir para pakar dalam menilai kinerja pabrik gula dan mengidentifikasi praktek terbaik yang dilakukan oleh pabrik gula dengan kinerja terbaik pada setiap kelompok pabrik gula. Jumlah pakar yaitu tiga orang yang terdiri dari satu orang pakar dari pabrik gula, satu orang pakar dari P3GI, dan satu orang pakar dari PTPN X. Data (primer dan sekunder) dan informasi yang diperoleh, diolah dan dianalisa sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan berbagai pendekatan yang telah ditetapkan. Adapun tahapan pengolahan data ditunjukkan pada Gambar 33. Pengukuran kinerja dilakukan untuk seluruh pabrik gula dalam kelompok. Pendekatan yang digunakan dalam proses pengukuran kinerja yaitu Fuzzy Expert System (FES). Hasil pengukuran kinerja diperoleh melalui aggregasi nilai setiap ukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja (strategis, operasional, taktis). Sistem inferensi fuzzy (proses perumusan pemetaan dari input ke output dengan menggunakan logika fuzzy) yang digunakan adalah metode Mamdani. Adapun

101 81 proses defuzzifikasi atau pengubahan output fuzzy ke output crisp (bernilai tunggal) adalah metode Centroid (nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy). Output dari model pengukuran kinerja adalah nilai kinerja per jenis kinerja untuk setiap pabrik gula. Mulai Pengukuran Kinerja Pabrik Gula Alat analisis : Fuzzy Expert System Pengelompokan Pabrik Gula Alat analisis : Klasifikasi Analisis Praktek Terbaik Alat analisis : Root Cause Analysisis Pemilihan Kinerja Terbaik Alat analisis : PROMETHEE dan Sorting Penentuan Prioritas Perbaikan Alat analisis : Diagnostic Selesai Gambar 33 Tahapan Pengolahan Data Pengelompokan dilakukan berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula. Jumlah kelompok ditentukan berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula. Pendekatan yang digunakan untuk mengelompokkan pabrik gula adalah klasifikasi. Output dari model pengelompokan pabrik gula berupa kelompok pabrik gula beserta anggotanya sesuai dengan karakteristik pembeda pabrik gula. Berdasarkan nilai kinerja per jenis kinerja dilakukan pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan maupun per jenis kinerja. Pendekatan yang digunakan untuk pemilihan kinerja (keseluruhan) terbaik yaitu PROMETHEE. Pendekatan yang digunakan untuk pemilihan kinerja (strategis atau operasional atau taktis) terbaik yaitu metode Sorting (berdasarkan urutan nilai kinerja dari yang tertinggi sampai dengan terendah). Output dari model pemilihan kinerja terbaik yaitu : 1)

102 82 urutan prioritas berdasarkan nilai kinerja keseluruhan untuk setiap kelompok pabrik gula, 2) urutan prioritas berdasarkan nilai kinerja strategis untuk setiap kelompok pabrik gula, 3) urutan prioritas berdasarkan nilai kinerja operasional untuk setiap kelompok pabrik gula, dan 4) urutan prioritas berdasarkan nilai kinerja taktis untuk setiap kelompok pabrik gula. Berdasarkan ukuran-ukuran kinerja dan keterkaitannya, dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap penyebab kinerja beserta praktek terbaik. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis praktek terbaik adalah root cause analysis. Melalui diskusi dan konfirmasi pakar, root cause analysis dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antar ukuran dan faktor yang menentukan kinerja. Output dari model analisis praktek terbaik yaitu : keterkaitan antar ukuran kinerja yang digunakan dan fakor yang cukup penting untuk dipertimbangkan serta identifikasi praktek terbaik yang bisa dilakukan pabrik gula. Hasil pemilihan kinerja terbaik digunakan untuk menentukan prioritas perbaikan. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan prioritas perbaikan adalah diagnostic. Output dari model penentuan prioritas perbaikan berupa prioritas perbaikan pada pabrik gula dan saran perbaikan berdasarkan praktek terbaik.

103 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 1 adalah kelemahan dalam budidaya bibit tebu. Bibit tebu yang akan ditanam dapat berupa 1) bibit pucuk, yang diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling (umur 12 bulan); 2) bibit batang muda, yang diambil dari tanaman tebu umur 5 7 bulan; 3) bibit rayungan, yang diambil dari tanaman tebu khusus untuk pembibitan berupa stek yang tumbuh tunasnya tetapi akar belum keluar; dan 4) bibit siwilan, yang diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati. Kualitas bibit antara lain ditentukan oleh varietas tebu yang akan digunakan sebagai bibit tanaman. Varietas tebu yang unggul ditanam antara lain PS 58, PS 56, PS 41, BZ 63, BZ 81, BZ 107 dan klon-klon POY Varietas tebu ini akan berpengaruh terhadap besarnya rendemen (prosentase kandungan gula) dalam tebu. Selama 20 tahun terakhir (Soetedjo 2002) sudah puluhan varietas baru berhasil ditemukan namun potensi rendemen hanya 12 (dua belas) persen, bahkan rendemen nyata tinggal tujuh persen akibat banyaknya faktorfaktor lain di lapangan. Menurut Soetedjo (2002) PT Perkebunan Nusantara XI di Jawa Timur berupaya mencari terobosan dengan mengembangkan varietas baru tanaman tebu, yaitu varietas R-579. Varietas baru ini mampu menghasilkan rata-rata 10,07 ton gula/hektare atau dua kali lipat dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata 4 ton gula/hektare. Angka itu juga melampaui program akselerasi produksi gula nasional tahun 2007 sebanyak 8,5 ton gula/hektare. Oleh karena itulah, Menteri Pertanian Bungaran Saragih memberikan penghargaan khusus kepada PT Perkebunan Nusantara XI atas pengembangan varietas baru R-579 melalui SK Mentan No 372/TU.210/A/XI/2002. Varietas

104 84 ini pada musim giling yang sedang berjalan (tahun 2002) dikembangkan di Pabrik Gula Djatiroto, Lumajang dengan produktivitas bervariasi antara 8-15 ton gula/hektare. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 2 adalah kelemahan dalam budidaya tanaman tebu yang menggunakan sistem budidaya ratoon dengan keprasan (membesarkan tunas setelah tebu di panen) yang lebih dari 3 kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai sehingga sebagaian besar tanaman banyak terserang hama penyakit. Selain itu, pengelolaan proses tebang, angkut dan giling kurang optimal. Selain kelemahan dalam hal budidaya tanaman tebu, permasalahan pada generasi 2 juga di sebabkan oleh menurunnya luas areal tebu. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu disebabkan oleh adanya kebebasan petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya, yang semula segala sesuatunya diatur oleh pemerintah, sejak adanya Inpres Nomor 5 tahun 1998 dan Undang-undang nomor 12 tahun (Sastrotaruno 2001). Keengganan petani untuk memanfaatkan lahan (yang relatif sempit) yang dimilikinya untuk menanam tebu merupakan akibat dari rendahnya provenue yang ditetapkan oleh pemerintah dibandingkan dengan biaya budidaya tebu yang harus dikeluarkan oleh petani. Selain itu, sistem pengukuran rendemen yang dilakukan oleh pabrik gula lebih banyak merugikan petani, padahal berdasarkan pengukuran tersebut petani akan memperoleh kompensasi terhadap tebu yang diserahkan ke pabrik gula. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu pada akhirnya akan menyebabkan kurangnya produksi tebu yang dihasilkan dan menyebabkan kontinuitas pasokan tebu ke pabrik gula menjadi terhambat. Pabrik gula di Indonesia menurut Ismail (2005) sebagian besar dikelola dalam manajemen BUMN, ada tujuh BUMN sebagai holding company yang mengelola 52 pabrik gula dan tiga perusahaan swasta mengelola enam Pabrik gula. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 3 adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula yang antara lain disebabkan oleh teknologi yang dimiliki telah usang, mesin pabrik yang sudah tua, dan hari giling per tahun yang rendah. Hari giling per tahun rendah disebabkan oleh kontinuitas pasokan

105 85 bahan baku (tebu) yang rendah. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi meliputi masalah pabrik dan manajemen serta hancurnya hubungan fungsional antar komponen sistem agribisnis gula. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas menyebabkan produksi gula menurun dan tidak dapat mencukupi permintaan gula yang terus bertambah akibat meningkatnya jumlah populasi dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Gap yang terjadi dan ketidaktepatan kebijakan pemerintah menyebabkan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional semakin besar. Oleh karena itu, in-efisiensi pada industri gula Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan kebijakan ekonomi mikro dan kebijakan ekonomi makro yang mempengaruhinya. Ketidakmampuan industri gula nasional mencukupi kebutuhan gula untuk konsumsi dan input bagi industri makanan dan minuman di dalam negeri disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan efisiensi industri gula nasional. P3GI (2008) menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas industri gula nasional dapat dilakukan dengan 1) peningkatan areal (lahan) untuk bahan baku (tebu), 2) peningkatan kapasitas giling pabrik gula, dan 3) peningkatan produktivitas pabrik gula. Selain itu, P3GI (2008) juga menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas pabrik gula dapat dilakukan dengan 1) peningkatan tebu/ha, dan 2) peningkatan rendemen. Upaya untuk mengatasi permasalahan industri gula nasional melalui peningkatan produktivitas seluruh pabrik gula yang dilakukan melalui peningkatan rendemen, pada prinsipnya adalah peningkatan efisiensi proses pada pabrik gula (PG). Hal ini disebabkan karena peningkatan rendemen dapat dilakukan melalui peningkatan gula yang dapat diperoleh dari tebu dan menurunkan kehilangan gula selama proses. Peningkatan produktivitas melalui peningkatan rendemen mempunyai keunggulan tertentu (P3GI 2008) yaitu 1) tidak diperlukannya peningkatan kapasitas giling, 2) tidak diperlukannya peningkatan biaya tebang angkut, dan 3) mengurangi biaya proses produksi gula. Selain itu, permasalahan efisiensi industri gula nasional juga terselesaikan.

106 86 Secara ringkas, keterkaitan upaya untuk mengatasi permasalahan produktivitas industri gula ditunjukkan pada Gambar 34. Pilihan upaya untuk mengatasi permasalahan produktivitas industri gula berupa peningkatan produktivitas PG, adapun pilihan peningkatan produktivitas PG dilakukan melalui peningkatan rendemen. Peningkatan rendemen berarti peningkatan efisiensi PG. Oleh karena itu, produktivitas PG dan efisiensi PG perlu memperoleh perhatian. Peningkatan lahan tebu Peningkatan tebu / ha Peningkatan rendemen Peningkatan kapasitas giling PG Peningkatan produktivitas PG Produktivitas Industri Gula Peningkatan efisiensi PG Gambar 34 Keterkaitan Upaya untuk Mengatasi Permasalahan Produktivitas Industri Gula Rendahnya rerata produktivitas maupun rerata rendemen dalam kurun waktu lima tahun terakhir jika dibandingkan dengan tahun 1935 menunjukkan perlunya upaya perbaikan kinerja (produktivitas dan efisiensi) industri gula. Upaya perbaikan kinerja dapat melibatkan konflik kebutuhan antar pelaku sistem, keterbatasan sumberdaya, dan kendala eksternal. Selain itu, perlu diperhatikan tujuan dari tahap analisis perbaikan kinerja yang merupakan output dari sistem analisis perbaikan kinerja. Hal tersebut menunjukkan kompleksitas sistem analisis perbaikan kinerja industri gula. Kompleksitas yang dihadapi dalam upaya perbaikan kinerja pabrik gula dan merujuk pada definisi mengenai perbaikan kinerja yang dikemukakan oleh LaBonte (2001) maka untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan analisis perbaikan kinerja industri gula perlu digunakan pendekatan sistem.

107 87 Dengan pendekatan sistem maka analisis perbaikan kinerja industri gula harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Oleh karena itu, semua faktor (bagian) yang penting dalam mendapatkan solusi permasalahan dan pembuatan suatu model untuk membantu keputusan yang rasional perlu diidentifikasi. Analisis sistem bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dari berbagai pemangku kepentingan yang terkait dengan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Hasil akhir dari analisis sistem berupa masukan dan keluaran serta pengendalian dari sistem yang dirancangbangun dalam bentuk diagram 4.2 Analisa Kebutuhan Merujuk pada Eriyatno (2003), langkah awal yang dilakukan dalam pengkajian suatu sistem adalah analisis kebutuhan. Oleh karena itu, analisis sistem dimulai dengan analisis kebutuhan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan analisis perbaikan kinerja industri gula. Pendekatan yang dipilih dalam mengidentifikasi stakeholders terkait dengan sistem analisis perbaikan kinerja yaitu kombinasi dari pendekatan stakeholders value dan ethically critical stakeholder value. Berdasarkan pendekatan tersebut maka stakeholders yang akan dianalisis lebih lanjut terdiri atas 1) petani tebu (dan asosiasi petani tebu rakyat), 2) pabrik gula (milik BUMN dan swasta murni), 3) konsumen (rumah tangga dan industri pangan), 4) pedagang gula, dan 5) pemerintah (sebagai regulator). Selanjutnya, dilakukan identifikasi terhadap kebutuhan ke lima stakeholders tersebut di atas. Adapun hasil identifikasi kebutuhan stakeholders ditunjukkan pada Tabel Formulasi Masalah Untuk memenuhi kebutuhannya setiap stakeholder dihadapkan pada berbagai permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi permasalahan yang dihadapi setiap stakeholder agar sistem yang dirancangbangun dapat mengatasi permasalahan dan kebutuhan setiap stakeholder dapat terpenuhi.

108 88 Tabel 4 Daftar Stakeholders dan Kebutuhannya No. Stakeholder Kebutuhan 1 Petani Tebu - Penentuan Rendemen yang tepat - Memperoleh harga di atas harga pokok produksi - Perluasan kesempatan kerja - Kemudahan memperoleh sarana produksi - Peningkatan produksi dan produktivitas lahan 2 Pabrik Gula - Memperoleh pasokan bahan baku sesuai jumlah yang diperlukan - Memperoleh pasokan bahan baku dengan kualitas yang baik - Memperoleh pasokan bahan baku sesuai jadwal (tepat waktu) - Meningkatnya produktivitas - Tercapainya skala ekonomi 3 Konsumen - Memperoleh gula dengan harga murah - Memperoleh gula yang berkualitas - Kontinuitas ketersediaan gula terjamin 4 Pedagang gula - Kemudahan memperoleh gula - Memperoleh harga yang murah - Memperoleh keuntungan dari proses distribusi gula 5 Pemerintah - Tercapainya swasembada gula - Meningkatnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha Adapun hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi setiap stakeholder adalah sebagai berikut : Petani Tebu Permasalahan yang dihadapi petani tebu sebagai pemasok pabrik gula yaitu dalam hal penentuan rendemen tebu, yang sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan pabrik gula. Menurut Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (2010) penentu besarnya rendemen adalah prestasi petani dan prestasi pabrik gula. Namun, saat ini penentuan rendemen tidak memisahkan prestasi petani dengan pabrik gula. Selain itu, prestasi petani sulit dibedakan antar petani. Hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya pendapatan petani. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal efisiensi pabrik gula dan sistem penetapan rendemen menjadi hal penting bagi petani tebu.

109 89 Pabrik Gula Permasalahan yang dihadapi pabrik gula milik BUMN sampai saat ini yaitu rendahnya tingkat efisiensi produksi (yang tercermin dari kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan). Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Rendahnya tingkat efisiensi terkait dengan rerata umur mesin yang sudah tua, rendahnya kapasitas giling yang dimiliki pabrik gula, dan rendahnya kecukupan (jumlah), kontinuitas, serta kualitas bahan baku tebu. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal efisiensi produksi pabrik gula dan terjaminnya pasokan tebu menjadi hal penting bagi pabrik gula. Konsumen Permasalahan yang dihadapi konsumen rumah tangga dan industri pangan yaitu tingginya harga gula di pasar dalam negeri. Hal ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan minuman berbahan baku gula. Tingginya harga gula terkait dengan rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula serta terdistorsinya harga gula di pasar internasional. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal efisiensi dan produktivitas pabrik gula menjadi hal penting bagi konsumen (rumah tangga dan industri pangan). Pedagang Gula Permasalahan yang dihadapi pedagang gula yaitu tingkat kompetisi yang tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat. Di samping itu, lemahnya penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar dalam negeri.

110 90 Ditinjau dari sisi situasi pasar gula dunia, harga gula dunia di pasar internasional telah terdistorsi. Selain itu, adanya kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia. Kondisi tersebut di atas menyebabkan harga gula dalam negeri jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gula impor sehingga sebagian besar pedagang gula dirugikan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mengupayakan perbaikan efisiensi dan produktivitas pabrik gula. Pemerintah Pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, dan pertumbuhan industri makanan dan minuman menyebabkan terjadinya akselerasi peningkatan permintaan gula nasional. Di sisi lain, penurunan produksi gula nasional menyebabkan defisit yang harus dipenuhi dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan impor gula. Ketergantungan terhadap impor gula merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional sekaligus kehilangan kesempatan pasar dan kesempatan kerja. Hilangnya kesempatan kerja dapat menimbulkan masalah-masalah sosial yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik. Resiko politik menjadi lebih besar lagi apabila dilihat gula sebagai salah satu komoditas strategis ditinjau dari sistem pertanian dan perekonomian nasional. Berdasarkan hal tersebut di atas, ketergantungan terhadap impor tidak dapat diterima baik secara politik maupun secara ekonomi. Oleh karena itu harus diupayakan peningkatan produksi gula nasional. Pemerintah mengupayakan untuk mewujudkan swasembada gula yang sampai saat ini belum tercapai. Swasembada gula dapat dicapai antara lain melalui upaya perbaikan efisiensi dan produktivitas pabrik gula. Hal ini tertuang dalam visi dan misi ke dua yang dicanangkan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009). Untuk mendukung tercapainya visi dan misi tersebut, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan integratif dari pemerintah. Integrasi kebijakan melibatkan peran departemen terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan Kementrian Badan Usaha Milik

111 91 Negara. Selain itu, berbagai kebijakan penunjang seperti kebijakan perdagangan, kebijakan fiskal, dan kebijakan moneter harus dirancang secara dan dilaksanakan secara konsisten dan kohoren sehingga efektif dan efisien dalam menunjang tercapainya swasembada gula nasional. Tabel 5 menunjukkan ringkasan hasil identifikasi penyebab permasalahan yang dihadapi setiap stakeholders terkait dengan sistem analisis kinerja pabrik gula. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa seluruh stakeholders menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Tabel 5 Hasil identifikasi Penyebab Permasalahan yang Dihadapi Stakeholders Permasalahan Petani Tebu Pabrik Gula Konsumen Pedagang Gula Pemerintah Produktivitas PG Efisiensi PG Pasokan Tebu Penetapan rendemen Struktur Pasar 4.4 Identifikasi Sistem Untuk merancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula, perlu identifikasi keterkaitan atau pengaruh antar komponen sistem. Hasil identifikasi sistem menunjukkan bahwa : a. Keluaran yang dikehendaki yaitu kinerja pabrik gula, target kinerja pabrik gula, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula. b. Keluaran yang tidak dikehendaki yaitu hasil pengukuran tidak sesuai dengan kinerja sesungguhnya, target kinerja di bawah kinerja sesungguhnya, dan prioritas perbaikan tidak signifikan meningkatkan kinerja. c. Masukan yang tidak terkendali yaitu jumlah bahan baku (tebu), dan kualitas bahan baku (tebu). d. Masukan yang terkendali yaitu kemampuan sumberdaya (mesin dan peralatan), fungsi operasional pabrik gula, dan prioritas kompetisi.

112 92 e. Pengaruh lingkungan yaitu kebijakan pemerintah, iklim (terkait dengan kuantitas dan kualitas tebu sebagai bahan baku gula), dan kondisi sosialekonomi masyarakat. Adapun diagram input-output sistem analisis perbaikan kinerja pabrik gula secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 35. Lingkungan 1. Kebijakan Pemerintah 2. Iklim 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Masukan tak terkendali 1. Jumlah bahan baku (tebu) 2. Kualitas bahan baku (tebu) Keluaran dikehendaki 1. Kinerja pabrik gula 2. Target kinerja pabrik gula 3. Prioritas perbaikan kinerja pabrik gula MODEL ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA Masukan terkendali 1. Kemampuan sumberdaya (mesin & peralatan) 2. Fungsi operasional pabrik gula 3. Prioritas kompetisi Keluaran tak dikehendaki 1. Hasil pengukuran tidak sesuai dengan kinerja sesungguhnya 2. Target kinerja di bawah kinerja sesungguhnya 3. Prioritas perbaikan tidak signifikan meningkatkan kinerja MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 35 Diagram Input-Output Sistem Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula

113 93 5. PEMODELAN SISTEM 5.1 Konfigurasi Sistem Model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula dirancangbangun dalam bentuk sistem berbasis komputer. Prototype model di beri nama SIANBAIKI (Sistem Intelijen Analisis Perbaikan Kinerja). Aplikasi SIANBAIKI merupakan aplikasi berbasis web sehingga aplikasi ini tidak memerlukan instalasi pada sisi pengguna. Adapun konfigurasi model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula adalah sebagai berikut : DATA PENGETAHUAN MODEL Sistem Manajemen Basis Data data karakteristik pembeda data ukuran-ukuran kinerja data praktek terbaik Sistem Manajemen Basis Pengetahuan karakteristik pembeda ukuran-ukuran kinerja & keterkaitannya kualifikasi kinerja per jenis kinerja kualifikasi nilai ukuran kinerja parameter representasi fuzzy aturan-aturan kriteria dan fungsi kriteria pemilihan fungsi preferensi & parameternya faktor penentu untuk praktek terbaik Sistem Manajemen Basis Model Model Pengelompokan Model Pengukuran kinerja Model Pemilihan kinerja terbaik Model Analisis praktek terbaik Model Penentuan prioritas perbaikan Mekanisme Inferensi Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Manajemen Dialog PENGGUNA Gambar 36 Konfigurasi Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula

114 94 Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 36, konfigurasi model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula terdiri dari enam komponen yaitu 1) sistem manajemen dialog, 2) sistem pengolahan terpusat, 3) Sistem manajemen basis data, 4) Sistem manajemen basis pengetahuan, 5) Mekanisme Inferensi, dan 6) Sistem manajemen basis model. Adapun gambaran alur yang digunakan untuk merancangbangun sistem adalah sebagai berikut : MULAI INPUT : 1. Karakteristis pembeda setiap pabrik gula INPUT : 1. Nilai ukuran kinerja setiap pabrik gula INPUT : 1. ukuran kinerja 2. praktek terbaik Pengelompokan pabrik gula berdasarkan karakteristik pembeda Pengukuran kinerja pabrik gula Analisis praktek terbaik OUTPUT : Alternatif kelompok pabrik gula beserta anggotanya OUTPUT : Nilai kinerja per jenis kinerja untuk setiap pabrik gula OUTPUT : Saran perbaikan untuk setiap ukuran kinerja Pemilihan kinerja terbaik OUTPUT : urutan kinerja per jenis kinerja dan keseluruhan untuk setiap pabrik gula dalam kelompok Penetuan prioritas perbaikan OUTPUT : Prioritas perbaikan dan saran perbaikan SELESAI Gambar 37 Diagram Alir Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula

115 95 Adapun spesifikasi yang diperlukan SIANBAIKI dapat di lihat pada Lampiran Kerangka Sistem Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog merupakan sistem yang memberikan fasilitas komunikasi dan interaksi antara pengguna dengan SIANBAIKI. Terdapat tiga kategori pengguna aplikasi SIANBAIKI yaitu administrator (admin), pakar, dan pengguna biasa. Adapun definisi dari ketiga kategori pengguna adalah sebagai berikut : Pengguna Admin Pakar Pengguna biasa Tabel 6 Deskripsi Pengguna Aplikasi SIANBAIKI Deskripsi Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang berhak untuk mengelola data-data pengguna dan data-data pabrik gula yang terkait dengan SIANBAIKI. Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang berhak untuk mengelola aturan nilai variabel dan kinerja, aturan saran perbaikan pabrik gula, serta dapat melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang hanya diberikan akses untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Fungsi utama sistem manajemen dialog adalah menerima masukan dari pengguna dan memberikan keluaran atau hasil yang dikehendaki kepada pengguna. Dialog antara pengguna dengan sistem dilakukan melalui bahasa komunikasi. Bahasa komunikasi yang digunakan terdiri dari komunikasi antara pengguna dengan sistem, dan komunikasi peraga atau representasi. Komunikasi antara pengguna dengan sistem digunakan untuk aktivitas pengendalian operasi. Adapun bentuk komunikasinya yaitu menggunakan dialog menu dan tanya jawab. SIANBAIKI yang berbasis web dirancang secara terstruktur dalam bentuk template web berupa menu-menu. Setiap menu terdiri

116 96 dari beberapa halaman yang berhubungan satu sama lain untuk mempermudah pengguna dalam melakukan perpindahan halaman. Pengguna dapat mengakses halaman yang diinginkan melalui halaman utama dari setiap menu yang ada. Tanggapan atau jawaban yang diberikan pengguna terhadap pertanyaan yang diajukan sistem yaitu berupa pilihan (yang diberikan oleh sistem) dan isian dimana pengguna mengisi bagian yang disediakan dengan jawaban yang sesuai. Tanya jawab diaplikasikan pada pemasukan parameter-parameter yang terkait dengan aktivitas pemodelan. Komunikasi peraga berupa umpan balik terhadap instruksi-instruksi yang diberikan, informasi mengenai status proses yang sedang berlangsung, dan informasi dalam bentuk laporan hasil proses. Komunikasi peraga dilakukan selama proses berlangsung. Kecepatan dan ketepatan informasi yang dihasilkan oleh sistem diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas analisis perbaikan kinerja dan mempercepat pengambilan keputusan bagi pengguna sistem Sistem Pengolahan Terpusat Sistem pengolahan terpusat merupakan program utama SIANBAIKI. Sistem pengolahan terpusat befungsi untuk mengatur dan mengelola sistem yang terintegrasi dan menghubungkan sistem manajemen basis dialog, sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan, sistem manajemen basis model Sistem Manajemen Basis Data Sistem manajemen basis data berfungsi untuk mengelola dan mengekstraksi data. Untuk membuat spesifikasi skema konseptual dan internal digunakan DDL (Data Definition Language), untuk melakukan mapping antara skema konseptual dan internal digunakan VDL (View Definition Language), sedangkan untuk manipulasi data (setelah dilakukan proses kompilasi skema konseptual) digunakan DML (Data Manipulation Language). Model basis data yang digunakan adalah model data relasional. Bahasa yang digunakan untuk manipulasi data relasional yang mengintegrasikan DDL,

117 97 VDL, dan DML yaitu SQL (Structured Query Language). SQL digunakan untuk mengambil (query) data, menciptakan dan menghapus tabel, menambah atau mengubah atau menghapus data pada tabel dan operasi lainnya. Basis Data yang digunakan dalam SIANBAIKI dikreasi, diubah dan dikontrol melalui suatu sistem manajemen basis data yang bersifat interaktif dan fleksibel. Terdapat lima basis data yang harus dikelola yaitu : basis data pengelompokan, basis data pengukuran kinerja, basis data pemilihan kinerja terbaik, basis data analisis praktek terbaik, dan basis data penentuan prioritas yang diperbaiki. Adapun uraian dari masing-masing basis data adalah sebagai berikut : a) Data Pengukuran Kinerja Data pengukuran kinerja terdiri dari data ukuran-ukuran kinerja setiap pabrik gula. Ukuran-ukuran kinerja diidentifikasi berdasarkan hasil studi literatur, penelitian terdahulu, dan konfirmasi pakar. b) Data Pengelompokan Data pengelompokan terdiri dari data karakteristik pembeda pabrik gula. Karakteristik pembeda pabrik gula ditetapkan berdasarkan hasil kajian literatur, hasil penelitian terdahulu, dan konfirmasi pakar. Data karakteristik pembeda pabrik gula untuk validasi dan pengujian sistem diperoleh dari PTPN X. c) Data Pemilihan Kinerja Terbaik Data pemilihan kinerja terbaik terdiri dari data alternatif kelompok pabrik gula dan anggotanya, serta nilai kinerja per jenis kinerja untuk seluruh alternatif kelompok pabrik gula dan anggotanya. Data yang digunakan merupakan output dari pengelompokan dan pengukuran kinerja pabrik gula. d) Data Analisis Praktek Terbaik Data analisi praktek terbaik terdiri dari data ukuran kinerja, dan data praktek terbaik. Data ukuran kinerja sama dengan data ukuran kinerja yang digunakan pada saat melakukan pengukuran kinerja. Data praktek terbaik diidentifikasi berdasarkan hasil studi literatur, penelitian terdahulu, dan konfirmasi pakar.

