BARATAYUDA. Perang menuai KARMA. Oleh. MasPatikRajaDewaku. wayangprabu.com

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BARATAYUDA. Perang menuai KARMA. Oleh. MasPatikRajaDewaku. wayangprabu.com"

Transkripsi

1 BARATAYUDA Perang menuai KARMA Oleh MasPatikRajaDewaku wayangprabu.com

2 Assalamu alaikum Wr. Wb. Kata Pengantar Mungkin sudah banyak yang menulis buku tentang lakon perang Baratayuda yang sudah melegenda itu. Namun cerita yang dipadukan dengan kisah-kisah perang tersebut dalam Pedalangan dari beberapa dalang terkenal di negri ini, mungkin masih sangat jarang. Mas Patikrajadewaku adalah salah satu pengasuh dalam blog wayangprabu.com yang pemahaman akan cerita-cerita wayang cukup dalam. Meskipun bukan seorang seniman ataupun penulis, namun dari pengalaman dan pemahaman akan kiprah para dalang senior seperti almarhum Ki Nartosabdho, almarhum Ki Timbul Cermo Manggolo, almarhum Ki Hadi Sugito, almarhum Ki Sugino Siswocarita, Ki Manteb Sudharsono dan dalang-dalang lainnya, beliau dikarunia kelebihan dalam menuangkan cerita wayang seolah kita mendengar alunan suara dari rekaman pagelaran wayang. Kisah perang Baratayudha dalam buku ini, adalah tulisan Mas Patikrajadewaku yang telah dimuat secara serial di wayangprabu.com mulai 24 Juni Kisah yang sangat menarik dan disajikan dengan renyah sehingga dapat membuat kita terbawa seolah berada dalam arena padang Kurusetra. Melalui beberapa perbaikan penulisan, kami sajikan untuk Anda, khususnya para penggemar wayang dimanapun berada. Mudah-mudahan hal kecil ini dapat berguna bagi kita semua dan merupakan kontribusi nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan budaya wayang di Indonesia. Wassalam Bandung, 28 September 2013 Pranowo Budi Sulistyo wayangprabu.com Baratayuda wayangprabu.com Hlm 2

3 Daftar Isi Kata Pengantar... 2 Episode 1 : Kresna Gugah... 5 Episode 2 : Hari-hari Menjelang Pecah Perang Episode 3 : Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama itu Episode 4 : Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra Episode 5 : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu Episode 8 : Ricuh di Bulupitu Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng Episode 10 : Sihir Sakti Sempani Episode 11 : Terjerat Jerat Cinta, Arjuna-Murdaningsih Episode 12 : Teror Kepala Jayadrata Episode 13 : Akhir Dendam yang Terpendam Episode 14 : Mahalnya Sebuah Harga Diri Episode 15 : Kala Kalabendana Menjemput Episode 16 : Drupadi telah meluwar Janji Episode 17 : Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri Episode 18 : Palgunadi dan Janji Sang Guru Episode 19 : Mimpi Besar Aswatama Episode 20 : Atas nama Darma Satria Episode 21 : Ketika Rahasia itu Terungkap Episode 22 : Saat-saat Terakhir Episode 23 : Siasat Sang Pecundang Episode 24 : Jujurlah Pinten, Tangsen! Episode 25 : Salya dan Bunga Cempaka Mulia Episode 26 : Utang Piutang Bagaspati-Narasoma Episode 27 : Babak Akhir Baratayuda Jayabinangun Baratayuda wayangprabu.com Hlm 3

4 Baratayuda wayangprabu.com Hlm 4

5 Episode 1 : Kresna Gugah Perang Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta, perang saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija, dengan Prabu Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata, serta perang Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba. Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap. Semua kejadian adalah bermula dari konflik keluarga keturunan langsung dari Resi Wiyasa Kresna Dwipayana. Tiga orang puteranya: Drestarastra sang cacat netra sebagai anak sulung, Pandu Dewanata anak penengah dan Arya Yamawidura sebagai anak bungsu. Ketika Prabu Wiyasa hendak menyerahkan tahta lengser keprabon Astina dan hendak menyucikan diri ke Sapta Arga, dipanggilnya ketiga puteranya. Dan dengan ikhlas disaksikan para saudara dekat termasuk Resi Bhisma atau Sang Jahnawisuta Dewabrata, yang secara garis adalah sebenarnya pewaris trah Barata, Drestarastra menyerahkan tahta haknya hingga ke anak cucu turunnya kepada adik penengah, Pandu Dewanata. Sayang, atas kelicikan dan gosok kerti sampeka sang maha julig adik ipar Drestarastra, yaitu Arya Gendara Sangkuni, seratus anak Drestarastra, dikenal sebagai trah Kurawa, menjadi manusia-manusia bermoral buruk yang kurang tata krama. Puntadewa, anak sulung trah Pandawa, anak Pandu yang telah mangkat, seorang yang tidak bisa berkata tidak, masuk dalam perangkap pokal akal-akalan Sengkuni dengan mengadakan permainan dadu. Trah Pandawa yang telah mempunyai negara sendiri, hasil dari membuka hutan Wisamerta, dan menjadikannya sebuah istana indah bernama Indraparahasta atau kerajaan Amarta, terpaksa kalah dalam olah permainan curang Sengkuni. Perjanjian telah disepakati, pihak kalah akan dibuang ke hutan Kamyaka selama 12 Baratayuda wayangprabu.com Hlm 5

6 tahun dan melakukan penyamaran disuatu tempat selama setahun terakhir masa pembuangan. Bila penyamaran diketahui pihak Astina, maka pembuangan harus diulang selama waktu yang sama. Tigabelas tahun hampir lewat. Ketika Astina kedatangan seorang raja seberang bernama Prabu Susarman, raja dari negara Trikarta. Bujuk rayu Susarman menghasilkan serbuan bermotif menggelar jajahan ke Negara Wirata, dan berakhir gagal. <<< ooo >>> Syahdan, dalam sidang agung Negara Astina, Sang Duryudana sangat jengkel ketika prajurit Astina kembali dengan tangan hampa ketika pulang dari Wirata dalam misi menaklukkan negara itu. Negara yang tadinya diperkirakan telah lemah karena ditinggalkan tiga orang agulagul senapati, Sang Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang diberitakan tewas ditangan seorang jagal, ternyata berakhir dengan kegagalan telak. Malah Prabu Susarman, bala bantuan dari Negara Trikarta yang semula mengipasi agar Sang Duryudana mau menaklukkan Wirata, tewas mengenaskan. Kekuatan Wiratha menurut perhitungan semula hanya tinggal dua dari tiga putera Baginda Matswapati, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Sudah sangat berkurang kekuatan negara itu, karena Resi Seta sang putra sulung yang sakti mandraguna, lebih senang dengan olah kapanditan, dan saat itu sedang bertapa tidur di Pertapan Suhini atau Sukarini. Upaya Sang Duryudana untuk sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, menaklukkan Wirata sambil mencari keterangan tentang adanya trah Pandawa dalam masa penyamaran, sekalian dilakukan. Bila ditemukan disana, maka mereka harus mengulang lagi masa pembuangannya selama genap tigabelas tahun bakal terlaksana. Padahal masa pembuangan duabelas tahun dan masa penyamaran satu tahun, sudah hampir berakhir ketika itu. Selesailah masa perjanjian itu, ketika perang gagal dalam menggelar jajahan berakhir Hmm.... Paman Harya Sengkuni, kekalahan ini merupakan kegagalan beruntun. Pertama......, pasti.., negara Wirata gagal menjadi jajahan kita. Kedua, berakhirnya peperangan Astina dan Wirata, menandai habisnya waktu perjanjian pembuangan para Pandawa Prabu Duryudana akhirnya bersabda setelah beberapa Baratayuda wayangprabu.com Hlm 6

7 waktu diam dengan pergolakan pikiran penuh sesal atas misi yang berakhir dengan kekalahan telak yang memalukan. Dengan berakhirnya waktu perjanjian ini pasti Pandhawa akan segera menagih haknya untuk kita mengembalikan Astina dan Indraparahasta yang dulu dipertaruhkan dalam permainan dadu Kembali sang Duryudana menyambung pembicaraannya dengan masygul. Prabu Salya, raja Mandaraka, mertua dari Prabu Duryudana dan Adipati Karna yang ikut hadir dalam sidang menyela Benar angger Prabu, sabda raja adalah perkataan yang tidak dapat diasak, tidak usahlah kiranya angger prabu kukuh dalam mempertahankan lagi hak yang seharusnya harus dilepaskan, karena perjanjian telah berakhir. Bila nanti Angger bersedia, Negara Mandaraka akan saya pasrahkan untuk angger prabu. Saya sudah tua ngger, saatnya bagiku untuk menjauhi keramaian dan aku siap menyepi, kembali ke Argabelah. Sejenak suasana sidang sunyi. Anak Prabu Sang mahajulig Sengkuni memecahkan kesunyian, Negara Mandaraka tidaklah sebesar Astina, tidak sebanding, apalagi dibandingkan luas Astina yang digabungkan dengan Amarta. Mau dikemanakan anak anakku Kurawa yang seratus itu bila hanya negara seluas Mandaraka yang diharapkan menampung sejumlah keponakanku semua..? demikian Sang Patih Sengkuni memberikan alasan, ditambahkan lagi segala pertimbangan bermacam-macam yang intinya tidak menyetujui jika Negara Astina beserta seluruh jajahannya diserahkan ke trah Pandawa. Demikian juga dengan Adipati Karna, seorang anak angkat kusir Radeya yang dirangkul dan dijadikan tetunggul senapati dan berpikiran menurut sudut pandang keprajuritan menambahkan : Yayi Prabu, apakah menurut yayi, saya sebagai seorang yang sudah dibuat kenyang dengan segala kebaikan, kemurahan hati dan keluhuran yang tiada terhingga, merasa masih kurang dalam memberikan tetameng terhadap keluhuran derajat Yayi Prabu? Sehingga dengan mudahnya menyerahkan kembali negara tanpa harus mengandalkan peperangan. Jangan berpikir sebagaimana berpikirnya orang yang tua yang sudah rapuh, sehingga menganggap penyerahan negara adalah hal yang bermartabat? Tidak. Keutuhan negara harus dibela dengan pecahnya dada dan mengalirnya darah...! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 7

8 Gb. 1 - Jejer Negri Astina Prabu Salya merasa tidak senang dengan perkataan Adipati Karna, yang dengan tanpa sengaja mengusik rasa sang Prabu Salya. Dalam hatinya perkataan itu ditujukan kepada dirinya. Kemarahan Sang Narasoma tua menggelegak. Tudingan kemarahan jatuh kepada Adipati Karna Suryatmaja sontak mengalir bagaikan banjir bandang. Heh Karna.! Dari tiga orang mantuku, kamulah satu-satunya mantu yang tidak pernah memberi rasa puas terhadap mertua, celaka benar nasib anakku Surtikanti dapat suami kamu, suami yang seharusnya dahulu bukanlah kamu, tapi Arjuna. Atas kemurahan Arjuna-lah kamu menjadi mantuku. Prabu Baladewa, raja Mandura, menantuku yang gagah perkasa, tetapi didepanku menyembah kakiku. Prabu Duryudana, raja kaya raya. Didepanku takluk juga menyembah. Tetapi kamu itu siapa? Adipati kecil, tetapi tingkah lakumu selalu tidak berkenan dalam hatiku. Sudah jarang datang ke Mandaraka, juga tak sekalipun kamu datang dengan membawa kebahagiaan, kalaupun datang pasti membawa masalah Panjang lebar Prabu Salya memarahi sang mantu dipersidangan, sekalipun beberapa kali dicoba kemarahannya dipenggal oleh menantu yang lain, Prabu Duryudana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 8

9 Merasa sudah lega dengan memuntahkan segala kemarahan yang melebar kesana kemari kepada menantunya, Prabu Salya meminta diri: Angger Prabu, pikirlah kembali dengan beningnya hati. Tetapi apapun yang terjadi nanti, bila Angger masih berkenan dengan tenaga orang tua ini, pastilah aku akan datang kembali ke Astina Aku sudah kangen dengan Ibumu Setyawati. Ketika sudah tua semacam aku ini, pergi sebentar saja, rasaku gampang sekali kepengin kembali ketemu dengan ibumu Prabu Salya berkilah. Selepas kembalinya Sang Prabu Salya ke Mandaraka, sidang menetapkan, bagaimanapun Astina dan Indraparahasta dan seluruh jajahannya tetap akan dipertahankan. Sang Pendita Durna-pun dengan berat hati setuju dengan keputusan ini. Semua menganggap, para sesepuh Astina yang maha sakti seperti Sang Bhisma Jahnawisuta dari Talkanda, tidak akan tertandingi bila sudah berkenan maju dalam peperangan nanti. Usahanya tinggal selangkah lagi, karena berdasarkan wangsit, peperangan besar Baratayuda bakal dimenangkan, bila sudah dapat menggaet Prabu Kresna yang sedang bertapa tidur di Balekambang. Usaha inipun sudah yakin dapat dicapai bila Prabu Baladewa yang merupakan kakak Sri Kresna dapat dirangkul untuk membangunkan adiknya, sekalian mengajaknya bergabung di Astina. Apa yang diperhitungkan oleh Sang Duryudana perihal akan datangnya utusan dari para Pandawa memang benar adanya. Diluar sudah menunggu ibu dari para Pandawa, Dewi Prita, Kuntitalibrata dengan ditemani sang ipar, Adipati Yamawidura dari Ksatrian Panggombakan. Setelah dipersilakan duduk, Sang Prita dengan santunnya mengutarakan maksud kedatangannya. Anakku ngger Duryudana, seperti yang sudah tersiar luas dijagat ini, bahwa sudah pundhat masa pengasingan anak-anakku Pandawa. Itu sudah masa lalu. Sekarang angger, sebagai utusan dari kelima anakku, aku meminta ketegasan, kapan waktunya peristiwa diperbolehkan kembali Pandawa ke Astina beserta dipulihkannya kedaulatan atas Negara Amarta bakal dilaksanakan....? Sang Dewi juga mengatakan bahwa kedatangannya disertai Arya Yamawidura, adalah merupakan saksi atas ucapan kesediaannya mewujudkan janji yang telah diucapkan ketika permainan dadu hendak dilaksanakan dulu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 9

10 Prabu Duryudana terdiam. Dalam hatinya bergolak pikiran bagaimana cara mengatakan tidak kepada utusan itu, yang tak lain adalah orang yang dihormatinya. Bahkan oleh ayahandanya sendiri Adipati Drestarastra. Tetapi oleh sang pembisik disekeliling Sang Prabu yang selalu menggosoknya dan nafsu Sang Prabu terhadap kekuasaan telah sedemikaian besar, kata Sang Prabu dengan tanpa mengindahkan tata krama dan seribu alasan, malah mengusir Dewi Kunti: Bibi sudahlah, bibi pulang saja kemana saja bibi mau, sekarang saya belum terpikir kapan akan mengembalikan semua yang telah dijanjikan dulu. Kunti hanya bisa meratap kepada adik iparnya, sang Yamawidura. Harapan besar yang telah diusungnya dari Wirata atas kembalinya negara Astina kepada anakanaknya musnah sudah. Segera diboyongnya kembali Dewi Prita yang pingsan keberatan dengan beban batin, untuk sementara bermukim di Ksatrian Panggombakan. Segera Sang Yamawidura mengutus seseorang untuk mengabarkan apa yang terjadi terhadap Dewi Prita kepada anak anaknya di Wirata. <<< ooo >>> Prabu Drupada, raja Pancalaradya, yang datang kemudian atas inisiatif sendiri, sebagai duta juga dipandang remeh, dihinanya Sucitra tua itu yang hanya bisa menahan marah, dan keluar tanpa pamit dari sidang agung. Keriuhan dalam sidang sampai juga ditelinga Adipati Destarastra, Adipati cacat netra ini segera minta dituntun sang istri, Dewi Gendari, menuju sidang agung yang sudah ditinggalkan oleh Dewi Kunti dan Prabu Drupada dengan perasaan masygul. Heh anakku Duryudana, aku dengar dari dalam tadi ada pertengkaran. Apa yang terjadi ngger, baiknya jujur saja katakan kepada bapakmu ini??. Dengan plintat-plintut Duryudana menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terperangah sang Drestarastra. Segera dia minta dipertemukan dengan Prabu Drupada, yang dengan kesaktiannya pasti mampu menaklukkan anaknya, untuk dimintai seribu maaf atas kurangnya tata susila yang dilakukannya tadi. <<< ooo >>> Balekambang. Sebenarnyalah Sri Kresna sedang meraga sukma. Secara kewadagan kelihatan Sri Kresna tertidur dalam bertapa, namun sebenarnya sukma sang Kesawa sedang pergi menghadap haribaan Sang Hyang Guruloka untuk mecari keterangan mengenai isi kitab Jitapsara. Kitab skenario pelaksanaan Perang Baratayuda yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 10

11 berdasarkan jangka kadewatan sudah saatnya dibuat oleh Hyang Jagatnata dan ditulis oleh Batara Penyarikan, sekretaris Kahyangan. Maka ketika Para Kurawa datang hendak membangunkan dan mengajaknya bergabung, tidak satupun berhasil membangunkan. Mereka satu persatu melakukan usaha untuk mencoba dengan caranya sendiri sendiri. Prabu Karna datang membangunkan dengan meraba leher sang Sri Kresna, menandakan leher adipati Karna akan terpenggal dan tewas dalam Baratayuda. Terkena pagar kesaktian diri Sri Kresna, Adipati Karna seketika terbanting tak sadarkan diri. Demikian juga dengan Arya Dursasana yang datang membangunkan dengan menggerayangi dan menggoyang seluruh tubuh dan persendian Sri Kresna. Kejadian ini sebagai pertanda akan terpotong potongnya jasad Arya Dursasana dalam Baratayuda. Walat atau pagar diri Sri Kresna juga berlaku ketika Resi Durna mencoba membangunkan dengan memegang leher Sang Tapa. Prabu Duryudana akhirnya datang sendiri dengan memegang dan mengelus paha Sri Kresna, ini sebagai pertanda bahwa kelak pada peperangan Baratayudha, Prabu Duryudana akan tewas dengan tertebas Gada Rujakpolo, gada Raden Werkudara, pada paha kirinya. Karena tidak kunjung terbangun, makin lama semakin keras menggoyang paha Sri Kresna. Terkena walat sang Kresna seketika Prabu Duryudana juga sama dengan para bawahannya, terbanting tidak sadarkan diri. Geger para prajurit yang lain, seketika itu tidak ada satupun Kurawa yang berani mencoba membangunkan. Ketika suasana sudah bisa diatasi dan tenang kembali, kesepakatan rembuk terjadi, mereka mengundurkan diri terlebih dulu sambil menunggu datangnya Prabu Baladewa sebagai usaha mereka yang terakhir. <<< ooo >>> Para Pandawa datang juga akhirnya. Waspada Prabu Yudistira, bahwa Sri Kresna sejatinya tidak sedang bertapa tidur, melainkan sedang meraga sukma, ditinggalkannya wadag, sementara sukma sang Narayana pergi entah kemana. Adikku Werkudara, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana bertemu sang Guru Sejatimu, Dewa Ruci, tatkala kamu menceburkan dirimu ke samudera Minangkalbu dahulu. Sekarang ketemukan kakang Kresna. Ajaklah kembali ke raganya dan persilakan beliau untuk pulang bersama kita ke Wirata, untuk menjadikannya jaya trah kita Pandawa dalam perang Baratayudha bila benar akan terjadi nanti adimas Baratayuda wayangprabu.com Hlm 11

12 Apa gunanya Si Arjuna yang lebih dari sakti, yang juga merupakan tukang tapa, sesama titis Wisnu dan lebih dekat dengan Kresna, kenapa dia tidak ada usaha yang mestinya tidak lagi harus diberi perintah??!. Tukas sang Werkudara Sang Arjuna yang dari tadi diam disindir kakaknya Bima, sejatinya sedang mengheningkan cipta, meraga sukma mencari dimana gerangan sukma kakak iparnya, Sukma Wicara, berada. Gb. 2 - Kresna Gugah Arjuna adalah sesama titisan Wisnu yang membelah diri bagaikan api dan panasnya. Ketika melihat raga Sri Kresna yang sedang tergolek, tak ada keraguan baginya bahwa Sri Kresna tidak bersukma. Ikutlah sang Arjuna meraga sukma dengan nama Sukma Langgeng meninggalkan raga dan saudara-saudaranya. <<< ooo >>> Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda perang Baratayuda. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 12

13 Batara Panyarikan dengan pena ditangan dan tinta dihadapannya menulis skenario apa yang dikatakan oleh Sang Jagad nata. Telah ditulisnya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario: Raden Utara dan Salya bertanding, Utara terbunuh oleh Prabu Salya. Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh Resi Durna. Raden Rukmarata terbunuh oleh panah Resi Seta. Resi Bhisma perang tanding dengan Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya. Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa tanding dengan Antareja dan hendak ditulisnya kedalam daftar skenario, tumpahlah tinta dihadapan Batara Panyarikan ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda tergelar. Gagallah kalimat itu dituliskan. Marahlah Sang Girinata, ditangkapnya kumbang itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara. Heh Kaki Kresna..! kenapa kamu sebagai titahku menggagalkan usahaku dalam menulis naskah ini? tanya Batara Guru. Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja. Jawab Sukma Wicara. Baik, adakah sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi tetukar terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat terhindar? sahut Batara Guru. Pukulun, saya rela menukarnya dengan pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun demikian Sri Kresna menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan pusaka yang merupakan warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba. Dengan penyerahan ini Pukulun, maka dirasa akan fair-lah perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan kawan yang telah terbunuh. Tambah Sri Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 13

14 Sedangkan bagaimana caranya agar kakak hamba Kakrasana agar tidak ikut dalam perang Baratayudha kelak serahkan kepada hamba Kresna meneruskan. Demikianlah, setelah barter terjadi dan Sukma Wicara telah diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulanglah Sang Sukma kembali ke menuju raganya. Diperjalanan ketemulah Sang Sukma Wicara dengan Sukma Langgeng. Sukma Langgeng memaksa memberikan kitab skenario kepadanya, tetapi dijelaskan bahwa ini adalah rahasia para dewa dan iapun tidak diberikan kitabnya hanya diberitahu jalan ceritanya. Sukma Langgeng tidak percaya dengan keterangan itu, dan terjadi perkelahian diantara keduanya. Gegerlah Jonggring Salaka oleh tanding seimbang dan tidak akan berkesudahan. Diutusnya Batara Naradda oleh Hyang Girinata untuk memisahkan keduanya. Heh cucu-cucuku...!!, Berhentilah...!!, Tidak ada gunanya kalian berkelahi, segera masuklah kembali ke raga masing masing. Tugas suci sudah menunggu. Sukma Langgeng percayakan kepada Sukma Wicara yang kelak menjadi pengatur laku dalam peperangan besar nanti!! Batara Naradda datang dengan memberikan penjelasan panjang lebar kepada Sukma Langgeng atas apa yang terjadi ketika Sukma Wicara menghadap di Kahyangan Jonggring Salaka. Keduanya segera mematuhi titah sang Naradda, turun kembali ke arcapada masuk ke raga masing masing. Gembiralah para Pandawa setelah menerima kesanggupan Sri Kresna untuk diboyong ke Wirata. Belum sempat mereka semua beranjak dari Balekambang, ketika datang Prabu Baladewa menghadang langkah para Pandawa dan Sri Kresna, sambil berkata: Sukurlah yayi Prabu sudah bangun dari tapamu! Sekarang marilah adikku, pergi bersama kakakmu ini ke Astina, begitu kan kehendak yayi Prabu Duryudana? sang Baladewa menegaskan juga ke Prabu Duryudana Benar kakanda! Marilah datang berkumpul ke Astina. Disana kakanda bakal saya beri kemukten, asalkan kanda sudi kami boyongi sang Duryudana juga merayu Sri Kresna. Sri Kresna yang selalu waspada, dengan tidak terlihat manampik dan berusaha untuk tidak melukai hati Sang Baladewa, menanyakan kepada Prabu Duryudana: Baratayuda wayangprabu.com Hlm 14

15 Yayi, tujuan akhir yayi memboyong kakakmu ini adalah memenangkan Baratayudha, bukankan begitu? Benar kakang Kresna Dengan nada yakin Duryudana menyahut. Kalau begitu bukankan lebih baik bila kakakmu yang satu ini ditukar seribu raja beserta para nayakanya sekalian sehingga kekuatan negara Astina niscaya akan lebih kuat sentosa?! Kresna berusaha memberi alternatif, sambil berusaha bagaimana agar Duryudana mau dirayu. Belum sempat sang Baladewa mencegah jawaban sang Duryudana yang sudah diduganya, dengan cepat Prabu Duryudana menyanggupi menukar satu orang Sri Kresna dengan seribu raja lengkap dengan hulubalangnya. Dalam pikirannya apalah kekuatan satu orang dibandingkan dengan kekuatan yang hendak dibarternya. Heh yayi Prabu Duryudana, semula apa yang direncanakan dari Astina datang ke Balekambang? Apakah yayi Prabu lupa akan wangsit dewata bahwa siapa yang bisa mendatangkan Kresna bakal unggul dalam perang itu? Bukankan aku didatangkan kemari hendak diutus melakukan itu? Aduh yayi Prabu, alangkah malangnya Kurawa memiliki raja seperti yayi ini !!. Panjang lebar sang Baladewa memarahi Prabu Duryudana. Sri Kresna menyela: Sudahlah kanda, sabda raja adalah perkataan suci, harus konsisten, sekali dia berkata, tak layaklah dia mencabut kembali kalimatnya Segera Sang Kresna menepuk batang beringin tempat bernaung dalam tapanya, seketika daun daun yang berguguran berubah menjadi seribu raja beserta para punggawanya. Silakan yayi Prabu Duryudana, pulanglah ke Astina beserta para raja yang kelak menjadi beteng dalam perang yang pasti akan terjadi nanti Demikian Kresna bermaksud menyudahi persoalan. Mari Kakang Prabu, kita segera kembali ke Wirata, Werkudara segera mengajak Sri Kresna pulang, Persoalan kita sudah selesai tambah Bima Belum!! bentak Prabu Baladewa Apa maumu? sahut Bima kembali Kresna harus ikut aku!! Baladewa kembali membentak Tentu saja Bima tidak berkenan, terjadilah perkelahian diatara keduanya. Kekuatan kedua ksatria ini memang hampir seimbang. Baladewa menggunakan kecepatan dan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 15

16 kekuatan untuk mencoba mengalahkan Bima, namun Werkudara juga memiliki kekuatan yang lebih tangguh dalam melawan Prabu Baladewa. Merasa keteteran, Baladewa menggunakan senjata Nenggala. Waspada sang Kresna, didekatinya Werkudara dan dibisiki untuk memancing agar senjata Nenggala menancap ke tanah. Demikianlah, atas pancingan itu senjata Nenggala yang hendak ditujukan ke Werkudara dan dihindari akhirnya menembus tanah dan terjepit hingga tidak bisa dicabut kembali. Sri Kresna mendekati Baladewa yang berusaha keras mencabut pusakanya dari jepitan, disapanya prabu Baladewa Kakang Prabu, paduka tidak dapat melepaskan senjata dari dalam tanah karena sebenarnya kakanda berdosa. Tanah yang tidak bersalah paduka kenai senjata sakti. Akhirnya kejadian inilah yang menyebabkan senjata kanda tidak dapat dicabut kembali. Kandapun nanti akan mendapat kemalangan terjepit bumi dan tidak dapat keluar dari malapetaka itu. Aduh adikku, sial benar aku. Bagaimana cara agar aku dapat keluar dari laknat bumi ini yayi?? ratap Prabu Baladewa Kanda, paduka harus melakukan penebusan berupa memberikan dana bagi siapapun yang meminta. <<< ooo >>> Tersebutlah seorang pengemis, hendak meminta sesuatu kepada Prabu Baladewa yang mendengar kabar Sang Prabu sedang berkelililng membagikan dana. Ia dengan tidak sungkan meminta istri sang prabu, Dewi Erawati, untuk dijadikan sebagai istri. Tidak ingat akan kesanggupannya, marahlah Prabu Baladewa dan dikeluarkan senjata Nenggala dan ditujukan kepada si pengemis. Pengemis itu menghindar dan terserempet senjata itu, dan berubah ujud menjadi Arjuna. Malang kembali menimpa Prabu Baladewa, senjata Nenggala kembali mengenai bumi dan menyebabkan tanah itu berlubang. Ketika hendak mengambil senjata dan masuk kedalam lubang, segera bumi menjepit Sang Prabu hingga sebatas dada. Sekuat tenaga Sang Prabu berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa keluar dari jepitan. Sekali lagi ia meminta tolong adiknya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 16

17 Kanda Prabu, sekarang dosa kanda makin besar, penebusannya pun semakin besar pula Kresna memberikan penjelasan. Dengan rasa putus asa Baladewapun menyerah atas ampunan dosa yang ia lakukan Baik sebesar apapun aku sanggup melakukan penebusan itu asalkan aku terhindar dari dosa yang aku telah perbuat ini. Baik, kanda prabu harus melakukan tapa di Grojogan Sewu (air terjun dengan seribu alur). Kanda akan kami sertai dengan anak saya Setyaka. Jangan sekali-kali paduka menyelesaikan laku tapa kanda, bila saya belum menjemput kanda nanti. Dalam hati Sri Kresna, sekaranglah saatnya mulai untuk mengubah jalan nasib kakaknya itu. Dengan ditemani keponakannya, Prabu Baladewa berangkat bertapa di air terjun dengan bunyi gemuruh, hingga segala bebunyian apapun akan terkalahkan dengan gemuruhnya suara air terjun dengan seribu alur. Raden Setyaka sudah dibekali pesan-pesan dari ayahandanya dan dirajah tapak tangannya agar dapat menenangkan sang uwak dengan memegang dadanya, bila Sang Baladewa terlihat gelisah. Inilah sebenarnya usaha Sri Kresna dalam mengubah alur skenario, agar sang Baladewa tidak terlibat dalam perang Baratayuda, seperti janjinya kepada Sang Hyang Guru ketika itu. <<< ooo >>> Satu masalah selesai. Lalu bagaimana dengan Antareja? Tidak kurang akal dipanggilnya Werkudara, Sena, Baratayuda nanti akan terlaksana. Setujukah yayi akan hal ini, termasuk syarat srana yang harus ditempuh agar Pandawa unggul dalam perang? Setuju, apapun syaratnya sahut Arya Werkudara. Nah, syarat itu berujud tumbal berupa anakmu Antareja, bila dia masih ada, maka Baratayuda yang berupa perang suci tempat para manusia mengunduh apa yang mereka tanam dan sarana meluwar segala janji, akan gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kesaktian anakmu yang satu itu Seketika itu sang Bhima berbalik tidak setuju. Dengan segala cara bujuk rayu dan pemberian pengertian akhirnya dengan berat hati putra Bhima mengerti dan merelakan anaknya sebagai tumbal akan kejayaan Pandawa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 17

18 Gb. 3 - Raden Antareja (gaya Banyumasan) Memang demikian, kesaktian Raden Antareja memang luar biasa. Kesaktian turunan dari Sang Hyang Anantaboga, dewa ular, kakeknya. Kesaktian yang berupa lapisan gigi taring dan bisa anta pada lidahnya. Tapak kaki siapapun yang terjilat bakal langsung melepuh dan tewas. Bahkan bekas telapak manusia yang dijilatpun bakal tewas seketika itu juga. Segera dipanggilnya Antareja. Antareja, sudahkan kamu siap menjadi senapati dengan akan berlangsungnya perang besar nanti? Seberapa kesaktian yang kamu punyai untuk membuat jaya trah-mu? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 18

19 Sudah siap uwa, kami bersedia untuk memberi bukti akan kesaktian putramu ini Antareja mantap menjelaskan. Baik ikutlah aku, jilatlah tapak kaki yang aku tunjuk perintah Kresna. Segera Sri Kresna menunjuk bekas tapak kaki disuatu tempat yang sudah ditandainya. Gugurlah seketika sang Anantareja setelah menjilat tapak yang tercetak di tanah, yang ternyata bekas telapak kakinya sendiri. Diiringi wangi bunga tawur dari para bidadari, arwah Sang Antareja diiring para dewa dan bidadari ke sorga lapis sembilan. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 19

20 Episode 2 : Hari-hari Menjelang Pecah Perang Negara Wirata, dimana Negara ini menjadi tempat berkumpulnya Pendawa selama masa penyamaran dan sebelum pecah perang besar itu. Disana para Pandawa ditunjang kekuatan dari Prabu Matswapati dalam rencananya mengambil kembali haknya atas Negara Astina beserta seluruh jajahannya. Termasuk Negara yang dibangun atas keringat dan darah Para Pandawa sendiri, Amarta. Sang baginda Matswapati menerima kembali dengan suka cita para Pandawa yang sudah berhasil memboyong Prabu Kresna sebagai syarat atas kemenangan dalam perang besar nanti, bila usaha dalam mengirim duta ibu Pandawa, Kunti dan Prabu Drupada tidak ada hasil. Memang demikian, ketika sudah diketahui hasil awal duta yang dikirim, Prabu Matswapati menasihati Yudistira agar segera mengambil tindakan perang terhadap para Kurawa. Prabu Puntadewa yang berhati halus mengusulkan kepada Prabu Matswapati Baginda, perang nanti merupakan perang antar saudara sendiri, kalau mungkin, kami para Pendawa rela bila kami diberi separohnya saja, maka perang tidak harus terjadi Kakaku sulung, bila separopun tidak diberi, Negara Astina harus diberikan seutuhnya dengan cara berperang Werkudara menyahut sigap. Sebenarnyalah Sri Kresna sudah tidak ada syak lagi bahwa Baratayudha pasti akan terjadi. Namun untuk meyakinkan sekali lagi, ia pun sanggup menjadi duta terakhir sekalian menjajagi sampai dimana kesiapan para Kurawa dalam menghadapi perang itu. Eyang Matswapati, sekaranglah saatnya untuk hamba melaksanakan tugas duta yang terakhir kalinya. Bila nanti memang semua tidak dapat dilakukan dengan cara perundingan, maka satu-satunya jalan adalah mengambil hak adik-adikku dengan cara perang Mantap Sri Kresna memohon ijin kepada Sang Baginda Matswapati. Sambung Kresna Kemudian Sekarang ijinkan hamba berangkat, dan adik hamba Setyaki akan kuajak serta sebagai kusir kereta Jaladara, untuk menyingkat waktu agar segera menjadi jelas apa yang bakal terjadi. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 20

21 Restu Sang Baginda Matswapati, raja tua yang masih sentosa, beserta para Pandawa mengantarkan kepergian Sri Kresna dengan kereta Jaladara, disertai kusir adik iparnya Raden Setyaki, Singamulangjaya. Gb. 4 - Kresna Duta Kereta Jaladara adalah kereta hadiah dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali. Dengan ditarik kuda empat ekor berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri-sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang. Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain saling berbagi kesaktian dan saling melindungi. Diceritakan, cepatnya lari kereta Jaladara segera sampai diluar kota Wirata, melewati di kaki gunung, sampailah di batas wilayah pemerintahan Astina dengan gapura yang terlihat demikian indah dan megah. Geger para kawula cilik di Baratayuda wayangprabu.com Hlm 21

22 pedesaan dan lereng gunung kebawah Astina, mereka segera mambunyikan tetabuhan menyambut datangnya duta agung para Pandawa. Lain halnya dengan pandangan mata Sri Kresna, setiap benda yang ditemuinya, pohon, bunga, burung burung termasuk lelawa, bahkan batu beserta lumut kering bagaikan menyapanya dengan sedih, mereka, dalam telinganya menanyakan mengapa para Pandawa tidak ikut serta dalam meminta negaranya separuh. Mereka terutama merindukan kedatangan Sang Arjuna ksatria sempurna meliputi seluruh jiwa, raga dan kesaktiannya. Sesampainya di tegal Kuru, tanah lapang luas kebawah pemerintahan Astina, kereta dihentikan empat dewa : Rama Parasu, Kanwa dan Janaka, ketiga dewa yang dahulu kala adalah manusia luhur yang dihadiahi derajat tinggi menjadi dewa karena tekun dalam semedi, besar jasanya terhadap menjaga ketenteraman dunia, mengiring Sang Hyang Naradda, parampara pepatih Kahyangan Jonggring Salaka. Segera Sri Kresna turun menyapa keempat dewa Duh pukulun, ada apakah gerangan pukulun berempat menghentikan laju kereta hamba? Heh Kresna titah ulun, kami berempat datang menghentikan laju kereta tidak lain bermaksud untuk bersama datang ke Astina. Kami berempat hendak menjadi saksi bagaimana Duryudana bertindak, apapun yang akan ia lakukan akan aku saksikan dan menjadi ketetapan cerita yang akan berlangsung. Baiklah, kami persilakan pukulun berempat naik ke kereta kami, agar kami mendapatkan kekuatan moral yang lebih besar dalam menjalankan duta kali ini pukulun Kresna meminta keempatnya bersama dalam satu kereta. Diambil alihnya sais dari adiknya, Harya Setyaki. Dalam hati Sri Kresna bersyukur bahwa apa yang akan dilakukan Prabu Duryudana akan mendapatkan legitimasi dengan tataran yang lebih tinggi, apapun bentuknya. Maka kata sepakat bersambut, bergabunglah bersama keempat dewa dalam satu kereta menuju kerajaan Astina. <<< ooo >>> Syahdan, Duryudana telah mendengar akan segera datangnya Sri Kresna. Sambutan kenegaraan berlangsung meriah. Gelaran karpet merah terhampar panjang, pada kedua sisi berjajar para prajurit pengawal yang serba sentosa. Disepanjang jalan para penduduk kota berjajar rapat menyaksikan tamu agung yang sayang apabila terlewat sekejappun. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 22

23 Para sesepuh yang menyambut kedatangan tamu diantaranya Sang Bhisma Jahnawisuta, Resi Durna; guru kedua trah Wiyasa, Resi Krepa; adik ipar Resi Durna dan para sesepuh lain termasuk Adipati Drestarastra. Sangat gembira dengan kedatangan sang duta. Mereka berharap kali ini perdamaian akan tercipta. Tidak demikian dengan Patih Sangkuni, segera ia mendekati Duryudana dan membisikkan rencana atas kedatangan duta kali ini. Segera dipanggilnya Dursasana adiknya, diberitahukan segera agar para Kurawa menerapkan baris pendem, baris rahasia, untuk menumpas Kresna, raja Dwarawati, yang sejatinya adalah pengawak Pandawa, bila sewaktu-waktu dia berjalan dengan cara yang tidak sesuai dengan rencana yang disusun. Segera para tamu, Sri Kresna, Batara Naradda, Batara Rama Parasu, Batara Kanwa dan Batara Janaka dipersilakan masuk ke ruang penyambutan. Segala macam hidangan digelar untuk menjamu kedatangan para tamu. Khusus untuk Sri Kresna juga dihidangkan segala makanan dan minuman untuk sang duta. Silakan dinikamati hidangan yang sudah kami persiapkan untuk sang duta yang sudah datang dari jauh dan tentunya sangat lelah Duryudana menawari hidangan dihadapannya. Dengan halus Sri Kresna menampik: Terimakasih atas kebaikan yayi Prabu, besok baru kami akan datang kembali untuk menyampaikan segala keperluan kami, karena hari sudah menjelang malam.. Kami akan bermalam di Kasatrian Panggombakan sekalian ketemu dengan bibi Kunti sambung Sri Kresna dengan kewaspadaan tinggi. Diluar sidang Sri Kresna pamit kepada keempat dewa, dan berjanji besok hari akan segera menyampaikan maksudnya sebagai duta. <<< ooo >>> Kasatrian Panggombakan. Dengan rasa masygul sang Prita dihadapan Arya Yamawidura, menceritakan bagaimana Duryudana dan Karna yang tak lain adalah ibu kandungnya tak mengindahkan apa yang dia minta atas hak anak anaknya. Sudahlah bibi, masalah ini pasrahkan saja pada kemenakanmu ini. Nanti aku akan datang juga pada putramu Karna. Aku ingin bicara empat mata dengannya. Aku merasakan adanya hal yang tidak sewajarnya dengan sikap putramu Karna, bibi Kresna menyampaikan isi hatinya. Aku percaya sepenuhnya atas tindakan yang kamu lakukan nanti, sampaikan rasa sesal-sedihku kepadanya. Sebagai seorang ibu, naluri kasih sayangku kepadanya tak Baratayuda wayangprabu.com Hlm 23

24 akan pudar, walaupun dalam kenyataannya, aku telah membuangnya ketika masih bayi merah dulu, ngger demikian sang Prita berdesah pasrah. <<< ooo >>> Tak diceritakan keindahan malam di negara Astina, terutama didalam istana tempat kediaman sang Parameswari Banuwati. Istana yang serba berhiaskan memanik yang bersinar bak nyala hingga ke ujung langit, Istana tempat Duryudana memanjakan Parameswari jelita yang memiliki kecantikan sempurna. Dan ketika matahari pagi sudah merekah, kesiapan di Panggombakan akan perginya sang duta ke sidang agung Astina dilakukan. Dan ketika matahari naik sepenggalah, sidang sudah dipenuhi para agung dan sesepuh, diantaranya Adipati Drestarastra, Resi Bhisma, Begawan Durna, Resi Krepa, Prabu Salya, Adipati Karna, Patih Sangkuni dan parampara praja yang lain termasuk Arya Yamawidura. Setelah berbasa-basi sejenak, Sri Kresna mengutarkan maksud kedatangannya Paman Drestarastra, kedatangan hamba kemari adalah ujud dari duta, utusan dari adik-adikku para Pandawa. Karena sudah menjadi kesepakatan sebelumnya, dalam permainan dadu, bahwa setelah genap duabelas tahun pembuangan dan satu tahun masa penyamaran berjalan mulus tanpa diketahui, maka Pandawa berhak kembali atas negara Astina beserta Indraparahasta. Namun demikian paman, karena Kurawa juga adalah darah daging sendiri, maka atas kesediaan yayi Puntadewa, cukuplah Astina dibagi dua, dan yayi Duryudana melepaskan Indraprasta, yang negara ini merupakan perasan keringat darah Pandawa. Itu sudah cukup sambung Sri Kresna. Para sesepuh sangat berkenan dengan tawaran yang diajukan oleh Prabu Puntadewa. Aduh anakku Puntadewa..., demikian luhur budi yang mengeram dalam jiwamu ngger. Tawaranmu atas negara Astina adalah hal yang sangat adil. Bukankah begitu anakku Duryudana....? demikian antara lain sang Drestarastra mengatakan. Ibu sang Duryudana, Gendari, juga menyetujui kehendak suaminya. Rasa sayangnya atas anak-anaknya, dengan firasatnya akan ketidak mampuan anaknya dalam mengatasi kekuatan para Pandawa mendorongnya mengatakan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 24

25 Benar apa yang dikatakan ayahmu ngger, terimalah tawaran yang diajukan saudaramu itu, rasa persaudaraan akan jauh lebih indah daripada kemukten yang kamu sandang selama ini!. Duryudana diam membisu. Dihadapan para raja, sesepuh dan keempat dewa, mau tidak mau Duryudana menandatangani pakta perjanjian atas perdamaian itu dengan perasaan masygul. Demikianlah, ketika pakta telah ditandatangani dalam satu surat yang sudah disiapkan Sri Kresna, maka mohon pamitlah keempat dewa pulang kembali ke kahyangan. Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dirasai sungkan, diliriknya sang paman, Arya Sangkuni serta Adipati Karna, meminta pendapat. Keduanya memang sama-sama menginginkan akan tetap mempertahankan negara dengan jalan perang. Sang paman mengerti sasmita dari keponakannya, gatuknya tetanda dari keduanya membuat Duryudana dengan tanpa suba sita menyambar surat perjanjian yang masih tergeletak diatas meja, disobeknya dan langsung meninggalkan sidang agung diiringi sang paman. Tercenganglah para yang hadir atas sikap Duryudana, segera sang Gendari berlari berusaha menenangkan suasana batin anaknya yang kurang trapsila dihadapan para agung. <<< ooo >>> Diluar sidang agung. Arya Setyaki masih duduk diatas kereta Jaladara menunggu kembalinya sang kakak ipar yang sedang dalam tugas. Burisrawa, putra sang Prabu Salya, yang selalu berada dilingkungan para Kurawa, oleh sebab kaulnya sendiri ketika gagal mempersunting Wara Subadra, tidak akan kembali ke Mandaraka bila tidak bisa mempersunting kekasih hatinya itu, atau setidak-tidaknya wanita yang sejajar kecantikannya dengan Subadra. Dengan rasa benci Burisrawa menyaksikan ulah Setyaki yang dipandangnya kurang tata, tetap duduk diatas kereta, duduk dengan seenaknya dan tidak mau turun. Hoi Setyaki....!! Turun datang kesini. Mari kita minum tuak bersama!! panggil Burisrawa mencari masalah. Terimakasih kakang Burisrawa, aku tidak minum seperti kamu Setyaki mencoba berlaku sopan. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 25

26 He, apakah perlu aku paksa kamu minum dengan cara kekerasan? sambar Burisrawa yang sedari tadi memang bermaksud memanasi Setyaki. Pertengkaran sengit terjadi, dari saling tuding, saling colek terjadilah perkelahian antar keduanya. Burisrawa yang berbadan tinggi besar dan kasar merasa yakin akan unggul berhadapan dengan Setyaki yang berperawakan kecil padat. Saling serang antar keduanya berlangsung seru. Walaupun Setyaki lebih kecil tetapi sejatinya tersimpan kekuatan dari penjelmaan raja raksasa Singamulangjaya, yang pernah ditaklukkannya sewaktu Setyaki menjadi utusan dewa sewaktu masih kecil. Belum terlihat siapa yang diperkirakan unggul ketika para Kurawa yang datang kemudian mendengar keributan antara keduanya, seketika ikut larut dalam perkelahian. Tentu membantu Burisrawa, mereka mencoba menangkap Setyaki. Pertempuran tidak imbang terjadi. Ketika mulai terdesak, Setyaki yang marah dicurangi menghindar dan bersumpah nanti dalam perang yang sesungguhnya akan berhadapan dengan Burisrawa, satu lawan satu, menyambung perkelahian yang terjadi tadi. Ia berlari dikejar para Kurawa naik ke balairung dan mengadukan atas kejadian yang dialaminya. Kaget Sri Kresna ketika melihat Setyaki dalam kejaran para Kurawa dan turun menghadapi ulah penyerang yang sebenarnya sudah siap dengan segala senjata untuk menumpas para duta yang datang kali ini. Marahlah Sang Kesawa ketika melihat dirinya sebagai objek kebrutalan Kurawa. Triwikrama adalah hal yang terpikir ketika melihat prajurit segelar sepapan hendak menghancurkannya. Seketika Sri Kresna berubah wujud menjadi raksasa dengan sepuluh anggauta badan, diliputi kobaran api yang menyambar nyambar. Dengan langkah yang menimbulkan gempa dan suara sesumbar yang menggelegar bagai halilintar, seketika membuat nyali para Kurawa gentar Hayo amuklah aku Kurawa, apakah kamu sanggup mengatasi kesaktianku..!!!. Hawa panas yang ditimbulkan bahkan sampai ditepi samudra, airpun menggelegak, hingga mengambangkan satwa laut serta banyak kura kura sekalipun yang bercangkang keras. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 26

27 Bubar mawut para Kurawa, jeri melihat amuk Sang Triwikrama, penjelmaan Sang Wisnu Batara, bagaikan hendak melebur seisi bumi. Batara Naradda yang ternyata masih mengawasi segala yang terjadi atas peristiwa di Astina waspada, segera mendekati Sang Triwikrama Titah ulun Kresna..!, dinginkan hatimu, bila dengan cara ini kamu menaklukkan Kurawa, maka kamu berdosa, membuat cerita Jitapsara yang sudah disepakati menjadi berantakan Naradda berusaha menghentikan amukan sang Triwikrama. Dengan segera Kresna meracut ajiannya, dan menghaturkan sembah kepada sang Naradda, Kanekaputra. Sudahlah, pulanglah kembali ke Wirata, bukankah kamu datang bukan sebagai orang yang diberi wasesa, tapi datang sebagai pengawak duta? dan sebenarnya kamu sudah tahu apakah yang bakal terjadi nanti. Bahwa perang Baratayuda harus terjadi? Batara Naradda menasihati Kresna. Aduh pukulun, seketika hamba tidak waspada, ketika para Kurawa datang bagai air bah mendekati kami dan Setyaki dengan senjata ditangan masing-masing. Maafkan hamba pukulun, ijinkanlah sekarang kami kembali ke Wirata Jawab Sri Kresna membela diri. 1 <<< ooo >>> Sebelum kembali ke Wirata, kembali Kresna teringat akan kesanggupannya menyampaikan sesuatu kepada Karna, putra Kunti dari kecelakaan dalam menerapkan ajian ajaran Resi Druwasa ketika itu, sehingga Kunti hamil karena ulah Sang Hyang Surya. Bertemulah Kresna dengan Karna, disampaikan salam dari sang ibu yang dalam hatinya tetap menyayanginya. Ketika Kresna dengan jujur mengatakan apa yang dilihatnya dengan mata hatinya, hati Karna merasa tersentuh. Akhirnya dia mengatakan hal yang menjadi rahasia hatinya selama ini. 1 Dalam versi pedalangan Mataraman dan Banyumasan, kala terjadi Triwikrama, Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari Tewas tertimpa tembok baluwarti. Dalam tulisan ini, Prabu Drestarastra sekalian Dewi Gendari akan diceritakan setelah perang Baratayuda usai. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 27

28 Kanda Kresna, mungkin hal ini tidak mengagetkan kanda. Tapi isi hati ini akan saya tumpahkan dihadapan kanda, sejujur-jujurnya tanpa ada yang aku simpan lagi Tutur Karna Basusena. Gb. 5 - Sri Kresna Triwikrama Sebenarnya kenapa adikmu berlaku seperti ini adalah, pertama, dinda bermaksud membalas budi kepada Prabu Duryudana atas kebaikan yang selama ini telah tertumpah kepadaku siang dan malam. Sepantasnyalah nyawaku aku pertaruhkan membelanya Mulailah Karna menjelaskan ikhwal atas apa yang terjadi sesungguhnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 28

29 Kedua, sewaktu dulu ketika saya bertempur memperebutkan senjata Kunta Wijayandanu, perang tanding kedua adikmu, antara saya dengan Arjuna telah disaksikan oleh Sang Hyang Naradda, bahwa bila nanti perang besar darah Barata terjadi, tanding itu akan dilanjutkan hingga satu diantaranya akan tewas, kanda. Dan hal itu sudah menjadi garis pepasti. Ketiga, angkara murka harus segera lenyap dari muka bumi, sebab itu niat adikmu ini adalah segera menjadikannya Baratayuda menjadi ajang tumpasnya angkara murka yang disandang oleh kakang Duryudana dari atas bumi Astina, kanda. Karna melanjutkan : Biarlah putra bibi Kunti ini tetap lima, seandainya nanti aku bertanding melawan Arjuna, dan salah satunya gugur dalam palagan nanti. Termangu Sri Kresna mendengar pengakuan jujur dari Adipati Karna, dirangkulnya saudara sepupunya, saudara dari orang tua kakak beradik antara ayahnya, Prabu Basudewa sebagai ayah sri Kresna dengan adiknya Kuntitalibrata sebagai ibu Karna itu. Setelah berjanji untuk tetap merahasiakan semua yang terucap itu. Minta dirilah Sri Kresna untuk pulang kembali ke Wirata. <<< ooo >>> Tersiar kabar luas bahwa Perang Baratayuda akan segera berlangsung. Para negara sekutu dari kedua belah pihak mulai bersiap datang dari berbagai penjuru dunia. Sementara itu sesaji tawur dihidangkan kepada para dewa junjungan dari kedua belah pihak. Sang Dursasana dipasrahi tugas untuk mencari manusia sebagai tawur bebanten sebagai syarat akan keunggulan dalam perang nanti. Berangkatlah Arya Dursasana mencari manusia yang sanggup dijadikan tumbal. Tanpa pilih-pilih lagi, ketika sampai di pinggir kali Cingcingguling, sepasang kakak adik kembar penambang (tukang menyeberangkan orang dengan perahu) Sarka dan Tarka, dirayu untuk dijadikan tumbal dengan janji anak istrinya bakal dimuliakan di negara Astina. Keduanya menolak, tapi Dursasana tetap memaksa. Dibunuhnya Sarka dan Tarka dengan keji. Sukma dua penambang itu melayang dengan sumpah akan membalas kematiannya segera. Dipersembahkannya tumbal itu keharibaan Batara Kala, yang dengan gembira menerima dan sanggup untuk menumpas Pandawa yang memang salah satu sukerta Baratayuda wayangprabu.com Hlm 29

30 yang berhak dimakannya. Berangkatlah Batara Kala diiringi harapan besar para Kurawa. Sampailah Batara Kala dikediaman para Pandawa. Heee... sudah lama aku mengidamkan makanan satria-satria trah Pandawa, sekaranglah saatnya tidak ada yang menghalangi. Kresna yang telah kehilangan kembang Wijayakesuma, tak akan mampu menghalangiku memakan darah daging Pandawa Kegirangan Batara Kala setelah mengetahui Kresna tak lagi mampu menghalangi maksudnya. Kresna yang ditakuti Kala bila hendak memangsa manusia-manusia sukerta, jenis manusia dengan ikatan kekeluargaan tertentu dan berbuat sesuatu yang ditentukan, yang dijanjikan ayahnya Batara Guru boleh dimakan, tak kuasa menaklukkan Kala dengan cepat. Seluruh kekuatan dan mantra Sri Kresna yang sekarang hanya memiliki satu dari sepasang pusaka sakti Cakrabaswara dan kembang Wijayakusuma, dapat ditandingi oleh Kala. <<< ooo >>> Kahyangan Ondar-Andir Bawana. Ketika itu Raden Wisanggeni, Putra Arjuna dari Dewi Dersanala, sedang menghadap Sang Hyang Wenang, ayah penguasa Kahyangan Jonggring Salaka, Batara Guru. Wisanggeni manusia setengah dewa karena ibunya adalah putri dari Sang Hyang Brahma, mengetahui apa yang sedang terjadi di Wirata dan mengajak bicara sang Hyang Wenang Kaki Wenang, sebenarnya Baratayuda itu jadi nggak sih? Kenapa kamu tanyakan itu Wisanggeni, bukankah garis besar cerita tentang kejadian dijagat ini kamu sudah mengetahui, kecuali nasib dirimu sendiri, tidak ada yang menghalangi kemampuanmu melihat ke masa depan Sang Hyang Wenang dengan sengaja mencoba menyelidiki kemauan Wisanggeni yang sebenarnya sudah ia pahami. Kalau begitu kaki Wenang, kenapa sekarang Kala memaksakan kehendak dengan menumpas Pandawa saat ini, kaki? sahut Wisanggeni dengan santai. Ya, aku sudah tau maksudmu, turunlah ke Wirata. Bawalah senjata gada ini sebagai ganti senjata andalan Kresna yang mampu mengalahkan Kala dalam maksudnya makan manusia-manusia sukerta Sang Hyang Wenang segera memberikan senjata gada kepada Wisanggeni. Nanti setelah selesai tugasmu segera kembalikan kemari lagi. Ada sesuatu yang aku hendak katakan kepadamu, Wisanggeni sambung Hyang Wenang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 30

31 Segera Wisanggeni melesat turun dari haribaan Sang Hyang Wenang. Gb. 6 Bambang wisanggeni (gaya Solo) Kresna yang kehilangan akal dalam membendung serangan Kala segera didekatinya dan diberikan gada pemberian Hyang Wenang. Uwa, kamu nggak akan bisa kalahkan Kala, bukankah uwa Kresna sudah tak lagi mempunyai sepasang pusaka andalan itu, wa? Lho kamu kulup, tahu saja orang tuamu ada dalam kerepotan, kemarikan gada itu kulup, biar aku hadapi kembali Batara Kala itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 31

32 Maju kembali Sri Kresna Menghadapi Sang Batara Kala. Kali ini tidak dua kali kerja. Ketika tanding kembali dan Kala lengah, gada inten segera menghajar tubuh Kala, dan segera Kala terkapar, bertobat dan mengaku kalah. Baiklah Kala, sekarang aku ampuni bila kamu tidak lagi lagi memakan dan mengganggu manusia sukerta. Sanggupkah kamu? Setelah menyanggupi syarat dari Kresna, pulanglah kembali Kala ke Pasetran Gandamayit. 2 Wisanggeni yang sudah berjanji untuk datang kembali ke hadapan Sang Hyang Wenang, kembali datang setelah menerima kembali gada pemberian pinjam itu. Kaki Wenang, sekarang aku sudah kembali, apa yang hendak kaki katakan mengenai hal penting itu kak i? tanya Wisanggeni. Wisanggeni, kamu pasti akan memilih Baratayuda akan dimenangkan para orang tuamu bukan? Hyang Wenang pura-pura bertanya. Itu sudah pasti, nggak perlu ditanyakan lagi kembali jawab Wisanggeni masih dengan santainya. Lanjut Sang Wenang: Apakah kamu rela menjadi tumbal atas kemenangan orang tuamu? Kalau kaki Wenang sudah menggariskan seperti itu, apa keberatanku sahut Wisanggeni. Ayolah kaki Wenang, sempurnakan kematianku sekarang Segera sang Hyang Wenang menatap Wisanggeni dengan tajam. Pandangan Sang Hyang Wenang diiringi tatapan yang fokus menyebabkan tubuh Wisanggeni makin mengecil dan mengecil, akhirnya menjadi debu tertiup angin. <<< ooo >>> Terkisah tiga orang manusia bernama Resi Janadi beserta kedua cantriknya Cantrik Rawan dan Cantrik Sagatra. Ketiganya bertekat untuk mati sebagai tawur para Pandawa. Maka menghadaplah mereka kehadapan para Pandawa. 2 Versi lain menyebutkan Batara Kala tewas saat itu bersama dengan Batari Durga ketika, Kresna yang menyamar sebagai Batara kala mengelabuhi Durga agar menyimpan gada inten pada kutangnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 32

33 Gusti, perkenankan kami bertiga hendak meraih kemukten swargaloka dengan perantara paduka. Ini kami lakukan demi kejayaan trah paduka nanti di dalam perang agung nanti begitu tutur Resi Janadi kepada Prabu Puntadewa. Prabu puntadewa adalah manusia pengasih, tidak dapat menolak memberi atau menerima apapun yang orang lain minta atau berikan kepadanya. Yayi Arjuna, segera berikan apapun maksud ketiga orang ini Arjuna menghunus Pasupati, dilepaskan panah hadiah dewata ketika bertapa di Gunung Indrakila. Panah dengan tajam berbentuk bulan sabit itu menghembuskan kobaran api dan membakar ketiga manusia yang dengan sukarela menjadi tawur dalam kejayaan Perang Besar Baratayuda. <<< ooo >>> Goa Selamangleng, sebuah negara para rasaksa dengan kerajaan yang dibangun dalam goa batu dilereng gunung. Jangan samakan goa itu dengan tempat kumuh dan kotor, namun sejatinya kerajaan goa itu indah mengagumkan, berhiaskan dengan batu permata mutu manikam nan gemerlap, bagaikan berebut sinar dengan sorot sang surya. Pagi itu sang penguasa, seorang raseksi, perempuan dengan sosok tinggi besar bernama Dewi Jatagini sedang duduk di balairung dihadap oleh anak semata wayangnya Kalasrenggi. Pemuda raksasa sebesar lumbung padi dengan muka seram bermulut manyun dihias gigi gerigi tajam, bak tajamnya batuan karang di lereng jurang pantai. 3 Kalasrenggi berketetapan hati untuk mengutarakan isi hati yang telah dipendamnya sedari kecil hingga menganggap sudah waktunya perasaan itu dimuntahkan dihadapan ibunya: Ibu, aku merasa sudah cukup waktu untuk mengetahui, siapakah sejatinya diri kami ini Kalasrenggi memulai pembicaraan setelah sekian lama terdiam ragu untuk mengutaraakan hal ini. Sedari kecil hingga dewasa, saya tidak pernah merasakan bagaimana rasa seorang anak dibimbing oleh bapaknya. Walaupun ajaran kesaktian kanuragan telah dipenuhi oleh ibunda yang sakti mandraguna, tapi rasa ini tidak dapat dibohongi, 3 Dalam versi Mataraman dan Banyumasan, anak Dewi Jatagini ada yang menyebutkan sebagai anak kembar, yaitu Kalasrenggi dan Srenggisrana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 33

34 rasa kedekatan anak lelaki dengan ayahnya adalah idaman setiap anak lelaki, ibunda sambung Kalasrenggi. Termangu dewi Jatagini mendengar penuturan anaknya yang sebelumnya diperkirakan pasti suatu hari akan menanyakan hal itu. Baiklah anakku, mungkin sudah saatnya aku beritahukan hal tentang kedua orang tuamu yang sebenarya, hingga kamu hadir didunia sekarang. Kemudian Jatagini menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hingga terlahir Kalasrenggi. <<< ooo >>> Syahdan, ketika itu kakak beradik Prabu Jatayaksa dan Jatagini muda sedang kasmaran. Prabu Jatayaksa merindukan Dewi Subadra, yang sudah bersuamikan Arjuna, sedangkan Jatagini kasmaran dengan satria penengah Pandawa, Arjuna. Jatayaksa berangkat ke Madukara sendiri hendak menculik Subadra, sedangkan Jatagini dengan diam-diam juga pergi dari Selamangleng hendak mencari Arjuna. Keduanya memang sakti mandraguna dapat menjelma menjadi siapa saja yang diangankan. Keduanya berubah menjadi orang orang yang dianggap dapat menaklukkan hati kekasih idamannya. Nasib berkehendak lain, mereka bertemu dan memadu kasih sekembalinya ke Selamangleng. Lahirlah Kalasrenggi kemudian, seorang anak dengan ujud raksasa. Curigalah keduanya dan berubah ujud kembali ke semula setelah saling mengaku kesejatian dirinya. Dendam Jatayaksa dengan seribu rasa atas dipermalukannya keluarga Selamangleng tertumpah kepada Arjuna. Berangkatlah dia dengan lasykarnya menuju Madukara. Pertempuran terjadi antara prajurit Selamangleng dengan Madukara. Pertempuran Jatayaksadan Arjuna tidak dapat dielakkan lagi. Kesaktian Jatayaksa yang hebat membuat Arjuna keteteran yang akhirnya melepaskan panah Ardadedali mengenai dada Jatayaksa dan tewaslah sang raja Selamangleng. <<< ooo >>> Itulah anakku kejadian yang sebenarnya, ayahmu yang juga uwakmu berpesan padaku, untuk memberikan segenap kesaktian kepada kamu, dan setelah kamu dewasa carilah Arjuna, balaslah dendam yang tertanam dalam-dalam didadaku ini, anakku pesan sang ibu mengakhiri penjelasan asal usul kejadian yang telah lalu itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 34

35 Ibu ijinkalah anakmu berangkat sekarang juga. Berikan aku ciri-ciri satria itu tidak seranta Kalasrenggi hendak menuntaskan dendam kedua orang tuanya. Sebenarnya keraguan Jatagini, harap akan keselamatan anaknya bercampur aduk dengan ijin yang diberikan. Baiklah, tetapi menurut prajurit pangisepan telik sandi, saat ini Pandawa sedang berada di Wirata dan kamu tidak dapat mengenali Arjuna kalau tidak aku beri ciricirinya sambung sang ibu, yang kemudian menerangkan ciri target utama balas dendam. <<< ooo >>> Adalah Bambang Irawan, yang baru turun gunung dari Pertapaan Yasarata atau Candibungalan. Cucu Resi Jayawilapa, memaksa turun gunung ingin mengabdikan diri demi kejayaan trah-nya, Pandawa, karena ia adalah anak Arjuna. Tanpa restu sang Panembahan dan ibunya Dewi Manuhara, Bambang Irawan berangkat ke Wirata seorang diri. Setelah bertemu dengan ayahnya dan para saudaranya yang lain, Irawan menyatakan kesanggupannya menjadi bebanten bagi kejayaan keluarga, keluarlah Irawan dari balirung dan berkumpul dengan para prajurit yang siap siaga menuju tegal Kuru keesokan harinya. Nasib naas menimpanya, ketika Kalasrenggi yang tengah berupaya mencari tahu keberadaan Arjuna melihat satria dengan ciri ciri yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh ibundanya. Kalasrenggi rasaksa sakti yang dapat terbang itu segera turun, dan tanpa ba bi bu menyambar leher Bambang Irawan dengan moncongnya. Putus leher satria muda itu. Namun sebelum itu, sempat Bambang Irawan menancapkan pusakanya kedalam dada Kalasrenggi. Gugurlah Bambang Irawan berbarengan dengan lepasnya nyawa Kalasrenggi. 4 <<< ooo >>> 4 Terdapat versi lain yang menyebutkan, Kalasrenggi tewas oleh pusaka panah Srikandi ketika ketahuan membunuh Bambang Irawan, Pada babak awal Baratayuda. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 35

36 Episode 3 : Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama itu Gb. 7 Perang Baratayuda (serat Baratayuda) Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat. Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa-rawa. Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya. Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok bagaikan kelompok kembang setaman. Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan pesta, indah dipandang mata! Debu akhir Baratayuda wayangprabu.com Hlm 36

37 kemarau membubung tinggi dibelakang barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat. Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang. Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya. Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap. Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita berwatak prajurit. Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Drupadi bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana. Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan. Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi. Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya kembali menyusul raja-raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci ini. Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 37

38 Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai istana. Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu. <<< ooo >>> Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan. Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya mesanggrah di Karangpandan. <<< ooo >>> Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke Randuwatangan. Kanjeng Ibu, putra-putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan. Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya Anak anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan. Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak Pandu adalah anak-anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu masih kecil Baratayuda wayangprabu.com Hlm 38

39 Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura, paman para Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina. <<< ooo >>> Gb. 8 Senapati Bhisma (Dewabrata) Baratayuda wayangprabu.com Hlm 39

40 Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati. Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna. Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas Pandawa yang tidak tahu tata. Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati. Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi senapati pertama. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin. Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding. Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam relungnya. Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, inilah saatnya bagiku untuk mengunduh segala pakarti yang aku pernah perbuat dimasa lalu. Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan. Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke alam tepet suci. Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja Wirata yang sama-sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Baratayuda wayangprabu.com Hlm 40

41 Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa. 5 <<< ooo >>> Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan. Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga. Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati memberikan usul Anak-anak dan cucu-cucuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak-anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar para Kurawa dan sraya prajurit dari Trikarta Prabu Susarman. Demikian Matswapati membuka usulannya. 5 Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata. Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 41

42 Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak-anakku. Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian. Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi. Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Untuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka. Kresna memberikan ketetapan. 6 Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal. Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut. Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa. Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai aturan. 6 Pada versi lain, majunya Resi Seta ke palagan terjadi ketika Utara dan Wratsangka telah tewas dan terpancing kemarahan Resi Seta saat jugar dari tapa tidur. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 42

43 Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu-waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka disisi kiri dan kanan. Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu. Gb. 9 Arjuna dan Kresna (karya Herjaka HS) Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan, paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat demikian sang Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya. Lanjutnya Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 43

44 Iparku, bukankah sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah kenyataannya Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna. Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna. Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku agungkan? tanya Arjuna. Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna Kresna menjelaskan. Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit. Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya. Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak Baratayuda wayangprabu.com Hlm 44

