Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir: Deterrence, Nuclear Taboo, dan Traktat Nonproliferasi Nuklir
|
|
- Sri Sugiarto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir: Deterrence, Nuclear Taboo, dan Traktat Nonproliferasi Nuklir Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hubungan Internasional Dosen: Dr. Arry Bainus, S.IP., M.A. Wawan Budi Darmawan, S.IP., M.Si. Nuraeni Suparman, S.IP., M.Hum. Disusun oleh: Syera Anggreini Buntara PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2016
2 DAFTAR ISI Pendahuluan...1 Sejarah Proliferasi Senjata Nuklir: Self-Help, Balance of Power, dan Security Dilemma...1 Realisme: Senjata Nuklir sebagai Deterrence...5 Liberalisme: Pengembangan Senjata Nuklir adalah Irasional...6 Neoliberalisme: Traktat Nonproliferasi Nuklir...7 Konstruktivisme: Prinsip Nuclear Taboo...8 Simpulan...11 Daftar Pustaka...13 i
3 Pendahuluan Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 merupakan salah satu peristiwa dahsyat yang menggemparkan dunia. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan korban yang ditimbulkan oleh senjata nuklir sangat berlimpah. Sebagai salah satu dari kategori Weapons of Mass Destruction (WMD), senjata nuklir memiliki potensi mematikan yang luar biasa (Goldstein & Pevehouse, 2014: 209). Menurut data Manhattan Engineer District s, dari total populasi Hiroshima sebelum pengeboman sebanyak orang, sebanyak orang meninggal dunia dan orang terluka. Sedangkan total populasi Nagasaki sebelum pengeboman adalah orang dengan korban meninggal dunia orang dan korban terluka orang (Atomic Archive, n.d.). Jumlah korban tersebut belum mencakup orang-orang yang selamat tetapi mengalami dampak penderitaan jangka panjang radiasi nuklir yang memengaruhi kesehatannya. Sepanjang sejarah, peristiwa Hiroshima dan Nagasaki merupakan pertama kali dan terakhir kalinya di mana senjata nuklir digunakan. Semenjak Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki hingga saat ini, belum ada negara-negara yang menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang negara lain. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan negara-negara tidak menggunakan senjata nuklirnya? Esai ini akan menelaah sejarah proliferasi senjata nuklir melalui perspektif realisme dan akan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan negara tidak menggunakan senjata nuklirnya. Adapun analisis faktor-faktor tidak digunakannya senjata nuklir tersebut akan dipaparkan oleh penulis dengan menggunakan perspektif realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Sejarah Proliferasi Senjata Nuklir: Self-Help, Balance of Power, dan Security Dilemma Asal pengembangan senjata nuklir bermula dari kecurigaan Amerika Serikat terhadap Jerman bahwa Jerman diduga sedang mengembangkan bom atom. Atas dasar kecurigaan tersebut, Amerika Serikat membentuk sebuah program riset dan pengembangan senjata nuklir bernama Manhattan Project pada Agustus Manhattan Project berhasil menuntun Amerika Serikat untuk melakukan percobaan senjata nuklirnya pada 16 Juli 1
4 1945 di New Mexico. Dengan berhasilnya uji coba senjata nuklir ini, Amerika Serikat menjadi negara pertama yang sukses mengembangkan senjata nuklir. Keberhasilan uji coba senjata nuklir ini sekaligus menandai dimulainya era nuklir atau yang biasa disebut dengan nuclear age (Petersen, 2012: 93; International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.). Senjata nuklir yang berhasil dikembangkan saat uji coba tersebut digunakan Amerika Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II dengan tujuan agar membuat Jepang menyerah tanpa syarat. Ledakan Hiroshima dan Nagasaki ini memunculkan kekhawatiran Uni Soviet bahwa Amerika Serikat mungkin akan menyerang Uni Soviet dikarenakan persaingan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Maka dari itu, pasca ledakan Hiroshima dan Nagasaki, Uni Soviet mengalokasikan dana yang lebih pada program pengembangan senjata nuklirnya. Pada tanggal 29 Agustus 1949, Uni Soviet berhasil melakukan uji coba pertama senjata nuklirnya di Semipalatink, Kazakhstan. Dengan berhasilnya uji coba ini, Uni Soviet menjadi negara kedua yang sukses mengembangkan senjata nuklir (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.). Proliferasi senjata nuklir tidak berhenti sampai di sini. Setelah Uni Soviet, Inggris dan Prancis juga turut mengembangkan senjata nuklir. Pengembangan senjata nuklir Inggris dan Prancis didorong oleh dua alasan utama. Pertama, sebelum Uni Soviet berhasil mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis berada di bawah jaminan keamanan nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat melalui NATO. Setelah Uni Soviet berhasil mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman berlindung di bawah Amerika Serikat karena Amerika Serikat bukan lagi menjadi negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir. Uni Soviet memiliki kapabilitas untuk menyaingi senjata nuklir Amerika Serikat. Kedua, Prancis meragukan komitmen Amerika Serikat dalam menjaga kepentingan keamanan Prancis. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat tidak membantu Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu pada tahun 1954 dan Krisis Suez pada tahun Kedua alasan ini mendorong Inggris dan Prancis untuk tidak lagi bergantung pada Amerika Serikat dan mengembangkan senjata nuklirnya sendiri (Petersen, 2012: 97). Inggris berhasil mengembangkan senjata nuklir pertamanya pada 3 2
5 Oktober 1952, sedangkan Prancis berhasil mengembangkan senjata nuklir pertamanya pada 13 Februari 1960 (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.). Setelah Inggris dan Prancis, Tiongkok ikut mengembangkan senjata nuklir. Keputusan Tiongkok untuk mengembangkan senjata nuklir didorong oleh keresahan Tiongkok bahwa Amerika Serikat mungkin menyerang Tiongkok pasca Perang Korea yang terjadi antara tahun 1950 sampai Tiongkok akhirnya berhasil melakukan uji coba senjata nuklir pertamanya di Lop Nor, Provinsi Xinjiang, pada tahun 16 Oktober Dikarenakan hubungan Tiongkok dan India kurang baik karena saat itu keduanya sedang berselisih memperebutkan wilayah Arunachal Pradesh, maka untuk merespon Tiongkok yang merupakan saingannya, India juga mengembangkan senjata nuklir. Di samping alasan tersebut, India juga mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan status dan prestise agar India diakui oleh dunia sebagai emerging great power. India berhasil melakukan uji coba senjata nuklir pada 18 Mei Menanggapi keberhasilan India, Pakistan yang merupakan saingan India merasa tidak aman dan memutuskan untuk mengembangkan senjata nuklir. Pakistan juga akhirnya berhasil mengembangkan senjata nuklir pada (International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.). Proliferasi nuklir dapat ditinjau dari sudut pandang realisme yang menekankan pada konsep power dan prinsip 3S, yaitu statism, survival, dan self-help. Realisme percaya bahwa power merupakan elemen terpenting yang harus dimiliki oleh negara agar dapat menjamin keberlangsungan (survival) negaranya. Di tengah kondisi sistem internasional yang anarki dan tidak menentu, negara harus berupaya meningkatkan power-nya. Realisme klasik menggambarkan perilaku negara sebagai struggle for power (Morgenthau, 1985). Senjata nuklir dianggap sebagai salah satu bentuk power sebuah negara. Negara yang memiliki senjata nuklir dapat meningkatkan statusnya dalam sistem internasional. Amerika Serikat yang semula menjadi negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir menikmati posisi di mana negara-negara berlindung di bawah Amerika Serikat. Namun, ketika Uni Soviet mengembangkan senjata nuklir, Amerika Serikat tidak lagi menjadi negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir. Kondisi ini memengaruhi status 3
6 Amerika Serikat dalam sistem internasional. Sistem internasional yang awalnya unipolar di mana Amerika Serikat menjadi hegemon mulai bergeser menjadi bipolar dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai great power. Adapun menurut perspektif neorealisme, tujuan negara berjuang meningkatkan power dapat ditelaah berdasarkan dua alasan, yaitu realisme ofensif dan realisme defensif. Pertama, realisme ofensif memprioritaskan pada jumlah power yang dimiliki oleh negara. Realisme ofensif menyatakan bahwa tujuan negara adalah menjadi hegemon. Karena hanya dengan menjadi hegemon, negara dapat menjamin keamanan dan keberlangsungannya. Kedua, realisme defensif yang memprioritaskan pada keamanan negara. Realisme defensif percaya bahwa negara tidak seharusnya memaksimalkan power dan tidak seharusnya pula berjuang menjadi hegemon. Negara seharusnya mencari power dengan jumlah yang cukup atau tepat karena upaya negara untuk memaksimalkan power justru akan membahayakan negara tersebut. Apabila negara meningkatkan power, negara-negara lain akan merasa tidak aman, dan negara-negara akan melakukan proses balancing untuk menyaingi negara yang meningkatkan power tersebut (Dunne, 2011: 81; Baylis et al, 2008: ) Upaya setiap negara untuk mencapai balance of power demi menjamin keamanan negara seringkali menimbulkan security dilemma. John H. Herz mendeskripsikan security dilemma sebagai sebuah kondisi di mana upaya negara untuk meningkatkan kebutuhan keamanan mereka, walaupun tidak berniat untuk mengancam negara lain, cenderung menimbulkan peningkatan rasa ketidakamanan bagi negara lain karena setiap negara menafsirkan tindakannya sendiri sebagai defensif dan menafsirkan langkah-langkah yang diambil oleh negara lain sebagai ofensif atau berpotensi mengancam (Herz, 1951: 7). Dalam konteks proliferasi nuklir, pengembangan senjata nuklir oleh Amerika Serikat menimbulkan rasa tidak aman bagi Uni Soviet. Uni Soviet lalu berupaya mengimbangi Amerika Serikat dengan ikut mengembangkan senjata nuklir juga. Pengembangan senjata nuklir oleh Uni Soviet didasarkan akan tujuan untuk menjamin keamanan dan keberlangsungan Uni Soviet. Namun, setiap peningkatan power, walaupun ditujukan untuk keamanan negara sendiri atau defensif dan tidak ditujukan untuk menyerang negara lain, akan tetap dianggap sebagai potensi ancaman bagi negara lain. Dalam hal ini, Inggris 4
7 dan Prancis merasa pengembangan senjata nuklir oleh Uni Soviet sebagai potensi ancaman terhadap keamanan negaranya sehingga Inggris dan Prancis juga mengembangkan senjata nuklir. Sesuai dengan pandangan neorealisme bahwa kondisi sistem internasional yang penuh dengan ketidakpastian membuat negara-negara tidak dapat memprediksi perilaku negara lain dan membuat negara menjadi saling tidak percaya terhadap negara lain (Baylis et al, 2008: 935). Oleh karena itu, untuk menjaga keamanan negara, negara harus self-help. Pengembangan senjata nuklir oleh Inggris dan Prancis menandakan adanya upaya untuk self-help. Sebelumnya, ketika Amerika Serikat merupakan pemilik senjata nuklir satusatunya di dunia, Inggris dan Prancis bergantung pada perlindungan yang diberikan oleh Amerika Serikat melalui NATO. Namun, ketika Uni Soviet berhasil mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman. Ditambah lagi Prancis meragukan komitmen Amerika Serikat yang berjanji akan membantu menjaga keamanan Prancis, tetapi tidak terbukti karena Amerika Serikat tidak membantu Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu tahun 1954 dan Krisis Suez pada tahun Kedua faktor ini membuat Inggris dan Prancis tersadar bahwa untuk menjunjung keamanan nasionalnya, mereka tidak dapat bergantung pada negara lain. Realisme: Senjata Nuklir sebagai Deterrence Kaum realis beranggapan bahwa pengembangan senjata nuklir oleh negara-negara justru mencegah penggunaan senjata nuklir. Asumsi kaum realis ini didukung oleh konsep deterrence. Deterrence berarti mencegah musuh agar tidak menyerang dengan cara mengancam pembalasan (Kegley, 2010: 303). Dengan menggunakan konsep deterrence ini, kaum realis berpendapat bahwa negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir tidak akan saling serang. Hal ini dikarenakan realisme percaya bahwa negara merupakan aktor yang rasional yang mengetahui apabila negara dengan senjata nuklir menyerang negara yang memiliki senjata nuklir juga, maka negara yang diserang dapat menyerang balik sehingga menimbulkan kerugian yang sama-sama parah bagi kedua pihak. Pemikiran ini disebut dengan doktrin mutually assured destruction (MAD) yang menjelaskan bahwa tidak akan ada negara yang memenangkan perang nuklir karena negara-negara yang terlibat dalam perang nuklir akan mengalami kehancuran yang sama dengan negara yang 5
8 terlibat dalam perang tersebut (Petersen, 2012: 94). Doktrin MAD menjelaskan mengapa Amerika Serikat dan Uni Soviet dapat tetap menjaga kondisi damai dengan tidak menggunakan senjata nuklirnya pada saat Perang Dingin. Namun, prinsip deterrence ini menuai kritik dari kaum liberalis dan konstruktivis. Pertama, kritik dari kaum liberalis adalah memiliki senjata nuklir yang ditujukan untuk deterrence bukanlah tindakan yang rasional. Selanjutnya liberalisme menjelaskan tentang kemungkinan negara-negara bekerja sama untuk menggunakan nuklir hanya untuk tujuan perdamaian melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan Traktat Nonproliferasi Nuklir. Kedua, kritik dari kaum konstruktivis adalah berkaitan dengan keefektifan prinsip deterrence. Apakah prinsip deterrence benar-benar dapat menjelaskan mengapa sebuah negara tidak menggunakan senjata nuklirnya? Esensi dari Teori Deterrence adalah senjata nuklir tidak akan pernah digunakan di dunia di mana dua atau lebih negara memiliki senjata nuklir (Waltz, 2003a: 16). Apabila benar demikian, maka ada kemungkinan bahwa senjata nuklir akan digunakan untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir karena negara yang diserang tidak akan dapat melakukan pembalasan. Akan tetapi, pada kenyataannya, negara yang memiliki senjata nuklir tidak menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Hal ini dapat diamati pada peristiwa Perang Vietnam tahun 1955 sampai 1975, Perang Teluk pada tahun 1991, perang di Afghanistan pada tahun 2002, dan perang di Irak pada tahun 2003, di mana Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklirnya dalam perang-perang tersebut. Terlebih lagi, apabila mengikuti logika prinsip deterrence, maka negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak akan menyerang negara yang memiliki senjata nuklir karena akan ada ancaman pembalasan oleh negara pemilik senjata nuklir. Hal ini juga tidak terbukti pada saat Perang Korea yang terjadi antara tahun 1950 sampai 1953, di mana Tiongkok menyerang tentara Amerika Serikat (Tannenwald, 2008: 2-3). Oleh karena itu, muncul prinsip Nuclear Taboo yang menjelaskan mengapa negara tidak menggunakan senjata nuklirnya. 6
9 Liberalisme: Pengembangan Senjata Nuklir adalah Irasional Berbeda dengan realisme yang lebih menekankan pada isu high politics, liberalisme memberi perhatian pada isu-isu high politics dan low politics. Dalam konteks senjata nuklir, liberalisme memperhatikan alokasi biaya yang besar dalam pengembangan senjata nuklir. Alokasi dana yang besar menyebabkan negara mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi kepentingan keamanan negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat menghabiskan dana sebanyak 20 miliar dollar Amerika per tahun untuk menjaga dan mengoperasikan senjata nuklirnya (Olson, 2010: 12). Terlebih lagi saat krisis finansial tahun 2008, Amerika Serikat mengalokasikan dana sebanyak 9,2 milliar dollar untuk sistem pertahanan rudal (Schwartz & Choubey, 2009: 27). Hal ini mendasari kaum liberalis untuk menyatakan bahwa mengalokasikan dana yang besar untuk senjata nuklir dengan mengorbankan kesejahteraan rakyatnya adalah tindakan yang irasional. Liberalisme menganggap bahwa apabila negara bertindak rasional maka seharusnya alokasi dana yang besar itu dapat mencegah negara untuk mengembangkan senjata nuklir. Neoliberalisme: Traktat Nonproliferasi Nuklir Neoliberalisme, sama seperti neorealisme, percaya bahwa sistem internasional anarki. Namun, yang membedakan keduanya adalah, neorealisme pesimis terhadap kemungkinan negara bekerja sama, sedangkan neoliberalisme optimis bahwa dalam keadaan anarki, negara dapat bekerja sama karena kerja sama akan membuahkan absolute gain (Kegley, 2010: 43). Dalam hal nonproliferasi nuklir, absolute gain berupa keteraturan dan keamanan, serta jaminan bahwa setiap negara dapat mengembangkan energi nuklir untuk keperluan perdamaian sipil. Neoliberalisme menekankan institusi atau rezim internasional dalam menjaga keteraturan. Salah satu rezim internasional yang berfungsi untuk mengontrol proliferasi nuklir adalah Traktat Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Nonproliferation Treaty/NPT). NPT adalah sebuah kesepakatan yang mencakup tiga pilar utama, yaitu: nonproliferasi, penggunaan energi nuklir untuk tujuan perdamaian, dan perlucutan senjata nuklir. NPT mulai ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai beroperasi pada tahun Saat ini negara anggota NPT adalah sebanyak 190 negara termasuk lima negara pemilik senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat, Russia, Inggris, Prancis, dan Tiongkok (British American 7
10 Security Information Council, 2015). Sebelum adanya NPT, norma nonproliferasi tidak memiliki platform yang signifikan untuk diaplikasikan. Dengan adanya NPT, norma nonproliferasi dapat diaktivasi. Norma dalam perspektif neoliberalisme dipandang sebagai standar perilaku yang didefinisikan dalam wujud hak dan kewajiban (Keohane, 1984: 57). NPT merupakan suatu governance yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan agar dapat mewujudkan collective security. 1 Untuk menciptakan keteraturan tersebut, NPT memiliki norma dan menerapkan norma tersebut dengan cara memberikan hak dan kewajiban bagi negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapons State/NWS) dan negara yang tidak memiliki senjata nuklir (Non-Nuclear Weapons State/NNWS). NWS berkewajiban untuk tidak menyebarkan informasi, pengetahuan, dan teknologi senjata nuklir kepada NNWS serta bersedia mengurangi senjata nuklirnya. Sedangkan NNWS berkewajiban untuk tidak menerima teknologi senjata nuklir dari NWS dan tidak mengembangkan senjata nuklir. NWS dan NNWS memiliki hak untuk mengakses teknologi atau energi nuklir hanya untuk tujuan perdamaian sipil (NTI, 2015). Walau diragukan keefektifannya oleh neorealisme, NPT meraih beberapa langkah keberhasilan dalam upayanya mengontrol proliferasi nuklir. NPT menyambut pembentukan Zona Bebas Senjata Nuklir (Nuclear Weapon-Free Zones/NWZF). Dalam Artikel VII, NPT mendorong pembentukan traktat regional untuk memastikan bahwa negara-negara menjunjung tiga pilar NPT. Saat ini, banyak traktat regional yang menggunakan NPT sebagai dasar pembentukan NWZF (UNODA, n.d.). Alasan utama NNWS mengajukan pembentukan NWZF adalah untuk memberhentikan penyebaran senjata nuklir di kawasannya dan untuk memperkuat mandat nonproliferasi (Paul, 2009: 170). Meskipun dalam rezim internasional tidak ada sanksi baku yang diatur dalam peraturan atau hukum, tetapi anggota-anggota rezim internasional dapat menegakkan norma yang ada dengan tujuan collective security. 1 Collective security adalah sebuah sistem untuk menjaga perdamaian melalui kumpulan negaranegara yang berdaulat di mana negara-negara berjanji untuk membela satu sama lain dengan prinsip an attack against one is an attack against all ( 8
11 Konstruktivisme: Prinsip Nuclear Taboo Konstruktivisme menekankan peran ide dalam mengubah struktur internasional, membentuk identitas dan kepentingan negara, dan menentukan perilaku mana yang dianggap sah atau memiliki legitimasi. Konstruktivisme juga menjelaskan bagaimana norma diinternasionalisasikan dan diinstitusionalisasikan sehingga diterima secara global serta dapat memengaruhi dan mendesak perilaku negara dan aktor non-negara (Baylis et al., 2008: ). Perspektif konstruktivisme mengenai nonproliferasi nuklir dapat dijelaskan melalui prinsip Nuclear Taboo. Prinsip Nuclear Taboo pertama kali diperkenalkan oleh Nina Tannenwald. Nuclear Taboo menjelaskan mengapa senjata nuklir tidak digunakan dengan menggunakan pendekatan moralitas. Ditinjau dari maknanya, kata taboo berarti bahwa ada larangan yang sangat keras untuk menjaga orang-orang dari konsekuensi bahaya pelanggaran tersebut. Berdasarkan prinsip Nuclear Taboo, negara-negara tidak menggunakan senjata nuklir karena senjata nuklir termasuk kategori Weapons of Mass Destruction dan distigmatisasi sebagai senjata penghancur massal yang imoral. Karena stigma ini, negaranegara terikat oleh norma-norma bahwa negara yang beradab tidak akan menggunakan senjata nuklir mengingat dampak penggunaan senjata tersebut yang sangat tidak berperikemanusiaan (Sauer, 2015: 24-25). Berbeda dengan pandangan realisme yang menganggap cara preventif untuk menjaga negara agar tidak menggunakan senjata nuklirnya dengan prinsip deterrence, perspektif konstruktivisme melalui prinsip Nuclear Taboo menjelaskan bahwa untuk membuat negara tidak menggunakan senjata nuklirnya, perlu dibentuk norma yang medelegitimasi senjata nuklir sehingga menimbulkan ketidaksetujuan moral di masyarakat terhadap senjata nuklir. Konstruktivisme juga menekankan pentingnya institusionalisasi norma, yaitu proses yang mengabsahkan sebuah norma sehingga norma dapat diinternalisasi. Adapun contoh institusionalisasi norma Nuclear Taboo diwujudkan melalui perjanjian multilateral, seperti NPT, dan juga Traktat regional yang mendukung NWZF, seperti Traktat Bangkok, Traktat Pelindaba, dan traktat-traktat lainnya (UNODA, 2016). 9
12 Sekilas prinsip ini terlihat sangat lemah dalam menjelaskan keputusan sebuah negara untuk tidak menggunakan senjata nuklir. Namun, prinsip Nuclear Taboo memiliki dua efek yang menjelaskan tidak digunakannya senjata nuklir, yaitu efek regulatif dan efek konstitutif. Pertama, efek regulatif berupa norma yang memengaruhi pengambilan kebijakan. Seseorang pengambil kebijakan harus mampu menjelaskan mengapa ia mengambil kebijakan tersebut. Dalam konteks senjata nuklir, pengambil kebijakan harus mampu menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk menggunakan atau tidak menggunakan senjata nuklir. Tekanan dari publik bahwa nuklir itu tabu berubah menjadi keyakinan dalam masyarakat tentang apa yang benar dan apa yang salah menggunakan senjata nuklir adalah salah, dan tidak menggunakan senjata nuklir adalah benar sehingga menimbulkan kewajiban untuk berperilaku sesuai dengan norma. Maka dari itu, seorang pengambil kebijakan memiliki beban moral untuk menjelaskan keputusannya (Sauer, 2015: 26). Kedua, efek konstitutif berupa identitas negara yang dibentuk melalui stigmatisasi senjata nuklir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dampak kerusakan akibat senjata nuklir sangat dahsyat dan tidak berperikemanusiaan sehingga negara yang menggunakan senjata nuklir dapat dianggap sebagai negara yang tidak beradab. Sebaliknya, negara yang menaati norma nuklir tabu, memeroleh identitas sebagai negara yang beradab. Atas dasar ini, negara berupaya untuk membentuk identitasnya (Sauer, 2015: 26; Wendt, 1992: ). Konstruktivisme memiliki elemen penting, yaitu bagaimana pengetahuan, simbol, bahasa, dan peraturan membentuk atau mengonstruksi individu dalam memandang dunia (Baylis et al., 2008: 673). Nuclear Taboo pertama kali muncul pasca serangan Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat pada tahun Mulanya, sebanyak 80% rakyat Amerika mendukung keputusan Presiden Harry Truman untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir. Bahkan setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom, tidak ada protes dan ketidaksetujuan dalam masyarakat Amerika Serikat. Masyarakat Amerika Serikat merasa lega dan gembira bahwa perang telah berakhir (Rose, 2001: 14-15; Weart, 1988: 107). Hal ini dikarenakan saat itu belum ada norma bahwa menggunakan senjata nuklir adalah tabu. Namun, pandangan tentang senjata nuklir berubah ketika artikel John 10
13 Hersey yang berjudul Hiroshima diterbitkan di The New Yorker pada tanggal 31 Agustus Artikel Hersey seketika langsung diperbanyak dan dicetak ulang di berbagai media dan disiarkan melalui radio. Artikel Hersey menggambarkan penderitaan yang dialami oleh korban bom di Hiroshima. Artikel ini menjadi permulaan yang memberikan pengetahuan tentang sisi moralitas senjata nuklir dan mengonstruksi individu bahwa penggunaan senjata nuklir sangat tidak bermoral (Tannenwald, 2007: 92-93). Mengingat dampak kerusakan yang timbul akibat senjata nuklir, selanjutnya norma tabu tersebut diperkuat dengan adanya perjanjian atau peraturan yang membatasi pengembangan senjata nuklir, salah satunya dengan Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT). Dengan demikian, konstruksi yang dibentuk melalui norma Nuclear Taboo berhasil memengaruhi individu dan negara dalam memandang sisi moralitas senjata nuklir sehingga memengaruhi keputusan negara untuk tidak menggunakan senjata nuklir. Simpulan Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme memiliki perspektif yang berbeda terkait mengapa negara tidak menggunakan senjata nuklir. Realisme lebih menekankan pada prinsip deterrence, yaitu mencegah musuh untuk tidak menyerang dengan ancaman pembalasan, dan prinsip mutually assured destruction, yaitu bahwa negara tidak akan saling serang apabila sama-sama memiliki senjata nuklir karena serangan yang terjadi antarnegara yang memiliki senjata nuklir akan menimbulkan kerusakan yang sama-sama dahsyat bagi kedua pihak. Dengan demikian, realisme mendukung negara-negara untuk mengembangkan senjata nuklir karena kepemilikan senjata nuklir justru mencegah negara-negara untuk saling serang. Liberalisme mengkritik realisme bahwa perilaku negara untuk mengembangkan senjata nuklir merupakan perilaku yang irasional karena alokasi dana yang besar untuk senjata nuklir mengorbankan berkurangnya alokasi dan untuk pendidikan, kesehatan, dan aspekaspek kesejahteraan rakyat lainnya. Selain itu, neoliberalisme menekankan pentingnya norma dan rezim internasional dalam mengontrol negara untuk tidak menggunakan senjata nuklir. Salah satu rezim internasional yang digunakan untuk mengontrol senjata nuklir adalah Traktat Nonproliferasi Nuklir. 11
14 Sedangkan, Konstruktivisme mengkritik prinsip deterrence. Konstruktivisme menekankan dampak kerusakan nuklir sangat tidak berperikemanusiaan dan berupaya mengonstruksi individu dan negara tentang sisi moralitas senjata nuklir. Konstruksi ini dilakukan dengan institusionalisasi dan internalisasi norma Nuclear Taboo sehingga dapat mengubah pandangan negara agar tidak menggunakan senjata nuklir. Konstruktivisme juga menekankan bahwa keputusan negara untuk menggunakan atau tidak menggunakan senjata nuklir akan memengaruhi identitasnya, seperti yang telah disampaikan bahwa senjata nuklir dianggap sebagai senjata yang seharusnya tidak digunakan mengingat dampak kerusakannya yang dahsyat sehingga negara yang menggunakan senjata nuklir dianggap sebagai negara yang tidak beradab. 12
15 DAFTAR PUSTAKA Dari buku Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2008). The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (2011). International Relations Theories. Oxford: Oxford University Press. Goldstein, J.S. & Pevehouse, J.C. (2014). International Relations, Tenth Edition. Madison: Pearson. Herz, John H. (1951). Political Realism and Political Idealism. Cambridge: Cambridge University Press. Kegley, C.W. & Blanton, S.L. (2011). World Politics: Trend and Transformation. Boston, MA: Wadsworth. Keohane, R. O. (1984). After hegemony: cooperation and discord in the world political economy. Chichester: Princeton University Press. Morgenthau, H.J. & Thompson, K.W. (1985). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Knopf. Olson, L. (2010). Fiscal Year 2011 Defense Spending Request: Briefing Book. Washington: The Center For Arms Control and Non-Proliferation. Paul, T.V. (2009). The Tradition of Non-Use of Nuclear Weapons. Stanford: Stanford University Press. Petersen, B.C. (2012). The Nuclear Non-Proliferation Treaty. Cape Town: University of Western Cape. 13
16 Rose, K.D. (2001) One Nation Underground: The Fallout Shelter in American Culture. New York: New York University Press. Sauer, F. (2015). Atomic Anxiety: Deterrence, Taboo, and the Non-Use of US Nuclear Weapons. New York: Palgrave Macmillan. Schwartz, S. I. & Choubey, D. (2009). Nuclear Security Spending: Assessing Cost, Examining Priorities. Washington: Carnegie Endowment for International Peace. Tannenwald, N. (2008). Nuclear Taboo. New York: Cambridge University Press. Waltz, K.N. (2003a). More May Be Better in S.D. Sagan and K.N. Waltz (eds.) The Spread of Nuclear Weapons. A Debate Renewed, 2nd Edition. New York: W.W. Norton. Weart, S.R. (1988). Nuclear Fear: A History of Images. Cambridge: Harvard University Press. Dari artikel dalam jurnal Wendt, A. (1992). Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics. International Organization, 46(2), Dari sumber internet Atomic Archive. (n.d.). The Atomic Bombings of Hiroshima and Nagasaki. Diakses dari pada 15 Juni 2016, pk WIB British American Security Information Council. (2015). The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Diakses dari pada 14 Juni 2016, pk WIB 14
17 International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (n.d). Nuclear Weapons Timeline. Diakses dari pada 14 Juni 2016, pk WIB NTI. (2015). Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Diakses dari pada 15 Juni 2016, pk WIB Stromberg, R.N. (n.d.). Collective Security. Diakses dari pada 15 Juni 2016, pk WIB UNODA. (n.d.). Nuclear-Weapon-Free Zone. Diakses dari pada 14 Juni 2016, pk WIB 15
BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,
Lebih terperinciRealisme dan Neorealisme I. Summary
Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;
Lebih terperinciPROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI
PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya
Lebih terperinciPERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM
PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini akan membahas mengenai kerja sama keamanan antara pemerintah Jepang dan pemerintah Australia. Hal ini menjadi menarik mengetahui kedua negara memiliki
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. evaluasi kegagalan dan keberhasilan kebijakan War on Terrorism dapat disimpulkan
BAB V KESIMPULAN Dari penjelasan pada Bab III dan Bab IV mengenai implementasi serta evaluasi kegagalan dan keberhasilan kebijakan War on Terrorism dapat disimpulkan bahwa kebijakan tersebut gagal. Pada
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,
Lebih terperincimengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea
BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia
Lebih terperinciSumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.
Politik Luar Negeri Amerika Serikat Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut merupakan kebijaksanaan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.
BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi
Lebih terperinciSignifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si
Signifikasi Kawasan Asia Pasifik Yesi Marince, S.Ip., M.Si A NEW WORLD AND ASIA PACIFIC ORDER Bagaimana Berakhirnya Perang Dingin mempengaruhi kawasan Asia Pasifik? 1. Alasan pelaksanaan containment policy
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal abad ke-20, perkembangan teknologi telah mendatangkan beragam inovasi baru. Salah satunya adalah pengolahan beberapa unsur kimia menjadi senyawa radioaktif
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Laut Cina Selatan sebagai jalur perairan utama dalam kebanyakan ekspedisi laut, yang juga berada diantara negara-negara destinasi perdagangan, dan terlebih lagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berasal dari reaksi nuklir baik yang berupa reaksi fusi dan fisi. Dalam fisika,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Senjata nuklir merupakan alat peledak yang kekuatannya dapat merusak yang berasal dari reaksi nuklir baik yang berupa reaksi fusi dan fisi. Dalam fisika, fusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dunia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dunia terutama Jepang dikejutkan dengan dijatuhkannya bom atom (nuklir) diatas kota Hiroshima
Lebih terperinciLEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan
Lebih terperinciUnipolaritas Damai? Menggugat Justifikasi Dominasi AS
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 1 Unipolaritas Damai? Menggugat Justifikasi Dominasi AS Review Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Amerika William
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan.
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan pergaulan masyarakat internasional, kerjasama antar negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan. Namun demikian,
Lebih terperinciAndy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016
Andy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016 SAFETY SAFEGUARDS SECURITY IPTEK NUKLIR Keamanan nuklir mencakup keamanan bahan nuklir
Lebih terperinciMODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL
MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL PENDAHULUAN Kajian tentang strategi keamanan juga melandaskan diri pada perkembangan teori-teori keamanan terutama teori-teori yang berkembang pada masa perang dingin
Lebih terperinciPERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI
PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI A. Manusia, Politik dan Moral. Manusia adalah mahluk yang bermoral. Hal ini menjadi sesuatu yang mulai kabur dan berubah dalam hal keilmuan,
Lebih terperinciUU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)
Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. di dunia. Dimana power suatu negara tidak hanya dapat di ukur melalui kekuatan
BAB IV PENUTUP Kesimpulan Perkembangan senjata nuklir sejak dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki hingga saat ini telah mempengaruhi politik luar negeri antara negara-negara di dunia. Dimana
Lebih terperincibilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika
BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat.
BAB IV KESIMPULAN Terjadinya Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat turut mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat. Salah satunya adalah sikap yang ditunjukkan
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM
BAB II GAMBARAN UMUM 2.1. Jepang Pasca Perang Dunia II Pada saat Perang Dunia II, Jepang sebagai negara penyerang menduduki negara Asia, terutama Cina dan Korea. Berakhirnya Perang Dunia II merupakan kesempatan
Lebih terperinciSENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN MASA DEPAN KEAMANAN INTERNASIONAL. Adi Joko Purwanto, S.Ip, MA. Abstract
SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN MASA DEPAN KEAMANAN INTERNASIONAL Adi Joko Purwanto, S.Ip, MA Abstract This article tries to explore the dynamics of international security, especially the ownership of weapons
Lebih terperinci1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME
1 1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME Dalam sejarahnya, manusia memang sudah ditakdirkan untuk berkompetisi demi bertahan hidup. Namun terkadang kompetisi yang dijalankan manusia itu tidaklah sehat dan menjurus
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.
BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciGUNTINGAN BERITA Nomor : /HM 01/HHK 2.1/2014
Badan Tenaga Nuklir Nasional J A K A R T A Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional GUNTINGAN BERITA Nomor : /HM 01/HHK 2.1/2014 Hari, tanggal Selasa, 21 Oktober 2014 Sumber Berita http://palingaktual.com/
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa menyerahnya Jepang kepada sekutu pada 14 Agustus 1945 menandai berakhirnya Perang Dunia II, perang yang sangat mengerikan dalam peradaban manusia di dunia.
Lebih terperinciURGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK
URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK INDONESIA, RESOLUSI DK PBB, DAN FATF RESOLUSI DK PBB
Lebih terperinciPertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme. Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP
Pertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP Mengapa teori menjadi penting? Teori adalah pernyataan yang dibuat untuk menjawab pertanyaan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1 Occupation of Japan : Policy and Progress (New York: Greenwood Prees,1969), hlm 38.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyebabkan negara ini kehilangan kedaulatannya dan dikuasai oleh Sekutu. Berdasarkan isi dari Deklarasi Potsdam, Sekutu sebagai
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada awal tahun 1957 dengan dukungan dari Amerika Serikat. 1 Pada saat itu
BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Iran meluncurkan program pengembangan energi nuklir pertamanya pada awal tahun 1957 dengan dukungan dari Amerika Serikat. 1 Pada saat itu Iran dan Amerika Serikat memang
Lebih terperinciPERCOBAAN NUKLIR RINGKASAN
PERCOBAAN NUKLIR RINGKASAN Percobaan yang diadakan di gurun pasir di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat pada tahun 1945 adalah percobaan nuklir yang pertama. Hingga saat ini jumlah percobaan nuklir
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. minyak. Terus melambungnya harga minyak dunia, bahkan sempat menyentuh
I. PENDAHULUAN A. Latar Balakang Setiap negara, baik negara maju ataupun berkembang tersudut di dalam pilihan yang sangat sulit terhadap masalah energi yang disebabkan pada tingginya harga minyak. Terus
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki
Lebih terperinciPengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni
Pengertian Dasar & Jenisnya Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional By Dewi Triwahyuni Definisi : Keamanan (security) secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan mempertahankan diri (survival) dalam
Lebih terperinciPENGANTAR KAJIAN STRATEGIS
PENGANTAR KAJIAN STRATEGIS Penulis : Anak Agung Banyu Perwita; Afrimadona; Bantarto Bandoro; Beni Sukadis; Fredy BL Tobing; Kusnadi Kardi; Prasojo; Yugolastarob Komeini Editor : AA Banyu Perwita Bantarto
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap negara-negara yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian multilateral
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Traktat NPT merupakan perjanjian yang mengikat secara hukum internasional terhadap negara-negara yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian multilateral
Lebih terperinciPERADABAN AMERIKA MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI
FISIP HI UNJANI CIMAHI 2011 PERADABAN MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI Revolusi Amerika 1776 Perang Sipil di Amerika 1861-1845 Perkembangan Amerika Serikat dan Amerika Latin Amerika Serikat Sebagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciDIPLOMASI PEMERINTAH IRAN TERHADAP TEKANAN INTERNASIONAL PADA PROGRAM PENGEMBANGAN NUKLIR TAHUN
DIPLOMASI PEMERINTAH IRAN TERHADAP TEKANAN INTERNASIONAL PADA PROGRAM PENGEMBANGAN NUKLIR TAHUN 2005-2009 (IRAN GOVERNMENT DIPLOMACY TO INTERNATIONAL PRESSURE ON NUCLEAR DEVELOPMENT PROGRAM 2005-2009)
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian skripsi peneliti yang berjudul Peran New Zealand dalam Pakta ANZUS (Australia, New Zealand, United States) Tahun 1951-.
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA REZIM NON-PROLIFERASI NUKLIR INTERNASIONAL DAN PROGRAM NUKLIR IRAN TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA REZIM NON-PROLIFERASI NUKLIR INTERNASIONAL DAN PROGRAM NUKLIR IRAN TESIS EVELYN ADISA 1006743872 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL
Lebih terperinciDUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)
Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman
Lebih terperincimemperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.
BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya
Lebih terperinciBAB 20: SEJARAH PERANG DINGIN
www.bimbinganalumniui.com 1. Perang Dingin a. Perang terbuka antara Blok Barat dan Blok Timur b. Ketegangan antara Blok Barat dalam masa ideologi c. Persaingan militer antara Amerika Uni di Timur Tengah
Lebih terperinciPolitik Global dalam Teori dan Praktik
Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan
Lebih terperinciinternasional. Kanada juga mulai melihat kepentingannya dalam kacamata norma keamanan manusia. Setelah terlibat dalam invasi Amerika di Afghanistan
BAB V KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini, penulis akan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan pertama yaitu mengapa Kanada menggunakan norma keamanan manusia terhadap Afghanistan, serta pertanyaan kedua yaitu
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan
Lebih terperinciHUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni
HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN Dewi Triwahyuni International Relation Department, UNIKOM 2013 Backgroud History 1950an 1980an Hubungan internasional di Asia Tenggara pada
Lebih terperinciLAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI I DPR RI KE NEGARA AUSTRIA TANGGAL NOVEMBER 2011
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI I DPR RI KE NEGARA AUSTRIA TANGGAL 19 25 NOVEMBER 2011 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2011 1 BAB I PENDAHULUAN A. Umum Kunjungan Kerja Delegasi Komisi I DPR RI
Lebih terperinciPEREDAAN KETEGANGAN DI SEMENANJUNG KOREA
PEREDAAN KETEGANGAN DI SEMENANJUNG KOREA Oleh: DR. Yanyan Mochamad Yani, Drs., M.A. Akhirnya setelah melalui pasang surut yang penuh ketegangan, masyarakat dunia kini perlu merasa lega. Sementara waktu
Lebih terperinciBAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait
BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua yang dimenangkan oleh tentara sekutu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berakhirnya perang dunia kedua yang dimenangkan oleh tentara sekutu (dimotori oleh Amerika Serikat) telah membuka babak baru dalam sejarah politik Korea. Kemenangan
Lebih terperinciPendahuluan. Selatan. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 1,046-kilometer
Pendahuluan A. Latar Belakang Pakistan merupakan salah satu negara yang terletak diwilayah Asia Selatan. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 1,046-kilometer (650 mi) dengan Laut Arab dan Teluk Oman
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Kennedy hanya menjalankan jabatan kepresidenan selama dua tahun yakni
BAB VI KESIMPULAN Kennedy hanya menjalankan jabatan kepresidenan selama dua tahun yakni sejak tahun 1961 hingga 1963, akan tetapi Kennedy tetap mampu membuat kebijakan-kebijakan penting yang memiliki dampak
Lebih terperincisebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.
BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses peredaan ketegangan dalam konflik Korea Utara dan Korea Selatan pada rentang waktu 2000-2002. Ketegangan yang terjadi antara Korea Utara
Lebih terperinciDIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUBUNGAN INTERNASIONAL KAJIAN SINGKAT TERHADAP
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dominan di Korea, oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis kepentingan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Judul penelitian ini adalah kepentingan Amerika Serikat dalam reunifikasi di Semenanjung Korea. Amerika Serikat adalah salah satu faktor eksternal yang dominan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. damai tidak dicegah oleh rejim internasional non proliferasi, maka semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penemuan teknologi pemisahan atom menjadi nuklir menjadi sumber inspirasi dan juga kekhawatiran, karena penemuan teknologi nuklir di satu sisi dapat memberikan
Lebih terperincisanksi terhadap intensi Kiev bergabung dengan Uni Eropa. Sehingga konflik Ukraina dijadikan sebagai instrumen balance of power di Eropa Timur.
BAB. V KESIMPULAN Dunia yang terkungkung dalam persaingan kekuatan membuat negaranegara semakin aktif untuk meningkatkan persenjataan demi menjaga keamanan nasionalnya. Beberapa tahun silam, Ukraina mendapat
Lebih terperinciREALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni
REALISM Theoretical Intrepretations of World Politics By Dewi Triwahyuni Theory in Brief REALISM & NEOREALISM Key Actors View of the individual View of the state View of the international system Beliefs
Lebih terperinciRealitas di balik konflik Amerika Serikat-Irak : analisis terhadap invasi AS ke Irak Azman Ridha Zain
Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Realitas di balik konflik Amerika Serikat-Irak : analisis terhadap invasi AS ke Irak Azman Ridha Zain Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=93120&lokasi=lokal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. II ( ) pada umumnya memiliki sudut pandang Sekutu sentris, dengan kata
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini sumber-sumber literatur tentang sejarah Perang Dunia II (1939-1945) pada umumnya memiliki sudut pandang Sekutu sentris, dengan kata
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Bulan Agustus 1945 menandakan akhir dari Perang Dunia II saat Jepang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bulan Agustus 1945 menandakan akhir dari Perang Dunia II saat Jepang dikalahkan oleh Sekutu. Kekalahan tersebut membawa Jepang ke dalam masa pendudukan oleh Sekutu.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian New Zealand merupakan negara persemakmuran dari negara Inggris yang selama Perang Dunia I (PD I) maupun Perang Dunia II (PD II) selalu berada di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dunia Kedua yang dimenangkan oleh tentara Sekutu (dimotori oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya Perang Dunia Kedua yang dimenangkan oleh tentara Sekutu (dimotori oleh Amerika Serikat) telah membuka babak baru dalam sejarah politik Korea. Kemenangan
Lebih terperinciSENGKETA INTERNASIONAL
SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak
BAB V Kesimpulan Identitas sebuah negara memegang peranan besar dalam proses hubungan antar negara. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak memiliki kepentingan
Lebih terperinciKESELAMATAN DAN KEAMANAN PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR INDONESIA
Seminar Arsitektur Rezim Nuklir Internasional: Peran Indonesia dalam Konferensi CTBTO, Surabaya, 2 Oktober 2014 KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR INDONESIA Yaziz Hasan Biro Hukum, Hubungan
Lebih terperinciSILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) MATA KULIAH TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL. Oleh. Drs. Asep Setiawan MA
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) MATA KULIAH TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL Oleh Drs. Asep Setiawan MA PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 B. Buzan & O. Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security, Cambridge University
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan pemilihan judul Tesis ini akan menjelaskan tentang kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur dan implikasinya terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok
Lebih terperinciMEDIA ECONOMICS Media massa adalah institusi ekonomi yang berkaitan dengan produksi dan penyebab isi media yang ditargetkan pada khalayak atau konsume
EKONOMI MEDIA MATA KULIAH EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si MEDIA ECONOMICS Media massa adalah institusi ekonomi yang berkaitan dengan produksi dan penyebab isi
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan, karena penelitian bertujuan mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis berarti
Lebih terperinciAMERIKA SERIKAT DAN NEGARA DUNIA KETIGA
AMERIKA SERIKAT DAN NEGARA DUNIA KETIGA Oleh: Dewi Triwahyuni, S.Ip., M.Si. Saran Bacaan: Eugene R. Wittkopf, The Future of American Foreign Policy,, Second Edition (New York: St. Matin s Press, 1992).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perang merupakan suatu konflik dua pihak atau lebih dan dapat melalui kontak langsung maupun secara tidak langsung, biasanya perang merupakan suatu hal yang
Lebih terperinci2015 DAMPAK DOKTRIN BREZHNEV TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI AFGHANISTAN
1 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Setelah berakhirnya perang dunia kedua, muncul dua kekuatan besar di dunia yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kedua negara ini saling bersaing untuk
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan
138 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan Ideologi Posmarxisme Dalam Perkembangan Gerakan Anti Perang Masyarakat Global. Kesimpulan tersebut merujuk
Lebih terperinci21 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Perspektif Postmodernisme ; Pengembangan Nuklir Iran Silsila Asri, S.IP, M.A Abstract This paper is purposed to explain the effectivity of non proliferation of nuclear weapons based on postmodernism perspective.
Lebih terperinciKemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat
Kesimpulan Amerika Serikat saat ini adalah negara yang sedang mengalami kemunduran. Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat relatif; karena disaat kemampuan ekonomi dan
Lebih terperinci