118 98 e) Data Penentuan Prioritas Perbaikan Data penentuan prioritas perbaikan terdiri dari data nilai kinerja per jenis kinerja, data nilai kinerja keseluruhan, data ranking nilai kinerja keseluruhan dalam kelompok, data ranking nilai kinerja per jenis kinerja dalam kelompok, data nilai ukuran kinerja seluruh pabrik gula, dan data saran perbaikan untuk setiap ukuran kinerja. Data nilai kinerja per jenis kinerja merupkan output dari pengukuran kinerja, data nilai kinerja keseluruhan, data ranking nilai kinerja keseluruhan dalam kelompok, data ranking nilai kinerja per jenis kinerja dalam kelompok merupakan output dari pemilihan kinerja terbaik. Data saran perbaikan untuk setiap ukuran kinerja merupakan output dari analisis praktek terbaik Sistem Manajemen Basis Pengetahuan Sistem manajemen basis pengetahuan meliputi akuisisi pengetahuan, dan representasi pengetahuan. Sumber pengetahuan diperoleh melalui studi literatur, hasil penelitian terdahulu, dan pendapat pakar. Interaksi dengan pakar dilakukan melalui kuestioner dan diskusi. Basis pengetahuan yang digunakan pada setiap model adalah sebagai berikut : a) Model pengukuran kinerja : ukuran-ukuran kinerja dan keterkaitannya, kualifikasi nilai kinerja per jenis kinerja, kualifikasi nilai ukuran kinerja, parameter representasi fuzzy, aturan-aturan (If-Then-Rules) b) Model pengelompokan : karakteristik pembeda pabrik gula c) Model pemilihan kinerja terbaik : kriteria dan fungsi kriteria, fungsi preferensi setiap kriteria, parameter d) Model analisis praktek terbaik : keterkaitan ukuran kinerja dan faktor penentu untuk praktek terbaik Untuk model pengukuran kinerja, representasi pengetahuan dalam bentuk aturan-aturan merupakan pengetahuan yang telah berhasil diakuisisi dari pengetahuan pakar. Pengetahuan yang direpresentasikan dalam bentuk aturan akan implementasikan dalam sistem untuk memproses data dan dituliskan dalam bentuk IF (kondisi) THEN (aksi). Representasi pengetahuan yang dipilih dalam

119 99 sistem penunjang keputusan intelijen yang dirancangbangun merupakan bentuk yang tepat karena secara umum lebih mudah dipahami dan dipelajari. Berdasarkan jenis kinerja yang akan diukur, maka pengetahuan yang akan direpresentasikan akan dikelompokkan sesuai dengan jenis kinerja. Jumlah aturan yang memungkinkan yaitu sesuai dengan banyaknya kategori yang digunakan dan variabel (ukuran kinerja) setiap jenis kinerja dan banyaknya ukuran kinerja Mekanisme Inferensi Mekanisme (mesin) inferensi merupakan bagian yang mengarahkan dan memanipulasi fakta, pengetahuan, dan model yang disimpan dalam basis pengetahuan untuk memperoleh kesimpulan. Tugas utamanya adalah melakukan pengujian terhadap sejumlah fakta dan kaidah-kaidah yang digunakan serta memutuskan perintah sesuai dengan penalaran yang telah dilakukan. Berdasarkan kategori ukuran kinerja sebagai input dan kategori nilai kinerja sebagai output dibagi menjadi tiga himpunan fuzzy (rendah, sedang, tinggi) maka sistem inferensi fuzzy yang tepat untuk digunakan adalah metode Mamdani. Aplikasi fungsi implikasi pada metode Mamdani menggunakan fungsi implikasi minimum. Adapun komposisi aturan yang digunakan adalah metode maximum. Oleh karena itu, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya untuk memodifikasi daerah fuzzy. Metode defuzzy yang digunakan yaitu metode centroid. Dengan menggunakan metode centroid, maka solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy Sistem Manajemen Basis Model Komponen model suatu sistem penunjang keputusan harus menunjang setiap aktivitas pengambilan keputusan (Suryadi dan Ramdhani 2002). Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan analisis perbaikan kinerja dan hasil tinjauan pustaka pada sistem manajemen basis model terdapat lima model yaitu : 1) model pengelompokan, 2) model pengukuran kinerja, 3) model pemilihan kinerja terbaik, 4) model analisis praktek terbaik, dan 5) model penentuan prioritas perbaikan. Masing-masing model menggunakan pendekatan yang telah

120 100 teridentifikasi pada saat melakukan tinjauan pustaka, yaitu pendekatan klasifikasi untuk model pengelompokan, fuzzy expert system untuk model pengukuran kinerja, PROMETHEE dan sorting untuk model pemilihan kinerja terbaik, root cause analysis untuk model analisis praktek terbaik, dan diagnostik untuk penentuan prioritas perbaikan. Adapun framework dari model perbaikan kinerja PG yang dirancangbangun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 38. Analisis Perbaikan Kinerja Fuzzy Expert System Klasifikasi Promethee & Sorting Root Cause Analysis Diagnostik Pengukuran Kinerja Pengelompokan Pemilihan Kinerja Terbaik Analisis Praktek Terbaik Penentuan Prioritas Perbaikan Ukuran Kinerja Karakteristik Pembeda Kinerja Terbaik Praktek Terbaik Prioritas Perbaikan Kondisi Riil Pengolahan Gula Gambar 38 Framework Model Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula 5.3 Rancangbangun Model Rancangbangun model bertujuan untuk menghasilkan model analisis perbaikan kinerja. Rancangbangun model dilakukan dengan mempertimbangkan hasil tinjauan pustaka dan analisis sistem, studi dokumentasi serta hasil konsultasi dan konfirmasi dengan pakar. Model terdiri dari lima sub model yang terintegrasi. Integrasi antar sub model dilakukan dengan menggunakan output sub model sebagai input sub model berikutnya Model Pengelompokan Model pengelompokan bertujuan untuk mengelompokkan pabrik gula (PG) yang memiliki karakteristik yang serupa. Pengelompokan pabrik gula diperlukan untuk menyetarakan pabrik gula sehingga layak untuk

121 101 diperbandingkan. Untuk mengelompokkan PG yang memiliki karakteristik serupa dapat dilakukan dengan mengelompokkan PG berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula. Karakteristik pembeda pabrik gula diidentifikasi melalui studi dokumentasi dan konfirmasi pakar. Input model berupa basis data yang diperlukan untuk pengelompokan pabrik gula. Metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan pengelompokan pabrik gula yaitu pendekatan klasifikasi. Output dari model pengelompokkan PG berupa alternatif kelompok PG sesuai dengan karakteristik pembeda pabrik gula beserta anggota kelompoknya. Model konseptual pengelompokan pabrik gula dapat digambarkan sebagai berikut : Karakteristik Pembeda Jumlah Kelompok Kesamaan Ukuran Kelompok PG dan anggotanya Klasifikasi Gambar 39 Model Konseptual Pengelompokan Pabrik Gula Pengelompokan dilakukan untuk seluruh pabrik gula yang menjadi objek kajian. Kriteria keputusan yang digunakan untuk mengelompokan pabrik gula berupa karakteristik pembeda pabrik gula. Karakteristik pembeda pabrik gula ditetapkan berdasarkan hasil tinjauan pustaka dan konfirmasi pakar (Lampiran 5). Adapun karakteristik pembeda pabrik gula yaitu : 1) metode yang digunakan pada proses pemurnian, dan 2) skala pabrik gula. Metode pada Proses Pemurnian Secara garis besar, untuk menghasilkan gula kristal putih yang sesuai dengan spesifikasi, bahan baku (tebu) diproses melalui lima unit (Moerdokusumo, 1993) yaitu : 1) unit operasi gilingan, 2) unit operasi pemurnian, 3) unit operasi penguapan, 4) unit operasi kristalisasi, dan 5) unit operasi sentrifuse. Kualitas gula yang dihasilkan tergantung pada : 1) kualitas nira mentah, 2) metode pemurnian, dan 3) cara menerapkan skema masakan dalam proses kristalisasi. Kualitas gula

122 102 yang sesuai spesifikasi diperoleh dari pemurnian nira serta susunan bahan bukan gula dalam larutan. Proses pemurnian berfungsi untuk mengurangi atau menghilangkan zat bukan gula dari nira mentah seoptimal mungkin. Selanjutnya, Moerdokusumo (1993) menegaskan bahwa pada dasarnya unit operasi pemurnian merupakan faktor yang membedakan pabrik gula mengingat unit operasi yang lain relatif sama di setiap pabrik gula. Proses pemurnian dapat dilakukan secara fisis (penyaringan) maupun kimiawi (pemanasan). Secara teoritis, metode (Moerdokusumo 1993; Efendi 2009) yang dapat digunakan pada proses pemurnian adalah : 1) Karbonatasi, yaitu proses pemurnian dengan menambahkan susu kapur (CaO) berlebihan dan dinetralkan menggunakan CO 2, 2) Sulfitasi, yaitu proses pemurnian dengan menambahkan susu kapur (CaO) berlebihan dan dinetralkan menggunakan SO 2, 3) Defekasi, yaitu proses pemurnian dengan menambahkan susu kapur (CaO) berlebihan dan dinetralkan menggunakan Phospat, dan 4) kombinasi dari tiga metode tersebut. Kriteria yang digunakan untuk memilih metode yang digunakan pada proses pemurnian adalah : 1) intensitas, 2) efisiensi, dan 3) efektivitas. Menurut Effendi (2009) proses pemurnian yang menggunakan metode defekasi akan menghasilkan gula yang kurang baik karena efek pemurniannya rendah. Sedangkan metode karbonatasi memiliki efek pemurnian yang tinggi sehingga dapat menghasilkan gula yang baik tetapi biaya bahan pembantu dan biaya tenaga kerja sangat mahal. Metode sulfitasi dengan efek pemurnian yang cukup akan menghasilkan gula konsumsi yang cukup baik dengan biaya bahan pembantu dan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan bila menggunakan metode karbonatasi. Berdasarkan data P3GI (2001) dalam Efendi (2009) dari 70 pabrik gula mayoritas (62 pabrik gula) menggunakan metode Sulfitasi, tujuh pabrik gula menggunakan metode Karbonatasi, dan satu pabrik gula menggunakan metode Defekasi. Berdasarkan data sekretariat Dewan Gula Indonesia (2006) jumlah pabrik gula yang beroperasi hanya 58. Dari 58 pabrik gula tersebut hanya tiga pabrik gula yang menggunakan metode Karbonatasi sedangkan yang lainnya menggunakan metode Sulfitasi. Oleh karena itu, berdasarkan proses pemurnian yang digunakan, pabrik gula dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.

123 103 Skala Pabrik Gula Pabrik gula di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan skala (kapasitas giling terpasang) pabrik gula yaitu : yaitu 1) pabrik gula berskala kecil, 2) pabrik gula berskala menengah, dan 3) pabrik gula berskala besar. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut : 1) pabrik gula berskala kecil terdiri dari pabrik gula yang mempunyai kapasitas giling < 3000 TCD, 2) pabrik gula berskala menengah terdiri dari pabrik gula yang mempunyai kapasitas giling 3000 sampai dengan 6000, dan 3) pabrik gula berskala besar terdiri dari pabrik gula yang mempunyai kapasitas giling > 6000 TCD menjadi anggota kelompok (Sawit et al 2004; Efendi 2009). Berdasarkan skala pabrik gula maka pabrik gula dapat dikelompokan menjadi tiga. Kapasitas giling merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja (efisiensi) pabrik gula (Moerdokusumo 1993; Prihandana 2005; Khudori 2005; Efendi 2009). Kapasitas giling berpengaruh terhadap kinerja pabrik gula mengingat besarnya biaya giling yang dibutuhkan, kapasitas yang rendah akan menyebabkan kinerja pabrik gula rendah (Prihandana 2005). Biaya produksi gula per unit pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al 2004). Berdasarkan ke dua karakteristik pembeda pabrik gula maka pabrik gula dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok yaitu : 1) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala besar, 2) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala menengah 3) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala kecil, 4) pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala besar, 5) pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala menengah, dan 6) pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala kecil. Selanjutnya ditentukan konsep kesamaan (interobject similarity) yaitu ukuran untuk kesesuaian atau kemiripan diantara pabrik gula yang akan dipilah menjadi enam kelompok. Terdapat dua konsep kesamaan yaitu 1) association measures untuk pengelompokkan berdasarkan metode proses pemurnian, dan 2) correlational measures untuk pengelompokkan berdasarkan skala pabrik gula.

124 104 Skala penilaian untuk mengelompokan pabrik gula menggunakan skala nominal berupa label 1 dan 0. Skala tersebut digunakan karena pengelompokan dengan metode klasifikasi pada dasarnya akan membagi kelompok sesuai dengan jumlah kelompok yang telah ditentukan sebelumnya, dan memisahkan kelompok berdasarkan anggota atau bukan anggota. Label 1 menunjukkan anggota dan label 0 menunjukkan bukan anggota. Matriks keputusan pada Tabel 7 di bawah ini merupakan matriks yang digunakan untuk melakukan pengelompokan di antara beberapa alternatif (pabrik gula) yang memenuhi (label 1) atau tidak memenuhi ( label 0) kriteria sebagai anggota kelompok. Tabel 7 Matriks Keputusan Pengelompokan Alternatif Kriteria Pabrik Proses Pemurnian Skala Pabrik PG 1 1 atau 0 1 atau 0 PG 2 1 atau 0 1 atau 0 PG 3 1 atau 0 1 atau 0 PG... 1 atau 0 1 atau 0 PG n 1 atau 0 1 atau 0 Berdasarkan hal tersebut di atas, model pengelompokan pabrik gula dapat digambarkan sebagai berikut : Karbonatasi Sulfitasi Proses Pemurnian Jumlah kelompok = 6 Karbonatasi, Kecil Karbonatasi, Menengah Karbonatasi, Besar Besar Menengah Kecil Kesamaan ukuran = association & correlational Klasifikasi Sulfitasi, Kecil Sulfitasi, Menengah Sulfitasi, Besar Skala Pabrik Gula Karakteristik Pembeda Kelompok Pabrik gula dan anggotanya Gambar 40 Model Pengelompokan Pabrik Gula

125 105 Metode klasifikasi yang digunakan adalah Decision Tree, melalui Decision Tree dapat ditentukan aturan yang dapat digunakan dalam skema pengambilan keputusan. Decision Tree yang terbentuk adalah sebagai berikut : Karbonatasi Sulfitasi < 3000 TCD > 6000 TCD < 3000 TCD > 6000 TCD KK KM KB SK SM SB Gambar 41 Decision Tree Pengelompokan Pabrik Gula Keterangan : KK = PG dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala kecil KM = PG dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala menengah KB = PG dengan proses pemurnian karbonatasi yang berskala besar SK = PG dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala kecil SM = PG dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala menengah SB = PG dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala besar Berdasarkan Decision Tree tersebut di atas maka aturan yang terbentuk adalah sebagai berikut : Jika proses pemurniannya karbonatasi dan skala pabik < 3000 maka KK Jika proses pemurniannya karbonatasi dan skala pabik maka KM Jika proses pemurniannya karbonatasi dan skala pabik > 6000 maka KB Jika proses pemurniannya sulfitasi dan skala pabik < 3000 maka SK Jika proses pemurniannya sulfitasi dan skala pabik maka SM Jika proses pemurniannya sulfitasi dan skala pabik > 6000 maka SB

126 106 Skema pengambilan keputusan pengelompokan pabrik gula dapat di lihat pada Gambar 42. MULAI Proses pemurnian dan Kapasitas Giling setiap pabrik gula Proses Pemurnian : Karbonatasi? Tidak Kapasitas giling < 3000? Ya Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi, skala pabrik kecil Ya Kapasitas giling < 3000? Tidak Kapasitas giling 3000 sampai dengan 6000? Tidak Ya Ya Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi, skala pabrik kecil Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi, skala pabrik menengah Tidak Kapasitas giling 3000 sampai dengan 6000? Tidak Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi, skala pabrik besar Ya Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi, skala pabrik menengah Kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian karbonatasi, skala pabrik besar SELESAI Gambar 42 Skema Pengambilan Keputusan Pengelompokan Pabrik Gula Model Pengukuran Kinerja Model pengukuran kinerja bertujuan untuk menentukan nilai kinerja setiap pabrik gula. Pengukuran kinerja yang dilakukan adalah untuk kinerja input, kinerja proses, dan kinerja output yang direpresentasikan sebagai kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis. Pengukuran kinerja dilakukan terhadap seluruh pabrik gula. Oleh karena itu, alternatif keputusan pada model pengukuran kinerja pabrik gula adalah seluruh pabrik gula yang menjadi objek kajian. Input model berupa basis data yang diperlukan untuk pengukuran kinerja PG. Output dari model pengukuran kinerja PG berupa nilai kinerja untuk setiap jenis kinerja seluruh PG. Pendekatan yang digunakan dalam proses pengukuran

127 107 kinerja pada model pengukuran kinerja PG adalah Fuzzy Expert System (FES). Adapun model konseptual pengukuran kinerja dapat dilihat pada Gambar 43. Ukuran kinerja strategis Nilai kinerja strategis Mesin Inferensi Parameter If-then rules Ukuran kinerja operasional iabel : Nilai kinerja operasional Mesin Inferensi Parameter If-then rules Ukuran kinerja taktis Nilai kinerja taktis Mesin Inferensi Parameter If-then rules Gambar 43 Model Konseptual Pengukuran Kinerja untuk Setiap Jenis Kinerja Kriteria yang digunakan dalam pengukuran kinerja yaitu ukuran-ukuran kinerja. Identifikasi ukuran-ukuran kinerja dilakukan melalui studi dokumentasi dilanjutkan dengan konfirmasi pakar (Lampiran 6). Ukuran-ukuran kinerja yang direkomendasikan pakar sebagai kriteria pengukuran kinerja dieavaluasi keterkaitannya. Evaluasi dilakukan berdasarkan studi dokementasi dan konfirmasi pakar (Lampiran 7). Ukuran-ukuran kinerja yang akan digunakan pada proses selanjutnya adalah ukuran-ukuran kinerja yang memiliki keterkaitan dengan visi dan misi yang dicanangkan pemerintah dan keterkaitan antar ukuran-ukuran kinerja (input-proses-output). Nilai kinerja untuk setiap jenis kinerja (kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis) dikategorikan menjadi tiga yaitu kinerja tinggi, kinerja sedang, dan kinerja rendah. Kualifikasi (skala penilaian) untuk menentukan setiap kategori pada setiap jenis kinerja ditentukan berdasarkan pertimbangan pakar (Lampiran 8). Nilai kinerja untuk setiap jenis kinerja diperoleh dari aggregasi nilai ukuran kinerja yang menjadi kriteria dalam

128 108 pengukuran kinerja. Nilai setiap ukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja dikategorikan menjadi tiga yaitu kinerja tinggi, kinerja sedang, dan kinerja rendah. Kualifikasi (skala penilaian) untuk menentukan setiap kategori pada setiap ukuran kinerja ditentukan berdasarkan studi dokumentasi dan konfirmasi pakar (Lampiran 9). Secara sederhana, agregasi nilai kinerja ditunjukkan pada Gambar 44. Ukuran-ukuran kinerja strategis Kinerja Strategis Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Ukuran-ukuran kinerja operasional Kinerja Operasional Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Ukuran-ukuran kinerja taktis Kinerja Taktis Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Gambar 44 Agregasi Nilai Kinerja Fungsi keanggotaan ditetapkan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi semesta pembicaraan, nama himpunan fuzzy, domain, jenis kurva untuk merepresentasikan himpunan fuzzy, dan parameter untuk setiap jenis kinerja. If then rules merupakan kaidah-kaidah yang menjelaskan relasi logika antara nilai-nilai parameter yang digunakan dan diidentifikasi berdasarkan seluruh kemungkinan kombinasi kategori nilai ukuran-ukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja dan masukan pakar untuk kesimpulan kategori nilai kinerja. Adapun bentuk umum dari if then rules yang digunakan dengan ukuran kinerja 1 sampai dengan n dan jenis kinerja X adalah sebagai berikut : If (ukuran kinerja 1 is Rendah/Sedang/Tinggi) and (ukuran kinerja n is Rendah/Sedang/Tinggi) Then (Kinerja X is Rendah/Sedang/Tinggi)

129 109 Identifikasi awal ukuran-ukuran kinerja yang akan digunakan disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan yaitu melakukan identifikasi terhadap ukuranukuran kinerja input, proses dan output. Ukuran-ukuran kinerja input terkait dengan kemampuan sumberdaya. Ukuran-ukuran kinerja proses terkait dengan tugas-tugas manufaktur. Ukuran-ukuran kinerja output terkait dengan prioritas kompetisi. Pemilihan faktor-faktor yang akan digunakan untuk mengidentifikasi lebih lanjut ukuran-ukuran kinerja yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi dan hasil identifikasi kebutuhan untuk rancangbangun model analisis perbaikan kinerja. Berdasarkan kondisi riil pabrik gula pada umumnya, dan hasil tinjauan pustaka dilakukan identifikasi awal ukuran (variabel) kinerja untuk setiap jenis kinerja. Identifikasi awal menghasilkan 13 ukuran kinerja untuk seluruh jenis kinerja yaitu : 1) kualifikasi tenaga kerja, 2) tingkat turn over tenaga kerja, 3) banyaknya jumlah pelatihan yang diikuti tenaga kerja, 4) umur mesin, 5) kapasitas giling, 6) jumlah tebu, 7) kualitas tebu, 8) hilang dalam proses, 9) jam henti giling, 10) overall recovery, 11) efisiensi ketel, 12) hablur gula, dan 13) rendemen. Selanjutnya, berdasarkan diskusi dan konfirmasi pakar yang terdiri dari praktisi pabrik gula dan peneliti dari P3GI, ukuran kinerja yang akan digunakan hanya berjumlah 10 ukuran kinerja dengan perincian empat ukuran kinerja untuk kinerja strategis, empat ukuran kinerja untuk kinerja operasional, dan dua ukuran kinerja untuk kinerja taktis. Tiga ukuran kinerja yang terkait dengan sumber daya insani tidak digunakan dengan pertimbangan 1) di setiap PG sudah memiliki SOP untuk proses pengolahan, dan 2) rendahnya ketersediaan data untuk proses validasi. Hasil identifikasi keterkaitan ukuran kinerja ditunjukkan pada Gambar 45. Keterkaitan ukuran kinerja dengan misi dan visi memastikan bahwa visi 2025 dapat tercapai dengan melakukan perbaikan. Selain itu, keterkaitan antar ukuran kinerja akan memudahkan proses perbaikan yang harus dilakukan terhadap ukuran kinerja yang tidak mencapai standar yang dipesyaratkan atau bernilai lebih kecil dari pembanding.

130 110 Visi Industri Gula Nasional 2025 MISI ke-2 Industri Gula Nasional 2025 PRODUKTIVITAS EFISIENSI STRATEGI OUTPUT Hablur Gula Rendemen TAKTIS PROSES Jam Henti Giling Kehilangan dalam Proses Efisiensi Ketel Overall Recovery OPERASIONAL INPUT Kapasitas Giling Umur Mesin Jumlah Tebu Kualitas Tebu STRATEGIS Gambar 45 Keterkaitan Ukuran Kinerja Berdasarkan hasil identifikasi dan konfirmasi pakar maka kriteria keputusan yang digunakan untuk menentukan nilai kinerja adalah sepuluh ukuran kinerja. Untuk nilai kinerja strategis digunakan ukuran kinerja berdasarkan ukuran umur mesin, kapasitas giling, jumlah tebu, dan kualitas tebu. Untuk nilai kinerja operasional digunakan ukuran kinerja berdasarkan ukuran hilang dalam proses, jam henti giling, overall recovery, dan efisiensi ketel. Adapun untuk nilai kinerja taktis digunakan ukuran kinerja berdasarkan ukuran jumlah hablur gula, dan rendemen. Bobot kriteria untuk pengukuran kinerja pabrik gula ditetapkan berdasarkan pertimbangan pakar yaitu sama penting untuk seluruh kriteria yang digunakan atau sama penting untuk seluruh ukuran kinerja yang digunakan. Adapun jenis kinerja, ukuran kinerja dan satuan secara lengkap seperti yang terlihat pada Tabel 8.

131 111 Tabel 8 Jenis Kinerja, Ukuran Kinerja, dan Satuan Kinerja Ukuran Kinerja Satuan Strategis Umur Mesin (UM) Tahun Kapasitas Giling (KG) Ton Tebu Hari Operasional Taktis Jumlah Tebu (JT) Kualitas Tebu (KT) Hilang dalam Proses (HP) Jam Henti Giling (JHG) Overall Recovery (OR) Efisiensi Ketel (EK) Hablur Gula (HG) Rendemen (R) % Pol % tebu % pol hilang % % % Ton / Ha % kristal tebu Uraian singkat mengenai setiap ukuran kinerja adalah sebagai berikut : Umur Mesin (UM) Umur mesin merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan rerata umur mesin yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam tahun. Umur mesin berpengaruh terhadap kinerja pabrik gula, semakin kecil rerata umur mesin yang dimiliki akan menyebabkan pabrik gula lebih efisien. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan 1) tingkat keberhasilan mesin baru yang melakukan pemerahan nira mencapai 94% sedangkan mesin lama (tua) maksimal hanya mencapai 91%, 2) di lihat dari penggunaan uap untuk menggerakkan turbin untuk mengolah 1 kuintal tebu mesin baru hanya membutuhkan 0,4 kilogram uap sedangkan mesin lama membutuhkan 0,7 kilogram (Prihandana 2005), 3) ketel (boiler) pada mesin baru efisiensinya mencapai 78% dengan produksi uap per kilogram ampas 2,1 kg sedangkan mesin lama efisiensinya 68% dengan produksi uap per kilogram ampas 1,95 kg (disbunjatim 2008), dan 4) biaya produksi gula per unit pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al 2004). Kapasitas Giling (KG) Kapasitas giling merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan kapasitas (terpasang) giling yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam Ton Cane Day

132 112 (TCD). Kapasitas giling merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja (efisiensi) pabrik gula (Moerdokusumo 1993; Prihandana 2005; Khudori 2005; Efendi 2009). Kapasitas giling berpengaruh terhadap kinerja pabrik gula mengingat besarnya biaya giling yang dibutuhkan, kapasitas yang rendah akan menyebabkan kinerja pabrik gula rendah (Prihandana 2005). Biaya produksi gula per unit pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala (kapasitas) besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al 2004). Jumlah Tebu (JT) Jumlah tebu merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya tebu yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan jumlah tebu sesuai dengan kapasitas (terpasang) giling yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam persen (%). Kinerja pabrik gula sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas bahan baku (LPPM IPB 2002). Kekurangan jumlah tebu dapat menyebabkan kapasitas giling tidak dipakai secara maksimal dan akan meningkatkan jam henti giling, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja pabrik gula (Moerdokusumo 1993). Kualitas Tebu (KT) Kualitas tebu merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan potensi sukrosa dalam tebu dan dinyatakan dalam pol % tebu. Kinerja pabrik gula sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas bahan baku (LPPM IPB 2002). Menggiling tebu yang berkualitas rendah akan memberatkan instalasi pabrik gula dan merupakan cara yang boros dan tidak ekonomis (Moerdokusumo 1993). Hilang dalam Proses (HP) Hilang dalam proses merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya potensi gula yang hilang selama proses produksi dan dinyatakan dalam persen (% pol hilang). Kehilangan gula selama proses di pabrik gula terjadi pada proses pasca panen (dekomposisi), stasiun gilingan (ikut ampas dan inversi

133 113 ) dan proses pabrikasi yang terdiri dari empat jenis yaitu : 1) gula hilang akibat ikut blotong, 2) gula hilang akibat ikut tetes, 3) gula hilang akibat kerusakan kimiawi, 4) gula hilang akibat bocoran-bocoran. Adapun kehilangan yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 46. Ampas Inverse Kebun Tebu Gilingan Proses pasca panen Kehilangan gula (dekomposisi) Kehilangan gula ikut ampas dan inverse Nira Mentah Blotong Tetes Inverse Proses Pabrikasi Gula Kehilangan gula ikut blotong, ikut tetes dan inverse Gula Gambar 46 Diagram Kehilangan Gula selama Proses di Pabrik Gula Jam Henti Giling (JHG) Jam Henti Giling merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan lamanya waktu berhenti giling dibandingkan dengan waktu giling yang seharusnya dan dinyatakan dalam persen (%). Overall Recovery (OR) Overall Recovery merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan efisiensi pabrik gula secara keseluruhan dan dinyatakan dalam persen (%). Lembaga Penelitian IPB (2002) menyatakan bahwa Overall Recovery merupakan ukuran efisiensi teknis pabrik gula. Proses produksi gula dinilai berdasarkan efisiensi dan utilitas proses produksi. Terkait dengan efisiensi, terdapat dua unit operasi yang harus diperhatikan (disbunjatim 2008) yaitu stasiun gilingan dan stasiun pengolahan. Indikator kinerja gilingan dinyatakan ME (Mill Extraction = kemampuan gilingan

134 114 dalam mengekstrak sukrosa daribatang tebu) dengan nilai standar > 95%, sedangkan indikator kinerja pengolahan dinyatakan dengan BHR (Boilling House Recovery = menunjukkan seberapa banyak sukrosa dalam nira dapat dikristalkan) dengan nilai standar > 85%. Apabila nilai ME di bawah standar menunjukkan bahwa proses pemerahan nira berlangsung kurang optimal, sedangkan jika nilai BHR di bawah standar menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan gula (dinyatakan dalam pol hilang % tebu. Kinerja stasiun gilingan dan stasiun pengolahan ini juga menunjukkan efisiensi pabrik gula secara keseluruhan yang dinyatakan sebagai OR (Overall Recovery) dengan nilai standar > 87%. Hubungan antara kinerja stasiun gilingan, stasiun pengolahan, dan efisiensi pabrik gula secara keseluruhan adalah sebagai berikut : OR = ME x BHR. Efisiensi Ketel (EK) Efisiensi ketel merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan perbandingan persentase antara panas yang dipindahkan ke dalam uap dan panas yang tersedia dalam bahan bakar dan dinyatakan dalam persen (%). Proses produksi gula dinilai berdasarkan efisiensi dan utilitas proses produksi. Pada utilitas proses perlu diperhatikan efisiensi ketel uap. Hal tersebut juga diperkuat dengan penyataan dari Lembaga Penelitian IPB (2002) bahwa efisiensi ketel merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada kinerja pengolahan. Hablur Gula (HG) Hablur gula merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya gula yang dihasilkan dibandingkan dengan luas areal tebu yang dihasilkan pabrik gula dan dinyatakan dalam ton per hektar (ton/ha). Hablur gula menunjukkan ukuran produktivitas pabrik gula. Rendemen (R) Rendemen menunjukkan ukuran efisiensi pabrik gula. Rendemen merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan jumlah sukrosa dalam tebu yang

135 115 dapat dikristalkan menjadi gula dan dinyatakan dalam persen (%). Nilai rendemen tergantung pada kualitas bahan baku dan efisiensi pabrik. Adapun model pengukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja seperti yang ditunjukkan pada Gambar 47. Nilai Variabel : Umur mesin, kapasitas giling, jumlah tebu, kualitas tebu Nilai kinerja strategis Mesin Inferensi Parameter If-then rules Nilai Variabel : Hilang dalam proses, Jam henti giling, Overall Recovery, Efisiensi ketel Nilai kinerja operasional Mesin Inferensi Parameter If-then rules hablur gula, rendemen Nilai kinerja taktis Mesin Inferensi Parameter If-then rules Gambar 47 Model Pengukuran Kinerja Berdasarkan hasil diskusi dan konfirmasi pakar ditetapkan kualifikasi (skala penilaian untuk menentukan kategori nilai) kinerja pabrik gula pada masing-masing jenis kinerja. Terdapat tiga kategori nilai kinerja yaitu kinerja rendah, kinerja sedang, dan kinerja tinggi. Skala penilaian berupa skala rasio dengan pertimbangan bahwa nilai kinerja (untuk setiap jenis kinerja) merupakan ukuran yang sebenarnya, memiliki titik nol, dan antara kinerja pabrik gula yang satu dengan yang lain memiliki unsur jarak yang disebut dengan selisih nilai kinerja. Adapun kualifikasi kinerja untuk setiap jenis kinerja ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil diskusi dan konfirmasi pakar ditetapkan kualifikasi (skala penilaian untuk menentukan kategori pada masing-masing) ukuran kinerja. Terdapat tiga kategori nilai untuk setiap ukuran kinerja yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Skala penilaian berupa skala rasio dengan pertimbangan bahwa nilai

136 116 ukuran kinerja (untuk setiap jenis ukuran kinerja) merupakan ukuran yang sebenarnya, memiliki titik nol, dan antara ukuran kinerja pabrik gula yang satu dengan yang lain memiliki unsur jarak yang disebut dengan selisih nilai ukuran kinerja. Adapun kualifikasi ukuran kinerja pada setiap jenis kinerja ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 9 Kualifikasi Kinerja Pabrik Gula Kinerja Rendah Sedang Tinggi Strategis (KS) KS < KS < 75 KS 75 Operasional (KO) KO < KO <75 KO 75 Taktis (KT) KT < KT < 75 KT 75 Tabel 10 Kualifikasi Ukuran Kinerja Ukuran Kinerja Rendah Sedang Tinggi Umur Mesin (UM) UM 7 5 < UM < 7 UM 5 Kapasitas Giling (KG) KG < KG < 6000 KG 6000 Jumlah Tebu (JT) Kualitas Tebu (KT) Hilang dalam Proses (HP) Jam Henti Giling (JHG) Overall Recovery (OR) Efisiensi Ketel (EK) Hablur Gula (HG) Rendemen (R) JT 83 KT 9 HP 7 JHG 5 OR 75 EK 70 HG 6 R 6 83 < JT < 96 9 < KT < 11 5 < HP < 7 2,5 < JHG < 5 75 < OR < < EK < 80 6 < HG < 8 6 < R < 10 JT 96 KT 11 HP 5 JHG 2,5 OR 85 EK 80 HG 8 R 10 Hirarki keputusan pengukuran kinerja dapat di lihat pada Gambar 47 di bawah ini : Goal Pengukuran Kinerja Pabrik Gula Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Kriteria UM KG JT KT HP JHG OR EK HG R Alternatif PG 1 PG 2 PG 3 PG... PG n Gambar 48 Hirarki Keputusan Pengukuran Kinerja

137 117 Matriks keputusan pengukuran kinerja untuk setiap jenis kinerja ditentukan berdasarkan kualifikasi setiap ukuran kinerja seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11 untuk kinerja strategis, Tabel 12 untuk kinerja operasional dan Tabel 13 untuk kinerja taktis. Setiap ukuran kinerja dapat memiliki kategori nilai rendah (R), sedang (S), atau tinggi (T). Tabel 11 Matriks Keputusan untuk Kinerja Strategis Alternatif Kriteria Umur Kapasitas Jumlah Kualitas Pabrik mesin giling tebu tebu PG 1 R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T PG 2 R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T PG... R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T PG n R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T Tabel 12 Matriks Keputusan untuk Kinerja Operasional Alternatif Pabrik Hilang Dalam proses Jam henti giling Kriteria Overall recovery Efisiensi ketel PG 1 PG 2 PG.. PG n R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T R atau S atau T Tabel 13 Matriks Keputusan untuk Kinerja Taktis Alternatif Kriteria Jumlah Rendemen Pabrik hablur PG 1 R atau S atau T R atau S atau T PG 2 R atau S atau T R atau S atau T PG.. R atau S atau T R atau S atau T PG n R atau S atau T R atau S atau T

138 118 Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy dan domain untuk kinerja strategis secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 14 berikut ini : Tabel 14 Semesta Pembicaraan, Himpunan Fuzzy dan Domain Kinerja Strategis Fungsi Variabel Semesta Nama Domain (Ukuran Pembicaraan Himpunan kinerja) Fuzzy Input Umur mesin [0,20] Rendah [7,20] Sedang [5,7 ] Tinggi [0,5 ] Kapasitas [0,8000] Rendah [ 0,3000] Giling Sedang [3000,6000] Tinggi [6000,8000] Jumlah tebu [ 0, 120] Rendah [ 0,83 ] Sedang [83,96 ] Tinggi [96,120] Kualitas tebu [0,15] Rendah [ 0,9] Sedang [ 9,11] Tinggi [11,15] Output Kinerja strategis [0,100] Rendah [ 0, 55] Sedang [ 55, 75] Tinggi [75,100] Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy dan domain untuk kinerja taktis secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 15 dan untuk kinerja operasional pada Tabel 16. Tabel 15 Semesta Pembicaraan, Himpunan Fuzzy, Domain Kinerja Taktis Fungsi Variabel Semesta Nama Domain (Ukuran Pembicaraan Himpunan kinerja) Fuzzy Input Jumlah hablur [0,12] Rendah [ 0, 6] Sedang [ 6, 8] Tinggi [8,12] Rendemen [0,14] Rendah [ 0, 6]

139 119 Sedang [ 6, 8] Tinggi [8,14] Output Kinerja Taktis [0,100] Rendah [0, 55] Sedang [55, 75] Tinggi [75,100] Tabel 16 Semesta Pembicaraan, Himpunan Fuzzy, Domain Kinerja Operasional Fungsi Variabel Semesta Nama Domain (Ukuran Pembicaraan Himpunan kinerja) Fuzzy Input Hilang dalam [0,10] Rendah [8,10] proses Sedang [ 6,8 ] Tinggi [ 0,6 ] Jam henti [0,15] Rendah [5,15] giling Sedang [2.5, 5] Tinggi [0, 2.5] Overall [ 0, 100] Rendah [ 0,75 ] recovery Sedang [75,85 ] Tinggi [85,100] Efisiensi [0,100] Rendah [ 0,70] ketel Sedang [ 70,80] Tinggi [80,100] Output Kinerja [0,100] Rendah [ 0, 55] operasional Sedang [ 55, 75] Tinggi [75,100] Fungsi keanggotaan direpresentasikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data (setiap nilai ukuran kinerja) ke dalam nilai keanggotaannya (derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara nol sampai dengan satu. Adapun bentuk kurva merupakan gabungan antara kurva segitiga dan kurva bahu. Jenis kurva untuk himpunan fuzzy rendah dan tinggi adalah bentuk bahu, sedangkan untuk himpunan fuzzy sedang yaitu bentuk segitiga.

140 120 Berikut ini adalah jenis representasi kurva setiap variabel atau ukuran kinerja strategis. Tabel 17 Jenis Representasi Kurva setiap Ukuran Kinerja untuk Kinerja Strategis Fungsi Variabel Nama Jenis Parameter (Ukuran Himpunan kurva kinerja) Fuzzy Input Umur mesin Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Kapasitas Rendah Bahu [ ] Giling Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Output Jumlah tebu Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Kualitas tebu Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Kinerja strategis Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Jenis representasi kurva setiap variabel atau ukuran kinerja untuk kinerja taktis ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18 Jenis Representasi Kurva setiap Ukuran Kinerja untuk Kinerja Taktis Fungsi Variabel Nama Jenis Parameter (Ukuran Himpunan kurva kinerja) Fuzzy Input Jumlah hablur Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Rendemen Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Output Kinerja Taktis Rendah Bahu [ ] Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ]

141 121 Sedangkan jenis representasi kurva setiap variabel atau ukuran kinerja untuk kinerja operasional ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 19 Jenis Representasi Kurva setiap Ukuran Kinerja untuk Kinerja Operasional Fungsi Variabel Nama Jenis Parameter (Ukuran Himpunan kurva kinerja) Fuzzy Input Hilang Rendah Bahu [ ] dalam Sedang Segitiga [ ] proses Tinggi Bahu [ ] Jam henti Rendah Bahu [ ] giling Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Overall Rendah Bahu [ ] recovery Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Efisiensi Rendah Bahu [ ] ketel Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Output Kinerja Rendah Bahu [ ] operasional Sedang Segitiga [ ] Tinggi Bahu [ ] Adapun representasi kurva dapat di lihat pada Lampiran 10,11, dan 12. Jumlah rules (aturan-aturan) yang memungkinkan digunakan untuk setiap jenis kinerja sesuai dengan jumlah ukuran kinerja dan jumlah kategori nilai kinerja yaitu 81 (3 4 ) aturan untuk kinerja strategis, 81 (3 4 ) aturan untuk kinerja operasional, dan sembilan (3 2 ) aturan untuk kinerja taktis. Untuk menjamin konsistensi aturan kinerja strategis dan kinerja operasional, maka berdasarkan pertimbangan pakar (Lampiran 13 dan 14) ditetapkan 15 aturan baku. Aturanaturan yang digunakan sebagai kriteria untuk menentukan nilai kinerja taktis adalah sebagai berikut : 1. If (Jumlah Hablur Gula is Rendah) and (Rendemen is Rendah) then (Kinerja Taktis is Rendah)

142 If (Jumlah Hablur Gula is Rendah) and (Rendemen is Sedang) then (Kinerja Taktis is Rendah) 3. If (Jumlah Hablur Gula is Rendah) and (Rendemen is Tinggi) then (Kinerja Taktis is Sedang) 4. If (Jumlah Hablur Gula is Sedang) and (Rendemen is Sedang) then (Kinerja Taktis is Sedang) 5. If (Jumlah Hablur Gula is Tinggi) and (Rendemen is Rendah) then (Kinerja Taktis is Sedang) 6. If (Jumlah Hablur Gula is Tinggi) and (Rendemen is Sedang) then (Kinerja Taktis is Sedang) 7. If (Jumlah Hablur Gula is Tinggi) and (Rendemen is Tinggi) then (Kinerja Taktis is Tinggi) 8. If (Jumlah Hablur Gula is Sedang) and (Rendemen is Rendah) then (Kinerja Taktis is Rendah) 9. If (Jumlah Hablur Gula is Sedang) and (Rendemen is Tinggi) then (Kinerja Taktis is Sedang) Aturan-aturan yang memungkinkan digunakan sebagai kriteria untuk menentukan nilai kinerja strategis dan operasional untuk setiap pabrik gula dapat di lihat pada Lampiran 15 dan Lampiran 16. Adapun skema pengambilan keputusan pengukuran kinerja pabrik gula ditunjukkan pada Gambar Model Pemilihan Kinerja Terbaik Rancangbangun model pemilihan kinerja terbaik bertujuan untuk menentukan pabrik gula berkinerja terbaik secara keseluruhan maupun untuk setiap jenis kinerja (kinerja strategis, kinerja operasional, kinerja taktis) pada setiap kelompok pabrik gula. Hasil pemilihan pada setiap kelompok pabrik gula akan digunakan sebagai standar kinerja pembanding bagi setiap pabrik gula pada kelompok yang sama, baik untuk kinerja keseluruhan maupun per jenis kinerja. Nilai kinerja yang digunakan adalah nilai kinerja yang dihasilkan dari model pengukuran kinerja yaitu nilai kinerja strategis, nilai kinerja operasional dan nilai

143 123 kinerja taktis untuk seluruh pabrik gula yang menjadi anggota setiap alternatif kelompok. Nilai variabel & parameter Kin. strategis If then rules Kin. strategis MULAI Kinerja strategis yang diukur? ya Ubah nilai variabel ke dalam linguistic label yang sesuai tidak nilai variabel & parameter Kin. taktis If then rules Kin. taktis Kinerja taktis yang diukur? ya Ubah nilai variabel ke dalam linguistic label yang sesuai tidak If then rules Kin. operasional nilai variabel & parameter Kin.operasional Ubah nilai variabel ke dalam linguistic label yang sesuai Pemeriksaan hubungan logic Pemeriksaan hubungan logic Pemeriksaan hubungan logic ya Kesimpulan hubungan logic tinggi? ya Kesimpulan hubungan logic tinggi? ya Kesimpulan hubungan logic tinggi? Kinerja strategis tinggi tidak Kinerja taktis tinggi tidak Kinerja operasional tinggi tidak ya Kinerja strategis rendah Kesimpulan hubungan logic rendah? tidak Kinerja strategis sedang ya Kinerja taktis rendah Kesimpulan hubungan logic rendah? tidak Kinerja taktis sedang ya Kinerja operasional rendah Kesimpulan hubungan logic rendah? tidak Kinerja operasional sedang Gambar 49 Skema Pengambilan Keputusan Pengukuran Kinerja Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Input model berupa basis data yang diperlukan untuk pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan. Output dari model berupa urutan (ranking/peringkat) pabrik gula dalam kelompok. Pemilihan PG berkinerja terbaik secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan PROMETHEE. Adapun model konseptual pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 50. Alternatif yang akan dipilih adalah seluruh pabrik gula pada setiap kelompok pabrik gula yang telah dihasilkan dari model pengelompokan. Kriteria dan bobot kriteria untuk pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan ditentukan

144 124 berdasarkan konfirmasi pakar (Lampiran 18). Kriteria yang digunakan adalah kinerja strategis,kinerja operasional, dan kinerja taktis. Bobot setiap kriteria adalah sama besar. Kinerja Strategis per kelompok PG Fungsi Kriteria Kinerja Operasional per kelompok PG Tipe Preferensi Peringkat kinerja PG Per kelompok Kinerja Taktis per kelompok PG Parameter (p) PROMETHEE Gambar 50 Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Berdasarkan pertimbangan pakar, masing-masing kriteria diidentifikasi untuk menetapkan fungsi kriteria akan dimaksimumkan atau diminimumkan (Lampiran 19). Kinerja terbaik secara keseluruhan dihasilkan dari kinerja terbaik untuk semua jenis kinerja. Oleh karena itu, masing-masing kriteria akan dimaksimumkan. Selanjutnya, ditentukan bentuk fungsi preferensi kriteria beserta parameternya untuk setiap kriteria. Untuk setiap pasangan kriteria-alternatif dibuat matriks payoff nya yang menunjukkan ukuran dari efek yang dihasilkan oleh alternatif berhubungan dengan kriteria tersebut. Matriks dapat berisi data ukuran cardinal atau skala ordinal. Setelah dilakukan evaluasi matriks, indeks preferensi multikriteria ditetapkan. Preferensi dinyatakan dengan angka antara 0 dan 1, dan dinilai berdasarkan fungsi preferensi yang telah ditentukan sebelumnya. Tahap akhir adalah menentukan PROMETHEE Ranking. Adapun hirarki keputusan pemilihan kinerja terbaik dapat di lihat pada Gambar 51 berikut ini :

145 125 Goal Pemilihan Kinerja Keseluruhan Terbaik Kriteria Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Alternatif Pabrik Gula 1 Pabrik Gula 2 Pabrik Gula... Pabrik Gula n Gambar 51 Hirarki Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik Bentuk fungsi preferensi kriteria beserta parameternya untuk setiap kriteria yaitu fungsi preferensi tiga (preferensi linier) dengan parameter 20. Pemilihan fungsi preferensi mempertimbangkan peningkatan secara linier untuk kategori setiap jenis kinerja dimana selisih antar kategori sebesar 20 ditetapkan sebagai parameternya. Adapun fungsi preferensi linier digambarkan sebagai berikut : H (d) d Gambar 52 Bentuk preferensi kriteria pemilihan kinerja terbaik Preferensi linier dapat menjelaskan bahwa selama nilai selisih memiliki nilai yang lebih rendah dari 20, preferensi dari pengambil keputusan meningkat secara linier dengan nilai d. Jika nilai d lebih besar dibandingkan dengan nilai 20, maka terjadi preferensi mutlak. d/p jika -20 d 20 H (d) = 1 jika d < -20 atau d > 20

146 126 Untuk setiap pasangan kriteria-alternatif dibuat matriks pay off nya yang menunjukkan ukuran dari efek yang dihasilkan oleh alternatif berhubungan dengan kriteria tersebut. Matriks dapat berisi data ukuran cardinal atau skala ordinal. Adapun bentuk matriks payoff nya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20. Matriks pay off tersebut di atas dibuat untuk setiap kelompok pabrik gula yang dilengkapi dengan data nilai kinerja. Tabel 20 Matriks Pay off Alternatif Kriteria PG 1 PG... PG n Tipe Preferensi Parameter f1 Kinerja Strategis Max Linier p = 20 f2 Kinerja Operasional Max Linier p = 20 f3 Kinerja Taktis Max Linier p = 20 Berdasarkan matriks pay off tersebut di atas melalui perbandingan berpasangan indeks preferensi multikriteria ditetapkan. Preferensi dinyatakan dengan angka antara 0 dan 1, dan dinilai berdasarkan fungsi preferensi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan ketentuan sebagai berikut : (a, b) 0, menunjukkan preferensi yang lemah untuk alternatif a lebih baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria. (a, b) 1, menunjukkan preferensi yang kuat untuk alternatif a lebih baik dari alternatif b berdasarkan semua kriteria. PROMETHEE Ranking ditentukan berdasarkan Partial Ranking dan Complete Ranking. Partial Ranking (PROMETHEE I) berdasarkan karakter leaving flow dan entering flow, yaitu diurutkan dari nilai terbesar sampai dengan terkecil. Sedangkan Complete Ranking (PROMETHEE II) berdasarkan karakter net flow dan nilainya diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil. Adapun nilai leaving flow, entering flow, dan net flow pada masing-masing alternatif ditentukan berdasarkan persamaan : leaving flow 1 (a) = a, x n 1 x A

147 127 entering flow net flow 1 (a) = x, a n 1 x A (a) = (a) - (a) Alternatif yang akan dipilih adalah seluruh pabrik gula pada setiap kelompok pabrik gula yang telah dihasilkan dari model pengelompokan. Nilai kinerja untuk setiap jenis kinerja pada PG setiap kelompok telah dihasilkan melalui model pengukuran kinerja. Adapun model pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan digambarkan sebagai berikut : Kinerja Strategis per kelompok PG Kinerja Operasional per kelompok PG Kinerja Taktis per kelompok PG Fungsi Kriteria = Maksimum Tipe Preferensi = Linier Parameter (p) = 20 PROMETHEE Peringkat kinerja PG Per kelompok Gambar 53 Model Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Alternatif yang akan dipilih adalah seluruh pabrik gula pada setiap kelompok pabrik gula yang telah dihasilkan dari model pengelompokan. Kriteria pemilihan PG berkinerja terbaik untuk setiap jenis kinerja ditentukan berdasarkan nilai kinerja. Input model berupa basis data yang diperlukan untuk pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja. Output dari model berupa urutan (ranking) pabrik gula per jenis kinerja dalam kelompok. Pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja dilakukan dengan menggunakan pendekatan Sorting.

148 128 Nilai kinerja Strategis PG per kelompok Sorting Urutan peringkat kinerja strategis PG dalam kelompok Nilai kinerja Operasional PG per kelompok Sorting Urutan peringkat kinerja operasional PG dalam kelompok Nilai kinerja taktis PG per kelompok Sorting Urutan peringkat kinerja taktis PG dalam kelompok Gambar 54 Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik per Jenis Kinerja Pendekatan Sorting menentukan urutan kinerja terbaik per jenis kinerja dengan melakukan perbandingan antar nilai kinerja perjenis kinerja untuk seluruh PG pada setiap kelompok PG. Nilai kinerja per jenis kinerja akan diurutkan dari yang nilainya terbesar sampai yang terkecil pada setiap kelompok. Algoritma yang digunakan untuk mengurutkan nilai kinerja perjenis kinerja yaitu selection sort. Dengan menggunakan algoritma selection sort, maka nilai kinerja yang paling tinggi (besar) di pilih dan diletakkan pada urutan pertama. Selanjutnya dipilih nilai kinerja yang paling tinggi (besar) dari nilai kinerja yang belum diurutkan dan diletakkan pada urutan ke dua. Proses tersebut dilakukan sampai dengan semua nilai kinerja telah diurutkan semua. Model pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja ditunjukkan pada Gambar 55. Nilai kinerja Strategis PG per kelompok Selection sort Sorting Urutan peringkat kinerja strategis PG dalam kelompok Nilai kinerja Operasional PG per kelompok Selection sort Sorting Urutan peringkat kinerja operasional PG dalam kelompok Nilai kinerja taktis PG per kelompok Selection sort Sorting Urutan peringkat kinerja taktis PG dalam kelompok Gambar 55 Model Pemilihan Kinerja Terbaik per Jenis Kinerja

149 129 Adapun skema pengambilan keputusan pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja digambarkan sebagai berikut : Nilai kinerja per jenis kinerja MULAI meletakkan nilai kinerja dalam satu struktur data memilih nilai kinerja tertinggi dalam struktur data dan meletakkan pada urutan mulai urutan pertama Ya Apakah masih ada nilai kinerja yang belum diurutkan? Tidak Urutan kinerja terbaik per jenis kinerja SELESAI Gambar 56 Skema Pengambilan Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik per Jenis Kinerja Model Analisis Praktek Terbaik Model Analisis Praktek Terbaik bertujuan untuk mengidentifikasi praktek terbaik yang menghasilkan kinerja terbaik. Identifikasi praktek terbaik dilakukan melalui studi dokumentasi dan masukan dari pakar. Input model berupa basis data yang diperlukan untuk analisis praktek terbaik. Output dari model berupa keterkaitan antar ukuran kinerja yang digunakan dan faktor penyebab yang cukup penting untuk dipertimbangkan serta identifikasi praktek terbaik yang bisa dilakukan pabrik gula. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis praktek terbaik adalah root cause analysis. Root cause analysis dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antar ukuran dan faktor penentu yang menentukan kinerja. Adapun model analisis praktek terbaik ditunjukkan pada Gambar 57 dan diagram alir model analisis praktek terbaik dapat dilihat pada Gambar 58.

