PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging unggas

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas ternak unggas memegang peranan yang sangat penting dalam penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging unggas diperkirakan mencapai 1.164,40 ribu ton akan memberi kontribusi sebanyak 60,29% terhadap produksi daging secara nasional. Selain itu unggas juga memberi kontribusi yang sangat berguna dalam bentuk telur. Produksi telur pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 666,40 ribu ton akan memberikan kontribusi sebanyak 63,38% dari total produksi telur secara nasional yaitu mencapai 1051,40 ribu ton (Deptan, 2004). Nematoda merupakan parasit terpenting pada unggas dikarenakan banyaknya spesies nematoda yang menyerang unggas, tingginya jumlah unggas yang terinfeksi dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan akibat infeksi. (Yazwiski & Tucker, 2008). Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang unggas dan disebabkan oleh cacing Ascaridia galli (Beriajaya, 2009) dengan sinonim A. lineata, A. perspicillum. Cacing ini terdapat di usus dan duodenum semua jenis unggas, Guinea fowl, Turkey, angsa dan beberapa jenis burung liar di semua bagian di dunia. Unggas ini kemungkinan tertular cacing lebih besar apabila tidak dikandangkan. Selain itu iklim tropis dan kelembaban yang tinggi memberi kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur cacing dan ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam. Kejadian akut Ascariasis merupakan

2 problema yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar (Ghosh dan Singh, 1994). Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam (Susanti & Prabowo, 2014). Parasit tersebut menyebabkan kerugian berupa penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar & Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 2000) serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar et al., 2006). Penggunaan antelmintik yang intensif telah menyebabkan masalah resistensi. Resistensi terjadi pada semua golongan antelmintik spektrum luas yang tersedia saat ini, seperti benzimidazole, imidothiazole-tetrahydropyrine dan lakton makrosiklik (Max et al., 2002; Kaplan, 2004). Meningkatnya kejadian resistensi dan kesadaran konsumen yang semakin tinggi terhadap produk-produk hewani yang bebas residu obat (Waller, 1999), menjadikan penelitian tentang antelmintik baru merupakan pendekatan terbaik dalam mengendalikan helminthiasis. Tumbuhan-tumbuhan dengan khasiat antelmintik telah dikenal dan digunakan secara luas di seluruh dunia sejak lama, akan tetapi penelitian tentang hal tersebut masih sedikit dilakukan, terutama pada kedokteran veteriner (Max et al., 2002). Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk di dalamnya keanekaragaman flora dan banyak diantaranya yang merupakan tumbuhan endemik serta menyimpan khasiat sebagai

3 tanaman obat. Sebanyak spesies flora telah ditemukan di Indonesia, diantaranya merupakan tumbuhan endemik (Bakosurtanal, 2001). Pinang adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur (Anonim, 2011). Di Indonesia tumbuhan pinang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi. Di Indonesia buah pinang digunakan juga dalam dunia pengobatan yaitu mengobati penyakit seperti cacingan, perut kembung, luka, batuk berdahak, diare, kudis, koreng, terlambat haid, keputihan, beri-beri, malaria, difteri, tidak nafsu makan, sembelit, sakit pinggang, gigi dan gusi (Arisandi, 2008). Kandungan tanin dan alkaloid adalah dua senyawa yang dominan pada biji pinang, tanin yang berkisar 15% tergolong senyawa polifenol yang dapat larut dalam gliserol dan alkohol, sedangkan alkaloid berkisar 0,3-0,6% (Anonim, 2011). Tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid pada biji pinang diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang mempunyai kemampuan mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel di dalam telur tidak akan

4 berlangsung dan pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Tanin pada pinang dapat melemaskan cacing dengan cara merusak protein kutikula tubuh cacing (Dalimartha, 2004). Senyawa arekolin (komponen alkaloid) yang merupakan senyawa metil-tetrahidrometil-nikotinat yang berwujud minyak basa keras, senyawa ini banyak digunakan dalam bentuk arecolinum hydrobromicum yang berfungsi untuk membasmi cacing pada hewan seperti unggas, kucing dan anjing (Anonim, 2011). Ditambahkan lagi oleh Arisandi (2008) bahwa senyawa arekolin yang terdapat pada buah pinang berkhasiat sebagai obat cacing dan penenang. Dan senyawa arekolin pada biji pinang memiliki kadar yang tinggi dan diduga berfungsi sebagai antelmintik (anti cacing) (Barlina, 2007). Salah satu metode alternatif pencegahan terhadap infeksi cacing nematoda gastrointestinal adalah secara imunologik dengan menyediakan protein ekskresisekresi. Dimana protein tersebut harus mempunyai gambaran (susunan) protein yang jelas (Darmawi, 2008a). Sampai saat ini, pengetahuan tentang protein dari hasil isolasi Ascaridia galli belum banyak diketahui. Hasil identifikasi ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang profil protein cacing Ascaridia galli. Hasil identifikasi dikemudian hari dapat dikembangkan untuk menemukan protein spesifik yang mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi Ascaridia galli. Metode Sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) ini digunakan untuk mencoba mengetahui profil protein Ascaridia galli. Pengetahuan tentang morfologi Ascaridia galli yang terdapat di Indonesia dengan Scanning Electrone Microscope (SEM) juga masih sangat sedikit.

5 Berdasarkan uraian di atas diduga kuat bahwa infusa biji buah pinang ( Areca catechu) memiliki kemampuan sebagai agen antelmintik terhadap cacing dewasa Ascaridia galli secara in vitro. Hal ini menjadi penting untuk dilakukannya penelitian pada tanaman herbal yang merupakan salah satu bentuk obat tradisional sebagai alternatif antelmintik. Perumusan Masalah 1. Belum diketahuinya morfologi cacing A. galli yang berasal dari Tempat Pemotongan Ayam Pasar Terban, Yogyakarta 2. Apakah infusa biji buah pinang (A. catechu) memiliki daya antelmintik terhadap cacing dewasa A. galli secara in vitro 3. Belum diketahuinya pengaruh infusa biji buah pinang (A. catechu) terhadap profil protein cacing A. galli 4. Belum diketahuinya pengaruh infusa biji buah pinang (A. catechu) terhadap morfologi cacing A. galli secara Scanning Electron Microscope (SEM) Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi secara morfologi cacing A. galli 2. Mengetahui daya antelmintik infusa biji buah pinang (A. catechu) terhadap cacing dewasa A. galli secara in vitro 3. Mengetahui pengaruh infusa biji buah pinang (A. catechu) terhadap profil protein cacing A. galli 4. Mengetahui pengaruh infusa biji buah pinang (A. catechu) terhadap morfologi cacing A. galli secara Scanning Electron Microscope (SEM)

6 Manfaat Penelitian Memberikan data informasi ilmiah mengenai daya antelmintik infusa biji buah pinang (A. catechu) secara in vitro dan pengaruhnya terhadap profil protein dengan SDS PAGE, serta ultrastruktur permukaan cacing A. galli secara Scanning Electron Microscopic (SEM) sehingga dapat digunakan sebagai antelmintik alternative bagi masyarakat. Keaslian Penelitian Studi yang pernah dilakukan menggunakan biji buah pinang dalam melawan cacing secara in vitro, profil protein cacing A. galli melalui SDS-PAGE dan morfologi cacing A. galli dengan Scanning Electron Microscopic (SEM) : 1. Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing A. galli. Penelitian ini telah dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30%. Biji pinang sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50 derajat celcius sampai kering. Tahap selanjutnya simplisia kering di grinder sehingga menjadi simplisia serbuk dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat, selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95% kemudian A. galli dimasukkan ke dalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi 20% mampu membuat cacing A. galli menjadi lisis/mati. Ekstrak etanol biji pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya antelmintiknya.

7 2. Ekstrak biji pinang terhadap Ascaris suum in vitro. Penelitian ini dilakukan oleh (Samuel, 2009). Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 1%, 2,5%, 10% dan 25%. Selama 3 jam pada suhu 37 derajat celcius. Biji pinang dikeringkan dalam oven suhu 70 derajat celcius sampai kering. Tahap selanjutnya simplisia kering di grinder sehingga menjadi simplisia serbuk dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat,selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 96% kemudian Ascaris suum dimasukkan ke dalam ke empat konsentrasi ekstrak etanol biji pinang tersebut. Hasil pengujian menunjukkan dosis 1% belum dapat mematikan cacing, cacing mati mulai tercapai dari dosis 2,5% sampai 25%. 3. Infusa biji pinang terhadap Ascaris suum secara in vitro. Penelitian ini dilakukan oleh (Tampubolon., R. Juni, 2014). Pengujian menggunakan infusa biji pinang dengan konsentrasi 20%, 40% dan 80%. Selama 3 jam pada suhu 37 derajat celcius. Pembuatan simplisia yaitu biji pinang di iris kecil-kecil dan irisan dikeringkan lalu dihaluskan menjadi serbuk. Untuk pembuatan infusa, simplisia serbuk dimasukkan dipanci infusa, ditambah air (tergantung konsentrasi), dipanaskan selama 15 menit dengan suhu 90 derajat celcius,larutan disaring dan Ascaris suum. Lalu dimasukkan ke dalam variasi konsentrasi infus biji pinang tersebut. Hasil pengujian menunjukkan pada semua konsentrasi menyebabkan cacing lemas dan tidak bergerak meskipun di usik dengan lidi (paralisis). 4. SDS-PAGE terhadap cacing dewasa A. galli. Penelitian ini dilakukan oleh (Hargiyanto.W, 2010). Dengan mengujikan cacing A. galli dewasa untuk mengetahui profil protein cacing.

8 5. Morfologi A. galli oleh (Ramadan dan Znada, 1992). Pada cacing A. galli jantan dan betina di Jeddah, Saudi Arabia. 6. Scanning Electron Microskope (SEM) terhadap cacing A. galli dewasa pada ayam oleh (Lalchhandama, 2010), dilakukan di india. Cacing diperoleh dari usus ayam dan dilakukan Scanning Electron Microskope (SEM) pada cacing jantan dan betina. Yang diamati yaitu mulut, anus, kutikula, organ reproduksi, papilla,. 7. Scanning Electron Microskope (SEM) terhadap cacing A. galli dewasa pada ayam oleh (Hassain et al., 2009). Dilakukan di Mesir. Cacing diperoleh dari Rumah Pemotongan Ayam. Penelitian secara in vitro terhadap cacing A. galli yang diberi ekstrak tanaman Artemisia Cina dengan konsentrasi 80 mg, 160 mg dan 320 mg, Peganum harmala dengan konsentrasi 5 mg, 10 mg, 20 mg, 40 mg, 80 mg, 160 mg dan Calendula micrantha oficinalis dengan konsentrasi 0,5 mg, 1 mg 1,5 mg, 2 mg dan 4 mg, selama 24 jam dengan suhu 37 derajat celcius lalu dilakukan SEM pada bagian anterior (mulut), kutikula, posterior, anus. Hasil menunjukkan adanya perubahan dibandingkan dengan kontrol negatif. 8. Scanning Electron Microskope (SEM) terhadap cacing A. galli pada ayam dan Ascaridia columbae pada merpati oleh ( Banaja et al., 2013). Dilakukan di Taif, Saudi Arabia. Cacing A. galli diperoleh dari usus ayam dan Ascaridia columbae dari burung merpati,. Cacing dimasukkan ke glutaraldehyde 3% dan dilakukan Scanning Electron Microskope (SEM) dengan mengamati bagian kutikula, papilla dan anus.