45 heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak Wratsangka. Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur perang. Wratsangka tewas..., Wratsangka tewas.....!! teriakan para prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya. Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka. Gb. 10 Wratsangka (gaya Solo) Baratayuda wayangprabu.com Hlm 45

46 Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas. Gb. 11 Rukmarata (putra Prabu Salya) Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna. Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 46

47 Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. Jagad dewa batara..!, anakku., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger. Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya. Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar, mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang. Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!! Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati. Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari. Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit. Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma madeg senapati. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 47

48 Episode 4 : Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra Gb. 12 Resi Seta Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang di langit berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari kembang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 48

49 Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari raga. Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan dendam kematian adik-adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga. Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan kematian kedua adikku. Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung. Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali. <<< ooo >>> Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur. Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu. Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya, dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak kembar penggedor pertahanan lawan. Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa. Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk. Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk, sementara Kartamarma selamat. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 49

50 Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping. Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng Durna menyingkir mencari selamat. Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik-adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan dari dendam membara Seta. <<< ooo >>> Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung-burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari. <<< ooo >>> Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa diatas angin Seta sesumbar Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun setapak. Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah. Bisma tidak mau kalah menyahut. Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam. Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 50

51 <<< ooo >>> Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan, Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger...! Gb. 13 Dewi Gangga Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan dandanan serba putih. Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini. Dewabrata menjawab dengan seribu tanya. Wanita itu menggeleng Bukan..., akulah Gangga ibumu Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu merindukan wajah itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 51

52 Ya, akulah ibumu ini, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu. Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu sewaktu masih bayi. sambung Sang Batari. <<< ooo >>> Beginilah cerita singkatnya ngger anakku : Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya. Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu kehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta. Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu. Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersamasama. Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang dirasa kelewat berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di bengawan Gangga. Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat baginya. Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga disanggupinya permitaan yang satu itu. Hari berganti, bulan berlalu dan tahun-tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan. Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran Baratayuda wayangprabu.com Hlm 52

53 ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku. Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari, hingga terucap kata-kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam kawidodaren. Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya. Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya. Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda Matswapati. Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang Pandawa, dan Sentanu. Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba. Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..? sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini. Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam lautan. Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu! Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempuran, Aku bekali dengan senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu. Kasih ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan. Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama-lama melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit. <<< ooo >>> Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 53

54 Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat? Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta. Hmm..., Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak menyerahkan nyawa? Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar. Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah, jatuh kebumi seiring muncratnya darah dari dada sang satria. Gb. 14 Seta terkena panah Bisma Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan mata. Sementara itu, para Pendawa dan anak-anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta membuka mata, Cucuku Pendawa..... sudah tuntas Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang kebenaran ada pada pihakmu..... Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 54

55 Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah prajurit wanita Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan. Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat. Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar terhindarkan. 7 Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap. Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna! Matswapati memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang. Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten? Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara. Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan. 7 Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 55

56 <<< ooo >>> Episode 5 : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta Gb. 15 Akhir hidup Bisma (versi India) Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina. Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat kemenangan akan segera datang. Lanjutnya Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 56

57 Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma?!! berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan. Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan. Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!. Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!! Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan. Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup kedalam. Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum. <<< ooo >>> Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi Baratayuda wayangprabu.com Hlm 57

58 pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung. Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara panjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora. Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga. Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu. Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu-waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata. Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa. Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim kemarau panjang. Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh mengerikan. Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin Baratayuda wayangprabu.com Hlm 58

59 membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang. Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan. Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma. Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa. Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan. Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan. Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar! Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat. Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?! Srikandi maju mendekat dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya. Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya yang terakhir Prabu Kresna mengawali penjelasannya. Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma...?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 59

60 Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya.....! Tersenyum Prabu Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi. Gb. 16 Wara Srikandi Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh suaminya, Arjuna, Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata?! Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata? Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu! Prabu Kresna masih sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra. Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna. Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang lengan istrinya dan mengajaknya dengan lembut Ayolah istriku, jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 60

61 Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang. <<< ooo >>> Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan. Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum. Dalam hatinya mengatakan Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do a ibundaku. Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini. Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulanbulan tanpa henti. Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi. Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya, Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini. Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 61

62 Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra. Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang membuncah. Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini memangku bersama raga pepunden mereka. <<< ooo >>> Gb. 17 Resi Bisma menanti ajal dikelilingi Pandawa dan Kurawa Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata. Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 62

63 Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing-masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini. Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu!! perintah Prabu Duryudana gemetar. Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya. Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata Bukan itu ngger yang aku mau... Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang. Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi. Tersenyum Bisma merasa puas Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit....! Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang senang. Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar-bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah-patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes. Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan anggur merah segar. Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman. Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali menolak pemberiannya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 63

64 Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia memerintahkan kepada adik-adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang, Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing...! Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu. Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya. Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali. Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum. Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 64

65 Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar-sebentar mengelus dada, sebentar-sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap-usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memakimaki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya. Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya. Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh. Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan, Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas 8 dan tak terhitung raja-raja serba 8 Pada nama nama ini, diceritakan, saat diadakan penimbangan bobot antara Pandawa dan Kurawa dengan tujuan siapa yang lebih berat akan diberi kekuasaan memerintah Negara Astina, atas akal-akalan Sangkuni. Sangkuni berpikir tidaklah Kurawa yang berjumlah seratus akan lebih ringan dari Pandawa yang hanya lima orang. Ketika para Kurawa sudah naik semua ke batang traju, semacam timbangan dengan sebatang gelagar panjang dengan satu poros ditengahnya kemudian Bondan Paksajandu, Werkudara muda, naik dengan gerakan tiba tiba sehingga banyak Kurawa yang terpental jauh keseberang lautan. Termasuk didalamnya nama-nama ini, yang akhirnya mereka berhasil di pengembaraannya dan menjadi raja disana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 65

66 mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina? Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung. Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah. Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar Gb. 18 Pandita Durna Baratayuda wayangprabu.com Hlm 66

67 Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan-akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya. Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melanjutkan Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini. Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Semua sudah menanti titah paduka, angger Prabu. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti. Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri-seri. Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa. Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar. Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna. Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu-satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 67

68 Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan. Sekarang bagaimana caranya? kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa, Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana, Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana. Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar? Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini. Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari! sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya. Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah Apakah peran kami berdua? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa? Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan. Naaa... Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 68

69 Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari. Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka. Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma. Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa. Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa. Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini? Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka. Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran. Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 69

70 Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti.prabu Kresna mengingatkan. Dengan tegas Drestajumna melanjutkan Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh. <<< ooo >>> Gb. 19 Drestajumna (gaya Solo) Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak Baratayuda wayangprabu.com Hlm 70

71 prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari-hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran. Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana. Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura. Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!! Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi Ayo..! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu. Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya. Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra. Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 71

72 leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan teriak prajurit Kurawa. Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit Gb. 20 Prabu Gardapati Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 72

73 Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna. Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini. Ucap Drestajumna memelas. Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati. Lho..! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna. Katanya lagi Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan. Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas. Baiklah..! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini Kresna membuka nalar Drestajumna. Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini? Sambar Drestajumna. Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia Sri Kresna memberi putusan <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 73

74 Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami. Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi demikian keluh Utari kepada suaminya. Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun hibur Abimanyu. Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari. Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku juga mau hamil kakang Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang. Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan. Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati. Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra. Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik. Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 74

75 Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah. Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu. Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 75

76 Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna. Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger! sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya. Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya, Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua-orang tua kami Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru Perintah sang uwa Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan Pinta Abimanyu Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun? Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna. Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut! Demikian putusan Sang Senapati. Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar-kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi. Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki Baratayuda wayangprabu.com Hlm 76

77 penunggangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan. Gb. 21 Bambang Sumitra (gaya Solo) Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 77

78 Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah. Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna. Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara. Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa. Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai. Kelihatanlah kekuatan masing-masing pihak, tak lama kemudian. Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 78

79 Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi. Gb. 22 Dewi Utari Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi. Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka! kata-kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 79

80 Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian. Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan, Weleh....,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa..!. Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya, Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni? Eee... kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju! Sangkuni mengamini. Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterusteruskan, maka akan kalah kita. Minta pendapatnya nak angger Adipati! Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu. Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu!. Jawab Narpati Basukarna sekenanya. Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini Durna mulai membuka strategi. Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan? berat hati Karna menyahut. Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita Pandita Durna menjelaskan strateginya. Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang. Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara Baratayuda wayangprabu.com Hlm 80

81 orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu. Gb. 23 Siti Sundari Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu: Berhentilah anakku bagus..!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat... Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan. Apakah sungguh begitu uwa Narpati.! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan Bangga Abimanyu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 81

82 Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya. Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan. Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi Tutur Adipati Karna. Terkekeh-kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan. Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan. Heh para Kurawa..!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju!!. Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar. Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi-tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu. Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 82

83 memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang. Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek! Gb. 24 Lesmana Mandrakumara Baratayuda wayangprabu.com Hlm 83

84 Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun. Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya. Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara. Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa. Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya. E.. e.. e..., Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu. Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain-main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya. Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir, sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 84

85 Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing. Gb. 25 Abimanyu Ranjap Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya, sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi. Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 85

86 tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu. Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang. Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 86

87 Episode 8 : Ricuh di Bulupitu Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna. Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh. Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan. Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu. Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam. Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam. Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara-saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu. Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru. Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut! Arjuna menyahut dengan gerakan hati-hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam. Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 87

88 lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa. Gb. 26 Werkudara Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 88

89 Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan. Gb. 27 Arjuna Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia. Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya. Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 89

90 <<< ooo >>> Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu-satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar-sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas. Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang-orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya. Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga. Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh. Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya. Paman Harya Sangkuni! Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab. Daulat sinuwun memanggil hamba Ini siang atau malam? Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya. Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 90

91 Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa. Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini. Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan. Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya nyakrawati mbahudenda di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan. Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri. Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya. Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita-cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda. Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba-tiba menjadi ketus. Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik! Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug Baratayuda wayangprabu.com Hlm 91

92 siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya! Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa. Gb. 28 Prabu Duryudana Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya. Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya. Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 92

93 Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan. Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun. Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya. Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan. Krepa memancing. Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan. Penasaran, Prabu Duryudana menyahut. Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa. Mendapat angin, Krepa makin percaya diri. Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan. Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 93

94 Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki. Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang. Gb. 29 Resi Krepa Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong. Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!. Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar. Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 94

95 Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya. Maksud paman Krepa? Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing. Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya, Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa, sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya. Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang. Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan. Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!. Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya. Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana. Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 95

96 Mengapa diumpamakan begitu? Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan. Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun. Kemudian sambung Durna memohon. Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa. Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman. Pesan Prabu Duryudana. Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran. Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan. Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat! Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh! Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi! Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas!. Sumbanglah para Kurawa dengan ide-ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku!! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 96

97 Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu. Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga. Prabu Duryudana menyahut mengamini. Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati. Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata-kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku. Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi. Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana. Mohon maaf yayi prabu Duryudana. Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas. Kakang Prabu kami minta pengayoman Apa dasarnya. Jawab Karna. Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar. Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya. Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini. Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan. Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 97

98 Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika. 9 Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban. Gb. 30 Aswatama Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya. 9 Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 98

99 Aswatama memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun-ubun. Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari. Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya. Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama. Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu! Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena. Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama. Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu! Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah. Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya. Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil! Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk. Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 99

100 Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng. Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati. Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai memadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir. Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai-lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berebut dengan sinar rembulan. Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun. Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu. Sembah bektiku kepada kakanda prabu. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana. Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah. Kenapa begitu bicara kakanda Prabu? Sang Dewi seolah tak mengerti. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 100

101 Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku. Gb. 31 Banowati Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya. Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi Baratayuda wayangprabu.com Hlm 101

102 menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan. Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan! Tukas sang dewi. Ya, terus terang saja...., rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku. Jawab Duryudana terus terang. Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan. Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini?. Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya.banuwati menjawab singkat. Sukurlah. Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu? Pertanyaan basa-basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana. Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun. Jawaban basa-basi membalas pertanyaan suaminya. Ya!, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya. Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali? Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak. Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana! Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tak sabar Banuwati mengejar. Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu? Nanti dulu...., akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu.... Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 102

103 waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang-panjangkannya. Yayi kanjeng ratu..., memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi. Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap anunya sendiri! Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai-sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya. Aku tidak mengerti Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang. Anunya itu, artinya keponakannya sendiri Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri. Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna Pelahan Duryudana memberi penjelasan Lalu siapa? Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu. Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan!!. Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya. Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya!. Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali Baratayuda wayangprabu.com Hlm 103

104 Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan! Jawab Banuwati ketus. Salahku ada dimana? Dikerasi istrinya, Duryudana melembek. Paduka itu kurang waspada sinuwun, kali ini ia menyalahkan suaminya. Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku. Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani-beraninya maju ke peperangan!. Ia memberikan alasan. Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka! Kembali Banuwati menyalahkan anaknya. Begitukah? Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini. Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa? Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain!. Kekesalan Banuwati mulai mengungkit-ungkit peristiwa lama. Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua.? Jadi anak kok begitu sialnya!, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya?! Tak mau berlarut-larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu!. Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu-sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya. Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marahmarah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan..! Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela-sela sedunya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 104

105 Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri-istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia. Setengah sugal, Duryudana menjawab. Itu bukan urusanku....!, itu bukan perkaramu!. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat!! Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling....! Kali ini Prabu Duryudana yang marah-marah, Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh?. Hamba manusia juga sinuwun. Mencoba berkilah Banuwati. Ya memang!. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya. Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan!. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya. Makin tak senang, ditantangnya istrinya berdebat. Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa? Paduka berkata begitu itu atas dasar apa?! yang diajak berdebat malah makin galak. Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu!. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya!. Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang-orang yang terbuang sebenar-benarnya! Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya!. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 105

106 Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri. Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali? Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati. Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan! beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin. Hamba tak mau mengalahkan sinuwun! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya?! Jawab Banuwati dengan nada tinggi. Memang begitu! kembali ketus jawaban Duryudana. Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri! Jawab Banuwati terus terang. Perkara yang mana? kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam. Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya. Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga!. Tunggu apa lagi, katakan! Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya. Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya?. Tidak pernah! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta!. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa?! Bagai bendungan yang jebol, segala unek-unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 106

107 Aku tidak peduli.....! Aku tidak peduli...! Tetapi aku juga peduli!! jawab Duryudana tandas. Silakan sinuwun mengatakan! kali ini Sang Dewi yang menantang. Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah!. Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu?! Saling bantah makin seru. Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan!. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi. Namun kembali ia dicecar pertanyaan. Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan! Bagaiman mengenai sebelum itu? Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina! Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut. Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang. Baik..., kapan?! Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya.. Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka!. jawab senang Banuwati Kamu menantang?! gertak Prabu Duryudana. Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan! Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya. Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas. Mau kemana? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 107

108 Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka?! masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik. Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu. Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana..... <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 108

109 Episode 10 : Sihir Sakti Sempani Gb. 32 Bogadenta Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 109

110 Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang. Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping senapati. Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri-seri. Kehormatan sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka. Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi. Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara. Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu. Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya. Kembali Pendita Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. Bukankan anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna. Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung? Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung!. Durna memutus. Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 110

111 Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah!. Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara. Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya. Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna. Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin. Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu. <<< ooo >>> Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi. Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan peperangan dihari itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 111

112 Segera setelah barisan lawan masing-masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha. Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan. Heh Setyaki! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati!. Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi disela-sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya masing-masing. Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala. Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan-akan menjadi bulan-bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak. Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti-ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia-nyiakan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 112

113 kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya. Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya. Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti. Dengan mengendap-endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku?! Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya. Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma?! Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya. Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama?. Dari ciricirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa! Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik. Akulah Wiringsakti! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang Bisma! Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati- Duryudana, bila berhasil nanti. Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma! Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada Baratayuda wayangprabu.com Hlm 113

114 dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat-cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu. Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa. Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya. Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja, Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban. Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah-tambah liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu-tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban. Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing-masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Baratayuda wayangprabu.com Hlm 114

115 Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan. Gb. 33 Jayadrata Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata. Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 115

116 Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang? minta penjelasan Patih Sengkuni. Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham!. perintah Durna Kumbayana. Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu, Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata. Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan. Saya tidak takut dengan Werkudara. Kenapa saya harus diminta mundur?! Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata mundur dahulu Durna memberikan pengertian. Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa kembali Jayadrata mengemukakan keberatannya. Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger! Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya, Sempani. Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke pesanggrahan kami ini? Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa Sangkuni memulai penjelasannya. Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya. Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 116

117 Andika meremehkan anak saya? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak! Kami keberatan untuk menerima anakku! Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan. Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia-sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna. Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya. Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu. Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena. Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya. Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu! Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 117

118 Episode 11 : Terjerat Jerat Cinta, Arjuna- Murdaningsih Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata- Tirtanata. Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun-tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa. Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata. Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi? Wisamuka memancing ibunya ketika basa-basi telah usai dibicarakan. Apa maksud pertanyaanmu anakku? terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga. Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya. Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak Jawab sang ibu akhirnya. Bila demikian, cita-cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat Baratayuda wayangprabu.com Hlm 118

119 Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya. Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu-satunya. Gb. 34 Dursilawati Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak-abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal-akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya Bicara Wisamuka, tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka. Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 119

120 Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan. Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya. Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu! Larang ibunya. Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak! Sekaranglah saatnya! Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya. Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu? dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya. Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku? Wisamuka malah kembali bertanya. Bukan! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya. Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu Kembali anaknya membantah. Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata. Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu?. Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 120

121 Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dihalangi jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir. Kenapa demikian? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya bertemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong. Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya. Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya. Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku. Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya. Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang? Kemana sajakah selama ini? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu? Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu. Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu!. Jangan main-main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 121

122 Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana. Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya. Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi-tubi ke dada Arjuna. Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main-main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding. Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup-hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya. Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang. Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu-satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni. Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu. Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati. Sekarang bangkitlah rama! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 122

123 Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia. Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan. Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna. Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna. Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka. Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati. Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya. Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada. Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau Baratayuda wayangprabu.com Hlm 123

124 harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak-geriknya. Gb. 35 Wayang Gajah Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini? Pikir Arjuna. Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya. Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi? sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya. Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri-ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 124

125 Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang. Episode 12 : Teror Kepala Jayadrata Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada. Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi. Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah. Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika? Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya. Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata-kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi? Aku Arjuna penengah Pendawa. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri. Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai-sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak? Bahagianya hatiku, karena tidak sia-sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban. Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya? kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 125

126 Masihkan aku perlu menyebut namaku? Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya. Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu.sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan. Gb. 36 Murdaningsih, Gajah Murdaningkung dan Arjuna Eeh, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk! Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna. Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal Arjuna menyanggah. Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh-jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya. Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi? pancing Arjuna. Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 126

127 Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala-galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja-puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu. Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih. Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun-ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung. Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis. Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian. Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya. Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya, muncul ditengah kejadian. Tahulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya. Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna. Sekarang aku ambil alih peran kamu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 127

128 Arjuna,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana.! Siapa kamu! tanya Arjuna penasaran Prabu Bogadenta dari Turilaya. Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku. Arjuna menantang. Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah! Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu. Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya. Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga-tiganya saling bisa menolong sesama kawannya. Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari. Aduh adikku, ternyata kamu ada disini! Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh Sembah baktiku kanda Penuh selidik Prabu Kresna berkata Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad. Kanda, adikmu minta pengayoman Tercetus kata pasrah Arjuna. Apa yang bisa aku ayomi jawah Kresna. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 128

129 Saya keteteran menghadapi lawan-lawan itu. aku Arjuna Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu?. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu. Terpaksa kanda. Sekenanya Arjuna menjawab. Penyakitmu belum sembuh sembuh juga! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan!. Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan. Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu. Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya. <<< ooo >>> Sampai ke palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur. Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan. Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru-buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 129

130 Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya. Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah. Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri!. Gb. 37 Prabu Kresna (Pakualaman) Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 130

131 Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna Begitukah? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu? Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya. Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya. Tersenyum Prabu Kresna. Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan! Bila memang itu maumu ayo ikut aku! Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam melihat tempat persembunyian Jayadrata. Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu? Itulah tempat berlindungnya Jayadrata! Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu? Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci! Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata. Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan. Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara-saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa. Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna. Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya. Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 131

132 yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna. Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung, bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada. Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana. Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja. Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan-bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani. Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu. Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup! Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu! Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku! sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran. Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 132

133 Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. Hiduplah Jayadrata, jangan mati. Berulang kalimat ini diucapkan. Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal-akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar. Gb. 38 Jayadrata (Jogja) Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, Matilah Jayadrata! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya Baratayuda wayangprabu.com Hlm 133

134 yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal-akalan yang dilakukan Kresna. Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi. Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk. Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan. Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat. Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata. Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana, ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu... <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 134

135 Episode 13 : Akhir Dendam yang Terpendam Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela-sela perang, dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang diwajah kusut sang Prabu. Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya, tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati. Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau yang diletakkan diatas pedupaan. Segera disulut dengan api secara hati-hati, namun berkali-kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya. Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar-akaran, mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata. Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma yang melayang dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa. Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia gagal Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 135

136 Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk didadanya. Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari. Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka. Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati? Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya! Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata! Itukah yang andika telah lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati. Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan? Taklah itu seimbang dengan gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati! Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi-tubi, malu dalam hatinya. Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata-katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati. Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin. Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata-katamu tadi? Salya yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang-orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 136

137 Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni Paman Harya, segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu. Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang, sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama? Gb. 39 Patih Sengkuni (Solo) Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia, Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu. Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti. Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna. Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama. Malam gelap itu ia Baratayuda wayangprabu.com Hlm 137

138 ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra. Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti-ganti terasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama-sama murid dari Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan. Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke peperangan sebagai senapati. Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan. Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana Mandrakumara. Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu? Duryudana membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya. Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa. Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati. Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada Dursasana. Jauh dari yang kamu harapkan. Tegas kata sang Prabu. Hah... bagaimana sebenarnya?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 138

139 Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana. Makin tak mengerti ia mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang? Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama saja. Gb. 40 Dursasana (Jogja) Tidak puas Dursasana menawar Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana? Kalau boleh kali ini hamba menolak perintah paduka Baratayuda wayangprabu.com Hlm 139

140 Apa kamu tidak takut aku? tanya Duryudana mempengaruhi adiknya. Takut? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat. Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa-apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap adiknya. Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya. Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita. <<< ooo >>> Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi buta. Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera bersiap menghadang. Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera menyelonong kehadapan Arya Werkudara. Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 140

141 Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki. Yang paling utama adalah tekad! jawab Setyaki yakin. Tekad tidak cukup! kembali Werkudara menjawab Jadi harus bagaimana? tanya Setyaki memancing. Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu! Werkudara menawarkan cara. Gb. 41 Setyaki Silakan kanda Arya! Setyaki bersiap diri. Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas menghadapi Burisrawa. Ujian pertama ditawarkan. Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat gada super berat Arya Bimasena. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 141

142 Bagus, kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting! Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga. Tapi itu belum cukup! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang!. Kembali ujian kedua ditawarkan. Silakan kanda. Kembali Setyaki bersiap diri. Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming. Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya. Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh! Werkudara memberi aba-aba Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu. Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu! Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan. Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng! Tidak mungkin kamu mengalahkan aku! Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu!. Apa yang kamu andalkan? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu! Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga! Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki. Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 142

143 Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada. Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian dan menyadap kekuatan alam. Gb. 42 Burisrawa Baratayuda wayangprabu.com Hlm 143

144 Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa. Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu tahu, betapa sakitnya berani-beraninya melawan Burisrawa!. Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong. Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak-anakmu. Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati..! Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu. Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah. Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika Burisrawa. Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi. Huh Burisrawa...! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang! berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa. Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa? Kresna yang menyusul kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki. Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini! kebanggaan Setyaki belum habis juga Baratayuda wayangprabu.com Hlm 144

145 Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu? tanya Kresna. Oooh..... jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya? Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir, lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak terima! Buru-buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa. Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang. Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 145

146 Episode 14 : Mahalnya Sebuah Harga Diri Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi Banowati mencoba menyenangkan hati dengan berjalan-jalan ditaman sari. Taman yang jalur jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan keemasan. Diterpa sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar semburat bagai warna pelangi. Disuatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang Dewi duduk diatas batu marmer putih mengkilap yang direka pokok kayu. Terpesona sang Dewi memandang taman yang asri itu dengan berbagai macam tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata teliti, berpasang-pasang, serasi warnanya dengan paduan bunga-bunga yang harum mewangi. Tidak hanya dalam jambangan, bungabunga perdu juga menghias hamparan taman bergerombol disela sela rumput lembut. Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat. Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu. Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim. Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya yang hari-hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah-mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi Baratayuda wayangprabu.com Hlm 146

147 malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak. Basa basi sang Dewi bertanya, Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku?. Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati. Dursasana menghaturkan baktinya. Apakah perang sudah selesai? tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi. Gb. 43 Banowati Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke istana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 147

148 Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan. Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya. Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas. Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan cenderung ugal-ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan-bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan. Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir Banuwati Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia akan dibunuh. Kalau Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu sendiri Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan, Yang kedua, adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana. Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran sepuh yang sekarang dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan harus dikembalikan ke istana. Terus terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda Banowati. Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa curiga terhadap aku, begitukah? Banuwati mulai kesal dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah ini buntut dari kericuhan kemarin ketika suaminya datang? Ya, kira-kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada kanda Prabu, karena saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak akan sanggup menolak. Dursasana sudah mulai Baratayuda wayangprabu.com Hlm 148

149 jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan sebelumnya. Suasana yang paling tidak disenangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun dimatanya ada sinar yang warna cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet berracun. Hal inilah yang membuat Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser-geser mencari posisi yang enak, namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman. Gerah rasa seluruh tubuhnya, walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa uap embun yang baru saja kering. Tak urung keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya. Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan! Kamu itu jadi seorang satria kok begitu bodoh, begitu dungunya! berubah menjadi galak Dewi Banuwati. Suasana indahnya taman sudah hilang dari perasaannya. Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-bodohkan, didungu-dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan.. Dursasana menyabarkan diri. Mungkin bila ini bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah atau bahkan tangannya sudah melayang. Tabiat Dursasana yang tidak sabaran sebenarnya sudah mencapai ambang batas kekuatan menahan, namun rasa hormat kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi mengorbankan habis sifat urakan yang menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya yang biasanya tak pernah diam seakan terkunci ketat erat. Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu seharusnya berperang. Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke istana. Kenapa kamu menerima perintah itu dengan begitu lugunya. Apakah itu bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan tumpahnya darah! Menudingnuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang. Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak, Dursasana menjawab Bukan itu kanda Dewi, yang memerintah tidak salah, yang diperintah juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah dimarahi seperti ini? Tapi terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran dimasa datang. Dan takut hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan kemurkaan kanda Prabu Duryudana. Masih mencoba sabar Dursasana. Dan bila hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati. Duh.. sumbarmu! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat panasnya besi membara! Sinis dewi Banawati berkata. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 149

150 Dapat hamba buktikan! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria bodoh yang takut perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah untuk menjagai wanita, yang terjadi sebenarnya adalah....., kanda Prabu itu orang yang kelewat sabar... Berhenti sejenak Dursasana ragu mengatakan, namun sejurus kemudian ia melanjutkan Tidak ada orang yang sabar didunia ini melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang sangat berbisa, yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya akan membuat gatal orang senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya bentuk dan rupanya yang cantik saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan.... Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa? bagaikan mendidih, darah diubun ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya. Nanti dulu.., kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat tanaman berbisa yang dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati, yang sebagai istri kanda Prabu, sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar-benarnya. Tetapi hal itu hanya terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang dinegara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri. Keterus terangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya. Ia melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat Bagaimana? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, dihatiku cinta sama siapa? Banuwati menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan oleh adik iparnya itu sebenarnya dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih hendak mencoba mencocokkan dengan perkiraannya. Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi karena kanda Dewi sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang tersimpan dihati kelamaan akan menjadi penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek-unek dihati hamba. Dibawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi hatinya. Terlanjur basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan yang sampai kepada kakak sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya nanti. Kebiasaannya dalam berpikir pendek, menjadikannya ia meneruskan kata-katanya dengan lancar. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 150

151 Saya memperhatikan setiap kali ada perang tanding antara Kurawa dan Pandawa, bila ada warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan membagi bagikan hadiah kepada abdi dalem dan siapapun. Itu salah satu buktinya. Sebaliknya? Contoh terakhir, ketika putra Paduka, Lesmana Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri, tetapi ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya! Maka pada setiap semedi, paduka kanda Dewi selalu memohon dewata, kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah serta musnah. Dengan demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi untuk menjadi keset Arjuna. Iya kan? Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati Dursasana tercurah. Keparat kamu Dursasana! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan. Ketahuan kamu sebagai satria yang takut darah, malah menguak rahasia orang lain. Kalau memang kamu sebagai satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna, berani kamu? Habis kesabaran Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan dengan tidak malu-malu lagi. Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur sejangkah! Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin membakar perasaannya. Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai beralaskan paku membara. Sumbarmu! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan Arjuna, bila sudah terjadi kodok memakan liang nya! Banuwati yang sudah terkena dengan telak isi hati dan kelakuan dibelakang suaminya serta bosan dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik badan meninggalkan Dursasana yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata-kata kakak iparnya. Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya seakan ia sudah terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian Banuwati dengan berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi panas. Kena kamu Banuwati! lagakmu seperti orang yang suci, tidak menengok ke tengkuk sendiri menuduh orang yang tidak tidak. Aku buka rahasiamu, mencakmencak seperti orang kalap. Kamu anggap aku ini apa? Kalau kamu bukan istri kakakku sudah aku Huhh..! Apakah aku kelihatan seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak tebal mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku? Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuktikan kata kataku. Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal kepala Arjuna, sekaligus semua saudaranya. Panas hati Dursasana Baratayuda wayangprabu.com Hlm 151

152 membawa keputusannya untuk kembali melangkah ke hamparan padang Kuru. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 152

153 Episode 15 : Kala Kalabendana Menjemput Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka. Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara-negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan Lembusaka. Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar Randuwatangan malam itu benar-benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya sampai ketelinga penghuni Randuwatangan. Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa malam itu Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda Baratayuda wayangprabu.com Hlm 153

154 Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu. Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan. Gb. 44 Gatotkaca (Solo) Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju? Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya. Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini?. Sahut Werkudara. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 154

155 Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk menghadap hyang widi wasa. Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas Gatutkaca? Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna. Gb. 45 Gatotkaca (Banyumas) Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia-sia. Kejadiannya akan tercatat Baratayuda wayangprabu.com Hlm 155

156 dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu? kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya yang masih saja ragu. Aku menurut apa kata-katamu Werkudara akhirnya merelakan. Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga. Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana. Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga. Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata pamitan terakhir kalinya. Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata-kata keponakannya itu. Kata-kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya. Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi. Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi senapati. Kata- Baratayuda wayangprabu.com Hlm 156

157 kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda senapati. Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh pamanpaman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan mobat-mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir yang menyambar-nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan. Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas. Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya. Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca. Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam dan sama-sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat. Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang. Segera Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera Baratayuda wayangprabu.com Hlm 157

158 serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani. Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala. Gb. 46 Gatotkaca Gugur Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna. Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 158

159 Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus. Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya. Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara. Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena tegal Kuru malam itu. Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca. Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa. Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga. Takzim Gatutkaca menghormat pamannya. Oh, paman... Aku tidak mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap pamannya. Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu? senyum sang paman menanyakan permintaan keponakannya. Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak-banyaknya, hingga perang malam ini berakhir. Jawab Gatutkaca mantap. Baik aku bisa melakukannya! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 159

160 Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke surga bersama kemenakan tersayang, hari ini berakhir. Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya. Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar. Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang terhenti! Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan. Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar menunda dendamnya. Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. Mari kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya. Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi disana! Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 160

161 Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya. Maka upacara segera dimulai. Gb. 47 Dewi Arimbi (Putri dan Raseksi) Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 161

162 Episode 16 : Drupadi telah meluwar Janji Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap saja terjadi, setelah kematian Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan pegangan diri, kali ini Sang Bima Sena-pun mengalami hal yang sama. Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya sendiri. Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam itu adalah atas niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu. Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga telah merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan dan mengalami perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu. 10 Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka remuk redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang kosong Werkudara berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya sampai dipinggir bengawan Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak tercintanya. Walau amuknya semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni, Anggabasa dan Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian terhadap Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir bengawan, sang Bima melepas lelah. Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir bagai kejadian yang baru saja terjadi. Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu menyayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan-angan ketika ia memilih istri. Wanita yang lembut namun perkasa dan sakti mandraguna. Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan kasih, hidup dan perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker 10 Pada versi pedalangan Banyumasan, ada empat anak Werkudara. Satu yang hampir tak pernah disebut, yaitu Raden Srenggini. Sedangkan pada masa lalu, pedalangan gaya Surakarta menyatakan Antasena dan Antareja adalah sosok yang sama. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 162

163 dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang ternyata mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah menyatu dalam jiwa masing masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya dalam membantu anak-anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing Rahsa ke telinga Arimbi. Gb. 48 Bima bersama Arimbi dan ketiga anaknya, Antasena, Antareja dan Gatotkaca Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia melahirkan seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka, tetapi oleh olah para Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia banggakan dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan angannya. Putra sempurna yang merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 163

164 Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya itu buyar, ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara teriakan sesumbar itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana. Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman Kadilengeng di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya, Banuwati, untuk mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa. Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah pelampiasan dendam atas kematian anaknya tadi malam. Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga yang mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari dalam rasa hati. Melompat sang Bima menuju kearah suara yang nyerocos sesumbar tak henti-hentinya. Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika melihat Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai dimedan peperangan, orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia bayangkan. Hee...Wekudara, kamu ternyata ada disini! Tidak usah repot-repot mencarimu ditengah banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa! Sekalian aku hendak membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah anakmu Gatutkaca! kalimat yang terucap disertai tawa yang mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud. Apa maumu?! Bimasena menyahut sekenanya. Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja. Sekaranglah waktunya untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai kaki yang lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita berdua! yakin Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang punggung trah Pandawa ini. Waspadalah, ayo kita mulai! Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap. Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan Kurawa mulai berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara dielakkan dengan sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai sasaran, segera Dursasana menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak Bima. Gerakan Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera Baratayuda wayangprabu.com Hlm 164

165 ditangkis dengan tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai kontak tenaga sebagai penjajakan atas kekuatan diantara keduanya. He he he.... bagus juga kekuatanmu, jangan keburu senang dengan berhasil menghindari serangan pertamaku. Ayolah sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun kekuatan yang hendak kau kerahkan Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku! Kembali keduanya siap dengan kuda-kudanya. Kali ini kaki kanan Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara beradu dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan diri. Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana yang segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan kaki keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masingmasing. Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing masing mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut Dursasana mengalirkan sumpah serapah seperti kebiasaanya. Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara yang sudah siap dengan kuda-kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam dengan caci makinya. Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan dari keduanya. Saling serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa Werkudara yang kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik Dursasana yang berkelahi bagai seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh sabetan tangan dan kaki kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar-besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya. Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari keduanya. Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala kesaktian dari Ajian Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga menyatunya saudara tunggal bayu serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari keberadaan Kresna dan Arjuna. Usaha tarak Baratayuda wayangprabu.com Hlm 165

166 brata inilah yang membuat ia lama kelamaan menjadikannya Werkudara unggul telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana. Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong, berganti ia mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara melayani kemauan Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi-tubi dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan. Gb. 48 Dursasana dan Drupadi Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari akal lain dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan melawan dengan berulangulang kemudian melompati kali Cingcingguling. Werkudara.... Ayuh kejar aku keseberang! Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga seribu gajah yang kamu miliki! Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing seberang ia sudah kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan kemudian serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya. Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan adiknya, segera melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak Arjuna ketika Baratayuda wayangprabu.com Hlm 166

167 adiknya itu terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu. Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak resmi dan ia berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya seseorang untuk menjemput Drupadi. Gb. 49 Drupadi Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah strategi menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur tangan pihak ketiga juga ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela atas kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak menuntut balas atas kematiannya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 167

168 Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai menjadi sarana atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan menginjak tebing sungai dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya. Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan seekor buaya memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya. Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan tulang yang sudah patah pada beberapa bagian. Adikku Werkudara, lepaskan aku! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana. Tutup mulut buayamu yang kotor! Kamu harus ingat ketika kamu masih dalam keadaan jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara sepupumu. Sekarang waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang selalu mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung. Mendengar permohonan ampun tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda keputus asaan mendera dadanya. Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam kepongahan itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya. Kekesalan Bima terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya hingga tercerai berai. Tidak puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan kesegala penjuru. Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan pernah bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah Dursasana. Janji itu terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat dilepas seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan. Bima yang teringat akan sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana dengan mulutnya hingga kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya Draupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang dengan senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 168

169 Episode 17 : Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang-kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang-awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar. Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta-lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua panca indriya dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu. Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung. Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya. Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya. Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya. Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut-turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu-satunya Aswatama, Baratayuda wayangprabu.com Hlm 169

170 telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati. Jadi apa maksudmu sekarang? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi masalahmu? sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana. Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru. Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru. Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa? Kembali Ramaparasu menegaskan pertanyaannya. Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama-lamanya! Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar-benar ada dalam keputusasaan yang berat. Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan ke arah itu janganlah dilalui melewati keputusasaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatian itulah yang seharusnya kau lalui menuju tempat suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui Baratayuda wayangprabu.com Hlm 170

171 Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru. Mengangguk Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya. Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu membuatmu takkan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak-anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya. Gb. 50 Pandita Durna Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang-nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidakpercayaan akan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 171

172 kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya. Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura-kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang-bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan menjelang terang fajar. <<< ooo >>> Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda. Aswatama, kamu mencolek-colek aku, ada apa?! Sangkuni yang terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh. Hamba tidak melakukan itu paman sanggah Aswatama. Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya mengganggu manusia! Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama. Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak diganggu. Jawab Aswatama sekenanya. Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu? kembali Sangkuni menegaskan. Ya begitu, memang kenyataannya! terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya. Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 172

173 Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu-satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu Duryudana. Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan perang dengan kemenangan!. Pendeta Durna menjanjikan. Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahanmu. Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agulagul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca. Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi. Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini. Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan dimana arena amukannya akan terjadi. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 173

174 Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat dengan mata para prajurit. Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa. Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata-kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar. Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya Mantap Janaka menjawab. Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang-orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan. Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana. Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu. Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada. Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 174

175 Ooh.. kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran dalam sudut pandang kita masing-masing. Gb. 51 Prabu Drupada (Sucitra) Baratayuda wayangprabu.com Hlm 175

176 Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan fungsi tunggal. Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya. Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga kejantungnya. Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat ajalku..... terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia menyampaikan isi hati dihadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan, Namun... persahabatan kita hendaknya tidak berhenti.... sampai disini. Aku akan sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu... mudahmudahan waktu tunggu.... ini tak akan lama Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas ditangannya. Seketika tersadar ketika sorak-sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada. Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tidaklah berguna. Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian. Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya. Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru Dananjaya mengaturkan sembahnya. Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita. Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu Durna terkesima dengan apa yang terjadi dihadapannya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 176

177 Lanjutnya Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu. Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada saat ini. Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan kewajiban sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid. Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia bersungguh-sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang Pandita. Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang prajurit Amarta. Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang diatas palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan Durna. Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata itu. Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih tetap berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan memakan waktu dan berlarut-larut, maka segera ia menyusun strategi. Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan tertentu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 177

178 Apa maksudmu? Werkudara menukas. Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak percayaan Duryudana kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu. Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah kata-katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu. Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. Teruskan dongenganmu, biar aku tidak setengah-setengah menelan omonganmu Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping? Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan Itu adalah raja dari negara Malawapati, Prabu Permeya. Terus apa hubungannya dengan reka dayamu? Kembali Bima memotong. Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama telah tewas! Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang duduk pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika dihadapannya telah berdiri dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara berputar mengancam dirinya. Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama. Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai. Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga Begawan Durna. <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 178

179 Episode 18 : Palgunadi dan Janji Sang Guru Gb. 52 Palgunadi Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut-sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas? Benar begitu, ini yang saya dengar! jawab beberapa prajurit yang ia tanya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 179

180 Ia berketetapan hati untuk menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas? Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai. Ah.. sama saja, bohong! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya! ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong. Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya. Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya. Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata-katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu?! Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 180

181 Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas. Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan. Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu kata Prabu Palgunadi yang melihat guru imaginasi -nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas. <<< ooo >>> Gb. 52 Kesetiaan Palgunadi kepada Guru Imajinasinya Baratayuda wayangprabu.com Hlm 181

182 Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna. Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra-putra dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura. Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna. Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya. Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya. Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya. Berhari-hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi. Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya! Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya. Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada. Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap Baratayuda wayangprabu.com Hlm 182

183 tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba-tiba ini Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami Eits, nanti dulu...! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah. Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra. Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu! Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya. Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru? Memelas kata-kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya. Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya. Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi Apa yang kamu maksudkan Arjuna? Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 183

184 Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya. Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu Kaget Palgunadi, terputus angan-angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu. Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal, Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki.... Baiklah..., potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, Sekarang aku akan memutuskan! Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya. Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan..... cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Baratayuda wayangprabu.com Hlm 184

185 Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta. Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun 11 tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji. Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima Baik bapa Guru, satu kata-kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih-pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya.. antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya. Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga Durna tidak mau terpengaruh kata-kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya. Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi. Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur 11 Baca kembali bab Rekadaya Durna Sang Senapati Tua Baratayuda wayangprabu.com Hlm 185

186 dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya. Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu <<< ooo >>> Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya. Gb. 53 Drestajumna pengal leher Durna Baratayuda wayangprabu.com Hlm 186

187 Durna! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu! Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada. Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang. Aswatamaaaaa...., huuu... kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang-gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama, kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku..., dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama..., pertemukan aku dengan anak tampanmu... menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu. Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung-raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna. Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh-jauh. Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa. Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya. Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus Baratayuda wayangprabu.com Hlm 187

188 lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadipun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian. <<< ooo >>> Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya. Drestajumna menyesali tindakannya. Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid-muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya. Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara. Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakanmu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur? tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni. Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 188

189 Siapa yang melakukan, Paman Harya! muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut bibirnya bergetar. Pelakunya adalah Drestajumna....!. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar-nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya. Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama. Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan-bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah tinggal gelanggang colong playu dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas! Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu! Keduanya segera berhadapan dengan kuda-kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang. Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama-sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah-olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk. Mintalah maaf atas kelancanganmu kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 189

190 Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya! Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna. Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja. Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor! <<< ooo >>> Baratayuda wayangprabu.com Hlm 190

191 Episode 19 : Mimpi Besar Aswatama Gb. 54 Aswatama Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas kematian orang tuanya secara keseluruhan. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 191

192 Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak-anak Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hinapun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas atas kematianmu kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah Aswatama. Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang-orang yang dicintainya. Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan hatinya kepada pamannya itu. Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta, tetapi semata-mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan cecapan kebebasan masa mudanya. Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya menjadi rusak raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan Pandawa. Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya yang merupakan keturunan satu-satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup, ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu. Tidak berpanjang-panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari dirinya telah menemukannya. Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang-panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun Prabu Duryudana berkenan memanggilmu Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian pamannya. Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 192

193 Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata-kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda Prabu Duryudana. Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini Aswatama menuruti kata-kata Patih Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu. <<< ooo >>> Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang-tulang dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada Werkudara. Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu persatu. Pikirkanlah baik-baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu Salya mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan. Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik-adikmu Pandawa. Tidak rama Prabu, akan sia-sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang. Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas kematian adik terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 193

194 Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda Gatutkaca. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru-baru ini yang tidak dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari. Gb. 55 Pasewakan di Bulupitu Adipati Karna yang berperasaan halus, telah tersentuh oleh perkataan mertuanya. Dalam pikirannya, ia ingin membalas apa yang sudah diperlakukan atas dirinya. Disamping itu, kematian lawannya, Gatutkaca telah berbuntut panjang. Werkudara pasti masih mendendam. Maka telah ia rancang sesuatu tindakan tertentu bila ia disetujui menjadi senapati. Benarlah demikian, Prabu Duryudana menyetujui pilihan berikutnya yang ditawarkan oleh mertuanya itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 194

195 Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana besok pagi. Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-Suryatmaja. Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda berlangsung nanti. Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami, pasti akan kami kabulkan Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia sampaikan. Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna. Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya itu. Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu. Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni? Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi kehendak kanda Adipati. Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 195

196 urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna. Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu-satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah... Rama Prabu Salya. Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia berkata. Ooh.., inikah wujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka. Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya. Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal perang. Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri. Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. Anak mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata-kata anakmas Duryudana tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang. Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti. Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga. Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari saat ini juga. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 196

197 Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau perintahkan untuk mengantarmu? Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian memanjakan semu kemauan menantunya. Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang taruhannya adalah nyawa. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya. Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan mengantarkan senapati agung. Prabu Salya meminta diri. Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan. Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya. Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan. Setelah basa-basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu Duryudana, Aswatama, telah saya cabut kata-kataku mengenai pengusiranmu dari hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali dihadapanku. Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua parampara Baratayuda wayangprabu.com Hlm 197

198 paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi benar-benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf. Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan. Aswatama menghaturkan kata-kata itu dengan hati-hati. Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya. Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya. Anak Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya. Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari ketika perang esok hari telah usai. Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan matanya. Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia hitung-hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan, bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua pihak yang sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 198

199 Episode 20 : Atas nama Darma Satria Gb. 56 Karna dan Arjuna Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya, Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari-hari menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisasisa tenaga prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawanlawannya dengan cepat. Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal Baratayuda wayangprabu.com Hlm 199

200 menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru dengan gumpalan awan disana-sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora. Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama-sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak? Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak. Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas. <<< ooo >>> Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis. Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata-mata. Kenapa aku sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina!. Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 200

201 tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan. Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyisembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati Srikandi. Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke palagan. Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna. Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain. Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?. Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa Pandu Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarutlarut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada? Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!. Baik, akan aku turuti kata-katamu. Waspadalah! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 201

202 Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing-masing. Gb. 57 Karna Tanding Sumber : Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas. Soraksorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara-saudara sepupunya para Pandawa. Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya Baratayuda wayangprabu.com Hlm 202

203 kembali meledak. Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu sudah duduk nangkring diatas kereta!. Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu ke waktu Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati. Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!. Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda. Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda-tanda dalam diri putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa. Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!. Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu menandingi Arjuna. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya. Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia pergi. Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!. Haaah.. perbuatan yang sia-sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas Baratayuda wayangprabu.com Hlm 203

204 kematianku moyangku. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna. Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba-tiba membayang diatasnya. Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika. Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang. Gb. 58 Karna Tanding Sumber : Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama-sama bergerak mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang dipikirkannya. Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 204

205 Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti keluh Arjuna. Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna. Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu. Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi kusirmu. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya. Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan. Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya. Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya Baktiku kanda Adipati, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya. Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis meraungraung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela-bela diriku Baratayuda wayangprabu.com Hlm 205

206 membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!. Karna menumpahkan isi hatinya. Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik-adik paduka, Kanda Adipati Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu. Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama-sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan. Tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya... Serak terpatah-patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna. Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan nada tegas. Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!. Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih tua. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara. Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, Baratayuda wayangprabu.com Hlm 206

207 sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya. Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata. Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna. Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya. Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya. Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba? Arjuna menanyakan. Bukan! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna. Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum. Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua. Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit. Arjuna! Kresna memberikan isyarat Baratayuda wayangprabu.com Hlm 207

208 Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!. Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu. Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama! Banyak sekali versi tentang cerita Karna Tanding. Petikan dan suntingan dari pagelaran demi pagelaran wayang purwa diatas, adalah salah satunya yang terpilih untuk diketengahkan. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 208

209 Episode 21 : Ketika Rahasia itu Terungkap Kidung layu-layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik-rintik. Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa. Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten. Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana. Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan, juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya. Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika Baratayuda wayangprabu.com Hlm 209

210 mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap penguasa tertinggi Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari pembesar yang hadir. Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya berbicara. Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata, namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Pasti anak Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna. Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata-kata pemancing dari Prabu Salya, sehingga kembali ia melanjutkan. Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi hati ini Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan terhadap putramu. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah mertuanya. Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu Duryudana. Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang-timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu. Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu. Duryudana kali ini mencoba pula tersenyum, walau terasa hambar. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 210

211 Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. Terhitung selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku. Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka. Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berencana hendak memberikan negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata negara. Ketika itu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan memberikan surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda-muda dan begitu cantik-cantik. Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung yang menyenangkan hati. Prabu Salya meneruskan Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan dengan begitu lahapnya. Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji. Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, Begitu aku sudah merasa kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui, dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh-tubuh anak kemenakanku sendiri. Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal. Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni. Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang? Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang. Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 211

212 Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu? Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk beradu dada dengan para Pandawa. Bagus! Kenapa begitu? Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya. Gb. 59 Kartamarmo Sumber : Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak Prabu. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata-katanya kemudian lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya. Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar, seseorang yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 212

213 menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji-puji dan diagung-agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap? Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti, umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata-katanya mengikuti arah pembicaraan pamannya itu. Wah, kalau saya.... ini kalau saya..., saya akan segera bertindak! Segera saya akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena atas negara ini. Ini kalau saya...! dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab. Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi tidak mengerti akan balas budi itu? Ada saja! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati! Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya. Apakah ada orang yang lain selain istriku? Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka, Dewi Banuwati. Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu, seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?. Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki. Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu kesaktian dengan para Pendawa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 213

214 Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela melihat paduka kerepotan. Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya. Gb. 60 Banowati Sumber : Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya mengolah kata. Ya..... tetapi..... apakah ini......, apakah aku harus menangis dihadapan istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu... yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut si paman bagaimana? Saya sangat setuju...sangat setuju! Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah Baratayuda wayangprabu.com Hlm 214

215 pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menekan perasaannya yang tibatiba panas bagai terbakar bara api. Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini, paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan? Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, Silakan bila rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!. Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai anak-anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan? Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah gugur dalam perang ini. Itu yang pertama! Kedua, siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih-lebihkan, tapi Baratayuda wayangprabu.com Hlm 215

216 sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung, gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda. Gb. 61 Aswatama Sumber : Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit dadanya, lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat. Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 216

217 Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani-beraninya memutus pembicaraan para agung. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu. Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf. Silakan apa yang hendak kamu katakan?! Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati. Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan? terheran Prabu Duryudana mendengar kata-kata Aswatama. Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri. Siapa pembesar yang melakukan itu? Tidak lagi hamba menutup-nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar. Namun tiba-tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya! Iblis keparat kamu Aswatama! Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu. Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda-kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah beraniberaninya memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani mengatakan yang bukan-bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah Baratayuda wayangprabu.com Hlm 217

218 menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata-katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu! Aduh rama Prabu, rama kami mohon berlaku sabar! Aswatama itu hanya berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama maka Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya. Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama. Masih dengan kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana. Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama. Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar rama Prabu. Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur sejangkah menghadapi orang tuamu itu! masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit-ungkit ayah Aswatama. Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang pendapat itu. Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah! Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di palagan peperangan, kami minta diri sinuwun. Luka hati Aswatama kembali kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya Sebagian disarikan dari cerita pagelaran Rubuhan oleh Ki Narto. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 218

219 Episode 22 : Saat-saat Terakhir Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari dalamnya, melepas tali yang mengikat ke toggak, kemudian ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang segala keruwetan yang mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu kuda itu sekencang-kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula telah ia rancang dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya. Sepenuh hati rencana telah digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana. Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya. Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata-katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata. Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama, masih mendekam didalam hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing-masing yang berputar-putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya. Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak Baratayuda wayangprabu.com Hlm 219

220 menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman? Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri. Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian? Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya. Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu Tidak jauh dari sini, bahkan... Cukup.....! Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata-katanya Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata-katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra! Tanpa kamu panasi dengan kata-kata itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok anak-anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud! Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja Patih Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahakbahak, menyaksikan pancingannya berhasil disambar sasarannya. Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 220

221 Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut-larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa. Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka. Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama Duryudana melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang pengecut. Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya. Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul. Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar-benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati. Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu? Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar-benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu. Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama. Mendengar kata-kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 221

222 kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak-anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak-anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi hatimu, kata Salya masih dengan senyumnya. Gb. 62 Prabu Salya dan Sang Istri, Setyawati Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suaminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas kepergian paduka ke medan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudanalah yang sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 222

223 Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra-putri dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata limpahkan? Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa gadisnya. Mereka berdua adalah manusia-manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam satu sama lain. Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah. Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya. Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 223

224 kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur. Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 224

225 Episode 23 : Siasat Sang Pecundang Kita tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan kebulatan tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di taman itu, Dewi Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang-dayangnya. Mereka dengan setia memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar junjungannya dapat melupakan kemelut yang sedang menyelubungi negaranya. Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar mendadak terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama. Semua menerka-nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan oleh sang tamu. Sosok tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak Pedanyang Sokalima, anak dari Sang Pujangga Astina. Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang sudah berhari-hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat berganti waktu demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat. Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang-dayangnya untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di peperangan hendak ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama. Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa-basi telah diucapkan oleh keduanya. Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap ia lakukan demi siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku hormat kepada istri Prabu Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang Dewi masih membuat dirinya juga tak berdaya dihadapan Banuwati. Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya dalamdalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi kecantikan dari junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum Banuwati telah lama mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan kemanjaan sikap dari Banuwati, ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk memiliki Sang Dewi semakin menindih perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia mengidam-idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati yang manja, Banuwati yang sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang menapnya. Tapi bagi Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu. Ketika itu, keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 225

226 Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu-tabu atas masa lalu. Dan pada saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap isi jiwanya, pesona yang terpancar dari sosok seorang Banuwati. Gb. 63 Dewi Banowati Aswatama, apakah perang sudah usai? Itulah yang setiap kali diucapkan Sang Dewi ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali pertanyaan itu diucapkan. Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan ucapan dari bibir merah Banuwati masih dengan angan-angannya. Sangat jarang Aswatama berhadapan langsung dengan Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah jabatan yang ia sandang tidak memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di istana sejak dari muda. Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat dasarnya, membuat runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata pesona yang terpancar dari sosok Baratayuda wayangprabu.com Hlm 226

227 Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-kata yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan. Tetapi gugupnya Aswatama dimata Dewi Banuwati dartikan lain. Dimatanya, kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam peperangan yang menentukan yang kehidupan negara selanjutnya. Dan Aswatama merasakan kesan yang memancar dari mata Banuwati itu. Maka timbullah keberaniannya untuk segera melakukan tindakan yang semula dirancangnya. Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang. Serta merta Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan pertanyaan itu. Memang ada yang hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian penting di palagan peperangan. Cepat katakan, Aswatama! Tak sabar Banuwati segera menyahut. Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba katakan?. Ya ya... segera katakanlah. Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan tinggal menunggu saat-saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana memerintahkan kepada hamba untuk membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari taman Kadelengeng. Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada sesuatu yang membuat aku khawatir akan keselamatan diriku. Datar saja ucapan Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun kecemasan membayang di wajahnya oleh sebab dari berita yang disampaikan Aswatama. Berita kekalahan Kurawa, sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya. Aswatama hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran dengan sikap Banuwati. Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja. Katanya kemudian. Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan bersalah bila tidak menjalankan titah yang telah digariskan. Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang Baratayuda adalah para Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu bagaimana memperlakukan musuh, mereka tak akan mungkin mencelakakan aku. Apalagi sifat dimas.... Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya dan segera Baratayuda wayangprabu.com Hlm 227

228 ditelan kembali. Dan warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi atas ketelanjurannya, walau terputus. Namun Aswatama segera tahu apa yang hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah membuat otak Aswama seketika terang benderang Tetapi perkenankan hamba berterus terang. Gusti Prabu Duryudana sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan ini. Disana sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang berperang hendak diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi atas perdamaian itu. Dari pihak Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan dipimpin oleh Raden Arjuna. Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan terhadap kekasih gelapnya. Ah... Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang, tetapi segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. Dari sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta asa di hati Aswatama. Dalam hatinya mengatakan, Inilah saatnya!. Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan Banuwati melayang-layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang membayang di rongga kepala Banuwati. Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati memecahkan kesunyian. Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya lakukan, hendaknya dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang kanda Prabu hendak berdamai setelah kekalahan nampak dipelupuk matanya. Perdamaian yang sebelumnya telah membawa banyak korban! Sejenak Dewi Banowati terdiam, kemudian ia menyambung. Tetapi baiklah, Aswatama, kapan kita hendak berangkat? Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi. Malam ini juga hamba dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke hadapannya. Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi dadanya, setelah sekian lama merasa tertindih beban yang begitu berat. Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama! Baratayuda wayangprabu.com Hlm 228

229 Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita. Sedangkan malam terus berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita besok sudah kembali lagi ke Astina. Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang disampaikan Dewi Banuwati. Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!. Maka dengan persiapan singkat, Dewi Banuwati berganti busana dan segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula. Tak ada kecurigaan apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan, pengawalan terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan perjalanan mereka semakin cepat. Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang pegagan sudah mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda, langit hanya menyisakan awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang-bintang yang berkelipan malu-malu. Kemudian tibalah mereka di padang perdu dan kemudian hutan dengan tumbuhan kayu besar yang makin pepat. Dan malam semakin merambat larut, sementara perjalanan terus berlanjut. Aswatama, apakah tempat itu masih jauh? tanya Banuwati yang merasa curiga dengan perjalanan malam yang seperti tak berujung. Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai? Aswatama berkilah Benarkah? Aku lihat kita malah berputar putar arah tidak karuan bahkan kita memasuki hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita! tanya Banuwati ketika sampai pada tempat yang lapang ditumbuhi beberapa pohon-pohon perdu ditepi jurang. Mhmm..., baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan apa sejatinya yang kulakukan terhadapmu. Sejenak Dewi Banuwati bagai terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama yang bernada lain dari biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan keselamatannya ia panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dilain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap tegak. Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan Aswatama. Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon. Tempat yang agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap Banuwati demikian pikirnya dengan debar dada yang masih bergemuruh. Tetapi setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah artinya wanita tanpa Baratayuda wayangprabu.com Hlm 229

230 pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-lah keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung rambut hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di bibir Aswatama bagai orang yang mabuk tuak. Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai membayang diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya masih juga tidak hendak reda. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia menanya, dengan tetap duduk diatas punggung kuda. Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama? bergetar bibir Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya pertanyaan itu telah diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawaban Aswatama yang masih dengan senyum kemenangan dibibirnya. Kemudian dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada tengadah. Di dunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki pesona yang begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu agung-pun bertekuk lutut. Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada suatu katapun yang bernada menentang. Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan dan seribu alasan, permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar-benar Prabu Duryudana bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar keseluruh lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam dijantungku. Setiap dirimu lewat didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya, terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan ini terhadapmu, Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena aku dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada dalam keadaan sekarat. Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa Aswatama adalah pemilik yang sah dari Banuwati untuk selanjutnya ha ha ha....! Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan nyalang sosok Banuwati yang tertegun duduk diatas kuda. Tanpa berkedip, di kegelapan yang hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati dikeremangan itu makin mempesona dimata anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu. Hilang kewaspadaannya, dan tidak terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar. Sementara di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat melarikan diri. Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi Aswatama yang selalu mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 230

231 Banuwati yang lambat laun bisa menguasai dirinya, kemudian berusaha tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas, langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya. Ooh... begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi suamiku bila ia memiliki kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah membawamu untuk memboyong aku kemana kamu suka. Bawalah aku ke Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan kejayaan Astina! Lihat bintangbintang dilangit adalah saksinya! Sang Dewi mengatakan sambil menunjuk ke langit dimana bintang-bintang masih bergelayutan. Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut mendongak ke langit. Dan saat yang sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan dipacu kuda itu tanpa menoleh kanan kiri. Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati. Bergulingan ia menahan sakit didadanya, dan merah padam mukanya oleh perasaan marah yang tidak terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan tertatih-tatih, dilepaskan ikatannya dengan terburu-buru. Sumpah serapah membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda yang ditunggangi Banowati telah menghilang dikelebatan hutan dan pekatnya malam. Derap kaki kuda yang bergulung-gulung menggema diantara tebing telah memperlambat usaha Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah turun setelah malam menjadi dingin menjelang pagi. Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam melacak jejak buruannya. Dewi Banuwati yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir mengendalikan kudanya. Terpental pental ia diatas punggung kuda yang menjadi liar menyelusup diantara pepatnya pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil menguasai keseimbangan badan diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam kelebatan perdu yang tumbuh menyebar ditebing jurang. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 231

232 Episode 24 : Jujurlah Pinten, Tangsen! Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega-mega di langit timur, ketika Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati. Kelamnya hutan dan kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak lari kuda yang ditumpangi Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang masih baru kadang masih dapat terlihat sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya yang terperosok jatuh di tempat yang sudah jauh tertinggal. Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak ada yang dapat aku katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika aku belum berhasil membunuh perempuan celaka yang berlindung dibalik kecantikan parasnya! Perasaan sesal dan dendam melonjak-lonjak dalam dada Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan seksama tanda-tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh kekuatan gaib yang tak kasat mata. <<< ooo >>> Gb. 64 Pinten dan Tangsen menghadap Sang Uwa, Prabu Salya Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 232

233 rumah. Prabu Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya yang hendak menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak bertemu dengannya. Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja Hyang Maha Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar pemujan. Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya berjalan dua sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik perempuan satu-satunya yang sangat ia kasihi. Seketika tangannya dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya menghadap. Sambil tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap-usap kepala kemenakannya dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan menghaturkan sembah bakti kepadanya. Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari Masih disertai senyum, Sang Uwak, ketika melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak-kanak, walau mereka sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia ucapkan sebagaimana ia dengan segenap kasih ingin menumpahkannya kepada anak yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam benaknya, betapa sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya, sehingga tak terkira betapa kasih Sang Uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu. Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya. Tanya seputar keselamatan masing-masing telah mereka ucapkan dengan singkat, hingga kemudian Prabu Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa-basi. Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam diri kamu berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir sebagai anak piatu. Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam. Matanya menerawang mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah polahnya. Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu Dewanata, ayahmu. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan selengkap yang aku berikan mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu datang dari diriku. Dulu sewaktu ibumu hamil, ia ngidam naik Lembu Andini. Padahal ia tahu, Lembu Andini itu kendaraan Hyang Guru. Itupun ia mengendarainya hanya sendirian saja. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 233

234 Yang diajak bercerita masih diam sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya. Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berkalikali ia dengar dari mulut uwaknya, Prabu Salya. Gb. 65 Dewi Madrim Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada kedua orang tuamu. Dengarkan ya. Prabu Salya menyambung, Ibumu, Madrim, ternyata meniru tindakan Istri Batara Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga ingin menaiki Lembu Andini berdua dengan Batara Guru, suaminya. Walau banyak suara sumbang ingin menggagalkan permintaan Uma atas keinginannya itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap Dewi Uma mengalahkan keberatan parampara kahyangan Jonggiri Kaelasa. Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan Sadewa masih saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 234

235 Waktu demi waktu berlalu, berdua melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tak lah aneh, bila segala keinginan Batari Uma dituruti, karena cinta mereka sebagai suami istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa bahwa berdua ada punggung Lembu Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka melakukan olah asmara diatas punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah kama salah, jatuh kelautan dan menjelma menjadi raksasa yang dinamai Batara Kala. Dialah putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula tentram menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi berantakan. Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah-mentah oleh ayahmu, Pandu. Walau Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu tinggi hati, mentang-mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan. Ayahmu lupa bahwa ia telah diberikan anugrah ketika ia telah berhasil menyingkirkan musuh Kahyangan, Prabu Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa berikan berupa Minyak Tala. Bahkan ayahmu telah berjudi dengan nasibnya, dengan menyanggupi diri untuk menjadi kerak Kawah Candradimuka. Itulah ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta terhadap ibumu yang tiada terkira, membuat ia lupa segalanya. Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua orang tuanya, tetapi tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air matanya. Kali ini uwaknya menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi riwayat kejadian atas diri mereka berdua. Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? Sejenak Nakula Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya adalah dalam tugas negara. Seperti perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna, mereka diberikan kewajiban untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar dalam perang di terang hari nanti, uwaknya akan merelakan hidupnya untuk kejayaan Para Pandawa. Kresna telah mengetahui, bila tidak ada usaha untuk membuat Prabu Salya merelakan kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya. Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya. Mereka pun menjawab, Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu ceriterakan Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan. Dalam Baratayuda wayangprabu.com Hlm 235

236 perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu. Berhari-hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya. Tak ada seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua. Gb. 66 Prabu Pandudewanata Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat, tiba-tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah Baratayuda wayangprabu.com Hlm 236

237 menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah menuai apaapa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan. Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,yamawidura, kepada Arjuna kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. Oleh karena itu Pinten, Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara saudaramu tua menyayangi ibunya. Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda-bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara-saudara kami yang lahir dari rahim ibu Kunti Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya sesaat. Baik, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas, Selain dari pada itu anak-anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan Pinten, Tangsen. Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna. Siapakah diantara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua saudara Pandawa. Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya. Kembali dengan suara parau ia mengatakan, Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami akan menyerahkan kematian kami sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami, kemenakan Paduka Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya. Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya, dengan suara meninggi ia mengatakan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 237

238 Heh... apa yang kamu ucapkan? Sedari tadi aku menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga dengan segala kelemahannya. Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat ini telah tahu, ternyata ia juga adalah bagaikan seekor harimau yang sangat ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan orang tuamu ibarat bisa menunduk-runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah membekas apa yang ada pada Pandu yang melekat pada dirimu. Harimau itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus! Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar-putar pada rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak kemudian dengan suara berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya, Baratayuda itu sebenarnya siapa yang berperkara? Hampir serempak kedua satria itu menjaawb, Itu perkara hamba Para Pandawa dan Kurawa. Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para pepundenmu, para orang tua-orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten. Kamu harusnya berikan mereka kebahagian. Malah orang tua orang tua itu telah kamu jadikan korban. Dan bila kamu adalah manusia manusia yang berakal, tentunya kamu tidak akan menghadapku dan menyatakan minta aku bunuh disini. Itu seperti halnya kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga kamu telah mengambil kesimpulan. Kata Prabu Salya dengan kalimat yang bertekanan. Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang kau datangi sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua hanya merupakan gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebetul-betulnya manusia yang berjiwa kerdil Ketus Prabu Salya menyambung. Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya tergambar dari kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk hati dan jiwanya yang paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan keteguhannya, dengan segala kekuatannya ia berenang dalam banjir darah yang ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis dalam olah panah, sehingga sudah begitu banyak para sraya Prabu Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra. Mereka adalah sebenar-benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang tuanya, orang muda Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah darah, dengan gagah berani mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi kusuma bangsa. Lho sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan jiwa! Kamu takut menjalani peperangan heh? Terserahlah yang Uwak katakan.... Nakula menjawab dengan lesu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 238

239 Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala ulahmu. Dari aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua, melilhatmu mencium kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah tahu. Itu bukan gambaran sosok anak Pandu!! Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam Prabu Salya menghujam kearah kedua kemenakannya berganti-ganti. Namun sebentar kemudian Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua satria kembar itu terhenyak Kedatanganmu kemari adalah ada yang menyuruhmu, iya apa iya..?! Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata lain, Sadewa kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Uwa Prabu..... Tidak.., aku tidak akan memberimu maaf..! Masih dengan suara tinggi Prabu Salya menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya. Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu? Tanya Sadewa. Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang untuk berbuat seperti itu? Prabu Salya masih bersikeras. Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri... Nakula dan Sadewa masih mencoba ingkar. Tidak.... tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah macan yang beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak kembarmu. Apakah bila kamu sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka Salya akan larut. Ketahuilah, dalam perang nanti, siapa yang menjadi musuh Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula! Prabu Salya masih mencoba mengancam Silakan Uwa memarahi kami berdua... Tetapi biar bagaimanapun, silakan uwa Prabu untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka ini. Sadewa tetap pada pendiriannya. Bagaimanapun pembekalan dari Prabu Kresna ketika ia hendak pergi ke Mandaraka telah ia coba lakukan dengan sepenuh kekuatan untuk memenuhinya. Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua sepeninggal kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada sejumput ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu berdua adalah masih darah dagingku sendiri. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 239

240 Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam dihati ini, Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini. Hmm.. Prabu Salya menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar ia mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia katakan inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada dirinya. Sekarang katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan kata-kataku: Uwa Prabu, bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina, kami para Pandawa minta kepada Uwa, hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku...! Tulisan diatas adalah kekaguman kami atas Sanggit antawecana Ki Narto. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 240

241 Episode 25 : Salya dan Bunga Cempaka Mulia Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing-masing. Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan disertai suara yang dalam. Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang jawablah! Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan Jawab Sadewa. Sebab itu, tirukan kata-kata yang aku ucapkan tadi. Kembali Salya memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa. Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa. Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan? Terserahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja. Jawab Sadewa lesu Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, Dosa apakah yang akan menimpa kami.... Baru berapa patah kata Nakula berkata, namun dengan cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir Nakula Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya. Uwa Prabu.. Uwa Prabu, tiru Nakula Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina...., Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina Kami para Pandawa minta kepada Uwa.... Baratayuda wayangprabu.com Hlm 241

242 Kami para Pandawa minta kepada Uwa Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan.... Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti. Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih. Setelah beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan, kemudian duduk kembali. Katanya Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa yang salah dalam perang Barata ini. Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah. Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata-kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka. Nakula dan Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua. Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa. Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya menyerahkan nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata menyanggupi Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi. Kemudian Prabu Salya melanjutkan, Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa, melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja-raja diluar Mandaraka. Sedangkan Nakula, lakukan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 242

243 penggalangan dengan raja-raja jajahan yang ada dalam lingkup Negara Mandaraka. Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang-barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai. Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan kepada kami berdua, keduanya mengatakan kesanggupannya. Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.. Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas kepercayaan masing-masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing-masing. Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang dianut. Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan Baratayuda wayangprabu.com Hlm 243

244 kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya. Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar-benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan. Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya. Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil. Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti. Lanjutnya Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja. Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang. Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 244

245 Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa. Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa. Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara-saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa. Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling. Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu. Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan. Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru. Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali bertemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda. Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk-suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya Baratayuda wayangprabu.com Hlm 245

246 sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta-lunta sampai di Pertapaan Argabelah. Gb. 67 Narasoma, Prabu Salya Muda Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang raksasa?! Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu? Begawan Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada Narasoma. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 246

247 Raden siapakah andika sebenarnya? Sapa Bagaspati. Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu? Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah. Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden? Tanya Bagaspati kembali. Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya. Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini. Bagaspati menjelaskan. Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri? Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap. Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang menjadi pujaan hati. Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah? Kompilasi dan olahan bebas dari beberapa sumber lakon wayang dari Ki Narto. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 247

248 Episode 26 : Utang Piutang Bagaspati-Narasoma Silakan Raden memberi teka-teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu jawabannya. Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan didepan dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima. Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka-teki dari mulut Narasoma. Gb. 68 Begawan Bagaspati Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya putih yang Baratayuda wayangprabu.com Hlm 248

249 sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh. Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari teka-teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati. Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya. Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa? Gemetar suara Pujawati. Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka-teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku Pujawati. Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar segera meninggalkan keduanya. Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah. Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka-teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu. Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi. Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia-sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun Baratayuda wayangprabu.com Hlm 249

250 banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka. Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-teki itu. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya menyanggupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang pertanyaan tekateki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati. Jawabannya gampang-gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati. Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki itu, raden? Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu. Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh? Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta. Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 250

251 Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini. Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa-dosa Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada. Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma. Dengan murka Narasoma berkata. Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu! O o o..., Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaikbaiknya. Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat itu. Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku. Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa! Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan Oooh Begawan.., ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba paduka Sang Resi? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 251

252 Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa. Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada Bagaspati. Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama-lamanya? Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya meratap Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati. Gb. 69 Narasoma, Candabhirawa, Bagaspati Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 252

253 Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku. Apakah permintaannya? Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang-senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana? Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi. kembali Narasoma mengucap janji. Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati belum kembali. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubitubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas. Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya. Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba. Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu. Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah embun sedari lama. Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambutnya dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan Sadewa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 253

254 Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar. Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan. Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka kemedan Kuru. Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa. Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!. Apakah yang kanda Kresna maksudkan? Tanya Prabu Puntadewa. Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman Prabu Salya. Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-orang tua kami yang hamba hormati. Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa. Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati. Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang terdapat pada diri Uwa Salya. Jawab Prabu Puntadewa tenang. Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana. Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 254

255 Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah Prabu Puntadewa menjawab. Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta. Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimulai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba. Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak-anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang dinda diam saja. Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan tidak becus dalam memimpin adik-adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat. Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 255

256 Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!. Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas. Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?. Pertanyaan Kresna beralih ke Arjuna. Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda Kresna. Dimas Nakula Sadewa, bagaimana? Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban yang sudah ia perkirakan. Yang disebut namanya hanya saling pandang. Gb. 70 Puntadewa (Koleksi Tropenmuseum) Sumber : Jadi bagaimana Werkudara? Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara. Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik-adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 256

257 Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh-sungguh. Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh arti. Kresna, aku sudah tidak sanggup! keluh Bima seenaknya. Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda. Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu hendak katakan. Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya. Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya. Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat yang ditunggu-tunggu. Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan menyatu dalam tubuh Baratayuda wayangprabu.com Hlm 257

258 Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku. Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta. Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya Diolah berdasar imaginasi dari cerita Rubuhan-nya ki Narto. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 258

259 Episode 27 : Babak Akhir Baratayuda Jayabinangun Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji Candabirawa. Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa! Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?! Tanya Candabirawa. Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa. Bunuh dia! Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi-jadinya kearah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera menyingkir. Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu-mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tibatiba gerombolan itu berhenti mendadak. Mereka kemudian saling berbisik. Heh teman-temanku semua, kita sudah memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh kesenangan yang ia jalankan sehari-hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan Begawan Bagaspati. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 259

260 Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba. Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh. Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra. Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya! Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya. Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah segera memberi aba-aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi. Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa. Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian Para Pandawa. Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari Baratayuda wayangprabu.com Hlm 260

261 pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni. Gb. 71 Sengkuni (Koleksi Tropenmuseum) Sumber : Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar. Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi. Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi Baratayuda wayangprabu.com Hlm 261

262 sebenarnyalah ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk menyobek kulit dagingnya! Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman! Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang. Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman....! Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya yang memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana, Patih Astina ketika Prabu Pandu Dewanata bertahta. Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela-sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya. Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda! Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan berenang dalam genangan darah. Sebentarsebentar ia membolak balik jenazah yang terkapar, mencari-cari jangan-jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 262

263 Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah didadanya. Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan-akan melambai mengajak hamba turut serta. Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami tercintanya, Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak. Segera diraih cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian. Endang Sugandini yang sama-sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati. Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela. Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu Matswapati dan Prabu Kresna. Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka. Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti Baratayuda wayangprabu.com Hlm 263

264 membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak-anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan. Gb. 72 Prabu Matswapati Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama-sama membimbing saudara-saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina. Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba Baratayuda wayangprabu.com Hlm 264

265 bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta! Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang. Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu. Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan. Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut-ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu. Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara-saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi. Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa dengan aji Pameling. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka. Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara. Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang sudah selesai? Baratayuda wayangprabu.com Hlm 265

266 Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu Duyudana. Jawab Kresna. Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi. Gb. 72 Prabu Matswapati Sumber : wordpress.com/ Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi Jawab Werkudara. Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa. Ajak Kresna Baratayuda wayangprabu.com Hlm 266

267 Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya merumput. Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah Kyai Pamuk. Tetapi lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu Duryudana, serta bermacam senjata. Hamba pikir di telaga itulah Prabu Duryudana bersembunyi dibawah rimbunnya tanaman teratai merah yang mengambang. Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara-saudaraku Pandawa dan Kurawa. Baladewa menimpali. Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu Duryudana, Dinda Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk bertemu dengan dinda Prabu Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda, perkenankan dinda keluar dari air telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat berbicara dari hati kehati. Suara itulah yang ditunggu-tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara Prabu Baladewa karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu sudah tiba. Keluar dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera mendekati arah Prabu Baladewa. Berangkulan keduanya tanpa menghiraukan sekelilingnya. Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah yang selama ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri atau pengecut, tetapi hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian muridnya Duryudana berkilah. Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru kami datang dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang menjadi tawur perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah kedepan. Baladewa mencoba memberikan penjelasan. Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara Astina dan hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 267

268 Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai Tidak, tidak kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur beribu-ribu jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati. Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu. Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh Baladewa, sesat kemudian Duryudana menyambung Kalah atau menang, Pandawa akan kecewa. Seumpama saya yang menang itu sudah menjadi kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami, dan kemuliaan Prabu Duryudana akan menyundul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan merawat anak-anak yatim dan jandajanda korban perang. Mereka hanya akan menemukan reruntuhan demi reruntuhan. Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan kepala lemah, katanya Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak gunung. Tak bisa diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti kemauan dinda Prabu. Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta perang tanding gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok seimbang. Jawab Duryudana. Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan yang terletak dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan Werkudara. Satu lawan satu! Kresna mendekati Werkudara sebelum perang tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu yang disusul anggukan kepala Werkudara penuh arti. Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya. Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Werkudara. Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat menyerang dengan penggada tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh Werkudara, Duryudana belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras mendahului gerak tangan Duryudana yang terjulur itu. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 268

269 Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun ia masih belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu. Gb. 73 Perang tanding Duryudana dan Bimasena Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru. Tetapi baik Werkudara maupun Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu. Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat. Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar-nyambar Werkudara dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat menyambar dan sekali sekali mematuk dengan gadanya. Baratayuda wayangprabu.com Hlm 269

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa CIPANAS PRESS 2014 Diterbitkan oleh Cipanas Press (STT Cipanas) Jl. Gadog I/36 Cipanas Cianjur 43253 Jawa Barat Indonesia Cetakan

Lebih terperinci

Raja Langit, Raja Bumi, dan Putri Bulan Kisah dari Sulawesi Selatan

Raja Langit, Raja Bumi, dan Putri Bulan Kisah dari Sulawesi Selatan Raja Langit, Raja Bumi, dan Putri Bulan Kisah dari Sulawesi Selatan Kisah ini mengajarkan dua hal: Pertama, bahwa setiap peperangan yang dikobarkan oleh rasa iri dan benci hanya akan menghancurkan semua

Lebih terperinci

Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara. RINGKASAN KEKAWIN KRESNAYANA Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara. Pupuh 2 (bait 1-8) : Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati

Lebih terperinci

Pandawa Lima (2) Disaat hari penyamaran Pandawa Lima berakhir terjadilah penyerbuan Hastinapura dengan sekutu-kutunya ke Kerajaan

Pandawa Lima (2) Disaat hari penyamaran Pandawa Lima berakhir terjadilah penyerbuan Hastinapura dengan sekutu-kutunya ke Kerajaan Pandawa Lima (2) Nasib Pandawa Lima dan Dewi Drupadi agak tertolong dengan campur tangannya tetua Hastinapura Resi Bisma dan Yama Widura. Dewi Drupadi diminta untuk diserahkan kepada Resi Bisma dan diberikan,

Lebih terperinci

Buah Kejujuran Putri Amanda Karimatullah LL

Buah Kejujuran Putri Amanda Karimatullah LL Buah Kejujuran Putri Amanda Karimatullah LL Berita duka menyelimuti kerajaan Airllie, patih kerajaan itu meninggal dunia karena tertimpa bebatuan yang jatuh dari atas bukit saat sedang menjalankan tugas

Lebih terperinci

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai Lampiran Ringkasan Novel KoKoro Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai Kamakura menjadi sejarah dalam kehidupan keduanya. Pertemuannya dengan sensei merupakan hal yang

Lebih terperinci

Written by Administrator Sunday, 17 November 2013 05:31 - Last Updated Thursday, 27 March 2014 12:12

Written by Administrator Sunday, 17 November 2013 05:31 - Last Updated Thursday, 27 March 2014 12:12 Dahulu, di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Laku Leik. Ia adalah raja yang bengis dan kejam. Ia tidak segan-segan menganiaya, bahkan

Lebih terperinci

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung)

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung) Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung) Ditulis kembali oleh : Iin Muthmainnah Teruntuk Sekolah Alam Mutiara Lampung Bandarlampung 2005 Judul Naskah : Putri Sinar Alam

Lebih terperinci

PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA

PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA Nama: ika Putri k Nim: 09.11.2577 Kelas: S1 TI 01 PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA Pada suatu hari terjadi perang antara rakyat Indonesia dengan Malaysia dikarenakan Malaysia sering kali merebut wilayah

Lebih terperinci

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa STT CIPANAS 2014 Diterbitkan oleh STT Cipanas Jl. Gadog I/36 Cipanas Cianjur 43253 Jawa Barat Indonesia Cetakan pertama: April 2014

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya. BAB 2 DATA DAN ANALISIS 2.1. Legenda Hanoman 2.1.1 Perang Wanara dan Raksasa Setelah lakon Hanoman Obong. Hanoman kembali bersama Sri Rama dan Laskmana beserta ribuan pasukan wanara untuk menyerang Alengka

Lebih terperinci

1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius.

1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius. 1 Tesalonika Salam 1:1 1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius. Kepada jemaah Tesalonika yang ada dalam Allah, Sang Bapa kita, dan dalam Isa Al Masih, Junjungan kita Yang Ilahi. Anugerah dan sejahtera menyertai

Lebih terperinci

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika 1 Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika Kepada yang kekasih saudara-saudari saya seiman di Tesalonika yaitu kalian yang sudah bersatu dengan Allah Bapa dan Tuhan kita Kristus Yesus: Salam

Lebih terperinci

Diceritakan kembali oleh: Rachma www.dongengperi.co.nr 2008 Cerita Rakyat Sumatera Utara Di tepi sebuah hutan kecil yang hijau, sebuah danau yang berair jernih berkilau disapa mentari pagi. Permukaannya

Lebih terperinci

Mengajarkan Budi Pekerti

Mengajarkan Budi Pekerti 4 Mengajarkan Budi Pekerti Sukakah kamu membaca cerita dan dongeng? Banyak cerita dan dongeng anak-anak yang dapat kamu baca. Dalam sebuah cerita, terdapat pelajaran. Belajarlah dari isi cerita dan dongeng.

Lebih terperinci

Keberanian. Dekat tempat peristirahatan Belanda pada zaman penjajahan, dimulailah perjuangan nya.

Keberanian. Dekat tempat peristirahatan Belanda pada zaman penjajahan, dimulailah perjuangan nya. Keberanian Pagi itu di pedesan Kaliurang udara tampak sejuk dan embun pagi mulai pupus. Pada hari pahlawan 10 November tahun dimana kita mengingat perjuangan para pahlawan Indonesia. Ibu Malino sedang

Lebih terperinci

Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan

Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan yang dimaksud merupakan perolehan dari data-data yang

Lebih terperinci

5. Kisah-kisah dan Sejarah 5.1 Nabi Adam AS.

5. Kisah-kisah dan Sejarah 5.1 Nabi Adam AS. 5.1.2 Penciptaan Manusia Allah berkehendak menciptakan Adam dan keturunannya untuk menghuni bumi dan memakmurkannya. Allah menyampaikan kabar kepada para Malaikat bahwa Dia akan menciptakan makhluk lain

Lebih terperinci

Surat 3 Yohanes (Bagian 123) Friday, August 11, 2017

Surat 3 Yohanes (Bagian 123) Friday, August 11, 2017 Surat 3 Yohanes (Bagian 123) Friday, August 11, 2017 Prakata Rom. 11:25 sikap yang perlu diperhatikan dalam mendengar adalah jangan berlagak tahu / menganggap diri pandai, yang artinya: tidak mau mendengar

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7 SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7 1. Aduh, Kaka, kalau rambutmu kau sisir model begitu kau kelihatan lebih tua. Kau seperti nenek-nenek! Alah kau ini hanya sirik,

Lebih terperinci

Asal Mula Candi Prambanan

Asal Mula Candi Prambanan Asal Mula Candi Prambanan Zaman dahulu ada sebuah kerajaan di Pengging. sang raja mempunyai seorang putera bernama Joko Bandung. Joko bandung adalah seorang pemuda perkasa, seperti halnya sang ayah, ia

Lebih terperinci

REFORMASI KESEHATAN PERLU DILAKSANAKAN

REFORMASI KESEHATAN PERLU DILAKSANAKAN BEKERJA UNTUK YANG KECANDUAN REFORMASI KESEHATAN PERLU DILAKSANAKAN Setiap reformasi yang benar mendapat tempat dalam pekerjaan keselamatan dan cenderung mengangkat jiwa kepada satu kehidupan yang baru

Lebih terperinci

Siapakah Yesus Kristus? (5/6)

Siapakah Yesus Kristus? (5/6) Siapakah Yesus Kristus? (5/6) Nama Kursus : SIAPAKAH YESUS KRISTUS? Nama Pelajaran : Yesus Memiliki Semua Kuasa dan Penakluk Kematian Kode Pelajaran : SYK-P05 Pelajaran 05 - YESUS MEMILIKI SEMUA KUASA

Lebih terperinci

5. Kisah-kisah dan Sejarah 5.7 Nabi Ya qub AS. dan Nabi Yusuf AS.

5. Kisah-kisah dan Sejarah 5.7 Nabi Ya qub AS. dan Nabi Yusuf AS. 5.7.5 Nabi Yusuf AS. dan Saudara-saudaranya Kini saudara-saudara Nabi Yusuf yang telah menceburkannya ke dalam sumur telah datang. Anak-anak Nabi Ya qub datang dan berbaris dalam rombongan orang-orang

Lebih terperinci

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) 01 April 2018 ( Jam 16.00 Wib) Jemaat GIDEON Kelapadua Depok Jl. Komjen Pol M. Jasin Kelapadua, Pasirgunung Selatan Ksatrian Amji Atak (Komp. BRIMOB POLRI)

Lebih terperinci

LEGENDA GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

LEGENDA GUNUNG TANGKUBAN PARAHU LEGENDA GUNUNG TANGKUBAN PARAHU Awalnya diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan. Sang dewi

Lebih terperinci

Yang Mencinta dalam Diam

Yang Mencinta dalam Diam Yang Mencinta dalam Diam Aku melihat sebuah abstrak dengan gambar batu-batu cantik menyerupai sebuah rumah, lengkap dengan air-air jernih dibatu-batu tersebut, mereka mengalir dan bergerak sebebas-bebasnya,

Lebih terperinci

Written by Pitoyo Amrih Thursday, 29 September :53 - Last Updated Wednesday, 02 May :53

Written by Pitoyo Amrih Thursday, 29 September :53 - Last Updated Wednesday, 02 May :53 Kresna adalah salah seorang pemimpin yang memiliki karakter unik dan karisma tersendiri di era Mahabarata. Lahir di negri Mandura, dibesarkan dan digembleng di desa terpencil Widarakandang, yang masih

Lebih terperinci

Mula Kata, Bismillah

Mula Kata, Bismillah Mula Kata, Bismillah Karena berangkat bukan hanya pergi. Basmalah memilihkan yang tepat dari kebaikan Ada banyak orang pergi ke pasar. Ada yang membeli sayur di pojokan tepat sebelah toko kain. Ada yang

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Manusia Api Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh : Lazarus Disadur oleh: E. Frischbutter Diterjemahkan oleh: Widi Astuti

Lebih terperinci

1 Tesalonika 1. 1 Tesalonika 2

1 Tesalonika 1. 1 Tesalonika 2 1 Tesalonika 1 Salam 1 Dari Paulus, Silwanus dan Timotius kepada jemaat orang-orang Tesalonika yang di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu.

Lebih terperinci

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika 1 Tesalonika 1:1 1 1 Tesalonika 1:6 Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika 1 Kepada yang kekasih saudara-saudari saya seiman di Tesalonika yaitu kalian yang sudah bersatu dengan Allah Bapa

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Manusia Api Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh : Lazarus Disadur oleh: E. Frischbutter Diterjemahkan oleh: Widi Astuti

Lebih terperinci

I Want Him... Di Jogjakarta, lahirlah anaknya yang ketujuh, anak perempuan, dan itulah aku. Setelah kehamilan ibu yang boleh

I Want Him... Di Jogjakarta, lahirlah anaknya yang ketujuh, anak perempuan, dan itulah aku. Setelah kehamilan ibu yang boleh Aku dan Ibu Istimewa Melahirkan anak adalah rahmat yang luar biasa. Rasa sakitnya pun luar biasa. Tapi semua rasa sakit itu bisa hilang dalam sekejap saat aku mendengar suara tangis pertama anakku yang

Lebih terperinci

Hari Raya Korban? (Idul Adha)

Hari Raya Korban? (Idul Adha) Hari Raya Korban? (Idul Adha) Ini merupakan cerita yang terkenal pada saat Allah bertanya pada Abraham untuk mengorbankan anaknya. Juga merupakan cerita seorang anak muda yang dihukum mati oleh Tuhan.

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #19 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #19 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #19 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #19 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Ratu Ester yang Cantik

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Ratu Ester yang Cantik Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Ratu Ester yang Cantik Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh: Janie Forest Disadur oleh: Ruth Klassen Diterjemahkan oleh:

Lebih terperinci

Kalau kau mendengar sesuatu, itu akan hanya memudar dan menjadi bagian dari latar belakang.

Kalau kau mendengar sesuatu, itu akan hanya memudar dan menjadi bagian dari latar belakang. Induksi Jika aku mengatakan kepadamu, lihatlah seekor burung merah, dapatkah kau melihatnya untukku? Lihatlah setangkai bunga kuning. Lihatlah sebuah mobil biru. Lihatlah seekor anjing dan seekor kucing.

Lebih terperinci

YUNUS. 1 Yunus 1. Yunus menolak perintah ALLAH untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe

YUNUS. 1 Yunus 1. Yunus menolak perintah ALLAH untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe 1 Yunus 1 YUNUS 1P Yunus menolak perintah ALLAH untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe ada zaman dulu ada seorang nabi di Israel bernama Yunus. Bapak dari Yunus bernama Amitai. ALLAH memberikan

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Ratu Ester yang Cantik

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Ratu Ester yang Cantik Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Ratu Ester yang Cantik Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh: Janie Forest Disadur oleh: Ruth Klassen Diterjemahkan oleh:

Lebih terperinci

Dengan berhati-hati dan waspada Kyai Singoprono mengelilingi sawahnya, dan Kyai Singoprono merasa tentram, sebab tanamannya tak satupun yang rusak.

Dengan berhati-hati dan waspada Kyai Singoprono mengelilingi sawahnya, dan Kyai Singoprono merasa tentram, sebab tanamannya tak satupun yang rusak. ASAL MULA NAMA SIMO Sawah dan ladang milik Kyai Singoprono subur dengan hasil melimpah ruah, namun kesemuanya itu merupakan hasil kerja keras dan doa yang senantiasa menghiasinya. Suatu malam yang cerah,

Lebih terperinci

Pemilik jiwa yang sepi

Pemilik jiwa yang sepi Mawar biru Kusiapkan ini khusus untuk hadiah ulang tahunmu Sebagai persembahanku atas perhatianmu... Cintamu dan kesediaanmu menerima diriku Terimalah ini Mawar biru... Yang khusus kupetik dari surga Untuk

Lebih terperinci

MUNGKIN KU SALAH MENGARTIKAN

MUNGKIN KU SALAH MENGARTIKAN 1 MUNGKIN KU SALAH MENGARTIKAN Kini kulihat dirimu sedikit berbeda Entah apa yang terjadi, Diammu cukup membuat sejuta tanya dalam benakku Mencoba mencari tahu namun ku tak mampu menerka Ah, atau aku yang

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible

Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini kita akan membicarakan Pembahasan No.

Lebih terperinci

Perayaan Ekaristi Hari Minggu Adven ke-1

Perayaan Ekaristi Hari Minggu Adven ke-1 Perayaan Ekaristi Hari Minggu Adven ke-1 1. Lagu Pembukaan: HAI, ANGKATLAH KEPALAMU (PS 445 / MB 326) http://www.lagumisa.web.id/lagu.php?&f=ps-445 Pengantar Seruan Tobat Saudara-saudari, marilah mengakui

Lebih terperinci

DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR

DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR As-Saffat 37:107 Assalamu alaikum! Kitab Suci Al-Qur an memberikan deskripsi ilustrasi mengenai kepatuhan kepada Firman dari Allah di dalam hidup Ibrahim. Kita harus mempertimbangkan

Lebih terperinci

CINTA TELAH PERGI. 1 Penyempurna

CINTA TELAH PERGI. 1 Penyempurna CINTA TELAH PERGI 1 Penyempurna Enam belas tahun yang lalu seorang ibu bernama Rosa melahirkan seorang bayi perempuan, bayi yang selama ini bu Rosa dan pak Adam (suami bu Rosa) idam-idamkan selama dua

Lebih terperinci

Dalam Roma 12-13, Paulus berbicara tentang hubungan orang Kristen dengan...

Dalam Roma 12-13, Paulus berbicara tentang hubungan orang Kristen dengan... Lesson 12 for December 23, 2017 ALLAH Roma 12:1-2 Roma 13:11-14 KEDATANGAN YESUS YANG KEDUA KALI HUKUM TAURAT Dalam Roma 12-13, Paulus berbicara tentang hubungan orang Kristen dengan... GEREJA ORANG LAIN

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.5

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.5 1. Perhatikan penggalan teks fabel di bawah ini! SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.5 Sayembara yang dinanti sudah tiba. Semua bintang berkumpul. Termasuk binatang

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak. memperkenalkan. Manusia Api

Alkitab untuk Anak-anak. memperkenalkan. Manusia Api Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Manusia Api Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh: Lazarus Disadur oleh: E. Frischbutter Diterjemahkan oleh: Widi Astuti

Lebih terperinci

TEMAN KESUNYIAN BUKU PUISI BAGUS EKO SAPUTRO

TEMAN KESUNYIAN BUKU PUISI BAGUS EKO SAPUTRO TEMAN KESUNYIAN BUKU PUISI BAGUS EKO SAPUTRO TEMAN KESUNYIAN Bagus Eko Saputro Copyright 2016 by Bagus Eko Saputro Desain Sampul: Agung Widodo Diterbitkan Secara Mandiri melalui: www.nulisbuku.com 2 Daftar

Lebih terperinci

LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 3 SEPTEMBER 2017 Tema: MENYELAMI PEMIKIRAN ALLAH JEMAAT BERHIMPUN

LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 3 SEPTEMBER 2017 Tema: MENYELAMI PEMIKIRAN ALLAH JEMAAT BERHIMPUN LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 3 SEPTEMBER 2017 Tema: MENYELAMI PEMIKIRAN ALLAH PERSIAPAN - Umat bersaat teduh - Lonceng berbunyi - Penyalaan Lilin JEMAAT BERHIMPUN PANGGILAN

Lebih terperinci

Siapakah Yesus Kristus? (2/6)

Siapakah Yesus Kristus? (2/6) Siapakah Yesus Kristus? (2/6) Nama Kursus : SIAPAKAH YESUS KRISTUS? Nama Pelajaran : Yesus adalah Firman Allah dan Anak Allah Kode Pelajaran : SYK-P02 Pelajaran 02 - YESUS ADALAH FIRMAN ALLAH DAN ANAK

Lebih terperinci

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.6

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.6 SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.6 1. Bacaan untuk soal nomor 2-4 Di suatu siang yang terik, seekor burung pipit tengah asik menikmati buah Delima kesukaannya. Tiba-tiba

Lebih terperinci

Hari Raya Korban? Hari Raya Korban? (Idul Adha) (Idul Adha) Yesus menyatakan:

Hari Raya Korban? Hari Raya Korban? (Idul Adha) (Idul Adha) Yesus menyatakan: Yesus menyatakan: Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata

Lebih terperinci

YUNUS. 1 7/15/15 Yunus 1. Yunus menolak perintah Allah untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe

YUNUS. 1 7/15/15 Yunus 1. Yunus menolak perintah Allah untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe 1 7/15/15 Yunus 1 YUNUS Yunus menolak perintah Allah untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe 1 Pada jaman dahulu, ada seorang nabi di Israel yang bernama Yunus. Ayahnya bernama Amitai. ALLAH memberi

Lebih terperinci

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya 1 UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya Kelahiran Bodhisattva berikut menunjukkan bagaimana sebagai seorang pertapa, beliau mempraktikkan kemurahan hati dan pemberian secara terusmenerus,

Lebih terperinci

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat GIDEON Kelapadua Depok TATA IBADAH MINGGU 18 Juni 2017

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat GIDEON Kelapadua Depok TATA IBADAH MINGGU 18 Juni 2017 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat GIDEON Kelapadua Depok TATA IBADAH MINGGU 18 Juni 2017 h a l, 1 PERSIAPAN Doa pribadi warga jemaat Pengenalan lagu-lagu yang akan dinyanyikan dalam

Lebih terperinci

Kisah " Telaga Warna "

Kisah  Telaga Warna Kisah " Telaga Warna " Tokoh Drama: 1. Prabu Suwartalaya Bagaskara 2. Ratu Purbamanah Dewi Indah 3. Gilang Rukmini Dias Pratiwi 4. Penasehat Dias Pratiwi 5. Tukang Perhiasan Dias Pratiwi 6. Rakyat Bagaskara

Lebih terperinci

Buku BI 3 (12 des).indd 1 16/12/ :41:24

Buku BI 3 (12 des).indd 1 16/12/ :41:24 Buku BI 3 (12 des).indd 1 16/12/2014 11:41:24 2 Buku BI 3 (12 des).indd 2 16/12/2014 11:41:25 Bintang berkunjung ke rumah Tante Menik, adik ibunya. Tante Menik seorang wartawati. Rumah Tante Menik kecil,

Lebih terperinci

SPIRITUAL FRUITS THAT BRING REVIVAL #3 Buah Roh yang Membawa Kebangunan Rohani #3 DAMAI SEJAHTERA

SPIRITUAL FRUITS THAT BRING REVIVAL #3 Buah Roh yang Membawa Kebangunan Rohani #3 DAMAI SEJAHTERA SPIRITUAL FRUITS THAT BRING REVIVAL #3 Buah Roh yang Membawa Kebangunan Rohani #3 DAMAI SEJAHTERA PEMBUKAAN: Bulan ini kita ada dalam seri kotbah Spiritual Fruits that Bring Revival atau Buah Roh yang

Lebih terperinci

Ratu Ester yang Cantik

Ratu Ester yang Cantik Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Ratu Ester yang Cantik Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh: Janie Forest Disadur oleh: Ruth Klassen Diterjemahkan oleh:

Lebih terperinci

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini". Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.

Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini. Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati. Malam di Perkuburan Diposkan pada 03 Januari 2016 Sebelumnya saya tidak pernah tinggal di tanah perkuburan. Dan tak ingin tinggal di sana. Namun suatu saat saya mengajak seorang pa-kow. Ketika saya sampai

Lebih terperinci

RINGKASAN CERITA DALAM FILM BUSHI NO ICHIBUN 武士の一分. Mimura Shinnojo adalah seorang bushi yang bekerja sebagai dokumi yaku

RINGKASAN CERITA DALAM FILM BUSHI NO ICHIBUN 武士の一分. Mimura Shinnojo adalah seorang bushi yang bekerja sebagai dokumi yaku Lampiran RINGKASAN CERITA DALAM FILM BUSHI NO ICHIBUN 武士の一分 Mimura Shinnojo adalah seorang bushi yang bekerja sebagai dokumi yaku atau pencicip makanan Shogun. Dia tinggal bersama istrinya bernama Kayo

Lebih terperinci

BHISMA DEWABHARATA (BABAK I)

BHISMA DEWABHARATA (BABAK I) DESKRIPSI KARYA TARI ORATORIUM BHISMA DEWABHARATA (BABAK I) Oleh : I Gede Oka Surya Negara, SST.,M.Sn. Produksi ISI Denpasar dipergelarkan dalam rangka Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke 33 Di Art Centre

Lebih terperinci

2. "Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. " Kolose 4:5.

2. Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.  Kolose 4:5. 1. "Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus

Lebih terperinci

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN Nama : Burhanudin Yusuf NIM : 11.21.0618 Dosen Pembimbing: M. Suyanto, Prof. Dr, M.M. JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA S1 TRANSFER SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

László Hankó: Kebahagiaan Marina

László Hankó: Kebahagiaan Marina 1 László Hankó: Kebahagiaan Marina Terjemahan: Mentari Siahaan Dahulu kala hiduplah seorang wanita muda dan cantik bernama Marina. Dia tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi pantai bersama suaminya yang

Lebih terperinci

DISIAPKAN MENJADI SAKSI

DISIAPKAN MENJADI SAKSI Tata Ibadah Kenaikan Tuhan Yesus Ke Surga GKI Soka Salatiga Kamis, 25 Mei 2017 Pukul 08.30 WIB DISIAPKAN MENJADI SAKSI KETERANGAN: Ptgs. 1 : Seorang Bapak Ptgs. 2 : Seorang Ibu Ptgs. 3 : Seorang Pemuda

Lebih terperinci

Ahli Ibadah dengan Pelacur yang Cantik Jelita Sebuku Roti Penebus Dosa

Ahli Ibadah dengan Pelacur yang Cantik Jelita Sebuku Roti Penebus Dosa Insan Di Bawah Cahaya Ilahi Ahli Ibadah dengan Pelacur yang Cantik Jelita Sebuku Roti Penebus Dosa Empat Puluh Tahun Berbuat Dosa Ahli Ibadah dengan Pelacur yang Cantik Jelita l-hasan meriwayatkan, bahawa

Lebih terperinci

Di Unduh dari : Bukupaket.com

Di Unduh dari : Bukupaket.com bab 5 kejujuran gambar 5.1 tesa sedang berkumpul dengan teman temannya lihatlah gambar di atas tesa sedang berkumpul dengan teman temannya tentu kalian juga sering melakukannya setiap hari kita bergaul

Lebih terperinci

Eliora. orang yang sedang menjalaninya. 1 Artinya, seberat-berat kami melihat sesuatu terjadi, lebih menyakitkan lagi bagi

Eliora. orang yang sedang menjalaninya. 1 Artinya, seberat-berat kami melihat sesuatu terjadi, lebih menyakitkan lagi bagi 1 Nadia Eliora Yuda Putri Bahasa Indonesia 7 13 September 2012 Pelarian Jauh Di Hutan Duarr! Bunyi ledakan bom tentara-tentara Jepang. Setelah ledakan pertama itu, orang-orang di desaku menjadi kalang

Lebih terperinci

Pernikahan Kristen Sejati (2/6)

Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Nama Kursus   : Pernikahan Kristen yang Sejati Nama Pelajaran : Memilih Pasangan Kode Pelajaran : PKS-P02                    Pelajaran 02 - MEMILIH

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN

BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Sumber Data Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: Pencarian bahan melalui artikel dan

Lebih terperinci

PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini

PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini PENJAGAL ANGIN Tri Setyorini Awal yang ku lihat adalah abu putih yang berterbangan. Pikirku itu adalah salju yang menyejukkan. Namun ternyata bukan karena abu ini justru terasa panas dan membakar telapak

Lebih terperinci

TATA IBADAH MINGGU GKI KEBAYORAN BARU

TATA IBADAH MINGGU GKI KEBAYORAN BARU PERSIAPAN a. Saat Teduh b. Sebelum ibadah dimulai, organis/pianis memainkan lagu-lagu gerejawi. c. Lonceng berbunyi. d. Penyalaan Lilin dan Pembacaan Pokok-pokok Warta Jemaat 1. MAZMUR PEMBUKA Berdiri

Lebih terperinci

Simoan DELAPAN SIMOAN

Simoan DELAPAN SIMOAN Simoan DELAPAN puluh tahun lalu, seorang anak pengusaha Jagung dari kota Ratulangi mendarat di Pulau Tomote. Berbekal kepintaran ia diundang ke salah satu perusahaan. Di Pulau Tomote, ia disanjung-sanjung

Lebih terperinci

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Daud si Anak Gembala

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Daud si Anak Gembala Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan Daud si Anak Gembala Allah menunjuk kepada Tuhan dalam Alkitab. Penulis: Edward Hughes Digambar oleh : Lazarus Disadur oleh: Ruth Klassen Diterjemahkan oleh: Widi

Lebih terperinci

Rangkuman Kata Mutiara Tentang Waktu

Rangkuman Kata Mutiara Tentang Waktu Rangkuman Kata Mutiara Tentang Waktu Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan. Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahasia dari masa muda yang abadi. Ambillah waktu untuk berdoa,

Lebih terperinci

Karya Kreatif Tanah Air Beta. Karya ini diciptakan untuk menuturkan isi hati Mama Tatiana di dalam buku hariannya. Karya

Karya Kreatif Tanah Air Beta. Karya ini diciptakan untuk menuturkan isi hati Mama Tatiana di dalam buku hariannya. Karya Labiba 1 Salsabil Inas Labiba Rigen Pratitisari Bahasa Indonesia 1 Desember 2011 Karya Kreatif Tanah Air Beta Bagian I: Tujuan Penulisan Karya ini diciptakan untuk menuturkan isi hati Mama Tatiana di dalam

Lebih terperinci

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9 SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9 1. Di suatu siang yang terik, seekor burung pipit tengah asik menikmati buah Delima kesukaannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan

Lebih terperinci

Buku Cerita Bergambar. Edisi Fabel. cover

Buku Cerita Bergambar. Edisi Fabel. cover Buku Cerita Bergambar Edisi Fabel cover Kata Pengantar Assalamualaikum Warahmatullahiwabarakatuh Anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Anak-anak pada usia

Lebih terperinci

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan Bab. IV. ANALISIS GERAK PADA JEJER I ADEGAN KEDHATON - PATHET NEM (Menggunakan pendekatan hasil disertasi Primadi) 4.1. Sajian data dan analisis lengkapnya (tabulasi pembacaan/analisis terhadap gerakgerak)

Lebih terperinci

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Mengaryakan Pelayanan dan Kesaksian dengan Mewujudkan Kebebasan, Keadilan, Kebenaran dan Kesejahteraan bagi Sesama dan Alam Semesta (LUKAS 4:19) Minggu,

Lebih terperinci

1. Bagaimana Mordekhai dan orang-orang Yahudi menerima berita itu?

1. Bagaimana Mordekhai dan orang-orang Yahudi menerima berita itu? Ester Bagian ke-2 Pengantar Dalam bagian pertama dari pelajaran ini, kita telah belajar bagaimana Ester menjadi ratu dari penguasa tertinggi pada jaman ini dan bagaimana perbuatan satu orang jahat hampir

Lebih terperinci

I PERNYATAAN. Menjebak Hati

I PERNYATAAN. Menjebak Hati I PERNYATAAN Allah Swt. Laa haulawalaa quawwata illaa billaahil aliyyil adziim... Telah tiba waktunya, ketika seorang hamba harus hancur. Ya, ketika kalian harus terhapus, dan hanya Tuhanlah yang benar-benar

Lebih terperinci

TATA IBADAH MALAM NATAL Minggu, 24 Desember

TATA IBADAH MALAM NATAL Minggu, 24 Desember PERSIAPAN TATA IBADAH MALAM NATAL Minggu, 24 Desember 2017 ----------------------------------------------------- *. Sebelum ibadah dimulai mohon HP di non aktifkan *. Doa Pribadi Warga Jemaat *. Prokantor

Lebih terperinci

PETUNJUK PENELITIAN. Nama : Usia : Pendidikan terakhir :

PETUNJUK PENELITIAN. Nama : Usia : Pendidikan terakhir : 103 Nama : Usia : Pendidikan terakhir : Di tengah-tengah kesibukan anda saat ini, perkenankanlah saya memohon kesediaan anda untuk meluangkan waktu sejenak menjadi responden penelitian guna mengisi skala

Lebih terperinci

Nyawa Untuk Ikan Ku. Written By ARIEF BUDI KUSUMA Imajinasi

Nyawa Untuk Ikan Ku. Written By ARIEF BUDI KUSUMA Imajinasi Nyawa Untuk Ikan Ku Written By ARIEF BUDI KUSUMA 09.11.2969 Imajinasi Copyright by Arief Budi Kusuma All Right Reserved Cp: Arief Budi Kusuma STMIK AMIKOM Yogyakart Jl. Ring Road Utara, Condong-Catur,

Lebih terperinci

KARENA KASIH Sebuah fragmen berdasarkan perumpamaan Anak Yang Hilang

KARENA KASIH Sebuah fragmen berdasarkan perumpamaan Anak Yang Hilang KARENA KASIH Sebuah fragmen berdasarkan perumpamaan Anak Yang Hilang Para Lakon: 1. Bapak :... 2. Sulung :... 3. Peternak :... 4. Bungsu :... Adegan 1. Seorang bapak setengah baya nampak sedang berbincang-bincang

Lebih terperinci

1 Tesalonika. 1 1 Dari Paulus, Silas, dan Timotius. 2 1 Saudara-saudara, kamu tahu bahwa

1 Tesalonika. 1 1 Dari Paulus, Silas, dan Timotius. 2 1 Saudara-saudara, kamu tahu bahwa 301 1 Tesalonika 1 1 Dari Paulus, Silas, dan Timotius untuk jemaat yang tinggal di Tesalonika, yang ada dalam Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus. Semoga Allah memberikan berkat dan damai sejahtera kepada

Lebih terperinci

Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian

Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian AKU AKU AKU Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian lantaran ia adalah teladan didunia yang

Lebih terperinci

Kisah Ashabul Kahfi. Adapun lokasi gua Ashabul Kahfi tersebut ada 3 pendapat yaitu:

Kisah Ashabul Kahfi. Adapun lokasi gua Ashabul Kahfi tersebut ada 3 pendapat yaitu: Kisah Ashabul Kahfi Kisah Ashabul Kahfi dan anjing adalah sebuah kisah penuh keajaiban sebagai pertanda kekuasan Allah swt yang tak bias di jelaskan oleh akal manusia yang terbatas ini kisah ini di muat

Lebih terperinci

Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann.

Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann. Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang Pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.

Lebih terperinci

Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah, jawab sang isteri sambil menahan air mata.

Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah, jawab sang isteri sambil menahan air mata. Hikayat Cabe Rawit Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami-isteri di sebuah kampung yang jauh dari kota. Keadaan suami-isteri tersebut sangatlah miskin. Rumah mereka beratap anyaman daun rumbia,

Lebih terperinci

Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya.

Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya. Lelah menanti.. Cinta untukmu tak pernah berbalas. Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya. Lucu memang, aku masih saja merindukanmu.. Walau kutau hatimu

Lebih terperinci

Teguran Allah kepada Musa. Ditulis oleh Wiki

Teguran Allah kepada Musa. Ditulis oleh Wiki Kisah Musa dan Khiḍr dituturkan oleh Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab menceritakan bahawa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: Sesungguhnya pada suatu hari,

Lebih terperinci

CINTA 2 HATI. Haii...! Tiara terkejut, dan menatap pada pria itu. Pada saat itu, ternyata pria itu juga menatap kearah Tiara. Mereka saling menatap.

CINTA 2 HATI. Haii...! Tiara terkejut, dan menatap pada pria itu. Pada saat itu, ternyata pria itu juga menatap kearah Tiara. Mereka saling menatap. CINTA 2 HATI Udara sore berhembus semilir lembut,terasa sejuk membelai kulit.kira kira menunjukan pukul 16.45 WIB. Seorang gadis yang manis dan lugu sedang berjalan didepan rumahnya itu. Tiba tiba seorang

Lebih terperinci

NOVENA ROSARIO ELIZABETH ZAKHARIA NOVENA ROSARIO BERSAMA ST. MARIA, ST. ELIZABETH DAN ST. ZAKHARIA UNTUK PERMOHONAN MENDAPATKAN ANAK

NOVENA ROSARIO ELIZABETH ZAKHARIA NOVENA ROSARIO BERSAMA ST. MARIA, ST. ELIZABETH DAN ST. ZAKHARIA UNTUK PERMOHONAN MENDAPATKAN ANAK NOVENA ROSARIO ELIZABETH ZAKHARIA NOVENA ROSARIO BERSAMA ST. MARIA, ST. ELIZABETH DAN ST. ZAKHARIA UNTUK PERMOHONAN MENDAPATKAN ANAK 1 Pengantar Dalam suatu kesempatan Yesus pernah mengatakan "Mintalah,

Lebih terperinci

Batu yang Menjadi Roti

Batu yang Menjadi Roti Batu yang Menjadi Roti Berikut ini adalah kisah tentang Tuhan Yesus dan para murid-nya. Kisah ini hanya sebuah kiasan, ceritanya sendiri tidak tertulis dalam Injil mana pun. Oleh karenanya kisah ini hanya

Lebih terperinci