150 130 Ukuran kinerja dan keterkaitannya Faktor penentu kinerja Root cause analysis Keterkaitan antar ukuran kinerja dan penentu kinerja serta praktek terbaiknya Praktek Terbaik Gambar 57 Model Analisis Praktek Terbaik Ukuran kinerja & keterkaitannya, faktor penentu kinerja, praktek terbaik MULAI Apakah keterkaitan antar ukuran kinerja telah lengkap? Ya Peta keterkaitan antar ukuran kinerja Tidak Memetakan kembali keterkaitan antar ukuran kinerja dengan lengkap Mengidentifikasi praktek terbaik untuk setiap ukuran kinerja Memetakan faktor penentu kinerja untuk setiap ukuran kinerja Keterkaitan antar ukuran kinerja dan penentu kinerja serta praktek terbaiknya SELESAI Gambar 58 Diagram Alir Model Analisis Praktek Terbaik Model Penentuan Prioritas Perbaikan Model penentuan prioritas perbaikan bertujuan untuk menentukan prioritas perbaikan yang harus dilakukan oleh PG. Input model berupa basis data yang diperlukan untuk penentuan prioritas perbaikan. Output dari model berupa

151 131 prioritas perbaikan yang harus dilakukan oleh PG terkait dengan ukuran kinerja dan saran perbaikannya. Penentuan prioritas perbaikan menggunakan pendekatan yang menyerupai framework yang dikembangkan oleh Davies dan Kochar (2000) berupa diagnostik atau penelusuran secara sistematis untuk memilih praktek terbaik. Penelusuran secara sistematis dilakukan pada setiap kelompok pabrik gula. Untuk pabrik gula yang akan diperbaiki kinerja keseluruhan, kinerja setiap jenis kinerja, dan kinerja setiap ukuran kinerja akan diperbandingkan dengan kinerja pabrik gula lain dalam kelompoknya. Gambar 59 di bawah ini menunjukkan model penentuan prioritas perbaikan : Kelompok PG Nilai kinerja per jenis kinerja Nilai ukuran kinerja Praktek terbaik diagnostic Prioritas perbaikan kinerja dan saran perbaikan Gambar 59 Model Penentuan Prioritas Perbaikan Alternatif PG yang akan diperbaiki adalah seluruh pabrik gula pada setiap kelompok pabrik gula yang telah dihasilkan dari model pengelompokan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas perbaikan adalah nilai nilai kinerja per jenis kinerja, dan nilai kinerja setiap ukuran kinerja. Bobot kriteria untuk menentukan prioritas perbaikan ditentukan berdasarkan pertimbangan pakar yaitu sama besar untuk setiap kriteria. Adapun diagram alir Model penentuan prioritas perbaikan dapat dilihat pada Gambar 60. Penentuan prioritas perbaikan pabrik gula per jenis kinerja dilakukan dengan membandingkan nilai kinerja per jenis kinerja untuk setiap kelompok. Pabrik gula yang memiliki nilai kinerja dengan urutan prioritas (peringkat) selain peringkat 1 ditetapkan sebagai pabrik gula yang memiliki prioritas untuk diperbaiki kinerjanya (per jenis kinerja). Sebagai contoh yaitu kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian yang menggunakan metode sulfitasi dengan skala

152 132 pabrik besar terdiri dari PG X, PG Y, dan PG Z. Untuk kinerja strategis peringkat 1 adalah PG Z maka pabrik gula yang memiliki prioritas untuk diperbaiki kinerja strategisnya adalag PG X dan PG Y. Nilai kinerja per jenis kinerja, nilai per ukuran kinerja, praktek terbaik MULAI PG memiliki nilai kinerja strategis Terbaik? Tidak Prioritas PG yang diperbaiki kinerja strategisnya Ada nilai ukuran kinerja bukan terbaik? Ya Prioritas perbaikan kinerja strategis dan saran perbaikan Ya Tidak PG memiliki kinerja operasional Terbaik? Tidak Prioritas PG yang diperbaiki kinerja operasionalnya Ya Tidak Ada nilai ukuran kinerja bukan terbaik? Ya Prioritas perbaikan kinerja operasional dan saran perbaikan SELESAI Gambar 60 Skema Pengambilan Keputusan Prioritas Perbaikan Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk ukuran kinerja pada setiap jenis kinerja. Untuk ukuran kinerja yang sama, nilainya akan diperbandingkan antar pabrik gula dalam kelompok. Ukuran kinerja yang memiliki potensi untuk diperbaiki adalah nilai ukuran kinerja yang bukan nilai terbaik dalam kelompok. Adapun penentuan nilai ukuran kinerja terbaik berdasarkan nilai kinerja tertinggi, kecuali untuk ukuran kinerja umur mesin, hilang dalam proses, dan jam henti

153 133 giling ditentukan berdasarkan nilai paling rendah. Pabrik gula yang memiliki nilai ukuran kinerja bukan yang terbaik maka prioritas perbaikannya adalah ukuran kinerja tersebut. Saran perbaikan diberikan sesuai dengan hasil identifikasi praktek terbaik. 5.4 Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi model dilakukan pada setiap sub model melalui perunutan secara terstruktur, yaitu dengan menjelaskan model berdasarkan komponenkomponen model beserta argumentasi yang menjadi dasar penentuan pada setiap komponen model. Proses verifikasi model dilakukan dengan konsultasi dan konfirmasi pakar yang terkait dengan sistem yang dimodelkan. Validasi model bertujuan untuk menentukan ketepatan dan kecermatan suatu model dalam melakukan fungsinya sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Validasi model dilakukan pada setiap sub model dengan uji coba menggunakan data kinerja 11 pabrik gula yang terdiri dari enam pabrik gula berskala kecil (kapasitas giling < 3000 TCD), dua pabrik gula berskala menengah (kapasitas giling 3000 sampai dengan 6000 TCD), dan tiga pabrik gula berskala besar (kapasitas giling > 6000 TCD). Adapun metode yang digunakan pada proses pemurnian nira adalah sama yaitu sulfitasi. Data yang digunakan adalah data kinerja pabrik gula yang ada di PTPN X pada tahun Model dikatakan valid apabila model dapat melakukan fungsinya dan telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model Model Pengelompokan Berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula yang telah ditentukan dan jumlah pabrik gula pada PTPN X maka hirarki keputusan untuk pengelompokan pabrik gula seperti yang ditunjukkan pada Gambar 61. Berdasarkan proses pemurnian yang digunakan pada PTPN X, maka 11 pabrik gula dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu : 1) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala besar, 2) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala menengah dan 3) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala kecil.

154 134 Goal Pengelompokan Pabrik Gula Kriteria Metode dalam proses pemurnian Skala Pabrik Gula Alternatif PG 1 PG 2 PG 3 PG 4 PG 5 PG 6 PG 7 PG 8 PG 9 PG 10 PG 11 Gambar 61 Hirarki Pengelompokan Pabrik Gula Berdasarkan data pada Tabel 21 dan skema pengambilan keputusan pengelompokan pabrik gula maka matriks keputusan untuk pengelompokan pabrik gula pada PTPN X ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 21 Daftar Karakteristik Pembeda PG PTPN X Nama Pabrik Kode Pabrik Proses Pemurnian Kapasitas Giling (TTH) Watoetoelis PG 1 Sulfitasi 2350 Toelangan PG 2 Sulfitasi 1400 Kremboong PG 3 Sulfitasi 1600 Gempolkrep PG 4 Sulfitasi 6600 Djombang Baru PG 5 Sulfitasi 2600 Tjoekir PG 6 Sulfitasi 3200 Lestari PG 7 Sulfitasi 3850 Meritjan PG 8 Sulfitasi 2450 Pesantren Baru PG 9 Sulfitasi 6200 Ngadiredjo PG 10 Sulfitasi 6200 Modjopangoong PG 11 Sulfitasi 2750 Label 0 pada kriteria proses pemurnian menunjukkan bahwa proses pemurnian pabrik gula bukan karbonatasi. Sedangkan untuk skala pabrik gula, label 1 menunjukkan skala pabrik kecil, 0-1 menunjukkan skala pabrik menengah, dan 0-0 menunjukkan skala pabrik besar.

155 135 Tabel 22 Matriks Keputusan Pengelompokan Pabrik Gula pada PTPN X Alternatif Kriteria Pabrik Proses Pemurnian Skala Pabrik PG PG PG PG PG PG PG PG PG PG PG Hasil pengelompokan pabrik gula pada PTPN X dengan menggunakan model pengelompokan pabrik gula dapat di lihat pada Tabel 23. Hasil pengelompokan pabrik gula pada PTPN X menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok pabrik gula yaitu 1) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala besar, 2) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala menengah, 3) pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala kecil. Tabel 23 Hasil Pengelompokan Pabrik Gula Proses Skala Pabrik Pemurnian Pabrik Sulfitasi Besar PG 4 PG 9 PG 10 Menengah PG 6 PG 7 Kecil PG 1 PG 2 PG 3 PG 5 PG 8 PG 11

156 136 Berdasarkan Tabel 23 tersebut di atas dapat diketahui bahwa jumlah pabrik gula dalam kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala besar ada tiga, jumlah pabrik gula dalam kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala menengah ada dua, sedangkan jumlah pabrik gula dalam kelompok pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi yang berskala kecil ada enam. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada pada PTPN X. Hasil pengelompokan tersebut di atas menunjukkan bahwa model pengelompokan pabrik gula yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Oleh karena itu, model pengelompokan pabrik gula dapat direkomendasikan sebagai model pengelompokan pabrik gula yang merupakan bagian dari model analisis perbaikan kinerja pabrik gula Model Pengukuran Kinerja Berdasarkan kriteria pengukuran kinerja yang telah ditentukan dan jumlah pabrik gula pada PTPN X maka hirarki keputusan untuk pengukuran kinerja seluruh pabrik gula di bawah manajemen PTPN X dapat di lihat pada Gambar 62 berikut ini : Goal Pengukuran Kinerja Pabrik Gula Faktor Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Kriteria UM KG JT KT HP JHG OR EK HG R Alternatif PG 1 PG 2 PG 3 PG 4 PG 5 PG 6 PG 7 PG 8 PG 9 PG 10 PG 11 Gambar 62 Hirarki Keputusan Pengukuran Kinerja PTPN

157 137 Adapun data setiap ukuran kinerja adalah sebagai berikut : Tabel 24 Data Kinerja setiap Ukuran Kinerja Pabrik UM KG JT KT HP JHG OR EK HG R PG PG PG PG PG PG PG PG PG PG PG Berdasarkan data tersebut di atas, kualifikasi ukuran kinerja (Tabel 12), skema pengambilan keputusan pengukuran kinerja (Gambar 43), dan aturan yang telah di tetapkan (Lampiran 15 dan 16) maka hasil konversi nilai ukuran kinerja ke dalam linguistic label (kategori rendah, sedang, atau tinggi) dan kesimpulannya ditunjukkan pada matriks keputusan untuk setiap jenis kinerja. Tabel 25 di bawah ini menunjukkan matriks keputusan untuk kinerja strategis. Tabel 25 Matriks Keputusan untuk Kinerja Strategis Pabrik Umur Mesin Kapasitas Giling Jumlah Tebu Kualitas Tebu Kinerja Strategis PG 1 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 2 Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang PG 3 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 4 Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang PG 5 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 6 Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang PG 7 Rendah Sedang Sedang Sedang Rendah PG 8 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang PG 9 Rendah Tinggi Tinggi Sedang Sedang PG 10 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang PG 11 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang

158 138 Tabel 26 di bawah ini menunjukkan matriks keputusan untuk kinerja operasional. Tabel 26 Matriks Keputusan untuk Kinerja Operasional Pabrik Hilang dalam Proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional PG 1 Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah PG 2 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 3 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 4 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 5 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 6 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 7 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 8 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang PG 9 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 10 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 11 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Tabel 27 di bawah ini menunjukkan matriks keputusan untuk kinerja taktis. Tabel 27 Matriks Keputusan untuk Kinerja Taktis Pabrik Hablur Gula Rendemen Kinerja Taktis PG 1 Rendah Sedang Rendah PG 2 Sedang Sedang Sedang PG 3 Sedang Tinggi Sedang PG 4 Sedang Sedang Sedang PG 5 Sedang Tinggi Sedang PG 6 Tinggi Tinggi Tinggi PG 7 Sedang Sedang Sedang PG 8 Sedang Tinggi Sedang PG 9 Sedang Tinggi Sedang PG 10 Tinggi Tinggi Tinggi PG 11 Sedang Tinggi Sedang

159 139 Setelah hasil pengukuran dikonfirmasi oleh pakar (Lampiran 17), selanjutnya, hasil pengukuran kinerja tersebut dikonversi menjadi nilai kinerja per jenis kinerja dalam bentuk crisp dengan proses defuzzifikasi. Proses defuzzifikasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa software Matlab Adapun hasil defuzzifikasi adalah sebagai berikut : Tabel 28 Hasil Defuzzifikasi Pabrik Gula Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis PG 1 31, ,8 PG ,5 65 PG 3 PG 4 PG 5 44, ,7 30,6 35, ,7 65 PG ,9 85,1 PG 7 37,3 30,2 65 PG 8 PG 9 PG ,3 30, ,1 PG Kesesuaian hasil defuzzifikasi dalam bentuk crisp dengan kesimpulan yang dihasilkan dari matriks keputusan ditunjukkan pada Tabel 29, Tabel 30, dan Tabel 31. Tabel 29 Kesesuaian Hasil Defuzzifikasi untuk Kinerja Strategis Pabrik Gula Kinerja Strategis Hasil Defuzzifikasi Kesesuaian PG 1 Rendah 31.8 PG 2 Sedang 65 PG 3 Rendah 44,9 PG 4 Sedang 65 PG 5 Rendah 33 PG 6 Sedang 65 PG 7 Rendah 37,3 PG 8 Sedang 65 PG 9 Sedang 65 PG 10 Sedang 65 PG 11 Sedang 65

160 140 Tabel 30 Kesesuaian Hasil Defuzzifikasi untuk Kinerja Operasional Pabrik Gula Kinerja Operasional Hasil Defuzzifikasi Kesesuaian PG 1 Rendah 30 PG 2 Rendah 39,5 PG 3 Rendah 38,7 PG 4 Rendah 30,6 PG 5 Rendah 35,9 PG 6 Rendah 29,9 PG 7 Rendah 30,3 PG 8 Sedang 65 PG 9 Rendah 30,3 PG 10 Rendah 30,2 PG 11 Rendah 31 Tabel 31 Kesesuaian Hasil Defuzzifikasi untuk Kinerja Taktis Pabrik Gula Kinerja Taktis Hasil Defuzzifikasi Kesesuaian PG 1 Rendah 36,8 PG 2 Sedang 65 PG 3 Sedang 65 PG 4 Sedang 72,7 PG 5 Sedang 65 PG 6 Tinggi 85,1 PG 7 Sedang 65 PG 8 Sedang 74 PG 9 Sedang 74 PG 10 Tinggi 85,1 PG 11 Sedang 65 Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa model pengukuran kinerja yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Oleh karena itu, model pengukuran kinerja dapat direkomendasikan sebagai model pengukuran kinerja pabrik gula yang merupakan bagian dari model perbaikan kinerja pabrik gula.

161 Model Pemilihan Kinerja Terbaik Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Hirarki keputusan pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan pada PTPN X adalah sebagai berikut : Goal Pemilihan Kinerja Keseluruhan Terbaik Kriteria Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Alternatif PG 1 PG 2 PG 3 PG 4 PG 5 PG 6 PG 7 PG 8 PG 9 PG 10 PG 11 Gambar 63 Hirarki Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik secara Keseluruhan Matriks pay off untuk setiap kelompok pabrik gula yang dilengkapi dengan data nilai kinerja ditunjukkan pada Tabel 32 untuk kelompok skala kecil, Tabel 33 untuk kelompok skala menegah, dan Tabel 34 untuk kelompok skala besar. Tabel 32 Matriks Pay Off Skala Kecil f1 f2 f3 Alternatif Kriteria PG 1 PG 2 PG 3 PG 5 PG 8 PG 11 Preferensi Parameter Kinerja Strategis Max 31, , Linier p = 20 Kinerja Operasional Max 30 39, , Linier p = 20 Kinerja Taktis Max Linier p = 20 Tabel 33 Matriks Pay Off Skala Menengah Alternatif Kriteria PG 6 PG 7 Tipe Preferensi Parameter f1 Kinerja Strategis Max 65 37,3 Linier p = 20 f2 Kinerja Operasional Max 29, Linier p = 20 f3 Kinerja Taktis Max Linier p = 20

162 142 Tabel 34 Matriks Pay Off Skala Besar Alternatif Kriteria PG 4 PG 9 PG 10 Tipe Preferensi Parameter f1 Kinerja Strategis Max Linier p = 20 f2 Kinerja Operasional Max 30,6 30,3 30,2 Linier p = 20 f3 Kinerja Taktis Max Linier p = 20 Berdasarkan matriks pay off tersebut di atas dilakukan perbandingan berpasangan untuk setiap kriteria, perhitungan leaving flow (LF), entering flow (EF), net flow (NF), dan rangking pabrik gula. Adapum hasilnya untuk setiap kelompok pabrik gula ditunjukkan pada Tabel 35, Tabel 36, dan Tabel 37. Tabel 35 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Skala Kecil PG 1 PG 2 PG 3 PG 5 PG 8 PG 11 LF EF NF PG ,892-0,226-0,5-0, ,375-0,725 6 PG 2 0, ,173 0,125 0,25 0,071 0,216-0,082 0,298 2 PG 3 0,348-0, ,076-0,49-0,005-0,049-0,069 0,02 4 PG 5 0,226-0,125-0, ,49-0,126-0,118 0,102-0,22 5 PG 8 0,5-0,25 0,408 0, ,216 0,257-0,289 0,546 1 PG 11 0,342-0,071 0,043 0,126-0, ,045-0,037 0,082 3 Rangking Tabel 36 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Skala Menengah PG 6 PG 7 LF EF NF Rangking PG ,02 1,98 1 PG 7 0,02 0 0,02 2-1,98 2 Tabel 37 Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Skala Besar PG 4 PG 9 PG 10 LF EF NF Rangking PG 4 0-0,017-0,02-0,108 0,108-0,217 3 PG 9 0, ,002 0,009 0,051-0,04 2 PG 10 0,207 0, ,159-0,099 0,258 1

163 143 Hasil akhir berupa peringkat kinerja keseluruhan untuk setiap pabrik gula pada setiap kelompok diperlihatkan pada Tabel 38, adapun pabrik gula berkinerja terbaik secara keseluruhan pada setiap kelompok pabrik gula ditetapkan berdasarkan peringkat tertinggi atau peringkat 1. Tabel 38 Peringkat Kinerja Keseluruhan Proses Peringkat Kinerja Pemurnian Pabrik Keseluruhan Sulfitasi Besar 1 PG 10 2 PG 9 3 PG 4 Menengah 1 PG 6 2 PG 7 Kecil 1 PG 8 2 PG 2 3 PG 11 4 PG 5 5 PG 3 6 PG 1 Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja Hasil akhir berupa peringkat kinerja untuk setiap pabrik gula pada setiap kelompok pabrik gula diperlihatkan pada Tabel 39 untuk kinerja strategis, Tabel 40 untuk kinerja operasional, dan Tabel 41 untuk kinerja taktis, adapun pabrik gula berkinerja terbaik untuk setiap jenis kinerja pada setiap kelompok pabrik gula ditetapkan berdasarkan peringkat tertinggi atau peringkat 1. Tabel 39 Peringkat Kinerja Strategis Proses Peringkat Kinerja Pemurnian Pabrik Strategis Sulfitasi Besar 1 PG 4, 9, 10 Menengah 1 PG 6 2 PG 7 Kecil 1 PG 2, 8, 11 2 PG 3 3 PG 5 4 PG 1

164 144 Tabel 40 Peringkat Kinerja Operasional Proses Peringkat Kinerja Pemurnian Pabrik Operasional Sulfitasi Besar 1 PG 4 2 PG 9 3 PG 10 Menengah 1 PG 7 2 PG 6 Kecil 1 PG 8 2 PG 2 3 PG 3 4 PG 5 5 PG 11 6 PG 1 Tabel 41 Peringkat Kinerja Taktis Proses Peringkat Kinerja Pemurnian Pabrik Taktis Sulfitasi Besar 1 PG 10 2 PG 9 3 PG 4 Menengah 1 PG 6 2 PG 7 Kecil 1 PG 8 2 PG 2,3,5,11 3 PG 1 Hasil pemilihan kinerja terbaik tersebut di atas menunjukkan bahwa model pemilihan PG berkinerja terbaik yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Oleh karena itu, model pemilihan PG berkinerja terbaik dapat direkomendasikan sebagai model yang merupakan bagian dari model analisis perbaikan kinerja pabrik gula Model Analisis Praktek Terbaik Berdasarkan hasil identifikasi keterkaitan antar ukuran kinerja pada kinerja strategis - kinerja operasional - dan kinerja taktis yang telah dilakukan sebelumnya (Gambar 45), dilakukan pemeriksaan kembali keterkaitan antar

165 145 ukuran kinerja khususnya antar ukuran kinerja per jenis kinerja. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perlu dilakukan pemetaan kembali keterkaitan antar ukuran kinerja dengan lengkap. Selanjutnya, hasil identifikasi praktek terbaik yang dilakukan melalui studi dokumentasi dan masukan dari pakar adalah sebagai berikut : Umur Mesin Umur mesin mempengaruhi efisiensi proses produksi gula, semakin kecil (baru) umur mesin semakin efisien proses produksinya. Beberapa contoh telah dijelaskan pada uraian mengenai ukuran kinerja khususnya tentang umur mesin. Peremajaan mesin perlu memperhatikan kesesuaiannya dengan kapasitas giling yang dimiliki pabrik gula dan apabila memungkinkan dapat memilik mesin dengan teknologi terbaru. Beberapa contoh teknologi baru yaitu : 1) teknologi hidraulik pada mesin giling, 2) teknologi falling plate evaporator pada mesin penguapan, 3) teknologi kogenerasi untuk pembangkit listrik. Kapasitas Giling Kapasitas giling yang ekonomis yaitu 3000 ton tebu dalam satu hari.pabrik gula dengan kapasitas terpasang 3000 ton per hari harus di dukung dengan pasokan bahan baku yang sesuai agar seluruh kapasitas terpasangnya dapat digunakan seluruhnya. Apabila pasokan tebu tidak terpenuhi (di bawah kapasitas terpasang) akan menyebabkan idle capacity dan meningkatnya jam henti giling, dengan demikian efisiensi proses produksi menjadi berkurang. Jumlah Tebu Untuk menghasilkan jumlah tebu sesuai dengan kebutuhan maka diperlukan perhatian terhadap hal-hal berikut ini : 1) Lahan, 2) Luas lahan, 3) Pemeliharaan tanaman tebu, dan 4) Pemupukan. Tanah yang terbaik untuk ditanami tebu adalah tanah subur dan cukup air (jangan sampai menggenangi tanah yang hendak di tanami). Terdapat dua jenis lahan yaitu lahan kering (tegalan) dan lahan irigasi (reynoso). Luas lahan berpengaruh terhadap jumlah tebu yang dihasilkan. Meningkatnya nilai lahan dan kemudahan konversi lahan mengakibatkan pemilik lahan dengan mudah beralih

166 146 dari menanam tebu ke tanaman lainnya atau menjadikan lahan tanaman tebu menjadi lahan pemukiman dan sebagainya. Pemeliharaan perlu dilakukan mengingat setelah proses penanaman selesai ada kemungkinan beberapa tanaman gagal tumbuh dan mengatasi ganguan gulma. Untuk tanaman yang gagal tumbuh (kurang dari 50%) dapat dilakukan penyulaman yang sesuai dengan jenis bibit yang digunakan, namun jika yang terjadi adalah matinya 50% tanaman maka perlu dilakukan penyulaman bongkaran. Untuk tanaman yang berasal dari bibit rayungan dan dederan, penyulaman dilakukan sepekan setelah pertama kali ditanam diikuti dengan penyiraman. Kemudian dilakukan penyulaman yang ke dua pada tiga sampai empat minggu setelah penyulaman pertama. Untuk tanaman yang berasal dari bibit pucuk, penyulaman pertama dilakukan pada minggu ke tiga, selanjutnya berikutnya dikerjakan bersamaan dengan pemupukan dan penyiraman ke dua pada satu bulan 15 hari setelah tanam pertama. Tanaman tebu yang masih tunas ditimbun dengan tanah (proses pembumbunan), pembumbunan pertama dilakukan pada waktu tanaman berumur empat sampai enam minggu. Pembumbunan ke dua dilakukan pada waktu tanaman berumur dua bulan, selanjutnya pembumbunan ke tiga pada waktu tanaman sudah berumur tiga bulan. Setelah tanaman tebu berumur enam bulan, perlu dilakukan perampalan (membersihkan daun-daun kering pada batang tebu). Perampalan yang ke dua dilakukan pada saat tebu berumur 10 sampai 12 bulan. Untuk mengatasi ganguan gulma perlu dilakukan penyiangan dengan herbisida yang dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Desember. Pemumpukan, pada umumnya dilakukan sebanyak dua kali. Dosis pemupukan sangat tergantung hasil analisa tanah di setiap daerah. Pada umumnya, setiap hektare lahan memerlukan 150 kg SP-36, 600 sampai dengan 700 kg ZA, dan 200 kg KCl. Untuk merangsang agar rendemen dan berat tebu bertambah, diperlukan tambahan berupa zat pengatur tumbuh atau pupuk daun. Cara pemberian pupuk yaitu dengan meletakkan pupuk pada lubang sejauh tujuh sampai dengan sepuluh Cm dari bibit, selanjutnya di timbun dengan tanah kembali dan dilakukan penyiraman. Pemupukan dan penyiraman harus selesai dalam satu hari.

167 147 Kualitas Tebu Untuk menghasilkan kualitas tebu sesuai dengan kebutuhan maka diperlukan perhatian terhadap hal-hal berikut ini : 1) Bibit, 2) Iklim, 3) Lahan, 4) Cara tanam, 5) waktu tanam, 6) Pemeliharaan, 7) Pemupukan, 8) Pengairan, 9) Panen. Bibit unggul, murni, dan sehat yang mampu menghasilkan batang yang segar, besar, berkadar gula tinggi, dan relatif lebih tahan hama. Beberapa varietas unggul yang dikembangkan di Indonesia antara lain yaitu PS 851, PS , PA 198, dan PA Dari jenisnya, bibit dapat berupa : bibit pucuk, bibit mentah (krecekan), bibit rayungan, dan bibit transgenik. Tanaman tebu akan tumbuh dengan baik pada daerah beriklim panas (suhu derajat celcius) dan lembab ( di atas 70). Lubang tanam dibuat berupa parit dengan kedalaman 40 cm, jarak antara lubang tanam diatur sejauh 1 m. Tanah galian ditumpuk di atas larikan di antara lubang tanam hingga membentuk guludan. Setelah tanam, tanah guludan dipindahkan ke tempat semula. Waktu tanam terbaik disesuaikan dengan lahan yang digunakan. Pada umumnya, waktu tanam untuk lahan irigasi pada bulan Juni hingga Agustus, sedangkan untuk lahan kering (tegalan) pada awal musim hujan. Penyiraman dilakukan ketika tebu masih muda, kemudian pada waktu berumur tiga bulan, dan disirami lagi pada masa vegetatif. Penyiraman dikurangi pada masa pematangan. Cara penyiraman dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu 1) air dari bendungan atau embung dialirkan melalui saluran penanaman, 2) membendung got-got sehingga air mengalir ke tanaman, 3) mengambil air siraman dari saluran pengairan, dan 4) air dipompa dari sumber-sumbernya dan disiramkan ke tanaman. Usia panen tebu tergantung pada varietas yang digunakan. Untuk tebu varietas genjah (masak awal) panen dilakukan pada usia kurang dari 12 bulan, untuk tebu varietas (masak tengah) panen dilakukan pada usia 12 sampai 14 bulan, sedangkan untuk varietas dalam (masak lambat) panen dilakukan pada usia 14 sampai 15 bulan. Panen dilakukan satu kali di akhir musim hujan. Pada waktu panen, pangkal tebu dipotong dengan sisa maksimal lima Cm batang di atas permukaan tanah, kemudian diikat sebanyak 30 hingga 50 batang tebu untuk di

168 148 bawa ke pabrik dan siap digiling. Beberapa hal yang terkait dengan panen telah dijelaskan pada Bab 4 khususnya pada penjelasan mengenai bahan baku. Hilang dalam Proses Seperti yang telah diuraikan pada penjelasan mengenai ukuran kinerja, kehilangan gula selama proses di pabrik gula terjadi pada proses pasca panen, stasiun gilingan dan proses pabrikasi. Untuk meminimalkan kehilangan gula pada proses pasca panen maka tebu paling lambat digiling 24 jam setelah ditebang. Kehilangan gula pada stasiun gilingan disebabkan karena menurunnya ekstraksi gilingan akibat tebu banyak trash (kotoran) nya, oleh karena itu tebu yang digiling harus dalam keadaan bersih. Selain itu, pada stasiun gilingan juga memungkinkan terjadinya sumber kehilangan gula secara kimiawi dan mikrobiologis. Oleh karena itu perlu menjaga kebersihan gilingan (cuci gilingan, steam washing secara periodik), dan pemakaian biosida. Adapun kehilangan gula pada proses pabrikasi dapat diminimalkan dengan menjaga kebersihan tebu yang digiling (terutama tanah), skema masakan yang benar, pengendalian Harkat Kemurnian (HK), pemberian air pada gilingan, tidak ada saringan yang bocor, serta suhu dan ph yang sesuai. Jam Henti Giling Jam henti giling dapat ditekan serendah mungkin jika penyebab dapat diantisipasi dan dikurangi. Penyebab jam henti giling ada dua yaitu : 1) ketersediaan bahan baku dan 2) rusaknya mesin atau peralatan produksi. Oleh karena itu ketersediaan bahan baku (tebu) harus disesuaikan dengan kapasitas giling yang dimiliki oleh pabrik gula, kurangnya tebu akan menyebabkan pabrik gula berhenti giling sedangkan kelebihan tebu akan menyebabkan kerusakan pada mesin-mesin produksi. Selain itu, rusaknya mesin dapat disebabkan karena kondisi mesin yang sudah usang (tua) dan kurangnya perawatan. Overall Recovery Seperti yang diuraikan pada penjelasan mengenai ukuran kinerja, pada dasarnya Overall Recovery menunjukkan efisiensi pabrik gula secara keseluruhan yang merupakan kinerja stasiun gilingan dan stasiun pengolahan. Efisiensi pada stasiun gilingan ditentukan oleh jumlah roll gilingan, tekanan hydraulik yang efektif, derajat perpecahan sel, drainase dan sifat-sifat phisis serat.

169 149 Efisiensi Ketel Untuk mempertahankan efisiensi pada ketel uap diperlukan operasi steady yang seragam. Oleh karena itu, supplai kuantitas dan kualitas bagasse harus konstan. Selain itu, supplai udara harus diatur terhadap kecepatan bagasse. Berdasarkan hasil identifikasi praktek terbaik tersebut di atas, dapat dipetakan faktor penentu kinerja untuk setiap ukuran kinerja. Adapun hasilnya ditunjukkan pada Gambar 64. Hasil Root cause analysis tersebut telah dikonfirmasi oleh pakar. Hasil analisis praktek terbaik menunjukkan bahwa model analisis praktek terbaik yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Oleh karena itu, model analisis praktek terbaik dapat direkomendasikan sebagai model analisis praktek terbaik yang merupakan bagian dari model analisis perbaikan kinerja pabrik gula Model Penentuan Prioritas Perbaikan Berdasarkan nilai kinerja per jenis kinerja pada setiap kelompok pabrik gula (Tabel 28) dan peringkat kinerja per jenis kinerja pada setiap kelompok pabrik gula (Tabel 39 dan Tabel 40) dapat diidentifikasi pabrik gula yang memiliki kinerja terbaik (( ) untuk kinerja strategis pada setiap kelompok pabrik gula. Hasil identifikasi ditunjukkan pada Tabel 42. Tabel 42 Kinerja Strategis Terbaik Proses Pemurnian Skala Pabrik Pabrik Gula Kinerja Strategis Sulfitasi Besar PG 4 ( ) PG 9 ( ) PG 10 ( ) Menengah PG 6 ( ) PG 7 (-) Kecil PG 1 (-) PG 2 ( ) PG 3 (-) PG 5 (-) PG 8 ( ) PG 11 ( )

170 150 Kinerja Keseluruhan Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Kualitas Tebu Kapasitas Giling Jumlah Tebu Umur Mesin Hilang Dalam Proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Jumlah Hablur Gula Rendemen Bibit Iklim Jenis Lahan Cara tanam Luas Lahan Kesesuaian dengan kapasitas giling Kesesuaian antar mesin Pasca Panen Stasiun Gilingan Proses Pabrikasi Mesin kurang perawatan Roll Gilingan Tekanan Hydraulik Jumlah Bagasse Kualitas Bagasse Pasokan udara Waktu tanam Pengairan Jenis Teknologi Drainase Pemupukan Ketepatan Waktu Giling Pemeliharaan Panen Kebersihan Gilingan Kebersihan Tebu Pemberian air pada gilingan Skema masakan Pengendalian Harkat Kemurnian Kesesuaian Suhu & PH Gambar 64 Root Cause Tree Analisis Praktek Terbaik

171 151 Tabel 42 tersebut di atas dapat menunjukkan bahwa prioritas perbaikan kinerja strategis adalah pada PG yang bertanda (-). Selanjutnya, PG yang bertanda (-) akan diperiksa nilai ukuran kinerja strategisnya (sesuai dengan Tabel 24). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa prioritas perbaikan kinerja strategis adalah pada ukuran kinerja yang bertanda ( ), yang ditunjukkan pada Tabel 43. Tabel 43 Prioritas Perbaikan Kinerja Strategis Pabrik UM KG JT KT PG 1 ( ) ( ) - ( ) PG 3 ( ) ( ) - ( ) PG 5 ( ) ( ) - ( ) PG ( ) ( ) Untuk PG yang memiliki kinerja strategis terbaik atau tidak ada nilai ukuran kinerja strategis bukan yang terbaik atau telah ditentukan prioritas perbaikan kinerja strategisnya, dilakukan pemeriksaan pada kinerja operasionalnya. Adapun hasilnya ditunjukkan pada Tabel 44. Tabel 44 tersebut menunjukkan bahwa prioritas perbaikan kinerja operasional adalah pada PG yang bertanda (-). Selanjutnya, PG yang bertanda (-) akan diperiksa nilai ukuran kinerja operasionalnya (sesuai dengan Tabel 24). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa prioritas perbaikan kinerja operasional adalah pada ukuran kinerja yang bertanda ( ), yang ditunjukkan pada Tabel 45. Tabel 44 Kinerja Operasional Terbaik Proses Pemurnian Skala Pabrik Pabrik Gula Kinerja Operasional Sulfitasi Besar PG 4 ( ) PG 9 (-) PG 10 (-) Menengah PG 6 ( ) PG 7 (-) Kecil PG 1 (-) PG 2 (-) PG 3 (-) PG 5 (-) PG 8 ( ) PG 11 (-)

172 152 Tabel 45 Prioritas Perbaikan Kinerja Operasional Skala Pabrik HP JHG OR EK Pabrik Besar PG 9 ( ) ( ) ( ) ( ) Menengah PG 10 PG 6 (-) (-) (-) (-) (-) (-) ( ) ( ) PG 7 ( ) ( ) ( ) (-) Kecil PG 1 ( ) ( ) ( ) ( ) PG 2 ( ) (-) ( ) ( ) PG 3 ( ) ( ) ( ) ( ) PG 5 ( ) ( ) ( ) (-) PG 11 (-) ( ) ( ) ( ) Adapun secara keseluruhan prioritas perbaikan kinerja ditunjukkan pada Tabel 46. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model penentuan prioritas perbaikan yang dirancangbangun telah sesuai dengan tujuan rancangbangun model. Oleh karena itu, model penentuan prioritas perbaikan dapat direkomendasikan sebagai model penentuan prioritas perbaikan pabrik gula yang merupakan bagian dari model perbaikan kinerja pabrik gula. Pabrik Gula PG 9 PG 10 PG 6 PG 7 - Tabel 46 Prioritas Perbaikan untuk Setiap Pabrik Gula Kinerja Strategis - - Jumlah Tebu, Kualitas Tebu Kinerja Operasional Hilang dalam Proses, Jam Henti Giling, Overall Recovery, Efisiensi Ketel Efisiensi Ketel Efisiensi Ketel - PG 1 Umur Mesin, Kapasitas Giling, Kualitas Tebu Hilang dalam Proses, Jam Henti Giling, Overall Recovery, Efisiensi Ketel PG 2 - Hilang dalam Proses, Overall PG 3 PG 5 Umur Mesin, Kapasitas Giling, Kualitas Tebu Umur Mesin, Kapasitas Giling, Kualitas Tebu Recovery, Efisiensi Ketel Hilang dalam Proses, Jam Henti Giling, Overall Recovery, Efisiensi Ketel Hilang dalam Proses, Jam Henti Giling, Overall Recovery PG 11 - Jam Henti Giling, Overall Recovery, Efisiensi Ketel

173 IMPLEMENTASI MODEL Model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja dirancangbangun untuk membantu pengambil keputusan dalam hal menentukan kinerja (pengukuran kinerja), target kinerja (kinerja terbaik), dan prioritas perbaikan kinerja. Proses pengambilan keputusan bersifat sekuensial dan setiap tahapan model menghasilkan keputusan yang dapat digunakan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan berikutnya. Adapun model terintegrasi untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula ditunjukkan pada Gambar 65 berikut ini : Pengukuran kinerja Analisis Praktek Terbaik Penentuan Prioritas Perbaikan Kondisi Riil Industri Gula Mesin inferensi Parameter If then rule Root Cause Analysis Konsep-konsep perbaikan kinerja Fuzzy Expert System Keseluruhan Maximum Diagnostic Jumlah Kelompok = 6 Linier p = 20 Pengetahuan Pakar Kesamaan ukuran : Asosiasi & korelasi Klasifikasi PROMETHEE Per Jenis Kinerja Sorting Prioritas perbaikan Saran Perbaikan Pengelompokan Pemilihan kinerja terbaik Gambar 65 Model Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula 6.1 Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja dilakukan pada PTPN X yang terdiri dari 11 pabrik gula dengan bantuan software Matlab Dengan menggunakan data kinerja tahun 2008 (Tabel 24) untuk setiap ukuran kinerja sebagai input, pengukuran kinerja pada tahap ini berupa nilai kinerja strategis, kinerja operasional, dan

174 154 kinerja taktis. Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa pemanfaatan pengalaman pakar yang direpresentasikan dalam bentuk aturan (rule) dapat digunakan untuk mengagregasikan ukuran-ukuran kinerja dengan satuan yang berbeda. Selain itu, dengan membuat aturan baku maka aturan yang digunakan untuk seluruh alternatif yang mungkin terjadi dapat tetap konsisten Kinerja Strategis Kinerja strategis merupakan kinerja yang dihasilkan melalui agregasi nilai kinerja umur mesin, kapasitas giling, jumlah tebu, dan kualitas tebu. Umur mesin merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan rerata umur mesin yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam tahun. Kapasitas giling merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan kapasitas (terpasang) giling yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam Ton Tebu Hari (TTH). Jumlah tebu merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya tebu yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan jumlah tebu sesuai dengan kapasitas (terpasang) giling yang dimiliki pabrik gula dan dinyatakan dalam persen (%). Kualitas tebu merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan potensi sukrosa dalam tebu dan dinyatakan dalam pol % tebu. Gambar 66 Rerata Umur Mesin pada PTPN X untuk Tahun 2008

175 155 Rerata umur mesin pada PTPN X untuk tahun 2008 (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 66) dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu pabrik gula dengan rerata umur mesin sedang dan pabrik gula dengan rerata umur mesin tinggi. Rerata umur mesin dari 11 PG yaitu sebesar 8,3 tahun (tinggi), 64% PG memiliki umur mesin lebih dari rata-rata, selain itu hanya PG Toelangan dan PG Gempolkrep yang memiliki rerata umur mesin sedang. Semakin tinggi rerata umur mesin maka kinerja rerata umur mesin semakin rendah. Oleh karena itu, kinerja rerata mesin dari 11 PG terdiri dari dua (18,2%) PG dengan kinerja sedang dan sembilan (81,8%) PG dengan kinerja rendah. Di lihat dari skala (kapasitas) pabrik, terdapat tiga (27%) pabrik dengan skala besar (tinggi), dua (18%) pabrik dengan skala sedang, dan enam (55%) dengan skala kecil (rendah). Pabrik dengan kapasitas tinggi yaitu PG Gempolkrep (6600 TTH), PG Ngadiredjo (6200 TTH), dan PG Pesantren Baru (6200 TTH). Sedangkan pabrik dengan kapasitas sedang yaitu PG Lestari (3850 TTH) dan PG Tjoekir (3200 TTH). Adapun pabrik gula lainnya berkapasitas rendah. Gambar 67 Skala Pabrik Rerata jumlah tebu yang sesuai dengan kapasitas giling (skala pabrik) dimiliki oleh PG Meritjan (100%), kurang dari kapasitas giling dimiliki oleh PG

176 156 Lestari (91,9%), sedangkan PG lainnya telah melebihi kebutuhan jika dibandingkan dengan kapasitas giling (skala pabrik). Gambar 68 Rerata Jumlah Tebu Meskipun PG Lestari memiliki rerata jumlah tebu kurang dari kapasitas giling, namun kinerjanya masih termasuk dalam kategori sedang. Gambar 69 Kinerja Rerata Kualitas Tebu

177 157 Rerata kualitas tebu mencapai 10,65% dengan kategori kinerja sedang. Jumlah PG dengan rerata kualitas tebu kategori kinerja tinggi mencapai empat PG (36,4%) yaitu PG Tjoekir (11,0%), PG Meritjan (11,0%), PG Modjopangoong (11,2%), dan PG Ngadiredjo (11,3%). Hasil pengukuran kinerja strategis menunjukkan bahwa nilai kinerja strategis terendah yaitu 31,8 (PG Watoetoelis), sedangkan yang tertinggi (dengan kategori sedang) yaitu 65 (PG Toelangan, PG Gempolkrep, PG Tjoekir, PG Meritjan, PG Pesantren Baru, PG Ngadiredjo, dan PG Modjopanggoong). Kinerja strategis dengan kategori rendah dicapai oleh empat PG (36,4%) yaitu PG Watoetoelis (31,8), PG Kremboong (44,9), PG Djombang Baru (33), dan PG Lestari (37,3). Sedangkan PG lainnya mencapai kinerja strategis dengan kategori sedang. Gambar 70 Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja operasional merupakan kinerja yang dihasilkan melalui aggregasi nilai kinerja hilang dalam proses, jam henti giling, overall recovery, dan efisiensi ketel. Hilang dalam proses merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya potensi gula yang hilang selama proses produksi dan dinyatakan dalam persen (% pol hilang). Jam Henti Giling merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan lamanya waktu berhenti giling dibandingkan dengan waktu giling yang seharusnya dan dinyatakan dalam persen (%).Overall Recovery merupakan

178 158 ukuran kinerja yang menunjukkan efisiensi pabrik gula secara keseluruhan dan dinyatakan dalam persen (%).Efisiensi ketel merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan perbandingan persentase antara panas yang dipindahkan ke dalam uap dan panas yang tersedia dalam bahan bakar dan dinyatakan dalam persen (%). Gambar 71 Rerata Hilang dalam Proses Hilang dalam proses terendah (kinerja terbaik) sebesar 0,02 (PG Modjopangoong) sedangkan yang tertinggi sebesar 9,49 (PG Watoetoelis). Rerata hilang dalam proses yaitu 2,11 dimana 18% PG melebihi rata-rata. Besarnya rerata hilang dalam proses disebabkan oleh tingginya hilang dalam proses yang dicapai oleh PG Watoetoelis (9,49%). Gambar 72 Rerata Jam Henti Giling Rerata jam henti giling terendah (kinerja tinggi) sebesar 2,48 (PG Meritjan). Rerata jam henti giling dengan kinerja sedang di capai oleh PG Toelangan (2,93), PG Djombang Baru (3,13), PG Tjoekir (3,74), dan PG Modjopangoong (4,35). Sedangkan rerata jam henti giling dengan kinerja rendah

179 159 yaitu PG Pesantren Baru (13,66), PG Gempolkrep (12,49), PG Watoetoelis (10,17), PG Kremboong (6,79), PG lestari (5,92), dan PG Ngadiredjo (5,54). Gambar 73 Rerata Overall Recovery Overall Recovery tertinggi sebesar 85,71 (PG Meritjan) sedangkan yang terendah sebesar 75,72 (PG Lestari). Rerata Overall Recovery yaitu 79,6 dimana 36% PG berada dibawah rerata tersebut. Gambar 74 Efisiensi Ketel

180 160 Efisiensi ketel tertinggi sebesar 69,9 (PG Gempolkrep) sedangkan yang terendah 58,5 (PG Watoetoelis). Rerata efisiensi ketel yaitu 63 dimana 55% PG dibawah rerata tersebut. Gambar 75 Kinerja operasional Hasil pengukuran kinerja operasional menunjukkan bahwa nilai kinerja operasional terendah yaitu 30 (PG Watoetoelis), sedangkan yang tertinggi yaitu 65 (PG Meritjan). Nilai kinerja operasional tertinggi masuk dalam kategori sedang dan hanya dicapai oleh satu PG, sedangkan 10 PG yang lain masuk dalam kategori rendah Kinerja Taktis Kinerja taktis merupakan kinerja yang dihasilkan melalui aggregasi nilai kinerja hablur gula dan rendemen. Hablur gula merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan banyaknya gula yang dihasilkan dibandingkan dengan luas areal tebu yang dihasilkan pabrik gula dan dinyatakan dalam ton per hektar (ton/ha). Rendemen menunjukkan ukuran efisiensi pabrik gula. Rendemen merupakan ukuran kinerja yang menunjukkan jumlah sukrosa dalam tebu yang dapat dikristalkan menjadi gula dan dinyatakan dalam persen (%).

181 161 Gambar 76 Hablur Gula Rerata hablur gula yaitu 7,2 (sedang) dimana 63% PG memiliki kinerja di bawah rata-rata. Hablur gula tertinggi (8,79) dicapai oleh PG Ngadiredjo, sedangkan hablur gula terendah (5,99) dicapai oleh PG Watoetoelis. Gambar 77 Rerata Rendemen Rerata rendemen yaitu 8,2 (sedang) namun 45% PG memiliki kinerja di bawah rata-rata. Rendemen tertinggi (8,96) dicapai oleh PG Ngadiredjo, sedangkan rendemen terendah (7,54) dicapai oleh PG Watoetoelis.

182 162 Gambar 78 Kinerja Taktis Hasil pengukuran kinerja taktis menunjukkan bahwa nilai kinerja taktis terendah yaitu 36,8 (PG Watoetoelis), sedangkan yang tertinggi yaitu 85,1 (PGTjoekir dan PG Ngadiredjo). Rerata nilai kinerja taktis yaitu 68,43 (sedang) dimana 54,5% PG memiliki kinerja taktis di bawah nilai rata-rata. 6.2 Penentuan Target Kinerja Untuk menentukan target kinerja, pengambil keputusan dapat menggunakan kinerja terbaik secara keseluruhan maupun kinerja terbaik per jenis kinerja yang dapat dicapai oleh pabrik gula yang setara (dalam kelompok yang sama). Kesetaraan ditetapkan berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula yaitu skala pabrik gula (berdasarkan kapasitas giling) dan metode pada proses pemurnian. Oleh karena itu, pengambil keputusan dapat menggunakan kinerja terbaik per jenis kinerja yang dapat dicapai oleh pabrik gula dalam kelompoknya sebagai target minimal kinerja yang ingin dicapai Pengelompokan Skala pabrik ditentukan oleh kapasitas giling. Pada PTPN X, rerata kapasitas giling PG mencapai 3564 TTH. Kapasitas giling terbesar yaitu 6600 TTH (PG Gempolkrep) dan kapasitas giling terendah sebesar 1400 TTH (PG

183 163 Toelangan). Dari sisi skala ekonomis, terdapat 54,4% (6) PG memiliki kapasitas giling di bawah skala ekonomis (3000 TTH). Dengan menggunakan data karakteristik pembeda pabrik gula sebagai input, hasil pengujian sistem menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara hasil perhitungan manual dengan keluaran sistem. Terdapat tiga kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dengan skala pabrik besar atau menengah atau kecil. Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa seluruh PG pada PTPN X menggunakan proses pemurnian sulfitasi, terdapat tiga PG yang memiliki skala pabrik besar, dua PG yang memiliki skala pabrik sedang, dan enam PG yang memiliki skala pabrik kecil. PG dengan skala pabrik besar yaitu PG Gempolkrep (6600 TTH), PG Pesantren Baru (6200 TTH), dan PG Ngadiredjo (6200 TTH). PG dengan skala pabrik menengah yaitu PG Tjoekir (3200 TTH) dan PG lestari (3850 TTH). PG dengan skala pabrik kecil yaitu PG Modjopangoong (2750 TTH), PG Djombang Baru (2600 TTH), PG Meritjan (2450 TTH), PG Watotoelis (2350 TTH), PG Kremboong (1600 TTH), dan PG Toelangan (1400 TTH) Pemilihan Kinerja Terbaik Hasil pemilihan kinerja terbaik pada setiap kelompok pabrik gula akan digunakan sebagai standar kinerja pembanding bagi setiap pabrik gula pada kelompok yang sama. Nilai kinerja yang digunakan adalah nilai kinerja yang dihasilkan dari model pengukuran kinerja yaitu nilai kinerja strategis, nilai kinerja operasional dan nilai kinerja taktis untuk seluruh pabrik gula yang menjadi anggota setiap alternatif kelompok. Berdasarkan hasil pengelompokan, maka nilai setiap jenis kinerja untuk setiap pabrik gula pada setiap kelompok ditunjukkan pada Tabel 47. Rerata kinerja strategis pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar yaitu 65 (sedang), kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah yaitu 51,15 (rendah), dan kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil yaitu 50,78 (rendah). Rerata kinerja operasional pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar yaitu 30,36 (rendah), kelompok PG dengan proses

184 164 pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah yaitu 30,05 (rendah), dan kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil yaitu 40,02 (rendah). Tabel 47 Nilai Setiap Jenis Kinerja Kelompok Nama Pabrik Kinerja Strategis Sulfitasi, besar Gempolkrep 65 Pesantren Baru 65 Ngadiredjo 65 Kinerja Operasional 30, Kinerja Taktis Sulfitasi, menengah Tjoekir Lestari Sulfitasi, kecil Watoetoelis Toelangan Kremboong Djombang Baru Meritjan Modjopanggoong Sedangkan rerata kinerja taktis pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar yaitu 77,27 (tinggi), kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah yaitu 75,05 (tinggi), dan kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil yaitu 61,8 (sedang). Hasil pemilihan kinerja terbaik per jenis kinerja menunjukkan bahwa kinerja strategis terbaik pada 1) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar : seluruh PG (PG Gempolkrep, PG Pesantren Baru, PG Ngadiredjo), 2) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah : PG Tjoekir, dan 3) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil : tiga PG (PG Toelangan, PG Meritjan, dan PG Modjopangoong). Kinerja operasional terbaik pada 1) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar : PG Gempolkrep, 2) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah : PG Lestari, dan 3) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil : PG Meritjan. Sedangkan untuk kinerja taktis terbaik pada 1) kelompok PG

185 165 dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar : PG Ngadiredjo, 2) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah : PG Tjoekir, dan 3) kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil : PG Meritjan. Hasil pemilihan kinerja terbaik secara keseluruhan pada setiap kelompok PG menunjukkan bahwa PG Ngadiredjo memiliki kinerja keseluruhan terbaik pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik besar, PG Tjoekir pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik menengah, dan PG Meritjan pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dan skala pabrik kecil. Kinerja terbaik secara keseluruhan dicapai oleh PG Ngadiredjo karena memiliki kinerja strategis dan kinerja taktis terbaik, PG Tjoekir karena memiliki kinerja strategis dan kinerja taktis terbaik, dan PG Meritjan karena memiliki kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis terbaik. Target kinerja minimal ditetapkan berdasarkan nilai kinerja yang dicapai oleh PG yang memiliki kinerja terbaik dalam kelompok. Target kinerja untuk setiap ukuran (variabel) kinerja juga ditetapkan berdasarkan nilai kinerja setiap ukuran kinerja yang merupakan nilai kinerja ukuran kinerja terbaik dalam kelompok. Nilai kinerja atau nilai ukuran kinerja terbaik menjadi target kinerja minimal yang harus dicapai oleh PG yang akan diperbaiki. 6.3 Penentuan Prioritas Perbaikan Nilai setiap jenis kinerja untuk setiap pabrik gula pada setiap kelompok seperti pada Tabel 47 tersebut di atas, menunjukkan bahwa pengukuran kinerja berdasarkan competitive priorities (taktis), manufacturing task (operasional), dan resource availability (strategis) secara bersamaan perlu dilakukan. Apabila hanya dilakukan pengukuran kinerja berdasarkan pada competitive priorities yang mencerminkan keluaran dari pabrik gula (jumlah hablur gula dan rendemen) maka akan diambil kesimpulan bahwa kinerja pabrik gula pada kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dengan skala pabrik besar dan kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dengan skala pabrik menengah yaitu tinggi, dan kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dengan skala pabrik kecil yaitu

186 166 sedang. Dengan demikian perbaikan akan diprirotaskan hanya untuk kelompok PG dengan proses pemurnian sulfitasi dengan skala pabrik kecil. Selain itu, juga menunjukkan bahwa pendekatan dalam menentukan variabel (ukuran) kinerja melalui tiga perspektif yaitu 1) keluaran organisasi (business results), 2) proses internal (internal business processes), dan 3) kemampuan atau ketersediaan sumber daya (resources availability) serta memperhatikan kedalaman ukuran kinerja (keterkaitan variabel kinerja) tepat digunakan. Tanpa memperhatikan kedalaman ukuran kinerja, maka hasil yang ditunjukkan pada Tabel 47 akan disimpulkan sebagai hasil kinerja yang tidak mungkin terjadi. Prioritas perbaikan dilakukan untuk kinerja strategis dan kinerja operasional. Hasil penentuan prioritas perbaikan menunjukkan bahwa terdapat satu PG (PG Lestari) yang perlu diperbaiki dalam hal kinerja strategisnya, lima PG (PG Toelangan, PG Tjoekir, PG Pesantren Baru, PG Ngadiredjo, dan PG Modjopangoong) yang perlu diperbaiki dalam hal kinerja operasionalnya, dan tiga PG (PG Watoetoelis, PG Kremboong, PG Djombang Baru) yang perlu diperbaiki dalam hal kinerja strategis maupun operasional. Prioritas perbaikan pada kinerja strategis dilakukan pada umur mesin (PG Watoetoelis, PG Kremboong, dan Djombang Baru), kapasitas giling (PG Watoetoelis, PG Kremboong, dan Djombang Baru), jumlah tebu (PG Lestari), kualitas tebu (PG Watoetoelis, PG Kremboong, Djombang Baru, dan PG Lestari ). Prioritas perbaikan pada kinerja operasional dilakukan pada hilang dalam proses (PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong, Djombang Baru, dan PG Pesantren Baru), jam henti giling (PG Watoetoelis,PG Kremboong, PG Djombang Baru, PG Pesantren Baru, dan PG Modjopangoong), overall recovery (PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong, PG Djombang Baru, PG Pesantren Baru, dan PG Modjopangoong), dan efisiensi ketel (PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong, PG Tjoekir, PG Pesantren Baru,PG Ngadiredjo, dan PG Modjopangoong). Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat diketahui bahwa PG Watoetoelis dan PG Kremboong perlu perbaikan untuk seluruh indikator kinerja strategis dan operasional kecuali dalam hal jumlah tebu. Perbaikan untuk seluruh indikator kinerja strategis perlu dilakukan untuk PG Pesantren Baru, PG Toelangan

187 167 kecuali dalam hal jam henti giling, PG Djombang Baru kecuali dalam hal efisiensi ketel, dan PG Modjopangoong kecuali dalam hal hilang dalam proses. Perbaikan untuk seluruh indikator kinerja operasional perlu dilakukan untuk PG Djombang Baru kecuali dalam hal jumlah tebu. 6.4 Perbaikan Kinerja Dengan menggunakan target perbaikan kinerja sebagai nilai minimal perbaikan kinerja, dilakukan pengukuran kinerja berikutnya. Hasil pengukuran kinerja strategis dengan nilai minimal kinerja adalah sebagai berikut Tabel 48 Kinerja Strategis dengan Nilai Minimal Kinerja Nama Pabrik Gula PG Watoetoelis (PG 1) Umur mesin Kapasitas Giling Jumlah tebu Kualitas tebu Kinerja Strategis Kinerja Tahun Nilai minimal kinerja PG Kremboong (PG 3) Umur mesin Kapasitas giling Jumlah tebu Kualitas tebu Kinerja Strategis PG Djombang Baru (PG 5) Umur mesin Kapasitas giling Jumlah tebu Kualitas tebu Kinerja Strategis PG Lestari (PG 7) Umur mesin Kapasitas Giling Jumlah tebu Kualitas tebu Kinerja Strategis Hasil pengukuran kinerja operasional dengan nilai minimal kinerja ditunjukkan pada Tabel 49. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 48 dan Tabel 49, menunjukkan

188 168 bahwa target kinerja yang ditentukan berdasarkan kinerja terbaik dalam kelompok dapat meningkatkan kinerja PG. Dengan demikian, pendekatan benchmarking dalam menentukan target kinerja dapat meningkatkan kinerja (efisiensi dan produktivitas) PG. Tabel 49 Kinerja Operasional dengan Nilai Minimal Kinerja Nama Pabrik Gula PG Watoetoelis (PG 1) PG Toelangan (PG 2) PG Kremboong (PG 3) PG Djombang Baru (PG 5) PG Tjoekir (PG 6) PG Pesantren Baru (PG 9) PG Ngadiredjo (PG 10) PG Modjopangoong (PG 11) Tabel... Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Hilang dalam proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kinerja Operasional Kinerja Tahun Nilai minimal kinerja

189 Implikasi Teoritis Implikasi teoritis berkaitan dengan relevansi dan kompetibilitas hasil rancangbangun model dengan teori maupun hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut : Penentuan Kinerja Hasil implementasi model terkait dengan penentuan (pengukuran) kinerja menunjukkan bahwa pendekatan input-proses-output dapat digunakan untuk pabrik gula. Hal ini, mengkonfirmasi pernyataan Wibisono (2006) bahwa pendekatan terbaik untuk perusahaan manufaktur di Indonesia dalam melakukan pengukuran kinerja yaitu menggunakan pendekatan input-proses-output. Selain itu, kedalaman (keterkaitan) ukuran kinerja dapat menjelaskan hasil pengukuran kinerja. Hal tersebut mengkonfirmasi pernyataan Radnor dan Barnes (2007) mengenai aspek formal dalam pengukuran kinerja khususnya kedalaman (keterkaitan) ukuran kinerja Penentuan Target Kinerja dan Prioritas Perbaikan Hasil implementasi model terkait dengan penentuan target kinerja menunjukkan bahwa dengan menggunakan nilai kinerja terbaik dalam kelompok sebagai target kinerja minimal maka nilai kinerja akan meningkat. Hal tersebut mengkonfirmasi hasil penelitian Tucker et al (1987) yang menyimpulkan bahwa hasil yang dicapai melalui penerapan praktek terbaik adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas. 6.6 Implikasi Manajerial Prasyarat yang diperlukan untuk mengimplementasikan model dan prototype yaitu kesediaan pabrik gula untuk diperbandingkan kinerjanya satu sama lain. Hal ini sangat memungkinkan bila pabrik gula berada dalam satu perusahaan. Namun, dengan power yang dimiliki pemerintah, tidak menutup kemungkinan untuk membandingkan antar pabrik gula dari perusahaan yang berbeda. Oleh karena itu, model dan prototype sistem penunjang keputusan untuk

190 170 analisis perbaikan kinerja pabrik gula dapat dimanfaatkan oleh perusahaan (PTPN) maupun pemerintah. Pemanfaatan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja pada pabrik gula akan menyebabkan terjadinya perubahan yang direncanakan. Strategi yang direkomendasikan untuk mengimplementasikan perubahan yang direncanakan adalah persuasi rasional. Strategi persuasi rasional berupaya untuk mendorong perubahan melalui pemanfaatan pengetahuan dan argumentasi rasional (Winardi 2005). Argumentasi yang diberikan yaitu bahwa pemanfaatan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja pada pabrik gula akan menyebabkan pabrik gula dapat dengan mudah dan cepat untuk menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan yang harus dilakukan. Perubahan yang disebabkan karena pemanfaatan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja pada pabrik gula merupakan tipe perubahan yang dikategorikan sebagai perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan teknologi. Perubahan teknologi menyebabkan perlunya tim pelaksana untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan baru agar dapat menjalankan tugas baru dan bekerja dengan teknologi baru. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana memanfaatkan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja. Metode pelatihan yang direkomendasikan yaitu Computer- Based Training. Selain sesuai dengan kebutuhan, metode Computer-Based Training memiliki keunggulan antara lain mengurangi waktu pemahaman dan menggunakan instruksi yang konsisten (Dessler dan Huat 2009). Untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pemanfaatan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja pada pabrik gula diperlukan dokumen tertulis yang memuat prosedur kerja secara rinci, tahap demi tahap dan sistematis (Standart Operating Procedure) dilengkapi dengan diagram dan alur kerja (flowchart). Metode yang direkomendasikan untuk menggambarkan alur kerja yaitu Swimlane yang secara jelas membedakan tanggungjawab pelaksana.

191 Keunggulan dan Keterbatasan Model Keunggulan Model Keunggulan model analisis perbaikan kinerja yang dihasilkan terutama terletak pada integrasi model untuk mencapai tujuan dari analisis perbaikan kinerja yaitu penentuan kinerja, penentuan target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan. Selain itu, model juga dapat menghasilkan saran perbaikan yang diperlukan untuk perbaikan yang diprioritaskan. Saran perbaikan yang diberikan ditentukan berdasarkan praktek terbaik yang telah terbukti dapat menyebabkan nilai kinerja menjadi lebih baik apabila perbaikan dilakukan. Dalam hal penentuan kinerja, model dapat menggagregasikan berbagai ukuran kinerja dengan satuan yang berbeda secara sederhana dengan mengkategorikan ukuran kinerja dan nilai kinerja menjadi tiga (tinggi, sedang, rendah). Pemanfaatan pendekatan fuzzy expert system dalam pengukuran kinerja memudahkan proses penentuan nilai kinerja. Selain itu, infrastruktur (prototype) yang digunakan untuk menentukan nilai kinerja memudahkan pengguna dalam menentukan nilai kinerja. Untuk penentuan target kinerja, model analisis perbaikan kinerja menggunakan pendekatan benchmarking. Pendekatan yang digunakan dapat mengarahkan untuk menentukan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik yang dapat dicapai oleh pabrik gula lainnya dalam kelompok yang sama. Dalam hal pengelompokan pabrik gula, klasifikasi ditetapkan berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh pabrik gula. Dengan demikian, pabrik gula dalam kelompok yang sama menjadi setara untuk diperbandingkan. Dalam hal penentuan prioritas perbaikan, model yang digunakan dapat mengidentiikasi prioritas perbaikan untuk kinerja strategis maupun kinerja operasional secara bertahap. Perbandingan nilai kinerja maupun ukuran kinerja sebagai dasar penentuan prioritas perbaikan mengarahkan prioritas perbaikan pada ukuran kinerja yang perlu diperbaiki. Pemanfaatan prototype dalam analisis perbaikan kinerja, mempermudah dan mempercepat proses analisis perbaikan kinerja. Selain itu, prototype dirancangbangun agar memudahkan pengguna dalam menggunakannya.

192 Keterbatasan Model Selain memiliki keunggulan, model yang dirancangbangun juga memiliki beberapa keterbatasan. Dalam hal penentuan kinerja, mengkategorikan ukuran kinerja dan nilai kinerja menjadi tiga kategori (rendah, sedang, tinggi) dapat menyebabkan pabrik gula yang memiliki ukuran kinerja dan nilai kinerja tertinggi dan terendah pada kategori yang sama disimpulkan memiliki nilai ukuran kinerja dan nilai kinerja yang sama. Penentuan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik dalam kelompok saja masih memiliki kemungkinan berada dibawah potensi kinerja yang dapat di capai. Hal ini terkait dengan adanya kemungkinan nilai kinerja terbaik dalam kelompok masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai kinerja yang pernah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal penentuan prioritas perbaikan, model diagnostic yang digunakan belum dapat menunjukkan prioritas perbaikan untuk seluruh pabrik gula. Masih terdapat pabrik gula yang tidak memerlukan perbaikan kinerja strategis maupun kinerja operasional. Dengan demikian, masih diperlukan kriteria lain untuk mengambil keputusan prioritas perbaikan kinerja bagi pabrik gula yang perbaikan kinerja strategis maupun kinerja operasionalnya tidak teridentifikasi melalui model diagnostic yang dirancangbangun. Prototype yang dihasilkan untuk membantu melakukan analisis perbaikan memerlukan kedisiplinan admin dalam meng up date data sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya agar prototype dapat dimanfaatkan oleh seluruh pabrik gula.

193 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula merupakan model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan analisis perbaikan kinerja yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja. 2. Model pengukuran kinerja menggunakan 10 ukuran kinerja yang terkait secara vertikal maupun horisontal dan pendekatan fuzzy expert system dalam proses pengukurannya. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa model dapat digunakan untuk mengukur kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis khususnya pada perspektif proses internal pabrik gula. 3. Model penentuan target kinerja terdiri dari sub model pengelompokan dan pemilihan kinerja terbaik. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa output model yang ditetapkan sebagai target minimal kinerja dapat meningkatkan kinerja strategis dan kinerja operasional pabrik gula. 4. Model penentuan prioritas perbaikan terdiri dari sub model analisis praktek terbaik dan penentuan prioritas perbaikan. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa output model dapat digunakan untuk menentukan prioritas perbaikan pabrik gula dan saran perbaikannya. 7.2 Saran untuk Penelitian selanjutnya Saran untuk penelitian selanjutnya dalam bidang yang sama atau yang terkait langsung dengan penelitian ini baik yang menyangkut topik dan atau metode yang digunakan adalah sebagai berikut : Penentuan Kinerja Aspek kinerja yang diukur dapat ditambahkan dengan aspek kinerja lainnya seperti kualitas, profitabilitas, efektivitas, dan kualitas kehidupan kerja. Unit

194 174 analisis dapat diperluas pada level unit bisnis, pabrik secara keseluruhan maupun perusahaan. Selain itu, perspektif dalam kerangka Balanced scorecard juga dapat diperluas. Penambahan aspek kinerja yang di ukur, perluasan unit analisis dan perspektif akan berdampak pada perlunya penyesuaian dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang digunakan Penentuan Target Kinerja Penyesuaian terhadap kriteria pengelompokan perlu dilakukan apabila kriteria pengelompokan (klasifikasi) pabrik gula atau penentuan karakteristik pembeda pabrik gula diperluas dengan memperhatikan perbedaan pola pasokan tebu (kebun sendiri, petani, atau kombinasi kebun sendiri dan petani) dan manajemen pabrik gula. Selain itu, penyesuaian terhadap kriteria pengelompokan juga perlu dilakukan apabila model analisis perbaikan kinerja akan diimplementasikan pada industri lainnya. Dalam hal penentuan target kinerja, selain ditetapkan berdasarkan nilai kinerja terbaik dalam kelompok, target kinerja juga dapat ditentukan dengan membandingkan nilai kinerja terbaik dalam kelompok dengan nilai kinerja terbaik yang pernah dicapai oleh pabrik gula atau perusahaan lain yang akan ditentukan prioritas perbaikannya. Dengan demikian maka target kinerja minimal yang digunakan adalah berdasarkan nilai kinerja terbaik dari hasil perbandingan yang dicapai saat ini maupun sebelumnya Penentuan Prioritas Perbaikan Kriteria untuk penentuan prioritas perbaikan dapat ditambahkan dengan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kemungkinan-kemungkinan terhambatnya perbaikan dapat dilaksanakan, seperti : biaya yang diperlukan untuk perbaikan. Penambahan kriteria akan menyebabkan pendekatan yang digunakan untuk menentukan prioritas perbaikan perlu penyesuaian.

195 175 DAFTAR PUSTAKA Amaratunga D, David B Moving from performance measurement to performance management. Facilities 20 (5/6): Amran TG, Kiki S Pemilihan Partner Potensial Bahan baku kimia produk Fatigon Kaplet berdasarkan metode AHP dan Promethee di PT. Dankos Laboratories TBK. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Manajemen Kualitas ke-5. ISSN : Jakarta. Anand G, Kodali R Benchmarking the Benchmarking Models. Benchmarking : An International Journal 15 (3) : Anderson K, Rodney Mc. A A Critique of Benchmarking and Performance Measurement : Lead or Lag?. Benchmarking : An International Journal 11 (5) : Asrofah T, Zailani S, Fernando Y Best Practices for the Effectiveness of Benchmarking in the Indonesian Manufacturing Companies. Benchmarking : An International Journal 17 (1) : [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Analisis Kebijakan tentang Kebijakan Komprehensif Pergulaan Nasional. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan Baxter LF, MacLeod AM Managing Performance Improvement. New York : Routledge. Beheshti HM, Lollar JG Fuzzy Logic and Performance Evaluation : Discussion and Application. International Journal of Productivity and Performance Management 57 (3) : Bond T.C The Role of Performance Measurement in Continuous Improvement. International Journal of Operations & Production Management 19 (12) : Bukley JJ, Siler W Fuzzy Expert Systems and Fuzzy Reasoning. New Jersey : John Wiley & Sons.

196 176 Chan DCK, Yung, Andrew WH An application of fuzzy sets to process performance evaluation. Integrated Manufacturing System 13(4) : Chen LH, Liaw SY Measuring Performance Via Production Management : a Pattern Analysis. International Journal of Productivity and Performance Management 56 (1) : Cocca P, Alberti M A Framework to Assess Performance Measurement Systems in SMEs. International Journal of Productivity and Performance Management 59 (2) : Cokins G Performance Management : Finding the Missing Pieces (to Close the Intelligence Gap). New Jersey : John Wiley & Sons. Craig JC, Robert MG The Fast Track MBA Series Strategic Management. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Daellenbach HG, McNickle DC Management Science : Decision Making Through System Thinking. New York : Palgrave Macmillan. Dattakumar R, Jagadeesh R A Review of Literature on Benchmarking. Benchmarking : An International Journal 10 (3) : Davies AJ, Kochhar AK A Framework for the Selection of Best Practices. International Journal of Operations & Production Management 20 (10) : Denkena B, Apitz R, Liedtke C Knowledge-based Benchmarking of Production Performance. Benchmarking : An International Journal 13 (1/2) : Denton DK Measuring Relevant Things. International Journal of Productivity and Performance Management 54 (4): Denton DK Performance Measurement and Intranets : A Natural Partnership. International Journal of Productivity and Performance Management 59 (7) : Dessler G, Tan Chwee Huat Human Resource Management : An Asian Perspective. Singapore : Prentice Hall Pearson Education South Asia Pte Ltd. [Dirjen Industri Agro dan Kimia Deprin] Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Roadmap Industri Gula.

197 177 Dragolea L, Cotirlea D Benchmarking A Valid Strategy for the Long Term?. Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica 11 (2) : Effendi A Teknologi Gula. Jakarta : Penerbit BeeMarketer Institute. Elmuti D, Yunus K An Overview of Benchmarking Process : A Tool for Continuous Improvement and Competitive Advantage. Benchmarking for Quality Management & Technology 4 ( 4): Emory DR, Cooper CW Business Research Methods. Jakarta : Penerbit Erlangga Enos DD Performance Improvement : Making It Happen. Florida : CRC Press. Eriyatno Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor : IPB Press. Gan G, Chaoqun M, Wu J Data Clustering. United States of America : The America Statistic Association. Giarratano J, Riley G Expert Systems : Principles and Programming. United States of America : PWS Publishing Company. Gleich R, Motwani J, Wald A Process Benchmarking : A New Tool to Improve The Performance of Overhead Areas. Benchmarking : An International Journal 15 (3) : Grundberg T A Review of Improvement Methods in Manufacturing Operations. International Journal of Productivity and Performance Management 52 (2) : Grundberg T Performance Improvement : Towards a Method for Finding and Prioritising Potential Performance Improvement Areas in Manufacturing Operation. International Journal of Productivity and Performance Management 53 (1) : Halachmi A Performance Measurement is Only One Way of Managing Performance. International Journal of Productivity and Performance Management 54 (7) : Heizer J, Render B Operations Management. New Jersey : Prenctice Hall.

198 178 Holloway J Performance Management from Multiple Perspectives : taking stock. International Journal of Productivity and Performance Management 58 (4) : Ismail NM Restrukturisasi Industri Gula Nasional. Makalah Seminar Gula Nasional. Jakarta. Jafari M, Bourouni A, Amiri RH A New Framework for Selection of the Best Performance Appraisal Method. European Journal of Social Sciences 7 (3) : Jarrar YF, Zairi M Internal Transfer of Best Practice for Performance Excellence : A Global Survey. Benchmarking : An International Journal 7 (4) : Jing GG Digging for the Root Cause. ASQ Six Sigma Forum Magazine 7 (3) : Kandel A Fuzzy Expert System. Florida : CRC Press. Karim MA A Conceptual Model for Manufacturing Peformance Improvement. Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering. 35 (1) : Khudori Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarta : Penerbit Resist Book. Kusrini dan Emha Taufiq Luthfi Algoritma Data Mining. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset. Kusumadewi S Analisis & Desain Sistem Fuzzy Menggunakan Tool Box Matlab. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu. Kusumadewi S Artificial Intelligence : Teknik dan Aplikasinya. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu. Kusumadewi S, Hari P Aplikasi logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu. Kusumadewi S, Hartati S, Harjoko S, Wardoyo R Fuzzy Multi-attribute Decision Making. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu. Kuwaiti ME Performance Measurement Process : Definition and Ownership. International Journal of Operations & Production Management 24 (1) :

199 179 LaBonte TJ Building a New Performance Vision for Results. Industrial and Commercial Training 35 (1) : Laise D Benchmarking and learning organizations : ranking methods to identify best in class. Benchmarking : An International Journal 11 (6): Latino RJ, Kenneth CL Root Cause Analysis : Improving Performance for Bottom Line Results. Florida : CRC Press. Lau HCW, Lee WB, Peter KH Development of an intelligent decision support system for benchmarking assessment of business partners. Benchmarking : An International Journal 8 (5) : Laugen BT, Acur N, Boer H Best Manufacturing Practices : What do the Best- Performing Companies Do?. International Journal of Operations & Production Management 25 (2) : Lawson R, Toby H, Denis D Scorecard Best Practices : Design, Implementation, and Evaluation. New Jersey : John Wiley Sons Inc. Leachman C, Pegels CC, Shin SK Manufacturing Performance : Evaluation and Determinants. International Journal of Operations & Production Management 25 (9) : Luis S, Prima AB Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional Scorecard. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Ma arif MS., Hendri T Manajemen Operasi. Jakarta : PT. Grasindo. Maire JL, Vincent B, Maurice P A Typology of Best Practices for a Benchmarking Process. Benchmarking : An International Journal 12 (1) : Manalu LP Analisis Kinerja Pabrik Gula Dengan Metoda DEA (Data Envelopment Analysis). Jurnal Hasil Penelitian Universitas Djuanda 1 (2). Mangkusubroto K, Trisnadi CL Analisa Keputusan : Pendekatan Sistem Dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Bandung : Ganeca Exact.

200 180 Marchand M, Raymond L Researching Performance Measurement Systems : An Information Systems Perspective. International Journal of Operations & Production Management 28 (7) : Mardianto, Sudi et al Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23 No. 1 : Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT. Grasindo. Marimin Teori dan aplikasi Sistem Pakar dalam teknologi manajerial. Bogor : IPB Press. Marimin, Buono A, Swandayani TH Sistem Intelijen Penilaian Kinerja Perusahaan.. Di dalam : Bunga Rampai Penerapan Sistem Cerdik. Bogor : IPB Press. Marimin, Maghfiroh N Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor : IPB Press. Martin F A Performance Technologist s Approach to Process Performance Improvement. International Society for Performance Improvement. 47 (2) : Moerdokusumo A Pengawasan kualitas dan teknologi pembuatan gula di Indonesia. Bandung : Penerbit ITB. Moriarty JP, Smallman C En Route a Theory of Benchmarking. Benchmarking : An International Journal 16 (4) : Najmi M, Rigas J, Fan IS A framework to review performance measurement systems. Business Process Management Journal 11 (2) : Negnevitsky M Artificial Intelligence : A Guide to Intelligent Systems. London : Addison-Wesley. Nenadal J Process Performance Measurement in Manufacturing Organizations. International Journal of Productivity and Performance Management 57 (6) : Niven Paul R Balanced Scorecard Step-by-Step : Maximizing Performance and Maintaining Results. New Jersey : John Wiley Sons Inc.

201 181 Olsen EO, Zhou H, Lee DMS, Padunchwit P Performance Measurement System and Relationships with Performance Results. International Journal of Productivity and Performance Management 56 (7) : [P3GI] Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Parmenter D Key Performance Indicators. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Pierre JS, Delisle S An Expert Diagnosis System for the Benchmarking of SME s Performance. Benchmarking : An International Journal 13 (1/2) : Prihandana R Dari Pabrik Gula Menuju Industri Berbasis Tebu. Jakarta : Proklamasi Publishing House. Prvulovic S, Dragisa T, Zivan Z, Ljiljana R Multi-Criteria Decision In The Choice Of Advertising Tools. Journal Of Facta Universitatis : Mechanical Engineering 6 (1) : Radnor ZJ, Barnes D Historical analysis of performance measurement and management in operations management. International Journal of Productivity and Performance Management 56 : Ramadhani M, Fariza A, Basuki DK Sistem Pendukung Keputusan Identifikasi Penyebab Susut Distribusi Energi Listrik Menggunakan Metode FMEA. Reddy W, McCarthy S Sharing Best Practice. International Journal of Health Care Quality Assurance 19 (7) : Ross TJ Fuzzy Logic with engineering applications. England : John Wiley & Sons Ltd. Rusjan B Model for Manufacturing Strategic Decision Making. International Journal of Operations & Production Management 25 (8) : Sabil MA Mendobrak Belenggu Petani Tebu. Jember : Penerbit Institute of Civil Society. Sadaaki M, Hidetomo I, Katsuhiro H Algorithm for Fuzzy Clustering. Di dalam : Studies in Fuzziness and Soft Computing. ISSN :

202 182 Santos MF et al Towards a Definition of a Business Performance Measurement System. International Journal of Operations & Production Management 27 (8) : Santosa, Budi Data Mining Teknik Pemanfaatan Data untuk Keperluan Bisnis. Yogyakarta : Graha Ilmu. Saunders M, Mann R, Smith R Benchmarking Strategy Deployment Practices. Benchmarking : An International Journal 14 (5) : [SDKP] Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Ekonomi Gula : Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Shahin A, Mahbod MA Prioritization of Key Performance Indicators. International Journal of Productivity and Performance Management 56 (3) : Siagian V Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia : Pendekatan Fungsi Biaya Multi-input Multi-Output. Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Simatupang, TM Pemodelan Sistem. Klaten : Penerbit Nindita. Sink D.S., Thomas C.T Planning and measurement in your organization of the future. United States of America : Industrial Engineering and Management Press. Southard PB, Parente DH A Model for Internal Benchmarking : When and How?. Benchmarking : An International Journal 14 (2) : [SPN] Stakeholder s Pergulaan Nasional Road Map Swasembada Gula Nasional. Spitzer DR Transforming performance measurement : rethinking the way we measure and drive organizational success. New York : AMACOM. Sprague RH, Carlson Building Effective Decision Support System. New Jersey : Prentice-Hall. Steven et al Key Management Models : The Management Tools and Practices that will Improve Your Business. London : Prentice Hall. Stiffler MA Performance : Creating the Performance-Driven Organization. New Jersey : John Wiley & Sons Inc.

203 183 Sunaryo P Upaya Meraih Laba dengan Cara Menekan Kehilangan Tebu dan Meningkatkan Rendemen Selama Tebang Giling. Jurnal AGRIJATI 3(1) : Suryadi K, Ramdhani MA Sistem Pendukung Keputusan : Suatu wacana struktur idealisasi dan implementasi konsep pengambilan keputusan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Swanson RA Analysis for Improving Performance : Tools for Diagnosing Organizations & Documenting Workplace Expertise. United States of America : Pleasant Run Publishing Services. Tangen S Performance Measurement : From Philosophy to Practice. International Journal of Productivity and Performance Management 53 (8) : Tonchia S, Toni AD Performance Measurement Systems : Models, Characteristics and Measures. International Journal of Operations & Production Management 21 (1) : Triwulandari, Marimin Fuzzy Rule Base untuk Penilaian Kinerja Teknis Pabrik Gula. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Manajemen Kualitas ke- 5. ISSN : Jakarta. Triyanti V, Gadis MT Pemilihan Supplier Untuk Industri Makanan Menggunakan Metode PROMETHEE. Journal of Logistics and Supply Chain Management 1 (2) : Turban E Decision Support Systems and Expert Systems. New Jersey: Prentice Hall. Englewood Cliffs. Turban. E, Aronson JE, Liang TP Decision Support Systems and Intelligent Systems. United States of America : Prentice Hall. Turban E, Aronson JE, Liang TP, Sharda R Decision Support and Business Intelligent Systems. New Jersey : Prentice Hall. Unahabhokha C, Platts K, Tan KH Predictive performance measurement system : A fuzzy expert system approach. Benchmarking : An International Journal 14 (1) : Ungan MC Manufacturing Best Practices : Implementation Success Factors and Performance. Journal of Manufacturing Technology Management 18 (3) :

204 184 Voss CA, Par A, Kate B Benchmarking and operational performance : some empirical results. International Journal of Operations & Production Management 17 (10) : Watson GH Strategic Benchmarking : How to Rate Your Company s Performance against the World s Best. Terjemahan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Wibisono D Analisis Keterkaitan Variabel Kinerja dalam Perusahaan Manufaktur. Jurnal ISTMI 3 (2) : Wibisono D Manajemen Kinerja : Konsep, Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta : Erlangga. Widjaja RB Arsitektur Sebuah Model Manajemen : Terintegrasi Secara Vertikal dan Horisontal. Jakarta : Tira Pustaka. Williams SE What has Benchmarking go to do with Evaluation?. Di dalam : Mini Workshop AES International Conference. Perth. Wu DD, Ho CTB Productivity and Efficiency Analysis of Taiwan s Integrated Circuit Industry. International Journal of Productivity and Performance Management 56 (8) : Xu R, Wunsch DC Clustering. New Jersey : IEEE Press. Winardi Manajemen Perubahan. Jakarta : Prenada Media. Yasin MM The Theory and Practice of Benchmarking : Then and Now. Benchmarking : An International Journal 9 (3) : Yuliasih I, Marimin Desain Perlakuan Pasca Panen Terhadap Kesegaran Bunga Potong Lili Dengan Pendekatan Sistem Pakar Fuzzy. Jurnal Teknik Industri Pertanian 12 (1) :

205 185 Lampiran 1. Pohon industri untuk industri berbasis tebu Sumber : Departemen Pertanian (deptan.go.id)

206 186 Lampiran 2. Kapasitas giling per Pabrik Gula Lokasi Jenis Perusahaan Nama Perusahaan Nama Pabrik Gula Kapasitas Giling (TTH) JAWA BUMN PT. RAJAWALI II 1. PG Sindang Laut PG Karangsuwung PG Tersana Baru PG Jatitujuh PG Subang PTPN IX 1. PG Gondang Baru PG Jatibarang PG Mojo PG Pangka PG Rendeng PG Sragi PG Sumberharjo PG Tasikmadu PTPN X 1. PG Cukir PG Gempolkrep PG Jombang Baru PG Kremboong PG Lestari PG Merican PG Mojopanggung PG Ngadirejo PG Pesantren Baru PG Tulangan PG Watutulis PTPN XI 1. PG Asembagus PG Gending PG Jatiroto PG Kanigoro PG Kedawung PG Olean PG Pagotan PG Pajarakan PG Pandjie PG Poerwodadi PG Prajekan PG Rejosari PG Semboro PG Soedhono PG Wonolangan PG Wringinanom PT. RAJAWALI I 1. PG Candi PG Krebet Baru PG Rejoagung Baru SWASTA PT. MADUBARU 1. PG Madukismo PT. KEBON AGUNG 1. PG Kebon Agung PG Trangkil LUAR JAWA BUMN PTPN II 1. PG Sei Semayang PG Kuala Madu PTPN VII 1. PG Bunga Mayang PG Cinta Manis PTPN XIV 1. PG Bone PG Camming PG Takalar SWASTA PT. GORONTALO 1. PG Gorontalo PT. GMP 1. PG Gunung Madu Plantation PT. GARUDA PANCAARTA 1. PG Gula Putih Mataram PG Sweet Indolampung PG Indolampung Perkasa Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2006)

207 187 Lampiran 3. Topik Penelitian Topik KEBIJAKAN Publikasi Hasil Penelitian 1. Anwar, Afendi et al, Pengkajian Masalah Kebijksanaan Masalah pergulaan Nasional di Indonesia. Penelitian Kerjasama Sekretariat Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian dengan LPPM IPB Bogor 2. Departemen Perdagangan Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. 3. Devadoss, S dan J. Kropf, Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics (15): Pursell, G. and A. Gupta Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture Development Research Group, the World Bank., New Delhi. 5. Prabowo, Dibyo, Antisipasi Industri Gula Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi. Makalah dalam Semiloka dan Temu Lapang IKAGI di Ujung Pandang, November Susmiadi, A Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember Goletti, F., and K. Rich Trade Distortions and Incentives in Agricultural Trade: The Case of Rice, Sugar, Fertilizer, and Livestock-Meat-Feed Sub-Sectors in Vietnam. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. 8. Malian, A.H Analisis Komparatif Kebijakan Harga Provenue dan Tarif Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi 18 (1) : Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 10. Susila, W.R. dan A. Susmiadi Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. 11. Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson Partial Liberalization Of The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes. Makalah disajikan pada Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, Juni Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 13. Asnur, D Pelaksanaan Kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi. Badan Penelitian Pengambangan Koperasi. 14. Sudana, W.P.Simatupang, S.Friyanto,C.Muslim, dan T.Soelistiyo Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor 15. Abidin Dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula Indonesia : suatu analisis kebijakan. Disertasi Program Pasca Sarjana. 1PB, Bogor. 16. Groombridge, M. A America s Bittersweet Sugar Policy.

208 188 Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC. 17. Kennedy, P. L Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. 18. Amrullah, S Kebijakan Ekonomi Gula Indonesia, Kaitannya dengan Perdagangan Gula Dunia : Suatu Analisis Simulasi, FE UI. 19. Sastrotaruno, S Dampak Produksi Gula Terhadap Perkembangan Wilayah, Pabrik Gula dan Petani. Tesis Program Pasca Sarjana. 1PB, Bogor. 20. [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. 21. Sawit et al Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume I No Widowati, B Analisis Pengaruh Impor Gula terhadap Industri Gula Indonesia. Tesis Program Pasca Sarjana. 1PB, Bogor. 23. Safrida Analisis Kebijakan Tarif, Subsidi dan Kuota terhadap Impor Gula di Indonesia. Tesis Program Pasca Sarjana. 1PB, Bogor. 24. Michell, D Sugar Policies : Opportunity for Change. Wordl Bank Policy Research Working Paper Larson, B and Borrel Brent Sugar Policy and Reform. World Bank Policy Research Working Paper. 26. Mardianto, Sudi et al Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23 No. 1 : Susila, W.R Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor 28. Prayogo U. Hadi Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia, Jumal Agro Ekonomi, Volume 23 No.f, Mei 2005: Soebekty, LP dan Maddaremmeng A. P Analisis industri gula rafinasi dan strategi kebijakannya di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana UI, Jakarta. 30. Wibisono R. dan Budi S.2006.Analisis Kebijakan Industri Gula menggunakan Sistem Dinamik. Thesis S2. ITS. 31. Chudhorie, M. Sofwan Analisis Ekonomi Politik Tata Niaga Impor Gula di Indonesia: Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur. Disertasi. Fakultas Ilmu Administrasi Univesitas Brawijaya, Malang. 32. Priyono.2008.Analisis Kebijakan Industri Gula Nasional dengan Model Ekonometrika. Jurnal Perencanaan Iptek BPPT, Volume 6 No Tejo Laksono, Ari Analisis Penentuan Kebijakan Perawatan Preventif Mesin ( Studi Kasus : PT. Kebon Agung PG.Trangkil Pati ). Tesis Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. 34. Novitasari, Ratna Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu : Sebuah Penghampiran Dinamika Sistem. Tesis Program Pascasarjana ITS, Surabaya. 35. Nastiti, A.D Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur. Tesis. Program Studi Magister Agribisnis UPN, Surabaya. 36. Wahyuni et al Industri dan Perdagangan Gula di Inonesia : Pembelajaran dari Kebijakan Zaman Penjajahan Sekarang. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol 27 No. 2 : Sawit Kebijakan Swasembada Gula : Apanya yang Kurang?. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 4.

209 189 Topik KINERJA 38. McEvoy, MAJ and Archibald, RD Increased capacity of continuous centrifugals on low-grade massecuites. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 49: Newell, GM A preliminary investigation into factors affecting gas formation in massecuite and molasses. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 53: Smith, I.A. and Taylor, L.A.W Some data on heat transfer in multiple effect evaporators. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 55: Soetrisno, N Farmers Miller and Sugar production in Indonesia, Disertation UPSE. 42. Setiyanto, Arief, The structure and performance of and prospects for the sugar industry in Indonesia. Tesis pada University of the Philippines at Los Banos (UPLB). 43. Yusnitati Analisis nilai tambah dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas dan profitabilitas di Pabrik Gula PTP XXI XXII. Disertasi Program Pasca Sarjana 1PB, Bogor. 44. Sugiyono Teknologi Turbin Gas/Gasifier Biomasa Terintegrasi untuk Industri Gula. DJLPE, Prosiding Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi, hal , Januari 1998, ISBN Supito, HM Analisis Persediaan Bahan Baku Tebu pada Pabrik Gula Pakis Baru di Pati. Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. 46. Siagian, V Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia : Pendekatan Fungsi Biaya Multi-input Multi-Output. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. 47. Ismail N Strategi Peningkatan Produksi Gula Nasional. Jurnal sains dan Teknologi Indonesia, Vol. 3 No Eggleston G Deterioration of cane juice sources and indicators. Food Chemistry 78 : Elsevier Science Ltd. 49. [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. 50. Haryono, Agus Pengaruh Strategi Kemitraan PG Trangkil terhadap Kinerja Pemasok Tebu dengan Lingkungan Bisnis sebagai Variabel Moderator. Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. 51. Sawit Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 1(3) : Anon The South African Sugar Technologists Association Laboratory Manual. 4th edition, July, ISBN: , published in electronic format. 53. Sunaryo P Upaya Meraih Laba dengan Cara Menekan Kehilangan Tebu dan Meningkatkan Rendemen Selama Tebang Giling. Jurnal AGRIJATI 3(1) Ninela, MB and Rajoo, N Practical steps taken at Tongaat Hulett Sugar factories to achieve low target purity differences. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 80: Peacock, S.D The effect of final effect operating pressure on sucrose degredation in evaporator stations. Proc. Int. Soc. Sugar Cane Technol., 26: [P3GI] Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. 57. Love, D.J. and Muzzell, D.J Minimising sucrose loss in molasses the three laws of molasses loss. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 81: in press.

210 Manalu LP Analisis Kinerja Pabrik Gula Dengan Metoda DEA (Data Envelopment Analysis). Jurnal Hasil Penelitian Universitas Djuanda 1 (2). 59. Zulu, MI, Ninela, MB, Muzzell, DJ, and Mncube, FS (2008). Panfloor modifications that improved performance at Amatikulu mill. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass., 81: Rohmatullah et al Kajian Sistem Pengukuran Kinerja Pabrik Gula. Jurnal Manajemen dan Agrobisnis Vol 6 No Martoyo dan Bachtiar Rekayasa Sistem Penyaringan Nira untuk Pretreatment Membran. MPG Vol 45 No 1 : Sodikin Analisis Penentuan Waktu Perawatan dan Jumlah Persediaan Suku Cadang Rantai Garu yang Optimal. Jurnal Teknologi, Volume 3 Nomor 1, Juni 2010, Marimin, Andes I, Annastia L Keragaan Kinerja dan Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Proses Produksi Gula Kristal di PT. Rajawali II Unit Pabrik Gula Jatitujuh-Majalengka. Jurnal Teknik Industri Pertanian, Volume 19 (3), Topik KELEMBAGAAN 1. Adisasmito, K Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148): Azhari, A Kemitraan Agribisnis Tiga Tungku, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 15 (2): Ismoyowati, Dyah Keuntungan dan Keunggulan Komparatif Usahatani Tebu sebagai Bahan Baku Industri Gula di Jawa. Disertasi Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 4. Sutrisno, S Peranan kelembagaan terhadap kinerja petani Tebu Rakyat atas Kebijakan industri Gula Nasional. Disertasi Pascasarjana UNIBRAW, Malang. 5. Santoso, Kabul. Soetriono. Adi Prasongko Sistem Pergulaan Jawa Timur : Optimalisasi Produk, Distribusi Dan Kelembagaan. Jurnal. Surabaya. 6. Ertaningrum, Yustitita Asri Analisis Ekonomi Gula : Suatu Pendekatan Konsep Ekonomi Kelembagaan dan Matriks Analisis Kebijakan (Studi Kasus di PG Krebet Baru dan PG Kebon Agung, Kabupaten Malang). Universitas Brawijaya. Malang 7. Priyadi, U Peranan Inovasi Kelembagaan Pabrik Gula Madukismo terhadap Pelaksanaan Usahatani Tebu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal F E Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta.

211 191 Lampiran 4. Spesifikasi sistem Sistem Operasi Sistem operasi merupakan platform yang digunakan prototype pada tahap pembuatan dan pengujian sebelum diimplementasikan. Pemilihan jenis sistem operasi berpengaruh terhadap bahasa pemrograman, basis data, dan jenis hardware yang digunakan. SIANBAIKI menggunakan sistem operasi berupa Windows XP. Bahasa Pemrograman Berdasarkan beberapa keunggulan dari PHP, maka bahasa pemrograman yang digunakan adalah PHP versi 5.0. Adapun keunggulan dari PHP antara lain yaitu : 1) bersifat multiplatform sehingga dapat digunakan pada semua sistem operasi termasuk Windows XP; 2) mendukung banyak web server seperti Apache, Netscape, dan Personal Web Server; 3) mendukung penggunaan berbagai jenis basis data seperti dbase, FrontBase, MySQL, Oracle, Sybase, dan Hyperwave; dan 4) mampu mengolah keluaran berbagai jenis file seperti file gambar, file PDF, dan movie Flash. Basis Data Berdasarkan keunggulan MySQL, maka Basis data yang digunakan adalah MySQL versi 5.0. Adapun keunggulan MySQL antara lain yaitu : 1) bersifat multiplatform sehingga dapat digunakan pada semua sistem operasi termasuk Windows XP; 2) bersifat shareware untuk sistem operasi Windows; 3) dapat digunakan untuk berbagai bahasa pemrograman termasuk PHP; 4) mudah digunakan; 5) dapat memproses data besar dengan cepat dan handal; dan 6) mempunyai tingkat keamanan yang baik karena dapat melakukan verifikasi host. Web Server SIANBAIKI yang berbasis web memerlukan web server karena prototype merupakan aplikasi yang berjalan pada sisi server, yang akan menangapi permintaan web clien melalui browser. Berdasarkan keunggulan Apache, maka web server yang digunakan adalah Apache versi 2.0. Adapun keunggulan

212 192 Apache antara lain yaitu : 1) bersifat multiplatform sehingga dapat digunakan pada semua sistem operasi termasuk Windows XP; 2) bersifat freeware atau open source sehingga pengguna dapat men-download piranti lunak ini dengan gratis; dan 3) mudah dikonfigurasi terutama jika digunakan bersama dengan PHP dan MySQL. Piranti Keras Piranti keras yang diperlukan untuk membangun prototype berupa : Processor Pentium IV, memory, harddisk, monitor, keyboard, dan mouse. Kebutuhan Pengguna Kebutuhan pengguna dikelompokkan ke dalam menu-menu pada web sebagai berikut : Menu pada Web Halaman Utama Halaman Beranda Utama Halaman Manajemen Profil Halaman Manajemen User Halaman Manajemen Pabrik Gula Halaman Sistem Intelijen Halaman Manajemen Aturan Halaman Saran Perbaikan Fungsi Untuk masuk ke dalam aplikasi SIANBAIKI Untuk memberi informasi tentang apa saja yang dapat dilakukan pengguna sesuai dengan peran pengguna Untuk melakukan pengelolaan data profil pengguna Untuk mengelola user yang dapat mengakses SIANBAIKI Untuk mengelola data pabrik gula yang akan di analisis Untuk melakukan proses analisis perbaikan kinerja Untuk mengelola aturan variabel (ukuran kinerja atau kinerja) sehingga variabel tergolong sebagai kategori rendah, menengah (sedang), atau tinggi Untuk mengelola saran perbaikan berdasarkan praktek terbaik yang terkait dengan ukuran kinerja yang akan diperbaiki

213 193 Lampiran 5. Konfirmasi pakar terhadap karakteristik pembeda pabrik gula No. Karakteristik Pembeda Konfirmasi pakar 1 Metode pada proses pemurnian 2 Skala pabrik gula Lainnya : - Lampiran 6. Konfirmasi pakar terhadap ukuran-ukuran kinerja Jenis kinerja No. Ukuran kinerja Konfirmasi pakar Input (Strategis) 1 Kualifikasi tenaga kerja X 2 tingkat turn over tenaga X kerja 3 banyaknya jumlah pelatihan X yang diikuti tenaga kerja 4 Umur mesin 5 Kapasitas giling 6 Jumlah tebu 7 Kualitas tebu Lainnya : - Proses (Operasional) 1 Hilang dalam proses 2 Jam henti giling 3 Overall recovery 4 Efisiensi ketel Lainnya : - Output (Taktis) 1 Jumlah hablur gula 2 Rendemen Lainnya : -

214 194 Lampiran 7. Konfirmasi pakar terhadap keterkaitan antar ukuran kinerja KINERJA STRATEGIS KINERJA OPERASIONAL KINERJA TAKTIS UMUR MESIN KAPASITAS GILING KEHILANGAN DALAM PROSES JAM HENTI GILING JUMLAH HABLUR GULA JUMLAH TEBU OVERALL RECOVERY RENDEMEN KUALITAS TEBU EFISIENSI KETEL Keterkaitan ukuran kinerja strategis dan ukuran kinerja operasional Kinerja strategis Kinerja Operasional Konfirmasi pakar Umur mesin Hilang dalam proses Jam henti giling Overall recovery Efisiensi ketel Lainnya : - Kapasitas giling Jam henti giling Lainnya : - Jumlah tebu Jam henti giling Efisiensi ketel Lainnya : - Kualitas tebu Hilang dalam proses Overall recovery Lainnya : -

215 195 Keterkaitan ukuran kinerja operasional dan ukuran kinerja taktis Kinerja operasional Kinerja taktis Konfirmasi pakar Hilang dalam proses Jumlah hablur gula Rendemen Lainnya : - Jam henti giling Jumlah hablur gula Lainnya : - Overall recovery Jumlah hablur gula Rendemen Lainnya : - Efisiensi ketel Jumlah hablur gula Lainnya : - Lampiran 8. Kualifikasi untuk mengkategorikan kinerja per jenis kinerja Kinerja Rendah Tepat sedang Tinggi Strategis (KS) Operasional (KO) Taktis (KT) Lampiran 9. Kualifikasi untuk mengkategorikan ukuran kinerja No. Ukuran kinerja Satuan Rendah Tepat Tinggi sedang 1 Umur mesin Tahun Kapasitas giling Ton Tebu Hari Jumlah tebu % Kualitas tebu Pol % Tebu Hilang dalam proses % Pol Hilang Jam henti giling % 5 3,75 2,5 7 Overall recovery % Efisiensi ketel % Jumlah hablur gula Ton / Ha Rendemen % Kristal Tebu

216 196 Lampiran 10. Representasi kurva kinerja strategis Representasi kurva kinerja strategis Representasi kurva umur mesin

217 197 Representasi kurva kapasitas giling Representasi kurva jumlah tebu

218 198 Representasi kurva kualitas tebu Lampiran 11. Representasi kurva kinerja operasional Representasi kurva kinerja operasional

219 199 Representasi kurva kinerja hilang dalam proses Representasi kurva jam henti giling

220 200 Representasi kurva overall recovery Representasi kurva efisiensi ketel

221 201 Lampiran 12. Representasi kurva kinerja taktis Representasi kurva kinerja taktis Representasi kurva hablur gula

222 202 Representasi kurva rendemen Lampiran 13. Aturan baku untuk kinerja strategis No. Jumlah ukuran kinerja dengan kategori rendah Jumlah ukuran kinerja dengan kategori sedang Jumlah ukuran kinerja dengan kategori tinggi Kesimpulan Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang

223 203 Lampiran 14. Aturan baku untuk kinerja Operasional No. Jumlah ukuran kinerja dengan kategori rendah Jumlah ukuran kinerja dengan kategori sedang Jumlah ukuran kinerja dengan kategori tinggi Kesimpulan Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang

224 204 Lampiran 15. Aturan untuk kinerja strategis Aturan untuk Kinerja Strategis (1) No. Umur Mesin Kapasitas Giling Jumlah Tebu Kualitas Tebu Kinerja Strategis 1 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang 2 Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang 3 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah 4 Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Rendah 5 Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang 6 Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah 7 Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah 8 Tinggi Tinggi Rendah Sedang Rendah 9 Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah 10 Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang 11 Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang 12 Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah 13 Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang 14 Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang 15 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah 16 Tinggi Sedang Rendah Tinggi Rendah 17 Tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah 18 Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah 19 Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 20 Tinggi Rendah Tinggi Sedang Rendah 21 Tinggi Rendah Tinggi Rendah Sedang 22 Tinggi Rendah Sedang Tinggi Sedang 23 Tinggi Rendah Sedang Sedang Sedang 24 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah 25 Tinggi Rendah Rendah Tinggi Sedang 26 Tinggi Rendah Rendah Sedang Sedang 27 Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah

225 205 Aturan untuk Kinerja Strategis (2) No. Umur Mesin Kapasitas Giling Jumlah Tebu Kualitas Tebu Kinerja Strategis 28 Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang 29 Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang 30 Sedang Tinggi Tinggi Rendah Rendah 31 Sedang Tinggi Sedang Tinggi Sedang 32 Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang 33 Sedang Tinggi Sedang Rendah Rendah 34 Sedang Tinggi Rendah Tinggi Rendah 35 Sedang Tinggi Rendah Sedang Rendah 36 Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah 37 Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang 38 Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang 39 Sedang Sedang Tinggi Rendah Sedang 40 Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang 41 Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang 42 Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang 43 Sedang Sedang Rendah Tinggi Sedang 44 Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang 45 Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah 46 Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 47 Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang 48 Sedang Rendah Tinggi Rendah Sedang 49 Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang 50 Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang 51 Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang 52 Sedang Rendah Rendah Tinggi Sedang 53 Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang 54 Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah

226 206 Aturan untuk Kinerja Strategis (3) No. Umur Mesin Kapasitas Giling Jumlah Tebu Kualitas Tebu Kinerja Strategis 55 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 56 Rendah Tinggi Tinggi Sedang Rendah 57 Rendah Tinggi Tinggi Rendah Sedang 58 Rendah Tinggi Sedang Tinggi Sedang 59 Rendah Tinggi Sedang Sedang Sedang 60 Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah 61 Rendah Tinggi Rendah Tinggi Sedang 62 Rendah Tinggi Rendah Sedang Sedang 63 Rendah Tinggi Rendah Rendah Rendah 64 Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi 65 Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang 66 Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang 67 Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang 68 Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang 69 Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang 70 Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang 71 Rendah Sedang Rendah Sedang Sedang 72 Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah 73 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 74 Rendah Rendah Tinggi Sedang Tinggi 75 Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi 76 Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi 77 Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang 78 Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang 79 Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi 80 Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang 81 Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang

227 207 Lampiran 16. Aturan untuk kinerja operasional Hilang Dalam proses Aturan untuk Kinerja Operasional (1) Kinerja Operasiona l Jam Henti Overall Efisiensi No. Giling Recovery Ketel 1 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang 2 Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang 3 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah 4 Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Rendah 5 Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang 6 Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah 7 Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah 8 Tinggi Tinggi Rendah Sedang Rendah 9 Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah 10 Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang 11 Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang 12 Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah 13 Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang 14 Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang 15 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah 16 Tinggi Sedang Rendah Tinggi Rendah 17 Tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah 18 Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah 19 Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 20 Tinggi Rendah Tinggi Sedang Rendah 21 Tinggi Rendah Tinggi Rendah Sedang 22 Tinggi Rendah Sedang Tinggi Sedang 23 Tinggi Rendah Sedang Sedang Sedang 24 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah 25 Tinggi Rendah Rendah Tinggi Sedang 26 Tinggi Rendah Rendah Sedang Sedang 27 Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah

228 208 Aturan untuk Kinerja Operasional (2) Hilang Dalam proses Kinerja Operasiona l Jam Henti Overall Efisiensi No. Giling Recovery Ketel 28 Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang 29 Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang 30 Sedang Tinggi Tinggi Rendah Rendah 31 Sedang Tinggi Sedang Tinggi Sedang 32 Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang 33 Sedang Tinggi Sedang Rendah Rendah 34 Sedang Tinggi Rendah Tinggi Rendah 35 Sedang Tinggi Rendah Sedang Rendah 36 Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah 37 Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang 38 Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang 39 Sedang Sedang Tinggi Rendah Sedang 40 Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang 41 Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang 42 Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang 43 Sedang Sedang Rendah Tinggi Sedang 44 Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang 45 Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah 46 Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 47 Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang 48 Sedang Rendah Tinggi Rendah Sedang 49 Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang 50 Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang 51 Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang 52 Sedang Rendah Rendah Tinggi Sedang 53 Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang 54 Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah

229 209 Aturan untuk Kinerja Operasional (3) Hilang Dalam proses Kinerja Operasiona l Jam Henti Overall Efisiensi No. Giling Recovery Ketel 55 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 56 Rendah Tinggi Tinggi Sedang Rendah 57 Rendah Tinggi Tinggi Rendah Sedang 58 Rendah Tinggi Sedang Tinggi Sedang 59 Rendah Tinggi Sedang Sedang Sedang 60 Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah 61 Rendah Tinggi Rendah Tinggi Sedang 62 Rendah Tinggi Rendah Sedang Sedang 63 Rendah Tinggi Rendah Rendah Rendah 64 Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi 65 Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang 66 Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang 67 Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang 68 Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang 69 Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang 70 Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang 71 Rendah Sedang Rendah Sedang Sedang 72 Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah 73 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi 74 Rendah Rendah Tinggi Sedang Tinggi 75 Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi 76 Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi 77 Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang 78 Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang 79 Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi 80 Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang 81 Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang

230 210 Lampiran 17. Konfirmasi pakar terhadap hasil pengukuran kinerja Kinerja Strategis Pabrik Umur Mesin Kapasitas Giling Jumlah Tebu Kualitas Tebu Kesimpulan Konfirmasi pakar PG 1 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 2 Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang PG 3 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 4 Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang PG 5 Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah PG 6 Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang PG 7 Rendah Sedang Sedang Sedang Rendah PG 8 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang PG 9 Rendah Tinggi Tinggi Sedang Sedang PG 10 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang PG 11 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang Kinerja Operasional Pabrik Hilang dalam Proses Jam Henti Giling Overall Recovery Efisiensi Ketel Kesimpulan Konfirmasi pakar PG 1 Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah PG 2 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 3 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 4 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 5 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 6 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah PG 7 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 8 Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang PG 9 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 10 Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah PG 11 Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah

231 211 Kinerja Taktis Pabrik Hablur Gula Rendemen Kesimpulan Konfirmasi pakar PG 1 Rendah Sedang Rendah PG 2 Sedang Sedang Sedang PG 3 Sedang Tinggi Sedang PG 4 Sedang Sedang Sedang PG 5 Sedang Tinggi Sedang PG 6 Tinggi Tinggi Tinggi PG 7 Sedang Sedang Sedang PG 8 Sedang Tinggi Sedang PG 9 Sedang Tinggi Sedang PG 10 Tinggi Tinggi Tinggi PG 11 Sedang Tinggi Sedang Lampiran 18. Kriteria dan bobot kriteria untuk pemilihan kinerja terbaik Kriteria Kriteria Konfirmasi pakar Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Lainnya : - Bobot Kriteria Kinerja Strategis Kinerja Operasional Kinerja Taktis Kinerja Strategis 1 1 Kinerja Operasional 1 Kinerja Taktis Lampiran 19. Fungsi kriteria Maksimum Minimum Kinerja Strategis - Kinerja Operasional - Kinerja Taktis -

232 212 Lampiran 20. Aplikasi SIANBAIKI DESKRIPSI SINGKAT APLIKASI SIANBAIKI Aplikasi SIANBAIKI merupakan suatu aplikasi intelegensi yang ditujukan untuk menangani analisis perbandingan kinerja pabrik gula. Aplikasi SIANBAIKI merupakan aplikasi berbasis web sehingga aplikasi ini tidak memerlukan instalasi pada sisi pengguna. Pengguna dapat mengakses aplikasi SIANBAIKI dengan menggunakan Internet Browser seperti Internet Explorer, Mozilla Firefox, maupun Google Chrome. Akan tetapi aplikasi ini akan berjalan dengan paling optimal pada Mozilla Firefox 3.6. Sistem operasi yang dapat digunakan pun tidak sepesifik pada Microsoft Windows tertentu sehingga aplikasi dapat dijalankan pada lingkungan sistem operasi Microsoft Windows XP, Vista, maupun 7. DESKRIPSI PENGGUNA SIANBAIKI Terdapat tiga buah kategori pengguna aplikasi SIANBAIKI yaitu Administrator, Pakar, dan Pengguna Biasa. Berikut ini adalah definisi dari ketiga kategori pengguna tersebut:

233 213 No Pengguna Deskripsi 1 Admin Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang berhak untuk mengelola data-data pengguna dan datadata pabrik gula yang terkait dengan SIANBAIKI. 2 Pakar Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang berhak untuk mengelola aturan nilai variabel dan kinerja, aturan saran perbaikan pabrik gula, serta dapat melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. 3 Pengguna Biasa Pengguna dengan kategori ini adalah pengguna yang hanya diberikan akses untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. PROSEDUR UTAMA SIANBAIKI MENJALANKAN APLIKASI SIANBAIKI Aplikasi SIANBAIKI merupakan aplikasi berbasis web sehingga aplikasi ini tidak memerlukan instalasi pada sisi pengguna. Pengguna dapat mengakses aplikasi SIANBAIKI dengan menggunakan Internet Browser seperti Internet Explorer, Mozilla Firefox, maupun Google Chrome. Akan tetapi aplikasi ini akan berjalan dengan paling optimal pada Mozilla Firefox 3.6. Sistem operasi yang dapat digunakan pun tidak sepesifik pada Microsoft Windows tertentu sehingga aplikasi dapat dijalankan pada lingkungan sistem operasi Microsoft Windows XP, Vista, maupun 7. Untuk menjalankan aplikasi SIANBAIKI, pengguna dapat membuka internet browser, misalnya mozilla firefox, kemudian memasukkan alamat URL dari SIANBAIKI ( Kemudian tekan tombol enter pada keyboard sehingga akan muncul halaman utama SIANBAIKI seperti berikut ini:

234 214 Setelah itu, pengguna diharuskan memasukkan username dan password yang dimilikinya kemudian tekan tombol untuk masuk ke dalam aplikasi SIANBAIKI. Setelah masuk maka pengguna akan masuk ke halaman beranda utamanya sesuai dengan peran dari pengguna tersebut. MENGAKHIRI PENGGUNAAN APLIKASI SIANBAIKI Untuk mengakhiri penggunaan aplikasi SIANBAIKI, pengguna dapat menekan tombol, yang berada pada sebelah kanan tulisan nama pengguna.

235 215 DESKRIPSI FITUR-FITUR SIANBAIKI MANAJEMEN PROFIL Modul ini digunakan untuk melakukan pengelolaan data profil pengguna. Pada modul ini pengguna dapat mengganti data profil pengguna, seperti nama, tempat lahir, tanggal lahir, data identitas, alamat, telepon, , serta jenis kelamin. Untuk mengubah data pengguna cukup ganti textbox yang ingin diganti, kemudian tekan tombol simpan data. Semua kolom harus diisi, jika dikosongkan maka akan muncul pesan error. Selain itu, pada modul ini pengguna dapat m-ereset password-nya dengan cara menekan tombol reset password.

236 216 Setelah muncul halaman seperti diatas, masukkan password lama pada textbox password lama, dan masukkan password baru pada textbox password baru dan ulangi pada textbox berikutnya. Setelah itu tekan tombol simpan data untuk menyimpan data password baru. Password lama harus terisi dengan benar, jika tidak valid maka akan muncul pesan error. SISTEM INTELIJEN Modul ini adalah modul utama pada aplikasi SIANBAIKI. Modul ini digunakan untuk melakukan proses analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Berikut ini adalah langkah-langkah untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. 1. Pilih menu Sistem Intelijen yang terletak pada bagian atas halaman web SIANBAIKI. Kemudian akan muncul halaman seperti berikut ini: Pada halaman ini terdapat 2 buah panel utama, yaitu: panel untuk menambah batch proses analisis perbaikan kinerja dan panel yang berisi daftar batch yang telah dibuat sebelumnya. 2. Untuk melakukan analisis baru, maka user dapat mengisi form penambahan batch baru pada yang terletak pada bagian kiri. Detail batch yang perlu diisi pada form tersebut adalah data nama batch dan deskripsinya. Setalah mengisi kedua detail informasi tersebut maka user dapat menekan tombol save. Jika proses penambahan berhasil maka akan batch yang baru dibuat tersebut akan muncul di panel daftar batch.

237 Setelah nama batch yang baru muncul pada panel daftar batch, user dapat menekan tombol continue untuk melanjutkan proses analisis perbaikan kinerja. Setelah menekan tombol itu, maka akan muncul halaman berikut ini: Pada halaman ini user dapat memilih pabrik gula yang akan disertakan dalam proses analisis perbaikan kinerja. Untuk menyertakan pabrik gula, maka user harus memilih nama pabrik gula yang berada di sebelah kiri, kemudian menekan tombol sehingga nama pabrik gula yang dipilih tersebut pindah kedalam kotak yang sebelah kanan. 4. Setelah selesai memilih pabrik gula yang akan diikut sertakan dalam proses analisis maka user dapat menekan tombol, sehingga akan muncul halaman berikut ini:

238 218 Pada halaman ini user diminta untuk mengisi jenis pemurnian dan nilai kapasitas giling, untuk keperluan pengelompokan pabrik gula. Setelah selesai mengisi data-data tersebut maka user dapat menekan tombol, sehingga hasil pengelompokan akan muncul seperti pada gambar berikut ini: Sebagai catatan, kriteria pengelompokan pabrik gula telah diinput terlebih dahulu oleh user PAKAR melalui menu Manajemen Aturan. 5. Setelah hasil pengelompokan muncul maka user dapat melanjutkan proses analisis dengan menekan tombol, sehingga akan muncul halaman seperti pada gambar berikut ini:

239 219 Pada halaman ini user diharuskan untuk menginput nilai dari variabelvariabel untuk keperluan perbandingan pabrik gula pada akhir proses analisis kinerja. Setelah seluruh nilai variable terisi maka user dapat melanjutkan proses dengan menekan tombol, sehingga akan muncul halaman seperti gambar berikut ini: Pada halaman ini user diharuskan untuk menginput nilai dari kinerjakinerja untuk keperluan pengurutan ranking pabrik gula. Nilai kinerja yang diinputkan pada halaman ini adalah merupakan nilai hasil dari perhitungan fuzzy dengan metode mamdani yang terlebih dahulu dihitung oleh user melalui aplikasi matlab. Setelah seluruh nilai kinerja terisi maka user dapat melanjutkan proses dengan menekan tombol, sehingga akan muncul hasil pengurutan ranking pabrik gula seperti gambar berikut ini: 6. Setelah hasil ranking pabrik gula muncul, maka user dapat melanjutkan proses analisis dengan menekan tombol sehingga akan muncul halaman berikut ini:

240 220 Pada halaman ini user dapat memilih sebuah pabrik gula yang ingin diperbaiki. Untuk memilih pabrik gula yang ingin diperbaiki user dapat menekan radio button pada baris pabrik gula yang ingin diperbaiki kemudian menekan tombol. Setelah itu akan muncul resume variabel-variabel yang diperlu diperbaiki seperti pada gambar berikut ini: Pada halaman ini user dapat melihat daftar variabel yang perlu diperbaiki terkait pabrik gula yang dipilih. Selain itu user juga dapat melihat solusi perbaikan untuk suatu variabel dengan cara menekan link Solusi Perbaikan, sehingga akan muncul halaman sebagai berikut ini:

241 221 Sebagai catatan, user dapat berpindah ke tahap-tahap sebelumnya dengan cara menekan link pada breadcrum. Breadcrum MANAGE ATURAN Modul ini digunakan oleh user Pakar untuk mengelola aturan variabel dan atau kinerja yang akan menentukan jenis kategori nilai dari variabel atau kinerja sehingga variabel atau kinerja dari pabrik gula tergolong sebagai kategori rendah, menengah, atau tinggi. Pada modul ini terdapat dua tab yaitu aturan variabel dan aturan kinerja. Tab aturan variabel digunakan untuk mengelola aturan terkait variabel-variabel dari masing-masing kinerja, sedangkan tab aturan kinerja digunakan untuk mengelola aturan terkait kinerja-kinerja.

242 222 Secara normal pengklasifikasian kategori nilai variabel akan dipisahkan sesuai dengan batas bawah dan batas atas yang diisikan pada modul ini. Pengklasifikasian nilai kinerja mirip dengan pengklasifikasian variabel akan tetapi pada pengklasifikasian nilai kinerja tidak terdapat checkbox anomali. MANAJEMEN USER Modul ini digunakan oleh user Admin untuk mengelola user yang dapat mengakses SIANBAIKI. Pada modul ini user Admin dapat menambahkan user baru, mengedit data user, serta menghapus user.

243 223 Daftar Pengguna Form untuk menambahkan pengguna baru Untuk menambahkan user baru, maka admin dapat menggunakan form yang berada dibagian kiri halaman modul ini. Seluruh data user baru tersebut harus terisi dengan lengkap dan benar. Setelah seluruh data terisi dengan benar maka Admin dapat menekan tombol save untuk menyimpan data user tersebut. Jika proses penambahan berhasil maka nama user yang baru ditambahkan tersebut akan muncul pada tabel daftar pengguna. Selain menambah pengguna, user Admin juga dapat mengedit data-data dari suatu user dengan cara menekan tombol edit pada baris nama user yang ingin diedit datanya, sehingga akan muncul halaman sebagai berikut ini: Pada halaman ini pengguna dapat mengganti data profil pengguna, seperti nama, tempat lahir, tanggal lahir, data identitas, alamat, telepon, , serta jenis kelamin. Untuk mengubah data pengguna cukup ganti textbox yang ingin diganti, kemudian tekan tombol simpan data. Semua kolom harus diisi, jika dikosongkan

244 224 maka akan muncul pesan error. Admin juga dapat mereset password user ke password default, yaitu: , dengan cara menekan tombol reset password. MANAJEMEN PABRIK GULA Modul ini digunakan oleh user Admin untuk mengelola data pabrik gula yang dapat diikut sertakan dalam proses analisis kinerja pabrik gula pada aplikasi SIANBAIKI. Pada modul ini user Admin dapat menambahkan, mengedit, serta menghapus data pabrik gula. Daftar Pabrik Gula Form untuk menambahkan pabrik gula baru Untuk menambahkan pabrik gula baru, maka admin dapat menggunakan form yang berada dibagian kiri halaman modul ini. Seluruh data pabrik gula baru tersebut harus terisi dengan lengkap dan benar. Setelah seluruh data terisi dengan benar maka Admin dapat menekan tombol save untuk menyimpan data pabrik gula tersebut. Jika proses penambahan berhasil maka nama pabrik gula yang baru ditambahkan tersebut akan muncul pada tabel daftar pabrik gula. Selain menambah pabrik gula, user Admin juga dapat mengedit data-data dari suatu pabrik gula dengan cara menekan tombol edit pada baris nama pabrik gula yang ingin diedit datanya, sehingga akan muncul halaman sebagai berikut ini:

245 225 Pada halaman ini pengguna dapat mengganti data pabrik gula, seperti nama, deskripsi, lokasi kota pabrik gula, serta data default variabel. Untuk mengubah data pabrik gula cukup ganti textbox yang ingin diganti, kemudian tekan tombol simpan data. Semua kolom harus diisi, jika dikosongkan maka akan muncul pesan error. MANAJEMEN SARAN PERBAIKAN Modul ini digunakan oleh user Pakar untuk mengelola saran perbaikan terkait suatu variabel pabrik gula pada aplikasi SIANBAIKI. Saran perbaikan ini akan digunakan sebagai solusi akhir pada saat analisis kinerja pabrik gula. Pada modul ini user Pakar dapat membaca maupun mengedit saran perbaikan terkait masingmasing pabrik gula.

246 226 User Pakar dapat melihat saran perbaikan dari suatu variabel pabrik gula dengan cara menekan link [Lihat] pada baris variabel yang ingin dilihat saran perbaikannya, sehingga muncul halaman sebagai berikut ini: User Pakar dapat mengedit saran perbaikan dari suatu variabel pabrik gula dengan cara menekan link [Edit] pada baris variabel yang ingin dilihat saran perbaikannya ketika user Pakar berada pada halaman utama manajemen saran perbaikan. Pada halaman edit data saran perbaikan, user Pakar dapat menggunakan bantuan rich text editor untuk mengedit saran perbaikan dari suatu variabel. Untuk menyimpan perubahan saran perbaikan, user Admin dapat menekan tombol.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 65 3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dihadapi industri gula nasional yaitu rendahnya kinerja khususnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Untuk menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

5. PEMODELAN SISTEM. Basis Pengetahuan. karakteristik pembeda. ukuran-ukuran kinerja & keterkaitannya. kualifikasi kinerja per jenis kinerja

5. PEMODELAN SISTEM. Basis Pengetahuan. karakteristik pembeda. ukuran-ukuran kinerja & keterkaitannya. kualifikasi kinerja per jenis kinerja 93 5. PEMODELAN SISTEM 5.1 Konfigurasi Sistem Model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula dirancangbangun dalam bentuk sistem berbasis komputer. Prototype model

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

PENENTUAN RENDEMEN GULA TEBU SECARA CEPAT 1

PENENTUAN RENDEMEN GULA TEBU SECARA CEPAT 1 2003 Purwono Posted 7 October, 2003 Science Philosophy (PPs 702) Graduate Program / S3 Institut Pertanian Bogor October 2003 Instructors: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Principal) Prof Dr Ir Zahrial Coto

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT Oleh: VIDY HARYANTI F14104067 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA Illia Seldon Magfiroh, Ahmad Zainuddin, Rudi Wibowo Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jember Abstrak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP

RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP Welly Abdi Prayogi 1) Henry Bambang S 2) Anjik Sukmaaji 3) Fakultas Teknologi dan Informatika Institut

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H34066114 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS AGRIBISNIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA

PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

JSIKA Vol. 5, No. 8, Tahun 2016 ISSN X RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP

JSIKA Vol. 5, No. 8, Tahun 2016 ISSN X RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP RANCANG BANGUN DASHBOARD UNTUK VISUALISASI PRODUKTIVITAS BAHAN BAKU TEBU PADA PABRIK GULA GEMPOLKREP Welly Abdi Prayogi 1) Henry Bambang S 2) Anjik Sukmaaji 3) Fakultas Teknologi dan Informatika Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran penting di sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT PG CANDI BARU SIDOARJO. Diajukan oleh : Elizabeth Silvia Veronika NRP: Lovitna Novia Puspitasari NRP:

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT PG CANDI BARU SIDOARJO. Diajukan oleh : Elizabeth Silvia Veronika NRP: Lovitna Novia Puspitasari NRP: LAPORAN KERJA PRAKTEK PT PG CANDI BARU SIDOARJO Diajukan oleh : Elizabeth Silvia Veronika NRP: 5203013008 Lovitna Novia Puspitasari NRP: 5203013045 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi gula akan berimplikasi pada

I. PENDAHULUAN. Kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi gula akan berimplikasi pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi gula akan berimplikasi pada tingginya kebutuhan gula nasional. Kebutuhan gula nasional yang cukup tinggi seharusnya diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan

Lebih terperinci

PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR

PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI Oleh Rizki Lianti F34103064 2007 FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2..1.1. Tinjauan Agronomis Tanaman tebu tidak asing lagi bagi kita, karena telah lama ada di negeri ini. Di lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERAN MANAJEMEN TEKNOLOGI DALAM KEBERHASILAN REVITALISASI PABRIK GULA DI INDONESIA

PERAN MANAJEMEN TEKNOLOGI DALAM KEBERHASILAN REVITALISASI PABRIK GULA DI INDONESIA PERAN MANAJEMEN TEKNOLOGI DALAM KEBERHASILAN REVITALISASI PABRIK GULA DI INDONESIA Triwulandari S. Dewayana Jurusan Teknik Industri - Universitas Trisakti e-mail : triwulandari_sd@yahoo.com ABSTRAK Kajian

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ Oleh : Raden Luthfi Rochmatika A14102089 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sebagai penunjang utama kehidupan masyarakat Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian untuk pembangunan (agriculture

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan perekonomian Indonesia dibangun dari berbagai sektor, salah satu sektor tersebut adalah sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan (Poaceae) yang merupakan tanaman asli tropika basah, namun masih dapat

Lebih terperinci

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984 BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984 2.1 Latar Belakang Berdirinya PGKM Gula yang dalam hal ini adalah gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAITESISDANSUMBER INFORMASI Dengan inimenyatkan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam menghadapi persaingan Internasional yang semakin tajam, maka Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja yang murah,

Lebih terperinci

SISTEM PERTANIAN TERPADU TEBU-TERNAK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA DAN DAGING

SISTEM PERTANIAN TERPADU TEBU-TERNAK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA DAN DAGING KODE JUDUL : X.47 LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN HASIL PENGELOLAANNYA INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA SISTEM PERTANIAN TERPADU TEBU-TERNAK MENDUKUNG

Lebih terperinci

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Program

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI (PREPAID CARD) LOVITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah II) MUHAMMAD YUSUF SULFARANO BARUSMAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK. Oleh : Arlan Adrianda

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK. Oleh : Arlan Adrianda ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOLEKTIBILITAS KREDIT DEBITUR PADA CABANG AREA II JAKARTA - PT BANK XYZ TBK Oleh : Arlan Adrianda PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini terjadi ketidak seimbangan antara produksi dan konsumsi gula. Kebutuhan konsumsi gula dalam negeri terjadi peningkatan

Lebih terperinci

POTENSI SAGU SEBAGAI SUMBER PANGAN GLOBAL Oleh Bambang Hariyanto dan Agus Tri Putranto

POTENSI SAGU SEBAGAI SUMBER PANGAN GLOBAL Oleh Bambang Hariyanto dan Agus Tri Putranto POTENSI SAGU SEBAGAI SUMBER PANGAN GLOBAL Oleh Bambang Hariyanto dan Agus Tri Putranto Disampaikan pada Acara Semiloka Sagu Tanggal 9 November 2016 di Bogor BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 2016

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya

Lebih terperinci

DWIYANlP HENDRAWATL Efisiensi Pengusahaan Gula Tebu di Lahan Sawah Dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (Dibawah biiigan RITA NJRMALINA SURYANA)

DWIYANlP HENDRAWATL Efisiensi Pengusahaan Gula Tebu di Lahan Sawah Dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (Dibawah biiigan RITA NJRMALINA SURYANA) EFISIENSI PENGUSA N GUEA TEBU DI DENGAN ANALISIS BIAYA SUIWBEmAYA DOMESTIK (Studi Kasus di Witayah Ke rja PG. Gempolkrep Kab. Mojokerto dan Wilayah Kerja PG. Meritjan Kab. Kediri, Propinsi Jawa Timur)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tebu Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman ini memerlukan udara panas yaitu 24-30 ºC dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 6 ºC, perbedaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP RENDEMEN TEBU STUDI KASUS DI PABRIK GULA TOELANGAN SIDOARJO JAWA TIMUR SKRIPSI

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP RENDEMEN TEBU STUDI KASUS DI PABRIK GULA TOELANGAN SIDOARJO JAWA TIMUR SKRIPSI FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP RENDEMEN TEBU STUDI KASUS DI PABRIK GULA TOELANGAN SIDOARJO JAWA TIMUR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula

BAB I PENDAHULUAN an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara dengan basis sumberdaya agraris, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen dan eksportir gula pasir yang terbesar di dunia pada decade 1930-40 an.

Lebih terperinci

PERENCANAAN BAHAN BAKU PADA PRODUKSI GULA TEBU (Studi Kasus PTPN XI PG Djatiroto Kabupaten Lumajang)

PERENCANAAN BAHAN BAKU PADA PRODUKSI GULA TEBU (Studi Kasus PTPN XI PG Djatiroto Kabupaten Lumajang) PERENCANAAN BAHAN BAKU PADA PRODUKSI GULA TEBU (Studi Kasus PTPN XI PG Djatiroto Kabupaten Lumajang) SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam industri gula. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK.

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. Oleh: Gusri Ayu Farsa PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENGENDALIAN MUTU TEBU RAKYAT KERJASAMA USAHA DI PT. PABRIK GULA CANDI BARU SIDOARJO SKRIPSI

MANAJEMEN PENGENDALIAN MUTU TEBU RAKYAT KERJASAMA USAHA DI PT. PABRIK GULA CANDI BARU SIDOARJO SKRIPSI MANAJEMEN PENGENDALIAN MUTU TEBU RAKYAT KERJASAMA USAHA DI PT. PABRIK GULA CANDI BARU SIDOARJO SKRIPSI Diajukan Oleh : LUTHIAKIRANA TRI PURINA 0724110010 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Oleh : Venny Syahmer PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

APLIKASI METODE REGRESI LINIER BERGANDA DALAM MENCARI FORMULASI PERSEDIAAN BAHAN BAKU GULA TEBU

APLIKASI METODE REGRESI LINIER BERGANDA DALAM MENCARI FORMULASI PERSEDIAAN BAHAN BAKU GULA TEBU APLIKASI METODE REGRESI LINIER BERGANDA DALAM MENCARI FORMULASI PERSEDIAAN BAHAN BAKU GULA TEBU (Saccharum officinarum L) (STUDI KASUS DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XI (PERSERO) PABRIK GULA OLEAN SITUBONDO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal tebu yang tidak kurang dari 400.000 ha, industri gula nasional pada saat ini merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 28 Oktober 2013 1. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2 Ketersediaan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai macam produk baik dari sektor hortikultura maupun perkebunan. Seiring

I. PENDAHULUAN. berbagai macam produk baik dari sektor hortikultura maupun perkebunan. Seiring 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi disuatu negara. Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang menghasilkan berbagai macam produk baik

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan nasibnya bekerja disektor pertanian (Husodo, dkk, 2004:23- meningkatnya peranan sektor-sektor industri.

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan nasibnya bekerja disektor pertanian (Husodo, dkk, 2004:23- meningkatnya peranan sektor-sektor industri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F14104084 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI

Lebih terperinci

yang tinggi dan ragam penggunaan yang sangat luas (Kusumaningrum,2005).

yang tinggi dan ragam penggunaan yang sangat luas (Kusumaningrum,2005). 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Juta ton BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan sumber pangan utama yang digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENINGKATAN RENDEMEN DAN HABLUR TANAMAN TEBU

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENINGKATAN RENDEMEN DAN HABLUR TANAMAN TEBU - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENINGKATAN RENDEMEN DAN HABLUR TANAMAN TEBU I. UMUM Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI OLEH : ANDY CHRISTIAN 0731010003 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci