11. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tempe Bongkrek

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "11. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tempe Bongkrek"

Transkripsi

1 11. TINJAUAN PUSTAKA A. Tempe Bongkrek Tempe bongkrek merupakan makanan khas masyarakat daerah Banyumas, biasanya dipergunakan sebagai lauk penghantar nasi atau dibuat makanan jajan (Hardjohutonio, 1970; Ekosapto, 1975; Winarno, 1986). Tempe ini sangat disukai oleh masyarakat daerah tersebut. Selain tempe bongkrek, di daerah Banyumas juga ada jenis makanan lain yang mirip dengan tempe bongkrek, yaitu yang disebut semayi (Kuswanto, 1988). Bahan dasar semayi adalah kelapa parut, ampas kelapa atau campurannya. Pada pembuatan semayi proses fermentasi terjadi secara alami, artinya tidak ditambahkan mikrobe tertentu secara sengaja, sedangkan pada pembuatan tempe bongkrek ditambahkan laru tempe yang berisi kapang R. oligosporus (Nugteren dan Berends, 1957; Budijono, 1976/1977; KO dan Kelholt, 1981; KO, 1985) atau Mucor sp. (Hardjohutomo, 1958; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980). Garis besar pembuatan tempe bongkrek adalah sebagai berikut : ampas kelapa atau bungkil kelapa direndam selama semalam, kemudian dicuci dan diperas. Kemudian ampas kelapa tersebut dikukus selama 30 sampai 60 menit. Setelah dingin ampas kelapa dicampur dengan laru dan dibungkus dengan daun pisang, kantung plastik atau dihamparkan di atas nyiru dengan ketebalan sekitar 3 cm, kemudian ditutup dengan daun

2 pisang dan karung goni. Setelah itu ampas kelapa dibiarkan selama dua hari pada suhu kamar, sehingga kapang tempenya tumbuh. Tempe bongkrek yang baik, mempunyai tekstur yang padat dan kompak, berwarna putih seperti kapas karena ditutupi secara sempurna oleh miselia kapang tempe (KO et al., 1979; KO, 1985; Ridwan, 1986). Setiap 100 g tempe bongkrek, kandungan zat gizinya sebagai berikut : nilai kalori 119 Kal, protein 4.4 g, lemak 3.5 g, karbohidrat 18.3 g,kalsium 27.0 mg, fosfor mg, zat besi 2.6 mg, vitamin B mg, dan air 72.5 g (Ekosapto, 1975). Bahan dasar yang dipergunakan untuk membuat tempe bongkrek dapat berupa bungkil kelapa pabrik, bungkil kelapa botokan yang diperoleh dari hasil samping pembuatan minyak kelapa dengan menggunakan yuyu (Cancer), ampas kelapa yang merupakan bahan sisa pembuatan minyak kelapa secara tradisional (klentik) atau sisa dari industri dodol. Umumnya tempe bongkrek yang dibuat dari bungkil kelapa pabrik jarang ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans karena kadar lemaknya rendah. Akan tetapi bungkil kelapa botokan dan ampas kelapa, karena masih mengandung minyak yang cukup tinggi maka sering ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans (van Veen dan Mertens, 1933; Soedigdo, 1977; KO, 1985). Memurut van Veen dan Mertens (1933); Soedigdo (1977); dan KO (1985) bakteri P. cocovenenans dapat membentuk toksin pada ampas kelapa yang disimpan. Mengingat kemungkinan tersebut di atas maka keracunan tempe bongkrek dapat juga

3 disebabkan karena bahan dasar yang telah tercemar oleh toksin yang dihasilkan bakteri P. cocovenenans selama bahan dasar tersebut disimpan. Menurut Lie et al. (1985) untuk mencegah tumbuhnya bakteri selama penyimpanan, sebaiknya ampas kelapa dikeringkan. 1 B. Keracunan Tempe Bongkrek dan Usaha Pencegahannya Sudah banyak terjadi korban keracunan akibat mengkon- sumsi tempe bongkrek. Data tentang korban keracunan tempe bongkrek dapat dilihat pada Tabel 1.. Tabel 1. Data korban keracunan tempe bongkrek di beberapa daerah di Jawa Tengah ( ) Penderita keracunan bongkrek Tahun M a t i H i d u p Jumlah Sumber : Roedhijanto (1988) Musim terjadinya keracunan tempe bongkrek pada umumnya tidak tertentu. Ada indikasi bahwa keracunan tempe bongkrek

4 terjadi bila musim paceklik dan harga bahan dasar bungkil kelapa meningkat, sehingga produsen tempe bongkrek sengaja mengganti atau mencampuri bungkil kelapa dengan ampas kela- Pa Berat ringannya keracunan tempe bongkrek ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah tempe bongkrek yang dikonsumsi, ketahanan tubuh si penderita, dan kecepatan untuk mendapatkan perawatan dokter. Menurut ~urmandali (1979) cukup dengan mengkonsumsi sebanyak 5 g sampai 25 g tempe bongkrek yang beracun kematian sudah dapat terjadi. Ciri-ciri atau gejala-gejala keracunan tempe bongkrek dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ciri-ciri keracunan tempe bongkrek Tingkat Keracunan Ringan Sedang Berat Meninggal Ciri-ciri Keracunan Pusing, mual, muntah Pusing, mual, muntah, sakit perut Diare, kejang, keluar buih dari mulut Koma, ada bercak-bercak darah beku di bawah kulit Sumber : Suhardjo et al. (1988/1989) Kasus keracunan tempe bongkrek, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah Banyumas saja, tetapi terjadi juga di daerah lainnya. Akan tetapi karena korban keracunan paling banyak terjadi di daerah Banyumas dan dapat dikatakan hampir

5 terjadi setiap tahun, maka yang paling terkenal adalah kasus keracunan tempe bongkrek di daerah Banyumas. Pada tahun 1928 di daerah Kediri terjadi kasus keracunan tempe bongkrek. Pada saat itu masyarakat daerah Kediri menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar untuk penerangan. Ampas kelapa yang dihasilkan dari hasil samping pembuatan minyak kelapa digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat tempe bongkrek. Kasus keracunan tempe bongkrek di daerah Kediri tidak timbul lagi setelah daerah Kediri menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan. Pada tahun 1956 di Kabupaten Kulonprogo dan di Malang juga terjadi kasus keracunan tempe bongkrek. Demikian juga di daerah Brebes dan Lampung juga pernah terjadi kasus keracunan tempe bongkrek. Dahulu diduga penyebab terjadinya keracunan tempe bongkrek di daerah Banyumas adalah alat tembaga yang digunakan untuk merendam dan memasak ampas kelapa atau bungkil kelapa. Namun setelah alat tersebut diganti dengan alat yang tidak terbuat dari tembaga, kasus keracunan tempe bongkrek masih saja terjadi. Selain itu diduga juga penyebab keracunan tempe bongkrek karena penggunaan yuyu (Cancer) untuk membuat minyak kelapa (Soeryopranoto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1976/1977 dan 1979/1980; Budijono, 1976/1977; Winarno, 1986). Sudah banyak usaha dilakukan untuk menemukan dan mence- gah penyebab keracunan tempe bongkrek. Penelitian telah

6 diawali oleh Vorderman pada tahun 1902 (Hardjohutomo, 1970; Soewad j i et al., 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1976/1977), kemudian dilanjutkan pada tahun 1928 oleh Jansen (Suklan, 1984). Namun baru pada tahun 1932 van Veen dan Mertens berhasil mengungkap penyebab terjadinya keracunan pada tempe bongkrek dan menemukan bahwa penyebab keracunan adalah suatu bakteri kontaminan yang disebut Pseudomonas cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958 dan 1970). Ternyata jika bakteri ini tumbuh, maka kapang Rhizopus sp. yang diharapkan menjadi tidak dapat tumbuh sehingga fermentasi tempe bongkrek mengalami kegagalan. Bakteri P. cocovenenans bila ditumbuhkan pada medium ampas kelapa akan memproduksi toksin yang dikenal dengan nama asam bongkrek dan toksoflavin. Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang mempunyai daya toksisitas yang lebih potensial daripada toksoflavin, sedangkan toksoflavin merupakan toksin yang berwarna kuning yang dapat dilihat jelas jika ampas kelapa tercemar oleh toksin tersebut. Van Veen (Hardjohutomo,l958) juga telah melakukan usaha untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek selama fermentasi dengan menggunakan kapang Monillia sitophila sebagai pengganti kapang Rhizopus sp.. Kapang ini sanggup memanfaatkan sisa minyak kelapa yang masih terdapat pada ampas kelapa dalam waktu sehari semalam sehingga apabila tempe bongkrek terkontaminasi bakteri P. cocovenenans maka

7 bakteri tersebut tidak mampu untuk memproduksi toksin. Meskipun kapang ini berhasil mencegah pembentukan toksin da- lam tempe bongkrek namun ada masalah karena yang dihasilkan bukan tempe.bongkrek melainkan oncom. Dilain pihak masyara- kat daerah Banyumas sangat menyukai tempe bongkrek dan bukan oncom, sehingga usaha penerapannya mengalami kegagalan. Pada tahun 1956 Hardjohutomo juga melakukan penelitian untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek. Pada awal penelitiannya digunakan antibiotik aureomisin dan teramisin yang ternyata dapat mencegah pertumbuhan bakteri P. cocovenenans. Namun dalam penerapannya senyawa antibio- tik ini susah dicari dan harganyapun mahal, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat diterapkan oleh masyarakat Banyumas (Hardjohutomo, 1958). Hardjohutomo kemudian beralih menggunakan daun-daun tanaman yang mengandung senyawa yang bersifat antibiotik. Ternyata dari beberapa jenis daun yang digunakan untuk pene- litian, ada satu jenis daun yang dapat menghambat pertumbuh- an bakteri P. cocovenenans. Daun tanaman tersebut berasal dari tanaman calincing (Oxalis sepium). Daun tanaman terse- but rasanya asam dan sering digunakan untuk membuat sayur asam. Rasp asam daun calincing disebabkan adanya senyawa asam, seperti asam oksalat 0.06 persen, asam sitrat 0.05 persen dan asam-asam tartarat, malat dalam jumlah sedikit (Hard johutomo, 1958).

8 Penggunaan daun calincing dapat menghambat bakteri P. cocovenenans atau merupakan antidotum dari toksin yang I diproduksinya. Menurut penelitian Hardjohutomo (1958) daun calincing merupakan penghambat bagi pertumbuhan bakteri, sedangkan.menurut Subardjo (1983) daun calincing bukan merupakan suatu antibiotik, tetapi merupakan antidotum terhadap asam bongkrek. Namun Ekosapto (1975) menyatakan bahwa daun calincing bersifat bakteriostatik dan merupakan antidotum. Dosis yang efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri P. cocovenenans adalah 6 sampai 10 g daun calincing per 250 g ampas kelapa. Penggunaan daun calincing segar menimbulkan masalah karena timbulnya warna hijau pada tempe bongkrek yang dihasilkan. Timbulnya warna hijau ini dapat.diatasi dengan menggunakan ekstrak daun calincing kering. Penggunaan daun calincing pada mulanya berjalan baik, namun karena susah penyediaannya maka akhirnya upaya ini terhenti. KO et al. (1979) juga telah melakukan penelitian untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek. Ternyata penambahan garam NaCl sebanyak persen pada ampas kelapa dapat mencegah tumbuhnya bakteri P. cocovenenans tanpa mempengaruhi rasa tempanya. KO dan Kelholt (1981) menyatakan bahwa apabila bakteri P. cocovenenans yang tumbuh pada starter jumlahnya kurang dari 10 kali jumlah spora kapang R. oligosporus maka toksin bongkrek tidak dapat diproduksi pada medium ampas kelapa. Hasil penelitian KO et al.

9 (1979); KO dan Kelholt (1981) ternyata tidak mudah diterap- kan di masyarakat. Pemerintah dari dulu juga sudah melakukan upaya untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek. Upaya yang dilakukan umumnya bersifat preventif, seperti dikeluarkannya larangan untuk memproduksi dan menjual tempe bongkrek, pembinaan teknologi dan sanitasi pembuatan tempe bongkrek, penyuluhan yang berkaitan dengan tempe bongkrek yang beracun dan lain-lainnya. Larangan untuk memproduksi tempe bongkrek dapat menu- runkan jumlah produsen, namun hanya bersifat sementara. Hal ini terjadi karena biasanya larangan yang diberlakukan tidak diikuti dengan cara pemecahan masalah yang tuntas. Penda- patan yang diperoleh dari pekerjaan lain umumnya lebih kecil dari pendapatan yang diperoleh dari usaha tempe bongkrek. Berdasarkan hal-ha1 tersebut maka'meskipun produsen tahu bahwa tempe bongkrek dapat menimbulkan bahaya keracunan dan ada larangan dari pemerintah untuk memproduksinya, mereka tetap saja membuatnya. Pada umumnya para konsumen tempe bongkrek meskipun me- reka tahu bahwa memakan tempe bongkrek mempunyai resiko ke- racunan, namun masih tetap mengkonsumsinya. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, seperti tingkat sosial ekonominya yang rendah, harganya murah, rasanya enak dan rasa kecanduannya.

10 Akhir-akhir ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek adalah mengalihkan usaha temp bangkrek ke usaha tempe jamur merang atau menjadi.petani jamur merang. Pembuatan tempe jamur merang diharapkan tidak mengalami kesulitan, kareng mereka sudah mempunyai pengalaman menbuat tempe bongkrek. C. Bakteri P. cocovenezmns 1. Bifat Bakteri Pada mulanya bakteri yang dicurigai tumbuh pada tempe bongkrek adalah Bacillus, kemudian diberi nama Bacillus cocovenenans. Setelah diteliti kembali di Mikrobiologisch Institut pada Technische Hogenschool, Delft, Nederland, di- ajukan nama genus Pseudomonas, sehingga namanya menjadi P. cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957 ; Hard johutomo, 1958 dan 1970). Nama P. cocovenenans, berasal dari kata venenum yang berarti toksin di dalaa bahasa Latin dan coco dari kata coconut yang berarti kelapa. Jadi nama P. cocovenenans ber- arti toksin dari kelapa yang diproduksi oleh bakteri genus ~seudonoias (Baluel, 1978 ; Anggraeni, 1990). Menurut Bergeyls Manual of Determinative Bacteriology bakteri P. cocovenenans ternasuk famili Bacteriaceae karena bakteri ini bersifat heterotrof dan tidak membentuk spora (Robert et al., 1957). Pada tahun 1936 Kluyver dan van Niel

11 menggolongkan bakteri P. cocovenenans ke dalam famili Pseudomonadaceae karena mempunyai flagela polar dan mampu mengubah sakarida menjadi asam (van Damme et al., 1960). Genus Pseudomonas dapat mengubah glukosa dan jenis gula lainnya baik'secara oksidatif maupun secara fermentatif. Bakteri ini juga mempunyai sifat-sifat lainnya sebagai ber- ikut : saprofitik, tidak membentuk spora, aerob atau anaerob fakultatif dan bentuknya berubah-ubah tergantung medium pertumbuhannya (van Veen dan Mertens, 1933; Arbianto, 1963, 1975; Hardjohutomo, 1970; Winarno, 1986; Lie et al., 1988; ~nggraeni, 1990), berukuran pan jang 0.75 sampai 2.98 j~ dengan lebar 0.30 sampai 0.5 j~ (Arbianto, 1971). Beberapa jenis bakteri bersifat motil, yaitu dapat bergerak karena mempunyai suatu organ yang disebut flagela yang terdapat pada permukaan self termasuk bakteri genus Pseudomonas (Fardiaz, 1989). Bakter i P. cocovenenans dapat bergerak karena mempunyai flagela polar (Hardjohutomo, 1970). Flagela P. cocovenenans bersifat lopotrikat dan berjumlah 3 sampai 4 buah (van Veen dan Mertens, 1933). Selain flagela bakteri ini juga mempunyai 4 silia pada salah satu ujungnya (Arbianto, 1975). Bakteri ~.cocovenenans terdapat di alam sebagai orga- nisme bebas (van Veen dan Mertens, 1933). Bakteri ini di- anggap sebagai suatu rnikrobe kontaminan tempe bongkrek atau lainnya yang dapat terjadi secara insidental (Arbianto,

12 1979). Trihadiningrum dan Arbianto (1983) berhasil mengi- solasi P. cocovenenans yang menghasilkan toksoflavin dan asam bongkrek dari tiga sampel air, yang berasal dari salur- an irigasi sekunder, kolam penduduk dan sungai yang semuanya berada di desa Arjawinangun, Kecamatan Purwokerto, daerah Banyumas. Identifikasi bakteri P. cocovenenans secara morfologis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pewarnaan Gram dan pengujian dalam medium Kelman yang mengandung zat warna 2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida. Identifikasi dengan pewarnaan Gram sesungguhnya tidak bersifat spesifik terhadap P. cocovenenans. Oleh karena itu uji pertumbuhan dalam medium Kelman dilakukan untuk identifikasi P. cocovenenans karena keselektifannya terhadap bakteri tersebut. Medium yang ditemukan oleh Kelman pada tahun 1954, terdiri dari pepton 1 persen, glukosa 1 persen, bakto agar 1.7 persen dan 2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida 50 ppm (Trihadiningrum dan Arbianto, ). Sifat-sifat koloni bakteri P. cocovenenans dalam medium Kelman adalah berbentuk bundar, bertepi rata (tidak berge- lombang) yang berwarna putih, mempunyai pusat dengan warna merah muda dan mempunyai kesan lembab (Arbianto, 1980; Trihadiningrum dan Arbianto, 1983). Trifenil tetrazolium khlorida selain berfungsi sebagai pemberi warna pada koloni, juga berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain terutama golongan bakteri Gram positif. Kadang-kadang ke

13 dalam medium Kelman ditambahkan juga penisilin untuk mene- kan pertumbuhan bakteri kontaminan. Menurut penelitian Trihadiningrum dan Arbianto (1983) bakteri P. cocovenenans mempunyai sifat-sifat khas sebagai berikut : mampu mensintesis semua basa asam nukleat yang dibutuhkan dan membutuhkan senyawa organik sebagai sumber enersi. Pada umumnya asam amino mempercepat pertumbuhan karena dapat memperpendek periode lag (fase adaptasi) dengan efektivitas yang berbeda. Glukosa merupakan sumber karbon yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Seperti halnya mikrobe yang lain, pertumbuhan bakteri P. cocovenenans dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat yang tirnbul karena pengaruh lingkungan ini disebut fenotip (Anggraeni, 1990). Fenotip atau penampakan luar dari bakteri terjadi karena adanya interaksi antara genotip dan lingkungannya. Biasanya perubahan fenotip dapat disebabkan oleh karena adanya perubahan kondisi lingkungan yang bersifat tidak menetap. Fenotip akan kembali normal seperti semula apabila kondisi lingkungan dikembalikan pada keadaan normalnya yang optimum. Koloni bakteri P. cocovenenans berwarna kuning pada medium yang mengandung gliserol, namun tidak selalu demikian. Pada medium yang mengandung glukosa dan pada medium yang mengandung asam-asam lemak dari minyak kelapa pembentukan warnanya jauh berkurang (van Veen, 1967).

14 2. Produksi Toksin oleh P. cocovenenans Dalam pertumbuhan dan perkembangbiakannya, mikrobe membutuhkan zat-zat gizi untuk mensintesis komponen sel, menghasilkan metabolit sekunder dan enersi. Metabolit sekunder adalah suatu hasil metabolisme yang bukan merupakan kebutuhan pokok sel mikrobe untuk hidup dan tumbuh, seperti misalnya toksin, antibiotik, pigmen, vitamin dan lain sebagainya. Bakteri P. cocovenenans memproduksi toksin pada medium ampas kelapa dan toksin yang dihasilkan ini merupakan suatu metabolit sekunder. Semenjak pertengahan tahun 1890 telah ditemukan bebe- rapa jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri. ~ebagian besar bakteri penghasil toksin merupakan bakteri kontaminan pada beberapq bahan pangan, seperti halnya bakteri bongkrek P. cocovenenans yang merupakan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek. Hampir semua toksin yang dihasilkan oleh bakteri. <. merupakan protein atau polipeptida, namun ada juga yang bukan merupakan protein, seperti asam bongkrek dan toksoflavin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans. Asam bongkrek merupakan asam trikarboksilat dan toksoflavin merupakan senyawa basa. Alouf dan Reynoud (1970) yang dikutip oleh Kuswanto dan Sudarmadji (1988) menggolongkan toksin bakteri atas tiga kelompok, yaitu : (1) toksin intraseluler, toksin yang dibentuk di dalam sitoplasma yang dapat ke luar dari sel. L

15 apabila sel inengalami otolisis atau apabila dilakukan eks- traksi; (2) toksin ekstraseluler, toksin yang diproduksi di luar sel; dan (3) toksin yang terdapat diantara sel. Menu- rut Lie et al. (1988) toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans merupakan suatu eksotoksin, sedangkan menurut Arbianto (1971) asam bongkrek di produksi di dalam sel dan dibebaskan ke dalam medium ketika beberapa sel mulai mengalami lisis pada fase stasioner. Produksi toksin dan metabolit sekunder lainnya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis mikrobe, ph, suhu, ketersediaan zat gizi, dan terdapatnya mikrobe lain yang tumbuh dalam medium. Pada umumnya bahan dasar yang digunakan untuk fermentasi sudah mengandung zat gizi sebagai sumber enersi, sumber nitrogen, air, vitamin, mineral, dan faktor-faktor lain yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikrobe (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988). Bakteri P. cocovenenans hanya memproduksi toksin apabila tumbuh pada medium yang mengandung ampas kelapa. Pada medium lainnya meskipun juga mengandung minyak, seperti kedelai, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, ampas tahu, bi ji kapok, biji munggur, biji lamtoro, dan biji koro benguk asal tidak tercampur dengan ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans tidak akan memproduksi toksin (van Veen dan Mertens, 1933; Soepadi, 1953; Hardjohutomo, 1958, 1970; Ekosapto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).

16 Pertumbuhan bakteri P. cocovenenans tidak terpengaruh oleh perbedaan kandungan lemak pada kisaran 2 sampai 25 persen, sedangkan penurunan produksi toksoflavin nyata terjadi hanya jika kandungan lemak ampas kelapa kurang dari 5 persen. Randungan lemak sebesar 7 sampai 14 persen dalam medium ampas kelapa (Coconut Culture Medium) merupakan kondisi yang paling sesuai untuk produksi toksin (KO, 1985). Selain.dipengaruhi oleh kadar lemak ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans dalam pertumbuhan dan produksi toksinnya dipengaruhi pula oleh kadar air ampas kelapanya. Pada kisaran kadar air ampas kelapa antara 35 sampai 75 persen pertumbuhan dan produksi toksin tidak dipengaruhi oleh perbedaan kadar air (KO, 1985). Namun pada kadar air rendah seperti pada ampas kelapa yang telah dikeringkan bakteri P. cocovenenans tidak dapat tumbuh (Lie et al., 1985). Pada medium ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans akan menggunakan asam-asam lemak terutama asam oleat dan gliserol sebagai sumber karbon dan sumber enersi (van Veen dan Mertens, 19.33, dan 1934; Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958; van Damme et al., 1960; van Veen, 1967). Asam-asam lemak, terutama asam oleat akan digunakan sebagai substrat untuk pembentukan asam bongkrek sedangkan gliserol digunakan sebagai substrat untuk pembentukan toksoflavin. Adanya asam-asam amino tambahan pada medium pertumbuhan akan menstimulasi produksi asam bongkrek. Vitamin dan basabasa purin dan pirimidin tidak diperlukan untuk produksi

17 asam bongkrek (Arbianto, 1979). Menurut Levenberg dan Linton (1966) basa-basa purin tertentu yang ditambahkan ke dalam medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans akan menyebabkan toksoflavin yang dihasilkan bertambah banyak. Basa-basa pu- rin tersebut antara lain adalah xantina, xantosina, guanina, isoguaniana, hipoksantina dan adenina. Penelitian lebih lanjut oleh Levenberg dan Linton (1966) menunjukkan bahwa konversi basa-basa purin menjadi toksoflavin distimulasi oleh adanya glisin di dalam medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans, Nurmandali (1979) telah mencoba melakukan biosintesis toksoflavin dengan menggunakan prekursor xantina, glisina dan metionina dengan bantuan enzim dari bakteri P. cocovenenans, tetapi hasil- nya masih belum seperti yang diharapkan. Gliserol dan asam- asam organik cocok untuk pertumbuhan dan produksi asam bongkrek (Arbianto, 1979). Toksoflavin relatif lebih mudah diproduksi di dalam medium cair daripada di dalam medium padat (van Veen, 1967). Pada medium cair yang mengandung gliserol, pepton dan garam serta dibiarkan berhubungan dengan udara pada suhu 30 C, bakteri P. cocovenenans mudah memproduksi toksoflavin. Selama fermentasi tempe bongkrek, P, cocovenenans tum- buh bersama dengan kapang tempe dan bersaing untuk mendapat- kan substrat. Menurut penelitian KO et al. (1979) jumlah spora R. oligosporus untuk inokulasi sebanyak lo4- lo7 untuk setiap gram bahan akan dapat menghambat produksi toksin,

18 karena pertumbuhan kapang lebih cepat daripada bakteri, sedangkan apabila spora R.oligosporus yang ditambahkan tidak lebih dari per gram bahan, diduga produksi asam bongkrek akan meningkat. Menurut KO dan Kelholt (1981) interaksi pertumbuhan antara kapang dan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek dapat menghambat pembentukan atau terjadinya penurunan jumlah toksin. Kapang R. oligosporus kemungkinan dapat menghasilkan ekstrak metabolit yang dapat menghambat pembentukan toksin oleh P. cocovenenans atau bila toksin sudah terbentuk maka terjadi dekomposisi, perubahan atau digunakan untuk metabolisme kapang, sehingga jumlahnya berkurang. Mekanisme penghambatan dan degradasi senyawa toksin tersebut masih belum j elas. Keasaman medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans mempengaruhi produksi toksin. Menurut penelitian Arbidnto.(1975) bakteri P. cocovenenans tidak membentuk toksin apabila ph ampas kelapa 4.2 dan produksi toksin'optimum pada ph 8.0, sedangkan menurut penelitian KO (1985) ph awal medium 6.5 sampai 7.0 merupakan kondisi yang optimum untuk produksi toksoflavin. Apabila ph awal rendah maka produksi toksoflavin juga rendah. Pada ph lebih besar dari 7.0 produksi toksoflavin akan menurun dengan kenaikan ph. Suhu inkubasi juga mempengaruhi produksi toksin dari bakteri P. cocovenenans. Produksi asam bongkrek optimum bila suhu inkubasi 30 c, sedangkan produksi toksoflavin

19 optimum bila suhu inkubasi antara 30 c - 37O~. Secara nyata suhu yang tinggi menghambat produksi asam bongkrek, tetapi 23 tidak menghambat perbanyakan sel. Pada suhu 43O~, meskipun sel bertambah jumlahnya namun asam bongkrek dan toksoflavin tidak diproduksi (KO, 1985). Produksi toksin dipengaruhi oleh kondisi aerasi pada medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans. Menurut van Damme et a1. (1960) produksi toksof lavin terhambat bila jumlah oksigen terbatas. D. Toksin Bongkrek Bakteri P. cocovenenans pada medium ampas kelapa akan memproduksi dua macam toksin, yaitu toksoflavin dan asam bongkrek. Kedua toksin ini disebut juga toksin bongkrek, karena sering terdapat secara bersamaan pada tempe bongkrek yang beracun. 1. Toksof lavin Toksoflavin adalah toksin yang berwarna kuning, ber- sifat sedikit basa dan sangat polar. Toksoflavin larut dalam air, kloroform, etanol dan aseton serta hampir tidak larut dalam eter, benzena dan petroleum eter (van Veen dan Mertens, 1933; Hardjohutomo, 1958; van Veen, 1967; Arbianto, 1975). Meskipun toksisitasnya lebih rendah daripada asam bongkrek, tetapi toksoflavin bersifat toksik terhadap sel,

20 sehingga merupakan senyawa yang penting juga. Di samping itu strukturnya lebih sederhana dan lebih stabil sifatnya (Soedigdo, 1977). Toksoflavin pertama kali diisolasi oleh van Veen pada tahun 1932 dari tempe bongkrek yang beracun yang berasal dari daerah Banyumas. Menuruk penelitian van Veen dan Baars (1938) rumus empiris toksoflavin adalah C6H6N4O2 dan rumus bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1A. Menurut rumus van Veen dan Baars struktur toksoflavin serupa dengan metilsantin, hanya berbeda posisi ikatan rangkapnya, sehingga mudah dilakukan isomerisasi tetapi kenyataannya tidak mudah diisomerisasi. menjadi metilsantin. Sifat fisik dan kimiawi 1-metilsantin sangat berbeda dengan toksoflavin, sehingga rumus toksofla- vin menurut van Veen dan Baars ditolak. Toksoflavin dengan o-fenilenediamin dalam larutan sedikit asam akan menghasilkan senyawa C11H8N402, yang berarti menjadi N-metilalloksazin, dan berarti bahwa toksoflavin mengandung N-metilalloksan. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut van Damme et al. (1960) menemukan bahwa rumus empiris toksoflav.in adalah C7H7N502 dan mempunyai struktur seperti terlihat pada Gambar 1B. Struktur ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Daves et al. (1962). Latuasan dan Berends (1961) melaporkan bahwa toksoflavin identik dengan senyawa antibiotik xantotrisin yang diproduksi oleh bakteri Streptococcus albus. Toksisitas

21 toksoflavin dan xantotrisin sama kuatnya. P. glumae dan P. farinofermentus menghasilkan toksin yang serupa dengan toksoflavin. De Boer et a1.(1960) serta Elbe et a1.(1960) yang dikutip oleh Anggraeni (1990) mengisolasi suatu antibiotik ferfenulin dari Streptomyces ferfenulens yang ternyata merupakan isomer dari toksoflavin. Gambar 1. Struktur toksoflavin. (A) menurut van Veen dan Baars, 1938; (B) menurut van Damme et al., Toksoflavin diberi nama akhiran flavin karena sifat fisiko-kimiawinya serupa dengan riboflavin, yaitu rnempunyai warna kuning, menunjukkan fluoresensi hijau walaupun lemah,

22 stabil terhadap panas dan mempunyai spektrum absorpsi yang serupa dengan riboflavin (van Veen, 1967), Toksof lavin yang murni berbentuk seperti jarum. Toksoflavin dengan SO2 menjadi tidak berwarna, tetapi bila dikocok di udara menjadi berwarna lagi. Apabila toksoflavin direaksikan dengan HC1 6N pada suhu kamar dan dibiarkan selama 24 jam maka akan diperoleh suatu larutan tak berwarna dan tidak melakukan absorpsi pada daerah ultra violet. Pemekatan larutan ini akan menghasilkan senyawa tidak berwarna yang mempunyai dua puncak absorpsi pada daerah ultra violet, yaitu pada panjang gelombang 223 nm dan 328 nm. Senyawa ini diberi nama toksoflavin B. Toksoflavin sendiri mempunyai absorpsi maksimum pada daerah ultra violet dengan panjang gelombang 258 nm dan 395 nm (van Dame et al., 1960). Toksoflavin biasanya diukur pada panjang gelombang 258 nm dengan nilai koefisien penyerapan sebesar Toksoflavin bila direaksikan dengan asam mineral dihasilkan senyawa yang mempunyai rumus C6H8N4o3, senyawa ini dianggap sebagai suatu hidrat dari toksoflavin (van Veen, 1967). Slamet (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan ternyata toksoflavin yang dihasilkan mempunyai dua puncak absorpsi, yaitu pada panjang gelombang 260 nm dan 216 nm. Tantie (1985) juga telah melakukan ekstraksi toksoflavin ternyata daerah absorpsi maksimumnya pada panjang gelombang 260 nm dan 208 nm, sedangkan Windarmaya (1987) menemukan

23 bahwa absorpsi maksimum dari toksoflavin yang diperoleh adalah pada panjang gelombang nm dan nm. KO (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan mendapatkan hasil maksimum sebesar 0.3 sampai 0.5 mg tokso- flavin untuk setiap g ampas kelapa kering, yang dihasilkan setelah 3 sampai 6 hari fermentasi. Nilai ph awal pertum- buhan 6.5 sampai 7.0 dan suhu pertumbuhannya antara 30 c sampai 37O~. ~enurut van Veen (1967) dan Lijmbach et al. (1970) titik cair toksoflavin adalah 171 c, sedangkan menurut Hardjohutomo (1958) titik cair toksoflavin adalah 1 50~~. Toksoflavin tahan terhadap pemanasan sampai suhu dan ~ ~ baru mulai rusak bila suhu pemanasan lebih besar dari ~ ~ (Winarno, 1986). Anggraeni (1990) telah melakukan pemurnian toksin bong- krek selain asam bongkrek, yang dihasilkan oleh bakteri P. cocovenenans. Berdasarkan penelitiannya diperoleh tiga buah senyawa toksin. Karakteristik dari ketiga senyawa toksin tersebut adalah sebagai berikut : senyawa pertama mempunyai faktor retensi (Rf) pada kromatograf i lapis tipis dengan eluen kloroform dan metanol ( 11, v/v) sebesar 0.75, berfluoresensi putih dan membentuk kristal putih, mempu- nyai titik cair 216Oc dan mempunyai absorpsi maksimum pada panjang gelombang 360 nm dan 268 nm. Senyawa toksin yang kedua mempunyai nilai Rf sebesar 0.65, berfluoresensi biru hitam dan membentuk kristal kuning berbentuk jarum dengan

24 titik cair ~ serta ~ mempunyai puncak absorpsi pada panjang gelombang 258 nm dan 202 nm. 28 Senyawa toksin yang ketiga mempunyai nilai Rf sebesar 0.60, berfluoresensi biru hitam dan membentuk kristal krem dengan titik cair 181 c dan mempunyai puncak absorpsi pada panjang gelombang 328 nm dan 202 nm. 2. Asam Bongkrek Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang diproduksi oleh bakteri PI cocovenenans. Toksin ini merupakan asam lemak tidak jenuh tinggi. Menurut van Veen dan Mertens (1933) asam bongkrek mempunyai rumus empiris C28H3807# dan menurut de Bruijn et al. (1973) asam bongkrek mempunyai struktur kimia seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur Asam Bongkrek (de Bruijn et al., 1973)

25 Asam bongkrek tidak larut dalam air tetapi larut dalam petroleum eter dan alkohol. Toksin ini dapat dipisahkan da- ri toksoflavin karena larut dalam pelarut lemak, tetapi ti- dak larut dalam air, sedangkan toksoflavin larut dalam air (van Veen, 1967). Asam bongkrek sukar dibebaskan dari asam lemak yang ada di dalam minyak kelapa. Di dalam ekstraksi asam bongkrek akan terikut asam kaprat dan asam kaproat. Apabila dicampur dengan larutan bikarbonat maka asam bongkrek akan larut dengan mudah dalam fase cairnya (van Veen, 1967). Asam bongkrek mudah larut dalam larutan lipofilik dan dapat dipisahkan dari larutan dengan mengekstraknya memakai larut- an alkali (Nugteren dan Berends, 1957). Asam bongkrek yang murni sangat tidak stabil karena ce- pat teroksidasi dan mempunyai kecenderungan terpolimerisasi (Latuasan dan Berends, 1961). Asam bongkrek yang tidak murni sangat stabil dalam medium lemak dan lebih stabil lagi dalam larutan alkali. Asam bongkrek mudah sekali dioksidasi dan inaktif pada suhu pemanasan yang lebih tinggi dard ~ ~ (Hardjohutomo, 1958). Stabilitasnya yang tinggi di dalam suatu emulsi minyak menyebabkan asam bongkrek masih bersifat toksik pada tempe bongkrek yang digoreng (van Veen, 1967). Pemasakan dan penggorengan tanpa minyak mempunyai sedikit atau tanpa nen- punyai efek terhadap toksisitas asam bongkrek.

26 Asam bongkrek mempunyai sifat-sifat yang penting. Per- tama, daya toksisitasnya tinggi terhadap semua hewan perco- baan yang diuji, seperti tikus, burung dara, kera dan yang lainnya. Kedua, mempunyai aktivitas antibiotik terhadap be- berapa bakteri, khamir dan kapang. Ketiga, aktivitas optik- nya cukup kuat, yaitu ae2 = O dalam larutan natrium bikarbonat 2 persen dan ag2 = O dalam etanol 96 persen. Keempat, mempunyai absorpsi yang kuat pada daerah sinar ul- tra violet, maksimum pada panjang gelombang 239 nm dan 267nm (~~~~' dan ~ 2 ~ 000) ~ ~ dalam 4 5 etanol. Kelima, sangat tidak stabil dalam medium asam tetapi cukup stabil dalam larutan garam pada suhu kamar (Nugteren dan Berends, 1957). KO (1985) telah melakukan isolasi asam bongkrek dari medium ampas kelapa yang ditumbuhi bakteri P. cocovenenans. Produksi toksin maksimum adalah 4 mg per g ampas kelapa kering, dan hasil produksi berkisar antara 2-4 mg per g ampas kelapa kering. Produksi maksimum dicapai setelah 3 sampai 6 hari fermentasi dan suhu inkubasi yang baik untuk produksi asam bongkrek adalah suhu 30 c, 3. Isolasi ban Pemurnian Metode isolasi dan pemurnian toksin bongkrek sudah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti. Van Veen dan Mertens (1933) dan van Damme et al. (1960) telah melakukan isolasi toksoflavin dari ampas kelapa dengan mengqunakan kloroform.. Soedigdo (1975) dan Soedigdo (1977) juga

27 31 telah melakukan isolasi dengan menggunakan alkohol, kloroform dan air. Toksoflavin yang murni dapat diperoleh dengan cara-cara sebagai berikut : pertama-tama bahan diekstraksi menggunakan kloroform, kemudian ekstrak kloroformnya diekstraksi dengan air bebas ion. Air bebas ion yang mengandung toksoflavin dipekatkan, kemudian ditambah ammonium sulfat sampai jenuh. Setelah itu ekstraksi diulangi kembali dengan kloroform, dan kloroform kemudian diuapkan. Toksoflavin yang tertinggal dilarutkan dalam propanol pada suhu 55O~ kemudian disimpan di dalam lemari pembeku selama 48 jam sampai akhirnya kris- tal berbentuk jarum yang berwarna kuning terbentuk (van Dame et al., 1960; van Veen 1967). Toksoflavin dalam suatu larutan dapat dideteksi dengan menggunakan spektrofotometer, kromatografi lapis tipis, kro- matografi kertas maupun kromatografi cairan tekanan tinggi. Eluen yang digunakan pada kromatografi lapis tipis maupun kromatografi kertas biasanya campuran metanol : etil asetat (1:1, v/v), sedangkan pada kromatografi cairan tekanan tinggi dapat digunakan campuran metanol : air : asam asetat (5:94:1, v/v) (van Dame et al., 1960; Soedigdo, 1977; KO, 1985). Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dan kromatografi cairan tekanan tinggi biasanya dilakukan pada panjang gelombang 258 nm. Metode isolasi asam bongkrek pertama kali dikembangkan oleh van Veen (van Veen dan Mertens, 1933) yang berdasarkan

28 kenyataan asam bongkrek larut dalam larutan lipofilik dalam 32 suasana asam kemudian dapat diisolasi dengan ekstraksi menggunakan larutan alkali encer, Sejak itu berbagai cara isolasi dilakukan oleh peneliti lainnya (Nugteren dan Berends, 1957; Lijmbach et al., 1970; Soedigdo, 1975). Untuk mengetahui apakah asam bongkrek yang dihasilkan murni atau belum dapat dilakukan pemisahan dengan mengguna- kan kromatografi lapis tipis. Asam bongkrek akan mudah di- bedakan dari asam-asam lemak yang terikut, karena asam bongkrek mempunyai nilai Rf yang lebih rendah daripada asam lemak dan mempunyai fluoresensi hitam apabila disinari dengan sinar ultra violet (Nugteren dan Berends, 1957). Apabila digunakan kromatografi lapis tipis untuk mendeteksi asam bongkrek, eluen yang digunakan adalah campuran kloroforom:metanol:asam asetat (94:5:1, v/v)(ko et a1.,1979) atau campuran etil asetat 15 persen:metanol 1 persen dalam heptana (1 : 1, v/v) (Soedigdo, 1977). Untuk kromatografi kertas digunakan eluen campuran etanol : ammonia : air (20 : 1 : 4, v/v) (Soedigdo, 1977), sedangkan apabila digunakan kromatografi cairan tekanan tinggi digunakan eluen campuran metanol : air : asam asetat (80 : 19 : 1, v/v )(KO, 1985). 4. Mekanisme Keracunan Telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana mekanisme keracunan toksoflavin maupun asam bong- krek terjadi. Selain toksik, menurut penelitian Arbianto

29 (1975) asam bongkrek dan toksoflavin merupakan kofaktor dalam metabolisme lemak pada bakteri P.cocovenenans. Penambahan toksoflavin dan asam bongkrek pada medium pertumbuhan bakteri tersebut akan mempengaruhi aktivitas pertumbuhannya, yaitu meningkatkan pengambilan oksigen untuk respirasi sel bakteri tersebut. Toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans merupakan antibiotik bagi mikrobe lain sehingga apabila bakteri tersebut tumbuh pada tempe bongkrek mikrobe lainnya tidak dapat tumbuh (van Veen, 1967). Toksoflavin pada umumnya berpengaruh terhadap bakteri Gram positif. Toksoflavin mempunyai sifat antibiotik yang lebih kuat dibandingkan dengan ampisilin terhadap bakteri Gram negatif tetapi lebih lemah daripada tetrasiklin (Slamet, 1985). Pada kondisi aerob toksoflavin mempunyai aktivitas yang tinggi dan dalam keadaan anaerob tidak. Latuasan dan Berends (1961') telah meneliti toksisitas toksoflavin terhadap beberapa mikrobe, seperti Escherichia coli, Shigella, Micrococcus pyogenes, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis dan khamir. Hasil penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 3. Toksoflavin juga menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus niger (Nurmandali, 1979; Nugroho, 1980; Anggraeni, 1990; Suryanti, 1990). Toksoflavin bersifat toksik terutama pada mikrobe dan bagian sel yang tidak banyak mengandung enzim katalase. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

30 van Damme et al. (1960) yang meneliti pengaruh toksoflavin terhadap metabolisme khamir Saccharomyces cerevisiae, ternyata pertumbuhan khamir tersebut tidak dihambat oleh toksoflavin. Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) sampai konsentrasi 100 pg/ml toksoflavin tidak mempengaruhi pertumbuhan khamir S.cerevisiae. Hasil penelitian mengenai kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikrobe dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikrobe Jenis mikrobe Kadar toksoflavin (pg/ml) E. coli Shigella P. vulgaris B. subtilis M. pyogenes Sumber : Latuasan dan Berends (1961) Ketahanan khamir terhadap toksoflavin meskipun dalam keadaan aerob, disebabkan karena khamir mempunyai enzim katalase. Enzim katalase akan mengkatalisis pemecahan hidrogen peroksida (H202) yang terbentuk karena aktivitas toksoflavin, menjadi oksigen &an air, dengan demikian hidrogen peroksida tidak sernpat menyebabkan terjadinya keracunan pada mikrobe tersebut.

31 35 Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) toksoflavin berfungsi sebagai suatu pembawa elektron antara NADH dan oksigen, yang memungkinkan kerja sitokrom dibuat pintas (by pass) sehingga menghasilkan hidrogen peroksida yang ber- sifat toksik. Reaksi pembentukan senyawa H20Z adalah seba- gai berikut : Jadi kematian karena keracunan toksoflavin disebabkan karena terbentuknya H202 yang banyak, sedangkan tubuh tidak cukup banyak menyediakan enzim katalase. Toksoflavin mempunyai efek memusnahkan antimisin A dan kalium sianida dalam sel khamir (Latuasan dan Berends, 1961). Toksoflavin menstimulasi pengambilan oksigen dari sel-sel darah merah dan mengubah oksihemoglobin menjadi methemoglobin (Baluel, 1978). Menurut Zainuddin (1981) yang dikutip oleh Suklan (1984) toksoflavin tidak stabil pada ph rendah seperti dalam lambung, sehingga menjadi toksoflavin B yang tidak beracun. Walaupun begitu apabila ph lambung meningkat kemungkinan toksoflavin akan terserap ke dalam peredaran darah. Toksoflavin dalam bentuk alami lebih toksik daripada dalam bentuk kristalnya. Pada keadaan awal toksoflavin membentuk kompleks yang tidak erat dengan suatu protein.

32 Pemasakan dan pembakaran makanan yang beracun akan mendenaturasi senyawa kompleks tersebut dan menyebabkan toksoflavin bersifat kurang toksik (van Veen dan Mertens, 1933; Arbianto, 1971). Toksoflavin lebih toksik apabila diberikan pada hewan percobaan melalui injeksi ke dalam darah daripada diberikan lewat mulut. Dosis mematikan atau LDS0 untuk tikus bila di- berikan lewat penyuntikan adalah sebesar 1.7 mg per kg berat badan tikus dan apabila diberikan lewat mulut 8.4 mg per kg berat badan tikus (Latuasan dan Berends, 1961; Lijmbach Menurut percobaan Nugroho (1980), penyuntikan dengan dosis 1.3 mg sampai 1.5 mg toksoflavin per kg berat badan tikus, sesudah 18 jam ternyata menyebabkan penurunan kandungan glikogen hati secara nyata, sedangkan kandungan lemak dan protein tidak dipengaruhi. Apabila cara penyuntikan tokso- flavin ke dalam tubuh hewan percobaan berbeda maka pengaruh- nya juga berbeda. Toksoflavin diperkirakan menghambat kerja ATP-ase yang menghidrolisis ATP menjadi ADP + Pi + enersi. Akibat kerja toksoflavin maka produk ATP pada mitokondria juga terhalang. Dalam sistem'pernafasan terjadi fosforilasi oksidatif dimana sebagian enersi yang berasal dari hasil oksidasi disimpan dalam bentuk ATP. Setiap pasangan elektron yang dihasilkan oleh fosforilasi substrat dapat membentuk tiga molekul ATP melalui sistem sitokrom. Akibat kerja toksoflavin yang

33 memintas sistem sitokrom tersebut maka akan mengakibatkan dua molekul ATP hilang pada reaksi pernafasan (Suryanti, 1990). Menurut penelitian Tantie (1985) toksoflavin dapat menghambat transpor gula di dalam membran eritrosit dan juga menyebabkan hemolisis darah. Toksoflavin menghambat kerja enzim glutamat transaminase dan alkali fosfatase yang ada di dalam eritrosit. Asam bongkrek lebih toksik daripada toksoflavin sehingga lebih berperanan pada peristiwa keracunan tempe bongkrek yang terjadi pada manusia. Van Veen dan Mertens (1934) menduga asam bongkrek mempunyai efek seperti narkotik dan tetanik. Aktivitas fisiologisnya sebanding dengan aktivitas optiknya (Nugteren dan Berends, 1957). Asam bongkrek bersifat antibiotik terhadap khamir, kapang dan bakteri (Nugteren dan Berends, 1957). Asam bongkrek mempunyai nilai LDS0 sebesar 2 mg per 100 g berat badan tikus bila diberikan lewat mulut dan menyebabkan kematian dalam waktu 2 jam sampai 5 jam (Nugteren dan Berends, 1957; Welling et al., 1960). Sifat toksik asam bongkrek bersifat kumulatif (Nugteren dan Berends, 1957). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Welling et a1.(1960). Menurut penelitian mereka apabila asam bongkrek sebesar 1 mg per 100 g berat badan tikus masih dapat ditolerir, tetapi apabila diulangi sesudah 48 jam dosis tersebut menjadi letal.

34 Welling et al. (1960) telah meneliti pula efek biokimiawi asam bongkrek dan menyatakan bahwa asam bongkrek adalah inhibitor kuat bagi enzim mitokondria. Proses oksidasi asam piruvat, a-ketoglutarat dan malat dihambat oleh asam bongkrek, tetapi oksidasi suksinat dan 43-hidroksi butirat distimulasi. Asam bongkrek akan menutupi gugus -SH dari ATP-ase, akibatnya produksi ATP pada mitokondria terhenti, sehingga ATP diproduksi di luar mitokondria secara glikolisis dari glikogen cadangan yang ada di dalam hati. Proses fosforilasi oksidatif, yaitu mekanisme pemecahan oksidatif dari karbohidrat dan lipida yang menghasilkan enersi akan dihambat oleh asam bongkrek sehingga organ-organ tubuh kekurangan enersi. Apabila siklus Krebs dihambat maka satu-satunya jalan untuk mem~eroleh enersi adalah melalui penggunaan ADP dan 3-fosfogliseraldehida. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penguraian glikogen hati, jantung dan otot-otot sehingga kadar gula glukosa darah naik. Setelah persediaan glikogen habis, maka glukosa darah segera turun dan penderita keracunan bongkrek akan mengalami asidosis (Nugteren dan Berends, 1957; Welling et al., 1960; van Veen, 1967). Pada orang yang keracunan tempe bongkrek, mula-mula mengalami hiperglikemia, karena terjadi pengerahan glikogen hati, jantung dan otot-otot, kemudian diikuti dengan terjadinya hipoglikemia yang fatal karena persediaan gliko- gen habis. Asidosis akan terjadi karena selama terjadinya

35 glikolisis terbentuk asam laktat, sedangkan asam laktat akan terakumulasi karena tidak dapat disintesis lagi menjadi glikogen. Akibat yang lainnya adalah ph darah akan turun. Penyuntikan glukosa secara intravenous hanya memberikan keringanan atau memperlambat kematian, tetapi tidak dapat mencegah kematian karena tidak dapat lagi mengembalikan gli- kogen hati, jantung dan otot. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebelum kematian semua glikogen tidak nampak pada hati dan otot juga kandungan asam laktat dalam darah naik menjadi 2 sampai 3 kalinya nilai normal (Welling et al., 1960). Kerja dari asam bongkrek ini tidak sama dengan insulin dan ha1 ini diuji coba dengan hewan percobaan anjing. Hormon adrenal'in dan insulin tidak dipengaruhi oleh asam bongkrek (Soedigdo, 1975). Di dalam tubuh sebenarnya ada glutation. yang sedikit banyak dapat menawarkan toksin, namun terbatas jumlahnya. Henderson dan Lardy (1970) juga telah melakukan penelitian tentang mekanisme kerja asam bongkrek pada mitokondria dan hasilnya memperkuat hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Welling et a1.(1960). Mekanisme kerja asam bongkrek mirip dengan atraktiloksida, yaitu mencegah translokasi adenin nukleotida ke dalam mitokondria dengan jalan menghambat enzim translokase, sehingga pembentukan ATP melalui fosforilasi oksidatif terganggu. Besarnya hambatan asam bongkrek terhadap translokasi adenin nukleotida sangat tergantung perbandingan antara kadar asam bongkrek dengan kadar protein (Arbianto, 1975).

36 40 Soedigdo (1970) mengungkapkan bahwa asam bongkrek dapat bertindak sebagai penghambat enzim-sh, sehingga asam bongkrek akan menghambat enzim papain dan fusin, tetapi tidak menghambat aktivitas enzim tripsin. Kebenaran dari hasil penelitian Soedigdo ini didukung oleh peran asam bongkrek sebagai penghambat kuat terhadap enzim ATP-ase, protease-sh, penyerapan nutrien di usus halus dan transpor glukosa melalui membran eritrosit (Margonohadi, 1980; Sabikis, 1981; Murachi et al., 1982). Hambatan yang ditimbulkan oleh asam bongkrek pada percobaan ini dapat dihilangkan atau dikurangi dengan penambahan sistein. Penghambatan translokasi NAD pada mitokondria oleh asam bongkrek tergantung pada ph. Potensi penghambatan menurun bila ph lebih tinggi dari 6.5 (Kemp et al., 1970). Aktivi- tas asam bongkrek terhadap mikrobe sama dengan aktivitasnya terhadap manusia dan hewan percobaan yang lain, yaitu mempengaruhi metabolisme karbohidrat (Nugteren dan Berends, 1957). Van Veen (1950) menemukan bahwa asam bongkrek dalam bentuk garamnya sangat aktif sebagai antibiotik terhadap Rhizopus, Penicillium glaucum dan beberapa khamir serta bak- teri. Nio (1966) meneliti pengaruh natrium sulfit terhadap aktivitas antibiotik asam bongkrek pada Aspergillus niger dan ternyata natrium sulfit dapat menghambat aktivitas antibiotik asam bongkrek. Menurut Melanie (1971) natrium sulfit tidak mengurangi toksisitas asam bongkrek terhadap respirasi

37 sel, sedangkan sistein dapat mengurangi aktivitas asam bongkrek secara nyata. Soedigdo et al. (1981) telah melakukan penelitian tentang aktivitas asam bongkrek merusak dalam jaringan kanker. Percobaan yang dilakukan dengan menggunakan mencit menunjukkan bahwa asam bongkrek dapat merusak jaringan kanker dengan jalan menyuntik tumor dengan asam bongkrek sebanyak 1 pg per g bobot badan setiap selang satu hari selama 10 hari. Tumor hilang sekitar lima hari sesudah injeksi yang terakhir. E. Pengujian Toksisitas Pengujian aktivitas toksin biasanya dilakukan secara biologis, yaitu dengan cara menguji daya toksisitasnya terhadap suatu hewan percobaan. Metode untuk deteksi daya toksisitas yang sudah ada adalah menggunakan hewan percobaan tingkat tinggi, mikrobe, jaringan tubuh dan hewan percobaan yang lain seperti tikus, kelinci, mencit, berbagai jenis burung seperti ayam dan lain-lainnya (Soedigdo et al., 1980; Suwandi dan Lie, 1988; Kuswanto dan Slamet, 1988). Uji biologis atau uji toksisitas suatu toksin biasanya ' ditentukan dengan menghitung nilai LD50 atau letal dosis 50 persen. Penentuan nilai DS0 dilakukan dengan menghitung jumlah kematian hewan percobaan yang terjadi 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal toksin. Pada perhitungan ini jumlah kematian dipergunakan sebagai tolok ukur untuk

38 efek toksik suatu toksin pada sekelompok hewan percobaan (Miya et al., 1973). Untuk menentukan daerah harga letal dosis 50 persen beberapa ahli menganjurkan untuk menggunakan paling tidak empat peringkat dosis dan tiap dosis terdiri dari 8 sampai 10 ekor hewan percobaan. Namun ada ahli yang lain yang masih menerima jika jumlah hewan percobaan tiap peringkat dosis paling tidak empat ekor. Dosis dibuat sebagai suatu peringkat dosis dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian 100 persen hewan percobaan. Ada beberapa cara untuk menentukan nilai LD50t yaitu antara lain perhitungan dengan metode grafik Miller dan Tainter, metode grafik De Beer, metode grafik Litchfield dan ~ilcoxon, metode aritmatik dari Karber, metode Reed-Muench dan lain-lainnya (Miya et al., 1973). Pada penelitian ini digunakan metode Reed-Muench. Pada metode Reed-Muench digunakan harga kumulatif sebagai dasarnya. Harga kumulatif diperoleh dari asumsi bahwa hewan percobaan yang tidak mati atau tetap hidup pada suatu dosis tertentu tidak akan mati oleh dosis yang lebih kecil; dan suatu hewan yang mati dengan suatu dosis tertentu tentu akan mati apabila diberikan dosis yang lebih tinggi. Angka kumulatif kematian diperoleh dengan menjumlahkan kematian hewan percobaan yang mati pada dosis terkecil

39 dengan jumlah hewan percobaan yang mati pada dosis-dosis yang lebih besar. Angka kumulatif hidup diperoleh dengan menjumlahkan hewan percobaan yang tetap hidup pada dosis terbesar dengan jumlah hewan percobaan yang tetap hidup pada dosis-dosis yang lebih kecil. Persentase kematian diperoleh dari angka kumulatif kematian dibagi dengan jumlah angka kumulatif kematian dan angka kumulatif hidup pada dosis yang sama (total) dikalikan 100 persen. Nilai LD50 dapat dihitung berdasarkan persamaan Reed- Muench berikut ini : Log LDS0 - A - B C - B D X log - + log Dl dimana : A = persentase kematian 50 persen B = persentase kematian <50 persen C = persentase kematian >50 persen D = dosis toksin pada persentase kematian > 50 persen Dl= dosis toksin pada persentase kematian < 50 persen Embrio ayam kadang-kadang juga dipergunakan untuk uji biologis dengan beberapa alasan tertentu antara lain ekonomisf mudah tersedia, ukurannya cukup kecil, relatif bebas dari infeksi laten dan kontaminan dan tidak memproduksi antibodi yang melawan toksin ata; virus yang disuntikkan. Telur yang digunakan untuk menghasilkan embrio ayam harus kuat, sehat dan bebas dari penyakit. Dalam penggunaan embrio ayam untuk tujuan pengujian biologis perlu diperhatikan

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti TOKSIN MIKROORGANISME Dyah Ayu Widyastuti Toksin bisa juga disebut racun Suatu zat dalam jumlah relatif kecil, bila masuk ke dalam tubuh dan bekerja secara kimiawi dapat menimbulkan gejala-gejala abnormal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Keasaman Total, ph. Ketebalan Koloni Jamur dan Berat Kering Sel pada Beberapa Perlakuan. Pada beberapa perlakuan seri pengenceran kopi yang digunakan, diperoleh data ph dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dalam SNI tempe didefinisikan sebagai produk makanan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dalam SNI tempe didefinisikan sebagai produk makanan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempe merupakan makanan tradisional khas dan telah dikenal lama di Indonesia. Dalam SNI 3144-2009 tempe didefinisikan sebagai produk makanan hasil fermentasi biji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Kita mengenal tempe, oncom, kecap, tahu, yang dibuat

Lebih terperinci

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content NAMA : FATMALIKA FIKRIA H KELAS : THP-B NIM : 121710101049 Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content 1. Jenis dan sifat Mikroba Dalam fermentasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zat gizi dalam makanan yang telah dikenal adalah karbohidrat, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. Zat gizi dalam makanan yang telah dikenal adalah karbohidrat, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zat gizi dalam makanan yang telah dikenal adalah karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan protein. Protein dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan ataupun penggantian

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

Metabolisme karbohidrat

Metabolisme karbohidrat Metabolisme karbohidrat Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila PENCERNAAN KARBOHIDRAT Rongga mulut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirup 2.1.1 Defenisi Sirup Sirup adalah larutan pekat dari gula yang ditambah obat dan merupakan larutan jernih berasa manis. Dapat ditambah gliserol, sorbitol atau polialkohol

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Biologi

Antiremed Kelas 12 Biologi Antiremed Kelas 12 Biologi UTS BIOLOGI latihan 1 Doc Name : AR12BIO01UTS Version : 2014-10 halaman 1 01. Perhatikan grafik hasil percobaan pertumbuhan kecambah di tempat gelap, teduh, dan terang berikut:

Lebih terperinci

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Peta Konsep Kofaktor Enzim Apoenzim Reaksi Terang Metabolisme Anabolisme Fotosintesis Reaksi Gelap Katabolisme Polisakarida menjadi Monosakarida

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 4-5. METABOLISME Ada 2 reaksi penting yang berlangsung dalam sel: Anabolisme reaksi kimia yang menggabungkan bahan

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi RESPIRASI SELULAR Cara Sel Memanen Energi TIK: Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan cara sel memanen energi kimia melalui proses respirasi selular dan faktorfaktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Sebelumnya sudah ada yang melakukan penelitian tentang penghambatan bakteri pada tempe bongkrek yang dilakukan oleh Buckel dan Kartadarma (1990) menggunakan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri maupun untuk keperluan sehari-hari. Ethanol merupakan salah satu produk industri yang penting

Lebih terperinci

METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA

METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA 1. Metabolisme Aerobik dan Anaerobik Proses metabolisme: a. Katabolisme: reaksi eksergonik (Penguraian Senyawa Karbohidrat energi). Contoh: respirasi asam piruvat,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A)

BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A) BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A) PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jalan Ir. H. Juanda No. 95

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2.

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Respirasi anaerob 3. Faktor-faktor yg mempengaruhi laju respirari

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN JASAD RENIK

PERTUMBUHAN JASAD RENIK PERTUMBUHAN JASAD RENIK DEFINISI PERTUMBUHAN Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme multiselular, yang disebut pertumbuhan

Lebih terperinci

Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak

Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak Uji Makanan dengan Lugol, Benedict, Biuret, Kertas Minyak Bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari harus mengandung nutrient yang diperlukan tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan nutrient

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahu, merupakan salah satu makanan yang digemari oleh hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia, selain rasanya yang enak, harganya pun terjangkau oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai beranekaragam biji-bijian kacang polong yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tempe seperti kacang merah, kacang hijau, kacang tanah, biji kecipir,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE. Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM :

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE. Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM : KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PEMBUATAN TEMPE Disusunoleh: Nama: Yulia Nur Isnaini Kelas : S1 TI 2I NIM : 10 11 4210 1 INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE 1). Pengertian Tempe Tempe adalah makanan yang dibuat dari

Lebih terperinci

DOSEN PENGAMPU : Dra.Hj.Kasrina,M.Si

DOSEN PENGAMPU : Dra.Hj.Kasrina,M.Si DISUSUN OLEH : WIDIYA AGUSTINA (A1F013001) FEPRI EFFENDI (A1F013021) DIAN KARTIKA SARI (A1F013047) DHEA PRASIWI (A1F013059) TYAS SRI MURYATI (A1F013073) DOSEN PENGAMPU : Dra.Hj.Kasrina,M.Si RESPIRASI Respirasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumen terhadap makanan dengan kualitas tinggi tanpa pengawet kimia merupakan suatu tantangan bagi industri pangan saat ini. Pencemaran mikroorganisme pada

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

GIZI. Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan

GIZI. Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan GIZI Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan Lanjutan Gizi : Arab gizzah : zat makanan sehat Makanan : segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan bahan pangan. Kandungan gizi yang ada pada ikan sangatlah

Lebih terperinci

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd NATA putri Anjarsari, S.Si., M.Pd putri_anjarsari@uny.ac.id Nata adalah kumpulan sel bakteri (selulosa) yang mempunyai tekstur kenyal, putih, menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan (nata

Lebih terperinci

PENGARUH ASAM LAKTAT DAN ASAM ASETAT TERWADAP PERTUMBUHAN Tdeudomonad cocotrenehand DAN PRODUKSI TOKSOFLAVIN DALAM PEMBUATAW TEMPE BONGKREK

PENGARUH ASAM LAKTAT DAN ASAM ASETAT TERWADAP PERTUMBUHAN Tdeudomonad cocotrenehand DAN PRODUKSI TOKSOFLAVIN DALAM PEMBUATAW TEMPE BONGKREK J-J-,&3./ V r & ) b 9 PENGARUH ASAM LAKTAT DAN ASAM ASETAT TERWADAP PERTUMBUHAN Tdeudomonad cocotrenehand DAN PRODUKSI TOKSOFLAVIN DALAM PEMBUATAW TEMPE BONGKREK O l e h HERYADI SURYANTO HANDOKO F 22.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

Respirasi Anaerob (Fermentasi Alkohol)

Respirasi Anaerob (Fermentasi Alkohol) Respirasi Anaerob (Fermentasi Alkohol) I. TUJUAN Mengamati hasil dari peristiwa fermentasi alkohol II. LANDASAN TEORI Respirasi anaerob merupakan salah satu proses katabolisme yang tidak menggunakan oksigen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan pengawet berbahaya dalam bahan makanan seperti ikan dan daging menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah. Penggunaan bahan pengawet

Lebih terperinci

REAKSI KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

REAKSI KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI REAKSI KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Reaksi Kimia bisa terjadi di manapun di sekitar kita, bukan hanya di laboratorium. Materi berinteraksi untuk membentuk produk baru melalui proses yang disebut reaksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahu merupakan sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi masyarakat dan hampir setiap hari dijumpai dalam makanan sehari hari. Di Cina, tahu sudah menjadi daging

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama PENGAWETAN PANGAN I. PENDAHULUAN Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT 2 METABOLISME Standar Kompetensi : Memahami pentingnya metabolisme pada makhluk hidup Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan fungsi enzim dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi

Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi Mas ud Effendi Agroindustri Produk Fermentasi TIP FTP - UB Mikrobia yang sering digunakan dalam fermentasi Bakteri (bacteria) Khamir (yeast) Jamur (fungi) 1 Bakteri

Lebih terperinci

KUALITAS BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA. Skripsi

KUALITAS BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA. Skripsi 0 KUALITAS BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT BAHAN BAKU DAN PRODUK BIOINDUSTRI Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Email :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang mudah dimasak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang mudah dimasak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang mudah dimasak dan relatif murah harganya. Daging ayam mengandung 22 persen protein dan 74 persen air dalam 100 gram

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. produksi modern saat ini didominasi susu sapi. Fermentasi gula susu (laktosa)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. produksi modern saat ini didominasi susu sapi. Fermentasi gula susu (laktosa) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Yoghurt Yoghurt atau yogurt, adalah susu yang dibuat melalui fermentasi bakteri. Yoghurt dapat dibuat dari susu apa saja, termasuk susu kacang kedelai. Tetapi produksi modern

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih (Brassica oleracea) merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dapat dipasarkan tanpa terpengaruh musim. Di Jawa Tengah,

Lebih terperinci

TELUR ASIN PENDAHULUAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN TELUR ASIN PENDAHULUAN Telur asin,merupakan telur itik olahan yang berkalsium tinggi. Selain itu juga mengandung hampir semua unsur gizi dan mineral. Oleh karena itu, telur asin baik dikonsumsi oleh bayi

Lebih terperinci

II. PEWARNAAN SEL BAKTERI

II. PEWARNAAN SEL BAKTERI II. PEWARNAAN SEL BAKTERI TUJUAN 1. Mempelajari dasar kimiawi dan teoritis pewarnaan bakteri 2. Mempelajari teknik pembuatan apusan kering dalam pewarnaan bakteri 3. Mempelajari tata cara pewarnaan sederhana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteri Asam Laktat (BAL) Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat atau batang serta memiliki kemampuan mengubah

Lebih terperinci

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Firman Jaya Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Khamir memerlukan Aw minimal lebih rendah daripada bakteri ±0,88 KECUALI yang bersifat osmofilik Kapang memerlukan Aw minimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25 C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan suatu sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

Metabolisme : Enzim & Respirasi

Metabolisme : Enzim & Respirasi Metabolisme : Enzim & Respirasi SMA Regina Pacis Ms. Evy Anggraeny August 2014 1 Pengantar Metabolisme Yaitu modifikasi reaksi biokimia dalam sel makhluk hidup Aktivitas sel Metabolit Enzim/fermen Macamnya

Lebih terperinci

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI Definisi : * Bahan makanan olahan yang harus diolah kembali sebelum dikonsumsi manusia * Mengalami satu atau lebih proses pengolahan Keuntungan: * Masa simpan lebih panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) sering disebut tanaman kehidupan karena bermanfaat bagi kehidupan manusia diseluruh dunia. Hampir semua bagian tanaman

Lebih terperinci

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1)

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2017 METABOLISME Metabolisme adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV METABOLISME. Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi.

BAB IV METABOLISME. Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi. BAB IV METABOLISME Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi METABOLISME ANABOLISME Proses Pembentukan Contoh: Fotosintesis, Kemosintesis Sintesis

Lebih terperinci

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt BIOLOGI Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt Metabolisme Sel Metabolisme Metabolisme merupakan totalitas proses kimia di dalam tubuh. Metabolisme meliputi segala aktivitas hidup yang bertujuan agar sel

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang panjang sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi bukan tanaman asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini tumbuh dan menyebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi diantaranya mengandung mineral, vitamin dan lemak tak jenuh. Protein dibutuhkan tubuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan Waktu : 60 menit Baca baik-baik soal dibawah ini dan jawablah pada lembar jawab yang telah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. PREPARASI SUBSTRAT DAN ISOLAT UNTUK PRODUKSI ENZIM PEKTINASE Tahap pengumpulan, pengeringan, penggilingan, dan homogenisasi kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, kulit durian,

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt BIOLOGI Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt Metabolisme Sel Metabolisme Metabolisme merupakan totalitas proses kimia di dalam tubuh. Metabolisme meliputi segala aktivitas hidup yang bertujuan agar sel

Lebih terperinci