KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN PETUNJUK PELAKSANA ENUMERASI TEMPORARY SAMPLE PLOT/ PERMANENT SAMPLE PLOT (TSP/PSP) Jakarta, April 010

2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.. i DAFTAR ISI.. ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang.. 1 B. Maksud dan Tujuan. C. Ruang Lingkup. BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN... 3 BAB III PERSIAPAN A. Perencanaan... 5 B. Menuju Lokasi Klaster... 6 BAB IV TEKNIK PELAKSANAAN ENUMERASI 9 A. Kerangka Plot B. Enumerasi TSP C. Enumerasi PSP... 0 D. Pengukuran dan Pencatatan data Non Kayu 5 LAMPIRAN ii

3 KATA PENGANTAR Petunjuk teknis ini disusun sebagai pegangan pelaksanaan dilapangan untuk Enumerasi cluster Temporary dan Permanent Sample Plot (TSP dan PSP) dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional. Data TSP dan PSP diharapkan mewakili keragaman, tipe dan stratifikasi ekosistem hutan Indonesia. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengumpulan data tersebut dilapangan dituntut dedikasi, kejujuran dan disiplin dari para pelaksana. Untuk itu petunjuk teknis ini perlu dipahami secara cermat terlebih dahulu sebelum terjun ke lapangan. Dengan perjalanan waktu dan pengalaman, pedoman ini terbuka untuk penyempurnaan apabila ternyata masih ada yang perlu diperbaiki. Kepada para petugas di lapangan diharapkan dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan karena data yang diperoleh akan di olah secara seksama dan seragam. Jakarta, April 010 A.n. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ir. Yuyu Rahayu, MSc NIP i

4 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan Inventarisasi Hutan Nasional Indonesia telah mulai dilaksanakan sejak tahun Salah satu komponen dari IHN adalah pengumpulan data lapangan melalui pembuatan Temporary Sample Plots/Permanent Sample Plots (TSP/PSP) pada setiap grid 0 km x 0 km di seluruh kawasan hutan Indonesia (kecuali P. Jawa) dengan ketinggian sampai dengan 1000 dpl. Di dalam plot IHN terdapat plot contoh sementara (Temporary Sample Plot TSP) dan plot contoh permanen (Permanent Sample Plot PSP). TSP diukur hanya 1 (satu) kali untuk mengetahui kondisi potensi tegakan pada saat itu (current standing stock). Sedangkan PSP diukur ulang dalam selang waktu 4 sampai 5 tahun untuk memperoleh gambaran kondisi hutan yang terus berubah secara dinamis. Setelah proyek berakhir pada tahun 1996, telah dapat dikumpulkan data sebanyak 735 klaster dan dianalisis guna penyusunan Laporan Akhir Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia (kecuali P. Jawa). Dari Laporan Statistik Sumberdaya Hutan diperoleh hasil potensi tegakan berdasarkan strata yang merupakan kombinasi antara fungsi hutan dan tipe penggunaan lahan. Pengukuran ulang PSP masih dilaksanakan oleh BPKH Wilayah I sampai dengan X. Hasil pengukuran ulang yang dilakukan, diketahui banyak klaster yang telah mengalami perubahan karena adanya perubahan penutupan lahan, kegiatan penebangan, kebakaran, perubahan fungsi dan lain-lain. Dengan adanya perubahan kondisi plot klaster tersebut perlu dilakukan evaluasi dan penataan ulang plot-plot klaster yang ada sesuai perubahan yang terjadi sehingga plot klaster yang ada dapat mewakili strata hutan dalam inventarisasi hutan nasional. Untuk itu dilakukan redesain TSP/PSP dan pembuatan plot TSP/PSP ini dilakukan tidak hanya di luar Jawa tetapi termasuk juga di Jawa. 1

5 Buku ini dimaksudkan untuk menyempurnakan prosedur lapangan pengumpulan data Temporary Sample Plots/ Permanent Sample Plots (TSP/PSP) sesuai dengan perkembangan kondisi di lapangan. Prosedur ini diharapkan dapat memperkecil kesalahan dalam penetapan plot/pengukuran dan pada akhirnya akan menghasilkan data dengan kualitas yang lebih baik dan efisiensi lebih tinggi. B. Maksud dan Tujuan Maksud dari penyusunan petunjuk teknis enumerasi TSP/PSP adalah untuk menyediakan panduan bagi para pelaksana dalam melaksanakan enumerasi TSP/PSP guna memperoleh data dan informasi kondisi hutan. Sedangkan tujuan dari penyusunan petunjuk teknis enumerasi TSP/PSP adalah untuk mendapatkan kemudahan dan keseragaman dalam enumerasi TSP/PSP sehingga diperoleh format data yang seragam. C. Ruang Lingkup Petunjuk teknis ini meliputi prosedur pengambilan data pada kegiatan enumerasi TSP/PSP mulai dari pembuatan plot, pengambilan titik ikatan dan titik pusat klaster dengan menggunakan GPS, pengambilan data lapangan, pengisian tallysheet, pengambilan contoh herbarium dan pembuatan laporan, serta monitoring kegiatan enumerasi TSP/PSP.

6 II. PENGERTIAN-PENGERTIAN Berikut ini adalah penjelasan dari istilah-istilah yang digunakan pada pedoman ini: 1. TSP (Temporary Sample Plots) adalah Unit Contoh Sementara yang dibuat untuk mengumpulkan data lapangan berupa parameter-parameter biofisik tegakan hutan terutama kondisi standing stock kayu saat tertentu dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional. PSP (Permanent Sample Plots) adalah Unit Contoh Permanen yang dibuat untuk mengumpulkan data lapangan berupa parameter-parameter biofisik tegakan hutan terutama kondisi pertumbuhan tegakan dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional 3. Klaster adalah sekumpulan unit contoh di lapangan yang mewakili suatu strata 4. Plot (Tract) adalah satuan unit contoh di dalam klaster yang terdiri dari sekumpulan sub plot 5. Sub Plot/titik sampling adalah satuan unit contoh terkecil di lapangan dalam pengumpulan data lapangan 6. Satuan catatan/pengukuran (record unit) adalah satuan pencatatan parameter-parameter biofisik 7. Enumerasi adalah pembuatan, pengukuran dan pencatatan parameterparameter biofisik tegakan hutan pada plot contoh (TSP/PSP) 8. Re-enumerasi pembuatan, pengukuran dan pencatatan parameterparameter biofisik tegakan hutan pada plot contoh permanen (PSP) 9. BAF (Basal Area Factor) adalah besaran faktor luas bidang dasar tegakan hutan 10. Dbh (diameter breast height) adalah diameter yang diukur pada ketinggian setinggi dada rata-rata orang Asia yaitu 1,3 meter. 11. Dab (diameter above buttress) adalah diameter yang diukur pada ketinggian 0 cm di atas banir. 3

7 1. GPS (Global Positioning System) adalah suatu sistem penentuan posisi di bumi dengan menggunakan alat (receiver) yang dihubungkan dengan satelit. 13. Herbarium adalah contoh specimen pohon biasanya daun atau bagian pohon lainnya yang diambil di lapangan untuk mengidentifikasi jenis pohon 4

8 III. PERSIAPAN A. Perencanaan Ketua regu dan Asisten Ketua Regu merancang enumerasi plot, meliputi: 1. Menentukan satu atau dua cara terbaik untuk menuju lokasi plot termasuk mengecek titik awal, azimut, dan jarak ke plot. Langkah terbaik untuk menuju suatu klaster plot perlu ditunjukkan di atas peta topografi dengan skala peta terbesar yang ada dan dibantu oleh peta IUPHHK atau lainnya sepanjang tersedia. Hal ini menyangkut titik awal terbaik (atau sepasang titik, jika tidak dapat ditentukan yang terbaik) yang dapat dikenali di lapangan (percabangan sungai/jalan atau tanda-tanda lapangan yang ada/diketahui dan tergambar di dalam peta), arah/azimut dan jarak dari titik ikat (T1) tersebut ke pusat klaster (T) yaitu sudut barat daya Tract no.5. Gambar 1. Arah dan jarak titik ikat dan pusat klaster U 5

9 . Menjelaskan deskripsi plot nomor grid UTM (zone, easting dan northing), lokasi (Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi), fungsi hutan berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan dan Perairan, penutupan vegetasi, IUPHHK (jika ada), perkiraan tinggi tempat, jalur aksesibilitas yang ada, penentuan "kelas kesulitan",..., dll.) 3. Mengecek peralatan (lengkap dan berfungsi baik) 4. Mengecek lembar tallysheet. 5. Melakukan proses serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengenumerasi plot secara efisien, termasuk dimana memperoleh tenaga kerja, kendaraan, kapal,..., bagaimana dan di mana sebaiknya logistik untuk regu lapangan disiapkan. 6. Bilamana regu kerja sampai di lokasi terdekat (Desa/Kecamatan), mereka hendaknya lapor dan minta bantuan pejabat setempat dan HPH (jika ada) terutama mengenai pengerjaan/pendataan tenaga lapangan yang baik, bagaimana mencapai klaster plot (apakah benar titik awal dapat dikenali di lapangan), dimana tenda harus dipasang, cara terbaik untuk mencukupi kebutuhan regu kerja, pengamanan regu kerja, serta keterangan lain yang diperlukan. Jangan sampai ada yang ketinggalan. B. Menuju Lokasi Klaster 1. Petakan dan uraikan pada selembar kertas, titik T1 (starting point) yang telah ditentukan dalam peta dasar (Peta JOG, REPPROT, RBI, dsb) untuk memastikan posisi T1 di lapangan sebaiknya dicek kebenarannya dan tentukan posisi T dari T1 (azimuth dan jarak datarnya). T1 diberi tanda dengan sebuah plat (seng) warna dasar kuning dan tulisan hitam dan dipasang pada pohon hidup atau pancang yang kuat, yang secara jelas menunjukkan identitas klaster (nomor klaster, zone, easting, northing, arah dan jarak ke pusat klaster). 6

10 Gambar. Contoh Pemberian Tanda dan Tulisan pada T1 T1 ZONE : 50 EAST : 300 NORTH : 9840 AZIMUTH : 48 o JARAK : 1,5 KM. Kemudian T diikatkan/diukur posisi arah dan jarak pada sedikitnya 3 buah titik saksi (berupa pohon yang memiliki ciri khas) yang terdekat, juga diikatkan pada atau 3 titik/objek yang jelas jika ada seperti puncak gunung, batu besar, dll. Gambar 3. Titik Saksi pada Pusat Klaster 3. Rintisan dari T1 ke T, untuk setiap 50 meter jarak datar tandai dengan sebuah pancang/patok yang menunjukan nomor klaster, arah dan sisa jarak ke pusat klaster (T). Beberapa penyimpangan yang terjadi di lapangan karena kondisi alam yang sangat susah, digambarkan di atas kertas dan diberi tanda yang jelas di lapangan. 7

11 4. Untuk lebih memastikan posisi T1 dan T harus digunakan GPS dalam menentukan posisi kedua titik tersebut, dan dicek kembali apakah sesuai dengan koordinatnya di peta referensi yang digunakan. Catatan: Umumnya, regu kerja (9 sampai 10 orang; kepala regu, asisten kepala regu, dan 7 sampai 8 pekerja) harus dibagi dua kelompok selama perintisan. Kepala regu dan asistennya bersama dengan 3 atau 4 pekerja harus mengerjakan rintisan survai sedangkan yang lainnya mengatur tenda. R i n t i s a n yang dikerjakan oleh s e l u r u h anggota regu menyebabkan kerja yang tidak efisien. 8

12 IV.TEKNIK PELAKSANAAN ENUMERASI A. Kerangka Plot Kerangka plot ditunjukkan oleh Gambar 3. Sembilan tract membentuk bujur sangkar, tract seluas 100x100 m berjarak 500 meter, "dari sisi ke sisi", kecuali di hutan mangrove, hutan konifer dan tanaman yang berjarak 100 meter dan ukuran tract adalah 50x50 m. Tract tengah (nomor 5 berlaku sebagai sampel plot temporer (TSP) maupun sampel plot permanen (PSP). Untuk TSP, ada delapan pusat sub-plot atau titik sampling per tract: empat di sudut dan di antara setiap dua sudut. Untuk PSP, seluas 1 ha (Tract No. 5) dibagi ke dalam 16 satuan catatan (record unit). Nomor sub-plot untuk TSP dan nomor satuan catatan untuk PSP juga ditunjukkan di Gambar 3. Tetap dibuat PSP di hutan tanaman, hutan konifer, dan hutan mangrove. Di hutan mangrove, klaster dienumerasi jika terdapat paling tidak tiga tract yang tidak berada di air, jika tidak terpenuhi maka tidak dapat menjadi klaster plot. Gambar 3. Kerangka Plot Contoh a. 9 tract klaster plot m 500m 100m m 1 3 9

13 b. Sebuah tract TSP c. Plot Contoh Permanen 10

14 B. Enumerasi TSP Setelah sudut barat daya tract no 5 ditemukan, enumerasi dapat dimulai. Enumerasi dapat dikerjakan menurut urutan sebagai berikut : 1. TSP dari tract No.5;. PSP; 3. TSP dari tract No., 4, 6 atau 8; 4. Bila dipilih Tract No., dapat diikuti dengan Tract No. 1 atau 3; 5. Bila dipilih Tract No. 4 dapat diikuti dengan tract No. 1 atau 7; 6. Bila dipilih tract No. 6 dapat diikuti dengan tract No. 3 atau 9; 7. Bila dipilih tract No. 8 dapat diikuti dengan tract No. 7 atau 9. Banyak kemungkinan urutan yang lain tetapi idenya adalah untuk meminimumkan sumber kesalahan di dalam menetapkan tract-tract yang berbeda dan untuk efektifitas pekerjaan. Karena itu tract bernomor genap (, 4, 6, dan 8) harus ditetapkan langsung dari tract No.5 dan tract bernomor ganjil lainnya (atau sudut) harus ditetapkan dari salah satu nomor genap terdekat yang sudah ditetapkan sebelumnya. Apabila dalam enumerasi TSP dibagi dalam regu, dari subplot 1 regu pertama dapat menuju ke arah utara menuju subplot dan 3 dan ke timur menuju plot 4 dan 5. Sedangkan regu kedua dapat menuju ke timur plot 8, 7 dan ke utara menuju plot 6. Prestasi kerja regu/tim : satu tract / hari untuk enumerasi satu tract berhutan. Pelaksanaan Enumerasi TSP 1. Sebelum pelaksanaan enumerasi TSP pastikan semua jarak termasuk jari-jari sub plot adalah jarak horisontal. Dalam semua situasi, sampling dikerjakan dari arah utara bergerak searah jarum jam sampai penjelajahan 360 o. a) Tentukan pusat SP; jangan memotong semai, pancang, tiang, rotan,... didekat pusat SP; pasang patok dan tandai nomor tract dan nomor SP. 11

15 b) Dengan menggunakan blanko data lapangan yang sesuai, lingkari nomor tract, nomor SP, dan isi deskripsi plot kolom 1,,3,...,1 di mana kolom 1 menyangkut identifikasi klaster plot (nomor zone, easting {bujur} dan northing {lintang}), 3 adalah nomor tract, 4 nomor sub-plot,..., dan 1 menunjukkan aspect jika itu blanko 1,,3 (nipah) dan 4. Deskripsi plot hanya berbeda sedikit di antara blanko yang berlainan. c). Partisi (Partition). Kolom 5 sampai 8 adalah untuk partisi, misalnya suatu sub-plot terletak di dua keadaan hutan, type hutan, atau kategori tataguna hutan. Jika tidak ada partisi, tulis garis datar pada item tersebut. Jika terjadi partisi, pertama, sket/gambar pada lingkaran (anggap dengan jari-jari 0m) di dalam tract pada tempat yang disediakan di pojok kanan lembar data. Partisi dapat terjadi pada salah satu dari dua bentuk: segmen atau sektor. Jika itu segmen, jarak (tegak lurus) dari garis batas sampai pusat subplot diukur sampai sekala 0.1 m dan dicatat di kolom 6 dan digambar di lingkaran. Jika itu sektor, azimut batas sektor dibaca dengan menggunakan kompas (dari pusat subplot) dan digambar di lingkaran, dan derajad sektor (ditentukan dari pembacaan azimut dua batas sektor) dicatat pada kolom 5. Derajat sektor bagian besar dan kecil selalu berjumlah 360 o. Dua bagian itu dicacah di dalam lembar data yang berbeda di mana 1 dimasukkan ke kolom 7 untuk bagian besar dan dimasukkan di kolom 8 untuk bagian yang kecil. d). Masukkan 1 di kolom 9 hanya jika plot permanen, selainnya tulis garis datar (-). e). Di item 10 tulis garis datar untuk enumerasi biasa atau 1 untuk enumerasi kontrol. f). Provinsi (Province). Masukkan kode provinsi di kolom 1, dengan mengacu kode berikut ini: 1. Nangroe Aceh Darussalam. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 1

16 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau 11. Kalimantan Barat 1. Kalimantan Tengah 13. Kalimantan Selatan 14. Kalimantan Timur 15. Sulawesi Utara 16. Sulawesi Tengah 17. Sulawesi Selatan 18. Sulawesi Tenggara 19. Gorontalo 0. Sulawesi Barat 1. Maluku. Maluku Utara 3. Irian Jaya Barat 4. Papua 5. Bali 6. Nusa Tenggara Barat 7. Nusa Tenggara Timur 8. DKI Jakarta 9. Jawa Barat 30. Jawa Tengah 31. DI Yogyakarta 3. Jawa Timur 33. Banten g). Sistem lahan(land System). Masukkan sistem lahan di kolom 13 dengan menggunakan kode berikut: 1. Pasang surut. Pantai 3. Rawa/lahan basah 4. Sabuk meander (area datar didekat sungai besar) 5. Fan/dataran/lembah 6. Teras catatan: 1 sampai 6 dianggap sebagi sistem lahan dataran 7. Lahan bergelombang, amplitude sampai 50 m 8. Berbukit, samplitudo 50 sampai 300 m 9. Bergunung, amplitude lebih dari 300 m 13

17 h). Ketinggian (Altitude). Kolom 14 dipergunakan untuk ketinggian atau tinggi dari muka laut. Kode berikut hendaknya digunakan: m m m m m m dst. i). Kategori tataguna lahan (Land Category). Kategori tataguna lahan dimasukkan di kolom 15 dengan menggunakan kode berikut: 1. Hutan pasang-surut. Hutan pantai 3. Hutan lahan basah (termasuk rawa) 4. Hutan lahan kering di bawah m 5. Hutan subpegunungan, m 6. Hutan pegunungan, di atas.000 m 7. Agroforestry dan hutan tanaman 8. Lapangan bekas tebang habis 9. Semak/belukar 10. Alang-alang, kering 11. Alang-alang, basah 1. Perkebunan 13. Pertanian 14. Lahan gundul 15. Air 16. Pemukiman, kota j). Tipe hutan (Forest Type). Untuk kategori tataguna lahan 1 sampai 8 di atas, tipe hutan berikut (kolom 16) dapat dijumpai: 1. Hutan bakau (hanya pasang-surut). Hutan nipah (hanya pasang surut) 3. Hutan palma (sagu) 4. Hutan pantai 5. Hutan rawa (tergenang musiman) 6. Hutan tanah basah (tergenang terus) 7. Hutan rawa gambut 8. Hutan tanah kering lembab 9. Hutan savana 14

18 10. Hutan pinus 11. Hutan kerangas (heat) 1. Hutan bambu (dominasi bambu) 13. Hutan sub/pegunungan daun lebar 14. Hutan tanaman produktif 15. Hutan tanaman fungsi lindung 16. Tanaman agroforestry 17. Tambak (tipe khusus hutan pasang-surut?) k). Kondisi tegakan (Stand Condition). Kondisi tegakan dimasukkan di kolom 17 dengan menggunakan kode di bawah. Catat bahwa ada berbagai rangkaian kode untuk (a) hutan tinggi dan hutan bakau, (b) savana, pinus, palma (sagu dan nipah) dan hutan bambu, dan (c) hutan tanaman dan agroforestry. Untuk hutan tinggi dan hutan bakau : 1. Belum ditebang, volume tinggi (dengan 7 atau lebih pohon tinggi pada BAF (15 m tinggi bebas cabang) (4 m/ha); labih dari 50 m3/ha). Belum ditebang, volume sedang (4 sampai 6 pohon sedang pada BAF; m3/ha) 3. Belum ditebang, volume rendah (kurang dari 4 pohon tinggi, kurang dari 6 pohon sedang pada BAF; kurang dari 10 pohon pendek (kurang dari 6 m tinggi bebas cabang) pada BAF; kurang dari 150 m3/ha) 4. Ditebang, ringan 5. Ditebang, berat 6. Ditebang habis untuk tanaman/agroforestry 7. Ditebang habis untuk pertanian 8. Ditebang untuk peladangan berpindah 9. Ditebang, ditanam dengan jenis tanaman ladang 10. Hutan sekunder, kerapatan sedang/tinggi 11. Hutan sekunder, kerapatan rendah 1. Hutan rusak (lebih jelek dari tebangan berat; sangat sedikit tegakan tinggal) 13. Rusak oleh sebab kebakaran Savana, pinus, palma (sagu dan nipah), dan hutan bambu : 1. Belum ditebang, stok bagus (70% atau lebih). Belum ditebang, stok sedang (50-70%) 3. Belum ditebang, stok jelek (kurang 50%) 4. Ditebang, stok sedang 5. Ditebang, stok jelek 15

19 6. Tebang habis untuk hutan tanaman/ agroforestry 7. Tebang habis untuk pertanian 8. Tebang habis untuk peladangan berpindah 9. Tebang habis, ditanami tanaman ladang 10. Rusak 11. Rusak oleh kebakaran Hutan tanaman/agroforestry : 1. Stok baik. Stok sedang 3. Stok jelek 4. Tanaman gagal 5. Rusak oleh kebakaran l). Tahun tebangan atau penanaman (Year of Logging). Masukkan tahun (empat angka terakhir) tebangan atau penanaman (pada hutan tanaman/agroforestry) pada kolom 18. Masukkan 0 jika tahun tebangan atau penanaman tidak diketahui. m) Hamparan (Terrain). Kolom 19 digunakan untuk merekam kelas hamparan melalui kode berikut: 0 Datar atau berombak (0-10%) 1 Bergelombang, dataran rendah Miring bawah atau rendah (bagian bawah hamparan miring) 3 Miring tengah (bagian tengah hamparan miring) 4 Miring atas (bagian atas hamparan miring) 5 Miring berombak 6 Puncak bukit 7 Jurang 8 Lereng batuan n). Kelerengan (Slope). Kelerengan - kelerengan rata-rata, dicatat di kolom 0 dengan menggunakan kode di bawah ini: 0 0 sampai 8% 1 9 sampai 15% 16 sampai 5% 3 6 sampai 45% 4 46 sampai 70% 5 71 sampai 100% 6 lebih dari 100% 16

20 o). Aspek (Aspect). Aspek didefiniskan sebagai arah umum jika orang memandang keluar dari suatu lereng. Ini dicatat pada kolom 1 dengan menggunakan kode di bawah. Ini adalah masukan terakhir untuk deskripsi plot. 0 datar dan berombak (0 sampai 10%) 1 N, azimut 338 sampai derajat NE, 3 sampai 67 derajat 3 E, 68 sampai 11 derajat 4 SE, 113 sampai 157 derajat 5 S, 158 sampai 0 derajat 6 SW, 03 sampai 47 derajat 7 W, 48 sampai 9 derajat 8 NW, 93 sampai 337 derajat. Dalam enumerasi TSP pencacahan dibagi dalam beberapa kelompok menurut tingkat vegetasinya, yaitu: a. Subplot berjari-jari 1 m untuk semai (tinggi kurang dari 1.5 m), catat jenis dan hitung jumlahnya menurut spesies, dan isikan pada kolom 14 untuk semai, spesies yang tak dikenal (US) hendaknya dikelompokkan secara konsisten ke dalam US1, US, US3,... b. Subplot berjari-jari m untuk tingkat pancang (tinggi > = 1.5 m tetapi dbh kurang dari 5.0 cm), catat jenis dan hitung jumlahnya m e n u r u t spesies, dan isikan pada kolom 15 untuk pancang, spesies yang tak dikenal (US) hendaknya dikelompokkan secara konsisten ke dalam US1, US, US3,... Pancang dicatat di baris yang terpisah dari semai meskipun dari spesies yang sama. Semai nipah dihitung dengan menggunakan subplot berjari-jari m. (Lihat sampling untuk nipah). c. Subplot berjari-jari 5 m. - Tiang (dbh ,9 cm) Enumerasi dimulai dari arah utara searah jarum jam sampai pohon terakhir pada arah 360 derajat, setiap pohon diberi nomor secara urut. Ukur diameter DBH dan isikan pada kolom 14 serta catat tingkat kerusakannya isikan pada kolom

21 - Rotan muda (panjang < 3 m dari leher akar ke daun hijau pertama) Catat jenis dan hitung jumlahnya menurut species dan isikan pada kolom jenis dan kolom 16. Beri tanda S untuk tunggal (soliter) atau C untuk kelompok (klaster) sesudah nama spesies. Pengelompokan merupakan ciri spesies dan jika menjumpai rotan yang sendirian belum tentu berarti rotan itu tidak mengelompok atau tunggal. Panjang dan diameter tidak diukur. (Nipah juga disampel dengan menggunakan subplot berjari-jari 5 m; lihat prosedur sampling untuk nipah) d. Subplot berjari-jari 10 m. - Rotan dengan panjang >=3.0 m Tentukan jenis dan hitung jumlahnya, isikan pada kolom jenis dan kolom 17. Ukur diameter maksimalnya dan isikan pada kolom 18, ukur juga diameter minimal isikan di kolom 19 jika lebih dari satu batang atau hanya D rata-rata jika hanya satu batang (sampai skala 0.1 cm); dan, panjang rata-rata dalam. Diameter diukur satu meter dari leher akar dan D rata-rata tidak perlu rataan Dmax dan Dmin (kecuali jumlahnya kurang dari 5 batang) tetapi ditentukan dari diameter dominan di dalam kelompok. Panjang batang rata-rata (L rata-rata) ditentukan dengan menaksir panjang batang individual, dijumlahkan dan dibagi dengan banyaknya batang di dalam kelompok. Pada kelompok dengan lebih dari 10 batang, batang yang dianggap mempunyai panjang rata-rata dapat ditaksir untuk mendapatkan L rata-rata. - Bambu Lihat prosedur sampling untuk bambu. e. Enumerasi Pohon 1. Kerjakan BAF (4 m/ha) sampling untuk pohon-pohon dengan dbh/dab minimal 0.0 cm (atau 10.0 cm di hutan tanaman, konifer dan bakau). Pohon- 18

22 pohon yang meragukan hendaknya selalu dicek dengan mengukur dbh/dab dan jarak datar dari pusat SP. Pohon sampel BAF diukur diameternya dengan menggunakan pita diameter dan dengan tongkat sepanjang 1.3 m yang diletakkan di bagian tanah tertinggi tempat batang pohon berdiri. Untuk pohon-pohon berbanir, tinggi banir harus diukur/ ditentukan dan dab ditetapkan 0. m di atas akhir banir utama. Selesaikan pengukuran dbh/dab dan kualitas semua pohon yang masuk BAF sebelum melakukan pengukuran tinggi. Kualitas pohon didasarkan pada kualitas sepertiga terbawah batang pohon. Pohon-pohon dengan kualitas "5" tidak diukur tingginya.. Di dalam mengukur dab dengan relaskop, berdirilah sedekat mungkin dengan pohonnya atau gunakan sebanyak mungkin "full bars" (7 atau lebih). Bilamana dbh/dab diukur tidak pada tinggi yang umum karena adanya kerusakan/abnormalitas pohon, maka catatlah tinggi titik tempat pengukuran dbh/dab. Jika leher akar berada di atas tanah seperti terjadi di hutan rawa, pengukuran dbh/dab dan tinggi harus diperhitungkan dari leher akar. 3. Pada pengukuran banir dan tinggi, gunakan tongkat 1.3m sebagai tinggi basis sejauh itu mungkin. Yakinkan bahwa anda dapat melihat "sumbu tegak" pohon dan ukur sampai titik yang dikehendaki terutama jika pohonnya miring. Berdiri pada jarak yang nyaman dari pohon; jangan melebihi pembacaan 10% jika mungkin. Dalam melakukan pembacaan sudut tegak yang mendekati nol seperti membaca dasar pohon atau membaca lereng, selalu mulai dari nol persen sehingga anda dapat dengan mudah menentukan apakah pembacaannya negatif atau positif. 4. Sesudah menghitung tinggi setiap pohon, data lain seperti kerusakan (kolom 15) dan infestasi (kolom 19) dapat diisi. 5. Setelah sampling BAF kolom yang tersisa di deskripsi plot dapat diisi. Banyaknya tiang/pohon (kolom ) berasal dari banyaknya tiang dan pohon yang tercatat di subplot. U n t u k semai (kolom 3), diperoleh dari banyaknya spesies dengan semai (atau banyaknya baris yang digunakan untuk mencatat 19

23 semai jika tanpa pengulangan spesies yang sama); jika spesies tak dikenal, harus secara konsisten dicatat ke dalam kelompok tak dikenal US1, US, US3... dst. Banyaknya pancang (kolom 4) dan rotan (panjang kurang dari 3.0 m)(kolom 5) ditentukan seperti halnya semai. Untuk rotan (panjang 3.0 m atau lebih), kolom 6, banyaknya record adalah banyaknya batang tunggal dan kelompok (atau banyaknya baris yang digunakan untuk mencatat rotan) di dalam subplot. Nomor regu (kolom 7), bulan (kolom 8) dan tahun (kolom 9) enumerasi, nama enumerator (Ketua Regu atau Wakil Ketua Regu) harus ditulis. Keseluruhan blanko harus diselesaikan sebelum meninggalkan subplot. C. Enumerasi PSP 1. Pembuatan Petak PSP Sebelum memulai enumerasi yakinkan bahwa petak PSP benar-benar satu hektar (100x100 m bujur sangkar) dan record unitnya benar-benar 5x5 m bujur sangkar, mengacu arah Utara - Selatan dan Timur - Barat. Jika titik sampel TSP tract No.5 diletakkan dengan benar, maka sudut plot permanen sudah siap dikerjakan. Hal ini mengarah pada pada kebutuhan akan kecermatan kerja dalam menjalankan survai dan menandai/mematok setiap jarak 1.5 m sepanjang sisi tract 5 selama enumerasi TSP. Itu akan membantu penetapan PSP. Untuk melihat apakah sudut-sudutnya telah diletakkan secara tepat, sisi tract 100x100 m harus membentuk trase yang tertutup. Dalam hal apapun, yang terbaik adalah memulai PSP dari sudut barat daya. Langkah-langkahnya: a). Ganti patok yang menandai pusat subplot TSP No. 1 (titik 1a dalam Gambar 4) dengan pipa sepanjang 0.5 m (berdiameter 1/") dan tanam tegak lurus di tanah sampai seluruh pipa masuk paling tidak 10 cm di bawah permukaan. b). Pilih dan petakan tiga "titik saksi", sebaiknya di luar plot, mis. beringin (Ficus strangulata), batu besar, pohon/obyek yang aneh 0

24 yang tak berubah oleh waktu, dan tentukan arah serta jarak dari pusat ke masing-masing titik saksi. Uraikan dan petakan sekitarnya. Tentukan dan catat tinggi tempat sudut sampai ketelitian 5 m. c). Ulangi prosedur yang sama un tu k menetapkan sudut-sudut lain (Lihat Gambar 4). Gambar 4. PSP, tract No.5. Pelaksanaan Enumerasi PSP Umumnya satu regu lapangan terdiri dari ketua regu, wakil ketua regu, dan 7 sampai 8 pekerja (1 atau di tenda dan 6 bersama tim pencacah). Sebagai satu tim kerja, regu ini hendaknya menetapkan/mengenumerasi PSP mulai dari sudut Barat Daya terus ke timur dari record unit (RU) 1 ke RU, 3, dan 4 menurut langkah- langkah berikut. Dari RU 4, regu dapat menuju baik ke Barat dari RU 8 ke RU 5 atau menuju Timur dari RU 5 sampai RU 8; dan ulangi urutan yang serupa dari RU 9 sampai RU 1 dan dari RU 13 sampai RU 16. 1

25 Setelah selesai membuat kerangka suatu record unit (pusat dan keempat sisinya telah ditetapkan) yang harus dilakukan: 1. Melengkapi deskripsi RU. Deskripsi subplot/ru serupa dengan blanko data lain kecuali untuk kolom berikut: kolom 3 selalu tract No.5, kolom 4 adalah nomor RU, kolom 5 dan 6 kosong (partisi ditunjukkan/dipetakan di gambar yang disediakan (paling kanan)), dan kolom 9 adalah nomor kotak 5x5 m (5 per RU) untuk bagian besar atau bagian kecil partisi. Sesudah deskripsi RU diselesaikan (kecuali kolom yang hanya dapat diisi setelah mengenumerasi RU), kerjakan enumerasi subplot berjari-jari 1 m (semai), m (pancang), 5 m (rotan pendek dan tiang), dan 10 m (rotan panjang dan bambu) (Blanko B) secara urut. Enumerasi untuk pohon (dengan dbh/dab paling kecil 0.0 cm), mulai dari arah utara searah jarum jam sampai semua pohon telah diukur/diamati dan semua data yang diperlukan telah dicatat. Gunakan blanko yang disediakan untuk memetakan tiang dan pohon. Kerjakan data pohon sebagai berikut: tinggi banir, tinggi batang, tinggi pohon, kelas pohon, kelas tajuk, posisi tajuk, kerusakan, infestasi, azimut dan jarak ke pohon. 3. Tiang diberi nomor 1 sampai tiang terakhir (di dalam subplot berjari-jari 5 m). Dengan demikian, pohon pertama mengambil nomor sesudah tiang terakhir dan pohon berikutnya diberi nomor urut searah pergerakan jarum jam sampai memenuhi record unit. 4. Pada enumerasi PSP di hutan rawa/lahan basah, titik /tinggi pengukuran DBH/DAB ditandai dengan paku (panjang 8-10 cm) dan dipakukan sedalam cm. Hal ini penting karena orang tidak yakin di mana titik 1.3 m di atas tanah (atau dari leher akar) atau berapa tinggi banir pada saat areal tersebut tergenang.

26 5. Untuk pohon berbanir, dilakukan pengukuran/pengamatan yang sama dengan enumerasi TSP. Ada data tambahan mengenai diameter, yakni. m di atas banir (atau 3.3 m di atas tanah pada pohon yang banirnya l. l m atau lebih rendah), kelas pohon, kelas tajuk, dan posisi tajuk, yang juga harus dikumpulkan. 6. Diameter kedua di atas banir - Untuk pohon berbanir, diameter kedua diukur pada.0 m di atas DAB pertama sebagai dasar penaksiran pertumbuhan diameter pada pengukuran berikutnya (kurang lebih 5 tahun kemudian) jika pada saat itu DAB pertama telah tertutup banir. Titik/tinggi pembacaan relaskop (penuh/seperempat bar/batang) untuk diameter. m di atas banir ditentukan dengan membagi 0 dengan jarak datar dan tambahkan hasilnya dengan persen bacaan di akhir banir. Ini akan memberikan persen bacaan pada. m di atas banir. Sebagai contoh apabila pembacaan di akhir banir 80% dan jarak datar 4.5m, maka 0/4.5 = 48.9%, sehingga bacaan bar penuh dan seperempat untuk diameter (. m di atas banir) dibuat setinggi ekivalen dengan 80 plus 49% = 19% dari tempat berdiri yang sama. Dalam hal tinggi banir masih sama atau kurang dari 1.1 m dab pertama diukur setinggi dada (1.3 m di atas tanah) dan dab kedua diukur 3.3 m di atas tanah. Jika dab kedua diukur dengan menggunakan relaskop, titik pembacaan ditentukan dengan membagi 330 dengan jarak datar plus persen bacaan dari basis pohon. Sebagai contoh jika jarak datar 3.0 m dan persen basis pohon -30%, maka persen 3.3 m dari atas tanah adalah 330/3.0 = 110% plus (-30%) atau 80%. Dab kedua pada kasus tersebut diinasukkan kolom 17 (Permanent Plot, A). 3

27 7. Kelas pohon (Tree Class). - Kelas pohon dicatat untuk setiap pohon di kolom. Kelas pohon diberi kode sebagai berikut: 1 Dominan Kodominan 3 Intermediate 4 Tertekan 8. Kelas tajuk (Crown Class). - Ini dimasukkan di kolom 3. Kelas tajuk mempunyai kode sebagai berikut: 1. Sempurna (Perkembangan dan ukurannya terbaik; lebar, bundar dan simetri). Bagus (nyaris ideal, tumbuh memuaskan, dengan beberapa cacad simetrinya atau beberapa ujung cabang mati) 3. Dapat diterima (silvikulturnya dapat diterima, jelas asimetri atau terpangkas tetapi dapat bertahan) 4. Jelek (jelas tidak memuaskan, dengan kerontokan, sangat tidak simetri, tetapi dapat bertahan hidup) 5. Sangat jelek (jelas menyusut, atau rusak berat, dan mungkin tidak dapat bereaksi terhadap pembebasan) 9. Posisi Tajuk (Crown Position). - Ini dicatat di kolom 4 dan ditunjukkan melalui kode berikut: 1. Sepenuhnya menerima sinar matahari (bebas dari persaingan samping paling tidak di dalam putaran 45 derajat pada awal tajuk seperti kerucut terbalik). Menerima sinar penuh di atas (tetapi berdekatan dengan tajuk lain yang sama atau lebih tinggi) 3. Menerima sinar atas (sebagian dibayangi oleh tajuk lain yang lebih tinggi) 4. Menerima sebagian sinar samping (sepenuhnya dibayangi dari atas tetapi menerima sebagian sinar langsung karena adanya celah-celah tajuk) 4

28 5. Tidak ada sinar langsung (sepenuhnya dibayangi dari atas dan dari samping) 10. Data tanah (Soil Parameter). - Kolom 17 sampai 9 pada deskripsi plot di lembar data 5, Permanent Plot, B, dimaksudkan untuk data tanah yang diambil dari record unit. D. Pengukuran dan Pencatatan data Non Kayu 1. Prosedur sampling Bambu. Bambu dienumerasi hanya di provinsi/areal yang dipandang penting oleh BPKH. Setiap ditemukan bambu di dalam plot berjari-jari 10 m dilakukan enumerasi dengan menggunakan Blanko No. 3. Kolom deskripsi plot (kolom 1-10) diisi pertama kali termasuk melingkari nomor tract dan subplot. Jika tidak ada bambu yang terdapat dalam subplot, harus dicatat secara jelas di lembar data subplot. Hanya bambu setinggi 5 m atau lebih yang dienumerasi. Untuk rumpun yang sebagian berada di dalam subplot berjari-jari 10 m, hanya batang-batang yang termasuk di subplot saja yang disampel. a). Bambu dicatat menurut spesies dan rumpun. Untuk setiap rumpun, hitung jumlah batang total (minimal setinggi 5 m dan dbh.5 cm) di dalam subplot dan catat di kolom 16. Hitung pula tonggak yang masih hidup (yang baru dipotong tahun lalu) dan catat di kolom 17. b). Amati dan hitung batang berumur satu tahun dan masukkan ke dalam kolom 14. Kerjakan hal yang sama untuk batang berumur dua tahun dan catat di kolom 15. Kolom 16 jika dikurangi dengan jumlah kolom 1 dan kolom 13 akan merupakan banyaknya batang berumur 3 tahun atau lebih. Catatan : Di lapangan, cukup mudah untuk membedakan bambu berumur satu, dua dan tiga tahun atau lebih (berdasar warna batang dan daun). Di beberapa tempat, barangkali hanya terdapat spesies tertentu yang mulai masak batangnya pada umur satu atau dua tahun. Masyarakat setempat yang memanfaatkan bambu akan tahu rincian tersebut sehingga disarankan untuk mempekerjakan satu atau dua pekerja yang tahu mengenai bambu setempat. 5

29 c). Pada subplot di sudut (SP 1, 3, 5, dan 7) ambil batang berumur satu, dua dan 3 tahun atau lebih untuk setiap spesies (dari rumpun pertama setiap spesies; jika hanya terdapat satu spesies maka langkah ini hanya dilakukan sekali untuk setiap subplot sudut), mulai dari utara searah jarum jam, seperti biasanya. Ukur dbh nya dan catat berturutturut di kolom 18, 3 dan 8. Potong batang yang terpilih itu pada 1 m di atas tanah, tandai tempat berdiameter.5 cm di atas dan ukur panjang dari potongan ke bagian berdiameter.5 itu serta dari situ ke pucuk batang bambu. Catat di kolom 19 dan 1 (untuk yang berumur satu tahun), 4 dan 6 (untuk yang berumur dua tahun), dan kolom 9 dan 31 (untuk yang berumur 3 tahun atau lebih). Potong batangnya pada tempat berdiameter.5 cm, timbang bagian bawah dan atas secara terpisah dengan ketelitian 1/4 kg menggunakan timbangan tali, dan catat datanya berturut-turut di kolom 0 dan, 5 dan 7 serta 30 dan 3. Jika perlu, potong batang bambu menjadi potongan kecil-kecil sebelum ditimbang. Catatan: Untuk spesies bambu yang tidak komersial (dbh nya kurang dari.5 cm atau tingginya kurang dari 5 m), catat spesies dan banyaknya rumpun di subplot dan taksir banyaknya batang pada rumpun pertama yang dijumpai dalam gerakan dari utara searah jarum jam.. Prosedur sampling untuk sagu. Sagu diinventarisasi di pulau-pulau/provinsi yang memandang sagu sebagai hasil hutan yang penting oleh BPKH. Sagu dicacah di dalam subplot berjari-jari 10 m pada setiap delapan subplot/titik sampling per tract (TSP) dengan menggunakan Blanko 3A, Sagu Enumeration. Tidak ada PSP untuk sagu. Apabila tidak dijumpai sagu di dalam subplot di tempat/provinsi di mana sagu harus diinventarisasi, harus dinyatakan secara jelas pada blanko data, jika tidak maka lembar data sagu ditafsirkan sebagai lembar data yang hilang. 6

30 Langkah-langkah untuk sampling sagu adalah sebagai berikut: a). Kolom deskripsi plot (kolom 1-10) diisi dulu, nomor tract dan subplot dilingkari, dan nama enumerator ditulis (di bawah nama, tuliskan tanggalnya). b). Enumerasi dimulai dari utara searah jarum jam. Sagu dienumerasi menurut spesies, menurut rumpun, dan menurut batang dengan kelas kemasakan M 1, M dan M3. Semai (masih tak berbatang) dan tanaman lampau masak (bunganya sudah terbuka atau sedang berbuah) dicacah menurut rumpun dan/atau subplot. Kolom 13 digunakan untuk urutan rumpun, mulai dari 1. Kolom 14 untuk diameter rumpun (rerata diameter rumpun jika tidak melingkar), dengan ketelitian 1 meter. Banyaknya batang M1, M dan M3 di dalam rumpun (termasuk yang di luar subplot jika rumpunnya sebagian MASUK) dicatat di kolom 15. Kolom 16 digunakan untuk nomor urut batang di dalam rumpun, mulai dari angka 1 untuk setiap rumpun. Sebagai contoh jika terdapat 5 batang M1, M dan M3 untuk rumpun nomor 1 maka 1 ditulis di kolom 13 pada baris pertama, 5 ditulis di kolom 15 dan 1 di kolom 16 (baris pertama), di kolom 16 (baris kedua),..., dan 5 untuk batang kelima di kolom 16 (baris kelima). Di baris keenam, angka ditulis di kolom 13 untuk rumpun kedua dan 1 untuk batang M1, M atau M3 di kolom 16, angka di kolom 16 untuk batang M1, M atau M3 dan seterusnya. Dengan kata lain urutan batang (kolom 16) selalu mulai dari 1 untuk setiap rumpun sagu. c). Untuk setiap batang M 1, M dan M3, cacad batang ditulis di kolom 17: 0 jika tidak cacad (batang atas sedikit lebih besar dari batang bawah) atau 1 jika ada cacad/penyakit (batang atas lebih kecil daripada batang bawah menunjukkan suatu abnormalitas/penyakit). DBH diukur dan dicatat dengan ketelitian 0.1 cm di kolom 18, tinggi batang dicatat dengan ketelitian 0.1 m di kolom 19, dan kelas kemasakan di 7

31 kolom 0. Pembacaan tinggi batang ditampung dalam kolom-kolom di antara 0 dan 1. Kolom 1 digunakan untuk mencatat banyaknya semai (kelas kemasakan M0) di dalam subplot sedangkan kolom disediakan untuk banyaknya semai di dalam setiap rumpun dan kolom 3 adalah untuk batang lampau masak (kelas kemasakan M4) di dalam setiap rumpun. Untuk seluruh subplot hanya ada satu masukan di kolom. Perhatikan bahwa angka di kolom mungkin lebih kecil daripada jumlah seluruh semai di semua rumpun karena dapat terjadi beberapa semai di dalam rumpun terletak di luar subplot. d). Kelas kemasakan (salah satu dari lima kelas) diamati untuk setiap tanaman sagu di dalam subplot: M0 (sangat muda/semai/pancang; batangnya belum nampak); M1 (sagu muda; lajur hitam di pelepah daun belum terputus atau duri mulai longgar dan lepas; hasilnya rendah/terlalu dini untuk dipanen); M (masak; lajur hitam di bagian bawah pelepah daun telah hilang atau duri di daun lepas atau pelepah daun muda lebih pendek atau mayang bunga mulai muncul dan akan membuka; hasilnya maksimum); M3 (sedikit lampau masak; bunganya telah keluar dan membuka; hasilnya rendah); dan M5 (lampau masak, bunga telah terbuka seluruhnya atau berbuah). 3. Prosedur sampling untuk nipah Nipah diinventarisasi pada areal/provinsi yang memandang nipah merupakan hasil hutan yang penting oleh BPKH yang bersangkutan. Di sini hanya diperlukan enumerasi TSP. Klaster plot untuk nipah (hutan pasang surut): tractnya. hanya 50x50 m dan terpisah hanya 100x100 m dari sisi ke sisi terdekat. Di hutan pasang surut (bakau dan nipah), suatu klaster dipandang sah dan dilakukan enumerasi jika paling sedikit tiga tract tidak berada di air. Enumerasi nipah dilakukan dengan menggunakan Blanko 3B (Nipa enumeration, TSP). Semai (sampai dengan tinggi 1.5 m) dicacah di dalam 8

32 subplot berjari-jari m sedangkan tanaman yang lebih besar disampel dalam subplot berjari-jari 5 m. Ada 8 subplot (terpisah 5 m) per tract. Sampling nipa hendaknya mengikuti langkah-langkah berikut : a). Kolom deskripsi plot diisi dulu kecuali kolom,3 dan 4. Nomor tract dan subplot dilingkari dan nama enumerator ditulis. b). Kemudian subplot berjari-jari m diamati, semai didalamnya dihitung, dan jumlahnya dimasukkan di kolom 4 pada deskripsi plot. c). Setelah itu dibuat subplot berjari-jari 5 m, mulai dari utara searah jarum jam; setiap nipah setinggi lebih dari 1.5 m di dalam subplot diamati dan angkanya dimasukkan kolom yang bersangkutan menurut cara berikut : c1. Total banyaknya daun di kolom 14; c. Banyaknya daun yang jelek di kolom 15; daun jelek mempunyai lebih dari 50% anak daun yang tidak baik untuk bahan atap: anak daun yang dapat dimanfaatkan adalah yang lebarnya paling tidak 5 cm, panjang satu meter, dan hanya mempunyai sedikit lubang kecil; ini dimasukkan di kolom 15. c3. Banyaknya daun yang baik di kolom 16, termasuk daun muda yang sudah penuh panjangnya (baik sudah terbuka maupun yang masih tertutup); jumlah kolom 15 dan kolom 16 harus sama dengan angka pada kolom 14. c4. Kelas kemasakan di kolom 19: M1 (jika terlalu muda dan belum mempunyai daun yang dapat dipanen, atau, banyaknya daun dewasa kurang dari 5) atau M (jika paling sedikit terdapat 5 daun (paling sedikit satu di antaranya layak dipanen) termasuk daun muda yang sudah penuh panjangnya dan daun yang sudah dipanen). c5. Status panenan daun di kolom 0: c (jika satu daun sudah dipotong/dipanen) atau u (jika sama sekali belum dipotong/dipanen); c6. Status bunga/buah di kolom 1:0 (jika tidak dijumpai), 1 (jika. berbunga) atau (jika berbuah) dan, c7. Status daun muda yang panjangnya penuh di kolom : o (jika sudah terbuka) atau c (masih tertutup). 9

33 Untuk mendapatkan dasar taksiran mengenai anak daun yang dapat dimanfaatkan dan jumlah total anak daun, empat tanaman nipah (Nipah M terdekat di utara (N), timur(e), barat (W) dan selatan (S) disampel untuk penghitungan. Jika di subplot berjari-jari 5 m terdapat kurang dari 5 pohon, semuannya diambil untuk diukur. Langkah-langkah berikut hendaknya dilakukan: a). Setiap sampel nipah M di N-E-W-S (harus ada 4 tanaman jika ada paling sedikit 4 nipah M di subplot), ukur tinggi sampai skala 0,1m dan masukkan datanya di kolom 17. Pembacaan/data untuk pengukuran tinggi dimasukkan di kolom tak bernomor di antara kolom dan 3. b). Pilih daun yang dipandang mewakili rata-rata dari setiap sampel nipah M, potong seperti dipanen kemudian ukur panjangnya sampai sekala 0.1 m dan masukkan datanya di kolom 3, hitung banyaknya anak daun yang dapat dimanfaatkan dan catat di kolom 4, dan hitung jumlah total anak daun (yang dapat dimanfaatkan maupun yang jelek) dan masukkan di kolom 5. Lebih sederhana untuk menghitung jumlah total anak daun, banyaknya anak daun yang jelek dan anak daun yang dapat dimanfaatkan dapat ditentukan melalui pengurangan. c). Cari nipah M yang tertinggi di dalam subplot dan tentukan tingginya sampai skala 0,1 m. Masukkan pembacaan pengukuran di kolom tak bernomor di antara kolom dan 3 dan catat tingginya di kolom 18. d). Akhirnya, banyaknya tanaman nipah M1 dan M di dalam subplot dimasukkan di kolom dan 3 di deskripsi plot. KOORDINASI/MONITORING KEGIATAN SAMPLING LAPANGAN Guna memperoleh efisiensi pada kegiatan sampling lapangan dalam hal biaya dan terutama kualitas data TSP/PSP yang baik, perlu diberlakukan suatu sistem koordinasi dan monitoring yang efektif. Diperlukan keterpaduan penuh dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sampling lapangan di 11 wilayah, karena faktor-faktor berikut ini: 30

34 (a) (b) (c) sangat luasnya areal yang dicakup, sangat banyaknya staf teknis dan pekerja yang ditugaskan di areal terpencil di seluruh wilayah, dan periode pelaksanaan sampling lapangan yang relatif singkat, jika dibandingkan dengan kebutuhan mendapatkan data lapangan berkualitas baik. Di kantor pusat Direktorat Jenderal Planologi kegiatan koordinasi dan monitoring yang dilakukan adalah perencanaan, penganggaran dan monitoring/evaluasi (termasuk penyiapan laporan periodik/kemajuan), mereka bertanggung jawab penuh atas data lapangan yang datang dari daerah yang mereka supervisi. Mereka juga bertanggung jawab atas masukan/kiriman dan analisis data. Sebagai suatu tim, mereka harus menjamin bahwa target yang ditetapkan pada sistem data lapangan dapat dicapai. Di Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), dilakukan perencanaan dan supervisi/evaluasi sampling lapangan termasuk penyiapan laporan-laporan periodik/kemajuan pekerjaan. BPKH bertanggung jawab atas bagusnya kualitas data sampling lapangan. Mereka juga bertanggung jawab atas masukan/kiriman dan analisis data serta pencapaian target yang ditetapkan dalam sampling lapangan. 31

35 KEGIATAN TSP/PSP Blanko CMS No. 1 LAPORAN TRIWULAN (Diserahkan: 15 Juli, 15 Oktober, 15 Januari dan 31 Maret) BPKH No. Dibuat oleh: Tanggal: Laporan periode : s/d A. Enumerasi reguler 1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: Banyaknya klaster yang direncanakan triwulan ini:. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: Banyaknya regu yang direncanakan: 3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster 3.1. Survai akses: Rata-rata Rentangan (range) 3.. Enumerasi aktual: Rata-rata Rentangan 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah) 4.1. Survai akses: Rata-Rata Rentangan 4.. Enumerasi aktual: Rata-rata Rentangan 5. Anggaran untuk triwulan ini: 5.1. Survai akses: 5.. Enumerasi reguler 6. Tingkat pencapaian untuk tahun ini (realisasi/rencana) 7. Total pencapaian TSP/PSP (total yang diselesaikan/total klaster) 3

36 8. Masalah yang timbul: B. Re-Enumerasi PSP 1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: Banyaknya klaster yang direncanakan triwulan ini:. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: Banyaknya regu yang direncanakan: 3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster Rata-rata Rentangan 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah) Rata-rata Rentangan 5. Anggaran untuk triwulan ini: 6. Tingkat pencapaian untuk tahun ini (realisasi/rencana)_ 7. Total pencapaian enumerasi kontrol (total yang diselesaikan/ total klaster) 8. Masalah yang timbul: C. Pemasukan data/pengiriman 1. Banyaknya klaster yang di "keyed in" Rencana. Biaya aktual pemasukan data ke komputer: 3. Anggaran triwulan untuk memasukkan data: 33

37 4. Banyaknya klaster di "keyed in" dan dikirim ke kantor pusat: Tanggal 5. Banyaknya klaster di lembar data (yang belum di keyed in) yang dikirim ke pusat: Tgl. Laporan ini diperiksa/diketahui oleh: Kepala BPKH Tanggal: Koordinator Wilayah Tanggal: Koordinator FDS Tanggal: (Catatan: Dimohon untuk menuliskan tanggapan dan rekomendasi) 34

38 KEGIATAN TSP/PSP Blanko CMS No. LAPORAN TAHUNAN (Diserahkan: 31 Maret) BPKH No. Dibuat oleh: Tanggal: Laporan periode: s/d A. Enumerasi reguler 1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: Banyaknya klaster yang direncanakan tahun ini:. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: Banyaknya regu yang direncanakan: 3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster 3.1. Survai akses: Rata-rata Rentangan (range) 3.. Enumerasi aktual: Rata-rata Rentangan 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah) 4.1. Survai akses: Rata-Rata Rentangan 4.. Enumerasi aktual: Rata-rata Rentangan 5. Anggaran untuk tahun ini: 5.1. Survai akses: 5.. Enumerasi reguler 6. Total pencapaian TSP/PSP (total yang diselesaikan/ total klaster) 7. Masalah yang timbul: B. Re-Enumerasi 1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: Banyaknya klaster yang direncanakan tahun ini: 35

39 . Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: Banyaknya regu yang direncanakan: 3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster Rata-rata Rentangan 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah) Rata-rata Rentangan 5. Anggaran untuk tahun ini: 6. Total pencapaian enumerasi kontrol (total yang diselesaikan/ total klaster) 7. Masalah yang timbul: C. Pemasukan data/pengiriman 1. Banyaknya klaster yang di "keyed in" Rencana. Biaya aktual pemasukan data ke komputer: 3. Anggaran tahunan untuk memasukkan data: 4. Banyaknya Waster di "keyed in" dan dikirim ke kantor pusat: Tanggal: 5. Banyaknya klaster di lembar data (yang belum di keyed in) yang dikirim ke pusat: Tgl. Laporan ini diperiksa/diketahui oleh: Kepala BPKH Tanggal: Koordinator Wilayah Tanggal: Koordinator FDS Tanggal: (Catatan: Dimohon untuk menuliskan tanggapan dan rekomendasi) 36

40 Daftar species yang ditemukan. No. Cluster :... Zone :... W-E :... S-N : Propinsi :..., Kabupaten :..., Kelompok hutan :... No. Nama Lokal Nama lokal lainnya Untuk lainnya lokasi Nama Perdagangan Nama Latin 37

41 50 m 50 m m 6 50 m 1 8 7

42 NATIONAL FOREST INVENTORY OF INDONESIA CRID NUMBER OF CLUSTER PARTITION NUMBER OF RECORDS Enumerator : ZONE : 47 Tampubolon W- E S - N Checket : SHEET 1 OF 1 R 5 m 5-19,9 Cm BAF 4(5x5) 0+ Cm TREES OF 0 cm D 0, AB r 1 m Trees Seedlings r m Trees Sampling r 5 m Rattan -,9 m RECORD TYPE CONSEC NUMBER SPECIES CODE SEEDLING D min D average L average r 10 m Rattan 3 m RATTAN 3 m LOMO a single cluster SAPLING RATTAN -,9 M STEADLS D max NAME OF SPECIES COUNT DAMAGE GRADE INVESTATION HORIZONT DISTANCE PERFECT BASE PERFECT BTTRESS DBH OF HORIZONT DISTANCE HEIGHT OF BASE PERFECT BASE POLL BARS 1/4 BARS TRACE SUB PLOT SECTOR DEGREES DISTANCE TO SEGMENT LARGE PART READING FOR BOLE HEIGHT BOTTRESS HEIGHT RECORD TYPE PERFECT CROWN POINT BUTTRESS WEIGHT BOLE WEIGHT SMALL PART LAND SYSTEM ALTITUT FOREST TYPE STAND CONDITION 6 CONSEC NUMBER SPECIES CODE PERMANENT CONTROL RECORD TYPE PROVINCE LAND CATEGORY YEAR OF LOGING TERRAIN SLOPE ASPEC TREES. POLES SEEDLING SAPLING RATTAN - RATTAN - CREW NUMBER MONTH YEAR.9 Cm 3 Cm Dwi Krisna Kelat Bintangur NAME OF SPECIES Arang-arang Boko-boko Kayu Cina Gambir-gambir Pisang-pisang Kedondong Keranji Gambir-gambir 0.1 cm 0.01 m 0.1 m m 0.1 m 0.01 m Jambu-jambu Medang Asam Kandis Pasak bumi Arang-arang Asam kandis Kopi-kopi cm 0.1 cm 0.1 cm m

43 NATIONAL FOREST INVENTORY OF INDONESIA Enumerator : 4. PERMANENT PLOT A Checket : CRUE NUMBER OF CLUSTER PARTITION SHEET 1 OF 1 DISTANCE TO SECMENT LARGE PART SMALL PART 6 X 6 M SQUARES W - E N - S CROWN CLASS CROWN POSITION HOR. DISTANCE HEIGH OF BASE PERCENT BASE % CROWN POINT % TOP OF TREE HOR. DISTANCE PERCENT BASE % BUTTREES FULL BARS 1/4 BARS %.8 or AB FULL BARS 1/4 BARS HECTAR A PLOT RECORD UNIT SEKTOR DEGREES CONTROL RECORD TYPE PROVINCE LAND SYSTEM STAND CONDITION YEAR OF LOGING TERRAIN SLOPE ASPEC TREES AND POLES CREW NUMBER ZONE : RECORD TYPE NUMBER CODE ALTITUT LAND CATEGORY FOREST TYPE MONTH YEAR 0.1 m X 5 m 0+ cm DBR of D D. m AB READING FOR 5 m 5-19,9 Cm BOLE AND TREE HEIGHT BUTTRESS AND DIAMETERS ABOVE D-8 AB D.0 & AB BUTTRESS AZIMUT TO TREE HORIZONT DISTANCE TO TREE CONSEC SPECIES DAMAGE BUTTRES HEIGHT BOLE HEIGHT TREE HEIGHT GRADE DIVESTATION TREE CLASS NAME OF SPECIES 0. m AB 0.1 Cm 0.01 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.5 Cm

PENGELOLAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) PADA BPKH WILAYAH XIV KUPANG

PENGELOLAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) PADA BPKH WILAYAH XIV KUPANG PENGELOLAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) PADA BPKH WILAYAH XIV KUPANG DISAMPAIKAN PADA LOKAKARYA SINERGITAS PROGRA M DAN KEBIJAKAN PROVINSI N USA T ENGGARA T IMUR DALAM M ITIGASI PERUBAHAN IKLIM SERTA

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBERDAYA HUTAN

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBERDAYA HUTAN INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBERDAYA HUTAN Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan AFoCO 11 Maret 2014 UU No 41 Tahun 1999 Pasal 13: Inventarisasi Hutan dilakukan dengan survei mengenai:

Lebih terperinci

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan?

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? Mengukur jumlah C tersimpan di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS INVENTARISASI HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)

PETUNJUK TEKNIS INVENTARISASI HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) Lampiran 1. Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Nomor : P.1/PKTL/IPSDH/PLA.1/1/2017 Tanggal : 26 Januari 2017 PETUNJUK TEKNIS INVENTARISASI HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Petunjuk Teknis. Pengukuran Stok Karbon

Petunjuk Teknis. Pengukuran Stok Karbon Petunjuk Teknis Pengukuran Stok Karbon DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEMENTERIAN KEHUTANAN Petunjuk Teknis Pengukuran Stok Karbon pada Plot Contoh National Forest Inventory i PETUNJUK TEKNIS PENGUKURAN

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGUKURAN STOK KARBON PADA PLOT CONTOH NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI)

PETUNJUK TEKNIS PENGUKURAN STOK KARBON PADA PLOT CONTOH NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) PETUNJUK TEKNIS PENGUKURAN STOK KARBON PADA PLOT CONTOH NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) Dokumen NFI no.3 i Daftar Isi I. PENDAHULUAN... 1 II. MAKSUD DAN TUJUAN... 2 II.1 Maksud... 2 II.2 Tujuan... 2 III.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian 19 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di IUPHHK-HA PT. Ratah Timber, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur (Lampiran 14). Waktu penelitian

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN 1 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.67/Menhut-II/2006 Tanggal : 6 Nopember 2006 Tentang : KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN I. INVENTARISASI HUTAN TINGKAT NASIONAL 1. Sasaran/Obyek

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN L1NGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN NOMOR: P. I/PKTL/IPSDH/PLA.l/I/2017

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. DAS ini memiliki panjang sungai utama sepanjang 124,1 km, dengan luas total area sebesar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck

Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck Oleh : The Forest Trust Indonesia 2018 Kegiatan Terkait Pengukuran HCS di UM 1. HCS Inventory >>>> Sosialisasi 2. HCS Verifikasi >>>> Proses Sosialisasi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2014 Penyusun Penanggung Jawab : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

STRATEGI MONITORING PSP DAN PELUANG PENGINTEGRASIAN KEGIATAN DENGAN PSP LAIN DI PROVINSI MALUKU. oleh : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX

STRATEGI MONITORING PSP DAN PELUANG PENGINTEGRASIAN KEGIATAN DENGAN PSP LAIN DI PROVINSI MALUKU. oleh : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX STRATEGI MONITORING PSP DAN PELUANG PENGINTEGRASIAN KEGIATAN DENGAN PSP LAIN DI PROVINSI MALUKU oleh : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX Pendahuluan UU 41 Tahun 1999, Hutan : # Karunia & amanah

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Sri Rahaju dan Sri Wilarso Budi R

Sri Rahaju dan Sri Wilarso Budi R 2 MODULE PELATIHAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN LOKASI RESTORASI, REHABILITASI DAN AGROFORESTRY Sumber :ESP 2006 Oleh : Sri Rahaju dan Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Teknik sampling titik (point sampling)

Pokok Bahasan Teknik sampling titik (point sampling) Pertemuan ke : 13 Capaian pembelajaran: Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan teknik-teknik pengambilan sampel dalam melakukan inventarisasi sumber daya hutan. Pokok Bahasan Teknik sampling titik

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon dilakukan di PT. MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di PT. Austral Byna, Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 5.1.1 Kerapatan Jalan (WD) Utama dan Jalan Cabang Berdasarkan pengukuran dari peta jaringan jalan hutan PT. Inhutani I UMH Sambarata

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

Pertemuan ke: 5. Pokok Bahasan : Petak Ukur (PU)

Pertemuan ke: 5. Pokok Bahasan : Petak Ukur (PU) Pertemuan ke: 5 Capaian pembelajaran: Mahasiswa mampu memahami hakekat pembuatan petak ukur dalam inventarisasi SDH dan mampu mengaplikasikannya di lapangan. Pokok Bahasan : Petak Ukur (PU) Sub Pokok Bahasan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua pada bulan Mei sampai dengan Juli 2012. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH LAMPIRAN 7 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.1/Menhut-II/2009 Tanggal : 6 Januari 2009 PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH A. Identifikasi dan Deskripsi Calon Sumber Benih 1. Pemilik sumber benih mengajukan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

PEDOMAN INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

PEDOMAN INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.33/MENHUT-II/2009 Tanggal : 11 Mei 2009 PEDOMAN INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

National Forest Inventory yang Disempurnakan di Sulawesi Tengah

National Forest Inventory yang Disempurnakan di Sulawesi Tengah DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEMENTERIAN KEHUTANAN Laporan Pelaksanaan Lapangan National Forest Inventory yang Disempurnakan di Sulawesi Tengah i LAPORAN PELAKSANAAN LAPANGAN NATIONAL FOREST INVENTORY

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 62 /Dik-1/2010 T e n t a n g

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

Pengukuran Diameter dan Tinggi Pohon

Pengukuran Diameter dan Tinggi Pohon Pengukuran Diameter dan Tinggi Pohon Pengukuran Diameter (DBH) Diameter atau keliling merupakan salahsatu dimensi batang (pohon) yang sangat menentukan luas penampang lintang batang pohon saat berdiri

Lebih terperinci

KAJIAN METODE DAN RANCANGAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) INDONESIA DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAANNYA

KAJIAN METODE DAN RANCANGAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) INDONESIA DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAANNYA KAJIAN METODE DAN RANCANGAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) INDONESIA DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAANNYA Waktu STOK TH 0 (1991 1995) Sampling design PROYEKSI STOK TH 5 (1996 2000) PROYEKSI STOK TH 10 (2001

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Mataram, 7-8 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

2011, No Mengingat Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan perlu disesuaikan dengan ketentuan perundang-un

2011, No Mengingat Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan perlu disesuaikan dengan ketentuan perundang-un BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.192. 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Batas Areal Kerja. Izin Pemanfaatan Hutan. Penataan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 19/Menhut-II/2011 TENTANG

Lebih terperinci

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desa Hijau Untuk Indonesia Hijau dan Sehat Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012-2013 Tim Puspijak Disampaikan di Kupang, 16-17 Oktober 2014 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. B. Alat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Pedoman. No.110, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.33/Menhut-II/2009 TENTANG

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Ambon, 27-28 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Sumber Produksi (m3) Hutan Alam Hutan Tanaman HPH (RKT) IPK Perhutani HTI Jumlah (m3) 1 2004 3,510,752 1,631,885

Lebih terperinci

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA > MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.18/Menhut-II/2004 TENTANG KRITERIA HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Denpasar, Maret 2016 Kepala Balai, Ir. S y a f r i, MM NIP

KATA PENGANTAR. Denpasar, Maret 2016 Kepala Balai, Ir. S y a f r i, MM NIP KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Biogeofisik di Wilayah

Lebih terperinci

ESTIMASI STOK KARBON PADA TEGAKAN POHON Rhizophora stylosa DI PANTAI CAMPLONG, SAMPANG- MADURA

ESTIMASI STOK KARBON PADA TEGAKAN POHON Rhizophora stylosa DI PANTAI CAMPLONG, SAMPANG- MADURA ESTIMASI STOK KARBON PADA TEGAKAN POHON Rhizophora stylosa DI PANTAI CAMPLONG, SAMPANG- MADURA Oleh : AUFA IMILIYANA (1508100020) Dosen Pembimbing: Mukhammad Muryono, S.Si.,M.Si. Drs. Hery Purnobasuki,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci